BAB III KAJIAN TEORI, PERATURAN, KEBIJAKAN DAN PROGRAM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III KAJIAN TEORI, PERATURAN, KEBIJAKAN DAN PROGRAM"

Transkripsi

1 BAB III KAJIAN TEORI, PERATURAN, KEBIJAKAN DAN PROGRAM 3.1 Tinjauan Teoritis Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Menurut Sorensen dan Mc Creary (1990), yang dimaksud dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Zone Management) adalah pengelolaan pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang terdapat di kawasan pesisir, dengan cara melakukan penilaian menyeluruh (comprehensive assessment) tentang kawasan pesisir beserta sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Proses pengelolaan ini dilaksanakan secara kontinu dan dinamis dengan mempertimbangkan segenap aspek sosial ekonomi budaya dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada. Oleh karena itu, untuk lebih jelasnya disampaikan beberapa konsep dan definisi yang berkaitan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di bawah ini. a. Wilayah Pesisir Definisi wilayah pesisir yang dapat dikemukakan di antaranya adalah : UNCED, Agenda 21, Chapter 17.3 (1992) Wilayah pesisir memiliki habitat yang beragam dan produktif yang penting bagi pemukiman penduduk, pembangunan dan masyarakat lokal Scura et.al. (1992) Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan lautan yang menjadi konsentrasi perhatian dan berbagai kepentingan, dimana aktifitas manusia saling terkait dengan lingkungan daratan dan laut III - 1

2 Chua (1993). Wilayah pesisir dipandang secara utuh sebagai kawasan geografis khusus dimana fungsi produktif dan jasa lingkungannya terkait erat dengan kondisi fisik dan sosial-ekonomi kawasan yang jauh dari batasan fisiknya. Hingga saat ini, belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. b. Batas Wilayah Pesisir Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar garis pantai (long-shore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross-shore). Untuk keperluan pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif mudah, misalnya batas wilayah pesisir DKI Jakarta adalah sungai Dadap di sebelah barat dan Tanjung Karawang di sebelah Timur. Akan tetapi, penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap garis pantai, sejauh ini belum ada kesepakatan. Dengan kata lain, batas wilayah pesisir berbeda dari satu negara ke negara lain. Hal ini dapat dimengerti, karena setiap negara memiliki karakteristik lingkungan, sumber daya dan sistem pemerintahan tersendiri yang khas (Dahuri, R. dan Rais, J., 2004 : 6). III - 2

3 Berikut disajikan ilustrasi wilayah pesisir menurut Ditriech (2003) : Gambar 3.1 Batasan Wilayah Pesisir menurut Ditriech (2003) Berdasarkan ilustrasi gambar 3.1 di atas, dapat dijelaskan mengenai pendekatan batas wilayah pesisir sebagai berikut : Pendekatan penentuan batas ke arah darat: 1. Ekologis, yaitu kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, intrusi air laut dan percikan air gelombang 2. Administratif, yaitu batas terluar sebelah hulu dari desa pantai atau jarak definitif secara arbitrer (2 km, 20 km, dan seterusnya dari garis pantai) 3. Perencanaan, yaitu bergantung pada permasalahan yang menjadi fokus pengelolaan wilayah pesisir 4. Pencemaran dan sedimentasi, yaitu suatu kawasan darat dimana pencemaran dan sedimentasi yang ditimbulkan di sini berdampak pada kawasan pesisir Pendekatan penentuan batas ke arah laut: 1. Ekologis, yaitu kawasan perairan laut yang masih dipengaruhi prosesproses alamiah dan kegiatan manusia di daratan, seperti aliran air sungai, limpasan air permukaan, sedimen dan bahan pencemar. III - 3

4 2. Administratif, yaitu berjarak 4 mil, 12 mil, dan seterusnya dari garis pantai 3. Perencanaan, yaitu bergantung pada permasalahan (kawasan yang masih dipengaruhi oleh dampak pencemaran, sedimentasi, atau proses-proses ekologis) Disamping itu, menurut Sugiharto (1976), definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Definisi wilayah pesisir seperti di atas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan, secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir. Menurut kesepakatan internasional terakhir, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh pecikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf) (Beatley et al., 1994). c. Potensi dan Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir Potensi pembangunan wilayah pesisir dan lautan secara garis besar terdiri dari tiga kelompok sebagai berikut (Dahuri, R. dan Rais, J., 2004 : ) : 1. Sumber daya dapat pulih (renewable resources), yang meliputi : Hutan mangrove Terumbu karang III - 4

5 Padang lamun dan rumput laut Sumber daya perikanan laut Bahan-bahan bioaktif, seperti omega-3, sunchlorela, dan lainnya yang berpotensi besar sebagai bahan baku industri farmasi, kosmetika, pangan, dan industri bioteknologi lainnya. 2. Sumber daya tak dapat pulih (non-renewable resources), yakni meliputi seluruh mineral dan geologi. 3. Jasa-jasa lingkungan (environmental services), yang sangat potensial bagi kepentingan pembangunan dan bahkan kelangsungan hidup manusia. Jasajasa lingkungan yang dimaksud meliputi : tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim (climate regulator), kawasan perlindungan (konservasi dan preservasi), dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya. Adapun permasalahan pembangunan di wilayah pesisir di Indonesia secara garis besar meliputi : (1) pencemaran, (2) degradasi habitat fisik, (3) overeksploitasi sumber daya alam, (4) abrasi pantai, (5) konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, dan (6) bencana alam. d. Pengelolaan Wilayah Pesisir Berdasarkan uraian di atas, maka untuk kepentingan pengelolaan adalah kurang begitu penting untuk menetapkan batas-batas fisik suatu wilayah pesisir secara kaku (rigid). Akan lebih berarti, jika penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir didasarkan atas faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan (pemanfaatan) dan pengelolaan ekosistem pesisir dan lautan beserta segenap sumber daya yang ada di dalamnya, serta tujuan pengelolaan itu sendiri. Jika tujuan pengelolaan adalah untuk mengendalikan atau menurunkan tingkat pencemaran perairan pesisir yang dipengaruhi oleh aliran sungai, maka batas wilayah pesisir ke arah darat hendaknya mencakup suatu daratan DAS III - 5

6 (Daerah Aliran Sungai) dimana buangan limbah disini akan mempengaruhi kualitas perairan pesisir. Jika tujuan pengelolaan suatu wilayah pesisir adalah untuk mengendalikan erosi (abrasi) pantai, maka batas ke darat cukup hanya sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi, dan batas ke arah laut adalah daerah yang terkena pengaruh distribusi sedimen akibat proses abrasi, yang biasanya terdapat pada daerah pemecah gelombang (breakwater zone) yang paling dekat dengan garis pantai. Dengan demikian, meskipun untuk kepentingan pengelolaan sehari-hari (dayto-day management) kegiatan pembangunan di atas lahan atau di laut lepas biasanya ditangani oleh instansi tersendiri, namun untuk kepentingan perencanaan pembangunan wilayah pesisir, segenap pengaruh-pengaruh atau keterkaitan tersebut harus dimasukkan pada saat menyusun perencanaan pembangunan wilayah pesisir. e. Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, ketepaduan mengandung tiga dimensi : sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis. Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration); antar tingkatan pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, sampai tingkat pusat (vertical integration). Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu, yang melibatkan bidang ilmu : ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Ini wajar karena wilayah pesisir III - 6

7 pada dasarnya terdiri dari sistem sosial yang terjalin secara kompleks dan dinamis. Seperti diuraikan di atas, bahwa wilayah pesisir pada dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem (mangroves, terumbu karang, estuaria, pantai berpasir, dan lainnya) yang satu sama lain saling terkait, tidak berdiri sendiri. Perubahan atau kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu, wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas (upland areas) maupun laut (oceans). Kondisi empiris semacam ini mensyaratkan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu (PWPLT) harus memperhatikan segenap keterkaitan ekologis (ecological linkages) tersebut, yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir. Mengingat bahwa suatu pengelolaan terdiri dari tiga tahap utama : perencanaan, implementasi, dan monitoring dan evaluasi, maka jiwa/ nuansa keterpaduan tersebut perlu diterapkan sejak tahap perencanaan sampai evaluasi Pembangunan Infrastruktur a. Pengertian Pembangunan Infrastruktur Infrastruktur merupakan salah sektor pembangunan yang sangat penting dalam strategi pembangunan nasional maupun daerah. Selain pengaruhnya terhadap pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas, pembangunan infrastruktur juga berpengaruh terhadap kelestarian lingkungan. Prasarana perhubungan yang memadai selain akan meningkatkan produktivitas juga akan mengurangi faktor congestion dan polusi udara yang berlebihan. Prasarana limbah dan sampah yang mencukupi akan mengurangi secara berarti pencemaran lingkungan baik di perkotaan maupun di perdesaan. Lebih lanjut pembangunan infrastruktur termasuk aspek kualitasnya juga harus didasarkan atas prinsip permintaan dan penawaran yang realistis. Pembangunan infrastruktur harus diarahkan untuk mengatasi kelangkaan pada sektor-sektor dan wilayah yang benar-benar membutuhkannya. Ini perlu dipahami karena selain melibatkan dana investasi yang relatif besar, pembangunan infrastruktur juga mengandung resiko yang III - 7

8 tinggi. Kesalahan dan ketidaktepatan dalam pengalokasian dapat mempengaruhi kestabilan ekonomi makro. Infrastruktur pembangunan terdiri dari dua jenis, yaitu infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial. Infrastruktur ekonomi adalah infrastruktur fisik baik yang digunakan dalam proses produksi maupun yang dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Dalam pengertian ini meliputi semua prasarana umum seperti tenaga listrik, telekomunikasi, perhubungan, irigasi, air bersih dan sanitasi, serta pembuangan limbah. Sedangkan infrastruktur sosial antara lain meliputi prasarana pendidikan dan kesehatan (Ramelan, 1997). Definisi pembangunan, baik dalam wacana kontekstual teoritik maupun praktik, relatif bervariasi bahkan tidak jarang diantara berbagai konsep dan implementasinya satu sama lain saling bertentangan. Namun demikian, secara umum dapat disebutkan bahwa definisi pembangunan adalah segenap upaya (efforts) yang teratur, konsisten, bertahap, dan berkelanjutan yang dikoordinasikan oleh pemerintah dalam kerangka penyelesaian permasalahan (problems solving) di suatu lokasi tertentu (negara, propinsi, kabupaten, dan kota). Definisi pembangunan juga dapat berupa kegiatan investasi. Dalam hal ini, investasi adalah pemanfaatan sumber daya (seperti uang/dana) pada saat ini untuk mendapatkan manfaat (termasuk keuntungan) pada masa akan datang. Merujuk pada pengertian atau definisi mengenai infrastruktur dan pembangunan di atas, selanjutnya pengertian pembangunan infrastruktur atau kegiatan investasi infrastruktur adalah kegiatan memanfaatkan sumber daya pada saat ini untuk mendapatkan manfaat berupa peningkatan kegiatan ekonomi dan sosial suatu masyarakat pada masa akan datang. b. Masalah dan Tantangan Pembangunan Infrastruktur Secara umum, masalah-masalah pokok yang dihadapi oleh negara-negara berkembang di bidang infrastruktur adalah : kekurangefisienan dalam pemberian jasa pelayanan kepada masyarakat, kekurangmampuan dalam memelihara prasarana yang telah ada, ketergantungan yang sangat tinggi pada dana pemerintah, kekurangtanggapan terhadap keinginan dari pengguna jasa, dan keterbatasan untuk memberi manfaat yang positif bagi masyarakat kurang mampu. III - 8

9 Pemeliharaan adalah salah satu kegiatan yang sangat penting terutama untuk menjaga dan mempertahankan fungsi infrastruktur yang sudah ada. Pemeliharaan prasarana di negara-negara berkembang umumnya kurang mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah. Ini dapat dilihat dari kondisi jalan yang cepat memburuk dan kapasitas tenaga listrik yang menurun drastis. Kekurangmampuan untuk memperhitungkan baik secara kuantitas dan kualitas jasa infrastruktur yang diinginkan masyarakat merupakan tantangan lain yang dihadapi negara-negara berkembang terutama yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kekurangmampuan untuk memperhitungkan tenaga listrik yang dibutuhkan misalnya telah mengakibatkan tertundanya peluang-peluang usaha yang seharusnya dapat diraih. Agar dapat meraih peluang secara cepat, sektor swasta harus memasang pembangkit tenaga listrik sendiri. Investasi pembangkit tenaga listrik yang dilakukan secara terpisah akan menciptakan banyak fixed cost yang sebenarnya dapat ditekan apabila dibangun secara terpusat. Tantangan lain yang harus dihadapi oleh pemerintah di negara-negara berkembang adalah mengusahakan semaksimal mungkin agar infrastruktur yang dibangun dapat dinikmati oleh masyarakat luas termasuk golongan masyarakat kurang mampu. Ada dua kesalahpengertian yang banyak dilakukan oleh perencana pembangunan dalam merancang kebijakan yang mampu menjangkau masyarakat kurang mampu. Pertama, masyarakat kurang mampu sering diidentikkan dengan ketidakmampuan untuk membeli jasa pelayanan. Survai yang dilakukan di Brasil menunjukkan bahwa kemauan masyarakat untuk membayar sambungan air bersih adalah empat kali lipat dari biaya yang dibutuhkan. Di Bandung, rumah tangga miskin yang harus membeli air bersih dari pedagang keliling ternyata membayar sekitar 60 kali lebih besar dibandingkan harga air dari PAM dan hampir 20 kali lebih besar seperti yang terjadi di Manila dan Ho Chi Mint. Kedua, sebagai akibat dari kesalahan cara berpikir ini kapasitas pelayanan yang dibangun menjadi terbatas, tarif jasa prasarana ditetapkan jauh di bawah biaya yang dikeluarkan, dan subsidi yang diberikan justru dinikmati oleh kalangan menengah dan atas. III - 9

10 3.1.3 Keterkaitan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pembangunan Infrastruktur Keunikan dan beragamnya sumberdaya wilayah pesisir dan laut serta interaksi yang erat namun cukup kompleks antara lingkungan dan aktivitas manusia di wilayah pesisir (Gambar 2) mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, tidak terkotak-kotak atau sektoral. Secara empiris, terdapat keterkaitan ekologis dan hubungan fungsional baik antar ekosistem di dalam wilayah pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Dengan demikian perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir (mangrove, misalnya), cepat atau lambat, akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Begitu pula halnya, jika pengelolaan kegiatan pembangunan (industri, pertanian, permukiman, dan lain-lain) di lahan atas dari suatu sistem DAS (daerah aliran sungai) tidak dilakukan secara arif (berwawasan lingkungan), maka dampak negatifnya akan merusak tatanan dan fungsi ekologis kawasan pesisir dan laut. LINGKUNGAN FISIK Geomorfologi Arus & Pasut Iklim Hidrologi Geokimia ingkungan Pesisir LINGKUNGAN FISIK Produksi biologis Lokasi reproduksi Sumberdaya hayati Keanekaragaman BIOLOGI Interaksi Lingkungan & Aktivitas Manusia di Kawasan Pesisir Pelayaran Pengembangan pelabuhan Perikanan Budidaya laut Eksplorasi minyak dan gas Aktivitas Manusia Pariwisata rekreasi Pembangunan perkotaa Pembuangan limbah Perlindungan Penelitian Pemantauan Gambar hayati2. Interaksi Antara Lingkungan dan Aktivitas Manusia di Wilayah Pesisir (Chua, 1993) Gambar 3.2 Interaksi Lingkungan & Aktivitas Manusia di Kawasan Pesisir Dalam konteks pengelolaan wilayah pesisir, pusat perhatian adalah pada kawasan interseksi (peralihan) daratan dan lautan dimana terdapat aktivitas manusia yang berinterkasi baik dengan lingkungan lautan maupun daratan (Scura et al. 1992), sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 3. III - 10

11 Lingkungan Daratan Aktivitas Manusia Wilayah pesisir Sistem sumberdaya wilayah pesisir Lingkungan Lautan Gambar 3. Hubungan antara wilayah pesisir dan sistem sumberdaya wilayah pesisir (Scura, et al. 1992) Gambar 3.3 Interaksi Daratan, Lingkungan & Aktivitas Manusia di Kawasan Pesisir Dua alasan utama mengapa diperlukan pendekatan yang terpadu, dan juga menyeluruh, dalam mengelola lingkungan dan sumberdaya pesisir, yaitu: (1) pemanfaatan ruang dan sumberdaya wilayah pesisir, juga kegiatan serupa pada wilayah daratan, dapat berdampak pada lingkungan pesisir; dan (2) suatu sektor kegiatan (pemanfaatan ruang dan sumberdaya) wilayah pesisir dapat berdampak pada sektor kegiatan wilayah pesisir lainnya. Berdasarkan uraian di atas, maka konsep keterkaitan pengelolaan wilayah pesisir terpadu dengan pembangunan infrastruktur didasarkan atas definisi masingmasing sebagai berikut : Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Pembangunan infrastruktur merupakan kegiatan memanfaatkan sumber daya pada saat ini untuk mendapatkan manfaat berupa peningkatan kegiatan ekonomi dan sosial suatu masyarakat pada masa akan datang. Dengan demikian, pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan pembangunan infrastruktur memiliki keterkaitan terutama berupa : III - 11

12 Adanya kesamaan tujuan antara pengelolaan wilayah pesisir dan pembangunan infrastruktur yaitu untuk pencapaian pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan secara berkelanjutan (optimal dan lestari). Dalam konteks ini, pembangunan infrastruktur harus dipandang sebagai salah satu bagian terpenting dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Adanya keterkaitan yang bersifat sistematis dan sinergis, yakni bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dapat tercipta apabila ditunjang oleh pembangunan infrastruktur yang sistematis dan bersinergi dengan berbagai aspek pembangunan wilayah pesisir lainnya (keseimbangan ekologi, sosial budaya, ekonomi, fisik, dan kelembagaan). 3.2 Tinjauan Peraturan dan Kebijakan/ Program tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Kaitannya dengan Pembangunan Infrastruktur a. Peraturan yang Terkait Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dan mempengaruhi kewenangan daerah dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir terpadu sebagaimana diuraikan pada Tabel 3.1 di bawah ini III - 12

13 Tabel 3.1 Daftar Perundang-undangan terkait dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir No Perundang-undangan Nomor/ Tahun 1 UU Pokok Perairan 4/1960*) 6/1996 Perihal Mengatur Semua Sumber Daya Perairan Pesisir Di Bawah Yurisdiksi Pemerintah Pusat dan Digunakan untuk Kesejahteraan Masyarakat 2 UU Pokok Kehutanan 5/1967 Ketentuan Pokok Mengenai Pengelolaan Hutan 3 UU Pokok Pertambangan 11/1967 Ketentuan Pokok Mengenai Pengelolaan Tambang 4 UU Tentang Minyak Dan Gas 5 UU Tentang Landas Kontinen 6 UU Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah 7 UU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup 8 UU Pokok Pertahanan Dan Keamanan Nasional 8/1971 Ketentuan Pokok Mengenai Perusahaan Umum dan Gas 1/1973 Tentang Landas Kontinen Indonesia 5/1974 Devolusi Kewenangan Pemerintah Pusat Dan Jurisdiksi Pemerintah Daerah Tingkat I Dan II serta Sistem Pemerintahan Daerah 4/1982* Ketentuan Pokok tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup 20/1982 Ketentuan Pokok tentang Pertahanan Dan Keamanan Nasional serta Mobilisasi Penduduk 9 UU Tentang ZEE 5/1983 Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia 10 UU Pokok Perindustrian 5/1984 Aturan Dasar Pembangunan Industri 11 UU Pokok Perikanan 9/1985 Aturan Dasar Pengelolaan Perikanan 12 UU Pokok Listrik 15/1985 Aturan Dasar Tentang Pengelolaan Sumber Daya Listrik 13 UU Konservasi Sumber Daya Hayat 5/1990 Ketentuan Pokok tentang Pengelolaan Kawasan Lindung serta Konservasi Sumber Daya Hayati Dan Ekosistemnya 14 UU Tentang Pariwisata 9/1990 Ketentuan Pokok tentang Pembangunan Pariwisata 15 UU Tentang Pertanian 12/1992 Ketentuan Pokok tentang Sistem Pertanian dan Budidaya 16 UU Tentang Karantina Ternak, Ikan, Tanaman 16/1992 Ketentuan Pokok Tentang Prosedur Karantina Hewan Ternak, Ikan Dan Hasil Pertanian 17 UU Tentang Summber 7/ 2004 Ketentuan Pokok Tentang Perencanaan Dan III - 13

14 Daya Air Pengelolaan, Pemanfaatan, Pengendalian Sumber Daya Air. 18 UU Tentang Pelayaran 21/1992 Ketentuan Pokok Tentang Sistem Pelabuhan Dan Pelayaran 19 UU Tentang Penataan Ruang 20 UU Tentang Keanekaragaman Hayati 24/1992 Ketentuan Pokok Tentang Perencanaan Dan Pengelolaan Ruang Dan Komprehensif Dengan Pendekatan Pengelolaan Spasial Dan Sumber Daya Daratan 5/1994 Ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati 21 UU Pemerintahan Daerah 22/1999*) 32/2004 Menetapkan Kewenangan Propinsi Untuk Mengelola 12 Mil Laut Dari Garis Pantai, Dan 1/3 Untuk Kabupaten/ Kota 22 UU Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat Dan Daerah 25/1999*) 33/2004 Penerimaan Negara Dari SDA Sektor Kehutanan, Pertambangan Umum, Dan Perikanan Dibagi 80% Ke Daerah Dan 20% Ke Pusat 23 Peraturan Pemerintah 17/1974 Pengendalian Implementasi Ekksplorasi Dan Eksploitasi Minyak Dan Gas Lepas Pantai 24 Peraturan Pemerintah 29/1986 Analisa Dampak Lingkungan 25 Peraturan Pemerintah 28/1985 Perlindungan Hutan 26 Peraturan Pemerintah 6/1988 Koordinasi Perencanaan Pemerintahan Daerah Dan Sektor 27 Peraturan Pemerintah 20/1990 Pengendalian Dan Pencemaran Air 28 Peraturan Pemerintah 51/1993 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Bagi Setiap Usaha Atau Kegiatan Baru Yang Membahayakan Lingkungan. 29 Peraturan Pemerintah 25/2000 Kewenangan Pemerintah Untuk Pengaturan Batas-Batas Maritim, Penetapan Standar Pengelolaan Pesisir Pantai Dan Pulau-Pulau Kecil, Penegakan Hukum Di Laut 30 Keputusan Presiden 32/2000 Pengelolaan Kawasan Lindung Dan Kawasan Penyangga. 31 Keputusan Presiden 77/1995 Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan 32 Keputusan Presiden 77/1996 Keputusan Tentang Dewan Kelautan Nasional III - 14

15 Berdasarkan tinjauan berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir di atas, nampak bahwa dari berbagai peraturan tersebut penjelasan tentang kaitan langsung pengelolaan wilayah pesisir dengan pembangunan infrastruktur masih terbatas pada listrik. Pengelolaan wilayah pesisir lebih banyak berkaitan langsung dengan kegiatan-kegiatan sektoral (seperti perairan, kehutanan, pertambangan, dan pariwisata) yang di dalamnya terdapat infrastruktur yang dibangun sesuai kebutuhan kegiatan-kegiatan tersebut secara sektoral. Hal ini menunjukkan bahwa peraturan yang ada belum mengkaitkan secara langsung dan terpadu antara pengelolaan wilayah pesisir dengan pembangunan infrastruktur. b. Kebijakan dan Program Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development UNCED) 1992 di Rio de Janeiro dengan rencana aksi globalnya yang dikenal dengan Agenda 21, khususnya Bab 17 tentang rencana aksi Protection of Oceans, All Kind of Seas, including Closed and Semi-Closed Seas, and Coastal Areas and the Protection, Rational Uses and Development of Their Living Resources telah keluar dengan suatu kesepakatan, bahwa untuk menangani dan menyelesaikan permasalahan yang bersifat multi dimensi (sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan) di wilayah pesisir, diperlukan suatu pendekatan yang bersifat menyeluruh (holistic) dan terpadu (integrated). Konsepsi pengelolaan dimaksud selanjutnya dikenal dengan Pengelolaan Pesisir Terpadu (PPT) atau Integrated Coastal Management (ICM), sebagai paradigma yang komprehensif dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya wilayah pesisir untuk menjamin keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian lingkungan dan sumberdaya wilayah pesisir. Di Indonesia, kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan pada dasarnya mengacu pada tujuan jangka panjang yang antara lain meliputi : 1. Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perluasan lapangan kerja dan kesempatan usaha III - 15

16 2. Pengembangan program dan kegiatan yang mengarah pada peningkatan pemanfaatan secara optimal dan lestari sumber daya di wilayah pesisir dan lautan 3. Peningkatan kemampuan peran serta masyarakat pantai dalam pelestarian lingkungan 4. Peningkatan pendidikan, latihan, riset dan pengembangan di wilayah pesisir dan lautan Adapun sasaran pembangunan wilayah pesisir dan lautan dalam pembangunan jangka panjang 25 tahun kedua (PJP II) adalah terwujudnya kedaulatan atas wilayah perairan Indonesia dan yurisdiksi nasional dalam wawasan nusantara, terciptanya industri kelautan yang kukuhdan maju yang didorong oleh kemitraan usaha yang erat antara badan usaha koperasi, negara dan swasta serta pendayagunaan sumber daya laut yang didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas, maju dan profesional dengan iklim usaha yang sehat, serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga terwujud kemampuan untuk mendayagunakan potensi laut guna peningkatan kesejahteraan rakyat secara optimal, serta terpeliharanya kelestarian fungsi lingkungan hidup. Untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan wilayah pesisir dan kelautan di atas, selanjutnya dijabarkan menjadi program Pengelolaan Pesisir Terpadu (PPT) yang bertujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir dan laut, menekan resiko atau kerentanan wilayah pesisir serta masyarakat berikut infrastruktur dan kegiatan sosial-ekonominya baik terhadap berbagai ancaman bencana alam (natural hazard), seperti badai gelombang (tsunami), erosi pantai dan banjir, maupun dari dampak negatif aktivitas sosial-ekonomi masyarakat (pembangunan) itu sendiri, serta untuk memelihara proses ekologis dasar, sistem pendukung kehidupan, dan keanekaragaman hayati wilayah pesisir dan laut. Gambar 2.1 menunjukkan skema fungsi PPT sebagai jembatan menuju keberlanjutan pembangunan wilayah pesisir. III - 16

17 Pembangunan tak berkelanjutan Kerusakan lingkungan Deplesi sumberdaya Konflik pemanfaatan sumberdaya Transisi menuju keberlanjutan Pembangunan berkelanjutan Perlindungan lingkungan dan keanekaragaman hayati Pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan Minimisasi konflik pemanfaatan sumberdaya Peningkatan kualitas hidup Gambar 3.4 PPT : kerangka kerja dari Blueprint Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Pesisir (Chua, 1993) Dengan kata lain, karakteristik program PPT hendaknya memiliki enam karakteristik utama yaitu : 1. PPT hendaknya memiliki batas fisik (geografis) yang jelas dari kawasan yang akan dikelolanya, baik batas yang tegak lurus maupun yang sejajar garis pantai. Batasan wilayah pesisir dapat ditentukan menurut kepentingan perencanaan dan untuk kepentingan pengelolaan sehari-hari (day-to-day management). Biasanya batas wilayah pesisir untuk kepentingan perencanaan, daerahnya lebih luas daripada batas wilayah pesisir untuk kepentingan pengelolaan sehari-hari. 2. PPT bertujuan untuk meminimalkan konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan sumber daya, sehingga diperoleh keuntungan (manfaat) secara optimal dan berkesinambungan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat III - 17

18 3. PPT merupakan suatu proses yang terus-menerus dalam jangka panjang. PPT bersifat dinamis, sehingga umumnya memerlukan perbaikan dan penyesuaian rencana dan programnya. Dengan kata lain, PPT adalah bukan program sesaat (one time program) 4. Perencanaan dan pengelolaan pembangunan kawasan pesisir disusun berdasarkan pada karakteristik dan dinamika (the nature) termasuk keterkaitan ekologis dari kawasan pesisir, baik yang bersifat biogeofisik kimiawi maupun sosial-ekonomi-budaya dan politik. 5. Pelaksanaan PPT tidak mungkin didekati secara monodisiplin, tetapi harus menggunakan pendekatan interdisiplin keilmuan: ekologi, ekonomi, keteknikan (engineering), sosiologi, dan lainnya. 6. Harus ada tatanan kelembagaan yang khusus menangani pengelolaan kawasan pesisir, terutama untuk mengamankan tahap perencanaan dan pemantauan serta evaluasi. Agar suatu program PPT dapat diimplementasikan, maka PPT harus bersifat praktis, dan harus menghasilkan keluaran (output) yang nyata secara berkelanjutan bagi masyarakat pengguna (stakeholders). Untuk memperoleh dukungan masyarakat pengguna, maka program PPT harus dijabarkan dari permasalahan dan potensi sumber daya yang ada di kawasan pesisir tersebut. Menurut Dahuri, R. dan Rais, J. (2004 : ), pengalaman Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu di negara-negara Asia dan juga seluruh dunia, telah menunjukkan bahwa beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam program PTT adalah : a. Memahami bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan lautan adalah mutlak perlu diupayakan oleh pemerintah b. Menggunakan cara kerja yang transparan, partisipasi aktif, dan demokrasi, serta melibatkan orang-orang yang dapat berperan serta dalam perencanaan dan implementasinya. c. Menggunakan suatu strategi isu yang sedang berkembang dan dengan pendekatan terpadu. III - 18

19 d. Kerja pada tingkat nasional dan lokal, dengan hubungan yang erat di antara kedua tingkat tersebut. e. Dirancang dan diimplementasikan dalam bentuk lingkaran, sehingga komponen perencanaan, implementasi, dan evaluasi dapat secara terusmenerus berlangsung. f. Membangun suatu kelompok masyarakat para pendukung yang dapat secara aktif menyokong, menggunakan, dan memberi masukan dalam pengelolaan pesisir yang efektif. g. Membangun kemampuan untuk pengelolaan tingkat lokal h. Menggunakan sumber informasi terbaik yang tersedia untuk membuat keputusan. Berdasarkan tinjauan kebijakan dan program yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir yang terpadu di atas, nampak bahwa walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit, pembangunan infrastruktur merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan dan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Bahkan, jika keterpaduan pembangunan antar sektor (permukiman, industri, kehutanan, pertambangan, dan pariwisata) menjadi tujuan dalam rangka terwujudnya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, maka pembangunan infrastruktur yang sistematis seyogyanya menjadi alternatif terbaik yang lebih tepat untuk dipriotitaskan dibandingkan pembangunan sektor yang salah satunya lebih cenderung mengundang konflik kepentingan. 3.3 Penyususnan Rencana Pengembangan Pembangunan Infrastruktur Setelah analisa identifikasi potensi, kondisi, isu dan permasalahan selesai dilaksanakan, maka tahap kegiatan berikutnya adalah penyusunan Rencana Pengembangan Infrastruktur yang merupakan acuan dalam pengembangan Daerah Aliran Sungai di Kawasan Pesisir Teluk Palabuhanratu. Pengembangan ini ditujukan untuk mengidentifikasi dan merumuskan pemecahan yang efektif berdasarkan semua informasi terkait yang tersedia, menganalisa kelayakannya secara umum, dan menyajikannya dalam suatu bentuk yang dapat ditindak lanjuti. Sedangkan sasaran yang hendak dicapai dalam rencana pengembangan ini adalah tercapainya optimasi pemanfaatan sumber daya alam, III - 19

20 khususnya sumber daya air dan lahan dengan memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Metode yang akan dipakai didalam penyusunan Rencana Pengembangan Infrastruktur diii kawasan Pesisir Teluk Palabuhanratu adalah Dari beberapa model matematis yang telah dikembangkan, dipilih model Analytic Hierarchy Process (AHP) yang mampu mengakomodir berbagai kriteria yang saling mempengaruhi (kriteria majemuk). Kriteria majemuk adalah suatu metode pengambilan keputusan terhadap suatu masalah atau tujuan berdasarkan beberapa kriteria yang berpengaruh terhadap masalah tersebut. Mengingat tujuan masih bersifat umum, maka perlu dijabarkan dalam beberapa kriteria yang masingmasing mempunyai sub kriteria dan sub sub kriteria hingga diperoleh suatu hirarki dari tujuan tersebut. Analis Hirarki dimaksudkan untuk penyusunan bobot berdasarkan hirarki tujuan dalam kriteria dan sub kriterianya. Secara teknis AHP merupakan pendekatan nilai karakteristik pada perbandingan pasangan membentuk cara untuk melakukan kalibrasi dari skala numerik, terutama pada daerah baru yang tidak memiliki pengukuran perbandingan kuantitatif. Pengukuran konsistensi memungkinkan untuk mengembalikan modifikasi pertimbangan menjadi bentuk semula dan menambah konsistensi keseluruhan. Peran serta beberapa orang memungkinkan untuk membuat kesamaan di antara perbedaan pendapat. Hal ini dapat menimbulkan adanya dialog keinginan apa yang terbentuk. Kesepakatan di antara beberapa pertimbangan menggambarkan adanya pengalaman yang berbeda. Secara garis besar prosedur AHP dilakukan dalam empat langkah yaitu : 1. Melakukan pembobotan kriteria 2. Melakukan pembobotan alternatif 3. Menyusun bobot terhadap keseluruhan susunan 4. Memeriksa konsistensi III - 20

21 Tabel 3.2 Skala Penilaian Tingkat Kepentingan Pasangan Faktor. Nilai Dengan Skala Definisi Keterangan Angka Kepentingan 1 Equally Important 3 Moderately more Important 5 Strongly more Important 7 Very Strongly more Important 9 Extremely more Important Sama penting Sedikit lebih penting Perlu dan kuat kepentingannya Menyolok kepentingannya Mutlak penting Kedua faktor mempunyai dukungan yang sama pentingnya terhadap tujuan Terlihat nyata pentingnya faktor tersebut dibanding faktor lainnya, tetapi tidak meyakinkan Jelas dan nyata faktor tersebut lebih penting dari yang lainnya Jelas, nyata dan terbukti faktor tersebut jauh lebih penting dari yang lain Jelas, nyata dan terbukti secara meyakinkan faktor tersenbut sangat penting dalam permufakatan 2, 4, 6, 8 Nilai tengah antara dua pertimbangan di atas yang berdekatan Jika diperlukan nilai kompromistis Pembuatan Struktur Hirarki Model Ahp : Struktur hirarki dibuat sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Pada umumnya, langkah pembuatan struktur AHP adalah sebagai berikut : 1. Menentukan tujuan dari proses Analytical Hierarchy yang ingin dicapai. III - 21

22 2. Membuat kriteria yang akan digunakan. 3. Menentukan sub kriteria dari masing-masing kriteria. 4. Menentukan pilihan model yang akan disusun. Ada tiga pilihan model yang dapat dikerjakan yaitu : - Model Library, artinya menyusun model dari contoh yang telah ada lalu mengganti kriteria dan alternatifnya. - Structuring, artinya menyusun model dari struktur dasar seperti identifikasi beberapa tujuan, kelebihan dan kekurangan tersebut, identifikasi alternatif dan sebagainya sehingga dipilih beberapa alternatif yang akan dievaluasi. - Direct, artunya menyusun model langsung dengan hierarki dan alternatif yang telah ditentukan. 5. Memasukkan alternatif program yang akan ditinjau prioritasnya. 6. Setelah semua alternatif program dimasukkan, maka struktur hirarki akan terbentuk. Langkah selanjutnya adalah pembobotan pada masing-masing kriteria, sub kriteria dan alternatif itu sendiri. III - 22

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara maritim terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.500 pulau dan memiliki garis panjang pantai terpanjang kedua di dunia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Lingkungan Hidup Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR Oleh: TAUFIQURROHMAN L2D 004 355 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2009 KESESUAIAN

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... iii I. PENDAHULUAN... 1 II. KONSEP PENGELOLAAN... 1

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... iii I. PENDAHULUAN... 1 II. KONSEP PENGELOLAAN... 1 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR.... i DAFTAR ISI..... iii I. PENDAHULUAN... 1 II. KONSEP PENGELOLAAN.... 1 III. STRATEGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN... 5 A.

Lebih terperinci

Pengelolaan Kawasan Pesisir Dan Kelautan Secara Terpadu Dan Berkelanjutan

Pengelolaan Kawasan Pesisir Dan Kelautan Secara Terpadu Dan Berkelanjutan Pengelolaan Kawasan Pesisir Dan Kelautan Secara Terpadu Dan Berkelanjutan Rahmawaty Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan Program Studi Manajemen Hutan Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Dengan jumlah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN Mata Kuliah : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Kode MK : M10B.111 SKS : 3 (2-1) DOSEN : Syawaludin Alisyahbana Harahap, S.Pi.,., MSc. DASAR-DASAR PENGELOLAAN PESISIR UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumberdaya buatan, merupakan salah satu aset pembangunan

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE (Environmental Study of University of Pattimura) Memiliki 1.340 pulau Pulau kecil sebanyak 1.336 pulau Pulau besar (P. Seram,

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diakui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Tujuan Penulisan Laporan

BAB I PENDAHULUAN Tujuan Penulisan Laporan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tujuan Penulisan Laporan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Lingkungan dan Pembangunan (the United Nations Conference on Environment and Development UNCED) di Rio

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dimana Rencana Tata Ruang Propinsi/Kota

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. d. bahwa lingkungan laut beserta sumber

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai km

BAB I PENDAHULUAN. dari pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai km BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai 81.000 km dan luas laut 3,1 juta

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.1 April 2009 ISSN :

Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.1 April 2009 ISSN : . PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR SECARA TERPADU: SOLUSI PEMANFAATAN RUANG, PEMANFAATAN SUMBERDAYA DAN PEMANFAATAN KAPASITAS ASIMILASI WILAYAH PESISIR YANG OPTIMAL DAN BERKELANJUTAN Mahfud Effendy Dosen Jurusan

Lebih terperinci

KELURAHAN BAROMBONG KATA PENGANTAR

KELURAHAN BAROMBONG KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan Rahmat, Taufik dan Hidayah-Nya hingga Laporan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (Integrated Coatal Managemen-ICM)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN SRI HAYATI

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN SRI HAYATI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN SRI HAYATI DEFINISI PEMBANGUNAN pembangunan adalah seperangkat usaha yang terencana dan terarah untuk menghasilkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2011-2030 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermukim pun beragam. Besarnya jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan hal

BAB I PENDAHULUAN. bermukim pun beragam. Besarnya jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semenjak abad ke-18, pertumbuhan penduduk di dunia meningkat dengan tajam. Lahan lahan dengan potensi untuk dipergunakan sebagai tempat bermukim pun beragam. Besarnya

Lebih terperinci

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V : KETENTUAN UMUM : PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI Bagian Kesatu Indeks Ancaman dan Indeks Kerentanan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

X. ANALISIS KEBIJAKAN

X. ANALISIS KEBIJAKAN X. ANALISIS KEBIJAKAN 10.1 Alternatif Kebijakan Tahapan analisis kebijakan pada sub bab ini merupakan metode pengkajian untuk menghasilkan dan mentransformasikan flow of thinking dari serangkaian analisis

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 Tentang : Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 Tentang : Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 Tentang : Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya alamnya berdasarkan

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Pengelolaan Kawasan Pesisir Berkelanjutan. 16-Sep-11. Syawaludin A. Harahap 1

Pengelolaan Kawasan Pesisir Berkelanjutan. 16-Sep-11. Syawaludin A. Harahap 1 PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR YANG BERKELANJUTAN PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS PADJADJARAN Syawaludin A. Harahap 1 Pengelolaan/ Pembangunan merupakan Pembangunan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 5 TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km 2 dan 75 persen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tegal terletak di pantai utara Jawa Tengah dengan wilayah pantai dan laut yang berbatasan dengan Kabupaten Tegal oleh Sungai Ketiwon di sebelah timur dan dengan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGALIHAN SAHAM DAN BATASAN LUASAN LAHAN DALAM PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL DAN PEMANFAATAN PERAIRAN DI SEKITARNYA DALAM RANGKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam

BAB I PENDAHULUAN. seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan hidup mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia, seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam pengertian lingkungan hidup

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekayaan sumberdaya alam wilayah kepesisiran dan pulau-pulau kecil di Indonesia sangat beragam. Kekayaan sumberdaya alam tersebut meliputi ekosistem hutan mangrove,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan pembangunan karena investasi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Era

Lebih terperinci

ANALISIS SUMBERDAYA PESISIR YANG BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BENGKULU

ANALISIS SUMBERDAYA PESISIR YANG BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BENGKULU ANALISIS SUMBERDAYA PESISIR YANG BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BENGKULU TUGAS AKHIR Oleh : HENNI SEPTA L2D 001 426 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN KELOMPOK SASARAN

BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN KELOMPOK SASARAN BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN KELOMPOK SASARAN 5.1. Rencana Program dan Kegiatan Program adalah Instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut Indonesia sudah sejak lama didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama pemanfaatan sumberdaya hayati seperti ikan maupun sumberdaya non hayati

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

Jurnal ruang VOLUME 1 NOMOR 1 September 2009

Jurnal ruang VOLUME 1 NOMOR 1 September 2009 ASPEK KUALITAS PADA RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) PROVINSI SULAWESI TENGAH (Telaah Penyusunan Kembali RTRW Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2008) Wildani Pingkan Suripurna Hamzens pink_2hz@yahoo.com

Lebih terperinci

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin 2.1 Tujuan Penataan Ruang Tujuan penataan ruang wilayah kabupaten merupakan arahan perwujudan ruang wilayah kabupaten yang ingin dicapai pada masa yang akan datang (20 tahun). Dengan mempertimbangkan visi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR GORONTALO, Menimbang : a. bahwa Lingkungan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PROVINSI GORONTALO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang

Lebih terperinci