BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori Berdasarkan Undang Undang No.32 Tahun 2004, pasal 1 ayat 5 tentang otonomi daerah, otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan diimplementasikannya ketentuan tentang pelaksanaan otonomi daerah tersebut, maka akan terbentuklah daerah-daerah yang memiliki hak dan kewenangan tertentu guna mengatur dan menata kepentingan masyarakatnya ke arah yang lebih baik. Daerah-daerah dimaksud disebut dengan daerah otonomi yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Undang Undang No.34 Tahun 2000, pasal 1 ayat 1). Pelaksanaan otonomi daerah dititikberatkan kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang dimulai dengan adanya sejumlah penyerahan daerah kewenangan (urusan) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang bersangkutan. Penyerahan berbagai kewenangan dalam rangka otonomi daerah ini tentunya harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan. Pelaksanaan otonomi daerah ini

2 diharapkan membawa sejumlah peluang kepada daerah untuk membangun wilayah daerahnya sendiri-sendiri. Selanjutnya dengan pemberlakuan otonomi daerah tersebut berarti setiap wilayah daerah dihadapkan pada adanya tantangan berupa kemandirian keuangan dan fiskal. Sebaliknya, sebagai konsekuensi logis dari otonomi daerah ini adalah akan menurunnya dukungan keuangan dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah dan oleh sebab itu pemerintah daerah harus berupaya untuk meningkatkan sumber-sumber pembiayaan daerahnya sendiri. Sumber pembiayaan daerah yang paling penting adalah sumber pembiayaan yang dikenal dengan istilah PAD (Pendapatan Asli Daerah). Komponen-komponen PAD menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 pasasl 79 terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lain-lain pendapatan yang sah. Pajak daerah adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk investasi publik. Pajak daerah adalah pajak yang wewenang pungutannya berada di daerah. Retribusi adalah pembayaran kepada negara dan atau daerah yang dilakukan karena digunakannya jasa-jasa negara atau daerah. Retribusi sangat berhubungan erat dengan jasa pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat yang membutuhkan. Komponen PAD selanjutnya adalah laba Badan Usaha Milik Daerah. Perusahaan daerah adalah perusahaan yang dimiliki oleh atau modalnya berasal dari Pemerintah Daerah. Komponen terakhir PAD adalah Lain-lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah yang dapat terdiri atas Pendapatan Hibah, Pendapatan Dana Darurat (Bencana Alam) dan Pendapatan Lainnya misalnya

3 penerimaan dari swasta, bunga simpanan giro dan Bank serta penerimaan dari denda kontraktor (Peraturan Pemerintah No.24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan). Aspek pembiayaan merupakan aspek yang sangat penting dalam berbagai macam kegiatan, termasuk dalam kegiatan pengelolaan sampah (Meidiana & Gamse, 2010). Hal ini sejalan dengan pendapat Waluyo (2010) bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, baik materil maupun spirituil berbagai pihak perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan. Lebih lanjut Santosa, Darsono dan Syafrudin (2010) mengatakan pula bahwa aspek pembiayaan merupakan sumber daya penggerak agar roda sistem pengelolaan persampahan agar berjalan lancar. Jadi, dapat dikatakan bahwa aspek pembiayaan sebagai ujung tombak dalam pengelolaan sampah karena akan sangat mempengaruhi aspek lainnya terutama aspek teknis operasional seperti dalam penyediaan sarana prasarana pengelolaan sampah seperti wadah sampah, sapu dan truk pengangkut sampah. Ketidak-mampuan dalam penyediaan dana untuk membiayai kegiatan pelayanan kebersihan akan berakibat menurunnya tingkat maupun kualitas pelayanan dan tentu akan berakibat menurunnya kualitas lingkungan di lokasi atau daerah terkait. Pada tahun 2007, diproyeksikan penduduk Kota Medan mencapai jiwa. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2000 diperkirakan akan terjadi pertumbuhan penduduk selama tahun sebesar 1,28 % pertahun. Dengan luas wilayah yang mencapai 265,10 km², maka kepadatan penduduk mencapai 7858 jiwa/km². Selanjutnya menurut data dari Dinas Kebersihan Kota Medan bahwa pada

4 tahun 2009 jumlah penduduk Kota Medan telah bertambah menjadi jiwa, sementara jumlah sampah yang dihasilkan akan mencapai sebesar m³/hari (1.404 ton/hari). Dengan volume sampah sebesar itu, maka pengelolaan sampah harus dilakukan dengan sebaik mungkin. Jika tidak, maka akan terjadi penurunan kualitas lingkungan, dan hal ini terbukti di mana selama beberapa periode terakhir ini Kota Medan tidak pernah lagi memperoleh piagam penghargaan di bidang kebersihan maupun lingkungan hidup, berupa penghargaan Adipura dan Kalpataru Retribusi Daerah Retribusi diartikan sebagai pungutan yang dikenakan sehubungan dengan suatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh Pemerintah secara langsung dan nyata kepada pembayar (Resmi, 2007: 2). Jadi, retribusi merupakan sejumlah pungutan biaya yang harus dibayarkan seseorang kepada negara karena telah memperoleh jasa atau pelayanan tertentu secara langsung dari pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah. Contoh: retribusi parkir, retribusi sampah, retribusi jalan tol dan sebagainya. Undang Undang Nomor 34 tahun 2000 pasal 1 ayat 2 menjelaskan bahwa retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Selanjutnya dalam Undang Undang Nomor 18 tahun 1997 pasal 18 ayat (2) Golongan retribusi terdiri dari 3 golongan yaitu: Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu.

5 Retribusi Jasa Umum adalah pungutan retribusi yang dilakukan atas jasa yang diberikan atau disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Retribusi jenis ini ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan daerah dengan mempertimbangkan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan (Undang-Undang nomor 34 tahun 2000 Pasal 21). Sementara Retribusi Jasa Usaha merupakan pungutan retribusi yang dilakukan atas jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Pemungutannya didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. Sedangkan Retribusi Perizinan Tertentu adalah pungutan retribusi atas kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan, didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau sama dengan biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Berdasarkan penggolongan di atas, maka retribusi sampah ini termasuk dalam golongan retribusi jasa umum Retribusi Sampah Sejalan dengan pengertian retribusi di atas, maka retribusi sampah merupakan pungutan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah (dalam hal ini SKPD tertentu)

6 kepada rumah tangga ataupun objek lainnya yang telah memperoleh jasa pelayanan pengelolaan sampah. Jadi retribusi sampah yang termasuk ke dalam golongan retribusi jasa umum merupakan pungutan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat yang berada dalam wilayah hukumnya atas pemberian jasa atau pelayanan penanganan sampah atau kebersihan. Pemungutannya harus didasarkan pada pertimbangan mengenai biaya penyelenggaraan pelayanan, tingkat kemampuan masyarakat dalam membayar serta aspek keadilan. Oleh sebab itu penetapan besarnya tarif retribusi sampah ini harus didasarkan pada besarnya biaya operasional pengelolaan. Selain itu pemungutan retribusi (termasuk retribusi sampah) haruslah dilandasi oleh Undang Undang atau peraturan tertentu. Untuk wilayah Kota Medan retribusi sampah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan Nomor 8 Tahun Pengutipan Retribusi Sampah Pemerintah Daerah wajib menentukan besarnya biaya jasa pengelolaan sampah yang dipungut dari masyarakat dan pelaku usaha dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat. Besarnya biaya jasa pengelolaan sampah dari masyarakat dan pelaku usaha yang akan ditentukan oleh Pemerintah Daerah harus mempertimbangkan infrastruktur dan peralatan yang tersedia. Dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan ekonomi masyarakat dan juga infrastruktur dan peralatan yang tersedia, diharapkan pelayanan yang diberikan akan menjadi

7 optimal dan dapat memuaskan masyarakat, sehingga hasil pengutipan retribusi sampah akan menjadi tinggi. Pengutipan retribusi sampah di Kota Medan dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 18 Tahun Apakah jumlah tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Medan sebagaimana diatur dalam peraturan ini telah memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai faktor yang diperkirakan akan ikut mempengaruhi hasil pengutipannya, seperti tingkat pelayanan yang diberikan, kemampuan membayar masyarakat, sosialisasi mengenai pentingnya partisipasi masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat, kiranya perlu penelitian yang tersendiri. Namun demikian, data hasil pengutipan retribusi sampah di Kota Medan dalam beberapa tahun belakangan ini telah menunjukkan penurunan yang cukup berarti, sehingga kemungkinan akan mempengaruhi kemampuan Dinas Kebersihan dalam melakukan atau memberikan pelayanan pengeloaan sampah. Besarnya hasil pengutipan retribusi sampah akan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat berupa faktor yang melekat pada pihak yang menerima pelayanan, maupun faktor yang melekat pada pihak yang memberikan pelayanan. Faktor-faktor yang melekat pada diri pihak yang menerima pelayanan, antara lain dapat berupa tingkat kemampuan dan kemauan rumah tangga untuk membayar retribusi sampah (disebut sebagai faktor-faktor sosiologis dalam Arizal, 2003). Sementara faktor yang melekat pada pihak yang memberikan pelayanan antara lain seperti besaran tarif retribusi sampah, tingkat pelayanan dan kesungguhan petugas pengutip retribusi sampah juga diperkirakan akan mempengaruhi besar kecilnya hasil pengutipan

8 retribusi sampah tersebut. Dalam penelitian ini, hanya faktor kemampuan membayar, kemauan membayar retribusi sampah dan tingkat pelayanan saja yang diteliti. Faktorfaktor besaran tarif dan kesungguhan petugas pengutip retribusi sampah tidak ikut diteliti karena penentuan besaran tarif tidak sepenuhnya berada di tangan Dinas Kebersihan, melainkan juga ditentukan oleh pihak lain, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sementara faktor kesungguhan petugas pengutip retribusi sampah juga tidak dimasukkan dalam penelitian ini karena faktor ini dipandang sangat subjektif bagi responden Tingkat Pelayanan Berbagai teori mengenai perilaku konsumen menjelaskan hubungan antara tindakan perusahaan dalam rangka mempengaruhi konsumen atau calon konsumennya dengan perilaku konsumen tersebut. Stimulus-Response Theory yang dikemukakan oleh Skinner (dalam Samboro, 2008: 19) mengenai proses belajar mengemukakan bahwa suatu tanggapan dari seseorang timbul sebagai akibat dari suatu rangsangan yang dihadapinya. Dalam hal ini, tingkat pelayanan yang baik dan berkualitas serta frekwensi pelayanan yang tinggi dapat dipandang sebagai atau akan menjadi stimulus yang dapat merangsang anggota masyarakat yang dilayani untuk memberikan respons terhadap stimulus itu berupa kesediaan dan kesadaran untuk memberikan kontribusi (balas jasa) atas pelayanan tersebut yang dalam hal ini berupa pembayaran atas retribusi pelayanan sampah. Selanjutnya, menurut Douglas dalam

9 Mulyono (2008) bahwa untuk produk yang membutuhkan jasa pelayanan fisik, jasa pelayanan menjadi komponen yang kritis dari nilai. Pelayanan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan seseorang atau sesuatu pihak terhadap orang/pihak lain dalam rangka memberikan kepuasan kepada orang/pihak yang dilayani tersebut. Pelayanan kebersihan atau pelayanan/jasa persampahan termasuk dalam kelompok pelayanan umum, yaitu pelayanan yang ditujukan kepada semua anggota masyarakat di suatu lokasi/daerah tertentu dan umumnya dilakukan oleh pihak pemerintah (pemerintah daerah). Keputusan MenPan No.81 tahun 1993 menyatakan bahwa pelayanan umum adalah segala bentuk pelayanan yang diberikan oleh pemerintah pusat/daerah dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat, dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara Munir (2000: 17) mengartikan pelayanan umum sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pihak lain yang ditujukan guna memenuhi kepentingan orang banyak. Begitu pula Batinggi (1999: 12) berpendapat bahwa pelayanan umum merupakan perbuatan atau kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mengurus hal-hal yang diperlukan masyarakat/khalayak umum. Oleh karena sampah diproduksi oleh setiap anggota masyarakat, maka pelayanan kebersihan merupakan bentuk pelayanan umum yang harus diberikan oleh Pemerintah (dalam hal ini Pemerintah Daerah). Berdasarkan adanya pelayanan tersebut, maka Pemerintah Daerah dapat melakukan pengutipan balas jasa atas pelayanan yang diberikan yang disebut sebagai retribusi sampah.

10 Pelayanan yang baik, berkualitas dan memuaskan sangat tergantung kepada sumber daya yang tersedia untuk melakukan kegiatan pelayanan tersebut. Sumber daya ini dapat berupa tenaga manusia yang bertugas melayani pengutipan, pengangkutan dan pemusnahan sampah, peralatan-peralatan yang digunakan, serta fasilitas lainnya yang terkait dengan itu, seperti penyediaan sarana pengumpulan sampah, baik di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) maupun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Selain ketersediaan sumber daya, manajemen terhadap sumber daya tersebut juga merupakan hal yang krusial dalam rangka memberikan pelayanan sampah yang memuaskan. Frekwensi pengutipan/pengambilan sampah oleh para petugas kebersihan dan begitu juga pengangkutannya ke lokasi TPS maupun TPA akan secara langsung berpengaruh kepada kualitas kebersihan di lokasi pelayanan. Hal ini selanjutnya tentu akan menimbulkan kepuasan masyarakat yang dilayani. Kepuasan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian atau diskonfrontasi yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya (Tse & Wilton dalam Tjiptono, 1996: 146). Kunci utama dalam mengelola mutu jasa yang memuaskan adalah adanya kemudahan dalam mengakses dan berkomunikasi, kompetensi karyawan yang dapat diandalkan, kesopanan dan kredibilitas yang tinggi, jaminan jasa pelayanan dengan reabilitas dan keberwujudan, dan adanya kecepatan dalam menanggapi berbagai keluhan dan masalah dari pelanggan, bukan saja dengan pemenuhan fasilitas yang lengkap dan memadai, melainkan juga kelengkapan

11 paralatan dan alat-alat dan pemberian tarif yang relatif terjangkau bagi semua kalangan masyarakat (Kotler, 2001: 105). Dapat dikatakan bahwa kepuasan pelanggan merupakan modal utama dalam usaha memenangkan dan tetap dapat bertahan dalam persaingan sekaligus sebagai faktor penting bagi kelangsungan hidup perusahaan. Kotler (1997: 36) mengatakan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan konsumen terhadap jasa yang diberikan akan mempengaruhi tingkah laku konsumen selanjutnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan konsumen, adalah mutu produk dan pelayanan, kegiatan penjualan, pelayanan setelah penjualan dan nilai-nilai perusahaan. Kepuasan dapat diartikan sebagai suatu keadaan dalam diri seseorang, di mana ia telah berhasil mendapatkan sesuatu yang menjadi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginannya. Untuk dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan, perusahaan harus berusaha mengetahui terlebih dahulu apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh pelanggan yang dilayani. Pratiwi & Prayitno (2005) dalam penelitian mereka tentang tingkat kepuasan atas pelayanan hotel menemukan ada dua variabel yang menentukan tingkat kepuasan pelanggannya, yaitu kualitas pelayanan dan tingkat harga kamar, dan masing-masing memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kepuasan konsumen. Jadi kedua variabel itu harus sama-sama ditingkatkan sehingga akan menjadikan konsumen merasa lebih puas. Dalam konteks jasa pelayanan sampah, tingkat pelayanan pengutipan/pengambilan sampah, pengangkutan, dan pemusnahannya merupakan faktor penentu tinggi rendahnya kepuasan pelanggan yang dilayani. Bila frekwensi

12 kegiatan pengambilan dan pengangkutan sampah yang dilakukan oleh petugas Dinas Kebersihan tinggi dan teratur dan kualitas pelayanan tersebut baik, tentu rumah tangga maupun anggota masyarakat lainnya yang dilayani akan merasa puas terhadap pelayanan tersebut. Selanjutnya, bila tingkat kepuasan pelanggan tinggi, maka dapatlah diharapkan bahwa mereka akan rela melakukan pembayaran atas retribusi yang ditagih oleh petugas Dinas Kebersihan, dan hal ini tentu akan menaikkan jumlah penerimaan retribusi sampah. Dengan demikian dapat diprediksi bahwa tingkat pelayanan akan sangat berpengaruh terhadap pengutipan retribusi sampah. Semakin baik kualitas pelayanan pengelolaan sampah, maka akan semakin tinggi hasil pengutipan retribusi sampah Kemampuan Membayar Dalam rangka mendorong kelancaran pelaksanaan otonomi daerah, sumber pembiayaan pengelolaan sampah seharusnya berasal dari retribusi yang dibebankan kepada dan dikutip dari masyarakat yang dilayani dan juga berasal dari dana pemerintah (Meidiana & Thomas, 2010). Selanjutnya, menurut The Allen Consulting Group (2003), salah satu sumber pembiayaan dalam pengelolaan sampah dapat berasal dari retribusi yang biasa disebut dengan user charges (tarif pelanggan atau tarif retribusi sampah). Besarnya tarif retribusi sampah sangat dipengaruhi oleh kemampuan membayar (Ability to Pay, ATP). Hal ini sejalan dengan Teori Gaya Pikul yang dikemukakan oleh Sinninghe Damste dalam Brotodihardjo (1978). Menurut teori ini bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pelayanan

13 negara kepada warganya haruslah dipikul oleh segenap orang yang menikmati pelayanan tersebut dan besar pembebanannya haruslah disesuaikan dengan gaya pikul seseorang. Gaya pikul ini terdiri atas pendapatan, kekayaan dan susunan keluarga (Brotodihardjo, 1978: 29). Semakin besar nilai pendapatan seseorang maka akan semakin besar gaya pikulnya dan tentu akan semakin tinggi pula tingkat kemampuannya untuk membayar tarif retribusi sampah. Selanjutnya menurut Wicaksono, Bambang, dan Dianita (2006), kemampuan membayar adalah kemampuan seseorang untuk membayar jasa pelayanan yang diterimanya dan kemampuan ini disesuaikan dengan besarnya penghasilan. Semakin besar penghasilan seseorang atau sebuah rumah tangga, maka akan semakin tinggi pula tingkat kemampuan membayarnya terhadap sesuatu keperluan atau pengutipan tertentu. Penghasilan yang diperoleh oleh suatu rumah tangga tentu terutama dialokasikan untuk membiayai berbagai keperluan atau kebutuhan, terutama kebutuhan primer, seperti pangan, sandang, perlidungan, dan kesehatan serta kenyamanan. Jasa pengelolaan sampah dapat dikatakan termasuk dalam keperluan kesehatan dan kenyamanan, dan oleh karenanya harus ada alokasi dana untuk membayar retribusi sampah tersebut. Jumlahnya tergantung pada besar kecilnya penghasilan yang diperoleh. Sejalan dengan itu, penelitian yang dilakukan oleh Scott (2004) di Amerika menunjukkan temuan bahwa umumnya besaran tarif retribusi sampah yang wajar adalah sebesar 1,5% dari penghasilan keluarga. Khusus untuk Indonesia, menurut Ditjen Cipta Karya Departemen PU dalam Hartono (2006: 52) besarnya retribusi sampah yang dapat ditarik dari masyarakat untuk setiap rumah tangga

14 besarnya minimal 0,5% dan maksimal 1% dari penghasilan per rumah tangga per bulannya. Bertolak dari temuan tersebut dan juga pedoman yang diberikan oleh Ditjen Cipta Karya Departemen PU, maka bila semua rumah tangga mampu membayar retribusi sampah sebesar angka tersebut di atas, maka dapat dikatakan pengelolaan sampah akan dapat berjalan secara Self Financing (mampu membiayai sendiri). Sebaliknya bila tingkat kemampuan membayar masyarakat terhadap pengutipan retribusi sampah lebih rendah dari jumlah tarif yang telah ditetapkan, maka mungkin akan timbul keengganan untuk membayarnya karena mereka harus mengalihkan sebahagian dana yang telah dialokasikan untuk keperluan lainnya di luar pembayaran retribusi sampah. Akibatnya, hasil pengutipan retribusi sampah akan dapat mengalami penurunan. Sebaliknya, bila tingkat kemampuan membayar masyarakat terhadap retribusi sampah melebihi tarif yang ditetapkan, maka kerelaan masyarakat untuk membayarnya akan muncul dan dapatlah diharapkan tingginya hasil pengutipan retribusi sampah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya tingkat kemampuan membayar masyarakat atas pengutipan retribusi sampah akan mempengaruhi hasil pengutipan retribusi sampah yang dilakukan Dinas Kebersihan Kota Medan Kemauan Membayar Kemauan membayar merupakan suatu nilai di mana seseorang rela untuk membayar, mengorbankan atau menukarkan sesuatu untuk memperoleh barang atau

15 jasa (Widaningrum, 2007). Definisi ini sejalan dengan definisi Wechel & Kimberly dalam Widjonarko (2007: 25), yaitu sebagai jumlah uang yang bersedia dibayarkan oleh individu untuk mendapatkan suatu barang atau jasa layanan. Sementara secara khusus untuk jasa pelayanan sampah, Santosa, Darsono dan Syafrudin (2010: 4) memberikan definisi kemauan membayar atau yang biasa disebut dengan willingnes to pay sebagai kesediaan pengguna untuk mengeluarkan imbalan atas jasa yang diperolehnya atau besaran rupiah rata-rata yang masyarakat mau mengeluarkannya sebagai pembayaran atas satu unit pelayanan sampah yang dinikmatinya. Sebahagian anggota masyarakat ada yang beranggapan bahwa pengelolaan sampah hanyalah merupakan tanggungjawab pemerintah semata. Masyarakat hanya berperan sebagai pihak yang dilayani, dan tidak perlu memberikan kontribusi apapun, termasuk melakukan pembayaran uang retribusi sampah. Dana yang diperlukan untuk membiayai penanganan sampah seharusnya sudah tersedia dalam anggaran pemerintah, sehingga penanganan selanjutnya adalah menjadi tanggung jawab pemerintah. Pada kelompok masyarakat yang seperti ini tingkat kemauan mereka untuk membayar retribusi sampah adalah sangat rendah, karena mereka merasa bahwa kegiatan pengelolaan sampah merupakan kegiatan wajib pemerintah yang tidak perlu dibayar. Padahal peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah adalah amat diperlukan sekali, bukan hanya partisipasi dalam kegiatan pengelolaan sampah dan lingkungan, misalnya dengan mengadakan sendiri tempat penyediaan sampah seperti tong sampah, meletakkan sampah yang diproduksinya secara teratur

16 di lokasi yang mudah dijangkau oleh petugas pengutipan sampah, menjaga agar sampah tidak berserakan dan masuk ke dalam parit, tetapi juga seharusnya ikut dalam menanggulangi biaya pengelolaan sampah dengan membayar retribusi sampah. Hal ini sejalan dengan pendapat Wibisono dalam Alfiandra (2009: 41) bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Partisipasi langsung adalah keikutsertaan, keterlibatan dan kebersamaan masyarakat, mulai dari gagasan, perumusan kebijakan hingga pelaksanaan operasional program. Sedang partisipasi tidak langsung adalah berupa keterlibatan dalam masalah keuangan, pemikiran dan material. Dengan demikian masyarakat seharusnya membayar retribusi sampah sebagai bentuk keikutsertaan atau partisipasi dalam pengeloaan sampah dan juga sebagai bentuk pembayaran kewajiban atas pelayanan yang telah diterimanya. Faktor kemauan membayar ini didasarkan atas Teori Nilai Guna (Utility Theory). Teori yang merupakan salah satu dari teori ekonomi ini umumnya dipakai untuk menerangkan dan juga memprediksi bagaimana perilaku individu (disebut konsumen) dalam memilih barang-barang yang akan dibeli dan dikonsumsinya (Sukirno, 2005: 169). Teori ini kemudian berkaitan dengan teori kepuasan marginal, yang menyatakan bahwa konsumen akan meneruskan pembeliannya terhadap suatu produk untuk jangka waktu yang lama karena telah mendapatkan kepuasan dari produk yang sama yang telah dikonsumsi. Terdapat beberapa asumsi yang melandasi teori ini, yaitu: (1) bahwa konsumen akan berusaha untuk memaksimalkan kepuasannya sesuai batas kemampuan

17 keuangannya; (2) bahwa individu mengetahui tentang beberapa alternatif sumber untuk memuaskan kebutuhannya; (3) bahwa individu selalu bertindak rasional. Konsumen akan menggunakan pendapatannya untuk memperoleh kepuasan maksimum dari barang yang akan dikonsumsinya dan tercermin dari besaran harga berdasarkan kemauan membayar (willingness to pay) terhadap barang tersebut. Dalam penelitiannya mengenai air bersih, McIntosh (2003) menyebutkan bahwa kemauan membayar seseorang dalam skala rumah tangga (domestik) tergantung dari pendapatan rumah tangga, jumlah konsumsi air, besaran tarif dan adanya sumber air bersih alternatif. Hal ini tentu juga berlaku untuk pelayanan jasa persampahan, di mana kemauan membayar akan tergantung kepada beberapa faktor, seperti pendapatan, jumlah sampah yang dihasilkan, besaran tarif, dan juga alternatif pelayanan. Pada saat ini, alternatif pelayanan untuk pengelolaan sampah tidak ada, karena kegiatan pengelolaan sampah bukanlah merupakan satu bentuk bisnis jasa yang menguntungkan. Kemauan membayar seseorang tentu tidak akan dapat tumbuh dengan sendirinya, melainkan akan timbul karena adanya beberapa faktor tertentu. Jakobson, et al, dalam Vitianingsih (2002: 15) berpendapat bahwa konsepsi willingness to pay (WTP) atau kemauan membayar sangat bergantung pada preferensi dan kesadaran (awareness) individu berkaitan dengan manfaat atas penggunaan suatu barang. Preferensi dapat timbul karena adanya pelayanan yang memuaskan, sementara kesadaran akan timbul dengan adanya upaya penyadaran oleh pemerintah dengan melakukan berbagai sosialisasi mengenai pentingnya penjagaan lingkungan dan keikutsertaan semua lapisan masyarakat di dalamnya. Penelitian Widaningrum (2007)

18 mengenai tingkat kemampuan dan kemauan membayar terhadap rumah susun menemukan bahwa kemauan membayar masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu penghasilan total keluarga dan jasa pelayanan yang diterimanya (untuk masyarakat berpenghasilan menengah rendah), sementara tingkat kemauan membayar masyarakat berpenghasilan menengah sedang dan tinggi, ditentukan oleh faktor jasa pelayanan yang diterimanya dan penghasilan total keluarga. Pada studi yang dilakukan oleh Ruijgrok dan Nillesen (2000), disimpulkan bahwa responden yang mengerti barang lingkungan yang ditawarkan memiliki nilai kemauan membayar lebih tinggi daripada yang tidak mengerti barang lingkungan yang ditawarkan. Menurut Justine (1996), nilai kemauan membayar pada pengelolaan sampah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tingkat pelayanan, persepsi masyarakat terhadap nilai manfaat dari pelayanan itu, dan penghasilan keluarga untuk daerah yang masyarakatnya berpenghasilan rendah. Sedangkan pada studi yang dilakukan oleh Permana (2005), dikatakan ada hubungan antara nilai kemauan membayar dengan jumlah produksi sampah yang dihasilkan oleh responden. Selain itu, beliau menemukan pula faktor-faktor yang mempengaruhi nilai kemauan membayar yang terdiri dari (1) persepsi responden terhadap permasalahan pengelolaan sampah, (2) persepsi responden terhadap tingkat pelayanan sampah di lingkungannya, (3) persepsi responden terhadap Willingness to Accept, (4) persepsi responden terhadap peningkatan pengelolaan sampah, dan (5) jumlah produksi sampah yang dihasilkan oleh responden, artinya semakin banyak produksi sampah

19 maka semakin besar kesediaan untuk membayarnya. Nur As adah, et al (2010) menemukan dalam penelitiannya bahwa kemauan masyarakat dalam membayar tarif retribusi sampah memberi pengaruh terhadap efektifitas penarikan tarif retribusi sampah, artinya bila kemauan membayar retribusi sampah tinggi, tentu penerimaan hasil pengutipan retribusi sampah akan mengalami kenaikan pula. Dengan demikian dapat diprediksi bahwa tinggi rendahnya kemauan pelanggan untuk membayar retribusi akan berpengaruh terhadap hasil pengutipan retribusi sampah. Penelitian yang dilakukan oleh Salequzzaman, Sqadiqul dan Mostafa (2000), Nur As adah, Supirin dan Syafrudin (2010), begitu juga Santosa, Darsono dan Syafrudin (2010) telah menemukan bahwa kinerja operasional pengelola sampah atau tingkat pelayanan pengelolaan sampah sangat mempengaruhi kemauan (willingness to pay) masyarakat dalam membayar tarif retribusi sampah. Kemauan membayar ini akhirnya juga akan sangat mempengaruhi jumlah penerimaan retribusi sampah. 2.2 Review Penelitian Terdahulu (Theoretical Maping) Untuk mendukung dan sebagai bahan referensi atas penelitian yang dilakukan ini, beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan topik penelitian ini akan ditelaah. Penelitian-penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1) Penelitian Arizal (2003) berjudul: Faktor-faktor Sosiologis Yang Mempengaruhi Penerimaan Retribusi Kebersihan (Survei di Masyarakat Kecamatan Bangko Kabupaten Merangin Propinsi Jambi). Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan mempergunakan kuesioner yang disebarkan

20 kepada 70 orang kepala keluarga yang tersebar di 4 desa. Hasil akhir penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan dari faktor-faktor sosial masyarakat yang terdiri atas tingkat pendidikan, agama, jenis pekerjaan dan tingkat penghasilan terhadap penerimaan retribusi kebersihan. Selain itu, juga terdapat pengaruh yang positif dan signifikan dari pelayanan pemerintahan di bidang kebersihan terhadap penerimaan retribusi kebersihan. 2) Soleha (2007) telah melakukan penelitian berjudul: Peran Serta Masyarakat Dalam Pembayaran Retribusi Sampah di Kawasan Perumahan Kota Pekan Baru (Studi Kasus Kecamatan Lima Puluh). Yang menjadi objek penelitian adalah kepala rumah tangga di kawasan perumahan in-formal di Kota pekan Baru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik masyarakat (tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, status kepemilikan rumah, lama tinggal dan asal daerah) tidak berpengaruh pada keinginan masyarakat untuk berperan serta dalam pembayaran retribusi sampah dan sekaligus tidak berpengaruh terhadap penerimaan retribusi sampah. Penelitian ini juga menemukan bahwa rendahnya keinginan masyarakat dalam membayar retribusi sampah adalah karena manajemen perencanaan yang tidak melibatkan masyarakat secara keseluruhan, pengelolaan keuangan yang tidak transparan di tingkat masyarakat, serta kurangnya komunikasi antara pimpinan masyarakat di tingkat atas dengan masyarakatnya. 3) Penelitian yang dilakukan oleh Masrofi (2004) berjudul: Potensi dan Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah

21 (Studi Kasus di Kota Semarang). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Riil, Jumlah Penduduk, Tingkat Inflasi, dan Perubahan Peraturan sebagai variabel bebas serta Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah sebagai variabel terikat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PDRB riil dan jumlah penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan pajak dan retribusi daerah, sementara tingkat inflasi dan perubahan peraturan tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak dan retribusi daerah. Penelitian ini juga menemukan indikasi bahwa retribusi sampah di Kota Semarang merupakan salah satu retribusi yang potensil. 4) Penelitian Yulianto (2005) yang berjudul: Analisis Penerimaan Retribusi Pelayanan Kesehatan (Studi Kasus di Kabupaten Boyolali). Penelitian yang dilakukan terhadap semua Puskesmas yang berlokasi di Kabupaten Boyolali bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan retribusi pelayanan kesehatan. Peneliti menempatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Jumlah Penduduk, dan Jumlah Kunjungan Pasien sebagai variabel bebas, sedangkan penerimaan retribusi pelayanan kesehatan sebagai variabel terikat. Berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan dan diolah, diperoleh kesimpulan bahwa ketiga variabel bebas yaitu PDRB, Jumlah Penduduk dan Jumlah Kunjungan Pasien berpengaruh terhadap penerimaan retribusi pelayanan kesehatan, baik secara bersama-sama maupun secara parsial. Variabel Jumlah Kunjungan dan PDRB berpengaruh positif dan signifikan

22 terhadap penerimaan retribusi pelayanan kesehatan, sementara jumlah penduduk berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penerimaan retribusi pelayanan kesehatan. Secara ringkas penelitian-penelitian terdahulu sebagaimana ditelaah di atas dapat diringkaskan dalam tabel berikut:

23 No Nama Peneliti/ Tahun Tabel. 2.1 Tinjauan atas Penelitian Terdahulu Judul Penelitian Variabel yang Hasil Penelitian dipergunakan 1. Arizal (2003) Faktor-faktor Sosiologis Yang Mempengaruhi Penerimaan Retribusi Kebersihan (Survei di Masyarakat Kecamatan Bangko Kabupaten Merangin Propinsi Jambi) Independen variabel: (1) Faktor Sosial Masyarakat, dan (2) Faktor Pelayanan Pemerintahan akan Kebersihan. Dependen variabel adalah Penerimaan Retribusi Kebersihan Hasil penelitian menyimpulkan bahwa (1) ada pengaruh positif dan signifikan dari faktor sosial masyarakat terhadap penerimaan retribusi kebersihan; (2) ada pengaruh positif dan signifikan dari pelayanan pemerintahan akan kebersihan terhadap penerimaan retribusi kebersihan. 2. Soleha ( 2007) Peran Serta Masyarakat Dalam Pembayaran Retribusi Sampah di Kawasan Perumahan Kota Pekan Baru (Studi Kasus Kecamatan Lima Puluh) Independen variabel ialah karakteristik masyarakat Sedangkan Dependen variabel adalah pembayaran restribusi sampah Hasil penelitian menunjukkan bahwa di kawasan perumahan ini formal memiliki keinginan untuk melakukan pembayaran retribusi sampah di kawasan perumahannya. 3. Masrofi (2004) Potensi dan Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah (Studi Kasus di Kota Semarang) Independen variabel ialah potensi dan analisis faktor Sedangkan Dependen variabel adalah penerimaan pajak dan retribusi daerah Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PDRB riil dan jumlah penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan pajak dan retribusi daerah, sementara tingkat inflasi dan perubahan peraturan tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak dan retribusi daerah. Penelitian ini juga menemukan indikasi bahwa retribusi

24 4. Yulianto (2005) Analisis Penerimaan Retribusi Pelayanan Kesehatan (Studi Kasus di Kabupaten Boyolali) Independen variabel: (1) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), (2) Jumlah Penduduk, dan (3) Jumlah Kunjungan Pasien Dependen variabel adalah penerimaan retribusi pelayanan kesehatan sampah di Kota Semarang merupakan salah satu retribusi yang potensil. kesimpulan bahwa ketiga variabel bebas yaitu PDRB, Jumlah Penduduk dan Jumlah Kunjungan Pasien berpengaruh terhadap penerimaan retribusi pelayanan kesehatan, baik secara bersama-sama maupun secara parsial. Variabel Jumlah Kunjungan dan PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan retribusi pelayanan kesehatan, sementara jumlah penduduk berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penerimaan retribusi pelayanan kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. bahwa otonomi daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. bahwa otonomi daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah bahwa otonomi daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun di sektor swasta, hanya fungsinya berlainan (Soemitro, 1990).

BAB I PENDAHULUAN. maupun di sektor swasta, hanya fungsinya berlainan (Soemitro, 1990). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pajak erat sekali hubungannya dengan pembangunan, baik di sektor publik maupun di sektor swasta, hanya fungsinya berlainan (Soemitro, 1990). Pembangunan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Anonim, (2011), Pemko Butuh Investor Kelola Sampah, Medan Bisnis, Selasa, 18 Januari.

DAFTAR PUSTAKA. Anonim, (2011), Pemko Butuh Investor Kelola Sampah, Medan Bisnis, Selasa, 18 Januari. DAFTAR PUSTAKA Alfiandra, (2009), Kajian Partisipasi Masyarakat yang Melakukan Pengelolaan Persampahan 3R di Kelurahan Ngaliyan dan Kalipancur Kota Semarang, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang. Allen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan dari pembangunan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan dari pembangunan nasional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Negara Indonesia adalah negara demokrasi yang memberikan hak kepada setiap warganya untuk ikut berpartisipasi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengertian PAD dan penjabaran elemen-elemen yang terdapat dalam PAD.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengertian PAD dan penjabaran elemen-elemen yang terdapat dalam PAD. 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dijelaskan teori-teori yang berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), variabel-variabel yang diteliti serta penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya.

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBIAYAAN SAMPAH DALAM MENDUKUNG PENGELOLAAN SAMPAH DI PASAR JOHAR KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: Andrik F. C. A.

KAJIAN PEMBIAYAAN SAMPAH DALAM MENDUKUNG PENGELOLAAN SAMPAH DI PASAR JOHAR KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: Andrik F. C. A. KAJIAN PEMBIAYAAN SAMPAH DALAM MENDUKUNG PENGELOLAAN SAMPAH DI PASAR JOHAR KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: Andrik F. C. A. L2D 005 341 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Menurut Halim (2004:15-16) APBD adalah suatu anggaran daerah, dimana memiliki unsur-unsur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan dan melancarkan

Lebih terperinci

FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN RETRIBUSI SAMPAH DI KABUPATEN BADUNG

FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN RETRIBUSI SAMPAH DI KABUPATEN BADUNG 128 FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN RETRIBUSI SAMPAH DI KABUPATEN BADUNG I Nengah Jaya 1 Made Kembar Sri Budhi 2 A.A.I.N Marhaeni 3 1, 2, 3 Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Udayana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang mencakup segala bidang yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (Rusyadi, 2005).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemandirian suatu daerah dalam pembangunan nasional merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah merupakan landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di Indonesia, akan tetapi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah dan APBD Peraturan Menteri Dalam Negeri No 21 tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah mendefinisikan Keuangan Daerah sebagai semua hak dan kewajiban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah diberlakukan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah diberlakukan di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah di Indonesia memasuki babak baru dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah diberlakukan di Indonesia melalui Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, pemerintah daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, pemerintah daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era otonomi daerah ini pemerintah daerah berusaha untuk mengatur roda kepemerintahannya sendiri yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Otonomi Daerah Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keuangan Daerah 2.1.1. Pengertian Keuangan Daerah Keuangan Daerah atau anggaran daerah merupakan rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam satu periode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Kota Bandung merupakan salah satu daerah otonom yang termasuk ke dalam Provinsi Jawa Barat yang tidak lepas dari dampak penerapan otonomi daerah. Kota

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor-faktor yang..., Muhammad Fauzi, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor-faktor yang..., Muhammad Fauzi, FE UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional merupakan pembangunan yang dapat diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, oleh karena itu hasil pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pusat dan daerah, bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. pusat dan daerah, bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari 19 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari Pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang

I. PENDAHULUAN. pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era reformasi telah memberikan dampak yang besar terhadap perubahan di seluruh aspek pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Pergantian Pemerintahan dari Orde Baru ke orde Reformasi menuntut pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di segala bidang, dan juga guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, Kabupaten/ Kota telah dipercayakan oleh Pemerintah Pusat untuk mengatur daerahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, menyebutkan bahwa melalui otonomi daerah, pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan yang berlangsung secara terus-menerus yang sifatnya memperbaiki dan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan yang berlangsung secara terus-menerus yang sifatnya memperbaiki dan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia sejak lama telah mencanangkan suatu gerakan pembangunan yang dikenal dengan istilah pembangunan nasional. Pembangunan nasional adalah kegiatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pajak Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara baik di bidang kenegaraan maupun di bidang sosial dan

Lebih terperinci

BAB III PENGELOLAAN RETRIBUSI PARKIR KOTA SURABAYA. A. Pengaruh Retribusi Terhadap Pendapatan Asli Daerah

BAB III PENGELOLAAN RETRIBUSI PARKIR KOTA SURABAYA. A. Pengaruh Retribusi Terhadap Pendapatan Asli Daerah BAB III PENGELOLAAN RETRIBUSI PARKIR KOTA SURABAYA A. Pengaruh Retribusi Terhadap Pendapatan Asli Daerah Otonomi daerah yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengembangan Wilayah Pada dasarnya pengembangan adalah proses dimana individu, kelompok, organisasi, institusi dan masyarakat meningkatkan kemampuannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintahan suatu negara pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia yang berada di masing masing Provinsi dengan

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia yang berada di masing masing Provinsi dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sedang berjuang dengan giat untuk memajukan pertumbuhan ekonomi di setiap provinsi yang ada di Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORI. senantiasa berpacu untuk meningkatkan pendapatan daerah, salah satunya

BAB III TINJAUAN TEORI. senantiasa berpacu untuk meningkatkan pendapatan daerah, salah satunya BAB III TINJAUAN TEORI A. Pengertian Pajak dan Objek Pajak Sebagaimana diketahui bahwa sektor pajak merupakan pemasukan bagi Negara yang terbesar demikian juga halnya dengan daerah. Sejak dikeluarkannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengembangan Wilayah Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya merupakan peningkatan nilai manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu, mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada pembangunan nasional. Pembangunan nasional tidak hanya mengalami pertumbuhan, tetapi juga mengalami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Efektivitas pemungutan retribusi terminal adalah:

BAB III METODE PENELITIAN. Efektivitas pemungutan retribusi terminal adalah: BAB III METODE PENELITIAN III.1. Definisi Operasional Variabel III.1.1. Efektifitas pemungutan retribusi terminal Efektivitas pemungutan retribusi terminal adalah: Kemampuan untuk mengefektifkan pemungutan

Lebih terperinci

EVALUASI RETRIBUSI PASAR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI SURAKARTA

EVALUASI RETRIBUSI PASAR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI SURAKARTA EVALUASI RETRIBUSI PASAR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi Pada

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR

BAB IV KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR BAB IV KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR 1.5 Kondisi Geografis dan Administratif Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah daratan (tidak memiliki wilayah laut) yang berbatasan langsung dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Derah dan Undang-Undang Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. memecahkan permasalahan yang diangkat. Namun tidak semudah dibayangkan,

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. memecahkan permasalahan yang diangkat. Namun tidak semudah dibayangkan, BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS Proses penelitian apapun bentuknya, secara ilmiah adalah untuk dapat memecahkan permasalahan yang diangkat. Namun tidak semudah dibayangkan, karena proses penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Belanja Daerah Seluruh pendapatan daerah yang diperoleh baik dari daerahnya sendiri maupun bantuan dari pemerintah pusat akan digunakan untuk membiayai seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 23Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 23Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang membawa kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah dalam menyelenggarakan pemerintah kewenangan tersebut diberikan secara profesional yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Salah satu landasan yuridis bagi pengembangan Otonomi Daerah di Indonesia adalah lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pengganti

Lebih terperinci

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Dalam Memperoleh Gelar Ahli Madya Pada Program Studi Diploma III Akuntansi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Dalam Memperoleh Gelar Ahli Madya Pada Program Studi Diploma III Akuntansi TINJAUAN ATAS PENERIMAAN PAJAK PENGAMBILAN DAN PEMANFAATAN AIR BAWAH TANAH (ABT) SERTA AIR PERMUKAAN (APER) PADA UPPD PROVINSI WILAYAH XXII BANDUNG TIMUR TUGAS AKHIR Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era reformasi saat ini, Pemerintah Indonesia telah mengubah sistem sentralisasi menjadi desentralisasi yang berarti pemerintah daerah dapat mengurus keuangannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001, maka setiap daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam

BAB I PENDAHULUAN. 2001, maka setiap daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pada konteks ekonomi makro, tolak ukur keberhasilan perekonomian suatu daerah antara lain adalah Pendapatan daerah, tingkat kesempatan kerja dan tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui potensi

Lebih terperinci

2016 PENGARUH EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN RETRIBUSI PELAYANAN PASAR TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK:

2016 PENGARUH EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN RETRIBUSI PELAYANAN PASAR TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam era otonomi daerah ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini, sebagaimana diatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang baik. Melalui sistem pemerintahan yang baik, setidaknya hal tersebut dapat

BAB I PENDAHULUAN. yang baik. Melalui sistem pemerintahan yang baik, setidaknya hal tersebut dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai negara kepulauan yang memiliki wilayah yang luas dan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia tentu membutuhkan sistem pemerintahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Pembangunan daerah juga

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Pembangunan daerah juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, oleh karena itu hasil pembangunan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa Lalu Sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini akan menguraikan pengertian PAD, DAU, DAK dan Belanja Modal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini akan menguraikan pengertian PAD, DAU, DAK dan Belanja Modal BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori Bab ini akan menguraikan pengertian PAD, DAU, DAK dan Belanja Modal terhadap Kinerja Keuangan. Menjabarkan teori yang melandasi penelitian ini dan beberapa penelitian

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN

3. KERANGKA PEMIKIRAN 3. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran Penelitian Pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dalam wadah negara kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Akuntansi Pemerintahan Saat ini terdapat perhatian yang lebih besar terhadap praktik akuntansi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam Undang-Undang Dasar 1945 antara lain menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak pulau dan banyak provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota, kecamatan, kelurahan dan dibagi

Lebih terperinci

1 UNIVERSITAS INDONESIA

1 UNIVERSITAS INDONESIA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintahan daerah di Indonesia memasuki babak baru seiring diberlakukannya desentralisasi fiskal. Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN. Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN. Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN 2.1 LANDASAN TEORI 2.1.1 Stewardship Theory Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship Theory, Teori Stewardship menjelaskan mengenai situasi

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Pendapatan Asli Daerah 2.1.1. Definisi Pendapatan Asli Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu harapan cerah bagi pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki kesempatan untuk mengelola,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2012 NOMOR 18 PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI TANGGAL : 20 DESEMBER 2012 NOMOR : 18 TAHUN 2012 TENTANG : PENYELENGGARAAN RETRIBUSI DAERAH Sekretariat Daerah Kota Sukabumi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Kabupaten Bandung Potensi Daya Tarik Wisata Kabupaten Bandung

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Kabupaten Bandung Potensi Daya Tarik Wisata Kabupaten Bandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Kabupaten Bandung 1.1.1 Potensi Daya Tarik Wisata Kabupaten Bandung Sebagai daerah yang tengah mengembangkan pariwisatanya, Kabupaten Bandung dapat diklasifikasikan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1 Kondisi Pendapatan Daerah Pendapatan daerah terdiri dari tiga kelompok, yaitu Pendapatan Asli

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru, yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah menerapkan suatu gerakan pembangunan yang dikenal dengan istilah Pembangunan Nasional. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Kerangka ekonomi makro dan pembiayaan pembangunan Kabupaten Sleman memuat tentang hasil-hasil analisis dan prediksi melalui metode analisis ekonomi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Pendapatan Asli Daerah serta kemungkinan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Pendapatan Asli Daerah serta kemungkinan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Belanja Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Pendapatan Asli Daerah serta kemungkinan terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengelola daerah masing-masing sesuai dengan Undangundang Nomor 32 Tahun 2004

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional merupakan pembangunan yang dapat diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, oleh karena itu hasil pembangunan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Tulungagung Berdasarkan ringkasan struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Tulungagung, setiap tahunnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan perbaikan yang secara terus menerus menuju pada pencapaian tujuan yang diinginkan. Secara umum tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Kabupaten Bekasi merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik pula. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan mampu

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik pula. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan mampu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keuangan negara yang baik akan menggambarkan keadaan suatu pemerintahan yang baik pula. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan mampu mengoptimalkan seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan

BAB I PENDAHULUAN. potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Pendapatan Asli Daerah a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah Menurut Mardiasmo (2002:132), Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh dan sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang membawa kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan sumber penerimaan yang sangat penting artinya bagi perekonomian suatu Negara. Demikian juga dengan Indonesia sebagai negara yang sedang membangun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dewasa ini, perkembangan perekonomian di Indonesia berangsur-angsur mulai membaik setelah mengalami berbagai macam krisis dan bencana alam pada waktu lalu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak erat sekali hubungannya dengan pembangunan, pembangunan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pajak erat sekali hubungannya dengan pembangunan, pembangunan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pajak erat sekali hubungannya dengan pembangunan, pembangunan dan pajak akan senantiasa meningkat jika tarif pajak didasarkan dengan tarif pajak yang progresif,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sistem pemerintahan daerah sangat erat kaitannya dengan otonomi daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem pemerintahan di Indonesia bersifat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Di dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan di daerah, peranan yang sangat penting dari keuangan daerah adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dimana Pemerintah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Timbulnya pergerakan dan tuntutan-tuntutan praktek otonomi daerah menyebabkan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

TESIS. Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Magister. Program Studi Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Tata Negara.

TESIS. Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Magister. Program Studi Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Tata Negara. REALISASI PENDAPATAN PAJAK REKLAME DALAM PERATURAN DAERAH NOMOR 3 TAHUN 1998 DI KABUPATEN WONOGIRI (Studi Kasus Di Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Wonogiri) TESIS Untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan pembangunan disegala sektor. Hal ini berkaitan dengan sumber dana

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan pembangunan disegala sektor. Hal ini berkaitan dengan sumber dana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia memiliki tujuan pembangunan nasional yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Pembangunan daerah termasuk ke

Lebih terperinci