BAB I PENDAHULUAN. Manusia banyak melakukan pelanggaran, salah satunya adalah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Manusia banyak melakukan pelanggaran, salah satunya adalah"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia banyak melakukan pelanggaran, salah satunya adalah penyalahgunaan narkoba. Penyalahgunaan narkoba tidak hanya menjadi masalah lokal maupun nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global (dunia). 1 Pada era sembilan puluhan, pemakai narkoba sudah masuk segala lapisan baik kalangan atas, kalangan menengah, maupun kalangan bawah sekalipun. 2 Ditinjau dari sudut usia, narkoba sudah tidak dinikmati golongan remaja, tetapi juga golongan setengah baya maupun golongan usia tua. 3 Penyebaran narkoba sudah tidak lagi hanya di kota besar, tetapi sudah masuk kota-kota kecil dan merambah di kecamatan bahkan desa. 4 Tindak pidana penyalahgunaan narkotika termasuk tindak pidana khusus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disingkat dalam tesis ini UUN. Menurut Paul Scholten hukum pidana ada dua yaitu hukum pidana umum dan hukum pidana khusus, hukum pidana umum yang berlaku secara umum dan hukum pidana khusus ialah perundang-undangan bukanlah yang bersanksi pidana yang disebut juga hukum pemerintah. 5 Pada umumnya pidana pemerintahan itu sanksinya ringan hanya berupa denda saja karena termasuk pelanggaran, tetapi 1. diakses tanggal 28 Nopember Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, (Bandung : Mandar Maju, 2003), hal 3 3. Ibid 4. Ibid 5 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta:Rineke Cipta, 1994), hal 12

2 dewasa ini di Indonesia perkembangannya menjadi agak lain karena telah banyak undang-undang demikian, terutama perundang-undangan administrasi seperti Undang-Undang Narkotika dan Atom yang ancaman pidana adalah pidana mati. 6 Pidana khusus ialah semua perundang-undangan diluar KUHP beserta perundangundangan pelengkapnya baik perundang-undangan pidana maupun yang bukan pidana tetapi bersanksi pidana. 7 Pasal 284 menyebutkan perundang-undangan pidana khusus yang mempunyai acara tersendiri, disini KUHAP menambah yang mempunyai acara tersendiri karena maksudnya mempunyai wewenang secara khusus kepada jaksa untuk menyidik sesuai acara khusus tersebut. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN telah memberikan kewenangan kepada hakim yang memeriksa pecandu narkotika dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan apabila pecandu tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba Ke Dalam Terapi Dan Rehabilitasi bahwa masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkoba sebagaimana tersebut diatas sebagai masa menjalani pidana. Penyalahguna narkotika yang telah terbukti bersalah dan diputuskan oleh hakim untuk menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika, dalam undang-undang narkotika bahwa terhadap narapidana narkotika dilakukan perawatan 6 Ibid 7 Ibid hal 13

3 maka di Lembaga Pemasyarakatan melaksanakan hal tersebut sebagai bagian dari pembinaan. Mewujudkan rehabilitasi sebagai bagian dari pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika bahwa sistem kepenjaraan telah beralih ke sistem pemasyarakatan maka pelaksanaannya berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disingkat dalam tesis ini dengan UUP yang terdiri dari 8 bab dan 54 pasal. Menurut Pasal 1 ayat ( 2 ) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP bahwa sistem Pemasyarakatan adalah : Suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar dan menjadi warga Negara yang baik dan bertanggung jawab. Rumusan Pasal 1 ayat (2) tersebut terlihat bahwa unsur-unsur sistem pemasyarakatan adalah Pembina (personil/staf Lembaga Pemasyarakatan), yang dibina (narapidana) dan masyarakat. 8 Berdasarkan analisa diatas bahwa sistim pemasyarakatan hanya menghubungkan aspek sabjektif padahal ada unsur-unsur objektif yang menjadi perhatian antara lain : Cara pembinaan, meningkatkan kualitas, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak pidana, 8 Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung : Refika Aditama, 2011), hal 125.

4 diterima kembali di lingkungan masyarakat, berperan aktif dalam pembangunan, dapat hidup secara wajar, menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan hidup wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. 9 Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP disebutkan yang dimaksud dengan Agar menjadi manusia seutuhnya adalah upaya untuk memulihkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan kepada fitrahnya dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan pribadinya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan lingkungannya. Dasar pemikiran lainnya ialah adanya paham determinisme yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan yang dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis dan faktor-faktor kehidupan kemasyarakatan. Perbuatan kejahatan sebenarnya jiwa seseorang yang abnormal oleh karena itu sipelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana, Karena seorang penjahat merupakan jenis manusia khusus yang memiliki ketidaknormalan organik dan mental, maka 9 Pasal 2 Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP

5 bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepadanya tetapi yang diperlukan adalah tindakan-tindakan perawatan yang bertujuan memperbaiki. 10 Kenyataan empiris di bidang pemidanaan pelaku pengedar gelap narkotika secara umum masih menganut memperbaiki terpidana di Lembaga Pemasyarakatan sehingga memberikan gambaran bahwa kejahatan tersebut hanya terhenti sesaat dan akan muncul kembali kedalam lingkungan kehidupan sosial. Membuat jera narapidana pengedar narkoba dan aparat yang terlibat membantu beredarnya barang haram itu di penjara, pemerintah perlu mengimplementasikan sanksi pemiskinan bagi mereka. Kriminolog dari Universitas Indonesia Andrianus Meliala mengungkapkan harus ada sanksi terobosan yang dapat menjadi efek jera bagi narapidana narkotika. Andrianus memaparkan Indonesia memiliki Undang-Undang Narkotika dan Undang- Undang Pemasyarakatan yang sebetulnya representatif untuk dapat menciptakan sistem hukum ideal. 11 Menyusul perubahan undang-undang narkotika yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN yang mengharuskan agar para terpidana pengguna narkotika dan korban penyalahguna dipulihkan di pusat rehabilitasi. Sekarang mereka yang telah terbukti penyalahguna narkotika, sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Penyalahguna Narkotika ke Pusat Terapi dan Rehabilitasi dengan demikian pengguna narkotika masuk ketempat rehabilitasi. Waktu yang lalu hakim-hakim masih banyak memutuskan menetapkan mereka ke lapas, sekarang mereka bisa minta untuk 10 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, (Yogyakarta : Genta Publishing 2010), hal Maret 2011 diakses 17 April 2011

6 merubah dari ketetapan itu, dari lapas untuk dipindahkan ke pusat rehabilitasi, Ungkap Kepala Badan Narkotika Nasional Gories Mere, di Gedung BNN,Jakarta Selatan. 12 Pelaksanaan SEMA RI No. 07 tahun 2009 tentang Penempatan Penyalahguna Narkotika ke Pusat Terapi dan Rehabilitasi hakim tetap memperhatikan komposisi pemakaian sehingga pengguna dapat diputuskan untuk melaksanakan perawatan di tempat rehabilitasi. Seiring dengan kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang tidak mendukung pada saat ini karena dampak negatif keterpengaruhan prilaku kriminal lainnya dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan, kesehatan yang diderita para narapidana narkotika dan psikotropika akan semakin berat, keadaan ini diperlakukan dengan perbedaan di Lembaga Pemasyarkaan Narkotika karena yang menjadi penghuni di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika secara khusus merupakan narapidana narkotika sehingga pola pembinaan di Lembaga Pemasyarkatan Narkotika adalah pembinaan yang konfrehensif antara pemulihan dengan pemidanaan. Pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Pematangsiantar selalu mengacu kepada berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP. Hal ini disebabkan belum ada petunjuk khusus untuk pelaksanaan tugas dan fungsi di Lapas Narkotika, sehingga di lapangan dalam pelaksanaan tugas Lapas Narkotika petugas tetap berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 12 http/www/kompas.com, Polri dan BNN kerja sama ciptakan Zona Bebas Narkoba diakses tgl 14 April 2011.

7 Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Pematangsiantar dibangun sejak tahun 2008 berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI. No.04.PR Tahun 2003 tentang Pembentukan Lapas Narkotika Pematangsiantar, Lubuk Linggau, Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Nusakambangan, Martapura, Bangli, Maros dan Jaya Pura,. Lembaga pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangsiantar berada di Pematang Raya kabupaten Simalungun dengan luas tanah 3 ha. Penguni Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangsiantar adalah narapidana khusus penyalahguna narkotika baik itu pengedar, pengguna dan bahkan ada korban penyalahguna. Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangiantar adalah kapasitas 600 (enam ratus) orang dan penguni Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangsiantar berjumlah 30 (tiga puluh) orang yang semuanya merupakan pemindahan dari Lembaga Pemasyarakatan umum lain. Jumlah warga binaan ini masih minim sekali dilihat dari kapasitas bangunan yang dapat menampung sampai 600 (enam ratus) orang penyalahguna narkotika. Minimnya jumlah penghuni di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika disebabkan beberapa penghambat operasional antara lain : SDM belum mencukupi baik dari segi kuantitas maupun kualitas pegawai, Sarana dan Prasarana yang mendukung pelaksanaan tugas belum lengkap seperti sejajaran Lapas yang lain, kondis bangunan yang masih rawan, disamping itu juga karena masih tahap pemula untuk menjadi Lapas Khusus Narkotika (Lapas Sustik) Sumatera Utara. Cara pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Pematangsiantar belum terlaksana sesuai dengan kategori tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana. Keadaan ini diakibatkan oleh kurangnya sarana dan

8 prasarana di Lapas baik dari SDM, Peraturan pendukung dan bahkan sarana fisik yang belum memadai untuk melaksanakan pemisahan kamar penghuni sesuai dengan tindak pidananya. Arti penting penerapan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika adalah pengobatan, perawatan pecandu dan ketergantungan narkoba akan mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan, disamping dapat mengurangi peredaran gelap narkotika, untuk itu kerangka yuridis yang telah ada di dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN Pasal 54 adalah sebagai dasar bagi hakim untuk dapat memutuskan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Namun hal ini tetap memperhatikan dari kuantitas penggunaan narkotika oleh penyalahguna. Penjelasan Pasal 54 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN disebutkan bahwa korban penyalahgunaan Narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika. Selanjutnya tempat pelaksanaan rehabilitasi dalam Pasal 56 Undang Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang UUN menyatakan bahwa : 1. Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri 2. Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu narkotika setelah mendapat persetujuan pemerintah.

9 Penjelasan Pasal 56 dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang UUN disebutkan : 1. Ketentuan ini menegaskan bahwa rehabilitasi bagi pecandu narkotika dilakukan dengan maksud untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang bersangkutan. 2. Yang dimaksud dengan instansi pemerintah misalnya Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dan Pemerintah Daerah. Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk rehabilitasi medis bagi pecandu narkotika pengguna jarum suntik dapat diberikan serangkaian terapi untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik dengan pengawasan ketat Departemen Kesehatan. Pasal 57 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang UUN menyebutkan selain pengobatan dan/atau rehabilitasi medis penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. Dengan ini Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN memberi suatu pengertian bahwa pengguna narkotika sudah menjadi suatu penyakit bukan lagi menjadi suatu kriminal biasa sehingga untuk penanganannya perlu pengobatan untuk pemulihan maka di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika sebagaimana pada Pasal 56 Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang UUN tersebut adalah sebagai instansi pemerintah dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial sebagai bagian dari pembinaan dengan berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang UUP. Menyangkut Undang-Undang Narkotika dalam pelaksanaan rehabilitasi untuk pembinaan sebagaimana tersebut dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN, hal ini juga memberi maksud yang sama pada Pasal 9 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP yang menyebutkan bahwa :

10 Penyelenggaraan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Menteri dapat mengadakan kerjasama dengan instansi terkait, badan-badan kemasyarakatan lainnya atau perorangan yang kegiatannya seiring dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan sebagaimana dimaksud Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang UUP. Ketentuan mengenai kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Menyangkut rehabilitasi adalah bagian dari sistem pembinaan yang digunakan untuk membantu seseorang melepaskan diri dari kecanduan dan merubah prilakunya menjadi lebih baik. Dalam tahap rehabilitasi pemakai narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Pematangsiantar menekankan pada rehabilitasi phisik dan mental. Rehabilitasi phisik ditujukan agar narapidana pemakai narkoba normal dalam arti bisa berdiri sendiri, mempertahankan kemampuan atau keahlian yang dimilikinya. 13 Kesibukan-kesibukan tersebut terhadap pemakai narkoba akan melupakan ketegantungan pada narkoba. 14 Berbagai kesibukan-kesibukan yang dilakukan seperti kegiatan olah raga dan ketrampilan-ketrampilan serta rehabilitasi mental dilakukan dengan penyuluhan, bimbingan dan ceramah. Kegiatan ini dimaksud agar Warga Binaan Pemasyarakatan sadar bahwa dirinya masih memiliki masa depan. Kegiatan konsultasi hukum merupakan sarana pembinaan bagi narapidana atau tahanan narkotika dilaksanakan dalam lapas atau rutan dengan tujuan agar 13 Hari Sasangka, Narkotika da Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Op Cit, hal Ibid

11 narapidana atau tahanan narkotika dapat memahami dan menghayati hak dan kewajiban sehingga manusia yang taat dan patuh kepada hukum, mandiri dan berguna bagi masyarakat dan negara. 15 Menurut Sahardjo ketika dalam Konferensi Dinas Kepenjaraan di Lembang tanggal 27 April 1964 melontarkan gagasan perubahan tujuan pembinaan narapidana dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan. Landasan sistem pemasyarakatan Bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat. Pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Pelaku tindak pidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan. Negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan pada waktunya akan mengembalikan orang itu kemasyarakat lagi, mempunyai kewajiban orang terpidana itu dan masyarakat. Titik tolak pemikiran Sahardjo, bahwa bukan saja masyarakat yang diayomi dengan adanya tindak pidana, tetapi juga sipelaku perlu diayomi dan diberi bimbingan sebagai bekal hidupnya kelak setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, agar berguna bagi dan di dalam masyarakat. Pandangan yang menarik adalah bahwa tobat tidak dilakukan dengan penyiksaan, tetapi dengan bimbingan. Sebab seorang narapidana telah kehilangan kemerdekaan bergerak, jadi 15 Pusat Pencegahan Lakhar, BNN RI, 2009, Advokasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Petugas Lapas/Rutan, hal 72

12 pidana kehilangan bergerak telah merupakan pidana tersendiri, yang tidak perlu ditambah lagi dengan penyiksaan atau bentuk lain, tetapi harus diberikan bimbingan agar kalau tiba waktunya untuk kembali ke masyarakat, akan berguna. Petugas Pemasyarakatan (penegak hukum yang melaksanakan tugas dibidang pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga binaan Pemasyarakatan) dapat memandang hukuman itu adalah untuk tujuan penjeraan bagi yang melanggar. 16 Pelaksanaan tugas dan fungsi Pemasyarakatan harus dilandaskan kepada aturan hukum yang berlaku agar pemenuhan dan hak asasi manusia dapat direalisasikan. Berbagai sistem pembinaan dengan melaksananakan program terpadu rehabilitasi sosial dan terapi menjadi salah satu langkah yang serius dalam penanggulangan penyalahgunaan Napza (Narkotika,Psikotropika dan Zat adiktif). Untuk itulah lapas yang bertugas membina warga binaan juga berfungsi untuk rehabilitasi bagi penyalahguna Napza, sehingga melalui program ini diharapkan mereka dapat kembali berperan aktif dimasyarakat dalam keadaan sudah lepas dari ketergantungan (adiksi) Lapas menjadi pusat pelayanan terpadu (One Stop Center) bagi penyalahguna Napza yang bertujuan untuk menyelenggarakan terapi dan rehabilitasi sosial. Stop Center adalah upaya pelayanan terapi dan rehabilitasi terpadu bagi 17 One 16 Undang-Undang Pemasyarakatan No 12 tahun 1995 Pasal 8 ayat 1 : Petugas Pemasyarakatan merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas dibidang pembinaan, pengamanan, pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. 17 http/www/, Terapi dan Rehabilitasi Narapidana Narkotika Melalui Metode Criminon dan Kesenian, diakses tgl 17 April 2011.

13 penyalahguna narkoba secara menyeluruh yang meliputi pelayanan terapi medis, psikologis dan sosial serta spiritual di dalam sarana institusi residensial. 18 Perlu kita ingat kembali bahwa membina pecandu narkotika ini bukanlah hal yang mudah bahwa tidak ada kata sembuh dalam sifat adiksi (ketergantungan). Pecandu sering mengalami kambuh (replase) meskipun pernah berhenti menggunakan Napza. Kata yang tepat kepada pecandu dapat digunakan dengan kata pulih ( recovery). 19 Keadaan ini yang menjadi tantangan bagi petugas pemasyarakatan untuk membina menjadi narapidana yang sudah pulih dari penyakit sosial ini untuk tidak kembali lagi ke perbuatan yang salah. Sebab petugas pemasyarakatan mempunyai tugas pembinaan bukan hanya seorang narapidana itu sebagai penghuni tetapi secara umum pembinaan narapidana bertujuan agar mereka dapat menjadi manusia seutuhnya sebagaimana menjadi arah pembangunan nasional melalui jalur pendekatan 1. Memantapkan iman (ketahanan mental) mereka 2. Membina mereka agar mampu berintegrasi secara wajar di dalam kehidupan kelom pok selama dalam lembaga pemasyarakatan dan kehidupan yang lebih luas (masyarakat) setelah menjalani pidana Secara khusus pembinaan narapidana ditujukan agar selama masa pembinaan dan sesudah selesai menjalankan masa pidananya Modul Petugas Rehabilitasi Sosial Dalam Pelaksanaan Program One Stop Center (OSC), BNN RI, 2006, Hal diakses 28 Nopember Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.02.PK Tahun 1990 Tanggal 10 April 1990

14 1. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta bersikap optimis akan masa depannya 2. Berhasil memperoleh pengetahuan minimal ketrampilan untuk bekal mampu untuk mandiri dan berprestasi dalam kegiatan pembangunan nasional. 3. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum yang terjermin pada sikap dan prilakunya yang tertib disiplin serta mampu menggalang rasa kesetiakawanan sosial. 4. Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengabdian terhadap bangsa dan negara. Pencegahan pemberantasan dan peredaran gelap Narkoba di Lapas/Rutan dimulai dari petugas Lapas/Rutan mempunyai peran yang sangat sentral. Pemahaman mengenai masalah Narkoba bagi Petugas Lapas/Rutan diawali dari pengenalan baik secara hukum maupun secara fisik tentang Narkoba sehingga diharapkan dapat memahami bahaya yang ditimbulkan dari penyalahguna narkoba. Perlu diketahui juga bahwa keberhasilan penghentian penyalahguna narkoba tergantung kepada jenis narkoba yang disalahgunakan, lama penggunaan/ketergantungan, dosis narkoba yang digunakan, keinginan sembuh dari penderita, sikap keluarga dan hubungan antar penyalahguna dan pengedar. 21 Sistem pemasyarakatan yang dimuat dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP tersebut dalam melaksanakan pembinaan terhadap narapidana didasarkan pada beberapa hal, sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP menyatakan bahwa: Sistem Pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas : 1. Pengayoman 21 Advokasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Petugas Lapas/Rutan, 2009, OpCit, hal 69-70

15 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan 3. Pendidikan 4. Pembimbingan 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia 6. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan 7.Terjaminya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu Praktek pelaksanaan tugas-tugas pemasyarakatan baik yang berada di Lapas, Rutan maupun Bapas secara fungsional dapat dibagi menjadi empat kelompok petugas yaitu : Kelompok petugas Pengamanan 2. Kelompok Petugas Administrasi ( Tata Usaha ), selaku unsur pendukung non tehnis 3. Kelompok Petugas Pembinaan dan Pembimbingan 4. Kelompok Petugas Ahli selaku Pendukung Tehnis Pembinaan. Kelompok pengamanan kecuali di Bapas mempunyai tugas menciptakan keamanan dan ketertiban di dalam Lapas/ Rutan. Kelompok ini mempunyai tugas yang penuh resiko. 23 Kelompok petugas administrasi ialah kelompok petugas yang mempunyai tugas dan fungsi pendukung fasilitatif dalam pelaksanaan tugas pokok yakni penyelenggaraan pemasyarakatan warga binaan pemasyarakatan Didin Sudirman, Revosisi dan Revitalisasi Pemasyarakata Dalam Sistim Peradilan Pidana Di Indonesia, (Jakarta : Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Hukum, 2007). 23 Ibid 24 Ibid

16 Kelompok Petugas pembinaan pemasyarakatan ialah kelompok pegawai yang didik khusus untuk menyelenggarakan fungsi utama untuk pekerjaan pemasyarakatan dalam rangka memajukan dan melindungi hak-hak orang yang sedang bermasalah dalam hukum. 25 Kelompok Petugas Ahli ialah kelompok petugas yang menjadi kelompok pendukung bagi keberhasilan tugas-tugas kelompok pembinaan. 26 Semua unsur kelompok dalam tugas pemasyarakatan harus di dukung oleh sumber daya manusia yang handal dan mampu untuk melaksanakan tugas fungsi pemasyarakatan. Pengembangan sumber daya manusia disebut sebagai pengembangan pribadi ( self development) karena pada dasarnya yang mampu mengembangkan sumber daya manusia adalah diri sendiri bukan orang lain yang mengembangkan diri kita tetapi kita sendiri. 27 Kondisi sumber daya manusia bagi petugas pemasyarakatan akan menimbulkan penyimpangan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pemasyarakatan tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Tidak ada suatu masyarakat pun yang bebas dari penyimpangan yang dilakukan oleh anggotanya karena tidak ada satupun sistem pengendalian sosial yang dapat berfungsi secara sempurna. 28 Sering kita dengar melalui media massa bahwa di Lembaga Pemasyarakatan ada tawuran antara sesama penghuni, peredaran narkoba, pemerasan, pelarian, Ibid 26 Ibid 27 Harsono,C.I,Hs, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta : Djambatan, 1995), hal. 28. Horton & Hunt, Sosiologi, 1987,191, dikutip dari.didin Sudirman, Revosisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia, Op Cit, hal 205

17 pemberontakan, penganiayaan oleh penghuni dan lain sebagainya. Gejala seperti ini menjadi sesuatu yang tersembunyi (latent) di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang menjadi potensi terhambatnya pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di Lapas / Rutan bukan saja berasal dari Petugas akan tetapi dari pihak narapidana itu sendiri seperti dari keluarga, teman dan siapa saja yang mempunyai peluang untuk melakukanya. Penyalahguna narkotika di dalam Lapas/Rutan bukan tidak mempunyai kesempatan mencari barang haram itu, mereka akan selalu berusaha untuk mendapatkanya. Dengan situasi seperti ini Petugas Pemasyarakatan akan selalu selektif terhadap setiap pengunjung. Sebagai petugas pemasyarakatan juga harus paham bagaimana tabiat dari penyalahguna narkotika. Permasalahan yang tidak perlu ditutup-tutupi bahwa banyak narapidana narkotika yang sudah bebas kembali lagi ke Lembaga Pemasyarakatan dalam kasus yang sama bahkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan menjadi orang yang lebih berkapasitas untuk memasukkan narkoba. Narapidana yang menjadi kategori seperti ini akan lebih berkualitas melakukan penyimpangan dengan usaha menyeludupkan narkoba ke dalam Lapas/Rutan. Lapas telah membuat sebagai peraturan mengenai barang-barang yang boleh dan tidak boleh dimasukkan ke dalam Lapas. Biasanya penyeludupan itu adalah Uang, Narkoba, Senjata tajam, Hand phone dan lain-lain Ibid hlm 222

18 B.Perumusan Masalah Sesuai dengan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan Rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagai bagian sistem pembinaan terhadap narapidana narkotika? 2. Bagaimana pelaksanaan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika? 3. Bagaimana hambatan-hambatan yang dihadapi oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Pematangsiantar dalam pelaksanaan rehabilitasi narapidana narkotika? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah: 1. Untuk mengetahui pelaksanaan rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagai bagian sistem pembinaan terhadap narapidana narkotika 2. Untuk mengetahui pelaksanaan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Pematangsiantar dalam pelaksanaan rehabilitasi narapidana narkotika.

19 D. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian memiliki manfaat teoretis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah 1. Secara Teoretis Manfaat penelitian ini adalah untuk memberi sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum pidana menyangkut pembinaan narapidana penyalahguna narkotika dan peran petugas pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana penyalahguna narkotika. Penelitian ini juga diharapkan dapat menyempurnakan peraturan hukum yeng menyangkut bidang pembinaan di lembaga pemasyarakatan. 2. Secara Praktis. Diharapkan penelitian ini memberi masukan kepada aparat petugas pemasyarakatan dalam menerapkan sistem pembinaan terhadap narapidana penyalahguna narkotika di lembaga pemasyarakatan sehingga dapat menjalankan tugas sesuai dengan fungsi pemasyarakatan. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran studi kepustakaan dan pemantauan yang dilakukan, bahwa belum ada bidang dan ruang lingkup yang melakukan penelitian serupa dalam hal Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Narapidana Narkotika Sebagai Bagian Sistem Pembinaan Di Dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika. Ada beberapa tesis yang membahas tentang narkotika namun permasalahan, metode dan lokasi penelitian yang berbeda serta pembahasan terhadap Undang-Undang yang

20 berbeda. Pada tesis ini Undang-Undang Narkotika yang dibahas adalah Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN Beberapa tesis yang membahas tentang yang berhubungan dengan narkotika adalah sebagai berikut ; 1. Nama : Mhd Tavip, Nim , Pascasarjana Fakultas Hukum USU, Judul tesis Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan. Permalasalahan lebih lanjut lihat pada tesisnya. 2. Nama : Ardiansah, Nim , Pascasarjana Fakultas Hukum USU, judul tesis Kedudukan Lembaga Pemasyarakatan Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika dan Psikotropika. Permasalahan lebih lanjut lihat pada tesisnya. 3. Nama : Mala Puspita Sari Br Ginting, Nim , judul tesis Analisis Yuridis Rehabilitasi Terhadap Pengguna Narkotika Dalam Pesrspektif Pembaruan Hukum Pidana Nasional. Permasalahan lebih lanjut lihat pada tesisnya. 4. Nama : Pahatar Simarmata, Nim , judul tesis Pidana Yang Dijatuhkan Dalam Perkara Narkotika Sebagai Upaya Pembinaan Terpidana. Permalahan lebih lanjut lihat pada tesisnya 5. Nama : Rita Pristiwa, Nim , judul tesis Pola Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan. Permalahan lebih lanjut lihat pada tesisnya.

21 6. Nama : Roma Ulinan Pasaribu, Nim , Pascasarjana Fakultas Hukum USU, Analisis Hukum Pola Pembinaan Narapidana Wanita Pengedar Narkoba Dalam Perspektif Pemasyarakatan (Penelitian Pada Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Medan). Permalahan lebih lanjut lihat pada tesisnya 7. Nama : Jan Prins Duarmen Saragih, Nim , Pascasarjana Fakultas Hukum USU, Judul tesis Pembinaan Terhadap Anak Dalam Kasus Penyalahgunaan Narkoba Dan Psikotropika ( Studi kasus di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas IIA Medan). Permalahan lebih lanjut lihat pada tesisnya. Oleh karena itu penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, sebab penyusunan tesis ini menghormati etika penelitian sebagaimana dalam asasasas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka untuk saran-saran dari pihak pembaca yang akan menambah ilmu penulis dan penyempurnaan penelitian di masa yang akan datang. E. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Sistem pemidanaan terhadap penyalahgunaan narkotika tidak dapat dilepaskan dari sistem pemidanaan yang dianut dalam hukum Indonesia. Tujuan sistem pemidanaan pada operasionalnya adalah tujuan penegakan hukum yang dijalankan oleh sistem peradilan berdasarkan perangkat-perangkat hukum yang mengatur kriminalisasi penyalahguna narkotika yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN. Menentukan tujuan pemidanaan pada sistem peradilan menjadi persoalan yang cukup dilematis, terutama dalam menentukan apakah

22 pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana adalah pencegahan tingkah laku yang anti sosial. M. Cherif Bassiouni pernah menegaskan bahwa kita tidak tahu dan tidak pernah tahu secara pasti metode-metode tindakan (treatment) apa yang paling efektif untuk mencegah dan memperbaiki atau kita pun tidak mengetahui seberapa jauh efektivitas setiap metode tindakan itu. 30 Tujuan pemidanaan dari tujuan klasik retributif, ditterent sampai terjadi ke perubahan tujuan positif dengan pemidanaan Treatment sampai ke Restorative Justice belum juga berhasil sehingga tetap mengalami perubahan-perubahan sistem pemidanaan, siklus-siklus pemidanaan ini semakin terjawab dengan munculnya undang-undang baru pada setiap kriminal dan hakekat tujuan pemidanaannya juga terkontribusi di dalam undang-undang itu sendiri. Teori klasik Retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat.oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepas dari tujuan apapun sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan. Tokoh teori retributive adalah Immanuel Kant ( ) dan Hegel ( ). 30 Dikutip dari Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,(Bandung :Citra Aditya Bakti, 1996), hal 62

23 Immanuel Kant menyatakan bahwa pembenaran pidana dan tujuan pidana adalah pembalasan terhadap serangan kejahatan atas ketertiban sosial dan moral. 31 Teori deterrence berakar dari teori klasik tentang pemidanaan. Beccaria dalam bukunya yang berjudul dei Delitti e Delle Pene (1748) akhir dari hukuman adalah tidak lain tidak bukan untuk mencegah penjahat mencederai lebih lanjut masyarakat dan mencegah orang lain dari perbuatan-perbuatan yang serupa. 32 Sedangkan teori Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan bukan pada perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksud di sini adalah memberikan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen pada positif ini adalah bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). Sudarto pernah mengemukakan bahwa apabila hukum pidana digunakan hendaknya dilihat keseluruhan hubungan politik kriminal atau social defence planning yang inipun harus merupakan bagian dari rencana pembangunan nasional. 33 Politik kriminal ialah pengaturan secara rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh masyarakat Priyatno Dwija, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2006), hal Cesare Beccaria. Perihal Kejahatan dan Hukuman. diterjemahkan oleh Wahmuji, (Yogyakarta : Genta Publising cetakan Pertama 2011), hal Muladi, Arief Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1998), hal Ibid

24 Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. 35 Berdasarkan kupasan dari konsep teori diatas maka kerangka teori sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori Restorative justice. Ahli kriminologi berkebangsaan Inggris Tony.F.Marshall dalam tulisannya bahwa defenisi restorative justice adalah : Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal eith the aftermath of the offence and its implications for the future ( restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersamasama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan) 36 Retroaktive justice merupakan upaya penegak hukum untuk mengalihkan kasus pidana dari mekanisme formal ke mekanisme informal. Pilihan antara penyelesaian melalui pengadilan (litigasi) dengan menggunakan restitutive justice (criminal justice) atau penyelesaian non pengadilan melalui cara rekonsiliasi dengan menggunakan restorative justice sebagai salah satu implementasi transitional justice (keadilan transisional) senantiasa menjadi wacana seru Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum, Op Cit, hal Dikutip dari Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, (Medan : USU Press, 2010), hal Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan Teori Peradilan (judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legis Prudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal 247

25 Konsep restorative justice dalam penyelesaian suatu kasus tindak pidana peran dan keterlibatan anggota masyarakat sangat penting dalam membantu, memperbaiki kesalahan dan penyimpangan yang terjadi disekitar lingkungan masyarakat yang bersangkutan. 38 Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitik beratkan pada sifat penindasan/pemberantasan/penumpasan (repressive) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitik beratkan pada sifat pencegahan/penangkalan/pengendalian (preventive) sebelum kejahatan terjadi. 39 Menentukan titik temu antara jalur penal sebagai tindakan penindasan/pemberantasan/penumpasan (repressive)dan non penal sebagai tindakan pencegahan/penangkalan/pengendalian (Preventive) memerlukan formulasi baru dalam sistim atau tujuan pemidanaan. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. 40 Mengingat penyebab penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif) memerlukan interaksi antara faktor yang terkait dengan individu, faktor lingkungan dan faktor tersediannya zat (NAPZA). Penanggulangan akibat penyalahgunaan narkotika dan pencegahan peredaran narkotika dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global upaya-upaya non penal 38 Marlina, Konsep Diversi Dan Restorative JusticeDalam Hukum Pidana, Op Cit, Hal Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op Cit, Hal Ibid

26 (pencegahan/pengendalian/penangkalan) menduduki posisi dan strategi dari keseluruhan upaya politik kriminal. Berdasarkan aliran utilitari bahwa pemidanaan yang di jalankan di Lembaga Pemasyarakatan dengan sistem pembinaan membuat hukum memberi prinsip kemanfaatan bagi narapidana. Teori Utilitaris bukan sekedar menjadi pembalasan atau pengimbalan bagi pelaku tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan tertentu menjadi bermanfaat oleh karena itu teori ini sering disebut juga dengan teori tujuan (Utilitarian Theory). Pendapat Jeremi Bentham hukum dapatlah diakui sebagai hukum, jika ia memberi sebanyak-banyaknya kemanfaatan yang sebesar-sebesarnya terhadap sebanyak-banyaknya orang. Prinsip itu di kemukakan oleh Bentham dalam karyanya Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789). 41 Tujuan perundang-undangan adalah untuk menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat untuk itu perundang-undangan harus mencapai empat tujuan : 42 to provide subsistence ( untuk memberi nafkah hidup ) to provide abudance ( untuk memberi makanan yang berlimpah) to provide security (untuk memberikan perlindungan) to attain equality ( untuk mencapai persamaan) Dalam sistem pemasyarakatan adanya suatu upaya dengan penginterasian narapidana, petugas pemasyarakatan dan masyarakat. Pemasyarakatan tidak hanya sekedar rehabilitasi dan sosialisasi tetapi mata rantai pemulihan sosial narapidana dengan masyarakat dalam pasca menjalani pidana setelah narapidana kembali 41 Ibid Hal Ibid hal

27 kemasyarakat. Pembinaan dengan sistem pemasyarakatan tidak ada pemisah antara mantan narapidana dengan masyarakat yang dapat menciptakan kepercayaan diri dan adanya tanggung jawab dari masyarakat. Terapi dan Rehabilitasi merupakan pengintegarisian dalam pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. Bertolak dari pandangan Saharjo tentang hukum sebagai pengayoman. Hal ini membuka jalan perlakuan terhadap narapidana dengan cara pemasyarakatan dengan tujuan pidana penjara. Konsep pemasyaraktan tersebut kemudian disempurnakan oleh Keputusan Konfrensi Dinas Para Pimpinan Kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964 yang memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilakukan dengan sistem pemasyarakatan, suatu pernyataan disamping sebagai arah tujuan, pidana penjara dapat juga menjadi cara membimbing dan membina. 43 Berdasarkan pemikiran tersebut maka sejak tahun 1964 sistem pembinaan bagi narapidana dan anak didik telah berubah secara mendasar yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem kemasyarakatan begitu pula institusi yang semula rumah penjara dan rumah pendidikan Negara berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G.8/506 tanggal 17 Juni Sistem pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksaananya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan. Lembaga Pemasyarakatan 43 Priyatno Dwija Op Cit hlm Ibid

28 sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi. Sejalan dengan peran Lembaga Pemasyarakatan tersebut maka tepatlah apabila Petugas Pemasyarakatan melaksanakan tugas pembinanaan dan pengamanan Warga Binaan Pemasyarakatan dalam Undang-Undang di tetapkan sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum. 45 Sistem pemasyarakatan memandang pemidanaan yang berdasarkan pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan dengan suatu aturan hukum yang diintegrasikan antara pemulihan narapidana dengan pembalasan atas perbuatannya yang bertujuan supaya ada pertobatan. Pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan dapat terlaksana secara konfrehensif terhadap narapidana. Sebab terapi medis dan rehabilitasi sosial terhadap narapidana narkotika memberi manfaat dalam pemulihan pecandu. Kemanfaatan hukum bagi narapidana sebagai sistem pemidanaan dalam pandangan utilitarian (utilitarian view) menyatakan bahwa pemidanaan itu harus dilihat dari segi manfaatnya. Menurut pandangan utilitarian tujuan hukum dari segi manfaat dan kegunaannya yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkan pidana itu. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP secara tegas mengatur tentang hak-hak yang dimiliki oleh narapidana. Pada Pasal 14 Undang- 45 Ibid 103

29 Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP menentukan bahwa Narapidana berhak : 1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaanya 2. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani 3. Mendapat pendidikan dan pengajaran 4. Mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak 5. Menyampaikan keluhan 6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang 7. Mendapat upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan 8. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya 9. Mendapatkan pengurangan masa pidana atau remisi 10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga 11. Mendapat pembebasan bersyarat 12. Mendapatkan cuti menjelang bebas 13. Mendapatkan hak-hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah..

30 Hakekat pemasyarakatan yang menjadi kelembagaan yang bersifat formal yang pada prinsipnya mengarahkan narapidana itu menjadi manusia yang lebih baik dan berguna. Pelaksanaan penghukuman terhadap para narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarkatan Narkotika dengan perlakuan manusiawi yang bersifat treatment dengan menggunakan terapi dan rehabilitasi untuk memulihkan narapidana narkotika dari ketergantungan walaupun pengguna Napza suatu hal yang susah untuk sembuh. Perlakuan pemasyarakatan bersifat manusiawi inilah yang menjadi prinsip dari sistem yang menghormati dan menghargai penuh nilai dan norma kehidupan masyarakat sehingga integritas sosial dari narapidana, masyarakat dan petugas dapat terlaksana dengan baik sebagai suatu rangkaian yang harus aktif untuk memulihkan narapidana narkotika dari ketergantugan napza sebagaimana tujuan pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika yang tercermin dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.02-PK Tahun 1990 Tanggal 10 April 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan. Sejarah penjara ke sistem pemasyarakatan pada tanggal 27 April 1964 oleh Saharjo. di Lembang Bandung bahwa pemsyarakatan selain tujuan pemidanaan juga bertugas untuk memulihkan narapidana kedalam kesatuan integritas masyarakat kemudian disusul dengan pidato Saharjo sebagai Menteri Kehakiman RI bahwa pidana penjara adalah berfungsi pengayoman dengan sistem pemasyarakatan. Sejarah ini kemudian melahirkan era baru dalam sistem pembinaan dan tata cara yang baru dalam perlakuan terhadap narapidana ditetapkan dalam suatu Undang-Undang Pemasyarakatan dengan ditetapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995.

31 Strategi pemasyarakatan sebagai suatu proses tidaklah berdiri sendiri, melainkan ia merupakan hasil akhir dari suatu rangkaian proses penegakan hukum yang panjang dimulai dari penyidikan, penangkapan, penahanan, peradilan dan penjatuhan putusan hakim, dari uraian tersebut dapatlah dikatakan bahwa pemasyarakatan merupakan sub sistem dari suatu Criminal Justice System 46 Menyangkut Integrited criminal justice system Lembaga Pemasyarakatan diharapkan dapat melahirkan manusia baru yang berguna bagi dirinya, keluarga dan masyarakat. Sejarah kemudian mencatat bahwa narapidana narkotika harus dipisah dari narapidana lain untuk lebih terkondisikan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan maka kemudian narapidana narkotika di laksanakan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika. Tugas pokok Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dituangkan ke dalam sistem pembinaan narapidana narkotika yang dikenal sebagai sistem pemasyarakatan, Untuk melaksanakan pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. Sedikitnya ada empat belas komponen untuk mencapai tujuan pembinaan yaitu : Falsafah, dasar hukum, tujuan, pendekatan sistem klasifikasi, pendekatan klasifikasi perlakuan terhadap narapidana, orientasi pembinaan, sifat pembinaan, remisi, bentuk bangunan, narapidana, keluarga 46. Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia, Bandung, Alumni, 1982, Hal 75

32 narapidana, dan Pembina/pemerintah. 47 Pembinaan sebagai terobosan yang menjadi alat/sarana di lembaga pemasyarakatan terhadap narapidana Kerangka Konsepsi Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, jika masalah dan konsep teoretisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui fakta mengenai pokok perhatian dan suatu konsep adalah defenisi dari suatu yang diamati, konsep menentukan antara variable-variabel yang ingin menentukan adanya gejala empiris. 49 Beranjak dari judul tesis ini yaitu Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Narapidana Narkotika Sebagai Bagian Sistem Pembinaan Di Dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kls IIA Pematangsiantar) maka dapatlah dijelaskan konsepsi atau pengertian kata demi kata dari judul tesis ini sebagai berikut : 1. Rehabilitasi adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. 50 Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk rehabilitasi medis bagi pecandu narkotika pengguna jarum suntik dapat 47 Harsono HS.C.I, Sistem Baru Pembinaan Narapidana,Op Cit hal Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M.02-PK Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan Bab II angka 7, Pembinaan dan Pola Pembinaan ini meliputi tahanan, pelayanan tahanan, pembinaan narapidana dan anak didik dan bimbingan klien. Pelayanan tahanan ialah segala kegiatan yang dilaksanakan dari mulai penerimaan sampai dengan pengeluaran tahanan. pembinaan narapidana dan anak didik ialah semua usaha yang ditujukan untuk memperbaiki dan meningkatkan akhlak (budi pekerti) para narapidana dan anak didik yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan /Rutan (intramural treatmen). Bimbingan klien ialah semua usaha yang ditujukan untuk memperbaiki dan meningkatkan akhlak (budi pekerti) para klien pemasyarakatan di luar tembok (extramural treatment). 49. Koentjorodiningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, ( Jakarta, Gramedia Pustaka, 1997) hlm Pasal 1 angka (17) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

33 diberikan serangkaian terapi untuk mencegah penularan antara lain penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik dengan pengawasan ketat Departemen Kesehatan Sistem adalah seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. 52 Sistem pembinaan narapidana dikenal dalam sistem pemasyarakatan Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan kedalam gololongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas Lembaga Pemasyarakatan Narkotika adalah Tempat untuk melaksanakan pemasyarakatan narapidana/anak didik pengguna narkotika dan obat terlarang lainnya. 56 Di Sumatera Utara baru ada satu Lembaga Pemasyarakatan Narkotika berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No.M.04.PR Tahun 2003 Tentang Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Pematangsiantar, Lubuk Linggau, Bandar Lampung, 51 Penjelasan Pasal 56 angka 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. 52 Surayin, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung :Yrama Widya,2001), Hal Romli Atmasasmita, Op Cit, hal Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 55 Pasal 1 angka (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan 56 Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor : E.KP A Tahun 2003 Tentang Tugas Pejabat Struktural dan Petugas Operasional Di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI

BAB I PENDAHULUAN. nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global (dunia). Pada era

BAB I PENDAHULUAN. nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global (dunia). Pada era BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia banyak melakukan pelanggaran, salah satunya adalah penyalahgunaan narkoba. Penyalahgunaan narkoba tidak hanya menjadi masalah lokal maupun nasional,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara,

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan narkoba merupakan kejahatan yang bersifat merusak, baik merusak mental maupun moral dari para pelakunya, terlebih korban yang menjadi sasaran peredaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tapi juga merupakan suatu usaha

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

BAB III. Pemasyarakatan Anak Blitar. 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga

BAB III. Pemasyarakatan Anak Blitar. 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga BAB III Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga Pemasayarakatan Anak Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia yang berdasarkan pada Undang-undang Dasar 1945. Fungsi hukum

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini

BAB I PENDAHULUAN. para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem Pemasyarakatan lahir di Bandung dalam konferensi jawatan kepenjaraan para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini dicetuskan oleh DR.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai hukum. Hal ini tercermin di dalam Pasal 1 ayat (3) dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil BAB II URAIAN TEORITIS Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili

BAB I PENDAHULUAN. peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan

Lebih terperinci

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan

Lebih terperinci

1 dari 8 26/09/ :15

1 dari 8 26/09/ :15 1 dari 8 26/09/2011 10:15 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tugas pokok melaksanakan pemasyarakatan narapidana/anak didik. makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. tugas pokok melaksanakan pemasyarakatan narapidana/anak didik. makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lembaga Pemasyarakatan merupakan salah satu unit pelaksana tekhnis dari jajaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mempunyai tugas pokok melaksanakan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK

PELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK 1 PELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK Penyalahgunaan narkoba sebagai kejahatan dimulai dari penempatan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran narkotika semakin mengkhawatirkan di Indonesia karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran narkotika semakin mengkhawatirkan di Indonesia karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peredaran narkotika semakin mengkhawatirkan di Indonesia karena peredarannya melingkupi disemua lapisan masyarakat baik miskin, kaya, tua, muda, dan bahkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya perlakuan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka. Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan secara efektif dan efisien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk anak-anak. Seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. untuk anak-anak. Seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus bangsa yang akan menjadi penopang bagi keberlangsungan bangsa tersebut. Untuk mewujudkan masa depan bangsa yang cerah, diperlukan pendidikan

Lebih terperinci

FUNGSI SISTEM PEMASYARAKATAN DALAM MEREHABILITASI DAN MEREINTEGRASI SOSIAL WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN Sri Wulandari

FUNGSI SISTEM PEMASYARAKATAN DALAM MEREHABILITASI DAN MEREINTEGRASI SOSIAL WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN Sri Wulandari FUNGSI SISTEM PEMASYARAKATAN DALAM MEREHABILITASI DAN MEREINTEGRASI SOSIAL WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN Sri Wulandari Sriwulan_@yahoo.co.id Abstraksi Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial dimana mereka tinggal.

BAB I PENDAHULUAN. sosial dimana mereka tinggal. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lembaga Pemasyarakatan adalah merupakan tempat dan sekaligus rumah bagi narapidana yang melakukan tindak kejahatan serta menjalani hukuman atau pidana yang dijatuhkan

Lebih terperinci

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta)

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta) SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Istilah narkoba muncul sekitar

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Istilah narkoba muncul sekitar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Program rehabilitasi narkotika merupakan serangkaian upaya yang terkoordinasi dan terpadu, terdiri atas upaya-upaya medik, bimbingan mental, psikososial, keagamaan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Norma atau kaidah hukum selalu ada dalam masyarakat yang berguna untuk mengatur masyarakat itu sendiri. Apabila mereka melanggar kaidah-kaidah hukum itu atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika sebagai bentuk tindakan yang melanggar hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana tertuang dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana tertuang dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Hal Itu berarti bahwa penegakan hukum menjadi yang utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan; 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia;

BAB I PENDAHULUAN. 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan; 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia; BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menegaskan bahwa sistem pembinaan narapidana yang dilakukan oleh Negara Indonesia mengacu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 1 Hal ini berarti setiap

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 1 Hal ini berarti setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pemerintahan suatu negara pasti diatur mengenai hukum dan pemberian sanksi atas pelanggaran hukum tersebut. Hukum merupakan keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik, aliran neo-klasik, dan aliran modern menandai babak baru dalam wacana hukum pidana. Pergeseran

Lebih terperinci

P, 2015 PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS IIA BANDUNG DALAM UPAYA MEREHABILITASI NARAPIDANA MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK

P, 2015 PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS IIA BANDUNG DALAM UPAYA MEREHABILITASI NARAPIDANA MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum, pernyataan ini terdapat jelas di dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Hasil amandemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari semakin memprihatinkan terlebih di Indonesia. Narkotika seakan sudah menjadi barang yang sangat mudah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita, sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan

Lebih terperinci

BAB III PENERAPAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. 3.1 Penempatan Rehabilitasi Melalui Proses Peradilan

BAB III PENERAPAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. 3.1 Penempatan Rehabilitasi Melalui Proses Peradilan BAB III PENERAPAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA 3.1 Penempatan Rehabilitasi Melalui Proses Peradilan Penyalahgunaan Narkotika merupakan suatu bentuk kejahatan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negeri tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan menejemen Pegawai. Negeri Sipil sebagai bagian dari Pegawai Negeri.

BAB I PENDAHULUAN. Negeri tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan menejemen Pegawai. Negeri Sipil sebagai bagian dari Pegawai Negeri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional, untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadapan modern, demokratis, makmur, adil dan bermoral tinggi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan makmur berasaskan Pancasila. Dalam usaha-usahanya Negara menjumpai banyak rintangan dan

Lebih terperinci

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta 1 UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. LATAR BELAKANG Kejahatan narkotika yang sejak lama menjadi musuh bangsa kini

Lebih terperinci

PERATURAN BERSAMA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG

PERATURAN BERSAMA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERATURAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang - Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tam

2017, No Mengingat : 1. Undang - Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tam BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.970, 2017 KEMENKUMHAM. Layanan Rehabilitasi Narkotika. Tahanan dan WBP. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.465, 2014 PERATURAN BERSAMA. Penanganan. Pencandu. Penyalahgunaan. Narkotika. Lembaga Rehabilitasi. PERATURAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA MENTERI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. untuk didapat, melainkan barang yang amat mudah didapat karena kebutuhan

I. PENDAHULUAN. untuk didapat, melainkan barang yang amat mudah didapat karena kebutuhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkoba di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Narkoba sendiri merupakan barang yang tidak lagi dikatakan barang haram yang susah untuk didapat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan adanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan yang terus meningkat. Hal ini merupakan ancaman yang serius bukan saja terhadap kelangsungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam suatu sistem pembinaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narapidana sebagai warga negara Indonesia yang hilang kemerdekaannya karena melakukan tindak pidana pembunuhan, maka pembinaannya haruslah dilakukan sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial, dan politik dalam dunia internasional, Indonesia telah ikut berpatisipasi

BAB I PENDAHULUAN. sosial, dan politik dalam dunia internasional, Indonesia telah ikut berpatisipasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ancaman bahaya narkoba telah melanda sebagian besar negara dan bangsa di dunia. Kecenderungan peredaran narkoba sebagai salah satu cara mudah memperoleh keuntungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hukum pidana dikenal adanya sanksi pidana berupa kurungan, penjara, pidana mati, pencabutan hak dan juga merampas harta benda milik pelaku tindak pidana.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak

I. PENDAHULUAN. Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak pada kehidupan sosial ekonomi individu, masyarakat, bahkan negara. Gagal dalam studi,gagal dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan yang wajar sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku dan normanorma

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan yang wajar sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku dan normanorma BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pembaharuan sistem secara lebih manusiawi dengan tidak melakukan perampasan hak-hak kemerdekaan warga binaan pemasyarakatan, melainkan hanya pembatasan kemerdekaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Undang- Undang dasar 1945 hasil

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan pembangunan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. dalam kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan pembangunan tersebut. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera,

Lebih terperinci

PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI. SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto

PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI. SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto ABSTRAK Pro dan kontra terkait pidana mati masih terus berlanjut hingga saat ini, khususnya di Indonesia yang baru melakukan eksekusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi, pelanggaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga BAB I PENDAHULUAN Permasalahan penyalahgunaan narkoba mempunyai dimensi yang luas dan kompleks, dari sudut medik psikiatrik, kesehatan jiwa, maupun psiko sosial (ekonomi politik, sosial budaya, kriminalitas

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini narapidana tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini narapidana tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini narapidana tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan menjadi subjek yang dihormati dan dihargai oleh sesamanya. Pada dasarnya yang harus diberantas ialah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan keadaan yang teratur, aman dan tertib, demikian juga hukum pidana yang dibuat oleh manusia yang

Lebih terperinci

PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA

PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA, SH., MH 1 Abstrak : Dengan melihat analisa data hasil penelitian, maka telah dapat ditarik kesimpulan

Lebih terperinci

menegakan tata tertib dalam masyarakat. Tujuan pemidanaan juga adalah untuk

menegakan tata tertib dalam masyarakat. Tujuan pemidanaan juga adalah untuk 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN Masyarakat terdiri dari kumpulan individu maupun kelompok yang mempunyai latar belakang serta kepentingan yang berbeda-beda, sehingga dalam melakukan proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hanya terbatas pada kuantitas dari bentuk kejahatan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. hanya terbatas pada kuantitas dari bentuk kejahatan tersebut. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejahatan dewasa ini menunjukan tingkat kerawanan yang cukup tinggi. Hal ini dapat diketahui melalui pemberitaan media cetak maupun elektronik serta sumber-sumber

Lebih terperinci

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBUK INOONESIA NOMOR M.2.PK.04-10 TAHUN 2007 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN ASIMILASI,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

Pengertian dan Sejarah Singkat Pemasyarakatan

Pengertian dan Sejarah Singkat Pemasyarakatan Pengertian dan Sejarah Singkat Pemasyarakatan Handar Subhandi Bakhtiar http://handarsubhandi.blogspot.co.id/2014/11/pengertian-dan-sejarah-singkat.html Konsep tentang pelaksanaan pidana penjara di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pidana penjara adalah suatu bentuk pidana yang berupa pembatasan gerak yang dilakukan dengan menutup pelaku tindak pidana dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul

PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul Untuk memahami apa yang penulis ingin sampaikan dalam tulisan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dengan Pendekatan Konsep Rehabilitasi, maka penulis perlu menjabarkan secara

Lebih terperinci

BAB II. Perlindungan Hukum Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Lembaga. Pemasyarakatan Anak

BAB II. Perlindungan Hukum Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Lembaga. Pemasyarakatan Anak BAB II Perlindungan Hukum Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Lembaga Pemasyarakatan Anak 2.1 Dasar Hukum Perlindungan Hak Anak Di Lembaga Pemasyarakatan. Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan bermasyarakat, tidak lepas dari kaidah hukum yang mengatur

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan bermasyarakat, tidak lepas dari kaidah hukum yang mengatur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan bermasyarakat, tidak lepas dari kaidah hukum yang mengatur masyarakat itu, kaidah hukum itu berlaku untuk seluruh masyarakat. Kehidupan manusia di dalam pergaulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Usaha Pemerintah dalam menegakan hukum dan memberantas korupsi

BAB I PENDAHULUAN. Usaha Pemerintah dalam menegakan hukum dan memberantas korupsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Indonesia merupakan Negara yang sedang berkembang. Sebagian dari perkembangan itu bermakna positif dan sebagian yang lain bermakna negatif. Usaha Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya, kesehatan merupakan hak setiap manusia. Hal tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.01.PK.04-10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.832, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Remisi. Asimilasi. Syarat. Pembebasan Bersyarat. Cuti. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak hanya menyangkut masalah substansinya saja, akan tetapi selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang

Lebih terperinci

oleh : Herwin Sulistyowati,SH.,MH

oleh : Herwin Sulistyowati,SH.,MH 1 TINJAUAN TENTANG KUALITAS PELAYANAN REHABILITASI PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN oleh : Herwin Sulistyowati,SH.,MH A. Latar Belakang Upaya mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menuliskan bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum. Salah satu prinsip penting negara

Lebih terperinci

BAB III LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK DI INDONESIA

BAB III LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK DI INDONESIA BAB III LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK DI INDONESIA A. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan 1. Masalah pertama

BAB I PENDAHULUAN. pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan 1. Masalah pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum. Indonesia memiliki banyak keanekaragaman budaya dan kemajemukan masyarakatnya. Melihat dari keberagaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan peninggalan yang tidak ternilai harga dari para pejuang terdahulu. Sebagai generasi penerus bangsa selayaknya jika kita mengisi

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. sebanyak orang dan WNA sebanyak 127 orang 1.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. sebanyak orang dan WNA sebanyak 127 orang 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindak Pidana Narkotika merupakan salah satu tindak pidana yang cukup banyak terjadi di Indonesia. Tersebarnya peredaran gelap Narkotika sudah sangat banyak memakan

Lebih terperinci

BAB IV. Pembinaan Narapidana, untuk merubah Sikap dan Mental. Narapidana agar tidak melakukan Tindak Pidana kembali setelah

BAB IV. Pembinaan Narapidana, untuk merubah Sikap dan Mental. Narapidana agar tidak melakukan Tindak Pidana kembali setelah BAB IV EFEKTIVITAS PEMBINAAN NARAPIDANA YANG DILAKUKAN OLEH LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I SUKAMISKIN DIKAITKAN DENGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN

Lebih terperinci

UU 12/1995, PEMASYARAKATAN. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:12 TAHUN 1995 (12/1995) Tanggal:30 Desember 1995 (JAKARTA) Tentang:PEMASYARAKATAN

UU 12/1995, PEMASYARAKATAN. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:12 TAHUN 1995 (12/1995) Tanggal:30 Desember 1995 (JAKARTA) Tentang:PEMASYARAKATAN UU 12/1995, PEMASYARAKATAN Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor:12 TAHUN 1995 (12/1995) Tanggal:30 Desember 1995 (JAKARTA) Tentang:PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat- zat adiktif lainnya (NAPZA)

BAB I PENDAHULUAN. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat- zat adiktif lainnya (NAPZA) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat- zat adiktif lainnya (NAPZA) yang selanjutnya di sebut narkoba merupakan masalah yang perkembangannya di Indonesia sudah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak

I. PENDAHULUAN. sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat- zat adiktif lainnya (NAPZA)

BAB I PENDAHULUAN. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat- zat adiktif lainnya (NAPZA) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat- zat adiktif lainnya (NAPZA) yang selanjutnya di sebut narkoba merupakan masalah yang perkembangannya di Indonesia sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa

BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi hanya sekedar penjeraan bagi narapidana,

BAB I PENDAHULUAN. mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi hanya sekedar penjeraan bagi narapidana, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem hukum negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi hanya sekedar penjeraan bagi narapidana, tetapi merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Narkotika Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan narapidana untuk dapat membina, merawat, dan memanusiakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan narapidana untuk dapat membina, merawat, dan memanusiakan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Lembaga Pemasyarakatan. 1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) adalah Lembaga Negara yang mempunyai kewenangan dan kewajiban bertanggungjawab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 1. adanya pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama.

BAB I PENDAHULUAN. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 1. adanya pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narkotika pada hakekatnya sangat bermanfaat untuk keperluan medis dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada umumnya mengatur secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena dilihat dari sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat negatif lainnya yang menyertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kepolisian

BAB I PENDAHULUAN. (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kepolisian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka hendaknya setiap aturan hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkembangan dan kemajuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesat dan semakin memudahkan kehidupan manusia, namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dewasa ini sedang berlangsung proses pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan terhadap hukum pidana formal, hukum pidana

Lebih terperinci