ASSESSMENT CEPAT PROSES PENGELOLAAN DAN LEMBAGA KEBIJAKAN DI INDONESIA. Proyek Prakarsa Strategis Bappenas

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ASSESSMENT CEPAT PROSES PENGELOLAAN DAN LEMBAGA KEBIJAKAN DI INDONESIA. Proyek Prakarsa Strategis Bappenas"

Transkripsi

1 ASSESSMENT CEPAT PROSES PENGELOLAAN DAN LEMBAGA KEBIJAKAN DI INDONESIA Proyek Prakarsa Strategis Bappenas Jakarta, Maret 2008

2 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... 2 BAGIAN I : LAPORAN SINTESA... 7 BAB I... 8 PENDAHULUAN Perubahan lingkungan kebijakan Tantangan konsolidasi demokrasi Pentingnya proses kebijakan Dimensi-dimensi reformasi proses kebijakan BAB II TUJUAN DAN METODOLOGI Tujuan Ruang Lingkup Metodologi BAB III PROSES KEBIJAKAN SEBAGAI PERMASALAHAN Proses kebijakan sebagai bagian dari effective governance Tantangan Indonesia BAB IV PERMASALAHAN DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN Ketiadaan kerangka strategi yang utuh Kebijakan yang berorientasi sektoral Konsultasi internal pemerintah dan konsultasi publik BAB V PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI DAN MONITORING KEBIJAKAN Masalah lembaga koordinator Kapasitas kelembagaan Manajemen transisi dari kebijakan lama ke kebijakan baru Proses implementasi kebijakan yang terlalu inward looking Strategi komunikasi dalam implementasi kebijakan yang tidak efektif Monitoring kebijakan BAB VI LEMBAGA-LEMBAGA KEBIJAKAN Kantor Kepresidenan Kementrian Koordinator BAPPENAS

3 BAB VII LANGKAH-LANGKAH KE DEPAN Perubahan lingkungan kebijakan Respon lembaga-lembaga kebijakan terhadap perubahan lingkungan kebijakan Proses kebijakan dalam alam demokratis Pokok-pokok implementasi reformasi proses kebijakan di Indonesia Bagian II : Studi Kasus Kerangka Koordinasi Lembaga-Lembaga Kebijakan Latar belakang Permasalahan Ruang lingkup dan metodologi Identifikasi dan analisis kelembagaan yang terlibat dalam proses kebijakan Presiden dan Kantor Kepresidenen Hubungan Eksekutif dan Parlemen dalam pembuatan kebijakan Perubahan Domestik dalam Konteks Pembuatan Kebijakan di Indonesia Perubahan besar dalam parameter kebijakan Makin sempitnya waktu antara munculnya masalah dengan respon pemerintah Pemerintahan yang terdesentralisasi Strategy Pembangunan Nasional dan Perubahan Peran Perencanaan Pembangunan Masalah yang muncul dari sistem pembuatan kebijakan saat ini Hilangnya Visi Strategis dan Pengemasan Efektif Program Reformasi Menetapkan fokus tanpa melupakan visi strategis Hancurnya kapasitas untuk melakukan riset dan perumusan kebijakan Kebijakan yang tidak efektif: kegagalan desain atau implementasi? Kasus-kasus dalam proses kebijakan Rangkuman dan implikasi bagi studi lanjutan Proses Pembuatan Kebijakan Perencanaan Pembangunan dan Penganggaran di Indonesia Latar belakang Tujuan, ruang lingkup dan metodologi penelitian Tujuan Ruang lingkup Metodologi Penelitian

4 3. Policy Regime mengenai perencanaan pembangunan dan anggaran di Indonesia Regulasi dan struktur Bappenas Departemen Keuangan Lembaga lainnya (DPR, lembaga pemeriksa pembangunan, departemen terkait) Proses kebijakan Alur kerja penyusunan perencanaan pembangunan dan anggaran Siklus dan evaluasi atas pelaksanaan pembangunan dan anggaran Analisis studi kasus proses kebijakan perencanaan dan anggaran Musrenbang: partisipasi publik dalam menyusun rencana kerja pemerintah (RKP) Kebijakan anggaran di era demokrasi Peran Bappenas dalam penanggulangan bencana alam nasional Monitoring and evaluation atas pembangunan dan penggunaan anggaran Kesimpulan dan rekomendasi Proses Kebijakan Ekonomi Makro Latar belakang Tinjauan, ruang lingkup dan metodologi Tinjauan dan ruang lingkup kebijakan moneter Hubungan antara Bank Indonesia dengan Pemerintah Tinjauan dan ruang lingkup kebijakan fiskal Policy regime Kebijakan moneter Kebijakan moneter dengan sasaran kestabilan harga: menuju Inflation Targeting Dasar Pemilihan Kebijakan Inflation Targeting Faktor Faktor Lain yang Terkait dengan Kebijakan Inflation Targeting Konsep Dasar Kebijakan Moneter Bank Indonesia dengan Kerangka Inflation Targeting Implementasi Kebijakan Inflation Targeting di Indonesia Sasaran Inflasi Kebijakan Moneter Mengarah Ke Depan

5 Bank Indonesia Sebagai Pengelola Cadangan Devisa Wewenang BI atas Cadangan Devisa: Kebijakan Bank Indonesia terhadap Nilai Tukar Kebijakan Nilai Tukar dan Devisa Kebijakan fiskal Struktur APBN Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Evaluasi Proses Kebijakan Evaluasi Proses Kebijakan Moneter Evaluasi Proses Kebijakan Fiskal Evaluasi Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter Rangkuman dan implikasi studi lanjutan Daftar Pustaka Proses Kebijakan Sektor Riil Latar Belakang Tinjuan dan Ruang Lingkup Peningkatan investasi, ekspor dan perluasan kesempatan kerja Revitalisasi pertanian, perikanan, kehutanan dan pembangunan pedesaan Percepatan pembangunan infrastruktur dan pengelolaan energi Policy Regime Pembangunan Sektor Riil Bentuk koordinasi Tim Eksternal Pemantau Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi (TIMNAS PEPI) Tugas dari Sekretariat Timnas PEPI tersebut adalah sebagai berikut: Kelompok Kerja Timnas PEPI (Pokja Timnas PEPI) Tim Nasional Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (Timnas KEKI) Organisasi Pelaksanaan Model Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Insentif Fiskal Insentif Non Fiskal Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) Latar Belakang KKPPI Struktur Organisasi KKPPI Lingkup Infrastruktur Revitalisasi Pertanian

6 3.4. Revitalisasi Kehutanan Revitalisasi Perikanan Evaluasi Kebijakan Sektor Riil Rangkuman dan Implikasi Studi ke Depan Daftar Pustaka Proses Pembuatan Kebijakan Sosial di Indonesia Latar belakang Tujuan, ruang lingkup dan metodologi penelitian Tujuan Ruang lingkup Metodologi penelitian Policy regime mengenai penanggulangan kemiskinan di Indonesia Regulasi dan struktur Proses kebijakan Proses pembuatan kebijakan anti kemiskinan Implementasi kebijakan anti kemiskinan Pengawasan dan evaluasi kebijakan anti kemiskinan Analisis studi kasus proses kebijakan penanggulangan kemiskinan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) Legalisasi atas Corporate Social Responsibility Reformasi agraria untuk kaum miskin Kesimpulan dan rekomendasi Lampiran

7 BAGIAN I : LAPORAN SINTESA 7

8 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Perubahan lingkungan kebijakan Perubahan sistem politik di Indonesia dengan reformasi pada tahun 1998 telah menciptakan proses transisi dari suatu sistem yang cenderung otoriter menjadi ke arah demokratis. Perubahan ini juga memiliki pengaruh pada proses pengelolaan kebijakan publik di mana cara-cara lama sudah tidak berlaku dan lembaga-lembaga pembuat kebijakan kunci harus menyesuaikan diri dengan melakukan efisiensi, pengembangan kapasitas dan akuntabilitas publik agar selaras dengan proses demokratisasi yang sedang terjadi. Pemerintah menyadari perlunya menata kembali pengelolaan proses kebijakan publik. Antara lain, pemerintah telah menyelenggarakan pertemuan tingkat tinggi yang disponsori bersama oleh Bappenas dan Kementrian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pada November Kesimpulan penting dari pertemuan tersebut adalah pentingnya dilakukan suatu studi yang lebih jauh untuk memperkuat kapasitas kelembagaan institusi-institusi pembuat kebijakan didalam proses pembuatan kebijakan yang stratejik dan demokratis. Reformasi proses pembuatan kebijakan bukan hal mudah. Di tingkat praktis, upaya ini mencakup cara mengefisienkan dan membangun kapasitas agar kebijakan dapat dirumuskan, dikoordinasikan, dan dilaksanakan untuk semua isu di seluruh wilayah. Di tingkat yang lebih teoretis, perlu dikaji apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di alam demokrasi. Literatur ekonomi pembangunan dan teori politik banyak sekali mencurahkan perhatian pada topik ini. Tak kunjung dicapainya konsensus dari kedua disiplin ilmu tersebut menunjukkan pandangan yang dikemukakan dan kepentingan yang bersaing memang amat kompleks. Kesadaran tentang perlunya reformasi proses kebijakan dan pentingnya pengembangan kapasitas dalam sistem pengambilan kebijakan agak terlambat. Ini bukan hal aneh. Sedikit sekali negara-negara, jika ada, yang mampu menjalani transisi 8

9 sistemik seperti yang dialami Indonesia dengan mulus dan terencana dalam waktu amat singkat. Perhatian yang lebih besar selama ini diarahkan pada reformasi lembaga yang terkait dengan pasar seperti undang-undang dan pengadilan kepailitan, reformasi tatakelola bank dan swasta, lembaga moneter dan anggaran. Hal itu juga tidak mengherankan. Pada tahun 1997/1998 hanya sedikit yang berpikir Indonesia menghadapi lebih dari sekadar krisis moneter parah. Meski demikian, terlambat tidak selalu berarti merugi. Setelah didera goncangan ekonomi terburuk dan melakukan reformasi politik dan konstitusional secara mengesankan, Indonesia kini dalam posisi mencoba untuk fokus pada problem pengambilan keputusan internal. Banyak sekali pengalaman internasional yang dapat dijadikan pelajaran. Juga makin tumbuh kesadaran bahwa benar-benar tidak ada tidak ada jalan keluar selain mengkonsolidasikan struktur dan nilai demokrasi. Perbaikan proses pembuatan kebijakan merupakan unsur yang amat diperlukan dalam konsolidasi demokrasi. Berbeda dengan demokrasi yang lebih dahulu dan mapan, demokrasi muda seperti Indonesia selain harus menyelesaikan dilema menyelaraskan representasi dengan pengambilan keputusan di tengah-tengah struktur kelembagaan sistem politiknya yang belum selesai ditata. Tentu saja ini tugas yang pelik. Jika gagal dilaksanakan, kerap kali akibatnya adalah kembalinya sistem kediktaktoran atau krisis politik yang tak kunjung usai yang dapat berujung pada kondisi negara gagal (failed state). Pelajaran penting pertama dari pengalaman transisi adalah bahwa konsolidasi demokrasi suatu negara bukan sesuatu yang taken for granted. 1.2 Tantangan konsolidasi demokrasi Perubahan seluruh kultur politik merupakan prasyarat agar demokrasi terkonsolidasi. Bahan yang harus tersedia bagi resep transisi demokrasi adalah dibangunnya legitimasi politik, yakni sebuah proses membangun kepercayaan publik kepada keseluruhan struktur lembaga demokrasi sehingga publik yakin dan bersedia berpartisipasi dalam proses politik. Lebih dari itu, legitimasi politik berarti pula memastikan agar pejabat atau wakil yang dipilih melalui pemilu demokratis handal dalam mengambil keputusan di berbagai bidang yang mempengaruhi kehidupan 9

10 mereka bukan hanya ekonomi- dalam kerangka kelembagaan baru yang demokratis tersebut. Kegagalan banyak transisi demokrasi bermula dari kenyataan bahwa penekanan hanya pada jangka pendek atas pengambilan kebijakan, dan kebutuhan pemerintahan untuk bertindak, lebih didahulukan ketimbang upaya pelembagaan praktik demokrasi seharisehari. Hasil yang tak terelakkan ialah rangkaian beragam sistem politik yang arahnya tidak dapat ditebak, khususnya ketika demokrasi yang belum matang dengan drastic berubah arah menjadi demokrasi semu dan semi-diktaktor. Ketika ini terjadi, keputusan publik tidak dibuat oleh pejabat terpilih, namun dibuat di belakang layar oleh sekelompok elit dengan -kerap kali- dukungan kekuatan militer. Pengalaman transisi demokrasi menggambarkan bahwa reformasi gelombang pertama tidak selalu mampu mengantarkan ke tahap konsolidasi demokrasi. Untuk itu, dibutuhkan reformasi gelombang kedua untuk menjawab bukan saja problem anomali konstitusional dan kerancuan konseptual dalam hukum dan pemisahan kelembagaan, tetapi sekaligus meraih legitimasi dan konsolidasi politik menuju akhir transisi. Reformasi efektif atas proses pembuatan kebijakan misalnya mendorong dialog dan pemahaman publik tentang rumusan kebijakan terkini dan alternatifnya, termasuk identifikasi masalah-masalah yang mengemuka di tingkat nasional dan internasional menjadi bagian krusial agenda Gelombang Kedua tersebut. Legitimasi politik terutama akan bergantung pada kemampuan negara demokrasi untuk memerintah. Hal ini bukan saja berarti menyediakan keamanan fisik dan regulasi dan hukum yang sahih secara konstitusional, tetapi juga menjamin seperangkat kebebasan dan kapabilitas warga negara untuk menentukan standar kehidupan yang diinginkan. Tumbangnya otokrasi dengan perekonomian yang sukses sekalipun adalah pengalaman yang menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup. Tugas utama Gelombang Kedua adalah memperbaiki kualitas demokrasi yang telah ada dan juga pertumbuhan ekonominya. Hal ini membutuhkan pendekatan pembuatan kebijakan yang inklusif, saling terkait dan bersifat lintas sektoral. 10

11 1.3 Pentingnya proses kebijakan Meski subyek ini amat penting, reformasi lembaga-lembaga penyusun kebijakan melalui penguatan pemerintahan dan demokrasi kurang menarik minat akademisi, pemerintah, atau lembaga donor di Indonesia. Sekalipun isu tata pemerintahan dipandang sebagai problem utama dalam isu kebijakan di Indonesia, namun mekanisme untuk perumusan dan implementasi kebijakan, yang amat diperhatikan di negara demokrasi lain, nyaris hilang dari wacana kebijakan di Indonesia. Yang amat mengkhawatirkan dari pengingkaran ini adalah kenyataan bahwa kesemuanya itu berlangsung saat elemen konseptual dan institusional dalam pembuatan kebijakan nasional sedang berubah dalam kecepatan semakin tinggi dan dihadapkan pada tantangan dan beberapa permasalahan yang ada saat ini dan di masa yang akan datang. Keharusan untuk memperkuat proses pengelolaan kebijakan public juga tidak terlepas dari pengaruh globalisasi. Inti globalisasi bukan saja soal perubahan lingkungan ekonomi di mana antarnegara dapat saling berdagang dan meminjamkan uang. Globalisasi juga membawa perubahan politis secara fundamental melalui beberapa cara. Pertama, ketimpangan akses terhadap pasar modal global41 suatu negara memiliki implikasi politik regional. Ketika Indonesia menjalani restrukturisasi ekonomi dan politik, modal dalam jumlah luar biasa besar dilarikan ke luar negeri, terutama Cina dan India42. Ini mengubah pola perdagangan antarnegara Asia dan mengubah bobot politik Indonesia di kawasan ini. Kedua, globalisasi dan penggunaan informasi media secara cepat menciptakan lingkungan pengaruh dan tindakan politik baru. Bukan saja berkat media televisi dan cetak internasional yang terintegrasi, namun juga berkat lobi-lobi internasional43 yang berdampak politis dalam isu hak asasi manusia, lingkungan, kesehatan, dan keselamatan kerja. Dampaknya adalah reaksi yang serba cepat terhadap munculnya berbagai problem kebijakan seperti pemboman tempat wisata, tumpahnya minyak di laut, merebaknya wabah penyakit tertentu, dan respon pemerintah. Ketiga, tidak kalah pentingnya, adalah pandangan bahwa lahirnya lembaga transnasional, ditambah dengan kekuasaan lembaga donor dan lobi internasional, telah mengurangi kedaulatan negara bangsa44. Pembuatan kebijakan nasional makin terbatasi oleh tindakan lembaga pemeringkat, perilaku kompak investor asing, keputusan mengikat WTO, dan standar kesehatan dan keselamatan kerja yang dikaitkan dengan pembatasan eskpor 11

12 barang ke negara maju45. Bagi banyak kalangan, perubahan ini menandai berakhirnya kedaulatan negara bangsa dan membatasi pembuatan kebijakan nasional. Medan pertempuran kebijakan mendatang adalah dalam organisasi regional (seperti EU, NAFTA, ASEAN), dalam konvensi-konvensi internasional, dalam pertemuan tingkat tinggi dan dalam dewan pengurus di lembaga keuangan internasional. Dengan demikian di dalam negeri, subjek kebijakan yang harus ditangani menjadi lebih sedikit, namun perumusan kebijakan di luar negeri menjadi lebih rumit, termasuk dalam hal negosiasi dengan lebih banyak pemain atau pihak yang terlibat. Perubahan-perubahan yang disebut di atas dalam struktur perdagangan dan kelembagaan pasar global dan perubahan peran badan-badan supranasional, ditambah dengan pendeknya waktu yang tersedia dari munculnya problem kebijakan hingga tindakan penyelesaiannya, berimplikasi besar bukan hanya pada cakupan pembuatan kebijakan nasional, namun juga pada kapasitas pemerintah untuk menangani makin banyak isu yang melibatkan makin banyak kelompok pemain yang kuat. Ini tugas yang kompleks. Dan itu belum semua. Dasawarsa terakhir abad 20 juga ditandai berkembangnya ide dan paradigma pembangunan. Yang makin kompleks bukan saja problem kebijakannya, namun juga solusi yang dikemukakan, khususnya yang terkait dengan peran negara dan interaksinya dengan pasar. Akibat dari perubahan besar di lingkungan kebijakan global, dan dalam pemikiran pembangunan, adalah preferensi untuk mekanisme perumusan kebijakan yang makin fleksibel, basis informasi yang lebih beragam, kemitraan kelembagaan dan mekanisme koordinasi, digunakannya komisi khusus dan kelompok kerja independen, dan dimanfaatkannya jaringan kebijakan. Perubahan tersebut juga mengakui pentingnya identifikasi masalah secara cepat agar ada peringatan dini atas krisis yang muncul tibatiba dan isu kebijakan jangka panjang seperti urbanisasi, populasi yang menua, riset, dan teknologi. Perubahan-perubahan di atas bukannya mengakhiri peran negara, namun justru melahirkan tuntutan kepada pemerintah yakni sebagai pengatur dan fasilitator bisnis, penyelenggara konsensus sosial, dan penyedia akhir barang publik yang sangat azasi bagi negara demokrasi dan sebagai partner dalam pengawasan kesehatan, serta ancaman kejahatan dan keamanan internasional. Tantangan yang beragam ini mengubah cara negara merumuskan dan melaksanakan kebijakan. Hal tersebut juga mengubah hubungan 12

13 antara negara dan masyarakat sipil dan negara dengan komunitas lokal dalam merancang kebijakan publik. Banyak negara yang beruntung mampu memelihara struktur kelembagaan domestik yang stabil yang dapat dimodifikasi seperlunya untuk merespon perubahan dalam lingkungan kebijakan global. Indonesia belum berada di tahap tersebut. Indonesia menghadapi bukan saja tugas menyesuaikan praktik pembuatan kebijakan dengan tantangan global yang baru, namun juga mengubah kinerja jejaring institusi yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan dan pelaksanaannya. Transisi demokrasi Indonesia telah mengubah medan kebijakan domestik. 1.4 Dimensi-dimensi reformasi proses kebijakan Terdapat sejumlah tantangan dan permasalahan dalam pengelolaan kebijakan publik saat ini dan yang akan datang. Pertama, pemisahan yang nyata dari kekuasaan antar cabang dan tingkat pemerintahan, dan juga pendirian lembaga-lembaga regulasi dan judisial yang independen seperti Bank Sentral, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Konstitusi telah meningkatkan jumlah dan ragam pemangku kepentingan di semua tingkat proses pembuatan kebijakan Kedua, karena resesi ekonomi yang berlarut-larut dan juga karena munculnya keprihatinan atas kondisi kesejahteraan sosial sebagian besar rakyat, sejumlah isu kebijakan yang lintas-sektor dan multidimensional makin mendominasi agenda kebijakan. Bahkan, nyaris seluruh isu besar kebijakan di Indonesia saat ini dapat dikatakan berada dalam kategori lintas sektor dan multi dimensi: korupsi, pengangguran, kemiskinan, ketimpangan, keadilan sosial, investasi asing, bantuan asing, pembangunan perkotaan, infrastruktur publik, pemeliharaan lingkungan, kekerasan etnis, terorisme, polarisasi keagamaan dan terutama tatakelola. Ketiga, munculnya media cetak dan televisi yang bebas telah mengurangi jeda waktu yang tersedia dari munculnya masalah hingga diambilnya tanggapan kebijakan. Makin bebasnya media ini juga menampakkan kesan, atau menunjukkan kenyataan, bahwa ada perpecahan dalam kabinet atau kemacetan di cabang pemerintahan tertentu yang dalam waktu singkat mempengaruhi kepercayaan bisnis dan publik. Keempat, Undang-undang tentang desentralisasi di Indonesia, yang diberlakukan di awal era demokrasi, mempunyai dampak besar terhadap proses pembuatan kebijakan. Selain 13

14 pengalihan sebagian besar personil pegawai pemerintahan ke daerah dalam waktu singkat, proses desentralisasi juga melemahkan kewenangan pemerintah provinsi karena arus keuangan langsung dikucurkan pemerintah pusat ke kabupaten/kota berdasarkan rumus yang masih terus dikembangkan agar kebutuhan biaya rutin dan biaya khusus daerah yang kurang mampu dapat dipenuhi. Kelima, ada perubahan besar dalam perumusan prioritas nasional dan peran yang dimainkan lembaga perencanaan pembangunan dalam proses tersebut. Terbebani dengan agenda reformasi ekonomi dan politik yang luar biasa berat selama sepuluh tahun terakhir, dengan lembaga masyarakat sipil dan pemerintahan yang tidak berfungsi menangani beragamnya isu kebijakan dan hubungan antar lembaga yang baru, membuat pemerintah baru tidak mampu membangun tanggapan yang terorganisir terhadap lingkungan yang telah berubah. Akibatnya ialah hilangnya kendali atas agenda kebijakan, melemahnya struktur koordinasi antar departemen, penurunan kualitas yang dramatis dalam dokumentasi latar belakang dan pengkajian alternatif pilihan kebijakan yang tersedia, dan kaburnya batas antara tanggungjawab dan kewenangan. Barangkali dampak paling serius dari kegagalan proses kebijakan adalah ketidakmampuan untuk menyusun visi kebijakan dan program prioritas yang jelas dan dapat dikomunikasikan dan didukung publik. Kejelasan visi kebijakan selalu penting kapanpun juga. Namun kejelasan ini menjadi teramat penting khususnya di masa transisi sistemik karena melibatkan pergeseran besar dalam politik, sementara kekuatan dan keunggulan ekonomi melemah dan memburuk. Khususnya di bawah situasi seperti inilah, pertanyaan kebijakan yang penting saat ini bukan tentang hal teknis, namun tentang kepercayaan, sistem nilai, dan insentif yang berubah. Misalnya, upaya mempromosikan program keadilan sosial hanya akan berhasil jika dapat dibuat definisi yang diterima secara luas mengenai batas ketidakadilan, ketimpangan atau perbedaan ekonomi yang dapat ditoleransi Kegagalan untuk membangun visi strategis di Indonesia membuahkan reformasi yang oportunis atau yang secara halus disebut pragmatis, yaitu reformasi bergerak di area yang punya agen perubahan yang kuat atau di mana ada jendela kesempatan (window of opportunity). Cara ini mungkin dapat diterima dalam situasi di mana struktur kelembagaan stabil dan memiliki legitimasi politik yang tinggi, namun di masa transisi sistemik cara ini kurang masuk akal. Tanpa peta jalan strategis yang jelas tidak mungkin 14

15 menentukan bagian mana dari orde sebelumnya yang harus dipertahankan dan mana yang harus direformasi. Juga akan sulit dalam membedakan isu taktis dan pertanyaan strategis Ketidakpuasan atas rancangan kebijakan, tumpang tindih tanggungjawab kementerian dan inisiatif kebijakan yang tidak terkoordinasi dan paralel antarkementerian dan badan-badan makin memperkuat kesan bahwa kegagalan kebijakan hanya masalah kegagalan implementasi, bukan kegagalan desain kebijakan. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa ini merupakan dikotomi yang keliru. Jelas, tanpa rancangan kebijakan yang memuat pertimbangan hati-hati atas pilihanpilihan kebijakan atau yang memuat rencana pembiayaan dan lembaga pelaksana yang rinci, pelaksanaan kebijakan dan kegagalan pelaksanaan akan sulit dibedakan. Proses kebijakan yang ada di Indonesia sekarang masih tertinggal dibanding negara-negara lain merujuk daftar ADB (1999). Persoalan serius terutama dihadapi dalam bidang mekanisme pembiayaan dan pelaksanaan, sementara pilihan-pilihan alternatif hampir tidak pernah dipertimbangkan secara rinci. Dalam konteks seperti itulah, menyalahkan kegagalan kebijakan hanya dari sisi pelaksanaan hanya akan membuat kita tidak melihat perlunya reformasi menyeluruh dalam proses pembuatan kebijakan. 15

16 BAB II TUJUAN DAN METODOLOGI 2.1 Tujuan Laporan ini merupakan sebuah studi awal mengenai proses dan kapasitas dalam pengelolaan kebijakan publik di Indonesia yang ditujukan untuk melihat adanya permasalahan di kedua hal tersebut dan diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran akan pentingnya upaya memperkuat proses pengelolaan kebijakan publik di Indonesia. Beberapa latar belakang permasalahan yang telah diuraikan menunjukkan bahwa perlu adanya perbaikan dalam proses pengelolaan kebijakan publik di Indonesia. Sebagai sebuah negara yang sedang berada dalam proses demokratisasi, maka beberapa perbaikan dalam proses pengelolaan kebijakan untuk dapat menyesuaikan dengan sistem politik saat ini. Studi pada tahap awal ini merupakan sebuah asesmen cepat (rapid assessment) terhadap proses pengelolaan kebijakan publik di Indonesia serta lembaga-lembaga yang terlibat di dalamnya. Pada tahap awal ini, penelitian belum dilakukan secara komprehensif namun ditujukan untuk memberikan gambaran awal mengenai permasalahan yang ada. Dengan mencoba melihat permasalahan yang terjadi, diharapkan dapat memberikan identifikasi akan masalah-masalah pengelolaan kebijakan yang terjadi dan setelah masalah dapat diidentifikasi diharapkan dapat diketahui sektor-sektor apa saja yang memiliki kelemahan dan langkah-langkah apa yang perlu diambil untuk dapat memperbaiki kualitas dari proses pengelolaan kebijakan ini. 2.2 Ruang Lingkup Dalam laporan ini, ruang lingkup yang coba diangkat adalah melihat permasalahan pada proses pengelolaan kebijakan publik serta kapasitas lembaga-lembaga yang terlibat didalamnya. Proses kebijakan yang akan dibahas meliputi proses perumusan, implementasi, dan evaluasi kebijakan. Laporan juga akan melihat bagaimana struktur dari lembaga-lembaga pembuat kebijakan yang strategik dan memberikan penilaian 16

17 apakah struktur yang ada memadai atau memiliki kapasitas untuk melakukan suatu proses pengelolaan kebijakan publik yang baik. Dalam melihat permasalahan proses perumusan kebijakan publik terdapat beberapa hal pokok yang akan dibahas. Hal-hal ini termasuk apakah suatu kebijakan memiliki sebuah kerangka strategi (white paper), apakah terdapat proses konsultasi yang terstruktur dan intensif, apakah proses ini melibatkan pendekatan yng terintegrasi dan lain-lain. Berikutnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan implementasi kebijakan. Permasalahan umum yang terjadi dalam implementasi kebijakan adalah koordinasi, terutama koordinasi kebijakan lintas sektor. Selain itu, masalah implementasi kebijakan juga dapat terjadi apabila terjadi perumusan kebijakan yang salah, kurangnya kapasitas lembaga yang bertugas mengimplementasikan kebijakan, atau memang karena faktor lain di luar dari kedua hal tersebut. Pengamatan permasalahan pada proses evaluasi akan melihat bagaimana proses evaluasi saat ini berjalan. Penekanan terutama untuk melihat apakah saat ini telah dilakukan evauasi yang menilai keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan berdasarkan tujuan dari kebijakan tersebut serta dampak-dampak lain yang ditimbulkannya (impact assessment), sehingga evaluasi tidak sekedar melihat pada hal-hal yang bersifat administratif. Dalam melihat lebih jauh mengenai kapasitas kelembagaan, laporan akan mencoba melihat struktur dari lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pengelolaan kebijakan dan kinerjanya saat ini. Laporan ini ingin mengetahui apakah struktur yang ada saat ini memiliki kapasitas untuk melakukan proses pengelolaan kebijakan publik yang baik. Beberapa hasil studi banding dengan institusi-institusi serupa dari negara lain akan coba dijadikan sebagai referensi terhadap upaya reformasi kelembagaan pengelola kebijakan. Laporan ini mencakup permasalahan pada tahapan proses pengelolaan kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah dan memerhatikan pola hubungan antar-lembaga baik secara vertikal maupun horizontal. 17

18 2.3 Metodologi Dalam mengumpulkan data sebagai bahan untuk melakukan analisis, laporan ini menggunakan beberapa metode pengumpulan data yaitu wawancara, studi literatur yang diperoleh dari hasil studi banding di luar negeri dan juga masukan dari beberapa diskusi dan seminar yang telah dilaksanakan. Sumber data lisan diperoleh melalui wawancara yang dilakukan untuk mengkonstruksi mengenai aktor, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, dan tuntutan dari proses pengelolaan kebijakan publik yang ada pada masa lalu, sekarang, dan yang diharapkan pada masa yang akan datang. Melalui wawancara diharapkan dapat memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh dari data yang telah ada. Wawancara dilakukan terhadap praktisi dan akademisi/pengamat kebijakan publik dari dalam dan luar negeri. 18

19 BAB III PROSES KEBIJAKAN SEBAGAI PERMASALAHAN 3.1 Proses kebijakan sebagai bagian dari effective governance Perubahan lingkungan kebijakan seperti yang telah disebutkan pada pembukaan laporan ini satu sama lain telah meningkatkan berbagai risiko dan ketidakpastian dalam proses ekonomi, politik, sosial dan keamanan. Hal-hal ini antara lain berkaitan dengan kekuasaan pemerintah pusat telah berkurang karena proses globalisasi, liberalisasi dan devolusi; perlindungan masyarakat menjadi semakin penting karena sering terganggu oleh gejolak ekonomi yang bersumber dari luar (external shocks), gejolak politik dan konflik masyarakat baik dari dalam maupun dari luar; kemerosotan lingkungan hidup yang seringkali menimbulkan bencana dalam skala luas dan menghambat kelangsungan hidup; masalah keamanan global dan regional; dan masalah-masalah baru seperti narkotika, terorisme, perdagangan manusia. Di samping itu, berakhirnya perang dingin telah pula memunculkan konflik-konflik lokal lama yang selama ini tidak muncul ke permukaan. Pecahnya Uni Soviet dan Yugoslavia, gerakan-gerakan kemerdekaan di berbagai penjuru seperti Kosovo, Tibet baru-baru ini telah membuat lingkungan kebijakan penuh dengan masalah-masalah mendadak dan sukar diantisipasi oleh pembuat kebijakan. Oleh karena perubahan dan gejolak tersebut di atas merupakan ranah public goods maka repons Pemerintah di banyak negara pada umumnya menjelma dalam dua hal yang penting, yaitu (i) imperative terhadap peran Pemerintah yang semakin meningkat dalam kehidupan ekonomi dan sosial dan (ii) pendekatan governance dalam proses kebijakan. Peran Pemerintah yang meningkat dalam bidang ekonomi dan sosial terlihat dari peningkatan yang sistematik dari pangsa anggaran terhadap PDB di negara-negara barat selama kurun waktu 400 tahun seiring dengan keterbukaan ekonomi. 1 Semakin terbuka sebuah perekonomian, semakin besar risiko sosial dan politik dari gejolak ekonomi sehingga kegiatan perlindungan sosial juga meningkat. Bersamaan dengan 1 Lihat misalnya D. Rodrik, Has globalization gone too far? 19

20 itu pula, ruang gerak dari kebijakan fiskal (discretionary fiscal policy) juga menyempit karena sebagian besar alokasi anggaran sudah tidak dapat diganggu-gugat (earmarked) untuk program-program perlindungan sosial, perlindungan dan pemeliharaan lingkungan, pertahanan dan keamanan, pendidikan, riset, pengembangan teknologi dan lain-lain. Di Australia dan Jerman, misalnya, sekitar 70% anggaran sudah earmarked sehingga ruang lingkup kebijakan fiskal hanya sekitar 30%. Hal ini sangat kontras dengan Indonesia di mana Depkeu seolah-olah memiliki full discretion dalam pengelolaan anggaran belanja. Peningkatan peran Pemerintah ini juga diikuti dengan pengketatan dalam koordinasi kebijakan. Peran dari kantor pusat pemerintah (kantor PM atau Presiden) menjadi lebih besar dan aktif dalam menggalang sinergi antar berbagai kebijakan sektor dan memimpin proses kebijakan strategik. Kantor PM atau Presiden di banyak negara menjadi central policy hub dengan kekuasaan, kapasitas, staf dan anggaran yang meningkat dengan tajam selama 30 puluh tahun terakhir ini (lihat selanjutnya uraian dalam Bab VII). Meskipun peran Pemerintah cenderung meningkat akan tetapi pendekatan nya dalam proses kebijakan telah mengalami transformasi dari pendekatan Government ke pendekatan governance. Yang pertama menekankan kepada the structure and function of public institutions sedangkan yang terakhir menekankan the way government gets its job done. 2 Good governance dalam konteks proses kebijakan berarti bahwa kebijakan harus bersifat inkusif dan terintegrasi. 3 Kebijakan yang inklusif berarti bahwa kebijakan tersebut harus memandang ke depan, adil dan melibatkan semua pemangku kepentingan. Dengan demikian, good governance dalam proses kebijakan harus melibatkan lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi non-pemerintah dalam kegiatan ke-pemerintah-an. Kebijakan yang terintegrasi berarti bahwa proses kebijakan harus beralih dari orientasi vertikal, yang menekankan pendekatan rasional, teknikal dan konsisten secara formal ke arah kombinasi antara pendekatan vertikal dan pendekatan horisontal. Dengan kata lain, birokrasi yang disusun seperti silo-silo, dengan penyakit 2 3 Lihat D.F. Kettl, The transformation of governance, Baltimore: Johns Hopkins, 2002 UK Prime Minister and Cabinet Office, Modernising government, London:

21 yang kita kenal sebagai ego sektoral, harus dapat berubah ke pendekatan whole government di mana kerjasama antar berbagai departemen dan organisasi pemerintah menjadi penting, baik untuk program sektor maupun untuk program strategik. Proses kebijakan horisontal memiliki beberapa keuntungan. Pertama, adalah sengketa antar departemen dan organisasi pemerintah yang lain dapat diselesaikan lebih awal dan tanpa harus melibatkan penggunaan kekuasaan. Governments rule by consent as much as they do by command. 4 Kedua, pengertian dan penyelesaian yang lebih baik dari masalah-masalah kebijakan yang pelik akan tetapi harus segera diatasi namun hal ini tidak dapat ditangani dengan metoda rasional seperti birokrasi dan perencanaan masalah-masalah kebijakan seperti perubahan iklim, persediaan air, kemerosotan kesuburan tanah, penggundulan hutan yang dikenal sebagai the wicked problems. 5 Ketiga, pendekatan ini akan membuat hubungan yang lebih erat antara Pemerintah dengan para pemilih nya. Pendekatan kebijakan yang terintegrasi ini memiliki dampak dalam proses kebijakan, kelembagaan dan sistem anggaran. Proses kebijakan yang terintegrasi mensyaratkan konsultasi yang intensif dan terstruktur di antara lembaga-lembaga kebijakan. Meskipun yang akan dirumuskan adalah kebijakan sektor, proses ini mensyaratkan adanya konsensus lintas departemen-departemen yang terkait atau yang akan terkena dampak dari kebijakan tersebut. Tanpa adanya konsensus, maka usulan kebijakan tertentu tidak dapat dimasukan ke dalam agenda sidang kabinet. Konsultasi dan screening tentang hal ini dilakukan oleh kantor kabinet yang berada di dalam kantor PM atau Presiden. Di bidang kelembagaan dan sistem penganggaran, juga terdapat beberapa perubahan terutama yang berkaitan dengan kebijakan yang lintas sektor(cross cutting) dan strategik. Lembaga yang diberi tugas koordinasi (bisa berupa lead agency, dewan, badan otorita dan lain-lain) memiliki wewenang untuk mengambil keputusan yang 4 Lihat Matheson, Policy formulation in the Austrtalian Government dalam Australian Journal of Public Administration, vol. 59, no. 2, 2000; The UK Cabinet Office, PM s Strategy Unit, Professional policy making for the 21 st century, London, 2001 dan Strategy survival guide, London: 2004; UK Comptroller and Auditor General, Joining up to improve public services, London: National Audit Office, 2000, H. Sullivan dan C. Skelcher., Working across boundaries: collaboration in public services, Basingstoke: Palgrave, Australian Public Service Commission, Tackling wicked problems, Canberra: 2007; N. Roberts, Dialogue mapping: building shared understanding of wicked problems, Chichester, West Sussex: John Wiley & Sons,

22 harus ditaati oleh departemen dan organisasi pemeirintahan yang terlibat dan memiliki wewenang untuk mengelola mata anggaran tertentu (yang berkaitan dengan program yang terkait) yang terdapat di masing-masing departemen, di samping memiliki anggaran tersendiri yang memadai untuk kegiatan organisasi dan koordinasi. 3.1 Tantangan Indonesia Sampai saat ini, reformasi proses kebijakan belum menjadi agenda nasional. Reformasi birokrasi yang dilakukan terbatas kepada masalah-masalah memelihara rumah tangga pemerintah untuk menjadi lebih baik, semacam good house keeping. Oleh karena itu, banyak sumberdaya dicurahkan kepada perbaikan fungsi dan struktur organisasi, perbaikan gaji, uraian tugas dan penilaian kinerja. Hal-hal ini memang perlu untuk diperbaiki namun mengingat besarnya tantangan kebijakan yang dihadapi, tanpa melakukan upaya reformasi proses kebijakan, negara dan pemerintah tidak akan mampu menghadapi ancaman-ancaman dahsyat yang mungkin muncul dari perubahan lingkungan kebijakan. Agenda reformasi kebijakan sangat luas seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Termasuk ke dalam agenda ini adalah transformasi dari birokrasi yang masih disusun seperti silo-silo dan kelemahan-kelemahan dalam pusat komando kebijakan yang seharusnya dilakukan oleh kantor Presiden, birokrasi yang belum independen dari proses politik dan belum profesional, kapasitas birokrasi untuk melaksanakan keputusan-keputusan strategik dan lintas sektor (gejala paralysed bureaucracy), proses konsultasi yang melembaga, terstruktur dan intensif, riset kebijakan dan lainlain. Uraian berikut ini adalah pemantauan sekilas tentang proses dan struktur kebijakan di Indonesia. Pengamatan ini merupakan kesimpulan sementara yang dihasilkan lewat serangkaian wawancara dan konsultasi. Dengan kata lain, hasil dari pemantauan ini dapat merupakan working hypothesis bagai penilaian yang komprehensif di masa depan. 22

23 BAB IV PERMASALAHAN DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN Dalam banyak diskusi di Indonesia, arah pembicaraan tentang proses kebijakan mengacu kepada masalah implementasi kebijakan. Berbagai masalah implementasi dikemukakan seperti masalah kepemimpinan yang lemah, kabinet yang terdiri artas berbagai tokoh politik, birokrasi yang lemah dan berbelit-belit. Pendapat semacam ini sebenarnya menganggap bahwa desain kebijakan sudah baik, soalnya adalah implementasi. Hal ini tidak sepenuhnya benar karena implementasi yang kurang baik seringkali juga berasal dari desain kebijakan yang kurang baik, tidak lengkap atau tidak relevan. Pada gilirannya, kelemahan dari desain kebijakan juga sangat dipengaruhi oleh proses perumusan kebijakan yang baik. Uraian berikut ini (dan dalam Bab V, Vidan VII) mencoba memberikan gambaran tentang masalah-masalah yang muncul dalam proses perumusan kebijakan. Hal-hal di bawah ini merupakan rangkuman dari berbagai studi kasus yang dilaksanakan oleh Tim Prakarsa Strategis BAPPENAS. Tulisan yang rinci dari beberapa studi kasus tersebut terdapat dalam Bagian II dari Laporan ini dan tidak akan diulangi lagi di sini. Patut dicatat bahwa pokok masalah di bawah ini seringkali berkaitan satu sama lain dan saling tumpang-tindih, tidak mutually exclusive, dan masing-masing sukar untuk dipilah-pilah dalam sebuah kelompok tersendiri. 4.1 Ketiadaan kerangka strategi yang utuh Gagasan atau ide mengenai sebuah kebijakan di Indonesia cenderung berada dalam suatu perspektif yang sempit di mana kebijakan hanya dilihat semata-mata merupakan masalah perumusan undang-undang atau peraturan-peraturan (Peraturan Presiden, Menteri, dsb) dan perencanaan pembangunan beserta kaitannya dengan program dan pembiayaan. Kerangka strategik sebuah kebijakan yang seharusnya tertuang di dalam suatu dokumen kebijakan yang melandasi perencanaan dan undang-undang cenderung diabaikan saat ini. Oleh karena itu, jarang sekali dijumpai dokumen-dokumen kebijakan strategik yang memayungi kebijakan tertentu dokumen yang dikenal sebagai white paper atau 23

24 strategy paper. Dokumen semacam ini merupakan road map yang komprehensif, lintas sektor, mengidentifkasi masalah-masalah kebijakan atau mengantisipasi nya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, mengevaluasi opsi-opsi kebijakan dan memperkirakan komitmen pemerintah untuk pembiayaan jangka panjang. Dokumen ini juga mengidentifikasi serangkaian undang-undang yang harus disusun atau dirubah, lembaga-lembaga yang harus ditingkatkan kapasitasnya atau pembentukan lembaga-lembaga baru. Dengan kata lain, instrumen kebijakan yang utama di Indonesia adalah undangundang dan dokumen perencanaan berserta implikasi anggaran belanja. Beberapa akibat dari pendekatan ini adalah: Sampai sekarang, Indonesia belum memiliki payung strategi kebijakan menghadapi tantangan dan kesempatan yang muncul dari proses globalisasi dan regionalisasi (percepatan perdagangan intra regional, munculnya Cina dan India). Sebagai akibatnya, implikasi perkembangan ini juga tidak dirumuskan. Misalnya, perumusan kebijakan industri, teknologi dan investasi sebagai kebijakan yang saling terkait sampai sekarang belum ada. Tidak adanya kebijakan yang saling terkait ini juga merupakan percerminan dari pendekatan super sektoral dalam proses kebijakan (lihat uraian selanjutnya di bawah). Fungsi undang-undang di dalam sebuah kebijakan seharusnya menjadi ramburambu dari sebuah road map bagi kebijakan yang ada, namun di Indonesia hal ini menjadi rancu karena apa yang seharusnya merupakan white paper dijadikan undang-undang. Sebagai contoh adalah Propenas dikukuhkan menjadi undang-undang, untuk pertama kalinya sebuah rencana Pemerintah ditetapkan sebagai undang-undang. Begitu pula halnya kemudian dengan PJP. Ketiadaan white paper juga mengakibatkan kebijakan hanya berorientasi jangka pendek dan ad hoc. Seringkali pula kebijakan terkesan tanpa arah. Contoh yang mencolok adalah kebijakan subsidi BBM yang dilakukan tanpa sebuah kebijakan energi yang komprehensif. Desentralisasi yang radikal tanpa didahului oleh white paper telah memunculkan serangkaian masalah dalam hal desain, penyusunan undang-undang dan 24

25 pelaksanaan nya. Dalam tempo singkat, undang-undang tentang desentralisasi telah diamandemen. Ketiadaan white paper ini juga telah mengakibatkan masalah-masalah strategik seperti peningkatan kesempatan kerja, lingkungan hidup, keamanan dan konflik sosial, perlindungan sosial, munculnya mega-cities, pengangguran kaum muda terdidik di kota-kota besar dan lain-lain tidak ditangani dengan baik. Atau bahkan tidak ada kerangka kebijakan sama sekali terkecuali secara ad hoc. Antisipasi terhadap persoalan yang muncul juga sangat lemah. Banyak masalahmasalah yang bila tidak ditangani sejak dini akan mempunyai dampak yang baru akan terasa dalam jangka panjang dan pada saat itu biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasinya menjadi sangat mahal. Hal-hal ini termasuk masalah penggundulan hutan, penggundulan hutan bakau dengan dampak kepada banjir, kuantitas dan kualitas jaringan infrastruktur, transportasi di daerah kota Kebijakan yang berorientasi sektoral Saat ini proses pembuatan kebijakan di Indonesia pada dasarnya masih berjalan dalam skema birokrasi yang sektoral, sebuah proses yang berlangsung dalam birokrasi yang menyerupai silo-silo. Dalam konteks ini, setiap institusi birokrasi lebih mementingkan koordinasi yang bersifat vertikal dan tidak memerhatikan keterkaitan horizontal seperti koordinasi antar-departemen atau antar-daerah. Akibatnya, banyak kebijakan yang lahir seperti terpenggal-penggal. Terpenggalpenggalnya kebijakan ini selain membuat perumusan kebijakan cenderung lambat, tidak konsisten dengan kebijakan lain dan tidak mendukung pendekatan whole government. Hal ini juga akan menciptakan masalah implementasi terutama dalam hal koordinasi dan tindakan bersama (lihat Bab V). Yang patut diperhatikan adalah proses kebijakan di Jerman, yang menganut sistem kontinental yang kurang lebih sama dengan Indonesia. Hampir semua kebijakan 6 Dalam kasus sistem transportasi kota, sangat menarik untuk melihat kota London yang telah membangun jaringan underground sejak akhir abad 19, jauh sebelum kota tersebut dipadati oleh kendaraan bermotor. 25

26 Pemerintah Jerman juga dirumuskan dan diputuskan oleh kementrian yang terkait. Akan tetapi, kebijakan tersebut tidak dapat diambil tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan kementrian-kementrian lain yang terkait atau akan terkena dampak dari kebijakan tersebut dan dengan kantor PM. Tanpa konsensus lintas kementrian terkait, kebijakan tidak dapat diputuskan. Pendekatan sektoral dalam proses kebijakan antara lain mengakibatkan: Kebijakan ekonomi makro hanya berorientasi kepada variabel-variabel keuangan dan moneter seperti inflasi, nilai tukar, neraca pembayaran, pertumbuhan, sementara variabel ekonomi makro yang sangat penting, yaitu kesempatan kerja, tidak berada dalam ranah kebijakan ini. Upaya stabilisasi ekonomi makro tidak memperhitungkan dampak nya terhadap perkembangan sektor riel dan juga kesempatan kerja. Di samping itu, pendekatan yang sangat terkotak-kotak ini juga tidak memungkinkan adanya konsultasi horizontal yang terstruktur antara penguasa moneter dan fiskal. Ini merupakan dampak dari BI yang merupakan lembaga independen dari eksekutif, bahkan super independent. 7 Salah satu akibatnya adalah upaya fine-tuning beserta sequencing kebijakan seringkali berakibat parah terhadap pertumbuhan dan pemerataan seperti yang sering terjadi di mana kebijakan moneter dan kebijakan fiskal keduanya sama-sama ketat. PJM yang terjemurus ke dalam pendekatan sektoral. Meskipun pada bab Pertama telah mencanangkan serangkaian pendekatan yang strategik dan lintas sektor akan tetapi dalam bab-bab selanjutnya dokumen ini hanya berisi program-program sektoral. Tidak ada bab-bab PJM yang membahas program lintas sektor beserta kerangka kelembaaan untuk menanganinya. PNPM sebagai program komprehensif dan lintas sektor untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat baru dirumuskan belakangan dan hal ini tidak tercantum dalam PJM. Referensi lintas sektor dari banyak dokumen kebijakan tidak terjadi. Misalnya, Kebijakan Industri tidak memiliki referensi tentang globalisasi karena terpaku 7 Di negara-negara lain, meskipun memiliki bank sentral yang independen tetap ada lembaga konsultasi atau pengambil keputusan yang melibatkan pejabat fiskal, moneter dan masyarakat. Bank of England misalnya memiliki Dewan Moneter, yang memutuskan tingkat bunga bank sentral, yang terdiri dari perwakilan bank sentral dan kementrian keuangan (atau tokoh ekonomi terkemuka yang diangkat oleh kementrian keuangan). Suara mayoritas di dalam Dewan Moneter tetap berada pada perwakilan di Bank of England. Demi akuntabilitas publik, Bank of England harus mengumumkan notulen rapat Dewan Moneter paling lambat dalam dua minggu setelah rapat nya berlangsung. 26

27 kepada masalah dalam negeri. Kebijakan Pengembangan UKM hanya mengacu kepada Departemen Koperasi dan UKM padahal terdapat banyak departemendepartemen lain yang memiliki program UKM. Begitu pula dengaan Kebijakan Perluasan Kesempatan Kerja hanya mengacu kepada program Departemen Tenaga Kerja sedangkan banyak departemen yang juga memiliki program tersebut. Keterkaitan antar sektor dalam membangun sinergi antar kebijakan terlihat lemah. Masing-masing departemen melihat hal ini sebagai grey area akibatnya tidak ada yang menaruh minat terhadap masalah ini. Kembali lagi ini adalah korban dari birokrasi dengan mental silo. Misalnya, penanganan masalah pasca panen beserta skema pembiayaannya, industri yang berbasis pertanian yang mengembangkan produk derivatif seperti oleochemicals dari minyak kelapa sawit yang sampai sekarang tidak berkembang. Padahal, nilai tambah dari industri agro sangat besar. Apalagi permitaan terhadap bio-fuel sekarang ini tinggi dan akan menanjak dengan cepat. Lebih parah lagi, banyak sekali kebijakan dan undang-undang yang saling bertabrakan satu sama lain. Misalnya, UU tentang Kehutanan dan UU tentang Pertambangan, UU Keuangan Negara dengan UU Perencanaan, SK Menkeu dan SK Mendagri tentang pelaksanan desentralisasi fiskal, PP no... (sebagai peraturan pelaksanaan UU Penanaman Modal) yang memuat Daftar Negatif Investasi yang bertentangan dengan visi dan misi dari undang-undang nya. 4.3 Konsultasi internal pemerintah dan konsultasi publik Sebagai akibat dari pendekatan sektoral, konsultasi lintas departemen jarang sekali terjadi. Kalaupun ada, frekwensi nya rendah dan pembahasan seringkali ad hoc dan tidak sistematik dan terstruktur. Jarang sekali ada dokumen kebijakan yang dilengkapi dengan latar belakang studi kebijakan, analisis yang mendalam tentang persoalan yang dihadapi dan penilaian terhadap pilihan-pilihan kebijakan, sehingga konsultasi terstruktur, kalaupun ada, tidak memiliki bahan konsultasi yang berbobot. Terbatasnya konsultasi mengakibatkan lemahnya pembentukan konsensus tentang kebijakan tertentu. :Para pemangku kepentingan tidak terlibat secara penuh termasuk 27

28 parlemen, media dan organsasi masyarakat. Pada gilirannya, hal ini menciptakan komplikasi dan konflik dalam implementasi kebijakan. Dalam konteks ini, menarik untuk mengutip laporan ADB...In practice, policy statements on which proposed legislation is to be based give inadequate guidance, if at all, to the formulating team. As public consultations are often minimal, interminsterial teams cannot assure that the interests of parties concerned are considered. Position papers are rarely prepared [emphasis added], and if they are, the public has no access to them, limiting the effectiveness of public debate and consequent development of a political consensus. Although Presidential decree 188/1998 requires inter-ministerial coordination and consultations, the minister concerned often does not engage other ministries in the process. This promotes ministerial ownership of laws [emphasis added] instead of government ownership... 8 Beberapa pengamatan tentang konsultasi kebijakan adalah: Konsultasi yang terbatas dan tidak melibatkan para pemangku kepentingan telah mengakibatkan serangkaian masalah dalam penyelenggaraan negara. Banyak sekali undang-undang yang tidak konsisten, hambatan dalam implementasi kebijakan, pengertian dan partisipasi masyarakat yang kurang, bahkan dalam banyak telah menimbulkan protes. Diplomasi ekonomi menjadi sangat lemah karena seringkali posisi perundingan diambil tanpa dukungan bahan yang cukup dari departemen-departemen yang terkait. Kepentingan nasional tidak pernah secara jelas dirumuskan karena kerangka kebijakan strategik yang tidak ada atau tidak jelas. Koordinasi lintas sektor, yang sangat azasi dalam perundingan internasional, juga sangat lemah. Dalam membuat komitmen internasional, karena lemah nya dukungan departemen terkait, seringkali para perunding membuat komitmen yang sukar dilaksanakan, tidak relevan atau bahkan merugikan kepentingan nasional. Contoh mutakhir adalah kesepakatan kemitraan ekonomi antara Indonesia dan Jepang (IJEPA) di mana keuntungan bagi Indonesia tidak terlalu jelas dan sangat minimal sedangkan bagi Jepang cukup berarti, yaitu keamanan pasokan energi dan kemudahan bea 8 ADB Indonesia, Country s governance assessment, Jakarta: ADB, 2003, p

29 masuk bagi komponen dan suku cadang yang diimpor dari Jepang bagi industri nya yang beroperasi di Indonesia. Ketiadaan konsultasi intern pemerintah yang terlembaga juga telah menyebabkan usulan-usulan kebijakan yang masih mentah dilontarkan kepada publik. Seringkali usulan tersebut bahkan belum dikonsultasikan dalam lingkungan departemen itu sendiri. Salah satu kasus yang menarik adalah usulan Menteri Pertambangan, Energi dan Sumber Daya Mineral pada akhir tahun lalu untuk menghentikan pasokan bensin Premium di kota-kota besar di Jawa pada awal tahun ini demi penghematan subsidi BBM. Selang beberapa hari, Pertamina membuat pernyataan bahwa mereka belum siap untuk mengganti bensin Premium tersebut dengan Pertamax. Selesai usulan tersebut, menyusul usulan menerapkan sistem kuota dengan menggunakan Smart card. Kemudian, usulan itu juga ditunda karena sistem nya tidak bisa disiapkan dalam tempo singkat. Para pejabat saling berdebat di muka umum jelas membingungkan masyarakat dan kredibilitas Pemerintah menurun. Musrenbang adalah salah satu dari sedikit konsultasi yang terstruktur yang disertai dengan dokumen yang akan dikonsultasikan. Proses perencanaan dari bawah ini berjalan dengan cukup baik. Akan tetapi, hasil akhir dari konsultasi Musrenbang seringkali tidak menjelma dalam rencana kerja Pemerintah. Hal ini karena pengambilan keputusan di tingkat pemerintah pusat banyak dipengaruhi oleh perundingan antar departemen, pemerintah daerah dan parlemen. Konsultasi publik yang mulai berjalan dengan terstruktur justru terjadi di beberapa daerah. Bahkan di beberapa kabupaten upaya awal ke arah pro poor budgeting telah dilakukan seperti di daerah Sulawesi Selatan. Di Manado, pemerintah setgempat juga memiliki komunikasi yang erat dengan masyarakat, termasuk penyampaian keluhan-keluhan masyarakat, melalui radio dan pertemuanpertemuan. Koordinasi horizontal antar lembaga-lembaga pemerintah daerah juga telah terjadi di beberapa kabupaten, bahkan beberapa koordinasi lintas kabupaten telah mulai berjalan seperti di daerah Solo, Manado dan lain-lain. 29

30 BAB V PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI DAN MONITORING KEBIJAKAN Masalah koordinasi seringkali dikemukakan sebagai masalah utama dalam implementasi kebijakan namun seperti yang telah dikemukakan sebelumnya masalah ini bukan satu-satunya yang dihadapi dalam implementasi kebijakan. Sebagian koordinasi berasal dari beberapa kelemahan konsep kebijakan yang secara garis besar telah dibahas dalam Bab IV. Selain beberapa kelemahan dalam struktur dan kapasitas Pemerntiah dalam melakukan koordidnasi masih terdapat beberapa hal penting yang selama ini kurang mendapat perhatian seperti manajemen transisi dari satu kebijakan ke kebijakan yang lain karena sikap yang terburu-buru dan ketiadaan strategi komunikasi kebijakan yang efektif sehingga pengertian dan pembentukan konsensus dengan para pemangku kepentingan praktis tidak ada. Seperti uraian dalam Bab IV, berikut ini adalah pokok-pokok pengamatan sementara dalam bidang implementasi kebijakan. Karena kompleksitas masalah nya, pokokpokok masalah implementasi kebijakan di bawah ini banyak yang saling tumpang tindih dan penuh dengan pengulangan. Beberapa pokok permasalahan implementasi adalah: 5.1 Masalah lembaga koordinator Terdapat beberapa model koordinasi lintas sektor, yang utama adalah model komite koordinsi, model lead agency dan model dewan atau badan. 9 Komite koordinasi merupakan kerjasama yang longgar di antara departemen dan organisasi pemerintah yang terlibat, masing-masing anggota menyediakan sumber daya nya untuk melaksanakan kegiatan tertentu dari suatu program. Model ini mirip dengan cara kerja Menko atau panitia antar departemen. Dalam model lead agency departemen atau organisasi yang ditunjuk memiliki kewenangan eksekutif yang besar terhadap departemen atau oranisasi lain, termasuk penggunaan sumber daya manusia dan mata anggaran dari organisasi yang menjadi anggota nya. Tanggung jawab keseluruhan 9 P. Barett, Governance and joined-up government: some issues and early successes, Paper to the Australian Council of Auditors-General, Melbourne:

31 program berada sepenuhnya pada lead agency. Di Indonesia, bentuk lead agency tidak dikenal. Dewan atau badan merupakan lembaga yang berdiri sendiri untuk melaksanakan kerjasama lintas sektor. Lembaga semacam ini yang cukup berhasil di Indonesia antara lain BKKBN dan BNN. Ketiadaan lembaga koordinator. Beberapa program lintas sektoral yang penting tidak memiliki lembaga koordinator yang jelas. Program-program ini antara lain adalah program pengembangan UKM, revitalisasi pertanian dan pedesaan, peningkatan kesempatan kerja. Lembaga koordinasi yang tidak jelas. Dalam beberapa bidang, di mana koordinasi diperlukan, struktur dan mekanisme nya berjalan tanpa arah yang jelas. Contoh klasik sampai sekarang adalah di bidang diplomasi ekonomi. Tidak jelas lembaga mana yang menjadi koordinator, apakah Deplu atau Depdag. Juga tidak jelas bagaimana Pemerintah menyusun posisi diplomasi nya dengan rincian yang relevan sehingga tidak ada petunjuk yang rinci bagi para perunding ketika melakukan perundingan internasional. Demikian pula dengan penentuan tariff. Tariff pada hakekatnya adalah instrumen perdagangan akan tetapi wewenang penentuan tariff masih berada di Depkeu. Koordinasi yang lemah. Ketiadaan wewenang penuh bagi lembaga koordinasi dalam melaksanakan tugasnya telah menghambat sinergi antar program dalam pelaksanaan berbagai program lintas sektor. Segagai contoh adalah program PNPM di mana Tim Pengendali memiliki kendali yang lemah karena dalam kenyataanya mereka sangat tergantung kepada Departemen/LPND, yang menguasai penggunaan anggaran, dalam implementasi program. Kasus lain adalah Menko dengan wewenang yang terbatas terhadap departemen-departemen di bawah nya dan, karena pengelompokan nya berdasarkan sektor, sujkar untuk melakukan koordinasi lintas sektor seperti antara seoktor ekonomi dan politik. Kapasitas Menko juga amat terbatas, dengan sumber daya manysia dan enggaran yang terbatas. Untuk masalah lintas sektor yang sangat penting seperti terorisme, misalnya, Menko Polhukam hanya memiliki sebuah desk dengan dua atau tiga orang staf. Begitu pula dengan PEPI, dengan tugas yang berat untuk melakukan koordinasi lintas sektor untuk pengembangan ekspor dan investasi, yang henya memiliki sekretariat yang terdiri dari beberapa orang. Atau UKP3ER, semacam 31

32 delivery unit di kantor Presiden, yang hanya terdiri atas 3 orang pejabat, sekretariat yang kecil dan staf profesional dan anggaran yang sangat kecil (kalau ada). Lembaga ini juga tidak memiliki komite-komite yang beranggotakan perwakilan dari departemen-departemen sehingga kerjasama yang terstruktur dalam mempercepat implementasi menjadi sukar untuk dilaksanakan. Bandingkan ini dengan Cabinet Implementation Unit di Asutralia atau Delivery Unit di Inggris, keduanya merupakan bagian yang integral dari kantor PM nya masing-masing. Kedua organisasi ini selain memiliki staf yang cukup juga menjadi pimpinan beberapa komite koordinasi pelaksanaan yang beranggotakan perwakilan dari departemen-departemen terkait. Tentu tidak semua program lintas sektor yang berada di bawah koordinasi mereka, hanya beberapa program yang dinilai sangat strategik. Lembaga kordinasi dengan wewenang yang besar. BKKBN atau BNN adalah contoh dari lembaga-lembaga koordinasi yang cukup kuat dan relatif berhasil. Namun, perkembangan setelah desentralisasi telah memasung wewenang BKKBN, kinerja nya menjadi merosot dan tanda-tanda kenaikan angka kelahiran sudah mulai muncul. Depkeu memiliki wewenang yang sangat luar biasa besar dalam penentuan budget. Bisa dikatakan bahwa Depkeu memiliki full discretion sehingga dapat memaksa pemotongan anggaran tanpa konsultasi dengan departemen-departemen. Hal ini dimungkinkan antara lain karena aturan anggaran disusun secara konvensional dan inkremental dan tidak ada aturan tentang earmarking. Kapasitas Depkeu dalam melaksanakan unified budget system juga terbatas karena mereka tidak memiliki kapasitas untuk menilai proyek-proyek pembangunan secara teknis yang diajukan oleh departemen-departemen. Kapasitas tersebut berada di BAPPENAS, yang meskipun telah dilibatkan kembali dalam koordinasi akan tetapi wewenang akhir tetap berada di Depkeu. Keadaan ini seringkali membuat proses budgeting menjadi kurang berbobot, lebih lagi bila proses tersebut pada akhirnya juga seringkali terseret ke dalam bargaining politikbirokratik antara Depkeu, departemen-departemen, pemerintah daerah dan parlemen. 5.2 Kerangka pelaksanaan dan koordinasi 32

33 Kerangka pelaksanaan koordinasi juga sering menimbulkan masalah implementasi. Salah satu contohnya adalah proses anggaran, khususnya dalam kaitannya dengan DPR. Dengan kewenangan DPR, yaitu berhak mencampuri anggaran sampai dengan tingkat proyek, yang terlalu jauh dan tidak lazim dibandingkan dengan negara-negara dmokrasi modern yang lain, maka proses budget terjerumus ke dalam pembahasan yang terlalu rinci, rawan politisasi, tidak relavan dengan tugas, wewenang dan kapasitas DPR sambil sekaligus cenderung mengabaikan fungsi utama nya yaitu pembahasan program dan konsistensi program dengan strategi umum Pemerintah. Koordinasi kebijakan ekonomi makro yang lemah. Seperti yang telah dikemukakan di atas, tidak terdapat forum koordinasi yang terstruktur antara kebijakan moneter dan fiskal, dan pelaksanaan kebijakan makro tidak memperhitungkan dampaknya kepada kesempatan kerja dan perkembangan sektor riel. Kerangka kebijakan yang terpenggal-penggal ini menghasilkan sebuah anomaly di mana di satu pihak sektor keuangan kelebihan dana, di mana sekitar hampir Rp 300 triliun diserap oleh SBI (semacam sterilization bond) untuk menekan inflasi, dan di pihak lain sektor riel yang memerlukan dana, tidak mampu meminjam karena tingkat bunga domestik yang terlalu tinggi. Hal ini tidak terlalu merupakan masalah bagi pengusaha besar yang bergerak di bidang ekspor karena mereka bisa meminjam dalam mata uang asing dengan bunga yang jauh lebih rendah, akan tetapi sangat menghambat UKM yang berorientasi ekspor dan pengusaha-pengusaha pada umumnya yang berorientasi ke pasar dalam negeri. Konsep keseluruhan, konsensus kebijakan dan kapasitas kelembagaan yang lemah telah menimbulkan banyak masalah dalam implementasi kebijakan. Termasuk ke dalam kasus ini adalah program konversi dari kompor minyak tanah ke kompor gas, pelaksanaan program pengembangan bio-fuel dan program KEKI. Yang disebut terakhir ini, seperti sebagian besar kebijakan di Indonesia, tidak memiliki konsep yang menyeluruh termasuk kaitan program KEKI dengan industrialisasi, pengembangan teknologi, riset dan pelatihan dan ekonomi daerah. Konsep free trade area dalam undang-undang juga masih kabur dengan penafsiran yang berbeda antara kantor bea dan cukai dengan badan pelaksana di Batam, Bintan dan Karimun. 33

34 5.3 Kapasitas kelembagaan Hampir semua lembaga mengalami kekurangan sumber daya baik manusia maupun anggaran dalam melaksanakan implementasi kebijakan. Moril kerja pegawai negeri tetap rendah dengan gaji yang rendah. Dikhotomi antara program rutin dan pembangunan (sekarang bernama pembelajaan modal) tetap berlangsung dengan korban utama adalah masalah operation and maintenance. Banyak kebijakan dan program baru dilaksanakan akan tetapi pelatihan untuk melaksanakan nya tidak memadai, terlambat. Program desentralisasi misalnya, dilakukan tanpa pelatihan yang memadai dari pejabat dan staf pemerintah daerah dalam hal-hal teknis pelaksanaan program. Hal ini menjadi lebih parah lagi dalam hal kemampuan pegawai negeri dalam menjalankan program lintas sektor. 5.4 Manajemen transisi dari kebijakan lama ke kebijakan baru Perumusan kebijakan di Indonesia seperti telah dibahas sebelumnya banyak bersifat ad hoc, tidak lengkap, tidak dipikirkan dan dikonsultaskan dengan pemangku kepentingan dan, lebih dari pada itu, implementasi yang seringkali terburu-buru. Tidak ada strategi transisi yang memadai antara kebijakan lama ke kebijakan baru. Tanpa manajemen transisi yang memadai, bagaimana pun baiknya suatu tujuan kebijakan hasil yang kurang baik bisa menghilangkan dukungan terhadap kebijakan baru itu sendiri. Akibatnya, dengan banyak kritik yang dilontarkan kepada kebijakan tersebut maka tekanan masyarakat meningkat agar pemerintah kembali ke kebijakan lama. Kita bisa melihat hal ini dari proses desentralisasi. Desentralisasi adalah sebuah perubahan radikal dalam Government dan governance yang akan memiliki dampak yang panjang. Namun proses transisi dari sistem pemerintah pusat ke sistem desentralisasi hanya dilakukan dalam tempo yang sangat singkat, yaitu satu atau dua tahun. Lebih dari pada itu, proses desentralisasi ini berlangsung di tengahtengah krisis ekonomi, politik, sosial, hukum dan kelembagaan nya. Kondisi ini sangat kontras dengan Scottish devolution di Inggris, sebuah negara dengan kondisi kepastian hukum yang mantap, tanpa krisis ekonomi dan politik. Masa transisi 34

35 dari proses ini memakan waktu 10 tahun dan dilakukan secara bertahap terhadap fungsi-fungsi negara dan pemerintahan. Contoh lainnya adalah munculnya gagasan untuk menghapus perencanaan pembangunan dalam sistem penyelenggaraan negara. Hal ini menjadi permasalahan karena sebuah gagasan tiba-tiba saja menjadi undang-undang tanpa konsultasi yang mendalam kepada pemangku kepentingan secara luas serta tanpa persiapan yang cukup terhadap langkah-langkah lanjutan yang diperlukan khususnya pengembangan kapasitas di Depkeu atau transfer sebagian fungsi dan staf BAPPENAS ke Depkeu. 5.5 Proses implementasi kebijakan yang terlalu inward looking Perumusan dan implementasi kebijakan selama ini berlangsung seolah-olah Indonesia adalah planet tersendiri yng terpisah dari proses global. Cara kerja seperti ini membuat Indonesia selalu terlihat panik ketika menghadapi permasalahan yang muncul yang bersumber dari perkembangan global. Contoh terakhir adalah kepanikan menghadapi kenaikan global dari harga minyak bumi dan beberapa komoditi bahan pangan impor. Kenaikan tersebut tidak tiba-tiba, sesungguhnya dapat diperkirakan sebelumnya. Dalam kaitannya dengan komoditi pangan adalah yang agak menggelikan adalah ucapan para pejabat BI dan pemerintah yang menjelang Lebaran 2007 yang beramai-ramai mennyatakan bahwa inflasi pada bulan September dan Oktober adalah inflasi musiman dan tekanan tersebut akan merosot sesudah Lebaran. Padahal pada bulan September 2007, beberapa komoditi impor seperti kedelai, jagung, terigu dan biaya pengapalan telah meningkat rata-rata sebesar lebih dari 60% dibandingkan dengan Oktober 2006 (artinya pererakan harga selama satu tahun ke belakang, tidak mendadak). Begitu pula halnya dengan minyak bumi, ketika pemerintah memperkirakan dalam anggaran 2007 sebesar USD 60 per barrel. Pada waktu itu, sekitar Maret 2007, sudah terdapat semacam konsensus dari pengamat minyak dan energi bahwa harga 35

36 minyak diperkirakan akan melambung tinggi, disebabkan antara lain karena permintaan yang meningkat dengan cepat dari Cina dan India, dan bukan tidak mungkin harga minyak bumi akan berada di atas USD 100 per barrel dalam jangka dekat sampai menengah. Ramalan itu ternyata terjadi lebih cepat dari perkiraan para ahli dan Indonesia tidak siap untuk itu karena tidak mengantisipasinya. Karena perkembangan global dan regional dianggap kurang penting terkecuali dalam tingkat retorika, dalam praktek kebijakan sehari-hari pemantauan yang cermat terhadap perkembangan global jarang dilakukan secara rutin dan terus menerus. Kalau pun ada, tidak terdapat umpan balik kepada kebijakan tertentu. Tidak mengherankan kalau Indonesia sampai sekarang tidak memiliki pusat kajian global dan regional yang berfungsi untuk memantau perkembangan politik, ekonomi, keamanan yang terjadi di berbagai kawasan dan memiliki dampak terhadap keadaan di dalam negeri. Oleh karena navigasi terhadap perkembangan luar jarang dilakukan, Indonesia tidak siap untuk gejolak dan selalu menjawabnya melalui kebijakan-kebijakan yang bersifat ad hoc. Hal ini sangat berbeda dengan negara-negara lain. Hampir semua negara memiliki beberapa pusat kajian dan think-tank untuk memantau perkembangan eksternal dan melakukan antisipasi terhadapnya. Begitu pula kantor PM atau Presiden yang senantiasa melakukan kajian-kajian kebijakan untuk mengantisipasi perkembangan eksternal yang akan mempengaruhi pemerintah, negara dan masyarakat nya. Indonesia barangkali merupakan satu-satu nya negara besar di dunia ini yang tidak memiliki pusat-pusat kajian dan think-tank dalam masalah internasional dan regional yang berbobot Strategi komunikasi dalam implementasi kebijakan yang tidak efektif Kelemahan dalam proses perumusan dan konsultasi kebijakan membawa dampak yang tidak baik terhadap komunikasi kebijakan dari Pemerintah ke masyarakat. Pertama-tama, sikap Pemerintah yang memandang masyarakat sebagai obyek sudah tidak sesuai dengan alam demokrasi yang lebih menuntut partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan. Dengan kata lain, kata kunci proses komunikasi 36

37 kebijakan yaitu sosialisasi yang mengandung konotasi komunikasi dari atas ke bawah harus dihilangkan dan diganti dengan konsultasi. Kedua adalah kemampuan lembaga pemerintah sendiri dalam memanfaatkan media massa. Kapasitas mereka masih amat terbatas baik dalam hal isi dari pesan kebijakan, cara penyampaian maupun instrumen yang digunakan nya. Dalam hal desentralisasi, di samping proses transisi kilat, komunikasi kebijakan juga sangat tidak efektif dan membingungkan. Dalam menghadapi krisis harga energi dan BBM, masyarakat dihadapkan kepada berbagai pernyataan yang membingungkan dari pejabat. Begitu pula halnya dengan metoda penentuan tarif listrik yang baru dengan sistem kuota, sampai sekarang tidak jelas padahal akan ditetapkan segera (pada bulan Maret 2008 meskipun kemudian diundur lagi, kemungkinan menjadi April 2008 meskipun petunjuk tentang metoda tersebut sampai dengan pertengahan Maret 2008 belum dikeluarkan PLN). 5.7 Monitoring kebijakan Kegiatan monitoring kebijakan jarang dilakukan pemerintah, kalau pun ada, laporannya tidak dipublikasikan. Selama ini monitoring terbatas kepada monitoring proyek dengan ruang lingkup yang sangat terbatas seperti masalah akuntibilitas, keuangan, kepatuhan kepada sistem dan prosedur. Penilaian dampak strategik dari suatu program jarang sekali dilakukan. Kenyataan bahwa pejabat pemerintah seringkali mengeluhkan pelaksanaan kebijakan akan tetapi selalu tidak ada perbaikan menunjukkan bahwa tidak ada upaya yang sistematik untuk melakukan monitoring yang strategik dan memberikan umpan balik dari kegiatan tersebut yang mengarah kepada perubahan kebijakan. 10 Keluhan tentang ego sektoral seringkali dikemukakan oleh para pejabat, para pakar, dunia usaha dan masyarakat sebagai penghambat kebijakan lintas sektor. Akan tetapi sampai sekarang belum muncul upaya yang serius untuk mengatasi hal 10 Baru pada awal tahun 2008, BAPPENAS memiliki seorang Deputi di bidang monitoring dan evaluasi program. 37

38 ini, sesuatu yang menandakan bahwa evaluasi terhadap sistem birokrasi yang masih terkotak-kotak seperti serangkaian silo tidak yang dilakukan secara substansial. Hampir semua pihak mengeluhkan lambatnya kegiatan procurement untuk pembelanjaan modal, bukan hanya para pejabat akan tetapi juga Menkeu, akan tetapi dari tahun ke tahun tetap tidak ada perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kegiatan monitoring yang serius atau, kalau pun ada, tidak memberikan dampak kepada perubahan kebijakan. Kondisi yang serupa berlaku juga untuk kebijakan-kebijakan lain yang penting seperti desentralisasi. 38

39 BAB VI LEMBAGA-LEMBAGA KEBIJAKAN 6.1 Kantor Kepresidenan Kantor Kepresidenan mempuyai peran penting dalam memegang kendali kebijakan Pemerintah secara keseluruhan terlebih lagi dalam alam di mana lingkungan kebijakan berubah dengan cepat dan seringkali perubahan tersebut tidak terduga. Tidak mengherankan bila edalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir ini, hampir semua negara demokrasi yang besar telah melakukan serangkaian perubahan dan penguatan kantor kepala eksekutif Pemerintah sebagai central policy hub. Pengalaman di beberapa negara memperlihatkan upaya yang sangat serius dalam melakukan kegiatan lintas sektoral, reformasi birokrasi dan peningkatan kemampuan kontrol dan koordinasi dari kantor kepala eksekutif Pemerintah. Sebagai contoh, Kantor Presiden AS dewasa ini memiliki sekitar 3,000 orang staf yang bekerja penuh waktu dalam proses kebijakan, di Kantor PM Inggris, sekitar 1,000 orang, di Kantor PM Australia dan Kanselir Jerman, sekitar orang. Jumlah ini belum termasuk ribuan penasehat dan konsultan yang bekerja paruh waktu. Melihat keadaan ini, Kantor Presiden Indonesia masih terlalu sederhana, sangat bersifat administratif dan tidak menunjukkan bobot kebijakan yang berarti. Keadaannya tetap serupa meskipun bila seluruh staf Menko diperhitungkan sebagai bagian dari Kantor Kepresidenan. Beberapa pengamatan menunjukkan: Setneg dan Setkab. Baik Setneg maupun Setkab sebagian besar memiliki fungsi teknis, administratif dan protokol. Fungsi kebijakan hanya terbatas kepada monitoring dan evaluasi atas kebijakan menurut sektor dengan kapasitas yang terbatas pula karena sumberdaya manusia dan anggaran yang terbatas. Sama sekali tidak ada 39

40 monitoring dan evaluasi dalam hal kebijakan lintas sektor. Juga tidak tampak adanya proses screening dan pengecekan kebijakan sebelum suatu kebijakan tertentu dimasukkan ke dalam agenda kabinet. Memiliki beberapa fungsi yang tumpang tindih antara Setneg dan Setkab bila dilihat dari struktur dan fungsi dari beberapa bagiannya. Setkab seharusnya memegang peran kunci dalam memimpin proses kebijakan, mengarahkan agenda kabinet. Hal ini tidak tercermin dari fungsi dan tugas nya yang lebih bersifat teknis dan administratif, monitoring dan evaluasi, bukan berpartisipasi dalam perumusan kebijakan. Dengan demikian, Setkab belum berfungsi sebagai central policy hub sebagaimana dijumpai di banyak negara-negara demokrasi yang besar. Kantor Wapres Kantor Wapres terlihat tidak terintegrasi dengan Kantor Presiden. Setwapres di beberapa negara seperti Amerika Serikat menggunakan sumber daya yang ada pada kantor kepresidenan. Selain untuk efisiensi, juga agar informasi dan prioritas mengenai sebuah permasalahan tidak berbeda sehingga memudahkan koordinasi antara Presiden dengan Wakil Presiden dalam proses pembuatan kebijakan. Pembagian tugas antara Presiden dan Wakil Presiden memungkinkan untuk dilakukan tetapi tetap menggunakan sumber daya yang ada di Kantor Kepresidenan dan tetap bertanggung jawab terhadap Presiden. Susunan Deputi Setwapres terlihat seperti struktur Menko, cenderung sektoral, tidak mencerminkan koordinasi strategik seperti yang seharusnya terjadi, sehingga belum dapat memenuhi fungsi tugas yang bersifat lintas-sektoral. UKP3ER Hanya terdiri dari 3 pejabat dan tidak didukung oleh suatu kesekretariatan yang profesional sehingga dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Perannya yang dianggap tumpang tindih setelah Dewan Pertimbangan Presiden dibentuk. Peran UKP3ER menjadi tidak jelas, apakah sebagai penasihat atau trouble shooter? Bilamana UKP3ER adalah semacam delivery unit seperti di Kantor PM Inggris, atau cabinet implementation unit seperti di Kantor PM 40

41 Australia, maka seharusnya UKP3ER ini memiliki wewenang koordinasi dalam kebijakan-kebijakan dan program-program tertentu yang bersifat strategik dan lintas sektor. UKP3R tidak memiliki kewenangan mencampuri kerja dan koordinasi antar menteri. Unit ini merupakan unit kerja biasa yang berada di bawah kantor presiden. ( Unit kerja ini belum dapat melakukan apa-apa, Presiden belum bertemu lagi dengan UKP3R sehingga mereka belum tahu apa yang harus dikerjakan. (Sinar Harapan 10 Februari 2007). Praktis yang selama ini dikerjakan hanya sebatas menyusun organisasi dan susunan anggaran. Hingga kini pertemuan rutin antara UKP3R dengan Presiden juga belum dilakukan. Besarnya anggaran yang diambil dari APBN belum dapat ditentukan karena besarnya anggaran juga ditentukan oleh pekerjaannya. Sedangkan seperti disebutkan sebelumnya bahwa pekerjaan unit itu sendiri masih belum jelas. Dewan Pertimbangan Presiden Tidak didukung oleh suatu kesekretariatan yang profesional untuk dapat mendukung kinerja nya, seperti misalnya melakukan riset kebijakan mengenai permasalahan yang ada dan bagaimana kebijakan yang harus diambil di antara beberapa pilihan kebijakan sebagai bahan masukan kepada Presiden. Sebagai perbandingan di negara maju, pembuatan kebijakan didokong oleh analis kebijakan dalam jumlah besar dan bekerja penuh. Wantimpres selama ini jarang bertemu dengan Presiden. 6.2 Kementrian Koordinator Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia ini yang memiliki lembaga Kementrian Koordinator. Sebagian besar dari fungsi Kantor Kepresidenan dilimpahkan ke kantor-kantor ini. Oleh karena itu, dilihat dari fungsi dan tugasnya, Kementrian Koordinator seharusnya berperan sangat penting dalam memimpin proses kebijakan. Beberapa pengamatan sementara memperlihatkan bahwa: 41

42 Kapasitas Menko dalam melakukan tugas nya sangat terbatas karena jumlah staf dan anggaran yang terbatas. Setiap Menko hanya memiliki sekitar 50 orang staf yang bekerja dalam proses kebijakan. Setiap Kementrian Koordinator disusun untuk membayangi departemendepartemen dan bukan berdasarkan kelompok masalah strategik lintas sektor. Kewenangan kementrian koordinator yang lemah, hanya untuk koordinasi antar departemen akan tetapi wewenang tetap berada di masing-masing departemen. Jika memang ada koordinasi antar departemen, anggarannya masih terpisah dan cenderung jalan sendiri-sendiri karena tidak dibentuk sebuah badan lintas sektoral yang memang khusus menangani sebuah kebijakan lintas sektoral. Belum diatur bagaimana proses kebijakan yang melibatkan departemendepartemen yang bernaung di bawah kementrian koordinator yang berbeda. Misalnya masalah kesempatan kerja yang melibatkan koordinasi lintas sektor. Begitu pula halnya dengan dalam kebijakan ekonomi yantg seringkali memiliki implikasi di bidang politik dan keamanan. 6.3 BAPPENAS Secara potensial, BAPPENAS adalah satu-satunya lembaga pemerintahan yang memiliki kemampuan untuk menjadi lembaga perumus dan monitoring dan evaluasi kebijakan lintas sektor. Beberapa jabatan di BAPPENAS sudah disusun secara tematik seperti Deputi Bidang Regional, SDA dan Lingikungan Hidup, Kemiskinan, Ketenaga-kerjaan dan UKM. Namun demikian, peran BAPPENAS dalam perumusan kebijakan lintas sektor selama ini masih terbatas. Begitu pula dengan studi masalahmasalah kebijakan lintas sektor yang telah mulai dilakukan seperti tentang penaggulangan kemiskinan, pengurangan subsidi bahan bakar dan lain-lain. Beberapa pengamatan sementara menunjukkan: Pengembangan kemampuan kebijakan lintas masih belum berkembang. Orientasi topik lintas sektor tersebut masih belum mencakup masalah- 42

43 masalah strategik yang penting seperti trade-off antara pertumbuhan dan pemerataan, globalisasi dan ketimpangan, respon kebijakan terhadap munculnya kekuatan Cina dan India, respon kebijakan terhadap integrasi regional di Asia Timur dan implikasinya terhadap perkembangan ekonomi, politik dan keamanan, dan lain-lain. Kemungkinan besar hal ini karena tugas dan wewenang BAPPENAS belum diarahkan ke perumusan kebijakan strategik. Perlu dicatat bahwa di Bangladesh telah terjadi perubahan misi badan perencana dan planning commission di sana telah beganti nama menjadi policy commission. Staf BAPPENAS masih dibebani dengan tugas-tugas perencanaan yang rinci meskipun tugas nya telah berubah, lebih mengarah kepada perencanaan program dan perumusan strategi. Namun karena kapasitas Depkeu yang terbatas dalam mengevaluasi perencanaan proyek, BAPPENAS masih dilibatkan dalam kegiatan ini (meskipun tanpa wewenang anggaran) termasuk mendampingi Depkeu dan departemen-departemen teknis lainnya dalam pembicaraan anggaran secara rinci di DPR. Keterlibatan ini tidak terbatas kepada perencanaan program akan tetapi sampai ke tingkat proyekproyek. Akibatnya, waktu yang tersedia untuk melakukan pemikiran kebijakan strategik menjadi terbatas. Dengan wewenang Depkeu dalam menyusun MTEF, beberapa fungsi di BAPPENAS seperti perencanaan makro, keuangan negara, jasa keuangan dan analisis moneter menjadi tidak relevan. 43

44 BAB VII LANGKAH-LANGKAH KE DEPAN Tidak seperti biasanya, bab terakhir ini tidak akan merangkum uraian dalam bab-bab terdahulu. Di samping uraian di atas cukup jelas dan singkat, juga sifatnya masih merupakan kesimpulan sementara untuk dijadikan hipotesa kerja dalam tahap berikutnya. Tujuan utama dari laporan ini adalah untuk menimbulkan kesadaran bahwa masalah proses kebijakan sangat penting bagi proses konsolidasi demokrasi, pembangunan ekonomi, sosial dan politik. Hal ini terutama berlaku bagi proses kebijakan strategik dan lintas sektor. Juga kesadaran bahwa masalah nya cukup banyak, seringkali kontroversial sehingga pemecahannya memerlukan partisipasi penuh dari para pemangku kepentingan. Lebih daripada itu, pendekatan silo dalam proses kebijakan cenderung tidak mendukung governance yang efisien dan efektif, bahkan dampak negatif berupa ego sektoral semakin menjadi-jadi. Sementara itu, di pihak lain masalah-masalah penting kebijakan menjadi semakin complex dan complicated 11 yang memerlukan pendekatan yang inklusiv dan terintegrasi. 12 Dalam pada itu, dewasa ini hampir tidak ada kajian yang membahas proses kebijakan di Indonesia. Dokumen-dokumen seminar yang disponsori oleh Menkopolhukam dan BAPPENAS pada akhir Nopemer 2005 di hotel Nikko, Jakarta merupakan rangkuman pertama yang membahas masalah ini. Asesmen cepat ini merupakan kelanjutan dari seminar tersebut. Di masa depan, kegiatan sebaiknya diarahkan ke masalah-masalah utama dalam proses kebijakan sebagai berikut. 11 Meminjam istilah yang dikemukakan oleh Prof. Mustopadidjaja dalam salah satu rangkaian seminar Proyek Prakarsa Strategik BAPPENAS, Pebruari Lihat Bab III 44

45 7.1 Perubahan lingkungan kebijakan Penulisan serangkaian studi yang mencoba mengidentifikasi kecenderungan pergeseran prioritas kebijakan publik dalam konteks nasional dan internasional seperti masalah lingkungan dan perubahan iklim, globalisasi dan ketimpangan, governance dan perubahan sistem politik, desentralisasi dan pelayanan masyarakat, konflik etnik dan agama, kesepakatan regional dan mata uang regional dan lain lain. Semua masalah tersebut di atas memiliki implikasi terhadap perumusan prioritas pembangunan dan kerangka kelembagaan. Banyak sekali masalah-masalah baru yang muncul bersifat lintas sektor, wicked problems yang sukar dipecahkan, dan tidak dapat dipecahkan dengan pendekatan tehnokratik. Dalam konteks ini maka pendekatan proses kebijakan yang inklusif dan terintegrasi menjadi penting. Oleh karena itu pula, studi yang mendalam tentang pengalaman negara-negara maju dalam hal-hal ini menjadi penting sebagai bahan referensi. 7.2 Respon lembaga-lembaga kebijakan terhadap perubahan lingkungan kebijakan Kelompok studi ini membahas respon lembaga-lembaga kebijakan dalam menanggapi perubahan lingkungan kebijakan. Studi-studi dalam bagian ini dapat meliputi masalah modernizing government di negarta-negara OECD, ASEAN danlain-lain. Selanjutnya, perubahan dan reformasi kelembagaan di Indonesia dan melakukan identifikasi terhadap defisit kebijakan dan defisit kelembagaan dalam proses kebijakan. 7.3 Proses kebijakan dalam alam demokratis Kelompok studi ini akan menganalisa peran dan kapasitas kelompok-kelompok masyarakat dalam proses kebijakan seperti kelompok lobby, LSM dan lain-lain. Studi-studi dalam kaitan ini memberikan gambaran tentang peran dari lembagalembaga non-pemerintah, proses inter aksi antara pemerintah dengan LSM, outsourcing riset kebijakan publik dan mengidentifikasi lembaga-lembaga yang 45

46 terlibat, peran dari LSM dalam mekanisme konsultasi publik tentang perumusan kebijakan dan lain-lain. 7.4 Pokok-pokok implementasi reformasi proses kebijakan di Indonesia Kelompok ini akan menguraikan rincian dari langkah-langkah yang sebaikanya diambil dalam melaksanakn program reformasi proses kebijakan. Beberapa pertanyaan kunci seperti: langkah-langkah kunci dalam program reformasi kebijakan; kapan harus dilakukan dan bagaimana, big bang atau bertahap; pengembangan kapasitas di pemerintah dan di masyarakat; perangkat hukum yang diperlukan dan usulan perubahannya, implikasi anggaran; struktur manajemen dari program reformasi proses kebijakan; jangka waktu yang diperlukan; antisipasi hambatanhambatan dan rencana darurat apakah yang perlu dirumuskan. 46

47 Bagian II : Studi Kasus 47

48 Kerangka Koordinasi Lembaga-Lembaga Kebijakan Satish Mishra Anggota Tim Ahli Bidang Ekonomi Politik & Kelemba 1 Latar belakang Serangkaian dinamika ekonomi, sosial, dan politik baik yang bersumber dari dalam negeri maupun proses globalisasi telah menimbulkan tantangan baru dalam kebijakan, terutama yang bersifat strategik dan lintas sektoral seperti masalah terorisme, kemiskinan dan ketimpangan, daya saing, dan lingkungan hidup. Sementara itu, karena segmentasi artifisial di dalam birokrasi antara masalah ekonomi, sosial dan politik, masalah-masalah strategis lintas sektoral tersebut cenderung tidak ditangani dengan baik. Oleh karena itu, pengembangan proses kebijakan yang lebih baik, termasuk mekanisme kerja dan pengembangan kapasitas kelembagaan yang cocok untuk mengatasi masalah-masalah strategik perlu dipikirkan. Dewasa ini, proses kebijakan dan juga proses demokrasi merupakan produk yang senantiasa diperbaharui. Pengalaman negara-negara maju dan negara-negara industri baru memperlihatkan bahwa reformasi proses kebijakan merupakan hal yang terus menerus dilakukan seiring dengan perubahan lingkungan kebijakan. Dan perubahan lingkungan yang semakin cepat yang antara lain didorong oleh globalisasi dan regionalisasi telah menuntut perbaikan yang cepat dan tanggap dalam proses kebijakan dan pengembangan kelembagaan. Kantor Perdana Menteri di Inggris dan Kantor Kepresidenan di Amerika Serikat keduanya telah mengalami pengembangan kelembagaan yang sangat pesat selama dua puluh tahun terakhir ini; baik dalam hal fungsinya maupun jumlah staf yang terlibat dalam proses kebijakan. 48

49 2 Permasalahan Perubahan-perubahan cepat yang terjadi di lingkungan pembuat kebijakan memiliki implikasi pada baik itu substansi dan juga proses dari pembuatan kebijakan. Dalam lingkungan politik dan ekonomi yang lebih terbuka, beberapa kebijakan penting bersifat stratejik, lintas sektoral, dan respons kebijakan dilakukan secara tepat waktu. Lebih lanjut bila pemerintah ingin mengimplementasikan kebijakan, maka pemerintah juga harus memanfaatkan dukungan politik dan sosial pada banyak tingkatan dari rantai politik yang ada. Meskipun telah banyak perhatian diberikan pada isu-isu mengenai reformasi konstitusi atau restrukturisasi ekonomi dalam rangkaian transisi sistemik di Indonesia, namun sangat jarang yang mencurahkan perhatiannya untuk memperbaiki kapasitas pemerintah untuk membuat kebijakan yang efektif. Secara umum, terdapat ada tiga masalah utama dalam pengambilan kebijakan di Indonesia. Pertama, pembuatan kebijakan cenderung berjalan lambat dan terpecahpecah, menciptakan berbagai masalah besar dalam koodinasi dan tindakan bersama. Kedua, pembuatan kebijakan mengalami penundaan dan penyempitan yang disebabkan oleh buruknya alur informasi dan komunikasi antara berbagai komisi DPR terkait dan lembaga-lembaga serta departemen-departemen dalam tubuh eksekutif. Ketiga, fungsi koordinasi para menteri koordinator terhambat oleh terbatasnya wewenang, kekurangan jumlah staf dan ketiadaan kerangka kebijakan lintas sosial Sementara itu, peliknya krisis ekonomi, tekanan sosial yang dihasilkan dan perubahan peraturan permainan politik yang berasal dari diadopsinya demokrasi telah menghasilkan respon baru dari institusi yang ada: CGI yang lebih kuat, redefinisi dari peran Departemen Keuangan dan Bappenas, Komisi-komisi dan Badan-badan yang memiliki spesialisasi menangani permasalahan tertentu (seperti pengentasan kemiskinan). Secara umum reformasi ini sedang berada pada tahap proses dari sebuah evolusi, proses ini seringkali terganggu oleh krisis manajemen jangka pendek yang terjadi di lingkungan pemerintah Indonesia. 49

50 Dengan lingkungan kebijakan yang bertambah rumit ini, pemerintah perlu senantiasa mengevaluasi kembali apakah kebijakan yang selama ini mereka lakukan telah benarbenar menyentuh akar permasalahan yang ada, apakah telah berorientasi ke depan dan tidak hanya sebuah respon akan kepentingan jangka pendek, apakah telah dapat menyelesaikan akar masalah dan bukan hanya gejala, menekankan pada hasil bukan kegiatan, lebih flexible dan inovatif (tidak tertutup dan birokratik), memberikan penyelesaian bukan menghindarinya. Dengan kata lain, pembuatan kebijakan juga harus merupakan sebuah proses pembelajaran dan perbaikan yang dilakukan terus menerus. 2.1 Ruang lingkup dan metodologi Mengingat masalah yang kompleks tersebut di atas, pada tahap ini ruang lingkup studi ini terbatas pada kerangka kelembagaan umum yang bertanggung jawab dalam proses koordinasi kebijakan. Lembaga-lembaga tersebut adalah Kantor Presiden, Kantor Wakil Presiden, Sekretariat Negara, Sekeretariat Kabinet dan Kantor Menteri-menteri Koordinator. Analisa kelembagaan terbatas kepada fungsi-fungsi dari lembagalembaga tersebut di atas dalam kaitannya dengan proses kebijakan. Beberapa kasus proses kebijakan juga akan diuraikan dengan latara belakang kelembagaan tersebut. Penilaian cepat (rapid assessment) ini dilakukan dengan studi peraturan, literatur, wawancara terbatas dan beberapa workshop dan seminar. 3 Identifikasi dan analisis kelembagaan yang terlibat dalam proses kebijakan 3.1 Presiden dan Kantor Kepresidenen Amandemen UUD 1945 menjadikan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasangan calon presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umumsebelum pelaksanaan pemilihan umum (Pasal 6A). 50

51 Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR (Pasal 4). Dalam mengangkat duta, menerima penempatan duta negara lain, memberikan amnesti dan abolisi, Presiden juga harus memerhatikan pertimbangan DPR. Presiden dalam menjalankan tugas dibantu oleh Wakil Presiden dan para menteri. Presiden juga berhak membentuk sebuah tim penasihat yang lebih jauh akan diatur undang-undang bersama DPR Peran lembaga-lembaga di kantor Kepresidenan UKP3R Tim penasihat pertama yang dibentuk adalah UKP3R pada tanggal 26 Oktober UKP3R berada di bawah dan bertanggung-jawab kepada Presiden. UKP3R akan bertugas membantu Presiden dalam melaksanakan pemantauan, pengendalian, pelancaran dan percepatan atas pelaksanaan program dan reformasi, sehingga mencapai sasaran, dengan penyelesaian yang penuh. Prioritas pelaksanaan tugas UKP3R adalah perbaikan iklim usaha/investasi dan sistem pendukungnya, pelaksanaan reformasi administrasi pemerintahan, peningkatan kinerja BUMN, perluasan peranan UKM, perbaikan penegakkan hukum. Prioritas pelaksanaan tugas meliputi sasaran :a. perbaikan iklim usaha/investasi dan sistem pendukungnya; b. pelaksanaan reformasi administrasi pemerintahan; c. peningkatan kinerja Badan Usaha Milik Negara; d. perluasan peranan Usaha Kecil dan Menengah; e. perbaikan penegakan hukum. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Keppres 17 tahun 2006, UKPPPR menyelenggarakan fungsi : No Fungsi UKP3R Membantu Presiden dalam menetapkan sasaran perubahan dan prioritas 1 pencapaian kemajuan yang harus dilakukan dalam waktu tertentu Membantu Presiden dalam menemukan kendala dalam pelaksanaan program 2 dan reformasi serta cara mengatasinya Menampung saran dan keluhan masyarakat dan dunia usaha serta 3 melakukan pemantauan dan analisa kelemahan pelayanan public yang terjadi Membantu Presiden dalam menetapkan perbaikan mutu administrasi publik 4 dan pelaksanaan program pembaruan tata kelola pemerintahan 5 Melaksanakan fungsi-fungsi lain yang diberikan Presiden 51

52 Susunan organisasi UKP3ER terdiri dari Kepala; 2 (dua) Deputi; Sekretariat; Biro Umum dan Administrasi; Asisten; dan Staf Ahli. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Kepala dapat membentuk Tim Khusus untuk penanganan masalah-masalah tertentu. Analisis sementara mengenai UKP3R: Tidak didukung oleh suatu kesekretariatan yang profesional untuk dapat meningkatkan kinerja menjadikan lembaga ini kurang berfungsi maksimal. Perannya yang dianggap tumpang tindih setelah Dewan Pertimbangan Presiden dibentuk. Peran UKP3ER menjadi tidak jelas, apakah sebagai penasihat atau trouble shooter? Bilamana UKP3ER adalah semacam delivery unit seperti di Kantor PM Inggris, atau implementation unit seperti di Kantor PM Australia, maka seharusnya UKP3ER ini memiliki wewenang koordinasi dalam kebijakan-kebijakan dan program-program tertentu yang bersifat strategik dan lintas sektor. UKP3R tidak memiliki kewenangan mencampuri kerja dan koordinasi antar menteri. Dengan demikian, UKP3R bukan lagi menjadi lembaga superbody. Unit ini merupakan unit kerja biasa yang berada di bawah kantor presiden. ( Unit kerja ini belum dapat melakukan apa-apa, Presiden belum bertemu lagi dengan UKP3R sehingga mereka belum tahu apa yang harus dikerjakan. (Sinar Harapan 10 Februari 2007). Praktis yang selama ini dikerjakan hanya sebatas menyusun organisasi dan susunan anggaran. Hingga kini pertemuan rutin antara UKP3R dengan Presiden juga belum dilakukan. 52

53 Besarnya anggaran yang diambil dari APBN belum dapat ditentukan karena besarnya anggaran juga ditentukan oleh pekerjaannya. Sedangkan seperti disebutkan sebelumnya bahwa pekerjaan unit itu sendiri masih belum jelas. Dewan Pertimbangan Presiden Tim penasihat kedua bernama Dewan Pertimbangan Presiden. Dewan Pertimbangan Presiden adalah staf khusus yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Indonesia dan bertugas untuk memberi berbagai masukan kepada Presiden. Dewan Pertimbangan Presiden pertama kali dibentuk oleh Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono pada 26 Maret 2007 berdasarkan Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden (UU 19 tahun 2006). Anggotanya saat ini adalah: Nama Ali Alatas Emil Salim Adnan Buyung Nasution TB Silalahi Rachmawati Soekarnoputri Sjahrir Ma ruf Amin Subur Budhi Santoso Radi A. Gany Jabatan Bidang hubungan internasional Bidang lingkungan dan pembangunan berkelanjutan Bidang hukum Bidang pertahanan dan keamanan Bidang politik Bidang ekonomi Bidang agama Bidang sosial-budaya Bidang pertanian Kendala dalam Dewan Pertimbangan Presiden: Tidak didukung oleh suatu kesekretariatan yang profesional untuk dapat mendukung kinerja nya, seperti misalnya melakukan riset mengenai permasalahan yang ada dan bagaimana kebijakan yang harus diambil di antara beberapa pilihan kebijakan sebagai bahan masukan kepada Presiden. Sebagai perbandingan di negara maju, pembuatan kebijakan didokong oleh analis kebijakan dalam jumlah besar dan bekerja penuh. 53

54 Wantimpres selama ini jarang bertemu dengan Presiden. Sekretariat Negara (Setneg) Peraturan Menteri Sekretaris Negara RI Nomor 1 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretaris Negara. Kedudukan Sekretariat Negara adalah lembaga pemerintah yang dipimpin oleh Menteri Sekretaris Negara, berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Tugas Sekretariat Negara memberikan dukungan teknis dan administrasi kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam menyelenggarakan kekuasaan negara Fungsi Pemberian dukungan teknis dan administrasi kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam pelaksanaan tugasnya menyelenggarakan kekuasaan negara Penyiapan naskah-naskah Presiden dan Wakil Presiden Koordinasi pemberian pelayanan kerumahtanggaan dan keprotokolan kepada Presiden dan Wakil Presiden Koordinasi pemberian dukungan teknis dan administrasi kepada Presiden dalam menyelenggarakan kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara Penyelenggaraan administrasi pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam dan dari jabatan dan atau pangkat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Sekretariat Negara dan Pejabat Negara Penyelenggaraan administrasi pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam dan dari jabatan dan atau pangkat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Sekretariat Negara dan Pejabat Negara Pemberiaan dukungan teknis dan administrasi, serta analisis dalam rangka penyiapan izin prakarsa dan penyelesaian rancangan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, serta pemberian pertimbangan kepada Sekretaris Kabinet dalam penyusunan rancangan Peraturan Presiden Pelaksanaan fungsi-fungsi lain yang diberikan Presiden dan Wakil Presiden Pelaksanaan fungsi-fungsi lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan Tugas masing-masing bagian: 54

55 Jabatan Sekretaris Menteri Sekretaris Negara Deputi Menteri Sekretaris Negara Bidang Dukungan Kebijakan Deputi Menteri Sekretaris Negara Bidang Sumber Daya Manusia Deputi Menteri Sekretaris Negara Bidang Hubungan Kelembagaan Deputi Menteri Sekretaris Negara Bidang Perundangundangan Deputi Menteri Sekretaris Negara Bidang Pengawasan Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara Tugas Membantu Menteri Sekretaris Negara dalam menyelenggarakan pemberian dukungan teknis dan administrasi di bidang perencanaan program, administrasi keuangan, perlengkapan, ketatausahaan, kerjasama teknik luar negeri, dan administrasi umum lainnya di lingkungan Sekretariat Negara Menyiapkan bahan dan data yang diperlukan dalam rangka mendukung kebijakan Presiden, penyiapan naskah kenegaraan, penerjemahan, pengelolaan informasi, dan masalah-masalah hubungan internasional. Menyelenggarakan administrasi pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam dan dari jabatan dan atau pangkat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Sekretariat Negara dan Pejabat Negara, serta mengembangkan sumber daya manusia, pengkajian serta penyusunan organisasi dan ketatalaksanaan di lingkungan Sekretariat Negara Membantu Menteri Sekretaris Negara dalam menyelenggarakan hubungan dengan lembaga-lembaga tinggi negara, lembaga legislatif daerah, organisasi politik, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan Menyelenggarakan pemberian dukungan teknis dan administrasi serta analisis dalam rangka penyiapan izin prakarsa dan penyelesaian rancangan Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dan Peraturan Pemerintah, penyiapan pertimbangan Menteri Sekretaris Negara kepada Sekretaris Kabinet dalam penyusunan rancangan Peraturan Presiden Melaksanakan pengawasan dan pengembangan akuntabilitas kinerja di lingkungan Sekretariat Negara dan penanganan pengaduan masyarakat Membantu Menteri Sekretaris Negara dalam melaksanakan pengkajian, dan penyampaian hasil analisis, serta saran dalam bidang tertentu berdasarkan keahliannya, baik atas permintaan Menteri Sekretaris Negara maupun atas prakarsa sendiri. Sekretariat Kabinet (Sekab) Sekretariat Kabinet adalah lembaga pemerintah yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan mempunyai tugas memberikan 55

56 dukungan staf dan pelayanan administrasi kepada Presiden selaku Kepala Pemerintahan dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara. Sekretariat Kabinet mempunyai tugas. Sekretariat Kabinet menyelenggarakan fungsi : Tugas Memberikan dukungan teknis dan administrasi, serta analisis kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan program pemerintah, penyiapan rancangan Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Instruksi Presiden, penyiapan penyelenggaraan sidang kabinet serta pengangkatan dan pemberhentian dalam jabatan pemerintahan dan kepangkatan pegawai negeri sipil yang kewenangannya berada di tangan Presiden dan pegawai negeri sipil di lingkungan Sekretariat Kabinet Fungsi Pemantauan dan evaluasi serta penyampaian analisis atas pelaksanaan kebijakan dan program pemerintah di bidang politik dan keamanan, perekonomian, dan kesejahteraan rakyat Pemantauan dan evaluasi serta penyampaian analisis atas pelaksanaan kebijakan dan program pemerintah di bidang hukum dan pemberian dukungan teknis dan administrasi serta analisis dalam rangka penyiapan rancangan Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Instruksi Presiden Penyelenggaraan dan pengadministrasian sidangsidang kabinet, rapat atau pertemuan dengan para Menteri Kabinet dan atau Pejabat Negara setingkat Menteri dan atau Panglima TNI dan atau Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan atau Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen dan atau Pejabat Pemerintah Daerah yang dipimpin oleh Presiden dan atau Wakil Presiden, pengangkatan dan pemberhentian dalam jabatan pemerintahan dan kepangkatan Pegawai Negeri Sipil yang kewenangannya berada di tangan Presiden serta pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam dan dari jabatan atau pangkat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Sekretariat Kabinet Pemantauan rapat-rapat koordinasi yang diselenggarakan oleh para Menteri Koordinator Pelaksanaan fungsi-fungsi lain yang diberikan oleh Presiden dan Wakil Presiden Sekretariat Kabinet terdiri dari : Jabatan Tugas 56

57 Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Pemerintahan Menyelenggarakan pemantauan dan evaluasi, serta analisis atas pelaksanaan kebijakan dan program pemerintah di bidang politik dan keamanan, perekonomian dan kesejahteraan rakyat Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum Menyelenggarakan pemantauan dan evaluasi serta penyampaian analisis atas pelaksanaan kebijakan pemerintah di bidang hukum dan pemberian dukungan teknis, administrasi dan analisis dalam rangka penyiapan rancangan Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Instruksi Presiden Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Persidangan dan Dokumentasi Menyelenggarakan penyiapan sidang-sidang kabinet, rapat atau pertemuan yang dipimpin dan atau dihadiri oleh Presiden dan atau Wakil Presiden, serta pelaksanaan koordinasi tindak lanjut hasil-hasil sidang kabinet, dan pengurusan dokumen serta tata usaha di lingkungan Sekretariat Kabinet Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Administrasi Menyelenggarakan administrasi pengangkatan, pemindahan, pemberhentian dan pensiun dalam jabatan serta kepangkatan pegawai negeri sipil dan pejabat negara lainnya yang kewenangannya berada di tangan Presiden atau Sekretaris Kabinet, dan administrasi keuangan, umum serta administrasi lainnya di lingkungan Sekretariat Kabinet. Staf Ahli Melaksanakan pengkajian, dan penyampaian hasil analisis, serta saran dalam bidang tertentu berdasarkan keahliannya, baik atas permintaan Sekretaris Kabinet maupun atas prakarsa sendiri Analisis sementara Setneg dan Sekab 57

58 Memiliki beberapa fungsi yang tumpang tindih antara Setneg dan Sekab bila dilihat dari struktur dan fungsi dari beberapa bagian. Lembaga sekretariat negara seharusnya yang berperan dalam mengelola negara sebagai sebuah institusi besar yang memiliki simbol-simbol dan begitu banyak aset serta urusan administratif-protokoler yang berhubungan dengan presiden sebagai kepala negara. Dalam hal ini, peran Menteri-Sekretaris Negara mungkin memang lebih baik dijalankan oleh seorang birokrat administrator yang sepenuhnya terlepas dari proses politik. Lembaga sekretariat presiden seharusnya menjalankan peran yang sama sekali berbeda. Lembaga ini merupakan organ politik pemimpin eksekutif karena berkaitan langsung dengan tugas dan kewajiban presiden sebagai kepala pemerintahan. Presiden dilengkapi dengan kabinet yang dipilihnya karena ia harus membuat kebijakan serta mengomunikasikan kebijakan tersebut agar didukung oleh publik dan parlemen. Di sinilah peran penting Sekretaris Kabinet: ia membantu presiden dalam memerintah dan membuat kebijakan, mengoordinasikan anggota-anggota kabinet agar bekerja secara terpadu melayani visi pemimpin mereka, mengatur aspek komunikasi kebijakan dan pidato-pidato presiden, mengurus hubungan presiden dengan parlemen, dan semacamnya. Di Amerika Serikat, peran semacam ini dimainkan oleh Kepala Staf Gedung Putih, yang biasanya diisi oleh politisi kepercayaan presiden. Sekretariat Wakil Presiden Wakil Presiden RI dipilih langsung oleh rakyat pada Pemilu tahun 2004, untuk masa jabatan tahun 2004 s/d Diambil sumpah pada tahun Kepemimpinan Wakil Presiden RI didukung oleh Sekretariat Wakil Presiden yang dipimpin oleh Seswapres. Dalam menjalankan tugas sehari-hari, Wakil Presiden RI yang dibantu oleh Deputi Politik, Deputi Ekonomi, Deputi Kesra, Deputi Dukungan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan serta Deputi Administrasi, dan didukung oleh 5 Staf Khusus. Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Politik membawahi 5 Biro, masing-masing Biro Hubungan Internasional, Biro Pemerintahan 58

59 dan Politik Dalam Negeri, Biro Pertahanan Negara, Keamanan dan Ketertiban, Biro Kehakiman, Hukum dan HAM, Biro Kewilayahan dan Wawasan. Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Ekonomi menaungi 4 Biro, yaitu Biro Moneter dan Jasa Keuangan, Biro Perdagangan dan Kerjasama Internasional, Biro Produksi, Biro Prasarana Dasar dan Energi. Sedangkan Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Kesra mengkoordinasikan Biro Agama dan Sosial, Biro Pendidikan, Kebudayaan dan Olah Raga, Biro Kesehatan, Lingkungan Hidup dan Perumahan Rakyat, Biro Pemberdayaan Perempuan, Usaha Mikro, Kecil dan Ketenagakerjaan. Deputi Bidang Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan dibantu oleh 4 Biro, Biro Dukungan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Otonomi Daerah, BiroBiro Dukungan Pengawasan Pembangunan dan Pengelolaan Kekayaan Negara, Biro Pemantauan Pemberantasan Korupsi, Biro Pengelolaan Data dan Pengaduan Masyarakat. Khusus Deputi Seswapres Bidang Administrasi, beberapa Biro yang dipimpinnya meliputi Biro Protokol dan Persidangan, Biro Umum, Biro Tata Usaha, Biro Media Massa serta Biro Perlengkapan dan Kerumahtanggaan. Di luar itu terdapat Pusat Penerjemah dan Penyiapan Naskah serta Tim Dokter Kepresidenan pada Unit Kesehatan. Struktur Organisasi di Sekretariat Wakil Presiden ditata secara berjenjang hingga Kepala Bagian dan Kepala Sub Bagian. Total Jumlah Jabatan Eselon II sebanyak 23, meliputi Kepala Biro dan Kepala Pusat. Catatan Eselon III sebanyak 61 Kepala Bagian, dan Jabatan Eselon IV sebanyak 73 Kepala Sub Bagian. Sebagai Wakil Presiden H.M. Jusuf Kalla mendapat dukungan 4 Ajudan Dinas dari TNI-AD, TNI-AU, TNI-AL, dan Polri Kendala pada Setwapres: Setwapres di beberapa negara seperti Amerika Serikat menggunakan sumber daya yang ada pada kantor kepresidenan. Selain untuk efisiensi, juga agar informasi dan prioritas mengenai sebuah permasalahan tidak berbeda dengan apa yang ada di kantor kepresidenan sehingga memudahkan koordinasi antara Presiden dengan Wakil Presiden dalam proses pembuatan kebijakan. Pembagian tugas antara Presiden dan Wakil Presiden memungkinkan untuk 59

60 dilakukan tetapi tetap menggunakan sumber daya yang ada di kantor kepresidenan dan tetap bertanggung jawab terhadap Presiden. Susunan Deputi Setwapres terlihat seperti struktur Menko, tidak mencerminkan koordinasi strategik seperti yang seharusnya terjadi, sehingga belum dapat memenuhi fungsi tugas yang bersifat lintas-sektoral. Kementrian Koordinator Berdasarkan peraturan Presiden Nomor 9 tahun 2005 tentang kedudukan, tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata kerja kementrian negara republik Indonesia, Kementerian Koordinator mempunyai tugas membantu Presiden dalam mengkoordinasikon perencanaan dan penyusunan kebijakan, serta mensinkronkan pelaksanaan kebijakan di bidangnya. Kementrian coordinator saat ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu Kementrian Koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan, Kementrian koordinator bidang perekonomian, dan Kementrian koordinator bidang kesejahteraan rakyat. Menko memiliki tugas, fungsi dan wewenang: Tugas Fungsi Wewenang Menko mempunyai tugas membantu Presiden dalam mengkoordinasikan dan menyinkronkan penyiapan dan penyusunan kebijakan serta pelaksanaannya di bidang tertentu dalam kegiatan pemerintahan negara Pengkoordinasian para Menteri Negara dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen dalam keterpaduan pelaksanaan tugas bidangnya termasuk pemecahan permasalahan dalam pelaksanaan tugas Pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan dalam penyiapan dan perumusan kebijakan pemerintahan Kantor Menteri Negara, Departemen, dan Lembaga Pemerintah Non Departemen di bidangnya Penetapan kebijakan secara makro untuk keterpaduan dan sinkronisasi seluruh kebijakan lembaga Pemerintah di bidangnya; Perumusan dan penetapan agenda dan prioritas kebijakan secara makro di bidangnya; 60

61 Pengendalian penyelenggaraan kebijakan, sebagaimana dimaksud pada kedua fungsi sebelumnya Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden Penyusunan rencana makro untuk menyinkronkan rencana dan program lembaga Pemerintah di bidangnya; Penandatanganan perjanjian atau persetujuan internasional berdasarkan pelimpahan wewenang dari Presiden di bidangnya Penetapan putusan hasil koordinasi. Analisis sementara Kementrian Koordinator: Kewenangan kementrian koordinotor yang lemah, hanya untuk koordinasi antar departemen akan tetapi wewenang tetap berada di departemen. Belum diatur bagaimana proses kebijakan yang melibatkan departemendepartemen yang bernaung di bawah kementrian koordinator yang berbeda. Jika memang ada koordinasi antar departemen, anggarannya masih terpisah dan cenderung jalan sendiri-sendiri karena tidak dibentuk sebuah badan lintas sektoral yang memang khusus menangani sebuah kebijakan lintas sektoral. Bappenas Sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor:PER-01/M.BAPPENAS/08/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ 61

62 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Bappenas dibantu oleh Sekretariat Utama, Staf Ahli dan Inspektur Utama, dan 8 deputi yang masing-masing membidangi bidang-bidang tertentu, serta 3 Pusat. Struktur organisasi Bappenas adalah sebagai berikut: 62

63 63

64 Tugas masing-masing bagian berdasrkan Keputusan Presiden Nomor 4 dan 5 tahun 2002 adalah sebagai berikut: Jabatan Sekretariat Menteri Negara Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Deputi Bidang Politik, Pertahanan dan Keamanan, Deputi Bidang Otonomi Daerah dan Pengembangan Regional Deputi Bidang Ekonomi Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Staf Ahli Bidang Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Tertinggal Staf Ahli Bidang Maritim dan Tata Ruang Tugas Melaksanakan koordinasi pelaksanaan tugas serta pembinaan dan pemberian dukungan administrasimenteri Negara Melaksanakan perumusan kebijakan, koordinasi dan sinkronisasi serta evaluasi perencanaan pembangunan nasional di bidang sumber daya manusia dan kebudayaan. Melaksanakan perumusan kebijakan, koordinasi dan sinkronisasi serta evaluasi perencanaan pembangunan nasional di bidang politik, pertahanan, keamanan, hukum dan aparatur negara. Melaksanakan perumusan kebijakan, koordinasi dan sinkronisasi serta evaluasi perencanaan pembangunan nasional di bidang otonomi daerah dan pengembangan regional. Melaksanakan perumusan kebijakan, koordinasi dan sinkronisasi serta evaluasi perencanaan Pembangunan nasional di bidang ekonomi. Melaksanakan perumusan kebijakan, koordinasi dan sinkronisasi serta evaluasi perencanaan pembangunan nasional di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup. Melaksanakan perumusan kebijakan, koordinasi dan sinkronisasi serta evaluasi perencanaan pembangunan nasional di bidang sarana dan prasarana. Melaksanakan perumusan kebijakan koordinasi dan sinkronisasi serta evaluasi perencanaan pendanaan pembangunan nasional. Memberikan telaahan mengenai masalah percepatan pembangunan Kawasan Indonesia Bagian Timur dan kawasan Tertinggal. Memberikan telaahan mengenai masalah maritim dan tata ruang. 64

65 Staf Ahli Bidang Ekonomi Perusahaan Staf Ahli Bidang Reformasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Staf Ahli Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Keadilan Sosial Memberikan telaahan mengenai masalah ekonomi perusahaan Memberikan telaahan mengenai masalah reformasi hukum dan hak asasi manusia. Memberikan telaahan mengenai masalah Kesejahteraan Rakyat dan keadilan sosial. Berikut merupakan komposisi kepegawaian di Bappenas yang dibagi dalam beberapa kategori (diperoleh dari situs resmi Bappenas): A. KOMPOSISI MENURUT GOLONGAN KEPANGKATAN Golongan I 74 Golongan II 265 Golongan III 304 Golongan IV 196 B. KOMPOSISI MENURUT JABATAN Eselon I 14 Eselon II 44 Eselon III 129 Eselon IV 138 Fungsional (Widyaiswara, JFP) 8 Staf Perencana 85 Pelaksana 360 Tenaga Ahli 4 Penasehat Ahli 3 Diperbantukan ke Instansi Lain 47 Dokter Poliklinik 7 C. KOMPOSISI MENURUT PENDIDIKAN SD 41 SMP 93 SMU/SLTA 225 D3 (Sarjana Muda) 22 S1 (Sarjana) 156 S2 (Master/Magister) 245 S3 (Doktor/PhD) 57 65

66 Analisis dan pembahasan mengenai Bappenas: Bappenas saat ini merupakan organisasi yang memiliki kapasitas kelembagaan yang lebih baik terutama untuk melakukan proses perumusan kebijakan karena struktur organisasinya lebih mendukung jika dibandingkan dengan apa yang ada di lembaga kantor kepresidenan lainnya. Bappenas memiliki potensi untuk ditarik ke dalam kantor kepresidenan dan menjalankan fungsi sebagai analis kebijakan sebagaimana yang ada di kantor kepresidenan/perdana Menteri negara-negara maju. Struktur dan organisasi dari Bappenas tentu saja mesih memerlukan pembenahan, namun sumber daya di dalam Bappenas lebih baik untuk dapat berperan sebagai analis kebijakan untuk pemerintah. Bappenas, meski sedikit terlambat, telah mulai memberikan fokus pada kebijakan-kebijakan lintas sektoral. Namun pemantapan kebijakan-kebijakan lintas-sektoral ini masih perlu dilakukan teruatama dalam hal koordinasi antar kelembagaan yang terlibat. Bappenas juga masih perlu memantapkan proses pengelolaan kebijakan di mana diharapkan ada peningkatan kualitas dimulai dari perumusan, implementasi, hingga proses evaluasi dimana diharapkan setiap kebijakan yang diambil memiliki sebuah akuntabilitas dan mampu menyerap apa yang menjadi kebutuhan dari publik. Beberapa program-program lintas-sektoral yang dikeluarkan Bappenas antara lain program-program kemiskinan, rehabilitasi daerah bencana, dan lainnya. Beberapa mengalami kendala karena mengalami masalah koordinasi di mana kewenangan di dalam menjalankan program masih kabur sehingga berjalan lambat. 3.2 Hubungan Eksekutif dan Parlemen dalam pembuatan kebijakan Presiden berhak mengajukan RUU pada DPR (Pasal 5 UUD 1945) DPR setelah amandemen didorong menjalankan fungsi legislasinya, dimana DPR memegang kekuasaan membentuk UU (Pasal 20 dan Pasal 21 UUD 1945) 66

67 Demokratisasi yang terjadi di Indonesia saat ini telah memperbesar peranan DPR. Peningkatan wewenang DPR ini juga diikuti dengan dikuranginya kewenangan yang dimiliki oleh lembaga eksekutif. Hal ini dapat terlihat dari proses pembentukkan UU yang didominasi oleh DPR karena persetujuan dari seorang Presiden dapt dilewati apabila dalam waktu 30 hari Presiden tidak menandatangi RUU yang telah disetujui oleh DPR. Analisis sementara mengenai hubungan Pemerintah dan DPR: Setiap komisi memiliki staf ahli di sekretariat tetapi jarang difungsikan untuk melakukan riset oleh anggota DPR atau fraksi ketika akan membahas undangundang atau untuk tugas lainnya Fragmentasi di DPR dan lambatnya respon pemerintah membuat suatu RUU kadang terhambat terealisasi. Saat ini baru sekitar 30% atau 93 rancangan undang-undang yang disahkan menjadi undang-undang. Padahal dalam program legislasi nasional menargetkan 283 RUU. Sistem presidensil seharusnya memberikan kewenangan kepada Presiden untuk dapat membuat kebijakan dengan lebih leluasa. Bila mengambil pengalaman dari negara lain terutama dari Amerika Latin dimana banyak negara yang menggunakan sistem presidensil, banyak negara yang mengalami political deadlock karena konflik antara presiden dan DPR menyebabkan keputusannya tidak bisa dibuat. Konflik semacam ini yang dapat menghambat proses pengelolaan kebijakan. 67

68 PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG RUU DARI PEMERINTAH RUU DARI DPR RUU DARI DPD TINGKAT I Dalam RAPAT KOMISI, RAPAT BALEG, RAPAT PANITIA ANGGARAN, atau RAPAT PANSUS, bersama-sama Pemerintah. Dengan acara : Pemandangan umum Fraksi terhadap RUU yang berasal dari pemerintah Jawaban pemerintah Pembahasan RUU oleh DPR dan pemerintah dalam rapat kerja berdasarkan DIM TINGKAT II DALAM RAPAT PARIPURNA Dengan acara : 1. Pengambilan keputusan yang didahului oleh : a. Laporan hasil pembicaraan Tk. I b. Pendapat akhir Fraksi 2. Sambutan Pemerintah DUA TINGKAT PEMBICARAAN DI DPR PERSETUJUAN DI DPR DISAHKAN PRESIDEN UU TINGKAT I Dalam RAPAT KOMISI, RAPAT BALEG, RAPAT PANITIA ANGGARAN, atau RAPAT PANSUS, bersama-sama Pemerintah. Dengan acara : Tanggapan pemerintah terhadap RUU yang berasal dari DPR; Jawaban pimpinan Komisi, pimpinan Baleg, pimpinan Panitia Anggaran atau pimpinan Pansus atas tanggapan pemerintah; Pembahasan RUU oleh DPR dan Pemerintah dalam Raker berdasarkan DIM; TINGKAT II DALAM RAPAT PARIPURNA Dengan acara : 1. Pengambilan keputusan yang didahului oleh : a. Laporan hasil pembicaraan Tk. I; b. Pendapat akhir Fraksi yang apabila dipandang perlu dapat pula disertai dengan catatan tentang sikap Fraksinya. 2. Sambutan Pemerintah 68

69 3.3 Perubahan Domestik dalam Konteks Pembuatan Kebijakan di Indonesia Perubahan besar dalam parameter kebijakan Lahirnya pemerintahan yang terpilih secara demokratis menyusul Pemilu 1999, amandemen konstitusi termasuk pelaksanaan desentralisasi pemerintahan, kebangkitan kembali masyarakat sipil yang telah memungkinkan adanya demokrasi di Indonesia telah mengubah konteks pengambilan kebijakan untuk selama-lamanya. Perubahan-perubahan tersebut dapat diringkaskan sebagai berikut ini Struktur kelembagaan keputusan kebijakan Pertama, pemisahan yang nyata dari kekuasaan antarcabang dan tingkat pemerintahan, dan juga pendirian lembaga-lembaga regulasi dan judisial yang independen seperti Bank Sentral, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Konstitusi telah meningkatkan jumlah dan ragam pemangku kepentingan di semua tingkat proses pembuatan kebijakan. Ini merupakan kontras tajam atas pengaturan kelembagaan semasa Orde Baru yang meski terlihat memiliki sistem politik namun semuanya diatur berdasarkan kehendak Presiden. Lebih dari itu, struktur masyarakat sipil amat lemah dan terpecah, tidak ada media yang independen, organisasi profesi dan bisnis diinfiltrasi pemerintah, proses penentuan upah melalui organisasi buruh didikte pemerintah, dan partai politik dibonsai dan diawasi secara ketat. Pemisahan kekuasaan dalam lembaga negara, dan munculnya masyarakat sipil yang lebih bebas, membuat upaya mencapai konsensus kebijakan seperti di masa Orde Baru kini menjadi lebih sulit. Ketika itu kelangsungan kebijakan terjamin oleh dipilihnya Soeharto sebagai presiden secara terus-menerus dengan dukungan militer selama dua dekade kekuasaan Orde Baru, serta dengan membatasi wakil presiden untuk sekali masa jabatan selama lima tahun saja. Situasi sekarang sama sekali berbeda. Bukan saja karena kebijakan yang efektif menuntut adanya konsensus yang muncul dari perdebatan dan negosiasi antarlembaga negara, namun juga karena kelanjutan sebuah kebijakan harus bersumber pada 69

70 program yang proses pembuatannya mengakar dalam lembaga-lembaga pelayanan publik. Suksesnya kebijakan akan meningkatkan peluang bagi pemerintah yang berkuasa untuk memenangkan pemilu berikutnya. Kedua, karena resesi ekonomi yang berlarut-larut dan juga karena munculnya keprihatinan atas kondisi kesejahteraan sosial sebagian besar rakyat, sejumlah isu kebijakan yang lintas-sektor dan multidimensional makin mendominasi agenda kebijakan. Bahkan, nyaris seluruh isu besar kebijakan di Indonesia saat ini dapat dikatakan berada dalam kategori yang sama: korupsi, pengangguran, kemiskinan, ketimpangan, keadilan sosial, investasi asing, bantuan asing, pembangunan perkotaan, infrastruktur publik, pemeliharaan lingkungan, kekerasan etnis, terorisme, polarisasi keagamaan dan terutama tatakelola. Daftar di atas belum mencantumkan tanggapan kebijakan dan struktur kelembagaan yang diperlukan untuk menangani atau meramalkan krisis seperti bencana alam atau wabah penyakit. Daftar tersebut juga belum mencantumkan isu kebijakan luar negeri yang melingkupi kerjasama internasional dalam penanganan terorisme atau perubahan pola perdagangan, investasi, dan aliran modal di negara-negara Asia Makin sempitnya waktu antara munculnya masalah dengan respon pemerintah Ketiga, munculnya media cetak dan televisi yang bebas telah mengurangi jeda waktu yang tersedia dari munculnya masalah hingga diambilnya tanggapan kebijakan. Makin bebasnya media ini juga menampakkan kesan, atau menunjukkan kenyataan, bahwa ada perpecahan dalam kabinet atau kemacetan di cabang pemerintahan tertentu yang dalam waktu singkat mempengaruhi kepercayaan bisnis dan publik. Ini merupakan pergeseran besar dari lingkungan pembuatan kebijakan sebelum demokrasi. Dulu, kebijakan pemerintah, dirumuskan oleh sekelompok kecil lembaga sesuai kehendak Presiden, tidak terlalu khawatir dengan reaksi publik. Kebijakan disosialiasikan melalui Golkar dan sistem informasi pemerintahan yang relevan. Media diawasi amat ketat khususnya di perkotaan dan terancam ditutup jika berani mengkritik kebijakan pemerintah 70

71 Sebaliknya, pemerintah sekarang bukan hanya harus mempertimbangkan reaksi media dalam negeri terhadap proses dan keputusan kebijakan. Pemerintah juga harus mempertimbangkan liputan surat kabar dan televisi internasional, barangkali lebih dari liputan media domestik, mengingat dampak opini publik yang ditimbulkan liputan media asing di negara-negara donor dan sensitivitas liputan media asing terhadap kepercayaan pasar uang dan iklim investasi atau mobilitasi modal asing ketika terjadi bencana alam Pemerintahan yang terdesentralisasi Keempat, Undang-undang tentang desentralisasi di Indonesia, yang diberlakukan di awal era demokrasi, mempunyai dampak besar terhadap proses pembuatan kebijakan. Selain pengalihan sebagian besar personil pegawai pemerintahan ke daerah dalam waktu singkat, proses desentralisasi juga melemahkan kewenangan pemerintah provinsi karena arus keuangan langsung dikucurkan pemerintah pusat ke kabupaten/kota berdasarkan rumus yang masih terus dikembangkan agar kebutuhan biaya rutin dan biaya khusus daerah yang kurang mampu dapat dipenuhi. Ketimpangan antarwilayah yang lebar dalam hal kekayaan dan pendapatan, ditambah dengan minimnya konsensus yang jelas mengenai tujuan desentralisasi dan prioritas nasional inti dan standar mana yang akan diterapkan di setiap wilayah (misalnya jaminan hak sipil, hak dasar, dan kewajiban warga negara di manapun domisilinya) atau sejauh mana wilayah dapat dicegah mengabaikan hukum dan aturan nasional dalam hal mempertinggi pendapatan, pergerakan barang, jasa dan tenaga kerja, pinjaman luar negeri dan biaya yang dibebankan kepada pengguna jasa dan infrastruktur di sebuah wilayah adalah beberapa isu penting dalam desentralisasi. Situasi saat ini amat berbeda dan jauh lebih rumit dibandingkan dengan gambaran kebijakan regional di masa lalu. Sebelum 1999, pemerintah daerah tidak dapat menyuarakan kepentingan sendiri, diperintah oleh gubernur yang ditunjuk pemerintah pusat, biasanya dari kalangan militer dan didukung oleh struktur teritorial dan Golkar. Transfer pendapatan daerah sebagian besar didasarkan pada dana Inpres, yang sebagian besar untuk infrastruktur, dan daerah tidak bisa ikut bersuara. Meski sebagian besar daerah masih tergantung pada dana pemerintah pusat, daerah kini menikmati yang kebebasan lebih besar dalam menetapkan prioritas belanja 71

72 pemerintah di sebagian besar sektor. Ketidaksesuaian antara wewenang pembelanjaan dan sumber daya pendapatan, meski terdapat mekanisme pengawasan atas pemerintah daerah yang lebih kurang mampu, memerlukan seni tersendiri untuk mengangani kewenangan regional baik karena tingginya harapan maupun meningkatnya kesadaran dan makin turunnya toleransi bagi ketimpangan pendapatan dan kekayaan antardaerah Strategy Pembangunan Nasional dan Perubahan Peran Perencanaan Pembangunan Kelima, ada perubahan besar dalam perumusan prioritas nasional dan peran yang dimainkan lembaga perencanaan pembangunan dalam proses tersebut Semasa Orde Baru, strategi national dirumuskan melalui Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dikeluarkan oleh sidang lima tahunan MPR yang juga menerima pidato pertanggungjawaban presiden yang berisi kesuksesan pemerintah dalam memenuhi tujuan GBHN periode lima tahun sebelumnya. GBHN kemudian dijabarkan menjadi Rencana Pembangunan Lima Tahun dan Rencana Pembangunan Tahunan melalui pembahasan oleh Bappenas bersama sejumlah menteri terkait di bawah arahan ketat Presiden. Target dan anggaran untuk kementerian yang disepakati melalui proses tersebut lalu disampaikan kepada Menteri Keuangan, yang kemudian mengurus pembagian anggaran dan akuntansinya. Meski GBHN digunakan sebagai strategi payung (overarching strategy), kebijakan nasional difokuskan pada pembangunan dan reformasi ekonomi. Rencana Pembangunan Lima Tahun sedikit sekali membahas tentang reformasi politik atau kelembagaan, demikian pula reformasi atau mobilisasi sosial. Bahkan, salah satu kontradiksi yang terlihat dari reformasi semasa Orde Baru adalah dijalankannya sejumlah lingkaran liberalisasi ekonomi dan reformasi makroekonomi dalam kerangka politik yang relative tidak diubah. Perubahan terpenting dalam proses ini adalah dihapuskannya GBHN dan rencana pembangunan lima tahunan menjadi penetapan prioritas yang lebih konsultatif. Ini disertai dengan perubahan dalam Departemen Keuangan, melalui pembentukan proses anggaran terkonsolidasi jangka panjang (multi-year consolidated budgeting) dan pendirian bendahara negara. 72

73 Karena proses konsultatif masih relatif baru, sejumlah pemangku kepentingan terus bertambah dan bahkan partai politik besarpun masih belum mengembangkan platform kebijakan yang jelas, banyak yang tergoda membandingkan GBHN dan proses kebijakan pembangunan yang relatif terstruktur semasa Orde Baru dengan proses yang terserak yang berlangsung sekarang. Meski demikian, anggapan bahwa GBHN terlihat seperti penetapan tujuan kebijakan yang terorganisasi dapat disangkal dengan menyatakan GBHN tidak lain merupakan pernyataan kehendak pribadi presiden. Lebih jauh, pada tahun 1980an, ketika Orde Baru makin menjadi sistem yang terkonsentrasi di bawah perintah Presiden, arah dan rencana pembangunan makin tersingkir oleh teman-teman dekat dan anak-anak Presiden. Dengan interpretasi seperti ini, menghilangnya GBHN hanya membawa perubahan kecil sepanjang terkait dengan penetapan tujuan pembangunan nasional. Meski kini proses penetapan prioritas bukan rencana- pembangunan menjadi kurang tepat dalam pengertian teknis, proses tersebut telah menampung serangkaian isu yang lebih kompehensif mengenai variabel politik maupun sosioekonomi, termasuk yang sensitif seperti korupsi. Dalam pengertian ini, praktik yang ada sekarang meski jauh dari sempurna dan kurang tepat (precise), namun lebih akurat. Berbeda dengan kondisi sebelum struktur sekarang terbentuk, semua perubahan perubahan yang dicatat di atas di satu sisi berarti makin kompleks dan beragamnya agenda kebijakan dan di sisi lain berarti makin banyaknya mitra dan musuh potensial. 4. Masalah yang muncul dari sistem pembuatan kebijakan saat ini Terbebani dengan agenda reformasi ekonomi dan politik yang luar biasa berat selama tujuh tahun terakhir, dengan lembaga masyarakat sipil dan pemerintahan yang tidak berfungsi menangani beragamnya isu kebijakan dan hubungan antarlembaga yang baru, membuat pemerintah baru tidak mampu membangun tanggapan yang terorganisir terhadap lingkungan yang telah berubah. 73

74 Akibatnya ialah hilangnya kendali atas agenda kebijakan, melemahnya struktur koordinasi antardepartemen, penurunan kualitas yang dramatis dalam dokumentasi latar belakang dan pengkajian alternatif pilihan kebijakan yang tersedia, dan kaburnya batas antara tanggungjawab dan kewenangan Hal tersebut menimbulkan dampak berikutnya: upaya untuk memotong struktur dan birokrasi pemerintahan melalui penciptaan organisasi baru seperti komisi khusus, lembaga penasihat, dan bahkan penasihat ahli perorangan, yang semuanya menambah ketidakpastian dalam proses pembuatan kebijakan. Banyak dari komisi-komisi yang dibentuk, misalnya komisi yang menangani pengentasan kemiskinan, telah mengalami berkali-kali perubahan bentuk hanya dalam waktu tiga tahun sehingga kehilangan banyak focus dan legitimasi, komisi lain seperti Dewan Penasihat Ekonomi hanya menambah daftar bentuk kelembagaan baru yang tidak berfungsi sejak awal. Sejumlah konsekuensi serius muncul dari menjamurnya masalah yang terkait dengan proses kebijakan. Kecuali ditangani sebagai masalah mendesak, masalah-masalah tersebut akan dengan cepat menggerogoti legitimasi yang perlu dibangun oleh system demokrasi baru. Hal ini dapat berdampak pada instabilitas politik yang panjang dan melemahkan. Atau, yang terburuk, ini akan berdampak pada berkembangnya ideology ekstrem yang akan merusak tujuan dan nilai demokrasi itu sendiri. 4.1 Hilangnya Visi Strategis dan Pengemasan Efektif Program Reformasi Barangkali dampak paling serius dari kegagalan proses kebijakan adalah ketidakmampuan untuk menyusun visi kebijakan dan program prioritas yang jelas dan dapat dikomunikasikan dan didukung publik. Kejelasan visi kebijakan selalu penting kapanpun juga. Namun kejelasan ini menjadi teramat penting khususnya di masa transisi sistemik karena melibatkan pergeseran besar dalam politik, sementara kekuatan dan keunggulan ekonomi melemah dan memburuk. Khususnya di bawah situasi seperti inilah, pertanyaan kebijakan yang penting saat ini bukan tentang hal teknis, namun tentang kepercayaan, sistem nilai, dan insentif yang berubah. Misalnya, upaya mempromosikan program keadilan sosial hanya akan berhasil jika dapat dibuat definisi yang diterima secara luas mengenai batas ketidakadilan, ketimpangan atau perbedaan ekonomi yang dapat ditoleransi 74

75 Visi strategis yang disusun secara hati-hati dan menyeluruh juga amat penting untuk memelihara keutuhan bingkai dan tahapan tiap komponen reformasi dan penetapan biaya serta kecepatan yang dibutuhkan. Tiadanya visi semacam ini pada tahun-tahun awal transisi berarti bahwa perhatian kebijakan dititikberatkan pada aspek transformasi ekonomi, melalui alokasi sumber secara tidak tepat untuk restrukturisasi perbankan dan swasta. Hal itu juga berakibat pada kokohnya kepercayaan bahwa transisi politik hanya dapat sukses dengan dukungan pemulihan ekonomi meski harus mengorbankan aspek kualitas pertumbuhan ekonomi seperti dampak lingkungan atau meningkatnya ketimpangan. Hasilnya adalah meluruhnya daya tarik demokrasi dan munculnya keraguan tentang keberlangsungan demokrasi politik. Intinya, bukan berarti pandangan tersebut keliru. Intinya adalah bahwa tanpa pemikiran strategis, demokrasi yang baru muncul hanya akan meretas jalan yang melemahkan landasan politiknya sendiri. Ini contoh yang buruk bagi pembuatan kebijakan. 4.2 Menetapkan fokus tanpa melupakan visi strategis Kegagalan untuk membangun visi strategis di Indonesia membuahkan reformasi yang oportunis atau yang secara halus disebut pragmatis, yaitu reformasi bergerak di area yang punya agen perubahan yang kuat atau di mana ada jendela kesempatan (window ofopportunity). Cara ini mungkin dapat diterima dalam situasi di mana struktur kelembagaan stabil dan memiliki legitimasi politik yang tinggi, namun di masa transisi sistemik cara ini kurang masuk akal. Tanpa peta jalan strategis yang jelas tidak mungkin menentukan bagian mana dari orde sebelumnya yang harus dipertahankan dan mana yang harus direformasi. Juga akan sulit dalam membedakan isu taktis dan pertanyaan strategis. Contoh yang bagus dalam kasus Indonesia adalah evolusi agenda reformasi tatakelola. Pertama, isu ini terlambat muncul di agenda kebijakan, baru pada tahun ketiga setelah ekonomi Indonesia kolaps. Kedua, pendekatannya masih sepotong-potong, di mana aspek ekonomi dan politik pemerintahan berampur aduk dan tidak komprehensif; tatakelola pemerintahan,antikorupsi, reformasi politik, proses anggaran yang lebih efektif dan sebagainya, namun sedikit sekali di bidang reformasi birokrasi, partai politik, regulasi dan akuntabilitas masyarakat sipil, dan proses pembuatan kebijakan. Yang lebih mengejutkan lagi dalam agenda pemerintah tidak ada diskusi mengenai 75

76 konsolidasi system politik baru atau bahkan reformasi militer, termasuk menyelesaikan bisnis militer. Pendekatan window of opportunity, khususnya menarik bagi lembaga donor yang ingin membatasi fokus dan memprioritaskan bantuan mereka, tidak terlalu berguna lagi pemerintah kecuali dijadikan bagian dari sebuah strategi reformasi yang dipikirkan matang-matang. Tanpa itu, pengawasan atas kabinet dan koordinasi antarmenteri akan dilemahkan terus oleh menteri yang punya kekuasaan lebih, atau menteri yang menerima bantuan teknis eksternal terbesar dapat mendorong agenda sektoralnya sendiri sehingga megurangi disiplin dan kredibilitas kabinet. Akibatnya bukan hanya mempersulit perumusan strategi kebijakan pembangunan nasional, namun juga mengurangi efektivitas mekanisme koordinasi antarkementerian 4.3 Hancurnya kapasitas untuk melakukan riset dan perumusan kebijakan Pendekatan yang sepotong-potong atas strategi dan reformasi pembangunan memiliki dua efek buruk yang saling terkait. Pendekatan seperti ini menciptakan kerangka kerja kebijakan yang sama sekali tidak seimbang dan prioritasnya tidak tepat. Kemudian, pendekatan ini juga mengurangi insentif untuk membangun kapasitas untuk mengenali masalah kebijakan yang muncul, instrumen dan pilihan alternatif yang dapat digunakan, dan sekaligus strategi politik untuk meraih dukungan publik dan mengurangi oposisi. Di Indonesia, tendensi dampak yang pertama, yakni lemahnya prioritas dan ketidakseimbangan kerangka kerja kebijakan, terlihat dari terlalu dititikberatkannya variabel ekonomi selama proses transisi dibanding area reformasi lain seperti kebijakan sosial, keamanan nasional, kebijakan luar negeri dan sebagainya. Titik berat pada ekonomi mungkin masuk akal bila masalah yang dihadapi terutama adalah masalah ekonomi dalam struktur politik yang stabil. Namun jika fokus yang terbatas pada ekonomi diterapkan dalam kondisi ketika keseluruhan lembaga mengalami pergeseran atau seluruh system mengalami transformasi yang luas, hal itu hanya akan mendistorsi desain kebijakan, menciptakan kementerian-kementerian super dan koordinasi di dalam kabinet menjadi lebih sulit dari biasanya. Di Indonesia masalahnya lebih kompleks, mengingat dominannya lembaga donor dan bantuan asing dalam menentukan agenda kebijakan dan lemahnya kapasitas birokrasi 76

77 dan sistem politik Indonesia untuk menghasilkan prioritas dan pilihan alternatif kebijakan. Tidak mengherankan, nyaris semua strategi dan program besar diusulkan dan dikembangkan oleh badan bilateral atau multilateral asing. Akibatnya, kepemilikan kebijakan tetap rendah, pelaksanaan strategi pembangunan memerlukan waktu yang lama dan sebagian besar di bawah harapan. Meski terlihat sebaliknya, lembaga internasional dan donor bilateral tidak memiliki kesamaan prioritas dan tujuan terkait dengan tipe dan cakupan reformasi yang mereka dukung. Sesi-sesi dalam sidang CGI menunjukkan betapa luasnya usulan reformasi dan syarat yang menyertai aliran bantuan dana dari mereka, dari syarat makroekonomi hingga kehutanan, dari tatakelola pemerintahan hingga infrastruktur pembangunan, dari pengurangan subsidi hingga pembangunan kawasan pedesaan. Rendahnya kepemilikan kebijakan dan berkembangnya agenda reformasi yang oportunistis, ditambah dengan perubahan struktur dan pentingnya badan-badan pembuatan kebijakan kunci dalam pemerintahan telah menciptakan kesalahan dalam desain dan implementasi kebijakan dalam bentuk of commission (karena melakukan kebijakan yang salah) atau of omission (karena tidak melakukan kebijakan apapun). Di sisi lain kapasitas jajaran pegawai negeri untuk bereaksi dan bernegosiasi dengan kreditor asing dan lembaga bantuan asing juga amat lemah. Hasilnya, adalah makin maraknya penggunaan bantuan teknis yang dibawa oleh program-program bantuan dalam desain dan pelaksanaan program, sebuah praktik yang dalam konteks normal akan dianggap konflik kepentingan. Hal itu juga menciptakan insentif untuk menggunakan bantuan teknis dari luar untuk menggantikan tugas aparat pegawai negeri yang ada, misalnya dalam menyiapkan policy brief berkala, menyiapkan pernyataan resmi pemerintah dalam pertemuan dan konferensi, dan bahkan dalam merancang undang-undang dan nota kesepahaman. Meski melalui praktik seperti ini barangkali kerja-kerja yang terkait usulan kebijakan dapat diselesaikan lebih cepat, hal tersebut juga menciptakan struktur pemerintahan di Indonesia yang bahkan oleh lembaga donor tidak akan ditoleransi dalam sistem mereka sendiri. Hasil yang tak terelakkan ialah amat terbatasnya kapasitas pemerintah untuk memulai sebuah kebijakan dan untuk menciptakan sistem peringatan untuk masalah-masalah 77

78 yang akan muncul. Penetapan kebijakan lalu menjadi persoalan jangka pendek, sementara reaksi yang disiapkan terhadap tekanan dan kejadian yang muncul disiapkan dengan kurang memadai. Antisipasi isu kebijakan yang melihat jauh ke depan, khususnya isu jangka panjang seperti urbanisasi, demografi, pendidikan tinggi dan sebagainya, atau bidang dengan prioritas yang kabur seperti kebijakan luar negeri dan pertahanan, sering tidak dicantumkan dalam matrik kebijakan. Konsekuensinya tidak sulit dibayangkan. Lama-kelamaan, terbatasnya kapasitas akan menurunkan motivasi birokrasi, khususnya di tingkat yang paling elit. Lembaga yang dikenal memiliki kapasitas merumuskan kebijakan misalnya Bappenas tenggelam oleh beragam insiatif kebijakan yang tidak terawasi dan respon dari dalam sistem pemerintah atas kritik publik terhadap kebijakan cenderung reaktif, bukan antisipatif. Lama-kelamaan, pegawai negeri yang terampil akan menjadi kurang terampil, dan yang sudah spesialis akan menjadi generalis. Ini tidak apa-apa bila memang dimaksudkan sebagai bagian dari strategi reformasi birokrasi di mana sebagian riset kebijakan disubkontrakkan ke perusahaan swasta atau universitas. Namun kasus Indonesia saat ini tidak demikian. Birokrasi yang terlalu lentur dan tidak pasti mengakibatkan kualitas rancangan kebijakan menurun, baik karena dibuat dalam tenggat waktu yang tidak realistis maupun karena waktu dan kesabaran yang diperlukan untuk membangun mekanisme konsultatif yang terstruktur93 dengan lembaga non-pemerintah dikompromikan. Dalam konteks inilah, bukan hanya kapasitas pemerintah dalam merumuskan kebijakan strategis yang dikompromikan dengan akibat hilangnya fokus dan kualitas, kapasitas dan keahilan kalangan nonpemerintah di dalam negeri juga tidak dapat digunakan secara optimal. 4.4 Kebijakan yang tidak efektif: kegagalan desain atau implementasi? Ketidakpuasan atas rancangan kebijakan, tumpang tindih tanggungjawab kementerian dan inisiatif kebijakan yang tidak terkoordinasi dan paralel antarkementerian dan badan-badan makin memperkuat kesan bahwa kegagalan kebijakan hanya masalah kegagalan implementasi, bukan kegagalan desain kebijakan. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa ini merupakan dikotomi yang keliru. Karena merupakan hal yang amat mendasar, hal ini akan dikutip panjang lebar dari ADB (1999, hal 740): 78

79 Kebutuhan pertama membangun aparat administrasi yang efektif adalah dengan cara mendefinisikan dan mengkomunikasikan arah dan keputusan kebijakan. Untuk itu perlu ada lembaga yang mampu menghasilkan keputusan yang konsisten, terjangkau, dan realistis untuk dijalankan. Juga ada kebutuhan untuk memperbaiki proses kebijakan agar makin transparansi dan mudah diprediksi, demi menghindari menterimenteri yang terlalu berkuasa mengambil jalan pintas untuk memenuhi kepentingan sempit mereka dan dengan mengesampingkan kepentingan bersama. Perbaikan dalam sistem kabinet dan organisasi yang terkait harus diarahkan untuk perbaikan di lima tugas dasar: (i) menyediakan informasi dan peringatan dini tentang isu kebijakan sebelum muncul di kabinet, (ii) memastikan semua kementerian dan badan yang terkait dengan suatu isu diajak konsultasi secara memadai, (iii) menyediakan analisis pendukung dan pertimbangan hati-hati atas pilihan kebijakan lain, (iv) mencatat dan menyebarluaskan keputusan yang diambil, dan (v) mengawasi pelaksanaan dan tindaklanjutnya. (garis miring oleh penulis) Jelas, tanpa rancangan kebijakan yang memuat pertimbangan hati-hati atas pilihanpilihan kebijakan atau yang memuat rencana pembiayaan dan lembaga pelaksana yang rinci, pelaksanaan kebijakan dan kegagalan pelaksanaan akan sulit dibedakan. Proses kebijakan yang ada di Indonesia sekarang masih tertinggal dibanding negaranegara lain merujuk daftar ADB (1999). Persoalan serius terutama dihadapi dalam bidang mekanisme pembiayaan dan pelaksanaan, sementara pilihan-pilihan alternatif hampir tidak pernah dipertimbangkan secara rinci. Dalam konteks seperti itulah, menyalahkan kegagalan kebijakan hanya dari sisi pelaksanaan hanya akan membuat kita tidak melihat perlunya reformasi menyeluruh dalam proses pembuatan kebijakan. 5. Kasus-kasus dalam proses kebijakan Adanya beberapa masalah dalam institusi pendukung pembuatan kebijakan di kantor kepresidenan serta tidak dimaksimalkannya beberapa dewan penasihat membuat adanya beberapa kendala di dalam proses pembuatan kebijakan. Berikut merupakan beberapa kendala dalam proses kebijakan yang terjadi di Indonesia.: 79

80 Masalah sektor riil, Kebijakan dalam percepatan pembangunan sektor riil dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah sesuai Instruksi Presiden No. 3 tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi ini melibatkan 20 menteri termasuk Sekretaris Kabinet, 3 Kepala Badan, dan Kepala-kepala daerah. Dalam mempersiapkan kebijakan, tim lintas departemen seringkali tidak berfungsi dengan baik. Proses konsultasi yang dijalankan terutama dalam mempersiapkan draft undang-undang tidak dilakukan secara mendalam Koordinasi yang lemah dalam mempersiapkan kebijakan akan berdampak pada munculnya masalah-masalah intersektoral baik dalam bidang energi, infrastruktur, pertanian, pembangunan pedesaan, tata ruang wilayah, dan manajemen sumber daya alam. Sinkronisasi undangundang serta peraturan-peraturan yang ada seringkali lemah, sehingga mengakibatkan peraturan yang saling tumpang tindih atau bertabrakan. Hal ini mengakibatkan permasalahan baru, terutama menjadi penghambat dalam meningkatkan daya saing di bidang investasi. utuh di mana dapat dijadikan payung atau buku putih dalam menjalankan kebijakan yang lebih mendetail, sehingga apa yang dilakukan memiliki keterkaitan antara satu dan lainnya (Masalah Sektor Riil ini akan dibahas lebih detail dalam laporan tersendiri). Masalah kebijakan dibidang Fiskal dimana dalam hal ini juga terdapat interaksi antara pemerintah dengan DPR. Dalam pelaksanaan fungsi yang dikuasakan Menteri Keuangan sebagaimana tertuang dalam UU No. 17 tahun 2003 masih menghadapi permasalahan sebagai berikut: (1) Kesinambungan fiskal masih belum terjamin; (2) Sistem penganggaran belum transparan dan akuntabel; (3) Sistem pelaksanaan anggaran belum berjalan dengan baik; (4) Sistem penyusunan laporan keuangan (termasuk neraca) belum memadai. DPR saat ini memiliki kewenangan yang sangat besar dalam penyusunan anggaran, tetapi interaksi antara Pemerintah dan DPR sering hanya terfokus pada proses diskusi mengenai detail pengeluaran bukan pada bagaimana mengenai pelaksanaan kebijakan. Hal ini memakan waktu yang cukup panjang dalam penyusunan anggaran. DPR terlalu memiliki wewenang yang sangat kuat dalam proses pembahasan besaran anggaran yang dirancang dalam persetujuan anggaran tahunan. Pembahasan di dalam DPR cenderung berfokus pada pospos anggaran bukan pada alokasi anggaran secara keseluruhan, prioritas 80

81 politik, dan pencapaian hasil. Realitanya, setiap pos dalam anggaran harus disetujui atau ditolak oleh DPR. Lebih lagi, DPR memiliki wewenang untuk mengubah perkiraan pendapatan dan asumsi makroekonomi yang dijadikan dasar penyusunan anggaran. (Masalah Kebijakan Fiskal akan dibahas lebih detail di dalam laporan tersendiri). 6. Rangkuman dan implikasi bagi studi lanjutan Koordinasi pusat pemerintahan terlihat masih lemah. Proses kebijakan belum sepenuhnya mencerminkan proses yang modern dan professional. Hal ini terlihat dari lemahnya pendekatan lintas sektor dan strategik. Demikian pula halnya dengan kebijakan yang mengantisipasi atau memandang ke depan (forward looking). Oleh karena itu pula tidak tampak peran koordinasi strategik dari negara atau pemerintahan modern. Fungsi-fungsi penting seperti perumusan kebijakan strategik (seperti strategy unit di Inggris) dan implementasi kebijakan strategik yang terpadu (seperti delivery unit yang ada di Inggris, atau implementation unit di Australia) masih belum tampak. Kapasitas masing-masing lembaga kebijakan juga tampak masih jauh dari memadai. Selain kurangya dukungan staf dan anggaran bagi riset kebijakan, banyak lembaga-lembaga yang perannya saling tumpang tindih. Dalam kaitan dengan pengembangan kelembagaan di masa depan, salah satu kajian akan diarahkan kepada kapasitas masing-masing lembaga strategik kebijakan tersebut secara rinci. Kajian ini akan menggunakan beberapa kasus kebijakan yang penting yang diambil pada masa lalu maupun kajian tentang mengapa kebijakan tertentu yang sesungguhnya penting seperti kebijakan enerji atau perluasan kesempatan kerja belum dilakukan. Kajian tentang kapasitas kelembagaan ini tidak terbatas kepada lembagalembaga yang telah disebutkan di atas akan tetapi juga akan meliputi 81

82 BAPPENAS yang secara potensial bisa dikembangkan menjadi semacam strategy unit dari Kantor Kepresidenan. 82

83 Proses Pembuatan Kebijakan Perencanaan Pembangunan dan Penganggaran di Indonesia Soekarno Wirokartono Anggota Tim Ahli Bidang Ekonomi dan Perencanaan Pembangunan 1. Latar belakang Pembangunan adalah proses perubahan yang multidimensional dan dinamik, tidak hanya berisi tentang transformasi berbagai sumber daya yang bisa dicermati dan ditangani secara teknis, tetapi juga mengandung dimensi-dimensi ekonomi politik dalam interdependensi global yang kompleks. Semasa Orde Baru, strategi national dirumuskan melalui Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dikeluarkan oleh sidang lima tahunan MPR yang juga menerima pidato pertanggungjawaban presiden yang berisi kesuksesan pemerintah dalam memenuhi tujuan GBHN periode lima tahun sebelumnya. GBHN kemudian dijabarkan menjadi Rencana Pembangunan Lima Tahun dan Rencana Pembangunan Tahunan melalui pembahasan oleh Bappenas bersama sejumlah menteri terkait di bawah arahan ketat Presiden. Target dan anggaran untuk kementerian yang disepakati melalui proses tersebut lalu disampaikan kepada Menteri Keuangan, yang kemudian mengurus pembagian anggaran dan akuntansinya Proses perencanaan pembangunan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran Kementerian Negara PPN/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Badan yang direorganisasi pada tahun 1967 ini pernah dianggap sebagai super body, karena memiliki kewenangan yang besar pada perencanaan, persetujuan program pembangunan, penyusunan anggaran pembangunan hingga pengawasan. Kini, peran Bappenas telah bertransformasi sesuai dengan beberapa perundang-undangan. 83

84 2. Tujuan, ruang lingkup dan metodologi penelitian 2.1. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: Mengidentifikasi permasalahan yang ada dalam proses pembuatan kebijakan perencanaan pembangunan dan anggaran nasional. Memetakan pemain, sistematika dan prosedur dari proses pembuatan kebijakan perencanaan pembangunan dan anggaran nasional. Menganalisis kelemahan dan kelebihan dari beberapa studi kasus proses perencanaaan pembangunan ataupun kebijakan anggaran. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah tentang pandangan normatif dari proses pengambilan kebijakan perencanaan pembangunan dan penganggaran di Indonesia Secara khusus, menganalisa posisi Bappenas dalam konteks perencanaan pembangunan dan penganggaran nasional Ruang lingkup Permasalahan mengenai perencanaan pembangunan dan anggarannya secara umum dilakukan oleh hampir seluruh level dan sektor dari pemerintah Indonesia. Namun, secara khusus kewenangan yang lebih mendalam tentang hal ini berada di area Kementerian PPN/Bappenas dan Departemen Keuangan. Penelitian ini akan membatasi ruang lingkupnya terutama pada peran Bappenas dan juga Departemen Keuangan dalam menyusun perencanaan kerja pemerintah dan prioritas APBN, beserta proses dalam kebijakan anggaran di Indonesia. Sebagai catatan, kami akan lebih fokus terhadap institusi Bappenas. Hal ini karena perubahan yang besar pada era post-soeharto di dalam proses kebijakan perencanaan pembangunan dan anggaran. Analisis dan rekomendasi penelitian ini juga akan berfokus pada bagaimana proses perencanaan dan anggaran di Indonesia harus dilakukan. Dalam penelitian ini, kami juga akan menyertakan keterlibatan badan/institusi lain yang terkait dengan proses kebijakan dan anggaran, seperti: DPR, BPK, BPKP dan sebagainya. Ruang lingkup Bappenas secara khusus akan dilihat pada proses penyusunan RPJP, RPJM, RKP dan pendukung penyusun APBN. Selain itu, dilihat juga perannya pada siklus anggaran dan pengawasannya. Departemen Keuangan akan lebih banyak terkait pada siklus anggaran dan evaluasinya. 84

85 2.3. Metodologi Penelitian Untuk mencapai tujuan penelitian, dibutuhkan suatu cara ataupun alur kerja yang bertahap. Tahapan yang akan dipergunakan pada penelitian ini dibuat mengacu pada skema karya ilmiah standar, kecuali pada bab IV yang berisi tentang analisis tentang beberapa kasus yang merepresentasikan proses perencanaan dan anggaran pembangunan nasional. Hal ini dikarenakan belum adanya penelitian sejenis yang dapat dijadikan pegangan. Rumusan dan tata cara penelitian ini kami buat secara eksperimen dan proses trial and error. Walau begitu, kami juga tetap memiliki beberapa acuan penelitian mengenai proses kebijakan, seperti laporan yang dibuat oleh Strategic Policy Making Team Cabinet Office (1999) di Inggris yang berjudul Professional Policy Making for The 21st Century ; Modernising Government yang disusun oleh Perdana Menteri dan Minister for the Cabinet Office (UK-1999); dan juga Tackling Wicked Problems: A Public Policy Perspective yang disusun oleh Australian Public Service Comission pada tahun Beberapa publikasi jelas belum juga memberikan arahan yang jelas tentang proses kebijakan di Indonesia, namun hanya memberikan sebuah gambaran normatif proses kebijakan yang baik di negara lain yang sudah teruji. Pertama-tama, kami jelas membutuhkan data tentang landasan hukum yang mengatur tentang definisi, mandat, proses pembuatan kebijakan, evaluasi perencanaan dan anggaran pembangunan nasional. Hasil dari data ini akan dipergunakan dalam mengkaji dan melihat kapasitas dan regulasi internal dari lembaga-lembaga terkait. Data keduanya dapat dengan mudah diakses secara on-line maupun dari berbagai publikasi. Langkah berikutnya, kami berusaha mengukur mutu dari sistem perencanaan kebijakan tersebut; ataupun membandingkan proses perencanaan secara de jure dan de facto. Untuk itu sistem yang sudah ada diletakkan dalam studi kasus. Studi kasus akan memudahkan kita untuk memetakan bagaimana sebenarnya dan seharusnya proses perencanaan pembangunan dan anggaran dibuat. Di dalam analisis tersebut, kami akan melihat faktor kelembagaan, faktor kerangka peraturan, faktor sistematika perencanaan dan evaluasi, faktor output, dan faktor kepuasan (opini) publik. Data yang akan dipergunakan akan berasal dari studi literatur dan data primer berdasarkan hasil in-depth interview dengan pelaku yang pernah/sedang terlibat dengan proses pembuatan kebijakan perencanaan pembangunan dan anggaran. 85

86 3. Policy Regime mengenai perencanaan pembangunan dan anggaran di Indonesia Pembangunan nasional tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan sumber daya pendukungnya. Sumber daya tersebut dapat berupa manusia, alam, teknologi maupun kapital (pendanaan). Untuk mencapai goals atau target pembangunan, Indonesia membutuhkan suatu landasan ataupun haluan untuk mengatur alokasi penggunaan sumber daya, yang sudah terlebih dahulu dirumuskan sebelum tahap pelaksanaan. Haluan ini dapat dijadikan suatu modul ataupun pegangan proses pembangunan, yang harus melalui suatu mekanisme perencanaan. Bappenas sebagai think-thank internal pemerintah bukan hanya khusus di Indonesia saja. Pada mulanya ide tentang sekelompok atau lembaga ahli atau wizzkids berasal dari Departemen Pertahanan AS di bawah kepempinan Robert McNamara pada 1960-an. Satu dekade setelahnya, ide itu menyebar ke berbagai departemen dan agen pemerintah lainnya. Di era Nixon-Ford, think-thank benar-benar berjaya karena mereka membentuk kantor Planning, Research and Evaluation (PR&E) di Office of Economic Opportunity (sekitar tahun 1964) dan kemudian Domestic Council Staff pada 1970 (Williams, 1992). Di Inggris, terlihat dari dibentuknya Central Policy Review Staff (CPRS) oleh Edward Health pada Perencanaan pembangunan sendiri memiliki definisi yang bermacam-macam. Para ekonom sudah jauh hari mencoba merumuskan apa yang disebut dengan perencanaan pembangunan yang didasari oleh filosofi/mazhab ekonomi yang dipegangnya. Proses penyusunan anggaran negara merupakan rangkaian aktivitas yang melibatkan banyak pihak, termasuk semua departemen dan lembaga, dan DPR. Menurut Prof Dr. Widjojo Nitisastro, perencanaan pada dasarnya berkisar pada 2 hal, yang pertama adalah penentuan secara sadar mengenai tujuan konkrit yang hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu atas dasar nilai-nilai yang dimiliki masyrakat yang besangkutan; dan yang kedua ialah pilihan di antara cara-cara alternatif yang efisien serta rasional guna mencapai tujuan-tujuan tersebut, baik untuk penentuan tujuan yang meliputi jangka waktu tertentu maupun bagi pemilihan caracara tersebut diperlukan ukuran atau kriteria-kriteria tertentu yang terlebih dahulu harus dipilih. Conyers & Hills (1994) mendefinisikan perencanaan sebagai suatu proses yang bersinambungan, yang mencakup keputusan-keputusan atau pilihanpilihan berbagai aiternatif penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan datang. 13 Wayne Parsons, Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of Policy Analysis. Edward Elgar Publishing, Ltd,

87 3.1. Regulasi dan struktur Perencanaan pembangunan dan hal mengenai anggaran sudah diatur oleh beberapa produk hukum, dari Undang-undang hingga Peraturan Menteri. Beberapa produk hukum penting dan mendasar mengenai hal ini adalah: Undang - undang Peraturan Pemerintah UU No 13 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara UU No 23 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah UU No 14 Tahun 2004 tentang Audit Keuangan Negara PP No 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah PP No 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga PP No 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah Bappenas Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional adalah unsur pelaksana pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab pada Presiden secara langsung. Bappenas sendiri adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang notabene berada di bawah koordinasi kementrian (dalam hal ini Menneg PPN). Namun, mengacu pada Permen PPN No 01/M.PPN/09/2005 dan Keppres No 3 Tahun yang menyebutkan bahwa jabatan Menteri PPN dan Kepala Bappenas dijabat oleh individu yang sama 14 -, maka secara otomatis Bappenas dan Kementrian Negara PPN seolah-olah adalah insitusi yang sama. Sedangkan pada pasal 17A Keppres No 4/2002, disebutkan pula bahwa sekretaris dan deputi Menteri Negara PPN sekaligus menjadi sekretaris dan deputi Bappenas. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan 14 Sebenarnya dimulai sejak masa kepemimpinan Prof.Dr. Widjojo Nitisastro sebagai Kepala Bappenas, lewat Keppres No 64/1971. Pada pasal 106 Keppres No 3/2002 tersebut juga disebutkan bahwa Menteri PPN mengkoordinasikan Bappenas dan BPS. 87

88 Perencanaan Pembangunan Nasional mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang perencanaan pembangunan. Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian Negara PPN/Bappenas menyelenggarakan fungsi (Permen PPN No 01/M.PPN/09/2005), yang merupakan penjabaran lebih mendetail dari mandat untuk Bappenas dalam UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional: a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJP Nasional); b. penjabaran Visi, Misi dan Program Kerja Presiden ke dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJM Nasional); c. penyusunan rencana kerja pemerintah (RKP); d. pengkoordinasian dan perumusan kebijakan pemerintah di bidang perencanaan pembangunan nasional; e. pengkajian kebijakan pemerintah di bidang perencanaan pembangunan nasional; f. pemantauan, evaluasi, dan analisis di bidang perencanaan pembangunan nasional; g. mendukung penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN); h. koordinasi, fasilitasi, dan pelaksanaan pencarian sumber-sumber pembiayaan dalam dan luar negeri, serta pengalokasian dana untuk pembangunan bersama-sama instansi terkait; i. koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; j. fasilitasi dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang perencanaan pembangunan nasional; k. penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden. Secara singkat, dari beberapa fungsi di atas dapat dilihat bahwa Bappenas merupakan badan yang secara formal memiliki mandat dan tanggungjawab: (1) perencanaan dan kajian pembangunan, yakni: penyusunan RPJP Nasional, RPJM Nasional, RKP, RAPBN; (2) koordinasi pembangunan; (3) pendukung pembiayaan dan alokasi anggaran pembangunan; (4) evaluasi dan pemantauan perencanaan pembangunan. 88

89 Departemen Keuangan Berdasarkan UU Keuangan Negara No 17/2003, maka Departemen Keuangan diserahi tanggung jawab dalam penyusunan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro; rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN; serta pengesahan dokumen pelaksanaan anggaran (pasal 8). Ketiga hal tesebut memberikan porsi tanggungjawab lebih besar yang selama ini diemban oleh Bappenas. DepKeu sendiri kemudian membentuk Ditjen Perbendaharaan Negara yang memiliki fungsi Ditjen Anggaran (sebelum UU 17/2003) dan juga Badan Akuntansi dan Keuangan Negara. Sedangkan Ditjen Anggaran akan terfokus pada fiskal dan penyusunan anggaran. Departemen Keuangan akan bertindak dalam penilaian permintaan anggaran oleh Kementrian/Lembaga terkait, sesuai dengan: anggaran berbasis kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah, unifikasi anggaran dengan re-klasifikasi terhadap kategori anggaran dan transparan. Pasal 8 UU Keuangan Negara 17/2003: Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut : a) menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro; b) menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN; c) mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran; d) melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan; e) melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undang-undang; f) melaksanakan fungsi bendahara umum negara; g) menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN; h) melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan undang-undang. Tugas Dirjen Anggaran, Depkeu: merumuskan serta melaksanakan kewajiban dan standarisasi teknis di bidang penganggaran sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berdasrkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fungsinya: (1) penyiapan perumusan kebijakan Depkeu di bidanga penganggaran; (2) pelaksanaan kebijakan di bidang penganggaran; (3) penyusunan standar, norma, pedoman kriteria dan prosedur di bidang penganggaran; (4) pelaksanaan administrasi Dirjen. Dirjen Perbendaharaan tugasnya: merumuskan serta melaksanakan kebijakandan standarisasi teknis di bidang perbendaharaan negara sesuai dengan kebijakan yang 89

90 ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Badan Kebijakan Fiskal, tugasnya: melaksanakan analsis di bidang kebijakan fiskal dan kerjasama internasioanl sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Funginya: (1) perumusan rekomendasi kebijakan pendapatan negara, belanja negara, ekonoi dan keuangan; (2) perumusan rekomendasi pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro serta proyeksi-proyeksi asumsi dasar ekonomi makro jangka menengah; (3) analisis atas usulan rumusan kebijakan pendapatan, belanja dan ekonomi dan keuangan; (4) perumusan, pelaksanaanm dan evaluasi kerjasama ekonomi dan keuangan internasional; (5) analisis, evaluasi dan pengelolaan risiko fiskal; (6) pengkajian kebijakan ekonomi, keuangan dan fiskal; (7) evaluasi atas pelaksanaan kebijakan pendapatan negara, belanja negara, ekonoi dan keuangan; (8) pemantauan perkembangan ekonomi dan keuangan; (9) penyusnan dan pengembangan model ekonomi dan keuangan; (10) penyelenggaran sosialisasi kebijakan fiskal; (11) pengelolaan data dan statsitik; (12) koordinasi pelaksanaan kegiatan tim tarif; (13) administrasi badan Lembaga lainnya (DPR, lembaga pemeriksa pembangunan, departemen terkait) UU Keuangan Negara juga memberikan porsi yang besar bagi suara Dewan Perwakilan Rakyat. Ini juga merupakan derivasi dari amandemen UUD 1945 yang menyebutkan DPR melakukan fungsi anggaran, yang berbeda pada masa sebelumnya. Pada pasal 15 ayat (3) disebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Undang-undang tentang APBN. Sedangkan, pada ayat (4): Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. Atau dengan kata lain UU APBN harus disahkan maksimal pada bulan Oktober, karena tahun anggaran dimulai dari 1 Januari. APBN yang disetujui oleh DPR tersebut juga harus rinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja (ayat 5). Hal inilah yang nantinya akan menjadi permasalahan baru di sisi penyusunan anggaran Proses kebijakan Mandat Bappenas dalam penyusunan rencana pembangunan memiliki implikasi dalam tahap-tahap alur penyusunan rencana pembangunan. Apa sajakah rencana 90

91 pembangunan yang dimaksud? Institusi manakah yang terkait dalam perencanaan dan anggaran pembangunan? Bagaimana mekanisme penyusunan rencana pembangunan? Bagaimanakah sistematika kerja Bappenas pada konteks admisnistrasi anggaran? Adakah batasan waktu yang ditetapkan? Sedangkan, adanya UU Keuangan Negara 2003 telah memberikan kewenangan dan mandat yang lebih luas bagi Departemen Keuangan dalam proses perencanaan dan anggaran. Siapa saja pihak yang terlibat dalam proses anggaran? Bagaimanakah alur kerja persetujuan anggaran? Apakah ada kontrol dan evaluasi anggaran? Alur kerja penyusunan perencanaan pembangunan dan anggaran Rencana pembangunan nasional yang harus disusun oleh Bappenas terdiri atas: RPJP, RPJM, RKP dan dukungan dalam RAPBN. Seluruh dokumen tersebut pada dasarnya saling terkait dan mengacu. RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) adalah dokumen arah pembangunan nasional untuk kurun waktu 20 tahun ( ), yang berperan dalam menggantikan kekosongan haluan negara post-gbhn. RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) adalah dokumen rencana pembangunan pemerintah selama 5 tahun atau dalam 1 periode presiden yang terpilih. RPJM disusun dengan berpedoman pada RPJP. RKP (Rencana Kerja Pemerintah) adalah dokumen perencanaan pemerintah yang diderivasikan dari RPJM. RKP merupakan rencana kerja untuk 1 tahun anggaran (Januari-Desember) berisi mengenai target, program, proyek dan misi pemerintah dalam 1 tahun pemerintahan. RAPBN sendiri dibentuk dengan RKP sebagai acuan awal. Maka, antara RAPBN dengan RPJP seharusnya memiliki benang merah. Menurut UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Bappenas memiliki tanggung jawab untuk mengkoordinasikan perencanaan pembangunan dengan penyelenggaraan Musyawarah Pembangunan Nasional (Musrenbang) yang bertujuan mendapatkan hasil rancangan akhir RKP, RPJM dan RPJP. Penyelenggaraan Musrenbang sendiri dapat diklasifikasikan atas 2 level, yakni pusat dan daerah. Musrenbang daerah/provinsi merupakan musyawarah yang membicarakan aspirasi daerah dari level terendah (desa/kelurahan hingga tingkat kabupaten./kota), dengan Bappeda sebagai penanggung jawabnya. Bappenas akan bertanggung jawab untuk menyelenggarakan Musrenbang Pusat dan Musrenbang Nasional. Hal ini juga telah diatur secara rinci pada PP No 20 & 21 Tahun 2004 (yang mengacu pada UU No 25 Tahun 2004). Sebelum era desentralisasi, proses perencanaan pembangunan daerah lebih bersifat sentralistis. Dalam proses itu, pemerintah daerah menerima agenda perencanaan pembangunan dari pusat untuk selanjutnya menjalankannya dalam kerangka memenuhi jadwal atau agenda perencanaan yang telah menjadi pola baku 91

92 yang ditetapkan pemerintah pusat. Implikasi lebih jauh dari proses tersebut adalah ketergantungan pemerintah daerah yang semakin besar kepada pemerintah pusat. Menurut PP No 20 & 21 Tahun 2004, Kementrian Negara PPN akan menyusun rancangan awal Rencana Kerja Pemerintah, yang kemudian akan dirundingkan oleh Departemen Keuangan. Hasil dari koordinasi antara Depkeu dan Bappenas akan berbentuk Surat Edaran Bersama Prioritas Program dan Indikasi Pagu. Kementerian Perencanaan menelaah rencana kerja yang disampaikan Kementerian Negara/Lembaga dengan berkoordinasi terlebih dahulu dengan Kementerian Keuangan (PP No 21/2004 pasal 9 butir 3). Kementrian Negara/Lembaga akan membawa rancangan Rencana Kerja Kementrian/lembaga yang sudah disesuaikan berdasar SEB untuk dijadikan bahan penyusunan rancangan akhir RKP. Setelah sidang kabinet menyetujui RKP dan dikeluarkan Keppres tentang RKP, maka tugas Bappenas selanjutnya adalah menelaah konsistensi Rencana Kerja Anggaran Kementrian-Lembaga (RKA-KL) yang telah dibicarakan di DPR, dengan RKP. Sedangkan Depkeu melakukan penelahan RKA-RKL dengan prioritas anggaran. Hasil penelahan keduanyta akan dijadikan bahan lampiran RAPBN yang akan diajukan kepada DPR. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam proses penyusunan RKP dan APBN, Bappenas memiliki fungsi dan tugas: (1) penyusunan rancangan awal RKP berdasar RJPM Nasional; (2) bersama Menteri Keuangan menyusun Surat Edaran Bersama prioritas program dan indikasi pagu untuk dijadikan acuan penyusunan rancangan Renja KL; (3) merumuskan rancangan akhir RKP degan mempertimbangkan rancangan awal RKP dan rancangan Renja KL; (4) menelaah konsistensi isi dari Keppres RKP dengan hasil pembahasan RKA-KL di DPR, untuk bahan pembuatan lampiran RAPBN. Perencanaan mengacu ke masa depan. Salah satu unsur penting dalam perencanaan adalah unsur waktu. Tujuan-tujuan perencanaan dirancang untuk dicapai pada masa yang akan datang. Di dalam PP No 20& 21, disebutkan pula tentang jangka waktu (time line) penyusunan perencanaan pembangunan. 92

93 PROSES PENYUSUNAN KEBIJAKAN STRATEGIS PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN Daerah Kementrian Sumber: diambil PP No 21 Tahun 2004 Dari bagan di atas dapat kita telusuri tentang proses penyusunan Rencana Kegiatan Pemerintah hingga disahkan menjadi APBN. 1. Bappenas menyusun rancangan awal RKP yang berpedoman pada RPJM untuk dibawa pada sidang kabinet. 2. Bappenas dan Departemen Keuangan kemudian menyusun Surat Edaran Bersama mengenai Prioritas Program dan Pagu Indikatif. 3. SEB dan rancanagan awal RKP tersebut akan dijadikan acuan penyusunan rancangan Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja K/L). 4. Rancangan Renja K/L akan dijadikan bahan penyusunan rancangan akhir RKP untuk kemudian dibawa kembali pada sidang kabinet. 5. Sidang kabinet akan menyusun bahan pokok-pokok kebijakan fiskal serta pengesahan RKP dengan Keppres. 6. Pokok-pokok kebijakan fiskal dan RKP akan dibahas antara pemerintah pusat dengan DPR RI. Hasil dari pembahasan tersebut akan berupa kebijakan umum dan prioritas anggaran. 93

94 7. Kebijakan umum dan prioritas anggaran akan dipergunakan sebagai dasar Surat Edaran Pagu Sementara yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan. 8. Surat Edaran tersebut akan dijadikan acuan pemantapan Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga, yang kemudian akan dibawa pada Sidang DPR per komisi terkait. 9. RKA K/L ini juga akan ditelaah konsistensinya dengan isi Keppres mengenai RKP, oleh Bappenas. Sedangkan Depkeu akan menelaah konsistensi RKA K/L dengan prioritas anggaran. Hasil penelaahan Depkeu dan Bappenas akan disarikan menjadi Lampiran RAPBN/himpunan RKA KL (yang penyusunannya di bawah tanggung jawab Departemen Keuangan). 10. Lampiran RAPBN ini dibawa pada sidang kabinet, yang bertujuan untuk membahas finalisasi Nota keuangan RAPBN dan lampiran. Hasil sidang kabinet ini kemudian akan dibawa pada DPR sebagai pembahasan mengenai RAPBN. 11. Jika RAPBN tersebut disepakati, maka dibuatlah UU APBN untuk tahun anggaran berikutnya. UU APBN tersebut akan dikaji oleh DepKeu dalam rangka penyusunan rancangan Keppres tentang rincian APBN. 12. Rancangan tersebut akan dibahas dalam sidang kabinet untuk kemudian difinalisasikan menjadi Keppres tentang Rincian APBN. 13. Keppres ini oleh Kementerian/Lembaga akan dijadikan acuan pembuatan konsep dokumen pelaksanaan anggaran. Dokumen tersebut menunggu persetujuan Departemen Keuangan untuk disahkan sebagai dokumen petunjuk anggaran yang dimiliki Kementerian/Lembaga untuk periode anggaran berikutnya Siklus dan evaluasi atas pelaksanaan pembangunan dan anggaran Pasal 12 UU Keuangan Negara 17/2003, ayat (1) APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara; ayat (2) Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Pasal 14 UU Keuangan Negara 17/2003. Ayat (1) menyebutkan: Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/ pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga tahun berikutnya. (2) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. (3) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun (4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat 1 disampaikan kepada Dewan 94

95 Perwakilan Rakyat untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN. (5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 23 UU Keuangan Negara 17/2003: (1) Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR. (2) Pinjaman dan/atau hibah yang diterima Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah/Perusahaan Negara/ Perusahaan Daerah. Pasal 26: (1) Setelah APBN ditetapkan dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Sesuai dengan UU No 25 Tahun 2004 tentang SPPN, bahwa pimpinan kementeria/lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah harus melakukan evaluasi kinerja pelaksanaan recana pembangunan kementrian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah pada tahun sebelumnya. Selanjutnya menteri PPN menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi pimpinan kementerian/lembaga. Hasil evaluasi tersbut menjadi bahan penyusunan rencana pembangunan untuk periode berikutnya. Pemantauan dan evaluasi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan proses perencanaan (pasal 28 dan 29). Untuk menjadi suatu badan yang memiliki kemampuan untuk mengawal/mengawasi jalannya proses pembangunan beserta anggaran yang digunakannya, Bappenas memerlukan suatu input yang berupa data, informasi ataupun referensi yang akurat dan terstruktur sehingga dengan mudah digunakan sebagai landasan penyusunan perencanaan daerah yang baik. Maka dari itu dibutuhkan suatu Sistem Informasi menyeluruh yakni: Sistem Informasi dan Manajemen Perencanaan Pembangunan Nasional (Simrenas). Pencatatan data dan informasi dari daerah akan mendukung Simrenas. Secara umum, kendala atau hambatan dalam hal ketersediaan data adalah masalah selang waktu (lag time) antara penerbitan data dan tahun data tersebut. Misalnya, data yang rutin dipublikasi BPS seperti Buku Daerah dalam Angka, Keuangan Daerah, dan lain-lain. mempunyai lag time 1 2 tahun dengan tahun penerbitannya. Konsekuensi keadaan demikian adalah perencanaan menjadi kurang akurat karena dilandasi data yang tidak mutakhir. Oleh karena itu, perlu upaya mempercepat dan saling meng-update data yang sangat dibutuhkan untuk perencanaan. Peran ganda Panduan Bappenas dalam pengisian data pembangunan adalah mengisi kekurangan akan kebutuhan data daerah, sekaligus 95

96 dapat menggugah pihak daerah untuk terus memperbaharui data pembangunan daerahnya. Monitoring dan evaluasi impelementasi pembangunan dan penggunaan anggaran berada di bawah tanggung jawab Presiden lewat badan audit internal yang akan ditunjuk. Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan. 4. Analisis studi kasus proses kebijakan perencanaan dan anggaran Untuk mengetahui kelemahan proses pembuatan kebijakan di bidang perencanaan dan anggaran pembangunan nasional, maka diperlukan suatu studi kasus yang tidak hanya dapat memetakan permaslahan yang ada secara abstrak, namun melihat ke dalam dengan belajar dari persoalan yang muncul. Analisis kasus ini secara umum akan bermuara pada peran Bappenas, sebagai lembaga yang kini memiliki kewenangan kecil yang bergerak dalam tataran perencanaan yang lebih sulit untuk diukur parameter keberhasilannya. Pada dasarnya, penentuan kasus yang dapat diajukan agar kita dapat memahami peliknya persoalan yang ada dalam proses perencanaan dan anggaran pembangunan tidak mudah untuk ditemui. Pada penelitian ini, kami akan mencoba membedah alur kerja proses pembuatan kebijakan untuk mendapatkan perspektif yang lebih mendalam tentang kelemahan maupun kelebihan yang ada. Kasus yang akan diangkat adalah (secara berturut-turut): (i) mekanisme musyawarah rencana pembangunan nasional (musrenbangnas) dalam penyusunan rancangan akhir Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Kasus ini akan mencoba mencermati efektifitas dan kajian politik-ekonomi di dalamnya; (ii) kebijakan dan alur anggaran, terutama pada penyusunan dan pelaksanaan. Kasus ini akan memperlihatkan berbagai permasalahan yang bersumber pada proses kebijakan anggaran seperti: penyerapan yang lamban, penyusunan prioritas, periodesasi anggaran dan sebagainya; (iii) peran Bappenas dalam penanggulangan bencana alam nasional. Penanganan bencana alam sebenarnya tidak berada dalam kazanah kewenangan utama Bappenas, namun dampak bencana pada suatu daerah terpaksa melibatkan peran aktif Bappenas dalam proses perencanaan, pengarah dan pengawasan. Selain itu, akan dibahas juga kebijakan anggaran dalam penanggulangan bencana; (iv) monitoring dan evaluasi pembangunan nasional. Kasus ini akan 96

97 memperlihatkan proses pemantauan, pemeriksaan, dan penilaian atas kinerja pembangunan yang secara garis besar disusun oleh Bappenas dan Departemen Keuangan Musrenbang: partisipasi publik dalam menyusun rencana kerja pemerintah (RKP) Untuk menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2007, yang berfungsi sebagai dokumen perencanaan tahunan, Pemerintah menyelenggarakan Rapat Koordinasi Pusat (Rakorpus) atau Musrenbang Pusat, Musrenbang Provinsi dan Musrenbang Nasional. Musrenbang nasional sendiri bertujuan untuk mendapatkan keselarasan antara RKPD dan RKP, maka penyusunan RKP memerlukan masukan dari daerah, khususnya yang akan mempengaruhi kegiatan pembangunan yang terkait dengan pendanaan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan di daerah. Seluruh masukan dari forum dialog pada Musrenbangnas ini selanjutnya akan ditindaklanjuti oleh Kementerian Negara PPN/Bappenas bersama-sama seluruh kementerian/lembaga terkait di dalam penyempurnaan naskah akhir RKP untuk selanjutnya dilaporkan pada Sidang Kabinet pembahasan RKP untuk tahun berikutnya (yang akan ditetapkan dalam Pepres). Sedangkan, untuk menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), yang berfungsi sebagai dokumen perencanaan tahunan, Pemerintah Daerah perlu menyelenggarakan forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) secara berjenjang, mulai dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota hingga tingkat provinsi, termasuk penyelenggaraan Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (Forum SKPD) di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota. Hasil dari Musrenbang daerah akan dijadikan pertimbangan dalam Musrenbang Nasional yang diadakan oleh Bappenas. Waktu pelaksanaan Musrenbang dari tingkat desa/kelurahan hingga tingkat nasional akan diatur berdasarkan Surat Edaran Bersama Menneg PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri mengenai Petunjuk Teknis Pelaksanaan Musrenbang. Tujuan diadakannya mekanisme musrenbang adalah untuk menangkap aspirasi publik yang diwakilkan pada peserta musrenbang di setiap level pemerintahan, untuk kemudian dikaji dan disinkronisasikan sebagai Rencana Kegiatan Pemerintah (baik pusat maupun daerah) tahun berikutnya. Hal ini diadakan agar masyarakat dapat memberikan masukan serta menumbuhkan keterlibatan mereka dalam proses 97

98 pembangunan. Adanya desentralisasi dan kebangkitan demokrasi tentu berimbas pada besarnya porsi suara publik dalam menentukan arah pembangunan. Penentuan arah dan rencana pembangunan secara sepihak oleh pemerintah pusat menjadi rentan terhadap penolakan, kecemburuan dan lemahnya sense of belonging dari publik secara umum. Walau begitu, mekanisme perencanaan dari bawah sebenarnya sudah dimulai semenjak era-soeharto. Pada masa itu, mekanisme perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional terutama pembangunan daerah, mengacu kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri No.9 Tahun 1982 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah atau yang lebih dikenal sebagai P5D. Pedoman ini pada dasarnya menganut perencanaan berjenjang dari bawah keatas dari mulai tingkat desa sampai dengan tingkat nasional. Ritual mekanisme perencanaan ini dimulai dengan Musbangdes ditingkat Kelurahan atau Desa, kemudian Temu Karya Pembangunan ditingkat Kecamatan, Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) DT II di Kabupaten atau Kotamadya, dan Rakorbang DT I untuk tingkat propinsi. Sedangkan untuk beberapa propinsi yang terletak pada suatu wilayah pengembangan utama atau mempunyai kepentingan bersama dilakukan Konsultasi Regional Pembangunan (Konregbang), untuk kemudian bermuara pada Konsultasi Nasional Pembangunan (Konasbang) di tingkat pusat. Didalam setiap pertemuan perencanaan pembangunan sebetulnya diharapkan terjadi interaksi antar pelaku (stake holders) pembangunan dan penerima manfaat hasil pembangunan yang berada di daerah. Misalnya saja pada penyelenggaraan Musbangdes masyarakat desa atau kelurahan selaku penerima manfaat langsung dari hasil pembangunan seharusnya turut berpartisipasi menentukan jenis kegiatan yang akan dilaksanakan dan mengetahui dampak yang akan ditimbulkan serta "social cost" yang harus dibayar. Sepertinya pertemuan ini sudah sangat ideal dan memadai namun pada pelaksanaannya hak masyarakat dan partisipasi masyarakat ini hanya diwakili oleh LKMD, sedangkan Rakorbang yang berada di DT II umumnya hanya diikuti oleh aparat pemerintah dan perwakilan DPRD yang biasanya diwakili oleh anggota panitia anggaran, tidak ada lagi keterlibatan masyarakat awam didalam proses perencanaan pembangunan selanjutnya. Peserta dari birokrasi biasanya berasal dari dinas-dinas sektoral. Yang diharapkan didalam penyelenggaraan Rakorbang ini sebenarnya adalah terjadinya pemadu-serasian antara pendekatan "top down" yang dimiliki oleh instansi sektoral dan pendekatan "bottom up" yang diemban oleh instansi daerah berdasarkan dari usulan masyarakat melalui Musbangdes dan Temu Karya Pembangunan. Didalam prakteknya forum ini lebih bersifat pemangkasan usulan atau keinginan daerah oleh instansi diatasnya dengan alasan prioritas dan ketersediaan dana. Hasil dari Konasbang dihimpun dan dievaluasi oleh Bappenas, disusun menurut prioritasnya, sesuai dengan anggaran yang tersedia. Mekanisme tersebut kini bertransformasi 98

99 menjadi Musrebang (yang diatur dalam UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional), namun tetap menempatkan peran yang besar pada Bappenas. Model perencanaan dengan skema Musrenbang dapat memberikan dua manfaat nyata yaitu: (1) dapat mendorong meningkatkan partisipasi, prakarsa, dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah. (2) memperbaiki alokasi sumberdaya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat yang lebih rendah. Untuk lebih jelas mengenai mekanisme ini, selanjutnya akan dipaparkan secara singkat mengenai profil dari musrenbang pusat, musrenbang daerah (dari level desa hingga provinsi) dan musrenbang nasional. Skema Makro dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Apakah input dan outputnya? Siapakah peserta dan penanggung jawab? Bagaimanakah pelaksanaan Musrenbang? Musrenbang nasional April-Mei Musrenbang provinsi/daerah Sebelum April Musrenbang /Rakorbang pusat Musrenbang kota/kabupaten Sebelum Maret Musrenbang kecamatan Musrenbang desa/kelurahan RKPD, RPJPD, RPJMD, RKA SKPD, APBD RKP, RPJP, RPJM, RKA K/L, APBN Musrenbang pusat Pelaksanaan Musrenbangpus tidak menunggu hasil dari musrenbang daerah admistratif di bawahnya, namun akan tergantung dari ketersediaan RKP awal dan SEB Menteri PPN/Kepala Bappenas-Menteri Keuangan tentang Pagu Indikatif awal (selain itu RPJP dan RPJM). Musrenbang pusat biasanya diadakan pada bulan Maret. Pesertanya berasal dari seluruh Sekjen, Sesmen, Sestama, dan Kepala Biro Perencanaan dari seluruh Departemen/Kementerian/Lembaga; (2) Seluruh Kepala 99

100 Bappeda Provinsi (sebagai peninjau). Tujuan penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Pusat antara lain adalah (1) Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan dan penganggaran yang tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah dan rancangan awal Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja-KL) dengan mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (2) Membahas program, kegiatan pokok dan pagu anggaran yang tertuang dalam rancangan awal Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja-KL) sebagai dasar penyempurnaan rancangan Rencana Kerja Pemerintah yang telah disusun. (3) Membahas program utama, kegiatan pokok, lokasi kegiatan dan pagu anggaran Kementerian/Lembaga (mainstreaming) yang penting dan mendesak untuk segera dilaksanakan, mempunyai dampak nyata, terukur dan langsung dirasakan oleh masyarakat, sesuai dengan prioritas pembangunan yang telah ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah. (4) Melakukan sinkronisasi kebijakan pemerintah baik melalui kerangka regulasi (peraturan perundang-undangan) dan kerangka anggaran baik yang bersumber dari dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan maupun dana perimbangan agar terwujud penggunaan sumberdaya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan. (5) Mengembangkan dan memperkuat partisipasi dalam penyusunan RKP. (6) Mengembangkan dan memeperkuat mekanisme pengendalian dan pengawasan (safeguarding) terhadap pelaksanaan RKP. Sedangkan, bahan/input yang dibutuhkan dalam Musrenbangpus/Rakorbangpus antara lain adalah: a) Rencana Pembangunan Jangka Menengah ; b) Rancangan Rencana Kerja Pemerintah tahun berikutnya yang disiapkan oleh Kementerian Negara PPN/Bappenas; c) Surat Edaran Bersama Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan yang memuat pokok-pokok arah kebijakan fiskal dan kerangka eknomi makro tahun berikutnya; d) Rancangan awal Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja KL) yang memuat rencana kegiatan, lokasi dan pagu anggaran yang akan dilaksanakan di pusat dan daerah melalui dana dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan tahun berikutnya. Hasil yang diharapkan dari kegiatan Musrenbangpus secara umum diharapkan dapat membentuk suatu kesepakatan di kalangan stakeholders pusat tentang rencana kerja di tahun berikutnya. Misalkan, pada tahun 2005 saja, Musrebangpus memiliki harapan akan dihasilkannya: a) Masukan dari Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Provinsi untuk perbaikan Rancangan RKP 2006 menjadi Rancangan II RKP

101 agar sesuai dengan pencapaian sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah ; b) Indikasi kebijakan dana perimbangan; c) Rumusan kegiatan yang memerlukan pembiayaan dari pinjaman/hibah, baik dari dalam negeri maupun luar negeri; d) Kesepahaman tentang koordinasi, sinergi dan pengendalian dan pengawasan (safeguarding) terhadap pelaksanaan Rencana Kerja Pemerintah Musrenbang Desa/Kelurahan hingga Provinsi/Daerah Musrenbang Provinsi sebenarnya merupakan skema puncak dari aspirasi tingkat daerah sebelum perencanaan pembangunan dibawa pada tingkat nasional. Musrenbang Provinsi/Daerah akan menunggu hasil pelaksanaan Musrebangpus dan Musrebang Kota/Kabupaten, atau dengan kata lain menjadi suatu pertemuan aspirasi dari bawah dan arahan dari atas. Musrenbang Provinsi akan diadakan sekitar bulan April (biasanya awal April). Pendekatan dari bawah ke atas (bottom up) ini sejalan dengan tujuan desentralisasi untuk dapat memenuhi aspirasi daerah, meningkatkan akuntabilitas, transparansi, partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah, memastikan adanya pelayanan masyarakat yang berkualitas di setiap daerah, dan menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Musrenbangnas Musrenbangnas merupakan wadah final penyusunan perencanaan pembangunan yang melibatkan partisipasi publik. Biasanya diselenggarakan pada bulan April-Mei agar hasil Musrenbangnas dapat sesegera mungkin disusun menjadi bahan dasar RAPBN tahun berikutnya. Peserta dari Musrenbangnas adalah presiden, menterimenteri, gubernur, kepala Bappeda seluruh daerah, sekjen/sekmen/sestam dan kepala biro perencanaan, kepala biro keuangan dan sesditjen dari seluruh kementrian/lembaga, serta bupati dan walikota (hanya sebatas peninjau). Pembiayaan Musrenbangnas diambil oleh APBN pada tahun penyelenggaraan tersebut. Penanggung jawab Musrenbangnas adalah Menneg PPN/Kepala Bappenas dengan penanggungjawab teknis yakni Sekretaris Meneg PPN/Sekretaris Utama Bapenas dan juga Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah. Tujuan diadakan musrenbangnas adalah: (1) menyempurnakan rancangan awal RKP tahun berikutnya untuk dijadikan rancangan akhir RKP berikutnya dengan acuan RJPM; (2) Sinkronisasi dan penyempurnaan rancangan awal Renja K/L menjadi rancangan akhir Renja K/L dengan memperhatikan prioritas yang tertuang pada rancangan awal RKP dan RKPD; (3) Sinkronisasi dan mainstreaming program, 101

102 kegiatan pokok, lokasi kegiatan dan pagu anggaran baik yang disusun oleh pemda maupun oleh K/L yang bersifat mendesak dan berpengaruh pada kehidupan secara nyata; (4) Memperkuat koordinasi dan sinergi kebijakan pemerintah baik melalui kerangka regulasi dan kerangka investasi/pelayanan publik untuk memudahkan dalam hal pendanaan dekonsentrasi; (5) mengembangkan dan memperkuat proses partisipasi dalam penyusunan RKP; (6) Mengembangkan dan memperkuat mekanisme pengendalian dan pengawasan terhadap pengawasan RKP di tahun berikutnya. Sedangkan, masukan yang diperlukan dalam Musrenbang nasional adalah: (1) RPJM nasional yang ditetapkan dalam PP No 7/2005; (2) SEB Menneg PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan yang memuat pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro yang tertuang dalam bentuk pagu indikatif RAPBN tahun berikutnya; (3) Rancangan RKP tahun berikutnya yang disiapkan Bappenas dengan telah memperhatikan hasil dari Rapat Kordinasi Pembangunan Tingkat Pusat (Rakorbangpus) yang telah diadakan; (4) Rancangan Renja K/L yang mempertimbangkan Rakorbangpus dan rancangan awal RKP; (5) Usulan tentang rencana kegiatan dan prioritas program pembangunan di daerah sesuai dengan hasil kesepakatan dalam Musrenbang daerah dan program prioritas rancangan awal RKP. Agenda dalam Musrenbang Nasional akan berupa sidang pleno dan sidang kelompok. Sidang pleno akan berisi mengenai: a) pengarahan umum oleh Presiden, b) pengarahan prioritas pembangunan nasional oleh Menneg PPN/Kepala Bappenas yang ditetapkan dalam rancangan RKP; c) pengarahan menteri keuangan tentang arah kebijakan fiskal; d) pengarahan Menteri Dalam Negeri tentang langkah-langkah pengendalian dan pengawasan dalam mendukung prioritas pembangunan 2007; serta e) dialog para menteri dengan para gubernur tentang isu pembangunan strategis (nasional dan daerah) yang mendesak serta pencapaian pembangunan daerah yang tertuang dalam RKPD. Sedangkan sidang kelompok akan dilakukan saat: a) pembahasan kesesuaian usulan prioritas kegiatan pemerintah daerah yang ada pada RKPD dengan rancangan Renja K/L yang ada dalam rancangan RKP; b) pembagian kelompok berdasar bidang dan prioritas pembangunan; c) pembagian kelompok berdasar pembagian wilayah pembangunan. Hasil yang diharapkan adalah: (1) masukan dari K/L dan pemda (kabupaten/kota) untuk perbaikan dan penyempurnaan rancangan awal RKP rancangan akhir RKP; (2) masukan pemerintah provinsi untuk perbaikan rancangan Renja K/L menjadi rancangan akhir Renja K/L serta program dan kegiatan K/L yang telah dijabarkan ke dalam kerangka regulasi dan kerangka investasi/pelayanan publik yang akan didukung oleh pendanaan APBN tahun berikutnya; (3) Kesepakatan antara pemerintah pusat-daerah tentang program-program pokok dalam pencapaian sasaran prioritas pembangunan nasional tahun berikutnya; (4) Prioritas pendanaan RAPBN 102

103 tahun berikutnya; (5) Kesepahaman tentang koordinasi, sinergi, pengandalian dan pengawasan (safeguarding) terhadap pelaksanaan RKP tahun berikutnya Rangkuman Analisis Musrenbang merupakan upaya pemerintah dalam melibatkan peran serta publik dalam pengambilan kebijakan perencanaan pembangunan. Rencana teknis dan panduan mengenai Musyawarah Rencana Pembangunan disusun dengan sangat terperinci dan detail, mulai dari masukan yang diperlukan pada tiap tahap hingga tim pendampingan. Musrenbang merupakan proses pembuatan kebijakan yang mengedepankan sisi inklusifitas. Keterbukaan perencanaan pembangunan untuk suara masyarakat ini dianggap proses yan terbaik. Namun, di sisi lain masih banyak ketidakpuasan publik tentang proses ini. Pendapat tersebut menyiratkan kekecewaan karena masih terjadi tidak teradopsinya program ataupun proyek yang diajukan dari bawah oleh pemerintah pusat/daerah. Yang menarik adalah bahwa sebagian besar kekecewaan tersebut ada pada level RKPD (atau berkaitan dengan APBD). Hal ini terjadi, misalkan di Kabupaten Bantul, Kota Malang, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Bandung, dan lain-lain. Opini yang cenderung terbentuk adalah bahwa skema musrenbang tidak dapat menjamin perencanaan pembangunan bagi masyarakat di level bawah. Bahkan ada kalanya, DPRD pun turut menodai kesepakatan yang sudah terbentuk dari tingkat bawah, karena penolakan sebagian besar aspirasi. Isu lainnya adalah belum terwakilkannya kaum masyarakat yang selama ini terpinggirkan, khususnya keterwakilan jender (wanita). Imbas dari rendahnya penerimaan aspirasi level bawah pada Musrenbang daerah adalah: ketidak pastian diterimanya usulan proyek membuat penduduk menjadi kecewa dan kehilangan motivasi untuk ikut kegiatan yang tidak jelas kontribusinya secara langsung dengan mereka. Pada skala nasional, terdapat kekhawatiran bahwa musrenbangnas hanya menjadi ajang dengar dan sosialisasi program yang sudah di-setting sebelumnya oleh pusat. Dugaan itu mungkin tidak terlalu beralasan, mengingat: a) ada kalanya tuntutan daerah juga tidak sepenuhnya merupakan prioritas yang memberikan dampak positif bagi banyak orang; b) di sisi lain, masih tetap diterimanya beberapa usulan kerja/program dari bawah. Pembuatan keputusan melalui proses tawar-menawar dan negosiasi antar pembuat keputusan sering disebut penyesuaian mutual partisipan. Dengan kata lain, pembuatan keputusan adalah proses penyesuaian dan kompromi yang memfasilitasi kesepakatan dan koordinasi. Pembuatan keputusan di tengah tingkat heterogensi yang tinggi akan sangat sulit dilakukan, karena memerlukan kompromi yang besar. 103

104 Kecurigaan bahwa Musrenbangnas sudah di-setting sebelumnya, mungkin bermula dari agenda musrenbangnas yang tidak memberikan cukup waktu bagi perwakilan daerah dalam memaparkan pentingnya kebutuhan suatu rencana pembangunan di daerahnya. Berikutnya, ketiadaan sebuah parameter khusus (yang lebih mendetail) yang bisa dijadikan tolak ukur penerimaan rencana pembangunan suatu daerah. Akibatnya, keputusan Musrenbangnas menjadi bias. Sebagai catatan, sumber kami mengatakan bahwa Musrenbang nasional adalah wadah politik perencanaan yang sarat akan kepentingan dan upaya strategis menjaga hubungan baik antara pusat dan daerah. Alhasil, keputusan prioritas pembangunan di daerah (yang berkaitan dengan Renja K/L dan dana dekonsentrasi) lebih didasari oleh keputusan politis semata, bukan atas efektifitas dan pembangunan berdaya-guna. Jadi skema Musrenbang pada dasarnya sudah mencoba untuk menjadi inklusif; namun tidak terstruktur dan tidak menganut orientasi outcome focused. Pertimbangan bahwa skema musrenbang juga akan memberikan hasil yang strategis juga lemah. Penyelenggaraan Musrenbang sebenarnya dapat dilihat sebagai teknik seminar keputusan ala Lasswell (dan juga idenya tentang planetarium sosial). Warga dalam model ini bukan ujung dari garis penyampaian kebijakan, tetapi aktif dalam menentukan pilihan dan memilih serta mengevaluasi campuran kebijakan. Tujuannya adalah meningkatkan pengetahuan diri dan kesadaran akan masyarakat dan untuk menciptakan sebuah forum yang bisa memperkaya agenda politik. Jika Lasswell memandang ilmu kebijakan punya peran untuk mencerahkan, membebaskan dan mendemokratisasikan, maka Dror dengan model Normatif- Optimum tampaknya tidak peduli pada publik dalam proses pembuatan kebijakan 15. Dror memberikan sebuah argumen bahwa peran publik dalam kebijakan publik bersifat marginal dan terbatas pada upaya mengevaluasi bagaimana suatu kebijakan diputuskan dan apa manfaat komponen-komponennya (dan siapa pembuatnya dan apa gaya pembuatan kebijakan). Jadi publik seharusnya tidak sanggup menilai kebijakan spesifik menurut pendapat mereka sendiri. 15 Banyak pemikir telah menunjukkan bahwa demokrasi tergantung pada pencerahan opini publik: apa yang mereka maksud, pada umumnya, adalah bahwa warga negara mesti cukup tahu isuisu publik agar ia bisa mengemukakan opini yang cerdas sebagai dasar pilihan bagi mereka. Jelas, kondisi seperti ini hanya terpenuhidalam utopia. Tetapi jika keberasilan demokrasi tergantung pada kemampuan penduduk untuk menilai isu kebijakan isu utama, maka sekarang demokrasi sudah berantakan. Dalam dunia yang lebih sederhana, segelintir orang punya privilise bisa mengatahui semua isu kebijakan utama dan mengatahui semua pihak yang juga mengatahui semua isu-isu tersebut. Tetapi dalam masyarakat modern yang kompleks, problem utamanya sangat beragam dan dibutuhkan banyak pengatahuan yang sulit untuk menanganinya, sehingga tidak ada satu orang pun yang bisa memberkan opini yag cerdas untuk semua isu kebijakan kecuali hanya sedikit saja. (Dror, 1989: 289). 104

105 Kasus musrenbang menjadi cermin adanya hubungan paradoksial antara nilai demokrasi (yang mengakomodasikan kepentingan masyarakat, nilai keadilan dan pemerataan) dengan nilai birokrasi (yang menjunjung efektifitas pelaksanaan dan melihat tujuan semata), yang justru menciptakan demokrasi semu (ersazt democracy). Proses formulasi kebijakan dalam alam demokrasi akan menekankan dialog antar pihak, namun musrenbang justru menjadi sarana pengarahan perencanaan yang disepakati secara bulat. Sehingga, musrenbang tetap menjadi keputusan elitis (pusat) yang seolah-olah mengutamakan kepentingan rakyat banyak. Secara positif, perlu dipahami juga bahwa tidak mungkin seluruh pengajuan rencana dari bawah diterima begitu saja sebagai bahan RKP. Pemerintah pusat, lewat Bappenas sebagai koordinator penyelenggara Musrebang memiliki kewenangan untuk menampung seluruh aspirasi dan merumuskannya dalam suatu rencana kerja yang saling bersinergi dan sesuai dengan prioritas pembangunan (rancangan RKP dan juga RPJM/RPJP). Justru Bappenas harus menjadi badan pemerintah yang menyelaraskan dan membuat arahan kerja pemerintah. Hal yang menarik lainnya adalah, jika penyelenggaraan Musrenbang justru diadakan untuk benar-benar mendengarkan aspirasi rakyat banyak, tentunya justru akan terjadi perencanaan yang lamban karena perdebatan, tuntutan, negosiasi yang berjalan alot. Maka, dilema yang terjadi adalah: apakah Musrenbangnas akan lebih ditekan menjadi wadah partisipasi publik yang sempurna (dengan konsekuensinya perencanaan yang berpotensi melambat) atau justru membiarkan berjalan seperti sekarang (trade off antara partisipasi dan waktu perencanaan pembangunan)? 4.2. Kebijakan anggaran di era demokrasi Bappenas vs Depkeu? Perencanaan keuangan negara belum dijalankan dengan mengacu kepada kelanggengan fiskal (fiscal sustainability). Sistem yang banyak dianut oleh negaranegara lain untuk menjaga kelanggengan fiskal ini antara lain dengan rancangan Medium Term Expenditure Framework (MTEF). Di dalam sistem ini tidak dipisahkan kategori-kategori penganggaran yang selama beberapa dekade dipergunakan di Indonesia, yakni pemisahan antara anggaran pembangunan dan anggaran rutin. Hal yang menjadi acuan adalah kegiatan apa yang akan dilakukan oleh instansi yang bersangkutan, baik untuk investasi (pembangunan) maupun konsumsi dan pemeliharaan (rutin), dalam menunjang rencana kerja pemerintah. 105

106 Perubahan paradigma pengelolaan keuangan ini telah diantisipasi dengan diundangkannya UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Namun demikian, penganggaran secara multi-years maupun jangka menengah belum diterapkan 16 ; yang terjadi justru perencanaan anggaran selalu disiplin pada 1 tahun berjalan saja. Ini memberikan kesulitan pendanaan bagi proyek pembangunan fisik berjangka waktu lama, seringkali proyek terhanti pada awal tahun karena menunggu pencairan dana. Pada tahun 2007, juga tidak terdapat dana luncuran (dana sisa anggaran yang belum digunakan dan bisa digunakan untuk tahun berikutnya) dari anggaran 2006 yang kemudian akan ditarik kembali dalam kas negara. Hal ini disepakati oleh Departemen Keuangan dan Bappenas tahun lalu. Hal penting lainnya adalah: pertanyaan mengenai pelaksanaan anggaran berbasis kinerja (sesuai dengan UU No 17/2003). Persetujuan anggaran pemerintah oleh DPR akan melihat dan mengkaji 17 dokumen anggaran yang mendetail hingga satuan kerja anggaran atau dengan kata lain seperti dokumen satuan 3 pada masa orde baru. DPR masih berfokus pada sisi input anggaran berdasarkan pos line-item yang sangat rinci. Di satu sisi, DPR memang mengikuti amanah yang telah digariskan dalam UU Keuangan Negara, namun di sisi lain mereka tampak tidak menyadari bahwa kewenangan tersebut berpotensi menghambat arus kelancaran anggaran. Waktu justru dihabiskan untuk proses rapat dengar, negosiasi, dan perdebatan; padahal sangat sulit untuk mengatur jadwal pertemuan antara pemerintah dan DPR. Sisi mendetail dari anggaran satuan kerja pemerintah banyak dibahas pada komisi yang terkait dengan kementrian/lembaga teknis. Jika anggaran pemerintah dari telah disetujui komisi terkait, maka akan dibawa dalam panitia anggaran DPR. Panitia anggaran pada dasarnya merupakan komisi yang khusus mengurusi tentang anggaran pemerintah secara keseluruhan (tidak lagi sektoral). Komisi ini berisi wakil-wakil anggota DPR lintas fraksi dan lintas komisi, sehingga pemantauan dan perkembangan mengenai persetujuan rencana dan anggaran pemerintah dapat terus dilaksanakan. Dalam pengajuan RAPBN, pemerintah selalu memberikan target fiskal, target defisit anggaran dan asumsi dasar (yakni nilai tukar, inflasi, pertumbuhan ekonomi dan juga harga minyak). RAPBN yang disetujui oleh DPR menjadi APBN dan kemudian dilaksanakan, masih memiliki kemungkinan untuk direvisi terutama atas 18 ketiga item tersebut. Revisi ini dapat saja saja dilakukan sewaktu-waktu, jika terjadi Rencananya Kerangka Kerja Pengeluaran Jangka Menengah (MTEF) secara menyeluruh baru akan dilaksanakan mulai tahun anggaran Satuan anggaran adalah dokumen anggaran yang menetapkan alokasi dana per departemen/lembaga, sektor, subsektor, program dan proyek/kegiatan. UU Keuangan Negara No 17/2003, pasal 27 ayat 3: Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam 106

107 kejadian mendesak (UU Keuangan Negara No 17/2003, pasal 27 ayat 1 hingga 5). Revisi besar-besaran pernah terjadi pada tahun 2005, ketika selisih harga minyak dunia dengan asumsi minyak domestik. Sebagai catatan, sejak tahun 2001 selalu terjadi selisih antara asumsi harga minyak pada anggaran dan realisasi. Padahal revisi terkadang berjalan alot dan memberikan efek pada kelancaran anggaran pada tahun berjalan. Kemelesetan ini mengindikasikan adanya kemampuan yang lemah dalam menentukan asumsi dasar APBN dan juga kesan meremehkan bahwa APBN selalu dapat direvisi. Pengajuan asumsi dasar dan indikator makro ekonomi terletak pada kewenangan Departemen Keuangan, khususnya pada Badan Kebijakan Fiskal. BKF ini memiliki fungsi yang berkaitan dengan analisis kebijakan fiskal dan kerjasama internasional. Pada November 2007 ini misalkan, BKF-Departemen Keuangan memberikan pemaparan tentang prospek perkembangan APBN dengan adanya kenaikan harga minyak duniayang mencapai US$98 per barrel. Memang benar, asumsi harga minyak ataupun nilai tukar rupiah dalam anggaran bukanlah sebuah harga mati. Asumsi dasar memang akan semakin akurat searah dengan berjalannya waktu hingga akhir tahun anggaran. Perubahan asumsi APBN dapat dibahas setiap waktu jika ada perubahan yang drastis dalam asumsi, kebijakan fiskal dan alokasi anggaran. UU Keuangan Negara No 17 tahun 2003, pasal 27 ayat 1 hingga 5 telah memaparkan penjelasan tentang perubahan asumsi ini. Masalah yang muncul adalah terkadang pembahasan mengenai perubahan APBN terutama yang terkait dengan asumsi berjalan sangat alot dan memakan waktu lama di DPR. Hal ini jelas memberikan jangka waktu kelancaran anggaran pada tahun berjalan. Permasalahan lain timbul, ketika anggaran dibatasi oleh adanya batas anggaran pendidikan yang dipatok minimal pada tingkat 20%. Hal ini jelas membuat sebuah kebingungan. Bagaimana tidak, sejak pengesahan amandemen UUD 1945 anggaran pendidikan masih berada di bawah angka 20% tersebut karena alokasi anggaran yang masih sangat diperlukan di bidang lainnya, terutama pembayaran cicilan hutang. Walau begitu, seiring berjalannya waktu anggaran pendidikan selalu mendapat prosentase tertinggi. Kasus menarik tentang alokasi anggaran pendidikan terjadi saat UU No. 13 Tahun 2005 (APBN 2006) diuji materiilkan kepada Mahkamah Konsititusi karena anggaran pendidikan hanya sekitar 9%; UU No 13 / 2005 dianggap inkonstitusional. Hal ini jelas menciptakan dilema kepada MK; jika APBN 2006 rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi : a). perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN; b). perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; c) keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; d) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan. 107

108 dianggap tidak memiliki hukum yang mengikat, maka proses anggaran akan dimulai kembali dari awal. Ketetapan alokasi anggaran pendidikan pada UUD 1945 (amandemen) jelas memberikan infleksibilitas dalam menyusun alokasi anggaran. Ketika menyusun anggaran yang dibutuhkan untuk rencana kerjanya, Kementerian/lembaga akan mengacu pada prioritas pembangunan dan Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas mengenai pagu indikatif. Pagu indikatif ini merupakan pagu anggaran bayangan yang nantinya akan diberikan kepada Kementerian/Lembaga terkait. Renja K/L yang akan dibuat nantinya harus memperhatikan koordinasi dengan Depkeu dan Bappenas dalam penyusunan dan harus disampaikan ke mereka paling lambat sekitar bulan April (sesuai dengan PP No 21/2004 tentang Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga). Disamping itu dalam menyusun Renja KL agar Kementerian/Lembaga memperhatikan hal-hal sebagai berikut : (1) Program dan kegiatan yang mendukung pencapaian prioritas pembangunan nasional dan/atau Prioritas Kementerian Negara/Lembaga; (2) Kebutuhan anggaran yang bersifat mengikat; (3) Kebutuhan Dana Pendamping untuk kegiatan-kegiatan yang dibiayai dengan Pinjaman/Hibah Luar Negeri; (4) Kebutuhan Anggaran untuk kegiatan lanjutan yang bersifat tahun jamak (multi Years); (5) Penyediaan dana untuk mendukung pelaksanaan Inpres-Inpres yang berkaitan dengan percepatan pemulihan pasca konflik. Departemen Keuangan juga berperan besar dalam penilaian APBD dengan membatasi maksimum kumulatif defisit sebesar 3% setiap tahunnya (UU No 23/2004 pasal 83). Selain itu, Menteri Keuangan menetapkan kriteria defisit APBD dan batas maksimal defisit APBD masing-masing Daerah setiap tahun anggaran. Setiap pelanggaran menganai hal ini akan dikenakan sanksi penundaan penyaluran dana perimbangan Problematika baru seputar anggaran Pelaksanaan anggaran dilakukan oleh pemerintah (lembaga eksekutif) lewat Kementerian/Lembaga pengguna anggaran, dengan pengawasan oleh DPR serta auditor internal dan eksternal. Di Indonesia, auditor internal pemerintah adalah BPKP (di bawah koordinasi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara), Bawasda (auditor pemerintah daerah di bawah Gubernur/bupati) dan Inspektur Jenderal (di bawah setiap kementerian); sedangkan auditor eksternalnya hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang meyelenggarakan audit kepada seluruh pemerintah. Hingga kini, pelaksanaan anggaran masih berlangsung dengan buruk dengan indikator tingkat realisasi anggaran yang rendah serta lambannya siklus anggaran tahun berjalan. Pada tahun 2005 misalnya, pemerintah hanya menggunakan 68% total 108

109 belanja modal dan 72% belanja barang. Trend yang terjadi adalah realisasi anggaran yang semakin cepat dan besar dengan mendekatnya pada akhir tahun anggaran. Rendahnya penyerapan anggaran tiap tahunnya memberikan banyak pertanyaan apakah, ada masalah struktural ataupun proses kebijakan pelaksanaan anggaran? Selain itu, permasalahan bersumber dari kelengkapan dokumen pengeluaran anggaran (DIPA) yang mensyaratkan dicantumkannya nama pimpinan proyek, bendahara dan staf bagian pengadaan. Padahal, dengan pada awal tahun proses seleksi tim proyek biasanya belum dilaksanakan secara penuh akibatnya pencairan dana anggaran terlambat dan ditunda hingga menunggu kelengkapan pencantuman nama tersebut. Untuk proyek berjangka waktu lama, di awal tahun biasanya departemen dan lembaga baru menunjuk kembali pejabat kuasa pengguna anggaran, kemudian membuat komitmen dan menetapkan bendahara. Di lain pihak, ada yang baru memulai proses pengadaan sehingga pada bulan-bulan pertama pencairan memang rendah. Kegiatan pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan publik memainkan peran penting dalam kelancaran proses pembangunan. Kegiatan ini dipayungi oleh Keppres No 80 Tahun 2003, yang menjelaskan tata cara proses pengadaan barang dan jasa secara transparan, efisien, adil dan ekonomis. Namun, di sisi lain dengan hirarki hukum yang tidak begitu tinggi tersebut (hanya keppres) telah menyebabkan lemah dan tidak strategisnya kebijakan mengenai hal ini. Masing-masing departemen ataupun kementerian justru membuat rumusan sendiri tentang proses pengadaan barang dan jasa di instansinya. Perkembangan ini membuat simpang siurnya proses pengadaan barang dan jasa di sektor pemerintah. Sejauh ini, belum ada lembaga yang memiliki kewenangan dalam mengatur proses kegiatan ini; walau ide pembentukan Lembaga Kebijakan Pengadaan Nasional yang mandiri telah ada disebutkan dalam Keppres No 80/2003. Sampai saat ini, persiapan LKPN masih berlangsung dan selama itu pula lembaga ini masih berada di bawah Bappenas. Hal yang tidak kalah penting adalah praktik dana anggaran daerah yang diletakkan pada instrumen keuangan. Pemerintah daerah justru kerap memutar anggarannya pada instrumen keuangan dalam rangka mencari gain Data Departemen Keuangan menunjukkan, total dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2006 yang "diparkir" di Sertifikat Bank Indonesia mencapai Rp 43 triliun. Hingga saat ini, tidak ada ketentuan ataupun regulasi yang mengatur tentang tidak dibenarkannya penempatan anggaran di instrumen keuangan (baik swasta maupun pemerintah). Walau demikian, tata cara pelaksanaan anggaran yang benar secara garis besar sudah terdapat pada UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU Perimbangan Pusat dan Daerah, UU Audit Keuangan Negara dan yang utama adalah UU APBN serta Perda APBD tiap tahunnya. 109

110 Departemen dan lembaga nondepartemen cenderung menaikkan anggaran belanja barang dan modal di atas harga pasar karena ingin memaksimalkan usulan permintaan dananya. Hal itu menimbulkan ketidakefisienan anggaran karena pada akhirnya tidak terserap. Namun, perkembangan 2 tahun terakhir menunjukkan bahwa kapasitas penyerapan anggaran di Kementerian dan Lembaga sudah meningkat. Walau begitu, ditenggarai penyerapan yang tinggi ini dapat saja disebabkan oleh tekanan untuk menggunakan anggaran yang melebihi kapasitas. Proses anggaran masih banyak dinodai dengan praktik percaloan dan lobi. Praktek percaloan anggaran dapat diklasifikasikan pada 2 lapisan. Lapisan pertama yakni pada saat anggaran belum ditetapkan (finalisasi akhir) oleh DPR, biasanya praktik percaloan dan lobi akan terjadi di DPR. Misalkan, untuk dana dekonsentrasi khususnya Dana Alokasi Khusus (DAK) yang sebenarnya sudah diatur lewat UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Celah untuk melakukan praktik percaloan atau lobi muncul, karena besaran DAK untuk tiap daerah ditentukan dari formula pembobotan yang dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan jumlah penduduk miskin (formula disusun oleh Departemen Keuangan dan Bappenas). Data kependudukan tersebut bisa saja direkayasa (diperbesar) oleh daerah, demi mendapatkan alokasi DAK yang lebih besar. Maka, pada saat pembahasan menganai anggaran antara pemerintah dan DPR (pertengahan tahun), banyak ditemui utusan-utusan daerah ataupun rapat-rapat di luar sidang antara pejabat pemerintah dengan anggota DPR khususnya yang berasal dari panitia anggaran. Pada lapis kedua, terjadi ketika anggaran sudah disetujui. Praktik pecaloan dan lobi banyak dilakukan di sekitar Departemen Keuangan, karena pencairan dana berada dalam wilayah kewenangan mereka 19. Memang terkadang praktik percaloan oleh anggota DPR sangat berbeda tipis dengan dalih perjuangan bagi konstituen. Untuk dana bagi hasil, lobi bupati biasanya dilakukan ke Depkeu. Kalaupun dilakukan ke DPR, itu hanya untuk menekan Depkeu agar segera mencairkan dana bagi hasil sesuai target waktu yang ditetapkan Rangkuman analisis Pada era Soharto, Bappenas melakukan perencanaan kegiatan fisik/proyek bersama dengan departemen teknis maupun perencanaan kebijakan untuk menopang 19 Komentar Drajad Wibowo, anggota DPR Komisi XI: Jadi, proses lobinya itu sendiri wajar karena di negara-negara maju juga ada lobi-lobi seperti itu. tidak jarang suatu proposal proyek atau anggaran yang sudah masuk dalam hitung-hitungan Depkeu atau Bappenas mentah lagi pada saat pembahasan di Panitia Anggaran DPR. Demikian pula sebaliknya, proposal proyek yang sudah dicoret di Depkeu atau Bappenas biasanya juga sulit muncul lagi di Panitia Anggaran. Kalau sudah telanjur hilang (dicoret) di Depkeu dan Bappenas, untuk bisa dimunculkan kembali di Panitia Anggaran, ia harus menerobos banyak pihak. (Kompas, 15 Oktober 2005) 110

111 kegiatan fisik pemerintah. Untuk menjamin rencana pemerintah ini diikuti oleh semua pihak, termasuk departemen teknis terkait, maka Bappenas diberikan wewenang pembiayaan pembangunan. Sekarang dengan hanya peran perencanaan saja, Bappenas tidak memiliki kemampuan untuk memaksa secara langsung departemen teknis terkait untuk tunduk pada prioritas pembangunan. Bappenas hanya memeriksa konsistensi program yang ada dengan rancangan RKP yang sudah disusun. Kuatnya posisi Depkeu (UU Keuangan Negara No 17 Tahun 2003) memberikan peluang dikesampingkannya Bappenas dalam pengajuan Renja-KL oleh Kementrian/lembaga. Kementrian/lembaga akan lebih gigih dalam mengejar dan konsultasi dengan Depkeu, dibandingkan dengan ke Bappenas. Selain itu, pengukuran kinerja dan monitoring dari Renja KL akan tidak dilihat sebagai faktor utama. Hal ini mengingat karena penilaian indikator kinerja akan banyak berada dalam kapasitas yang dimiliki Bappenas. Indikator kinerja di dalam kabinet akhirnya tidak berjalan dengan baik. Pada kenyataannya, penilain dan evaluasi justru banyak dilakukan oleh DPR dan publik, namun tidak ada lembaga dengan kapasitas sekelas Bappenas yang kini mengontrol kinerja dari dalam kabinet. Peran konsultatif yang dimiliki Bappenas menjadikan wibawa lembaga ini di mata departemen/kementrian lain berkurang. Tidak jarang terjadi praktik potong kompas atas usulan program yang ada di departemen teknis/terkait langsung kepada Departemen Keuangan sebagai pemain kunci dari persetujuan program yang ada. Kewenangan Departemen Keuangan kini menjadi terlalu banyak, namun belum didukung oleh SDM yang merata secara kualitas. Maksudnya, sebagai sebuah institusi Depekeu tidak didukung oleh ahli di bidang kajian dan planning, namun lebih pada keahlian akuntan, keuangan dan penilai proyek. Kini, SDM yang berada di Bappenas justru semakin tidak difungsikan secara maksimal. Realisasi anggaran selalu telat yang menunjukkan adanya hambatan struktural dalam siklus anggaran; termasuk ketentuan dokumen yang telalu rinci, prosedur revisi anggaran yang terlalu panjang dan rumit, revisi anggaran besar-besaran pada pertengahan tahun, dan proses pengadaan jasa dan barang yang lamban. Maka dari itu, perlu disusun kerangka pengeluaran jangka menengah, membuka peluang pengajuan anggaran multitahun untuk kategori belanja modal dan penyederhanaan ketentuan mengenai luncuran anggaran pada tahun berikutnya. Bisa berupa otorisasi pengajuan anggaran untuk beberapa tahun, terutama untuk proyek-proyek infrastruktur yang besar. Ketergantungan eksekutif sebagai perencana dan pelaksana anggaran dengan legislatif sebagai pemegang kendali budget menjadi sangat tinggi sehingga mengurangi fleksibilitas eksekutif dalam kebijakan fiskal. Ada hubungan yang lemah 111

112 antara perencanaan dan penentuan anggaran, hal ini bermuara dari berkurangnya peran Bappenas dalam proses perencanaan dan anggaran Peran Bappenas dalam penanggulangan bencana alam nasional Beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami berbagai macam bencana alam berskala besar yang memberikan dampak kerugian materiil dan non-materiil. Beberapa di antaranya adalah: tsunami Aceh dan Nias tahun 2004, gempa bumi Nias 2005, gempa bumi Yogyakarta-Jawa Tengah pada tahun 2006, luapan lumpur Sidoarjo 2006, banjir Jakarta awal 2007 hingga berbagai macam bencana lain yang skala kerusakannya relatif lebih kecil. Di beberapa daerah, tidak jarang proses pembangunan ulang (rekonstruksi dan rehabilitasi) harus dimulai dari nol, karena besarnya skala kerusakan dan juga rendahnya kapasitas pemerintah daerah terkait. Di sisi lain, respon pemerintah pusat dalam penanggulangan bencana tersebut dirasa sangat lamban dan minim (61.6% responden berkata tentang buruknya manajemen bencana alam pemerintah -berdasar survei Kompas, 10 Juli 2006) Damage assesstment oleh Bappenas Penanganan bencana pertama-tama haruslah melihat dari besaran skala dampak yang diakibatkannya. Informasi ini menjadi kebutuhan semua pihak, dari pemerintah hingga media, yang pada berikutnya akan menyebarluaskan data resmi ini kepada publik. Secara khusus, informasi ini dibutuhkan untuk: Mengetahui secara rinci dampak bencana, agar pemerintah dapat secara resmi mengeluarkan pernyataan yang valid. Informasi publik menjadi tidak simpang siur dan supaya tidak terjadi pendugaan yang tidak bertanggungjawab. Memudahkan pemerintah dalam menyusun kebijakan selanjutnya; di mana kerusakan terparah, berapa banyak korban, apa yang dibutuhkan korban, infrastruktur apa yang terkena dampak, dan sebagainya. Memudahkan pemerintah dalam menyiapkan pendanaan bagi penanggulangan bencana alam Informasi untuk kalangan di luar pemerintah (LSM, akademisi, organisasi multinasional, donor, dan sebagainya) yang ingin berkontribusi dalam respon bencana alam Seringkali, terjadi ketidakmampuan pemerintah lokal setempat dalam menyediakan informasi tersebut secara terpercaya (seperti kasus Aceh dan Bengkulu). 112

113 Ini dikarenakan karena sistem pemerintahan lokal tidak bisa berjalan, kurangnya kemampuan assessment maupun keinginan untuk mem-blow up dampak yang ditimbulkan demi kepentingan besar dana yang dapat diterima. Di tengah situasi seperti ini, Bappenas beberapa kali terlibat secara langsung dengan penyediaan informasi dampak bencana alam. Tidak hanya itu, Bappenas juga menyediakan perhitungan nilai ekonominya, seperti pada kasus: tsunami Aceh-Nias, gempa bumi Yogyakarta-Jawa Tengah, lumpur Sidoarjo, banjir Jakarta dan lain-lain. Pemerintah yang ingin menganggarkan dana bencana, juga memerlukan sebuah permintaan dari lembaga yang berwenang disertai dengan damage assessment yang dilakukan. Pada bencana Bengkulu (2007) misalnya, Menteri Keuangan menunggu usul pencairan dana bencana alam dari Bakornas PB karena penggunaan dana harus didasarkan atas perkiraan kerusakan awal yang disusun badan tersebut (sesuai dengan UU Penanggulangan Bencana No 24 tahun 2007). Di sisi lain, Bappenas secara cepat dapat memberikan perkiraan awal nilai kerusakan akibat bencana tersebut.(kompas, 18 September 2007). Tugas valuasi dampak bencana sebenarnya bukan menjadi tugas Bappenas, namun analisis Bappenas menjadi sumber yang dianggap terpercaya terutama setelah prestasinya pada penilaian kerusakan Aceh pasca tsunami. Keahlian tersebut dimungkinkan, karena Bappenas memiliki sumber daya manusia yang ahli di berbagai bidang ilmu terutama valuasi ekonomi kawasan. Selain itu, database lengkap yang dimiliki Bappenas dan jaringan koneksi dengan berbagai pemerintah daerah menjadi faktor penting lainnya Rencana induk dan arah kebijakan daerah pasca bencana alam: tanggung jawab siapa? Menjelang berakhirnya fase tanggap darurat bencana tsunami di Aceh dan Nias, pemerintah pusat meminta Bappenas menyusun rencana induk (master plan) untuk pembangunan Aceh-Nias. Hal ini dapat ditelusuri dari tindakan Bappenas membentuk Sekretariat Tim Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat Aceh dan Sumatera Utara lewat Keputusan Menteri PPN No 01/M.PPN/01/2005 terhitung pada tanggal 10 Januari Rencana induk tersebut juga berisi tentang perlunya pembentukan suatu badan khusus untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Nias (yang kemudian disahkan lewat Peraturan Presiden No 30/2005). Badan baru tersebut dinamakan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR). Mengingat besarnya bencana yang dialami oleh Aceh dan Nias, maka dibutuhkan kapasitas yang lebih besar dari sekedar Bakornas PB untuk mengkoordinasikan dan 113

114 merencanakan tindak lanjut dalam penanggulangan bencana 20. Padahal, tugas tersebut diemban oleh Bakornas PB, yakni dapat memimpin dan menunjuk penugasan kepada Kementerian/Lembaga dalam mendukung upaya merespon bencana (seperti disebutkan pada Keppres No 111 Tahun 2001). Jadi, penanganan bencana Aceh telah melupakan peran Bakornas; pertama, dengan dibentuknya BRR dan yang kedua, dengan disusunnya masterplan rekonstruksi dan rehabilitasi oleh Bappenas. Dalam BRR, Kepala Bappenas berperan sebagai sekretaris Dewan BRR (sesuai Keppres No 63/M tahun 2005) yang bertugas untuk memonitor, mengevaluasi dan memastikan akuntabilitas kinerja dari Badan Pelaksana BRR. Selain itu, Badan Pengawas juga dapat memberikan saran dan rekomendasi pada Presiden berdasarkan penilaian terhadap implementasi BRR. Sedangkan mandat pemantauan dan pengendalian terhadap rencana induk diejawantahkan dengan pembentukan Pemantauan dan Pengendalian Pelaksanaan Rehabiliasi dan Rekonstruksi di wilayah Aceh dan Nias Sumatera Utara (P3RIRRWANS). Badan ini memeriksa aspek konsistensi, koordinasi, konsultasi, serta kapasitas pelaksanaan proses rehabilitasi dan rekonstruksi dengan rencana induk yang telah dibuat terlebih dahulu. PePres No 30 / 2005 (tentang BRR) sendiri, tidak mengatur secara jelas mengenai rencana khusus acuan rehabilitasi Nias pasca gempa bumi Maret Sebagai tindak lanjut, pada Maret 2007 diadakanlah rapat koordinasi yang melibatkan pemprov NAD dan Sumatera Utara, BRR NAD-Nias, Pemkab Nias dan Nias Selatan serta Bappenas untuk menyusun rencana aksi rehabilitasi dan rekostruksi wialayah dan kehidupan masyarakat Nias. Dalam tim ini peran Bappenas hanya sebatas koordinator, fasilitator dan penyusun. Rencana Aksi ini memperhatikan acuan menganai RPJM Pemkab Nias dan Nias Selatan serta Rencana Kerja BRR Selanjutnya rencana aksi ini akan dijadikan acuan dalam pemulihan kehidupan Nias Bappenas justru melakukan insiatif yang tinggi ketika melihat adanya kebutuhan akan institusi yang mampu merumuskan perencanaan suatu daerah pasca bencana sekaligus memantau proses rekonstruksinya, ini terlihat dengan keluarnya PPN 018/M.PPN/02/2007 tentang pembentukan Tim Koordinasi Perencanaan dan Pengendalian Bencana (P3B) dengan tugas mengkoordinasikan secara terpadu 20 Kepala Biro Mitigasi Bencana Bakornas PBP Sugeng Tri Utomo, mengakui, Bakornas PBP tidak mampu menanggulangi bencana di Aceh mengingat skala dampak kerusakannya yang sangat luas dan multidimensi. Menurut Sugeng, yang perlu adalah penguatan lembaga. Sugeng berharap Bakornas hendaknya berfungsi seperti Bappenas, yaitu mempunyai wewenang menyusun anggaran. "Selama ini tidak ada perencanaan anggaran dari pencegahan hingga penanggulangan. Anggaran ada di Depsos, Depkes, dan Dep PU. Mekanisme kontrol bukan oleh Bakornas, tetapi pada menteri masing-masing," urainya. Dia juga berharap bahwa Bakornas juga dapat menjalankan fungsi pengawasan atau justifikasi terhadap pengajuan dana rehabilitasi-rekonstruksi dari pemerintah daerah. (Kompas, 10 Maret 2005) 114

115 pengendalian kegiatan atau program yang terkait dengan: (1) Pemantauan dan Pengendalian Pelaksanaan Rehabiliasi dan Rekonstruksi di wilayah Aceh dan Nias Sumatera Utara (P3RIRRWANS) serta Early Recovery Assistance di wilayah D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah; (2) Pengarusutamaan pengurangan risiko bencana, dan; (3) kegiatan penilaian dampak kerusakan dan kerugian daerah bencana lainnya. Hal yang harus diingat adalah: bencana alam berskala besar membutuhkan sebuah keahlian perencanaan multi bidang keilmuan, proses perencanaan dan penganggaran yang dilakukan secara simultan serta koordinasi lintas sektor dan level pemerintahan. Sampai sejauh ini: posisi Bappenas berada di atas Bakornas PB dalam hal pengendalian bencana alam Anggaran untuk penanggulangan bencana alam Persoalan mengenai anggaran bencana alam yang meningkat drastis pernah terjadi di tahun Saat itu DPR dan Pemerintah sepakat untuk menambah anggaran dari Rp 500 milliar menjadi Rp 2.5 triliun. Permasalahan yang muncul adalah: karena sifatnya yang ad-hoc maka dana untuk bencana alam juga memerlukan fleksibilitas yang tinggi dari pemerintah dan DPR. Selain itu, sifatnya yang tidak terprediksi dari awal menjadikan banyaknya pemburu rente yang berusaha mencari kucuran dana atas nama anggaran bencana alam ke daerahnya masing-masing. Dulu fungsi mengatur pos APBN ini berada di tangan Bappenas. Kini, justru saat domain anggaran bencana alam (yang termasuk dalam anggaran pembangunan pada era- Soeharto) belum jelas dan masih kabur payung hukumnya, potensi ini diambil alih oleh DPR. Kasus percaloan dana bencana alam juga bukanlah hal yang baru. Pada tahun 2006, beberapa nama anggota DPR ditenggarai menjadi pendamping permohonan permintaan dana. Hal yang sama berulang terus setiap tahunnya. Misalkan, saat Rapat Dengar Pendapat antara Depkeu-Panitia Anggaran pada tahun ini, yang terjadi adalah presentasi anggota DPR atas bencana alam yang terjadi di daerah pemilihannya agar bisa mempengaruhi keputusan pemerintah maupun anggota DPR yang lain (menurut sumber kami di DPR). Bencana yang datang bertubi-tubi menciptakan permasalahan baru dalam bidang anggaran pemerintah: (1) proses pembahasan anggaran alokasi respon bencana alam harusnya tidak dibahas berlarut-larut seperti pembahasan satuan kerja pemerintah lainnya, karena sifatnya yang tidak dapat disusun secara rinci (kecuali proyek untuk rekonstruksi pada tahun sesudahnya); (2) skema pencairan dana yang dibutuhkan tidak berlarut-larut; (3) dana cadangan untuk bencana bisa saja jumlahnya terlalu kecil 115

116 dan tidak cukup untuk merespon, walau demikian dari tahun ke tahun dana bencana ini jumlahnya makin besar 21. Keruwetan pembiayaan anggaran untuk bencana secara cepat juga dapat didapat dari pelaksanaan hibah dan pinjaman. Kebijakan tentang hibah dan pinjaman asing berhubungan dengan kewenangan Bappenas, Departemen Keuangan serta Departemen Luar Negeri. Secara khusus, Bappenas dan Departemen Keuangan memiliki kewenangan untuk mengatur proporsi anggaran yang diperoleh dari pinjaman dan hibah, yang nantinya akan masuk pada RKA K/L. Skema pinjaman dan hibah luar negeri ke daerah bisa saja dilakukan asal melalui pemerintah pusat. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah. Pasal 46 ayat (1): Pemerintah mengalokasikan Dana Darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan menggunakan sumber APBD. Ayat (2): Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa ditetapkan oleh Presiden Rangkuman Analisis Penanganan bencana alam di Indonesia dapat disimpulkan dalam beberapa point di bawah: Kebijakan mengenai perencanaan pembangunan dan tindak rehabilitasi pasca bencana belum disusun secara strategis. Tidak adanya kapabililitas lembaga yang secara langsung terkait dengan bencana (Bakonas PB) dalam penyusunan rencana induk pembangunan daerah pasca bencana. Perencanaan dan tindak lanjut pasca bencana terbukti sangat lamban karena masih memiliki ketergantungan yang besar pada birokrasi. Maka, dibutuhkan lembaga/badan yang bisa memfasilitasi koordinasi dan pertentangan kepentingan antar departemen. Bappenas terbukti sanggup. Peran Bappenas telah teruji sebagai badan perencana sekaligus pengawas konsistensi rencana pembangunan pasca bencana, ini dapat dilihat pada output dari P3B. Peran Bappenas dalam penanganan bencana mencakup perencanaan lintas sektor dan koordinasi. Adanya Bappenas sangat membantu arah pelaksanaan rekonstruksi, karena memberikan guideline bagi institusi lembaga lain yang 21 Dana tanggap darurat bencana untuk tahun depan mencapai Rp 3 triliun di RAPBN

117 terlibat. Sinkronisasi tersebut justru tidak terlihat pada bencana yang tidak diklasifikasikan sebagai bencana alam nasional. Sebagai catatan, peran Bappenas sebagai lembaga hanya akan dilibatkan secara formal pada bencana alam berskala nasional. Penyusunan masterplan oleh Bappenas merupakan kebijakan yang strategis, namun kebijakan pemerintah untuk terus membiarkan Bappenas terlibat secara aktif dalam penanggulangan bencana bukan hal yang strategis. Kinerja Bappenas yang sudah teruji tersebut merupakan dapat saja dipertahankan karena secara best practice badan ini memiliki keahlian dan juga daya dukung yang cepat (robust). Dalam perencanaan pembangunan pasca bencana, Bappenas memiliki kemampuan jaringan dan partisipasi yang lebih baik. Pertama, karena sudah adanya Bappeda di tiap-tiap daerah; yang kedua, Bappenas (hanya sebagai pendukung) dan Departemen Keuangan memiliki kewenangan untuk mengatur administrasi dan perencanaan hibah/pinjaman dari pihak di luar pemerintah RI. Valuasi kerugian atas bencana alam berskala besar telah dilakukan beberapa kali oleh Bappenas. Ini mengindikasikan adanya kemampuan Bappenas, serta pengatahuan Bappenas tentang unit damage yang ditimbulkan oleh bencana. Pengetahuan dan data informasi ini dapat dijadikan filter bagi adanya perencanaan dan kebutuhan anggaran pasca bencana. Hal ini sedikit sulit, karena kewenangan Bappenas untuk persetujuan anggaran (termasuk dana bencana alam) jauh lebih kecil dari Departemen Keuangan dan DPR. Jadi, Bappenas diberikan kesempatan untuk perencanaan tanpa terlibat secara langsung pada proses persiapan anggaran (lebih banyak pada Depkeu, DPR maupun lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah). Ada potensi dikeluarkannya dana anggaran yang tidak sesuai dengan rencana semula. Seharusnya, Bappenas dapat juga dipercaya dalam menyusun atau paling tidak berkontribusi dalam dokumen kebutuhan anggaran. Proses penganggaran pada penanganan bencana alam tidak dipersiapkan dengan baik dan simpang siur, jadi lebih bersifat spontan melihat kebutuhan. Pengalaman keterlibatan Bappenas dalam penanggulanan bencana alam dan berbagai kelemahan proses kebijakan pasca bencana alam, memberikan rekomendasi 2 skenario besar Pertama, Bappenas tetap dilibatkan dalam penanganan bencana dengan penguatan aspek regulasi dan kewenangan lebih besar untuk melaksanakan rencana induk (best practice yang ada). Kedua, peran Bappenas dibatasi, namun hal ini harus ditanggapi oleh pemerintah dalam penguatan kelembagaan lain. Menurut UU No 24/2007, peran Bakornas PB direncanakan diperkuat namun pengalaman dan keahlian Bappenas dapat saja ditransfer dengan mengadakan pelatihan. Kedua 117

118 skenario tersebut tetap harus didukung dengan regulasi dan panduan (white paper) pemerintah tentang langkah-langkah terstruktur dan jelas penanganan pasca bencana mulai dari perencanaan, implementasi, anggaran hingga evaluasi Monitoring and evaluation atas pembangunan dan penggunaan anggaran Ledakan Audit Indonesia kini sedang berada dalam periode ledakan audit. Meminjam istilah Michael Power (The Audit Exploison, 1994) yang mengomentari perkembangan audit manajemen dan finansial dan Inggris dan negara industri lainnya. Dia menyatakan bahwa kita (dalam konteks negara industri dekade 1990-an) tengah berada dalam ledakan audit, padahal terdapat keraguan bahwa teknik audit, seperti: lingkaran kualitas, nilai uang, sistem penilaian dapat meningkatkan efisiensi dan kualitas. Menurut Power, bukti paling signifikan yang ditimbulkan dari ledakan ini adalah cara teknik ini meningkatkan kemampuan kebijakan dan kontrol manajemen. Jadi pelaksanaan audit yang menggejala di Indonesia belum tentu menciptakan efisiensi dan kualitas pelaksanaaan pembangunan dan anggaran yang digunakan. Namun, paling tidak ada ruang kontrol kebijakan yang lebih besar yang membatasi pelaksanaan kebijakan secara sembrono dan tidak bertanggung jawab. Kemajuan bagi proses audit pemerintah di Indonesia, juga menciptakan permasalahan baru, yakni tentang: ketakutan indikasi korupsi bagi pelaksana proyek. Dokumen anggaran yang rinci, pencantuman tim pelaksana proyek dan juga proses pengadaan barang/jasa yang lebih transparan membuat adanya keseganan bagi calon pelaksana proyek di pemerintah daerah maupun kementerian/lembaga. Sikap tersebut bukan berarti adanya kebiasaan untuk korupsi yang kini dipersulit, namun lebih penting lagi adalah shock yang terjadi dalam proses evaluasi pelaksanaan proyek dan anggaran. Shock ini dapat dilihat dari: (a) ketidak tahuan mengenai sistem dan proses pelaksanaan proyek yang baru; (b) kapasitas pengetahuan yang lemah di berbagai lini pemerintahan; (c) audit kegiatan pemerintah masih dilaksanakan secara simpang siur karena tumpang tindihnya kewenangan auditor internal-eksternal pemerintah. Lebih lanjut lagi, belum ada sosialisasi terpadu tentang batasan dan rambu apa yang boleh dan tidak boleh dalam pelaksanaan pembangunan dan anggaran. Lembaga Auditor Pemerintah dan Kapasitas Lembaganya 118

119 Sumber: Public Expenditure Review, Indonesia. World Bank, 2007 Saat ini terdapat tumpang tindih pada peran dan tanggung jawab lembaga audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal, serta Badan Pengawas Daerah (Bawasda) provinsi dan kabupaten. Di samping tumpang tindih dan membingungkannya peran serta tanggung jawab lembaga-lembaga itu, kerangka hukum fungsi audit pemerintah juga tidak jelas. Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa Presiden (Kepala Pemerintahan) memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintah. Pengelolaan keuangan negara itu dikuasakan kepada menteri atau pemimpin lembaga yang menggunakan anggaran negara serta kepada kepala pemerintahan daerah. Akan tetapi, UU tidak menegaskan pemberian kewenangan kepada Presiden, untuk mengawasi pengelolaan keuangan negara melalui auditor internal pemerintahan. Presiden pada hakikatnya, harus mempertanggung-jawabkan pengelolaan keuangan negara itu kepada rakyat yang memilihnya. Pada sidang paripurna kabinet 28 Maret 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan perlunya pejabat pemerintah pusat maupun daerah berkonsultasi dan memanfaatkan BPKP dalam menjalankan tugas pengelolaan keuangan dan pembangunan. Presiden juga menyatakan, BPKP seharusnya menjadi auditor yang mampu membantu Presiden menjalankan manajemen pemerintahan. Salah satu tugasnya adalah mengawal Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sejak perencanaan, pengelolaan kegiatan, realisasi pelaksanaan kegiatan, hingga penanganan indikasi penyimpangan. Auditor internal pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden hanyalah BPKP. Badan ini berkompetensi mengawasi keuangan dan pembangunan, 119

120 mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. BPKP yang kini dapat melakukan pemeriksaan internal dengan lembaga lain (misalkan Inspektur Jenderal pada tiap kementerian) memerlukan koordinasi dan perumusan wilayah wewenang yang lebih baik dan pasti. Badan ini dibentuk pada tahun 1983 dan telah berkali-kali menerima mandat yang berbeda lewat Keputusan Presiden. Kini, mandatnya semakin tidak jelas; dapat membantu Itjen, mengadakan pelatihan bagi pemerintah daerah, dan sebagainya (World Bank, 2007). Di sisi lain, BPK berkompeten memeriksa pertanggungjawaban keuangan negara. Sebagai auditor eksternal, BPK menyampaikan laporan hasil pemeriksaannya kepada DPR. Hubungan ini dapat diartikan bahwa DPR secara tidak langsung meminta akuntabilitas dari BPK untuk memacu audit yang bermutu dan efektif. BPK memiliki kewenangan untuk menolak memberikan pernyataan opini akuntan (disclaimer) jika laporan keuangan pemerintah dinilainya jeblok. Di samping itu, hanya laporan BPK yang diteliti oleh pejabat serta tersedia untuk umum. Laporan BPK kepada DPR sendiri dinilai terlalu general dan kurang memiliki karakteristik laporan audit. Selain itu, perlu penguatan kapasitas DPR sebagai lembaga beserta anggota-anggotanya agar dapat menganalisa laporan keuangan yang diberikan leh BPK. Sayangnya mandat baru yang diterima oleh BPK, tidak disertai oleh jumlah staf yang ada di lembaga ini. Padahal, BPKP justru memiliki staf yang jauh lebih banyak dengan distribusi kantor yang lebih banyak dari pada BPK. BPK sebaiknya memulai audit pengadaan barang dari Depkeu dan Bappenas, bukan dari departemen teknis. Kondisi itu disebabkan karena seluruh rencana program dan proyek yang disusun departemen teknis akan diverifikasi oleh Depkeu dan Bappenas. Proyek yang dinilai layak untuk dibiayai oleh APBN akan diajukan ke DPR dengan salah satu sumber pembiayaannya dari pinjaman luar negeri. Dengan kondisi tersebut, hanya Depkeu dan Bappenas yang menjadi penyaring kelayakan proyek. Mereka yang tahu, apakah anggaran proyek itu masuk akal atau tidak rasional, sehingga seharusnya BPK memperkuat auditnya di Depkeu dan Bappenas terlebih dahulu Mismatch antara perencanaan dan implementasi Kelemahan lain dari UU Keuangan Negara tidak mengamanatkan adanya fungsi sinkronisasi dan koordinasi di dalam sistem pemerintahan. Selain itu, dalam UU ini dinyatakan bahwa penyusunan prioritas anggaran hanya didasarkan pada kerangka ekonomi makro dan pokok kebijakan fiskal. Padahal, masalah penyelenggaraan bernegara menyangkut bidang dan dimensi yang lebih luas. Selain itu, kelemahan lain 120

121 UU tersebut adalah menjadikan Depkeu sebagai lembaga super power karena otoritasnya luas, dari mulai penerimaan keuangan, pengalokasian, pengeluaran sampai pengevaluasian. Keadaan ini kurang sesuai dengan prinsip manajemen yang sehat, yaitu melemahnya mekanisme check and balance dan kurang memperhatikan prinsip rentang kendali. Adanya sistem perencanaan dan keuangan negara yang baru, telah menyebabkan tingginya kebutuhan akan evaluasi pelaksanaan rencana kerja dan anggaran oleh masing-masing kementeian/lembaga. Oleh karena itu, Menteri/pimpinan lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pengguna anggaran menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pendapatan dan belanja yang berada dalam tanggung jawabnya. Saat ini, pemerintah daerah harus menyusun APBD sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Anggaran Berbasis Kinerja yang menuntut rencana anggaran secara detail (mengacu UU Keuangan Negara). Sebelum ada Permendagri itu, daerah masih diperkenankan menggunakan pos anggaran lain-lain atau dana taktis dalam APBD, sekarang dihapuskan. Dahulu, daerah diperbolehkan membuat pos anggaran yang abstrak atau bersifat gelondongan, misalnya hanya menyebut anggaran alat tulis kantor (ATK), sekarang anggaran ATK harus didetailkan. Menurut Sri Mulyani, penerapan anggaran berbasis kinerja di seluruh departemen dan lembaga non-departemen baru dapat dilaksanakan dalam jangka waktu 5 tahun (Kompas, 15 Juli 2006). Proses pengadaan barang dan jasa (yang diandai belanja barang dan modal pada APBN) dapat dikatakan sebagai sumber daya pendukung proses pembangunan pada tahun anggaran bersangkutan. Pada pasal 48 Ayat 5 Keppres No 80/2003 dijelaskan, pengawasan atas proyek pengadaan barang dilakukan oleh unit pengawasan internal instansi pemerintah. Hasilnya dilaporkan kepada menteri atau pimpinan instansi bersangkutan dengan tembusan kepada Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pasal 30 dari UU Keuangan Negara: (1) Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambatlambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir; (2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya. 121

122 Sebelum tahun anggaran berakhir sekitar bulan November, pemerintah dalam hal ini Menkeu membuat laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan melaporkannya dalam bentuk Rancangan Perhitungan Anggaran Negara (RUU PAN), yang paling lambat lima belas bulan setelah berakhirnya pelaksanaan APBN tahun anggaran bersangkutan. Laporan ini disusun atas dasar realisasi yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Apabila hasil pemeriksaan perhitungan dan pertanggungjawaban pelaksanaan yang dituangkan dalam RUU PAN disetujui oleh BPK, maka RUU PAN tersebut diajukan ke DPR guna mendapat pengesahan oleh DPR menjadi UU Perhitungan Anggaran Negara (UU PAN) tahun anggaran berkenaan. Kerangka hukum dan peraturan untuk pengadaan publik telah mengalami peningkatan, tetapi kapasitas untuk melaksanakan pengadaan yang tepat waktu dan transparan belum memuaskan. Lembaga Pengembangan Kebijakan Pengadaan yang berada di bawah Bappenas tengah menyusun prosedur standar pengadaan yang akan berlaku di seluruh Indonesia, termasuk dokumen tender yang standar. Akan tetapi, kemampuan untuk melaksanakan hal ini di setiap tingkat pemerintahan masih sangat terbatas. Inisiatif percobaan untuk melakukan pengadaan lewat jaringan elektronik (eprocurement) sedang dikerjakan, tetapi peningkatan strategi dalam mendorong penggunaan e-procurement untuk meningkatkan transparansi pasar pada seluruh sistem pengadaan pemerintah belum dilaksanakan. Pengenalan terhadap pelatihan tingkat dasar dan program sertifikasi bagi para pelaku pengadaan merupakan inisiatif yang penting, tetapi kebanyakan pejabat publik tidak memiliki jalur karir atau insentif yang memadai untuk mampu memikul tanggung jawab pengadaan ini. Kontrol terhadap proyek pengadaan barang sangat lemah karena hanya dilakukan lembaga pengawasan internal pemerintah. Berkaitan dengan ketentuan itu, anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Baharuddin Aritonang mengatakan, aturan yang perlu dikaji ulang adalah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Dalam kajian itu, BPK perlu diberi ruang yang lebih luas untuk mengaudit proyek pengadaan barang dan jasa. Selama ini, katanya, BPK tidak bisa dengan mudah mengaudit pengadaan barang karena ada larangan dalam Keppres No 80/2003. Indonesia belum memiliki standar pengadaan barang, baik mekanisme maupun harga. Seharusnya, pemerintah menetapkan standar harga barang yang sudah memperhitungkan keuntungan wajar pelaksana proyek Rangkuman Analisis Mandat yang diberikan kepada masing-masing institusi tidak diimbangi dengan alokasi sumber daya dan peraturan penjelas yang bersifat mendukung. 122

123 Alokasi sumber daya yang tidak berimbang ini dapat dilihat dari aspek pendanaan, sarana kerja, sumber daya manusia; misalkan saja: BPK hanya beroperasi di 16 provinsi (lebih sedikit dari pada BPKP). Evaluasi anggaran dan pembangunan masih dilakukan dalam kewenangan yang simpang siur. Pada masa Soeharto, lembaga-lembaga ini sudah ada, namun tidak berfungsi secara maksimal. Setelah masa post-soeharto, belum ada pemerintahan yang secara tegas memberikan sebuah kerangka kerja yang luas yang menjelaskan posisi BPK, BPKP, Bawasda dan Irjen dalam pelaksanaan anggaran pemerintahan, baik pusat dan daerah. Walau begitu, tampak sekali bahwa ada upaya dari pemerintahan SBY untuk memperkuat institusi BPK. Tidak ada koordinasi evaluasi dan kontrol keuangan yang baik antara institusi 1 dengan yang lainnya. Ini menimbulkan potensi adanya kontrol dan audit yang berulang kali atas suatu program atau proyek pemerintah. Hal ini juga dikarenakan ketidakpercayaan tentang kualitas kinerja institusi lainnya. Anggaran berbasis kinerja belum dapat dilaksanakan dengan baik, karena institusi-institusi yang ada lebih memperhatikan kepatuhan anggaran semata namun jarang mengkaji dan evaluasi kinerja suatu program. Proses audit yang bernafaskan Good Corporate Governance, telah menciptakan sistem yang lebih bersih dan memperkecil kemungkinan adanya kebocoran ataupun korupsi pada anggaran. Di sisi lain, pelaksanaan berbagai program dan proyek pemerintah tersebut justru tidak memberikan output yang maksimal. Misalkan saja, akibat terpatok pada periode anggaran semata maka justru berbagai proram yang sifatnya tergantung musim/cuaca seperti reboisasi, pembangunan jalan, dan sebagainya tidak memiliki output yang maksimal. Perlunya sebuah keleluasaan kontrol, evaluasi dan audit terhadap Bappenas dan Departemen Keuangan. Kedua institusi ini adalah garda terdepan dalam proses perumusan perencanaan dan anggaran yang seringkali menjadi daya tarik tersendiri dalam praktik perburuan rente / KKN. Selain itu, negara juga perlu memberikan jaminan kedudukan yang sama untuk setiap anggota masyarakat di depan hukum, baik itu untuk angggota legislatif, yudikatif dan eksekutif. Negara juga perlu memfasilitasi kerjasama antara BPK dengan Badan Kehormatan DPR-RI, untuk mereduksi praktik percaloan yang ada dala, preoses penyusunan anggaran di DPR. Terjadi tumpang tindih area tugas lembaga audit internal dan eksternal pemerintahan, sehingga muncul ketidak jelasan mengenai status laporan evaluasi pelaksanaan anggaran. Kegiatan audit dan evaluasi menjadi terpecahpecah serta lemah dalam hal koordinasinya. 123

124 Kerangka hukum fungsi audit pemerintah maupun kelembagaan pendukungnya juga membingungkan. Adanya institusi baru, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sifatnya ad-hoc memang memberikan harapan baru adanya niat pemerintah untuk memberantas perilaku penyalahgunaan dana publik ataupun anggaran. Namun, di sisi lain kebijakan ini juga membuat kebingungan di kalangan masyarakat. Pemerintah perlu memberikan sosialisasi mengenai peran dan kewenangan institusi-institusi yang ada. Pengadaan barang dan jasa merupakan titik rawan yang dapat dimanfaatkan sebagai aktivitas KKN. Untuk itu, pemerintah sudah seharusnya merumuskan sistem yang jauh lebih baik, rapi secara administratif, on-line, dan akuntabel. 5. Kesimpulan dan rekomendasi Hal yang paling mendasar adalah: tidak terintegarasinya antara kegiatan perencanaan dan penganggaran di Indonesia. Ini merupakan imbas dari berkurangnya peran Bappenas dalam kedua hal tersebut, terutama di bidang anggaran. Departemen Keuangan kini menjadi institusi super yang selain menjadi bendahara, perencana keuangan, hingga evaluasi pelaksanaan anggaran dan kinerja. Integrasi antara perencanaan dan penganggaran perlu dilakukan sehingga proses anggaran berbasis kinerja dapat dilakukan. Salah satu masalah yang sering dihadapi oleh seorang perencana adalah bahwa tujuan-tujuan mereka kurang dapat dirumuskan secara tepat. Sering kali tujuan-tujuan tersebut didefinisikan secara kurang tegas, karena kadang kala tujuan-tujuan tersebut ditetapkan oleh pihak lain. Perencanaan seringkali dibuat tanpa didasari oleh dokumen kebijakan yang komprehensif sehingga cenderung menjadi ad hoc, tidak strategik dan tidak mengikat dalam ruang cakup kintas sektoral. Bappenas menjadi institusi yang memiliki kualitas SDM baik, namun tidak memiliki gugus kerja yang sesuai dengan kapasitasnya. Akhirnya, Bappenas menjadi super subtitute institusi, atau dengan kata lain: institusi yang bertugas menggantikan lembaga lain yang belum/tidak bekerja dengan maksimal. Ini terlihat pada kasus penanggulangan bencana alam nasional. Beberapa fungsi yang seharusnya diemban oleh Bakornas PB justru dialih fungsikan kepada Bappenas. 124

125 Ada sedikit perbedaan mengenai bagaimana proses perumusan perencanaan pembangunan dilakukan, jika dibandingkan dengan era Soeharto. Kini, perencanaan dilakukan dengan mekanisme Musrenbang, yang berangkat dari ide dan suara dari masyarakat dengan tingkat paling bawah. Walaupun mekanisme proses perencanaan ini terkesan lebioh demokratis, namun dalam kenyataannya masih terdapat aganda perencanaan yang sudah di-setting sebelumnya, dan seolah-olah mengatasnamakan kemauan dari bawah. Perlunya sikap tegas dari pemerintah mengenai ruang lingkup kewenangan institusi yang bertugas dalam mengevaluasi kinerja pembangunan beserta laporan anggarannya. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih mengenai berbagai hal yang terkait dengan kinerja dan anggaran. 125

126 Proses Kebijakan Ekonomi Makro Adrianus Mooy Anggota Tim Ahli Bidang Ekonomi Makro dan Kebijakan 1 Latar belakang Kebijakan ekonomi makro merupakan suatu kebijakan yang terkait dengan manajemen maupun stabilisasi ekonomi makro dalam suatu perekonomian. Proses pembuatan serta perumusan kebijakan dalam sisi ini akan sangat penting terhadap kualitas kebijakan yang dibuat. Hal ini tentu saja memerlukan tidak hanya pemenuhan prosedural dalam pembuatan atau perumusan kebijakan namun juga koordinasi yang baik antara otoritas fiskal dalam hal ini Departemen Keuangan dengan otoritas moneter yaitu Bank Indonesia. Koordinasi yang baik antara kedua lembaga ini diharapkan akan menghasilkan kondisi ekonomi makro yang baik dan terjaga. Di sisi lain, kebijakan yang dihasilkan dari kedua otoritas tersebut tidak saling berkontradiksi antara satu dengan yang lain sehingga menyebabkan kegagalan tidak hanya dalam proses pembuatan kebijakan itu sendiri, dalam hal ini kurangnya komunikasi serta koordinasi yang baik, namun juga kegagalan dalam pencapaian output kebijakan yang diinginkan. Dengan ruang lingkup ekonomi yang semakin terbuka, di mana tidak hanya faktor internal dalam perekonomian, namun juga faktor eksternal juga turut diperhitungkan dan diperhatikan dengan baik. Dengan demikian, kualitas kebijakan yang dihasilkan dapat berfungsi atau mampu mendukung dalam menjaga stabilitas makroekonomi. Hal ini tentu saja dengan tetap menjaga bahwa Bank Indonesia sebagai lembaga yang independen dari pengaruh kekuatan politik, dalam hal ini pemerintah. 126

127 Penyusunan draft mengenai kebijakan strategis ini diharapkan akan tercipta suatu proses kebijakan baik dalam tahap perumusan, pelaksanaan, maupun pengawasan yang komprehensif. Dalam hal ini, diharapkan kebijakan yang dihasilkan tidak terjebak ke dalam masalah yang disebut sebagai wicked problems. 22 Proses kebijakan yang terjadi selama ini di mana menghadapi kendala berupa lambatnya dalam hal perumusan terkait dengan permasalahan koordinasi, kesepakatan kolektif, serta komunikasi lintas sektoral yang kurang baik masih saja terus berlangsung. Selain itu, proses konsultasi di antara pemangku kepentingan seringkali terjadi miskoordinasi, sehingga kualitas kebijakan terutama berkaitan dengan perumusan regulasi seringkali bertabrakan dengan regulasi lain. Akibatnya, implementasi kebijakan menjadi sukar dan bahkan secara praktis menjadi tidak dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Dengan demikian, dalam prakteknya, kebijakan yang dibuat memerlukan suatu panduan komprehensif dan terarah dengan bersifat inklusif terhadap berbagai pihak yang tergabung dalam tim formulasi kebijakan. Selain itu, proses konsultasi baik antar kementerian maupun departemen/lembaga otoritas pembuat kebijakan perlu memperhatikan pihak-pihak yang perlu dipertimbangkan untuk turut berpartisipasi dalam perumusan kebijakan tersebut. Selain itu, kapasitas birokrasi maupun administrasi yang baik sangat diperlukan sehingga kebijakan yang akan dirumuskan tidak terhambat dalam permsalahan yang sifatnya prosedural ataupun birokratis. Hal ini penting untuk menghindari diskusi mengenai perumusan kebijakan menjadi lebih terfokus pada masalah substansi, bukan pada hal yang bersifat teknis. Mengenai kebijakan makroekonomi, sangat penting bagaimana kebijakan moneter dan juga kebijakan fiskal mampu menghasilkan stabilitas makroekonomi yang saling mendukung, memiliki arah yang jelas, serta pencapaian yang optimal. Dengan demikian, Bank Indonesia saat ini berusaha menjaga independensinya serta dengan Departemen Keuangan dalam hal ini sebagai bagian dari pemerintah bisa menghasilkan suatu proses perumusan kebijakan yang matang dengan koordinasi serta pelibatan masing-masing otoritas. 22 Australia Public Service Commission, Tackling Wicked Problems, Canberra: Commonwealth of Australia,

128 Kebijakan yang dihasilkan baik dari sisi fiskal maupun moneter diharapkan menghasilkan kebijakan baik kondusif maupun responsif terhadap situasi ekonomi baik dari goncangan internal maupun eksternal. Selain itu, kapasitas dan kapabilitas otoritas kebijakan tetap terjaga dengan baik. Indikator-indikator makro yang ada secara langsung akan menjadi ukuran seberapa optimal kebijakan yang dibuat efektif untuk menjaga stabilitas makroekonomi, namun juga dengan tanpa mengesampingkan proses perumusan kebijakan secara sistematis dan koheren satu dengan lainnya. 2 Tinjauan, ruang lingkup dan metodologi 2.1. Tinjauan dan ruang lingkup kebijakan moneter Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia memiliki dasar pertimbangan wilayah tanggung jawab berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan kemudian dipertegas dalam UU No. 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 23 tahun Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa Bank Indonesia memiliki tanggung jawab untuk mendukung terwujudnya pembangunan nasional yang berkesinambungan dan sejalan dengan tantangan perkembangan serta pembangunan ekonomi yang semakin kompleks. Selain itu, dengan sistem keuangan yang semakin maju serta perekonomian internasional yang semakin kompetitif dan terintegrasi, kebijakan moneter yang dirumuskan dititikberatkan dalam upaya untuk memelihara stabilitas nilai rupiah. Berdasarkan UU No. 23 tahun 1999 Pasal 4 ayat 2 serta dipertegas oleh UU No. 3 tahun 2004 pada pasal 1 menyatakan bahwa Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang. Dengan demikian, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter memiliki kekuatan untuk berdiri sebagai lembaga independen yang terlepas dari intervensi pemerintah. Namun, di sisi lain perannya dalam koordinasi stabilitas 128

129 makro ekonomi dengan pemerintah masih diperlukan agar kebijakan yang dihasilkan dapat menghasilkan kebijakan yang konstruktif dalam perekonomian. Hal ini tentu saja dalam koordinasi yang terjadi, Bank Indonesia tetap menjaga independensinya sebaik mungkin. Dengan ini, kebijakan yang dihasilkan tidak terkandung kepentingan-kepentingan jangka pendek di mana dapat menjadi distorsi pada stabilitas makro ekonomi. Dengan memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan rupiah maka Bank Indonesia perlu melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. Koordinasi yang dilakukan Bank Indonesia dalam rangka mempertimbangkan kebijakan ekonomi pemerintah dalam perumusan kebijakan moneternya tentu saja memiliki batas tertentu. Pada pasal 9 UU No. 23 tahun 1999, Bank Indonesia wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya. Sehingga, kebijakan moneter yang dihasilkan adalah mutlak keputusan dari pihak Bank Indonesia. Tugas Bank Indonesia sendiri dalam melaksanakan kebijakan moneter memiliki wewenang: (a) Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi; (b) Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara yang termasuk tetapi tidak terbatas pada: (1) operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing; (2) penetapan tingkat diskonto; (3) penetapan cadangan wajib minimun; dan (4) pengaturan kredit atau pembiayaan. Cara-cara pengendalian moneter yang dilakukan Bank Indonesia selain melalu mekanisme kebijakan moneter konvensional yang berlaku secara umum, dapat juga dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah. Hal ini dilakukan untuk mengakomodasi semakin berkembangnya ekonomi dengan prinsip syariah di Indonesia. Selain itu, Bank Indonesia juga memiliki tugas dalam mengelola cadangan devisa dengan melaksanakan berbagai jenis transaksi devisa, dan juga dapat menerima pinjaman luar negeri. Bank Indonesia dalam rangka melaksanakan tugas mengatur Bank berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian. 129

130 Namun dalam pengawasan perbankan tugasnya sementara masih dipegang oleh Bank Indonesia selama belum terbentuknya lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, di mana pada pasal 34 sesuai UU No. 3 tahun 2004 akan dibentuk dan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember Dengan demikian, hingga saat ini fungsi regulator dan juga pengawas perbankan masih dilaksanakan keduaduanya oleh Bank Indonesia. Proses pembuatan kebijakan moneter itu sendiri berdasarkan UU No. 23 tahun 1999 pasal 43 dilakukan oleh Bank Indonesia melalui Rapat Dewan Gubernur yang diselenggarakan sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan. Rapat tersebut dilaksanakan untuk menetapkan kebijakan umum di bidang moneter. Rapat tersebut juga dapat dihadiri oleh seorang menteri atau lebih yang mewakili Pemerintah dengan memiliki hak bicara, namun tanpa memiliki hak suara. Kemudian, sekurangkurangnya sekali dalam seminggu melakukan evaluasi atas pelaksanaan kebijakan moneter atau menetapkan kebijakan lain yang prinsipil dan strategis. Berdasarkan ini, peran Dewan Gubernur adalah pimpinan-pimpinan yang memiliki otoritas untuk menentukan dan mengevaluasi kebijakan moneter yang dirumuskan Hubungan antara Bank Indonesia dengan Pemerintah Posisi Bank Indonesia terhadap Pemerintah adalah bahwa Bank Indonesia memiliki peran sebagai pemegang kas Pemerintah. Dalam hal tersebut, Bank Indonesia memberikan bunga atas saldo kas Pemerintah sesuai dengan peraturan perundangundangan. Bank Indonesia juga untuk dan atas nama Pemerintah dapat menerima pinjaman luar negeri, menatausahakan, serta menyelesaikan tagihan dan kewajiban keuangan Pemerintah terhadap pihak luar negeri. Pemerintah dalam merumuskan kebijakan ekonominya berdasarkan UU No. 23 tahun 1999 pasal 54 wajib meminta pendapat Bank Indonesia. Dalam hal ini, Pemerintah mengundang Bank Indonesia dalam sidang kabinet yang membahas masalah ekonomi, perbankan dan keuangan yang berkaitan dengan tugas Bank Indonesia atau masalah lain yang termasuk kewenangan Bank Indonesia. Situasi ini menggambarkan bahwa diperlukan suatu sinkronisasi kebijakan ekonomi baik dari sisi pemerintah 130

131 maupun sisi Bank Indonesia, terutama yang memasuki wilayah core competence dari Bank Indonesia. Dalam penuyusunan anggaran Pemerintah, Bank Indonesia wajib memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) serta kebijakan lain yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Hal ini tentu berkaitan tidak hanya dalam asumsi-asumsi makroekonomi yang digunakan dalam penyusunan anggaran seperti nilai tukar rupiah, tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan lainnya, namun juga mengenai pembayaran utang pemerintah dan juga pengelolaan cadangan devisa. Koordinasi pada situasi ini menjadi penting demi terciptanya stabilitas makroekonomi yang terjaga. Dengan demikian, apa yang direncanakan Pemerintah di dalam anggaran dapat didukung oleh kebijakan-kebijakan ekonomi yang tepat. Pemerintah dalam menerbitkan surat-surat utang negara wajib terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia. Hal ini penting dilakukan untuk menganalisa kapasitas kebutuhan Pemerintah menggunakan instrumen utang dalam pembiayaan pembangunannya yang juga terkait dengan kapasitas pelunasan utang tersebut di kemudian hari. Selain itu, sebelum menerbitkan surat utang negara tersebut, Pemerintah wajib berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dengan demikian surat utang yang diterbitkan diharapkan dapat berguna bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Bank Indonesia juga dapat membantu penerbitan surat-surat utang negara yang diterbitkan Pemerintah tersebut. Namun, Bank Indonesia dilarang membeli surat-surat utang negara untuk diri sendiri di pasar primer, kecuali surat utang negara berjangka pendek yang diperlukan Bank Indonesia untuk operasi pengendalian moneter. Kemudian, Bank Indonesia juga dapat membeli surat utang negara dengan tujuan memberikan fasilitas pembiayaan darurat di pasar primer. Walaupun satu sisi Bank Indonesia membantu pemerintah dalam penerbitan surat-surat utang negara namun Bank Indonesia dilarang untuk memberikan kredit kepada Pemerintah. 131

132 2.3 Tinjauan dan ruang lingkup kebijakan fiskal Kebijakan Fiskal adalah suatu terminologi ekonomi yang menjelaskan perilaku dari pemerintah dalam memperoleh sumber-sumber penerimaannya untuk membiayai belanja pemerintah dalam waktu berjalan dan investasi untuk kebutuhan sosial serta alokasi transfer baik kepada masyarakat di tingkat nasional maupun daerah. Sumber-sumber penerimaan pemerintah dapat diperoleh dengan cara membebankan pajak, melakukan pinjaman baik dari dalam maupun luar negeri, pungutan atas jasa pemerintah maupun aset pemerintah, dan juga dengan melalui fiat money. Kebijakan fiskal juga meliputi kebijakan belanja defisit yang dilakukan untuk stimulasi permintaan barang dan jasa domestik, sebagai upaya untuk memerangi pengangguran. Dalam upaya memerangi inflasi, kebijakan fiskal diupayakan dengan mengurangi belanja defisit, bahkan bila memungkinkan menciptakan surplus anggaran. Berdasarkan amandemen UUD 1945, tercantum pada pasal 20A ayat (1) yang memberikan perluasan wewenang pada Dewan Perwakilan Rakyat dengan memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dengan demikian, pada saat ini DPR memiliki peran signifikan dalam penentuan anggaran yang akhirnya berimbas pada kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan perwujudan dari pengelolaan keuangan negara, di mana ditetapkan setiap tahun dengan UU dan dilaksanakan secara terbuka dan harus dipertanggungjawabkan kepada DPR. Pada pasal 23 ayat (3) menyatakan bahwa dalam penyusunan APBN tersebut apabila DPR tidak menyetujui RAPBN yang diusulkan oleh Presiden, pemerintah harus menjalankan APBN tahun yang lalu. Jadi, dalam Amandemen UUD 1945, kedudukan DPR dan pemerintah dalam hal ini adalah setara. Berdasarkan posisi demikian, tentu dalam penyusunan APBN dan kebijakan fiskal tidak saja masuk dalam perhitungan secara ekonomis namun juga terdapat unsur politis dengan masuknya berbagai kepentingan kekuatan politik di dalam tubuh DPR. 132

133 Salah satu perundang-undangan yang menyangkut pengelolaan keuangan negara yang menjadi pijakan hukum pemerintah adalah UU No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Pada pasal 13 menyatakan bahwa Pemerintah Pusat mempunyai kewajiban untuk menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran. Hal ini dilakukan dengan menyampaikan untuk tahun berikutnya kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. Kemudian, Pemerintah Pusat dan DPR bersama-sama membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam pembicaraan pendahuluan RAPBN tahun anggaran berikutnya. Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal inilah, Pemerintah Pusat bersamasama dengan DPR membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran. Dalam rangka penyusunan RAPBN dan juga tertuang kebijakan fiskal ke depan tentunya melibatkan koordinasi dan konsolidasi lintas lembaga pemerintahan baik departemen maupun kementerian. Pada bagian ini, menteri/pimpinan lembaga pemerintahan selaku pengguna anggaran atau pengguna barang diharuskan menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian negara atau lembaga untuk tahun berikutnya. Tentunya, rencana kerja dan anggaran tersebut disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Hal inilah yang akan menentukan jumlah besaran akan anggaran yang akan didapatkan masing-masing lembaga pemerintahan tersebut. Selain itu, rencana kerja dan anggaran tersebut juga disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun. Kemudian, rencana kerja dan anggaran tersebut disampaikan kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN. Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mengamanatkan diperlukannya sebuah manajemen APBN yang baik dengan tujuan mencapai sasaran pembangunan ekonomi yang ditetapkan. Dengan berbagai proses penyusunan APBN tersebut menunjukkan bahwa sisi 133

134 kebijakan fiskal memerlukan tahapan yang dapat dikatakan cukup kompleks, tidak hanya melibatkan lintas lembaga pemerintahan, namun juga proses politik di DPR. 3 Policy regime 3.1. Kebijakan moneter Sebagai otoritas kebijakan moneter, Bank Indonesia tentu memiliki sasaran akhir moneter. Untuk mencapai sasaran tersebut Bank Indonesia melaksanakan kebijakan yang mempengaruhi: 1. Stabilitas harga; 2. Pertumbuhan ekonomi; 3. Perluasan kesempatan kerja; 4. Keseimbangan neraca pembayaran Namun, dalam pelaksanaan dengan tujuan mencapai sasaran tersebut di atas seringkali terjadi konflik pencapaian sasaran kebijakan. Pencapaian keempat sasaran akhir tersebut tidak jarang mengandung berbagai kontradiksi, misalnya: sasaran untuk pencapaian pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja ternyata berdampak negatif terhadap kestabilan harga dan keseimbangan pada neraca pembayaran. Tentu saja hal ini membuat Bank Indonesia sangat perlu untuk merumuskan kebijakan moneter secara komprehensif dengan memperhatikan berbagai aspek. Hal ini dilakukan agar kebijakan yang dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Berdasarkan keterbatasan tersebut, diperlukanlah sebuah pencapaian sasaran tunggal. Hal ini kemudian ditegaskan mengenai sasaran tunggal Bank Indonesia sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang Bank Indonesia No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yaitu berusaha untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Stabilitas nilai rupiah yang dimaksud tersebut tidak hanya menyangkut nilai mata uang rupiah namun juga hal-hal lain yang meliputi: 1. Barang dan jasa di dalam negeri (tingkat inflasi) 2. Mata uang negara lain (kurs/valuta asing) 134

135 Kedua hal di atas kemudian dianggap sebagai prasyarat dasar untuk tercapainya pertumbuhan ekonomi Kebijakan moneter dengan sasaran kestabilan harga: menuju Inflation Targeting Sejalan dengan semangat UU No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sejak tahun 2000 Bank Indonesia mulai menempuh langkah-langkah penerapan kerangka kebijakan moneter yang disebut sebagai inflation targeting. Kebijakan ini memiliki karakteristik tersendiri, di mana kebijakan ini lebih dipandang bukan sebagai sebuah rule (aturan), namun lebih pada sebuah kerangka kerja (framework). Kebijakan inflation targeting secara umum mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakan dengan kebijakan-kebijakan lainnya, antara lain ditunjukkan dengan adanya hal-hal sebagai berikut: 1. Pernyataan resmi (dan dikuatkan dalam Undang-Undang) bahwa tujuan akhir kebijakan moneter adalah inflasi yang rendah dan stabil. 2. Penetapan dan pengumuman target inflasi dalam jangka menengah sampai dengan jangka panjang. 3. Adanya elemen independensi, komitmen, komunikasi, disiplin dan mekanisme akuntabilitas kebijakan moneter. Kerangka kebijakan moneter dalam hal ini akan ditandai oleh pemberitahuan kepada masyarakat mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam kurun waktu tertentu oleh Bank Indonesia. Dalam kerangka kebijakan ini, laju inflasi yang rendah dan stabil dijadikan sebagai sasaran utama pada jangka panjang. Jadi, secara umum dapat disimpulkan bahwa kebijakan inflation targeting akan dicirikan dengan hal-hal sebagai berikut: 1. Target inflasi diumumkan secara eksplisit. 2. Kebijakan moneter dilakukan secara forward-looking. 3. Adanya transparansi dan akuntabilitas kebijakan. 135

136 Dasar Pemilihan Kebijakan Inflation Targeting Pemilihan kebijakan inflation targeting tentu memiliki latar belakang alasan tertentu, bukan hanya kebijakan yang taken for granted saja. Selain kebijakan inflation targeting sebenarnya ada beberapa framework lain seperti: exchange rate atau monetary targeting. Namun, mengapa akhirnya yang dijadikan pilihan adalah kebijakan inflation targeting? Beberapa hal yang mendasari pemilihan kebijakan inflation targeting antara lain: Terkait dengan pilihan regim nilai tukar (exchange rate). Dengan ditetapkan kebijakan nilai tukar adalah flexible exchange rate, maka pilihannya adalah antara monetary targeting versus inflation targeting. Dengan ini, diambilah kebijakan inflation targeting. Kebijakan inflation targeting dipilih karena kebijakan ini memiliki fokus pada kestabilan harga sehingga dapat digunakan sebagai anchor atau acuan ekspektasi inflasi bagi masyarakat. Kebijakan inflation targeting mendorong peningkatan transparansi dalam kebijakan moneter. Kebijakan inflation targeting memberikan ukuran keberhasilan bank sentral. Dalam hal ini berkaitan dengan kejelasan akuntabilitas yang dilakukan bank sentral. Kebijakan inflation targeting bersifat forward looking dan juga memperhitungkan lag kebijakan moneter. Hal ini penting dimana kebijakan moneter seringkali memiliki lag yang cukup besar antara kebijakan yang dilakukan dengan dampak atau hasil yang diharapkan pada perekonomian. Kebijakan inflation targeting tidak memerlukan asumsi berupa stabilitas hubungan antara uang beredar, output dan harga. Pengalaman negara-negara lain yang menerapkan kebijakan inflation targeting menunjukkan perekonomian dengan tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Beberapa studi Bank Indonesia juga menyimpulkan bahwa strategi kebijakan moneter melalui pengendalian uang beredar semakin sulit diandalkan. Hal ini terjadi karena semakin merenggangnya hubungan antara besaran moneter 136

137 dengan variabel ekonomi riil. Dengan demikian, seolah-olah kebijakan moneter yang dilaksanakan tidak memiliki dampak apapun pada sektor riil. Dengan berlakunya UU No.23 th.1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan bahwa tujuan Bank Indonesia memiliki fokus pada pencapaian dan pemeliharaan kestabilan Rupiah. Melalui kebijakan inflation targeting diharapkan dapat mencapai fokus tujuan dari Bank Indonesia tersebut. Kebijakan inflation targeting kini semakin banyak diterapkan sebagai kerangka kebijakan moneter di berbagai bank sentral, antara lain: - Pada negara-negara maju, contoh: Kanada (1991), Israel (1991), Inggris (1992), Swedia (1993), Finlandia (1993), Australia (1993), Spanyol (1994). - Negara-negara emerging economies, contoh: Amerika Latin (antara lain: Chili, Meksiko, Brazil); Eropa Timur (a.l. Polandia, Check Republik); dan Asia (a.l. Korea Selatan, Thailand, Philipina dan Indonesia) Faktor Faktor Lain yang Terkait dengan Kebijakan Inflation Targeting Situasi perekonomian seringkali menunjukkan bahwa fenomena tingkat inflasi (kenaikan harga secara umum) sebenarnya tidak hanya dipengaruhi oleh kebijakan moneter, namun kebijakan pemerintah dalam hal ini dari sisi fiskal ataupun kebijakan di bawah menteri koordinator perekonomian yang terutama berkaitan dengan bidang harga dapat juga memberikan dampak terjadinya inflasi. Dalam hal ini kebijakankebijakan seperti: perubahan harga BBM; penerapan upah minimum; penyesuaian tarif dasar listrik, serta kemampuan pemerintah dalam menangani gangguan produksi dan distribusi barang kebutuhan primer masyarakat juga turut andil dalam memberikan kontribusi terhadap terjadinya inflasi. Tingkat inflasi yang merupakan dampak dari kebijakan pemerintah biasanya disebut sebagai administered prices, sedangkan tingkat inflasi yang menjadi tanggung jawab otoritas moneter dalam hal ini Bank Indonesia biasa disebut sebagai inflasi inti (core inflation). Selain itu, tingkat inflasi juga dipengaruhi oleh keadaan sistem keuangan dalam suatu perekonomian. Sistem keuangan yang sehat sangatlah diperlukan untuk menjaga 137

138 tingkat inflasi rendah. Berbagai upaya penanganan inflasi tentu akan menjadi sulit apabila keadaan sistem keuangan dalam perekonomian tidak sehat. Berikut ini adalah kerangka kebijakan inflation targeting berdasarkan acuan teoritis yang dipakai secara umum: Mulai bulan Juli 2005, Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan menggunakan Inflation Targeting Framework (ITF), yaitu dengan mengadaptasi empat elemen dasar, antara lain: 1. Penggunaan suku bunga (BI Rate) sebagai reference rate; 2. Proses perumusan kebijakan moneter yang antisipatif; 3. Strategi komunikasi yang lebih transparan; 4. Penguatan koordinasi kebijakan dengan pemerintah. Berdasarkan empat point di atas merupakan upaya Bank Indonesia untuk meningkatkan efektivitas dan tata kelola (governance) kebijakan moneter dalam mencapai sasaran akhir kestabilan harga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan juga mencapai kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai kebijakan inflation targeting yang efektif, Bank Indonesia menerapkan suku bunga (BI-rate) sebagai sasaran operasional kebijakan moneter dan 138

139 proses percepatan konsolidasi perbankan. Dengan ini, BI-rate diharapkan menjadi suku bunga acuan baik pada suku bunga kredit konsumsi, investasi maupun modal kerja, serta suku bunga tabungan dan investasi lainnya. Berdasarkan pemaparan di atas, secara umum ada tiga prinsip dasar penyempurnaan framework kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia, yaitu: 1. Bank Indonesia akan menggunakan suku bunga (BI-rate) sebagai sasaran operasional. Dalam hal ini menggantikan penggunaan base money; 2. Kebijakan moneter akan dilakukan secara lebih transparan dan akuntabel; 3. Bank Indonesia akan melakukan penguatan mekanisme perumusan dan pengambilan kebijakan moneter. Sedangkan untuk proses percepatan konsolidasi perbankan, Bank Indonesia menetapkan kebijakan sebagai berikut: 1. Jumlah modal minimum pada tahun 2010 mencapai Rp.100 miliar; 2. Memperkenalkan konsep bank jangkar Dalam rangka memperkuat sektor perbankan, baru-baru ini (Awal Juli 2007) dibentuk Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK), sebagai upaya memperkuat koordinasi antar institusi dalam rangka memonitor kesehatan sistem keuangan secara menyeluruh Konsep Dasar Kebijakan Moneter Bank Indonesia dengan Kerangka Inflation Targeting Konsep dasar ini akan menggambarkan arah dan bentuk kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia dalam mencapai sasaran utamanya untuk menjaga tingkat inflasi. 1. Kebijakan moneter mengarah ke depan (forward looking): Kebijakan moneter yang memperhatikan aspek-aspek yang mungkin dan akan terjadi ke depannya tentu memiliki tujuan dan latar belakang, antara lain: 139

140 Kebijakan moneter yang dilakukan berusaha lebih bersifat antisipatif ke depan. Hal ini dilakukan karena adanya tenggang waktu dari pengaruh kebijakan moneter terhadap inflasi. Memperkirakan pergerakan inflasi ke depan terhadap sasaran yang ditetapkan. Mengetahui transmisi kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi dan perekonomian. Berdasarkan hal tersebut, diharapkan kebijakan moneter yang diambil dapat lebih responsif terhadap berbagai fluktuasi ekonomi baik berasal dari faktor internal maupun eksternal perekonomian. Selain itu juga dapat memelihara keadaan stabilitas makro ekonomi yang kondusif. 2. Transparansi Bentuk transparansi kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia memiliki tujuan sebagai berikut: Untuk menunjukkan komitmen bank sentral dalam mengatasi inflasi; Agar masyarakat atau pelaku ekonomi memahami arah dan kebijakan moneter ke depannya seperti apa. Dengan pelaksanaan transparansi tersebut ke depannya diharapkan memperkecil ruang ketidakpastian keadaan perekonomian, dalam hal ini dilihat dari sisi kebijakan moneter. Masyarakat atau pelaku ekonomi dengan ini dapat memperhitungkan atau mengkalkulasikan keputusan ekonominya dengan mempertimbangkan kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Hal ini penting terutama berkaitan dengan pelaku-pelaku di dalam pasar keuangan, terutama keputusan untuk berinvestasi dalam portofolio atau aset-aset keuangan. 3. Akuntabilitas dan Kredibilitas Aspek ini akan sangat berkaitan dengan bagaimana posisi dan peran Bank Indonesia dalam mengkoordinasikan dan mengkonsolidasikan kebijakan moneter dengan memperhatikan kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah. Selain itu, hal ini juga terkait dengan sejauh mana Bank Indonesia merumuskan kebijakan moneternya sebaik mungkin, sehingga kebijakan moneter yang diambil benar-benar melalui 140

141 proses perumusan yang baik dengan mempertimbangkan berbagai aspek terkait. Secara umum, mengenai akuntabilitas dan kredibilitas akan terkait pada poin-poin sebagai berikut: Akuntabilitas bank sentral akan mempengaruhi kredibilitas bank sentral itu sendiri. Dibutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal untuk merumuskan dan menghasilkan kebijakan moneter yang kredibel. Koordinasi dengan pemerintah dan instansi terkait perlu dilakukan dengan baik. Hal ini dikarenakan bahwa sumber inflasi berasal dari faktor yang bermacam-macam. Pada point terakhir di atas menunjukkan bahwa diperlukan suatu koordinasi serta komitmen lintas lembaga otoritas baik moneter maupun fiskal dalam mencapai sasaran stabilitas makro ekonomi. Hal ini untuk mengurangi kebijakan yang saling bertabrakan antar kedua otoritas kebijakan dalam ekonomi Implementasi Kebijakan Inflation Targeting di Indonesia Pelaksanaan kebijakan inflation targeting di Indonesia tidak dilaksanakan begitu saja. Tentu ada sejumlah asumsi atau syarat yang perlu dipenuhi agar kebijakan tersebut dapat dilaksanakan secara efektif oleh Bank Indonesia. Syarat-Syarat Implementasi Kebijakan Inflation Targeting: Bank sentral yang independen (minimal instrument independence ). Memiliki komitmen untuk mencapai kestabilan harga. Tidak adanya dominasi dari sisi kebijakan fiskal. Sistem keuangan yang kuat. Transparansi dan akuntabilitas. Tidak ada anchor yang lain (exchange rate harus fleksibel/floating). Kebijakan moneter yang bersifat forward looking. Memiliki kemampuan operasional, yaitu sebagai berikut: Kemampuan dalam forecast inflasi. Pemahaman mengenai transmisi kebijakan moneter. 141

142 Memiliki prosedur operasional kebijakan moneter yang baik. Dengan berbagai syarat dalam pengimplementasian kebijakan inflation targeting tersebut tentu saja dilakukan dengan harapan sasaran yang diinginkan tercapai dengan tetap menjaga kredibilitas Bank Indonesia dalam menjaga independensinya dan juga akuntabilitas lembaga otoritas moneter tersebut dalam menghasilkan atau merumuskan kebijakan moneter yang tepat. Seperti telah kita ketahui, berdasarkan UU No. 3/2004 sebagai perubahan atas UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia memberikan landasan legal bagi independensi Bank Indonesia selain inflasi merupakan satu-satunya tujuan kebijakan moneter. Bank Indonesia memiliki independensi dalam cara mencapai inflasi (instrumen moneter), dan institutional (tidak ada campur tangan, intervensi dan anggaran). Sementara sasaran inflasi akan diumumkan oleh pemerintah dengan berkerjasama dengan Bank Indonesia Sasaran Inflasi Sasaran inflasi dirumuskan dan ditetapkan oleh pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Sasaran inflasi yang ditetapkan meliputi jangka menengah hingga jangka panjang (3-5 tahun). Data inflasi yang digunakan dalam hal ini adalah Indeks Harga Konsumen (IHK), yang biasa dikembangkan melalui konsep sampling data sejumlah barang dan jasa tertentu di kota-kota besar di Indonesia. Indeks ini mengukur tingkat perubahan harga dengan mengacu pada tahun dasar tertentu. Melalui indeks ini, akan terlihat tingkat perubahan harga baik dari waktu ke waktu. Untuk merumuskan kebijakan moneter ke dalam, Bank Indonesia mengembangkan inflasi inti (core inflation), yaitu inflasi yang dapat dikendalikan oleh kebijakan moneter. Jadi, yang menjadi tanggung jawab Bank Indonesia dalam menekan laju inflasi adalah berupa inflasi inti, bukan inflasi secara keseluruhan. Perlu diperhatikan bahwa ada unsur kebijakan pemerintah yang turut berkontribusi dalam inflasi 142

143 (administered prices). Bagian ini adalah di luar wewenang dan tanggung jawab Bank Indonesia Kebijakan Moneter Mengarah Ke Depan Setiap awal tahun pemerintah menetapkan sasaran inflasi dan ini disampaikan kepada masyarakat dan para pelaku ekonomi. Bank Indonesia pada setiap triwulan diadakan Rapat Dewan Gubernur (RDG) yaitu pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober dengan tujuan untuk menetapkan arah dan sasaran kebijakan moneter triwulanan. Kemudian hal ini akan terangkum dalam laporan kebijakan moneter triwulanan yang diterbitkan Bank Indonesia dan dapat diakses oleh publik. Rapat Dewan Gubernur (RDG) juga dilaksanakan setiap sebulan sekali dengan tujuan untuk mengevaluasi dan menetapkan sasaran serta menetukan operasional moneter bulanan. Sedangkan operasi mingguan (RDG) dilakukan untuk menetapkan operasi moneter pada minggu yang bersangkutan. Dalam merumuskan dan mengevaluasi kebijakan, Bank Indonesia tentu membutuhkan sejumlah data dan informasi yang berfungsi sebagai alat analisa serta prediksi keadaan ekonomi pada periode tertentu. Setidaknya dua set indikator dibutuhkan, yaitu: (1) Leading indicators sebagai early warning system; dan (2) Policy indicators. Di samping evaluasi data statistik ekonomi, moneter dan perbankan, pasar uang rupiah dan valas, juga dilakukan survey prospek ke depan. Survey ini antara lain untuk mengetahui tingkat kepercayaan masyarakat (consumer confidence), dan juga tingkat kepercayaan investor atau pelaku bisnis (business confidence). Dengan berbagai informasi yang dimiliki Bank Indonesia baik melalui data-data ekonomi keuangan maupun melalui survey tingkat kepercayaa, diharapkan Bank Indonesia menghasilkan analisa dan perumusan kebijakan moneter yang tepat baik pada tataran indikator makro ekonomi maupun pada pemeliharaan ekspektasi dan tingkat kepercayaan masyarakat atau pelaku bisnis terhadap kondisi perekonomian. 143

144 Selain berdasarkan data-data aktual ekonomi dan keuangan serta survey secara langsung. Bank Indonesia juga memiliki kerangka analisa yang dibuat melalui model ekonomi. Ini berguna untuk melakukan prediksi melalui metodologi yang teruji dan juga melakukan simulasi kebijakan. Dengan demikian, kebijakan yang akan dilaksanakan dapat diujicobakan melalui model sehingga dapat memberikan gambaran terhadap dampak yang akan terjadi dari pelaksanaan suatu kebijakan. Hal ini diharapkan Bank Indonesia memiliki sejumlah persiapan terhadap berbagai dampak yang mungkin terjadi ke depannya Bank Indonesia Sebagai Pengelola Cadangan Devisa Berdasarkan UU No. 24/1999 menerangkan bahwa setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa. Namun, penggunaan devisa tersebut di mana untuk keperluan transaksi di dalam negeri, wajib memperhatikan ketentuan mengenai alat pembayaran yang sah sebagaimana diatur dalam UU tentang Bank Indonesia. Bank Indonsia dalam hal ini berwenang meminta keterangan dan data mengenai kegiatan Lalu Lintas Devisa yang dilakukan oleh penduduk. Yaitu dengan memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan Lalu Lintas Devisa yang dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian, Bank Indonesia menetapkan ketentuan atas berbagai jenis transaksi devisa yang dilakukan oleh Bank, yaitu ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia Wewenang BI atas Cadangan Devisa: 1. Pengelolaan Cadangan Devisa : Pengelolaan dilakukan dengan diversifikasi menurut jenis valuta dan jenis penempatan. 144

145 Pengelolaan dilakukan berdasarkan prinsip keamanan dan kesiagaan untuk memenuhi kewajiban segera tanpa mengabaikan prinsip pendapatan yang optimal. 2. Pengembangan Pasar Valuta Asing Melalui penyempurnaan berbagai ketentuan di bidang transaksi devisa, yaitu menetapkan ketentuan transaksi devisa yang dilakukan oleh bank dalam rangka menetapkan prinsip kehati- hatian : 1. Ketentuan mengenai Posisi Devisa Netto Bank-bank. 2. Ketentuan mengenai Transaksi Derivatif. 3. Pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valas. 3. Pengelolaan Nilai Tukar Sterilisasi/Intervensi di pasar valuta asing. Penentuan Kurs Jual / beli yang terdiri dari; 1. Kurs Transaksi 2. Kura Uang Kertas Asing. Pergerakan nilai tukar sendiri dipengaruhi oleh : Faktor fundamental variabel-variabel ekonomi makro pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, perkembangan BOP. Faktor non fundamental : sosial, politik, rumors dll 145

146 Kebijakan Bank Indonesia terhadap Nilai Tukar Menjaga kondisi fundamental makro ekonomi yang sehat. Melakukan intervensi ke pasar valas. Pengawasan langsung pada bank pelaku terbesar. Pemantauan rekening vostro. Non-internasionalisasi Rupiah, dengan membatasi akses non-residen terhadap rupiah untuk menekan tindakan spekulasi. Pembatasan Internationalisasi Rupiah (PBI No.3/3/2001): 1. Pelarangan transfer rupiah oleh perbankan Indonesia kepada nonresiden, khususnya untuk transfer rupiah tanpa didasari transaksi riil yang mendukung kegiatan ekonomi Indonesia; 2. Pembatasan terhadap transaksi derivatif yang tidak didasari oleh kegiatan ekonomi riil atau non-underlying transaction, yakni dengan menurunkan batas maksimum transaksi derivatif penjualan valuta asing dari bank domestik kepada nonresiden dari $5 juta menjadi $3 juta. 146

147 Kerangka Pemikiran Keuangan Internasional dalam Perekonomian Terbuka Kebijakan Nilai Tukar dan Devisa Sejarah Sistem Nilai Tukar Sistem Nilai Tukar Tetap (1971 Maret 1983) Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali scr ketat (April 1983 Sep 1986) Bank Sentral menetapkan nilai tukar terhadap mata uang tertentu sebagai anchor. Dalam sistem ini, excess demand dan supply akan dipenuhi/ diserap oleh Bank Indonesia melalui intervensi. Sistem Nilai Tukar Mengambang Fleksible (Sep Agt. 1997) Nilai tukar ditentukan tidak hanya pada mekanisme pasar, tetapi juga dipengaruhi oleh unsur managed dari bank Sentral melalui intervensi. Sistem Nilai Tukar Mengambang bebas (14 Agustus 1997) Nilai tukar dibiarkan bebas, tergantung pada mekanisme pasar. 147

148 3.2 Kebijakan fiskal Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang mencakup penyediaan anggaran untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam anggaran sendiri berkaitan dengan alokasi anggaran dengan memiliki tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan dan subsidi dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat, serta stabilisasi ekonomi makro dalam cakupan yang lebih terbatas. Berbeda dengan lainnya seperti kebijakan moneter yang pada umumnya memberikan dampak sangat luas dan bersifat segera, kebijakan fiskal dapat digunakan untuk mempengaruhi sektor-sektor ekonomi atau kegiatan tertentu. Oleh karena itu kebijakan fiskal memiliki peranan sangat penting untuk menyeimbangkan pertumbuhan pendapatan antar sektor ekonomi, antar daerah, atau antar golongan pendapatan. Dalam kasus tertentu, misalnya dalam menanggulangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam, wabah penyakit, dan konflik sosial, kebijakan fiskal memiliki nilai yang sangat strategis dibandingkan kebijakan moneter ataupun kebijakan struktural lainnya. Sebagai instrumen untuk stabilisasi ekonomi, peran dari kebijakan fiskal sangat strategis dalam perekonomian. Misalnya dalam kondisi perekonomian yang sedang lesu, pengeluaran pemerintah yang bersifat autonomus, khususnya belanja barang dan jasa serta belanja modal, dapat menjadi stimulus bagi perekonomian untuk tumbuh. Juga sebaliknya, dalam kondisi overheating akibat terlalu tingginya permintaan secara agregat, kebijakan fiskal dapat berperan melalui kebijakan yang kontraktif untuk menyeimbangkan kondisi permintaan dan penyediaan sumbers-sumber perekonomian. Seperti juga yang terjadi di negara-negara lain, saat ini peran kebijakan fiskal masih sangat penting, namun perannya sebagai pendorong pertumbuhan (source of growth) cenderung berkurang dibandingkan dengan peran sektor swasta yang memang 148

149 diharapkan akan semakin meningkat yaitu pada sisi investasi. Peran pemerintah dalam hal ini lebih difokuskan kepada fungsi regulator dan pengaturan mekanisme redistribusi melalui alokasi anggaran guna penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Proses alokasi dan penetapan anggaran harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Kebijakan fiskal tersebut direncanakan, ditetapkan dan dilaksanakan melalui proses yang transparan dan prosedur yang relatif panjang, dan harus melibatkan peran dan persetujuan berbagai pihak. Hal ini adalah konsekuensi logis dari peningkatan transparansi, demokratisasi dan keterlibatan seluruh elemen masyarakat. Oleh karena itu, kunci dari keberhasilan kebijakan fiskal akan sangat terletak pada pemahaman bersama akan pentingnya perencanaan yang baik, pelaksanaan yang efektif, dan pertanggungjawaban kebijakan fiskal yang akuntabel dari seluruh aparat yang terkait dan masyarakat sebagai penerima manfaat kebijakan fiskal. Dalam mempertahankan efektifitasnya, kebijakan fiskal pada masa mendatang mulai semakin dipertajam dengan cara menyempurnakan perencanaan dan pelaksanaan kebijakan sesuai dengan azas penganggaran berbasis kinerja (performance based), dan meningkatkan prioritas pada sektor-sektor yang memberikan dampak multiplier tinggi dan dapat menciptakan lapangan kerja yang lebih luas, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam kebijakan subsidi bagi golongan masyarakat miskin. Pada kondisi ini, kebijakan fiskal merupakan pro-growth, pro-employment, dan propoor policy. Dalam beberapa tahun terakhir ini pula strategi kebijakan fiskal diarahkan untuk melanjutkan dan memantapkan langkah-langkah konsolidasi fiskal guna mewujudkan APBN yang sehat dan berkelanjutan (fiscal sustainability), serta memberikan stimulus fiskal dalam batas-batas kemampuan keuangan negara. Langkah konsolidasi fiskal ditempuh melalui optimalisasi pengumpulan sumber-sumber penerimaan negara, peningkatan efisiensi dan efektivitas belanja negara, serta pemilihan alternatif pembiayaan yang tepat untuk meminimalkan resiko keuangan (financial risk) ke depan. Pemberian stimulus fiskal dilakukan antara lain dalam bentuk: (i) insentif perpajakan, (ii) belanja negara untuk sarana dan prasarana pembangunan, serta 149

150 meningkatkan daya beli aparatur negara dan masyarakat berpenghasilan rendah, dan (iii) dukungan pemerintah kepada swasta dalam pembangunan infrastruktur (public private partnerships, PPPs). Secara umum, dapat kita sarikan bahwa tujuan pokok kebijakan fiskal dalam perekonomian adalah: 1. Sebagai stabilisasi makroekonomi (Fungsi Stabilisasi). Pertumbuhan Ekonomi. Harga-harga. Kesempatan kerja. 2. Penyediaan barang publik (Fungsi Alokasi). 3. Pemerataan dan distribusi pendapatan (Fungsi Distribusi) Penyusunan APBN saat ini mengacu pada ketentuan yang tertuang dalam Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dengan berpedoman kepada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun , Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2007, Kerangka Ekonomi Makro, dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal tahun 2007 sebagaimana telah disepakati dalam pembicaraan pendahuluan antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Siklus dan mekanisme APBN itu sendiri meliputi: a) Tahap penyusunan RAPBN oleh Pemerintah; b) Tahap pembahasan dan penetapan RAPBN menjadi APBN dengan Dewan Perwakilan Rakyat; c) Tahap pelaksanaan APBN; d) Tahap pengawasan pelaksanaan APBN oleh instansi yang berwenang antara lain Badan Pemeriksa Keuangan; dan e) Tahap pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Siklus APBN akan berakhir pada saat Perhitungan Anggaran Negara (PAN) disahkan oleh DPR pada dua tahun kemudian. 150

151 Struktur APBN APBN mengalami perubahan struktur tahun 2001 dengan latar belakang sebagai berikut: 1. Mengedepankan transparansi, yaitu dengan mengenal adanya defisit APBN. 2. Memudahkan analisa komparasi anggaran antar negara. 3. Memudahkan pemantauan dan pengendalian dalam pelaksanaan. 4. Lebih akomodatif terhadap otonomi daerah. Dalam penyusunan APBN diperlukan asumsi-asumsi pokok yang mendasari penyusunan anggaran tersebut. Beberapa asumsi yang secara umum digunakan adalah: Inflasi Tingkat Bunga Nilai Tukar Pertumbuhan Ekonomi Harga Minyak Bumi. Lifting Minyak Bumi. Adapun dasar-dasar penggunaan asumsi-asumsi tersebut berdasarkan beberapa hal, antara lain: Inflasi: berdasarkan perkiraan masa lalu, inflasi inti (core inflation), demand pull/cost push inflation, imported inflation, dan administrative goods effects. Tingkat Suku Bunga: berdasarkan tingkat suku bunga internasional dan kebijakan moneter dalam negeri. Biasanya digunakan rata-rata suku bunga SBI 3 bulan. Nilai Tukar: berdasarkan perhitungan faktor-faktor resiko ekonomi, dan rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Pertumbuhan Ekonomi: berdasarkan pertumbuhan baik dari sisi permintaan (demand side) maupun sektoral. Harga Minyak Dunia: berdasarkan perkembangan harga minyak internasional. Digunakan rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude oil Price, ICP) di pasar internasional. 151

152 Lifting Minyak Bumi: berdasarkan rata-rata lifting minyak mentah Indonesia serta kemampuan dan kapasitas produksi minyak di Indonesia Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Pokok-pokok kebijakan fiskal dalam APBN pada tahun yang direncanakan dapat diperinci berdasarkan arah kebijakan, strategi kebijakan, dan garis besar postur APBN. Berdasarkan arah kebijakan tersebut, hal ini dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, kebijakan fiskal dalam APBN 2007 diarahkan untuk dapat membiayai pengeluaran dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara yang efektif namun tetap efisien dan bebas dari pemborosan maupun korupsi. Kedua, kebijakan fiskal diarahkan untuk dapat turut serta dalam memelihara dan memantapkan stabilitas perekonomian, dan berperan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. 152

153 Ketiga, kebijakan fiskal diarahkan untuk dapat mengatasi masalah-masalah mendasar yang menjadi prioritas pembangunan, yaitu: a) Penanggulangan kemiskinan; b) Peningkatan kesempatan kerja, investasi dan ekspor; c) Revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan; d) Peningkatan kualitas dan aksesibilitas terhadap pendidikan dan pelayanan kesehatan; e) Penegakan hukum dan HAM, pemberantasan korupsi, dan reformasi birokrasi; f) Penguatan kemampuan pertahanan, pemantapan keamanan dan ketertiban, serta penyelesaian konflik; g) Mitigasi dan penanggulangan bencana; h) Percepatan pembangunan infrastruktur; dan i) Pembangunan daerah perbatasan dan wilayah terisolir. Keempat, kebijakan fiskal diarahkan untuk dapat lebih mengoptimalkan kebijakan belanja daerah dengan melalui: a) Mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah (vertical fiscal imbalance); b) Mengurangi kesenjangan pelayanan public antar daerah (public service provision gap); c) Mendukung kesinambungan fiskal; d) Meningkatkan kapasitas daerah dalam menggali pendapatan asli daerah (PAD); e) Meningkatkan efisiensi sumber daya nasional; dan f) Meningkatkan transparansi dan akuntanbilitas alokasi belanja daerah. Adapun strategi kebijakan fiskal itu sendiri meliputi: 1. Meningkatkan konsolidasi fiskal untuk mempertahankan kesinambungan fiskal (fiscal sustainability). 2. Mengupayakan penurunan beban utang, pembiayaan yang efisien dan menjaga kredibilitas pasar modal. 3. Mengupayakan defisit anggaran menjadi sekitar satu persen terhadap PDB. 4. Meningkatkan penerimaan negara yang bersumber dari pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). 153

154 5. Mengendalikan dan meningkatkan efisiensi belanja negara. 6. Memberikan stimulus guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkualitas 7. Melanjutkan reformasi administrasi perpajakan, kepabeanan, dan cukai. 8. Mempertajam prioritas alokasi anggaran belanja pemerintah pusat antara lain dengan: a) Perbaikan pendapatan aparatur negara dan pensiunan; b) Pemenuhan kewajiban pembayaran bunga utang; c) Peningkatan kualitas pelayanan operasional pemerintahan dan pemeliharaan aset negara; d) Investasi pemerintah di bidang infrastruktur; e) Subsidi untuk menstabilkan harga barang dan jasa yang berdampak pada masyarakat; f) Peningkatan anggaran pendidikan sejalan dengan amanat UUD 1945; g) Kesinambungan bantuan langsung kepada masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan; dan h) Pengembangan energi alternatif non BBM (biofuel dan biodiesel). 9. Mengalokasikan anggaran belanja ke daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, antara lain melalui: i. Penyempurnaan dan percepatan proses perhitungan, pengalokasian, penetapan dan penyaluran bagi hasil; ii. Pengalokasian Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 26 persen dari PDN neto, yang disertai dengan peningkatan akurasi data dasar perhitungan DAU; iii. Pengalokasian Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendanai kegiatan penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar. 10. Mengoptimalkan kebijakan pembiayaan defisit anggaran dengan biaya dan tingkat risiko yang rendah antara lain dengan: a) Melakukan pengelolaan portofolio SUN dengan pembayaran bunga dan pokok secara tepat waktu; b) Melanjutkan kebijakan privatisasi; c) Pemanfaatan dana eks-moratorium untuk rekonstruksi dan rehabilitasi NAD dan Nias; d) Menggunakan sebagian dana simpanan pemerintah; dan e) Mengedepankan prinsip kemandirian dengan memprioritaskan dana dalam negeri. 154

155 4 Evaluasi Proses Kebijakan 4.1. Evaluasi Proses Kebijakan Moneter Hal yang paling utama harus diberikan independensi dalam kaitan dengan kebijakan moneter adalah mengenai pengelolaan kebijakan moneter itu sendiri. Ini dapat dirumuskan dalam tugas menjaga nilai rupiah, baik dalam hubungannya dengan harga barang dan jasa (atau mengendalikan tingkat inflasi), maupun dalam hubungannya dengan mata uang lain (mengendalikan nilai tukar). Dalam pemberian status independen harus terus menerus didasarkan atas suatu penugasan yang eksplisit. Tuntutan agar setiap lembaga harus accountable dalam hal ini menjadi prioritas yang harus direalisasikan. Meskipun fungsi utama Bank Indonesia adalah memelihara kestabilan moneter, tidak berarti bahwa Bank Indonesia tidak mendukung sasaran pertumbuhan, kesempatan kerja dan pemerataan. Secara konsep perlu disadari bahwa terpeliharanya kestabilan itu akan mendukung pertumbuhan dan pemerataan. Bank Indonesia harus mampu menepis kekhawatiran berbagai pihak dalam perekonomian mengenai fungsi dan tugasnya yang secara eksplisit terbatas dengan mampu menunjukkan komitmen dengan memberi dukungan pada pencapaian sasaran pertumbuhan dan pemerataan yang demikian penting dalam pembangunan nasional. Dengan tetap menjaga independensinya, formulasi fungsi dan tugas Bank Indonesia tetap harus menunjang pencapaian sasaran-sasaran umum pemerintah, sepanjang hal tersebut konsisten dengan pencapaian sasaran pokok Bank Indonesia. Berkaitan dengan pengaturan dan pengawasan perbankan, hal ini perlu mendapat perhatian lebih. Selama ini, penyelenggaraan pengawasan perbankan dengan kecenderungan menyatunya kegiatan lembaga keuangan atau kaburnya batas pemisah antara instrumen keuangan yang satu dengan yang lain, menyebabkan kegiatan perbankan dengan lembaga keuangan lain, seperti reksa dana atau lembaga pembiayaan lain, semakin tercampur. 155

156 Berkaca pada Jepang dan Inggris, pengawasan berbagai lembaga keuangan, bank dan non-bank, disatukan dalam satu lembaga yang diletakkan di luar Bank of Japan dan Bank of England. Bahkan di Jerman sendiri, pengawasan bank dilakukan oleh lembaga pengawas yang juga di luar Bundesbank. Dalam penanganan terhadap bank yang mengalami masalah, maka fungsi lender of last resort yang berkewajiban membantu bank (sehat) yang mengalami masalah likuiditas, dapat menjadi bertabrakan dengan tugas memelihara kestabilan moneter. Pada waktu tugas pemeliharaan kestabilan moneter mengharuskan dilaksanakannya pengetatan likuiditas, namun pada waktu yang bersamaan harus menghadapi bank yang bermasalah dan harus dibantu likuiditasnya, maka tanggung jawab keduanya yang ada di tangan bank sentral dapat menimbulkan pertentangan kepentingan. Perumusan kebijakan moneter masih terlihat tidak transparan, terutama mengenai supporting paper yang digunakan sebagai bahan pemutusan kebijakan moneter masih terbatas untuk bisa diakses oleh publik. Rapat mengenai pemutusan kebijakan moneter yang diambil kurang mengikutsertakan pihak-pihak swasta atau jasa keuangan yang memiliki pengaruh besar dalam pasar keuangan. Seperti yang dilakukan Bank of England, melibatkan sekitar 11 direktur non-eksekutif functions yang berasala dari pihak-pihak swasta, yang biasa disebut NedCo. Transparansi proses kebijakan moneter dalam hal mempublikasikan eskalasi pendapat para peserta rapat dewan gubernur, yaitu mengenai siapa saja yang sepakat dan tidak sepakat dalam penentuan target kebijakan moneter. Tidak adanya sistem Monetary Policy Framework Speaking Restrictions seperti yang dilakukan Bank of England, di mana dalam rangka mencegah terjadinya spekulasi terhadap keputusan tingkat suku bunga atau target inflasi yang akan diputuskan dewan gubernur, yaitu dengan menentukan batas waktu tertentu yang tidak memperbolehkan anggota dewan gubernur untuk memberikan komentar atau pendapat baik pada seminar ilmiah maupun pada media massa baik secara on/off record mengenai perkiraan keputusan target kebijakan moneter yang akan diputuskan pada rapat dewan gubernur. 156

157 4.2. Evaluasi Proses Kebijakan Fiskal Proses kebijakan fiskal pada akhirnya sangat bergantung pada kalkulasi budgeting, dan seringkali melupakan substansi mengenai bagaimana memenuhi dasar-dasar program pemerintah yang dijanjikan kepada masyarakat, tentu saja yang berkaitan dengan visi dan misi yang dibawa pada kepemimpinan sebuah pemerintahan. Departemen Keuangan seperti tidak mempunyai kapasitas bagaimana menjadikan program-program pemerintah yang ada dengan mengurutkan pada suatu daftar prioritas yang jelas. Hal ini juga terkait dengan kekuasaan DPR yang sangat besar dalam hal penganggaran. Ruang kebijakan fiskal menjadi terlalu sempit sehingga kebijakan dalam anggaran yang diambil lebih terlihat pada proses pengalihan dana dari satu post untuk memenuhi post lainnya yang mengalami kekurangan. Kebijakan fiskal defisit rendah menjadi suatu kebijakan yang kaku, semestinya kebijakan fiskal defisit dapat menjadi fleksibel dengan melihat kondisi perekonomian yang ada. Dengan demikian, kebijakan fiskal dapat menjadi lebih responsif terhadap seberapa besar pencapaian pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Kebijakan fiskal yang terlalu terkait dengan periode anggaran seringkali mengakibatkan sulitnya pelaksanaan proyek pembangunan yang sifatnya multiyears, sehingga proses untuk menjaga program tersebut secara kontinu dan simultan menjadi terhambat. Hal ini dikarenakan setiap periode anggaran mesti memasuki sistem administrasi anggaran yang membutuhkan waktu cukup lama. Koordinasi lintas departemen atau kementerian yang berkaitan dengan kebijakan fiskal kurang baik, terutama dalam penyamaan perspektif mengenai pencapaian kebijakan yang telah direncanakan. Hubungan antar kementerian dan departemen dalam hal kebijakan fiskal menjadi lebih dititikberatkan pada hal yang berkaitan dengan tarik-ulur kebijakan pemenuhan anggaran departemen atau kementerian. Dengan ini, hal yang bersifat 157

158 substansi mengenai bagaimana proses kebijakan disusun dan dikonsultasikan kepada publik menjadi kurang maksimal. Siklus dan jadwal penyusunan dan pembahasan anggaran terlihat sangat ketat dan rigid (kaku), sehingga proses penyusunan kebijakan fiskal yang lebih peka terhadap kondisi perekonomian, terutama terkait dengan pengaruh keadaan eksternal perekonomian menjadi kurang optimal. Perubahan dalam proses penganggaran yang selama ini berlaku dinilai kurang mampu mengkaitkan antar berbagai kebijakan, perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaannya. Penganggaran yang berhorizon satu tahun, mengakibatkan sulitnya pelaksanaan program pemerintah yang membutuhkan periode waktu panjang dalam pelaksanaan dan dalam pencapaian hasilnya. Penganggaran yang terjadi saat ini terlalu berdasarkan masukan (inputs), dan terpisahnya penyusunan anggaran rutin dan anggaran pembangunan sehingga kebijakan menjadi kurang komprehensif dan holistik. Di lain pihak, perencanaan dan proses penganggaran APBN yang baru pada jajaran pemerintah, khususnya Depkeu yang terlibat dan Panitia Anggaran DPR praktis harus bekerja hampir sepanjang tahun, mulai Maret hingga Oktober, untuk membahas dan mengesahkan APBN. Pada sisi bagaimana implementasi kebijakan harus menghadapi sisa waktu yang sempit menuju tahap pertanggungjawaban penggunaan anggaran. Mekanisme birokrasi kepemerintahan di tingkat eksekutif dan jadwal serta tata tertib persidangan di DPR sering tidak sejalan. Persetujuan DPR atas APBN sampai ke jenis belanja, organisasi, dan fungsi memang bertujuan baik dan ideal untuk disiplin anggaran. Namun, sering kali menyulitkan kedua belah pihak karena kedalaman materi dan terkadang waktu yang mendesak sering kali memerlukan kompromi- kompromi. Ketergantungan eksekutif sebagai perencana dan pelaksana anggaran dengan legislatif sebagai pemegang kendali budget menjadi sangat tinggi sehingga mengurangi fleksibilitas eksekutif dalam kebijakan fiskal. 158

159 Pada pihak eksekutif, khususnya departemen dan lembaga pengguna anggaran yang saat ini belum terbiasa dengan disiplin anggaran, cenderung resisten dengan sistem yang mengharuskan akuntabilitas tinggi. Akibatnya keterlambatan pencairan terjadi dan program pembangunan menjadi terbengkalai. Keterlambatan pencairan anggaran hingga kini masih terjadi akibat terdapatnya beberapa kasus tumpang tindih pekerjaan penyusunan dan verifikasi DIPA dan RKAKL di Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan (DJAPK) dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Depkeu. Dalam tahap perencanaan anggaran, reformasi yang dilakukan adalah perubahan anggaran dual budgeting system (DBS) menjadi unified budgeting system (UBS). DBS yang selama ini dikenal adalah berupa pemisahan antara belanja rutin dan belanja pembangunan masih belum menunjukkan keefektifannya. Pada sistem UBS (penganggaran terpadu) dengan penyusunan rencana keuangan tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna melaksanakan kegiatan pemerintah dengan prinsip efisiensi alokasi dana, masih terlihat belum maksimal. Dengan adanya perubahan dalam siklus perencanaan, reformasi di bidang keuangan negara juga berdampak terhadap siklus ketiga dari APBN, yaitu pelaksanaan anggaran. Dalam hal ini, Menteri/pimpinan lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pengguna anggaran harus menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pendapatan dan belanja yang berada dalam tanggung jawabnya. Hal ini tidak didukung oleh kemampuan sumber daya manusia yang mampu dengan baik melaksanakannya terutama ketika berbicara pada pemerintahan di tingkat daerah. Penerapan kinerja reformasi di bidang penganggaran yang merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara bertujuan mengurangi tingkat kebocoran keuangan negara. Namun hasilnya sekarang ini belum dapat dirasakan. Hal ini terjadi justru sebaliknya, yaitu semakin banyaknya resistensi. Banyak kegiatan yang terlambat bahkan mandek karena prosedurnya sangat ketat, dan juga pengawasannya yang berlapis. 159

160 Sistem pengawasan yang berlapis berujung pada dokumen DIPA yang harus diverifikasi kembali sebelum pencairan dana. Keluhan dan bahkan keengganan untuk menjadi pimpinan proyek karena tanggung jawabnya besar dan risiko juga besar menjadi semakin menyeruak. Pada satu sisi, sistem anggaran dengan pengawasan ketat bertujuan untuk mengurangi KKN, di mana ruang untuk memainkan anggaran dibuat semakin sempit. Namun di sisi lain, kekuasaan anggaran juga terkesan menjadi melebar sampai ke tangan legislatif. Ini mengakibatkan terjadi rekayasa dalam masalah tender, yaitu banyak urusan-urusan pencairan anggaran yang terkadang harus dilakukan dengan proses negosiasi Evaluasi Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter Di Indonesia, koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter masih menjadi masalah, hal ini diakibatkan dengan adanyan ketidakjelasan penugasan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada Departemen Keuangan dan Bank Sentral. Payung hukum mengenai kedudukan Bank Sentral dalam pemerintahan, yaitu sejauh mana Bank Sentral mempunyai kedudukan yang independen dari pemerintah masih belum ada kejelasan, dan UU yang ada menjelaskan terlalu general dan rawan terhadap multi interpretasi mengenai bagaimna bentuk indepndensinya. Persepsi dari pimpinan tertinggi Bank Sentral dan Departemen Keuangan mengenai koordinasi yang harus dilakukan terlihat masih belum sejalan. Dari sisi pelaksanaan, sepetinya masih belum disadari bahwa kedua otoritas kebijakan (fiskal dan moneter) adalah ujung tombak dari kebijakan ekonomi. Karena itu kinerja keduanya adalah vital dalam menjalankan fungsi pemeritah dalam pengertian luas (yaitu mencakup bank sentral). Kerjasama antara Depkeu dan BI belum memikirkan bagaimana dampaknya secara luas dan mendalam. Misalnya jika keduanya pada saat bersamaan melakukan ekspansi, maka dampaknya akan berganda dan meningkatkan probabilitas 160

161 terjadinya inflasi dalam skala besar dan waktu yang lama. Demikian pula sebaliknya. Koordinasi yang ada, masih selalu mengidentikkan dengan sentralisasi. Seperti pada pada era Orde Baru, kebijakan moneter dan fiskal tersentralisir, dimana kebijakan moneter dikendalikan melalui Dewan Moneter. Dalam hal ini koordinasi menjadi seolah-olah menunjukkan tidak ada independensi bank sentral sedangkan di satu sisi lain, independensi bank sentral dianggap syarat mutlak untuk menghindari pemberian kredit likuiditas tak terkendali dan pengawasan bank yang lemah. Sentralisasi kebijakan fiskal dan moneter sebenarnya harus diartikan dengan sendirinya dengan berarti bahwa terdapat satu tujuan bersama yang akan dicapai oleh kedua perangkat tersebut. Melihat pada contoh di Inggris, departemen keuangan menentukan target inflasi yang harus dicapai bank sentralnya, selain tentunya merupakan otoritas fiskal. Namun, pelaksanaan kebijakan untuk mencapai target tersebut ditentukan secara independen oleh bank sentral. Hal ini disebut operational independence. Di Selandia Baru, dimana inflasi tidak ditargetkan oleh departemen keuangan tetapi tertuang dalam Undang-undang Bank Sentral yang mengatakan bahwa bank sentral bertanggung jawab atas kestabilan harga. Selanjutnya disebutkan bahwa dalam mencapai hasil tersebut bank sentral harus memperhitungkan berbagai perkembangan dalam perekonomian yang berpengaruh, termasuk perubahan kebijakan fiskal. Artinya, meskipun otoritas fiskal tidak secara langsung dapat menentukan target inflasi, akan tetapi esensinya adalah bahwa kebijakan moneter memasukkan implikasi kebijakan fiskal sebagai faktor eksternal (yang given). UU Bank Sentral Selandia Baru juga dapat dijadikan acuan, di mana secara eksplisit melarang bank sentral melakukan monetisasi defisit fiskal yang berlebihan (yang potensil berdampak besar pada inflasi). Jadi seandainya terdapat implikasi kebijakan fiskal yang membahayakan pencapaian tujuan kestabilan harga, bank sentral dapat menolaknya. Pemerintah pada prinsipnya dapat memaksa bank sentral untuk mengakomodasi defisit anggaran, tetapi hal ini harus dilakukan secara transparan dan dalam waktu yang terbatas. 161

162 Belum adanya sandingan UU Bank Indonesia, yaitu UU mengenai Tanggung Jawab Fiskal yang tujuan utamanya adalah transparansi dan prediktibilatas serta kesinambungan anggaran dalam jangka panjang. Dengan demikian, pada intinya otoritas fiskal dan moneter memiliki tujuan jangka menengah dan jangka panjang yang berlainan, akan tetapi keduanya saling bekerja sama untuk mencapai tujuan masing-masing. Pada hal ini kuncinya adalah transparansi, baik dalam mengumumkan tujuan maupun cara mencapainya serta evaluasi pelaksanaanya. Hingga kini, dalam rangka menghadapi kondisi perekonomian yang begitu cepat berubah, adaptabilitas (yang terbantu oleh transparansi) dan fleksibilitas kebijakan antara Depkeu dan BI belum berjalan dengan baik. Kebijakan fiskal dapat dikatakan relatif lebih kaku dalam arti untuk merubah kebijakan secara mendasar karena membutuhkan persetujuan DPR. Oleh karena itu, fleksibilitasnya kurang dibandingkan kebijakan moneter. Di sisi lain oponen penggunaan kebijakan moneter untuk stabilisasi berargumen bahwa kebijakan moneter hanya mempengaruhi insentif menabung dan berbelanja sedangkan kebijakan fiskal langsung berpengaruh pada anggaran pelaku ekonomi. Dalam hal ini berarti belum disadari bahwa pengaruh kebijakan moneter justru akan memiliki dampak pada struktur insentif, yaitu memberi peluang lebih besar bagi pelaku ekonomi untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan insentif tergantung pada kondisi masing-masing. Dan dengan demikian terbuka peluang kebijakan moneter lebih efisien secara mikroekonomi. Masih belum optimalnya pertukaran dan pemanfaatan informasi dari dua otoritas tersebut, misalnya dalam pengeluaran pemerintah, seharusnya otoritas fiskal memberi informasi dan bekerja sama dengan otoritas moneter agar terjadi smoothing pengeluaran dan juga pada pemasukan. Melalui perkiraan timing dan magnitude pengeluaran pemerintah, otoritas moneter juga dapat menyesuaikan penyedotan dan injeksi likuiditas untuk tujuan stabilisasi. Sebaliknya, jika otoritas fiskal mengetahui dengan jelas tujuan dan strategi otoritas moneter, maka akan dapat melakukan smoothing pengeluaran untuk membantu tercapainya tujuan stabilisasi harga. Permasalahan struktural terkait koordinasi kebijakan moneter dan fiskal yang mengemuka saat ini adalah penggunaan SBI sebagai instrumen Operasi Pasar 162

163 Terbuka (OPT). Hal ini secara struktural dalam jangka menengah dan panjang akan membebani dan menempatkan kebijakan makro ekonomi tersebut dalam posisi dilematis, yaitu upaya menyerap kelebihan likuiditas oleh Bank Indonesia (BI) yang konsisten dengan upaya pengendalian inflasi akan menimbulkan beban bagi neraca bank sentral dan perekonomian di masa mendatang. Beban bagi BI adalah peningkatan biaya bunga SBI yang akan meningkatkan risiko neraca bank sentral. Beban ini kemudian dapat mengalir dan membebani kebijakan fiskal, jika risiko neraca bank sentral itu terus meningkat, maka akan harus ditutupi dari dana APBN. Dalam konteks perekonomian secara lebih luas, penggunaan SBI berpotensi memberikan tekanan inflasi ke depan, jika beban bunga real SBI meningkat lebih besar dibandingkan pertumbuhan ekonomi. Risiko peningkatan inflasi ke depan lebih besar jika pada saat bersamaan penyerapan likuiditas yang bersumber dari pajak relatif tidak elastis. Belum adanya upaya memformalkan kerjasama antara kedua otoritas tersebut, yaitu dalam bentuk struktur kelembagaan yang mengikat. Misalnya, di bank sentral dibentuk suatu komite kebijakan yang keanggotaannya mencakup wakil dari Depkeu dalam kapasitas non-voting. Dengan demikian komunikasi antara BI dan Depkeu berjalan lebih mulus dan kredibel. Selama ini, pertemuan sewaktu-waktu antara Dewan Gubernur BI dengan tim ekonomi pemerintah tidak dapat dianggap kredibel karena tidak secara langsung berkaitan dengan pengambilan keputusan. Belum adanya pemikiran jangka panjang mengenai format dan efektifitas kebijakan fiskal dan moneter, serta koordinasi keduanya dalam mencapai sasaransasaran ekonomi seperti stabilitas harga, nilai tukar, suku bunga riil dan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Dalam hal ini termasuk mengenai transparansi target dan strategi, kredibilitas, akuntabilitas, adaptabilitas serta fleksibilitas. Koordinasi kebijakan moneter dan fiskal belum mempertimbangkan urutan tindakan kebijakan secara matang. Misalnya, terkait dengan lingkungan global yang kurang menguntungkan dengan perkembangan harga komoditas dan pasar finansial global yang memberikan beban tersendiri kepada kebijakan fiskal, dan pengurangan bea masuk berbagai komoditas industri dan pemberian subsidi 163

164 kebutuhan pokok juga turut mempengaruhi kesinambungan fiskal. Pada sisi lain, tekanan kenaikan harga komoditas global berpotensi memberikan tekanan secara permanen terhadap inflasi domestik. Inilah yang akan menjadi ancaman bagi BI dalam pemenuhan target inflasinya. Koordinasi kebijakan moneter dan fiskal belum diletakkan dalam tataran yang labih strategis, yaitu dalam perumusan semacam contingency plan atau format tertentu untuk merespons kejutan struktural (shocks) dan ketidakpastian yang mungkin muncul. 5 Rangkuman dan implikasi studi lanjutan Kebijakan ekonomi makro merupakan kebijakan yang kerangka teknik analisanya jelas dan tidak kontroversial. Masalah utama dalam kebijakan ini hanyalah internal konsistensi dari kebijakan ini sehingga sedemikian rupa keseimbangan ekonomi makro dapat dijaga dalam tingkat yang optimal. Masalah dalam kebijakan makro relatif mudah karena kerangka teori dan teknik analisa yang kurang lebih standard. Dengan demikian, masalah dalam kebijakan ini biasanya bukan merupakan wicked problems. Kapasitas kelembagaan pengelola kebijakan moneter dan kebijakan fiskal sudah cukup baik. Bahkan bisa dikatakan bahwa BI maupun Depkeu, dan juga BAPPENAS, merupakan lembaga pemerintah yang memiliki kapasitas terbaik bila dibandingkan dengan lembaga-lembaga pemerintah yang lain. Meskipun demikian, kemampuan kelembagaan yang memadai secara sendirisendiri tidak serta merta akan dapat menghasilkan output kebijakan yang optimal. Untuk itu, proses dan disain kebijakan harus sanggup untuk membangun sinergi sehingga kebijakan ekonomi makro menjadi optimal. Dewasa ini terdapat serangkaian indikator bahwa kebijakan tersebut masih jauh dari optimal. Di masa depan, studi akan diarahkan kepada serangkaian studi kasus proses kebijakan ekonomi makro dalam kaitannya dengan pengembangan sektor riel, kondisi sektor keuangan yang kelebihan likuiditas dan mekanisme koordinasi antara pejabat moneter dan fiskal. 164

165 Daftar Pustaka Australia Public Service Commission, Tackling Wicked Problems, Canberra: Commonwealth of Australia, 2007 Departemen Keuangan RI, Nota Keuangan APBN Departemen Keuangan RI, Nota Keuangan RAPBN Departemen Keuangan RI, Rencana Strategis Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. World Bank, Public Expenditure Review

166 Proses Kebijakan Sektor Riil Prabowo Anggota Tim Ahli Bidang Ekonomi dan Kelembagaan 1 Latar Belakang Indonesia saat ini mengalami berbagai pergeseran pesat, baik perubahan sistem politik yang lebih demokratis dan ekonomi yang terdesentralisasi. Hal ini tentu saja akan memberikan pengaruh dalam lingkungan pembuatan kebijakan maupun pada proses pembuatan kebijakan tersebut. Dalam sebuah lingkungan politik dan ekonomi yang terbuka, kebijakan yang baik membutuhkan langkah-langkah strategis, interdisiplin, inklusif dan tepat waktu. Selain itu, dengan semakin demokratisnya iklim politik yang ada, dalam perumusan sebuah kebijakan jika akan bergerak dari tataran gagasan dan debat sampai pada taraf pelaksanaan, maka dibutuhkan tidak hanya kemampuan merngartikulasi gagasan-gagasan yang ada, namun perlu juga upaya dalam mengendalikan dukungan politik dan sosial pada berbagai tingkatan dalam ranah politik. Saat ini, walaupun banyak perhatian telah dicurahkan pada berbagai isu reformasi konstitusional atau restrukturisasi ekonomi dalam jalur transisi sistemik Indonesia, namun tetap saja perhatian yang dicurahkan dalam rangka meningkatkan kapasitas pembuatan kebijakan yang efektif bagi Indonesia sangat kecil. Permasalahan-permsalahan dalam proses perumusan kebijakan di Indonesia masih terus-menerus mengalami kendala yang bersifat klasik. Yaitu permasalahan yang berlangsung sejak lama dan belum mengalami perbaikan dan perubahan secara 166

167 signifikan. Oleh karena itu, hingga kini dalam proses pembuatan kebijakan selalu saja dibayangi berbagai hal berupa kendala baik dari sisi teknis pembuatan kebijakan maupun dalam pengolahan berbagai substansi ke dalam sebuah kebijakan yang lebih bersifat praktis. Pertama, dalam pemerintahan, pembuatan kebijakan cenderung seringkali berjalan lambat dan terpecah-pecah. Hal ini menciptakan berbagai masalah besar dalam koordinasi dan tindakan bersama, serta diperparah oleh tidak adanya kapasitas kebijakan strategis, bahkan pada tataran tertinggi lembaga eksekutif. Kedua, pembuatan kebijakan dicirikan oleh penundaan dan penyempitan (bottleneck), yang disebabkan oleh buruknya alur informasi dan komunikasi antara berbagai komisi di DPR terkait dan juga pada lembaga-lembaga serta departemen-departemen dalam tubuh eksekutif itu sendiri. Dengan demikian, dapat dibayangkan akan betapa kompleksnya permasalahan dalam perumusan kebijakan, selain harus mengalami kendala dalam tubuh lembaga eksekutif dengan alur komunikasi yang kurang lancar atau bahkan bersifat simetris kemudian harus dihadapkan kembali pada kendala komunikasi yang bersifat politis di DPR sebagai lembaga legislatif. Ketiga, dalam usaha yang dilakukan untuk mengkoordinasikan berbagai pendekatan dan prioritas kebijakan lintas-kementerian melalui para menteri koordinator, seringkali dihadapkan pada kendala berupa kemampuan mereka untuk berperan sebagai koordinator dengan realitas kurangnya jumlah staf dan tiadanya kerangka kerja pembangunan yang meyakinkan. Hal ini meliputi berbagai bidang utama kebijakan nasional, mulai dari bidang ekonomi, sosial hingga keamanan. Krisis ekonomi yang berlangsung di Indonesia sekitar sepuluh tahun yang lalu ternyata sedikit banyak memberikan beragam tekanan sosial yang diciptakannya, serta peran permainan politik praktis yang sedang berubah sebagai akibat datangnya demokrasi juga mendorong berbagai tanggapan dan perubahan kelembagaan yang baru. Berbagai lembaga pemerintahan dan juga lembaga dari sisi pengawasan mengalami redefinisi dan mencoba melakukan perubahan arah. Bangunan keseluruhan dari rangkaian perubahan ini masih berada dalam proses evolusi dengan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Selain itu, proses evolusi ini seringkali 167

168 terhambat oleh kebutuhan akan adanya manajemen krisis jangka pendek dalam pemerintah Indonesia. Dengan demikian, langkah kebijakan yang diambil bagaimanapun lebih bersifat reaktif terhadap kondisi jangka pendek yang terjadi. Pemikiran mengenai pentingnya sebuah komisi kebijakan yang efektif untuk dapat menyatukan berbagai elemen kebijakan berbeda dan bertentangan merupakan hal yang sangat penting, meliputi bidang ekonomi, politik, sosial, dan pertahanan. Lebih daripada itu, pemerintah Indonesia juga masih harus mengembangkan sebuah kemampuan kebijakan strategis yang terdefinisikan secara baik, sebagaimana yang umumnya berlaku di negara-negara demokrasi (contoh: Kantor Perdana Menteri di Inggris, Kantor Sekretariat Kabinet di India, West Wing di Gedung Putih Amerika Serikat, dan sebagainya). Untuk mencapai hal tersebut, tidak hanya saja dipikirkan dalam tubuh pemerintahan sendiri namun juga perlu memikirkan berbagai potensi lembaga-lembaga nonpemerintahan yang secara realitas juga sedikit banyak memberikan peran pada pembangunan masayarakat. Nyatanya, di luar pemerintahan, gambaran yang ada tidaklah lebih baik. Lembaga-lembaga akademik Indonesia secara keseluruhan tidak memiliki pengalaman penelitian dan analisis kebijakan, karena berbagai pembatasan pada masa Orde Baru. Lembaga-lembaga penelitian pun tidak lebih baik, bahkan dengan sumber daya terbaik yang mereka miliki hingga saat ini tidak lebih dari sekadar alat kepentingan pemerintah. Padahal posisi lembaga akademisi diperlukan juga untuk melakukan check and balance terhadap kebijakan yang dilakukan pemerintah. Berbagai organisasi non-pemerintah yang baru tumbuh, di mana seringkali kritis dalam advokasi kebijakan, ternyata juga memiliki kemampuan terbatas dalam menguji beragam pilihan dan opsi alternatif, atau berbagai kemungkinan negosiasi dan akomodasi dalam pembuatan kebijakan di negara-negara demokrasi yang berfungsi. Sebagai akibatnya, Indonesia, sebagaimana negara-negara besar lainnya, ternyata masih mengalami kekurangan, baik kekurangan akan kapasitas formulasi kebijakan strategis, maupun proses kebijakan di dalam dan di luar pemerintah yang dapat mengubah pilihan-pilihan kebijakan menjadi kenyataan dalam pembangunan. 168

169 Pada tubuh pemerintahan, meskipun Keputusan Presiden No. 188/1998 mensyaratkan diperlukan adanya koordinasi dan konsultasi lintas-kementerian, tugas seorang menteri seringkali tidak berkaitan dengan kementerian lain dalam prosesnya. Hal ini lebih mendorong timbulnya rasa kepemilikan oleh kementerian bersangkutan terhadap Keppres tersebut, daripada oleh pemerintah. Ini menyebabkan proses penyamaan persepsi dan perspektif dalam pembuatan kebijakan menjadi sulit dengan perilaku masing-masing lembaga atau departemen dalam tubuh pemerintah lebih mengedepankan kepentingannya sendiri-sendiri. Kelemahan perumusan kebijakan dan kemampuan berdialog dalam praktiknya lebih besar dampaknya dibandingkan ketergantungan pemerintah terhadap berbagai penasehat maupun institusi asing. Hal ini mungkin tidak dipermasalahkan dalam bidang-bidang di mana keahlian teknis amatlah diperlukan. Penggunaan para konsultan asing secara meluas dalam menentukan kebijakan dan prioritas-prioritas nasional cenderung akan melemahkan legitimasi politik yang sangat dibutuhkan oleh semua negara demokratis. Selain itu juga akan memakan biaya tinggi dan menciptakan lapisan kepentingan-kepentingan sempit yang kuat di dalam tatanan kebijakan yang telah rumit ini. Dengan berbagai kondisi yang diuraikan sebelumnya, dapatlah akan menjerumus pada sebuah kesimpulan bahwa situasi koordinasi dan kepemilikan dewasa terlihat lebih buruk jika dibandingkan dengan masa lalu yang lebih otoriter. Pada masa Orde Baru, Presiden merupakan sumber terpenting bagi berbagai putusan kebijakan dengan mendapat dukungan dari sejumlah kecil para pembantu terpilihnya, dan juga tidak diawasi secara ketat oleh lembaga-lembaga pengawas yang demokratis. Namun demikian, struktur pembuatan kebijakan seperti itu memberi sumbangan berarti pada jatuhnya sistem di kemudian hari. Tumbuhnya demokrasi di Indonesia saat ini membuahkan sebuah pekerjaan yang besar, terutama dalam upaya mengkonsolidasikan demokrasi itu sendiri. Selain itu, diperlukan pula usaha menggabungkan reformasi politik dan ekonomi dengan kewajiban-kewajiban sosial dan hak-hak sipil dengan tetap pada kerangka yang bertanggung jawab. Dalam efektivitas usaha menstabilkan demokrasi dan mengelola 169

170 transisi yang berskala besar ini, negara harus menciptakan sebuah benchmark sebagai panduan dalam penatanan kebijakan yang semakin sangat rumit ini. Pembahsan proses kebijakan yang diuraikan ini diharapkan akan memberikan sumbangan penting dalam menempatkan sebuah kapasitas domestik yang ada guna perumusan kebijakan strategis dalam mencapai sebuah konsensus kebijakan yang demokratis melalui konsultasi publik dan dialog. Kemudian, hal ini juga membantu dalam memberikan kepastian dan situasi yang dapat diprediksikan pada berbagai putusan kebijakan, yang akan membantu menstabilkan berbagai harapan, baik harapan publik maupun pasar. Permsalahan dalam pengadopsian sebuah pendekatan strategis terhadap pembuatan kebijakan bukanlah merupakan kasus yang dimiliki Indonesia saja, namun juga terjadi di hampir semua negara yang secara politik mengedepankan sistem yang demokratis, termasuk dalam hal ini negara-negara anggota OECD. Di banyak negara, sebagaimana di perusahaan-perusahaan besar, pembentukan sebuah kapasitas kebijakan strategis merupakan suatu hal yang memiliki prioritas tinggi. Dengan demikian, diharapkan langkah-langkah yang dibuat saat ini akan memberikan efek yang postif terhadap proses perumusan kebijakan strategis di Indonesia ke depannya. 2 Tinjuan dan Ruang Lingkup Di Indonesia saat ini berbagai upaya untuk memperbaiki kesejahteraan dan membangun bangsa ini terus-menerus dilakukan. Kerangka pembangunan saat ini tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun Di dalam telah ditetapkan tiga agenda pembangunan nasional yang merupakan arah kebijakan pembangunan jangka menengah Indonesia ke depan, yaitu: (i) Menciptakan Indonesia yang aman dan damai; (ii) Menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis; serta (iii) Meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ketiga agenda pembangunan tersebut merupakan pilar pokok yang mendasari untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagaimana tertuang dalam konstitusi 170

171 negara pada Pembukaan UUD Keberhasilan dari pelaksanaan satu agenda akan sangat erat kaitannya dengan kemajuan pelaksanaan agenda lainnya, yang dalam pelaksanaan tahunan dirinci ke dalam RKP. RKP merupakan dokumen perencanaan pembangunan nasional yang memuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro, serta program-program kementerian/lembaga, lintas kementerian/lembaga, dan lintas wilayah, yang tercermin dalam bentuk: (i) kerangka regulasi, serta (ii) kerangka investasi pemerintah dan layanan umum. Dengan demikian, RKP mempunyai fungsi pokok: (i) menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa, karena memuat seluruh kebijakan publik; (ii) menjadi pedoman bagi penyusunan APBN, karena memuat arah kebijakan pembangunan nasional satu tahun; dan (iii) menciptakan kepastian kebijakan, karena merupakan komitmen pemerintah. Dengan mempertimbangkan berbagai tantangan dan masalah yang dihadapi dalam rangka mempercepat tercapainya sasaran-sasaran pembangunan jangka menengah, di dalam RKP Tahun 2008 yang juga merupakan tahun keempat dari pelaksanaan RPJM Nasional Tahun , memperinci pembangunan nasional dengan mengedepankan upaya percepatan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Hal ini akan menjadi tolak ukur keberhasilan pemerintah dalam menunjukkan kemampuan untuk membawa keadaan negara ini menjadi lebih baik. Untuk mewujudkan tema tersebut, dalam RKP tahun 2008 ditetapkan sejumlah delapan prioritas pembangunan nasional. Hal ini disebut sebagai prioritas dikarenakan menyangkut tingkat urgensi dari keberhasilan di masing-masing bidang yang diproritaskan terhadap keberhasilan pembangunan oleh pemerintah. Kedelapan pioritas pembangunan tersebut adalah: (i) Peningkatan investasi, ekspor dan kesempatan kerja; (ii) Revitalisasi pertanian, perikanan, kehutanan, dan pembangunan perdesaan; (iii) Percepatan pembangunan infrastruktur dan peningkatan pengelolaan energi; 171

172 (iv) Peningkatan aksesibilitas dan kualitas pendidikan dan kesehatan; (v) Peningkatan efektivitas penanggulangan kemiskinan; (vi) Pemberantasan korupsi dan percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi; (vii) Penguatan kemampuan pertahanan dan pemantapan keamanan dalam negeri; (viii) Penanganan bencana, pengurangan risiko bencana, dan peningkatan penanggulangan flu burung. Selanjutnya, kedelapan prioritas pembangunan nasional tersebut kemudian dicerminkan di dalam arah dan postur RAPBN. Kedelapan prioritas tersebut juga mengisyaratkan bahwa sangatlah dibutuhkan sebuah strategi perumusan dan pembuatan kebijakan yang memerlukan kerjasama, komunikasi, koordinasi serta persamaaan persepsi lintas lembaga/departemen dalam tubuh pemerintah sebagai lembaga eksekutif dan juga pada DPR sebagai lembaga legislatif di mana juga berperan penting dalam mensukseskan proses pembuatan kebijakan pada tingkat pengesahan di dalam tubuh lembaga legislatif tersebut beserta pengawasannya. 2.1 Peningkatan investasi, ekspor dan perluasan kesempatan kerja Investasi dan ekspor merupakan sumber penting dalam upaya menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Pertumbuhan ekonomi yang didukung investasi dan ekspor akan mampu menciptakan lebih banyak kesempatan kerja. Dengan demikian, secara umum akan turut mengurangi angka pengangguran di Indonesia. Peningkatan investasi di Indonesia masih perlu terus diupayakan melalui perbaikan iklim investasi yang dilakukan secara berkesinambungan. Berdasarkan laporan Doing Business 2007 dari International Financial Corporation, Bank Dunia, Indonesia tercatat pada peringkat 135 dari 175 negara dalam kemudahan berusaha Hal ini terutama karena dalam hal kemudahan berusaha (the ease of doing business), Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga sekawasan, seperti Singapura yang menduduki peringkat pertama, Thailand ke-18, Malaysia ke-25, China ke-93 dan Vietnam ke

173 Meskipun saat ini telah mulai ditunjukkan sebuah perbaikan dengan melihat indikator waktu yang dibutuhkan untuk memulai usaha di Indonesia telah menurun dari 151 hari menjadi 97 hari, namun tetap saja rentang waktu tersebut masih lebih lama bila dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk memulai usaha di negara-negara tetangga seperti Singapura yang hanya perlu sekitar 6 hari, Thailand 33 hari, Malaysia 30 hari, China 35 hari dan Vietnam 50 hari. Dalam tahun-tahun mendatang, upaya untuk memperbaiki iklim investasi agar semakin kondusif mesti terus-menerus dilakukan secara berkesinambungan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang menghambat investasi yang harus dilakukan bersama dan melibatkan semua pemangku kepentingan. Peningkatan investasi dan ekspor perlu didorong dengan berbagai upaya antara lain: (i) Meningkatkan daya tarik investasi baik berasal dari dalam maupun luar negeri; mengurangi hambatan prosedur perijinan, (ii) Memperbaiki administrasi perpajakan dan kepabeanan; (iii) Meningkatkan kepastian hukum, termasuk terhadap peraturan-peraturan daerah yang menghambat; (iv) Meningkatkan diversifikasi pasar ekspor; dan (v) Mendorong komoditi nonmigas yang bernilai tambah tinggi. Upaya peningkatan investasi dan ekspor juga perlu memperluas cakupan area kebijakan pada hal-hal lainnya. Perhatian yang besar juga perlu diberikan pada upaya untuk meningkatkan investasi dalam kegiatan-kegiatan seperti: (i) Meningkatkan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan umum dan migas; (ii) Meningkatkan daya saing manufaktur dan industri rumah tangga; (iii) Meningkatkan fungsi intermediasi/penyaluran dana masyarakat dan penguatan kelembagaan keuangan; (iv) Meningkatkan intensitas pariwisata; serta (v) Meningkatkan produktivitas dan akses usaha kecil dan menengah (UKM) kepada sumberdaya produktivitas. 173

174 Seiring dengan upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dan ekspor sebagai pijakan kemampuan ekonomi dalam menciptakan lapangan kerja, tentu tidak bisa terlepas dari kondisi ketenagakerjaan. Oleh karena itu, perbaikan iklim ketenagakerjaan akan terus ditingkatkan dengan menyempurnakan berbagai peraturan ketenagakerjaan, mendorong pelaksanaan negosiasi bipatrit, serta penyusunan standar kompetensi. Perhatian juga diberikan pada penempatan, perlindungan, dan pembiayaan tenaga kerja ke luar negeri. Berkaitan dengan hal itu, dalam Nota Keuangan RAPBN tahun 2008 dijabarkan berbagai usaha yang akan dilakukan, antara lain: (i) Memperbaiki iklim ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan kerja; dan (ii) Menyempurnakan mekanisme penempatan perlindungan dan pembiayaan tenaga kerja ke luar negeri. Berbagai upaya yang dilakukan tersebut diharapkan akan menghasilkan: (i) Menurunnya tingkat pengangguran terbuka dari angkatan kerja; (ii) Meningkatnya investasi dalam bentuk Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB); (iii) Tumbuhnya industri pengolahan nonmigas; (iv) Meningkatnya ekspor nonmigas; serta (v) Meningkatnya jumlah penerimaan dari sektor pariwisata. Untuk mencapai sasaran-sasaran yang ingin dicapai berkaitan dengan upaya peningkatan investasi, ekspor dan perluasan kesempatan kerja tersebut akan memerlukan kerjasama, koordinasi dan komunikasi berbagai program atau kegiatan oleh berbagai kementerian atau lembaga terkait. Dengan demikian, proses sistematika perumusan kebijakan yang efektif sangatlah dibutuhkan agar rencana peningkatan investasi dan ekspor tersebut tidak hanya berlangsung dalam tahap gagasan namun lebih penting dalam implementasinya. 2.2 Revitalisasi pertanian, perikanan, kehutanan dan pembangunan pedesaan 174

175 Salah satu bagian yang penting dalam mewarnai pembangunan ekonomi Indonesia dan juga sesuai dengan janji pemerintahan Presiden pada Pemliu 2004 adalah pengupayaan revitalisasi pertanian, perikanan, kehutanan dan pembangunan perdesaan. Hal ini mempunyai peranan yang sangat penting, terutama dalam: (i) Menjamin ketersediaan pangan yang berasal dari produksi dalam negeri dan akses rumah tangga terhadap pangan; (ii) Melanjutkan peningkatan kualitas pertumbuhan produksi pertanian, perikanan, dan kehutanan; (iii) Meningkatkan kualitas pengelolaan hutan secara lestari dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat dan perekonomian nasional; dan (iv) Memperluas kesempatan kerja dan diversifikasi ekonomi perdesaan penduduk miskin di perdesaan yang sebagian besar hidup dari sektor pertanian. Berdasarkan betapa pentingnya peranan revitalisasi pertanian, perikanan, kehutanan dan pembangunan perdesaan tersebut, maka diperlukan upaya-upaya yang mendukung tercapainya hal tersebut, antara lain: (i) peningkatan produksi pangan yang mengarah ke swasembada pangan, terutama beras dan akses rumah tangga terhadap pangan; (ii) Peningkatan produktivitas dan kualitas, pengolahan dan pemasaran produk pertanian, perikanan, dan kehutanan; (iii) Perluasan kesempatan kerja dan diversifikasi ekonomi pedesaan; (iv) Peningkatan kualitas pengeloalaan hutan dan lingkungan; dan (v) Pembaharuan agraria nasional. Hasil yang diharapkan melalui berbagai rencana kebijakan tersebut adalah peningkatan pertumbuhan PDB berasal dari sektor pertanian dan tersedianya kesempatan kerja baru. Secara rinci, pertumbuhan sektor pertanian ditargetkan berasal dari peningkatan produksi padi, jagung, kedelai, gula, daging sapi, perikanan, pengembangan kelapa sawit, pengembangan jarak untuk bahan bakar nabati (BBN), dan sasaran produksi industri kayu dan hasil hutan. Dalam rangka mendukung pencapaian berbagai sasaran 175

176 yang telah disebutkan tersebut, diperlukan berbagai program/kegiatan oleh kementrian/lembaga terkait. 2.3 Percepatan pembangunan infrastruktur dan pengelolaan energi Infrastruktur merupakan bagian penting dalam pembangunan, atau dapat dikatakan sebagai penggerak dari berbagai usaha pembangunan ekonomi. Tentunya dalam usaha mencapai pertumbuhan ekonomi, terpenuhinya sarana infrastruktur menjadi bagian elementer yang perlu dipenuhi. Berbagai rencana pembangunan akan sulit terealisasi apabila sarana infrastruktur pendukung tidak dapat mendukung dalam peningkatan pada sektor lain, misalnya dalam investasi dan penyediaan lapangan pekerjaan. Pembangunan infrastruktur tesebut meliputi infrastruktur sumber daya air, transportasi, kelistrikan dan telekomunikasi, energi, serta perumahan dan permukiman. Semua infrastruktur tersebut memegang peranan sangat penting dalam memicu pelaksanaan dan keberhasilan pembangunan. Infrastruktur sektor transportasi merupakan tulang punggung pola distribusi barang maupun penumpang, sedangkan infrastruktur lainnya, seperti kelistrikan dan telekomunikasi terkait dengan modernisasi bangsa, dan penyediaannya merupakan aspek terpenting dalam meningkatkan produktivitas sektor produksi. Ketersediaan sarana perumahan dan permukiman, seperti air minum dan sanitasi secara luas dan merata, serta pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan menentukan tingkat kesejahteraan rakyat. Selain itu, infrastruktur juga memegang peranan yang penting dalam menghubungkan berbagai wilayah di Indonesia melalui sarana transportasi dan telekomunikasi dari. Infrastruktur transportasi juga berperan besar untuk membuka isolasi wilayah. Infrastruktur pengairan merupakan prasyarat kesuksesan pembangunan pertanian dan sektor-sektor lainnya. Oleh karena itu, prioritas percepatan pembangunan infrastruktur dan pengelolaan energi menjadi amatlah krusial dalam pembangunan. Adapun upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur untuk tahun 2008 antara lain: 176

177 (i) Peningkatan pelayanan infrastruktur sesuai dengan standard pelayanan minimal; (ii) Peningkatan daya saing sektor riil; (iii) Peningkatan investasi proyek-proyek infrastruktur yang dilakukan oleh swasta melalui berbagai skim kerjasama antara pemerintah dan swasta; (iv) Peningkatan produksi migas dan produk final migas; (v) Percepatan pelaksanaan upaya diversifikasi energi melalui pemanfaatan gas bumi, batubara, dan energi baru/terbarukan; serta (vi) Peningkatan efisiensi pemanfaatan energi; (vii) Pemboran air tanah sebanyak 189 lokasi daerah sulit air dan 26 lokasi tanggap darurat bencana; (viii) Inventarisasi geologi lingkungan daerah prioritas sebanyak 48 kabupaten/kota; (ix) Inventarisasi geologi teknik di daerah prioritas sebanyak 23 kabupaten/kota. Lebih lanjut mengenai berbagai upaya tersebut tentunya akan dilaksanakan melalui berbagai program/ kegiatan oleh kementerian/lembaga terkait untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan infrastruktur yang meliputi infrastruktur sumber daya air, transportasi, kelistrikan dan telekomunikasi, energi, serta perumahan dan permukiman. 3 Policy Regime 3.1. Pembangunan Sektor Riil Dalam upaya untuk lebih mempercepat pengembangan sektor riil dan pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, dan sebagai kelanjutan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, dikeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. 177

178 Dalam merealisasikan Inpres ini diinstruksikan berbagai elemen lembaga/departemen pemerintahan, antara lain: 1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; 2. Menteri Keuangan; 3. Menteri Perdagangan; 4. Menteri Dalam Negeri; 5. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; 6. Menteri Perhubungan; 7. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; 8. Menteri Perindustrian; 9. Menteri Pekerjaan Umum; 10. Menteri Komunikasi dan Informatika; 11. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi; 12. Menteri Pendidikan Nasional; 13. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata; 14. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; 15. Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; 16. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara; 17. Menteri Negara Perumahan Rakyat; 18. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara; 19. Menteri Sekretaris Negara; 20. Sekretaris Kabinet; 21. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal; 22. Kepala Badan Pertanahan Nasional; 23. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan; 24. Para Gubernur; 25. Para Bupati/Walikota. Bebagai pihak tersebut diinstruksikan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing, dalam rangka pelaksanaan Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Langkah-langkah yang diambil berpedoman kepada program 178

179 yang meliputi perbaikan iklim investasi, reformasi sektor keuangan, percepatan pembangunan infrastruktur, dan pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah Bentuk koordinasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengkoordinasikan kegiatan yang dilaksanakan oleh para Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen. Dalam rangka pelaksanaan Instruksi Presiden ini sepanjang terdapat program yang berkaitan dengan kewenangan Bank Indonesia, Menteri yang terkait agar berkoordinasi dengan Gubernur Bank Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dalam hal ini memiliki wewenang sebagai berikut: 1) Memantau pelaksanaan Instruksi Presiden ini dan melaporkan secara berkala kepada Presiden; 2) Membentuk Tim Pemantau dan menetapkan tugas, susunan organisasi, keanggotaan, tata kerja dan kesekretariatan Tim Pemantau. Para Menteri, Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen, Gubernur dan Bupati/Walikota memantau pelaksanaan Instruksi Presiden ini sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing dan menunjuk seorang pejabat di lingkungan masing-masing untuk membantu pelaksanaan tugas Tim Pemantau. Berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka mencapai hal tersebut tentu memerlukan sebuah pembagian tugas, fungsi, dan wewenang yang jelas bagi masingmasing pihak terkait. Hal ini agar peran yang diberikan dapat sesuai dengan core competence masing-masing lembaga/departemen. Bentuk perumusan kebijakan pun tentunya memerlukan koordinasi dan komunikasi yang baik agar tidak terjadinya benturan kepentingan yang saling bertolak belakang antar lembaga satu dengan lembaga lainnya. Di sinilah peran Menteri Koordinator Perekonomian menjadi sangat krusial demi mendukung lancarnya pelaksanaan Instruksi Presiden ini. 179

180 Tim Eksternal Pemantau Melaui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor: KEP- 26/M.EKON/06/2007 tentang Tim Eksternal Pemantau Pelaksanaan Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Tugas Tim Eksternal Pemantau Inpres 6 Tahun 2007 sebagaimana tersebut adalah: 1) Melakukan pemantauan pelaksanaan Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah; 2) Memberikan masukan mengenai pelaksanaan Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah kepada Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; 3) Melakukan publikasi secara meluas kepada masyarakat atas hasil pemantauan pelaksanaan Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah; 4) Menerima masukan dari masyarakat mengenai pelaksanaan Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah; dan 5) Melaksanakan tugas terkait lainnya yang diberikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Tim Eksternal Pemantau Inpres 6 Tahun 2007, dengan susunan keanggotaan sebagai berikut: Ketua : Faisal Basri, SE., M.A., Universitas Indonesia; Sekretaris : Dr. Arianto Patunru, Universitas Indonesia; Anggota : 1) Prof. Dr. Armida Salsiah Alisjahbana, Universitas Padjadjaran 2) Prof. Dr. Mudradjad Kuncoro, Universitas Gadjah Mada; 3) Chris Kanter, Kamar Dagang dan Industri Indonesia; 4) Rahmat Gobel, Kamar Dagang dan Industri Indonesia; 180

181 5) Agung Pambudi, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah; 6) Dr. Cyrillus Harinowo, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas. Dalam melaksanakan tugasnya, Tim Eksternal Pemantau Inpres 6 Tahun 2007 bertanggung jawab dan melaporkan hasil kegiatannya kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi (TIMNAS PEPI) Untuk mendukung peningkatan ekspor dan peningkatan investasi dalam rangka peningkatan ekonomi nasional, ditetapkan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi. Sebagai bentuk pelaksanaan dari Keputusan tersebut, maka dibentuklah Sekretariat Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi yang selanjutnya disebut dengan Sekretariat Timnas PEPI Tugas dari Sekretariat Timnas PEPI tersebut adalah sebagai berikut: Melakukan penelitian dan kajian secara objektif untuk menyusun rekomendasi kebijakan dalam rangka peningkatan ekspor dan peningkatan investasi; Mengkoordinasikan penyiapan prakarsa kebijakan dalam rangka peningkatan ekspor dan peningkatan investasi; Mengkoordinasikan penyiapan rekomendasi penyelesaian masalah dalam rangka peningkatan ekspor dan peningkatan investasi; Menyiapkan materi dan kajian yang digunakan untuk usul kebijakan atau perubahan kebijakan di bidang peningkatan ekspor dan peningkatan investasi; Melaksanakan fungsi administratif dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan tugas Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi; Memantau pelaksanaan mediasi penyelesaian masalah di bidang investasi; Melakukan pengujian, kaji ulang (review) dan evaluasi terhadap peraturan pelaksanaan Undang-undang Penanaman Modal dan implementasi kebijakan lain yang berkaitan dengan peningkatan ekspor dan peningkatan investasi; 181

182 Mengkoordinasikan masukan dari para pemangku kepentingan (stakeholder); dan Melakukan tugas terkait lainnya dalam rangka pelaksanaan tugas Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi sesuai arahan Ketua Harian Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi Sekretaris Timnas PEPI melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Harian Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi secara berkala dan sewaktu-waktu bila diperlukan Kelompok Kerja Timnas PEPI (Pokja Timnas PEPI) Untuk mendukung peningkatan ekspor dan peningkatan investasi dalam rangka peningkatan ekonomi nasional sesuai Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi, dan juga untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas Tim Nasional dibentuk kelompok kerja dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Harian Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi menetapkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor: KEP-31/M.EKON/06/2007 tentang Kelompok Kerja Pada Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi. Kelompok Kerja Pada Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi, dibagi menjadi beberapa kelompok sebagai berikut: 1. Kelompok Kerja Pengkajian, Penyiapan Rumusan, dan Pemantauan Kebijakan Ekspor dan Investasi; 2. Kelompok Kerja Koordinasi Implementasi dan Penyelesaian Masalah Peningkatan Ekspor dan Investasi; dan 3. Kelompok Kerja Promosi Penggunaan Produksi Dalam Negeri dan Promosi Terpadu Pariwisata, Perdagangan dan Investasi. Susunan Kelompok Kerja Pengkajian, Penyiapan Rumusan, dan Pemantauan Kebijakan Ekspor dan Investasi sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut: Ketua : Menteri Perdagangan; 182

183 Wakil Ketua : Menteri Perhubungan. Kelompok Kerja Pengkajian, Penyiapan Rumusan, dan Pemantauan Kebijakan Ekspor dan Investasi mempunyai tugas sebagai berikut: 1) Menyiapkan kebijakan umum yang berkaitan dengan peningkatan ekspor dan peningkatan investasi; 2) Menyiapkan berbagai peraturan pelaksanaan dalam rangka peningkatan ekspor dan investasi; 3) Melakukan kaji ulang (review) terhadap efektifitas implementasi kebijakan ekspor dan investasi dalam rangka penyempurnaan, transparansi, deregulasi dan debirokratisasi untuk peningkatan ekspor dan peningkatan investasi; dan 4) Melakukan tugas terkait lainnya dalam rangka pelaksanaan tugas Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi sesuai arahan Ketua Harian Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi. Susunan keanggotaan lebih lanjut Kelompok Kerja Pengkajian, Penyiapan Rumusan, dan Pemantauan Kebijakan Ekspor dan Investasi, ditetapkan oleh Menteri Perdagangan selaku Kelompok Kerja Pengkajian, Penyiapan Rumusan, dan Pemantauan Kebijakan Ekspor dan Investasi. Susunan Kelompok Kerja Koordinasi Implementasi dan Penyelesaian Masalah Peningkatan Ekspor dan Investasi sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut: Ketua : Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara; Wakil Ketua : Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Kelompok Kerja Koordinasi Implementasi dan Penyelesaian Masalah Peningkatan Ekspor dan Investasi mempunyai tugas sebagai berikut: 1) Mengkordinasikan implementasi kebijakan dan penyelesaian masalah di sektor-sektor yang berkaitan dengan upaya peningkatan ekspor dan peningkatan investasi; 2) Melakukan mediasi penyelesaian kasus-kasus yang menghambat peningkatan ekspor dan peningkatan investasi; dan 183

184 3) Melakukan tugas terkait lainnya dalam rangka pelaksanaan tugas Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi sesuai arahan Ketua Harian Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi. Susunan keanggotaan lebih lanjut Kelompok Kerja Koordinasi Implementasi dan Penyelesaian Masalah Peningkatan Ekspor dan Investasi, ditetapkan oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara selaku Ketua Kelompok Kerja Koordinasi Implementasi dan Penyelesaian Masalah Peningkatan Ekspor dan Investasi. Susunan Kelompok Kerja Promosi Penggunaan Produksi Dalam Negeri dan Promosi Terpadu Pariwisata, Perdagangan dan Investasi sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut: Ketua : Menteri Perindustrian; Wakil Ketua : Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Kelompok Kerja Promosi Penggunaan Produksi Dalam Negeri dan Promosi Terpadu Pariwisata, Perdagangan dan Investasi mempunyai tugas sebagai berikut: 1) Menyiapkan kebijakan umum dan langkah-langkah promosi penggunaan produk dalam negeri dan promosi terpadu pariwisata, perdagangan dan investasi dalam rangka 2) peningkatan ekspor, termasuk pariwisata sebagai ekspor jasa, dan investasi; 3) Melakukan koordinasi promosi peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan promosi terpadu pariwisata, perdagangan dan investasi dalam rangka peningkatan ekspor, termasuk pariwisata sebagai ekspor jasa, dan peningkatan investasi; dan 4) Melakukan tugas terkait lainnya dalam rangka pelaksanaan tugas Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi sesuai arahan Ketua Harian Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi. Susunan keanggotaan lebih lanjut Kelompok Kerja Promosi Penggunaan Produksi dalam Negeri dan Promosi Terpadu Pariwisata, Perdagangan dan Investasi, ditetapkan oleh Menteri Perindustrian selaku Ketua Kelompok Kerja Promosi Penggunaan Produksi dalam Negeri dan Promosi Terpadu Pariwisata, Perdagangan dan Investasi. 184

185 Kemudian, Kelompok Kerja melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Harian Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi sekurangkurangnya satu kali dalam tiga bulan dan sewaktu-waktu bila diperlukan Tim Nasional Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (Timnas KEKI) Dalam upaya meningkatkan investasi, ekspor, dan percepatan pembangunan infrastruktur, pemerintah mengeluarkan Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, Keppres No 54 Tahun 2002 jo. Keppres 24 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Peningkatan dan Kelancaran Arus Barang Ekspor dan Impor, dan SK Menko Perekonomian No. KEP-08/M.EKON/02/2006 tanggal 17 Februari 2006 tentang Paket Kebijakan Infrastruktur. Sebagai bagian dari paket kebijakan infrastruktur, dilakukanlah pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) antara lain adalah untuk memberi peluang bagi peningkatan investasi melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan dan siap menampung kegiatan industri, ekspor-impor serta kegiatan ekonomi yang memiliki nilai ekonomi tinggi Organisasi Pelaksanaan Pemerintah telah membentuk Tim Nasional Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di Indonesia (Timnas KEKI) dengan SK Menko Perekonomian No. KEP- 21/M.EKON/03/2006 tertanggal 24 Maret Tugas Tim Nasional adalah : Melakukan evaluasi serta perumusan kebijakan dan strategi nasional pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus; Melakukan pengkajian terhadap wilayah yang dapat dipertimbangkan untuk dikembangkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus dengan berbagai variannya; 185

186 Melakukan pengkajian terhadap kebutuhan prasarana dan sarana, insentif dan aturan-aturan pelaksana lainnya yang diperlukan bagi terwujudnya suatu Kawasan Ekonomi Khusus dengan berbagai variannya; Memfasilitasi pembentukkan Tim Pengembangan dan Pengelolaan Kawasan di daerah-daerah yang akan ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus; Melakukan evaluasi dan monitoring pelaksanaan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di daerah, serta mengkaji dan mengusulkan kebijakan-kebijakan lain yang masih diperlukan; Melakukan evaluasi serta perumusan kebijakan dan strategi pengembangan wilayah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Upaya Pemerintah dalam penyiapan KEK dilakukan dengan: Melakukan evaluasi serta perumusan kebijakan dan strategi nasional pengembangan KEK termasuk tinjauan terhadap kerangka hukum dan peraturan perundang-undangan; Melakukan pengkajian terhadap wilayah yang dapat dipertimbangkan untuk dikembangkan sebagai KEK beserta berbagai variannya dengan mengembangkan kriteria pemilihan lokasi; Melakukan pengkajian terhadap kebutuhan prasarana dan sarana insentif dan aturan-aturan pelaksana lainnya yang diperlukan bagi terwujudnya KEK; Melakukan evaluasi serta perumusan kebijakan dan strategi pengembangan wilayah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN); Memfasilitasi pembentukan Tim Nasional Pengembangan KEK di Pusat dan di daerah-daerah. Penyiapan KEK mencakup keseluruhan Wilayah Kedaulatan Negara Indonesia, dimana penetapan prioritas dan batasan wilayah untuk dikembangkan sebagai KEK dilakukan melalui kriteria penetapan lokasi KEK yang disepakati baik oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, kalangan dunia usaha dan masyarakat. 186

187 Model Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Dari analisis pelaksanaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di beberapa negara secara umum, terdapat dua model generik pelaksanaan KEK yang telah diterapkan, yaitu: 1. KEK sebagai sebuah terminologi generik untuk kawasan yang ditetapkan untuk menyediakan lingkungan yang secara internasional kompetitif serta bebas dari berbagai hambatan berusaha dalam rangka memacu peningkatan ekspor nasional. Konsep ini dapat ditemukan di Negara India dan Filipina. Di India dikenal tiga jenis umum SEZ meliputi: (a) SEZ for multi-product, yaitu SEZ yang terdiri dari sejumlah perusahaan yang tergolong dalam lebih dari satu sektor, yang di dalamnya juga terdapat kegiatan perdagangan dan pergudangannya; (b) SEZ for specific sector yaitu SEZ bagi satu sektor tertentu saja (bisa lebih dari satu perusahaan) atau SEZ untuk berbagai jenis pelayanan bagi satu sektor saja (seperti dalam pelabuhan atau bandar udara); dan (c) SEZ for Free Trade and Warehouse yaitu SEZ yang secara khusus menyediakan pelayanan fasilitas kegiatan perdagangan bebas dan pergudangan, fasilitasnya bisa untuk kegiatan yang multi sektor maupun untuk satu sektor tertentu saja. Di Filipina kawasan-kawasan semacam ini dapat berbentuk: Industrial Estates (IES), Export Processing Zones (EPZs), Free Trade Zones, and Tourist/Recreational Centers. 2. KEK sebagai sebuah model untuk menyebutkan kawasan dengan kebijakan ekonomi terbuka yang di dalamnya mencakup Free Trade Zone (FTZ), Export Processing Zone (EPZ), Pelabuhan (Port), High Tech Industrial Estate dan lain sebagainya atau dikenal dengan sebutan zones within zone. Konsepsi ini memberikan otoritas kepada badan pelaksana untuk mengoperasionalkan KEK secara penuh atas mandat dari pemerintah pusat. Model seperti ini dapat ditemukan di Cina. 187

188 Insentif Fiskal 1. Pembebasan/pengurangan terhadap bea masuk/impor, bea ekspor, cukai, pajak penjualan (di Indonesia PPN/PPnBM), pajak penghasilan, social services tax, pajak bumi dan bangunan, dan biaya tambat; 2. Pemberian kredit pajak untuk pembelian barang substitusi impor dan pembelian peralatan lokal; 3. Tidak ada pembatasan peralatan bawaan; 4. Kebebasan repatriasi penghasilan ke negeri asal; 5. Penanaman modal secara bebas/sendiri atau bekerjasama; 6. Tidak ada pembatasan atau pengurangan dalam persentase pembagian modal atau saham; dan 7. Bebas pengembalian laba bersih dan modal Insentif Non Fiskal 1. Diperkenankan melakukan domestic sale sepanjang memenuhi ketentuan perpajakan dan kepabeanan; 2. Pemberian status permanent resident; 3. Diperbolehkan mempekerjakan orang asing; 4. Hak sewa tanah selama 50 tahun dan dapat diperpanjang selama 25 tahun dan biaya sewa lahan dikurangi; 5. Pemda memberikan kewenangan otonominya kepada otoritas kawasan; 6. Pemangkasan birokrasi (one stop-service center, foreign work permits dan visa); 7. Penyediaan infrastruktur (antara lain listrik, air, sanitasi dan telekomunikasi); 8. Pembebasan visa; 9. Peraturan tenaga kerja yang dijalankan adalah khusus dan berbeda.penetapan Calon KEK DI BEBERAPA NEGARA 188

189 Berdasarkan kajian atas penetapan kawasan sejenis di berbagai negara, lokasi yang akan dipilih menjadi Kawasan Ekonomi Khusus harus memenuhi seluruh persyaratan pokok definitif dari Tim Pelaksana Tim Nasional Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di Indonesia meliputi: 1. Adanya Komitmen dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan untuk melaksanakan pengelolaan Kawasan Pengembangan Ekonomi Khusus sesuai dengan peraturan yang berlaku; 2. Sesuai dengan arahan pengembangan wilayah dalam Rencana Tata Ruang Wilayah serta layak menurut Kajian AMDAL; 3. Terletak pada posisi yang strategis yaitu dekat dengan jalur perdagangan internasional atau berhadapan dengan alur laut Indonesia, dan layak untuk dikembangkan secara ekonomis; 4. Telah tersedia dukungan infrastruktur dan kemungkinan pengembangannya; 5. Tersedia lahan dengan luas minimal 500 Ha dengan status yang jelas; 6. Memiliki batas yang jelas, baik alam maupun buatan. Secara prinsip, 6 kriteria di atas akan dipergunakan untuk melihat kelayakan daerah untuk dikembangkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus. Hal yang dinilai adalah pemenuhan dari setiap kriteria pada wilayah di Indonesia (dapat merupakan usulan Pemerintah Pusat atau usulan Pemerintah Daerah) Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) dibentuk dengan tujuan mengkoordinasikan percepatan penyediaan infrastruktur untuk mencapai sasaran pemulihan ekonomi nasional. Sebelumnya KKPPI berdiri berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 81/2001 tentang Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI). Namun, untuk lebih mengefektifkan koordinasi dalam rangka percepatan penyediaan infrastruktur, pemerintah kemudian memandang perlu untuk menyempurnakan tugas 189

190 dan fungsi serta keanggotaan komite. Sejak Oktober 2005, menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42 Tahun 2005 tentang Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) sebagai pengganti Kepres No. 81/2001 dengan harapan berbagai upaya koordinasi penyediaan infrastruktur dapat terlaksana dengan lebih cepat sehingga tujuan pemulihan ekonomi nasional dapat tercapai Latar Belakang KKPPI Infrastruktur merupakan salah satu faktor utama dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan di Indonesia. Krisis ekonomi yang menerpa Indonesia pada tahun 1997 telah mengakibatkan terpuruknya perekonomian Indonesia. Kemampuan keuangan negara yang terbatas dan terfokusnya perhatian pemerintah kepada restrukturisasi sektor keuangan dan perbankan serta jaring pengaman sosial, telah mengurangi kemampuannya dalam penyediaan infrastruktur. Strategi pemerintah untuk melibatkan pihak swasta dalam penyediaan infrastruktur pada kenyataannya disambut positif. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai kontrak kerjasama dalam penyelenggaraan infrastruktur antara BUMN/BUMD penyedia infrastruktur dengan pihak swasta. Namun masih terdapat beberapa hambatan dalam pelaksanaan investasi di bidang infrastruktur, antara lain proses pemilihan mitra swasta yang kurang transparan, proses perencanaan pembangunan infrastruktur kurang melibatkan masyarakat, dan perselisihan dengan investor yang kadang kurang memenuhi asas keadilan. Di sisi lain, permintaan akan jasa pelayanan infrastruktur tetap meningkat yang disebabkan, antara lain, oleh peningkatan jumlah penduduk dan arus urbanisasi. Di sisi kualitas, kuatnya pengaruh globalisasi dan tuntutan masyarakat akan jasa pelayanan infrastruktur yang lebih baik semakin mengemuka. 190

191 Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, diperlukan upaya-upaya dalam percepatan penyediaan infrastruktur dengan mengurangi semaksimal mungkin hambatan-hambatan yang dihadapi dalam penyediaan infrastruktur. Agar upaya-upaya yang dilaksanakan lebih terintegrasi dan berdaya sinergi tinggi, Pemerintah membentuk Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) sebagai wadah untuk melakukan koordinasi yang dibentuk berdasarkan (PP No. 42/2005). Komite ini bertanggung jawab langsung kepada Presiden Struktur Organisasi KKPPI Ketua : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Ketua Pelaksana Harian : Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Sekretaris I : Deputi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Sekretaris II : Deputi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Sarana dan Prasarana (BAPPENAS) Anggota: 1. Menteri Dalam Negeri 2. Menteri Keuangan 3. Energi dan Sumber Daya Mineral 4. Menteri Pekerjaan Umum 5. Menteri Perhubungan 6. Komunikasi dan Informatika 7. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara 8. Sekretaris Kabinet 191

192 Lingkup Infrastruktur 1. Infrastruktur Transportasi 2. Infrastruktur Jalan 3. Infrastruktur Pengairan 4. Infrastruktur Air Minum dan Sanitasi 5. Infrastruktur Telematika 6. Infrastruktur Ketenagalistrikan 7. Infrastruktur Pengangkutan Minyak dan Gas Bumi Komite mempunyai tugas: a) merumuskan strategi dalam rangka koordinasi pelaksanaan percepatan penyediaan infrastruktur; b) mengkoordinasikan dan memantau pelaksanaan kebijakan percepatan penyediaan infrastruktur oleh Menteri Terkait dan Pemerintah Daerah; c) merumuskan kebijakan pelaksanaan kewajiban pelayanan umum (Public Service Obligation) dalam percepatan penyediaan infrastruktur; d) menetapkan upaya pemecahan berbagai permasalahan yang terkait dengan percepatan penyediaan infrastruktur. Dalam pelaksanaan tugasnya Komite bertanggung jawab dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Presiden. a) mengundang lembaga, pemerintah daerah atau pejabat tertentu lainnya yang lingkup tugas dan tanggung jawab berkaitan dengan upaya percepatan penyediaan infrastruktur; b) meminta masukan dari Badan Usaha yang terkait dengan penyediaan infrastruktur; c) mengadakan konsultasi dengan masyarakat dan atau organisasi masyarakat, serta organisasi dan lembaga internasional; d) memberikan rekomendasi kepada Presiden mengenai pelaksanaan percepatan penyediaan infrastruktur, termasuk pelaksanaan dari Keputusan Presiden Nomor

193 Tahun 2002 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 tentang penangguhan/pengkajian Kembali Proyek Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, dan Swasta yang Berkaitan dengan Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara, yang berkaitan dengan infrastruktur Revitalisasi Pertanian Pemerintahan saat ini telah menetapkan program pembangunan dengan menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy) dengan mengedepankan pro-gowth, proemployment dan pro-poor. Operasionalisasi konsep strategi tiga jalur tersebut kemudian dirancang melalui: (1) peningkatan pertumbuhan ekonomi diatas 6,5 % per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor; (2) pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru, dan (3) revitalisasi sektor pertanian dan perdesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. Kemudian strategi tersebut telah dijabarkan lebih lanjut dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM). Selanjutnya masing-masing Departemen/ Lembaga merumuskan secara spesifik program masing-masing sesuai tugas dan fungsinya dalam bentuk Rencana Strategis (Renstra) dengan mengacu kepada kedua dokumen tersebut. Dalam rangka mensinergiskan pembangunan sektor pertanian, perikanan dan kehutanan, diperlukan rumusan strategi dan kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Revitalisasi pertanian sendiri mengandung arti sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual; dalam arti menyegarkan kembali vitalitas; memberdayakan kemampuan dan meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain. Bedasarkan hal ini, revitalisasi bukan dimaksudkan membangun pertanian dengan cara-cara yang top-down sentralistik. Selain itu juga bukan berorientasi pada proyek untuk menggalang dana. Dalam hal ini revitalisasi adalah menggalang komitmen dan 193

194 kerjasama seluruh stakeholder dan mengubah paradigma pola pikir masyarakat melihat pertanian tidak hanya urusan bercocok tanam yang sekedar hanya menghasilkan komoditas untuk dikonsumsi. Pertanian sebenarnya mempunyai beragam fungsi yang belum mendapat apresiasi yang memadai dari masyarakat. Pertanian merupakan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat kita, yaitu sebagai pemasok sandang, pangan, dan pakan untuk kehidupan penduduk desa dan kota. Sama halnya juga sebagai pemelihara atau konservasi alam yang berkelanjutan dan keindahan lingkungan untuk dinikmati (wisata-agro), yaitu sebagai penghasil biofarmaka dan penghasil energi seperti biodiesel Revitalisasi Kehutanan Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun ditegaskan bahwa RPJM merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Presiden hasil Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara langsung pada tahun Lebih lanjut dijelaskan bahwa Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah melaksanakan program dalam RPJM Nasional yang dituangkan dalam Rencana Strategis Kementerian/Lembaga dan RPJM Daerah. Dengan demikian RPJM sebagai acuan pembangunan seluruh sektor untuk periode 5 tahun mendatang sekaligus memberikan mandat kepada Kementerian/Lembaga negara dan pemerintah daerah untuk menjabarkan kebijakan dan program-program didalamnya dalam rangka mewujudkan target sukses agenda-agenda pembangunan nasional. Pembangunan kehutanan dalam RPJM Nasional tahun diarahkan untuk mendukung kebijakan-kebijakan nasional yang ditetapkan antara lain: a) Peningkatan keamanan, ketertiban dan penaggulangan kriminalitas; b) Penanggulangan kemiskinan dalam rangka pemenuhan hak atas Lingkungan Hidup (LH), Sumberdaya Alam (SDA), dan Akses masyarakat terhadap SDA; c) Revitalisasi pertanian; 194

195 d) Pembangunan perdesaan; dan e) Perbaikan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Kebijakan-kebijakan tersebut dijabarkan dalam Rencana Strategis (Renstra) Departemen Kehutanan tahun , sebagai pedoman pembangunan kehutanan dalam lima tahun mendatang yang memuat rencana makro dan bersifat strategis. Dalam rangka mendukung pencapaian kebijakan dan pembangunan nasional, maka program-program pembangunan kehutanan telah ditetapkan antara lain: a. Program Pemantapan keamanan dalam negeri: 1) Merevitalisasi kelembagaan polisi hutan sebagai bagian dari desentralisasi kewenangan; 2) Peningkatan pengamanan hutan berbasis sumberdaya masyarakat; 3) Intensifikasi upaya monitoring bersama aparatur dan masyarakat terhadap kawasan hutan; dan 4) Penegakan Undang Undang (UU) dan peraturan serta mempercepat proses penindakan pelanggaran hukum di sektor kehutanan. b. Program pemantapan pemanfaatan potensi SDH: 1) Rehabilitasi ekosistem (lahan kritis, lahan marginal, hutan bakau, terumbu karang, dll) berbasis masyarakat; 2) Pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan usaha perhutanan rakyat; 3) Pengembangan produk-produk kayu bernilai tinggi dan pengembangan kluster industri berbasis wilayah; 4) Restrukturisasi kapasitas industri pengolahan kayu dan diversifikasi sumber bahan baku industri perkayuan; 5) Pemasaran dan pengendalian peredaran hasil hutan; 195

196 6) Pembinaan industri kehutanan primer; 7) Pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI) pada kawasan hutan non produktif dan areal konsesi yang belum ditanami termasuk kemudahan perijinan dan permodalan/pinjaman; 8) Pengembangan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan, termasuk pemberian hak pengelolaan untuk periode tetentu kepada masyarakat untuk mengembangkan hutan tanaman dan hasil hutan non kayu; 9) Peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan hutan tanaman; 10) Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menunjang produktivitas sektor kehutanan; 11) Penetapan kawasan hutan; 12) Penetapan kesatuan pengelolaan hutan khususnya di luar P. Jawa; 13) Penatagunaan hutan dan pengendalian alih fungsi, dan status kawasan hutan; 14) Pembinaan kelembagaan hutan produksi; dan 15) Pengembangan sertifikasi pengelolaan hutan lestari. c. Program perlindungan dan konservasi SDA: 1) Restrukturisasi peraturan tentang pemberian hak pengelolaan SDA; 2) Penguatan organisasi masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan SDA dan LH; 3) Pengembangan dan penyebar luasan pengetahuan tentang pengelolaan SDA yang berkelanjutan, termasuk kearifan lokal; 4) Pengembangan sistem insentif bagi masyarakat miskin untuk menjaga lingkungan; 5) Pengembangan kerjasama kemitraan dengan lembaga masyarakat setempat dan dunia usaha dalam pelestarian dan perlindungan SDA; 6) Kerjasama dan tukar pengalaman dengan negara lain dalam kemampuan konservasi SDA; 196

197 7) Rehabilitasi ekosistem (lahan kritis, lahan marginal, hutan bakau, terumbu karang, dll) berbasis masyarakat; 8) Perlindungan SDA dari pemanfaatan yang eksploitatif dan tidak terkendali terutama di kawasan konservasi seperti DAS dan kawasan lain yang rentan terhadap kerusakan; 9) Pengelolaan dan perlindungan keanekaragaman hayati dari ancaman kepunahan; 10) Pengembangan sistem insentif dan disinsentif dalam perlindungan dan konservasi SDA; 11) Peningkatan partisipasi masyarakat dan dunia usaha dalam perlindungan SDA; 12) Pengembangan dan pemasyarakatan teknologi tepat guna; 13) Pengkajian kembali kebijakan perlindungan dan konservasi SDA; 14) Perlindungan hutan dari kebakaran; 15) Pengembangan koordinasi kelembagaan pengelolaan DAS terpadu; 16) Perumusan mekanisme pendanaan bagi kegiatan perlindungan dan konservasi SDA; 17) Pengembangan kemitraan dengan perguruan tinggi, masyarakat setempat, lembaga swadaya, legislatif, dan dunia usaha dalam perlindungan dan pelestarian SDA; dan 18) Pengusahaan DAK sebagai kompensasi daerah yang memiliki dan menjaga kawasan lindung. d. Program Pengembangan kapasitas pengelolaan SDA dan LH: 1) Pengembangan sistem pengawasan pemanfaatan SDA oleh masyarakat; 2) Pengembangan sistem pengolahan SDA yang memberikan hak secara langsung kepada masyarakat; 3) Re-orientasi kerjasama dengan perusahaan multi nasional yang memanfaatkan SDA dan LH agar lebih berpihak kepada masyarakat; 197

198 4) Kerjasama dan tukar pengalaman dengan negara lain dalam meningkatkan kemampuan pengelolaan SDA yang berkelanjutan; 5) Peningkatan kapasitas kelembagaan, termasuk lembaga masyarakat adat serta aparatur pengelola SDA dan LH di pusat dan daerah; 6) Peningkatan peranserta masyarakat dalam pengelolaan SDA dan LH melalui pola kemitraan; 7) Penegakan hukum terpadu dalam penyelesaian hukum atas kasus perusakan SDA dan LH; dan 8) Pengkajian kembali penerapan kebijakan pembangunan melalui internalisasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. e. Program rehabilitasi dan pemulihan cadangan SDA: 1) Peningkatan rehabilitasi daerah hulu untuk menjamin ketersediaan pasokan air irigasi untuk pertanian; 2) Penetapan wilayah prioritas pertambangan, rehabilitasi hutan, lahan, dan kawasan pesisir serta pulau-pulau kecil; 3) Peningkatan kapasitas kelembagaan, sarana, prasarana rehabilitasi hutan, lahan, dan kawasan pesisir serta pulau-pulau kecil; 4) Peningkatan efektifitas reboisasi yang dilaksanakan secara terpadu; dan 5) Rehabilitasi ekosistem dan habitat yang rusak dikawasan hutan, pesisir, perairan, bekas tambang, disertai pengembangan sistem manajemen pengelolaanya. f. Program peningkatan kualitas dan akses informasi SDA dan LH: 1) Penyusunan data SDA baik data potensi maupun data daya dukung kawasan ekosistem, termasuk pulau-pulau kecil; 2) Pengembangan valuasi sumberdaya alam meliputi hutan, air, pesisir, dan cadangan mineral; 3) Penyusunan neraca SDA Nasional dan neraca LH; 4) Penyusunan dan penerapan PDB hijau; 5) Penyusunan data dan potensi SDH dan NSDH; 198

199 6) Pendataan dan penyelesaian tata batas hutan dan kawasan pebatasan dengan negara tetangga; 7) Penyebaran dan peningkatan akses kepada masyarakat; 8) Pengembangan sistem informasi terpadu antara sistem jaringan pemanfaatan kualitas LH pusat dan daerah; dan 9) Sosialisasi, pelaksanaan dan pemantauan berbagai perjanjian internasional baik di pusat dan daerah. Dengan demikian, revitalisasi kehutanan ditujukan untuk meningkatkan produktivitas sumber daya hutan melalui peningkatan peran serta para pihak, baik dunia usaha, masyarakat maupun pemerintah. Peningkatan produktivitas sumber daya hutan berarti peningkatan output baik dalam bentuk hasil hutan kayu maupun non-kayu (termasuk jasa lingkungan). Peningkatan produktivitas sumber daya hutan tersebut diharapkan akan membuka lapangan pekerjaan dan peluang usaha yang lebih luas bagi masyarakat maupun dunia usaha. Peningkatan kesempatan kerja dan peluang usaha, selain mengurangi pengangguran, mengurangi kemiskinan dan peningkatan taraf hidup masyarakat, juga mendukung pembangunan perekonomian lokal, regional dan nasional secara berkelanjutan (sustainable development) Revitalisasi Perikanan Program revitalisasi perikanan yang akan dikembangkan mencakup revitalisasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang ada berupa berbagai kegiatan usaha di bidang penangkapan ikan dan budidaya Perikanan, serta mengoptimalkan operasional unit usaha pengolahan ikan dalam negeri. Program revitalisasi perikanan juga mencakup penciptaan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru berupa pemanfaatan peluang usaha perikanan yang masih memiliki prospek yang baik. Dari sisi keterkaitan antar sektor, keberhasilan pembangunan sektor perikanan masih tergantung pada kebijakan yang dikeluarkan sektor lain. Saat ini dukungan sektor terkait belum sepenuhnya menunjukkan keberpihakan, seperti dukungan permodalan, jaminan keamanan dan kepastian hukum, penataan ruang, pengendalian pencemaran, pembangunan infrastruktur, serta urusan kepelabuhanan. Saat ini, partisipasi sektor 199

200 swasta dalam hal pengembangan industri pengolahan dan pemasaran ikan secara magnitude sangat berarti. Bahkan yang terjadi di beberapa lokasi, pengembangan industri pengolahan ikan dilakukan secara besar-besaran, melebihi kapasitas pemasokan bahan baku, sehingga pada akhirnya mengakibatkan industri tersebut beroperasi di bawah kapasitasnya. Program Revitalisasi Perikanan mengemban suatu misi percepatan implementasi pembangunan perikanan untuk mengatasi pemulihan ekonomi menuju Indonesia yang lebih sejahtera melalui pemanfaatan sumber daya kelautan. Dalam rangka pelaksanaan revitalisasi perikanan, kegiatan difokuskan pada peningkatan produksi dan pengembangan tiga komoditas penting, yaitu udang, ikan tuna, dan rumput laut, dengan tetap melakukan serangkaian kegiatan optimalisasi pengelolaan penangkapan ikan sejak dari on farm hingga pemasaran, meliputi: (1) Optimalisasi Kelompok Usaha Bersama; (2) Optimalisasi Penangkapan Ikan; (3) Optimalisasi Pelelangan Ikan; (4) Optimalisasi Pengolahan dan Distribusi; dan (5) Optimalisasi Penanganan Ikan, yang masing-masing kegiatannya dilaksanakan di 64 kabupaten/kota. Kegiatan ini akan terus dilaksanakan pada tahun Untuk mendukung peningkatan produksi perikanan tangkap, pemerintah telah melakukan rehabilitasi/pembangunan/peningkatan fasilitas pendukung di 5 Pelabuhan Perikanan Samudra, 13 Pelabuhan Perikanan Nusantara, 44 Pelabuhan Perikanan Pantai, dan beberapa Pangkalan Pendaratan Ikan. Selain itu, dilaksanakan juga rehabilitasi dan pengembangan Pelabuhan Pendaratan Ikan di 33 provinsi seluruh Indonesia serta penanganan hasil tangkapan ikan secara higienis sejak penangkapan hingga pemasaran, melalui sosialisasi sistem rantai dingin dan pengadaan peralatan pengolahan hasil. Seiring dengan berkembangnya usaha budidaya, luas areal budidaya pada tahun 2006 diperkirakan meningkat menjadi 1,3 juta ha dari sekitar 1,1 ha tahun Selain itu, juga dilakukan rehabilitasi sarana dan prasarana budidaya berupa saluran tambak di 37 lokasi, pengembangan dan rehabilitasi balai benih ikan/balai benih udang/balai benih ikan pantai di 108 lokasi, serta pengembangan pasar benih ikan. Dalam rangka upaya mendukung revitalisasi, dilaksanakan pengembangan unit bisnis perikanan terpadu, pembangunan National Broadstock Center, sertifikasi pembenihan, 200

201 penyediaan sarana dan prasarana budidaya, pengembangan industri pengolahan rumput laut dan pengembangan komoditas perikanan budidaya yang memiliki nilai ekonomis tinggi lainnya. Kinerja pengembangan perikanan budidaya, kendala dan masalah seperti penyakit ikan yang mewabah dan penanganan hasil perikanan yang tidak memenuhi standar mutu kesehatan serta standar lingkungan di negara importir akan diatasi dengan melakukan serangkaian upaya pengembangan dan penguatan unit karantina ikan di 41 balai/stasiun/pos karantina di seluruh Indonesia, pembangunan pasar ikan higienis di 16 Kabupaten/Kota, dan pembangunan Pusat Pengembangan dan Pemasaran (raiser) ikan hias untuk mendukung sistem pemasaran yang mengutamakan mutu. Selain itu, sistem penyuluhan perikanan terus dikembangkan untuk mewujudkan sistem penyuluhan yang terintegrasi pada kelompok nelayan dan pembudidaya yang tersebar di seluruh wilayah. 4 Evaluasi Kebijakan Sektor Riil Kebijakan sektor riil di Indonesia sejauh ini masih merupakan kendala yang belum terselesaikan. Hal ini jauh perkembangannya dibandingkan dengan stabilitas makroekonomi Indonesia yang terus terjaga. Dengan demikian, proses pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dapat dikatakan tidak berkualitas, yaitu mampu meningkatkan investasi dan menyerap lapangan pekerjaan. Tingkat koordinasi antar departemen dan kementerian masih belum berjalan dengan optimal, mulai dari awal penyusunan kebijakan, proses eskalasi perumusan kebijakan yang komprehensif, serta dalam tataran implementasi kebijakan. Semua hal tersebut dapat dikatakan sejauh ini masih tidak berjalan. Proses kebijakan di sektor riil belum mengikutsertakan konsultasi secara optimal dengan publik maupun dengan pihak swasta yang juga merupakan bagian terintegrasi dalam menjalankan aktivitas ekonomi, terutama kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah. 201

202 Tim-tim yang dibentuk dalam upaya meningkatkan pembangunan di sektor riil tidak semua berjalan dengan baik. Hal ini diakibatkan kinerja tim-tim tersebut tidak didukung oleh anggaran yang memadai serta supporting tim yang mampu melaksanakan kebijakan tersebut baik pada tataran substansi maupun teknikal dengan sepenuh waktu dan terkonsentrasi dengan baik. Tim dengan lintas kementerian dan departemen berujung pada lamanya proses persamaan persepsi dan tujuan kebijakan yang selaras. Seringkali kebijakan yang ada menjadi saling meniadakan antar kebijakan dalam departemen atau kementerian itu sendiri. Hal ini perlu perencanaan dan pemikiran mendalam agar kebijakan yang diambil sesuai dengan program dan dasar pemerintahan. Dalam upaya meningkatkan ekspor dan investasi melalui Timnas PEPI, masih terhambat dalam berbagai urusan kebijakan antar kementerian dan departemen. Tujuan dari kebijakan seringkali sulit tercapai akibat tidak saling mendukungnya usaha yang dilakukan antar departemen dan kementerian. Peningkatan investasi menjadi terhambat karena lamanya proses dukungan akan insentif fiskal yang disusun Depkeu dan peningkatan pembangunan infrastruktur oleh Departemen Pekerjaan Umum, dan juga beberapa lembaga terkait yang mendukung terciptanya iklim investasi yang menarik bagi para investor. Payung hukum atau regulasi yang memadai untuk melaksanakan kebijakan PEPI ini belum terkaji secara komprehensif. Masih saja terjadi payung hukum yang saling berbenturan, baik pada pemerintah pusat maupun pada pemerintah daerah. Pada kebijakan Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia, payung hukum untuk melaksanakan kebijakan ini terlalu memakan proses waktu yang cukup lama, sehingga menyurutkan pihak investor dalam berinvestasi akibat kekhawatiran teradinya ketidakpastian regulasi yang ada. Penyusunan kebijakan KEKI menjadi rumit akibat sulitnya penyamaan persepsi dan tujuan lintas departemen dan kementerian terkait dalam upaya mencapai keberhasilan kebijakan ini. 202

203 Pada kebijakan KEKI, lembaga pendukung kebijakan ini masih belum terbentuk secara optimal, sedangkan peningkatan investasi membutuhkan infrastruktur kelembagaan yang mampu mendukung dan menciptakan proses perijinan investasi dengan segera. Selain itu, penyusuan kebijakan KEKI kurang melibatkan konsultasi dengan pihak swasta, di mana merupakan pemegang peranan penting dalam peningkatan investasi di Indonesia dan lebih mengerti kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan dalam menunjang investasi. Kebijakan KEKI pula tidak memuat policy option dalam blue print yang lebih responsif terhadap kemungkinan perubahan yang terjadi dalam perekonomian terkait dengan iklim ekonomi global yang semakin terintegrasi. Untuk bidang infrastruktur, KKPPI sebagai tim yang dibentuk untuk mempercepat pembangunan penyediaan infrastruktur juga kembali mengalami masalah dalam hal koordinasi antar departemen dan kementerian. Hal ini mengakibatkan beberapa proyek infrastruktur yang ditawarkan kepada para investor seringkali menemui banyak kendala di lapangan, sedangkan proyek yang ada telah disetujui oleh beberapa investor yang tertarik untuk menggarap proyek tersebut. Evaluasi dan perkembangan hasil Infrastructure Summit I dan II tidak terpublikasikan dengan baik, atau dapat dikatakan kurang transaparan. Hal ini mengakibatkan publik kurang mengetahui seberapa berhasilnya kegiatan tersbut terlaksana hingga saat ini. Mengenai revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan, hingga saat ini belum memiliki payung hukum yang jelas sehingga pelaksanaan kebijakan ini bisa lebih mempunyai kewenangan yang besar sesuai dengan apa yang digarisbesarkan pada pemerintahan saat ini pada khususnya. Mengenai pertanian, tidak adanya semacam blue print yang jelas dari pihak pemerintah dalam upaya peningkatan produksi hasil pertanian dengan seiring tingkat kebutuhan yang terus bertambah. Selain itu, dalam pertanian, koordinasi dalam penyusunan kebijakan yaitu pada tataran koordinator dengan departemen pertanian masih belum terjadi 203

204 komunikasi dengan baik. Hal ini mengakibatkan kebijakan terkait pertanian yang diambil tidak terkonsultasikan dengan baik dengan departemen pertanian itu sendiri. Pada bidang perikanan, hingga saat ini masih menghadapi masalah dan tantangan yaitu masih lemahnya sistem pengelolaan usaha perikanan tangkap dan budidaya dan penguasaan teknologi tepat guna yang berakibat pada rendahnya produksi. Koordinasi antar pemerintah pusat dan daerah yang kurang berjalain berakibat terjadinya kompetisi dalam penggunaan lahan perairan antar daerah sebagai dampak dari semakin banyaknya penduduk di wilayah pesisir. Selain itu, tumpang tindih kewenangan dalam pemberian ijin dan adanya peraturan yang tidak memberikan iklim yang kondusif bagi investasi perikanan. Kendala mengenai keterbatasan infrastruktur perikanan, permodalan, dan lemahnya koordinasi dan kelembagaan perikanan hingga saat ini masih saja terus berlangsung. Selanjutnya, sektor kehutanan masih menghadapi masalah dalam koordinasi antar lembaga yang berujung terjadi lemahnya sistem penataan kawasan hutan yang belum didukung oleh tata ruang hutan yang baik. Selain itu, terjadi lambatnya pelaksanaan pembentukan kesatuan pengelolaan hutan produksi. Dalam iklim investasi, pendanaan perbankan, penegakan hukum atas kepemilikan lahan, dan tumpang tindih kepentingan antar sektor yang masih terjadi yang mengakibatkan rendahnya investasi hutan tanaman industri dan produksi hasil hutan non kayu. 5 Rangkuman dan Implikasi Studi ke Depan Proses kebijakan di sektor riel masih belum berjalan dengan baik. Khususnya pendekatan yang inklusif, memandang ke depan dan kebijakan yang robust. Hal ini tampak dari berbagai revisi atas kerangka kebijakan. 204

205 Juga perumusan kebijakan komprehensif yang memayungi kebijakan operasional belum dirumuskan. Meskipun pendekatan koordinasi lintas sektor telah dilakukan akan tetapi banyak masalah yang tidak atau sukar diselesaikan. Sebagian disebabkan karena kerangka kebijakan umum/strategi belum dirumuskan. Sebagian lagi, berkaitan dengan kewenangan lead agency (kalau ada) yang terbatas, tidak didukung oleh staf sekretariat profesional dan anggaran yang memadai. Kajian yang rinci di masa depan akan diarahkan kepada beberapa studi kasus kebijakan yang telah diputuskan, dan lembaga-lembaga kebijakan yang terlibat, dan studi tentang hambatan-hambatan apa sehingga kebijakan tertentu yang sangat penting belum disusun. Daftar Pustaka Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Parsons, Wayne Public Policy: Pengantar Teori dn Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana. RPJM Nasional tahun Surat Keputusan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor tentang Tim Pemantau Inpres Nomor 6 Tahun Surat Keputusan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor tentang Sekretariat Timnas PEPI. Surat Keputusan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tim Eksternal Pemantau Inpres Nomor 6 Tahun Surat Keputusan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor tentang Pokja Timnas PEPI. Timnas KEKI, Laporan Final Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia,

206 Proses Pembuatan Kebijakan Sosial di Indonesia Bona Siahaan Anggota Tim Ahli Bidang Sosial dan Kelembagaan 1. Latar belakang Era demokrasi telah membawa suatu bentuk pendekatan baru bagai pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah sosial. Terdapat argumen yang bermaksud membangun sebuah asumsi, di mana pemerintah Orde Baru tidak fokus pada masalah sosial dan hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi dengan model trickle down effect saja. Mayoritas suara publik juga semakin mendesak pemerintah untuk konsisten dalam menyelengarakan kebijakan sosial untuk rakyat banyak. Di sisi lain, adanya konsep trickle down effect memberikan dampak buruk bagi distribusi pendapatan; dan hal ini justru membentuk persoalan baru yakni kesenjangan sosial. Pada awalnya, trickle down effect ini jelas membawa pengaruh yang positif yakni adanya agen-agen ekonomi baru dari masyarakat sebagai lokomotif yang menggerakkan pertumbuhan di berbagai sektor. Namun, sayangnya pada proses selanjutnya yakni penetesan ke bawah; hal ini tidak terjadi. Akibatnya, kemiskinan dan kesenjangan di Indonesia menjadi permasalahan yang terus ada antar periode waktu. Setelah berakhirnya era Orde Baru, belum ada pemerintahan yang dapat memperbaiki tingkat kesejahteraan rakyat secara gemilang. Sehingga, pertanyaan yang muncul adalah: apakah yang menjadi hambatan pemerintah dalam melakukan berbagai kebijakan sosialnya? Pertanyaan ini memang dirasa sangat luas dan terkesan klise, namun paper ini nantinya akan berusaha mengupas apa yang sekiranya menjadi hambatan jika dikaitkan dengan proses perumusan kebijakannya. Kebijakan sosial sendiri merupakan suatu hal yang dipahami secara berbedabeda antar negara. Indonesia tidak mengenal kebijakan di bidang lingkungan hidup 206

207 sebagai kebijakan sosial, berbeda dengan USA ataupun negara-negara Eropa lainnya. Namun, yang pasti adalah: kebijakan sosial merupakan suatu hal yang harus dilakukan negara dalam mewujudkan tanggungjawabnya kepada rakyat, terutama di berbagai bidang yang menjadi hak dasar seseorang. 2. Tujuan, ruang lingkup dan metodologi penelitian 2.1. Tujuan Tujuan penulisan background paper tentang kebijakan sosial di Indonesia ini, untuk mendukung analisis penelitian kami mengenai proses perumusan kebijakan di Indonesia. Background ini akan menjadi sebuah bagian pelengkap yang menganalisis lebih dalam mengenai bagaimana dan apa yang menjadi permasalahan dalam proses perumusan kebijakan di bidang sosial. Selain itu, kami juga hendak memberikan ilustrasi beberapa studi kasus yang sekiranya dapat membantu pemahaman pembaca mengenai perumusan kebijakan di bidang sosial. Bebebrapa hal yang akan dijadikan 2.2. Ruang lingkup Ruang lingkup analisis yang dipergunakan dalam mengkritisi masalah kebijakan sosial hanya akan terfokus pada kebijakan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan. Penanggulangan kemiskinan menjadi dekat dengan kebijakan sosial, karena kemiskinan itu sendiri merepresentasikan keterbatasan dan ketidakberdayaan sesorang dalam mendapatkan akses yang dapat memperbaiki taraf hidupnya. Kemiskinan juga dapat berasal dari tidak dimilikinya pekerjaan, kebodohan, kesehatan yang buruk dan sebagainya. Maka, ketika angka kemiskinan itu sendiri telah dikurangi seharusnya beberapa aspek dari indikator kualitas hidup secara luas juga membaik. 207

208 Definisi universal atas kebijakan sosial itu sendiri belum ada, namun terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Di Inggris, kebijakan mengenai air bersih termasuk kebijakan sosial. Di China, kebijakan sosial mencakup pemberian makanan dan pakaian kepada masyarakat kurang mampu. Di Belanda, kegiatan-kegiatan kebudayaan merupakan bagian penting dari kebijakan sosial (Spicker, 1995) Definisi dan konsep mengenai kebijakan sosial di Indonesia masih sangat kabur dan memiliki variasi yang berbeda termasuk antar departemen. Biasanya departemen/kementrian terkait hanya mengacu pada definisi yang disempitkan dalam ranah tugas kerja mereka. Misalkan, departemen sosial yang memiliki pengertian bahwa kesejahteraan sosial merujuk pada pelayanan kesejahteraan sosial, terutama bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Lebih lanjut mengenai definisi kebijakan sosial yang ada di Indonesia, dapat dilihat pada lampiran. Kebijakan sosial dalam background report ini memang akan lebih terfokus pada penanggulangan kemiskinan di Indonesia, namun di sisi lain kami juga tetap memberikan beberapa kasus lain di bidang kebijakan sosial; seperti: legalisasi CSR, masalah ketenagakerjaan dan persoalan hak atas tanah untuk kaum miskin Metodologi penelitian Untuk mencapai tujuan penelitian, dibutuhkan suatu cara ataupun alur kerja yang bertahap. Tahapan yang akan dipergunakan pada penelitian ini dibuat mengacu pada skema karya ilmiah standar, kecuali pada bab IV yang berisi tentang analisis tentang beberapa kasus yang merepresentasikan proses perencanaan dan anggaran pembangunan nasional. Hal ini dikarenakan belum adanya penelitian sejenis yang dapat dijadikan pegangan. Rumusan dan tata cara penelitian ini kami buat secara eksperimen dan proses trial and error. Walau begitu, kami juga tetap memiliki beberapa acuan penelitian mengenai proses kebijakan, seperti laporan yang dibuat oleh Strategic Policy Making Team Cabinet Office (1999) di Inggris yang berjudul Professional Policy Making for The 21st Century ; Modernising Government yang disusun oleh Perdana Menteri dan Minister for the Cabinet Office (UK-1999); dan juga Tackling Wicked Problems: A Public Policy Perspective yang disusun oleh Australian Public Service Comission pada tahun Beberapa publikasi jelas belum juga memberikan arahan yang jelas 208

209 tentang proses kebijakan di Indonesia, namun hanya memberikan sebuah gambaran normatif proses kebijakan yang baik di negara lain yang sudah teruji. Pertama-tama, kami jelas membutuhkan data tentang landasan hukum yang mengatur tentang definisi, mandat, proses pembuatan kebijakan dan evaluasi dari kebijakan sosial. Hasil dari data ini akan dipergunakan dalam mengkaji dan melihat kapasitas dan regulasi internal dari lembaga-lembaga terkait. Data keduanya dapat dengan mudah diakses secara on-line maupun dari berbagai publikasi. Langkah berikutnya, kami berusaha mengukur mutu dari sistem perencanaan kebijakan tersebut; ataupun membandingkan proses perencanaan secara de jure dan de facto. Untuk itu sistem yang sudah ada diletakkan dalam studi kasus. Studi kasus akan memudahkan kita untuk memetakan bagaimana sebenarnya dan seharusnya proses perencanaan pembangunan dan anggaran dibuat. Di dalam analisis tersebut, kami akan melihat faktor kelembagaan, faktor kerangka peraturan, faktor sistematika perencanaan dan evaluasi, faktor output, dan faktor kepuasan (opini) publik. Data yang akan dipergunakan akan berasal dari studi literatur dan data primer berdasarkan hasil in-depth interview dengan pelaku yang pernah/sedang terlibat dengan proses pembuatan kebijakan sosial di Indonesia; termasuk mengenai: keamanan, penanggulangan kemiskinan, asuransi dan jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. 3. Policy regime mengenai penanggulangan kemiskinan di Indonesia Paradigma pembangunan pada masa lalu lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan fisik material, serta menempatkan manusia sebagai obyek sehingga beresiko terjadinya penerima bantuan sosial yang pasif dan diberikan atas dasar bersifat belas kasihan (clarity). Kini, paradigma pembangunan yang menempatkan manusia sebagai subyek pembangunan akan memposisikan rakyat sebagai pelaku aktif dalam setiap langkah kegiatan yang ditujukan pada dirinya. Hasil-hasil pembangunan pada masa lalu juga tidak terdistribusi secara merata, sehingga beresiko terjadinya konflik kesenjangan sosial ekonomi. Selain itu terdapat kecenderungan menyeragamkan model pembangunan dan mengabaikan potensi dan budaya lokal, sehingga muncul pembangunan yang tidak berbasis pada masyarakat. Untuk itulah 209

210 diperlukan suatu kebijakan sosial yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan Regulasi dan struktur Secara konstitusional, pembangunan kesejahteraan sosial memiliki landasan yang kuat karena tercantum dalam pembukaan UUD 1945 serta bab khusus mengenai kesejahteraan sosial beserta pasal-pasalnya yang secara spesifik menyiratkan adanya kewajiban negara. Pasal-pasal tersebut adalah: pasal 27 ayat 2, pasal 33 dan pasal 34. Hal ini juga dinyatakan dalam UU No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial yang menyebutkan tugas dan usaha Pemerintah dalam kesejahteraan sosial sebagaimana dirumuskan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 7. Selain itu, juga terdapat PP hingga Inpres yang mendukung kebijakan pemerintah di bidang sosial. Permasalahan mengenai kebijakan sosial dan kesejahteraan rakyat secara umum berada dalam domain setiap masing-masing kementrian/departemen maupun LPND; namun secara khusus tanggung jawab ini berada di bawah tanggung jawab Kementrian Koordinator Kesejahteraan Masyarakat. Hal ini tercantum dalam Pepres No 9 Tahun 2005 yakni: mempunyai tugas membantu Presiden dalam mengkoordinasikan perencanaan dan penyusunan kebijakan, serta mensinkronkan pelaksanaan kebijakan di bidang kesejahteraan rakyat dan penanggulangan kemiskinan. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat menyelenggarakan fungsi: 1. koordinasi perencanaan dan penyusunan kebijakan di bidang kesejahteraan rakyat dan penanggulangan kemiskinan; 2. sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang kesejahteraan rakyat dan penanggulangan kemiskinan; 3. pengendalian penyelenggaraan kebijakan, sebagaimana dimaksud pada butir 1 dan 2; 4. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggungjawabnya; 5. pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidang kesejahteraan rakyat dan penanggulangan kemiskinan; 6. pelaksanaan tugas tertentu yang diberikan oleh Presiden; 7. penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsi tentang kesejahteraan rakyat dan penanggulangan kemiskinan kepada Presiden. 210

211 Lingkup kerja dan kewenangan yang berada di kantor Menko Kesra ini bertujuan untuk memudahkan sinergi antat program dan antar departemen teknis terkait. Namun, sayangnya hingga saat ini status Kantor Menteri Koordinator di Indonesia tidak begitu jelas, karena memiliki kekuatan yang sebenarnya jauh lebih lemah dari pada departemen teknis terkait di bawahnya. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi dimaksud, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat mengkoordinasikan : 1. Departemen Kesehatan 2. Departemen Pendidikan Nasional 3. Departemen Sosial 4. Departemen Agama 5. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 6. Kementerian Negara Lingkungan Hidup 7. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan 8. Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara 9. Kementerian Negara Perumahan Rakyat 10. Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga 11. Instansi lain yang dianggap perlu 23 Sedangkan khusus mengenai penanggulangan kemiskinan, pemerintah juga menciptakan institusi baru. Pada tahun 2001 (lewat Keppres No 124 Tahun 2001 dan kemudian dilengkapi Keppres No 8 Tahun 2002), pemerintah membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan. Sedangkan lewat Pepres No 54 Tahun 2005, dibentuk badan baru yang bernama Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) yang bertanggungjawab langsung terhadap presiden 24. Perpres ini merupakan penyempurnaan dan kelanjutan dari Keppres No. 124 Tahun 2001 jo. Keppres No. 8 tahun 2002 jo. Keppres No. 34 Tahun 2002 mengenai Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) ini merupakan forum lintas pelaku - forum nasional, forum regional dan/atau forum nasional-regional - 23 Di sisi lain, Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang dikoordinasikan Menteri/Menteri Negara yang terkait dengan tugas dan fungsi Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat adalah : (1) Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN); (2) Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM); (3) Perpustakaan Nasional (PERPUSNAS); (4) Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI); (5) Lembaga Administrasi Negara (LAN); (6) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP); (7) Badan Kepegawaian Negara (BKN); (8) Instansi lain yang dianggap perlu. 24 Bersamaan dengan adanya Pepres ini, maka Keppres No 124/2001 tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan dinyatakan tidak berlaku lagi, secara otomatis maka KPK dibubarkan. 211

212 yang terdiri dari semua unsur, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, lembaga keuangan dan perbankan, usaha nasional, kelompok swadaya masyarakat, akademisi, dan unsur masyarakat lainnya, untuk menggalang kontribusi gagasan dan saran implementasi yang konstruktif dan maju, bagi peningkatan keberhasilan penanggulangan kemiskinan. Komite penanggulangan kemiskinan bersifat ad-hoc dan bukan merupakan lembaga baru karena merupakan forum koordinasi yang mensinergiskan dan menajamkan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan di semua jalur pembangunan dan di setiap lapisan penyelenggara pembangunan. TKPK mempunyai kedudukan langsung di bawah Presiden Republik Indonesia dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. TKPK mempunyai tugas untuk melakukan langkah-langkah konkret untuk mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui koordinasi dan sinkronisasi penyusunan dan pelaksanaan penajaman kebijakan penanggulangan kemiskinan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, TKPK menyelenggarakan fungsi; a) koordinasi dan sinkronisasi penyusunan dan pelaksanaan penajaman kebijakan penanggulangan kemiskinan; b) pemantauan pelaksanaan penanggulangan kemiskinan sesuai karakteristik dan potensi di daerah dan kebijakan lanjutan yang ditetapkan daerah dalam rangka penanggulangan kemiskinan di daerah masing-masing. Secara organisatoris, TKPK dipimpin oleh seorang Ketua dan Wakil Ketua dan memiliki anggota sesuai dengan bidang masing-masing. Ketua TKPK adalah Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, yang bertugas memimpin koordinasi pada forum TKPK dan mengkoordinasikan upaya penanggulangan kemiskinan yang berada dalam koordinasi bidang kesejahteraan rakyat. Wakil Ketua TKPK adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, yang bertugas mewakili TKPK dan mengkoordinasikan upaya penanggulangan kemiskinan yang berada dalam koordinasi bidang perekonomian. Anggota TKPK terdiri dari 12 Menteri Negara yang memimpin Departemen, 6 Menteri Negara yang tidak memimpin departemen, 1 pejabat setingkat Menteri dan 3 Kepala Badan yang memiliki bidang tugas yang terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan. Adapun anggota dari TKPK tersebut adalah sebagai berikut : 1. Menteri Dalam Negeri 2. Menteri Keuangan 3. Menteri Sosial 4. Menteri Kesehatan 5. Menteri Pendidikan Nasional 6. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata 212

213 7. Menteri Pertanian 8. Menteri Kelautan dan Perikanan 9. Menteri Kehutanan 10. Menteri Pekerjaan Umum 11. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi 12. Menteri Perindustrian 13. Menteri Negara Koperasi dan UKM 14. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan 15. Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal 16. Menteri Negara Perumahan Rakyat 17. Menteri Negara Lingkungan Hidup 18. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas 19. Sekretaris Kabinet 20. Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional 21. Kepala Badan Pusat Statistik 22. Kepala Badan Badan Pertanahan Nasional Dalam menjalankan tugas dan fungsinya sehari-hari, TKPK memiliki Sekretaris TKPK, yaitu Sujana Royat (Deputi Penanggulangan Kemiskinan Kemenko Kesra) yang bertugas membantu Ketua dan Wakil Ketua KPK dalam koordinasi perumusan kebijakan, fasilitasi, pemantauan, evaluasi dan pelaporan penanggulangan kemiskinan. 213

214 Struktur TKPK 3.2. Proses kebijakan Proses pembuatan kebijakan anti kemiskinan Perumusan kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam tataran perencanaan telah berjalan dengan baik, namun sayangnya banyak hal yang tumpang tindih. Tantangan berikutnya adalah koordinasi antara TKPK pusat dengan daerah. Proses pengambilan kebijakan tentang di dalam TKPK berpeluang untuk membingungkan dan rumit. Seperti kita ketahui, di bawah PNPM terdapat program-program lain seperti PPK, P2PK, P2DTK. Program Pengembangan Kecamatan berada dibawah binaan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Ditjen PMD), Departemen Dalam Negeri (Depdagri); P2PK berada di bawah kepemimpinan Dirjen Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum; P2DTK berada dalam pengarahan Bappenas. Di sisi lain TKPK juga mengurusi PKH, sedangkan PKH berada di bawah Tim teknis Pusat yang diketuai oleh Direktur Jendral Bantuan Jaminan Sosial, Departemen Sosial. TKPK akan mengkoordinir PKH lewat Tim Pengendalli PKH, 214

215 baik di pusat maupun daerah. Tugas TKPK yang berat ini memerlukan kemampuan manajerial lintas sektoral. Sekretariat TKPK Tim Pengendali PNPM Mandiri Tim Pengendali PKH PKK P2KP P2DTK Selain itu terdapat beberapa tahap dalam fokus penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Menurut Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, tahap-tahap fokus tersebut adalah: 1. Pendataan Penegasan pemerintah kepada seluruh instansi pemerintah pusat, daerah dan masyarakat untuk menggunakan data kemiskinan dari BPS sebagai data dasar dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Updating data kemiskinan pada tingkat nasional, daerah dan pada tataran masyarakat Peningkatan akses masyarakat pada data dan informasi kemiskinan 2. Pendanaan Pengarusutamaan penganggaran di tingkat pusat dan daerah Pengembangan DAK untuk Penanggulangan Kemiskinan Pengembangan Dana Amanah untuk Penanggulangan Kemiskinan (Poverty Reduction Trust Fund) Pengembangan mikrodana dan wirausaha mikro serta wirausaha sosial (sosial entrepreneurships) 3. Kelembagaan Pemberdayaan kelompok-kelompok masyarakat yang telah berkembang Penguatan kelembagaan lintas pelaku di tingkat provinsi, kabupaten dan kota dalam pengurangan kemiskinan (tmsk pembentukan TKPKD) Keterlibatan dunia usaha dan LSM 215

216 Implementasi kebijakan anti kemiskinan Komitmen pemerintah untuk memberantas kemiskinan telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (lewat UU No 17 Tahun 2007), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional (lewat Pepres No 7 Tahun 2005). Agenda pembangunan nasional ini mengutamakan 3 hal: 1) Indonesia aman & adil; 2) Indonesia yang adil & demokratis; 3) Indonesia yang sejahtera, salah satunya dengan menurunnya jumlah penduduk miskin & pengangguran terbuka. Selanjutnya misi pemerintahan dalam RPJM ini dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah/Daerah setiap tahunnya. RKP 2008 bertemakan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi untuk mengurangi Kemiskinan dan Pengangguran. Ini menunjukkan betapa pentingnya masalah kemiskinan dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Sedangkan salah satu prioritasnya adalah peningkatan efektifitas penanggulangan kemiskinan. Pada September 2005, Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) meluncurkan dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan. SNPK ini sebenarnya dimaksudkan untuk merumuskan dan mensinergikan lintas sektoral pemerintah dalam upaya menanggulangi kemiskinan, namun dokumen tersebut tidak dijadikan suatu pegangan sehingga pemerintah tetap tidak memiliki kerangka penanggulangan kemiskinan yang efektif. Fokus penanggulangan kemiskinan dalam RKP 2007 yang ingin dicapai: 1. Mendorong pertumbuhan yang berkualitas. Pertumbuhan ekonomi yang diinginkan adalah pertumbuhan yang dapat menciptakan kesempatan kerja yang memadai sekaligus mengurangi kemiskinan. 2. Peningkatan Akses Terhadap Pelayanan Dasar. Akses masyarakat miskin terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar jauh lebih rendah dibandingkan mereka yang mampu. 3. Pemberdayaan Masyarakat. Pada era demokratisasi dan desentralisasi, keputusan pelaksanaan pembangunan harus dilakukan oleh masyarakat sendiri, termasuk dalam penanggulangan kemiskinan. Untuk itu pembangunan berbasiskan pemberdayaan masyarakat akan diperluas harmonisasi program-program pemberdayaan masyarakat melalui PNPM 216

217 4. Menyempurnakan & Mengembangkan Sistem Perlindungan Sosial a. Memberikan bantuan bagi mereka yang rentan (fakir, miskin, penyandang cacat, lanjut usia, anak terlantar, komunitas adat terpencil dan korban bencana). b. Mengembangkan sistem jaminan sosial berbasis asuransi kepada mereka yang lebih mampu c. Melaksanakan Program Keluarga Harapan (BTB) yang merupakan cikal bakal pengembangan sistem jaminan sosial Terdapat 2 program penanggulangan kemiskinan yang besar (PNPM Mandiri dan PKH) yang berada di bawah tanggung jawab koordinasi TKPK. Ini berarti kita harus melihat apakah sekretariat TKPK sudah berfungsi dengan baik atau tidak. Sekretariat TKPK dipimpin oleh Deputi Penanggulangan Kemiskinan Menko Kesra dan Deputi Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan dan UKM Bappenas. Pucuk pimpinan ini memang dijabat oleh SDM yang bermutu, namun koordinasi antar amggota tidak berjalan dengan efektif, karena mereka juga memiliki tanggungjawab pekerjaan yang besar pada lingkup departemennya. Selain itu, ego antar lembaga sepertinya masih ada, hal inilah yang berpotensi menghambat efektifitas kebijakan. Impelementasi kebijakan anti kemiskinan di Indonesia, sebenarnya sudah berlangsung sejak Indonesia merdeka. Berbagai program telah dilakukan oleh pemerintah, walau begitu upaya sistematis untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia dimulai semenjak era Orde Baru. Mulai tahun 1970-an, pemerintah telah giat untuk mengurangi kemiskinan dengan cara: program penyuluhan petani, revolusi hijau, subsidi pupuk, kredit untuk usaha tani, Program Inpres, pembangunan infrastruktur pembangunan, pembangunan fasilitas kesehatan dan pendidikan, dan sebagainya. Hasilnya, kemiskinan di Indonesia telah berkurang dari tingkat 40% (awal 1970-an) menjadi hanya belasan % di era 1990-an. Pola program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh Orde Baru sebenarnya juga ada yang bersifat memberdayakan, namun dengan adanya reformasi 1998 seluruh program dan kebijakan yang pernah dilakukan oleh Orde Baru dianggap kurang baik. Namun, kini sepertinya pemerintah hendak mengulang apa yang pernah menjadi sumber kesuksesan periode tersebut. Selama ini, implementasi kebijakan penenggulangan kemiskinan dilakukan dengan cara sektoral oleh masing-masing departemen yang terkait. Misalkan: Departemen Kelautan dan Perikanan akan berusaha mengurangi jumlah nelayan miskin saja, atau Departemen Pekerjaan Umum akan merencanakan proyek 217

218 pembangunan sarana fisik di suatu daerah, yang akan memberikan lapangan pekerjaan baru bagi kaum miskin. Jadi, pemerintah telah membuat rencana strategis yang baik di RPJM maupun RPJP, tapi ketika sudah diderivasikan ke bawah, justru akan terpecahpecah pada departemen teknis terkait. Hal tersebut ternyata memberikan suatu pembelajaran tersendiri untuk pihak pemerintah, sehingga pada tahun 2007 pemerintah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Proram ini merupakan suatu gerakan nasional (yang berisi berbagai kumpulan program pemerintah) yang dijalankan oleh semua kalangan untuk menanggulangi kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja melalui upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dengan tujuan peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan tingkat kesejahteraan masyarakat Pengawasan dan evaluasi kebijakan anti kemiskinan Agar suatu kegiatan dapat dilihat keberhasilannya, maka perlu diberikan suatu tolok ukur yang dijadikan pedoman. Kelima hal ini akan diusahakan dalam perumusan kebijakan dan pelaksanaan program sehingga tercapai hasil pembangunan sebagaimana yang ditentukan oleh berbagai departemen/kementerian/instansi yang dikoordinasikan Kementerian Koordinator Bidang Kesejahtraan Rakyat. Adapun tolok ukur keberhasilan kegiatan dalam mengkoordinasikan dan menyinkronkan penyiapan dan penyusunan kebijakan serta pelaksanaannya dibidang kesejahtraan rakyat adalah : 1. Terselenggaranya koordinasi 2. Terwujudnya sinkronisasi 3. Adanya keterpaduan 4. Adanya persepsi yang sama 5. Adanya komitmen Evaluasi kebijakan adalah pemeriksaan yang objektif, sistematis dan empiris terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari segi tujuan yang ingin dicapai. (Tomas Dye, 1987:351). 4. Analisis studi kasus proses kebijakan penanggulangan kemiskinan Pada bab ini akan dipaparkan mengenai beberapa studi kasus yang sekiranya dapat mendukung penjelasan mengenai beberapa program kebijakan sosial, 218

219 khususnya di bidang penanggulangan kemiskinan. Pada bagian pertama, akan dijelaskan mengenai Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) yakni program nasional yang merupakan gabungan dari beberapa program penanggulangan kemiskinan lintas departemen. Berikutnya, akan dijelaskan mengenai upaya tidak langsung pemerintah dalam memperbaiki taraf kesejahteraan masyarakat; yakni tentang: legalisasi CSR dalam UU Perseroan Terbatas Tahun 2007 dan reformasi agraria untuk kaum miskin. Dari 3 kasus berikut, porsi deskripsi dan analisisnya akan lebih banyak pada PNPM Mandiri. Hal ini dikarenakan PNPM Mandiri dianggap sebagai representasi program nasional berskala besar dari pemerintah, dalam penanggulangan kemiskinan. Selain itu, program ini juga dianggap netral, dalam artian tidak memiliki suatu kecenderungan pada bidang tertentu seperti isu ketenagakerjaan saja, atau isu nelayan miskin saja. Program ini juga dianggap menjadi program unggulan pemerintahan SBY-JK dan masih baru dalam hal pelaksanaan (untuk jangka waktu ke depan juga akan tetap dilaksanakan) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) Latar belakang: PNPM sebagai inovasi? Untuk meningkatkan efektifitas penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, pemerintah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) pada tahun Melalui PNM, dirumuskan kembali mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanan hingga pemantauan dan evaluasi. PNPM merupakan kerangka kebijakan dan acuan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dengan menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat. Tujuan umumnya untuk peningkatan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri. PNPM pada hakekatnya adalah gerakan nasional dalam wujud pembangunan berbasis masyarakat yang menjadi kerangka kebijakan serta acuan dan pedoman bagi pelaksanaan berbagai program pemberdayaan masyarakat dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Pemberdayaan masyarakat dipahami sebagai strategi untuk mencapai tujuan meningkatnya kesejahteraan masyarakat terutama keluarga miskin. Pelaksanaan PNPM Mandiri tahun 2007 dimulai dengan PPK (Program Pengembangan Kecamatan), Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK). Mulai tahun 2008 PNPM akan diperluas dengan melibatkan Program Pengembangan 219

220 Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW). Sejak tahun depan (2008), seluruh program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat di kementrian dan lembaga termasuk dalam PNPM Mandiri. PNPM Mandiri akan dilaksanakan maksimal hingga tahun 2015, atau sejalan dengan target MDGs. PNPM pertama kali diperkenalkan Pemerintah Indonesia di Jakarta, pada 1 September Menurut Menko Kesra Aburizal Bakrie, PNPM merupakan perluasan dan penyempurnaan dari program pemberdayaan masyarakat yang telah teruji, seperti PPK. Untuk itu, pemerintah memutuskan PNPM salah satunya akan dijalankan melalui PPK (PNPM-PPK). Seluruh kecamatan di Indonesia akan memperoleh program PNPM secara bertahap, mulai tahun Tujuan PNPM seperti tersebut di atas, akan ditempuh dengan cara: (a) Mengembangkan kapasitas masyarakat, terutama Rumah Tangga Miskin (RTM) dengan penyediaan prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi, serta lapangan kerja; (b) Meningkatkan partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian kegiatan pembangunan, dan; (c) Mengembangkan kapasitas pemerintahan lokal dalam memfasilitasi penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan. Tujuan umum PNPM adalah upaya percepatan pengurangan kemiskinan dan penciptaan lapangan pekerjaan. Sedangkan secara khusus bertujuan : Meningkatnya penghasilan kelompok masyarakat miskin; Meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, KAT, dan kelompok lainnya yang selama ini terpinggirkan; Terciptanya lapangan kerja bagi masyarakat terutama masyarakat miskin; Meningkatnya akses masyarakat miskin terhadap berbagai pelayanan dasar; Meningkatnya akses masyarakat miskin terhadap kegiatan ekonomi produktif beserta akses terhadap pendampingan, modal, pasar, informasi, dan inovasi Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat Perbaikan distribusi pendapatan masyarakat Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam memberikan layanan masyarakat terutama masyarakat miskin. Harmonisasi kebijakan melalui PNPM untuk perbaikan pemilihan sasaran baik wilayah maupun kelompok masyarakat, prinsip dasar, strategi, pendekatan, indikator, mekanisme, dan prosedur yang diperlukan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan mempercepat penciptaan lapangan kerja. Pemberdayaan terjadi pada saat masyarakat mampu mengidentifikasi masalah/penyebab kemiskinan & alternatif penyelesaiannya, mampu mengidentifikasi sumber daya yang tersedia di wilayahnya, 220

221 mampu memutuskan tindakan yang harus dilaksanakan (peningkatan kemampuan masyarakat berorganisasi dalam skala kelompok dan menjadi mitra pemerintah dalam pembangunan desa/kelurahan). Secara umum manfaat yang akan diperoleh melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat adalah penyediaan barang jasa skala kecil, tidak kompleks, dikerjakan melalui kerjasama lokal (common pool, public & civil goods). Kondisi kegagalan pasar akibat pasar yang tidak sempurna dapat diatasi jika program dilaksanakan dengan pendekatan pemberdayaan yaitu dengan tersedianya komplemen aktivitas publik. Dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat maka terjadi keberlanjutan (sustainability) yang relatif lebih tinggi dibandingkan proyek sektoral karena adanya ownership masyarakat. Efisiensi lebih dan efektivitas yang tinggi dirasakan (penghematan persen) jika dibandingkan menggunakan kontraktor. Pemberdayaan masyarakat mendorong terjadi internalisasi pembangunan untuk masyarakat miskin dan marginal penciptaan lapangan kerja. Serta partisipasi penduduk miskin dalam membangun, pembentukan modal sosial, tata-pemerintahan yang baik. Dalam upaya mencapai tujuan PNPM, strategi yang diterapkan adalah melalui pemberdayaan masyarakat seutuhnya dengan mendaya-gunakan seluruh potensi dan sumberdaya lokal termasuk sumber daya manusia, alam, teknologi, sosial, budaya, dan ekonomi. Strategi tersebut terdiri dari tahapan internalisasi, pelembagaan, dan keberlanjutan, yaitu: 1. Tahap internalisasi Tahap pembelajaran bagi masyarakat & Pemda utk memahami pengelolaan pembangunan partisipatif Bantuan pendanaan merupakan faktor utama penggerak proses pemberdayaan. Peran pendamping (fasilitator/konsultan) masih sangat dominan. 2. Tahap pelembagaan Proses pelembagaan pembangunan partisipatif; pendanaan mikro berbasis masyarakat; & peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintah lokal Bantuan pendanaan lebih bersifat stimulan Peran fasilitator/konsultan terfokus pada peningkatan kapasitas Masyarakat, pemda, konsultan dan fasilitator merupakan mitra sejajar Perencanaan partisipatif mulai terintegrasi ke dlm sistem perencanaan pemb. regular. 3. Tahap keberlanjutan Tahap penyiapan masyarakat untuk mampu melanjutkan pengelolaan pembangunan secara mandiri 221

222 Masyarakat mampu menghasilkan keputusan yang rasional dan adil, serta mampu membangun kemitraan dg berbagai pihak Swadaya masyarakat merupakan faktor utama penggerak pembangunan Pemda lebih tanggap dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat Keberadaan fasilitator/konsultan atas permintaan masyarakat/pemda sesuai keahlian yang dibutuhkan. Sedangkan, untuk komponen kegiatan PNPM adalah: Pengembangan Masyarakat, tujuannya adalah meningkatkan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya melalui penguatan pendampingan yang tepat Peningkatan Kapasitas Pemerintahan, tujuannya adalah: (i) Memperkuat lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat yang dipercaya oleh masyarakat untuk mengelola kegiatan PNPM; (ii) Memfasilitasi penyelenggaraan kaji ulang produk hukum yang berkaitan dengan pembangunan masyarakat desa/kelurahan; dan (iii) Memperkuat forum-forum desa/kelurahan dan kecamatan. Bantuan manajemen dan pengembangan program, tujuannya adalah mendukung pemerintah dalam pengelolaan program, termasuk pengendalian mutu, studi dan evaluasi, serta pengembangan program berdasarkan pembelajaran yang didapat selama pelaksanaan Bantuan Dana, tujuannya adalah, memfasilitasi proses dan mendanai usulan kegiatan, tdd: (1). Dana BLM, (2). Dana untuk PNPM Generasi (3). Dana Pendukung Kelembagaan PNPM Koordinasi PNPM Mandiri pada tingkat pusat terdiri atas: (1) Tim pengarah, yang terdiri atas menteri-menteri dan kepala LPND terkait; (2) Tim pelaksana, yang terdiri atas: Kantor MenkoKesra (koordinator pengendalian), Bappenas (perencanaan dan Monev), Depkeu (pembiayaan), departemen teknis/terkait (pelaksana dan pembinaan teknis), Depkominfo (sosialisasi dan komunikasi). Pada tingkat daerah, dibentuk juga Tim Koordinasi PNPM Mandiri yang anggotanya terdiri dari pejabat instansi daerah yang terkait dengan TKPD Provinsi. PNPM Mandiri hanya dibentuk lewat Surat Keputusan Menteri Koordinator Kesejahteraan Masyarakat No 23/VII/2007 yang ditembuskan ke Presiden, Wakil 222

223 Presiden, Wakil Ketua TKPK yakni Menko Perekonomian, Kementerian/Departemen dan Kepala LPND yang termasuk anggota TKPK, serta seluruh gubernur, walikota/bupati. Pasal 6 Pepres No 54 Tahun 2005, menyebutkan bahwa pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) di bawah TKPK dapat saja diadakan jika dirasa perlu. Anggota Pokja dapat berasal dari akademisi, tokoh agama, dunia usaha dan juga lembaga swadaya masyarakat. Pembiayaan dan pendanaan akan berasal dari APBN (untuk pusat) dan APBD (untuk daerah), kontribusi swasta dan juga swadaya masyrakat. Untuk menjamin sinkronisasi semua kegiatan penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat beserta anggarannya harus dikoordinasikan dan mendapat persetujuan dari Tim Koordinasi Nasional/Provinsi/ kabupaten/ kota, sebelum pengesahan DPRD/DPR. Dalam pelaksanaannya, PNPM-PPK mengalokasikan BLM melalui skema pembiayaan bersama (cost sharing) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Pemda). Besarnya cost sharing disesuaikan dengan kapasitas fiskal masing-masing daerah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 73/ PMK.02/ 2006 per 30 Agustus Untuk itu, dibutuhkan komitmen dan keseriusan Pemda dan aparat di daerah dalam menjalankannya. Penyelenggaraan PNPM Mandiri P2KP tahun 2007 dilakukan secara berjenjang dari tingkat nasional sampai tingkat desa/kelurahan dengan pengorganisasian sebagai berikut. Tingkat Nasional Penanggungjawab pengelolaan program tingkat nasional adalah Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum, yang bertindak sebagai penyelenggara program (executing agency) yang dibantu oleh Satker P2KP (PMU) sebagai penanggungjawab operasional kegiatan. Untuk melaksanakan tugas tersebut PMU dibantu oleh 2 (dua) Konsultan Manajemen Pusat (KMP) P2KP yang bertugas melakukan pengawasan, pengkoordinasian dan pengendalian KMW-KMW (Konsultan Manajemen Wilayah) sesuai pembagian wilayah dampingan pada pelaksanaan P2KP2 dan P2KP3. PMU juga akan dibantu oleh Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) yang bertanggungjawab dalam merumuskan pengembangan konsep dan penyusunan pedoman umum program, termasuk melakukan kajian-kajian substantif yang dibutuhkan, selain itu PMU akan dibantu oleh Program Manager untuk merumuskan strategi dan petunjuk pelaksanaan kegiatan.pemerintah Indonesia 223

224 juga membentuk Tim Pengendali PNPM yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Keanggotaan Tim Pengarah terdiri dari : Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat sebagai Ketua; Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sebagai Wakil Ketua; Sedangkan Tim Pengarah beranggotakan: Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Sosial, Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Menteri Pertanian, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Perindustrian, Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, Menteri Negara Perumahan Rakyat, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Sekretaris Kabinet, Kepala Badan Pusat Statistik, Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Kepala Badan Pertanahan Nasional. Keanggotaan Tim Teknis terdiri dari : Deputi bidang Koordinator Penanggulangan Kemiskinan, Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat sebagai Ketua; Deputi Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan dan UKM, Bappenas sebagai Wakil Ketua; Asdep Urusan Pendanaan dan Infrastruktur, Kantor Menkokesra sebagai Sekretaris I; Sekretaris II dijabat oleh Direktur Penanggulangan Kemiskinan, Bappenas. Sedangkan anggota yang lain adalah: Deputi Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Bappenas; Dirjen Perbendaharaan, Departemen Keuangan; Dirjen Anggaran dan Perimbangan Keuangan, Departemen Keuangan; Dirjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri; Dirjen Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum; Staf Khusus Kantor Menko Bidang Perekonomian; Direktur Kantor Pemberdayaan Masyarakat, Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri; Direktur Usaha Ekonomi Masyarakat, Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri; Direktur Perekonomian Daerah, Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri; Direktur Anggaran, Ditjen Anggaran Perimbangan dan Keuangan, Departemen Keuangan; Direktur Perbendaharaan, Ditjen Perbendaharaan, Departemen Keuangan; Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan, Ditjen Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. Tingkat Propinsi 224

225 Di tingkat propinsi dikoordinasikan langsung oleh Gubernur setempat melalui Bappeda Propinsi dengan menunjuk Tim Koordinasi Pelaksanaan P2KP (TKPP) tingkat propinsi atau TKPK yang sudah ada. Pelaksana tingkat Propinsi adalah Dinas Pekerjaan Umum/ Bidang Ke-Cipta Karya-an dibawah kendali/koordinasi Satker Non Vertikal Tertentu (SNVT) PBL tingkat propinsi. Dalam pelaksanaan dan pengendalian kegiatan akan dilakukan oleh KMW yang ditugasi oleh Satker/PMU P2KP untuk Propinsi tersebut. Dalam rangka efektifitas pelaksanaan kegiatan, ditunjuk KMW-KMW P2KP saat ini dengan penguatan personil sesuai kebutuhan lapangan yang diperlukan. Tingkat Kabupaten/Kota Di tingkat kota/kabupaten dikoordinasikan langsung oleh Bupati/Walikota setempat melalui Bappeda Kota/Kabupaten dengan menunjuk Tim Koordinasi Pelaksanaan PNPM P2KP (TKPP) tingkat kota/kabupaten atau TKPK yang sudah ada. Pemkot/kab dibantu oleh Pejabat Pembuat Komitmen yang diangkat Menteri PU atas usulan Bupati/Walikota dibawah koordinasi SNVT PBL Propinsi dalam mengendalikan pelaksanaan kegiatan pendampingan dan pencairan dana BLM. Pemkot/kab memfasilitasi KBP dan penguatan TKPK-D untuk dapat menyusun SPK-D dan PJM pronangkis Kota/Kabupaten sesuai ketentuan. Dalam pelaksanaan dan pengendalian kegiatan ditingkat Kota/Kabupaten akan dilakukan oleh Koordinator Kota (Korkot), yang dibantu beberapa asisten korkot di bidang pembukuan, teknik/infrastruktur, management data dan urban planer. Tingkat Kecamatan Di tingkat kecamatan akan ditunjuk PJOK (Penanggung Jawab Operasional Kegiatan). PJOK adalah perangkat kecamatan yang diangkat oleh Kepala Satker P2KP atas usulan walikota/bupati untuk pengendalian kegiatan ditingkat kelurahan dan berperan sebagai penanggungjawab administrasi pelaksanaan P2KP di wilayah kerjanya. Tingkat Kelurahan/Desa Pada tingkat kelurahan/desa, P2KP akan memanfaatkan BKM yang ada atau membentuk BKM baru dengan fungsi utama mengkoordinasikan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan, mengakomodasikan berbagai masukan pembangunan untuk wilayahnya serta membentuk Unit-Unit/pokja pelaksana dan mengorganisir relawan-relawan dari warga setempat. 225

226 Organigram dari PNPM Mandiri Sumber: Pedoman Umum PNPM Mandiri, Tim Pengendali(TP) PNPM Mandiri, Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kesulitan pada kontrol dan evaluasi PNPM yang diilhami dari ksuksesan PPK bekerja di wilayah beresiko tinggi. Jadi, sangat penting untuk mempertahankan kontrol yang ketat dan sistem pemantauan untuk memastikan dana yang disediakan dapat digunakan dengan semestinya. Untuk itu, diterapkan sistem pengawasan sebagai berikut (mengacu pada PPK) : Pemantauan partisipatif oleh masyarakat Pemantauan yang paling efektif adalah yang dilakukan oleh penerima manfaat program, yakni masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat diajak untuk terlibat langsung dan memilih sendiri badan (komite) pemantau untuk melihat pelaksanaan dan keuangan proyek di lokasinya. Anggota dari komite pemantau ini akan melakukan pengecekan 226

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL TAHUN 2005 2025

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL TAHUN 2005 2025 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL TAHUN 2005 2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

Daftar Isi KATA PENGANTAR 1 RINGKASAN EKSEKUTIF 2 I. KONTEKS 7. I.1 Kinerja Makroekonomi dan Tantangan Perdagangan 7

Daftar Isi KATA PENGANTAR 1 RINGKASAN EKSEKUTIF 2 I. KONTEKS 7. I.1 Kinerja Makroekonomi dan Tantangan Perdagangan 7 Daftar Isi Daftar isi KATA PENGANTAR 1 RINGKASAN EKSEKUTIF 2 I. KONTEKS 7 I.1 Kinerja Makroekonomi dan Tantangan Perdagangan 7 I.2. Regulasi Teknis Luar Negeri dan Akses Pasar Ekspor 8 I.3. Standar Internasional

Lebih terperinci

DAFTAR ISI... 3 RINGKASAN EKSEKUTIF... 5 KATA PENGANTAR... 9 DAFTAR GAMBAR... 11 DAFTAR TABEL... 12 1. PENDAHULUAN... 14

DAFTAR ISI... 3 RINGKASAN EKSEKUTIF... 5 KATA PENGANTAR... 9 DAFTAR GAMBAR... 11 DAFTAR TABEL... 12 1. PENDAHULUAN... 14 1 P a g e 2 P a g e Daftar Isi DAFTAR ISI... 3 RINGKASAN EKSEKUTIF... 5 KATA PENGANTAR... 9 DAFTAR GAMBAR... 11 DAFTAR TABEL... 12 1. PENDAHULUAN... 14 1.1. Latar Belakang...14 1.2. Perumusan Masalah...16

Lebih terperinci

Sekapur Sirih 3. Apa & Mengapa Pengarusutamaan Penanggulangan 5 Kemiskinan & Kerentanan (PPKK)

Sekapur Sirih 3. Apa & Mengapa Pengarusutamaan Penanggulangan 5 Kemiskinan & Kerentanan (PPKK) Daftar Isi Sekapur Sirih 3 Apa & Mengapa Pengarusutamaan Penanggulangan 5 Kemiskinan & Kerentanan (PPKK) PPKK & Upaya Penanggulangan Kemiskinan & 8 Kerentanan di Indonesia Kebijakan & Landasan Hukum 15

Lebih terperinci

PROGRAM PEMBANGUNAN NASIONAL (PROPENAS) TAHUN

PROGRAM PEMBANGUNAN NASIONAL (PROPENAS) TAHUN Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 25 TAHUN 2000 (25/2000) Tanggal: 20 NOVEMBER 2000 (JAKARTA) Sumber: LN 2000/206 Tentang: 2000-2004 PROGRAM PEMBANGUNAN NASIONAL (PROPENAS)

Lebih terperinci

Good Governance Sebagai Suatu Konsep dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta : Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan

Good Governance Sebagai Suatu Konsep dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta : Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan Good Governance Sebagai Suatu Konsep dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta : Bayu Kharisma Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Email: bayu_kharisma@yahoo.com

Lebih terperinci

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat THE WORLD BANK

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat THE WORLD BANK Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Studi Kelembagaan Tingkat Lokal Ke-3 Laporan Akhir Juli 2013 THE WORLD BANK Desain sampul dan Isi: Hasbi Akhir (AISUKE), hasbi@aisukenet.com Kredit foto:

Lebih terperinci

Desain Besar Penataan Daerah di Indonesia

Desain Besar Penataan Daerah di Indonesia Desain Besar Penataan Daerah di Indonesia Partnership for Governance Reform in Indonesia Policy Brief PSG layout.indd 1 4/19/2011 6:18:37 PM Partnership Policy Paper No. 1/2011 Desain Besar Penataan Daerah

Lebih terperinci

Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas: Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia

Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas: Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia Laporan Pengembangan Sektor Perdagangan Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas:

Lebih terperinci

Piagam Sumber Daya Alam. Edisi Kedua

Piagam Sumber Daya Alam. Edisi Kedua Piagam Sumber Daya Alam Edisi Kedua Piagam Sumber Daya Alam Edisi Kedua Rantai keputusan piagam sumber daya alam LANDASAN DOMESTIK UNTUK TATA KELOLA SUMBER DAYA Penemuan dan keputusan untuk mengekstraksi

Lebih terperinci

Mewujudkan Tata Pemerintahan Lokal yang Baik (Local Good Governance) dalam Era Otonomi Daerah 1

Mewujudkan Tata Pemerintahan Lokal yang Baik (Local Good Governance) dalam Era Otonomi Daerah 1 Mewujudkan Tata Pemerintahan Lokal yang Baik (Local Good Governance) dalam Era Otonomi Daerah 1 oleh: Max H. Pohan Kepala Biro Peningkatan Kapasitas Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)

Lebih terperinci

PROGRAM INVESTASI KEHUTANAN

PROGRAM INVESTASI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PROGRAM INVESTASI KEHUTANAN REVISI MATRIKS KOMENTAR DAN TANGGAPAN TENTANG RENCANA INVESTASI KEHUTANAN INDONESIA 11 Februari 2013 Isi 1 PENDAHULUAN ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. 2 KOMENTAR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelestarian

Lebih terperinci

Apa yang benar dengan AMDAL

Apa yang benar dengan AMDAL DRAFT LAPORAN AKHIR Apa yang benar dengan AMDAL Suatu studi atas praktek AMDAL yang baik di beberapa propinsi Indonesia Oktober 2005 Untuk Bank Dunia, dalam mendukung Kementerian Lingkungan, Republik Indonesia

Lebih terperinci

Manajemen Sumber Daya Manusia

Manajemen Sumber Daya Manusia International Labour Organization Jakarta Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Kerjasama dan Usaha yang Sukses Pedoman pelatihan untuk manajer dan pekerja Modul EMPAT SC RE Kesinambungan Daya Saing dan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Direktur Pendidikan Menengah Kejuruan Dr.Gatot Hari Priowirjanto

KATA PENGANTAR. Direktur Pendidikan Menengah Kejuruan Dr.Gatot Hari Priowirjanto KATA PENGANTAR Modul ini merupakan salah satu modul yang membahas tentang demokrasi. Sub kompetensi yang harus dicapai siswa dengan mempelajari modul Menjunjung tinggi mekanisme dan hasil keputusan dengan

Lebih terperinci

Laporan Penelitian BADAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (BPTSP) DI PROVINSI DKI JAKARTA: PERSPEKTIF KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN.

Laporan Penelitian BADAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (BPTSP) DI PROVINSI DKI JAKARTA: PERSPEKTIF KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN. Laporan Penelitian BADAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (BPTSP) DI PROVINSI DKI JAKARTA: PERSPEKTIF KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN Kerjasama: Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Foreign and

Lebih terperinci

Standar Transparansi APEC untuk Pengadaan di Indonesia. Dalam Tahap Pengerjaan

Standar Transparansi APEC untuk Pengadaan di Indonesia. Dalam Tahap Pengerjaan Standar Transparansi APEC untuk Pengadaan di Indonesia Dalam Tahap Pengerjaan Transparency International-USA dan Center for International Private Enterprise. Semua Hak Cipta Dilindungi. 2011 Peneliti utama:

Lebih terperinci

MASALAH-MASALAH SISTEM KEUANGAN DAN PERBANKAN INDONESIA. Oleh : PROF. DR. ANWAR NASUTION

MASALAH-MASALAH SISTEM KEUANGAN DAN PERBANKAN INDONESIA. Oleh : PROF. DR. ANWAR NASUTION MASALAH-MASALAH SISTEM KEUANGAN DAN PERBANKAN INDONESIA Oleh : PROF. DR. ANWAR NASUTION STABILITAS SISTEM KEUANGAN : URGENSI, IMPLlKASI HUKUM, DAN AGENDA KEDEPAN 1 Oleh : Prof. DR. Anwar Nasution 2 I.

Lebih terperinci

GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA BAB I PENDAHULUAN

GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA BAB I PENDAHULUAN GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Pemikiran Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berperikehidupan kebangsaan yang bebas, merdeka, bersatu,

Lebih terperinci

Organisasi Perburuhan Internasional. PROGRAM PEKERJAAN LAYAK NASIONAL untuk INDONESIA 2012-2015

Organisasi Perburuhan Internasional. PROGRAM PEKERJAAN LAYAK NASIONAL untuk INDONESIA 2012-2015 Organisasi Perburuhan Internasional PROGRAM PEKERJAAN LAYAK NASIONAL untuk INDONESIA 2012 - PROGRAM PEKERJAAN LAYAK NASIONAL untuk INDONESIA 2012 - Daftar Singkatan Program Pekerjaan Layak Nasional untuk

Lebih terperinci

SISTEM PERIJINAN GANGGUAN

SISTEM PERIJINAN GANGGUAN SISTEM PERIJINAN GANGGUAN SEBUAH LAPORAN TENTANG PENGENDALIAN KEKACAUAN JULI 2008 LAPORAN INI DISUSUN UNTUK DITELAAH OLEH THE UNITED STATES AGENCY FOR INTERNATIONAL DEVELOPMENT. LAPORAN INI DISUSUN OLEH

Lebih terperinci

BERNEGARA ITU TIDAK MUDAH

BERNEGARA ITU TIDAK MUDAH BERNEGARA ITU TIDAK MUDAH (DALAM PERSPEKTIF POLITIK DAN HUKUM) Yang saya Hormati dan saya Muliakan, Rektor/Ketua Senat Universitas Diponegoro, Sekretaris Senat Universitas Diponegoro, Ketua dan Anggota

Lebih terperinci

Survei Ekonomi OECD INDONESIA

Survei Ekonomi OECD INDONESIA Survei Ekonomi OECD INDONESIA MARET 2015 IKHTISAR The quality of the translation and its coherence with the original language text of the work are the sole responsibility of the author(s) of the translation.

Lebih terperinci

Komisi untuk Indonesia: Perdamaian dan Perkembangannya di Papua

Komisi untuk Indonesia: Perdamaian dan Perkembangannya di Papua Komisi untuk Indonesia: Perdamaian dan Perkembangannya di Papua Laporan Komisi Independen Disponsori oleh Council on Foreign Relations Center for Preventive Action Dennis C. Blair, Ketua David L. Phillips,

Lebih terperinci

Pilihan-pilihan Kebijakan untuk Keberlanjutan Keuangan

Pilihan-pilihan Kebijakan untuk Keberlanjutan Keuangan Pilihan-pilihan Kebijakan untuk Keberlanjutan Keuangan Kolaborasi Masyarakat Sipil dan Lembaga ODA di Asia Tenggara Oleh David Winder dan Rustam Ibrahim Pilihan-pilihan Kebijakan untuk Keberlanjutan Keuangan

Lebih terperinci

Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks

Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks Design ROV Creative Media Jl. Kembang Sakti I D6/12 Puri Indah - Jakarta 11610 Tel./Fax. : +62 21 580 3552 Email : rovcreativemedia@yahoo.com.sg Printing lorem

Lebih terperinci

Indonesia Bagaimana Pemohon Bisa Memanfaatkan Hak atas Informasi

Indonesia Bagaimana Pemohon Bisa Memanfaatkan Hak atas Informasi 1 Bagaimana Pemohon Bisa Memanfaatkan Hak atas Informasi Manual untuk Peserta 2 Bagaimana Pemohon Bisa Memanfaatkan Hak atas Informasi Manual Peserta : Bagaimana Pemohon Bisa MemanfaatkanHak Atas Informasi

Lebih terperinci

INDIKATOR & ALAT UKUR PRINSIP AKUNTABILITAS, TRANSPARANSI & PARTISIPASI. Disusun oleh : Dra.LOINA LALOLO KRINA P.

INDIKATOR & ALAT UKUR PRINSIP AKUNTABILITAS, TRANSPARANSI & PARTISIPASI. Disusun oleh : Dra.LOINA LALOLO KRINA P. INDIKATOR & ALAT UKUR PRINSIP AKUNTABILITAS, TRANSPARANSI & PARTISIPASI Disusun oleh : Dra.LOINA LALOLO KRINA P. SEKRETARIAT GOOD PUBLIC GOVERNANCE BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL JAKARTA - AGUSTUS

Lebih terperinci

Laporan Penelitian #4. Kerjasama Antar Daerah di Bidang Perdagangan sebagai Alternatif Kebijakan Peningkatan Perekonomian Daerah

Laporan Penelitian #4. Kerjasama Antar Daerah di Bidang Perdagangan sebagai Alternatif Kebijakan Peningkatan Perekonomian Daerah Laporan Penelitian #4 Kerjasama Antar Daerah di Bidang Perdagangan sebagai Alternatif Kebijakan Peningkatan Perekonomian Daerah Tim Peneliti KPPOD: Ig. Sigit Murwito Boedi Rheza Sri Mulyati Elizabeth Karlinda

Lebih terperinci