Laporan Survey dan Analisa

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Laporan Survey dan Analisa"

Transkripsi

1 Laporan Survey dan Analisa KKLD Gili Sulat Gili Lawang Pengembangan Sistem Observasi untuk Kawasan Pesisir Balai Riset dan Observasi Kelautan Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan TA 2007

2 KATA PENGANTAR Laporan Kegiatan Survei ini disusun untuk memenuhi persyaratan pelaporan pekerjaan Pengembangan Sistem Observasi untuk Kawasan Pesisir sesuai dengan isi Kerangka Acuan Kerja. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan penelitian yang dilakukan pada tahun Pelaksanaan survey dilakukan oleh Tim Peneliti dari Balai Riset dan Observasi Kelautan bekerjasama dengan Universitas Mataram, Pemkab Lombok Timur dan masyarakat setempat. Di dalam laporan ini diuraikan kerangka kerja, metodologi pelaksanaan, hasil dan analisa survei. Secara keseluruhan laporan ini melaporkan hasil survey pengumpulan data primer dan sekunder yang telah dilaksanakan. 1

3 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kawasan pesisir dan laut Indonesia memiliki potensi dan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (mega biodiversity) dan termasuk dalam kawasan CTC (Coral Triangle Center). Tingginya potensi dan keanekaragaman hayati tersebut baik dalam bentuk keanekaragaman genetik, spesies maupun ekosistem merupakan aset yang sangat berharga, untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia. Tingginya keanekaragaman hayati perairan tersebut dapat memberikan manfaat bagi lingkungan dan kesejahteraan rakyat Indonesia bila dikelola secara optimal dan berkelanjutan dengan memperhatikan karakteristik dan daya dukung (carrying capacity) lingkungan, serta mengacu pada setiap peraturan dan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, sekitar 75% terdiri dari perairan pesisir dan lautan, dengan luas perairan sekitar 5,8 juta km2 (3,1 juta km2 lautan teritorial dan archipelago, serta 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Secara geografis kepulauan dan perairan Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis karena terletak antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, dan antara Benua Asia dan Australia, termasuk didalamnya paparan Sunda di bagian barat dan Paparan Sahul di bagian timur. Sejalan dengan tugas pokok Departemen Kelautan dan Perikanan cq. Dirketorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Direktorat konservasi dan Taman Nasional Laut memiliki misi dan tanggung jawab untuk mendorong dan memfasilitasi daerah untuk mengembangkan program Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) dalam skala kecil maupun besar khususnya dalam mekanisme penentuan zonasinya. Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah merupakan paradigma baru, disamping kawsan konservasi nasional sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam hal ini Pemerintah Daerah berkewajiban mengatur sumberdaya alam laut di wilayahnya melalui Undangundang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, khususnya Pasal 18 menyatakan bahwa salah satu kewenangan daerah di wilayahnya. Pengelolaan sumberdaya alam laut menjadi hal yang penting di daerah oleh karenanya rencana pengelolaan KKLD Gili Lawang dan Gili Sulat perlu disusun berdasarkan kajian ilmiah, mengacu kepada pedoman pembentukan Kawasan Konservasi Laut dan sesuai kebutuhan daerah. Balai Riset dan Observasi Kelautan SEACORM (South East Asia Center for Ocean Research and Monitoring) sebagai salah satu UPT dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan merasa perlu mengadakan kajian lebih lanjut dalam memberikan rekomendasi guna penentuan Kawasan Konservasi Laut Daerah khususnya di Lombok Timur (Gili Sulat dan Gili Lawang) TUJUAN Kegiatan ini bertujuan untuk : Studi lokasi dan kelayakan potensi sumberdaya kelautan dalam rangka penentuan zonasi KKLD dengan data insitu.

4 Penentuan zonasi kawasan konservasi dengan mengintegrasi data satelit dan aplikasi dengan program Marxan SASARAN Sasaran dari kegiatan ini adalah mengetahui potensi sumberdaya pesisir guna pelaksanaan penentuan kawasan konservasi laut daerah sehingga diharapkan dapat terwujud suatu kawasan pengelolaan sumberdaya laut secara efisien dan berkesinambungan dengan melihat carrying capacity KKLD khususnya di Gili Lawang dan Gili Sulat RUANG LINGKUP 1. Kajian dan pengumpulan data lapangan oseanografi dan ekologi. 2. Kajian dan pengumpulan data lapangan guna proses penentuan lokasi KKLD dengan program MARXAN. 3. Kajian potensi sumberdaya kelautan MANFAAT Meningkatkan wawasan dan pengetahuan tentang keberadaan, zonasi dan potensi Pulau Gili Lawang dan Gili Sulat terutama tentang penentuan zonasi KKLD. 3

5 BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI KEGIATAN Secara administratif, Pulau Gili Sulat dan Pulau Gili Lawang dengan luas wilayah masingmasing 694 ha dan 483 ha merupakan bagian dari Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia, yang terletak sebelah timur dari pusat Desa Sambelia. Pulau Gili Sulat dan Pulau Gili Lawang merupakan kawasan hutan lindung yang berupa hutan mangrove. Berdasarkan peritungan dari citra satelit Ikonos diperoleh informasi luasan Gili Sulat serta jenis penutupan lahannya (tabel 1), yaitu : Luas pulau m2 (694 ha) Panjang garis pantai m (13 km) Panjang pulau 5.16 km dan lebar pulau 1.88 km Tabel 1. Tutupan lahan Pulau Gili Sulat No. Tipe Penggunaan Lahan Jumlah (ha) Belukar Karang Penghalang Mangrove Padang Lamun Pasir Rataan Terumbu Karang Tanah Terbuka T o t a l Sumber : Hasil studi identifikasi KKLD Lombok Timur, 2002 Sedangkan berdasarkan perhitungan dari citra satelit ikonos diperoleh informasi luasan Pulau Gili Lawang serta jenis penutupan lahannya (Tabel 2), yaitu : Luasan pulau m 2 (438 ha) Panjang garis pantai m (9.9 km) Panjang pulau 3.57 km dan lebar pulau 1.47 km Tabel 2. Tutupan lahan Pulau Gili Lawang No. Tipe Penggunaan Lahan Jumlah (ha) Belukar Karang Penghalang Laguna Mangrove Padang Lamun Pasir Rataan Terumbu Karang Tanah Terbuka T o t a l Sumber : Hasil studi identifikasi KKLD Lombok Timur,

6 Oleh karena Pulau Gili Sulat dan Gili Lawang pada umumnya merupakan kawasan mangrove, sehingga daerah ini tidak berpenghuni atau tidak didiami secara menetap, kecuali pada saat-saat tertentu, hanya disinggahi oleh para nelayan yang menangkap ikan di lokasi sekitar pulau-pulau tersebut. Mata pencaharian penduduk Desa Sambelia pada umumnya adalah sebagai petani sawah dan petani lahan pekarangan seperti tembakau, kelapa, umbi-umbian, dan kacangkacangan. Sedangkan masyarakat yang bermata pencaharian nelayan umumnya bertempat tinggal di wilayah pantai terutama di Labuhan Pandan dan Sugian (Tekalok Dalam). Rendahnya tingkat perekonomian masyarakat juga dapat dilihat dari kondisi perumahan terlihat bahwa sebagian besar 5,77% terdiri atas rumah dengan tipe sederhana, 25,82% rumah permanen, dan 21,41% sisanya merupakan rumah semi permanen. Penduduk Desa Sambelia umunya etnis Sasak. Etnis Sasak merupakan penduduk asli Desa Sambelia. Selain itu terdapat juga etnis lain seperti Bugis, Mandar, Makassar dan Jawa. Etnis Bugis, Mandar dan Makassar mendominasi profesi nelayan, sementara etnis Sasak lebih banyak mengembangkan perikanan budidaya seperti tambak udang dan tambak kepiting. Dari total jumlah penduduk Kecamatan Sambelia mayoritas memeluk agama Islam. Sebagian kecil masyarakat lainnya memeluk agama Hindu sejumlah 108 jiwa; agama Kristen/Khatolik 35 jiwa; dan agama Budha 4 jiwa. Pulau Gili Sulat dab Gili Lawang mempunyai jarak yang cukup dekat baik dengan mainland (Kecamatan Sambelia), Ibukota Kabupaten (Selong) dan Ibukota Propinsi (Mataram). Dari Pulau Gili Sulat maupun Gili Lawang ke mainland dapat dicapai dalam waktu menit dengan menggunakan perahu bermotor 25 PK. Sedangkan dari pulau ke Ibukota Kabupaten dapat ditempuh dalam waktu menit dan dari Pulau ke Ibukota Propinsi dapat ditempuh dalam waktu 2,5 3 jam. 5

7 BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Mangrove Mangrove merupakan jenis tumbuhan pantai yang secara spesifik tumbuh subur di sepanjang pantai beriklim tropis dan sub tropis yang terlindung dengan membentuk formasi di sepanjang pantai yang hidupnya dari hasil perpaduan antara daratan dan lautan. Tumbuhan ini memiliki sistem perakaran menonjol yang disebut akar napas (pneumatofor) yang mampu beradaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen. Karena itu tumbuhan mangrove memperoleh sumber makanan dari dua alam yakni air laut (laut pasang) dan air tawar ditambah bahan makanan pendukung dari endapan debu hasil erosi sungai yang memperkaya sedimen dan mineral pada daerah rawa-rawa dimana mangrove tumbuh. Beberapa jenis mangrove yang dikenal di Indonesia antara lain Bakau (Rhizopora), Api-api (Avicennia), Pedada (Sonneratia) dan Tanjang (Bruguiera). Hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang hanya dapat tumbuh di antara garis pasang surut tetapi dapat juga tumbuh pada pantai karang pada dataran koral mati yang diatasnya ditimbuni selapis tipis pasir atau ditimbuni lumpur atau pantai berlumpur dan berkembang biak di daerah tropis dan keberadaannya sangat penting artinya dalam pengelolaan sumber daya disebagian besar wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah sebagai penyambung dan penyeimbang darat dan laut. Tumbuh-tumbuhan, hewan dan berbagai nutrisi ditransfer ke arah darat atau kearah laut melalui mangrove. Batasan hutan mangrove menurut Samingan (1993) adalah hutan yang terutama tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Ciri-ciri hutan bakau menurut Soerianegara dan Indrawan (1980) adalah :a. Tidak terpengaruh iklim, b. Terpengaruh pasang surut, c. Tanah ditenggelami air laut, tanah lumpur atau berpasir terutama tanah liat, d. Tanah rendah pantai, e. Hutan tidak mempunyai strata tajuk. Hutan mangrove dikenal beberapa jenis antara lain Bakau (Rhizopora), Api-api (Avicennia), Pedada (Sonneratia) dan Tanjang (Bruguiera). Di Indonesia mangrove dikenal sebagai hutan pasang surut atau hutan bakau yang umumnya tumbuh pada daerah yang tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. Vegetasri hutan mangrove di Indonesia ada sekitar 47 jenis tumbuhan yang spesifik mangrove dimana berbagai jenis satwa liar hidup diantaranya terancam punah seperti Harimau Sumatera, Bekantan, Wilwo (Mycte ria Cinerea), Bubut Hitam (Centropus Nigrorufus) dan Bangau Tongtong (Leptoptilus Javanicus), serta tempat persinggahan bagi burung-burung migran. Manfaatnya secara ekologis mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan, kerang dan spesies lainnya. Selain itu serasah mangrove berupa daun, ranting dan biomassa lainnya yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan 6

8 produktifitas perikan laut. Hutan mangrove juga merupakan penyedia keanekaragaman hayati (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang (carying capacity) kehidupan. Dengan akarnya yang rapat dan kokoh, mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang dan perembesan air laut. Manfaatnya secara ekonomis dari mangrove, diperoleh melalui tiga sumber utama yakni hasil hutan, perikanan laut dan pantai serta wisata alam pantai. Kayunya cukup bagus untuk bahan bangunan, arang, bahan baku kertas dan produk industri kayu dan kerajinan. Kondisi mangrove di Indonesia Bagi masyarakat Indonesia khususnya kaum pesisir mangrove menggambarkan suatu sumber kekayaan dan keanekaragaman kehidupan. Pada suatu daerah dimana mangrove tumbuh kuat dan subur dengan tekanan penduduk dan tuntutan ekonomi terhadap rona pantai cukup tinggi, mangrove dikenal sebagai pelindung utama lingkungan pantai dan sumber tempat mencari nafkah. Namun karena keterbatasan pemahaman tentang nilai dan fungsi mangrove antara para pengambil kebijakan dan masyarakat umumnya, hutan mangrove dipandang sebagai areal yang boleh digunakan semaunya bahkan pohonnya ditebangi untuk kegunaan lain yang dianggap lebih menguntungkan. Akibatnya baru disadari bahwa mangrove ternyata jauh lebih penting antara lain sebagai pelindung pantai dan bangunan-bangunan treatment air, sehingga harus dilakukan upaya untuk merehabilitasi tempat alami hutan mangrove yang memakan investasi cukup besar. Mengingat fungsi hutan mangrove yang sangat strategis tersebut, perlu dilakukan upaya aktif bagi perlindungan dan pelestariannya. Beberapa aspek yang menunjang keberhasilan itu adalah: a. Aspek sumber daya manusia berupa pendidikan, pelatihan dan penyuluhan bagi aparatur pemerintah dan masyarakat. b. Aspek kelembagaan, berupa rancangan peraturan perundangan antar lembaga pemerintah tentang bentuk-bentuk pengelolaan dan pelestarian mangrove. c. Aspek tata ruang, berupa penataan yang sesuai fungsi, peruntukan dan pemanfaatannya, sehingga ada pembagian tugas dan kewenangan yang jelas bagi masing masing instansi di pusat dan daerah dalam merencanakan, memanfaatkan dan mengendalikan penggunaan ruang yang berfungsi lindung dan budidaya. Metode pengumpulan data ada 2 macam yaitu: 1) Transek-kuadrat, dan 2) 'spot check'. Kedua metode ini diaplikasikan untuk mendapatkan informasi komposisi jenis, struktur vegetasi dan komunitas, serta distribusi jenis. Metode transek-kuadrat dilakukan dengan cara menarik garis tegak lurus pantai, kemudian di atas garis tersebut ditempatkan kuadrat ukuran 10 X 10 m, jarak antar kuadrat ditetapkan secara sistematis terutama berdasarkan perbedaan struktur vegetasi. Selanjutnya, pada setiap kuadrat dilakukan perhitungan jumlah individual (pohon dewasa, pohon remaja, anakan), diameter pohon, dan prediksi tinggi pohon untuk setiap jenis. Metode 'spot check' digunakan untuk melengkapi informasi komposisi jenis, distribusi jenis, dan kondisi umum ekosistem mangrove yang tidak teramati pada metode transek-kuadrat. Metode ini dilakukan dengan cara mengamati dan memeriksa zona-zona tertentu dalam 7

9 ekosistem mangrove yang memiliki ciri khusus. Informasi yang diperoleh melalui metode ini bersifat deskriptif. Karakteristik spasial ditandai dengan resolusi spasial yang digunakan sensor untuk mendeteksi obyek. Resolusi spasial adalah daya pilah sensor yang diperlukan untuk bisa membedakan obyek-obyek yang ada dipermukaan bumi. Istilah lain yang umum digunakan untuk resolusi spasial adalah medan pandang sesaat (Intantenous Field of View /IFOV). Karakteristik spektral terkait dengan panjang gelombang yang digunakan untuk mendeteksi obyek-obyek yang ada di permukaan bumi. Semakin sempit julat (range) panjang gelombang yang digunakan maka, semakin tinggi kemampuan sensor itu dalam membedakan obyek. Pemetaan penutup lahan diperoleh dari hasil klasifikasi multispektral citra digital. Klasifikasi multispektral merupakan suatu algoritma yang dirancang untuk menyajikan informasi tematik dengan cara mengelompokkan fenomena berdasarkan satu kriteria yaitu nilai spektral pada beberapa saluran sekaligus. Tiap obyek cenderung memberikan pola respon spektral yang spesifik. Semakin sempit dan banyak saluran yang digunakan, semakin teliti hasil klasifikasi multispektral tersebut. Klasifikasi multispektral diawali dengan menentukan nilai pixel representatif tiap obyek secara sampling. Nilai pixel dari tiap sampel tersebut digunakan sebagai masukan dalam proses klasifikasi. Ekstraksi informasi penutup lahan dikerjakan berdasarkan warna pada citra komposit, analisis statistik dan analisis grafis. Analisis statistik digunakan dengan memperhatikan nilai rerata, standar deviasi, varians, dan kovarians, dari setiap kelas sampel yang diambil guna menentukan keterpisahan sampel. Analisis grafis digunakan untuk melihat sebaran piksel-piksel suatu kelas yang diasumsikan sebagai kelas yang homogen apabila piksel-piksel yang diambil sebagai sampel, bergerombol dalam satu gugus, dengan memperhatikan posisi gugus sampel dalam diagram pencar. Dalam mengkelaskan nilai-nilai spektral citra menggunakan banyak feature tersebut, dikenal istilah klasifikasi teracu (supervised classification) dan klasifikasi tak teracu (unsupervised classification). Istilah 'klasifikasi teracu digunakan, karena metode ini mengelompokan nilai pixel berdasarkan informasi penutup lahan aktual di pemukan bumi, sedangkan istilah 'klasifikasi tak teracu' digunakan, karena proses pengkelasannya hanya mendasarkan pada infomasi gugus-gugus spektal yang tidak bertumpang susun, pada ambang jarak (threshold distance) tertentu, dan saluran-saluran yang digunakan. Informasi yang diperoleh dari proses pengkelasan nilai-nilai spektral bukan merupakan tipe penggunaan lahan, melainkan berupa klas penutup lahan. Berdasarkan hal tersebut, penamaan sampel mengacu pada posisi sampel dalam feature,space, dan diarahkan pada penyusunan klas-klas spektral seperti pada diagram pencar. Dengan mengacu diagram pencar tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat suatu trend atau kecenderungan obyek permukaan bumi meliputi vegetasi, air dan tanah bahkan dapat dibedakan kondisi kerapatan vegetasi secara horisontal (ground cover) dan vertikal (Leaf Area Index) 3.2. Terumbu Karang Pembentukan terumbu karang merupakan proses yang lama dan kompleks. Berkaitan dengan pembentukan terumbu, karang terbagi atas dua kelompok yaitu karang yang membentuk terumbu (karang hermatipik) dan karang yang tidak dapat membentuk terumbu (karang ahermatipik). Kelompok pertama dalam prosesnya bersimbiosis dengan 8

10 zooxanthellae dan membutuhkan sinar matahari untuk membentuk bangunan dari kapur yang kemudian dikenal reef building corals,sedangkan kelompok kedua tidak dapat membentuk bangunan kapur sehingga dikenal dengan non reef building corals yang secara normal hidupnya tidak tergantung pada sinar matahari (Veron, 1986). Pembentukan terumbu karang hermatipik dimulai adanya individu karang (polip) yang dapat hidup berkelompok (koloni) ataupun menyendiri (soliter). Karang yang hidup berkoloni membangun rangka kapur dengan berbagai bentuk, sedangkan karang yang hidup sendiri hanya membangun satu bentuk rangka kapur. Gabungan beberapa bentuk rangka kapur tersebut disebut terumbu Formasi terumbu karang mengikuti topografi yang dibentuk oleh proses geologi alam. Pemahaman mengenai formasi terumbu karang memberikan informasi kecenderungan bentuk pertumbuhan yang mendominasi suatu zona dengan memperhatikan faktor jarak ekosistem terhadap daratan (pulau) ataupun terhadap laut lepas. Charles Darwin (1842) mengemukakan tiga perbedaaan formasi yang dikenal dengan teori penenggelaman Terumbu karang tepi (Fringing Reef), yaitu terumbu karang yang terdapat di sepanjang pantai dan dalamnya tidak lebih dari 40 meter. Terumbu ini tumbuh ke permukaan dan ke arah laut terbuka.terumbu karang penghalang (Barrier Reefs), berada jauh dari pantai yang dipisahkan oleh goba (lagoon) dengan kedalaman meter. Umumnya terumbu karang ini memanjang menyusuri pantai. Atol (atolls), yang merupakan karang berbentuk melingkar seperti cincin yang muncul dari perairan yang dalam, jauh dari daratan dan melingkari gobah yang memiliki terumbu gobah atau terumbu petak. Bentuk Pertumbuhan Karang Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan. Berbagai jenis bentuk pertumbuhan karang dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, hydrodinamis (gelombang dan arus), ketersediaan bahan makanan, sedimen, subareal exposure dan faktor genetik. Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang batu terbagi atas karang Acropora dan non- Acropora (English et.al., 1994). Perbedaan Acropora dengan non- Acropora terletak pada struktur skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang disebut axial koralit dan radial koralit, sedangkan non-acropora hanya memiliki radial koralit. Faktor yang Mempengaruhi Bentuk Pertumbuhan Jenis karang yang dominan di suatu habitat tergantung pada kondisi lingkungan atau habitat tempat karang itu hidup. Pada suatu habitat, jenis karang yang hidup dapat didominasi oleh suatu jenis karang tertentu. Pada daerah rataan terumbu biasanya didominasi karangkarang kecil yang umumnya berbentuk masif dan submasif. Lereng terumbu biasanya ditumbuhi oleh karang-karang bercabang. Karang masif lebih banyak tumbuh di terumbu terluar dengan perairan berarus. Gelombang berpengaruh terhadap perubahan bentuk koloni terumbu. Karang yang hidup di daerah terlindung dari gelombang (leeward zones) memiliki bentuk percabangan ramping dan memanjang, berbeda pada gelombang yang kuat (windwardzones) kecenderungan pertumbuhan berbentuk percabangan pendek, kuat, merayap atau submasif. Secara umum ada empat faktor dominan yang mempengaruhi bentuk pertumbuhan, yaitu cahaya, tekanan hidrodinamis (gelombang dan arus), sedimen dan subareal exposure. 9

11 Metode Transek garis Transek garis digunakan untuk menggambarkan struktur komunitas karang dengan melihat tutupan karang hidup, karang mati, bentuk substrat (pasir, lumpur), alga dan keberadaan biota lain. Spesifikasi karang yang diharapkan dicatat adalah berupa bentuk tumbuh karang (life form) dan dibolehkan bagi peneliti yang telah memiliki keahlian untuk mencatat karang hingga tingkat genus atau spesies. Peralatan yang dibutuhkan dalam survei ini adalah rol meter, peralatan SCUBA (Self Contained Underwater Breathing Apparattus), alat tulis bawah air, tas nilon, palu dan pahat untuk mengambil sampel karang yang belum bisa diidentifikasi, dan kapal. Pengambilan data bentik dengan menggunakan metode Point Intercept Transect (PIT) dengan ketelitian hingga Life Form. Metoda PIT digunakan dengan mempertimbangkan keuntungan keuntungan dari metoda tersebut yaitu dapat dilaksanakan dengan cepat, berbiaya murah dan memungkinkan untuk melakukan pengulangan (Bianchi et al., 2004). Pada setiap pulau terdapat dua buah site pengambilan data. Garis transek ditarik sepanjang 50 meter ke arah laut pada tiap site tersebut. Setiap point transect berjarak 50 cm, sehingga didapat total sebanyak 100 point transect. Pengklasifikasian data benthic mengacu kepada English et al., (1994) 3.3. Penginderaan Jarak Jauh (Remote Sensing) Perolehan informasi kondisi permukaan bumi dengan menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh melalui satelit memiliki keuntungan yakni : Daerah cakupan datanya luas sehingga data global dapat diperoleh Resolusi temporalnya tinggi karena datanya dapat diperoleh hampir setiap hari bahkan setiap jam, sehingga dapat dipergunakan untuk pemantauan Perolehan datanya cepat, karena dapat diperoleh setiap saat dari satelit yang sedang berorbit. Selain itu juga karena datanya dalam format digital, maka pengolahan informasi dapat dilakukan secara cepat dengan menggunakan komputer. Dipandang relatif ekonomis, ini berkaitan pula dengan sudah adanya beberapa fasilitas penginderaan jarak jauh di Indonesia. Secara umum sistem penginderaan jauh dapat dijelaskan seperti pada Gambar 1. Satellite Observation Airborne Observation Recieving System Processing System Target Observation User System Gambar 1. Sistem Penginderaan jauh (Sumber : Trisakti. B, dkk (2003)) 10

12 Pertama-tama pancaran dan pantulan energi dari benda-benda di permukaan bumi ditangkap oleh sistem sensor pada satelit, kemudian setelah itu diubah menjadi sinyal-sinyal yang selanjutnya dikirimkan ke stasiun bumi untuk seterusnya disimpan dalam bentuk data analog atau digital. Kemudian untuk pemanfaatan suatu bidang tertentu, dapat dilakukan pengolahan lebih lanjut data penginderaan jarak jauh. Sejak adanya teknologi komputer, pengolahan dan interpretasi secara digital dengan komputer banyak dilakukan di unit pengolahan penginderaan jarak jauh. Unit terakhir dari sistem penginderaan jarak jauh adalah unit pengguna (users), yang memanfaatkan hasil pengolahan dan interpretasi data penginderaan jarak jauh (added value) untuk suatu target disiplin ilmu tertentu seperti pertanian, geologi, kelautan, kehutanan dan banyak lagi bidang lainnya. Penginderaan atau sensor pada wahana penginderaan jauh memanfaatkan energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh suatu objek di permukaan bumi, dimana tiap-tiap objek di permukaan bumi memiliki karakteristik reflektansi yang berbeda-beda seperti diperlihatkan pada gambar 2. Panjang gelombang elektromagnetik yang dipergunakan dalam penginderaan jauh berkisar mulai dari panjang gelombang cahaya tampak hingga panjang gelombang radio. Gambar 2. Reflektansi berbagai objek dipermukaan bumi pada suatu panjang Panjang gelombang dan band spektral satelit penginderaan jarak jauh (Sumber : Trisakti. B, dkk (2003)) 11

13 BAB IV HASIL SURVEY 4.1. MANGROVE Pengamatan lapangan dilakukan dengan mengelilingi pulau untuk mendapatkan lokasi plot (cek poin). Jumlah cek poin yang didapat adalah 64 titik, yaitu 25 titik di Gili Lawang dan 39 titik di Gili Sulat (Gambar 4). Tujuannya adalah mendapatkan gambaran sekilas mengenai karakteristik hutan mangrove di kedua pulau. Plot, yang merupakan transek 10m x 10m, dilakukan di beberapa lokasi yang memiliki zonasi tertentu atau perubahan jenis vegetasi. Tiga pengukuran yang dilakukan, yaitu kerapatan, basal area (dominasi) dan probabilitas species per plot (frekuensi). Namun karena keterbatasan waktu, hanya tercapai 19 plot, yaitu 14 plot di Gili Lawang dan 5 plot di Gili Sulat (Gambar 5). Gambar 4. Titik-titik pengamatan (cek poin). 12

14 Gambar 5. Lokasi plot transek. HASIL PENGAMATAN LAPANGAN 1. Species Mangrove Keanekaragaman species mangrove di kedua lokasi cukup serupa dimana keduanya memiliki jenis tanah berpasir putih dengan salinitas sekitar Pada sisi barat kedua pulau tersebut, Rhizophora dan Bruguiera merupakan genus dominan. Keragaman genus mangrove lebih banyak pada sisi timur kedua pulau. Species yang ditemukan di Gili Sulat dan Gili Lawang terdeskripsi pada Gambar 3 di bawah ini. 13

15 Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Rhizophora stylosa Bruguiera gymnorrhiza Aegiceras floridum Aegiceras corniculatum Sonneratia alba Sonneratia caseolaris Xylocarpus mekongensis Lumnitzera racemosa Pemphis acidula Gambar 6. Beberapa jenis mangrove utama (true mangroves) yang ditemukan di Gili Sulat dan Gili Lawang. Jenis tersebut belum termasuk jenis mangrove ikutan (associate mangroves) yang sangat bervariasi. Diperkirakan masih banyak jenis lainnya yang belum teridentifikasi. Avicennia marina Ceriops sp 14

16 2. Struktur komunitas hutan mangrove Beberapa transek dilakukan untuk mendapatkan gambaran dari struktur komunitas hutan mangrove yang ada di Gili Sulat dan Gili Lawang. Dari pengamatan lapangan sekilas (cek poin) dengan cara mengelilingi luar pulau, terlihat bahwa terdapat struktur komunitas yang berbeda antara sisi barat dan timur kedua pulau. Pantai pada sisi barat didominasi oleh species Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa. Beberapa seedling dan sapling Rhizophora terlihat di laut yang menandakan adanya pertumbuhan baru species tersebut yang lebih meluas ke arah laut (Gambar 4). Gambar 7. Struktur komunitas hutan mangrove di pantai sisi barat. Pada sisi timur, kedua pulau juga memiliki struktur komunitas serupa, yaitu jenis mangrove yang lebih bervariasi dan beberapa terlihat sangat tua (Gambar 5). Pantai terluar didominasi oleh genus Rhizophora (Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa), Bruguiera (Bruguiera gymnorrhiza) Sonneratia (Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris) dan Aegiceras (Aegiceras floridum, Aegiceras corniculatum). Gambar 8. Struktur komunitas hutan mangrove di pantai sisi timur pada saat pasang. Komunitas hutan mangrove yang berbeda ini bertemu disuatu zona transisi dimana terdapat komunitas peralihan, yaitu suatu komunitas gabungan antara dua komunitas tersebut. Di 15

17 lokasi ini genus Rhizophora berkelompok dengan genus Sonneratia dan Aegiceras, yang hanya umum ditemukan di sisi timur Gili Sulat dan Gili Lawang. Gambar 9. Struktur komunitas hutan mangrove di zona transisi. 3. Zonasi hutan mangrove Gambar 10. Garis transek dari pantai ke arah darat. Zonasi hutan mangrove di Gili Sulat dan Gili Lawang terbagi atas 2 tipe mengikuti struktur komposisi hutan mangrove. Zona basah adalah zona terdepan dimana mengalami genangan air lebih dari 14 hari/bulan. Zona sedang adalah zona dibelakang zona basah dan mendapat pergenangan air laut selama 6-14 hari/bulan. Sedangkan zona kering adalah zona terbuka dan mendapat limpasan air laut kurang dari 6 hari/bulan. Di zona ini terdapat vegetasi mangrove ikutan (mangrove associate) seperti rerumputan (Acanthus ilicifolius, Ipomoea, Spinifex littoreus), waru (Thespesia populnea, Hibiscus tiliaceus), Pongamia pinnata dan jenis lainnya. Gambar 11. Zonasi hutan mangrove di sisi timur Gili Sulat dan Gili Lawang 16

18 Gambar 12. Zonasi hutan mangrove di sisi barat Gili Sulat dan Gili Lawang 4. Kerapatan hutan mangrove Hutan mangrove di Gili Sulat dan Gili Lawang memiliki kerapatan yang cukup tinggi karena masih banyaknya mangrove dalam kondisi baik dan terjaga sehingga dapat tumbuh besar (Gambar 10). Namun menurut data dari Departemen Kehutanan (Tabel 1), kondisi mangrove di kedua pulau tersebut telah mengalami penurunan sehingga diperkirakan nilai kerapatannya telah berkurang. Kerapatan tertinggi sekitar 31,54 m 2 /ha (lingkar luar pulau) hingga 58,75 m 2 /ha (di sekitar sungai dalam pulau). Gambar 13. Akar napas Rhizophora dan Sonneratia berukuran besar. Lokasi Luas (Ha) Kondisi Gili Sulat 663,50 Rusak sedang Gili Lawang 423,36 Rusak sedang Tabel 3. Luas hutan mangrove menurut sumber dari Ditjen RLHS, Dephut (2002). Data ini belum diklarifikasi kembali dalam survey karena belum tersedianya data citra. Study mengenai perkembangan kondisi hutan mangrove dapat dilakukan dengan komparasi kerapatan terdahulu dengan sekarang. Kegiatan ini memerlukan data citra satelit yang dicek dengan data lapangan. Dari data citra terdahulu, terlihat perbedaan tutupan lahan dibandingkan dengan data lapangan terakhir. Namun kegiatan ini belum dapat dilakukan karena belum tersedianya data citra terbaru. 17

19 4.2. TERUMBU KARANG Komposisi Benthic Life Form Gambar 14. Lokasi Penyelaman (S1, S2, S3, S4) Komposisi jenis bentik yang ditemukan pada tiap site penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Pada seluruh site pengambilan data secara umum terdapat 17 jenis kategori benthic life form, dengan variasi terbanyak terdapat pada Site I Gili Sulat dan Site IV Gili Lawang (masing masing 13 jenis) sedangkan pada Site II Gili Sulat dan Site III Gili Lawang hanya terdapat masing masing 9 jenis. Tabel 4. Komposisi bentik pada site penyelaman : Benthic Site I Gili Sulat Site II Gili Site III Gili Site IV Gili Lawang Sulat Lawang ca ot sp sa rk dc cr abr aen atb adg Asm Nen Nsm Nm Nbr Nfo Nmu Fire

20 Lc Sft Blue Op Fanwhip An Can Keterangan : + (ada), - (tidak ada) Gambar 15. Life form List Profil Transek, Jumlah dan Persent Cover Benthic Life Form Site I Gili Sulat Kedalaman (m) Profile Transek S-1 (Gili Sulat) Jarak Dari Pantai Gambar 16. Profile Transek pada Site I Gili Sulat 19

21 33 Jum lah ca ot sp sa rk dc cr abr aen atb adg asm nen 3 2 nsm 5 nm nbr nfo Bentik Life Form 7 nmu 2 fire lc sf t blue Op fan-whip An Can Gambar 17. Jumlah Benthic Life Form yang terdata pada Site I Gili Sulat nbr 34% nm 5% nsm 2% nen 3% aen 6% nfo 7% nmu 2% ot 1% ca 7% abr 11% cr 13% dc 2% sp 7% Gambar 18. Persent Cover Benthic Life Form pada Site I Gili Sulat 20

22 Site II Gili Sulat Kedalaman Profile Transek S-2 (Gili Sulat) Jarak Dari Pantai Gambar 19. Profile Transek pada Site II Gili Sulat 44 Jum lah ca ot sp sa rk dc cr abr aen 8 atb adg asm nen nsm nm Bentik Life Form 4 2 nbr nfo nmu fire lc sft blue Op fan-whip An Can 0 Gambar 20. Jumlah Benthic Life Form yang terdata pada Site II Gili Sulat 21

23 An 2% sp 2% cr 2% abr 20% sft 55% aen 10% nen 2% nbr 2% nm 5% Gambar 21. Persent Cover Benthic Life Form pada Site II Gili Sulat Site III Gili Lawang Profile Transek S-3 (Gili Lawang) Kedalaman Jarak Dari Pantai Gambar 22. Profile Transek pada Site III Gili Lawang 22

24 35 Jumlah ca ot sp sa rk dc cr abr aen at b adg asm nen nsm 4 nm nbr nfo nmu fire lc sft blue Op fan-whip An Can Bentik Life Form Gambar 23. Jumlah Benthic Life Form yang terdata pada Site III Gili Lawang nmu 1% ca 4% ot 2% dc 14% nfo 37% cr 11% nbr 8% nm 4% abr 19% Gambar 24. Persent Cover Benthic Life Form pada Site III Gili Lawang 23

25 Site IV Gili Lawang Kedalaman (m) Profile Transek S-4 (Gili Lawang) Jarak Dari Pantai Gambar 25. Profile Transek pada Site IV Gili Lawang 14 Jumlah 7 ca ot sp sa rk dc cr abr aen 0 at b adg asm nen nsm nm 1 Bentik Life Form nbr nfo nmu fire lc sft blue Op fan-whip An Can Gambar 26. Jumlah Benthic Life Form yang terdata pada Site IV Gili Lawang 24

26 nbr 20% nfo 5% ca 10% ot 1% sp 5% rk 1% nm 1% dc 15% nsm 11% nen 4% atb 5% abr 14% cr 8% Gambar 27. Persent Cover Benthic Life Form pada Site IV Gili Lawang Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terdapat dominasi dari coral non acropora foliose (nfo) pada Site III Gili Lawang (37%) dan coral non acropora branching (nbr) pada site I Gili Sulat dan Site IV Gili Lawang (34% dan 20% secara berurutan). Pada Site II Gili Sulat didominasi oleh Soft coral (sft) yaitu sebesar 55% HASIL MARXAN Marxan adalah sebuah perangkat lunak yang dapat digunakan untuk membantu merancang sebuah kawasan perlindungan laut atau jejaring kawasan perlindungan laut. Pada walanya tahun 2000 Marxan dibuat untuk merancang ulang kawasan Great Barier Reef Australia. Setelah sukses di Great Barier Reef mulailah Marxan digunakan untuk keperluan yang sama di daerah-daerah lain, termasuk kawasan Gili Sulat dan Gili Lawang. Dalam membuat peta layout Running Marxan didasarkan pada nilai-nilai SPF (Species Penalty Factor) / nilai penalti barkaitan dengan target fitur konservasi didalam unit perencanaan Marxan dan Nilai Cost dimana berisi nilai cost untuk setiap heksagon dalam planning unit (Planning unit cos) yang terdapat di lokasi pulau. Adapun perincian nilainya sebagai berikut : Tabel 5. Fitur Konservasi dan Fitur Cost Pulau Gili Lawang dan Gili Sulat No Konservasi SPF Cost Skor 1 Terumbu karang 2 Kampung 1 2 Mangrove a 2 Sebaran sedimen 2 3 Mangrove b 1,5 Jalur layar 1 4 Mangrove c 0,75 Bom Ikan 2 5 Lamun 1,25 Dive site 1 6 Benthos 1,5 Shelter 1 Kedua fitur tersebut didasarkan pada tabel ketetapan nilai dibawah ini : 25

27 Tabel 6. Ketetapan nilai SPF dan Cost Sumber : Workshop Resilient TNC CTC 2006 Gambar 28. Flow Chart Running Marxan (Sumber : TNC CTC Modul 3 Pengantar Marxan, 2007) 26

28 Gambar 29. Hasil Running Marxan sebagai Rekomendasi No Take Zone 4.4. KUALITAS AIR LAUT Tabel 7. Data kualitas air laut Di Pulau Gili Lawang dan Gili Sulat Stasiun Lokasi TS Nitrat Nitrit Phosfat Amonia 1 G Lawang ,163 0,031 0,233 0,222 2 G Lawang ,142 0,032 0,231 0,229 3 G Lawang ,144 0,039 0,216 0,237 4 G Lawang ,145 0,031 0,242 0,221 5 G Lawang ,15 0,035 0,239 0,212 6 G Lawang ,141 0,031 0,226 0,208 7 G Lawang ,165 0,035 0,221 0,217 8 G Sulat ,127 0,029 0,231 0,231 9 G Sulat ,133 0,032 0,239 0, G Sulat ,17 0,046 0,231 0, G Sulat ,14 0,029 0,247 0, G Sulat ,14 0,032 0,234 0, G Sulat ,21 0,029 0,237 0, G Sulat ,213 0,032 0,239 0,226 27

29 Tabel 8. Baku Mutu Air Laut Peruntukan Wisata Bahari Kep Menteri Negara Lingkungan hidup tahun 2004 No Parameter Satuan Baku mutu Fisika 1 Suhu o c 30 2 Kecerahan m >6 Kimia 1 ph Salinitas %o Alami 3 DO mg/l >5 4 Amoniak Bebas mg/l Nihil 5 Fosfat mg/l Nitrat mg/l Sulfida mg/l Nihil 8 Minyak dan Lemak mg/l 1 9 BOD5 mg/l 10 Tabel 9. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota laut Kep Menteri Negara Lingkungan hidup tahun 2004 No Parameter Satuan Baku mutu Fisika 1 Suhu o c Alami Coral Mangrove Lamun Kecerahan m Coral>5 Mangrove Lamun >3 Kimia 1 ph Salinitas %o Alami Coral Mangrove s/d 34 Lamun DO mg/l >5 4 Amoniak Bebas mg/l Fosfat mg/l Nitrat mg/l Sulfida mg/l Minyak dan Lemak mg/l 1 9 BOD5 mg/l Pestisida µg/l 0.01 Biologi 1 plankton Sel/100 ml Tidak bloom 2 Bakteri Total MPN/100 ml 1000 Kualitas perairan disekitar Gili Lawang dan Gili Sulat akan ditinjau dari dua sisi pemanfaatan yaitu untuk kepentingan ekowisata dan kepentingan dari pertumbuhan biota laut. Pada pengujian di sekitar perairan Gili Lawang dan Gili sulat yang masuk dalam lokasi KKLD tersebut, kualitas airnya masih normal karena kandungan Nitrat, Nitrit, Ammonia dan fosfat untuk peruntukan biota laut masih dibawah ambang batas, jadi masih baik untuk berbagai macam biota laut. Sedangkan kandungan Ammonia yang berada disekitar perairan Gili Lawang sudah diatas ambang batas. 28

30 BAB V KESIMPULAN Dari hasil survey yang didapat tingkat kerapatan mangrove di Pulau Gili Lawang dan Pulau Gili Sulat terdapat di sisi utara masing-masing pulau, Keanekaragaman spesies mangrove di kedua lokasi cukup serupa dimana keduanya memiliki jenis tanah berpasir putih dengan salinitas sekitar Pada sisi barat kedua pulau tersebut, Rhizophora dan Bruguiera merupakan genus dominan. Keragaman genus mangrove lebih banyak pada sisi timur kedua pulau. Sedangkan terumbu karang berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terdapat dominasi dari coral non acropora foliose (nfo) pada Site III Gili Lawang (37%) dan coral non acropora branching (nbr) pada site I Gili Sulat dan Site IV Gili Lawang (34% dan 20% secara berurutan). Pada Site II Gili Sulat didominasi oleh Soft coral (sft) yaitu sebesar 55%. Berdasarkan hasil olahan software Marxan didapatkan hasil no take zone terdapat di hampir sebagian Pulau Gili Lawang, ini disebabkan karena : pada sisi barat Pulau terdapat coral rubble/karang mati dan terumbu karang yang masih dalam/sementara proses recovery juga adanya fitur Cost ; jalur layar, kampung, sebaran sedimen, bom ikan, dive site, dan shelter sebagai faktor pembatas dalam menentukan kawasan/zona inti dalam hal ini No take zone. Dan untuk pengukuran kualitas air laut pada pengujian di sekitar perairan Gili Lawang dan Gili sulat yang masuk dalam lokasi KKLD tersebut, kualitas airnya masih normal karena kandungan Nitrat, Nitrit, Ammonia dan fosfat untuk biota laut masih dibawah ambang batas. 29

31 BAB VI TAHAPAN SELANJUTNYA Kegiatan di lokasi Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Gili Sulat dan Gili Lawang (Lombok Timur) telah dilaksanakan. Secara ruang lingkup kegiatan ini telah melaksanakan pengumpulan data Oseanografi (model arus), Kualitas perairan, mangrove, dan terumbu karang serta permodelan dengan menggunakan program MARXAN guna rekomendasi penentuan kawasan KKLD. Tahapan selanjutnya untuk kegiatan ini adalah observasi dan kajian pemanfaatan kawasan konservasi laut di Gili Sulat dan Gili Lawang dan yang direncanakan pelaksanaannya pada tahun Adapun cakupan kegiatan selanjutnya adalah : 1. Pembuatan media coral farming (sexual reproduction methods). 2. Pengukuran parameter fisikokimia dan analisa kualitas air laut serta pola arus nutrien (Nutrient flow). Dengan adanya kegiatan tahap lanjutan diharapkan akan memiliki hasil yang tidak hanya berorientasi terhadap penentuan zonasi kawasan konservasi, tetapi juga dapat memberikan kontribusi dalam menjaga daya dukung (carrying capacity) serta tersedianya data parameter fisikokimia air laut dan pola arus nutrien (Nutrient flow). 30

32 DOKUMENTASI PELAKSANAAN SURVEY Guest house KKLD Gili Sulat-Gili Lawang Kantor KKLD yang belum beroperasi Training Marxan di Lombok kerjasama dengan TNC dan Pemda NTB Koordinasi dengan pengelola KKLD Tim survey bawah laut Transek terumbu karang 31

33 Pengambilan sampel air dan bentos Tim survey kualitas air Transek mangrove Tim survey mangrove Personil yang terlibat dalam survey Para peneliti Tim Konservasi BROK 32

IX. INVENTARISASI BENTHIC LIFE FORM DAN APLIKASI MARXAN DI GILI LAWANG GILI SULAT, LOMBOK TIMUR

IX. INVENTARISASI BENTHIC LIFE FORM DAN APLIKASI MARXAN DI GILI LAWANG GILI SULAT, LOMBOK TIMUR IX. INVENTARISASI BENTHIC LIFE FORM DAN APLIKASI MARXAN DI GILI LAWANG GILI SULAT, LOMBOK TIMUR 1 Eghbert Elvan Ampou dan Candhika Yusuf Abstrak Rancangan suatu daerah konservasi laut atau lebih dikenal

Lebih terperinci

INVENTARISASI BENTHIC LIFE FORM DAN APLIKASI MARXAN DI GILI LAWANG - GILI SULAT, LOMBOK TIMUR

INVENTARISASI BENTHIC LIFE FORM DAN APLIKASI MARXAN DI GILI LAWANG - GILI SULAT, LOMBOK TIMUR INVENTARISASI BENTHIC LIFE FORM DAN APLIKASI MARXAN DI GILI LAWANG - GILI SULAT, LOMBOK TIMUR Eghbert Elvan Ampou dan Candhika Yusuf Badan Riset Kelautan dan Perikanan - Departemen Kelautan dan Perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau dengan garis pantai sepanjang 99.023 km 2 (Kardono, P., 2013). Berdasarkan UNCLOS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

APLIKASI TEKNOLOGI INDERAJA KELAUTAN, PEMODELAN DAN IN-SITU MEASUREMENTS DALAM PENENTUAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD)

APLIKASI TEKNOLOGI INDERAJA KELAUTAN, PEMODELAN DAN IN-SITU MEASUREMENTS DALAM PENENTUAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) APLIKASI TEKNOLOGI INDERAJA KELAUTAN, PEMODELAN DAN IN-SITU MEASUREMENTS DALAM PENENTUAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) E. Elvan Ampou, Frida Sidik, Candhika Yusuf, Agung Yunanto, Nicco Plamonia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata mangrove dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas Rhizophora spp., (Soeroyo.1992:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

1. Pengantar A. Latar Belakang

1. Pengantar A. Latar Belakang 1. Pengantar A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau dengan panjang sekitar 81.000, sehingga Negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah

Lebih terperinci

POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI

POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI Ekosistem Pesisir dan Laut 1. Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa endapan kalsium karbonat (CaCO 3) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI BARAT

GUBERNUR SULAWESI BARAT GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 2TAHUN 2013 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PROVINSI SULAWESI BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. *

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * Survei kondisi terumbu karang dapat dilakukan dengan berbagai metode tergantung pada tujuan survei, waktu yang tersedia, tingkat keahlian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia sekitar 3.735.250 ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove Indonesia

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989). BAB II METODE KAJIAN 2.1. Pengertian Rekonstruksi, dari kata re : kembali, dan konstruksi : susunan, model, atau tata letak suatu bangunan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), dalam hal ini rekonstruksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia dan terletak pada iklim tropis memiliki jenis hutan yang beragam. Salah satu jenis hutan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Mangrove 2.1.1. Pengertian mangrove Hutan mangrove secara umum didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA Tito Latif Indra, SSi, MSi Departemen Geografi FMIPA UI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (Strategi Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Mangrove didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung, hutan yang tumbuh terutama pada tanah

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Lingkungan Penelitian Pada penelitian ini, lokasi hutan mangrove Leuweung Sancang dibagi ke dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR EDI RUDI FMIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ekosistem Hutan Mangrove komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu untuk tumbuh

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL Nam dapibus, nisi sit amet pharetra consequat, enim leo tincidunt nisi, eget sagittis mi tortor quis ipsum. PENYUSUNAN BASELINE PULAU-PULAU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber

Lebih terperinci

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv

Lebih terperinci

4 KERUSAKAN EKOSISTEM

4 KERUSAKAN EKOSISTEM 4 KERUSAKAN EKOSISTEM 4.1 Hasil Pengamatan Lapangan Ekosistem Mangrove Pulau Weh secara genetik merupakan pulau komposit yang terbentuk karena proses pengangkatan dan vulkanik. Proses pengangkatan ditandai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem hutan mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN Evaluasi Reef Check Yang Dilakukan Unit Selam Universitas Gadjah Mada 2002-2003 BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 1 BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Keanekaragaman tipe ekosistem yang ada dalam kawasan Taman

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu 6 TINJAUAN PUSTAKA Pengetian Mangrove Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama Mangrove diberikan kepada jenis

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

Gambar 3. Peta lokasi penelitian 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2009 di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, lokasi penelitian mempunyai

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Potensi sumberdaya ini perlu dikelola dengan baik

Lebih terperinci

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus TEKNIK PENANAMAN MANGROVE PADA DELTA TERDEGRADASI DI SUMSEL Teknik Penanaman Mangrove Pada Delta Terdegradasi di Sumsel Teknik Penanaman

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN 135 VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Komposisi spesies mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati dan tersebar tidak merata antar pulau.

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Sebaran Lamun Pemetaan sebaran lamun dihasilkan dari pengolahan data citra satelit menggunakan klasifikasi unsupervised dan klasifikasi Lyzenga. Klasifikasi tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perencanaan Lanskap Lanskap dapat diartikan sebagai bentang alam (Laurie, 1975). Lanskap berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat hubungan totalitas

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia dan juga memiliki keragaman hayati yang terbesar serta strukturnya yang paling bervariasi. Mangrove dapat tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan atau negara maritim terbesar di dunia. Berdasarkan publikasi yang ada mempunyai 17.504 pulau dengan garis pantai sepanjang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Keragaman Vegetasi Mangrove Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada 20 plot yang masing-masing petak ukur 5x5 m, 10x10 m dan 20x20 m diketahui bahwa vegetasi mangrove

Lebih terperinci

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010 PENGARUH AKTIVITAS EKONOMI PENDUDUK TERHADAP KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KELURAHAN BAGAN DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyarataan Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya perairan. Laut tropis

Lebih terperinci

2015 STRUKTUR VEGETASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANTAI DI HUTAN PANTAI LEUWEUNG SANCANG, KECAMATAN CIBALONG, KABUPATEN GARUT

2015 STRUKTUR VEGETASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANTAI DI HUTAN PANTAI LEUWEUNG SANCANG, KECAMATAN CIBALONG, KABUPATEN GARUT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai sekitar 80.791,42 km (Soegianto, 1986). Letak Indonesia sangat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA

KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA Mei 2018 Pendahuluan Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem utama pesisir dan laut yang dibangun terutama oleh biota laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien.

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses yang kompleks, namun kompleksitasnya selalu seiring dengan perkembangan manusia. Melalui pendidikan pula berbagai aspek kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

REPORT MONITORING MANGROVE PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

REPORT MONITORING MANGROVE PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI REPORT MONITORING MANGROVE PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI Kerjasama TNC-WWF Wakatobi Program dengan Balai Taman Nasional Wakatobi Wakatobi, Juni 2008 1 DAFTAR ISI LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

PROFIL HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh:

PROFIL HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh: PROFIL HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh: Novia Monika Elva 1), Irma LeilaniEka Putri 2), Rizki 1) 1)ProgramStudiPendidikanBiologi STKIP PGRI Sumatera Barat 2) JurusanBiologiUniversitasNegeri

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia kaya dan beranekaragam sumberdaya alam. Satu diantara sumberdaya alam di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove memiliki sifat khusus yang berbeda dengan ekosistem hutan lain bila dinilai dari keberadaan dan peranannya dalam ekosistem sumberdaya alam, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci