KATA PENGANTAR. Demikian maksud dari laporan ini dibuat, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih. Bandar Lampung, Desember 2007

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KATA PENGANTAR. Demikian maksud dari laporan ini dibuat, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih. Bandar Lampung, Desember 2007"

Transkripsi

1

2 KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat-nya sehingga terselesaikannya Laporan Akhir Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung dengan baik. Laporan ini merupakan lanjutan dan perbaikan dari Laporan Draf Laporan Akhir yang sudah dibuat sebelumnya. Laporan Akhir (Final Repport) pelaksanaan pekerjaan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung ini secara sistematis tersusun menjadi : Bab I Pendahuluan, Bab II Gambaran Umum Wilayah, Bab III Pendekatan dan Metodologi, Bab IV Pemetaan Terumbu Karang dan permasalahannya, Bab V Arahan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang Teluk Lampung. Kami berharap bahwa laporan akhir ini dapat memberikan gambaran yang sesungguhnya tentang kondisi ekosistem terumbu karang di Teluk Lampung, sehingga hasil kajian ini dapat dijadikan referensi dan bahan untuk pengambilan keputusan serta kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi fenomena Global Warming yang sudah terjadi. Untuk kemudian dapat diimplementasikan dalam bentuk kegiatan aksi untuk melakukan pelestarian, rehabilitasi, dan pengawasan terumbu karang di Teluk Lampung. Demikian maksud dari laporan ini dibuat, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih. Bandar Lampung, Desember 2007 PT. TARAM

3 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR GRAFIK i ii iv vi vii BAB I PENDAHULUAN I Latar Belakang I Maksud dan Tujuan I Sasaran I Keluaran Kegiatan I Lingkup dan Lokasi Kegiatan I-5 BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH II Provinsi Lampung II Profil Wilayah Pesisir Lampung II Teluk Lampung II Iklim II Sungai dan DAS II Geologi II Hidro Oseanografi Teluk Lampung II Batimetri Perairan Teluk Lampung II Pasang Surut II Arus Laut II Gelombang II Suhu dan Salinitas II Pencemaran Laut II Tsunami II Kondisi Biologi Teluk Lampung II Mangrove II Terumbu Karang II Padang Lamun II Algae II Echinodermata II Crustacea II Mollusca II Ikan II Sosial Kependudukan II Kota Bandar Lampung II Kabupaten Lampung Selatan II-28 BAB III PENDEKATAN DAN METODELOGI III-1

4 3.1 Metode Pendekatan Studi III Metode Pengumpulan Data III Metode Manta Tow III Metode Line Intercept Transect (LIT) III Citra satelit Landsat III Faktor-faktor Oseanografi III Sosial Ekonomi dan Budaya III Analisis Data III Analisis Data Terumbu Karang III Analisis Citra satelit III Analisis Sosial, Ekonomi dan Budaya III Analisis Arahan Pengelolaan dan Pemanfaatan Terumbu Karang III-21 BAB IV PEMETAAN TERUMBU KARANG DAN PERMASALAHANNYA IV Pemetaan Terumbu Karang Teluk Lampung IV Pulau Tangkil IV Pulau Tegal IV Pulau Maitem IV Pulau Kelagian IV Pulau Puhawang IV Pulau Siuncal IV Pulau Legundi IV Pulau Tiga IV Pulau Condong IV Pulau Pedada IV Pulau Lelangga IV Ketapang IV Pesisir Pantai Kalianda IV Pantai Tanjung Selaki-Pasir Putih IV Lokasi Batu Bara IV Kepulauan Sebuku IV Kepulauan Sebesi IV Pesisir Pantai Bandar Lampung IV Perubahan Ekosistem Terumbu Karang di Teluk Lampung IV Persepsi Masyarakat Terhadap Lingkungan Pesisir Teluk Lampung IV Permasalahan Terumbu Karang Teluk Lampung IV-64 BAB V ARAHAN RENCANA PENGELOLAAN TERUMBU KARANG TELUK LAMPUNG V-1

5 BAB I PENDAHULUAN 1-1 BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH 2-1 Tabel 2.1 Amplitudo Komponen Pasut Utama di Perairan Teluk Lampung 2-13 Tabel 2.2 Kisaran Tinggi Muka Laut di Panjang, Teluk Lampung 2-14 Tabel 2.3 Kecepatan dan Arah Arus Musim di Selat Sunda 2-15 Tabel 2.4 Kecepatan dan Arah Angin di Panjang dan Perkiraan Kuat Arus yang ditimbulkan 2-16 Tabel 2.5 Kecepatan Arus pasang Surut Maksimal di Selat Sunda 2-18 Tabel 2.6 Tinggi Gelombang di Sekitar Perairan Panjang 2-19 Tabel 2.7 Kondisi Gelombang di Sekitar perairan antara Pulau Maitem dan Pulau Kelagian 2-19 Tabel 2.8 Nilai Parameter Kualitas Air di Teluk Lampung 2-21 Tabel 2.9 Kondisi Kependudukan Kecamatan Pesisir di Kota Bandar Lampung 2-28 Tabel 2.10 Kondisi Kependudukan di Kecamatan Pesisir Kabupaten Lampung Selatan 2-29 Tabel 2.11 Jumlah Sekolah di Kecamtan Pesisir Kabupaten Lampung Selatan 2-30 Tabel 2.12 Jumlah Murid per Tingkat Sekolah di Kecamatan pesisir, Kab Lam-Sel 2-30 Tabel 2.13 Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Pesisir Kab. Lampung Selatan 2-30 BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI 3-1 Tabel 3.1 Kategori Bentuk Substrat Dasar 3-11 Tabel 3.2 Data Hasil Transek 3-12 Tabel 3.3 Kategori Sensor MSS (Multi Spectrum Scanner) 3-13 Tabel 3.4 Karakteristik Sensor TM (Thematic Mapper) 3-14 BAB IV PEMETAAN TERUMBU KARANG DAN PERMASALAHANNYA 4-1 Tabel 4.1 Persentase Tutupan dan Kondisi Karang dan Beberapa Lokasi Penyelaman di Teluk Lampung 4-2 Tabel 4.2 Persentase Masyarakat terhadap Lingkungan Pesisir Teluk Lampung 4-16 Tabel 4.3 Penyebab Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Teluk Lampung 4-65

6 BAB I PENDAHULUAN 1-1 Gambar 1.1 Foto Ilustrasi Pengeboman Ikan yang dilakukan oleh Nelayan 1-2 Gambar 1.2 Bintang Laut Berduri (Acanthaster planci) 1-3 Gambar 1.3 Komoditi Perikanan Tangkap dan Budidaya yang sangat tergantung dengan Kelestarian Ekosistem Terumbu Karang di Teluk Lampung 1-5 BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH 2-1 Gambar 2.1 Peta Wilayah Propinsi Lampung 2-2 Gambar 2.2 Peta Potensi Abrasi dan Sedimentasi di Perairan Teluk Lampung 2-4 Gambar 2.3 Budidaya Laut dengan Bagan Apung 2-5 Gambar 2.4 Peta Sebaran Habitat dan Daerah Rawan Pengeboman 2-6 Gambar 2.4 Gempa dan Tsunami Teluk lampung dan Pantai Selatan Jawa 2-23 BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI 3-1 Gambar 3.1 Gambar Diagram Alir Tahapan Kegiatan Pemetaan 3-3 Gambar 3.2 Tekanan yang diberikan Terhadap Ekosistim Terumbu Karang 3-4 Gambar 3.3 Teknik Survey Terumbu Krang dengan Metode Manta Tow 3-5 Gambar 3.4 Terumbu Karang yang Rusak dari Kegiatan Pengeboman 3-6 Gambar 3.5 Estimasi dari Persentase Tutupan Karang 3-7 Gambar 3.6 Manta Board, Papan Pengamatan yang digunakan sebagai Pencatat Data 3-8 Gambar 3.7 Cara Pencatatan data koloni Karang pada Metode Transek garis 3-10 Gambar 3.8 Teknik Line Interception Transect (LIT) 3-12 BAB IV PEMETAAN TERUMBU KARANG DAN PERMASALAHANNYA 4-1 Gambar 4.1 Penambangan Terumbu Karang untuk Bahan Bangunan 4-4 Gambar 4.2 Pulau Tangkil 4-9 Gambar 4.3 Teluk Tegal sering digunakan oleh Kapal-kapal Ikan untuk Beristirahat 4-10 Gambar 4.4 Kondisi Terumbu Karang yang masih baik di Teluk Tegal 4-11 Gambar 4.5 Bintang Laut Berduri (Acanthaster plancii)yang ada di Perairan Pulau Tegal 4-12 Gambar 4.6 Pulau Maitem dengan Perairan yang Dangkal Kerap didatangi Nelayan untuk menangkap ikan 4-13 Gambar 4.7 Beberapa Variant Biota Bintang Laut Berduri (Acanthaster plancii) 4-14 Gambar 4.8 Pulau Kelagian yang Berbukit Dilihat dari Arah Laut 4-15 Gambar 4.9 Karang Lunak Jenis Sinularia flexibilitas Banyak ditemukan di Kedalaman 7 Meter 4-16 Gambar 4.10 Bangunan Jaring Apung yang Banyak terdapat di Perairan Pulau Puhawang 4-18 Gambar 4.11 Lokasai Peristirahatan dan Beberapa Kondisi Karang di Pulau Puhawang Lunik 4-18 Gambar 4.12 Jangkar Perahu Berpotensi Merusak Keutuhan Karang 4-19 Gambar 4.13 Pulau Siuncal di Lihat dari Arah Selat Siuncal 4-20 Gambar 4.14 Pelabuhan Kapal di Pulau Legundi 4-23 Gambar 4.15 Tumpukan Karang untuk Bahan bangunan di Pulau Legundi 4-23 Gambar 4.16 Beberapa Bentuk Tumbuh Karang, Lobster dan Bintang Laut

7 Berduri 4-24 Gambar 4.17 Pecahan Karang Mati (rubble) akibat Pengeboman 4-25 Gambar 4.18 Kondisi Terumbu Karang di Pulau Seserot 4-25 Gambar 4.19 Beberapa Spesies Karang yang dibudidayakan untuk Ekspor di Pulau Unang-unang 4-26 Gambar 4.20 Pulau Tiga dilihat dari Arah Canti Kabupaten Lampung Selatan 4-27 Gambar 4.21 Pembangunan Tanggul Penahan Pantai yang Menggunakan Karang 4-29 Gambar 4.22 Pembangunan Fasilitas Peristirahatan dan Budidaya Laut dengan Jaring Tancap di Pulau Condong 4-30 Gambar 4.23 Kondisi Perairan Teluk Kucangreang yang terdiri Batuan Cadas, Karang Mati, Lunak serta Makro Algae 4-32 Gambar 4.24 Pos Penjagaan Kompleks Budidaya di Pulau Balak 4-33 Gambar 4.25 Sponge Jenis Callyspongia aerizusa di Perairan Pulau Lok 4-34 Gambar 4.26 Pulau Lunik 4-35 Gambar 4.27 Pualu Tanjung Putus dilihat dari Arah Laut 4-36 Gambar 4.28 Acropora cytherea, dan beberapa Spesies Karang Lunak di Perairan Pulau Lelangga Balak 4-38 Gambar 4.29 Pulau Lelangga Lunik di Lihat dari Laut dan Kondisi Terumbu Karang yang rusak di Perairan Pulau Lelangga Lunik 4-39 Gambar 4.30 Pintu Gerbang Kawasan Militer TNI AL Lili, Laut dan Hamparan Karang Jari Acropora irregularis 4-42 Gambar 4.31 Makro Algae Halymenia durvillae, Caulerpa racemosa dan Turbinaria decurrens di Canti 4-45 Gambar 4.32 Aktifitas Wisata di Pantai Pasir Putih, Sampah dan Kondisi Karang di Dasar Perairan 4-47 Gambar 4.33 Kondisi Terumbu Karang di Pulau Sebuku dan di Pulau Elang 4-51 Gambar 4.34 Kondisi Terumbu Karang di Pulau Sebesi pada Kedalaman 10 Meter 4-54 Gambar 4.35 Pulau Kubur dilihat dari PPI Lempasing, dan Sea Grass Jenis Enhallus di Dasar Perairan Bandar Lampung 4-57 BAB V ARAHAN RENCANA PENGELOLAAN TERUMBU KARANG TELUK LAMPUNG V-1

8 BAB I PENDAHULUAN 1-1 BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH 2-1 BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI 3-1 BAB IV PEMETAAN TERUMBU KARANG DAN PERMASALAHANNYA 4-1 Grafik 4.1 Persentase Tutupan Karang di Teluk Lampung 4-2 Grafik 4.2 Persentase Tutupan Karang di Pulau Tangkil 4-8 Grafik 4.3 Persentase Tutupan Karang di Teluk Pedada 4-37 Grafik 4.4 Persentase Tutupan Karang di Teluk Lelangga 4-37 Grafik 4.5 Persentase Tutupan Karang di Perairan Ketapang 4-41 Grafik 4.6 Persentase Tutupan Karang di Pantai Kalianda 4-43 Grafik 4.7 Persentase Tutupan Karang di Perairan Tanjung Selaki- Pasir Putih 4-48 Grafik 4.8 Rata-rata Persentase Tutupan Karang di Kepulauan Sebuku 4-52 Grafik 4.9 Rata-rata Penutupan Karang di Pulau Sebesi 4-55 Grafik 4.10 Tutupan Karang di Pesisir Pantai Bandar Lampung 4-57 Grafik 4.11 Tutupan Karang di Teluk Lampung tahun Grafik 4.12 Tutupan Karang Hidup di Teluk Lampung Tahun 1998 dan Tahun BAB V ARAHAN RENCANA PENGELOLAAN TERUMBU KARANG V-1

9 Bab I 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan kawasan wilayah yang kaya akan keragaman hayati dan mempunyai potensi sebagai pendukung pengembangan pembangunan kelautan dan perikanan berkelanjutan. Secara ekologis habitat alami pesisir menjadi pusat kehidupan dan tempat asuhan berbagai jenis biota laut lainnya, seperti ikan, udang, moluska, echinodermata dan berbagai jenis rumput laut. Banyak diantara biota tersebut memiliki nilai ekonomi penting dan dapat menjadi tulang punggung pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat di wilayah pesisir. Hal ini dapat tercapai dengan cara pengelolaan yang seimbang antara intensitas dan diversitas pemanfaatan yang didasarkan pada ketersediaan data ilmiah dan kemampuan daya dukung lingkungan serta kepedulian dari para pihak (stakeholders). Untuk mendukung revitalisasi di bidang kelautan dan perikanan dan pengembangan jenis komoditi sumberdaya kelautan maka salah satu kegiatan yang dilakukan adalah dengan pemetaan terumbu karang. Sumber daya kelautan dan perikanan perlu diseimbangkan agar kelestariannya dapat terpelihara dengan baik sehingga dapat menopang sumber-sumber ekonomi secara lestari, dengan memperbaiki lingkungan terumbu karang melalui teknologi transpalansi karang, dan upaya pengawasan ekosistem terumbu berbasis masyarakat. Wilayah perairan Teluk Lampung meliputi luas wilayah km 2 dengan panjang garis pantai 140 km, dan jumlah pulau-pulau kecil mencapai 51 buah. Kondisi terumbu karang di wilayah Teluk Lampung kini secara kasat mata sebagian besar sudah rusak. Oleh karena itu perlu dilakukan studi dan pemetaan kondisi terumbu Bab I - 1

10 karang di Teluk Lampung untuk mengetahui kondisi aktual. Dewasa ini sebagian besar vegetasi mangrove di Teluk Lampung telah dikonversi menjadi lahan tambak. Kondisi pesisir sepanjang Teluk Lampung sebagian besar bergelombang dengan bentangan yang sempit sampai pinggiran pantai yang terjal dan berbatasan langsung dengan perbukitan. Teluk Lampung selain memiliki potensi perikanan juga mempunyai potensi kelautan dan jasa-jasa kelautan seperti perhubungan, wisata, ekosistem terumbu karang, mangrove, padang lamun, budidaya mutiara dan sebagainya. Kondisi terumbu karang telah mengalami gangguan akibat dari penangkapan ikan yang menggunakan bahan peledak dan bahan kimia. Hal ini terlihat dari proporsi karang mati sekitar Rangai telah mencapai 30,4 % di kedalaman 10 meter. Namun demikian proporsi karang hidup masih di atas 50 % dan kondisi ini hampir sama untuk wilayah Ketapang-Padang Cermin, Kalianda-Way Muli dan Bakauheni (Bapeda Propinsi Lampung, 2003). Terumbu karang di Pesisir Teluk Lampung umumnya dari jenis karang tepi dengan bentangan berkisar 20 meter sampai 120 meter dari bibir pantai sampai kedalaman 17 sampai 20 meter. Ancaman terhadap terumbu karang tidak hanya dari aktivitas penangkapan oleh nelayan tetapi juga berupa pengambilan batu karang untuk bahan bangunan dan jalan seperti yang umum dijumpai disetiap pemukiman sepanjang pantai berkarang. Bab I - 2

11 Perubahan kondisi pesisir telah menimbulkan berbagai dampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap masyarakat, seperti menurunnya hasil tangkapan nelayan, terjadinya abrasi dan banjir. Berdasarkan kajian proyek pesisir (2004) diketahui beberapa isu penting dalam pengelolaan wilayah pesisir di Lampung Selatan yaitu : Belum adanya tata ruang wilayah pesisir secara rinci Banyaknya kawasan sempadan pantai yang dikonversi menjadi peruntukan lain dengan perencanaan yang kurang tepat Belum jelas batas-batas peruntukan ruang laut untuk kegiatan penangkapan, budidaya, alur perhubungan dan penempatan bagan. Kondisi terumbu karang umumnya rusak akibat penggunaan bahan peledak, pengambilan karang untuk bahan bangunan, dan penggunaan potassium sianida. Berkembangnya usaha penangkapan yang bersifat merusak sumberdaya akibat dari lemahnya pengawasan. Menurunnya kualitas ekosistem alami wilayah pesisir. Belum berkembangnya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, baik keterpaduan perencanaan antar sektor, keterpaduan wilayah, keterpaduan lingkungan dan sumberdaya. Bab I - 3

12 Terumbu karang merupakan habitat bagi beragam biota laut yang membantu keseimbangan ekosistem antar jenis melalui rantai pangan. Pengambilan secara berlebihan terhadap salah satu jenis tertentu akan melumpuhkan penurunan terhadap potensi sumberdayanya. Khususnya terumbu karang tepi dan penghalang, berperan penting sebagai pelindung pantai dari arus dan ombak sementara itu berbagai jenis ikan menggunakan terumbu karang sebagai tempat memijah, pembesaran/asuhan dan tempat menemukan atau mencari makanan. 1.2 Maksud dan Tujuan a Menyediakan data dan informasi mengenai kondisi terumbu karang di Teluk Lampung. b Memberikan arahan upaya pengelolaan dan pemanfaatan habitat terumbu karang. 1.3 Sasaran a. Tersedianya data dan informasi sumberdaya terumbu karang di Teluk Lampung. b. Mendukung kegiatan pengelolaan ekosistem terumbu karang sehingga terciptanya kawasan konservasi terumbu karang. 1.4 Keluaran Kegiatan Keluaran/Output yang diharapkan dari kegiatan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung ini meliputi : 1. Teridentifikasinya kondisi terumbu karang di Teluk Lampung. 2. Teridentifikasinya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kondisi terumbu karang di Teluk Lampung. 3. Tersedianya peta kondisi terumbu karang di Teluk Lampung. 4. Tersusunnya strategi pelestarian dan rehabilitasi terumbu karang di Teluk Lampung. Bab I - 4

13 1.5 Lingkup dan Lokasi Kegiatan a) Ruang Lingkup Penyusunan rencana kegiatan. Identifikasi lokasi dan inventarisasi potensi terumbu karang. Pemetaan ekosistem terumbu karang yang rusak akibat kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Analisis data dan informasi sekunder seperti terjadinya pencemaran laut, tsunami, hidrooceanografi, kedalaman, pola arus, pasang surut dan sebagainya. Pelaksanaan kegiatan pemetaan sumberdaya terumbu karang. Mensosialisasikan kepada masyarakat. Monitoring dan evaluasi. Pelaporan dan diskusi. b) Lokasi Kegiatan Wilayah kegiatan Pemetaan Terumbu Karang adalah di wilayah Teluk Lampung. Pemilihan lokasi studi tersebut dimaksudkan bahwa wilayah tersebut merupakan daerah dengan aktifitas ilegal fishing yang cukup tinggi diduga kerusakan terumbu karang mencapai lebih dari 70 % sehingga perlu dilestarikan agar sumberdaya terumbu karang dapat berkelanjutan pemanfaatannya. Bab I - 5

14 Bab II. GAMBARAN UMUM WILAYAH 2.1 Provinsi Lampung Provinsi Lampung lahir pada tanggal 18 Maret 1964 dengan ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 3/1964 yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 14 tahun Sebelum itu Provinsi Lampung merupakan Karesidenan yang tergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan. Kendatipun Provinsi Lampung sebelum tanggal 18 Maret 1964 tersebut secara administratif masih merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan, namun daerah ini jauh sebelum Indonesia merdeka memang telah menunjukan potensi yang sangat besar. Provinsi Lampung terletak di ujung Pulau Sumatera, yang menghubungkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa melalui Selat Sunda. Provinsi Lampung mempunyai luas daerah berkisar km 2 termasuk pulau-pulau yang terletak di bagian ujung Tenggara Pulau Sumatera. Secara geografis Provinsi Lampung terletak pada : Utara - Selatan Timur - Barat : ' LS ' LU : ' BT ' BT Dengan luas perairan laut Provinsi Lampung diperkirakan lebih kurang km 2 (Sumber: Atlas Sumberdaya Pesisir Lampung, 1999). Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 1

15 Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 2 Gambar 2.1 Peta Wilayah Propinsi Lampung, (besar) Peta Teluk Lampung (kecil).

16 Secara administratif, batas wilayah Provinsi Lampung adalah sebagai berikut : Sebelah Utara dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu, Sebelah Selatan dengan Selat Sunda, Sebelah Timur dengan Laut Jawa, dan Sebelah Barat dengan Samudera Hindia. Jumlah penduduk Provinsi Lampung Pada tahun 2002 mencapai jiwa. Dengan luas wilayah Ha berarti kepadatan penduduknya mencapai jiwa per km 2. Jumlah wilayah administrasi di Provinsi Lampung pada tahun 2002 tercatat jumlah kabupaten/kota sebanyak 10, terdiri dari 2 kota dan 8 kabupaten, yaitu : Kota Bandar Lampung, Kota Metro, Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Tulang Bawang, Kabupaten Way Kanan, Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Lampung Utara, Kabupaten Lampung Timur, Kabupaten Lampung Tengah, dan Kabupaten Lampung Barat. Namun pada tahun 2007 telah ditetapkan Kabupaten Pesawaran sebagai kabupaten baru hasil dari pemekaran Kabupaten Lampung Selatan. Perekonomian Lampung didominasi oleh 3 (tiga) sektor kegitan ekonomi, yakni sektor pertanian, sektor perdagangan/hotel/restoran dan sektor industri pengolahan mata pencaharian utama penduduk adalah sektor pertanian, perkebunan dan perikanan, serta industri kecil. Pemanfaatan lahan di Provinsi Lampung saat ini didominasi oleh penggunaan hutan sebesar Ha, untuk perkebunan tercatat seluas Ha, untuk tegalan dan ladang seluas Ha. 2.2 Profil Wilayah Pesisir Lampung Wilayah pesisir Lampung merupakan pertemuan antara dua fenomena, yaitu laut (Laut Jawa dan Samudra Hindia) dan darat (pegunungan Bukit Barisan Selatan dan dataran rendah alluvial di bagian timur propinsi ini). Wilayah pesisir ini bermula dari daratan pasang air tinggi sampai ke pinggiran paparan benua (continental shelf). Semua itu menunjukkan perbedaan dua habitat dengan perbedaan flora dan fauna. Fenomena alam tersebut memberikan pengembangan proses di wilayah pesisir yang sangat unik dan spesifik. Dengan demikian, secara ekologis wilayah pesisir ini tidak berdiri sendiri, melainkan terpengaruh oleh faktor eksternal. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 3

17 Wilayah pesisir Propinsi Lampung dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) bagian yaitu Pantai Barat (227 km), Pantai Timur (270 km), Teluk Semangka (200 km), dan Teluk Lampung (160 km). Keempat wilayah tersebut mempunyai karakteristik biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya yang berbeda. Keadaan alam daerah Lampung dapat dijelaskan sebagai berikut ; sebelah Barat dan Selatan, di sepanjang pantai, merupakan daerah yang berbukit-bukit sebagai lanjutan dari jalur pegunungan Bukit Barisan. Ditengah-tengah merupakan dataran rendah, sedangkan ke dekat pantai sebelah Timur, di sepanjang tepi Laut Jawa terus ke Utara, merupakan daerah rawa-rawa perairan yang luas. Gambar 2.2 Peta potansi abrasi dan sedimentasi di perairan Teluk Lampung. Panah merah yang mengarah ke garis pantai menunjukkan adanya potensi Abrasi di pantai tersebut. Sebaliknya panah merah yang menjauhi garis pantai mengindikasikan adanya potensi sedimentasi di pantai tersebut (Atlas Lampung, 1999). Terdapat perbedaan yang jelas antara wilayah pesisir Barat dengan wilayah pesisir Timur. Pantai Barat merupakan jalur wilayah pesisir yang sempit, berlereng hingga terjal (cliffs; rocky shores), sedangkan Pantai Timur merupakan hamparan peneplein atau dataran pantai yang landai dan luas, jauh ke pedalaman. Iklim di perairan pesisir, terutama Pantai Barat Lampung dipengaruhi oleh Samudera Hindia yang dicirikan oleh adanya angin munson dan curah hujan yang tinggi, sekitar mm/tahun. (Stasiun Kalianda, 1991). Angin berhembus dari arah Selatan selama bulan Mei sampai September, dan dari arah yang berlawanan selama bulan November sampai Maret. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 4

18 Gelombang besar di Pantai Timur dan Teluk Lampung terjadi pada bulan Juni- November. Tinggi gelombang berkisar antara 0,50-1,00 meter. Pertumbuhan penduduk mempunyai efek balik yang serius terhadap lingkungan pesisir karena migrasi dari daerah lain terutama di tempat-tempat yang padat populasinya seperti Bandar Lampung (4.500 jiwa/km 2 ). Propinsi Lampung merupakan pintu gerbang Pulau Sumatera, yang sarat dengan aliran penumpang dari Jawa ke Sumatera dengan menggunakan unit kapal Ferry Merak- Bakauheni, serta aliran barang sekitar peti kemas/tahun melalui kapal laut yang bongkar-muat di Pelabuhan Panjang. Kondisi tersebut menjadikan Lampung sebagai daerah spill over pembangunan di Pulau Jawa. Pada sisi lain, posisi strategis ini memberi peluang pada perkembangan Lampung sebagai propinsi yang sedang giat melaksanakan pembangunan. Wilayah pesisir Lampung dicirikan dengan produktifitas ekosistem yang tinggi, sehingga dapat mendukung kegiatan perekonomian Propinsi Lampung selama ini. Ditinjau dari segi ekonomi, sumberdaya alam dan jasa lingkungan pesisir Lampung cukup tahan terhadap pengaruh krisis total yang melanda negara ini. Gambar 2.3 Budidaya Laut dengan Bagan Apung merupakan salah satu cara budidaya yang populer di Teluk Lampung. 2.3 Teluk Lampung Perikanan serta jasa lingkungan, baik keindahannya maupun fungsi perlindungan Terumbu karang, di Teluk Lampung, merupakan aset sumberdaya alam pesisir yang mampu menopang kelestarian pantainya, merupakan kekuatan yang spesifik untuk menunjang perekonomian di propinsi ini. Hasil survei (CRMP, 1998) menunjukkan bahwa potensi terumbu karang sebagai obyek wisata dan habitat ikan masih cukup besar, dengan penutupan lebih dari 50% di kawasan Teluk Lampung. Walaupun demikian, di beberapa lokasi menunjukkan penutupan karang yang sangat rendah, Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 5

19 seperti di luar kawasan Teluk/gugus Krakatau yang kurang dari 10%. Potensi terumbu karang di Lampung terdiri dari jenis karang tepi (fringing reef) dengan luasan relatif m 2 sampai kedalaman maksimum 17 m. Sejumlah terumbu karang menyebar (patch reef) tumbuh dengan baik di sisi Barat Teluk Lampung. Terumbu karang di kawasan Selat Sunda (termasuk Teluk Lampung) memiliki sekitar 113 jenis, dengan rata-rata keanekaragaman per lokasi agak rendah (49 jenis). Sementara itu terdapat sekitar unit perikanan bagan yang menggantungkan penghasilan tangkapannya di sekitar terumbu karang (Renstra PWP Lampung, 2000). Gambar 2.4 Peta Sebaran Habitat dan Daerah Rawan Pengeboman (Atlas Lampung, 1999). Penangkapan ikan di laut merupakan kegiatan ekonomi yang penting untuk propinsi ini, karena kontribusinya dalam penyediaan protein hewani. Produksi perikanan laut yang didaratkan di Teluk Lampung sekitar ton/tahun, di Pantai Timur sekitar ton/tahun, dan di Pantai Barat sekitar ton/tahun (data 1997). Walaupun demikian, pengelolaan terhadap sumberdaya ikan di perairan Teluk Lampung sudah waktunya diupayakan, hal ini karena telah ada indikasi terjadinya over fishing (tangkap lebih). Indikasi ini terlihat di Pusat Pendaratan Ikan, yaitu dengan semakin kecilnya ukuran dan volume hasil tangkapan ikan nelayan di sekitar Teluk Lampung. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 6

20 Mangrove yang berkembang dengan baik akan memberikan fungsi dan keuntungan yang besar, baik untuk mendukung sumberdaya perikanan laut dan budidaya, maupun untuk melindungi pantai dari ancaman erosi. Tutupan mangrove di Lampung mengalami penurunan sangat drastis dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sebagai akibat konversi dan pembabatan hutan mangrove yang tidak terkendali. Saat ini, hanya sekitar ha mangrove yang tersisa dari ha mangrove yang pernah ada (tahun 1990-an). Habitat padang lamun dan rumput laut yang tersebar dibeberapa pantai dan pulau di kawasan Teluk Lampung menyediakan fungsi ekologis sebagai pelindung pantai dari gelombang dan berfungsi sebagai filter alami yang menjaga kualitas perairan supaya tetap jernih, dengan mengendapkan material tersuspensi dari pelumpuran (siltasi) di daratan. Selain itu, padang lamun merupakan daerah asuhan bagi ikan-ikan kecil dan anak-anak penyu (tukik) yang baru menetas. Ekploitasi rumput laut alami dan perusakan yang dilakukan terhadap ekosisten ini akan berpengaruh terhadap populasi larva ikan yang ada dan mengakibatkan menurunnya kecerahan air laut di pantai yang menghalangi filtrasi cahaya matahari bagi terumbu karang. Rumput laut jenis Euchema cottonii dibudidayakan di kawasan Teluk Lampung, yaitu di pantai Padang Cermin, sedang yang alami dipanen nelayan di pantai Kalianda, Teluk Lampung dan daerah Bengkunat, Pantai Barat. Potensi perairan khususnya Teluk Lampung yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya laut (mutiara dan ikan) seluas ha (Winanto, 1994). Dari potensi tersebut, seluas ha telah diberikan sebagai wilayah konsesi kepada tiga PMA yaitu PT. Hikari, PT. Kyokko Shinju, dan PT. Lampung Indah Mutiara. Produksi mutiara setiap tahunnya dari ketiga PMA tersebut diperkirakan butir mutiara. Budidaya ikan kerapu dan ikan karang lainnya belum diusahakan secara optimal, sehingga peluang pengembangannya masih terbuka. Pilot proyek budidaya Kerapu Bebek dan Kerapu Macan sedang dilakukan antara Dinas Perikanan, Bappeda, Balai Budidaya Laut dan swasta di Tanjung Putus. Namun dalam pengembangannya masih terdapat kendala teknologi yang cukup besar, sehingga perlu adanya survei potensipotensi lokasi budidaya dan juga teknologi budidaya yang tepat untuk pengembangan pilot proyek ini. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 7

21 Kecuali tipe vegetasi alami, maka pesisir Lampung memiliki berbagai ragam komoditas tumbuhan dari jenis tanaman budidaya, antara lain : (1) Perkebunan kelapa (Cocos nucifera), terutama di wilayah Padang Cermin, (2) Komunitas tanaman dalam areal kebun talun, dengan jenis utama Lada (Piper nigrum) dan Pisang (Musa sp.), dan (3) persawahan padi (Oryza sp.) Iklim Teluk Lampung, secara umum karena letaknya di bawah 5º Lintang Selatan masih beriklim tropis dengan tiupan angin yang berasal dari Samudera Indonesia. Tiupan angin dengan kecepatan rata-rata 5.83 km/jam dapat menjadi dua arah setiap tahunnya yaitu ; pada bulan Nopember s/d Maret angin bertiup dari arah Barat dan Barat Laut. Pada bulan April sampai dengan Oktober angin bertiup dari arah Timur hingga Tenggara. Temperatur udara di wilayah Teluk Lampung berkisar antara 26º-30º C pada daerah dengan ketinggian m dpl, sedangkan temperatur maksimal dapat mencapai 33º C. kelembaban udara pada wilayah Teluk Lampung Berkisar antara 80%-88% sedangkan curah hujan antara mm/tahun. Wilayah Teluk lampung juga dipengaruhi oleh pergantian pusat tekanan tinggi dan tekanan rendah di Asia dan Australia yang berlangsung pada bulan Januari dan Juli. Akibat pengaruh angin muson wilayah Lampung Selatan tidak mengalami musim peralihan (pancaroba) diantara musim kemarau dan musim penghujan. Musim hujan terjadi antara bulan Desember-Maret akan tetapi cenderung berfluktuasi. Puncak curah hujan tertinggi pada bulan Maret yaitu sebanyak 2559 mm. musim kemarau terjadi pada bulan April-Nopember dengan puncak hujan terendah terjadi pada bulan Nopember yang tidak turun hujan sama sekali. Rata-rata curah hujan berkisar antara (RTRW Kab. Lampung Selatan) Sungai dan DAS Wilayah teluk dibatasi oleh morfologi perbukitan, sehingga sungai-sungai yang bermuara di Teluk Lampung relatif adalah sungai yang pendek dengan daerah aliran sungai yang sempit. Beberapa sungai yang cukup besar yang bermuara di Teluk Lampung, diantaranya adalah Way Sulan, Way Galih, Way Belau, Way Ratai, Way Sabu, Way Pedada, dan Way Punduh. Pada umumnya sungai-sungai tersebut memiliki lembah yang sempit dan terjal, dengan aliran sungai bersifat musiman, fluktuasi debit Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 8

22 aliran tergantung musim, pada usim hujan aliran besar dan keruh sedangkan dimusim kemarau kecil dan jernih Geologi Mengacu pada Peta Geologi Wilayah Pesisir Teluk Lampung dan Teluk Semangka dalam Rencana Tata Ruang Pesisir Teluk Lampung dan Teluk Semangka tahun 2003, maka jenis litologi/batuan secara berurutan dari tua ke muda beserta kandungannya yang bernilai ekonomis, adalah sebagai berikut : 1. Batuan Intrusi (Tm) Tersusun oleh batuan beku intrusi dari granit dan dasit. Singkapan batuan intrusi ini dijumpai disekitar bukit Batu Suluh, Pulau Kelagian dan Pulau Puhawang. 2. Komplek Gunung Kasih (Pzg) Terdiri dari Sekis, Geneis, Kuarsit, dan lensa-lensa marmer. Di wilayah studi batuan-batuan penyusun Komplek Gunung Kasih ini dijumpai disekitar Panjang dan Gebang membentuk morfologi perbukitan/bergelombang. Formasi ini mengandung mineral logam yang bernilai ekonomis yaitu adanya Sulfida Cu-Pb-Zn dan endapan besi masif (hematit dan magnetit). Adanya lensa-lensa batu pualam/marmer juga sudah ditambang secara luas oleh masyarakat. 3. Formasi Menanga (Km) Terdiri dari perselingan antara serpih gampingan, batu lempung dan batu pasir dengan sisipan rijang dan batugamping. Batuan-batuan ini dijumpai disekitar Menanga (Padang Cermin). 4. Formasi Hulusimpang (Tmoh) Terdiri dari breksi gunung api, lava, tuf bersusunan andesitik-basal, terubah, berurat kuarsa dan bermineral sulfida. Formasi ini dijumpai pada morfologi perbukitan sekitar Kecamatan Punduh Pidada. 5. Formasi Tarahan (Tpot) Pelamparan Formasi ini di daerah studi cukup luas, disebelah timur terdapat di daerah sekitar Way Lunik, Bukit Kunyit, sedang dibagian barat, dijumpai di sekitar Sukamaju, Keteguhan terus ke Lempasing dan P.Pasaran. jenis batuannya terdiri dari Tufa padu, Breksi dengan sisipan tufit. Di tempat lain oleh proses hidrothermal dan breksiasi, formasi batuan ini memungkinkan untuk dijumpainya urat-urat yang Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 9

23 mengandung emas. Diwilayah studi kelompok batuan ini di tambang untuk material bahan bangunan, seperti jalan, material urugan, split dan lain-lain. 6. Endapan Gunung Api Muda (Qhv) Endapan gunung api muda ini tersusun oleh lava (andesit-basalt), breksi dan tufa, dijumpai di sekitar Kupang, Pahoman, Sumur Batu terus ke arah barat utara. Hasil lapukan batuan ini biasanya sebagai bahan untuk membuat bata dan genting. 7. Endapan Alluvial (Qa) Endapan alluvial ini menempati daerah datar sepanjang pantai, terdiri dari kerakal, kerikil, pasir, lempung dan gambut. Geologi wilayah Teluk Lampung didominasi oleh struktur sesar /patahan, baik sesar besar maupun sesar kecil dan secara umum berarah barat daya-tenggara. Sesar-sesar tersebut merupakan suatu sistem sesar yang hampir sejajar, mempunyai umur yang berbeda-beda dan kejadiannya berhubungan dengan penunjaman Lempeng India Australia, yang kebetulan berada di bawah Pulau Sumatera (Katili & Hehuward, 1976). Kenampakan sistem lembah yang lurus dan depresi-depresi memanjang yang sangat jelas pada citra SAR, menunjukkan adanya peremajaan yang terjadi selama kuarter terhadap struktur-struktur yang lebih tua. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa secara geologis daerah studi, berpotensi untuk terusakan melalui jalur-jalur struktur yang ada oleh adanya gaya-gaya dari dalam bumi, seperti gempa, dan kegiatan gunung berapi. Dipermukaan bumi kerusakan-kerusakan yang terjadi bisa menjadi bencana bila berkaitan dengan kehidupan manusia, terlihat seperti tanah longsor, subsidence/amblesan, kerusakan bangunan, jalan yang terpotong dan lain-lain. Mengenai intensitas kegempaan, menurut hasil penelitian Harjono (1988), daerah sekitar Teluk Semangka termasuk Teluk tetangganya yaitu Teluk Lampung selain Samudera Hindia, termasuk dalam wilayah dengan tingkat seismositas tinggi. Untuk pengaruh kegmpaan terhadap konstruksi bangunan, wilayah studi termasuk dalam kategori beresiko sedang dengan nilai g. Disamping itu, kenyataan pada tahun 1883, Kota Teluk Betung terendam gelombang tsunami setinggi ± 30 m akibat letusan Gunung Krakatau, meningkatnya kegiatan gunung api Anak Krakatau belakangan ini menunjukkan daerah Teluk Lampung perlu waspada terhadap bahaya gunung berapi dan tsunami. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 10

24 2.3.4 Hidro Oseanografi Teluk Lampung Batimetri Perairan Teluk Lampung Pengetahuan mengenai batimetri perairan sangat penting untuk kajian wilayah pesisir dan pengembangan wilayah. Kedalaman perairan akan sangat berpengaruh terhadap karakteristik gelombang. Energi gelombang yang terbangkitkan dengan fetch yang panjangnya dapat mencapai ribuan kilometer akan habis teredam pada daerah dekat pantai. Perubahan energi ini sangat dipengaruhi oleh gesekan dari dasar laut (bottom friction). Dasar perairan, terutama pada perairan dangkal, juga dapat memperlambat perambatan gerakan pasang, sehingga suatu tempat dapat memiliki lunitidal interval yang besar. Teluk Lampung merupakan perairan dangkal dengan kedalaman rata-rata 25 m. di mulut teluk kedalaman rata-rata berkisar pada 35 m dengan kedalaman maksimum 75 m di sekitar Selat Legundi yang terletak di sebelah barat laut mulut teluk. Menuju arah utara (Teluk Betung) kedalaman perairan semakin dangkal hingga isobath 5 m pada jarak yang relatif dekat dengan garis pantai. Secara umum, terdapat perbedaan kenampakan fisik yang sangat menonjol antara pantai barat dan pantai timur Teluk Lampung. Pada pantai barat, garis pantai relatif lebih berkelok-kelok dengan beberapa teluk kecil diantaranya adalah Teluk Ratai, Teluk Punduh, dan Teluk Pedada. Sepanjang pantai bagian barat lebih banyak dijumpai gugusan pulau-pulau kecil. Disamping itu pantai bagian barat relatif lebih landai dibandingkan dengan pantai timur Teluk Lampung. Di bagian barat dan kepala teluk garis isobath 10 m berada kurang dari 1 km dari garis pantai, sedangkan dibagian selatan pantai timur Teluk Lampung garis isobath tersebut berjarak 1 km dari garis pantai. Garis isobath 20 m berada pada jarak sekitar 500 m dari garis pantai Panjang dan menjauh hingga kira-kira 4 km di pantai Kalianda. Di Teluk Ratai garis isobath ini berada sekitar 3 km jauhnya dari kepala teluk sedangkan di Teluk Pedada pada jarak kira-kira 7 km. Di kawasan pantai Panjang kedalaman perairan antara garis pantai hingga 1-2 km ke arah laut hanya berkisar 1-2 m dan menurun dengan cepat hingga kedalaman 10 m pada jarak 2 km tersebut. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 11

25 Pasang Surut Pasang surut didefinisikan sebagai proses naik turunnya muka laut yang hampir teratur, dibangkitkan oleh gaya tarik bulan dan matahari. Karena posisi bulan dan matahari terhadap bumi selalu berubah secara hampir teratur, maka besarnya kisaran pasut juga berubah mengikuti perubahan posisi-posisi tersebut. Pengelompokan pasut berdasarkan komponennya dapat dibedakan atas: komponen pasut harian (diurnal), pasut tengah-harian (semi diurnal), dan perempat harian (quarternal). Komponen-komponen tersebut (terutama diurnal dan semi diurnal) menentukan tipe pasut disuatu perairan. Jika perairan mengalami satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari, maka tipe pasut dikawasan tersebut adalah pasut tunggal (diurnal); sedangkan jika dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut, maka tipe pasutnya adalah pasut ganda (semi diurnal). Diantara dua tipe tersebut terdapat tipe pasut peralihan antara tipe tunggal dan ganda yang dikenal dengan tipe pasut campuran. Secara kuantitatif tipe pasut suatu perairan dapat ditentukan oleh nisbah (perbandingan) antara amplitudo (tinggi gelombang) komponen diurnal (K 1 dan O 1 ) dengan amplitudo komponen semi diurnal (M 2 dan S 2 ), yang dinyatakan dalam bilangan Formzahl /F. F = K1 + O1 M2 + S2 Dimana: F K 1 O 1 M 2 S 2 = Bilangan Formzahl = Amplitudo komponen diurnal yang disebabkan gaya tarik bulan = Amplitudo komponen diurnal yang disebabkan gaya tarik bulan dan matahari = Amplitudo komponen semi diurnal yang disebabkan gaya tarik bulan = Amplitudo komponen semi diurnal yang disebabkan gaya tarik matahari Tipe pasut dapat ditentukan sebagai berikut : Tipe pasut ganda (semi diurnal), jika nilai F< 0.25 Tipe pasut campuran dengan tipe ganda yang dominan, F= Tipe pasut campuran dengan tipe tunggal yang dominan, F= Tipe pasut tunggal (diurnal) 3.00 Untuk mengetahui tipe pasut yang terjadi di perairan teluk lampung dapat digunakan data pasang surut dari dinas Hidro-Oseanografi TNI AL (2003). Pada Tabel 2.1 berikut Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 12

26 ini disajikan data unsur pasut utama di perairan teluk lampung, sehinga dapat diketahui tipe pasutnya berdasarkan nilai F. Tabel 2.1 Amplitudo komponen pasut utama di perairan Teluk Lampung (cm) No Stasiun pengukuran O 1 K 1 M 2 S 2 Nilai F 1 Panjang Bakauheni Tarahan Teluk ratai Pulau meitem Pulau kelagian Sumber: Dishidros TNI AL (2003) Dari nilai F antara diketahui bahwa tipe pasut di perairan Teluk Lampung adalah pasut campuran dengan tipe ganda yang dominan (mixed tide predominantly semi diurnal), Artinya terjadi dua kali pasang surut dalam sehari, namun kisaran pasang surut yang satu jauh lebih kecil dari pada pasang surut yang lain. Tipe pasut di Teluk Lampung ini tidak berbeda dengan tipe pasut di Selat Sunda, yang keduanya sangat dipengaruhi oleh kondisi pasut di Samudra Hindia. Dibawah ini grafik pola pasang surut di Selat Sunda berdasarkan data Dishidros TNI AL dalam Pariwono (1999). Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 13

27 Data unsur-unsur pasut di Panjang berdasarkan Dishidros TNI AL (2003) diketahui bahwa kisaran perubahan tinggi muka laut diperkirakan seperti yang tertera pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Kisaran tinggi muka laut di panjang, Teluk Lampung (cm). No Kisaran muka laut Spring Neap tide Ratarata tide 1 Tinggi muka laut pada air pasang rata rata (MHWL) 2 Tinggi muka laut pada air surut rata rata (MLWL) Kisaran pasang surut rata rata Tinggi muka laut rata rata (MSL) 80 Sumber: Dishidros TNI AL (2003). Keterangan: Data diolah kembali berdasarkan pembagian pasang purnama/ mati (spring tide) dan pasang perbani (neap tide) selama 12 bulan Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa kisaran muka laut rata-rata di Teluk Lampung mencapai sekitar cm. Kisaran pasut yang besar terjadi pada waktu pasut purnama ( cm). Pasut purnama adalah pasang yang tertinggi dan surut terendah yang dialami oleh suatu perairan yang terjadi pada waktu bulan purnama ataupun bulan mati. Pada saat pasang purnama tinggi muka laut di Teluk Lampung dapat mencapai 150 cm dengan rata- rata cm. Pasut perbani terjadi pada saat bulan separuh (bulan tegak lurus terhadap posisi matahari dan bumi), dimana kisaran pasutnya paling rendah (ratarata 60 cm) Arus Laut Arus merupakan perpindahan massa air dari suatu tempat ketempat lain yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti: gradien tekanan, hembusan angin, perbedaan densitas, atau pasang surut. Arus laut juga sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya, seperti sifat air laut, gravitasi bumi, keadaan dasar perairan, distribusi pantai dan gerakan rotasi bumi. Arus yang disebabkan oleh angin pada umumnya bersifat musiman, dimana pada suatu musim arus mengalir kesuatu arah dengan tetap, dan pada musim berukutnya akan berubah sesuai dengan perubahan arah angin yang terjadi. Pasang surut dapat menimbulkan arus yang bersifat harian sesuai dengan kondisi pasang surut di perairan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 14

28 tersebut. Pada saat pasang arus-arus pasang surut pada umumnya akan mengalir dari lautan lepas ke arah pantai, sedangkan saat surut akan kembali mengalir kearah semula. Dengan mengetahui pola sirkulasi arus di suatu perairan maka dengan mudah dapat ditentukan arah dan sebaran materi yang dibawa oleh badan air yang mengalir bersama arus tersebut. Informasi ini sangat diperlukan dalam kegiatan pengelolaan wilayah pesisir. A. Arus Musim Arus musim yang terjadi di sekitar mulut Teluk Lampung, sangat dipengaruhi oleh arus yang terjadi di Selat Sunda. Tabel 2.3 Kecepatan dan arah arus musim di Selat Sunda Bulan Kecepatan (cm/s) Arah (º) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Sumber : Dishidros TNI AL (2003) Keterangan : Data diolah kembali Menurut Wyrtki (1961) arus yang disebabkan oleh musim di Selat Sunda mengalir dengan tetap kearah baratdaya (225º) sepanjang tahun dengan kecepatan antara 0-75 cm/s. Kecepatan arus yang kuat (75 cm/s) terjadi pada bulan Juni dan Agustus, sedangkan yang paling lemah terjadi pada bulan Desember. Hal ini berbeda dengan Dishidros TNI AL (2003) yang menyatakan bahwa arus yang disebabkan oleh musim di Selat Sunda mengalir ke arah yang berlawanan tergantung musimnya. Pada musim Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 15

29 timur (April hingga September) arus musim mengalir menuju Lautan Hindia (arah 214º) dengan kecepatan 36 cm/s, sedangkan pada musim barat (Oktober hingga Maret) arus musim mengalir ke arah Laut Jawa (arah 34 ) dengan kecepatan 31 cm/s. Kecepatan dan arah arus musim setiap bulan disajikan pada Tabel 2.3. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa kecepatan maksimun arus musim Selat Sunda terjadi pada musim timur, dan arus tersebut mengalir dari Laut Jawa menuju Samudera Hindia. Di sekitar perairan Lampung data arus musin diperoleh dari PT. Pelindo II (2002) berdasarkan pendugaan terhadap kecepatan dan arah angin yang terukur (lihat tabel 2.4). Tabel 2.4 Kecepatan dan arah angin di Panjang dan perkiraan kuat arus yang ditimbulkannya Bulan Angin Arus Kec. (cm/s) Arah dari Kec. (cm/s) Arah ke Desember Februari B BL U T TG S Maret Mei BL TG Juni Agustus TG BL September November TG T BL B Sumber : PT. Pelindo II Keterangan : B=barat, BL=barat laut, U=utara, TG=Tenggara, T timur, S=selatan Berdasarkan tabel tersebut, diketahui pada bulan Juni Agustus terjadi arus permukaan yang paling kuat, yaitu cm/s dengan arah barat laut. Pada bulan-bulan lainnya arus permukaan yang ditimbulkan oleh angin hanya mencapai sekira 5 cm/s (maksimum). Pada tahun 1999 telah dilakukan survei arus di perairan Teluk Lampung oleh Puslitbang Oseanologi LIPI. Pengukuran arus dilakukan pada bulan Juli, September, November. Berdasarkan hasil survei tersebut diketahui bahwa kecepatan dan arah arus di perairan Teluk Lampung cukup bervariasi. Pada bulan Juli kecepatan arus antara cm/s dengan arah dominan ke tenggara. Bulan November kecepatan arus antara cm/s dengan arah dominan menuju barat daya. Arus pada bulan September tidak Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 16

30 diketahui kecepatannya namun arahnya menunjukkan perbedaan antara permukaan dan lapisan di bawahnya. Arus permukaannya menuju ke barat laut dan arus bagian tengah dan dasar menuju ke barat daya. Secara keseluruhan, kesepatan arus di Teluk Lampung bervariasi antara cm/s. Dalam arah vertikal, makin ke dalam, kecepatan arus makin berkurang atau makin lambat. Hal ini membuktikan bahwa faktor gesekan dasar (bottom friction) ikut berperan meredam pergerakan arus di perairan Teluk Lampung yang memang relatif dangkal. Dibandingkan arus di perairan terbuka, yang seringkali mempunyai kecepatan lebih besar dari 50 cm/c, maka arus perairan Teluk Lampung ini tergolong lemah. Namun demikian, nilai kecepatan arus demikian masih dalam kondisi normal untuk kecepatan arus di perairan teluk. B. Arus Pasang Surut Arus yang disebabkan oleh pasang surut terjadi setiap saat, karena kejadian pasang surut berlangsung terus menerus. Data arus pasang surut yang terjadi di Teluk Lampung tidak banyak diketahui, namun demikian dapat dilakukan pendugaan dari data arus pasang surut yang terjadi di sekitar Selat Sunda. Data arus pasang surut yang terjadi di Selat Sunda diperoleh dari Dishidros TNI AL (2003). Pada waktu air pasang arus mengalir ke arah Timur Laut (arah 34º) menuju Laut Jawa dengan kecepatan rata-rata cm/s; sedangkan pada waktu air surut arus mengakir kembali ke arah baratdaya (arah 214º) menuju Samudera Hindia dengan kecepatan rat-rata cm/s. Data arus pasang surut yang terjadi di Selat Sunda dapat dilihat pada Tabel 2.5. Tabel 2.5 Kecepatan arus pasang surut maksimum di Selat Sunda (cm/s). Bulan Pasang (arah 34 ) Surut (arah 214 ) Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 17

31 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata rata Sumber : Dishidros TNI AL (2003) Keterangan : Data diolah kembali Kecepatan arah arus pasang surut di perairan semi tertutup seperti di Teluk Lampung pada umumnya lebih lemah dibandingkan dengan arus pasut yang terjadi di Selat Sunda. Sebagai perbandingan, hasil survei Hidro Oseanografi yang dilakukan Dishidros TNI AL tahun 1987 di perairan Teluk Ratai dan sekitarnya diperoleh bahwa kekuatan arus pasut pada umumnya lemah, yaitu kurang dari 25 cm/s. kecepatan arus lebih dari 25 cm/s dapat tejadi disekitar selat antara Pulau Kelagian dan Pulau Maitem Gelombang Pada umumnya gelombang di suatu perairan diperoleh secara tidak langsung dari data angin yang terdapat dikawasan tersebut. Hal ini berdasarkan teori bahwa sebagian besar gelombang yang terjadi di laut dibentuk oleh energi yang ditimbulkan hembusan angin. Gelombang ini disebut sebagai gelombang angin yang merupakan fungsi dari tiga faktor, yaitu kecepatan angin, lamanya angin berhembus (duration), dan jarak dari tiupan angin pada perairan terbuka (fetch). Kondisi gelombang di perairan Panjang dan sekitarnya yang mencerminkan keadaan gelombang di daerah kepala Teluk Lampung diperoleh dari PT.Pelindo II. Dari informasi tersebut diketahui bahwa gelombang besar di sekitar perairan Panjang terjadi pada bulan Juni November. Tinggi gelombang tersebut berkisar antara cm dengan kisaran seperti yang tertera pada tabel 2.6. Tabel 2.6 Tinggi gelombang di sekitar Perairan Panjang ( No Bulan Tinggi Gelombang (cm) Arah rambatan/menuju ke Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 18

32 1 Desember Februari T TG S 2 Maret Mei TG 3 Juni Agustus BL 4 September November BL B Sumber : PT. Pelindo II (2002) Keterangan: ( Diasumsikan gelombang yang terjadi adalah gelombang angin, maka arah rambatannya dapat diperkirakan dari arah angin Tinggi gelombang di pantai bagian barat Teluk Lampung tidak menunjukkan hal yang berbeda dengan data gelombang di perairan Panjang (pantai bagian timur Teluk Lampung). Berdasarkan pengamatan Dishidros TNI AL pada Juni di sekitar perairan antara Pulau Maitem dan Pulau Kelagian diperoleh kisaran tinggi gelombang maksimum cm (tabel 2.7). Tabel 2.7 Kondisi gelombang di sekitar perairan antara Pulau Maitem dan Pualu Kelagian Bulan Arah Gelombang Tinggi maks Tinggi rat rata Periode Dominan Kisaran (cm) (cm) (detik) Januari T BD LT T Februari TG T TG S Maret TG TG S BD April BD BD U TL Mei BD BD B BL Juni STG T TG S Juli TG T TG S Agustus TG T TG S September STG T TG S Oktober STG TG S BD November SBD S BD B Desember BL B BL U Sumber : Dishidros TNI AL (1989) Keterangan : B=barat, BL=barat laut, U=utara, TG=Tenggara, T=timur, S=selatan, STG=selatan tenggara, SBD=selatan baratdaya Menurut Dishidros TNI AL (1988) gelombang di Teluk Ratai merupakan gelombang campuran antara gelombang yang disebabkan oleh angin dan alun yang datang dari Selat Sunda. Gelombang yang merambat masuk Teluk Ratai datang terutama dari arah Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 19

33 tenggara. Tinggi gelombang rata-rata berkisar antara cm dengan periode antara 4-11 detik Suhu dan Salinitas Berdasarkan penelitian Puslitbang Oseano;ogi LIPI pada bulan Juli-November diketahui bahwa variasi suhu di perairan Teluk Lampung berkisar antara ºC dan tercatat rata-rata terendah terjadi pada bulan Agustus. Pola suhu menggambarkan adanya pengaruh malam menurun sebesar 0.333ºC serta pengaruh siang dan daratan dengan peningkatan suhu sebesar C. Distribusi horizontal suhu di bagian permukaan perairan, baik pada musim timur (Juli- Agustus) maupun musim peralihan II (September-November), menunjukkan bahwa suhu pantai utara dan timur relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan sebelah selatan teluk. Hal ini disebabkan oleh dominannya kegiatan penduduk (pemukiman) dan aktivitas pelabuhan. Variasi salinitas berkisar antara psu dan tercatat rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Agustus. Pola salinitas menunjukkan adanya pengaruh daratan berupa nilai salinitas yang acak dan pengaruh masuknya massa air laut bersalinitas lebih tinggi dari lepas pantai Teluk Lampung. Distribusi horizontal salinitas di bagian permukaan, baik pada musim timur maupun musim peralihan, menunjukkan bahwa salinitas perairan pantai utara dan timur laut relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan sebelah selatan dan barat teluk. Penurunan salinitas tersebut disebabkan oleh adanya beberapa sungai di sebelah utara dan timur yang bermuara ke laut Pencemaran Laut Kualitas perairan di Teluk Lampung relatif masih dalam keadaan belum tercemar, namun daerah disekirar kepala teluk (Teluk Betung dan Panjang) menunjukkan kondisi perairan yang tercemar ringan. Di daerah sekitar mulut teluk (perairan Pulau Sebuku dan Selat Legundi) kualitas perairan masih dalam kondisi yang baik. Beberapa industri yang terdapat disepanjang pantai Teluk Betung hingga Tarahan berpotensi menimbulkan pencemaran. Industri yang dimaksud antara lain: semen, batubara, kayu, minyak, molase, kegiatan reklamasi patai serta kegiatan bongkar muat kapal di Pelabuhan Panjang. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 20

34 Berdasarkan hasil penelitian CRMP (1999) diketahui bahwa parameter suhu, salinitas, ph, kecerahan, kekeruhan, kandungan minyak, Cu dan coliform di Teluk Lampung masih tergolong memenuhi syarat standar baku mutu untuk pariwisata dan rekreasi ataupun budidaya perikanan dan biota laut. Sebaliknya COD dan kandungan Cd sudah berada di luar batas yang diperbolehkan untuk kegiatan yang sama; sedangkan BOD, DO, Cr, Pb dan padatan tersuspensi masih memenuhi syarat untuk tujuan rekreasi maupun budidaya di beberapa tempat, tetapi sudah berada di luar batas yang diperbolehkan (lihat Tabel 2.8). Oleh karena itu dibuat suatu formula yang dapat mencerminkan kualitas perairan berdasarkan kandungan beberapa parameter kunci. Parameter kunci tersebut adalah pestisida, logam berat, minyak, coliform, TSS, dan bahan organik (BOD dan COD). Dengan melakukan pembobotan dan skoring serta pejumlahan nilai, akan didapatkan nilai akhir yang mengklasifikasi kualitas perairan. Berdasarkan formula tersebut, dapat disimpulkan bahwa peraran Teluk Lampung bagian dalam diklasifikasi memiliki kualitas perairan yang cukup baik, dengan taraf tercemar ringan. Di beberapa lokasi, seperti beberapa industri, TPI, dan pemukiman telah terjadi pencemaran. Tabel 2.8 Nilai parameter kualitas air di Teluk Lampung No Parameter kualitas air Satuan Kisaran Baku mutu Suhu Salinitas ph Pembacaan Seichi disk Kekeruhan Oksigen terlarut BOD5 COD Minyak Coliform TSS Logam berat: C psu - m NTU mg/l mg/l mg/l mg/l sel/100ml mg/l Alami Alami (10%) >3 <3 >4 <40 <40 <1000 <23 Hg Cr Pb Cu Cd Sumber: Atlas Lampung (1999). mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l < <0.01 <0.01 <0.06 < Tsunami Tsunami berasal dari bahasa Jepang yaitu tsu= pelabuhan dan nami = gelombang. Jadi tsunami berarti pasang laut terbesar di pelabuhan. Secara singkat tsunami dapat Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 21

35 dideskripsikan sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh suatu gangguan implusif yang terjadi pada medium laut, seperti gempa bumi, erupsi vulkanik atau longsoran (land-slide). Gangguan impulsive pembangkit tsunami biasanya berasal dari tiga sumber: 1. Gempa dasar laut 2. Letusan gunung api didasat laut 3. Longsoran yang terjadi di dasar laut Di Indonesia terdapat beberapa kelompok pantai yang rawan tsunami yaitu, kelompok Pantai Barat Sumatera, Pantai Selatan Pulau Jawa, Pantai Utara dan Selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai Utara Irian Jaya dan hampir seluruh pantai di Sulawesi. Teluk dan bagian yang melekuk dari pantai sangat rawan akan bencana ini. Propinsi Lampung mempunyai potensi tsunami berasal dari gempa dasar laut dan Letusan Gunung Krakatau. Pesisir Barat Lampung mempunyai resiko tinggi gempa bumi karena dipengaruhi oleh patahan semangka yang memanjang dari Teluk Semangka sampai utara Pulau Sumatera. Sumber gempa di laut selama ini sering berasal dari patahan semangka. Sumber ancaman tsunami lainnya adalah berasal dari kemungkinan letusan Krakatau. Kawasan Kepulauan Gunung Krakatau merupakan kepulauan yang terdiri dari Pulau Sertung, Pulau Anak Krakatau, Pulau Krakatau Kecil dan Pulau Krakatau, terletak di Selat Sunda. Secara administrasi kawasan ini dari wilayah Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan. Menurut Nontji (1993) bahwa korban jiwa tsunami yang ditimbulkan oleh letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda, 27 Agustus 1883, yang merenggut lebih jiwa. Letusan ini merupakan letusan gunung api yang terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah, bunyinya terdengar sampai ke Pulau Rodriguez km sebelah timur Madagaskar, atau km dari Krakatau. Dua pertiga bagian pulau seluas 5 x 8 km 2 yang diterbangkan pada puncak letusan. Tsunami yang ditimbulkan luar biasanya besarnya dan malapetaka yang diakibatkan tak terkira hebatnya terutama di pantai Sumatra dan Jawa yang berbatasan dengan Selat Sunda. Di Kota Teluk Betung tsunami menerjang dengan gelombang setinggi 20 m dan di Merak sampai setinggi hampir 40 meter. Sebuah bongkahan karang batu seberat 600 ton tercabut dari dalam laut untuk Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 22

36 kemudian dihempaskan ke darat. Peristiwa yang sangat dramatis menimpa sebuah kapal uap Berouw. Kapal yang sedang berlabuh di depan Teluk Betung itu dilempar 3,3 km dari tempat semula dan tersungkur di lembah Sungai Kuripan pada ketinggian 9 m di atas permukaan laut. Boi (pelampung) tempat Berouw tetambat, terdampar di darat pada ketinggian 20 m dan kini dijadikan monumen Krakatau. Gelombang tsunami Krakatau merambat ke seluruh dunia. Di Samudera Hindia gelombangnya merambat dengan kecepatan sekitar 600 km/jam. Gelombang dapat terekam sampai ke English Channel dan Panama yang masing-masing berjarak km dan km dari Krakatau. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 23

37 Gambar 2.5: Gempa dan Tsunami di Teluk Lampung dan Pantai Selatan Jawa Kondisi Biologi Teluk Lampung Teluk Lampung memiliki luas wilayah pesisir dengan luas ha atau sebesar 11.7% dari luas wilayah pesisir yang dimiliki Propinsi Lampung. Letak teluk ini menghadap Selat Sunda dan sebagian Samudera Hindia. Bagian teluk sebelah timur relatif lurus sedangkan pantai barat berlekuk-lekuk membentuk teluk yang cukup dalam dengan pulau-pulau kecil berada di mulut teluk. Adanya teluk dengan pulau yang berada di Teluk Lampung juga letaknya antara Selat Sunda serta merupakan perbatasan antara Laut Hindi dan Laut Pasifik Barat memberikan komposisi flora dan fauna dan keanekaragaman yang tinggi Mangrove Penyebaran hutan mangrove di wilayah pesisir Teluk Lampung terdapat pada kawasan pulau-pulau kecil dan disepanjang pantai yang umumnya digunakan untuk pemukiman dan pertambakan. Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi (2000) dan CRMP (1989) menunjukkan bahwa mangrove yang terdapat di pesisir Teluk Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 24

38 Lampung tersebar mulai dari wilayah pantai sampai pulau kecil dengan jumlah dan keragaman yang tinggi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi (2000) menyebutkan bahwa terdapat 27 jenis mangrove dan termasuk dalam 17 marga yang terdapat di pulau kecil dan sepanjang pantainya. Secara umum mangrove yang dijumpai pada pulau-pulau kecil adalah jenis Rhizopora spp. dengan ketebalan 100 m. Pada kawasan pantai yang merupakan daerah pemukiman, tempat wisata dan pertambakan, hutan mangrove yang dijumpai tinggal memiliki ketebalan <50 m, karena sudah dikonversikan sehingga diperlukan penanaman kembali. Hasil penelitian CRMP (1998) juga mengungkapkan bahwa pada kawasan mangrove yang terdapat di Teluk Lampung khususnya sepanjang pantai memiliki luas sekitar 700 ha. Hasil ini berbeda dengan penelitian Zieren (1998) pada tahun 1970-an potensi mangrove kawasan ini sangat besar sekitar 1000 ha. Penurunan kawasan magrove dapat diindikasikan turunnya luas kawasan mangrove disebabkan konversi kawasan mangrove menjadi pemukiman, tempat wisata dan pertambakan. Pemanfaatan mangrove pada tahun 1970-an hanya digunakan untuk penyangga dan pagar rumah serta kayu bakar secukupnya, pada tahun 1990-an berubah menjadi eksploitasi besar-besaran menjadi lahan tambak dan tempat wisata sedangkan mangrove yang ditebang digunakan sebagai kayu bakar, dibiarkan membusuk dan sebagai pagar pembatas tanah pertambakan Terumbu Karang Kerusakan terumbu karang pada wilayah Teluk Lampung saat ini belum banyak dikaji secara mendalam, tetapi akibat pengambilan terumbu karang unutk bangunan, perusakan karang akibat jangkar kapal, pengeboman ikan karang, akibat budidaya kerapu pada daerah pantai dan pencarian cacing laut (Nereis sp) pada daerah pasang surut disinyalir menambah kerusakan terumbu karang Padang Lamun Padang lamun yang terdapat di kawasan Teluk Lampung menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi (2000) pada Pulau tangkil, Pulau Puhawang, Pulau Tegal Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 25

39 dan Pulau Legundi menunjukkan spesies yang beragam dan persentase penutupan lamun yang bervariasi karena letak, tipe dan substrat perairannya Algae Algae yang terdapat di Teluk Lampung menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi (2000) pada Pulau Tangkil, Pulau Puhawang dan Pulau Legundi menunjukkan jumlah dan jenis spesies yang bervariasi karena letak, tipe, dan substrat perairannya. Secara umum algae yang terdapat di Teluk Lampung mengalami penurunan jenin karena perusakan karang oleh manusia sehingga substrat untuk hidup algae juga rusak, bertambahnya aktifitas penduduk dan pencemaran perairan yang mengotori paparan terumbu Echinodermata Echinodermata yang terdapat di kawasan Teluk Lampung menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan oseanografi (2000) pada Pulau Tangkil, Pulau Puhawang dan Pulau Legundi menunjukkan jumlah dan spesien yang sangat jarang dan hanya dari beberapa jenis. Secara umum echinodermata yang terdapat di Teluk Lampung mengalami penurunan jenis karena perusakan karang oleh manusia sehingga substrat untuk hidup echidodermata juga rusak, bertambahnya aktifitas penduduk seperti pencarian tripang (suala) dengan cara menyelam tanpa memilih ukuran serta karena pencemaran perairan yang mengotori paparan terumbu Crustacea Jenis crustacea (udang-udangan) yang terdapat di Teluk Lampung menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan oseanografi (2000) pada Pulau Tangkil, Pulau Puhawang dan Pulau Legundi menunjukkan jumlah dan jenis yang jarang dan hanya beberapa jenis. Jenis yang paling banyak ditemui pada keempat pulau tersebut adalah Pilodius areolatus dan Actaeodes consobrinus yang merupakan jenis crustacea kecil yang hidup di bawah batu karang hidup atau karang mati. Pilodius areolatus dan Actaeodes consobrinus termasuk dalam famili Xanthidae yang banyak ditemukan di daerah koral atau pecahan batu karang yang dangkal, daerah pasang surut baik daerah tropis dan sub tropis. Kedua jenis ini merupakan makanan bagi larva ikan Molusca Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 26

40 Jenis mollusca yang terdapat di Teluk Lampung menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi (2000) pada Pulau Tangkil, Pulau Puhawang dan Pulau Legundi bejumlah 66 jenis yang mewakili 30 famili. Mollusca yang terkumpul terdiri dari 2 klas yaitu Gastropoda dari 18 famili dan Bivalva dari 12 famili yang menunjukkan keragaman jenis spesies yang cukup banyak dan menandakan tidak adanya kompetisi pada habitat tertentu. Jenis mollusca klas Gastropoda yaitu Morula margaliticola, Collumbela scripta, Cerithium zonatum dan Engina zonalis sedangkan klas Bivalva adalah Atactodea striata dan Modiolus micropetrus Ikan Jenis ikan yang terdapat di Teluk Lampung menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan oseanografi (2000) dibagi menjadi ikan karang dan ikan dasar yang ditangkap menggunakan trawl. Hasil penelitian pada ikan karang tersebut menunjukkan bahwa dari hasil penelitian di lima lokasi pengamatan didapatkan 7072 individu dari 31 suku dan 162 jenis ikan, 40 jenis diantaranya merupakan ikan target (pangan). Kategori major fish yang terdiri dari 22 suku dengan 160 jenis. Untuk ikan target terdiri dari 9 suku dan 10 jenis, sedangkan ikan indikator terdiri dari 1 suku dengan 16 jenis kelimpahan ikan tertinggi terdapat di Pulau Puhawang sisi barat dengan nilai 1556 individu. Berdasarkan kategori ikan, kelimpahan ikan major tertinggi didapatkan di Pulau Puhawang sisi barat, sedangkan kelimpahan ikan target tertinggi dijumpai di Pulau Tegal sisi barat, dan kelimpahan ikan indikator tertinggi sebanyak 31 individu ditemukan pada Pulau Puhawang sisi timur dan jumlah jenis ikan major tertinggi dijumpai di Pulau Legundi sisi timur sedangkan untuk ikan target dan indikator jumlah jenis tertinggi dijumpai di Pulau Sebuku pada sisi barat. Kelimpahan relatif untuk setiap jenis ikan selama pengamatan di Teluk Lampung dapat dilihat dari keanekaragaman jenis berkisar antara Keanekaragaman terendah didapatkan di Pulau Puhawang sebelah barat dan tertinggi di Pulau Legundi sebelah timur. Ikan dasar yang ditangkap dengan jaring trawl menurut hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi (2000) tidak semuanya tergolong ikan demersal (ikan dasar). Beberapa suku seperti Dlupeidae, Engraulidae, Scrombidae, Sphyraenidae tertangkap juga dengan alat ini dan keempat suku ini digolongkan pada ikan pelagis. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 27

41 Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan oseanografi (2000) menunjukkan bahwa ikan karang dan ikan dasar yang terdapat pada lima pulau di Teluk Lampung menunjukkan pada kondisi yang secara kurang baik. Kondisi ini disebabkan banyaknya penangkapan ikan menggunakan cara-cara yang merusak karang sebagai habitat ikan tersebut. Jenis ikan karang dan ikan dasar ekonomis penting masih dapat ditemukan, tetapi pada keragaman yang mendekati jarang. Kerusakan karang juga akan mengakibatkan rendahnya ruang hidup bagi ikan karang Sosial Kependudukan Propinsi Lampung merupakan suatu daerah yang sangat strategis baik secara geografis maupun dari segi pengembangan wilayahnya. Prasarana perhubungan yang cepat, murah dan aman serta lahan pertanian yang luas dan subur, merupakan daya tarik utama mengalirnya arus migrasi dan transmigrasi ke wilayah ini. Penduduk asli Lampung diperkirakan hanya sekitar 16 % atau sekitar jiwa, sedangkan sisanya merupakan suku-suku pendatang yang terdiri dari suku Jawa (30%), Banten/Sunda (20%), Semendo (12%), Minang (10%) dan etnis lainnya. Ragam dan heterogenitas penduduk yang tinggi tersebut, dimana semua suku bangsa/etnis yang ada di Lampung hampir berimbang jumlahnya, menjadi salah satu faktor penyebab tidak adanya bahasa daerah yang dominan di Propinsi Lampung dan sebagian besar berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Penduduk asli Lampung mempunyai kehidupan seni budaya dan adat istiadat tersendiri yang diturunkan dari nenek moyang mereka dan masih dijalankan sampai sekarang, sejauh tidak bertentangan dengan syariah agama yang dianutnya. Penduduk asli Lampung dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu Peminggir dan Pepadun (Sebatin). Lampung Peminggir adalah suku Lampung Asli yang berdiam di sepanjang wilayah pesisir (Kalianda, Krui, Maringgai dan lain-lain), sedangkan Lampung Pepadun adalah suku-suku yang tinggal di pedalaman (Abung Siwo Mego, Pubian Telu Suku, Menggala, Mego Pak Tulang Bawang dan lain-lain) Adat budaya Lampung yang cenderung lebih dekat ke daratan menyebabkan pemanfaataan wilayah pesisir oleh masyarakat Lampung Asli pesisir kurang mendapat perhatian. Masyarakat asli cenderung lebih memilih untuk mengolah lahan pertanian dan perladangan daripada menangkap ikan di laut. Karakteristik masyarakat seperti Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 28

42 inilah yang membuat wilayah pesisir lebih didominasi oleh masyarakat pendatang yang tinggal dan menetap untuk berbagai alasan. Penduduk Pendatang, masuk ke Propinsi Lampung ini umumnya dengan berbagai alasan antara lain karena kebijakan pemerintah dalam upaya pemerataan pembangunan dengan transmigrasi (Jawa, Bali), atau didorong oleh jiwa merantau mereka yang kuat sehingga datang ke Lampung (asal Sulawesi), dan yang pindah karena dipaksa oleh situasi politik di tempat asal. Sedangkan untuk pendatang-pendatang baru datang ke Lampung banyak yang disebabkan oleh proyek-proyek swasta di bidang pengolahan lahan produksi. Kedatangan penduduk pendatang ini mengubah keseimbangan sukusuku yang tinggal di Lampung Kota Bandar Lampung A. Kependudukan Jumlah penduduk Kota Bandar Lampung pada tahun 2000 adalah jiwa, terdiri dari jiwa penduduk laki-laki dan jiwa penduduk perempuan, (Kota bandar Lampung dalam Angka, 2001), dengan kepadatan 3.868,48 jiwa/km 2. Kondisi kependudukan di kelurahan-kelurahan pesisir Kota Bandar Lampung, menunjukkan kelurahan dengan jumlah penduduk paling padat adalah Kelurahan Kangkung ( jiwa/km 2 ), Kecamatan Teluk Betung Selatan diikuti oleh Kelurahan Kota Karang ( jiwa/km 2 ), Kecamatan Teluk Betung Barat, sedang kelurahan yang paling rendah kepadatannya adalah Kelurahan Sukamaju (634 jiwa/km 2 ), Kecamatan Teluk Betung Barat. Tabel 2.9 Kondisi Kependudukan Kecamatan Pesisir di Kota Bandar Lampung No Kecamatan di Pesisir Luas (km2) Penduduk Kepadatan (jiwa/km2) 1 Teluk Betung Barat 20, ,42 2 Teluk Betung Selatan 10, ,30 3 Panjang 21, ,36 Sumber : Kota Bandar Lampung dalam Angka, 2006 dan BPS Kabupaten Lampung Selatan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 29

43 A. Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2001 adalah jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak jiwa dan perempuan jiwa (Lampung Selatan dalam Angka, tahun 2001) pertumbuhan penduduk sejak tahun 1997 sampai tahun 2001 menunjukkan peningkatan sebesar jiwa dengan rata-rata pertumbuhan per tahun 0.99%. Proyeksi penduduk Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan angka pertumbuhan rata-rata tersebut, pada tahun 2005 diperkirakan sebanyak jiwa atau 373,6 jiwa/km 2. Kecamatan Natar adalah kecamatan dengan penduduk yang paling padat dengan kepadatan 750,54 jiwa/km 2. Sedangkan Kecamatan Punduh Pidada merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk yang paling rendah yaitu 107,70 jiwa/km 2. Tabel 2.10 Kondisi Kependudukan di Kecamatan Pesisir Kabupaten Lampung Selatan. Kepadatan No Kecamatan di Pesisir Luas (km2) Penduduk (jiwa/km2) 1 Penengahan 190, ,59 2 Kalianda 161, ,05 3 Sidomulyo 160, ,71 4 Ketibung 222, ,56 5 Padang Cermin 317, Rajabasa Punduh Pidada 224, ,85 Sumber : Kab. Lampung Selatan dalam Angka, 2006 Kondisi kependudukan di desa-desa pesisir Kabupaten Lampung Selatan menunjukkan desa dengan jumlah penduduk paling padat adalah Desa Way Urang di Kecamatan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 30

44 Kalianda (919 jiwa/km2) diikuti oleh Desa Bumi Agung di Kecamatan Kalianda (719 jiwa/km2) dan Desa Kunyayan di Kecamatan Punduh Pidada (23.32 jiwa/km2)adalah desa dengan kepadatan penduduk paling rendah. Rata-rata kepadatan penduduk desadesa pesisir adalah 208 jiwa/km2. B. Pendidikan Ketersediaan sarana pendidikan akan menjadi gambaran dari kecukupan masyarakat pada usia sekolah untuk mendapatkan kemudahan dalam mengenyam bangku sekolah di tempat yang terdekat. Ketersediaan sekolah di kecamatan-kecamatan pesisir Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2000 terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2.11 Jumlah Sekolah di Kecamatan Pesisir Kabupaten Lampung Selatan No Kecamatan Sekolah Negeri Sekolah Swasta Pesisir TK SD SLTP SMU TK SD SLTP SMU 1 Penengahan Rajabasa Kalianda Padang Cermin 5 Punduh Pidada Sumber : Lampung Selatan dalam Angka, 2006 Tabel 2.12 Jumlah Murid per Tingkat Sekolah di Kecamatan Pesisir, Kab. Lamsel No. Kecamatan Tingkat Sekolah Jumlah Siswa Pesisir SD SLTP SMU 1. Penengahan Rajabasa Kalianda Padang Cermin Punduh Pidada Sumber : Lampung Selatan dalam Angka tahun C. Kesehatan Untuk menggambarkan tingkat penanganan kesehatan masyarakat, dapat dilihat pada banyaknya fasilitas yang terdapat di masing-masing kecamatan pesisir. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 31

45 Tabel 2.13 Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Pesisir Kab. Lampung Selatan No. Kecamatan Rumah Rumah Puskesmas Puskesmas Pesisir Sakit Bersalin Induk Pembantu Apotik 1 Penengahan Rajabasa Kalianda Padang Cermin 5 Punduh Pidada Sumber : Lampung Selatan dalam Angka tahun D. Rumah Tangga Perikanan Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) yang berdomisili di Kabupaten Lampung Selatan tahun 1999 mencapai RTP. Jumlah ini terdiri dari RTP perikanan tangkap (3.642 RTP), RTP budidaya laut (442 RTP), RTP budidaya air payau/tambak (3.427 RTP), RTP pembenuran (162 RTP), RTP budidaya di perairan umum (74 RTP), RTP penangkapan di perairan umum (2.034 RTP), RTP budidaya air tawar/kolam (2.002 RTP), RTP Mina Padi (108 RTP), RTP pembenihan di air tawar (121 RTP), RTP pengolahan (527 RTP), dan RTP pemanenan (2.018 RTP). Dibandingkan dengan tahun 1998, jumlah RTP perikanan di Kabupaten Lampung Selatan mengalami peningkatan pada tiap usaha perikanan yang dilakukan. Jumlah tenaga kerja yang terserap dalam kegiatan perikanan tangkap tahun 1999 sebanyak tenaga kerja yang merupakan jumlah tenaga kerja yang terbesar dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja pada kegiatan perikanan lainnya. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab II 32

46 Bab 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI 3.1 Metode Pendekatan Studi Langkah awal yang dilakukan dalam Kegiatan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung adalah penyediaan data, baik data primer maupun data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan survei langsung ke lapangan yang meliputi data oseanografi, data titik koordinat, data persentase terumbu karang, dan data sosial budaya. Pengambilan data sosial, ekonomi dan budaya (sosekbud) menggunakan metode Rapid Rural Appraisal (RRA). Selain itu juga akan dilakukan kegiatan sosialisasi. Sedangkan data sekunder didapatkan dengan wawancara dengan stakeholder yang terkait serta mengkaji dokumendokumen pendukung atau laporan dari dinas / instansi terkait. Seperti dikemukakan sebelumnya, studi ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan sumberdaya terumbu karang di Teluk Lampung terutama berkenaan dengan bentuk tumbuh (life form), persentase hidup dan luasan penyebarannya serta untuk mengkaji sumberdaya terumbu karang karang sebagai arahan dalam penetapan kawasan konservasi dan daerah perlindungan laut (DPL). Untuk mewujudkan hal tersebut diatas perlu pengkajian dengan melihat bebarapa aspek teknis pendukung. Adapun aspek-aspek teknis dalam pemetaan terumbu karang yang diperlukan antara lain : 1. Identifikasi potensi terumbu karang yang terdapat dilokasi 2. Faktor-faktor oseanografis meliputi pasang surut air laut, suhu, dan salinitas 3. Analisa kondisi terumbu karang: Manta tow Line Intersept Transect Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab III 1

47 4. Identifikasi penyebaran terumbu karang 5. Penghitungan luas area terumbu karang 6. Identifikasi sosial ekonomi dan budaya Pengamatan terumbu karang dalam kegitan ini digunakan metode Manta Tow dan Line Intercept Transect (LIT), yang dianggap cukup dapat mengakomodir kebutuhan data primer pada pekerjaan ini. Meskipun banyak metode survei yang ada saat ini, namun masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Beberapa alasan yang menyebabkan sulitnya menggambarkan suatu kondisi terumbu karang dengan metode-metode survei yang ada saat ini (Suharsono, 1994), antara lain : 1. Terumbu karang yang tumbuh di tempat geografis yang berbeda mempunyai tipe yang berbeda. 2. Ukuran individu atau koloni sangat bervariasi dari beberapa centimeter hingga beberapa meter. 3. Satu koloni karang dapat terdiri beberapa individu sampai jutaan individu. 4. Bentuk pertumbuhan sangat bervariasi seperti bercabang, masif, merayap, seperti daun, dan sebagainya. 5. Tata nama jenis karang masih relatif belum stabil dan adanya perbedaan jenis yang hidup pada lokasi geografis yang berbeda, serta adanya variasi morfologi dari jenis yang sama yang hidup pada kedalaman yang berbeda maupun tempat yang berbeda. Persiapan penyelaman di Kepulauan Tiga, Lampung Selatan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab III 2

48 Diagram alir tahapan kegiatan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung dapat dilihat pada Gambar 3.1. sebagai berikut: Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Observasi Studi Literatur Identifikasi Awal Perancangan Mekanisme Kajian Identifikasi Variabel-variabel Kajian Pengambilan Data Primer Sosialisasi Pengambilan Data Sekunder 1. Jenis Terumbu Karang 2. Jenis Biota Laut 3. Persentase Hidup 4. Kondisi Terumbu Karang 5. Kualitas Perairan 6. Kondisi Oseanografi 7. Titik Koordinat Pengamatan 8. Luas Area Terumbu Karang 9. Indepth Interview 10. LIT dan PRA 11. Arahan Strategi Pengelolaan 1. Hasil Penelitian/Dokumen/Laporan Terumbu Karang 2. Ganbaran Umum wilayah : Kondisi Topografi, Kondisi tanah, Geologi, Hidrologi, Lereng, Vegetasi alam, Oseonografi dan biofisik, sosial dan budaya, Kependudukan, Etnis, Sarana Pendidikan, Sarana Kesehatan, Mata Pencaharian, Tingkat keejahteraan masyarakat, Kondisi Perekonomian, Kegiatan Ekonomi. 3. Citra Satelit. 4. Peta-peta Termatik (tutupan terumbu karang, Peta administrasi, Peta satuan lahan, Peta geologi, Peta arus di perairan lampung, Peta kepadatan penduduk) Dokumentasi Pengolahan dan Analisa Hasi Pengumpulan data Dokumentasi Asistensi 1. Buku Laporan akhir (Final Repport) 2. Draf laporan Akhir 3. Data Laporan Akhir (dalam bentuk CD) Presentasi Disetujui/Revisi Tidak Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab III 3

49 3.2 Metode Pengumpulan Data Pengambilan data sekunder berasal dari berbagai hasil penelitian, laporan-laporan dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan ekosistem terumbu karang. Data ini merupakan informasi awal yang akan digunakan untuk melihat kondisi wilayah pesisir Teluk Lampung seperti : kondisi topografi, kondisi tanah, iklim, geologi, hidrologi, vegetasi alam, sarana dan prasarana penunjang, kependudukan, sosial ekonomi budaya, oseanografi, perikanan tangkap dan kebijakan secara umum daerah. Selain itu, data sekunder akan digunakan sebagai bahan verifikasi pada saat survei untuk mengumpulkan data primer serta bahan analisa pemetaan terumbu karang. Gambar 3.2 Ilustrasi di samping menunjukkan tekanan yang diberikan terhadap ekosistem terumbu karang. Dalam kegiatan ini juga akan di gali data sehubungan dengan aktifitas manusia yang berdampak terhadap terumbu karang. Data sekunder yang diperlukan dalam kegiatan ini antara lain : data citra satelit, data peta tutupan terumbu karang, peta administrasi Propinsi Lampung, peta satuan lahan, peta geologi, peta arus di perairan lampung, peta kepadatan penduduk, peta sebaran suku, data sosial ekonomi dan budaya, data sarana dan prasarana penunjang. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui penelusuran berbagai pustaka yang ada di berbagai instansi Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab III 4

50 pemerintah dan swasta, seperti Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan, BPS, Bappeda Lampung, Bakosurtanal, Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) dan lain-lain. Selain tersebut diatas metode interview/wawancara juga dilakukan. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terhadap beberapa responden yang langsung terlibat dalam usaha perikanan karang dan pengelolaan terumbu karang serta wawancara dengan stakeholder wilayah setempat. Untuk mencapai sasaran dari kajian yang dilakukan, data yang diperlukan baik primer maupun sekunder adalah seperti yang akan diuraikan dalam sub bab selanjutnya Metode Manta Tow Secara umum, metoda Manta Tow ini digunakan oleh para ahli sekitar tahun 1976 sampai 1990 untuk menghitung jumlah bintang laut berduri (Acanthaster planci) yang berada di atas terumbu karang. Gambar 3.3 Teknik survey terumbu karang dengan metode Manta Tow, dilakukan dengan menarik seorang pengamat yang di lengkapi dengan papan pencatat data dan alat snorkling lengkap. Metoda Manta Tow ini digunakan juga di berbagai tempat di dunia seperti di Micronesia, Laut Merah dan di Australia (Great Barrier Reef). Penelitian dengan menggunakan metoda Manta Tow sangat mudah pada daerah terumbu karang yang luas dan membutuhkan waktu yang sangat cepat dengan hasil pengamatan yang cukup akurat. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab III 5

51 Pada kegiatan ini, Metode Manta Tow akan digunakan untuk mengetahui secara tepat di mana daerah terumbu karang yang masih baik dan daerah terumbu karang yang telah rusak. Kerusakan karang tersebut lebih lanjut dipilah berdasarkan penyebab kerusakannya, seperti kerusakan karang yang disebabkan oleh pemanasan global (bleaching), daerah bekas pengeboman, kerusakan karang akibat badai topan dan juga kematian karang akibat pemangsaan bintang laut berduri dalam skala yang luas. Metoda ini juga bermanfaat untuk memilih lokasi terumbu karang yang baik dan yang terwakili dari luas terumbu karang yang ada untuk dilakukan pengamatan yang lebih teliti yaitu dengan menggunakan metoda Transek Garis (Line Intercept Transect). Gambar 3.4 Terumbu karang yang rusak akibat dari kegiatan pengeboman, (gambar kiri). Terumbu karang yang mengalami pemutihan akibat kenaikan suhu air laut. Kenaikan suhu air laut ini dipicu oleh gejala iklim El Nino, (gambar kanan). Adapun langkah-langkah manta tow adalah sebagai berikut : Metode Manta Tow adalah suatu teknik pengamatan terumbu karang dengan cara menarik pengamat dibelakang perahu kecil bermesin dengan menggunakan tali sebagai penghubung antara perahu dengan pengamat. Dengan kecepatan perahu yang tetap dan melintas di atas terumbu karang dengan lama tarikan 2 menit, pengamat akan melihat beberapa obyek yang terlintas serta nilai persentase penutupan karang hidup dan karang mati. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab III 6

52 Gambar 3.5 Gambar di atas adalah estimasi dari persentase tutupan karang. Dalam membuat estimasi tersebut sangat di tentukan oleh pengalaman yang dimiliki oleh pengamat. Perahu dengan berkekuatan kurang lebih 5 PK digunakan untuk menarik pengamat dan dapat memberikan kecepatan yang cukup bagi pengamat untuk melakukan pengamatan dengan baik. Pengamatan ditarik diantara rataan terumbu karang dan tubir (reef edge), dengan kecepatan yang tetap yaitu antara 3 5 km/jam atau seperti orang yang berjalan lambat. Bila ada faktor lain yang menghambat seperti arus perairan yang kencang maka kecepatan perahu dapat ditambah sesuai dengan tanda dari pengamat yang berada dibelakang perahu. Pengamatan terumbu karang dilakukan selama 2 menit, kemudian berhenti beberapa saat untuk memberikan waktu bagi pengamat mencatat data-data yang terlihat selama 2 menit pengamatan tersebut ke dalam tabel data yang tersedia di papan manta. Setelah mendapat tanda dari pengamat maka pengamatan dilanjutkan lagi selama 2 menit, begitu seterusnya sampai selesai pada batas lokasi terumbu karang yang diamati. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab III 7

53 Dalam pengamatan penutupan karang, pengisian data untuk penutupan karang sebaiknya menggunakan persentase. Hal ini untuk memudahkan pengamat dalam menentukan masing-masing tutupan karang. Pengamat harus memperhatikan total persen dari penjumlahan tutupan karang ditambah dengan pasir dan tutupan lainnya jangan sampai melebihi 100%. Selanjutnya dilakukan pengukuran lebih detail akan dilakukan dengan menggunakan metode Line Intercept Transect. Gambar 3.6 Manta Board, adalah papan pengamatan yang digunakan sebagai pencatat data, sekaligus sebagai alat pengontrol gerakan pengamat yang ditarik oleh perahu. Dengan menggunakan papan manta ini seorang pengamat dimungkinkan untuk bergerak menyelam atau mempertahankan posisi dipermukaan air Metode Line Intercept Transect (LIT) Transek garis (Line Intercept Transect) merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menilai kondisi terumbu karang di suatu lokasi. Biota-biota dalam terumbu karang tersebut dimasukkan dalam kategori berdasarkan bentuk pertumbuhannya (bentic lifeform) sehingga metode ini juga disebut dengan metode bentic lifeform atau disebut dengan metode lifeform saja. Asean Australia Marine Project telah mengembangkan metode ini untuk penelitian terumbu karang. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab III 8

54 Beberapa keuntungan dari menggunakan metode ini antara lain: 1. Pengelompokkan biota ke dalam beberapa kategori mempermudah bagi peneliti atau orang yang memiliki kemampuan terbatas dalam identifikasi karang. 2. Metode ini merupakan metode sampling untuk menghitung persentase tutupan biota yang sangat efisien dan dapat dipercaya. 3. Hanya memerlukan sedikit peralatan dan relatif sederhana dalam penerapannya. Dalam melakukan transek garis dengan metode bentic lifeform ini, tidak hanya ditekankan pada karangnya saja akan tetapi meliputi seluruh biota yang berasosiasi dengan karang (alga, spong dan biota lainnya) dan juga abiotiknya. Untuk lebih jelasnya pengelompokan kategori dapat dilihat pada Tabel 3.1. Pengamatan dilakukan pada dua kedalaman yaitu 3 m mewakili perairan dangkal dan 10 m untuk mewakili perairan dalam. Pada dua kedalaman ini yaitu 3 m dan 10 m metode pengamatan bisa dilakukan dengan menggunakan Metode LIT (Line Intercept Transect) dengan cara membuat garis membujur sepanjang 50 m sejajar dengan garis pantai pada daerah tubir yang kemudian dicatat bentuk pertumbuhan (lifeform) dan persen penutupannya. Alat yang digunakan adalah peralatan snorkeling dan SCUBA. Kode HC, SC, SP,, RB, OT, DC,DCA, MA dan ABT adalah istilah dalam penelitian karang yang merupakan beberapa kategori karang dan biota lain yang ada dimasukkan dalam bentuk pertumbuhannya (benthic lifeform). HC = Hard Corals (karang batu) SC = Soft Corals (karang lunak) SP = Sponges (spong) RB = (Rubble) pecahan karang mati OT = Others (lain-lain) sperti anemone, teripang, gorgonian, kima dan lain-lain. DC = Dead Coral (karang mati) DCA = Dead Coral Alga (karang mati yang ditumbuhi alga) MA = Macro Alga: alga yang berukuran besar ABT = Abiotik = benda benda mati lainya seperti batu dan lain-lain Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab III 9

55 Gambar 3.7 Cara pencatatan data koloni karang pada metode transek garis, (gambar atas). Koloni karang masif berukuran besar dianggap dua data, CM, apabila garis meteran melewati algae persis diatas koloni tersebut (English et al, 1994), (Gambar bawah). Penyelaman di perairan Canti, Lampung Selatan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab III 10

56 Tabel 3.1 Kategori Bentuk Substrat Dasar Bentuk Substrat Dasar Kategori Keterangan Karang Batu (hard corals) Acropora Acropora bercabang (Acropora branching) ACB Bentuk bercabang seperti ranking pohon Acropora meja (Acropora tabulate) ACT Bentuk bercabang dengan arah mendatar, rata seperti meja Acropora merayap (Acropora encrusting) ACE Bentuk merayap, biasanya terjadi pada Acropora yang belum sempurna Acropora submasif (Acropora submassive) ACS Percabangan bentuk gada/lempeng dan kokoh Acropora berjari (Acropora digitate) ACD Bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti jari jari tangan Non Acropora Karang bercabang (coral branching) CB Bentuk bercabang, seperti ranting pohon Karang masif (coral massive) CM Bentuknya seperti batu besar yang padat Karang merayap (coral encrusting) CE Bentuk merayap hampir seluruh bagian menempel pada substrat Karang Submasif (coral submassive) CS Bentuk kokoh dengan tonjolan tonjolan atau kolomkolom kecil Karang lembaran (coral foliose) CF Bentuk menyerupai lembaran daun Karang jamur (coral mushroom) CMR Soliter, bentuk seperti jamur Karang api (Millepora) CME Semua jenis karang api, dapat dikenali dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar bila disentuh Karang biru (Heliopora) CHL Karang biru, dapat dikenali dengan adanya warna biru pada skeletonnya. Karang Mati (Dead Scleractina) Karang mati DC Karang yang baru mati, berwarna putih Karang mati yang ditutupi alga DCA Karang mati yang masih tampak bentuknya, tapi sudah mulai ditumbuhi alga halus Alga Alga makro (macro algae) MA Alga berukuran besar Alga rumput (turf algae) TA Alga berukuran halus, menyerupai rumput rumput halus Alga koralin (Coralline algae) CA Alga yang mempunyai struktur kapur Halimeda HA Alga dari marga Halimeda Kumpulan alga (algae assemblage) AA Terdiri lebih dari satu jenis alga Fauna Lain Karang lunak (soft corals) SC Karang dengan tubuh lunak Sepon (seponges) SP Zoanthids ZO Contohnya: Platythoa, Protopalythoa Lain lain OT Anemon, teripang, gorgonia, kima dan lain lain Abiotik Pasir (sand) S Pecahan karang mati (rubble) R Lumpur (silt) SI Celah WA Celah dengan kedalaman lebih dari 50 cm Batuan vulkanis RCK Batu vulkanik Sumber :(P3O-LIPI, 1998) Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab III 11

57 Untuk memudahkan dalam pemasukan data, hendaknya data transek garis ditulis mengikuti format transition- categori- taxon, misalnya sebagai berikut: Tabel 3.2 Data hasil transek Transition Categori Taxon 32 CF Montifora foliosa 58 TA 99 CM Porites lutea 132 S 157 MA Caulerpa rasemosa RCK Sumber :(P3O-LIPI, 1998) Gambar 3.8 Ilustrasi di atas menggambarkan teknik Line Interception Transect (LIT) yang dilakukan oleh pengamat. Teknik ini dilakukan dengan menarik seutas meteran di atas tutupan terumbu karang sepanjang 100 m Citra Satelit Landsat Selain melalui pengumpulan data primer dan sekunder, pengumpulan data juga dilakukan melalui interpretasi citra satelit. Dalam kegiatan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab III 12

58 Lampung ini, citra satelit yang digunakan adalah citra Landsat 7 TM, adapun karakteristik produk citra landsat adalah sebagai berikut: A. Karakteristik Landsat Landsat pertama kali dikenal dengan nama Earth Resources Technology Satellite (ERTS) untuk membedakan dengan program satelit oseanografi SEASAT (Sea Satellite). Selanjutnya ERTS-1 ini diubah namanya menjadi Landsat-1 dan seterusnya. Landsat generasi ke dua adalah landsat 4 dan 5 yang masing-masing diluncurkan pada tahun 1982 dan Satelit ini memiliki orbit polar sunsyncronous. Oleh karena itu satelit ini melewati tempat-tempat pada lintang yang sama dalam waktu lokal yang tetap, dengan periode 98.5 menit dan sudut inklinasi 98.5 o. sensor yang dibawa oleh satelit ini adalah MSS (Multi Spectral Scanner) dan TM (Thematic Mapper). B. Sensor MSS (Multi Spectral Scanner) Karakteristik dari sensor MSS ini dapat dilihat pada tabel berikut. Sensor MSS mampu meliput permukaan bumi dengan empat saluran spektral secara simultan melalui sistem optik tunggal. Pada setiap kanalnya ada 6 detektor, sehingga seluruhnya ada 24 detektor. Tabel 3.3 Karakteristik Sensor MSS (Butler et al. 1998) Panjang Gelombang IFOV Lebar Sapuan Ukuran resolusi Pixel Kanal 4: μm (hijau) Kanal 5: μm (merah) Kanal 6: μm (IR dekat) Kanal 7: μm (IR dekat) mrad 185 km 80 x80 C. Sensor TM (Thematic Mapper) Sensor TM digunakan pada Landsat 4 guna memperbaiki resolusi spasial, memisahkan spektral, menambah ketelitian data radiometrik dan gemetrik. Thematic Mapper merupakan suatu sensor optik yang beroperasi pada saluran tampak dan infraerah bahkan saluran spektral. Karakteristik yang dimiliki oleh sensor TM ini dijelaskan pada Tabel 3.4 sebagai berikut : Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab III 13

59 Tabel 3.4 Karakteristik Sensor TM (Butler et al. 1998) Panjang Gelombang IFOV Lebar Sapuan Kanal 1: μm(violet biru) Kanal 2: μm(hijau) Kanal 3: μm(merah) Kanal 4: μm(ir dekat) Kanal 5: μm(ir menengah) Kanal 6: μm(ir thermal jauh) Kanal 7: μm(ir menengah) mrad (kecuali kanal 6: 0/170 mrad) 185 km Ukuran Pixel Resolusi 30 x 30 meter (kecuali kanal 6: 120 x 120 m) Faktor-Faktor Oseanografi Data Oseanografi diperoleh berdasarkan data sekunder dari instansi terkait di Pemerintah Provinsi Lampung dan Kabupaten/Kota di sekitar Teluk Lampung. Pasang surut air laut Pasang surut (pasut) merupakan proses naik turunnya muka laut yang hampir teratur, yang dibangkitkan oleh gaya tarik bulan dan matahari secara harian. Jika suatu perairan mengalami satu kali pasang dan surut per hari, maka kawasan tersebut dikatakan bertipe pasang surut tunggal. Jika terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam satu hari, maka dikatakan bertipe pasang surut ganda. Tipe pasang surut lainnya merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda, yang dikenal sebagai pasang surut campuran. Arus dan gelombang Umumnya kondisi gelombang disuatu perairan diperoleh secara tidak langsung dari data angin yang terdapat di kawasan perairan tersebut. Hal ini didasarkan atas kondisi umum yang berlaku di laut, yaitu sebagian besar gelombang yang ditemui di laut dibentuk oleh energi yang ditimbulkan oleh tiupan angin. Pengukuran gelombang diamati berdasarkan type, dan interval waktu serta tingkat pemecahan gelombang dan amplitudonya. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab III 14

60 3.2.5 Sosial Ekonomi dan Budaya Komponen yang ditelaah meliputi: data sosial budaya (penduduk, tingkat pendidikan, perumahan,kesehatan dan etnis/adat), data sosial ekonomi (mata pencaharian penduduk, tingkat pendapatan, pola pemanfaatan sumberdaya alam dan pertumbuhan ekonomi lokal), data sarana dan prasarana penunjang (pendidikan, kesehatan, transportasi, telekomunikasi, perdagangan, jasa, dan lain-lain). Data sosial ekonomi dan budaya yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dan informasi tentang sosial ekonomi dan budaya di lokasi studi menggunakan metode pengamatan langsung di lapangan dan kajian cepat (Rapid Rural Appraisal-RRA). Data primer akan diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap penduduk yang dipilih secara purposive dan secara acidental dan disamping itu dilakukan juga observasi atau pengamatan langsung di lapangan. Wawancara dilakukan secara perorangan maupun kelompok dalam bentuk diskusi kelompok terarah (focussed discussion group). Khusus untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap lingkungan, selain wawancara juga dilakukan public hearing. Kebudayaan dilokasi studi diamati dengan mencatat data dan informasi tentang adat istiadat, kesenian, budaya dan kelembagaan masyarakat. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai dokumen dan atau informasi dari beberapa sumber instansi yang relevan seperti pemerintahan baik tingkat kecamatan maupun tingkat desa, Dinas Kelautan dan Perikanan Lampung, Dinas Kehutanan Lampung Barat, BPS, Bappeda, BPLH Lampung dan sebagainya. 3.3 ANALISIS DATA Data yang diperoleh dari hasil survei kemudian dilakukan pengolahan dan analisis data. Analisis data yang dilakukan antara lain : Analisis Data Terumbu Karang Dilakukan dengan menganalisa data penyelaman dan melakukan verifikasi dengan menggunakan citra satelit. Analisis kuantitatif yang dilakukan adalah penutupan terumbu karang. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab III 15

61 Penutupan terumbu karang adalah persentase penutupan suatu jenis karang hidup pada suatu areal tertentu yang dihitung dengan persamaan Yap dan Gomes (1988) dan English et al. (1994) dan Kepmen LH no: 4 tahun 2001 tentang kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang: dimana : l i l = panjang transek yang melalui life form ke-i = panjang garis transek C = persen tutupan karang Kategori kondisi penutupan karang: % : Sangat Baik; 50 74,9% : Baik; 25 49,9% : Sedang; 0-24,9% : Rusak/Buruk Analisis Citra Satelit Analisis citra satelit menggunakan software ER Mapper 6.4. Hasil analisis citra berupa data luasan terumbu karang. Sedangkan tahapan analisis citra adalah sebagai berikut: a. Koreksi terhadap citra b. Interpretasi terhadap terumbu karang c. Melakukan pengukuran luas terhadap hasil interpretasi. d. Melakukan survei lapangan untuk verifikasi hasil analisis citra. Penggabungan klas dan perapian hasil klasifikasi dengan digitizion on screen. Adapun kombinasi band yang yang umum digunakan pada saat penafsiran citra satelit secara manual/visual yaitu dan dimana berbagai kenampakkan vegetasi baik alami maupun yang ditanam dapat terlihat dengan jelas. Untuk mempermudah pengenalan tipe-tipe penutup lahan pada suatu citra, dapat digunakan kunci penafsiran yang dikembangkan untuk penafsiran citra Landsat-TM warna tidak standar (band 2-3-4). Namun hal ini bisa pula diterapkan pada citra dengan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab III 16

62 kombinasi band lainnya dengan menerapkan elemen-elemen penafsiran lainnya selain warna. Kunci eliminasi teresebut pada prinsipnya disusun agar interpretasi berlanjut langkah demi langkah dari yang umum ke yang khusus, dan kemudian menyisihkan semua kenampakan atau kondisi kecuali satu yang diidentifikasi. Kunci eliminasi sering tampil dalam bentuk kunci dua pilihan (dichotomous key) dimana penafsir dapat melakukan serangkaian pilihan antara dua alternatif dan menghilangkan secara langsung semuanya, kecuali satu jawaban yang mungkin (Lillesand & Kiefer, 1990). Untuk penafsiran manual/visual (on screen digitation), perlu memperhatikan pola jaringan sungai, danau atau garis pantai didelineasi yang diikuti dengan pola jaringan jalan, hal ini akan membantu dalam penafsiran obyek-obyek atau vegetasi yang terliput pada citra yang ada. Selanjutnya dilakukan deteksi pada obyek-obyek dengan melakukan delineasi batas luar pada kelompok yang yang mempunyai warna yang sama dan memisahkannya dari yang lain. Langkah terakhir adalah mengidentifikasi dan analisis obyek atau tipe vegetasi dengan menggunakan informasi spasial seperti ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan asosiasi dan situs (Lillesand dan Kiefer, 1990; Sutanto, 1985). Integrasi data hasil klasifikasi penginderaan jauh dan GIS dilakukan dengan cara menggabungkan citra hasil klasifikasi awal dengan peta referensi. Langkah yang dilakukan adalah melakukan overlay data digital citra asli dan hasil klasifikasi teracu dengan petapeta penunjang. A. Pemotongan Citra Suatu wahana satelit akan merekam data pada suatu daerah yang sangat luas degan skala yang sangat kecil. Oleh karena itu perlu dilakukan pemotongan citra (cropping) sesuai dengan daerah penelitian untuk memperjelas dan mempermudah pengenalan serta interpretasi suatu kenampakan (feature). B. Koreksi Radiometrik Secara umum kesalahan radiometrik disebabkan oleh 2 faktor yaitu: 1. Kesalahan Respon Detektor Untuk mengkonversi energi cahaya yang direkam menjadi voltage atau digital number Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab III 17

63 (DN) sistem sensor penginderaan jauh menggunakan detektor. Sensor Thematic Mapper (TM) menggunakan 16 detektor yang berfungsi pada waktu menscan permukaan bumi untuk mengatur energi visible, near dan middle infrared. Detektor mempunyai beberapa keterbatasan/kelemahan yang dapat menyebabkan kesalahan seperti line dropout, stripping dan line strart. 2. Pengaruh Atmosfir Atmosfir bumi mempunyai efek menghalangi karena terjadinya proses pemencaran (atmospheric scattaering) dan penyerapan (atmospheric absorbtion) oleh uap air atau gasgas lainnya. Interaksi ini menyebabkan distorsi radiometrik eksternal yang tidak sistematik. Pada citra, pengaruh scattering akan menyebabkan meningkatnya kecerahan (brightness), sementara penyerapan oleh atmosfir akan menyebabkan menurunnya brightness. Masalah pengaruh atmosfir ini akan tampak apabila kita ingin membandingkan spektral pada suatu lokasi yang direkam pada waktu yang berbeda. Koreksi radiometrik akibat atmosfir ini bisa dilakukan dengan dua teknik pendekatan yaitu atas dasar suatu bahwa data yang direkam menggunakan band visible 0.4 ג) 0.7 µm) sebagian besar bebas dari pengaruhnya. Ada 2 teknik koreksi radiometrik yaitu dengan cara pengaturan histogram (histogram adjustment) dan pengaturan regresi (regression adjustment). Dalam penelitian ini, koreksi yang digunakan adalah histogram adjusment. Operasinya didasarkan pada pengurangan sebesar bias dari masig-masing band. Cara menentukan bias masing-masing band adalah dengan cara mencari nilai minimum DN pada setiap band. Secara matematik, koeksi pengaruh atmosfir dengan pengaturan histogram adalah: DN i,j,k (output: terkoreksi) = DN i,j,k (input: asli) Bias C. Koreksi Geometrik Data penginderaan jauh biasanya mengandung distorsi geometris sistematis dan yang tidak sistematis. Distorsi/kesalahan tersebut dapat dibagi menjadi 2 yaitu: 1. Yang dapat dikoreksi menggunakan sejumlah titik-titik kontrol lapangan (ground Control Point) yang cukup. GCP adalah suatu titik pada permukaan bumi yang diketahui koordinatnya baik pada citra (kolom/pixel dan baris) maupun pada peta (yang diukur dalam derajat lintang, bujur, feet atau meter). Penyebab terjadinya distorsi geometrik ini antara lain adalah: terjadinya rotasi bumi pada Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab III 18

64 saat perekaman, pengaruh kelengkungan bumi, efek panoramik (sudut pandang), pengaruh topografi serta pengaruh gravitasi bumi yang menyebabkan terjadinya perubahanan ketinggian satelit dan ketidakstabilan ketinggian platform. Rektifikasi adalah suatu proses memproyeksikan data pada suatu bidang sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan peta. Atas dasar data acuan yang digunakan, rektifikasi dapat dibedakan atas : 1. Registrasi citra ke citra (image to image rectification) 2. Rektifikasi citra ke peta (image to map rectification) Dalam melakukan koreksi geometric, GCP yang dipilih harus tersebar merata pada seluruh citra, relative permanent, tidak berubah dalam kurun waktu yang pendek (seperti jalan, jembatan, sudut bangunan dan sebagainya). Setelah GCP terpilih, didapatkan nilai akar kesalahan rata-rata kuadrat (Root Mean Square Error) untuk masing-masing GCP. Dianjurkan agar RMSE lebih kecil dari 0.5 pixel. Jika RMSE masih lebih besar dari ketelitian yang diinginkan (>0.5 pixel) maka perlu dilakukan penghapusan pada GCP yang memberikan RMSE terbesar. Proses ini dilanjutkan sampai dengan RMSE lebih kecil dari yang diinginkan. D. Penajaman Citra Penajaman citra dilakukan guna memperjelas kenampakan suatu obyek agar didapatkan citra yang lebih informasi. Teknik penajaman citra untuk pemetaan sebaran terumbu karang antara lain dengan FCC (False Color Composite), algoritme SWIM (Shallow Water Image Mapping) dan algoritme Lyzenga. False Color Composite dilakukan dengan cara meletakkan tiga buah filter warna yaitu merah, hijau dan biru secara tumpang tindih (overlay). Kanal yang digunakan adalah kanal 4,2, dan 1. Kombinasi kanal ini dipilih karena kanal 1 dan 2 merupakan kanal sinar tampak yang mempunyai daya penetrasi dalam kolom air yang cukup baik. Sedangkan kanal 4 dipilih karena dapat membedakan batas antara darat dan laut dengan jelas. Metode yang kedua adalah menggunakan algoritme SWIM yang dikembangkan oleh Bierwirth. Metode ini dilakukan dengan cara membuat komposit untuk filter warna merah, hijau dan biru dengan input kanal 1,2,3 serta algoritme sebagai berikut: Filter warna merah : TM3/(TM1 + TM2+ TM3) Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab III 19

65 Filter warna hijau Filter warna biru : TM2/(TM1 + TM2+ TM3) : TM1/(TM1 + TM2+ TM3) Metode yang ketiga adalah dengan menggunakan algoritme Lyzenga yang dikembangkan oleh (Siregar et al. 1995) menjadi: Y = ln(tm1) + ki/kj* ln(tm2) Y merupakan citra baru yang merupakan kombinasi dari kanal 1 dan 2. Untuk mendapatkan nilai koefisien ki/kj dilakukan training area pada citra asli sebanyak ± 30 titik. Selanjutnya melalui perhitungan statistik diperoleh nilai rata-rata untuk setiap kanal. Namur dalam proses ini hanya nilai rata-rata kanal 1 dan 2 yang digunakan karena kanal tersebut diasumsikan memiliki daya penetrasi yang baik dalam kolom air. Kemudian dicari nilai varian dan kovarian untuk kedua kanal guna mendapatkan nilai a dan ki/kj. Persamaan yang digunakan untuk mencari nilai tersebut adalah : Ki/kj = a + (a 2 + 1) a = (var TM1 var TM2)/(2*cover TM1 TM2) dimana: TM1 : Kanal 1 landsat TM TM2 : Kanal 2 landsat TM Ki : Koefisien atenuasi air pada iג Kj : Koefisien atenuasi air pada jג Dalam penelitian ini digunakan metode dengan mengunakan algoritme Lyzenga, karena tampilan dari hasil algoritme ini memberikan hasil yang lebih baik informatif bila dibandingkan dengan cara lainnya. Sehingga untuk langkah selanjutnya citra hasil algoritme Lyzenga inilah yang digunakan. E. Klasifikasi Citra Klasifikasi merupakan proses mengelompokkan pixel-pixel ke dalam kelas- kelas atau kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan (brightness value/bv atau digital numbering/dn) pixel yang bersangkutan. Pada penelitian ini dilakukan klasifikasi kuantitatif dimana pengelompokkan dilakukan secara otomatis oleh komputer berdasarkan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab III 20

66 nilai kecerahan (BV atau DN) contoh yang diambil sebagai area contoh (training area). Klasifikasi kuantitatif apat dilakukan dengan 2 metode yaitu: klasifikasi terbimbing dan klasifikasi tidak terbimbing. Klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah klasifikasi tidak terbimbing dimana memerlukan sedikit campur tangan analis, karena operasi numerik dilakukan secara otomatis dengan mencari group secara alamiah berdasarkan sifat-sifat spektral pixel bersangkutan. Disini analisis memerintahkan komputer untuk mencari nilai rata-rata kelas dan matrik ragam-ragamnya yang akan digunakan adalam klasifikasi. Dalam penelitian ini, citra hasil algoritme Lyzenga inilah yang dikelaskan menjadi 30 kelas. F. Editing Proses ini dilakukan pada citra klasifikasi dengan mengacu pada citra hasil transformasi Lyzenga. Proses editing dilakukan agar citra tampak lebih baik, terutama untuk mengeleminir awan, stripping pada kelas laut dan kesalahan klasifikasi. G. Reclass Citra klasifikasi yang telah diedit, dikelaskan kembali (reclass) menjadi 7 kelas untuk memperoleh hasil yang lebih informatif. Kelas-kelas tersebut adalah: kelas karang hidup, karang mati, pasir 1, lamun, pasir 2, darat dan laut Analisis Sosial, Ekonomi dan Budaya Analisis sosial ekonomi dan budaya dianalisis menggunakan metode statistik non parametrik (SPSS), berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat dan stakeholder terkait Analisis Arahan Pengelolaan dan Pemanfaatan Terumbu Karang Data primer dan sekunder yang telah dikumpulkan akan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif, tabulasi dan kuantitatif. Setelah diperoleh masukan informasi yang lengkap dari semua masyarakat, yang telibat dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang, selanjutnya akan dilakukan analisis data dan informasi dengan memperhatikan kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangannya atau dikenal dengan metode SWOT. Analisis dilakukan dengan menerapkan kriteria kesesuaian, dengan menggunakan data kuantitatif, Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab III 21

67 maupun dengan deskripsi keadaan, sehingga dapat dilakukan yang dinamakan Weakness and Threat Management, dan Conflict Management. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT ini adalah : 1. Identifikasi Kekuatan/Kelemahan dan Peluang/Ancaman Mengidentifikasi potensi wilayah baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam dengan melihat kekuatan/strengths (S), kelemahan/weaknesses (W), peluang/opportunities (O) dan ancaman/threats (T) terhadap ekosistem terumbu karang. 2. Analisis SWOT Dalam menentukan strategi yang terbaik, dilakukan pemberian bobot nilai terhadap tiap unsur SWOT. Setelah masing-masing unsur SWOT diberi nilai/bobot, unsur-unsur tersebut dihubungkan keterkaitannya untuk memperoleh beberapa alternatif strategi (SO, ST, WO, WT). 3. Alternatif Strategi Hasil Analisis SWOT Alternatif strategi yang dihasilkan dari penggunaan unsur-unsur kekuatan untuk mendapatkan peluang yang ada (SO), penggunaan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (ST), pengurangan kelemahan yang ada dengan memanfaatkan peluang yang ada (WO) dan pengurangan kelemahan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (WT). Dengan alat (tools) analisis ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu bahan untuk menyusun suatu kerangka kerja dalam melaksanakan pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem terumbu karang. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab III 22

68 Bab 4. PEMETAAN TERUMBU KARANG DAN PERMASALAHANNYA 4.1 Pemetaan Terumbu Karang Teluk Lampung Umumnya terumbu karang di Teluk Lampung adalah jenis fringing reefs (karang tepi). Berdasarkan hasil analisis citra Landsat ETM 7 luas total terumbu karang di Teluk Lampung ± 4823,493 Ha. Hasil pemetaan terumbu karang di Teluk Lampung dengan skala peta 1 : , tertuang dalam Lampiran Peta (bagian belakang) berisi luasan karang per lokasi, sebaran karang dan kondisi terumbu karang berdasarkan penyelaman. Sebaran vertikal terumbu karang pada lokasi penelitian umumnya tidak terlalu dalam. Pada kedalaman lebih dari 15 meter keberadaan terumbu karang sudah sangat berkurang dibandingkan dengan kedalaman diatasnya. Substrat yang ada di kedalaman dibawah 15 meter hanya merupakan hamparan pasir dengan sedimen lumpur diatas permukaaanya. Terbatasnya sebaran karang secara vertikal sangat dipengaruhi oleh tipe substrat dasar, dimana pada kedalaman lebih 15 meter pada hampir semua lokasi penyelaman tidak ditemukan dasar yang keras bagi pertumbuhan karang dan berkurangnya sinar matahari. Umumnya terumbu karang yang dekat pantai sangat dipengaruhi sedimentasi yang tinggi dari daratan dan aktivitas pemboman di perairan Teluk Lampung yang hingga kini masih kerap terjadi. Tingginya sedimentasi akibat pembukaan lahan atas untuk pemukiman dan pertanian, penebangan mangrove dan pembukaan tambak. Pertumbuhan karang secara umum didominasi oleh karang yang bentuk hidupnya merayap (encrusting), bercabang (branching) dan lembaran (foliose) terutama dari famili Acroporidae, Pocilloporidae, Poritidae dan Faviidae, karena secara Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 1

69 ekologi ke empat famili ini merupakan famili penyusun utama terumbu karang. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 2

70 Tabel 4.1 Persentase Tutupan dan Kondisi Karang dari Beberapa Lokasi Penyelaman di Teluk Lampung. Kode Lokasi Lokasi Penyelaman Site Description Lintang Selatan Bujur Timur Hard Coral (Acropora) Hard Coral (Non Acropora) Dead Scleractinia Algae Other Fauna ABIOTIK Sand Rubble Silt % Karang Hidup % Karang Mati Kategori 1 Pulau Tangkil Upper Fore Reef Sedang 2 Teluk Pulau Tegal Upper Fore Reef Sedang 3 Pulau Maitem Upper Fore Reef Sedang 4 Pulau Kelagian Lower Fore Reef Baik 5 Pulau Puhawang Lower Fore Reef Sedang 6 Pulau Siuncal Upper Fore Reef Sedang 7 Pulau Legundi Lower Fore Reef Buruk 8 Teluk Selesung (Legundi) Upper Fore Reef Sedang 9 Pulau Unang unang Upper Fore Reef Sedang 10 Pulau Seserot Upper Fore Reef Sedang 11 Teluk Kucangreang Reef Flat Buruk 12 Pulau Balak Reef Flat Baik 13 Pulau Lok Fore Reef Sedang 14 Gosong Pulau Lok Reef Flat Buruk 15 Pulau Lunik Reef Flat Buruk 16 Gosong Lunikan Reef Flat Sedang 17 Tajung Putus (1) Reef Flat Sedang 18 Tanjung Putus (2) Reef Flat Baik 19 Pulau Lelangga Balak Reef Flat Sedang 20 Pulau Lelangga Lunik Upper Fore Reef Buruk 21 Pulau Puhawang Lunik Reef Flat Buruk 22 Pantai Ketapang Reef Flat Baik 23 Pantai Canti Reef Flat Buruk 24 Pulau Tiga Lana Fore Reef Buruk 25 Pulau Tiga Lok Fore Reef Sedang 26 Pulau Tiga Damar Fore Reef Buruk 27 Pulau Sebuku Upper Fore Reef Buruk 28 Pulau Elang (Sebuku Kecil) Reef Flat Buruk 29 Pulau Sebesi Lower Fore Reef Buruk 30 Pulau Umang umang Reef Flat Sedang 31 Pelabuhan Kaliandak Reef Flat Buruk 32 Pantai Pasir Putih Reef Flat Buruk 33 Lokasi Batu Bara Reef Flat Sedang 34 Pulau Sulah (1) Upper Fore Reef Buruk 35 Pulau Sulah (2) Lower Fore Reef Sedang 36 Pulau Condong Laut Lower Fore Reef Sedang 37 Pulau Condong Darat Reef Flat Sedang 38 Tanjung Selaki Reef Flat Sedang 39 Merak Belantung (1) Reef Flat Buruk 40 Merak Belantung (2) Reef Flat Buruk 41 Pantai Puri Gading Back Reef Buruk 42 Gudang Lelang Back Reef Buruk 43 Pulau Kubur Back Reef Buruk 44 Pulau Tegal Lower Fore Reef Sedang RATA RATA Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 3

71 Tabel 4.1 adalah persentase penutupan karang dari 44 lokasi penyelaman di Teluk Lampung. Kriteria persentase karang hidup menurut Yap dan Gomes (1988) dan Keputusan Menteri Negera Lingkungan Hidup No. 4 tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang bahwa kategori kondisi penutupan karang hidup : % : Sangat Baik; % : Baik; % : Sedang; % : rusak/buruk. Berdasarkan kriteria di atas, persentasi tutupan karang hidup sebagai indikator kerusakan terumbu karang di Teluk Lampung termasuk dalam kriteria buruk (rusak) sampai baik. Dari 44 lokasi penyelaman di Teluk Lampung, kondisi terumbu karang dalam kondisi baik 4 lokasi, kondisi buruk (rusak) ditemukan sebanyak 20 lokasi dan kondisi sedang sebanyak 20 lokasi. Terumbu karang dalam kondisi baik terdapat di perairan Pulau Kelagian, Pulau Balak, Tanjung Putus, dan Pantai Ketapang. Persentase tutupan karang dan kondisi ekosistem terumbu karang di perairan Teluk Lampung secara umum digambarkan dalam grafik penutupan karang sebagai berikut : Grafik 4.1 Grafik persentase tutupan karang di Teluk Lampung Dari grafik di atas diperoleh gambaran bahwa kondisi ekosistem terumbu karang di perairan Teluk Lampung dalam kondisi sedang. Namun perlu diperhatikan bahwa persentase pecahan karang yang diduga kuat akibat kegiatan pengeboman ikan di seluruh Teluk Lampung ada dalam angka 15 %. Angka ini termasuk tinggi mengingat bila tidak ada upaya serius dari pemerintah dan masyarakat, maka masyarakat di sekitar Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 4

72 Teluk Lampung akan mengalami kerugian ekonomi dan lingkungan pada setiap meter persegi terumbu karang yang rusak karena kegiatan pengeboman. Gambar 4.1 Penambangan terumbu karang untuk bahan bangunan di Lempasing turut memperparah kondisi terumbu karang di Teluk Lampung selain aktifitas pengeboman Persentase rata-rata tutupan fauna lain (other fauna) di Teluk Lampung adalah 9 % yang sebagian besar terdiri dari karang lunak (soft coral), spons (sponge) dan lain - lain. Tutupan rata-rata karang lunak di perairan Teluk Lampung adalah 4%. Karang lunak ini sebagian besar hidup di perairan yang berpasir atau di atas hamparan pecahan karang mati (rubble). Kehadiran karang lunak tersebut mengindikasikan bahwa di areal tersebut ada gejala karang akan pulih. Namun untuk kondisi perairan Teluk Lampung yang padat dengan aktifitas manusia, areal karang yang menuju pulih harus mendapat campur tangan manusia untuk melindungi area pemulihan tersebut, sehingga sampai batas waktu tertentu area tersebut benar-benar terbebas dari gangguan yang destruktif. Sebagian besar karang lunak yang menyusun ekosistem terumbu karang di perairan Teluk Lampung adalah dari marga Sinularia, seperti Sinularia polydactyla, Sinularia flexibilis, Sinularia brassica, Sinularia querciformis, dan Sinularia variabilis. Selain itu karang lunak dari marga Sarcophyton, Lobophytum, Nepthea, Litophyton, Xenia, dan Dendronephtya juga banyak ditemui selama penyelaman dilakukan. Marga Dendronephtya dikenal sebagai marga karang lunak yang memiliki warna-warni yang cerah dan indah. Keberadaan karang lunak ini di suatu perairan adalah sensasi tersendiri bagi penyelam pada umumnya. Berikut dibawah ini disajikan beberapa spesies karang lunak di Teluk Lampung. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 5

73 Halymenia durvillaei Sinularia sp. Sinularia flexibilis Dendronephthya kukenthal Sponge adalah biota dengan bentuk unik yang tersebar di seluruh ekosistem karang di Teluk Lampung. Pada saat penyelaman dilakukan biota ini dapat ditemukan disetiap kedalaman, mulai dari kedalaman 0.5 meter hingga kedalaman 10 meter. Berdasarkan hasil suvey diperoleh persentase rata-rata tutupan sponge di Teluk Lampung adalah sebesar 0.06%. Beberapa jenis sponge yang teridentifikasi selama penelitian atara lain adalah Clatria reinwardti., Stylissa carteri, Theonella swinhoei, Xestospongia sp., Callyspongia aerizusa, Acervochalina sp., Cinachyra sp., dan Petrosia nigricans. Di bawah ini beberapa contoh spesies spons yang ada di perairan Teluk Lampung. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 6

74 Stylissa carteri Xestospongia sp. Callyspongia aerizusa Ircinia sp. Lamun atau Seagrass adalah tumbuhan tingkat tinggi yang terdapat dan tumbuh baik di zona reef flat (dangkal). Padang Lamun yang cukup luas dan mencolok dapat ditemukan di perairan Teluk Pulau Tegal. Sebagian besar spesies pembentuk hamparan lamun di Teluk Lampung adalah Enhalus acoroides. Selain itu ditemukan pula hamparan lamun yang terbentuk dari marga Halophila, Cymodocea, dan Thalassia. Enhalus acoroides (Seagrass) Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 7

75 Algae adalah tumbuhan dengan tingkatan yang lebih rendah dibandingkan dengan biota lamun. Persentase rata-rata tutupan algae di Teluk Lampung adalah sebesar 8%. Sebagian besar tutupan karang yang ditemui selama pengamatan didominasi oleh makro alga dari marga Sargassum dan Padina. Beberapa spesies alga yang biasa ditemukan di perairan Teluk Lampung antara lain adalah Sargassum duplicatum, Padina commersoni, Turbinaria decurrens, dan Ulva fasciata. Halimeda micronesica Caulerpa racemosa Sargassum echinocarpum Actinotrichia fragilis. Dalam beberapa kasus, keberadaan lamun dan makro alga yang dapat hidup subur di suatu perairan menandakan bahwa secara alami di perairan tersebut berpotensi untuk usaha budidaya rumput laut. Budidaya rumput laut dimungkinkan di suatu lokasi dengan karakter perairan yang dangkal dan berarus lemah hingga sedang. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 8

76 4.1.1 Pulau Tangkil Pengamatan di pulau ini dilakukan di sebelah utara pulau pada titik koordinat LS BT. Penyelaman dilakukan di perairan yang relatif tenang dengan angin ke arah timur (3 knot), dan dalam kondisi air surut sehingga arus laut bergerak lemah ke arah tenggara. Kondisi terumbu karang pada kedalaman 5 meter di pulau ini dapat dilihat pada Grafik 4.2 dibawah ini. Grafik 4.2 Grafik persentase tutupan karang di Pulau Tangkil Tutupan karang keras (HC) di perairan Pulau Tangkil pada kedalaman 5 meter adalah 33 %, yang tersusun dari genus Acropora (30 %) dan genus Non Acropora (3 %). Fauna lain (OT) yang didominasi oleh Karang Lunak (Sinularia polydactyla) memiliki tutupan sebesar 2 %. Tutupan karang mati (DS) di perairan ini cukup besar (30 %), yang diduga disebabkan karena sering tertutup endapan dan tersebarnya sampah di dasar perairan akibat kegiatan wisata yang cukup tinggi di Pulau ini. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 9

77 Gambar 4.2 Pulau Tangkil (atas), ikan Amphiprion sp. (kiri bawah), dan terumbu karang yang hancur akibat aktifitas pengeboman (kanan bawah) Pulau Tangkil selain menjadi tujuan wisata yang paling diminati oleh masyarakat di Bandar Lampung dan sekitarnya selain karena aksesnya yang mudah di jangkau dari Pantai Mutun, pulau ini juga menjadi sasaran ilegal fishing yaitu kegiatan pengeboman ikan yang dilakukan oleh oknum nelayan yang beroperasi di Teluk Lampung. Ini terlihat dari besarnya persentase tutupan pecahan karang (rubble) sebesar 35 %. Secara umum persentase tutupan terumbu karang dari hasil pengamatan di pulau ini termasuk dalam kategori SEDANG berdasarkan Keputusan Menteri Negera Lingkungan Hidup No. 4 tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang Pulau Tegal Pulau Tegal, kini secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Pesawaran, dan merupakan pulau yang paling dekat dengan sentra kegiatan budidaya laut (marine Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 10

78 culture) yang ada di Teluk Lampung. Pulau ini juga merupakan pulau wisata dengan akses masuk dari Pantai Ringgung. Kegiatan budidaya laut yang ada di sekitar perairan pulau antara lain adalah budidaya kerang mutiara, budidaya ikan kerapu dengan menggunakan bagan apung dan lain-lain. Pengamatan kondisi terumbu karang di pulau ini dilakukan di Teluk Tegal ( ,40 LS ,60 BT), sebuah teluk di sebelah timur pulau dan pantai bagian barat pulau (5 34'5.53" LS '7.98" BT) yang berhadapan langsung dengan daratan Sumatera. Kondisi perairan di teluk ini tenang pada saat pengamatan dilakukan. Teluk Tegal memiliki hamparan padang lamun (Enhallus acoroides) hingga sejauh 50 meter dari garis pantai. Menurut penuturan penduduk setempat di hamparan lamun ini sering ditemukan penyu yang sedang mencari makan. Pantai di bagian barat pulau memiliki hamparan karang hingga 50 meter dari garis pantai. Tutupan karang di pantai ini mulai jarang (poor) ditemukan pada kedalaman 10 meter. Gambar 4.3 Sebagian dari Teluk Tegal yang sering digunakan oleh kapal kapal ikan untuk beristirahat (atas), karang mati yang sudah ditumbuhi alga (kiri bawah), dan bongkahan karang besar yang pecah akibat aktifitas pengeboman ikan (kanan bawah). Persentasi tutupan karang mati di Teluk Tegal cukup besar (24 %), dan pecahan karang (rubble) ditemukan tersebar diseluruh teluk terutama di area tubir karang (fore reef). Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 11

79 Tutupan pecahan karang ini sebesar 13 % yang diduga kuat akibat dari aktifitas pengeboman ikan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan yang beroperasi di Teluk Lampung. Secara lengkap komposisi tutupan terumbu karang di Teluk Tegal dapat dilihat pada grafik sebagai berikut : Tutupan karang hidup di perairan ini di dominasi oleh karang dengan bentuk tumbuh karang daun sebesar 19 % (Montipora florida, Turbinaria reniformis), karang masif (Favia lacuna, Favites abdita, dan Porites mayeri) sebesar 16 %, dan karang bercabang (Pocillopora damicornis, Acropora nobilis) sebesar 3 %. Berdasarkan kriteria baku kerusakan terumbu karang maka kondisi terumbu karang di perairan Teluk Tegal termasuk dalam kategori SEDANG. Gambar 4.4 Kondisi terumbu karang yang masih baik di Teluk Tegal menjadi tempat berlindung dan pengasuhan (nursery ground) bagi anakanak ikan di perairan ini. Tutupan karang di pantai barat Pulau Tegal termasuk dalam kategori sedang dengan persentase karang hidup 47 % yang didominasi oleh karang daun 33 %, Acropora bercabang 8 %, karang masif 6 %, dan karang jari 5 %. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 12

80 Sementara itu karang mati 26 % dan pecahan karang mati sebesar 16 % banyak terlihat di sepanjang dasar perairan akibat dari penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan akibat jangkar perahu, yang hilir-mudik dari daratan Sumatera ke Pulau Tegal sebagai sarana transportasi rutin penduduk pulau maupun wisatawan yang akan berekreasi di pulau ini. Secara detail koposisi tutupan karang di pantai barat Pulau Tegal dapat dilihat pada diagram di bawah ini. Secara umum kondisi terumbu karang di Pulau Tegal berdasarkan hasil penelitian di dua lokasi tersebut di atas menurut kriteria baku kerusakan terumbu karang termasuk dalam kondisi sedang. Gambar 4.5 Bintang Laut Berduri (Acanthaster plancii) yang ada di perairan Pulau Tegal, merupakan salah satu hama terumbu karang yang paling merusak. Terlihat dalam gambar karang memutih (bagian kanan) di makan oleh hama ini Pulau Maitem Pulau Maitem adalah sebuah pulau kecil yang terletak di barat daya Pulau Tegal. Pulau yang berpenduduk beberapa kepala keluarga ini memiliki garis pantai sepanjang 3 km Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 13

81 dan luas pulau ± 17 ha. Jarak pulau ini dengan dengan daratan Sumatera hanya 500 meter saja. Sehingga membuat pulau ini memiliki interaksi yang cukup sering dengan aktifitas masyarakat di pulau induk. Gambar 4.6 Pulau Maitem dengan perairan yang dangkal kerap didatangi nelayan untuk menangkap ikan dengan menggunakan jala dan handline (atas). Koloni Karang lunak (Soft Coral) yang sebagian besar terdiri dari keluarga Sinularia (kiri bawah). Koloni karang bercabang (Seriatopora hystrix) seringkali bersimbiosis dengan ikan karang (kanan bawah). Presentase tutupan karang di zona Reef Flat pulau adalah 42.5 % karang hidup yang tesusun dari karang Acropora (Acropora teres, Acropora palifera, dan Acropora cerealis) sebesar 20 % dan karang non acropora (Porites attenuata, Porites lobata, Mussismilia hispida, dan Montipora florida) sebesar 22.5 %. Karang lunak juga banyak ditemukan tersebar di perairan pulau ini dengan tutupan 22.5 %, yang terdiri dari spesies Sinularia brassica, Sinularia polydactyla, dan Lobophytum crassum. Sebaran karang mati yang di dominasi oleh Dead Coral Algae memiliki prosentase tutupan 12 %, dan pecahan karang mati sebesar 10 %. Menurut informasi masyarakat setempat, banyaknya pecahan karang mati yang ada diduga kuat disebabkan oleh aktifitas pengeboman ikan dan jangkar bagan apung yang sering ditambatkan di perairan pulau ini. Presentase tutupan karang di perairan Pulau Maitem dapat diilustrasikan dalam diagram di bawah ini : Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 14

82 Berdasarkan kriteria baku mutu kerusakan karang yang ditetapkan oleh Kementrian Negara Lingkungan Hidup, kondisi terumbu karang di Pulau Maitem ada dalam kategori sedang. Di perairan ini pula ditemukan banyak bintang laut berduri (Acanthaster plancii) yang menjadi hama bagi terumbu karang. Untuk mengendalikan populasi biota ini tidak ada cara lain dengan melakukan penyelaman dan membunuh biota ini satu persatu. Sebenarnya predator alami dari biota ini adalah penyu. Karena populasi penyu di Teluk Lampung sudah dapat dikatakan punah maka populasi bintang laut berduri ini berkembang tanpa ada pengendali alaminya. Gambar 4.7 Beberapa variant biota Bintang Laut Berduri (Acanthaster plancii) yang di temukan di perairan Pulau Maitem Pulau Kelagian Pulau Kelagian adalah salah satu pulau besar yang ada di perairan Teluk Ratai, sebuah teluk kecil di wilayah perairan Teluk Lampung. Pulau ini memiliki panjang garis pantai ± 10 km. Topografi Pulau Kelagian berbukit-bukit dengan hutan alam yang cukup Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 15

83 lebat. Pulau yang bependuduk ini kini sebagian besar lahannya dijadikan tempat TNI Angkatan Laut (Batalyon Marinir) berlatih perang-perangan. Gambar 4.8 Pulau Kelagian yang berbukit dilihat dari arah laut. Persentase tutupan karang hidup di perairan pulau ini cukup tinggi (61.91 %) di bandingkan dengan pulau-pulau lain di Teluk Lampung. Hal ini terjadi karena kegiatan ilegal fishing seperti pengeboman dan pemotasan relatif sedikit, karena aktifnya kegiatan TNI AL di pulau tersebut. Berikut diagram presentase tutupan karang di Pulau Kelagian. Tutupan karang mati di lokasi pengamatan ( LS BT) sebagian besar berupa karang mati berwarna putih (death coral) sebesar % dan pecahan karang mati (rubble) sebesar 1.01 %. Tutupan karang lunak (soft coral) di lokasi pengamatan juga ditemukan sebesar 5.03 %, yang didominasi spesies Sinularia flexibillis. Pada kedalaman 7 meter, presentase tutupan pasir (sand) sebesar %. Di lokasi pengamatan, pada kedalaman lebih dari 7 meter kecerahan air jauh berkurang Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 16

84 (3 m) karena air yang cenderung keruh. Pada kedalaman ini tutupan karang menjadi lebih jarang selaras dengan bertambahnya kedalaman. Secara umum kondisi tutupan karang di perairan Pulau Kelagian berdasarkan ukuran baku mutu kerusakan karang termasuk dalam kategori baik. Gambar 4.9 Karang lunak jenis Sinularia flexibillis banyak ditemukan di kedalaman 7 meter (kiri atas). Terumbu karang yang sehat menjadi tempat berkembangbiaknya ikan ikan (kanan atas). Lili laut diantara tutupan karang Acropora (kiri bawah). Penyelam sedang mengamati tutupan karang daun di kedalaman 7 meter (kanan bawah) Puhawang Pengamatan tutupan terumbu karang di Puhawang di lakukan di dua lokasi yaitu di Pulau Puhawang ( ,10 LS ,8 BT) dan di Pulau Puhawang Lunik ( LS ,60 BT). Pulau Puhawang merupakan pulau besar yang berpenduduk. Pulau ini memiliki panjang garis pantai ± 11 km. Di pulau ini pula kegiatan budidaya laut dengan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 17

85 menggunakan bagan jaring apung dilakukan di perairan sekitar pulau. Di lokasi pengamatan ini persentase karang hidup sebesar % dan karang mati sebesar 11,12 % yang sebagian besar di dominasi oleh karang yang baru mati (death coral). Hal ini terjadi diduga karena cahaya matahari yang tidak dapat diterima karang karena tertutup oleh banyaknya bangunan bagan jaring apung yang berada di atas ekosistem karang. Selain itu, persentase pecahan karang mati (16.02 %) di lokasi pegamatan ini terjadi karena gesekan jangkar bangunan bagan jaring apung dan jangkar kapal yang sering merapat di bangunan bagan apung. Pulau Puhawang Lunik adalah pulau kecil yang terletak di sebelah timur pulau induknya (P. Puhawang). Pulau kecil ini memiliki panjang garis pantai ± 1.2 km dan kini menjadi pulau peristirahatan dengan dibangunnya fasilitas rekreasi oleh seorang pengusaha. Terumbu karang di perairan pulau ini rusak, dengan persentase penutupan karang hidup hanya 24 %. Sedangkan tutupan karang mati sebesar 30 % dan pecahan karang mati (rubble) sebesar 23 %. Komposisi penutupan karang di wilayah Puhawang dapat dilihat pada diagram di bawah ini. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 18

86 Gambar 4.10 Salah satu bangunan bagan jaring apung yang banyak terdapat di perairan Pulau Puhawang (atas). Kondisi tutupan karang (kiri bawah) dan pecahan karang mati di tengah kondisi perairan yang keruh sehingga menghambat pertumbuhan dan recovery karang (kanan bawah). Penutupan karang lunak di lokasi pengamatan Pulau Puhawang adalah sebesar 5.1 % dengan dominasi jenis Nepthea audouin. Sedangkan makro alga di temukan juga di lokasi pengamatan P. Puhawang (10 %) dan di P. Puhawang lunik sebesar 5 %. Gambar 4.11 Lokasi Peristirahatan dan beberapa kondisi karang di P. Puhawang Lunik. Secara umum kondisi terumbu karang di wilayah Puhawang dapat di ilustrasikan dalam grafik di bawah ini. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 19

87 Dari grafik di atas dapat disimpulkan bahwa tutupan karang hidup di wilayah Puhawang sebesar 31.2 % dan tutupan karang mati 20.6 % dan pecahan karang mati sebesar 19.5 %. Sehingga dapat dikatakan bahwa berdasarkan kriteria baku mutu kerusakan karang adalah bahwa ekosistem terumbu karang di wilayah Puhawang ini berada dalam kategori sedang Pulau Siuncal Gambar 4.12 Jangkar perahu yang digunakan untuk menambat perahu juga sangat berpotensi merusak keutuhan karang (kiri atas). Karang masif, Favia fragum dan Erythrastrea flabellata (kanan atas). Karang lunak Nepthea audouin di dasar perairan (kiri bawah). Pulau Siuncal adalah salah satu pulau di Teluk Lampung yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Karena letak geografis pulau ini yang terletak tepat di mulut teluk maka pengaruh perairan Samudera Hindia sangat besar terhadap pulau ini antara lain adalah arus dan gelombang yang besar terutama di sebelah barat daya dan selatan pulau. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 20

88 Lokasi penyelaman di Pulau Siuncal adalah di sebelah barat daya pulau ( LS ,90 BT), di Selat Siuncal, sebuah perairan yang dikenal sebagai rumah dari segala jenis ikan hiu. Gambar 4.13 Pulau Siuncal di lihat dari arah Selat Siuncal (atas). Kondisi tutupan karang di Selat Siuncal yang istimewa dengan kelimpahan ikan karang dan kima raksasa (bawah). Penyelaman di lakukan di kedalaman 5 meter dan pada saat laut pasang, sehingga arus bergerak menyeret pengamat ke arah utara. Kecerahan air cukup baik (6 meter) dan di setiap kolom air dapat ditemui ubur-ubur (jelly fish). Lokasi pengamatan ini sangat berpotensi sebagai tempat olahraga selam, karena keanekaragaman jenis karang keras dan karang lunak serta ikan karang berwarna-warni yang melimpah. Kesan pertama pengamat pada saat melakukan penyelaman di lokasi sangat baik dan kesan ini penting bagi setiap penyelam yang beraktifitas di lokasi ini untuk suatu saat kembali lagi. Walaupun di lokasi ini menurut masyarakat pulau, frekuensi pengeboman ikan tidak sering, namun di beberapa tempat masih tertinggal lobang-lobang bekas pengeboman yang terasa sangat mengganggu pemandangan pada saat menyelam. Menurut masyarakat di Pulau Siuncal, pengeboman jarang dilakukan di perairan ini dikarenakan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 21

89 banyaknya ikan hiu, hal ini yang mencegah penyelam kapal bom untuk masuk ke dalam air untuk memungut ikan hasil pengeboman. Persentase tutupan karang di lokasi pengamatan sebesar %, dengan komposisi tutupan karang keras Acropora 5.74 % (Acropora foliosa, Acropora aspera, dan Acropora valida), dan karang keras non Acropora sebesar % dengan jenis karang pembentuknya antara lain Montipora florida, Seriatopora hystrix, Pavona calavus, Pocillopora eydouxi, Porites lobata dan Porites cylindrica. Berikut di bawah ini di sajikan grafik tutupan karang di lokasi pengamatan secara lengkap. Tutupan karang mati di perairan ini di dominasi oleh karang mati (DC) sebesar 5.36 %. Persentase kerusakan karang tersebut bertambah pula dengan tutupan pecahan karang mati (rubble) sebesar 9.76 %. Persentase biota lain (other fauna) di perairan ini di dominasi oleh karang lunak (soft coral) dengan persentase tutupan sebesar (31.87 %). Jenis-jenis karang lunak yang ditemukan di lokasi pengamatan ini antara lain adalah, Sinularia polydactyla, Sinularia flexibillis, dan Sarcopyton sp.secara umum ekosistem terumbu karang di Pulau Siuncal berdasarkan baku mutu kerusakan karang ada dalam kategori sedang Legundi Pengamatan terumbu karang di wilayah Pulau Legundi di lakukan di 4 (empat) lokasi yaitu di Pulau Legundi ( ,84 LS BT), Teluk Selesung ( ,74 LS ,4 BT), Pulau Unang-Unang ( ,95 LS ,03 BT), dan di Pulau Seserot ( ,77 LS ,12 BT). Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 22

90 Pengamatan tutupan karang dilakukan dengan penyelaman di kedalaman 5 meter, dan kecerahan hingga 4-6 meter. Penyelaman dilakukan pada saat air pasang sehingga arus bergerak ke arah utara. Dari pengamatan tersebut, diperoleh persentase tutupan karang di wilayah Legundi yang diilustrasikan pada grafik dibawah ini. Pulau Legundi adalah sebuah pulau besar di Teluk Lampung yang berpenduduk cukup banyak, dengan topografi yang berbukit dan memiliki vegetasi tropis yang cukup luas. Karena tingginya aktifitas penduduk dan kegiatan penangkapan ikan maupun budidaya laut dengan menggunakan bagan jaring apung, jaring tancap dan lain sebagainya, secara langsung dan tidak langsung berdampak terhadap kondisi ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Legundi. Tutupan karang hidup di lokasi pengamatan ini adalah % dengan komposisi karang bercabang (CB) 9.96 %, dan karang kerak (CE) 1.01 %. Di lokasi pengamatan ini dasar perairan didominasi oleh karang lunak dengan tutupan sebesar %. Spesies karang lunak yang dominan adalah Sinularia flexibillis. Bukti bahwa di Pulau ini telah berlangsung tekanan yang hebat terhadap ekosistem terumbu karang adalah dengan tingginya tutupan pecahan karang mati (rubble) yaitu sebesar %. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 23

91 Gambar 4.14 Pelabuhan kapal di Pulau Legundi selain berfungsi sebagai tempat ditambatkannya kapal juga sebagai tempat bersandarnya bagan apung yang beroperasi di Teluk Lampung (atas). Salah satu spesies Karang masif (kiri bawah). Karang lunak keluarga Sinularia dengan tutupan % di lokasi pengamatan P. Legundi (kanan bawah). Teluk Selesung merupakan teluk kecil di pantai Pulau Legundi. Dari hasil pengamatan yang dilakukan di kedalaman 7 meter, persentase penutupan karang hidup sebesar % yang terdiri dari tutupan karang Acropora 1.89 % dan karang non Acropora %. Tutupan karang mati di lokasi ini sebesar 13 % dan dipertegas dengan tutupan pecahan karang mati sebesar %. Hal ini menunjukkan tingginya tekanan alam dan akibat dari aktifitas manusia di perairan ini. Pengambilan karang oleh masyarakat untuk bahan bangunan dan jalan di Pulau Legundi menjadi salah satu penyebab terbesar rusaknya ekosistem karang di perairan Legundi. Gambar 4.15 Tumpukan karang untuk bahan bangunan di Pulau Legundi. Tutupan karang lunak di Teluk Selesung sebesar % dengan spesies dominan Xenia sp. Selain itu makro alga (MA) memiliki persentase tutupan 1.05 % dan alga halus (turf algae) sebesar 4.20 %. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 24

92 Gambar 4.15 Beberapa bentuk tumbuh karang, lobster (kiri atas) dan bintang laut biru (kanan bawah). Pulau Unang-Unang adalah pulau kecil yang sekarang berfungsi sebagai tempat budidaya karang hias. Keberadaan usaha budidaya karang hias untuk ekspor ini sangat berpengaruh dalam mengurangi frekuensi tindak pengeboman ikan dan pemotasan lobster di perairan sekitar pulau. Hingga kini menurut penuturan penduduk pulau, kegiatan pengeboman ikan masih berlangsung di perairan sekitar Pulau Legundi. Persentase penutupan karang hidup dipulau ini 36 % dengan komposisi karang acropora jenis Acropora aspera dan Acropora cylindrica sebesar %, karang non acropora yang di dominasi bentuk tumbuh masif (Goniopora minor dan Porites murrayensis) sebesar %.Tutupan karang mati di perairan pulau ini %, dan pecahan karang mati sebesar %. Hal ini membuktikan bahwa kegiatan pengeboman yang dilakukan oleh oknum nelayan sering dilakukan di pulau ini di waktu yang lalu. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 25

93 Gambar 4.16 Pecahan karang mati (rubble) akibat pengeboman (kiri atas). Beberapa bentuk tumbuh karang (kanan atas). Ikan karang diantara karang lunak (kiri bawah). Budidaya karang hias untuk ekspor (kanan bawah). Pulau Seserot adalah salah satu pulau yang menjadi sasaran para pengebom ikan di wilayah perairan Legundi dengan persentase karang hidup % dan karang mati 4.44 %. Yang menonjol di perairan pulau ini adalah persentase pecahan karang mati sebesar %. Karang lunak di perairan ini didominasi oleh spesies Sinularia ehrenberg, dan karang masif terdiri dari Enchinopora forskaliana dan Porites murrayensis. Gambar 4.17 Kondisi terumbu karang di Pulau Seserot. Secara umum persentase penutupan karang di wilayah perairan Legundi terdiri dari karang hidup 30.6 %, karang mati 9.5 % dan pecahan karang mati (rubble) 47.5 %. Secara detail komposisi penutupan karang di perairan legundi ditunjukkan oleh grafik dibawah ini. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 26

94 Dengan demikian, berdasarkan kriteria baku mutu kerusakan karang yang telah ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup (2001), penutupan karang di wilayah ini termasuk dalam kategori sedang. Gambar 4.18 Beberapa spesies karang yang dibudidayakan untuk ekspor di Pulau Unang-Unang. Berurutan ; Acropora globiceps, Acropora nobilis, Galaxea fascicularis, Anemon, dan Acropora robusta Pulau Tiga Pulau tiga adalah nama umum yang diberikan masyarakat Lampung Selatan untuk tiga pulau yang berdampingan membentuk satu garis lurus. Pulau ini terletak tepat di tengah-tengah antara Canti dan Pulau Sebuku Kabupaten Lampung Selatan. Ketiga pulau itu adalah Pulau Tiga Lana ( ,38 LS ,15 BT), Pulau Tiga Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 27

95 Lok ( ,65 LS BT), dan Pulau Tiga Damar ( LS BT). Ketiga pulau kecil dan tidak berpenghuni tersebut dikelilingi tutupan terumbu karang yang sempit dan curam (crack). Kedalaman laut disekeliling pulau dapat mencapai hingga 47 meter dari permukaan laut. Posisi ketiga pulau yang saling berdekatan, berlorong dan bergua di bawah laut menjadi rumah yang tepat bagi populasi ikan hiu. Secara khusus kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi komunitas penyelam yang menyukai daerah hiu (shark point). Gambar 4.19 Pulau Tiga dilihat dari arah Canti Kabupaten Lampung Selatan, pulau besar di belakang ketiga pulau tersebut adalah Pulau Sebuku dan Pulau Sebesi (atas). Kontur Pulau Tiga yang berlorong dan bergua menjadi atraksi wisata khusus penyelaman Shark Point (kiri bawah). Karang daun dan karang lunak di Pulau Tiga (kanan bawah). Kondisi ekosistem terumbu karang di ketiga pulau tersebut relatif sama, hal ini dapat dimengerti karena pulau-pulau tersebut masih terletak di satu hamparan terumbu. Secara detail persentase tutupan karang di tiap-tiap pulau dapat di tunjukkan dalam grafik dibawah ini : Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 28

96 Secara umum rata-rata persentase karang hidup di wilayah perairan Pulau Tiga adalah 20.3 %, karang mati 2 %, dan pecahan karang mati terpantau sebesar 31.3 %. Sementara itu fauna lain di dominasi oleh karang lunak yang terdiri dari jenis Sinularia polydactyla dan Sarcophyton sp. Berdasarkan kriteria baku kerusakan terumbu karang, maka tutupan karang di perairan Pulau Tiga termasuk dalam kategori rusak. Secara komposisi rata-rata tutupan karang di perairan Pulau Tiga ditunjukkan dalam grafik dibawah ini Kepulauan Condong Pengamatan tutupan karang di Kepulauan Condong dilakukan di tiga pulau pembentuknya yaitu Pulau Sulah (Stasiun I : LS BT, Stasiun II : LS BT), Pulau Condong Laut ( Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 29

97 LS BT), dan Pulau Condong Darat ( LS BT). Persentase penutupan karang secara detail dapat dilihat pada grafik di bawah ini. Kondisi tutupan karang di tiga pulau ini mengalami kerusakan, dan kualitas terumbu karang di perairan ini jauh menurun dibandingkan dengan 5 hingga 6 tahun yang lalu. Ini terjadi karena laju pembangunan fasilitas wisata dan peristirahatan milik perseorangan di ketiga pulau tersebut. Gambar 4.20 Pembangunan tanggul penahan pantai (kiri) yang menggunakan karang dari perairan di Pulau Sulah merusak ekosistem terumbu karang di pulau ini (kanan). Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 30

98 Gambar 4.21 Pembangunan fasilitas peristirahatan dan budidaya laut dengan jaring tancap di Pulau Condong Laut dan kondisi terumbu karang di Pulau Condong Laut (atas). Pulau Condong Darat yang dikelola oleh Grup Artha Graha dan kondisi terumbu karang di perairan Pulau Condong Darat (bawah). Persentase tutupan terumbu karang di Kepulauan Condong rata-rata untuk karang hidup 38.4 %, karang mati 18.6 % dan pecahan karang mati (rubble) sebesar 18.6 % (lihat grafik rata-rata penutupan karang di Kepulauan Condong di bawah). Dari grafik di bawah ini dapat diketahui berdasarkan kriteria baku kerusakan terumbu karang, terumbu karang di perairan Kepulauan Condong ada dalam kategori sedang Teluk Pedada Teluk Pedada adalah perairan semi tertutup di dalam kawasan perairan Teluk Lampung. Teluk Pedada termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Pesawaran, dan perairan ini terletak di ujung barat Teluk Lampung yang berbatasan dengan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 31

99 Samudera Hindia. Garis pantai di teluk ini penuh dengan lika-liku dan terdapat beberapa pulau kecil serta gosong karang di dalamnya. Batimetri Teluk Pedada tergolong miring dimulai dari pantai kearah mulut Teluk Pedada kedalaman dasar perairan ini bisa mencapai 50 m. Secara umum perairan ini memiliki kedalaman rata-rata yang tertinggi dibandingkan dengan perairan teluk kecil lainnya yang ada di wilayah Teluk Lampung. Grafik 4.22 Grafik persentase tutupan karang di Teluk Pedada Pengamatan karang di Teluk Pedada dilakukan pada saat laut surut, dengan arus lemah yang bergerak ke arah tenggara. Pengamatan dilakukan di 8 (delapan) titik penyelaman yaitu Teluk Kucangreang ( ,06 LS ,65 BT), Pulau Balak ( ,10 LS ,70 BT), Pulau Lok ( ,90 LS ,20 BT), Gosong Pulau Lok ( ,96 LS ,32 BT), Pulau Lunik ( ,25 LS ,57 BT), Gosong Lunikan ( ,70 LS ,30 BT), Tanjung Putus 1 ( ,94 LS ,23 BT) dan di Tanjung Putus 2 ( ,65 LS ,83 BT). Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 32

100 Suhu rata-rata di perairan pada saat pengamatan 29 C dan salinitas air permukaan rata-rata 32 permil. Kecerahan air laut pada kedalaman 5 meter disetiap titik pengamatan rata-rata adalah 5 meter. Secara detail hasil pengamatan persentase terumbu karang di Teluk Pedada dapat dilihat pada Grafik 4.11 di atas. Gambar 4.23 Kondisi perairan Teluk Kucangreang yang terdiri dari batuan cadas, karang mati dan dominasi karang lunak serta makro alga. Perairan Teluk Kucangreang miskin karang hidup. Dari hasil pengamatan di peroleh perairan tersebut didominasi oleh karang lunak dari genus Sinularia (24.74%) dan makro alga dari genus Turbinaria (2.06%) seperti Turbinaria decurrens yang tersebar di tempat-tempat dimana bisa terkena gelombang secara langsung. Pulau Balak merupakan daerah survey yang menarik karena di pulau ini terdapat kegiatan budidaya ikan kerapu dan penangkaran ikan hiu. Selain itu karena aktifitas Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 33

101 di pulau dan dengan adanya pos penjagaan yang dijaga aparat, secara tidak langsung melindungi ekosistem terumbu karang disekitar pulau dari kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Persentase tutupan karang hidup di Perairan Pulau Balak termasuk dalam kategori BAIK (51 %) berdasarkan standar baku mutu kerusakan karang. Namun demikian masih terdapat pecahan karang mati (rubble) sebesar 10% di sekitar perairan Pulau Balak. Gambar 4.24 Pos Penjagaan kompleks budidaya di Pulau Balak dan keramba jaring tancap berisi ikan hiu yang di tangkarkan. Pulau Lok adalah pulau kedua terbesar di Teluk Pedada setelah Pulau Balak. Pulau ini merupakan pulau datar dengan luas ± 7 ha dan memiliki garis pantai sepanjang ± 1.3 km. Pulau ini menurut keterangan masyarakat sering menjadi sasaran kegiatan ilegal fishing terutama pengeboman ikan. Hal ini terlihat dari persentase pecahan karang mati (rubble) yang sebesar 20.2 %. Namun demikian tutupan karang hidup di pulau ini masih tergolong sedang (40 %) dengan komposisi karang acropora yang didominasi oleh spesies Acropora aspera (11%), dan karang keras non acropora dengan bentuk tumbuh karang daun (17.5%) Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 34

102 adalah dari genus Montipora, Pavona cactus dan spesies Agaricia agaricites. Karang dengan bentuk tumbuh masif sebesar 12.5% yang antara lain terdiri dari Porites mayeri,siderastrea siderea, dan Lobophyllia hemprichii. Karang lunak juga cukup banyak ditemukan di perairan ini (13.8%) yang tersusun dari genus Sinularia, disamping makro alga (4.5%) dan sponge 1%. Untuk makro alga spesies yang dominan adalah Padina commersoni. Gambar 4.25 Sponge jenis Callyspongia aerizusa di perairan Pulau Lok. Pulau Lunik adalah sebuah pulau kecil di sebelah utara Pulau Lok dengan diameter ± 50 meter. Komposisi dasar perairan pulau ini sebagian besar terdiri dari pasir. Tetapi tidak demikian dengan Gosong Lunikan yang memiliki tutupan karang hidup sebesar 49.2 %. Kondisi Pulau Lunik yang miskin dengan terumbu karang berdampak pada tingkat abrasi pantai yang terjadi di pulau tersebut, sehingga membuat pengelola pulau tersebut perlu membuat struktur penahan pantai yang hingga kini tampaknya juga tidak terlalu efektif manfaatnya. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 35

103 Gambar 4.26 Pulau Lunik (atas), Porites cylindrica dan karang masif Favia lacuna di Gosong Lunikan. Tanjung Putus terletak di sebelah ujung Timur Laut Teluk Pedada. yang dikatakan perairan Tanjung Putus sebenarnya adalah sebuah selat sempit diantara daratan Sumatera dengan Pulau Tanjung Putus. Dinamakan Tanjung Putus karena konon dahulu kala daerah itu adalah sebuah tanjung yang karena suatu hal terpisahkan dari daratan utamanya. Perairan Tanjung Putus ini merupakan salah satu sentra kegiatan budidaya laut dengan menggunakan jaring apung dan juga sebagai basis wisata penyelaman di Teluk Lampung. Karena pengawasan dan aktifitas budidaya dan wisata yang hampir tdak pernah berhenti di wilayah perairan tersebut, tutupan terumbu karang di perairan tersebut relatif terhindar dari kegiatan pengeboman yang ditandai dengan banyaknya hamparan peracahan karang mati (rubble). Persentase tutupan karang hidup di perairan ini termasuk dalam kategori baik (50.64 %) walaupun di beberapa tempat tetap ditemukan pecahan karang mati (rubble) sebesar %, yang diduga kerusakan karang tersebut disebabkan akibat jangkar bangunan jaring apung dan jangkar perahu yang beroperasi diperairan tersebut. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 36

104 Gambar 4.27 Pulau Tanjung Putus dilihat dari arah laut (atas), juvenil ikan hidup diantara terumbu karang, dan karang masif Montipora turgescens (bawah). Bentuk tumbuh karang penyusun karang hidup di perairan Tanjung Putus yang dominan adalah karang daun (foliose) dan karang masif. Karang daun yang ditemukan di perairan ini antara lain adalah Leptoseris yabei, dan karang masif yang ditemukan antara lain adalah Montipora turgescens, dan Porites lobata. Karang jamur (mushroom) juga banyak tersebar di perairan ini yaitu sebesar 3 %. Dari hasil pengamatan, di peroleh gambaran bahwa Teluk Pedada merupakan salah satu sentra budidaya laut dan entry point dari kegiatan wisata selam di Teluk Lampung. Secara umum persentase penutupan karang di perairan ini adalah 33 % karang hidup, karang mati 15.4% dan pecahan karang mati (rubble) 10.3%. Perlu mendapat perhatian terhadap tingginya penutupan karang yang rusak (karang mati dan karang pecah) sebesar 25.7 %, dengan kata lain seperempat dari seluruh luasan terumbu karang di Teluk Pedada dalam keadaan rusak. Tentunya hal ini mengisyaratkan bahwa perlu diambil kebijakan pengawasan oleh pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi aktifitas dibidang perikanan secara teknis yang berpotensi merusak kelestarian ekosistem terumbu karang di teluk ini. Berdasarkan kriteria baku kerusakan terumbu karang (Kepmen LH No.4 tahun 2001), tutupan terumbu karang di wilayah perairan Teluk Pedada termasuk dalam kategori sedang dengan penutupan karang hidup rata-rata adalah 33 %. Secara detail persentase tutupan karang di Teluk Pedada dapat dilihat pada grafik dibawah ini. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 37

105 Grafik 4.4 Tutupan Karang di Teluk Pedada Kepulauan Lelangga Kepulauan Lelangga terdiri dari Pulau Lelangga Balak ( ,75 LS ,31 BT) dan Pulau Lelangga Lunik ( ,40 LS ,10 BT). Hasil pengamatan dan detail tutupan terumbu karang di kepulauan tersebut dapat dilihat pada grafik dibawah ini. Grafik 4.5 Persentase tutupan karang di Kepulauan Lelangga Secara umum kondisi karang di Kepulauan Lelangga berdasarkan kriteria baku kerusakan terumbu karang, termasuk dalam kategori sedang (karang hidup (29.3%). Karang hidup di perairan ini sebagian besar tersusun dari karang dengan bentuk tumbuh meja (9.5%), karang jari (6.8%), karang daun (4.5%) dan karang bercabang Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 38

106 (8%). Spesies karang dengan bentuk tumbuh meja (tabulate) yang ada di perairan ini antara lain Acropora cytherea. Bentuk tumbuh jari spesies pembentuknya antara lain adalah Acropora palifera, dan pembentuk populasi karang bercabang di perairan Lelangga antara lain adalah Acropora parilis, karang masif adalah Montastrea curta, serta karang daun Agaricia agaricites. Gambar 4.28 Acropora cytherea (atas), dan beberapa spesies karang lunak di perairan Pulau Lelangga Balak. Yang menarik dari pengamatan di perairan Lelangga adalah kondisi dan status Pulau Lelangga Lunik. Pulau Lelangga Lunik kini pengelolaannya sudah dikuasai oleh seorang pengusaha. Di atas pulau itu dibangun beberapa fasilitas rumah peristirahatan. Namun sayangnya kondisi terumbu karang di perairan ini rusak terutama di arah pintu masuk ke pulau. Karang hidup di pulau ini praktis hanya di Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 39

107 temukan di sebelah selatan pulau (24%) dan sisanya adalah karang rusak yang terdiri dari karang mati (20%), dan pecahan karang mati atau rubble sebesar 16%. Beberapa karang lunak juga ditemukan di perairan ini sebagai bentuk upaya karang untuk kembali pulih. Karang lunak (36%) yang ada di perairan ini antara lain adalah Nepthea audouin, dan beberapa jenis karang lunak dari genus Sinularia. Gambar 4.29 Pulau Lelangga Lunik di lihat dari laut dan kondisi terumbu karang yang rusak di perairan Pulau Lelangga Lunik. Secara umum tutupan karang yang rusak di perairan lelangga lebih besar dibandingkan dengan karang hidup (36.5%), yang terdiri dari karang mati 23.5% dan rubble 13%. Rata-rata persentase tutupan karang di Kepuluan Lelangga disajikan dalam grafik dibawah ini. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 40

108 Kerusakan karang yang parah di Pulau Lelangga Lunik, Kabupaten Pesawaran Ketapang Ketapang adalah pantai di wilayah perairan Teluk Ratai Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran. Teluk Ratai merupakan teluk di kawasan Teluk Lampung yang menjadi pusat pertahan dan keamanan nasional. Di teluk ini dibangun dan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 41

109 dikembangkan Pangkalan Utama Armada Laut/Maritim TNI Angkatan Laut Bagian Barat Teluk Ratai. Selain terdapat Dermaga Armada Barat, Pangkalan Maritim dan Brigade Infanteri Marinir juga di pusatkan di kawasan ini. Dijadikannya Teluk Ratai sebagai basis militer berdampak pada kelestarian ekosistem terumbu karang di perairan ini. Hal ini tercermin dari kondisi tutupan terumbu karang di perairan Ketapang. Tutupan karang hidup di perairan ini adalah 59%. Karang rusak 18% yang terdiri dari karang mati 13% dan rubble 5%. Pecahan karang mati (rubble) yang sedikit mengindikasikan bahwa di wilayah ini kegiatan pengeboman ikan dan kegiatan ilegal fishing lainnya relatif lebih sedikit dibandingkan dengan kondisi perairan lainnya di Teluk Lampung. Grafik 4.6 Grafik Persentase tutupan karang di perairan Ketapang. Pengamatan terumbu karang di perairan ini dilakukan pada saat laut surut, arus sedang ke arah selatan. Suhu permukaan pada saat pengamatan 30 C dan salinitas air laut 31 pemil. Kecerahan air laut pada kedalaman 5 meter adalah 6 meter, kondisi ini cukup memudahkan proses pengambilan data primer dengan menggunakan metode Line Intercept Transect yang menarik garis lurus di daerah Reef Flat sepanjang 50 meter. Kondisi kecerahan tersebut juga sangat memudahkan pengambilan dokumentasi bawah laut di perairan ini. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 42

110 Gambar 4.29 Pintu gerbang kawasan militer TNI AL (atas), lili laut dan hamparan karang jari Acropora irregularis (bawah). Karang hidup di perairan Ketapang di dominasi oleh karang non acropora dengan bentuk tumbuh karang daun (foliose) sebanyak 40% seperti spesies Leptoseris amitoriensis. Karang bercabang sebanyak 29% seperti Montipora gaimardi, Acropora brueggemanni, Anacropora pillai dan lain-lain. Beberapa spesies karang jari (coral digitate) penyusun ekosistem terumbu di perairan ini antara lain adalah Acropora irregularis, Montipora angulata. Dan karang lunak (5%) di perairan ini sebagian besar terdiri dari genus Sinularia Pesisir Pantai Kalianda Pengamatan ekosistem terumbu karang di pesisir pantai Kabupaten Lampung Selatan sangat penting untuk mengetahui perbandingan kondisi tutupan karang diantara pantai Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 43

111 Kabupaten Pesawaran, Kota Bandar Lampung dan dengan Kabupaten Lampung Selatan itu sendiri. Pengamatan karang di pantai Kalianda Kabupaten Lampung Selatan di lakukan di 4 (empat) stasiun yaitu; Pantai Canti ( ,30 LS ,2 BT), Pantai Kaliandak ( LS BT), Merak Belantung 1 ( LS BT), Merak Belantung 2 ( LS BT). Persentase tutupan karang di lokasi pengamatan tersebut dapat dilihat pada grafik di bawah ini. Grafik 4.7 Persentase tutupan karang di Pantai Kalianda. Kondisi ekosistem terumbu karang di Pantai Kalianda berdasarkan kriteria baku kerusakan karang termasuk dalam kategori rusak. Hal ini terlihat dilapangan bahwa kelompok terumbu karang yang masih hidup didasar perairan cukup sulit ditemukan. Sebagai contoh di Canti tutupan karang hidup 15.8%, Pantai Kalianda 12%, dan ratarata tutupan karang hidup di Merak Belantung 9.5%. Secara umum kondisi penutupan terumbu karang di wilayah pesisir pantai Kalianda Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 44

112 dapat di ilustrasikan dengan grafik kue dibawah ini. Pada grafik kue di atas dapat dilihat penutupan karang hidup hanya 11.7% (kategori rusak), dan karang rusak 16.15% yang terdiri dari karang mati 7.75% dan rubble 8.4%. Yang unik dari pengamatan di pesisir Kalianda adalah tingginya persentase penutupan alga di perairan ini yaitu sebesar 39.75%. Kondisi ini hampir merata di setiap lokasi pengamatan, seperti di Canti tutupan alga sebesar 11%, pantai Kalianda 42%, dan rata-rata tutupan alga di Merak Belantung sebesar 53%. Persentase tutupan alga yang cukup tinggi ini disebabkan karena kondisi habitat yang tepat cocok untuk pertumbuhan alga yaitu kondisi perairan pantai yang relatif tenang hingga berarus sedang, serta substrat perairan yang berpasir (29.75%). Kondisi perairan yang di tumbuhi alga biasanya menjadi indikator bahwa di perairan tersebut representatif untuk pengembangan budidaya rumput laut, yang dapat menjadi alternatif usaha bagi masyarakat pesisir Kabupaten Lampung Selatan. Beberapa jenis makro alga yang teridentifikasi di sepanjang lokasi pengamatan antara lain adalah ; Caulerpa racemosa, Turbinaria decurrens, Padina commersoni, Actinotrichia fragilis, Sargassum duplicatum, dan Halymenia durvillaei. Makro alga yang ditemukan dominan di pantai Canti adalah dari jenis Caulerpa racemosa yaitu 11% dari area pengamatan di Canti, makro alga di Pantai Kalianda didominasi oleh spesies Actinotichia fragilis (34%) dan Sargassum sp (8%), serta makro alga di Merak Belantung didominasi oleh genus Sargassum (50%). Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 45

113 Gambar 4.30 Makro algae Halymenia durvillaei di Canti (kiri atas), Caulerpa racemosa dan Turbinaria decurrens di Canti (kanan atas), Actinotichia fragilis (merah) dan Titanophora pulchra (orange) di Kalianda (kanan bawah), dan Sargassum sp. Di Merak Belantung (kiri bawah). Makro alga dari jenis Titanophora pulchra yang berwarna orange adalah makro alga yang jarang ditemui. Menurut Puslitbang Oseanologi LIPI (1996), makro alga jenis Titanophora sp baru terlihat di perairan Sulawesi dan itupun hanya satu sampel saja yang ditemukan Pantai Tanjung Selaki-Pasir Putih Pantai Tanjung Selaki dan Pasir Putih adalah dua pantai di pesisir Kabupaten Lampung Selatan yang menjadi sentra kegiatan wisata. Kegiatan-kegiatan wisata Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 46

114 bahari yang dilakukan di kedua pantai tersebut sebagian besar adalah wisata keluarga dan berperahu. Pantai Pasir Putih berhadapan langsung dengan Pulau Condong Darat, salah satu dari tiga pulau di Kepulauan Condong. Seperti diketahui Pulau Condong adalah Pulau wisata dan Pasir Putih menjadi salah satu pintu masuk ke Pulau Condong tersebut. Bersebelahan dengan Pantai Pasir Putih, terdapat tempat pendaratan ikan di Rangai, sehingga semua aktifitas perikanan dan wisata di sekitar Pantai Pasir Putih tersebut cukup memberikan tekanan yang berat terhadap kelestarian terumbu karang di perairan tersebut. Hal ini terlihat dari persentase tutupan karang hidup di Pasir Putih yang sebesar 25% dan pecahan karang sebesar 31%. Persentase tutupan karang di Pantai Pasir Putih dan Tanjung Selaki dapat di lihat pada grafik dibawah ini. Tekanan yang diterima oleh ekosistem terumbu karang di Tanjung Selaki relatif sama dengan apa yang terjadi di Pantai Pasir Putih. Kegiatan wisata cukup padat di akhir minggu dan kegiatan penangkapan ikan dengan bagan apung di perairan sekitar Tanjung Selaki sedikit banyak memberikan dampak pada karang yang tercermin pada keberadaan karang hidup di perairan ini. Persentase tutupan karang hidup diperairan ini sebesar 36.14% dan menurut kriteria baku kerusakan karang kondisi ini tegolong sedang. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 47

115 Gambar 4.31 Aktifitas wisata di pantai Pasir Putih, sampah, dan kondisi karang di dasar perairan. Karang hidup di perairan Pasir Putih sebagian besar terbentuk dari karang masif dengan spesies penyusunnya antara lain Diploria labyrinthiformis. Selain itu di perairan tersebut juga terekam tutupan alga sebesar 17% yang tersusun oleh alga dari spesies Caulerpa racemosa, Sargassum sp., dan Actinotichia fragilis. Di perairan Tanjung Selaki diketahui spesies karang dominan yang membentuk tutupan karang hidup di perairan tersebut adalah karang dengan bentuk tumbuh bercabang (36.14%) dengan spesies antara lain Acropora prolifera dan Acropora palifera. Makro alga juga banyak ditemukan diperairan ini dengan tutupan sebesar 49.57%. Kondisi tutupan karang di perairan Tanjung Selaki secara umum dapat dilihat pada grafik persentase tutupan karang di bawah ini. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 48

116 Grafik 4.8 Persentase tutupan karang di perairan Tanjung Selaki-Pasir Putih. Dari grafik diatas diperoleh gambaran bahwa tutupan karang di perairan Pantai Tanjung Selaki dan Pasir Putih termasuk dalam kategori sedang (30.6%). Dan pecahan karang mati (rubble) sebesar 22.6%. Hamparan pecahan karang ini diduga kuat diakibatkan oleh kegiatan penangkapan ikan dengan bahan peledak yang hingga kini masih sering terjadi, dan karena kegiatan wisata yang tidak mengindahkan lingkungan serta jangkar kapal /perahu/bagan apung yang sering beroperasi di lokasi pengamatan. Bagan apung yang beroperasi di Perairan Tanjung Selaki Lokasi Batu Bara Penamaan Lokasi Batu Bara pada laporan ini sebenarnya hanya untuk memberi inisial titik koordinat ( LS BT) tempat dimana pengamatan dan penyelaman dilakukan. Lokasi pengamatan tersebut adalah di pantai dimana terminal Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 49

117 bongkar muat batubara tarahan berada. Pengamatan dilakukan ditempat ini bertujuan untuk melihat dampak kegiatan bongkar muat batubara terhadap kondisi terumbu karang yang ada di perairan tersebut. Persentase tutupan karang hidup di perairan tersebut yaitu sebesar 28%, dalam artian kondisi karang diperairan masih dalam kategori sedang walaupun mendekati rusak. Namun yang menarik di lokasi ini adalah tutupan silt atau lumpur maupun substrat halus yang menutupi dasar perairan. Tutupan substrat halus tersebut berwarna coklat hingga hitam terhampar seluas 41%. Di lokasi ini juga ditemukan hamparan karang mati yang meliputi 20% dari luas garis pengamatan. Karang mati ini diduga terjadi karena resapan cahaya matahari yang kurang karena keruhnya air laut di sekitar perairan. Pada saat penyelaman dilakukan kecerahan air laut kurang dari 4 meter, walaupun pada saat itu air sedang dalam keadaan surut. Grafik 4.9 Persentase tutupan karang di lokasi Batubara Pulauan Sebuku Pengamatan terumbu karang di Pulau Sebuku dilakukan di dua lokasi penyelaman yaitu Pulau Sebuku ( LS BT) dan Pulau Sebuku Kecil yang biasa di sebut Pulau Elang ( LS BT). Pulau Sebuku Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 50

118 merupakan salah satu pulau besar selain Pulau Sebesi di kawasan perairan Teluk Lampung. Pulau Sebuku adalah pulau yang berpenghuni dan aktifitas kegiatan penangkapan ikan cukup tinggi. Persentase tutupan karang di setiap lokasi pengamatan dapat dilihat dalam grafik dibawah ini. Kondisi karang di Pulau Sebuku termasuk dalam kategori rusak. Hal ini tercermin dari persentase karang hidup di Pulau Sebuku yang hanya 23.93%. Demikian pula dengan Pulau Elang yang tutupan karang hidupnya 12%. Menurut penuturan nelayan dari Pulau Sebuku, di perairan sekitar pulau sering terjadi pengeboman ikan terutama di Pulau Elang. Dampak dari kegiatan ilegal fishing ini tampak pada persentase karang mati di Pulau Elang yang hingga mencapai 72%. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 51

119 Gambar 4.32 Kondisi terumbu karang di Pulau Sebuku (atas), dan di Pulau Elang (bawah). Beberapa spesies karang yang ditemukan di Pulau Sebuku antara lain adalah karang dengan bentuk bercabang seperti Acropora cylindrica, karang dengan bentuk tumbuh meja yaitu Acropora japonica dan Montipora efflorescens, serta karang dengan bentuk tumbuh masif seperti Astreopora myriophthalma. Di perairan Pulau Sebuku juga terdapat hamparan karang lunak yang hidup diatas karang mati sebagai bentuk awal dari akan pulihnya ekosistem karang. Persentase karang lunak (soft coral) di perairan ini adalah 2.66%. Selain karang lunak, tutupan makro alga juga menghiasi hamparan karang mati dengan besaran tutupan 1.27%. Spesies karang lunak yang ada di perairan Pulau Sebuku antara lain adalah Xenia sp dan genus Sinularia. Sementara spesies makro alga yang dominan ada di dasar perairan ini adalah alga Halimeda sp. Tutupan karang di Pulau Elang sungguh memprihatinkan. Karang hidup yang terukur di perairan ini hanya 12% yang meliputi karang masif 7% dan karang kerak 5%. Sementara hamparan karang mati mencapai 72% yang meliputi karang yang baru mati (dead coral) 29%, dan karang mati yang tertutup alga (Dead Coral Algae) mencapai tingkat tutupan sebesar 43%. Secara umum, tutupan karang di perairan kepulauan Sebuku dapat di gambarkan dalam grafik kue dibawah ini. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 52

120 Grafik 4.10 Grafik Rata-rata persentase tutupan karang di Pulau Sebuku Karang hidup diperairan kepulauan ini rata-rata hanya 18% sehingga kondisi ekosistem terumbu karang ada dalam kategori rusak berdasarkan kriteria baku kerusakan karang dari Kepmen Lingkungan Hidup No.4 tahun Perahu penumpang, sebagai satu satunya alat transportasi dari Canti ke Kepulauan Sebesi dan Sebuku Kepulauan Sebesi Pengamatan terumbu karang di Kepulauan Sebesi dilakukan di 2 (dua) lokasi penyelaman yaitu di sebelah utara Pulau Sebesi pada koordinat LS BT, dan di Pulau Umang-umang pada koordinat LS- Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 53

121 BT. Pulau sebesi merupakan pulau besar yang berpenduduk cukup banyak dalam sebuah desa. Dahulu penduduk pulau ini hidup makmur dengan mangandalkan hasil perkebunan kelapa, namun sejak krisis ekonomi komoditi kelapa tidak lagi dominan dan kini banyak kebun kelapa di pulau ini dikonversi menjadi kebun coklat. Garis pantai Pulau Sebesi mencapai ±21 km dengan topografi pulau hingga ± 800 meter. Kondisi perairan pada saat pengamatan dilakukan adalah pada saat surut dan arus bergerak keras ke arah utara. Selain itu penyelaman dilakukan pada saat gunung anak Krakatau dalam keadaan siaga II. Persentase tutupan karang di setiap lokasi pengamatan di tampilkan dalam grafik dibawah ini. Persentase tutupan karang hidup di Pulau Sebesi adalah 21%, dan karang mati sebesar 4%, serta tutupan pecahan karan mati mencapai 26%. Dengan demikian kondisi terumbu karang di Pulau Sebesi dalam ada dalam kategori rusak. Pulau Umang-Umang merupakan pulau kecil di sebelah timur Pulau Sebesi dan pulau Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 54

122 ini kini dijadikan daerah perlindungan laut (DPL) yang dikelola oleh masyarakat pulau. Kondisi tutupan terumbu karang di pulau ini jauh lebih baik daripada kondisi karang di pulau induknya. Tutupan karang hidup di pulau ini mencapai 47%, dengan komposisi karang keras dari keluarga Acropora sebesar 21.60%, dan kelompok non acropora sebesar 37.40%. Selain itu tutupan alga mencapai 10%, dan hamparan karang lunak yang menghiasi dasar perairan mencapai 15%. Gambar 4.33 Kondisi terumbu karang di Pulau Sebesi pada kedalaman 10 meter (atas), Pulau Umang-umang dan Kima Raksasa (Tridacna gigas) yang banyak terdapat di perairan DPL pulau ini (bawah). Dari pengamatan terumbu karang di kedua lokasi penyelaman tersebut diperoleh gambaran persentase tutupan karang di Pulau Sebesi adalah seperti yang diilustrasikan pada grafik dibawah ini. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 55

123 Grafik 4.11 Grafik rata-rata Penutupan karang di Pulau Sebesi. Persentase tutupan karang hidup di Pulau Sebesi adalah 34% sehingga berdasarkan kriteria baku kerusakan karang ekosistem terumbu karang di kepulauan ini termasuk dalam kategori sedang. Pada grafik di atas tergambar pula persentase kerusakan karang yang mencapai 25% yang terdiri dari karang mati 8% dan pecahan karang mati sebesar 17%. Bila di Pulau Sebesi tersebut tidak ada upaya untuk mengamankan sebagian dari wilayah perairannya untuk menjadi daerah perlindungan laut (DPL), maka dapat diestimasi bahwa persentase karang hidup di perairan sebesi akan jauh lebih rendah dari yang terhitung sekarang Pesisir Pantai Bandar Lampung Pesisir pantai Kota Bandar Lampung merupakan daerah yang terpada dengan penduduk dan aktifitas perekonomiannya. Sebagai ibukota Propinsi Lampung seluruh aktifitas kegiatan manusia mulai dari pusat pemerintahan, pelabuhan perikanan dan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 56

124 pelabuhan peti kemas, pusat wisata hingga ke industri seluruhnya ikut memberikan tekanan yang tinggi terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir kotamadya ini. Tekanan aktifitas kegiatan manusia tersebut tercermin dari hilangnya kelestarian ekosistem terumbu karang diperairan. Pada saat pengamatan karang yang dilakukan di tiga lokasi penyelaman yang meliputi Pantai Puri Gading ( LS BT), Gudang Lelang ( LS BT), dan Pulau Kubur ( LS BT), tidak ditemukan tutupan karang hidup, bahkan tutupan karang mati sangat jarang (poor) dan sudah tertutup endapan (silt) sehingga dapat diabaikan keberadaannya. Dibawah ini disajikan grafik penutupan karang per lokasi pengamatan di pesisir pantai Bandar Lampung. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 57

125 Gambar 4.34 Pulau Kubur dilihat dari PPI Lempasing, dan sea grass jenis Enhallus acoroides di dasar perairan Bandar Lampung. Secara umum kondisi ekosistem terumbu karang di pesisir pantai Bandar Lampung di lokasi pengamatan adalah rusak dengan tutupan karang hidup 0%. Dasar laut di kawasan perairan tersebut didominasi oleh hamparan pasir (73.9%) dan lumpur (7%). Selain itu hanya ditemukan fauna lain yang masih hidup dari kelopok sea grass seperti Enhallus acoroides. Dengan demikian kondisi karang di perairan tersebut dapat digambarkan dalam grafik dibawah ini. Grafik 4.12 Grafik tutupan karang di pesisir pantai Bandar Lampung. 4.2 Perubahan Ekosistem Terumbu Karang di Teluk Lampung tahun 1998 dan tahun 2007 Pada tahun 1998, kondisi ekosistem terumbu karang di Teluk Lampung pernah dilakukan penelitian karang di beberapa pulau melalui kegiatan Coastal Resources Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 58

126 Management Project Lampung. Pengukuran tutupan terumbu karang di lakukan di 6 (enam lokasi) yaitu ; Pulau Tangkil, Pulau Tegal, Pulau Condong Darat, Pulau Kelagian, Pulau Puhawang dan Pulau Dua. Rata-rata tutupan karang hidup di lokasi pengamatan tersebut pada tahun 1998 adalah 65.5%, dan tutupan rata-rata karang mati adalah 14.73%. Sehingga berdasarkan kriteria baku kerusakan karang, kondisi terumbu karang di beberapa lokasi di Teluk Lampung pada tahun 1998 termasuk dalam kategori BAIK. Berikut disajikan dalam bentuk grafik persentase tutupan karang di Teluk Lampung pada tahun Grafik 4.13 Grafik tutupan karang di Teluk Lampung tahun Dibandingkan dengan kondisi tutupan karang di Teluk Lampung tahun 1998 tersebut, kondisi ekosistem karang Teluk Lampung pada beberapa lokasi yang sama saat ini (tahun 2007) sangat menurun selama kurun waktu 8 tahun ini dengan laju penurunan tutupan karang hidup sebesar 3% pertahun. Perubahan dan perbandingan persentase tutupan karang hidup di beberapa lokasi di Teluk Lampung antara tahun 1998 dengan tahun 2007, disajikan dalam grafik dibawah ini. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 59

127 Grafik 4.14 Grafik tutupan karang hidup di Teluk Lampung pada beberapa lokasi tahun 1998 dan tahun Dari grafik yang menunjukkan perbandingan kondisi tutupan karang di atas, diperoleh gambaran bahwa hampir seluruh lokasi pengamatan karang mengalami penurunan tutupan karang, kecuali di Pulau Kelagian. Hal ini terjadi karena dipilihnya Pulau Kelagian sebagai daerah latihan perang yang dikelola oleh TNI AL, sehingga aktifitas TNI AL sekitar perairan ini mengurangi aksi pengeboman ikan yang dilakukan oleh oknum nelayan. Jangkar kapal/perahu turut andil dala kerusakan karang di Teluk Lampung 4.3 Persepsi Masyarakat terhadap Lingkungan Pesisir Teluk Lampung Wilayah pesisir merupakan salah satu sistem ekologi yang paling produktif, beragam dan kompleks. Wilayah ini berperan sebagai penyangga, pelindung dan penyaring Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 60

128 diantara daratan dan lautan, serta merupakan pemusatan terbesar penduduk sehingga memberikan tekanan yang semakin berat terhadap ekosistem di wilayah ini. Secara spasial dan ekologis, wilayah pesisir memiliki keterkaitan antara lahan atas (daratan) dan laut. Hal ini karena wilayah pesisir merupakan merupakan daerah pertemuan antara daratan dan laut. Dengan keterkaitan kawasan tersebut, maka pengelolaan kawasan pesisir tidak lepas dari pengelolaan yang dilakukan di kawasan darat dan laut. Berbagai dampak lingkungan yang terjadi pada kawasan pesisir merupakan akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan atas, seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, pemukiman dan sebagainya. Penanggulangan pencemaran yang diakibatkan oleh limbah industri, pertanian dan rumah tangga, serta sedimentasi tidak dapat dilakukan hanya di kawasan pesisir saja, tetapi harus dilakukan mulai dari sumber dampaknya. Oleh karena itu, pengelolaan wilayah pesisir harus diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi satu kesatuan dan keterpaduan pengelolaan. Keterkaitan antar ekosistem pesisir dan laut harus selalu diperhatikan, misalnya ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Salah satu sumberdaya alam di perairan Teluk Lampung yang rentan terhadap kerusakan adalah terumbu karang. Terumbu karang dengan segala kehidupan yang ada didalamnya merupakan salah satu kekayaan yang dapat menunjang produksi perikanan, bahan baku farmasi, obyek wisata bahari, bahan hiasan dan aquarium ikan laut, bahan bangunan, tempat pemijahan ikan, tempat mencari ikan, tempat asuhan dan pembesaran dan pelindung pantai dari hempasan ombak. Kerusakan ekosistem terumbu karang umumnya disebabkan oleh aktifitas manusia. Kerusakan ini akan menyebabkan berkurangnya atau menghilangkan fungsi dan manfaat terumbu karang bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Untuk mengembalikan terumbu karang yang rusak maka diperlukan upaya pengelolaan terumbu karang yang diantaranya rehabilitasi terumbu karang. Keberhasilan pengelolaan terumbu karang ditentukan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah partisipasi masyarakat setempat. Tanpa adanya upaya pemeliharaan dan perlidungan terumbu karang secara terus menerus, maka upaya rehabilitasi terumbu karang kecil kemungkinannya akan berhasil. Untuk itu hal yang perlu Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 61

129 diperhatikan adalah bagaimana mengembangkan partisipasinya masyarakat agar telibat aktif serta persepsi masyarakat terhadap pengelolaan wilayah pesisir. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden sebanyak 110 orang di Teluk Lampung, persepsi masyarakat terhadap lingkungan pesisirnya adalah sebagai berikut: Tabel 4.2 Persepsi Masyarakat terhadap Lingkungan Pesisir Teluk Lampung No Pertanyaan Kuisioner Persentase Responden (%) 1 Kegiatan manusia di laut akan mempengaruhi jumlah ikan di laut Sangat tidak setuju Tidak setuju Agak tidak setuju Tidak tahu Agak setuju Setuju Setuju sekali Hutan mangrove tidak dilindungi, maka kita tidak dapat menangkap ikan kecil-kecil Sangat tidak setuju Tidak setuju Agak tidak setuju Tidak tahu Agak setuju Setuju Setuju sekali Kita harus peduli dan menjaga tanah dan laut, bila tidak tanah dan laut tidak akan menyediakan makanan bagi kita Sangat tidak setuju Tidak setuju Agak tidak setuju Tidak tahu Agak setuju Setuju Setuju sekali Membuang sampah ke pantai, akan dibawa arus ke laut dan tidak akan menimbulkan kerusakan di laut Sangat tidak setuju Tidak setuju Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 62

130 Agak tidak setuju Tidak tahu Agak setuju Setuju Setuju sekali Kita tidak perlu kuatir mengenai lingkungan udara dan laut, karena Tuhan akan merawat dan menjaganya Sangat tidak setuju Tidak setuju Agak tidak setuju Tidak tahu Agak setuju Setuju Setuju sekali Apabila ada kerjasama dari masyarakat maka sumberdaya alam di sekitar desa kita dapat dijaga dan dilindungi Sangat tidak setuju Tidak setuju Agak tidak setuju Tidak tahu Agak setuju Setuju Setuju sekali Menangkap ikan akan lebih mudah bila karang tempat hidup ikan di angkat dan diambil habis Sangat tidak setuju Tidak setuju Agak tidak setuju Tidak tahu Agak setuju Setuju Setuju sekali Perkebunan di perbukitan di belakang desa dapat mempengaruhi kehidupan ikan Sangat tidak setuju Tidak setuju Agak tidak setuju Tidak tahu Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 63

131 Agak setuju Setuju Setuju sekali Karena begitu banyak ikan di laut, maka berapapun yag ditangkap, ikan akan tetap tersedia cukup bagi kebutuhan kita Sangat tidak setuju Tidak setuju Agak tidak setuju Tidak tahu Agak setuju Setuju Setuju sekali Kawasan laut yang dimanfaatkan oleh desa ini terbatas Sangat tidak setuju Tidak setuju Agak tidak setuju Tidak tahu Agak setuju Setuju Setuju sekali Masyarakat yang menyatakan setuju (57,3%/63 orang) bahwa kegiatan manusia dilaut mempengaruhi jumlah ikan di laut. Sedangkan persepsi terhadap hutan bakau bahwa masyarakat yang setuju (56,4%/62 orang) dan tidak setuju (26,4 %/29 orang) jika hutan bakau tidak dilindungi maka tidak dapat menangkap ikan-ikan kecil lagi. Masyarakat setuju membuang sampah ke sungai sebanyak (36,4%/40 orang) dan tidak (48,2%/53 orang), ini berarti bahwa banyak masyarakat mempunyai kebiasaan suka membuang sampah ke sungai. Kerjasama dalam menjaga sumberdaya alam sangat penting, masyarakat yang setuju (82,7%/91 orang), ini berarti tanggung jawab menjaga lingkungan laut adalah tanggung jawab bersama. Persepsi masyarakat terhadap kemudahan menangkap ikan pada karang yang diangkat dan diambil habis sebayak (74,5 %/82 orang) tidak setuju, ini berarti masyarakat secara pengalaman sehari-hari mengetahui bahwa karang merupakan habitat ikan karang. Pandangan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 64

132 bahwa sumberdaya ikan sangat terbatas sebanyak (69,1%/76 orang) setuju dan hanya (13,6%/ 15 orang) tidak setuju. Tentang kawasan laut yang dimanfaatkan mempunyai keterbatasan, sebanyak (56,4%/62 orang) setuju dan (31,8%/35 orang) tidak setuju. 4.4 Permasalahan Terumbu Karang Teluk Lampung Ekosistem terumbu karang dapat mengalami degradasi/kerusakan oleh aktifitas manusia. Aktifitas tersebut seperti yang diungkapkan oleh Berwick (1983) dalam Dahuri et al (1996) adalah: penambangan karang dengan atau tanpa bahan peledak, penangkapan ikan dengan alat yang merusak dan eksploitasi yang berlebihan, pembuangan limbah panas, pengundulan hutan di lahan atas, pengerukan di sekitar terumbu karang, kepariwisataan, pencemaran oleh limbah manusia dari hotel tanpa hotel tanpa pengolahan, kerusakan fisik terumbu karang oleh jangkar kapal, kegiatan penyelaman yang tidak peduli terhadap nilai kelestarian terumbu karang, serta penangkapan ikan hias dengan menggunakan kalsium sianida (KCN). Sedangkan pengaruh faktor alam misalnya akibat badai dan pemangsaan predator (Acanthaster plancii) juga akibat perubahan suhu air laut yang menyebabkan karang mati dan menjadi putih (bleaching). Berdasarkan wawancara dengan masyarakat dan hasil survey lapangan bahwa kerusakan terumbu karang Teluk Lampung di sebabkan oleh: 1. Kegiatan Pemboman dan pemutasan karang untuk mencari ikan karang Pemboman karang terjadi diantara Pulau Legundi, Pulau Siuncal, dan pulau kecil lainya. Bekas-bekas bom dapat dilihat dari banyaknya patahan karang dan lubang bekas bom serta setelah terjadi pemboman terjadi perubahan ekosistem mikro terumbu karang dengan danya rubbles dan sea anemone (karang lunak) yang melimpah. Ini menandakan terjadinya recovery karang tetapi eksositem baru ini tidak akan mendukung keberadaan ikan-ikan karang untuk kembali. Dampak racun (potas) menghilangkan semua jenis karang dan ikan karang dalam bentuk dewasa dan juvenil maupun telurnya. 2. Penambangan karang untuk bahan bangunan, jalan dan perhiasan Dampak penambangan karang adalah kestabilan pantai berkurang dan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 65

133 bertambahnya erosi/abrasi pantai sehingga menimbulkan masalah sosial seperti kerusakan bangunan pantai, pantai, rumah, dan infrastruktur penting lainya. Penambangan karang di untuk pondasi bangunan terjadi disepanjang pantai Teluk Lampung dan pulau-pulau kecil. Kerajinan karang banyak diperdagangkan di Kalianda. 3. Sedimentasi akibat penebangan hutan dan pembukaan pertambakan. Sedimentasi terjadi pada wilayah dekat pantai dan diwilayah muara sungai. Dampak yang ditimbulkan matinya karang karena endapan lumpur, susah melakukan repirasi, perairan keruh dan zooxantelae pada karang tidak bisa bisa melakukan fotosintesa. Sepanjang pesisir Teluk Lampung terjadi alih konversi lahan menjadi tambak udang dan penebangan mangrove. 4. Perusakan karang akibat pembuangan jangkar kapal di pulau- pulau kecil karena kurangnya pelampung tambat (mooring buoy) dan dermaga. Kerusakan karang akibat jangkar seperti patahnya karang bercabang, tercabutnya karang meja dan hancur karang lunak. Tabel 4.3 Penyebab Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Teluk Lampung No Penyebab Utama Kerusakan Akibat yang ditimbulkan 1 Kegiatan Pemboman dan pemutasan karang untuk mencari ikan karang 2 Penambangan karang untuk bahan bangunan, jalan dan perhiasan 3 Sedimentasi akibat penebangan hutan dan pembukaan pertambakan 4 Perusakan karang akibat pembuangan jangkar kapal di pulaupulau kecil karena kurangnya pelampung tambat (mooring buoy) dan dermaga Kerusakan habitat, karang patah, membuang lubang, karang kena potas memutih, dan berkurangnya keanekaragaman hayati Kestabilan pantai berkurang dan bertambahnya erosi/abrasi pantai Matinya karang karena endapan lumpur, susah melakukan repirasi, perairan keruh dan zooxantelae pada karang tidak bisa bisa melakukan fotosintesa Rusaknya karang dan berkurangnya ikan karang, karang patah terutama karang bercabang, dan karang terbongkar. 4.5 Parameter Oseanografi Angin dan Suhu Udara Angin yang bertiup di atas Teluk Lampung pada saat pengamatan berlangsung adalah Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 66

134 angin musim barat yang bertiup dari arah barat laut. Suhu udara yang diperoleh pada saat pengamatan di seluruh lokasi memiliki kisaran antara 28ºC-32ºC. Sehingga dari hasil pengukuran tersebut suhu udara rata-rata di perairan Teluk Lampung adalah 30ºC Arus Kecepatan arus permukaan pada saat pengamatan memiliki kisaran antara m/det m/det. Kecepatan maksimum arus permukaan yang diperoleh adalah m/det di perairan Pulau Sebesi. Sedangkan kecepatan minimum arus permukaan yang diperoleh adalah m/det di Teluk Tegal. Arah dan kecepatan arus permukaan Teluk Lampung yang diperoleh saat pengamatan lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi perairan Teluk Lampung yang sedang pasang, pengaruh arus yang masuk dari Selat Sunda, kondisi geografis dan batimetri perairan Teluk Lampung. Sedangkan pengaruh angin (Nontji, 1987) dan gaya Coriolis (Sidjabat, 1973) tidak terlalu mempengaruhi arah dan keceepatan arus di dalam Teluk Lampung. Secara keseluruhan rata-rata kecepatan arus permukaan di perairan Teluk Lampung di lokasi pengamatan adalah m/det dengan arah arus rata-rata menuju utara Suhu Rata-rata suhu permukaan perairan Teluk Lampung adalah 28ºC. Secara umum kisaran suhu permukaan di perairan teluk adalah 28ºC-30ºC. Variasi suhu permukaan yang terdapat di Teluk Lampung ini secara umum disebabkan karena pengaruh masukan massa air dari Selat Sunda dan sungai-sungai yang bermuara di Teluk Ratai dan Teluk Punduh-Pidada. Secara umum sebaran mendatar suhu permukaan tersebut menunjukkan bahwa pada saat pengamatan, suhu permukaan di tengah-tengah teluk dan di mulut teluk relatif lebih rendah dibandingkan dengan suhu permukaan yang terukur di pantai barat teluk. Hal ini disebabkan karena perairan dibagian tengah teluk lebih banyak mendapat pengaruh massa air dari Selat Sunda yang relatif bersuhu lebih dingin. Sedangkan di perairan barat teluk seperti di Teluk Kucangreang dan Teluk Punduh-Pidada suhu permukaan perairan lebih tinggi karena adanya pengaruh masukan massa air (run off) dari Sungai Punduh dan Sungai Ratai yang bersuhu relatif lebih hangat. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 67

135 4.5.4 Salinitas Nilai salinitas permukaan perairan yang diperoleh memiliki kisaran antara Rata-rata nilai salinitas permukaan perairan yang diperoleh adalah 32.39, dengan maksimum salinitas kedalaman permukaan tersebut adalah di perairan Pulau Siuncal. Dengan demikian nilai rata-rata salinitas permukaan (32.39 ) di Teluk Lampung tersebut masih dalam kisaran nilai salinitas yang layak untuk kehidupan biota laut. Kisaran nilai salinitas yang diusulkan untuk kehidupan biota laut dan budidaya menurut Kementrian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup adalah18-32 (KLH, 1987). Dari hasil pengamatan terlihat bahwa sebaran mendatar salinitas disetiap lokasi pengamatan terumbu karang sangat bervariasi, hal ini secara umum disebabkan oleh besarnya sirkulasi massa air yang terjadi di Teluk Lampung, seperti pengadukan, pengangkatan massa air laut dan pertemuan antara massa air yang berasal dari darat dengan massa air yang berasal dari Teluk Lampung sendiri atau dari Selat Sunda Oksigen Terlarut Kandungan oksigen terlarut permukaan di perairan Teluk Lampung yang diperoleh berkisar antara ppm. Nilai terendah yang didapat adalah 4.13 ppm di sekitar Pulau Puhawang. Nilai maksimum yang diperoleh adalah 5.80 ppm di sekitar pulau Siuncal. Nilai rata-rata oksigen terlarut di permukaan perairan Teluk Lampung adalah 5.22 ppm. Variasi kandungan oksigen terlarut dipermukaan perairan disebabkan adanya potensi turbulensi dan pengangkatan massa air laut, serta tingkat kepadatan usaha budidaya laut di perairan tersebut Phosphat, Nitrat dan Silikat Kisaran kandungan phosphat yang terdapat pada kedalaman permukaan adalah 0.12 µgr-at P/l-0.61 µgr-at P/l. Nilai minimum yang diperoleh adalah 0.12 µgr-at P/l yang terukur di sekitar perairan Pulau Legundi dan Pulau Siuncal sedangkan nilai maksimum yang diperoleh (0.61 µgr-at P/l ) terukur di sekitar perairan Pulau Kelagian. Dari hasil pengukuran di lokasi pengamatan diperoleh gambaran bahwa semakin mengarah ke pantai barat Teluk Lampung (Teluk Punduh dan Teluk Ratai), kandungan phosphat semakin besar. Hal ini disebabkan karena banyak sungai yang Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 68

136 membawa sedimen dan membawa substrat yang bermuara di Teluk Punduh dan Teluk Ratai. Pertemuan massa air dari Teluk Punduh dan Teluk Ratai dengan massa air laut Teluk Lampung ini menyebabkan terjadinya variasi nilai phosphat karena proses fenomena pengangkatan massa air akibat pertemuan dua massa air tersebut. Secara umum rata-rata nilai kandungan phosphat di permukaan perairan Teluk Lampung adalah 0.29 µgr-at P/l. Berdasarkan klasifikasi Joshimura, secara khusus lapisan permukaan perairan Teluk Lampung diklasifikasikan sebagai perairan yang subur. Menurut Joshimura dalam Wardoyo (1973), perairan yang memiliki kisaran kandungan phosphat antara µgr-at P/l dan 0.2 µgr-at P/l dikategorikan sebagai perairan yang sangat subur. Nilai kandungan nitrat di permukaan perairan Teluk Lampung memiliki kisaran µgr-at N/l µgr-at N/l dengan rata-rata kandunga nitrat yang diperoleh adalah 0.13 µgr-at N/l.Nilai nitrat maksimum yang diperoleh terukur di perairan Pulau Puhawang yang dekat dengan Teluk Ratai dan Teluk Punduh. Perairan tersebut dipengaruhi oleh masukan massa air dari sungai-sungai yang bermuara di kedua teluk kecil tersebut yang banyak membawa suspensi dari daratan sehingga sedikit banyak turut mensuplai kandunga nitrat ke perairan tersebut. Menurut Prowse (1962) dan Mackentum (1969) dalam Nazdan (1996), bahwa di suatu perairan N akan menjadi faktor pembatas bagi kelimpahan fitoplankton bila kandungan nitrat diperairan tersebut lebih kecil dari 0.14 µgr-at N/l. Bila kandungan nitrat diperairan tersebut semakin tinggi, maka biasanya kelimpahan plankton akan semakin besar. Dengan demikian perairan Teluk Lampung secara keseluruhan memiliki kandunga nitrat yang cukup layak untuk kehidupan plankton terutama fitoplankton. Secara umum kandungan silikat yang terdapat pada permukaan perairan Teluk Lampung memiliki kisaran antara 20 µgr-at Si/l-375 µgr-at Si/l. Dengan nilai terbesar di peroleh di perairan sekitar Teluk Ratai. Hal ini dipengaruhi oleh substrat yang dibawa masuk oleh sungai-sungai yang bermuara di teluk tersebut. Secara keseluruhan nilai silikat di perairan Teluk Lampung adalah µgr-at Si/l. 4.6 Sosialisasi Masyarakat Sosialisasi tentang ekosistem terumbu karang di Teluk Lampung dilakukan guna memberikan pengetahuan dan gambaran tentang kondisi ekosistem terumbu karang Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 69

137 terkini kepada masyarakat di pesisir Teluk Lampung. Sosialisasi tersebut dilaksanakan 2 (dua) kali yaitu di pelabuhan pendaratan ikan Lemasing, Bandar Lampung dan di Dermaga Ketapang Kabupaten Pesawaran. Sosialisasi dilakukan dengan mengundang tokoh masyarakat dan nelayan. Secara umum pada saat kegiatan sosialisasi dan diskusi berlangsung diperoleh gambaran bahwa rata-rata masyarakat di pesisir Teluk Lampung tidak mengetahui status kerusakan karang di daerahnya sendiri. Disamping itu pula masyarakat tidak mengetahui manfaat dan fungsi terumbu karang yang berguna untuk penahan gelombang, sebagai tempat makan ikan dan sebagai lumbung ikan karang yang menjadi daya tarik bagi ikan-ikan ekonomis penting yang lebih besar yang datang dari arah laut lepas untuk mencari makan di sekitar terumbu karang. Namun peserta sosialisasi di dua lokasi kegiatan tersebut sepakat bahwa hingga kini kegiatan ilegal fishing seperti pengeboman ikan, pemotasan ikan dan udang serta penyetruman ikan yang dilakukan di muara sungai masih sering terjadi. Berdasarkan dari hasil diskusi diketahui pula bahwa rata-rata hasil tangkapan nelayan di dua lokasi kegiatan tersebut yang beroperasi di sekitar Teluk Lampung menurun. Selain itu pula kini sulit bisa memprediksi suasa yang tepat untuk melaut dan sulit untuk menduga musim ikan yang di tahun-tahun sebelumnya hal tersebut berjalan dengan rutin dan mudah diprediksi. Pelabuhan pendaratan ikan di Rangai, Lampung Selatan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab IV - 70

138 Bab 5. ARAHAN RENCANA PENGELOLAAN TERUMBU KARANG TELUK LAMPUNG 5.1 Landasan Hukum Pengelolaan Terumbu Karang Untuk mencegah semakin rusaknya ekosistem terumbu karang, pemerintah telah mengeluarkan serangkaian peraturan perundangan dan peraturan lainnya untuk mengatur aktifitas manusia di perairan terumbu karang. Tabel 5.1 Perundangan dan Peraturan Pengelolaan Lingkungan Perairan Terumbu Karang di Indonesia No Jenis Perundangan dan Peraturan 1 Undang-Undang No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya 2 Undang-Undang No. 9 tahun 1990 tentang Pariwisata 3 Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang 4 Undang-Undang No.5 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati 5 Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 6 Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 7 Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan. 8 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab V - 1

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kecamatan Padang Cermin merupakan bagian dari Kabupaten Pesawaran, Secara

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kecamatan Padang Cermin merupakan bagian dari Kabupaten Pesawaran, Secara IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Kecamatan Padang Cermin merupakan bagian dari Kabupaten Pesawaran, Secara geografis, Kecamatan Padang Cermin terletak di sebelah Tenggara Kabupaten

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Kabupaten Tanggamus 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus Secara geografis wilayah Kabupaten Tanggamus terletak pada posisi 104 0 18 105 0 12 Bujur Timur dan

Lebih terperinci

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Deskripsi umum lokasi penelitian 3.1.1 Perairan Pantai Lovina Kawasan Lovina merupakan kawasan wisata pantai yang berada di Kabupaten Buleleng, Bali dengan daya tarik

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim Provinsi Banten secara geografis terletak pada batas astronomis 105 o 1 11-106 o 7 12 BT dan 5 o 7 50-7 o 1 1 LS, mempunyai posisi strategis pada lintas

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 41 IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung 1. Keadaan Umum Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi di Republik Indonesia dengan areal daratan seluas 35.288 km2. Provinsi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Umum Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Luas wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebesar 13,57 % dari Total Luas

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320 28 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Kepulauan Krakatau terletak di Selat Sunda, yaitu antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Luas daratannya sekitar 3.090 ha terdiri dari Pulau Sertung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 16 KONDISI UMUM WILAYAH STUDI Kondisi Geografis dan Administratif Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49

Lebih terperinci

Secara Geografis Propinsi Lampung terletak pada kedudukan Timur-Barat. Lereng-lereng yang curam atau terjal dengan kemiringan berkisar antara 25% dan

Secara Geografis Propinsi Lampung terletak pada kedudukan Timur-Barat. Lereng-lereng yang curam atau terjal dengan kemiringan berkisar antara 25% dan IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITMN 4.1 Geografi Propinsi Lampung meliputi areal seluas 35.288,35 krn2 termasuk pulau-pulau yang terletak pada bagian sebelah paling ujung tenggara pulau Sumatera. Propinsi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Sejarah terbentuknya Kabupaten Lampung Selatan erat kaitannya dengan dasar

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Sejarah terbentuknya Kabupaten Lampung Selatan erat kaitannya dengan dasar IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Sejarah Kabupaten Lampung Selatan Sejarah terbentuknya Kabupaten Lampung Selatan erat kaitannya dengan dasar pokok Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Sejarah Pelabuhan Sunda Kelapa Pelabuhan Sunda Kelapa berlokasi di Kelurahan Penjaringan Jakarta Utara, pelabuhan secara geografis terletak pada 06 06' 30" LS,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Geomorfologi Bentuk lahan di pesisir selatan Yogyakarta didominasi oleh dataran aluvial, gisik dan beting gisik. Dataran aluvial dimanfaatkan sebagai kebun atau perkebunan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis memiliki iklim tropis dan perairannya lumayan dangkal, sehingga menjadi tempat yang optimal bagi ekosistem terumbu

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Pantai Pemaron merupakan salah satu daerah yang terletak di pesisir Bali utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai wisata

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL Nam dapibus, nisi sit amet pharetra consequat, enim leo tincidunt nisi, eget sagittis mi tortor quis ipsum. PENYUSUNAN BASELINE PULAU-PULAU

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM. Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung. Oleh karena itu,

BAB IV. GAMBARAN UMUM. Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung. Oleh karena itu, BAB IV. GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Kota Bandar Lampung 1. Profil Wilayah Kota Bandar Lampung Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung. Oleh karena itu, selain merupakan pusat kegiatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang

I. PENDAHULUAN. Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian terdapat kesepakatan umum bahwa wilayah pesisir didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif kualitatif

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif kualitatif 28 III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang dilakukan untuk memperlihatkan dan menguraikan keadaan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perairan Palabuhanratu terletak di sebelah selatan Jawa Barat, daerah ini merupakan salah satu daerah perikanan yang potensial di Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi CV. Jayabaya Batu Persada secara administratif terletak pada koordinat 106 O 0 51,73 BT dan -6 O 45 57,74 LS di Desa Sukatani Malingping Utara

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 45 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan dataran rendah dan landai dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Beberapa gambaran umum dari kondisi fisik Kabupaten Blitar yang merupakan wilayah studi adalah kondisi geografis, kondisi topografi, dan iklim.

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Letak Geografis dan Administrasi Pemerintahan Propinsi Kalimantan Selatan memiliki luas 37.530,52 km 2 atau hampir 7 % dari luas seluruh pulau Kalimantan. Wilayah

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Kabupaten Karawang

Gambar 6. Peta Kabupaten Karawang 25 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1. Kabupaten Karawang 4.1.1. Administratif dan Geografis Kabupaten Karawang berada di bagian utara Provinsi Jawa Barat yang secara geografis terletak pada posisi 5 o 56-6

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 40 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Kondisi Lokasi Penelitian Kabupaten Bima sebagai bagian dari Propinsi Nusa Tenggara Barat yang terletak di ujung Timur Pulau Sumbawa secara geografis terletak

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif yaitu penelitian dilakukan

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif yaitu penelitian dilakukan 45 III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif yaitu penelitian dilakukan untuk memperlihatkan dan menguraikan keadaan dari objek penelitian. Menurut

Lebih terperinci

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Legonkulon berada di sebelah utara kota Subang dengan jarak ± 50 km, secara geografis terletak pada 107 o 44 BT sampai 107 o 51 BT

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Struktur Geologi Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan Lempeng Eurasia ke daratan Asia Tenggara dan merupakan bagian dari Busur Sunda.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Kesampaian Daerah Daerah penelitian secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kampung Seibanbam II, Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, Propinsi Kalimantan Selatan.

Lebih terperinci

DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir)

DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir) DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir) Adipandang Yudono 12 GEOLOGI LAUT Geologi (geology) adalah ilmu tentang (yang mempelajari mengenai) bumi termasuk aspekaspek geologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Sukabumi 4.1.1 Letak geografis Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Provinsi Jawa Barat dengan jarak tempuh 96 km dari Kota Bandung dan 119 km

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 23 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Batas Wilayah Kabupaten Tabalong merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan dengan ibukota Tanjung yang mempunyai

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH

GAMBARAN UMUM WILAYAH 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH 3.1. Batas Administrasi dan Luas Wilayah Kabupaten Sumba Tengah merupakan pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dibentuk berdasarkan UU no.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penutupan Lahan Tahun 2003 2008 4.1.1 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini dimaksudkan untuk membedakan penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

C. Potensi Sumber Daya Alam & Kemarintiman Indonesia

C. Potensi Sumber Daya Alam & Kemarintiman Indonesia C. Potensi Sumber Daya Alam & Kemarintiman Indonesia Indonesia dikenal sebagai negara dengan potensi sumber daya alam yang sangat besar. Indonesia juga dikenal sebagai negara maritim dengan potensi kekayaan

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2016 TENTANG PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa II. TINJAUAN PUSTAKA Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa penelitian dan kajian berkaitan dengan banjir pasang antara lain dilakukan oleh Arbriyakto dan Kardyanto (2002),

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Profil Perusahaan PT. Cipta Kridatama didirikan 8 April 1997 sebagai pengembangan dari jasa penyewaan dan penggunaan alat berat PT. Trakindo Utama. Industri tambang Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 53 IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Selat Rupat merupakan salah satu selat kecil yang terdapat di Selat Malaka dan secara geografis terletak di antara pesisir Kota Dumai dengan

Lebih terperinci

IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian merupakan wilayah Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang No 12 Tahun 1999 sebagai hasil pemekaran Kabupaten

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 63 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2011) Provinsi Lampung meliputi areal dataran seluas 35.288,35 km 2 termasuk pulau-pulau yang

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dimanfaatkan untuk menuju Indonesia yang maju dan makmur. Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dimanfaatkan untuk menuju Indonesia yang maju dan makmur. Wilayah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara maritim, kurang lebih 70 persen wilayah Indonesia terdiri dari laut yang pantainya kaya akan berbagai jenis sumber daya hayati dan

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

TEKNIK PENGUKURAN DAN ANALISIS KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG

TEKNIK PENGUKURAN DAN ANALISIS KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TEKNIK PENGUKURAN DAN ANALISIS KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG Oleh : Amrullah Saleh, S.Si I. PENDAHULUAN Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Sejarah Desa Pulau Pahawang berawal dari datangnya Ki Nokoda tahun an

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Sejarah Desa Pulau Pahawang berawal dari datangnya Ki Nokoda tahun an IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Desa Pulau Pahawang Sejarah Desa Pulau Pahawang berawal dari datangnya Ki Nokoda tahun 1.700-an yang diikuti pula oleh datangnya Hawang yang merupakan keturunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI II-1 BAB II 2.1 Kondisi Alam 2.1.1 Topografi Morfologi Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali secara umum di bagian hulu adalah daerah pegunungan dengan topografi bergelombang dan membentuk cekungan dibeberapa

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

KONDISI UMUM BANJARMASIN

KONDISI UMUM BANJARMASIN KONDISI UMUM BANJARMASIN Fisik Geografis Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota dari 11 kota dan kabupaten yang berada dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin secara astronomis

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 21 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Fisik Wilayah Geomorfologi Wilayah pesisir Kabupaten Karawang sebagian besar daratannya terdiri dari dataran aluvial yang terbentuk karena banyaknya sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH KONDISI GEOGRAFIS Kota Batam secara geografis mempunyai letak yang sangat strategis, yaitu terletak di jalur pelayaran dunia internasional. Kota Batam berdasarkan Perda Nomor

Lebih terperinci

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP Lailla Uswatun Khasanah 1), Suwarsito 2), Esti Sarjanti 2) 1) Alumni Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 2.1 Geografis dan Administratif Sebagai salah satu wilayah Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Kendal memiliki karakteristik daerah yang cukup

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''-

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''- 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Lokasi Penelitian Tempat penelitian secara administratif terletak di Gunung Rajabasa, Kalianda, Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''-

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian ini meliputi wilayah Kota Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Situasi Wilayah Letak Geografi Secara geografis Kabupaten Tapin terletak antara 2 o 11 40 LS 3 o 11 50 LS dan 114 o 4 27 BT 115 o 3 20 BT. Dengan tinggi dari permukaan laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Geografis Kota Makassar secara geografi terletak pada koordinat 119 o 24 17,38 BT dan 5 o 8 6,19 LS dengan ketinggian yang bervariasi antara 1-25 meter dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Daerah Kecamatan Pulau Tiga merupakan salah satu bagian dari wilayah Kabupaten Natuna yang secara geografis berada pada posisi 3 o 34 30 3 o 39

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan. Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105.

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan. Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105. IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan 4.1.1. Keadaan Geografis Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105.14 sampai dengan 105, 45 Bujur Timur dan 5,15

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Administrasi Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6º56'49'' - 7 º45'00'' Lintang Selatan dan 107º25'8'' - 108º7'30'' Bujur Timur

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Fisiografi 1. Letak Wilayah Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110 33 00 dan 110 13 00 Bujur Timur, 7 34 51 dan 7 47 30 Lintang Selatan. Wilayah

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA Tito Latif Indra, SSi, MSi Departemen Geografi FMIPA UI

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK Penelitian tentang karakter morfologi pantai pulau-pulau kecil dalam suatu unit gugusan Pulau Pari telah dilakukan pada

Lebih terperinci

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok IV. KONDISI UMUM 4.1 Lokasi Administratif Kecamatan Beji Secara geografis Kecamatan Beji terletak pada koordinat 6 21 13-6 24 00 Lintang Selatan dan 106 47 40-106 50 30 Bujur Timur. Kecamatan Beji memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa III. METODE PENELITIAN 3.1. Metode Pendekatan Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa meningkatnya persepsi masyarakat yang melihat adanya hubungan tidak searah antara keberhasilan

Lebih terperinci