KETERLIBATAN BANK INDONESIA DALAM MEMPRAKARSAI RANCANGAN UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KETERLIBATAN BANK INDONESIA DALAM MEMPRAKARSAI RANCANGAN UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA"

Transkripsi

1 KETERLIBATAN BANK INDONESIA DALAM MEMPRAKARSAI RANCANGAN UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Disusun oleh: 1 Dr. Drs. Paripurna, S.H., M.Hum., LLM. Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu, S.H., LLM. Veri Antoni, S.H., M.Hum. Dian Agung Wicaksono, S.H., LLM. Abstrak Keterlibatan BI dalam memprakarsai RUU yang terkait dengan tugas dan kewenangan BI, yaitu melalui: Pertama, jalur legislasi. Pada jalur ini, setidaknya terdapat 3 (tiga) alternatif pilihan, yaitu: Opsi Kesatu, BI menjadikan diri sebagai pemrakarsa, dengan catatan semua perubahan pengaturan di atas sudah dilakukan, maka BI dapat menjadi pemrakarsa RUU dari jalur pemerintah atau pengusul RUU dari jalur DPR. BI dapat juga memilih langkah untuk menyusun suatu RUU yang berkaitan dengan fungsi, tugas, kewajiban dan lembaganya, kemudian dari RUU yang dibuat tersebut BI memilih jalur di antara DPR, Presiden, atau DPD untuk selanjutnya dapat diajukan. Opsi Kedua, BI hanya menunggu permintaan dan undangan dari Pemerintah yang diwakili oleh Menteri untuk dilibatkan dalam proses pembahasan suatu RUU. Derajat ini berpegang pada definisi legalistik formal bahwa kewenangan pemrakarsa hanya dapat dilakukan menteri/pimpinan lembaga pemerintah non-departemen. Opsi Ketiga, BI membangun kerja sama dengan lembaga yang dapat mengusulkan atau memprakarsai RUU dalam hal pembangunan hukum di bidang kewenangan BI. Kedua, jalur ajudikasi atau negatif legislasi. BI mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD di Mahkamah Konstitusi atas kerugian konstitusional yang diderita oleh BI dengan keberlakuan pengaturan dalam UU BI yang telah sah berlaku. Selain itu, BI juga harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penafsiran atas Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 sebagai koridor untuk memperjelas fungsi, tugas, kewenangan dan independensi BI. Dengan demikian, dapat dinilai apakah selama ini norma dalam UU BI sudah sejalan dengan norma konstitusi atau belum. Tidak dilibatkannya BI dalam proses legislasi UU yang mengatur terkait kewenangan BI tentu membawa dampak yang signifikan terhadap pelaksanaan kewenangan konstitusional BI, yang tentu mengarah pada munculnya kerugian konstitusional yang diderita oleh BI. Hal tersebut setidaknya cukup untuk menjadi dasar mengapa BI harus dilibatkan dalam proses legislasi UU yang terkait dengan kewenangan BI. 1 Dosen FH UGM 1

2 A. Latar Belakang Membahas mengenai Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral, tentu tidak dapat dilepaskan dari desain konstitusional yang menyatakan bahwa negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan UU. 2 Hal tersebut menunjukkan adanya pengakuan secara konstitusional terhadap eksistensi bank sentral dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh BI. Pengaturan lebih lanjut mengenai bank sentral dengan undang-undang (bij de wet geregeld) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) inilah yang sejatinya menjadi konstruksi utama dalam memberikan arah pengaturan mengenai bank sentral di Indonesia. Pengaturan lebih lanjut inilah yang dapat mendudukkan dan memberikan desain spesifik mengenai kewenangan, kelembagaan, dan kedudukan bank sentral (Bank Indonesia) dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Salah satu aspek utama dalam desain bank sentral adalah terkait kemandirian bank sentral dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Sebab secara historis ketidakmandirian bank sentral merupakan salah satu penyebab utama terjadinya krisis ekonomi sebelum dilakukannya perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). 3 Dalam perjalanan selanjutnya, beriringan dengan proses perubahan UUD 1945, Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga melakukan proses penggantian Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, yang memberi kedudukan kepada BI sebagai pembantu pemerintah dalam melaksanakan kebijakan moneter yang disusun dan ditetapkan oleh Dewan Moneter, sehingga BI pada saat itu merupakan bagian integral dari pemerintah. 4 Oleh karena itu, DPR bersama Presiden akhirnya bersepakat memberikan kemandirian kepada Bank Indonesia sebagai bank sentral melalui UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pemberian kemandirian kepada BI bertujuan agar BI tidak lagi menjadi bagian dari pemerintah. Namun, dalam perjalanannya kemandirian BI yang diberikan oleh UU Nomor 23 Tahun 1999 direvisi melalui UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang meredefinisi kemandirian BI dengan memberikan pembatasan dalam hal melaksanakan tugas dan kewenangannya. Hal ini dipandang penting sebab diperlukan koordinasi yang lebih erat antara BI sebagai pemegang otoritas moneter dengan Pemerintah sebagai pemegang otoritas fiskal dan sektor riil dalam rangka mewujudkan kestabilan nilai rupiah. 5 Redefinisi atas terminologi independensi BI dapat diartikan sebagai bentuk degradasi level kemandirian BI sebagai lembaga negara yang independen atau pula dimaknai sebagai bentuk konkretisasi independensi. Revisi kemandirian dan luasan cakupan interaksi BI setidak-tidaknya dapat mempengaruhi kemandirian BI dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam menjaga stabilitas nilai rupiah. Di luar pelaksanaan tugas dan kewenangan BI, salah satu bentuk interaksi tersebut adalah peran DPR dalam penentuan anggaran BI berdasarkan Pasal 60 UU Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 6 Tahun 2009 (UU BI), yang menentukan bahwa anggaran operasional BI harus dimintakan persetujuan dari DPR. Bahkan dalam 2 Pasal 23D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia, Kemandirian Anggaran Bank Indonesia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 10, No. 3, September - Desember 2012, hlm Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843). 5. Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843). 2

3 perkembangan kekinian di tengah wacana adanya revisi UU BI, DPR juga menghendaki adanya persetujuan DPR terlebih dahulu dalam penetapan anggaran kebijakan yang sebelumnya hanya wajib dilaporkan secara khusus kepada DPR. Bukan hanya itu, desain UU BI saat ini juga sangat dominan aspek pengawasan dari DPR. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 38 ayat (4) UU BI yang mengatur bahwa kinerja Dewan Gubernur dan Anggota Dewan Gubernur dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dinilai oleh DPR. DPR juga kemudian berwenang memberikan persetujuan menurut Pasal 62 ayat (3) UU BI bilamana Pemerintah hendak memberikan injeksi modal karena modal BI kurang dari Rp2Trilyun. Tentu pengaturan mengenai modal minimum BI merupakan hal yang tidak tepat mengingat BI bukanlah commercial entity. Beranjak dari permasalahan tersebut di atas, maka perlu kemudian dimaknai kembali substansi kemandirian yang dilekatkan kepada BI, yang mana desain kemandirian tersebut sepenuhnya merupakan pilihan kebijakan (legal policy) yang dituangkan dengan UU khusus yang mengatur susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensi bank sentral. Sebagai lembaga negara yang independen, yang bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya. 6 Menjadi hal yang harus ditelaah lebih lanjut untuk melibatkan BI dalam proses pembentukan UU yang mengatur lebih lanjut terkait kewenangan BI sebagai bank sentral di Indonesia. Pelibatan BI semata dalam kerangka menjaga konsistensi independensi bank sentral sebagai lembaga negara yang diamanatkan oleh konstitusi. Keterlibatan BI penting khususnya dalam mengawal pembentukan UU yang terkait dengan susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensi agar kemudian substansi UU tersebut koheren dan dapat diimplementasikan dengan tepat oleh BI. Peluang BI untuk dapat turut membahas RUU sebenarnya terbuka melalui Pasal 68 ayat (6) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang berbunyi, Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika materi Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain. 7 Pasal a quo membuka peluang BI untuk turut serta dalam tahap pembicaraan tingkat I dalam pembentukan suatu RUU yang substansi terkait dengan kewenangan lembaga negara yang lain. Peluang tersebut menjadi bernilai sangat politis karena frasa yang mengatur hanya berbunyi dapat diundang dan bukan harus mengundang. Padahal bila memang substansi yang diatur dalam RUU tersebut terkait erat dengan kewenangan lembaga negara yang lain sudah sepatutnya bila lembaga negara tersebut wajib untuk diundang, sehingga apa yang diatur dalam UU tersebut sejalan dan dapat diimplementasikan oleh lembaga yang terkait. Sejatinya, keterlibatan bank sentral dalam proses pengusulan RUU bukan lagi hal baru dalam konteks kebanksentralan di dunia. Bank Sentral Cyprus (Cyprus Central Bank/CCB) mengusulkan RUU terkait restrukturisasi sektor perbankan yang terkena krisis, yakni dengan merekomendasikan pengajuan mendesak dan pemberlakuan segera menjadi UU Reorganisasi dan Pemulihan Sistem Perbankan Cyprus oleh Parlemen Cyprus. 8 RUU tersebut akhirnya 7 Pasal 68 ayat (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843). 6 Bagian Konsiderans Menimbang huruf d dan Pasal 4 ayat (2) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843). 8 Redaksi Suara Merdeka, Harga Minyak Dunia Turun Imbas Krisis Siprus, /Harga-Minyak-Dunia-Turun-Imbas-Krisis-Siprus, diakses 12 April

4 disahkan oleh 26 suara, dengan 2 suara menolak dan 25 abstain. 9 Fakta tersebut cukup memberikan ilustrasi bahwa pelibatan bank sentral dalam proses pembahasan RUU adalah sebuah hal yang dapat dimungkinkan terjadi. Oleh karena itu, diperlukan pula kajian mendalam untuk menganalisis peluang keterlibatan BI dalam memprakarsai RUU dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. B. Bank Indonesia dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia 1. Desain Kelembagaan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang Mandiri a. Pengaturan Bank Sentral dalam Konstitusi Sebelum masa reformasi terdapat tiga konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), Konstitusi RIS 1949 (KRIS 1949), dan UUD Sementara 1950 (UUDS 1950). Ketiganya memberikan rumusan pengaturan yang berbeda terkait bank sentral, yaitu: 1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Berdasarkan pembahasan rancangan UUD 1945 dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), tidak ditemukan adanya usulan ataupun pembahasan mengenai bank sentral. Pembahasan yang mengemuka saat itu lebih banyak terkait dengan hal keuangan dan anggaran negara serta perekonomian dan kesejahteraan sosial secara umum. Namun demikian, dalam penjelasan Pasal 23 UUD 1945 yang dibuat kemudian dan untuk pertama kalinya diumumkan dalam 9 Ella Syafputri, Parlemen Siprus Setujui RUU Restrukturisasi Bank, diakses 12 April Berita Negara Republik Indonesia, termuat keterangan mengenai bank sentral. 10 Penjelasan Pasal 23 UUD 1945 menyebutkan bahwa, Kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas, ditetapkan dengan undang-undang. 11 2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 (KRIS 1949). Bank sentral dalam KRIS 1949 diatur dalam Pasal 164 ayat (4) dan Pasal 165. Pasal 164 ayat (4) menyatakan, Pengeluaran alat-alat pembayaran yang sah dilakukan oleh atau atas nama Republik Indonesia Serikat ataupun Bank Sirkulasi. Pasal 165 ayat (1) menyatakan, Untuk Indonesia ada satu Bank Sirkulasi, sedangkan ayat (2), Penunjukan sebagai Bank Sirkulasi dan pengaturan tatanan dan kekuasaannya dilakukan dengan undang-undang Federal. 3) Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Pengaturan bank sentral dalam UUDS 1950 terdiri atas tiga ayat yang terdapat dalam Bab IV tentang Keuangan, yaitu Pasal 109 ayat (4), Pasal 110 ayat (1) dan (2). Pasal 109 ayat (4) menyebutkan, Pengeluaran alat-alat 10 Penjelasan ini dibuat oleh Soepomo untuk kepentingan sosialisasi naskah UUD 1945 yang telah disahkan pada tanggal 18 Agustus Karena itu, dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1946, judulnya ditulis dengan kata tentang, yaitu: Pendjelasan tentang Oendang-Oendang Dasar Negara Repoeblik Indonesia, bukan Penjelasan Oendang- Oendang Dasar Negara Repoeblik Indonesia sebagai judul dokumen. 11 Dengan demikian berdasarkan penjelasan Pasal tersebut, eksistensi konstitusional Bank Indonesia sebagai nama dan sebagai institusi bank sentral sudah diungkapkan secara eksplisit. Sayangnya, ketentuan tersebut hanya terdapat dalam penjelasan, yang meskipun sudah diberlakukan sebagai bagian dari UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden, tetapi tidak bersifat imperatif. Oleh karena itu, sebelum Undang-Undang tentang Bank Indonesia disusun, atas kebutuhan ketika itu, maka Bank Negara Indonesia Tahun 1946 yang dibentuk lebih dahulu yang disamping merupakan Bank Komersial atau Bank yang melaksanakan tugas Bank Indonesia sebagai Bank Sentral. 4

5 pembayaran yang sah dilakukan oleh atau atas nama Pemerintah Republik Indonesia ataupun oleh Bank Indonesia. Sedangkan Pasal 101 ayat (1), Untuk Indonesia ada satu Bank Sirkulasi, sedangkan ayat (2) menyebutkan, Penunjukan sebagai Bank Sirkulasi dan pengaturan tatanan dan kekuasaannya dilakukan dengan undangundang. Setelah masa reformasi, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (selanjutnya disebut MPR RI) menggarisbawahi salah satu kebijakan reformasi pembangunan yang harus dilakukan guna penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional adalah restrukturisasi dan penyehatan perbankan. 12 Proses restrukturisasi dan penyehatan perbankan harus dimulai dengan mewujudkan bank sentral yang tidak dapat diintervensi oleh pemerintah. Sebab menurut MPR RI, salah satu penyebab melemahnya perekonomian nasional pada saat itu adalah sistem perbankan yang tidak mandiri. Ketidakmandirian ini dikarenakan adanya kewenangan pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap bank sentral. 13 Berbeda dengan tiga UUD sebelumnya, hanya UUD 1945 Hasil Amandemen IV yang secara tegas menyebutkan tentang independensi bank sentral, 14 dengan rumusan Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 bahwa, Negara memiliki 12 Lihat Bab IV, huruf a, butir c Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. 13 Lihat Bab II, huruf a Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. suatu Bank Sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undangundang. Pencantuman independensi ke dalam batang tubuh konstitusi juga terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat ini tercatat dalam Risalah Rapat Pleno ke-14 Panitia Ad- Hoc I Badan Pekerja MPR, tertanggal 14 Maret Pendapat yang setuju, misalnya, diwakili oleh Lukman Hakim dari F-PPP, dengan pertimbangan karena pada masa lalu bank sentral selalu begitu mudah diintervensi oleh pemerintah, maka larangan terhadap intervensi ini harus dilakukan dengan cara menegaskan independensi bank sentral dalam UUD. 15 Pendapat yang sama diungkapkan Gregorius Seto Harianto dari F-PDKB bahwa telah ada kesepakatan dalam amandemen UU Nomor 23 Tahun 1999 untuk mempertahankan independensi Bank Indonesia dalam melaksanakan tugasnya. Pendapat yang tidak setuju pencantuman independensi dalam batang tubuh konstitusi, misalnya diwakili oleh Pataniari Siahaan dari F-PDIP, yang berpendapat bahwa independensi itu cukup dicantumkan dalam undang-undang, karena bank sentral itu hanya independensi dari kekuasaan pemerintah. Pendapat seperti ini juga disetujui oleh Mayjen TNI Affandi dari F-TNI/POLRI, dengan alasan menimbulkan implikasi politik, karena akan timbul multi interpretasi selain menimbulkan kekakuan. Tidak perlunya independensi ini dicantumkan dalam konstitusi juga dinyatakan oleh Soedijarto dari F-UG, karena independensi dinilai cukup dinyatakan dalam undangundang. Pendapat ini juga menjadi pendapat A.M. Lutfi dari F-Reformasi. 14 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2002, Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, hlm Ibid., hlm

6 16 Ibid., hlm Selain masalah independensi bank sentral, masalah lain yang cukup pelik menjadi perdebatan adalah status Bank Indonesia sebagai lembaga negara. Hal ini terkait dengan tidak adanya penjelasan dalam undangundang tentang kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen, yang dapat dikategorikan sama dengan lembaga tinggi negara lainnya, seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Agung, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara. 16 Dalam keterangan pemerintah yang dikemukakan oleh Menteri Keuangan pada Rapat Kerja Komisi VIII ke-6, tanggal 9 Maret 1999 dinyatakan bahwa: [ ] Ingin disebut lembaga pemerintahan tidak bisa, karena governance agency dia tidak bisa karena di luar pemerintahan. Tapi dia bukan swasta, dia juga bukan lembaga tinggi negara, tapi dia bukan lembaga swasta, bukan private agency, bukan governance agency, bukan sebagai lembaga tinggi negara. Ini suatu agency, suatu lembaga bukan pemerintahan tapi punya negara. [ ]. 17 Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Departemen Kehakiman memberikan penjelasan pada Rapat Panitia Kerja ke-2, tanggal 25 Maret 1999, bahwa Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen sejajar dengan menteri dan peraturan yang 17 Sekretariat Komisi VIII, 1999a, Proses Pembahasan Rancangan Undang- Undang Republik Indonesia tentang Bank Indonesia, Buku II, Rapat ke- 6, 9 Maret 1999, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, hlm. 62. Lihat juga Maqdir Ismail, Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia, Jurnal Hukum, Vol. 17, No. 3, Juli 2010, hlm dibuatnya pun sejajar dengan keputusan Menteri. 18 Penjelasan-penjelasan pemerintah di atas secara jelas mendudukkan Bank Indonesia sebagai lembaga negara, bukan merupakan lembaga tinggi negara. Adapun mengenai kesetaraan antara Bank Indonesia dengan lembaga tinggi negara dalam menjalankan fungsinya dapat dilihat dari hubungan kerja antara Bank Indonesia dengan pemerintah dalam kedudukannya sebagai lembaga negara yang independen sebagaimana diatur dalam Pasal 52 sampai dengan Pasal 56 UU Nomor 23 Tahun 1999 jo. UU Nomor 3 Tahun Dengan statusnya yang spesial ini, meminjam istilah Klaus Stern, maka Bank Indonesia harus dilihat sebagai the highest executive state bodies 19, dengan its designation as an authority is applicable only to a very restricted extent 20. Hal tersebut yang kemudian membuat Ellen Kennedy menyimpulkan bahwa bank sentral adalah [ ] is not a constitutional branch like the judiciary, legislative or executive, the Bundesbank operate in constitutive manner and its norm of monetary stability is more like a constitutional principle Sekretariat Komisi VIII, 1999b, Proses Pembahasan Rancangan Undang- Undang Republik Indonesia tentang Bank Indonesia, Buku IV, Rapat ke- 15, 25 Maret 1999, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, hlm. 79. Lihat juga Maqdir Ismail, Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia, Op.cit., hlm Klaus Stern, The Note-Issuing Bank within the State Structure, dalam Deutsche Bundesbank (Ed.), 1999, Fifty Years of the Deutsche Mark, Central Bank and the Currency in Germany since 1948, Oxford University Press, UK, hlm Lihat juga Maqdir Ismail, Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia, Op.cit., hlm Klaus Stern, The Note-Issuing Bank within the State Structure, Op.cit., hlm Lihat juga Maqdir Ismail, Menselaraskan Undang-Undang Bank Sentral dan Undang-Undang Perbankan, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4, No. 2, Juni 2007, hlm Ellen Kennedy, 1991, The Bundesbank Germany s Central Bank in the International Monetary System, The Royal Institute of International Affairs, Pinter Publishers, London, hlm. 11. Lihat juga Maqdir Ismail, Menselaraskan Undang-Undang Bank Sentral dan Undang-Undang Perbankan, Loc.cit. 6

7 Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, pasca reformasi desain kelembagaan Bank Indonesia sebagai bank sentral merupakan reaksi atas pengalaman ketika Bank Indonesia dengan mudah diintervensi pemerintah, yang berakibat Bank Indonesia tidak dapat melaksanakan fungsinya secara baik, sehingga melahirkan isu independensi Bank Indonesia. Desain kelembagaan Bank Indonesia atas dasar respon pengalaman masa lalu dibandingkan pertimbangan akademis yang lebih bersifat teoritis membuat desain Bank Indonesia menjadi lembaga yang unik bila dibandingkan dengan lembaga-lembaga negara lainnya. b. Pengaturan Bank Sentral dalam Undang- Undang Sebagaimana telah juga dikutip di atas, Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa, Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan indipendensinya diatur dengan undang-undang. Berdasarkan ketentuan Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 tersebut, meskipun ketentuan konstitusional tentang bank sentral hanya terdiri dari satu pasal, namun terkandung substansi yang mendasar. Pertama, negara ditegaskan memiliki satu bank sentral. Suatu bank sentral itu menunjukkan kepada satu lembaga yang berfungsi sebagai bank sentral dengan nama yang tidak ditentukan secara eksplisit. Kedua, bank sentral yang dimaksudkan itu mempunyai susunan, kewenangan, tanggung jawab, dan kedudukan yang independen. Ketentuan mengenai susunan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya akan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Menariknya, bilamana dibandingkan dengan lembaga lain, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden, maka kedudukan Bank Indonesia dalam struktur kenegaraan Republik Indonesia tidak ditentukan secara eksplisit dalam UUD NRI Tahun 1945, tetapi hanya ditentukan dalam UU. Bank Indonesia adalah lembaga negara yang ditentukan dalam UUD NRI Tahun 1945, tetapi kewenangannya diberikan oleh UU. Oleh karenanya, sangatlah sulit untuk mengatakan bahwa Bank Indonesia adalah state agency (dalam perspektif state agency adalah lembaga atau institusi yang dibentuk oleh undang-undang) 22, sebab Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana ditentukan lewat UU Bank Indonesia. Akibatnya, susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensi bank Indonesia, sepenuhnya bergantung pada kesepakatan (konsensus) antara DPR dan Presiden, selaku pemegang kekuasaan membentuk UU. Dinamika pengaturan tersebut terlihat dari rumusan desain Bank Indonesia pada UU yang mengatur tentang Bank Indonesia. Pasal 4 UU Nomor 23 Tahun 1999 menyebutkan bahwa Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU Bank Indonesia. Kemudian, pada Pasal 4 UU Nomor 3 Tahun 2004 sebagai perubahan UU Nomor 23 Tahun 1999, rumusan desain Bank Indonesia mengalami perubahan, khususnya pada bagian luasan independensi yang dilekatkan pada Bank Indonesia. Dalam aturan perubahan disebutkan bahwa Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan 22 Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia, Kemandirian Anggaran Bank Indonesia, Op.cit., hlm

8 pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU Bank Indonesia. Penambahan frasa dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya menunjukkan dinamika desain independensi Bank Indonesia yang ditentukan oleh substansi pengaturan dalam UU Bank Indonesia. Salah satu bentuk konsekuensi pemberian independensi kepada Bank Indonesia adalah diberikannya kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatur atau membuat/menerbitkan peraturan yang merupakan pelaksanaan undang-undang. 23 Keleluasaan dalam mengatur ini merupakan salah satu perwujudan kemandirian yang dimiliki oleh Bank Indonesia. Selain diberi kewenangan untuk mengatur atau membuat/menerbitkan peraturan, Bank Indonesia juga diberi keleluasaan dalam mengatur struktur, kepegawaian, keuangan, dan bahkan penggajian bagi Gubernur, Deputi Senior Gubernur, dan para Deputi Bank Indonesia. Dengan demikian, kemandirian tidak hanya sebatas pembentukan peraturan perundang-undangan saja, tetapi juga diberi kemandirian dalam menentukan dan mengatur organisasinya. Lebih lanjut, UU Nomor 23 Tahun 1999 juga memberikan kewenangan Bank Indonesia untuk secara langsung mengusulkan dan menetapkan anggaran tahunan dan memberitahukannya ke DPR dan Presiden. 24 Konstruksi ini sangat mengukuhkan kemandirian Bank Indonesia dalam konstelasi 23 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843). 24 Pasal 60 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843). sistem ketatanegaraan Indonesia, sebab tidak ada lembaga negara lain dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang dapat secara langsung mengajukan anggarannya kepada DPR dan Presiden, melainkan harus melalui proses penganggaran yang normal, yaitu melalui proses anggaran pendapatan dan belanja negara sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UUD Kemandirian mengusulkan dan menetapkan penganggaran secara normatif mulai direduksi dengan dilakukannya perubahan terhadap UU Nomor 23 Tahun 1999 melalui UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun Perubahan tersebut secara spesifik difokuskan pada penyesuaian mekanisme perumusan kebijakan moneter dan penataan kembali kelembagaan Bank Indonesia sebagai penanggung jawab otoritas kebijakan moneter. 26 Kedua hal ini menjadi fokus perubahan karena dengan perubahan ini diharapkan dapat memperkuat akuntabilitas, transparansi, dan kredibilitas Bank Indonesia tanpa mengurangi makna independensi lembaga negara. 27 UU Nomor 3 Tahun 2004 dinilai melakukan pembatasan terhadap independensi yang dimiliki oleh Bank Indonesia berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 1999 dengan memberi batasan kata independensi dalam Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 1999, yaitu menambahkan frasa dalam melaksanakan 25 Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia, Kemandirian Anggaran Bank Indonesia, Op.cit., hlm Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357). 27 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357). 8

9 tugas dan wewenangnya. Dengan ditambahkannya frasa ini, makna independensi dibatasi hanya dalam melaksanakan tugas dan kewenangan saja dan tidak pada bidang lain. Artinya, DPR dan Presiden dapat dimaknai sepakat untuk mereduksi derajat independensi yang telah mereka berikan melalui UU Nomor 23 Tahun 1999 atau mengkonkretkan makna independensi yang dimiliki Bank Indonesia. 2. Hubungan Bank Indonesia dengan Lembaga Negara Lain a. Hubungan Bank Indonesia dengan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam rangka menelaah hubungan Bank Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), perlu ditelaah kembali ketentuan Pasal 4 UU Nomor 3 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU Bank Indonesia. Tugas dan wewenang yang dimaksud dalam Pasal 4 tersebut dijabarkan dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU Bank Indonesia, yang mana disebutkan bahwa fungsi atau tujuan utama dari Bank Indonesia memelihara kestabilan nilai rupiah. 28 Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia diberi kewenangan untuk menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan moneter, dan mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. 29 Ketentuan Pasal 4 tersebut menjadi penting ketika dinyatakan bahwa Bank Indonesia adalah lembaga negara independen, bebas dari campur tangan pemerintah atau pihak lain, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat. Rumusan tersebut kemudian disambung dengan frasa kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini, maka dengan demikian rumusan Pasal tersebut bila dimaknai secara argumentum a contrario berarti Pemerintah dan DPR hanya dapat mencampuri urusan Bank Indonesia untuk hal-hal yang memang diatur dalam UU Bank Indonesia. Dengan demikian, campur tangan tersebut dijabarkan dalam relasi yang tercermin dalam Pasal 58, 58A, dan 59. Pada umumnya hubungan antara bank sentral dengan parlemen diatur secara umum terutama dalam bentuk pertanggungjawaban bank sentral kepada parlemen. Parlemen mempunyai hak untuk melakukan evaluasi terhadap rencana dan kegiatan bank sentral. Hal ini terjadi karena dianggap parlemen telah mendelegasikan wewenang dan kekuasaannya dalam kebijakan moneter, sehingga parlemen berwenang untuk meminta pertanggungjawaban dari bank sentral. Parlemen pada umumnya mempunyai hak dan kesempatan untuk memberikan penilaian dan melakukan review performance dari bank sentral dalam hubungannya dengan kebijakan moneter. Sementara bank sentral pun mempunyai hak dan kewajiban untuk memberikan penjelasan dan pembenaran atas kebijakan tersebut. 28 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357). 29 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843). Pasal 58 ayat (1) menyebutkan bahwa Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan tahunan, yang memuat antara lain: (a) pelaksanaan tugas dan wewenangnya pada tahun sebelumnya; dan (b) rencana kebijakan, penetapan sasaran, dan langkah-langkah pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia untuk tahun yang akan datang 9

10 dengan memperhatikan perkembangan laju inflasi serta kondisi ekonomi dan keuangan. 30 Selanjutnya dalam Pasal 58 ayat (4) disebutkan dalam hal DPR memerlukan penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, termasuk dalam rangka penilaian terhadap kinerja Bank Indonesia, Bank Indonesia wajib menyampaikan penjelasan secara tertulis. 31 Selain laporan tahunan, berdasarkan Pasal 58 ayat (2), Bank Indonesia diwajibkan juga untuk menyampaikan laporan triwulan secara tertulis tentang pelaksanaan tugas dan wewenangnya kepada DPR dan Pemerintah. 32 Laporan triwulan tersebut kemudian dievaluasi oleh DPR dan digunakan sebagai bahan penilaian tahunan terhadap kinerja Dewan Gubernur dan Bank Indonesia. 33 menghendaki pemeriksaan secara khusus mengenai satu masalah atau kegiatan tertentu, maka DPR dapat meminta BPK melakukan pemeriksaan terhadap Bank Indonesia. b. Hubungan Bank Indonesia dengan Pemerintah Sama halnya dengan Dewan Perwakilan Rakyat, ketentuan Pasal 4 UU Bank Indonesia memberikan batasan relasi antara Bank Indonesia dengan Pemerintah, bahwa pemerintah dan DPR hanya dapat mencampuri urusan Bank Indonesia untuk hal-hal yang memang diatur dalam UU Bank Indonesia. Oleh UU Bank Indonesia hal tersebut dijabarkan dalam relasi yang tercermin dalam Pasal 52, 53, 54, 55, dan 56 UU Nomor 23 Tahun 2009 jo. UU Nomor 3 Tahun Lebih jauh dalam Pasal 58A disebutkan, untuk membantu DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap Bank Indonesia dibentuk Badan Supervisi dalam upaya meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas Bank Indonesia. 34 Selanjutnya, dalam hal DPR 30 Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357). 31 Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357). 32 Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357). Ketentuan Pasal 52 menetapkan bahwa Bank Indonesia bertindak sebagai pemegang kas pemerintah. 35 Dalam kedudukannya sebagai pemegang kas terdapat kewajiban Bank Indonesia untuk memberikan bunga atas saldo pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 53 mengatur tentang kewajiban Bank Indonesia sebagai penerima pinjaman luar negeri untuk menata usahakan, serta menyelesaikan tagihan dan kewajiban keuangan Pemerintah terhadap pihak luar negeri. Pasal 54 ayat (1) mengatur kewajiban pemerintah untuk pendapat dan mengundang Bank Indonesia dalam sidang kabinet yang membahas masalah ekonomi, perbankan dan keuangan terutama yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan Bank Indonesia untuk 33 Pasal 58 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357). 34 Pasal 58A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357). 35 Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357). 10

11 memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah mengenai APBN serta kebijakan lain yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia. 36 Ketentuan ini menegaskan posisi kesetaraan fungsi Bank Indonesia dengan pemerintah sebagai badan hukum, yang dapat disejajarkan dengan lembaga tinggi negara lainnya, yang dalam hal ini adalah pemerintah. Selanjutnya, Pasal 55 memuat kewajiban pemerintah berkonsultasi dengan Bank Indonesia, jika pemerintah berkeinginan untuk menerbitkan surat-surat hutang negara. 37 Konsultasi ini diperlukan agar penerbitan surat hutang itu tidak berakibat negatif terhadap kebijakan moneter, sehingga pelaksanaan penjualan surat hutang itu dilakukan sesuai kondisi pasar dan menguntungkan pemerintah. Penerbitan surat hutang Bank Indonesia dapat memberikan bantuan kepada pemerintah. Akan tetapi Bank Indonesia dilarang untuk membeli surat-surat hutang negara di pasar primer untuk diri sendiri, kecuali surat hutang berjangka pendek yang diperlukan dalam operasi pengendalian moneter. Bank Indonesia diperkenankan untuk membeli surat hutang negara di pasar primer dalam rangka pemberian fasilitas pembiayaan darurat, yaitu terhadap hutang negara berjangka paling lama satu tahun. undang-undang melarang Bank Indonesia untuk mengambil keuntungan dari penerbitan surat-surat hutang ini, namun sebagai agen, Bank Indonesia diperbolehkan untuk membeli surat-surat hutang hanya untuk dalam keadaan darurat atau hanya terhadap surat-surat utang berjangka pendek. C. Keterlibatan Bank Indonesia dalam Memprakarsai Rancangan Undang-Undang 1. Proses dan Tahapan Pembentukan Undang- Undang Pembentukan undang-undang adalah bagian dari aktivitas dalam mengatur masyarakat, 38 yang terdiri atas gabungan individu-individu manusia dengan segala dimensinya 39. Sebagai negara hukum, sudah semestinya pembangunan hukum nasional dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin perlindungan hak dan kewajiban rakyatnya. Oleh karena itu, dalam rangka pembangunan hukum nasional, pembentukan suatu peraturan perundang-undangan diatur dengan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Ketentuan tersebut semakin menegaskan posisi Bank Indonesia sebagai agen yang membantu pemerintah dalam menerbitkan surat-surat hutang, sehingga pada saat yang sama Sejatinya, UU Nomor 12 Tahun 2012 bukanlah yang pertama dalam menjadi panduan, melainkan merupakan pengganti dari UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- 36 Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357). 37 Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357). 38 Satjipto Rahardjo, Penyusunan Undang-Undang yang Demokratis, Makalah, Seminar Mencari Model Ideal Penyusunan Undang-Undang yang Demokratis dan Kongres Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, April Dimensi-dimensi manusia yang harus diperhatikan dalam pembentukan undang-undang adalah bahwa manusia itu sebagai makhluk monodualis jiwa-raga, mono-dualis individu-sosial, mono-dualis pribadi mandiri makhluk Tuhan. Lihat dalam Ibid. 11

12 undangan. Penggantian tersebut dilatarbelakangi oleh kelemahan dan kekurangannya dalam menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Kelemahan-kelemahan dalam UU Nomor 10 Tahun 2004, antara lain: 40 a. materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan atau multi tafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum; b. teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten; c. terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum dalam pembentukan peraturan perundangundangan; dan d. penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan sistematika. Sebagai penyempurnaan terhadap UU Nomor 10 Tahun 2004 tersebut, terdapat materi muatan baru yang ditambahkan, antara lain: 41 a. penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya; c. pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; e. pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan; dan f. penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang ini. Pada Sub-bab ini diuraikan proses dan tahapan pembentukan undang-undang. Tahapan kegiatan tersebut mencakup kegiatan perencanaan undang-undang, penyusunan undang-undang, pembahasan rancangan undang-undang, dan pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang. a. Perencanaan Undang-Undang Pasal 16 UU Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam Program Legislasi Nasional atau disingkat Prolegnas. Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis, 42 yang merupakan skala prioritas program pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 41 Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 42 Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 43 Pasal 17 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 12

13 Dalam penyusunannya, Prolegnas disusun daftar rancangan undang-undang didasarkan atas: (a) perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c) perintah Undang-Undang lainnya; (d) sistem perencanaan pembangunan nasional; (e) rencana pembangunan jangka panjang nasional; (f) rencana pembangunan jangka menengah; (g) rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan (h) aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. 44 Muatan dalam Prolegnas adalah program pembentukan undang-undang dengan berisikan judul rancangan undang-undang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya merupakan keterangan mengenai konsepsi rancangan undang-undang yang meliputi: (a) latar belakang dan tujuan penyusunan; (b) sasaran yang ingin diwujudkan; dan (c) jangkauan dan arah pengaturan. 45 Prolegnas disusun oleh DPR dan Pemerintah, yang ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan rancangan undang-undang. Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. Prolegnas jangka menengah tersebut dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan, sedangkan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. 46 Penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. 47 Menurut UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi disebut dengan Badan Legislasi sebagaimana diterangkan dalam Pasal 99 sampai dengan Pasal 103. Sebelum penyusunan Prolegnas secara bersama antara DPR dengan Pemerintah, masing-masing dari DPR dan Pemerintah menyusun rencana Prolegnas-nya masing-masing. Badan Legislasi (Baleg) DPR bertanggungjawab untuk mengoordinasikan penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR. Dalam penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR tersebut, dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat. Sedangkan, penyusunan Prolegnas di lingkungan pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan 44 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 45 Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 46 Pasal 20 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 47 Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 13

14 pemerintahan di bidang hukum atau dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan HAM. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas dalam lingkungan DPR diatur dengan Peraturan DPR. Sedangkan ketentuan lanjutan mengenai tata cara penyusunan Prolegnas di lingkungan pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden. Untuk dapat menjadi Prolegnas yang sah, hasil penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah harus disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR. Penetapan Prolegnas yang disetujui kemudian ditetapkan dengan Keputusan DPR. 48 Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas: (a) pengesahan perjanjian internasional tertentu; (b) akibat putusan Mahkamah Konstitusi; (c) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; (d) pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota; dan (e) penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. 49 Namun demikian, dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Prolegnas dengan cakupan: (a) untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan (b) keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan 48 Pasal 22 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 49 Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). pemerintahan di bidang hukum. 50 Dari daftar hasil penyusunan Prolegnas, rancangan undang-undang yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik. 51 b. Penyusunan Undang-Undang Suatu rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, Presiden atau DPD 52. Dalam melakukan penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan peraturan perundangundangan. Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan tersebut telah ditentukan dalam Lampiran II UU Nomor 12 Tahun Khusus rancangan undang-undang yang berasal dari DPD harus melalui DPR. Rancangan undang-undang yang berasal dari DPD tersebut hanya yang berkaitan dengan kewenangannya, yaitu: (a) otonomi daerah; (b) hubungan pusat dan daerah; (c) pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah; (d) pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan (e) perimbangan keuangan pusat dan daerah Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 51 Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 52 Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Pasal 64 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 54 Pasal 45 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 14

15 Semua rancangan undang-undang yang berasal dari ketiga lembaga tersebut harus disertai Naskah Akademik. Kewajiban adanya naskah akademik tidak berlaku bagi rancangan undang-undang mengenai: (a) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; (b) penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang menjadi Undang-Undang; atau (c) pencabutan Undang-Undang atau pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang. 55 Namun demikian, semua rancangan undang-undang di atas disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur. Rancangan undang-undang yang berasal dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau DPD. Sedangkan rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. Dalam penyusunan rancangan undang-undang, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non- kementerian terkait membentuk panitia antar kementerian dan/atau antar non-kementerian. Harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi, dalam hal ini adalah Badan Legislasi. Sedangkan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undangundang yang berasal dari Presiden 55 Pasal 44 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang- Undang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana telah diatur dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Mengenai usulan rancangan undang-undang yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan tentu saja disertai dengan naskah akademik. Oleh pimpinan DPR, usulan tersebut disampaikan kepada alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi untuk dilakukan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undangundang. Dalam melakukan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang dapat mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD yang mempunyai tugas di bidang perancangan undang-undang untuk membahas usul rancangan undang-undang. Selanjutnya Badan Legislasi menyampaikan laporan tertulis mengenai hasil harmonisasi kepada pimpinan DPR untuk selanjutnya diumumkan dalam rapat paripurna. 56 Rancangan undang-undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden. Selanjutnya Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas rancangan undang-undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima. Menteri yang ditunjuk tersebut mengoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Sebaliknya, rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada 56 Pasal 48 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 15

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 1. Menimbang: Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundang undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693-3265 Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013 HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Keterlibatan Bank Indonesia Dalam Memprakarsai Rancangan Undang-Undang Dalam Sistem Ketatanegaraan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1361, 2016 DPR. Prolegnas. Penyusunan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1124 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT. Program Legislasi Nasional. Penyusunan. Tata Cara. PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG TATA

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Formatted: Left: 3,25 cm, Top: 1,59 cm, Bottom: 1,43 cm, Width: 35,56 cm, Height:

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 01 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

Tata Tertib DPR Bagian Kesatu Umum Pasal 99 Pasal 100 Pasal 101 Pasal 102

Tata Tertib DPR Bagian Kesatu Umum Pasal 99 Pasal 100 Pasal 101 Pasal 102 Tata Tertib DPR Bagian Kesatu Umum Pasal 99 1. Rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD. 2. Rancangan undang-undang dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUM. Peraturan Perundang-undangan. Penyusunan. Pedoman

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUM. Peraturan Perundang-undangan. Penyusunan. Pedoman No.1430, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUM. Peraturan Perundang-undangan. Penyusunan. Pedoman PERATURAN MENTERI KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 08 /PER/M.KUKM/IX/2014

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ------- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BUPATI SAMBAS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH

BUPATI SAMBAS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH BUPATI SAMBAS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PROVINSI KALIMANTAN BARAT PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : Mengingat : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang I. PEMOHON Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dalam hal ini diwakili oleh Irman Gurman, S.E., MBA.,

Lebih terperinci

Page 1 of 10 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TULUNGAGUNG, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang I. PEMOHON Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dalam hal ini diwakili oleh Irman Gurman,

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH 1 GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI SITUBONDO Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR, Menimbang : a. bahwa Peraturan Daerah merupakan

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM

Lebih terperinci

PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DPR RI OLEH: DRA. HJ. IDA FAUZIYAH WAKIL KETUA BADAN LEGISLASI DPR RI MATERI ORIENTASI TENAGA AHLI DPR RI APRIL

PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DPR RI OLEH: DRA. HJ. IDA FAUZIYAH WAKIL KETUA BADAN LEGISLASI DPR RI MATERI ORIENTASI TENAGA AHLI DPR RI APRIL PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DPR RI OLEH: DRA. HJ. IDA FAUZIYAH WAKIL KETUA BADAN LEGISLASI DPR RI MATERI ORIENTASI TENAGA AHLI DPR RI 25-27 APRIL 2011 Program Orientasi Tenaga Ahli DPR RI 25-27 April

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

GUBERNUR JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Bagaimana Undang-Undang Dibuat

Bagaimana Undang-Undang Dibuat Bagaimana Undang-Undang Dibuat Sejak bulan November 2004, proses pembuatan undang-undang yang selama ini dinaungi oleh beberapa peraturan kini mengacu pada satu undang-undang (UU) yaitu Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P No.29, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016

DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016 DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016 Dinamika perkembangan ketatanegaraan di Indonesia terusterjadi. Hal yang kembali mencuat

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. OLEH : SRI HARININGSIH, SH.,MH

MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. OLEH : SRI HARININGSIH, SH.,MH MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. OLEH : SRI HARININGSIH, SH.,MH 1 MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa Peraturan Daerah merupakan peraturan

Lebih terperinci

INDEPENDENSI BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL NEGARA

INDEPENDENSI BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL NEGARA INDEPENDENSI BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL NEGARA OLEH MUSA MUJADDID IMADUDDIN 19010110 Pendahuluan Pemerintah Indonesia menganut sistem pemerintahan demokratis dalam penyelenggaraan negaranya. Kekuasaan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA EKSEMINASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA EKSEMINASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA EKSEMINASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA Penyusun: Law Center DPD RI Satya Arinanto Makhfud Rofiqul Umam Ahmad

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALOPO,

PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALOPO, PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALOPO, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan daerah merupakan bagian

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KEDIRI, Menimbang : a. bahwa produk hukum

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENUNJUK UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PENUNJUK UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 01 (satu) tahun ~ jangka waktu penetapan Prolegda Provinsi Prolegda Provinsi ditetapkan untuk jangka waktu 1

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG 1 2016 No.07,2016 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Bantul. PEMERINTAH DAERAH.HUKUM.Pedoman.Pembentukan. Produk Hukum Daerah. BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI, Menimbang : a. bahwa Peraturan Daerah sebagai bagian dari proses legislasi

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM

Lebih terperinci

WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 15 TAHUN 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 15 TAHUN 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 15 TAHUN 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA AMBON, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PAREPARE NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA PAREPARE NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA PAREPARE NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PAREPARE, Menimbang : a. bahwa produk hukum merupakan landasan dalam penyelenggaraan

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIDOARJO, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, MENTERI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 3 TAHUN : 2017 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N W A L I K O T A B A N J A R M A S I N PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARMASIN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG, Menimbang : a. bahwa pembentukan

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa pembentukan produk hukum daerah yang

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDASARI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN *

POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDASARI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN * POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDASARI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN * Oleh: Dra. Hj. IDA FAUZIAH (Wakil Ketua Badan Legislasi DPR) A. Pendahuluan Dalam Pasal

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 12 2015 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 12 TAHUN 2015 2015 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BEKASI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 10 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 10 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 10 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG, Menimbang : a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL. No.04,2015 Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Bantul. Pedoman, pembentukan, produk hukum, daerah

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL. No.04,2015 Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Bantul. Pedoman, pembentukan, produk hukum, daerah 1 2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL No.04,2015 Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Bantul. Pedoman, pembentukan, produk hukum, daerah BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1946, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMSANEG. Penyusun. PUU. PERATURAN KEPALA LEMBAGA SANDI NEGARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI LEMBAGA SANDI NEGARA

Lebih terperinci

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Perkembangan Pasca UU MD3/2014. Herlambang P. Wiratraman Unair

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Perkembangan Pasca UU MD3/2014. Herlambang P. Wiratraman Unair Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Perkembangan Pasca UU MD3/2014 Herlambang P. Wiratraman Unair - 2016 DPD update..! Apa isu hukum atas perdebatan ricuhnya? Mengapa? dan bagaimana ditinjau dari sudut hukum

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 025 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah

Lebih terperinci

PROVINSI RIAU BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG

PROVINSI RIAU BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG PROVINSI RIAU BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARO JAMBI,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah DPD sebagai Lembaga Negara mengemban fungsi dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG TATA TERTIB DENGAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.805, 2015 DPR. Tata Tertib. Perubahan. PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 55 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a.

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung Tahun 2016 2 BUPATI

Lebih terperinci

PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG MENURUT UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN

PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG MENURUT UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG MENURUT UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN Oleh Dermina Dalimunthe Dosen Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan e-mail:

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA NOMOR 14 TAHUN 2014

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA NOMOR 14 TAHUN 2014 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA NOMOR 14 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR, Menimbang : a. bahwa Peraturan Daerah merupakan

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG, Menimbang : a. bahwa pembentukan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, DRAFT 9 APRIL 2015 PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DI LINGKUNGAN ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

peraturan (norma) dan kondisi pelaksanaannya, termasuk peraturan pelaksanaan dan limitasi pembentukannya. 2. Peninjauan, yaitu kegiatan pemeriksaan

peraturan (norma) dan kondisi pelaksanaannya, termasuk peraturan pelaksanaan dan limitasi pembentukannya. 2. Peninjauan, yaitu kegiatan pemeriksaan LAPORAN KUNJUNGAN KERJA BADAN LEGISLASI DPR RI DALAM RANGKA PEMANTAUAN DAN PENINJAUAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KE PROVINSI ACEH, PROVINSI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 159 TAHUN : 2013 PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 159 TAHUN : 2013 PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 159 TAHUN : 2013 PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CIMAHI, Menimbang

Lebih terperinci

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) I Pembahasan tentang dan sekitar membangun kualitas produk legislasi perlu terlebih dahulu dipahami

Lebih terperinci

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang 12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA LEMBAGA SANDI NEGARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI LEMBAGA SANDI NEGARA

PERATURAN KEPALA LEMBAGA SANDI NEGARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI LEMBAGA SANDI NEGARA PERATURAN KEPALA LEMBAGA SANDI NEGARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI LEMBAGA SANDI NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA LEMBAGA SANDI NEGARA, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH

PROVINSI JAWA TENGAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG MEKANISME PENYUSUNAN PROGRAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda YURISKA, VOL. 2, NO. 1, AGUSTUS 2010 72 PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda ABSTRAK Hubungan

Lebih terperinci