MODEL PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN DI PULAU JAWA DENGAN MENGGUNAKAN INFORMASI SUHU MUKA LAUT DI KAWASAN PASIFIK DAN INDIA M A R J U K I

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN DI PULAU JAWA DENGAN MENGGUNAKAN INFORMASI SUHU MUKA LAUT DI KAWASAN PASIFIK DAN INDIA M A R J U K I"

Transkripsi

1 MODEL PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN DI PULAU JAWA DENGAN MENGGUNAKAN INFORMASI SUHU MUKA LAUT DI KAWASAN PASIFIK DAN INDIA M A R J U K I SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini menyatakan bahwa tesis Model Prediksi Awal Musim Hujan di Pulau Jawa dengan Menggunakan Informasi Suhu Muka Laut Di Kawasan Lutan Pasifik dan India adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini Bogor, Mei 011 Marjuki NRP G

3 ABSTRAK MARJUKI. Rainfall Onset Model Prediction At Java Island Using Sea Surface Temperature Information at Indian and Pacific Ocean Area, Under supervision of RIZALDI BOER and AGUS BUONO. The rainfall variability is one of an important role to play onset of wet season. This research aims to analyze that SST (Sea Surface Temperature) exerting an influence on rainfall onset over Java. The significant scale (15 S 15 N; 80 E- 100 W) of SST patterns are observed to derive a potential predictor rainfall onset over Java. The onset wet season is define as the first 10-day that receive at least 50 mm followed by consecutive 10-days. In Java generally it starts from 1 September. In this study, The regression Multivariate method was offered to develop a rainfall onset model prediction based on SST circulation patern. The principal component and regression technique are improved to achieve a better models and cross validation technique were applied to validate models. Domain predictor of models were derived using spatial correlation analysis result between Rainfall onset data each ZOM over Java and SST anomaly from Indian Ocean to Pacific Ocean during There are 8 from 30 ZOM which have potential predictors that be trained to models. The high spatial coherence of the rainfall onset is SST pattern at Juni-Juli-August that represent SST on eastern equatorial Pacific as characteristic of El Nino Southern Oscillation (ENSO), SST on Western Sumatera Island as characteristic of Indian Ocean Dipole Mode (IOD) and SST on around Java region as Characteristic of local condition. Three representative correlation patterns of Java Rainfall onset with SST Indian-Pacific area are investigated that clarify of ENSO, IOD and local condition. Verification result for those models showed promising skill prediction during test in year of 008 with standart deviation 10 days. In Java generally, skill prediction when rainfall onset advanced exhibited better result than skill prediction when it delayed. The Indonesian ocean area that has local characteristic have influenced better rainfall onset over Java than others. It indicated that models which developed using predictor of Indonesian SST have better skill prediction than SST of Indian or pacific ocean area. However, predictor which has combination domain area of Indonesian SST and Pacific have main influenced rainfall onset over Java. It can be explained that 18 ZOM s model have been using predictor from those domain. Keywords : Rainfall onset, SST, 10 days, Java

4 RINGKASAN MARJUKI. Model Prediksi Awal Musim Hujan Di Pulau Jawa Dengan Menggunakan Informasi Suhu Muka Laut Di Kawasan Lutan Pasifik dan India. Dibimbing oleh RIZALDI BOER dan AGUS BUONO. Indonesia sebagai daerah pertemuan sirkulasi meridional (Utara-Selatan) dikenal sebagai Sirkulasi Hadley dan sirkulasi zonal (Timur-Barat) dikenal sebagai Sirkulasi Walker, dua sirkulasi yang sangat mempengaruhi keragaman iklim di Indonesia. Pergerakan matahari yang berpindah dari 3.5 o Lintang Utara ke 3.5 o Lintang Selatan sepanjang tahun mengakibatkan timbulnya aktivitas moonson yang juga ikut berperan dalam mempengaruhi keragaman iklim. Pengaruh lokal terhadap keragaman iklim juga tidak dapat diabaikan, karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan bentuk topografi sangat beragam menyebabkan sistem golakan lokal cukup dominan. Curah hujan di Indonesia sangat bergantung pada monsoon Asia dimana pola angin bergerak dari Barat Laut ke Tenggara, pengaruh lainnya adalah SML Indonesia, El Nino Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole Mode (IOD). Awal musim hujan ditandai dengan jumlah curah hujan dasarian telah lebih dari 50 mm dan diikuti minimal dua dasarian berikutnya. Perhitungan awal musim hujan yang dilakukan setelah 1 September. Dengan mencari hubungan variable Awal Musim Hujan (AMH) dan Suhu Muka Laut (SML) periode Juni,Juli,Agustus (JJA), dihasilkan domain prediktor model awal masuk musim hujan di Jawa. Gejala anomali iklim ditandai dengan ketidak normalan SML sehingga mempengaruhi pola iklim lainnya dengan tingkat yang berbeda-beda di wilayah Jawa. Pengaruh yang paling sering dirasakan adalah tingkat variasi awal musim hujan. Untuk skala ruang yang lebih sempit, prediksi awal musim hujan perlu di kaji lebih mendalam dengan pendekatan model statistik dengan asumsi dasar mengabaikan pengaruh komponen iklim lokal. Tujuan penelitian ini adalah (1) Menyusun model prediksi awal musim hujan antara bulan Agustus-Desember di wilayah Jawa dengan prediktor SML ( Suhu Muka Laut) wilayah (15 S 15 N; 80 E- 100 W). ()

5 Menyusun peta spasial yang menunjukkan kemampuan model prediksi awal musim hujan di Jawa. (3) Menentukan domain prediktor SML yang mempengaruhi awal musim hujan untuk di Jawa. Pengelompokkan wilayah Jawa berdasarkan kemiripan pola Awal Musim Hujan (AMH) dengan analisis cluster, sehingga pola AMH wilayah Jawa ditetapkan terbagi dalam 30 kelompok. Selanjutnya variabel AMH periode di Jawa yang terbagi menjadi 30 ZOM, rataan AMH tiap ZOM digunakan untuk mencari pola hubungan tiap kelompok wilayah dengan anomali Suhu Muka Laut (SML). Hasil korelasi (r) antara anomali SML rataan periode JJA dengan Awal Musim Hujan (AMH) di Jawa menghasilkan tiga pola utama. Pola-1 menunjukkan korelasi signifikan (r 0.5) terkonsentrasi pada wilayah perairan Barat Sumatera dan Pasifik di dihasilkan oleh kelompok. Pola- menunjukkan korelasi signifikan terkonsentrasi pada wilayah perairan Barat Sumatera, Pasifik tropis dan wilayah Perairan Indonesia (-0.5 R +0.5) dihasilkan oleh 18 kelompok. Pola-3 menunjukkan korelasi signifikan terkonsentrasi pada perairan wilayah Indonesia dan Pasifik (-0.5 R +0.5) dihasilkan oleh 6 kelompok. Sedangkan kelompok tidak mempunyai pola yang jelas, namun dianggap sebagai pola ke- dalam penyusunan model prediksi. Model disusun dengan periode data 30 tahun ( ) menggunakan teknik analisis Principal Component Regression (PCR). Variable sebagai prediktor adalah nilai reduksi anomali SML pada suatu domain terpilih (PC1, PC...PCn) dan sebagai prediktan adalah rataan AMH di tiap kelompok. Validasi silang Leave One Out Cross Validation (LOOCV) digunakan sebagai ukuran kestabilan model. Prediktor yang di jadikan masukan model saat verifikasi adalah hasil reduksi anomali SML bulan JJA tahun 008 di domain terpilih pada masing-masing pola. Untuk mengetahui skill prediksi model AMH, digunakan metode Relative Operating Characteristics (ROC). ROC merupakan metode verifikasi standar yang direkomendasikan WMO (World Meteorological Orgazation). Kehandalan model prediksi AMH tiap ZOM dipetakan sehingga didapat pola wilayah kehandalan model prediksi saat AMH maju dan AMH mundur dari normal. Dengan mengetahui pola wilayah kehandalan model prediksi

6 AMH saat kejadian maju atau mundur dari normalnya maka dapat diketahui kehandalan prediksi kejadian AMH di wilayah Jawa. Secara umum AMH di Jawa dipengaruhi oleh tiga pola interaksi Laut-Atmosfer yaitu ENSO, IOD, SML Lokal, meskipun besar pengaruhnya di tiap wilayah berbedabeda. Pernyataan itu dibuktikan oleh hasil korelasi AMH di Jawa dengan SML wilayah (15 S 15 N; 80 E- 100 W). Efek kombinasi ENSO, IOD dan SML lokal dominan mempengaruhi AMH di Jawa, hal itu diindikasikan oleh jumlah model ZOM pada pola- lebih banyak dibandingkan pola-1 dan pola-3. Kombinasi domain prediktor wilayah karakteristik ENSO dan laut lokal memiliki sensitifitas yang lebih baik terhadap kejadian AMH dibandingkan kombinasi lainnya. Hal itu ditunjukkan dengan nilai skill terbaik dihasilkan oleh model dengan domain prediktor di pola-3. Kehandalan model prediksi AMH di Jawa saat kejadian maju dari normal lebih baik dibandingkan saat kejadian mundur dari normal. Hal itu dapat di pahami, karena pengaruh SML Indonesia (lokal) tampaknya cukup kuat mensuplai uap air ke Jawa sehingga hujan terjadi. Teknik penentuan domain prediktor yang sudah dilakukan dalam bentuk mencari batasan maksimum wilayah korelasi signifikan dalam persegi empat, cara itu dapat di tingkatkan hingga mendeliniasi pola di peta korelasi, sehingga tidak ada grid prediktor yang hilang atau grid yang tidak termasuk domain ikut ter-ekstraksi. Teknik dan metode penyusunan model AMH ini dapat diterapkan di wilayah Indonesia lainnya.

7 Hak Cipta IPB, Tahun 011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengkutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyaksebagian atau seluruh karya tulis bentuk apapun tanpa izin IPB

8 MODEL PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN DI PULAU JAWA DENGAN MENGGUNAKAN INFORMASI SUHU MUKA LAUT DI KAWASAN PASIFIK DAN INDIA MARJUKI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Klimatologi Terapan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 011

9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr.Ir. Rini Hidayati, M.S.

10 Judul Penelitian : Model Prediksi Awal Musim Hujan di Pulau Jawa dengan Menggunakan Informasi Suhu Muka Laut di Kawasan Lautan Pasifik dan India Nama : Marjuki NIM : G Disetujui : Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc Ketua Dr. Ir. Agus Buono, M.Si, M.Kom Anggota Diketahui : Ketua Program Studi Klimatologi Terapan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr Tanggal Ujian : Mei 011 Tanggal Lulus :

11 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Kuasa atas rahmat dan hidayah-nya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Agus Buono, M.Si,M.Kom. selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak membantu, membimbing dan mengarahkan dalam penelitian ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada : 1) Ibu Wartilah selaku orang tua yang membanggakan, dengan doa beliau yang tulus dan iklas penulis dapat menyelesaikan tesis ini. ) Bapak Hariyanto, Ibu Umi Zulaikha yang selalu membrikan dorongan dan semangat. 3) Famiyana Dewi, istri yang selalu mendampingi dengan kesabaran dan keiklasan ) Putri-putri yang kusayangi, Fathania Radinka Putri, Farryn Naqyya Ilmi (Alm), kalian telah memberi inspirasi. 5) Supriyanto Rohadi, sahabat yang selalu memberikan motivasi. 6) Teman-teman mahasiswa Program Studi Klimatologi Terapan, Sekolah Pascasarjana IPB atas bantuan pemikiran dan diskusi ilmiah. Penelitian ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Sains pada Program Klimatologi Terapan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Judul penelitian ini adalah Model Prediksi Awal Musim Hujan Di Pulau Jawa Dengan Menggunakan Informasi Suhu Muka Laut Di Kawasan Lutan Pasifik dan India. Penulis menyadari bahwa usulan penelitian ini belum sempurna, kritik, saran dan masukan pemikiran yang konstruktif diharapkan untuk menyempurnakan. Semoga penelitian ini bermanfaat. Bogor, Mei 011 Marjuki

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Agustus 1975 dari ayah Darso Sugiman (alm) dan ibu Wartilah. Penulis adalah putra ke dua dari empat bersaudara. Tamat Sekolah Teknik Menengah tahun 1993 di Jakarta, menyelesaikan Diploma I di Akademi Meteorologi dan Geofisika (AMG) Jakarta tahun 199. Diploma III diselesaikan penulis tahun 001 dan Sarjana Matematika Universitas Pamulang di selesaikan tahun 006. Tahun 008, penulis melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada program studi Klimatologi Terapan (KLI), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvi 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Hipotesa Tujuan Manfaat Ruang Lingkup Penelitian.... TINJAUAN PUSTAKA.1 Musim Hujan dan Monsun Pengaruh Sirkulasi Walker Definisi Musim Hujan Faktor Yang Mempengaruhi Awal Musim Perkembangan Model Prediksi Awal Musim Hujan Potensi Aplikasi Prediksi Awal Musim Hujan METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Data Penelitian Prosedur Pengolahan Data Analisis Cluster Principal Componen Analisis Analisis Korelasi Principal Component Regression Analisis Validasi Silang Verifikasi Evaluasi HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Pengelompokan Zona Musim Normal Awal Musim Hujan Jawa Korelasi Awal Musim Hujan dengan Anomali Suhu Muka Laut Pola Hubungan Suhu Muka Laut Dengan ZOM Jawa Domain Prediktor Suhu Muka Laut Reduksi Prediktor Suhu Muka Laut Penyusunan Model Prakiraan Awal Musim Hujan Jawa

14 .7.1 Menyusun Model Validasi Model Verifikasi Model Evaluasi Skill Model Skill Prediksi AMH Maju atau Mundur Dari Normal Pola Wilayah Kehandalan Model Prediksi AMH di Jawa 5.9 Pembahasan Hubungan Awal Musim Hujan di Jawa dengan SML Evaluasi Skill Model prediksi Awal Musim Hujan Jawa KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

15 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Domain Prediktor Koefisien Persamaan Regresi Tiap Pola Skill prediksi Awal Musim Hujan Pola Skill prediksi Awal Musim Hujan Pola Skill prediksi Awal Musim Hujan Pola-3... DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Peta Daerah Monsun Skematik Sirkulasi Walker Daerah dengan curah hujan dibawah normal Skematik wilayah ENSO dan IOD Pola Angin Samudera India- Pasifik Saat Normal dan ENSO Sebaran Data Awal Musim Hujan Jawa Grid Anomali Suhu Muka Laut Diagram Alir Penyusunan Model AMH Kurva Skill Prediksi Hasil ROC Grafik Jumlah Cluster Terhadap Jarak Data Peta Zona Musim Jawa Peta Normal Awal Musim Hujan Jawa Peta Korelasi Awal Musim Hujan Jawa dengan Suhu Muka Laut Pola Peta Korelasi Awal Musim Hujan Jawa dengan Suhu Muka Laut Pola Peta Korelasi Awal Musim Hujan Jawa dengan Suhu Muka Laut Pola Peta Wilayah Pola Korelasi AMH dengan Anomali SML Grafik RMSE Validasi Silang Model Awal musim Hujan... 39

16 18. Grafik Verifikasi Model Awal musim Hujan Peta Skill Mundur dari Normal Model Awal Musim Hujan Jawa Peta Skill Maju dari Normal Model Awal Musim Hujan Jawa... 1 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1. Data Awal Musim Huja Jawa Periode dalam Dasarian Koordinat Pos Pengamatan Curah Hujan Jawa Daftar Kabupaten Wilayah Zona Musim Korelasi Spasial AMH dengan Anomali SML tiap Pola Scree Plot Prediktor Masing-masing Pola Hasil Uji Regresi Tiap Cluster Validasi Silang Tiap Cluster Grafik Skill Prediksi AMH Maju-Mundur tiap Model... 1

17 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dilewati oleh garis katulistiwa serta dikelilingi oleh dua samudera dan dua benua. Posisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah pertemuan sirkulasi meridional (Utara-Selatan) dikenal sebagai Sirkulasi Hadley dan sirkulasi zonal (Timur-Barat) dikenal sebagai Sirkulasi Walker, dua sirkulasi yang sangat mempengaruhi keragaman iklim di Indonesia. Pergerakan matahari yang berpindah dari 3.5 o Lintang Utara ke 3.5 o Lintang Selatan sepanjang tahun mengakibatkan timbulnya aktivitas monsun yang berperan dalam mempengaruhi keragaman iklim Indonesia. Pengaruh lokal terhadap keragaman iklim juga tidak dapat diabaikan, karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan bentuk topografi sangat beragam menyebabkan sistem golakan lokal cukup dominan. Semua aktivitas dan sistem ini berlangsung secara bersamaan sepanjang tahun akan tetapi besar pengaruh dari masing-masing aktivitas atau sistem tersebut tidak sama dan dapat berubah dari tahun ke tahun. Aktifitas monsun dapat dipengaruhi oleh kejadian anomali iklim global, El Nino memiliki hubungan langsung antara variasi awal musim di Indonesia dengan Sea Surface temperatur (Moron et al. 009). Selain itu, kejadian anomali iklim global lainnya yang mempengaruhi aktifitas monsun adalah Indian Ocean Dipole Mode (IOD). Kejadiannya ditandai dengan perbedaan suhu perairan samudera hindia bagian barat dan timur (10 S 10 N; E). Menurut Mulyana (00), siklus dipole mode diawali pada bulan Mei-Juni kemudian menguat pada bulan Juli-Agustus mencapai puncaknya pada bulan Oktober, selanjutnya menghilang dengan cepat pada bulan Nopember-Desember. Sebanyak 50% perubahan curah hujan di wilayah Maritim kontinen hingga Pasifik Barat di sebabkan oleh perubahan anomali SST di Samudera Hindia (Annamalai et al. 005). Umumnya ketika terjadi El Niño, efeknya saling memperkuat dengan IOD tetapi ada kasus ketika bukan tahun El Niño

18 Indonesia kering, ternyata ketika itu IOD aktif, jadi Indonesia mengalami kekeringan ketika bukan tahun El Niño dapat dijelaskan dari pengaruh IOD. Pulau Jawa adalah wilayah sentra pertanian di Indonesia, tingkat keberhasilan maupun kegagalan panen tiap tahun bergantung pada ketersedian air karena apabila awal musim hujan maju atau mundur dari normalnya maka akan mempengaruhi jadwal tanam, sehingga perlu diberikan perhatian khusus terhadap pola iklim. Terkait akan hal itu, untuk mengurangi kerugian para petani dan menjaga tingkat stabilitas pangan di Indonesia, maka dicari suatu cara dan metode yang akurat dalam menentukan awal masuk musim hujan akibat dari perilaku monsun yang di pengaruhi oleh aktifitas ENSO dan IOD. Dengan memperhatikan pola variasi curah hujan sepuluh harian (dasarian) di wilayah Jawa serta tingkat hubungannya dengan Suhu Muka Laut (SML) dari samudera india hingga samudera pasifik, maka kejadian awal masuk musim hujan dapat diduga. Sering kali kegagalan panen dikaitkan dengan perilaku iklim, maka tuntutan kebutuhan prediksi awal musim hujan disuatu wilayah semakin tinggi, sampai pada tingkat skala lokal (wilayah kabupaten). Kemajuan sistem prediksi iklim global telah banyak dikembangkan, namun hasilnya tidak dapat langsung di aplikasikan untuk skala wilayah regional sehingga perlu diciptakan suatu model dengan tingkat akurasi tinggi yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat pengguna. 1. Perumusan Masalah Model prediksi cuaca umumnya didasari dengan mekanisme proses sirkulasi atmosfer tiap komponen skala harian dengan batasan waktu sampai 3 hari kedepan, sehingga pendekatan model mekanistik lebih menjawab persoalan. Namun untuk proses sirkulasi atmosfer musiman model mekanistik akan lebih sulit dilakukan karena proses sirkulasi atmosfer musiman memiliki skala waktu yang lebih panjang, mekanisme yang kompleks dengan rata-rata fluktuasi tiap komponen rendah. Salah satu mekanisme proses yang mempengaruhi musim adalah interaksi laut-atmosfer mulai dari samudera india sampai samudera pasifik yang mengakibatkan terganggunya pola periodik monsun. Gejala anomali iklim global ENSO dan IOD

19 3 akibat dari ketidak normalan temperatur muka laut sehingga mempengaruhi pola iklim lokal dengan tingkat yang berbeda-beda di wilayah Indonesia. Pengaruh yang paling sering dirasakan adalah tingkat variasi awal musim hujan. Untuk skala ruang yang lebih sempit, prediksi awal musim hujan perlu di kaji lebih mendalam dengan pendekatan model statistik dengan asumsi dasar mengabaikan pengaruh komponen iklim lokal dan komponen iklim global lainnya kecuali SML. 1.3 Hipotesa 1) Daerah tropis berada di ambang kritis suhu muka laut yang mendorong curah hujan maksimum atau minimum sehingga suhu muka laut berperan terhadap kejadian awal musim hujan. ) Fenomena IOD, aktifitas iklim laut lokal dan ENSO merupakan fenomena iklim laut yang mempengaruhi awal musim hujan di Pulau Jawa. 3) Terdapat hubungan linier antara awal musim hujan di Jawa dengan suhu muka laut lokal dan global. ) Suhu muka laut sangat potensial menjadi prediktor model prediksi awal musim hujan di wilayah Jawa. 1. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah : 1) Membahas dan menentukan model prediksi awal musim hujan antara bulan Agustus-Desember di wilayah Jawa dengan prediktor SML ( Suhu Muka Laut) wilayah (15 S 15 N; 80 E- 100 W) ) Menyusun peta spasial yang menunjukkan kemampuan model prediksi (forecast skill model) awal musim hujan di Jawa. 3) Menentukan domain prediktor SML yang mempengaruhi awal musim hujan untuk di Jawa.

20 1.5 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap teknik maupun model prediksi awal masuk musim yang selama ini di operasionalkan oleh instansi BMKG. Hal itu tentunya dengan mengedepankan dasar dan alasan ilmiah sehingga tujuan utama dalam meningkatkan skill prediksi awal masuk musim hujan dapat dirasakan pengguna. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Definisi awal masuk musim hujan yang digunakan dalam penelitian ini adalah akumulasi curah hujan hujan sepuluh hari (dasarian) mencapai 50 mm atau lebih dan diikuti dua dasarian berikutnya. Jika curah hujan lebih dari 50 mm dalam tiga dasarian tidak di temukan maka awal musim ditentukan dengan akumulasi curah hujan tiga dasarian mencapai lebih dari 150 mm. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai curah hujan dasarian tiap titik (pos hujan) di seluruh kabupaten wilayah Jawa periode minimal selama 30 tahun keluaran BMKG. Selain itu digunakan data SML regional dan global dalam batasan wilayah (15 S 15 N; 80 E- 100 W). Untuk lintang 10 N 15 N merupakan zona kunci awal monsun di Kerala India dengan waktu kejadian 7 sampai 1 hari sebelumnya (Singh et al. 00). Sehingga batasan wilayah terpilih menggambarkan aktivitas monsun serta hubungan laut-atmosfer di samudera pasifik dan samudera Hindia.

21 5. TINJAUAN PUSTAKA.1 Musim Hujan dan Monsun Di tinjau dari aspek geografis, Indonesia diapit oleh dua benua dan dua samudera sehingga memungkinkan adanya tiga sirkulasi atmosfer yang aktif sepanjang tahun. Sirkulasi Hadley yang berubah menjadi monsun, sirkulasi Walker yang mengindikasikan fenomena ENSO (El Nino Southern Oscillation) serta sirkulasi laut-atmosfer menyebabkan konveksi kuat yang membentuk awan potensial hujan. Selain itu sebagai negara kepulauan yang terbesar di dunia dengan luas perairan sekitar 70% dan daratan 30% serta di lewati garis khatulistiwa menyebakan Indonesia menerima INSOLASI (Incoming Solar Radiation) dalam jumlah besar mengakibatkan potensi penguapan uap air cukup kuat terjadi. Wilayah lautan dengan temperatur 8 C merupakan lokasi potensial terjadi konveksi tropis (Vinaya et al. 007). Monsun adalah angin yang arahnya berbalik secara musiman, pembalikan tersebut membutuhkan gaya gradien tekanan yang disebakan oleh beda tekanan atmosfer. Angin monsun disebabkan oleh perbedaan sifat fisis antara lautan (ocean) dan daratan (continen) karena kapasitas panas lautan lebih besar dari pada daratan. Permukaan lautan memantulkan radiasi matahari lebih banyak dari pada daratan dan radiasi matahari dapat memasuki kedalaman laut juga dengan bantuan arus laut, sedangkan didarat radiasi matahari hanya mencapai beberapa centimeter saja dari permukaan. Hasil dari beda sifat fisis ini adalah lautan lebih lambat panas bila ada radiasi matahari dan lebih lambat dingin bila tidak ada radiasi matahari dibandingkan daratan. Pergerakan semu matahari dapat membalikkan arah gaya gradient tekanan dari daratan ke lautan menghasilkan perubahan arah angin musiman atau monsun sehingga beda panas Utara-Selatan yang sangat penting diperkirakan antara benua Asia dan samudera Hindia. Jika angin berhembus dari arah Barat Laut (Northwest) atau menuju pantai (daratan) maka Indonesia terjadi periode musim hujan, sebaliknya jika angin berhembus dari arah Tenggara (Southeast) atau menuju lepas pantai

22 6 (lautan) maka Indonesia terjadi periode musim kemarau. (Gambar 1) menunjukkan daerah monsun yang dibatasi oleh garis bujur 30 Barat dan 170 Timur dan oleh garis lintang 35 Utara dan 5 Selatan (Ramage 1971). Namun, belum banyak metode yang digunakan untuk mengidentifikasi datangnya monsun, apalagi biasanya model yang ada tidak melibatkan variabilitas interannual (Falluso & Webster 00). Gambar 1. Peta daerah monsoon muka bumi berdasarkan definisi dari Ramage Pengaruh Sirkulasi Walker Sirkulasi Walker adalah sirkulasi zonal (Timur-Barat) sepanjang ekuator. Pada tahun normal, sirkulasi ini di tandai dengan kenaikan udara di sekitar pasifik bagian Barat dekat dengan benua maritime Indonesia dan penurunan udara di samudera pasifik bagian Timur lepas pantai Amerika Selatan. Intensitas sirkulasi Walker dikendalikan oleh variasi SML (Suhu Muka Laut) di samudera pasifik bagian Timur dan bagian Barat (Gambar ).

23 7 DJF Normal Eq 30 o LS 90 o BB 0 o 90 o BT 180 o 90 o BB DJF El Nino Eq 30 o LS 90 o BB 0 o 90 o BT 180 o 90 o BB Gambar. Skematik dari sirkulasi Walker di bagian atas dan bawah atmosfer dalam keadaan normal dan ENSO (Nicholls 1987) Perubahan dalam kadar panas SML kemudian di alihkan kedalam atmosfer dalam bentuk perubahan tekanan atmosfer. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa ada kopel (perangkai) yang kuat antara lautan dan atmosfer, demikian disebut El Nino Southern Oscillation (ENSO). Dalam tahun-tahun ENSO terjadi penurunan (subsidensi) massa udara diatas benua maritim Indonesia dan awan konvektif bergerak ke pasifik bagian tengah, sehingga sebagian besar wilayah Indonesia mengalami kekeringan atau musim kemarau panjang. Model dasar interaksi lautan adalah kenaikan temperatur Samudera Pasifik Ekuatorial. Di atas pusat anomali temperatur ini akan terjadi penguapan dan konveksi kuat, akibatnya angin pasat di sebelah barat pusat anomali temperatur akan melemah dan angin pasat di sebelah timur pusat ini akan menguat. ENSO menyebabkan variasi iklim tahunan di Indonesia, keterlambatan musim tanam terjadi pada tahun-tahun ENSO dibandingkan kondisi normal. Tanpa memperhitungkan manajemen air yang baik maka produksi pangan akan turun sehingga mengganggu stabilitas pangan Indonesia. Dari data yang tercatat saat tahun-tahun ENSO mengakibatkan musim kemarau lebih panjang dan musim hujan lebih pendek. Dampak kekeringan Tahun

24 8 ENSO di Indonesia tercatat hampir dirasakan diseluruh wilayah Indonesia kecuali untuk beberapa tempat yang pengaruh ekuatorialnya lebih kuat Penjelasan diatas menunjukkan, bahwa keragaman hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Pada saat fenomena ENSO berlangsung, hujan pada sebagian besar wilayah Indonesia umumnya di bawah normal (Gambar 3). Pengamatan terhadap tahun El-Nino yang terjadi dalam periode 1896 sampai 1987, diperoleh bahwa untuk setiap peningkatan anomali suhu muka laut di daerah Nino 3 rata-rata curah hujan wilayah di Indonesia pada musim kering turun sekitar 60 mm. Penurunan curah hujan wilayah dapat mencapai 80 mm dari normal apabila suhu muka laut di Nino-3 naik sampai 1.8 o C di atas normal (Boer 003). Wilayah dengan Hujan Bawah Normal (%) Tahun Gambar 3. Persen daerah yang curah hujan di bawah normal (panah hitam menunjukkan tahun bukan El-Nino) Fenomena ENSO tidak hanya mempengaruhi tinggi hujan tetapi juga mempengaruhi masuknya awal musim hujan atau akhir musim kemarau tergantung pada waktu pembentukan dan lama dan intensitasnya. Pada umumnya pada saat terjadi El-Nino awal musim hujan di wilayah yang bertipe iklim monsun mengalami

25 9 keterlambatan, sebaliknya pada saat berlangsungnya fenomena La-Nina,akhir musim hujan mengalami keterlambatan atau awal masuknya musim kemarau mundur. Faktor lain yang mempengaruhi keragaman hujan di Indonesia adalah Indian Ocean Dipole Mode (IOD). Fenomena ini pertama kali dikemukakan oleh (Saji et al. 1999). IOD dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara suhu muka laut di kawasan barat Samudera India (50-70 BT, 10 LU-10 LS) dengan suhu muka laut di kawasan tenggara Samudera India ( BT, 0-10 LS). Apabila terjadi indeks sangat negatif (dibawah standar deviasi historis) yang berarti suhu di tengah samudera Hindia lebih hangat daripada di pantai barat Sumatera, maka wilayah Indonesia barat bagian selatan mendapat resiko kekeringan akibat terjadi subsidensi dan aliran masa udara menjauh daerah ini. Apabila yang terjadi sebaliknya, maka wilayah yang sama akan mengalami curah hujan tinggi. Dampak IOD penting di perhatikan saat periode Juni-Oktober dimana akan memberikan banyak bulan basah di bagian Tenggara (Southeast) dan Barat Daya (Southwest) lokasi IOD terjadi (Risbey et all. 009). Selain itu pada akhir Mei potensi terjadi ketidakstabilan musim angin baratan Afrika (Hagos & Kerry 006). Sehingga wilayah tengah Samudera india sangat penting diperhatikan pada bulan Juni, Juli, Agustus. Dibandingkan dengan ENSO, fluktuasi dari gejala IOD memiliki periode yang sangat pendek tidak lebih dari satu musim sehingga koherensi gejala ini rendah dan sulit diasosiasikan dengan iklim Indonesia. Selain itu sangat sulit untuk menduga besarnya pengaruh ENSO, IOD atau efek kombinasi keduanya terhadap curah hujan (Risbey et all. 009). Untuk memahami lebih jauh kaitan kejadian ENSO dan IOD terhadap kejadian awal masuk musim hujan di wilayah Jawa, kajian di fokuskan menentukan domain prediktor interaksi lautan-atmosfer yaitu fluktuasi SML di Pasifik ekuator bagian tengah dan timur hinga Samudera India yang merepresentasikan ENSO dan IOD (Gambar ).

26 10 Gambar. Skematik wilayah ENSO dan IOD.3 Definisi Awal Musim Hujan Kombinasi revolusi dan kemiringan bumi akan mempengaruhi sudut jatuh sinar matahari dan intensitas insolasi (incoming solar radiation), akibatnya di muka bumi terjadi pembagian wilayah musim (musim dingin, semi, panas dan gugur). Musim diwilayah Indonesia tidak mengikuti pembagian wilayah musim dibumi karena unsur temperatur hampir konstan sepanjang tahun namun sebaliknya variasi unsur curah hujan sangat besar. Curah hujan yang terjadi di suatu wilayah memberikan gambaran musim pada wilayah tersebut. Awal musim hujan (AMH) dapat di jelaskan oleh curah hujan yang terjadi pada suatu tempat. Ketentuan definisi AMH di satu tempat dapat berbeda di tempat lainnya, hal itu dapat bergantung pada kondisi klimatologis. Kondisi klimatologi akan memberikan ciri atau indikator tertetentu ketika AMH terjadi, sehingga dapat ditetapkan definisi yang tepat. Sebagai ilustrasi, Departemen Meteorologi India menetapkan wilayah Kerala sebagai salah satu indikator awal datangnya AMH di seluruh India (Wang et al. 009). Apabila setelah 10 Mei tercatat curah hujan sebanyak 10 mm per jam dalam hari di lima stasiun pengamatan dari tujuh stasiun yang ada di Kerala maka dinyatakan sebagai AMH (Pai & Rajeevan 009). Sedangkan definisi AMH di wilayah Indonesia

27 11 didasarkan pada ketentuan yang dibuat oleh BMKG yaitu awal musim hujan ditandai dengan jumlah curah hujan dasarian telah lebih dari 50 mm dan diikuti minimal dua dasarian berikutnya, sebaliknya awal musim kemarau ditandai dengan jumlah curah hujan dasarian kurang dari 50 mm dan diikuti minimal dua dasarian berikutnya. Saat perhitungan awal musim hujan yang dilakukan BMKG biasanya setelah 1 September. Definifisi AMH dapat juga bergantung pada kondisi wilayah lokal untuk bidang pertanian. Untuk kepentingan sektor pertanian, AMH adalah informasi yang penting dalam penentuan waktu dan pola tanam. Definisi AMH yang digunakan pada bidang pertanian di Indonesia, apabila curah hujan setelah 1 Agustus tercatat > 0 mm dalam 5 hari berturut-turut tanpa diikuti 10 hari dry spell atau curah hujan < 5 mm dalam periode 10 hari (Moron et al. 008). Sedangkang wilayah Sahel Afrika mendefinisikan AMH dalam bidang pertanian yaitu apabila curah hujan setelah 15 Mei tercatat > 0 mm dalam hari berturut-turut tanpa diikuti 7 hari dry spell atau curah hujan < 5 mm dalam periode 0 hari (Marteu et al. 007). Perbedaan definisi AMH di tiap tempat disebabkan karena perbedaan posisi geografis yang berimplikasi pada pola umum atmosfer suatu wilayah. Sebagai contoh untuk wilayah tropis pola atmosfer dominan adalah Intertropical Convergence Zone (ITCZ) atau pias pumpun antar tropis akibat dari gerak periodik Matahari 3.5 o arah Utara dan Selatan. Wilayah yang di lewati ITCZ biasanya pada periode musim hujan dan sebaliknya. Kondisi tropis berbeda dengan yang terjadi di wilayah sub tropis hingga kutub (lintang tinggi), pada wilayah tersebut pola atmosfer yang berperan dan penting di perhatikan yaitu gelombang rossby (Graham et al. 010). Gelombang Rossby adalah angin yang mengelilingi bumi, bergerak dari Barat ke Timur dan biasanya mendorong kelembaban dari Samudra Atlantik. Dalam penjalaranya, gelombang ini berosilasi diantara lintang 30 o dan 60 o sehingga memiliki pengaruh dominan terhadap wilayah lintang tinggi. Selain itu, faktor yang membedakan definisi AMH adalah posisi lautan dan daratan yang berimplikasi pada pola umum atmosfer. Contoh dalam hal ini adalah perilaku monsun yang hanya terjadi disekitar perairan India dan pasifik serta benua Asia dan Australia.

28 1. Faktor Yang Mempengaruhi Awal Musim Monsun adalah salah satu fenomena iklim global menyebabkan pergerakan titik kulminasi matahari terhadap bumi yang bergerak utara selatan dan terciptanya kontras tekanan dan suhu antara benua dan samudera. Selain itu fenomena monsoon juga mengikuti pola garis pantai karena pada daerah tersebut terjadi pusat pusat konveksi dan juga diakibatkan oleh pola kontras antara benua dan samudera. Sehingga pergerakan daerah fenomena monsoon tidak murni bergerak arah utara selatan. Wilayah Jawa termasuk dalam pewilayahan monsun atau wilayah yang dicirikan dengan pola hujan tahunan satu puncak hujan dan satu puncak kemarau (Aldrian & Susanto 003). Hal ini mengakibatkan nilai kontras akumulasi hujan pada puncak musim hujan dan puncak kemarau. Sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BMKG, jika hujan diatas 150 mm, maka dikategorikan musim hujan, sebaliknya apabila curah hujan dibawah 150 mm per bulan akan disebut musim kemarau. Dengan memahami kejadian monsun maka dapat menduga terjadinya awal musim Indonesia Fenomena iklim global lainnya adalah ENSO, dampak dari fenomena ini dapat dirasakan secara global. Fenomena ini berhubungan berturut turut dengan fase hangat dan dingin di wilayah ekuator Pasifik. Secara normal terdapat kolam hangat (warm pool) di sebelah utara pulau Papua yang merupakan tempat berkumpulnya arus permukaan dari aliran sabuk dunia sebelum dihantar melalui arus lintas Indonesia (Arlindo) melalui wilayah benua maritim menuju samudera india. Kolam hangat ini juga tempat sirkulasi Walker dimana terjadi pengangkatan masa udara (convection center). Pada saat El Niño, terjadi perpindahan daerah wam pool menuju ke timur daerah ekuator Pasifik dan meninggalkan daerah di utara Papua. Dinamika fenomena laut tersebut tentunya akan menggangu kondis atmosfer di wilayah lainnya. Sel Walker menyebabkan telekoneksi atmosfer antara wilayah samudera India dan pasifik yang berpusat di wilayah warm pool sekitar Papua (Aldrian & Susanto.003). Pada kondisi normal, angin 850 mb atau angin lapisan bawah di perairan India-Pasifik pada periode JJA bertiup dari Timur (Gambar 5a). Kejadian ENSO menyebabkan pola angin di lapisan bawah pada periode bulan JJA di perairan India-Pasifik

29 13 menyimpang dari normalnya. Meningkatnya SML di pasifik tropis membuat arus angin berbalik atau terjadi putaran di Pasifik Tengah (Gambar 5b). Implikasinya untuk wilayah Pasifik Tengah-Timur akan terjadi banyak hujan akibat konvergensi efek dari putaran angin (pembalikan arah). Sedangkan Jawa atau Indonesia pada umumnya akan terjadi pengurangan curah hujan selanjutnya mengakibatkan awal masuk musim hujan akan mundur dari normalnya. Dengan demikian perlu memperhatikan sinyal kejadian ENSO sebagai faktor yang mempengaruhi AMH di Jawa. Sinyal tersebut yaitu fluktuasi SML periode JJA di wilayah pasifik equator sehingga kejadian AMH maju atau mundur dari normal di Jawa dapat di prediksi. a b Gambar 5 Pola angin 850 mb JJA Samudera India-Pasifik Saat (a) Normal dan (b)enso Selain faktor tahunan tersebut, pola iklim Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non tahunan seperti harian intra seasonal dan faktor inter tahunan. Untuk skala intra seasonal atau antara 30 sampai 90 hari, terdapat dominasi pengaruh pergerakan daerah konveksi dari samudera India ke arah timur. Pergerakan variabilitas intra seasonal ini membawa akibat daerah hujan yang tinggi pada daerah yang dilaluinya. Variabilitas atau osilasi intra seasonal ini dikenal dengan istilah Madden Julian Oscillation (MJO) sesuai nama pencetusnya (Madden & Julian 199). Untuk daerah benua maritim Indonesia, penjalaran gelombang ke timur gejala ini terjadi di samudera India dan peristiwa yang dimulai di laut akan berakibat pada

30 1 daerah hujan yang mana daerah hujan ini akan bergerak ke arah timur masuk di kepulauan Indonesia melalui propinsi Sumatera Barat dan terus bergerak ke Timur (Aldrian 008). Apabila peristiwa tersebut terjadi pada bulan musim hujan maka pergerakan akan lebih ke arah selatan mengikuti jalur Intertropical Convergence Zone (ITCZ) atau daerah konvergensi antar tropis yang sedang berada di bumi belahan selatan. Pola mengikuti jalur ITCZ dikarenakan ITCZ merupakan pusat konveksi yang menarik massa udara sekitar. Peristiwa penjalanan dengan gelombang ini terjadi dengan periode antara 30 sampai 90 hari atau periode seasonal dan intraseasonal sehingga gejala MJO ini dikenal juga dengan istilah gelombang intraseasonal. Pergerakan intraseasonal ini mengakibatkan variabilitas curah hujan sehingga terjadi waktu jeda basah (wet spell) atau waktu jeda kering (dry spell), implikasinya akan terjadi kehilangan hari bulan basah atau hari bulan kering antara 0 sampai 50 hari (Benjamin & Pierre 006). Kejadian tersebut tentunya akan berpotensi mempengaruhi AMH di wilayah Indonesia khususnya Jawa karena dasar perhitungan AMH adalah akumulasi curah hujan dalam sepuluh harian (dasarian). Dengan memahami kejadian MJO maka dapat dihindari menentukan awal musim palsu akibat dry spell atau wet spell..5 Perkembangan Model Prediksi AMH Hasil dari model iklim global biasanya diberikan sebagai input untuk model iklim regional dimana dinamika proses yang terjadi kembali dihitung dalam skala regional. Untuk model prediksi dibutuhkan model iklim laut dan atmosfir yang dijalankan sekaligus dimana terjadi umpan balik antara keduanya. Masing masing model tersebut tidak dapat jalan sendiri sendiri untuk prediksi karena masing masing saling membutuhkan untuk data di permukaan laut. Untuk model atmosfir global biasanya membutuhkan data SML, sedangkan untuk model iklim regional model atmosfir membutuhkan data di daerah batas domain di laut atau di atmosfir pada masing masing lapisan. Saat ini model AMH sudah banyak dikembangkan baik yang berdasar dinamika atmosfer, pemanfaatan data satelit maupun perhitungan statistik. Kajian data satelit dimanfaatkan untuk menduga anomali curah hujan dalam periode

31 15 masa transisi (Maret-Juni) sehingga akan di ketahui sebaran pola hujan spasial untuk wilayah Indonesia (As-syakur & Prasetia 010). Kajian tersebut dapat dijadikan indikasi awal pertimbangan perkembangan fenomena iklim global untuk kepentingan menduga AMH. Dalam teknk perhitungan statistik (Hamada et al. 00) melakukan analisa terjadinya AMH di Indonesia kaitannya dengan kejadian ENSO. Model prediksi AMH dengan teknik statistik namun menggunakan data prediktor SML telah banyak dikembangkan. BoM Australia mengidentifikasi wilayah prediktor SML potensial sebagai prediktor sebelum diaplikasikan dengan teknik statistik (Fiona lo et al. 008). Demikian juga dengan India Meteorological Departemen (IMD) telah melakukan dengan teknik yang serupa dan bahkan telah dioperasionalkan (Rajeevan 009). Selain teknik tersebut, (Moron & Robertson. 009) juga telah mengembangkan suatu metoda menduga awal terjadinya mosun dengan teknik pemanfaatan data satelit untuk wilayah India. Pengembangan model iklim atmosfir dan laut berbasis data satelit untuk Indonesia relatif masih baru. Keterbatasaan sumber daya manusia dan komputer untuk kajian ini merupakan hambatan tersendiri. Untuk kebutuhan data pada wilayah yang luas, Indonesia membutuhkan pengamatan iklim terpadu sehingga mencakup seluruh wilayah teritorialnya. BMKG masih memanfaatkan data hujan yang ada untuk operasional utama prediksi AMH. Model dengan teknik statistik dalam hal ini ARIMA masih menjadi tumpuan produk informasi awal musim. Kompleksitas masalah lingkungan dan iklim di Indonesia akhir akhir ini menambah persoalan tentang akurasinya. Hal itu mendorong institusi ini mencari teknik dan metode yang tepat dalam mengembangkan model prediksi iklim. Saat ini model prediksi iklim berbasis satelit sedang dikembangkan oleh BMKG sehingga diharapkan dapat menghasilkan produk informasi iklim yang lebih handal..6 Potensi Aplikasi Prediksi AMH Iklim merupakan komponen ekosistem sekaligus faktor alam penting yang sangat dinamik dan sulit dikendalikan. Karena sifat iklim yang dinamis dan beragam diperlukan suatu pemahaman yang lebih akurat teradap karakteristik iklim melalui

32 16 analisis dan interpretasi informasi iklim sehingga lebih berdaya guna dalam bidang pertanian. Pendekatan yang paling efektif untuk memanfaatkan sumber daya iklim adalah menyesuaikan sistem usaha tani termasuk paket teknologinya dengan kondisi iklim setempat. Penyesuaian tersebut harus didasarkan pada pemahaman terhadap karakteristik dan sifat iklim secara baik melalui analisis dan interpretasi informasi iklim. Berbagai proses fisiologi, pertumbuhan dan produksi tanaman sangat dipengaruhi oleh unsur iklim, yaitu keadaan atmosfer dari saat ke saat selama umur tanaman, ketersediaan air sangat ditentukan oleh curah hujan dalam periode waktu tertentu. Demikian juga, pertumbuhan dan produksi tanaman merupakan manivestasi akumulatif dari seluruh proses fisiologi selama fase atau periode pertumbuhan tertentu oleh sebab itu dalam pengertian yang lebih teknis dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan dan produksi tanaman dipengaruhi oleh berbagai unsur iklim selama pertumbuhan tanaman. Sehingga kondisi iklim yang tidak menentu dapat menjadi faktor pembatas produksi pertanian. Secara teknis dalam budidaya tanaman, hampir semua unsur iklim berpengaruh terhadap produksi dan pengelolaan tanaman. Namun tiap unsur iklim mempunyai pengaruh dan peran yang berbeda teradap berbagai aspek dalam budidaya tanaman. Dalam perencanaan kegiatan operasional pertanian seperti perencanaan pola tanam, pengairan, pemupukan, pengendalian hama terpadu dan panen membutuhkan informasi prediksi awal musim hujan (AMH). Tingkat keakuratan prediksi AMH sangat membantu petani mengurangi resiko gagal panen, sehingga diperlukan model prediksi yang handal. Ini dapat dilakukan melalui pengembangan sistem analisis dan teknik prediksi AMH yang lebih kuantitatif dengan model statistik dan dinamik. Dengan memanfaatkan informasi iklim merupakan poin penting yang akan memberikan jalan petani dalam mencapai target produksi serta meningkatkan derajat petani (Ikrom & Gary 008).

33 17 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di laboratorium Klimatologi, CCROM. Seluruh rangkaian kegiatan penelitian dilaksanakan meliputi studi pustaka atau literatur, pengumpulan data penelitian, pengolahan data dan perbaikan hasil penelitian. 3. Data Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data hujan dasarian dan data Suhu Muka laut (SML). Wilayah penelitian meliputi seluruh kabupaten di Jawa yang diwakili oleh beberapa pos pencatat data hujan didalamnya. Dari catatan data hujan harian, selanjutnya disusun akumulasi curah hujan sepuluh harian (dasarian) dengan periode data Sebaran data hujan di Jawa terdiri dari 188 pos hujan mulai dari Propinsi Banten hingga Pulau Madura (Gambar 5). Tingkat kelengkapan data selama 30 tahun di tiap pos hujan bervariasi, namun pada umumnya untuk wilayah Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah relatif lengkap. Sedangkan wilayah Jawa Timur terdapat beberapa pos hujan mulai tidak ada data. Untuk mengatasi kekosongan data tersebut dilakukan rataan untuk data curah hujan tahun yang ada kemudian dipakai untuk mengisi tahun yang kosong. Berdasarkan akumulasi curah hujan dasarian maka ditentukan terjadinya Awal Musim Hujan (AMH) dengan menggunakan kriteria yang telah di lakukkan BMKG. Hasil yang di dapatkan yaitu informasi kejadian AMH di tiap titik selama periode 30 tahun (Lampiran 1). Tiap titik pos pengamatan berisi informasi posisi stasiun (Lampiran ) dan catatan curah hujan harian. Langkah selanjutnya data ini akan di kelompokkan menurut kejadian AMH yang mirip sehingga didapatkan zona musim (ZOM) di Jawa. ZOM merupakan gambaran satu atau beberapa wilayah kabupaten yang mempunyai kejadian AMH serupa, namun ZOM bukan mewakili wilayah administrasi. Dalam satu ZOM dapat terdiri dari satu atau beberapa pos pencatat hujan didalamnya sehingga ZOM yang dipakai merupakan nilai AMH rataan dari

34 18 beberapa pos hujan. Nilai rataan inilah yang selanjutnya akan di pakai untuk mencari hubungan dengan SML dan sebagai prediktan dalam menyusun model prediksi AMH di Jawa Gambar 6. Sebaran Data AMH di Jawa Data sekunder lainnya yaitu anomali Suhu Muka Laut (SML) periode Juni, Juli, Agustus (JJA) didapat dari institusi Japan Meteorological Agency (JMA) Panjang data series selama 30 tahun dengan periode tahun Batasan wilayah sebaran data SML yang dipakai adalah 15 LU-15 LS dan 80 BT-100 BB dengan resolusi grid sebesar X (Gambar 6). Tiap grid berisi informasi rataan anomali SML bulan JJA selama 30 tahun. Selanjutnya data SML tersebut di korelasikan dengan data AMH di tiap ZOM. Gambar 7. Sebaran Data Grid Anomali SML Wilayah Penelitian

35 Prosedur Pengolahan Data Bagan alir penyusunan model prediksi awal musim hujan di sajikan dalam (Gambar 7), Metode penyusunan model dapat di jelaskan sebagai berikut : Data AMH Stasiun wilayah Jawa Periode Data SML spasial Wilayah Global Periode Kelompokan sta yang memiliki kemiripan AMH dengan cluster Analisis Korelasi Spasial Anomali SML vs AMH tiap kelompok Daftar pengelompokan hasil cluster Tentukan domain SML yang berkorelasi tinggi tiap kelompok AMH Rata-rata AMH berdasarkan daftar kelompok Pilih/ekstrak data prediktor (Anomali SML) sesuai dengan Domain terpilih Reduksi Data Anomali SML Susun Pers. Hubungan antara PC anomali SML pada domain terpilih vs AMH tiap kelompok stasiun Uji Kelayakan Model dengan Validasi Silang Gunakan model untuk memprediksi AMH tahun 008 Verifikasi Model Evaluasi Skill Model AMH dengan ROC PETA SKILL AMH Gambar 8. Diagram alir penyusunan model prediksi AMH

36 0 3. Analisis Cluster Analisis cluster merupakan teknik multivariat yang mempunyai tujuan utama untuk mengelompokkan beberapa objek berdasarkan karakteristik yang dimilikinya. Analisis cluster mengklasifikasi objek sehingga setiap objek yang paling dekat kesamaannya dengan objek lain berada dalam kelompok yang sama. Kelompok yang terbentuk memiliki homogenitas internal yang tinggi dan heterogenitas eksternal yang tinggi. Banyaknya cluster ditentukan dengan plot jarak antar data sebagai fungsi dari jumlah cluster. Bila terjadi lompatan signifikan jarak antar data maka dapat di tetapkan sebagai referensi jumlah cluster. Metode pemecahan dimulai dari satu kelompok besar yang mengandung seluruh observasi, selanjutnya observasi yang paling tidak sama dipisah dan dibentuk kelompok yang lebih kecil. Proses ini dilakukan hingga tiap observasi menjadi beberapa kelompok kecil (objek). Kesamaan antar objek merupakan ukuran korespodensi antar objek. Teknik untuk mengukur jarak dalam metode ini yaitu metode ward s, dengan menghitung jumlah kuadrat antara dua kelompok untuk seluruh variabel, formulasinya adalah : W = G n g g = 1 i= 1 x i x Dimana ; W : Jarak G : Kelompok Besar g : Objek (kelompok kecil) 3.5 Menghitung PCA (Principal Componen Analysis) PCA telah mulai dilakukan oleh Pearson (1901) dan kemudian dikembangkan oleh Hotelling (1933). Aplikasi dari PCA didiskusikan oleh Rao (196), Cooley dan Lohnes (1971), dan Gnanadesikan (1977). Perlakuan statistik yang menakjubkan dengan PCA ditemukan oleh Kshirsagar (197), Morrison (1976), dan Mardia, Kent, dan Bibby (1979). Tujuan utama metode PCA adalah mereduksi sejumlah data

37 1 dengan variasi yang besar ke dalam bentuk variabel baru. Data yang dihitung dalam PCA merupakan anomali yaitu dengan mengurangi tiap variable dengan rata-ratanya. = k x k x x x x x x x x ' Variabel baru u m x' e u T m m = menunjukan jumlah maksimum variasi dengan sebelumnya menghitung eigenvector. Sehingga komponen utama dapat dihitung dengan formula : Elemen eigen vector adalah bobot a ij dan biasanya disebut sebagai loading. Elemen diagonal matrik S y, varian-covarian matrik komponen utama atau sering disebut eigen values. Eigen value adalah variasi yang dijelaskan oleh komponen utama. Posisi data awal observasi pada sistim koordinat baru komponen utama disebut skor dan dihitung sebagai kombinasi linier antara data awal (asli) dan nilai bobot a ij. Sebagai contoh, bila skor untuk r th sample pada k th kp kp k k k k kr x a x a x a Y = 1 1 komponen utama maka dapat di hitung dengan : 3.6 Analisis Korelasi Dengan memperhatikan korelasi antara komponen satuan grid SML dan PC-1 AMH selanjutnya dapat dianalisis keeratan hubungan antara AMH dan SML di suatu wilayah (15 S 15 N; 80 E- 100 W). Nilai korelasi tiap grid di petakan, sehingga dapat diketahui pola keeratan hubungan kedua variabel. Tingkat hubungan SML dan AMH di satu grid dinyatakan dengan formulasi : = = = = = = = = n t n t j j i j j i n t n t t t n t n t t j i n t t t j i t Y Y X X Y X Y X n n n r 1 1,,,, ,, 1,, ) (

38 Dimana : r = besarnya korelasi antara AMH dengan SST X t = AMH bulan ke t Y i,j,t = Rata-rata SML pada lintang ke (i) bujur ke (j), bulan ke t n = Banyaknya bulan r = Nilai korelasi pada rentang -1 r 1 Analisis korelasi, di gunakan untuk menentukan keeratan hubungan antara AMH tiap kelompok dan wilayah grid SML yang ditandai dengan nilai korelasi signifikan (-0.5 r 0.5). Nilai korelasi signifikan dari tiap grid akan membentuk suatu pola spasial, kemudian di ambil sebagai domain prediktor untuk menyusun model prediksi AMH di Jawa. Dalam mempetakan hubungan korelasi spasial antara SML dan AMH di Jawa digunakan software Interactive Tool for Analysis of Climate System (ITACS) yang di dikembangkan oleh Japan Meteorological Administration (JMA) tahun 008. Peta korelasi spasial ini menunjukan korelasi lokasi spesifik antara series data kelompok AMH di Jawa dan tiap grid wilayah SML. Korelasi AMH tiap kelompok di Jawa dengan wilayah SML Perairan India, Indonesia dan Pasifik mengindikasikan wilayah SML potensial menjadi prediktor model AMH. Ketiga perairan tersebut merupakan lokasi dimana kejadian fenomena iklim regional dan global serta berasosiasi dengan kondisi iklim wilayah Jawa. Kesimpulan tersebut menguatkan alasan teknik korelasi yang digunakan dalam penelitian ini untuk menentukan prediktor. 3.7 Principal Componen Regression (PCR) Model regresi statistik dalam prosesnya adalah mengolah data histori dan mengidentifikasi hubungan sebab akibat. Dalam menyusun model prediksi penelitian ini, digunakan teknik analisis Principal Component Regression (PCR) dengan variable bebas sebagai prediktor adalah SML pada suatu wilayah grid dan variable tak bebas sebagai prediktan adalah AMH di Jawa. Metoda Principal Component Regression (PCR) merupakan teknik analisis multivariat yang dilakukan dengan

39 3 terlebih dahulu mereduksi komponen data awal dengan teknik Principal Component Analysis (PCA) dilanjutkan dengan teknik analisis regresi antara komponen utama yang baru (PC 1,PC...PC n ) terhadap respon (Prediktan). PCR secara khas digunakan untuk model regresi linier, dimana jumlah variabel bebas (prediktor) adalah sangat banyak. Metoda ini telah dioperasionalkan untuk prediksi musim hujan oleh India Meteorological Departement (Rajeevan 009). Selain itu dengan teknik PCR ini juga diaplikasikan untuk model penentu datangnya monsun untuk wilayah Kerala India dengan performa yang baik (Pai & Rejeevan 009). Prediktor model PCR dalam model AMH di Jawa, menggunakan komponen utama (PC) hasil reduksi SML pada suatu domain terpilih. Prosedur model yang diduga dari nilai PC 1, PC,.PC n, ditunjukkan sebagai berikut : Yˆ = b + b Z + b Z + b Z b Z n n + Dimana : Y : Respon (data AMH/LMH tiap stasiun) b 0 : Nilai intersepsi b 1 : Koefisien regressi Z : Komponen utama (PC) e : Nilai Error Untuk menilai model regresi yang dihasilkan merupakan model yang paling sesuai (memiliki error terkecil), ditetapkan beberapa asumsi kenormalan. e (9) 3.8 Analisis Validasi Silang (Cross validation) Validasi model pada dasarnya merupakan cara untuk menyimpulkan apakah model sistem tersebut di atas merupakan perwakilan yang valid dari realitas yang dikaji sehingga dapat dihasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Validasi merupakan proses iteratif yang berupa pengujian berturut-turut sebagai proses penyempurnaan model. Teknik validasi silang pada dasarnya membagi data sebagai data training dan data testing secara berurutan dan terus menerus Efron, 198; Gong, 1983 dan Michaelson, 1987 (Wilks 1995). Model prakiraan awal musim hujan dengan data periode , di validasi dengan validasi silang untuk menguji stabilitas model

40 tersusun. Leave One Out Cross Validation (LOOCV) yaitu teknik validasi dengan mengeluarkan satu data untuk testing dari kumpulan data training (n-1), selanjutnya menghitung nilai Root Mean Square Error (RMSE). Hal tersebut dilakukan berurutan dan seterusnya sehingga setiap satu data prediktan teruji sebagai data testing (independen data) dan menghasilkan sejumlah (n) nilai RMSE, dihitung menggunakan persamaan : 1 n RMSE = ( Y Y n j= 1 oi pi ) Dimana : Y oi = Observasi pada periode ke-i (i=1,,..., n) Y pi = Hasil prakiraan pada periode ke-i (i=1,,..., n) n = Panjang periode prakiraan Semakin kecil nilai RMSE mengindikasikan model memiliki tingkat kesalahan prediksi (error) yang kecil. Nilai RMSE rata-rata seluruh hasil testing validasi menggunakan persamaan berikut : Dimana : RMSE rata-rata RMSE rata-rata RMSE ke-j RMSE ke-j j,k n 1 = RMSE j j RMSE = Rata-rata RMSE validasi = Testing ke-j dengan data training (n- data ke-j) = Testing ke-k dengan data training (n- data ke-k) = urutan data ke- = Jumlah seluruh data k 3.9 Verifikasi Langkah verifikasi yaitu dengan memasukkan prediktor ke dalam model untuk tahun data yang tidak dilibatkan dalam training. Prediktor verifikasi model AMH adalah hasil reduksi anomali SML bulan JJA tahun 008 di domain terpilih. Tingkat akurasi model dalam memprakirakan awal musim hujan Tahun 008 ditentukan dengan menilai tingkat kesalahan prediksi terhadap observasi (error) di tiap cluster.

41 5 Sehingga dengan verifikasi model merupakan perwakilan yang benar dari suatu fakta di lapangan (observasi). Alasan penting suatu model perlu di verifikasi, adalah : Memonitor kualitas prediksi, seberapa akurat model prediksi dan kaitanya dengan waktu kedepan. Meningkatkan kualitas prediksi, sebagai langkah lanjutan dalam menemukan kesalahan hasil prediksi. Membandingkan kualitas prediksi dari model lainnya Evaluasi Karena hasil prediksi AMH mengandung elemen yang mengikut sertakan faktor kemungkinan, maka digunakan simulasi Monte Carlo. Dasar dari simulasi Monte Carlo adalah percobaan elemen kemungkinan dengan menggunakan sampel random (acak). Prinsip kerja simulasi Monte Carlo yaitu membangkitkan angka acak atau sampel dari suatu variabel yang telah diketahui distribusinya. Oleh karena itu, dengan simulasi seolah-olah data diperoleh dari pengamatan. Simulasi ini merupakan alat rekayasa untuk menyelesaikan berbagai persoalan ketidapastian. Simulasi tidak memberikan hasil yang eksak namun dalam bentuk peluang kejadian suatu persoalan. Tujuan digunakan teknik peluang pada penelitian ini adalah mengetahui besarnya kemungkinan AMH pada kondisi kejadian maju atau mundur dari normalnya. Untuk mengetahui skill prediksi model, uji kehandalan model prediksi menggunakan metode Relative Operating Characteristics (ROC) yang disusun dengan melakukan simulasi hasil prediksi berdasarkan kejadian AMH bawah normal dan atas normal. Selanjutnya memplot nilai False Alarm Rate dan Hit Rate dari tabel kontigensi. Formulasi umum yang digunakan dalam mencari nilai sebagai dasar penyusunan table kontigensi adalah sebagai berikut : Hit _ Rate = hits hits + misses false _ alarms False _ Alarm _ Rate = correct _ negatives + false _ alarms

42 6 Bias = Dimana : hit miss hits + false _ alarms hits + misses : adalah jika prediksi peristiwa terjadi dan terjadi : adalah jika prediksi peristiwa tidak terjadi tetapi terjadi false alarm : adalah jika prediksi peristiwa terjadi tetapi tidak terjadi correct negative : adalah jika prediksi peristiwa tidak terjadi dan tidak terjadi Analisis skill prediksi ditinjau pada kemampuan model prediksi saat AMH maju dari normal atau prediksi saat AMH mundur dari normal. Skill prediksi model AMH dinyatakan dalam persentase ditandai dengan garis skill pada kurva. Bila garis skill berhimpit dengan garis non skill artinya model tak ada skill sedangkan bila garis kurva diatas garis non skill artinya skill positif (handal). Garis kurva dibawah garis non skill artinya skill negatif (tidak handal). Tingkat kehandalan model artinya skor skill yang didapatkan dari luas areal di bawah garis kurva. Sebagai contoh, jumlah blok di bawah garis kurva skill (gambar 8) sebanyak 18.5 kotak sehingga 18.5/5 = 0.7, maka skill prediksi sebesar 7 %. Garis Skill Garis Non Skill Gambar 9. Kurva Skill Prediksi Hasil ROC Dalam evaluasi model prediksi ada beberapa istilah yang sering dipakai sebagai acuan ukuran yaitu :

43 7 Kehandalan: adalah tingkat kesesuaian atau kemiripan rata-rata antara hasil prediksi dengan observasi. Skill : adalah ketepatan relatif suatu model prediksi terhadap refrensi. Referensi umumnya prakiraan yang tidak memiliki skill (unskill forecast) misalnya peluang acak atau klimatologi. Jadi skill dapat dikatakan sebagai peningkatan ketepatan (acuracy) prakiraan karena membaiknya sistem prakiraan tersebut. Bias : adalah penyimpangan antara nilai rata-rata prediksi dengan nilai ratarata observasi Error : adalah penyimpangan antara data hasil prediksi dan data observasi

44 8. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Pengelompokan Zona Musim (ZOM) Pengelompokkan wilayah Jawa berdasarkan kemiripan pola Awal Musim Hujan (AMH) dengan analisis cluster sehingga terklasifikasi setiap objek wilayah yang paling dekat kesamaan karakter AMH dengan objek wilayah lain akan berada dalam ZOM yang sama. (Gambar 9) menunjukkan lompatan signifikan jarak terjadi pada saat jumlah cluster 30, sehingga pola AMH wilayah Jawa ditetapkan terbagi dalam 30 ZOM. Gambar 10. Grafik jumlah cluster terhadap jarak antar data Peta kelompok wilayah AMH Jawa yang mempunyai kemiripan karakter datangnya musim hujan di tampilkan pada (Gambar 10). Hasil tersebut menggambarkan bahwa untuk pengelompokan berdasarkan dengan kemiripan AMH, pulau Jawa terbagi menjadi 30 ZOM. Daftar wilayah kabupaten tiap kelompok di tampilkan pada (lampiran 3). Dalam tujuan yang sama, BMKG mengelompokan ZOM wilayah Jawa berdasarkan kemiripan pola curah hujan. Pengelompokan yang dilakukan berdasarkan kemiripan pola curah hujan menghasilkan 9 ZOM di Jawa. Apabila dibandingkan dengan ZOM yang dihasilkan BMKG, maka perbedaan hasil

45 9 pengelompokan tersebut bukanlah hal yang mendasar. Dari 9 ZOM yang dihasilkan dari kemiripan pola curah hujan, bisa saja beberapa ZOM sudah diwakili oleh satu ZOM yang berdasarkan dengan kemiripan datangnya AMH. Namun ternyata ada keuntungan dengan membagi Jawa menjadi 30 ZOM, yaitu semakin sedikit ZOM tentunya akan sedikit pula model prediksi AMH di Jawa sehingga memudahkan dalam operasional. Dalam satu ZOM dapat terdiri dari satu atau beberapa wilayah administrasi kabupaten, sehingga batas wilayah ZOM tidak sama dengan batas wilayah administrasi pemerintahan kabupaten. Namun untuk memudahkan dalam analisis, wilayah kabupaten digunakan sebagai acuan wilayah pembahasan terkait Prediksi AMH di Jawa. ZOM Gambar 11. Peta Zona Musim Pulau Jawa Berdasarkan Kemiripan AMH. Normal AMH di Jawa Variabel AMH periode di Jawa yang terbagi menjadi 30 ZOM, selanjutnya dirata-rata untuk mengetahui normal AMH. Hasil rataan variabel tiap ZOM menggambarkan karakteristik kejadian normal AMH untuk beberapa wilayah didalam satu ZOM. Dengan demikian model prediksi yang akan disusun bukan

46 30 mewakili titik pos pengamatan melainkan wilayah yang terdiri dari beberapa pos dengan kemiripan karakteristik AMH. Gambar 1. Peta Normal AMH di Jawa Biasanya AMH di Jawa di tandai dengan kejadian monsun Asia, hal itu menyebabkan sirkulasi angin bergerak dari arah Barat-Barat Laut (Baratan). Sejalan dengan itu, kejadian AMH di Jawa umumnya terjadi lebih dahulu di wilayah Jawa bagian Barat selanjutnya merambat ke wilayah Jawa bagian Timur. (Gambar 11) menunjukkan peta normal AMH di Jawa, secara umum kejadian AMH dimulai dari Banten yaitu Nopember I sampai November II dengan deviasi standar 19 hari. Selanjutnya Jawa Barat mulai dari Nopember II hingga Nopember III dengan deviasi standar hari kecuali wilayah Bandung dan Sukabumi yang masuk pada Oktober III. Dibandingkan wilayah lainnya di Jawa Barat, kedua wilayah tersebut tampak memiliki normal AMH lebih maju. Hal itu bisa saja terjadi karena faktor topografi sehingga akumulasi hujan orografi lebih sering terjadi saat masa peralihan (transisi) monsun. Untuk Jawa Tengah, AMH normal terjadi pada Nopember II hingga Desember I dengan deviasi standar 15 hari kecuali wilayah pantura yang masuk pada Desember II. Normal AMH Jawa Timur masuk pada Desember I hingga Desember

47 31 III dengan deviasi standar 1 hari. Berdasarkan penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa pengaruh utama AMH di Jawa adalah sirkulasi monsun, indikasinya adalah pola normal AMH sejalan dengan pola sirkulasi monsun. Nilai AMH tiap ZOM selanjutnya dikorelasikan dengan SML untuk mencari pola hubungan dengan kondisi SML global. Dalam penyusunan model prediksi, nilai normal AMH tiap ZOM dijadikan variabel tak bebas (prediktan)..3 Korelasi AMH dengan Anomali SML Hasil korelasi (r) antara anomali SML rataan bulan Juni,Juli, Agustus (JJA) dengan Awal Musim Hujan (AMH) periode di 30 ZOM di Jawa menghasilkan tiga pola utama. Gambar 13. Peta Korelasi ZOM vs Anomali SML Pola-1 Pola-1 menunjukkan korelasi signifikan (r 0.5) terkonsentrasi pada wilayah perairan Barat Sumatera dan Pasifik di dihasilkan oleh ZOM yaitu: ZOM 1, ZOM 10, ZOM 16, ZOM 1. Penentuan pola-1 didasarkan pada kemiripan peta spasial nilai korelasi signifikan di tiap ZOM. Selanjutnya diambil batasan wilayah korelasi signifikan tiap ZOM itu untuk digabungkan kedalam satu peta. Hasil penggabungan adalah kumpulan lokasi SML yang berkorelasi signifikan beberapa ZOM. Kemudian ditentukan batas maksimum dari pola spasial tersebut untuk ditetapkan sebagai domain prediktor (Gambar 1). Pola-1 menjelaskan hubungan korelasi positif antara AMH di ZOM wilayah Jawa dengan perairan yang mempunyai karakteristik IOD (perairan Barat Sumatera) dan ENSO (perairan Pasifik). Apabila terjadi anomali SML positif pada Perairan Barat Sumatera dan Pasifik maka AMH di ZOM Jawa akan

48 3 mengalami mundur dari normalnya. Uraian diatas menjelaskan, perairan Barat Sumatera dan Pasifik mempunyai kontribusi signifikan terhadap kejadian AMH di ZOM pulau Jawa. Gambar 1 Peta Korelasi ZOM vs Anomali SML Pola- Pola kedua menunjukkan korelasi signifikan terkonsentrasi pada wilayah perairan Pasifik dan wilayah Perairan Indonesia (-0.5 R +0.5) dihasilkan oleh 18 ZOM, yaitu: ZOM, ZOM 3, ZOM, ZOM 5, ZOM 6, ZOM 7, ZOM 9, ZOM 11, ZOM 17, ZOM 18, ZOM 19, ZOM 0, ZOM, ZOM 3, ZOM, ZOM 6, ZOM 7, ZOM 9. Selanjutnya di lakukan langkah yang sama dengan pola-1 untuk menentukan batasan domain prediktor pola- berdasarkan gabungan lokasi peta korelasi spasial tiap ZOM pola-. Pola tersebut menjelaskan hubungan korelasi positif antara AMH di 18 kelompok wilayah Jawa dengan perairan yang mempunyai karakteristik ENSO (perairan Pasifik). Selain itu korelasi negatif dijelaskan oleh AMH di 18 ZOM yang sama dengan perairan yang mencirikan karakteristik iklim laut lokal. Apabila terjadi anomali SML positif pada perairan Pasifik maka 18 ZOM di Jawa akan mengalami AMH mundur dari normalnya. Sebaliknya, bila anomali SML perairan Indonesia terjadi anomali positif maka 18 ZOM di Jawa akan mengalami AMH maju dari normalnya. Berdasarkan penjelasan diatas, maka perairan Pasifik dan Laut Indonesia mempunyai kontribusi signifikan terhadap kejadian AMH di 18 ZOM di Jawa. Pengaruh yang di berikan oleh dua fenomena iklim laut tersebut tidak terjadi secara parsial tapi secara bersamaan sehingga tidak mudah menentukan pengaruh yang paling dominan.

49 33 Gambar 15 Peta Korelasi ZOM vs Anomali SML Pola-3 Pola ketiga menunjukkan korelasi signifikan terkonsentrasi pada perairan wilayah Indonesia (R -0.5) dihasilkan oleh ZOM 1, ZOM 1, ZOM 15, ZOM 5, ZOM 8, ZOM 30. Dengan teknik yang sama dengan pola sebelumnya ditentukan batasan domain prediktor pola-3 berdasarkan gabungan lokasi peta korelasi spasial tiap ZOM pola-3 (Gambar 1). Pola tersebut menjelaskan hubungan korelasi negatif antara AMH di 6 kelompok wilayah Jawa dengan perairan yang mencirikan karakteristik iklim laut lokal. Apabila SML perairan Indonesia mengalami anomali positif maka 6 kelompok wilayah Jawa akan mengalami AMH maju dari normalnya. Sedangkan ZOM 8 dan ZOM 13 tidak mempunyai pola yang jelas, namun dua ZOM tersebut dianggap sebagai pola ke- dalam penyusunan model prediksi. Hal itu dilakukan karena pola ke- merupakan kombinasi kejadian dua fenomena iklim laut global dan regional. Sehingga diharapkan pengaruh dua fenomena iklim laut dapat memberikan kontribusi terhadap wilayah ZOM 8 dan ZOM 13. Hasil peta korelasi antara anomali SML periode bulan JJA dengan AMH tiap ZOM periode dapat di lihat pada (lampiran ).. Pola hubungan SML dengan ZOM di Jawa Korelasi spasial AMH di tiap ZOM dengan SML global, didapatkan 30 pola hubungan. Masing-masing pola memuat informasi lokasi SML yang berkorelasi signifikan dengan kejadian AMH. Berdasarkan analisis visual pola yang terbentuk memiliki hubungan spesifik dengan tiga lokasi SML global, yaitu perairan Barat Sumatera, Pasifik dan Laut Indonesia. Merujuk hasil analisis korelasi spasial pada sub bab sebelumnya bahwa hubungan tiga lokasi SML dengan AMH tiap ZOM

50 3 memilki tiga pola Utama. Penentuan pola didasarkan pada kemiripan peta spasial nilai korelasi signifikan. Selanjutnya ditentukan batasan lokasi SML yang berkorelasi signifikan dengan tiap ZOM itu untuk digabungkan kedalam satu peta. Hasil penggabungan adalah kumpulan kemiripan pola lokasi SML yang berkorelasi signifikan dengan AMH di tiap ZOM. Pola-1 terdiri dari ZOM yang serupa, Pola- terdiri dari 18 ZOM yang serupa dan Pola-3 terdiri dari 6 ZOM yang serupa. Bila ZOM di Jawa yang termasuk dalam satu pola sama dipetakan maka didapatkan suatu zonasi wilayah berdasarkan kemiripan pola hubungan AMH dengan tiga lokasi spesifik SML global (Gambar 15). Gambar 16. Peta Wilayah Berdasarkan Kemiripan Pola Korelasi Berdasarkkan peta kemiripan pola korelasi, dapat diidentifikasi wilayah ZOM di Jawa yang sensitif terhadap pengaruh tiga lokasi spesifik SML global. Pola-1 menunjukkan wilayah Karawang dan Jawa Tengah bagian Utara sensitif terhadap perubahan SML di Barat Sumatera dan Pasifik. Hal itu dapat dijelaskan bila terjadi IOD aktif dan ENSO aktif maka AMH wilayah Karawang dan Jawa Tengah bagian Utara berpotensi mundur dari normalnya. Kondisi tersebut karena posisi geografis Jawa Tengah bagian Utara adalah termasuk wilayah pesisir Utara sehingga iklim laut

51 35 global mempengaruhi wilayah tersebut. Pola- menunjukkan wilayah Banten, Jawa Barat bagian Utara, Jawa Tengah bagian Selatan dan Jawa Timur bagian Barat sensitif terhadap perubahan SML di perairan Indonesia dan Pasifik. Hal itu dapat dijelaskan bila SML Indonesia meningkat maka AMH di Banten, Jawa Barat bagian Utara, Jawa Tengah bagian Selatan dan Jawa Timur bagian Barat berpotensi Maju dari normalnya. Sebaliknya bila ENSO aktif maka AMH di Banten, Jawa Barat bagian Utara, Jawa Tengah bagian Selatan dan Jawa Timur bagian Barat berpotensi berpotensi mundur dari normalnya. Kondis tersebut menjelaskan bahwa kondis SML Indonesia dan Pasifik memiliki peranan penting terhadap lokasi di 18 ZOM Jawa. Pola-3 menjelaskan wilayah Jawa Barat bagian Selatan dan Jawa Timur bagian Timur sensitif terhadap perubahan SML di perairan Indonesia. Bila terjadi peningkatan SML Indonesia maka AMH Jawa Barat bagian Selatan dan Jawa Timur bagian Timur berpotensi maju dari normalnya. Secara umum, perairan Indonesia dan Pasifik mempunyai peranan yang tidak dapat di abaikan dalam kejadian AMH di sebagian besar wilayah Jawa. Dalam kajian ini tidak diketahui besarnya pengaruh tiap lokasi SML karena pengaruh yang diberikan tidak bersifat individu melainkan bersamaan..5 Domain Prediktor SML Berdasarkan hasil analisa peta korelasi antara anomali SML periode bulan JJA dengan AMH periode di ketiga pola hubungan maka diperoleh domain prediktor. Domain prediktor di tentukan pada pola hubungan yang nyata dengan membuat batas luasan wilayah yang memiliki nilai korelasi signifikan (-0.5 R +0.5). Analisis peta korelasi pada pola-1, pola- dan pola-3 menghasilkan batasan wilayah prediktor (domain prediktor) terpilih dapat dilihat pada (Tabel 1). Untuk kelompok yang hubungannya tidak tampak jelas, dimasukan pada domain prediktor pola-. Domain prediktor menggambarkan luasan maksimum wilayah SML di lokasi perairan hasil penggabungan kemiripan pola korelasi spasial. Implikasinya adalah domain akan berbentuk persegi sehingga dimungkan akan tercampur dengan sejumlah grid yang nilai korelasinya tidak signifikan. Hal itu akan teratasi saat mereduksi seluruh komponen grid SML hasil ekstraksi sehingga didapatkan variabel

52 36 yang dominan. Domain yang di hasilkan berdasarkan peta spasial menggambarkan tiga domain utama. Domain pertama terletak di perairan Barat Sumatera dan mencirikan karakteristik fenomena IOD. Domain kedua terletak di perairan Pasifik Tengah-Timur, mencirikan karakteristik fenomena ENSO. Domain ketiga terletak di Selatan Jawa mencirikan aktifitas laut Indonesia (lokal). Wilayah domain adalah batasan dalam bentuk empat persegi dari kumpulan tiap kelompok sehingga menggambarkan luasan pola korelasi gabungan dalam satu kelompok yang sama. Dalam penyusunan model prediksi AMH, domain prediktor merupakan kombinasi dari ketiga wilayah terpilih. Urutan kombinasinya bergantung dari pola umum hubungan korelasi AMH Jawa dan SML. Pola-1 adalah kombinasi wilayah Perairan Barat Sumatera (IOD) dan Perairan Pasifik Tengah-Timur (ENSO). Pola- adalah kombinasi Perairan Pasifik (ENSO) dan Perairan Selatan Jawa (aktifitas laut lokal). Pola-3 adalah perairan Selatan Jawa (aktifitas laut lokal). Dengan menetapkan domain pada tiap pola hubungan maka tiap ZOM yang masuk pada pola itu memiliki prediktor yang sama saat menyusun model prediksi AMH. Pola Korelasi ZOM vs SML Tabel.1 Domain prediktor Lintang (⁰) Batasan wilayah Bujur (⁰) Pola-1 9S 3S 175E 130W 8S 3N 80E 100E Pola- 6S 6N W 3S 3N 10E 130E Pola-3 8S 3N 80E 100E.6 Reduksi Prediktor SML Langkah selanjutnya mengekstrak data anomali SML bulan JJA periode tiap kotak grid (⁰x⁰) pada batas wilayah dalam domain prediktor terpilih. Proses ekstraksi tiap domain menghasilkan data anomali SML yang cukup banyak sehingga perlu dilakukan reduksi. Hasil reduksi data merupakan perwakilan atau gambaran sejumlah data yang ditentukan oleh prosentase variasi dominan. Total variasi kumulatif lebih dari 60% dianggap mewakili kumpulan data yang akan di

53 37 analisis. Kecukupan nilai variasi maksimum dapat ditentukan dengan melihat grafik scree plot ketika mereduksi kumpulan data SML. Saat komponen plot scree mulai mendatar maka variasi maksimum telah tercapai sehingga pada titik itu di tetapkan jumlah variable prediktor yang akan digunakan dalam menyusun model. Selain itu ukuran persen kumulatif hasil penurunan grafik plot scree di tetapkan sebagai nilai batasan yang lebih teliti. Variabel input pada pola-1 tampak PC1, PC dan PC3 dapat menjelaskan 93% keragaman sehingga prediktor yang di ambil adalah tiga variable. Pada pola-, tampak PC1, PC dan PC3 dapat menjelaskan lebih dari 91% keragaman dari variabel input sehingga prediktor yang di ambil adalah tiga variable. Untuk pola-3 dua variable (PC) sudah dapat menjelaskan lebih dari 80% keragaman dari variabel input sehingga prediktor yang di gunakan dua variabel. Grafik plot scree hasil reduksi prediktor di domain terpilh masing-masing pola di tampilkan pada (lampiran 3)..7 Penyusunan Model Prakiraan Awal Musim Hujan di Jawa.7.1 Menyusun Model Model disusun dengan periode data 30 tahun ( ) menggunakan teknik analisis Principal Component Regression (PCR). Variable sebagai prediktor adalah nilai reduksi anomali SML pada suatu domain terpilih (PC1, PC...PCn) dan sebagai prediktan adalah AMH di tiap kelompok. Untuk mengukur proporsi atau variasi total di sekitar nilai tengah prediktan yang dapat dijelaskan oleh model regresi, maka digunakan ukuran nilai R. Model prediksi pada pola-1 diperoleh dengan tingkat keragaman (R²) rata-rata sebesar 81. % dengan rata-rata MSE sebesar 3.3. Pada Model prediksi pola- diperoleh tingkat keragaman (R²) rata-rata sebesar 31. % dengan rata-rata MSE sebesar 3.6. Sedangkan Model prediksi pada pola-3 diperoleh tingkat keragaman (R²) rata-rata sebesar.6 % dengan rata-rata MSE sebesar 3.7. Untuk Model prediksi ZOM 8 dan ZOM 13 diperoleh tingkat keragaman (R²) sebesar 7.7 % dan 1.8 %, hasil itu mengindikasikan bahwa model di dua ZOM tidak layak digunakan, selain itu asumsi kenormalan pada kedua ZOM tidak terpenuhi, koefisien regresi dan ukuran keragaman (R²) tiap model dapat dilihat pada (tabel ).

54 38 Hasil training dengan asumsi kenormalan model dalam teknik regressi diseluruh ZOM disajikan pada (lampiran 5). Tabel. Koefisien Persamaan Regressi tiap Pola Pola Pola-1 Pola- Pola-3 ZOM Koefisien R b0 b1 b b3 MSE Z Z Z Z Rata-rata Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z Rata-rata Z Z Z Z Z Z Rata-rata.6 3.7

55 39.7. Validasi Model Nilai RMSE model AMH hasil validasi silang Leave One Out Cross Validation (LOOCV) digunakan sebagai ukuran kestabilan model. Berdasarkan hasil validasi di tiap cluster di hasilkan RMSE dari 30 ulangan training dan testing. Grafik box plot RMSE tersebut menunjukkan RMSE rataan pola-1 sebesar 1.6 dasarian (16 hari), RMSE rataan pola- sebesar 1.6 dasarian (16 hari), RMSE rataan pola-3 sebesar 1.6 dasarian (16 hari). Secara umum RMSE rataan validasi model tiap pola menunjukkan error model kurang dari dua dasarian dan sebanyak 30 nilai RMSE tiap ZOM memilki sebaran normal hal itu mengindikasikan model cukup stabil (Gambar 16) Gambar 17. RMSE Validasi Silang Model Prediksi AMH di Tiap Pola. ZOM 13 menunjukkan RMSE rataan model sebesar.8 dan sebaran nilai RMSE 30 training tidak menyebar normal, hal itu mengindikasikan model ZOM 13 selama validasi tampak tidak stabil. Kestabilan model diukur berdasarkan nilai RMSE rataan dalam 30 kali ulangan training dasarian. Selain itu, pola kecenderungan (trend) hasil prediksi model mengikuti garis observasi juga di amati

56 0 selama 30 kali ulangan testing. Validasi model yang stabil didapatkan apabila model menunjukkan ukuran nilai RMSE rata-rata dasarian dan pola trend ulangan testing sesuai dengan observasi. Grafik trend tiap ulangan testing selama 30 kali di semua model ZOM disajikan pada (lampiran 7). Trend hasil testing ZOM 13 pada grafik 30 kali ulangan testing tampak menyimpang dari obesrvasi. Hal yang serupa di temukan pada model ZOM 8, dimana RMSE rataan 1.6 dasarian namun pada grafik 30 kali ulangan testing tampak menyimpang dari obesrvasi. Hasil itu menunjukkan model tidak cukup stabil, pernyataan tersebut mendukung hasil korelasi sebelumnya bahwa ZOM 8 dan ZOM 13 tidak memiliki pola hubungan dengan domain prediktor..7.3 Verifikasi Model Prediktor yang di jadikan masukan model saat verifikasi adalah hasil reduksi anomali SML bulan JJA tahun 008 di domain terpilih pada masing-masing pola. Tingkat akurasi model dalam memprediksi awal musim hujan Tahun 008 dapat di tentukan dengan menilai tingkat kesalahan prediksi terhadap observasi (error) di tiap pola. Grafik prediksi terhadap observasi awal musim hujan tiap pola hasil verifikasi ditampilkan pada (Gambar 17). Apabila sebaran titik berada di bawah garis fitting maka prediksi AMH mundur dari observasi dan sebaliknya bila sebaran titik berada di atas garis fitting maka prediksi AMH maju dari observasi. Prediksi AMH di pola- 1 yang terdiri dari ZOM tampak mundur 1- dasarian dan pola- yang terdiri dari 18 ZOM secara umum tampak mundur 1- dasarian kecuali ZOM 13 yang mundur hingga 5 dasarian. Pola-3 tampak menyebar di sekitar garis fitting yang menunjukkan prediksi sesuai dengan observasi. Verifikasi secara umum, prediksi AMH Tahun 008 yang memberikan error prediksi sebesar 1 dasarian sebanyak 18 ZOM. Hal itu menunjukkan bahwa sebanyak 60 % model prediksi di Jawa cukup baik di gunakan karena hasil verifikasi pada 18 ZOM mendekati observasi (deviasi 10 hari). Verifikasi pada 0% ZOM lainnya menunjukkan error sebesar > 1 dasarian hasil itu mengindikasikan model pada 1 ZOM perlu ditingkatkan akurasinya. Akan tetapi bila toleransi batas error prediksi di naikan sebesar dasarian maka model di 1 ZOM tersebut masih cukup layak digunakan. Bila tetapan toleransi batas error

57 1 prediksi verifikasi dinaikan menjadi dasarian, maka sebanyak 93% model AMH di Jawa layak diaplikasikan dalam operasional. Namun dengan melonggarkan nilai toleransi error verifikasi tentunya model yang dihasilkan menjadi tidak terlalu baik. Gambar 18. Prediksi Terhadap observasi tiap Pola.8 Evalusi Skill Model Untuk mengetahui skill prediksi model AMH, digunakan metode Relative Operating Characteristics (ROC). ROC merupakan metode verifikasi standar yang direkomendasikan WMO (World Meteorological Orgazation) pada sepuluh tahun terakhir (Hamill dan Josip.006). ROC disusun dengan melakukan simulasi hasil prediksi dalam periode 30 tahun berdasarkan kejadian AMH bawah normal atas normal. Selanjutnya nilai False Alarm Rate (FAR) dan Hit Rate (HR) di plot ke dalam tabel kontigensi. Analisis skill prediksi di tinjau pada kemampuan model prediksi ketika AMH maju dari normal atau prediksi saat AMH mundur dari normal. Nilai skill menjelaskan peluang kejadian AMH di suatu wilayah akibat peningkatan atau membaiknya sistem prakiraan terhadap klimatologi. Dengan mengetahui skor skill sehingga dapat disimpulkan penyebab peningkatan sisitim prediksi tersebut.

58 .8.1 Skill Prediksi AMH Maju atau Mundur Dari Normal Rataan skill prediksi AMH maju dari normal pada pola-1 sebesar 69% sedangkan rataan skill prediksi AMH mundur dari normal pada pola-1 sebesar 65.5% (Tabel 3). Merujuk peta pola wilayah ZOM (Gambar 15), tampak pola-1 tersebar di pantai Utara Jawa Jawa Barat (Karawang) dan Pantai Utara Jawa Tengah. Sehingga dapat dikatakan bahwa model prediksi AMH pola-1 yang meliputi wilayah tersebut tampaknya lebih baik saat kejadian AMH maju dibandingkan AMH mundur dari normalnya. Kondisi itu dapat dipahami karena pola-1 merupakan hubungan AMH dengan fenomena IOD dan ENSO. Bila memperhatikan jarak lokasi kejadiannya fenomena iklim global terhadap wilayah Jawa maka IOD lebih dekat dengan wilayah pesisir Jawa Barat bagian Barat dan Utara. Untuk fenomena ENSO lebih dekat untuk wilayah pesisir Jawa Tengah, Jawa Timur dan madura. Dengan demikian wilayah pola-1 yang berada di Pantai Utara Jawa dari Jawa Barat hingga Jawa Tengah memilki respon terhadap dua fenomena iklim global itu. Dampaknya perubahan SML di perairan Barat Sumatera dan Pasifik pada bulan JJA akan berperan dengan AMH di wilayah pesisir Utara Jawa yang biasanya terjadi pada September. Dari hasil itu pula dapat dijelaskan iklim wilayah pesisir Utara Jawa Barat dan Tengah memiliki respon yang sensitif terhadap dua aktifitas iklim global. Tabel 3. Skill Model Prediksi AMH Pola-1 Pola ZOM Skill AMH Mundur Skill AMH-Maju Z Z Pola-1 Z Z Rata-rata Rataan skill prediksi AMH maju dari normal pada pola- sebesar 68.8% sedangkan rata-rata skill prediksi AMH mundur dari normal sebesar 6.6% (Tabel ). Merujuk peta pola wilayah ZOM (Gambar 15), wilayah ZOM pada pola- tampak tersebar di sepanjang Jawa bagian Tengah mulai dari Jawa Barat hingga Jawa Timur. Sehingga dapat dikatakan bahwa model prediksi pada ZOM yang termasuk pada pola- tersebut lebih handal saat kejadian AMH maju dibandingkan AMH mundur

59 3 dari normalnya. Kondisi itu dapat dijelaskan karena pola- memiliki hubungan AMH dengan fenomena ENSO dan aktifitas laut Indonesia. Dari hasil itu juga dapat dikatakan, pengaruh aktifitas laut Indonesia terhadap AMH di wilayah ZOM yang termasuk pola- tampak lebih kuat dibandingkan pengaruh ENSO. Akan tetapi bila ditinjau lebih terperinci di tiap ZOM, ternyata pengaruh aktifitas ENSO tampak kuat di 6 wilayah ZOM yaitu ZOM 7, ZOM 9, ZOM 11, ZOM 17, ZOM, ZOM 3. Hal itu di indikasikan dengan skill prediksi AMH mundur pada 6 ZOM tersebut lebih baik dibanding skill prediksi AMH maju dari normal. Penjelasan diatas, dapat dijadikan dasar kesimpulan umum bahwa sebagian besar wilayah ZOM pola- dipengaruhi oleh aktifitas laut Indonesia namun untuk beberapa wilayah pengaruh aktifitas ENSO tampak lebih kuat. Tabel. Skill Model Prediksi AMH Pola- Pola ZOM Skill AMH Mundur Skill AMH-Maju Z Z Z Z5 5 6 Z Z7 5 Z Z Z11 5 Z13 50 Pola- Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z9 76 Rata-rata

60 Rataan skill prediksi AMH mundur dari normal pada pola-3 sebesar 75.7% sedangkan rata-rata skill prediksi AMH maju dari normal pada pola-3 sebesar 77.0% (Tabel 5). Merujuk peta pola wilayah ZOM (Gambar 15), wilayah ZOM pada pola-3 tersebar di sepanjang Jawa bagian Tengah hingga Selatan mulai dari Jawa Barat hingga Jawa Timur. Sehingga dapat dikatakan bahwa prediksi AMH pada wilayah ZOM yang masuk pada pola-3 tersebut lebih baik saat AMH maju dibandingkan AMH mundur dari normalnya. Kondisi itu dapat dijelaskan karena pola-3 memiliki hubungan AMH dengan fenomena aktifitas laut Indonesia bagian Timur Jawa. Dari hasil itu juga dapat dikatakan, pengaruh laut tersebut terhadap AMH di wilayah ZOM pada pola-3 tampak kuat. Indikasinya adalah model prediksi pada ZOM 1, ZOM 1, ZOM 15 memiliki skill maju AMH lebih handal dibandingkan skill mundur. Memperhatikan penjelasan diatas, dapat disimpulkan secara umum wilayah Jawa bagian Tengah hingga Selatan dipengaruhi oleh aktifitas laut Indonesia. Tabel 5. Skill Model Prediksi AMH Pola-3 Pola ZOM Skill AMH Mundur Skill AMH-Maju Z Z1 7 8 Z Pola-3 Z Z Z Rata-rata Bila ditinjau wilayah Jawa secara utuh, maka skill prediksi AMH maju dari normal 71% dan skill prediksi AMH mundur dari normal 68%. Hal itu menunjukkan skill prediksi AMH maju lebih baik dari skill prediksi mundur dari normal, meskipun perbedaan nilainya tidak terpaut jauh. Pernyataan umum itu mengisyaratkan bahwa fenomena iklim global mempengaruhi AMH mundur dari normal di sebagian wilayah Jawa disamping itu aktifitas laut Indonesia juga memberi pengaruh kejadian AMH maju dari normal untuk sebagian besar wilayah Jawa. Pengaruh aktifitas SML tampak berbeda-beda di wilayah ZOM bergantung pada pola hubungan tiap ZOM dengan

61 5 wilayah SML. Grafik skill prediksi AMH mundur dan maju dari normal di semua cluster di tampilkan pada (lampiran 8)..8. Pola Wilayah Kehandalan Model Prediksi AMH di Jawa Kehandalan model prediksi AMH tiap cluster dipetakan sehingga didapat pola wilayah kehandalan model prediksi saat AMH maju atau AMH mundur dari normal. Peta kehandalan model prediksi AMH di Jawa disajikan pada tingkat skill 0% - 90% dengan interval 10 %. Dengan mengetahui pola wilayah kehandalan model prediksi AMH saat kejadian maju atau mundur dari normalnya maka dapat diketahui tingkat kehandalan prediksi kejadian AMH di suatu wilayah. Nilai kontur < 60% yang diberi warna kuning mengindikasikan prediksi AMH pada wilayah tersebut buruk atau menggambarkan lokasi false alarm rate. Nilai kontur 60%-70% dengan warna coklat menggambarkan prediksi AMH pada wilayah tersebut sedang. Nilai kontur 70% dengan warna hijau mengindikasikan prediksi AMH pada wilayah tersebut baik atau menggambarkan hit rate. Gambar 19. Peta Skill AMH Mundur dari Normal di Jawa

62 6 (Gambar 18) menunjukkan pola yang terbentuk menggambarkan wilayah kehandalan model prediksi saat AMH mundur dari normal di Jawa. Pola sebaran nilai skill pada kategori buruk terletak pada wilayah DKI Jakarta, Bogor, sebagian Sukabumi dan sebagian kecil Jawa Timur bagian Timur. Pola sebaran nilai skill pada tingkat sedang tampak mendominasi sebagian besar wilayah Jawa Barat dan Banten serta Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian Tengah. Sedangkan nilai skill pada tingkat baik tampak terdistribusi di Banten Utara, Jawa Barat bagian Timur, sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian Timur. Gambar 0. Peta Skill AMH Maju dari Normal di Jawa Pola wilayah kehandalan model prediksi AMH saat maju dari normal di sajikan pada (Gambar 19). Sebaran wilayah skill pada tingkat baik tampak mendominasi sebagian besar Banten, Jawa Barat, Jawa tengah dan Jawa Timur. Sedangkan skill pada tingkat sedang tampak terdistribusi di Jawa Barat bagian tengah, Jawa Tengah, Jogjakarta dan sebagian Jawa Timur bagian Timur. Pola sebaran nilai skill pada tingkat buruk tampak di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat bagian selatan. Skill ratarata model prediksi AMH di Jawa saat mundur dari normal adalah 68% dan saat

63 7 AMH maju dari normal adalah 71%. Hasil rataan skill tersebut menunjukkan secara umum kemapuan prediksi AMH mundur dari normal di Jawa pada tingkat sedang dan kemampuan prediksi AMH maju dari normal di Jawa pada tingkat kategori baik. Secara umum pula dapat di simpulkan bahwa terjadi peningkatan skill prediksi terhadap klimatologis untuk kejadian AMH maju atau mundur di wilayah Jawa..9 Pembahasan.9.1 Hubungan Awal Musim Hujan di Jawa dengan SML Awal musim hujan di Jawa dalam periode tahun memiliki hubungan linier dengan aktifitas iklim laut lokal maupun global. Hal tersebut dibuktikan dengan pola korelasi signifikan antara AMH di Jawa dengan anomali SML rataan bulan JJA wilayah 15⁰ LU-15⁰ LS dan 80⁰ BT-100⁰ BB. Rataan JJA di tentukan karena sekitar awal Juni adalah waktu transisi sirkulasi atmosfer dan lautan wilayah perairan Indonesia hingga Pasifik (Pai & Rajeevan 009). Waktu transisi mengindikasikan sirkulasi arus laut yang hangat masuk dari pasifik dan selanjutnya meningkatkan uap air laut di wilayah Indonesia pada umumnya. Sejalan dengan kondisi laut, transisi atmosfer Timuran menjadi Baratan akan menambah uap air di wilayah Indonesia dari samudera Hindia. Sehingga apabila terjadi penyimpangan SML di perairan Indonesia- Pasifik akan menunda transisi arus laut. Dampaknya adalah musim hujan di wilayah Indonesia pada umumnya akan tertunda. Peta korelasi pada 30 cluster wilayah Jawa menunjukkan tiga pola hubungan utama dengan penyimpangan SML perairan Barat Sumatera, Pasifik Tengah-Timur dan laut Indonesia sedangkan cluster tidak menunjukkan pola hubungan yang nyata. Perairan Barat Sumatera merupakan wilayah indikator kejadian Iklim Indian Ocean Dipole Mode (IOD) dan perairan Pasifik Tengah-Timur merupakan wilayah indikator kejadian El-Nino Southern Oscillation (ENSO) sedangkan laut Indonesia merupakan sumber uap air utama saat konveksi lokal. Wilayah perairan Indonesia hingga pasifik merupakan wilayah potesial sebagai prediktor model iklim karena loading tiga PC pertama menggambarkan pola ENSO kuat (Fiona lo et all. 008)

64 8 Peta korelasi pada pola-1 menunjukkan hubungan AMH ZOM di Jawa dengan anomali SML perairan Barat Sumatera dan Pasifik Tengah-Timur. Hal itu menjelaskan bahwa kejadian AMH wilayah didalam ZOM tersebut di pengaruhi oleh fenomena IOD dan ENSO. Berdasarkan pola tersebut maka dua wilayah perairan (Barat Sumatera dan Pasifik Tengah-Timur) dipilih sebagai domain untuk prediktor model prediksi AMH di ZOM di Jawa. Peta korelasi pada pola- menunjukkan hubungan AMH dalam 18 ZOM di Jawa dengan anomali SML perairan Indonesia dan Pasifik Tengah-Timur. Pola hubungan itu menjelaskan bahwa kejadian AMH wilayah dalam 18 ZOM di Jawa dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan aktivitas SML Indonesia (Lokal). Berdasarkan pola hubungan tersebut, dua wilayah perairan (laut Indonesia dan Pasifik Tengah- Timur) dipilih sebagai domain prediktor untuk menyusun model prediksi AMH di 18 ZOM Jawa. Peta korelasi pola-3 menunjukkan hubungan antara AMH pada 6 ZOM di Jawa dengan anomali SML wilayah perairan Indonesia. Dengan demikian kejadian AMH didalam 6 ZOM itu dipengaruhi oleh fenomena perubahan aktivitas SML Indonesia. Berdasarkan pola tersebut maka wilayah perairan Indonesia dipilih sebagai domain prediktor untuk menyusun model prediksi AMH di 6 ZOM tersebut. Untuk ZOM (ZOM 8 dan ZOM 13) yang tidak memiliki pola hubungan nyata dengan anomali SML, model disusun dengan menggunakan domain prediktor pada pola- Wilayah tropis memiliki ciri faktor harian yang kuat karena tidak adanya perbedaan suhu permukaan dan tekanan yang besar antar selang waktu berbeda. Konsekuensinya adalah sirkulasi angin permukaan di daerah ini lemah. Kekurangan dari faktor angin permukaan yang lemah akan menyebabkan kuatnya pengaruh angin lokal seperti angin darat dan laut, angin lembah dan gunung. Pada wilayah tropis kontinen seperti Indonesia, pengaruh iklim laut yang berasosiasi dengan fenomena iklim global membuat ciri tersendiri pada beberapa wilayah Indonesia. Untuk wilayah Jawa pengaruh iklim lokal akibat topografi bentuk pantai di beberapa wilayah akan dapat dirasakan, namun pengaruh iklim laut global akibat bentuk pulau yang pipih juga dapat dirasakan. Tiap wilayah akan terjadi interaksi antara pengaruh iklim lokal

65 9 sebagai ciri dari wilayah tropis dan pengaruh iklim laut global sebagai ciri wilayah maritime kontinen. Hasilnya yaitu ada wilayah yang dirasakan kuat pengaruh iklim lokalnya dan ada wilayah yang dirasakan kuat pengaruh iklim laut global. Namun ada juga wilayah yang dirasakan kombinasi dari dua pengaruh iklim lokal dan global tersebut. Dengan kondis iklim yang demikian komplek itu, maka di Jawa terbentuk pola hubungan tiap wilayah berdasarkan kuat lemahnya pengaruh iklim yang terjadi. Alasan itu juga yang menjelaskan bahwa di Jawa terbentuk tiga pola hubungan utama berdasarkan hasil korelasi spasial antara AMH dan SML. Jumlah ZOM yang termasuk pada pola- terlihat lebih banyak dibandingkan dua pola lainnya. Hal itu karena pola- merupakan wilayah yang memiliki kombinasi karakteristik fenomena iklim laut Indonesia (laut lokal) dan laut global. Siklus IOD di awali peningkatan SML pada bulan Mei-Juni mencapai puncaknya pada Oktober dan menghilang pada Nopember hingga Desember (Mulyana 00). Sedangkan ENSO biasa terjadi pada awal Juni ditandai dengan peningkatan suhu di Pasifik tropis Tengah-Timur. Normalnya pada awal Juni arus laut hangat akan menuju perairan Indonesia (Aldrian & Susanto 003). Merujuk waktu kejadian IOD dan ENSO maka peningkatan SML di perairan Barat Sumatera dan perairan Pasifik Tengah-Timur pada bulan JJA akan mengurangi penguapan di laut Indonesia (laut lokal). Implikasinya, AMH di Jawa yang biasanya terjadi pada awal September akan tertunda, lamanya penundaan (mundur) bergantung pada kuat lemahnya anomali peningkatan di dua wilayah perairan tersebut. Penjelasan di atas mengindikasikan bahwa berdasarkan pola hubungan SML dengan 30 ZOM di Jawa, sebanyak 60% wilayah ZOM di pengaruhi oleh fenomena iklim ENSO dan konveksi laut Indonesia. Sedangkan 0% wilayah ZOM di pengaruhi fenomena konveksi laut Indonesia dan 13% wilayah dipengaruhi IOD dan ENSO serta 7% wilayah ZOM tidak mempunyai hubungan dengan ketiga fenomena iklim laut lokal dan regional. Secara umum hasil validasi silang dengan teknik LOOCV yang di lakukan untuk model AMH di Jawa dapat dikatakan stabil. Hal itu diindikasikan dengan RMSE rataan pada 30 model ZOM kurang dari dasarian, demikian pula verifikasi model prediksi AMH di Jawa menunjukkan kemampuan model prediksi pada semua

66 50 ZOM di Jawa secara umum cukup handal. Hal tersebut di tunjukkan dengan nilai rataan kesalahan prediksi (bias) di semua ZOM sebesar 1,6 dasarian atau 16 hari. Hasil verifikasi juga menunjukkan dari 30 model ZOM, sebanyak 1 model menghasilkan error lebih dari satu dasarian dan sisanya kurang dari satu dasarian. Hasil itu menunjukkan sebanyak 57% model prediksi AMH di Jawa dapat menduga hingga mendekati hasil observasi (deviasi 10 hari). Kelayakan model prediksi AMH yang di indikasikan dengan kestabilan saat validasi dan verifikasi tampak berhasil di hampir semua ZOM wilayah Jawa.. Hal itu tidak terlepas dari penentuan variabel SML digunakan sebagai prediktor yang tepat sebelum model disusun. Demikian pula teknik identifikasi wilayah domain prediktor juga tampak memberikan hasil yang baik. Alasan mendasarnya adalah suatu sistim model yang baik ditentukan dengan masukan (prediktor) yang tepat. Namun kesatuan sistim lainnya seperti penentuan teknik dan metode yang tepat juga tidak dapat di abaikan, karena model disusun tidak bersifat individual melainkan sebuah sistim dari gabungan beberapa teknik dan metoda. Hasil tersebut tentunya semakin menguatkan alasan fisis bahwa wilayah Jawa secara umum di pengaruhi oleh iklim laut lokal dan global..9. Evaluasi Skill Model Prediksi Awal Musim Hujan di Jawa Kehandalan model prediksi AMH mundur dari normal pada tingkat skill kurang dari 60% terletak pada wilayah DKI Jakarta, Bogor, sebagian Sukabumi dan sebagian kecil Jawa Timur bagian Timur. Pola sebaran nilai skill pada tingkat 60%- 70% tampak mendominasi sebagian besar wilayah Jawa Barat dan Banten serta Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian Tengah. Sedangkan nilai skill pada tingkat lebih dari 70% tampak terdistribusi di Banten Utara, Jawa Barat bagian Timur, sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian Timur. Kehandalan model prediksi AMH maju dari normal pada tingkat kategori lebih dari 70% tampak mendominasi sebagian besar wilayah Banten, Jawa Barat, Jawa tengah dan Jawa Timur. Sedangkan nilai skill pada tingkat 60%-70% tampak terdistribusi di Jawa Barat bagian tengah, Jawa Tengah, Jogjakarta dan sebagian Jawa

67 51 Timur bagian Timur. Pola sebaran nilai skill pada tingkat kurang dari 60% terdistribusi di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat bagian selatan. Meskipun beda nilainya tidak terpaut jauh, secara umum kehandalan model prediksi AMH di Jawa saat kejadian maju dari normal lebih baik dibandingkan saat kejadian mundur dari normal. Kondisi itu dapat di pahami, karena wilayah Jawa tidak hanya di pengaruhi aktivitas ENSO dan IOD. Pengaruh SML Indonesia (lokal) tampaknya cukup kuat mensuplai uap air ke Jawa sehingga hujan tetap terjadi dan pada saat yang sama pengaruh global tidak cukup kuat. Dengan demikian, awal musim hujan maju dari normalnya di Jawa sedikit lebih dipengaruhi oleh aktivitas SML Indonesia (lokal) namun pengaruh iklim global tetap memilki pengaruh terhadap AMH. Besarnya pengaruh dua fenomena iklim tersebut di satu wilayah akan berbeda terhadap wilayah lainnya di Jawa. Pola skill model prediksi AMH saat kejadian mundur dari normal dengan tingkat kehandalan lebih dari 70%, tampak menyebar di wilayah sekitar pesisir Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian Selatan dan Jawa Timur bagian Utara. Sedangkan pola skill model prediksi AMH saat kejadian maju dari normal dengan tingkat kehandalan lebih dari 70% pola sebaranya tampak lebih luas yaitu sebagian besar Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Polanya juga tampak lebih lebar tidak hanya wilayah pesisir dan sekitarnya namun juga wilayah Jawa bagian Tengah. Uraian tersebut menunjukkan AMH mundur dari normal wilayah pesisir Jawa memiliki sensitifitas atau respon yang baik terhadap pengaruh aktifitas laut global meskipun laut lokal tetap mempengaruhi. Sedangkan kejadian AMH wilayah Jawa secara umum memiliki respon yang baik terhadap perubahan SML lokal. Rataan skill prediksi AMH maju dari normal pada pola-1 sebesar 69%, pola- sebesar 68.8% dan pola-3 sebesar 77.0%. Sedangkan rataan skill prediksi AMH mundur dari normal pada pola-1 sebesar 65.5%, pola- 6.6% dan pola-3 sebesar 75.7%. Berdasarkan hasil tersebut tampak pola-3 mempunyai skill prediksi (maju dan mundur dari normal) lebih baik dibandingkan dua pola lainnya. Sehingga dapat dijelaskan bahwa kombinasi domain prediktor karakteristik ENSO dan laut lokal memberikan pengaruh yang lebih baik.

68 5 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Secara umum AMH di Jawa dipengaruhi oleh tiga pola interaksi Laut- Atmosfer yaitu ENSO, IOD, SML Lokal, meskipun besar pengaruhnya di tiap wilayah berbeda-beda. Pernyataan itu dibuktikan oleh hasil korelasi AMH di Jawa dengan SML wilayah (15 S 15 N; 80 E- 100 W). Terdapat hubungan linier antara AMH di Jawa dengan SML di perairan India,Indonesia dan Pasifik. Hal ini di indikasikan bila terjadi kenaikan SML di perairan Indi dan pasifik yang berasosiasi dengan kejadian IOD dan ENSO maka AMH di Jawa secara umum mundur dari normalnya. Sejalan dengan itu, bila terjadi kenaikan SML di perairan Indonesia yang berasosiasi dengan kejadian konveksi laut lokal maka AMH di Jawa secara umum maju dari normalnya. Rataan JJA di tentukan karena sekitar awal Juni adalah waktu transisi sirkulasi atmosfer dan lautan wilayah perairan Indonesia hingga Pasifik. Waktu transisi mengindikasikan sirkulasi arus laut yang hangat masuk dari pasifik dan selanjutnya meningkatkan uap air laut lokal di wilayah Indonesia pada umumnya. Sejalan dengan kondisi laut, transisi angin Timuran menjadi Baratan akan menambah uap air di wilayah Indonesia dari samudera Hindia. Sehingga apabila terjadi penyimpangan SML di perairan Indonesia-Pasifik akan menunda transisi arus angin Timuran. Dampaknya adalah musim hujan di wilayah Indonesia pada umumnya akan tertunda. Kondisi tersebut menggambarkan daerah tropis berada di ambang kritis suhu muka laut yang mendorong curah hujan maksimum atau minimum sehingga suhu muka laut berperan terhadap kejadian awal musim hujan Dari 30 ZOM 8 membentuk pola korelasi signifikan dengan SML yang terbentuk pada wilayah Samudera India, Perairan Indonesia dan Pasifik. Kondisi itu menyebabkan efek kombinasi ENSO dan SML lokal tampak dominan mempengaruhi AMH di Jawa. Indikasikan lainnya yaitu jumlah model ZOM pada pola- lebih banyak dibandingkan pola-1 dan pola-3.

69 53 Kelayakan model prediksi AMH dengan teknik multivariate tampak berhasil di hampir semua ZOM wilayah Jawa yang di indikasikan dengan kestabilan model saat validasi dan verifikasi. Hal itu tidak terlepas dari ketepatan penentuan variabel SML yang digunakan sebagai prediktor dan teknik identifikasi wilayah domain prediktor. Untuk model ZOM 8 (Karawang bagian Uatara) dan ZOM 13 (Cianjur dan Cilenca) tidak menunjukkan hubungan nyata dengan fenomena iklim global maupun SML lokal sehingga perlu dikaji untuk pengaruh variabel iklim lainnya. Kehandalan model prediksi AMH di Jawa saat kejadian maju dari normal lebih baik dibandingkan saat kejadian mundur dari normal. Hal itu dapat di pahami, karena AMH wilayah Jawa tidak hanya di pengaruhi aktivitas ENSO dan IOD. Pengaruh SML Indonesia (lokal) tampaknya cukup kuat mensuplai uap air ke Jawa sehingga hujan terjadi. Dengan demikian, AMH maju dari normalnya di Jawa lebih dipengaruhi oleh aktivitas SML Indonesia (lokal). AMH mundur dari normal wilayah pesisir Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian Selatan dan Jawa Timur bagian Utara memiliki sensitifitas atau respon yang baik terhadap pengaruh aktivitas laut lokal-global. Indikatornya adalah, dengan tingkat skill model kejadian AMH mundur lebih dari 70%, pola menyebar di wilayah tersebut. Sedangkan pola skill model prediksi AMH saat kejadian maju dari normal dengan tingkat kehandalan lebih dari 70% pola sebaranya tampak lebih luas yaitu sebagian besar Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Polanya juga tampak lebih lebar tidak hanya wilayah pesisir dan sekitarnya namun juga wilayah Jawa bagian Tengah. Hal itu menunjukkan kejadian AMH wilayah Jawa secara umum memiliki respon yang baik terhadap perubahan SML lokal. Besar pengaruh tersebut akan berbeda-beda dan dapat juga bergantung dari kondisi topografi dan bentuk pantai. Domain prediktor wilayah karakteristik laut lokal memiliki pengaruh yang lebih baik terhadap kejadian AMH dibandingkan kombinasi lainnya. Hal itu ditunjukkan dengan nilai skill terbaik dihasilkan oleh model dengan domain prediktor di pola-3. Sedangkan kombinasi domain prediktor wilayah karakteristik ENSO dan laut lokal memiliki pengaruh paling dominan terhadap AMH di Jawa. Pernyataan

70 5 tersebut di kuatkan oleh jumlah ZOM yang paling banyak terdapat pada pola-. Namun untuk analisis lebih rinci di tiap ZOM maka masing-masing wilayah di Jawa memiliki tingkat hubungan dan sensitifitas yang berbeda-beda terhadap SML Indonesia-Pasifik. 5. Saran Model AMH di pulau Jawa disusun berdasarkan 30 ZOM, namun terdapat ZOM tidak mempunyai domain prediktor sehingga perlu dicari variabel prediktor lain. Teknik penentuan domain prediktor yang dilakukan adalah menetapkan batasan maksimum pewilayahan grid yang memilki korelasi signifikan dapat di tingkatkan ketelitiannya hingga mendeliniasi batas pola peta korelasi, sehingga prediktor yang didapatkan adalah grid yang memang memilki korelasi signifikan. Teknik dan metode penyusunan model AMH dengan multivariate dapat diterapkan di wilayah Indonesia lainnya. Namun penting untuk diperhatikan adalah untuk kondisi klimatologi wilayah anti monsun (tidak dipengaruhi monsun) dan dinamika atmosfer umumnya.

71 55 DAFTAR PUSTAKA Pai DS, Rajeevan MN Summer monsoon onset over Kerala : New definition and prediction. J Earth Syst Sci 118: Moron V, Robertson AW, Boer R Spatial coherence and seasonal predictability of monsoon onset over Indonesia. J Climate 1:1-11 Wang B et al Advance and prospectus of seasonal prediction: assessment of the APCC/CliPAS 1-model ensemble retrospective seasonal prediction ( ). Clim Dyn 33: Vinayachandran PS, Shankar D, Kurian JF, Durand, Shenoi SSC Arabian sea mini warm pool and the monsoon onset vortex. Current Science 93:03-1 Chakraborty A, Nanjundiah RS, Srinivasan J. 006 Theoretical aspects of the onset of Indian summer monsoon from perturbed orography simulations in a GCM. Ann.geophyst : Boer R. 005 Pendekatan Strategis, Taktis dan Operasional dalam Mengurangi Risiko Iklim di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Di dalam: Seminar Pelembagaan Pemanfaatan Informasi Ramalam Iklim untuk Mengatasi Dampak Bencana Iklim; Kupang 1- Juni 005 Annamalai H, Liu P, Xie SP Southwest indian ocean sst variability: its local effect and remote influence on asian monsoons. J.Climate 18: Singh RP, Dey S, Sahoo AK, Kafatos M. 00. Retrieval of water vapor using SSM/I and its relation with the onset of monsoon. Ann.geophyst : Fasullo J, Webster PJ. 00. A hydrological definition of indian monsoon onset and withdrawal. J.Climate 16: Rajeevan,M.N. 009 Prediction of Indian summer monsoon: Status, problems and prospects. Current Science 81: Samson MH, Kerry HC. 006 The Onset of African Monsoon Numerical Study. Itacha NY 1853

72 56 Fiona Lo, Mathew CW, Sarah L Improving Prediction of The North Australian Wet Season: Onset and Duration. CACWR Technical Report No.001 Daniel S. Wilks Statistical methods in the Atmospheric Science Volume ke-59 Ithaca, New York Mulyana, E. 00. Pengaruh Dipole Mode Terhadap Curah Hujan Indonesia. J Sains Teknologi Modifikasi Cuaca 00:39-3 Thomas M.H, Josip J. 006 Measuring Forecast Skill : Is it The Varying The Climatology? Q.J.R.Meteorol.Soc 3pp Wang.B, Ding Q, Joseph PV Objective Definition of The Indian Summer Monsoon Onset Journal of Climate : Marteau. R, V. Moron., Nathalie P Spatial Coherence of Monsoon Onset over Western and central Sahel ( ). Journal of Climate : Graham DQ, Copllini P, Cromwell D, Challenor PG. 00. Rossby Waves : Synergi in Action. Phil.Trans.R.Soc.Lond 361:57-63 Artikov I, Gary DL Climate Change and Farm Use of Weather Information. Nebraska Lincoln University Aldrian E, Susanto RD Identification Of Three Dominant Rainfall Regions Within Indonesia And Their relationship to Sea Surface Temperature. Int.Journal of Climate 3: Benjamin P, Pierre C Influence of Madden Julian Oscillation on East African Rainfall, I: Intraseasonal Variability and Regional Dependency. Q.J.R.Meteorol.Soc. 13: Hamada et al. 00. Spatial and temporal Variation of the rainy Season over Indonesia and Their Link to Enso Met. Soc. Japan 80pp: Risbey et all On Remote Drivers of Rainfall Variability in Australia American Meteorological Society. DOI: /009MWR861.1

73 57 Assyakur AR, Prasetia R Spatial patterns of Anomalies in Indonesia during March to June 010: Comparation between Multisatellite TRMM Precipitation Analysis (TMPA) 3B3 with Rain Gauges Data. Disampaikan Seminar Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XVII Konggres Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) di Institut Pertanian Bogor 9 Agustus 010.

74 58 Lampiran 1 Data Awal Musim Huja Jawa Periode dalam Dasarian Tahun Menes Cibaliung Labuan Pandeglang Malimping Rangkas Serang Betung Ciomas 78/ / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / Catatan : Curug Cengkareng Tangerang Priok Kemayoran Halim Depok Darmaga Lembang Angka warna merah adalah data rataan periode

75 59 Citeko Argabinta-cianjur Cibuni-cianjur Jampang Kulon Kab.Sukabumi Sukabumi Wanayasa purwakarta Cikampek Bantarhuni Catatan : Kab.Majalengka Jatibarang Lohbener Sudikampiran Anjarwinangun-Crb Jatiwangi Cimalaka Cadasngampar Bandung Cisondari Angka warna merah adalah data rataan periode

76 60 Paseh Cilenca Singaparna Ciamis Tasikmalaya Batu jaya-krwg Cilamaya-krwg Cibuaya-Krwg Gebang-malang-Krwg Gempol-krwg Catatan : pacing-krwg peengakaran-krwg Pedes-krwg pasirukeum-krwg Peundeuy-krwg Petaruman-krwg Rawagempol-krwg Telukbuyung-krwg Rengasdengklok-krwg cibadar-krwg Angka warna merah adalah data rataan periode

77 61 Anjatan-indrmyu Kandanghaur-indramyu Kab.INDRAMAYU Kr kendal Cilacap banyumas Bumiayu-brebes Slatri Jt Roke Tegal Catatan : Tonjong Jejeg pemalang Ngadirejo-pemalang BanjarDawa-pemalang Wleri-kendal Ungaran Staklim-Semarang gn butak-prwrejo Kertek Angka warna merah adalah data rataan periode

78 6 Jogjakarta Adisucipto Klaten pati Wonogiri Ayahcom-Kbm Kedungwringin-kbm somagede-kbm sampangcom-kbm Gombong-kbm Catatan : Kuwarasan-kbm Sekayu-kbm Rowokawuk-kbm Rembes-kbm karang gayam-kbm karang sambung-kbm Karang anyar-kbm adimulyo-kbm Kedungsamak-kbm kaligending-kbm Angka warna merah adalah data rataan periode

79 63 Alian-Kbm podourip-kbm petanahan-kbm klirong-kbm Rantewringen-kbm kotowinagun-kbm klposawit-kbm bedegolan-kbm tersobo-kbm Cluwak-pati Catatan : Arjosari-pacitan kebon agung-pacitan pringkuku-pacitan Pacitan Ngadirejo Slahung babadan bollu kesugihan ngilo-ilo Angka warna merah adalah data rataan periode

80 6 pahijo ponorogo pudak pulung purwantoro sawo Purwodadi lembeyan poncol Sarangan Catatan : slagreng Madiun Balerejo Caruban catur CAU Dawuhan Dungus Gemarang Giringan Angka warna merah adalah data rataan periode

81 65 gombal kandangan kare kertobayon notoputro pagotan pg.kanigoro saradan sareng Jiken-Blora Catatan : Cawak dander jt blimbing kanor karang nongko kedung adem kerjo klepek merkuris sumber rejo Angka warna merah adalah data rataan periode

82 66 tretes Bojonegoro Leran rembang Kerek bejeng cerme Duduksampeyan gresik lowayu Catatan : mentaras Tambak Ombo kab lamongan Pujon Bantur-malang Tulung agung Kencong Srengat Ranuklakah Bondowoso Angka warna merah adalah data rataan periode

83 67 Stamet Juanda Gubeng kandangan Simo Pasewaran Bawean-banyuwangi Socah Tanjung Bumi Kalianget pakong Catatan : Angka warna merah adalah data rataan periode

84 68 LAMPIRAN Koordinat Stasiun Pos Pengamatan Curah Hujan di Jawa STASIUN Lintang/Lat Bujur/Long 1 Menes Cibaliung Labuan Pandeglang Malimping Rangkas Serang Betung Ciomas Curug Cengkareng Tangerang Priok Kemayoran Halim Depok Darmaga Lembang Citeko Argabinta-cianjur Cibuni-cianjur Jampang Kulon Kab.Sukabumi Sukabumi Wanayasa purwakarta Cikampek Kab.Majalengka Jatibarang Lohbener Sudikampiran Anjarwinangun-Crb Jatiwangi

85 3 Cimalaka Cadasngampar Bandung Cisondari Paseh Cilenca Singaparna Ciamis Tasikmalaya Batu jaya-krwg Cilamaya-krwg Cibuaya-Krwg Gebang-malang-Krwg Gempol-krwg pacing-krwg peengakaran-krwg Pedes-krwg pasirukeum-krwg Peundeuy-krwg Petaruman-krwg Rawagempol-krwg Telukbuyung-krwg Rengasdengklok-krwg cibadar-krwg Anjatan-indrmyu Kandanghaur-indramyu Kab.INDRAMAYU Kr kendal Cilacap banyumas Bumiayu-brebes Slatri Jt Roke Tegal Tonjong Jejeg pemalang Ngadirejo-pemalang BanjarDawa-pemalang

86 73 Wleri-kendal Ungaran Staklim-Semarang gn butak Kertek Jogjakarta Adisucipto Klaten pati Wonogiri Ayah Kedungwringin-kbm somagede-kbm sampangcom-kbm Gombong-kbm Rowokawuk-kbm Rembes-kbm karang gayam-kbm karang sambung-kbm Karang anyar-kbm adimulyo-kbm Kedungsamak-kbm kaligending-kbm Alian-Kbm petanahan-kbm klirong-kbm Rantewringen-kbm kotowinagun-kbm bedegolan-kbm Cluwak-pati Arjosari-pacitan kebon agung-pacitan pringkuku-pacitan Pacitan Ngadirejo Slahung babadan bollu kesugihan

87 113 ngilo-ilo pahijo ponorogo pudak pulung purwantoro sawo Purwodadi lembeyan poncol Sarangan slagreng Madiun Balerejo Caruban catur CAU Dawuhan Dungus Gemarang Giringan gombal kandangan kare kertobayon notoputro pagotan pg.kanigoro saradan sareng Jiken-Blora Cawak dander jt blimbing kanor karang nongko kedung adem kerjo klepek

88 15 merkuris sumber rejo tretes Bojonegoro rembang Kerek bejeng cerme Duduksampeyan gresik lowayu mentaras Tambak Ombo kab lamongan Pujon Bantur-malang Tulung agung Kencong Srengat Ranuklakah Bondowoso Stamet Juanda Gubeng kandangan Simo Pasewaran Socah Tanjung Bumi Kalianget pakong

89 73 LAMPIRAN 3 Daftar Wilayah Kabupaten di Jawa Berdasarkan ZOM ZOM Kabupaten 1 Pemalang Pandeglang, Lebak (Banten Selatan) 3 Banyumas Tangerang,Serang (Banten utara) 5 Jogja 6 Gresik 7 Sukabumi,Cianjur, Purwakarta 8 Karawang bagian Utara 9 Kuningan,Cirebon 10 Semarang, Klaten 11 DKI Jakarta, Bekasi, Bogor 1 Bandung, Sumedang 13 Blora 1 Garut, Cianjur, Tasik bagian Selatan 15 Brebes, Tegal 16 Wonogiri 17 Purwodadi, Blora 18 Kediri, Magetan 19 Malang 0 Gresik, bagian utara 1 Karawang bagian Selatan, Bekasi bagian Timur Cilacap kebumen 3 Kerawang bagian Timur Indramayu 5 Gresik, Surabaya, Jombang, Banyuwangi 6 Blitar bagian Utara, Sebagian Jombang 7 Blitar,Kediri,Nganjuk 8 Tulung Agung, Trenggalek 9 Madiun,Ngawi, Blora bagian utara 30 Rembang,Tuban, Bojonegoro

90 7 LAMPIRAN Korelasi Spasial AMH vs SML Pola-1 ZOM 1 ZOM 10 ZOM 16 ZOM 1

91 75 Korelasi Spasial ZOM vs SML Pola- ZOM ZOM 3 ZOM ZOM 5 ZOM 6 ZOM 7

92 76 Korelasi Spasial ZOM vs SML Pola- ZOM 8 ZOM 9 ZOM 11 ZOM 13 ZOM 17 ZOM 18

93 77 Korelasi Spasial ZOM vs SML Pola- ZOM 19 ZOM 0 ZOM ZOM 3 ZOM ZOM 6

94 78 Korelasi Spasial ZOM vs SML Pola- ZOM 7 ZOM 9

95 79 Korelasi Spasial AMH vs ZOM Pola-3 ZOM 1 ZOM 1 ZOM 15 ZOM 5 ZOM 8 ZOM 30

96 80 LAMPIRAN 5 Grafik Scree Plot Tiap Pola Hubungan Korelasi Scree Plot Prediktor Pola Eigenvalue Component Number Scree Plot Prediktor Pola Eigenvalue Component Number

97 81 0 Scree Scree Plot Plot Prediktor of C1,..., Pola-3 C55 30 Eigenvalue Component Number

98 8 LAMPIRAN 6 Hasil Regresi Tiap ZOM ZOM 1 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S = R-Sq = 13.3% R-Sq(adj) = 3.3% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid X X denotes an observation whose X value gives it large influence. Plots for AMH Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data 3.0 Frequency Observation Order

99 83 ZOM Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S = R-Sq = 7.6% R-Sq(adj) = 19.% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid R X R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Plots for AMH Normal Probability Plot of the s 99 s Versus the Fitted Values 90 Percent Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

100 8 ZOM 3 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S = R-Sq = 5.% R-Sq(adj) = 38.8% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid X X denotes an observation whose X value gives it large influence. Plots for AMH Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value 3.8 Histogram of the s s Versus the Order of the Data 3.0 Frequency Observation Order

101 85 ZOM Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S = R-Sq = 30.7% R-Sq(adj) =.7% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid R X R R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Plots for AMH Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s 5.0 s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

102 86 ZOM 5 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S = R-Sq = 9.8% R-Sq(adj) = 0.0% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC3 1.8 Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid R X R R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Percent Normal Probability Plot of the s Plots for AMH s Versus the Fitted Values Fitted Value Frequency 8 6 Histogram of the s s Versus the Order of the Data Observation Order

103 87 ZOM 6 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S = R-Sq =.1% R-Sq(adj) = 0.0% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid X R R R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Normal Probability Plot of the s 99 Plots for AMH 5.0 s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data 5.0 Frequency Observation Order

104 88 ZOM 7 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S =.0668 R-Sq = 0.0% R-Sq(adj) = 33.1% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid R R X R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Normal Probability Plot of the s 99 Plots for AMH s Versus the Fitted Values 90 Percent Fitted Value 3 Histogram of the s s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

105 89 ZOM 8 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S =.0703 R-Sq = 7.7% R-Sq(adj) = 0.0% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid R X R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Normal Probability Plot of the s 99 Plots for AMH s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

106 90 ZOM 9 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S = R-Sq = 7.5% R-Sq(adj) = 19.1% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid X X denotes an observation whose X value gives it large influence. Plots for AMH Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value 33 3 Frequency 8 6 Histogram of the s s Versus the Order of the Data Observation Order

107 91 ZOM 10 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S = R-Sq = 11.% R-Sq(adj) = 1.1% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid X R R R R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Normal Probability Plot of the s 99 Plots for AMH 5.0 s Versus the Fitted Values 90.5 Percent Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data 5.0 Frequency Observation Order

108 9 ZOM 11 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S =.1155 R-Sq = 1.7% R-Sq(adj) =.7% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid X R R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Normal Probability Plot of the s 99 Plots for AMH 5.0 s Versus the Fitted Values 90.5 Percent Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data 5.0 Frequency Observation Order

109 93 ZOM 1 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC The regression equation is AMH = PC PC Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC S =.383 R-Sq = 37.0% R-Sq(adj) = 3.3% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid X R R R R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Plots for AMH Percent Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

110 9 ZOM 13 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC The regression equation is AMH = PC PC Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC S = R-Sq = 1.8% R-Sq(adj) = 0.0% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid X R R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Plots for AMH Percent Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Fitted Value 33.5 Histogram of the s s Versus the Order of the Data 8 6 Frequency Observation Order

111 95 ZOM 1 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC The regression equation is AMH = PC PC Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC S = R-Sq = 3.0% R-Sq(adj) = 7.0% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid X X denotes an observation whose X value gives it large influence. Percent Normal Probability Plot of the s Plots for AMH s Versus the Fitted Values Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data 3.0 Frequency Observation Order

112 96 ZOM 15 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC The regression equation is AMH = PC PC Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC S =.1090 R-Sq = 1.6% R-Sq(adj) = 6.% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid X X denotes an observation whose X value gives it large influence. Plots for AMH Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values 90.5 Percent Fitted Value 33 3 Frequency 8 6 Histogram of the s s Versus the Order of the Data Observation Order

113 97 ZOM 16 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S = R-Sq = 16.% R-Sq(adj) = 6.8% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid X R R R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Plots for AMH Normal Probability Plot of the s 99 s Versus the Fitted Values 90 Percent Fitted Value 36 Histogram of the s s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

114 98 ZOM 17 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S = R-Sq = 57.5% R-Sq(adj) = 5.6% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid X R R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Plots for AMH Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data 8 Frequency Observation Order

115 99 ZOM 18 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S = R-Sq = 0.6% R-Sq(adj) = 33.7% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid R R X R R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Plots for AMH Normal Probability Plot of the s 99 s Versus the Fitted Values 90 Percent Fitted Value 36.0 Frequency 8 6 Histogram of the s s Versus the Order of the Data Observation Order

116 100 ZOM 19 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S = R-Sq =.9% R-Sq(adj) = 38.6% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid X X denotes an observation whose X value gives it large influence. Percent Normal Probability Plot of the s Plots for AMH s Versus the Fitted Values Fitted Value Histogram of the s 3.0 s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

117 101 ZOM 0 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S = R-Sq = 5.0% R-Sq(adj) = 16.3% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid X X denotes an observation whose X value gives it large influence. Plots for AMH Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data 3.0 Frequency Observation Order

118 10 ZOM 1 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S = R-Sq = 31.3% R-Sq(adj) = 3.% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid R X R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Plots for AMH Normal Probability Plot of the s 99 s Versus the Fitted Values 90 Percent Fitted Value 37 8 Histogram of the s s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

119 103 ZOM Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC1-0. PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S = R-Sq = 55.0% R-Sq(adj) = 9.8% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid R X R R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Plots for AMH Normal Probability Plot of the s 99 s Versus the Fitted Values 90 Percent Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

120 10 ZOM 3 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC1-0. PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S = R-Sq = 55.0% R-Sq(adj) = 9.8% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid R X R R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Plots for AMH Normal Probability Plot of the s 99 s Versus the Fitted Values 90 Percent Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

121 105 ZOM Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S = R-Sq = 19.5% R-Sq(adj) = 10.% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid X R R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Normal Probability Plot of the s 99 Plots for AMH s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

122 106 ZOM 5 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC The regression equation is AMH = PC PC Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC S = R-Sq = 30.6% R-Sq(adj) = 5.% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid X R R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Plots for AMH Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value 36 8 Histogram of the s s Versus the Order of the Data 3.0 Frequency Observation Order

123 107 ZOM 6 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC1-0. PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S = R-Sq = 55.0% R-Sq(adj) = 9.8% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid R X R R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Plots for AMH Normal Probability Plot of the s 99 s Versus the Fitted Values 90 Percent Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

124 108 ZOM 7 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S = R-Sq = 8.1% R-Sq(adj) = 19.8% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid X X denotes an observation whose X value gives it large influence. Percent Normal Probability Plot of the s Plots for AMH s Versus the Fitted Values Fitted Value Histogram of the s 3.0 s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

125 109 ZOM 8 The regression equation is AMH = PC PC Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC S = R-Sq = 3.% R-Sq(adj) = 17.6% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid X R R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Plots for AMH Normal Probability Plot of the s 99 s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value 36 8 Histogram of the s s Versus the Order of the Data Frequency Observation Order

126 110 ZOM 9 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC, PC3 The regression equation is AMH = PC PC PC3 Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC PC S = R-Sq =.0% R-Sq(adj) = 35.3% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid R R X R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Plots for AMH Normal Probability Plot of the s s Versus the Fitted Values Percent Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data 3.0 Frequency Observation Order

127 111 ZOM 30 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC The regression equation is AMH = PC PC Predictor Coef SECoef T P VIF Constant PC PC S =.5111 R-Sq =.% R-Sq(adj) = 16.% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Error Total Source DFSeq SS PC PC Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit St Resid X X denotes an observation whose X value gives it large influence. Normal Probability Plot of the s 99 Plots for AMH 5.0 s Versus the Fitted Values 90.5 Percent Fitted Value Histogram of the s s Versus the Order of the Data 5.0 Frequency Observation Order

128 11 LAMPIRAN 7 30 Ulangan Testing Validasi Silang Tiap ZOM Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 1 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 3

129 113 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 5 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 6

130 11 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 7 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 8 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 9

131 115 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 10 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 11 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 1

132 116 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 13 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 1 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 15

133 117 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 16 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 17 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 18

134 118 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 19 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 0 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 1

135 119 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 3 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM

136 10 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 5 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 6 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 7

137 11 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 8 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 9 Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 30

138 1 LAMPIRAN 8 Grafik Skill Prediksi Model AMH di Tia ZOM Grafik Skill Model ZOM 1 Grafik Skill Model ZOM MAJU Grafik Skill Model ZOM 3

139 13 Grafik Skill Model ZOM Grafik Skill Model ZOM 5 Grafik Skill Model ZOM 6

140 1 Grafik Skill Model ZOM 7 Grafik Skill Model ZOM 8 Grafik Skill Model ZOM 9

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musim Hujan dan Monsun

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musim Hujan dan Monsun 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musim Hujan dan Monsun Di tinjau dari aspek geografis, Indonesia diapit oleh dua benua dan dua samudera sehingga memungkinkan adanya tiga sirkulasi atmosfer yang aktif sepanjang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat Nya kami dapat menyusun laporan dan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2016 di wilayah Propinsi Banten

Lebih terperinci

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA OLEH : ANDRIE WIJAYA, A.Md FENOMENA GLOBAL 1. ENSO (El Nino Southern Oscillation) Secara Ilmiah ENSO atau El Nino dapat di jelaskan

Lebih terperinci

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

Propinsi Banten dan DKI Jakarta BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp. (021) 7353018, Fax: (021) 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016 B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Tangerang Selatan Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP 1 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Awal Musim Hujan 2015/2016 di Propinsi Bali merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi Negara Bali. Prakiraan Awal

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP Buletin Prakiraan Musim Kemarau 2016 i KATA PENGANTAR Penyajian prakiraan musim kemarau 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diterbitkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat disamping publikasi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ). KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012 KATA PENGANTAR i Analisis Hujan Bulan Agustus 2012, Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2012, dan Januari 2013 Kalimantan Timur disusun berdasarkan hasil pantauan kondisi fisis atmosfer dan data yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara dengan populasi ke-empat terbesar dan penghasil beras ke-tiga terbesar di dunia (World Bank, 2000). Indonesia memproduksi sekitar 31 juta ton

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan merupakan salah satu sumber ketersedian air untuk kehidupan di permukaan Bumi (Shoji dan Kitaura, 2006) dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam penilaian, perencanaan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Siantan Pontianak pada tahun 2016 menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau dan Prakiraan Musim Hujan. Pada buku Prakiraan Musim Kemarau 2016

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S. i REDAKSI KATA PENGANTAR Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si Penanggung Jawab : Subandriyo, SP Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S. Kom Editor : Idrus, SE Staf Redaksi : 1. Fanni Aditya, S. Si 2. M.

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur http://lasiana.ntt.bmkg.go.id/publikasi/prakiraanmusim-ntt/ Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018 1 Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas perkenannya, kami dapat menyelesaikan Buku Prakiraan Musim Hujan Tahun Provinsi Kalimantan Barat. Buku ini berisi kondisi dinamika atmosfer

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA I. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Semarang setiap tahun menerbitkan buku Prakiraan Musim Hujan dan Prakiraan Musim Kemarau daerah Propinsi Jawa Tengah. Buku Prakiraan Musim Hujan diterbitkan setiap bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara yang terletak diantara Samudra Pasifik-Hindia dan Benua Asia-Australia, serta termasuk wilayah tropis yang dilewati oleh garis khatulistiwa, menyebabkan

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas perkenannya, kami dapat menyelesaikan Buku Prakiraan Musim Kemarau Tahun 2017 Provinsi Kalimantan Barat. Buku ini berisi kondisi dinamika atmosfer

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI

PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI Maulani Septiadi 1, Munawar Ali 2 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Tangerang Selatan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2016

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2016 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Musim Kemarau 2016 Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Geofisika Kelas 1 Yogyakarta / Pos Klimatologi

Lebih terperinci

MODEL PRAKIRAAN CURAH HUJAN BULANAN DI WILAYAH JAWA BAGIAN UTARA DENGAN PREDIKTOR SML DAN OLR DEDI SUCAHYONO

MODEL PRAKIRAAN CURAH HUJAN BULANAN DI WILAYAH JAWA BAGIAN UTARA DENGAN PREDIKTOR SML DAN OLR DEDI SUCAHYONO MODEL PRAKIRAAN CURAH HUJAN BULANAN DI WILAYAH JAWA BAGIAN UTARA DENGAN PREDIKTOR SML DAN OLR DEDI SUCAHYONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA Pengaruh Dipole Mode Terhadap Curah Hujan di Indonesia (Mulyana) 39 PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA Erwin Mulyana 1 Intisari Hubungan antara anomali suhu permukaan laut di Samudra

Lebih terperinci

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp: (021) 7353018 / Fax: 7355262, Tromol Pos. 7019 / Jks KL, E-mail

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 d) phase spectrum, dengan persamaan matematis: e) coherency, dengan persamaan matematis: f) gain spektrum, dengan persamaan matematis: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Geografis dan Cuaca Kototabang

Lebih terperinci

Hubungan Suhu Muka Laut Perairan Sebelah Barat Sumatera Terhadap Variabilitas Musim Di Wilayah Zona Musim Sumatera Barat

Hubungan Suhu Muka Laut Perairan Sebelah Barat Sumatera Terhadap Variabilitas Musim Di Wilayah Zona Musim Sumatera Barat 1 Hubungan Suhu Muka Laut Perairan Sebelah Barat Sumatera Terhadap Variabilitas Musim Di Wilayah Zona Musim Sumatera Barat Diyas Dwi Erdinno NPT. 13.10.2291 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika,

Lebih terperinci

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar Matsumoto dan Yamagata (1996) dalam penelitiannya berdasarkan Ocean Circulation General Model (OGCM) menunjukkan adanya variabilitas

Lebih terperinci

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

Lebih terperinci

Musim Hujan. Musim Kemarau

Musim Hujan. Musim Kemarau mm IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisis Data Curah hujan Data curah hujan yang digunakan pada penelitian ini adalah wilayah Lampung, Pontianak, Banjarbaru dan Indramayu. Selanjutnya pada masing-masing wilayah

Lebih terperinci

ANALISIS CUACA PADA SAAT PELAKSANAAN TMC PENANGGULANGAN BANJIR JAKARTA JANUARI FEBRUARI Abstract

ANALISIS CUACA PADA SAAT PELAKSANAAN TMC PENANGGULANGAN BANJIR JAKARTA JANUARI FEBRUARI Abstract ANALISIS CUACA PADA SAAT PELAKSANAAN TMC PENANGGULANGAN BANJIR JAKARTA JANUARI FEBRUARI 2014 Erwin Mulyana 1 erwin6715@yahoo.com Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Abstract Application of weather

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten

Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten Ankiq Taofiqurohman S Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Bandung 40600 ABSTRACT A research on climate variation

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2018

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2018 KATA PENGANTAR Prakiraan Musim Kemarau 2018 Publikasi Prakiraan Musim Kemarau 2018 Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi

Lebih terperinci

MEKANISME INTERAKSI MONSUN ASIA DAN ENSO

MEKANISME INTERAKSI MONSUN ASIA DAN ENSO MEKANISME INTERAKSI MONSUN ASIA DAN ENSO Erma Yulihastin Peneliti Sains Atmosfer, LAPAN e-mail: erma@bdg.lapan.go.id; erma.yulihastin@gmail.com RINGKASAN Pada makalah ini diulas mengenai mekanisme hubungan

Lebih terperinci

Anomali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia Berdasarkan Satelit TRMM Terkait ITCZ

Anomali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia Berdasarkan Satelit TRMM Terkait ITCZ Anomali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia Berdasarkan Satelit TRMM Terkait ITCZ Erma Yulihastin* dan Ibnu Fathrio Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis terjadinya anomali curah

Lebih terperinci

Variasi Iklim Musiman dan Non Musiman di Indonesia *)

Variasi Iklim Musiman dan Non Musiman di Indonesia *) Musiman dan Non Musiman di Indonesia *) oleh : Bayong Tjasyono HK. Kelompok Keahlian Sains Atmosfer Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung Abstrak Beda pemanasan musiman antara

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG 1. TINJAUAN UMUM 1.1.

Lebih terperinci

persamaan regresi. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan kritis adalah sebagai berikut: CH kritis = ( 0.

persamaan regresi. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan kritis adalah sebagai berikut: CH kritis = ( 0. 9 a : intersep (perubahan salinitas jika tidak hujan) b : slope (kemiringan garis regresi). Koefisien determinasi (r 2 ) masing-masing kelompok berdasarkan klaster, tahun, dan lahan peminihan (A dan B)

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang jatuh

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP Prakiraan Musim Hujan 2016/2017 Provinsi Jawa Barat PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

PENGARUH EL NIÑO 1997 TERHADAP VARIABILITAS MUSIM DI PROVINSI JAWA TIMUR

PENGARUH EL NIÑO 1997 TERHADAP VARIABILITAS MUSIM DI PROVINSI JAWA TIMUR PENGARUH EL NIÑO 1997 TERHADAP VARIABILITAS MUSIM DI PROVINSI JAWA TIMUR (THE INFLUENCE OF EL NIÑO 1997 TO SEASONAL VARIABILITY IN EAST JAVA ) Akhmad Fatony 1) Dr. Suwandi 2) Sekolah Tinggi Meteorologi

Lebih terperinci

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN FEBRUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI MALIKUSSALEH-ACEH UTARA. Oleh Febryanto Simanjuntak S.Tr

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN FEBRUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI MALIKUSSALEH-ACEH UTARA. Oleh Febryanto Simanjuntak S.Tr ANALISIS UNSUR CUACA BULAN FEBRUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI MALIKUSSALEH-ACEH UTARA Oleh Febryanto Simanjuntak S.Tr Stasiun Meteorologi Klas III Malikussaleh Aceh Utara adalah salah satu Unit Pelaksana

Lebih terperinci

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS Martono Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPANInstitusi Penulis Email: mar_lapan@yahoo.com Abstract Indian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Gorontalo terletak antara 0 0 30 0 0 54 Lintang Utara dan 122 0 07 123 0 44 Bujur Timur. Pada tahun 2010 kabupaten ini terbagi

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI HUJAN

Lebih terperinci

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina ENSO (EL-NINO SOUTERN OSCILLATION) ENSO (El Nino Southern Oscillation) ENSO adalah peristiwa naiknya suhu di Samudra Pasifik yang menyebabkan perubahan pola angin dan curah hujan serta mempengaruhi perubahan

Lebih terperinci

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA DINAMIKA STASIUN ATMOSFER METEOROLOGI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. interaksi proses-proses fisik dan kimia yang terjadi di udara (atmosfer) dengan permukaan

I. PENDAHULUAN. interaksi proses-proses fisik dan kimia yang terjadi di udara (atmosfer) dengan permukaan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Studi tentang iklim mencakup kajian tentang fenomena fisik atmosfer sebagai hasil interaksi proses-proses fisik dan kimia yang terjadi di udara (atmosfer) dengan permukaan

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 IDENTIFIKASI CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI

Lebih terperinci

PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN MENGGUNAKAN PARAMETER SEA SURFACE TEMPERATURE DI PANGKALPINANG

PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN MENGGUNAKAN PARAMETER SEA SURFACE TEMPERATURE DI PANGKALPINANG PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN MENGGUNAKAN PARAMETER SEA SURFACE TEMPERATURE DI PANGKALPINANG Aflah Yuliarti 1, Deni Septiadi 2 1 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta 2 Badan Meteorologi

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISIS STASIUN CUACA METEOROLOGI TERKAIT HUJAN

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI ANGIN

Lebih terperinci

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN Oleh Nur Fitriyani, S.Tr Iwan Munandar S.Tr Stasiun Meteorologi Klas I Sultan Aji

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) TERHADAP CURAH HUJAN DI KOTA MAKASSAR

ANALISIS PENGARUH MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) TERHADAP CURAH HUJAN DI KOTA MAKASSAR ANALISIS PENGARUH MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) TERHADAP CURAH HUJAN DI KOTA MAKASSAR Nensi Tallamma, Nasrul Ihsan, A. J. Patandean Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Makassar Jl. Mallengkeri, Makassar

Lebih terperinci

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES Abstrak Kondisi fisiografis wilayah Indonesia dan sekitarnya, seperti posisi lintang, ketinggian, pola angin (angin pasat dan monsun),

Lebih terperinci

KONSISTENSI ANGIN ZONAL TERHADAP POSISI ITCZ UNTUK MENENTUKAN ONSET MONSUN

KONSISTENSI ANGIN ZONAL TERHADAP POSISI ITCZ UNTUK MENENTUKAN ONSET MONSUN KONSISTENSI ANGIN ZONAL TERHADAP POSISI ITCZ UNTUK MENENTUKAN ONSET MONSUN Erma Yulihastin dan Ibnu Fathrio Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional erma@bdg.lapan.go.id Abstract Consistency of zonal

Lebih terperinci

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino G181 Iva Ayu Rinjani dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl.

Lebih terperinci

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 8 eigenvalue masing-masing mode terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC 1 biasanya menjelaskan 60% dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjutnya (Johnson 2002, Wilks 2006, Dool

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FENOMENA ENSO

IDENTIFIKASI FENOMENA ENSO IDENTIFIKASI FENOMENA ENSO (El Nino-Southern Oscillation) DAN IOD (Indian Ocean Dipole) TERHADAP DINAMIKA WAKTU TANAM PADI DI DAERAH JAWA BARAT (Studi Kasus Kabupaten Indramayu dan Cianjur) ERICA PURWANDINI

Lebih terperinci

PERUBAHAN KLIMATOLOGIS CURAH HU]AN DI DAERAH ACEH DAN SOLOK

PERUBAHAN KLIMATOLOGIS CURAH HU]AN DI DAERAH ACEH DAN SOLOK PERUBAHAN KLIMATOLOGIS CURAH HU]AN DI DAERAH ACEH DAN SOLOK Junlartl Visa PenelW Pusat Pwnanfeatan Sains Atmosfer dan IkHm, LAPAN ABSTRACT The analysis of rainfall climatologic change of Aceh and Solok

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI HUJAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang dalam air laut adalah matahari. Daerah yang

Lebih terperinci

LAPORAN POTENSI HUJAN AKHIR JANUARI HINGGA AWAL FEBRUARI 2016 DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

LAPORAN POTENSI HUJAN AKHIR JANUARI HINGGA AWAL FEBRUARI 2016 DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT LAPORAN POTENSI HUJAN AKHIR JANUARI HINGGA AWAL FEBRUARI 2016 DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOSFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS I KEDIRI-MATARAM 2016 1 Stasiun Klimatologi

Lebih terperinci

ANALISIS RAGAM OSILASI CURAH HUJAN DI PROBOLINGGO DAN MALANG

ANALISIS RAGAM OSILASI CURAH HUJAN DI PROBOLINGGO DAN MALANG ANALISIS RAGAM OSILASI CURAH HUJAN DI PROBOLINGGO DAN MALANG Juniarti Visa Bidang Pemodelan Iklim, Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim-LAPAN Bandung Jl. DR. Junjunan 133, Telp:022-6037445 Fax:022-6037443,

Lebih terperinci

ANALISIS ANGIN ZONAL DI INDONESIA SELAMA PERIODE ENSO

ANALISIS ANGIN ZONAL DI INDONESIA SELAMA PERIODE ENSO Analisis Angin Zonal di Indonesia selama Periode ENSO (E. Mulyana) 115 ANALISIS ANGIN ZONAL DI INDONESIA SELAMA PERIODE ENSO Erwin Mulyana 1 Intisari Telah dianalisis angin zonal di Indonesia selama periode

Lebih terperinci

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT & PROSPEK CUACA WILAYAH NUSA TENGGARA TIMUR DESEMBER 2016 JANUARI 2017 FORECASTER BMKG EL TARI KUPANG

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT & PROSPEK CUACA WILAYAH NUSA TENGGARA TIMUR DESEMBER 2016 JANUARI 2017 FORECASTER BMKG EL TARI KUPANG ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT & PROSPEK CUACA WILAYAH NUSA TENGGARA TIMUR DESEMBER 2016 JANUARI 2017 FORECASTER BMKG EL TARI KUPANG KUPANG, 12 JANUARI 2017 OUTLINE ANALISIS DINAMIKA SKALA GLOBAL Gerak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang antara 95 o BT 141 o BT dan 6 o LU 11 o LS (Bakosurtanal, 2007) dengan luas wilayah yang

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI BMKG BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI Alamat : Bandar Udara Mali Kalabahi Alor (85819) Email : stamet.mali@gmail.com Telp. : (0386) 2222820 Fax. : (0386) 2222820

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Parameter Curah Hujan model REMO Data curah hujan dalam keluaran model REMO terdiri dari 2 jenis, yaitu curah hujan stratiform dengan kode C42 dan curah hujan konvektif dengan

Lebih terperinci

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA Martono Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN, Jl.dr.Djundjunan 133, Bandung, 40173 E-mail :

Lebih terperinci

EKSPLANASI ILMIAH DAMPAK EL NINO LA. Rosmiati STKIP Bima

EKSPLANASI ILMIAH DAMPAK EL NINO LA. Rosmiati STKIP Bima ABSTRAK EKSPLANASI ILMIAH DAMPAK EL NINO LA Rosmiati STKIP Bima Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki pulau pulau besar dan kecil berada di daerah tropis, menerima radiasi matahari paling banyak

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI BMKG Alamat : Bandar Udara Mali Kalabahi Alor (85819) Telp. Fax. : (0386) 2222820 : (0386) 2222820 Email : stamet.mali@gmail.com

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan bentuk topografi yang sangat beragam, dilewati garis katulistiwa, diapit dua benua dan dua samudera. Posisi ini menjadikan Indonesia

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1. ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI HUJAN

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI ANGIN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Segala kritik dan saran sangat kami harapkan guna peningkatan kualitas publikasi ini. Semoga bermanfaat.

KATA PENGANTAR. Segala kritik dan saran sangat kami harapkan guna peningkatan kualitas publikasi ini. Semoga bermanfaat. KATA PENGANTAR Laporan rutin kali ini berisi informasi analisa hujan yang terjadi pada bulan Mei 2011 di wilayah Banten dan DKI Jakarta. Serta informasi prakiraan hujan untuk bulan Juli, Agustus, dan September

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA ANOMALI SUHU PERMUKAAN LAUT DENGAN CURAH HUJAN DI JAWA

HUBUNGAN ANTARA ANOMALI SUHU PERMUKAAN LAUT DENGAN CURAH HUJAN DI JAWA Hubungan antara Anomali Suhu Permukaan Laut.(Mulyana) 125 HUBUNGAN ANTARA ANOMALI SUHU PERMUKAAN LAUT DENGAN CURAH HUJAN DI JAWA Erwin Mulyana 1 Intisari Perubahan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil dan Verifikasi Hasil simulasi model meliputi sirkulasi arus permukaan rata-rata bulanan dengan periode waktu dari tahun 1996, 1997, dan 1998. Sebelum dianalisis lebih

Lebih terperinci

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

El-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP CURAH HUJAN DI MANADO SULAWESI UTARA EL-NINO AND ITS EFFECT ON RAINFALL IN MANADO NORTH SULAWESI

El-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP CURAH HUJAN DI MANADO SULAWESI UTARA EL-NINO AND ITS EFFECT ON RAINFALL IN MANADO NORTH SULAWESI El-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP CURAH HUJAN DI MANADO SULAWESI UTARA Seni Herlina J. Tongkukut 1) 1) Program Studi Fisika FMIPA Universitas Sam Ratulangi, Manado 95115 ABSTRAK Telah dilakukan analisis

Lebih terperinci

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I APRIL 2017

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I APRIL 2017 BMKG ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I APRIL 2017 BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM 1 BMKG OUTLINE Analisis dan Prediksi Angin, Monsun, Analisis OLR Analisis

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI TANJUNGPANDAN

STASIUN METEOROLOGI TANJUNGPANDAN BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI TANJUNGPANDAN BMKG Bandara H.AS. Hanandjoeddin Tanjungpandan 33413 Telp. : 07199222015 Email: stamettdn@yahoo.com IDENTIFIKASI CUACA TERKAIT

Lebih terperinci