AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN"

Transkripsi

1 160 RENCANA PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERBASIS EKOSITEM DAS DI WILAYAH PERKOTAAN; STUDI KASUS PENGELOLAAN DAS BAU-BAU Oleh : Safril Kasim 1) ABSTRACT Bau-Bau Watershed have supported civilization for many years. Covering 6.159,80 hectares, the watershed is a great importance of Bau-Bau Town and Buton District. Forests, were once more dense and widespread, has given significant contribution to the availability and quality of clean water, oxygen supply and carbon absorbtion, and has acted as buffer zone area of Bau-Bau Town. However, such unsustainable practices as overexploitation, illegal lodging, shifting cultivation, combine with forests fire, has resulted in a significant decrease of forest resources within the watershed area. Based on GIS analysis (2008), forest covers 48,66 percent of total land area (1.990,48 ha), while agricultural crops cover 22,13 percent and housing 29,42 percent. The change of forested area has a tendency to decrease over times. It is therefore important to formulate an appropriate reforestation plan and management. The study aims (1) to analyze existing macro conditions of the watershed using GIS Analysis, (2) to analyze rate of forest degradation within the watershed area using Citralandsat Data and GIS analysis, (3) to analyze erosion rate within the watershed area, and (4) to formulate planning policy for forest resource management based on macro condition of watershed area, forest degradation and erosion rates. The study found that forest areas within the watershes have been degraded. The GIS analysis shows that a protected forest cover has been reduced amount 226,8 Ha in Wakonti Subdistrict, 129 Ha in Baadia/Waborobo Subdistrict, and 33,1 Ha in Sorawolio Subdistrict. Furthermore, 84,60 percent (5211,07 Ha) of total Ha area of the Watershed have very high and high actual erosion rates. The study recommends to carry out agroforestry sytem and reforestation planning policy to remedy those degraded forestlands.the study also recommends to conduct integrated watershed management and to involve communities around the watershed area since in the earlier of the watershed planning and management process. Key words : Bau-Bau Watershed, Forest Degradation Rates, Erosion Rates, Forest Resource Planning, Watershed Planning and Management. Latar belakang PENDAHULUAN Secara umum penyusunan rencana pengelolaan suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) atau Sub DAS dimaksudkan untuk menjaga kelestarian fungsi DAS dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan disekitar kawasan DAS. Kelestarian fungsi DAS dapat dicapai melalui optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam yang ada didalamnya secara rasional dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah konservasi sumberdaya hutan, tanah dan air. Tujuan pengelolaan suatu DAS adalah: (1) Mewujudkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi lintas sektor/instansi/ lembaga/wilayah dalam pengelolaan sumberdaya hutan, tanah dan air dalam DAS; (2) Mewujudkan kondisi hidrologis (tata air) yang meliputi kuantitas, kualitas dan distribusi; (3) Terwujudnya peningkatan produktivitas hutan, tanah dan air dalam DAS; (4) Terbentuknya kelembagaan masyarakat yang mantap dalam kegiatan pengelolaan DAS; (5) Terjaminnya pemanfaatan/penggunaan hutan, tanah dan air dalam kawasan DAS; (6). Terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan pembangunan berkelanjutan (Santoso, 2006). DAS merupakan satu ekosistem dan kesatuan tata air. Unsur-unsur utama dalam eksosistem DAS adalah vegetasi, tanah, air dan manusia. Keseimbangan antar unsur- 1 ) Staf Pengajar Pada Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari. 160

2 161 unsur tersebut mutlak diperlukan demi kepentingan manusia. Aktivitas suatu komponen ekosistem selalu memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang lain. Manusia adalah salah satu komponen yang penting di dalam sebuah ekosistem. Sebagai komponen yang dinamis, aktivitas manusia seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan, sehingga dengan demikian mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Selama hubungan timbal-balik antar komponen ekosistem dalam keadaan seimbang, selama itu pula ekosistem berada dalam kondisi stabil (homeostatis). Sebaliknya, bila hubungan timbal balik antar komponen dalam ekosistem DAS mengalami gangguan dapat berimplikasi terhadap ketidakseimbangan ekosistem DAS. Ketidakseimbangan ekosistem DAS dapat mengakibatkan terganggunya fungsi DAS itu sendiri. Salah satu DAS yang memiliki fungsi strategis dan membutuhkan pengelolaan yang serius adalah DAS Bau-Bau. Di dalam nomenklatur DAS di Sultra, kawasan DAS ini dikenal dengan istilah DAS Bau-Bau-Wonco yang merupakan salah satu DAS Prioritas I di Provinsi Sulawesi Tenggara (BPDAS Sampara, 2007). Secara keseluruhan DAS Bau-Bau mempunyai luas 6159, 80 ha yang terdiri dari empat Sub DAS yaitu Sub DAS Wamoose, Sub DAS Wasamparona, Sub DAS Sigari, dan Sub DAS Wancuawu. DAS Bau-Bau sendiri melintas di 2 (dua) wilayah administrasi Kabupaten dan Kota, yaitu wilayah administrasi Kabupaten Buton dan Kota Bau-Bau. DAS Bau-Bau yang berada pada wilayah administrasi Kota Bau-Bau sendiri memiliki luas 5648,73 ha. Letak DAS Bau-Bau sangat strategis, daerah hilirnya mengalir melintasi tengahtengah Kota Bau-Bau dan bermuara pada Selat Bau-Bau. Dengan posisinya yang strategis, DAS Bau-Bau selama ini melayani fungsi ekologis, ekonomis dan sosial bagi masyarakat Kota Bau-Bau. Secara ekologis, DAS Bau-Bau sangat penting perannya sebagai kawasan penyanggah (buffer zone) bagi Kota Bau-Bau, menangkap dan mengalirkan air hujan ke outlet DAS Bau- Bau. Selain fungsi tata air, pada bagian hulu DAS Bau-Bau mempunyai potensi hutan yang cukup baik. Kawasan hutan ini memegang peranan yang penting didalam menyediakan iklim mikro, menjadi paru-paru (penghasil oksigen) bagi Kota Bau-Bau, dan penyerap gas-gas cemaran yang dihasilkan oleh transportasi, industri dan gas-gas cemaran domestik. Pada wilayah perairan DAS Bau-Bau, sejumlah biota sungai hidup yang memungkinkan aneka ragam kehidupan hayati sungai tumbuh dan berkembang. Secara ekonomis, di dalam kawasan DAS Bau-Bau terdapat beberapa daerah tangkapan air (catchment area) yang menyimpan cadangan sumber air bersih untuk kebutuhan masyarakat Kota Bau-Bau. Pada wilayah hulu dan tengah DAS Bau-Bau, masyarakat memanfaatkan lahan untuk berladang, berkebun dan mengembangkan beberapa tanaman semusim, perkebunan, hortikultura dan tanaman hutan. Bagian hilir DAS Bau-Bau melintang dan mengalir di tengah Kota Bau-Bau. Posisi strategis seperti ini, dimana dapat diakses dengan mudah, sangat memungkinkan untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata alam dan ruang publik, baik bagi masyarakat Kota Bau-Bau, maupun bagi pengunjung dari luar Kota Bau-Bau. Secara sosial, DAS Bau-Bau menjadi sebuah ruang terbuka yang dimanfaatkan untuk melaksanakan interaksi sosial antar masyarakat. Interaksi masyarakat hulutengah-hilir dalam suatu kawasan DAS perlu dikelola dengan baik sehingga tidak ada pihak yang hanya menghasilkan dampak, dan pihak lain menanggung dampak. Hubungan ini misalnya dapat dilihat pada kasus ketika masyarakat hulu DAS melakukan aktivitas pertanian dengan tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, sehingga dapat menimbulkan banjir dan tanah longsor pada masyarakat tengah dan hilir. Sebaliknya masyarakat tengah dan hilir pun dapat memberikan kontribusi terhadap upayaupaya konservasi sumber daya hutan, tanah dan air di wilayah hulu.

3 162 Masalah-masalah DAS di Indonesia secara umum adalah menipisnya kawasan hutan di daerah hulu dan tengah akibat penebangan kayu tak terencana dan alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan, pertanian dan atau pemukiman, menurunnya tingkat keanekaragaman hayati, degradasi lahan, erosi, banjir, kekeringan, sedimentasi, penurunan kualitas dan kuantitas air sungai, penurunan kualitas dan kuantitas biota sungai, dan bahkan dapat merubah fungsi sungai itu sendiri. Tekanan penduduk dan aktivitas manusia diberbagai sektor kehidupan di Kota Bau- Bau berimplikasi langsung terhadap kompetisi pemanfaatan lahan perkotaan. Hal ini harus diantisipasi dengan tepat sehingga tidak sampai menimbulkan alih fungsi hutan dan daerah-daerah tangkapan air di bagian hulu DAS Bau-Bau menjadi kawasan pemukiman dan atau untuk kepentingan penggunaan lahan perkotaan lainnya. Alih fungsi lahan hutan dan daerah-daerah tangkapan air dapat berimplikasi secara langsung terhadap menurunnya cadangan air tanah dan berkurangnya debit aliran sungai. Dalam jangka panjang, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap ketersediaan sumber air bersih bagi masyarakat Kota Bau-Bau yang akan semakin bertambah jumlahnya ke depan. Lebih dari itu, degradasi kawasan hulu dan tengah kawasan DAS Bau-Bau juga memicu terjadinya pencucian unsur hara dan bahan organik tanah pada lapisan top soil dan meningkatnya erosi dan sedimentasi. Proses sedimentasi di sungai menyebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas air sungai. Hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah dan keragaman biota sungai. Kualitas air sungai yang semakin menurun akan sangat mengganggu fungsi sungai itu sendiri bagi wilayah perkotaan, baik fungsi ekonomi, sosial, estetis maupun fungsi ekologis. Sebaliknya terpeliharanya kawasan DAS akan meningkatkan fungsi ekonomi, sosial, estetis dan fungsi ekologis dari DAS itu sendiri. Berdasarkan gambaran tersebut di atas, merupakan hal yang penting untuk melakukan upaya-upaya secara sistematis, terencana dan menyeluruh agar fungsi ekologis, ekonomi, sosial, dan estetis DAS Bau-Bau tetap lestari. Penelitian ini fokus pada 3 (dua) issu utama, yaitu : (1) analisis makro kondisi eksisting DAS Bau-Bau dan rencana pemanfaatannya secara berkelanjutan dan (2) Analisis pengelolaan vegetasi hutan berdasarkan tingkat degradasi kawasan hutan dan Tingkat Bahaya Erosi di Hulu DAS Bau- Bau, (3) Penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya hutan berdasarkan tingkat degradasi hutan dan tingkat bahaya erosi. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Melakukan analisis makro karakteristik biofisik DAS Bau-Bau, (2) Melakukan analisis tingkat degradasi kawasan hutan pada hulu DAS Bau-Bau, (3) Melakukan analisis tingkat bahaya erosi dalam kawasan DAS Bau-Bau, dan (4) Menyusun rencana pengelolaan sumberdaya hutan berbasis ekosistem DAS yang didasarkan pada pertimbangan kondisi eksisting Makro DAS Bau-Bau, Tingkat Degradasi Kawasan Hutan dan Tingkat Bahaya Erosi. Manfaat Manfaat yang diharapkan adalah : (1) Menjadi salah satu sumber informasi bagi Pemerintah Kota Bau-Bau, khususnya SKPD terkait dalam melakukan pengelolaan Kawasan DAS Bau-Bau, (2) Menjadi informasi dan arahan bagi stakeholders lainnya untuk berperan aktif dalam pengelolaan DAS Bau-Bau, dan (3) Implementasi Dokumen Rencana Pengelolaan Sumberdaya Hutan berbasis ekosistem DAS akan berimplikasi terhadap kelestarian sumber daya hutan itu sendiri, menurunkan erosi dan sedimentasi, mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air secara berkelanjutan.

4 163 Jadwal dan lokasi METODOLOGI Pelaksanaan penelitian ini berjalan efektif selama 4 (empat) bulan, dimulai sejak minggu ke IV bulan Juni sampai dengan minggu ke IV bulan September Metode pengumpulan data Pengumpulan data primer biofisik dilakukan melalui survey biofisik. Data yang terkumpul melalui survey biofisik adalah karakteristik dan kualitas tanah, informasi geologi, informasi topografi, informasi iklim dan hidrologi dan informasi penggunaan lahan sekarang. Survey ini dilakukan mengacu pada peta kerja (peta unit lahan, 1 : ) yang dibuat berdasarkan lingkup pekerjaan. Pengumpulan data sekunder pada penelitian ini dilakukan melalui review and literature analysis, yang berasal dari berbagai sumber antara lain: dokumen pemerintah (Badan Pusat Statistik Kota Bau-Bau, Dinas Kemakmuran Kota Bau-Bau, Badan Perencana Pembangunan Kota Bau-Bau, BP- DAS Sampara, BPN Sultra dan Kota Bau-Bau, Dinas Pekerjaan Umum, Pemukiman dan Prasarana Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara, Balai Inventarisasi Hutan Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara), hasil-hasil penelitian yang telah ada, baik yang dilakukan oleh Pihak Perguruan Tinggi (Fakultas Pertanian Unhalu), maupun dokumen yang berasal dari sumber-sumber lainnya yang relevan. Analisis data Data biofisik DAS Bau-Bau digunakan untuk memberi gambaran umum aspek biofisik eksisting DAS Bau-Bau. Data kondisi vegetasi hutan yang diambil berdasarkan data citra satelit (Citra Landsat, 2006), selanjutnya dianalisis dengan analisis GIS untuk menghitung tingkat degradasi kawasan hutan pada hulu DAS Bau-Bau. Tingkat Bahaya Erosi dihitung dengan menggunakan metode USLE. Rekomendasi pengelolaan vegetasi hutan didasarkan pada perhitungan tingkat kerusakan hutan dan tingkat bahaya erosi pada unit-unit lahan yang telah ditetapkan. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis kondisi makro DAS Bau-Bau Kondisi topografi Keadaan topografi DAS Bau-Bau dibuat berdasarkan kelas kelerengan. Kelas kelerengan yang ada di wilayah DAS Bau-Bau cukup bervariasi akan tetapi kelas kelerengan IV (sangat curam) di DAS Bau-Bau lebih dominan yaitu sekitar 3.069,25 ha, atau sekitar 49,83%. Kelas kelerengan I (datar) seluas 1.489,08 (23,98%), landai 855,04 ha (13,77%), Agak Curam 459,05 ha (7,39%) dan curam seluas 287,38 ha (4,63%) dari luas DAS. Penggunaan lahan Berdasarkan hasil analisis GIS menunjukkan bahwa pola penggunaan lahan (land use) yang ada di DAS Bau-Bau terdiri dari: tegalan, kebun campuran, semak, belukar, dan pemukiman. Namun pemukiman merupakan penggunaan lahan yang terluas, dengan luas 1.808,07 hektar atau sekitar 29,42% dari luas DAS, selanjutnya masingmasing diikuti oleh penggunaan lahan semak dengan luas 1.554,22 (25,29%), belukar 1.436,26 hektar (23,37%), kebun campuran seluas 835,97 hektar (13,60%) dan perkebunan/tegalan dengan 525,29 hektar (8,53). Tanah dan geomorfologi Hasil analisis GIS menunjukkan bahwa di wilayah DAS Bau-Bau didominasi oleh jenis tanah Latisol yang menyebar di Kec. Batauga, Kec. Sampolawa, Kel. Bukit Wajo Indah, Kel. Baadia, Kel. Bataraguru, Kel. Batulo, Kel. Bone-Bone, Kel. Kadolokatapi, Kel. Kadolomoko, Kel. Kaisabu Baru, Kel. Kaobula, Kel. Katobengke, Kel. Lamangga, Kel. Lanto, Kel. Lipu, Kel. Melai, Kel. Nganganaumala, Kel. Tanganapada, Kel.

5 164 Tarafu, Kel. Tomba, Kel. Waborobo, Kel. Wajo, Kel. Wale, Kel. Wameo, dan Kel. Wangkanapi dengan luas 4.672,88 (75,97%). Sedang Jenis tanah Litosol menyebar di Kel. Bugi, Kel. Kadolokatapi, Kel. Kadolokatapi, Kel. Kaisabu Baru, Kel. Karya Baru dengan luas 3606,17 ha (41,77%). Jenis Tanah Latosol menyebar di Kec. Batauga, Kec. Sampolawa, Kel. Bugi, Kel. Kadolokatapi, Kel. Kaisabu Baru, Kel. Karya Baru, Kel. Waborobo seluas 379,45 (6,16%). Sedangkan Jenis tanah Mediteran tersebar di Kec. Sampolawa, Kel. Bugi, Kel. Kadolokatapi, Kel. Kaisabu Baru, Kel. Karya Baru. Keadaan geomorfologi DAS Bau-Bau pada wilayah hulu merupakan pembuktian conical berlereng terjal dan puncak membulat, peneplain berombak dari batu liat (tidak berkapur), perbukitan berlereng terjal dan puncak agak bulat. Pada bagian wilayah tanah DAS merupakan pelembahan luas agak datar, perbukitan berlereng agak terjal, perbukitan punggung memanjang berlereng terjal dan puncak membulat, perbukitan conical berlereng terjal dan puncak membulat, perbukitan terjal tertoreh berat, perbukitan berlereng terjal dan puncak agak bulat. Sedangkan pada bagian hilir DAS merupakan batu gamping terumbu angkatan agak berombak, train berombak dan bergelombang dengan punggung sejajar dan datar sampai agak berombak, train berlereng terjal dengan lipatan kecil dan perbukitan punggung berlereng terjal. Geologi Berdasarkan hasil analisis, kondisi geologi yang ada di wilayah DAS Bau-Bau terdiri dari 5 (lima) jenis formasi geologi, yakni: formasi Tondo, Sampolakosa, Wapulaka, Ultra basah tanpa toreh, dan Winto. Iklim Iklim merupakan salah satu potensi alam, namun kenyataannya sering menjadi faktor penghambat yang sifatnya permanen karena secara makro sulit atau tidak dapat dimodifikasi. Iklim dengan berbagai unsurnya, seperti: curah hujan, radiasi surya, suhu udara, kelembaban udara, dan angin adalah faktor yang paling menentukan keberhasilan usaha khususnya di bidang pertanian. Karakteristik iklim di wilayah Kota Bau- Bau dalam kajian ini didasarkan pada data iklim dari Stasiun Meteorologi Betoambari Bau-Bau selama 14 tahun terakhir ( ) khusus curah hujan sedangkan unsurunsur iklim lainnya selama 5 tahun terakhir ( ). Data iklim yang ada menunjukkan bahwa wilayah Kota Bau-Bau cakupan Stasiun Meteorologi Betoambari memiliki kondisi iklim bulanan rata-rata, yaitu suhu udara maksimum 32 o C, tertinggi pada bulan Oktober 33,6 o C, terendah bulan Juni 31,2 o C; suhu udara minimum 23,5 o C, tertinggi pada bulan Februari 24,7 o C dan terendah pada bulan Agustus 22,0 o C; Suhu udara rata-rata 27,7 o C, tertinggi pada bulan November 28,8 o C dan terendah pada bulan Juli 26,8 o C; kelembaban udara 77,8%, tertinggi pada bulan Desember 83,4% dan terendah pada bulan September 74,2%; tekanan udara 1013,1 mb, tertinggi pada bulan September 1015,0 mb dan terendah pada bulan Desember 1011,6 mb; kecepatan angin 3,4 knot jam -1, tertinggi pada bulan Agustus dan September masingmasing 4,34 knot jam -1 terendah pada bulan April 2,4 knot jam -1. Hasil analisis data curah hujan dan hari hujan rata-rata (periode ) pada stasiun meteorologi Betoambari wilayah DAS Bau-Bau menunjukkan bahwa pola perubahan curah hujan bulanan di wilayah Bau-Bau seirama dengan perubahan hari hujan. Namun demikian, tampak pula bahwa tidak selalu curah hujan bulanan yang tinggi berarti hari hujannya lebih lama, dan curah hujan bulanan rendah tidak selalu hari hujannya lebih singkat. Berdasarkan sistem Klasifikasi Oldeman (BB = CH rata-rata >200 mm bulan 1 ; BK = CH rata-rata < 100 mm bulan 1 ), iklim di wilayah Kota bau-bau cakupan Stasiun Meteorologi Betoambari tergolong tipe agroklimat C3, yaitu memiliki 5 (lima) bulan

6 165 basah (BB) berturut-turut yakni Desember Januari - Februari - Maret April, dan terdapat 4 (empat) bulan kering (BK) berurutan yaitu bulan Juli Agustus September Oktober. Kenyataan ini berindikasi bahwa wilayah cakupan stasiun ini merupakan daerah pertanian terbatas artinya hanya dapat ditanami satu kali padi, setelah itu dapat ditanami Palawija namun dengan ekstra hati-hati jangan jatuh pada bulan kering. Menurut sistem klasifikasi Schmidth- Fergusson (BB = CH >100 mm bulan 1 ; BK = CH < 60 mm bulan 1 ) bahwa di wilayah Kota bau-bau cakupan Stasiun Meteorologi Betoambari tergolong tipe iklim C, yaitu terdapat rata-rata 7 (tujuh) bulan basah (BB) dan rata-rata 4 (tiga) bulan kering (BK) dengan nilai Quotient (Q) = 57,1%. Kenyataan ini berindikasi bahwa di wilayah cakupan stasiun ini tergolong tipe iklim agak basah dengan vegetasi hutan rimba diantaranya jenis kayu yang menggugurkan daunnya pada musim kemarau. Tingkat degradasi kawasan hutan Berdasarkan peta Fungsi Kawasan (Tata Guna Hutan Kesepakatan), pada bagian hulu DAS Bau-Bau terdapat potensi Hutan Lindung (HL) sebesar 1.102,06 Ha, Hutan Produksi Biasa () sebesar 1.798, 60 Ha dan Areal Penggunaan Lain (KPB) sebesar 3.259,01 hektar. Kenyataan tersebut di atas berindikasi bahwa Hulu DAS Bau-Bau memiliki kawasan hutan yang cukup potensial, namun demikian berdasarkan hasil analisis GIS, kawasan hutan di hulu DAS Bau-Bau sudah terdegradasi. Luas lahan terbuka dalam kawasan hutan lindung Wakonti sudah mencapai 226,80 Ha, Luas lahan tandus dalam kawasan lindung Baadia/Waborobo telah mencapai 129 Ha, luas lahan tandus dalam kawasan hutan produksi hulu barat (Sorawolio) seluas 33,10 Ha, serta luas ladang (lahan tandus) dalam kawasan lindung Baadia/ Waborobo seluas 129 Ha. Kondisi ini sudah cukup mengkhawatirkan mengingat pentingnya fungsi hutan pada kawasan hulu DAS Bau-Bau bagi masyarakat Kota Bau- Bau. Oleh karena itu, perlu disusun langkahlangkah antisipatif dalam payung pengelolaan DAS Bau-Bau secara terpadu dan berkelanjutan. Tingkat bahaya erosi Pengendalian erosi dan sedimentasi di DAS Bau-Bau dilakukan sebagai rekomendasi dalam Rencana Teknik Lapangan-Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RTL-RLKT). Pengendalian tersebut terutama pada unit-unit lahan yang memiliki tingkat bahaya erosi tingkat sedang sampai sangat tinggi. Di DAS Bau-Bau, 84,60% dari total luas (5211, 07 Ha) memiliki erosi aktual yang berat sampai sangat berat. Lahan-lahan tersebutlah yang perlu dilakukan rencana pengendalian erosi dan sedimentasi. Sedangkan unit-unit lahan yang memiliki bahaya erosi rendah perlu dipelihara dengan baik melalui upaya-upaya konservasi yang sesuai. Dari luas tersebut tersebar di beberapa Kecamatan di Kota Bau-Bau seperti: Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Murhum, Kecamatan Wolio, dan Kecamatan Betoambari. Secara lengkap, Tingkat Bahaya Erosi dapat dilihat pada Tabel 1.

7 166 Tabel 1. Tingkat Bahaya Erosi di Daerah Aliran Sungai Bau-Bau Tingkat Bahaya Erosi Luas (ha) Persentase (%) Sangat Ringan (SR) Ringan (R) Sedang (S) Berat (B) Sangat Berat SB) 207,47 315,47 425, , ,14 3,37 5,12 6,91 23,77 60,83 Jumlah 6.159,80 100,00 Sumber : Data primer diolah (2008). Berdasarkan Tabel 1 tampak bahwa kawasan DAS Bau-Bau didominasi oleh tingkat bahaya erosi sangat berat yakni 3.747,14 ha atau 60,83%, selanjutnya kategori berat 1.463,93 ha atau 23,77%, sedang 425,79 ha atau 6,91%, ringan 315,47 Ha atau 5,12%, dan sangat ringan 207,47 atau 3,37%. Kenyataan ini berindikasi bahwa kawasan DAS Bau-Bau dominan areal penyanggahnya sudah rusak akibat aktifitas manusia yang berdampak pada rusaknya vegetasi. Hal ini cukup beralasan karena hilangnya vegetasi maka berarti lahan terbuka tanpa adanya penutup atau penyangga sehingga pada saat musim hujan terjadi laju erosi yang cukup tinggi. Dengan demikian perlu perhatian khusus agar kondisi ini tidak semakin parah karena tanpa upaya perbaikan di kawasan DAS Bau-Bau maka sungai Bau- Bau akan kering pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan sebagai konsekuensi rusaknya vegetasi yang membuat siklus hidrologi tidak berjalan normal. Rekomendasi pengelolaan sumberdaya hutan Berdasarkan hasil prediksi erosi dan pertimbangan tingkat degradasi hutan di DAS Bau-Bau maka disusunlah Rencana Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Di dalam menyusun perencanaan tersebut maka memerlukan alternatif-alternatif perbaikan lahan dengan masukan-masukan teknologi pertanian yang sesuai agar dapat menekan erosi sampai lebih kecil dan menguntungkan bagi masyarakat dan lingkungan. Jenis rekomendasi dan bentuk perlakuan konservasi disajikan pada Tabel 2.

8 167 Tabel 2. Rekomendasi Pengelolaan Sumberdaya Hutan di DAS Bau-Bau Land Use TGHK Rekomendasi Kebun Campuran Pemukiman Belukar Semak-Semak Tegalan HL HL HL Sumber : Data Primer, diolah (2008). Agroforestry Tanaman Pek Agroforestry Agroforestry Agroforestry Bentuk Perlakuan V7b T.Pek V7b V7b V7b Luas Ha % 432,00 59,38 67, ,65 11,98 320,7 746,79 423,92 426,98 861,1 536,77 343,18 137,51 7,01 0,96 1,11 29,09 0,19 5,21 12,13 6,88 6,93 13,98 8,71 5,57 2,23 Jumlah 6.159,80 100,00 Tabel 2 menunjukkan bahwa ternyata penggunaan untuk pemukiman banyak memiliki kendala di DAS Bau-Bau. Hal lain yang terlihat bahwa pemanfaatan lahan kering di DAS Bau-Bau diperuntukkan baik untuk budidaya tanaman semusim maupun budidaya tanaman tahunan. Pemanfaatan pertanian lahan kering tersebut tidak dikuti dengan tindakan pengelolaan tanah atau konservasi tanah dan air, sehingga erosi yang terjadi lebih besar. Demikian pula pada lahan-lahan yang ditumbuhi semak dan belukar serta kebun campuran masih dominan terjadi erosi yang berat. Oleh karena itu maka diperlukan pengelolaan dengan tindakan konservasi seperti: pembuatan rorak, strip cropping dan alley cropping pada lahan tegalan. Sedangkan pada lahan belukar dan semak dapat dijadikan hutan produksi, dengan menggunakan sistem agroforestry dan hutan kemasyarakatan. Pada kawasan hutan lindung upaya-upaya reforestasi melalui program reboisasi dapat dilaksanakan. Pada lahan pekarangan dapat dioptimalkan dengan pemanfaatan tanaman pekarangan sebagai tanaman pagar. Rekomendasi pengelolaan sumberdaya hutan dalam studi ini dapat dilihat pada Gambar 1. KESIMPULAN DAN SARAN Secara umum, kondisi DAS Bau-Bau sudah terdegradasi dengan tingkat kerusakan kategori berat sampai sangat berat. Hal ini dapat dilihat dari data tingkat kerusakan hutan pada hulu DAS Bau-Bau. Berdasarkan hasil analisis GIS, luas lahan terbuka dalam kawasan hutan lindung Wakonti sudah mencapai 226,8 Ha, luas lahan tandus dalam kawasan lindung Baadia/Waborobo telah mencapai 129 Ha, luas lahan tandus dalam kawasan hutan produksi hulu barat (Sorawolio) seluas 33,1 Ha, serta luas ladang (lahan tandus) dalam kawasan lindung Baadia/ Waborobo seluas 129 Ha. Hasil analisis Tingkat Bahaya Erosi (TBE) juga menunjukkan bahwa di DAS Bau-Bau, dari luas 6.159,80 hektar, seluas 5.211,07 Ha atau sekitar 84, 60% memiliki erosi aktual berat sampai sangat berat. Oleh karena itu, upayaupaya pengendalian erosi perlu dilakukan melalui pengelolaan vegetasi dan tindakan

9 168 konservatif lainnya. Rencana pengelolaan hutan yang direkomendasikan adalah pengembangan pola tanam agroforestry pada kawasan hutan produksi serta pengembangan tanaman pekarangan pada lahan pemukiman. Rekomendasi pengelolaan hutan pada kawasan lindung adalah dengan program reboisasi yang dilaksanakan secara intensif, terpadu dan berkelanjutan. Untuk melaksanakan rencana program pengelolaan sumberdaya hutan tersebut disarankan untuk memiliki payung kelembagaan yang multipihak dan sejak awal melibatkan masyarakat yang bermukim di sekitar wilayah DAS Bau-Bau. DAFTAR PUSTAKA Asdak, C Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Arsyad, S Konservasi Tanah dan Air. IPB. Bogor. Chappel, N.A. and Thang, H.C Practical hydrological protection for tropical forests: The Malaysian experience. Unasylva, 58 (4): Harto Analisis Hidrologi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Lee, R Hidrologi Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Santoso, H Kebijakan Pengelolaan DAS. Direktur Pengelolaan DAS, Ditjen RLPS, Departemen Kehutanan. Makalah dalam Seminar Pengelolaan DAS Wanggu, Hotel Atthaya Kendari. Sosrodarsono, S dan Takeda, K Hidrologi untuk Pengairan. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Sosrodarsono, S dan Takeda, K Hidrologi untuk Pertanian. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Stolton, S. and Dudley, N Managing Forests for Cleaner Water for Urban Population, Unasylva, 58 (4):

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN Oleh Yudo Asmoro, 0606071922 Abstrak Tujuan dari tulisan ini adalah untuk melihat pengaruh fisik dan sosial dalam mempengaruhi suatu daerah aliran sungai.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan DAS di Indonesia telah dimulai sejak tahun 70-an yang diimplementasikan dalam bentuk proyek reboisasi - penghijauan dan rehabilitasi hutan - lahan kritis. Proyek

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BUKU RENCANA MANAJEMEN PLAN SUB DAS GOPGOPAN

BUKU RENCANA MANAJEMEN PLAN SUB DAS GOPGOPAN i ii Kata Pengantar Penyusunan rencana pengelolaan ( Manajemen Plan) Sub DAS Gogopan merupakan bahagian dari kegiatan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan di wilayah DAS Asahan Barumun melalui program

Lebih terperinci

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB.

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB. SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : 08.00 12.00 WIB. Oleh : HARRY SANTOSO Kementerian Kehutanan -DAS adalah : Suatu

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang berfungsi sebagai daerah resapan, daerah penyimpanan air, penampung air hujan dan pengaliran air. Yaitu daerah dimana

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis di Sub Daerah Aliran Ci Karo, maka penulis dapat menarik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT Ria Rosdiana Hutagaol 1 dan Sigit Hardwinarto 2 1 Faperta Jurusan Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengalami peremajaan secara berkesinambungan (Alibasyah, 1996).

I. PENDAHULUAN. mengalami peremajaan secara berkesinambungan (Alibasyah, 1996). I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erosi tanah (soil erosion) adalah proses penghanyutan tanah dan merupakan gejala alam yang wajar dan terus berlangsung selama ada aliran permukaan. Erosi semacam itu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan lahan berkelanjutan (sustainable land management) adalah pengelolaan lahan secara terpadu berbasis ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dan serat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN WILAYAH BAB III TINJAUAN WILAYAH 3.1. TINJAUAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Pembagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara administratif yaitu sebagai berikut. a. Kota Yogyakarta b. Kabupaten Sleman

Lebih terperinci

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN Penanggulangan Kerusakan Lahan Akibat Erosi Tanah OLEH: RESTI AMELIA SUSANTI 0810480202 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU: MAMPUKAH MEMPERBAIKI FUNGSI HIDROLOGI DAS? Oleh : Edy Junaidi ABSTRAK

PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU: MAMPUKAH MEMPERBAIKI FUNGSI HIDROLOGI DAS? Oleh : Edy Junaidi ABSTRAK PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU: MAMPUKAH MEMPERBAIKI FUNGSI HIDROLOGI DAS? Oleh : Edy Junaidi ABSTRAK DAS Cisadane Hulu merupakan salah satu sub DAS Cisadane yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas DAS/ Sub DAS Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) yang dijadikan objek penelitian adalah Stasiun Pengamatan Jedong yang terletak di titik 7 59

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat manusia. Pengertian lahan dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998), yaitu : Lahan merupakan

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT MELALUI PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH LOKAL SPESIFIK (Studi Kasus pada DAS Cisadane)

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT MELALUI PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH LOKAL SPESIFIK (Studi Kasus pada DAS Cisadane) PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT MELALUI PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH LOKAL SPESIFIK (Studi Kasus pada DAS Cisadane) Oleh : Edy Junaidi Balai Penelitian Kehutanan Ciamis ABSTRAK Luasan penggunaan

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU SKRIPSI OLEH: BASA ERIKA LIMBONG 061201013/ MANAJEMEN

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO Rini Fitri Dosen pada Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Almuslim ABSTRAK Lahan kering di

Lebih terperinci

KUANTIFIKASI JASA LINGKUNGAN PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA DAS CISADANE HULU. Aji Winara dan Edy Junaidi ABSTRAK

KUANTIFIKASI JASA LINGKUNGAN PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA DAS CISADANE HULU. Aji Winara dan Edy Junaidi ABSTRAK KUANTIFIKASI JASA LINGKUNGAN PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA DAS CISADANE HULU Aji Winara dan Edy Junaidi ABSTRAK Sistem agroforestry merupakan integrasi antara beberapa aspek ekologis dan ekonomis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, karakteristik lahan dan kaidah konservasi akan mengakibatkan masalah yang serius seperti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat mengandung pengertian yang mendalam, bukan hanya berarti penambahan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Biru terletak di Kabupaten Wonogiri, tepatnya di Kecamatan Purwantoro dan Kecamatan Bulukerto. Lokasinya terletak di bagian lereng

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 40 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Lokasi penelitian berada di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok seluas 462 ha. Secara geografis daerah penelitian terletak

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah DAS Biru yang mencakup Kecamatan Bulukerto dan Kecamatan Purwantoro berdasarkan peraturan daerah wonogiri termasuk dalam kawasan lindung, selain itu DAS Biru

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah berorientasi agribisnis, berproduktivitas tinggi, efisien, berkerakyatan, dan berkelanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara Opini Masyarakat Terhadap Fungsi Hutan di Hulu DAS Kelara OPINI MASYARAKAT TERHADAP FUNGSI HUTAN DI HULU DAS KELARA Oleh: Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16 Makassar, 90243,

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat untuk Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh, 19 Maret 2013

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat untuk Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh, 19 Maret 2013 ANALISIS SPASIAL ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN KEKRITISAN LAHAN SUB DAS KRUENG JREUE Siti Mechram dan Dewi Sri Jayanti Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 217 ISBN: 978 62 361 72-3 PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Esa Bagus Nugrahanto Balai Penelitian dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

MONITORING DAN EVALUASI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI KAWATUNA DI SULAWESI TENGAH

MONITORING DAN EVALUASI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI KAWATUNA DI SULAWESI TENGAH Monitoring dan Evaluasi Sub Daerah Aliran Sungai... Hasnawir, Heru Setiawan dan Wahyudi Isnan MONITORING DAN EVALUASI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI KAWATUNA DI SULAWESI TENGAH Hasnawir*, Heru Setiawan dan Wahyudi

Lebih terperinci

PENERAPAN IPTEKS ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani

PENERAPAN IPTEKS ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani Abstrak Daerah penelitian adalah DAS Deli yang meliputi tujuh subdas dan mempunyai luas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem,

PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, PENDAHULUAN Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang pengembangannya sangat besar

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin lama semakin meningkat telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 DAFTAR ISI ABSTRAK... i KATA PENGANTAR..... ii DAFTAR ISI...... iv DAFTAR TABEL..... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN.... 1 A. Latar Belakang Masalah 1 B. Rumusan Masalah. 7 C. Tujuan Penelitian......

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 124 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis data yang diperoleh maka penulis dapat menyimpulkan dan memberikan rekomendasi sebagai berikut: A. Kesimpulan Sub Daerah Aliran

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 27 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah dan Perkembangan Perusahaan PT. Ratah Timber merupakan salah satu perusahaan swasta nasional yang memperoleh kepercayaan dari pemerintah untuk mengelola

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 23 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Batas Wilayah Kabupaten Tabalong merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan dengan ibukota Tanjung yang mempunyai

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAS KONAWEHA. Luas dan Wilayah Administrasi DAS Konaweha. Iklim

KEADAAN UMUM DAS KONAWEHA. Luas dan Wilayah Administrasi DAS Konaweha. Iklim KEADAAN UMUM DAS KONAWEHA Luas dan Wilayah Administrasi DAS Konaweha Luas DAS Konaweha adalah 697.841 hektar, yang mencakup 4 (empat) wilayah administrasi yaitu Kabupaten Konawe, Kolaka, Konawe Selatan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAS TERPADU

PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan 3. Monitoring dan Evaluasi 4. Pembinaan dan Pengawasan 5. Pelaporan PERENCANAAN a. Inventarisasi DAS 1) Proses penetapan batas DAS

Lebih terperinci

RINGKASAN DISERTASI. Oleh : Sayid Syarief Fathillah NIM 06/240605/SPN/00217

RINGKASAN DISERTASI. Oleh : Sayid Syarief Fathillah NIM 06/240605/SPN/00217 PENILAIAN TINGKAT BAHAYA EROSI, SEDIMENTASI, DAN KEMAMPUAN SERTA KESESUAIAN LAHAN KELAPA SAWIT UNTUK PENATAGUNAAN LAHAN DAS TENGGARONG, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA RINGKASAN DISERTASI Oleh : Sayid Syarief

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang meliputi semua benda penyusun biosfer (atmosfer, tanah dan batuan induk, topografi, air, tumbuhtumbuhan dan binatang),

Lebih terperinci

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1 TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1 Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta I Jl. Surabaya 2 A, Malang Indonesia 65115 Telp. 62-341-551976, Fax. 62-341-551976 http://www.jasatirta1.go.id

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN KOTA ADMINISTRATIF BAU-BAU (Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1981 Tanggal 3 Nopember 1981) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMBENTUKAN KOTA ADMINISTRATIF BAU-BAU (Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1981 Tanggal 3 Nopember 1981) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PEMBENTUKAN KOTA ADMINISTRATIF BAU-BAU (Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1981 Tanggal 3 Nopember 1981) Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa berhubung dengan perkembangan dan kemajuan pada

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan lahan semakin meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk Indonesia. Peningkatan kebutuhan akan lahan akan digunakan untuk kegiatan pertanian, pemukiman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia tergolong besar. Saat ini berdasarkan survey terakhir, jumlah penduduk Indonesia adalah 230 juta lebih. Laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR R Rodlyan Ghufrona, Deviyanti, dan Syampadzi Nurroh Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Situ

Lebih terperinci

SIMULASI DAMPAK PENGGUNAAN LAHAN AGROFORESTRY BERBASIS TANAMAN PANGAN PADA HASIL AIR DAN PRODUKSI PANGAN (Studi Kasus DAS Cisadane, Jawa Barat)

SIMULASI DAMPAK PENGGUNAAN LAHAN AGROFORESTRY BERBASIS TANAMAN PANGAN PADA HASIL AIR DAN PRODUKSI PANGAN (Studi Kasus DAS Cisadane, Jawa Barat) SIMULASI DAMPAK PENGGUNAAN LAHAN AGROFORESTRY BERBASIS TANAMAN PANGAN PADA HASIL AIR DAN PRODUKSI PANGAN (Studi Kasus DAS Cisadane, Jawa Barat) Edy Junaidi dan Mohamad Siarudin Balai Penelitian Teknologi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan kegiatan memperbaiki, memelihara, dan melindungi keadaan DAS, agar dapat menghasilkan barang dan jasa khususnya, baik

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi

Lebih terperinci

Ummi Kalsum 1, Yuswar Yunus 1, T. Ferijal 1* 1 Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala PENDAHULUAN

Ummi Kalsum 1, Yuswar Yunus 1, T. Ferijal 1* 1 Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala PENDAHULUAN Arahan Konservasi DAS Meureudu Menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) (Conservation Directives of Drainage Basin Meureudu Using GIS Geographic Information Systems) Ummi Kalsum 1, Yuswar Yunus 1,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan erosi geologi atau geological erosion. Erosi jenis ini tidak berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. dengan erosi geologi atau geological erosion. Erosi jenis ini tidak berbahaya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah dan air merupakan sumberdaya alam utama yang mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Sebagai sumberdaya yang banyak digunakan, tanah dapat mengalami

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN. Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F

PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN. Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F14101089 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR FANNY

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Opak Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.1 menunjukan bahwa luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian, kehutanan, perikanan,

Lebih terperinci

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2014 KEMENHUT. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Evaluasi. Monitoring. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 61 /Menhut-II/2014 TENTANG MONITORING

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia punya potensi wilayah pesisir yang besar dan membuat konsekuensi tekanan ekonomis maupun ekologis akibat adanya interaksi diantara daratan dengan lautan. Konflik

Lebih terperinci