INDEKS REPRODUKSI SEBAGAI FAKTOR PENENTU EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH: FOKUS KAJIAN PADA SAPI PERAH BOS TAURUS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "INDEKS REPRODUKSI SEBAGAI FAKTOR PENENTU EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH: FOKUS KAJIAN PADA SAPI PERAH BOS TAURUS"

Transkripsi

1 INDEKS REPRODUKSI SEBAGAI FAKTOR PENENTU EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH: FOKUS KAJIAN PADA SAPI PERAH BOS TAURUS (Reproduction Indices as Determined Factors of Reproductive Efficiency in Dairy Cattle: Focusing Discussion in Bos taurus) ANNEKE ANGGRAENI Balai Penelitian Ternak, Bogor ABSTRACT Reproduction is one of essential factor directly affecting profitability in a dairy production system. Inefficient reproduction can result in many disadvantages such as: lesser milk yield and reduced calves per cow, increased culling rate of animals, slower genetic improvement, increased replacement cost and increased AI payment. Fertility of individual cow, directly affecting on reproductive effeciency in herds, has been known as a complex process covering various factors such as the aspects of genetic, physiology, nutrition, management, agroecosystem and climate. Interval from calving to another calving is practically considered frequently as one of reproductive parameter for identifying status and efficiency of reproduction of individual cow. This parameter can be evaluated based on various intervals mainly from partus to first service, first service to conception, days open, gestation period and calving interval. These traditional reproductive indeces are still necessary to evalute reproductive status of both individual animal and herd levels particularly in developing countries to cope with their limitation in many resources such as capital, skill and technology of detecting inferiority and abnormality in reproduction. Although a more accurate parameter using hormonal test has been now available and initially applied in some developing countries, but it is still costly. Therefore the tradisional reproductive parameter have been still usefull. By recognizing various determined factors of these reproductive indices, it is expectedly some strategic action can be afforded for reaching the target cows calving annually. The achievement of various reproductive indices in Bos taurus dairy cattles both in temperate and tropical countries typically raising cattle in a small scale under tropical stress was also discussed. Keywords: Bos taurus, reproductive indices, interval from calving to first service, days open and calving interval ABSTRAK Reproduksi merupakan sifat yang sangat menentukan keuntungan usaha peternakan sapi perah. Inefisiensi reproduksi dapat menimbulkan berbagai kerugian pada usaha peternakan sapi perah seperti: menurunkan produksi susu dan kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat perbaikan genetik, meningkatkan biaya replacement dan biaya IB. Daya fertilitas setiap ekor induk, yang memberi pengaruh secara langsung terhadap efisiensi reproduksi peternakan, diketahui merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan banyak faktor seperti aspek genetik, fisiologi ternak, nutrisi, manajemen, lingkungan pemeliharaan dan iklim. Periode waktu antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya secara praktis banyak dipertimbangkan sebagai salah satu parameter untuk mengetahui status dan efisiensi reproduksi setiap induk. Tingkat efisiensi reproduksi tersebut dievaluasi berdasarkan nilai indeks reproduksi meliputi jarak (waktu) dari partus sampai kawin pertama, kawin pertama sampai konsepsi, lama kosong, lama bunting dan selang beranak. Kajian terhadap indeks fertilitas secara tradisional ini masih sangat diperlukan pada sistem usaha sapi perah terutama di negara berkembang sebagai pengadopsi budidaya sapi perah eksotik. Ini disebabkan kendala biaya, keahlian dan teknologi dalam mendeteksi baik inferioritas maupun abnormalitas reproduksi ternak dalam menerapkan uji hormonal seperti yang mulai diterapkan negara maju. Dengan memahami berbagai faktor penentu dari sejumlah indeks reproduksi tersebut, diharap akan bisa dilakukan berbagai alternatif strategis untuk mencapai target kelahiran anak secara teratur setiap tahun. Perolehan nilai indeks reproduksi sapi Bos taurus baik di daerah asalnya iklim sedang (dingin) dan negara 61

2 pengadopsi yang umumnya dibawah sistem pemeliharaan skala kecil dan kondisi iklim tropis juga menjadi bahasan tulisan ini. Kata kunci: Bos taurus, indeks reproduksi, interval kelahiran PENDAHULUAN Reproduksi sangat menentukan keuntungan yang akan diperoleh usaha peternakan sapi perah. Inefisiensi reproduksi pada sapi perah betina dapat menimbulkan berbagai kerugian seperti menurunkan produksi susu harian dan laktasi sapi produktif, meningkatkan biaya perkawinan dan laju pengafkiran sapi betina serta memperlambat kemajuan genetik dari sifat bernilai ekonomis. Banyak faktor mempengaruhi kinerja reproduksi individu sapi yang sering kali sulit diidentifikasi. Bahkan dalam kondisi optimum sekalipun, proses reproduksi dapat berlangsung tidak sempurna disebabkan kontribusi berbagai faktor, sehingga berpengaruh selama proses kebuntingan sampai anak terlahir dengan selamat. Memahami keterkaitan berbagai faktor dalam mempengaruhi fertilitas ternak, oleh karenanya menjadi hal esensial dalam upaya mengoptimalkan performa reproduksi setiap sapi betina dan usaha peternakan. Definisi sederhana seekor sapi betina dinyatakan fertil adalah apabila ternak tersebut mampu berkonsepsi dan mempertahankan kebuntingan sampai terjadi kelahiran (DARWASH et al., 1997). Namun, berbagai kondisi kurang menguntungkan akan menurunkan fertilitas yang berakibat induk gagal mempertahankan kebuntingan. Kegagalan menghasilkan kebuntingan merefleksikan sejumlah abnormalitas seperti kegagalan ternak mengekspresikan estrus dan ovulasi serta abnormalitas siklus estrus itu sendiri. Kegagalan konsepsi dapat merefleksikan pula disfungsi hypothalamus, kelenjar pituitary, ovarium, uterus ataupun konsepsi tidak berkembang dengan baik (ROYAL et al., 2000). Untuk meningkatkan efisiensi reproduksi ternak, oleh karenanya perlu diperhatikan proses kompleks terkait dengan sifat reproduksi yang melibatkan aspek genetik, fisiologi, nutrisi, manajemen dan lingkungan. Disebabkan fertilitas merupakan rangkaian proses biologis yang kompleks, maka cukup sulit untuk mendefinisikan daya fertilitas induk yang mencakup semua aspek reproduksi. Meskipun demikian dalam pemeriksaan kemampuan fertilitas, metoda konvensional dapat diterapkan dengan cara menghitung sejumlah indeks reproduksi sebagai indikator tingkat efisiensi reproduksi sapi perah. Indeks reproduksi sebagai ukuran tingkat fertilitas dihitung berdasarkan informasi data reproduksi seperti penggunaan pejantan dalam inseminasi (IB), tanggal servis dan tanggal melahirkan sapi betina (PRYCE et al., 2004). Ukuran fertilitas tersebut secara praktis dibagi menjadi dua kategori, yaitu fertilitas dalam bentuk skor dan interval. Fertlitas dalam bentuk skor misalnya angka tidak kembali berahi setelah servis pertama, dinyatakan sebagai non-return rate (NRR), biasanya dipakai patokan periode pengamatan 56 hari atau 90 hari, sedangkan konsepsi ditentukan berdasarkan diagnosa kebuntingan atau kelahiran yang menyertainya. Fertilitas dalam bentuk interval waktu, dilain pihak, antara lain periode dari partus sampai kawin (birahi) pertama, lama kosong dan selang beranak. Berbagai parameter reproduksi yang diuraikan sebelumnya menurut ROYAL et al. (2000) dinyatakan sebagai parameter fertilitas tradisional. Dijelaskan, nilai fertilitas tradisonal sering berbias akibat berbagai keputusan manajemen (reproduksi) atau adanya sensorik data seperti ternak diafkir sebelum diinseminasi. Bila data tersebut dipakai untuk kepentingan evaluasi genetik sifat reproduksi sapi betina, akan memberi bias yang besar pada estimasi nilai pemuliaan sifat reproduksi tersebut. Salah satu alternatif yang mulai ditawarkan untuk meminimalkan bias dari penilaian fertilitas induk yaitu dengan mengukur kadar hormon progesteron (progesteron test) dalam air susu, yang dinyatakan sebagai parameter fertilitas fisiologis. Metode ini mulai dipakai sejumlah negara asal sapi perah Bos taurus seperti Inggris dan sebagian negara Eropa lainnya. Metode progesterone test mengindikasikan kondisi saat sapi ovulasi yang merefleksikan pembentukan dan lama hidup corpus luteum. Metode ini juga menginformasikan apakah siklus estrus berlangsung secara tipikal dan uterus bisa mempertahankan kebuntingan 62

3 dengan selamat. Analisis parameter reproduksi berdasarkan kadar progesteron air susu, oleh karenanya dapat mengidentifikasi abnormalitas fungsi ovari dikaitkan dengan penurunan fertilitas seperti memanjangnya periode anestrus postpartus (keterlambatan periode tidak ovulasi postpartus), siklus anestrus yang panjang (keterlambatan ovulasi), disfungsi ovari (folikel sistik) serta bertahannya corpus luteum. Meskipun metode ini mampu menyediakan informasi akurat dari kondisi fisiologis dan disfungsi organ reproduksi sapi betina, tetapi penggunaannya memerlukan keahlian veteriner, peralatan dan biaya yang mendukung. Kajian indeks fertilitas secara tradisional, dengan demikian masih sangat diperlukan pada kondisi sistem usaha peternakan sapi perah di negara berkembang. Ini dikarenakan negara berkembang sebagai pengadopsi budidaya sapi perah eksotik umumnya memfokuskan pemeliharaan sapi perah bagi peternak rakyat yang terkait erat dengan keterbatasan model, keahlian dan teknologi. Kendala tersebut belum memungkinkan peternakan rakyat dan koperasi binaan melakukan deteksi inferioritas maupun abnormalitas reproduksi menerapkan uji hormonal seperti yang mulai diterapkan di negara maju. Uraian selanjutnya akan membahas berbagai interval reproduksi sebagai parameter indeks reproduksi tradisional yang merupakan faktor esensial penentu keteraturan beranak dari sapi perah betina. Dengan melakukan deteksi awal berbagai disfungsi organ dan saluran reproduksi, selanjutnya melakukan pencegahan dan (atau) pengobatan yang tepat, diharapkan kelahiran anak sapi dapat berlangsung teratur setiap tahun. INDEKS REPRODUKSI Dipahami ada banyak faktor berkontribusi terhadap indeks reproduksi sebagai faktor penentu keteraturan siklus reproduksi sapi betina. Identifikasi berbagai faktor pembatas yang bisa menurunkan fertilitas, sangat diperlukan untuk memperbaiki kinerja reproduksi dari sapi dara dan induk (STEVENSON, 2001). Interval antara satu kelahiran dengan kelahiran selanjutnya telah dilaporkan banyak studi menjadi salah satu penentu efisiensi reproduksi terbaik baik pada tingkat individu ternak maupun pada tingkat usaha peternakan. MUKASA-MUGERWA (1989) secara sederhana membagi interval kelahiran atau selang beranak menjadi tiga periode yaitu: 1) anestrus postpartus sebagai periode mulai induk melahirkan sampai estrus pertama, 2) periode perkawinan (IB) sebagai periode mulai estrus pertama postpartus sampai konsepsi dan 3) kebuntingan. STEVENSON (2001) juga membagi interval kelahiran menjadi tiga komponen yaitu: 1). the elective waiting periode (EWP), 2) periode perkawinan atau aktif inseminasi dan 3) kebuntingan ditambah dengan berbagai interval yang melengkapinya. Klasifikasi terakhir lebih mempertimbangkan berbagai komponen interval kelahiran sehubungan dengan siklus estrus dan potensi mencapai keberhasilan IB, yang memungkinan kelahiran terjadi setiap tahun. Diskusi secara detail dari berbagai komponen interval antar kelahiran dibahas berikut ini. THE ELECTIVE WAITING PERIOD The elective waiting period (EWP) merupakan interval tradisonal mulai seekor sapi betina menjalani kelahiran sampai mencapai kondisi layak untuk memperoleh perkawinan (IB) pertama postpartus. Periode EWP secara parsial akan ditentukan oleh hasil keputusan manajemen yang dilakukan peternak atau manajer sapi perah, biasanya berkisar hari. Sebagian dari periode EWP ini dipengaruhi oleh kondisi fisiologis dari organ reproduksi induk yang terus menjalankan proses involusi sampai mencapai sempurna setelah proses kelahiran (STEVENSON, 2001). Lama waktu yang diperlukan untuk sempurnanya proses involusi sekitar hari (BASTIDAS et al., 1984). Sejumlah studi mencatat ada korelasi yang nyata antara waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan involusi uterus dengan periode kawin pertama setelah partus, yang berkisar antara hr. Disebabkan EWP merupakan suatu masa transisi yang menyertai segera proses kelahiran, periode ini sangat peka terhadap berbagai resiko kesehatan dan produktivitas induk. Selama periode transisi, induk sering mengalami disfungsi fisiologis seperti kejadian retained placenta, metritis, ketosis, displaced abomasum dan cystic ovary (STEVENSON, 63

4 2001; dan SHIFRAW et al., 2005). Meningkatnya kejadian distokia, kelahiran kembar, stillbirth, abortus, retained placenta dan kematian fetus diketahui menjadi faktor predisposisi dalam menimbulkan infeksi saluran reproduksi (DOHOO et al., 1983). Gangguan fisiologis tersebut secara erat mempengaruhi performan reproduksi seperti induk yang mengalami retained placeta, metritis dan systic ovary mencapai angka konsepsi lebih rendah sekitar 14, 15 dan 21% dibandingkan induk yang sehat (GRŐHN dan RAJALA-SCHULTZ, 2000). Pengamatan pada sapi perah persilangan di Ethiophia mencatat retained foetal membrane dan infeksi uterus sebagai faktor yang sangat berpengaruh terhadap kelainan reproduksi postpartus (SHIFERAW et al., 2005). Sapi induk dengan gangguan reproduksi cenderung menjalani interval servis pertama postpartus dan lama kosong panjang disamping memperoleh angka konsepsi lebih rendah dibandingkan induk normal. Parturasi Parturasi merupakan suatu proses yang sangat membutuhkan perhatian, pemeliharaan dan keberhasihan penanganannya. Resiko kematian lebih besar selama proses kelahiran jika dibandingkan dengan periode reproduksi lainnya. Berbagai gangguan selama proses parturasi menyebabkan induk mengalami gangguan penyakit, kehilangan produksi susu dan penurunan efisiensi reproduksi. Upaya mengurangi terjadinya insiden selama proses kelahiran, berarti mengupayakan perbaikan kesehatan reproduksi induk. GRŐNH et al. (1998) melaporkan kejadian distokia, retained placenta dan metritis menurunkan produksi susu dimana pengamatan pada dua minggu pertama laktasi menunjukkan produksi susu harian turun berurutan 2,2, 1,4 dan 1,3 kg/hr, meskipun taraf pengaruh tersebut bervariasi antara laktasi. Lebih jauh dilaporkan, sapi induk dengan potensi produksi susu tinggi dari laktasi sebelumnya cenderung memiliki peluang lebih besar mengalami resiko distokia, retained placenta, metritis, birahi tenang, ovari sistik dan infertilitas lainnya. Onset siklus estrus Ovulasi pertama setelah kelahiran mencerminkan resumsi dan sempurnanya perkembangan folikel di ovarium sebelum berlangsung ovulasi. Proses ini sangat menentukan fertilitas selanjutnya. Diperlukan berbagai rangkaian proses fisiologis agar induk memulai kembali siklus estrus postpartus (PRYCE et al., 2004). Kondisi ini memerlukan pemulihan organ reproduksi seperti folikuler berkembang secara sempurna diikuti proses ovulasi serta hormon LH dan FSH disekresikan secara normal untuk menstimulasi folikel yang ada di ovari (BUTLER, 2005). Perkembangan folikel terutama dikontrol oleh sistem umpan balik melibatkan hormon stimulator seperti gonadotropin (FSH), lutenising hormone (LH), estrogen, androgen, progesterone dan protein (sekresi dari ovari) (WEBB et al., 1994). Menggunakan ultrasound imaging technique untuk mempelajari dinamika folikel ternak, diketahui bahwa selama siklus normal reproduksi terjadi perkembangan ganda dari folikel dengan proses menyerupai gelombang folikel (SAVIO et al., 1990). Gelombang folikel di ovari mulai berlangsung sejak minggu pertama postpartus dan biasanya folikel dominan pertama terovulasi (BUTTLER, 2005). Sapi mengekspresikan sekitar 2-3 gelombang folikel selama satu siklus estrus normal (Ireland, 2000), akan tetapi sebanyak 1-4 siklus gelombang sering kali teramati (SAVIO et al., 1990). Setiap gelombang melibatkan perekrutan suatu kohorsi dari sekitar 5-7 folikel benih, kemudian satu berkembang menjadi lebih besar, sementara yang lainnya beregresi (IRELAND et al., 2000). Seleksi satu folikel berkembang dari suatu kohorsi sedangkan yang lainnya mengalami atresia terjadi melalui mekanisme dominan yang memungkinkan satu folikel tunggal menekan pertumbuhan folikel lainnya atau untuk tumbuh dalam suatu milineu hormonal, sehingga menimbulkan ketidaksesuaian kondisi pada folikel lainnya. Kehilangan folikel dominan menghasilkan atresia dari folikel dominan tersebut, sehingga merangsang pertumbuhan gelombang folikuler baru (FORTUNE, 1993; dan IRELAND et al., 2000). 64

5 Gelombang folikular terjadi sebagai respon dari meningkatnya konsentrasi plasma FSH yang mencapai puncak pada hari ke 4-5 postpartus (BEAM dan BUTTLER, 1997). Adanya gelombang folikular yang segera terjadi pasca kelahiran, menunjukkan bahwa konsetrasi FSH dalam darah mencukupi. Dengan demikian diperkirakan faktor pembatas yang nyata untuk dimulainya kembali ovulasi lebih tergantung pada taraf kecukupan sekresi LH dalam bentuk circhoral LH pulses dalam menstimulir kematangan folikular akhir dan proses ovulasi dari folikel dominan (CANFIELD dan BUTLER, 1991). Ini memberi implikasi bahwa anestrus postpartus pada sapi perah kemungkinan lebih disebabkan oleh kegagalan folikel untuk berovulasi, bukan karena kecenderungan kurang berkembangnya folikel. Cukup banyak dilakukan studi tentang dinamika folikuler selama siklus estrus normal sapi perah, dikaitkan dengan strategi efektip memulai kembali inseminasi. SMITH dan WALLACE (1998) dengan menggunakan progesteron air susu untuk mengkaji aktivitas luteal selama 21 hari pertama laktasi melaporkan kegiatan inseminasi awal pasca kelahiran memberi tingkat fertilitas rendah. Dijelaskan ovulasi awal berkorelasi positif dengan rendahnya angka konsepsi dan perpanjangan masa kosong sapi multiparus. Fertilitas cenderung lebih besar bila sapi diinseminasi setelah ovulasi hasil gelombang folikel dominan ketiga dibandingkan gelombang kedua (TOWSON et al., 2002). Hal ini sesuai dengan studi sebelumnya oleh THATCHER dan WILCOX et al. (1973) yang mendapatkan suatu hubungan positif antara kejadian periode estrus ganda (sampai ke-4) selama 60 hari pertama laktasi dengan keberhasilan angka konsepsi disebabkan efek menguntungkan aktivitas resumsi ovari dan konsentrasi progesterone untuk fertil. Banyak peristiwa reproduksi yang berlangsung selama periode awal kelahiran, disamping dimulainya laktasi, menarik untuk diuraikan. Selama periode awal postpartus, sapi laktasi biasanya dalam kondisi keseimbangan energi negatif (negative energy balance) karena ketidak mampuannya mengkonsumsi energi dengan jumlah mencukupi dalam ransum (COLLARD et al., 2000; GEAHART et al., 1990 dan DOMEQ et al., 1997). Waktu ovulasi dari folikel dominan pertama diketahui terkait dengan laju dan saat keseimbangan energi mencapai status positif (STEVENSON et al., 1996). Keseimbangan energi dalam kondisi negatif mengakibatkan turunnya sekresi LH postpartus, akibatnya memperlambat resumsi aktivitas ovari (BUTLER, 2000). Keseimbangan energi negatif juga memperpanjang interval ovulasi dan estrus pertama postpartus. Tidaklah mengejutkan jika angka konsepsi mencapai keberhasilan kurang dari 50% pada sapi induk yang diservis sebelum 100 hari pertama laktasi (BEAM dan BUTKER, 1999). PERIODE PERKAWINAN (INSEMINASI) Komponen kedua yang penting dalam menentukan interval kelahiran adalah periode antara akhir EWP dan saat pertama terdeteksi estrus postpartus, diikuti perkawinan IB kemudian konsepsi terjadi. Periode ini pada dasarnya merupakan fungsi dari angka deteksi birahi dan daya fertilitas induk (STEVENSON, 2001). Persentase induk yang terdeteksi estrus bergantung pada efisiensi deteksi estrus dari semua induk, sedangkan fertilitas induk bergantung pada sejumlah faktor melibatkan fertilitas jantan, thawing dan penangan semen secara benar, teknik kawin IB dan saat IB (STEVENSON, 2001). Deteksi estrus Akurasi dalam mendeteksi estrus merupakan suatu faktor esensial bagi keberhasilan perkawinan inseminasi. Jika inseminasi dilakukan pada waktu yang tidak tepat, akan menurunkan angka konsepsi (MAI et al., 2002). Banyak hasil positif didapatkan jika angka deteksi estrus meningkat, seperti mengontrol interval kelahiran dan meningkatkan total angka konsepsi. FIRK et al. (2002) menjelaskan deteksi estrus yang salah ataupun esrus yang tidak terdeteksi menyebabkan hilangnya waktu tepat inseminasi yang memberi konsekuensi hilangnya pendapatan karena potensi produksi susu dan kelahiran anak tidak tereksploitasi. Secara tradisional, deteksi estrus dilakukan melalui pengamatan visual berdasarkan tandatanda primer dan sekunder (FIRK et al., 2002). Tanda primer yang dipertimbangkan sebagai 65

6 estrus yang sebenarnya adalah saat mana sapi betina bersedia dinaiki sapi lain (RANKIN et al., 1992). Aktivitas dinaiki distimulasi secara kuat oleh estrogen dan dihambat oleh progesteron (ALLRICH, 1994). Periode ini terjadi selama periode pro-estrus atau estrus dibandingkan diluar periode estrus (HELMER dan BRITT, 1985). Sapi betina juga memperlihatkan tanda sekunder estrus seperti menaiki sapi lain, gelisah, melenguh, vulva relaksasi dan keluar cairan bening, pendarahan postestrus, serta turun selera makan dan produksi susu (DISKIN dan SREENAN, 1980). Tanda sekunder estrus dapat terlihat 40 jam sebelum atau 20 jam sesudah etrus pertama (MCLAREN, 1974). Tanda sekunder estrus ini menjadi sangat bermanfaat pada kondisi sapi betina dipelihara dengan sistem manajemen terikat (tied stall), karena tanda primer menjadi sulit terdeteksi (YOSIHA dan NAKAO, 2005). SCHOFIELD et al. (1991) melaporkan rataan lama estrus 13,5 ± 2,3 jam, sedangkan SALISBURy et al. (1978) mencatat periode estrus sekitar jam. DRANSFIELD et al. (1998) memperoleh periode estrus dari beberapa peternakan berkisar dari 5,1 ± 3,8 jam sampai 10,6 ± 6,8 jam dengan rataan 7,1 ± 5,4 jam. Menurut KIDA et al. (1981) lama standing estrus pada satu populasi sapi perah di Jepang sekitar jam, sedangkan YOSHIDA dan NAKAO (2005) mencatat sekitar 6,6 jam dengan kisaran 2-32 jam. Waktu inseminasi Kondisi biologis yang mempengaruhi waktu inseminasi dan fertilisasi merupakan fungsi dari viabilitas gamet (sperma dan ovum), yaitu waktu yang diperlukan viabilitas sperma mulai dari posisi IB sampai fertilisasi (DRANSFIELD et al., 1998). Kejadian ovulasi terkait dengan saat tepat inseminasi dengan demikian merupakan dua aspek yang perlu diperhatikan. Rataan waktu ovulasi sapi betina berlangsung antara jam sejak estrus dan jam setelah berakhirnya estrus (SALISBURY et al., 1978). WALKER et al. (1996) mencatat ovulasi terjadi jam sejak dimulai estrus dengan rataan 27,6 ± 5,5 jam (ALLRICH, 1994). Meskipun ovum memiliki periode maksimum kapasitasi untuk proses fertilisasi sekitar jam, namun periode optimum berlangsung hanya sekitar 6 10 jam. Hal ini bermakna bahwa sekali sel telur terovulasi, diestimasi viabilitas hidup kurang dari 12 jam, kecuali jika terjadi pembuahan. Jika thawing semen beku dilakukan secara baik, maka lama viabilitas sperma dalam saluran reproduksi betina diperkirakan berlangsung sekitar jam (DRANSFIELD et al., 1998). Sperma tidak akan mampu membuahi sel telur segera setelah thawing dan diletakkan dalam tubuh uterus betina. Mereka harus bergerak dari tanduk uterus ke uterotubal junction, memasuki oviduk dan menyempurnakan proses maturasi yang disebut sebagai kapasitasi. Secara umum, sperma yang bergerak normal memerlukan waktu sekitar 6-10 jam untuk mencapai bagian bawah dari oviduk saat mana proses kapasitasi sempurna (HAWK et al., 1987). Periode jam berikutnya merupakan periode fertilitas maksimal dari sperma yang diikuti secara cepat turunnya motilitas dan fertilitas. Penanganan semen yang kurang tepat dan teknik IB yang tidak benar secara dramatis dapat menurunkan jumah sperma sel yang tersedia untuk fertilisasi, sehingga dihasilkan angka konsepsi yang rendah. Pemeriksaan intensif terhadap waktu tepat inseminasi pada berbagai tahap estrus memperjelas angka konsepsi akan maksimum jika IB dilakukan mulai fase midestrus sampai beberapa jam setelah berakhirnya ekspresi standing estrus (DRANSFIELD et al., 1998). Sebagai penuntun saat tepat inseminasi adalah jika induk estrus selama pagi hari perlu di-ib pada sore hari yang sama, sedangkan jika sapi estrus sore hari perlu di-ib pada keesokan pagi harinya. Meskipun demikian ada perbedaan keberhasilan IB yang dilakukan pada dua waktu tersebut. Angka konsepsi lebih baik untuk induk yang estrus pagi hari kemudian diinseminasi pada sore hari yang sama (52%) dibandingkan terhadap induk yang estrus sore hari kemudian diinseminasi pagi hari berikutnya (47%) (REIMERS et al., 1985). Meskipun demikian NEBEL et al. (1994) mendapatkan angka konsepsi tidak berbeda pada inseminasi yang dilakukan satu kali terhadap dua kali menggunakan tuntunan pagisore hari, dengan hasil terbaik diperoleh saat inseminasi antara jam pagi. Sementara DRANSFIELD et al. (1998) 66

7 berdasarkan pengamatan estrus menggunakan Heat Watch System memperoleh waktu optimum inseminasi antara jam 4 12 setelah standing estrus, atau menurut MAATJE et al. (1997) sekitar 6 17 jam setelah meningkatnya bacaan pedometer. KEBUNTINGAN Komponen ketiga dari interval kelahiran adalah kebuntingan yang juga melibatkan periode pengeringan. Lama kebuntingan hampir bisa dikatakan konstan yang tidak dapat dipersingkat secara nyata dengan tanpa menimbulkan efek membahayakan kesehatan dan viabilitas anak lahir. Menurut GORDON (1996) menyertai fertilisasi, embrio turun dari oviduk masuk uterus yang berlangsung sekitar jam. Jika kebuntingan tidak terjadi, maka corpus luteum beregresi sebagai respon sekresi hormon prostaglandin F 2α dari endometrium, sebaliknya jika embrio bertahan, maka corpus luteum akan bertahan. Fenomena ini dipandang menjadi suatu fase kritikal dalam pemeliharaan kebuntingan. Melekatnya plasenta pada dinding uterus terjadi sekitar hari (VANROOSE et al., 2000). Embrio dan fetus tumbuh dengan cepat sampai 240 hari fertilisasi dan kelahiran terjadi setelah kebuntingan berumur sekitar 282 hari (GARVERICK dan SMITH, 1993). Embrio bertumbuh sampai 45 hari konsepsi, selanjutnya berkembang menjadi fetus (HUBBERT, 1972). Menurut LUCY (2003) peluang terbesar dari kegagalan setelah terjadi konsepsi pada sapi perah adalah selama fase embrio yang semula nampak berkembang normal kemudian mengalami mortal dini. Kehilangan embrio yang besar berlangsung terutama antara periode konsepsi dan pengenalan kebuntingan oleh induk, yaitu sekitar hari setelah inseminasi (LUCY, 2003); sedangkan menurut STEVENSON (2001) kematian embrio sering terjadi selama hari setelah inseminasi. Beberapa studi mencatat penurunan fertlitas terjadi selama awal kebuntingan yang melibatkan: 1) kegagalan fertilisasi dengan kasus <10%), 2) kematian embrio yang tinggi sekitar 25 30% dan 3) kematian fetus ataupun aborsi sekitar 5 10% (SREENAN et al., 2001). Laporan lain mengidentifikasi kematian embrio sapi perah terjadi antara hari setelah konsepsi, namun estimasi bervariasi antar peterrnakan, berkisar antara 7 56%, yang juga dipengaruhi oleh tahap kebuntingan dan musim (CARTMILL et al., 2001; dan VASCONCELOS et al., 1997). PEMBANDINGAN INDEKS REPRODUKSI Tabel 1 menampilkan ringkasan sejumlah indeks reproduksi sapi Friesian-Holstein (FH) dan beberapa sapi perah Bos taurus lainnya pada kondisi pemeliharaan bervariasi, mulai dari daerah asalnya yang beriklim sedang (dingin) dengan sistem pemeliharaan biasanya bersifat intensif dengan skala besar sampai daerah tropis yang umum dipelihara secara semi-intensif berskala kecil di peternakan rakyat dan dibawah kondisi cekaman panas tropis. Terlihat performa reproduksi sapi FH dan Bos taurus bervariasi luas yang diperlihatkan oleh sejumlah nilai indeks reproduksi seperti periode kawin pertama postpartus, interval dari servis pertama sampai menjadi bunting, lama kosong dan selang beranak. Besarnya variasi setiap indeks reproduksi tersebut terjadi baik didalam maupun antara lokasi (negara). Membandingkan performa reproduksi sapi perah Bos taurus antara wilayah iklim sedang dan tropis (Tabel 1), secara umum diperoleh suatu tendensi inferioritas berbagai indeks reproduksi sapi perah Bos taurus pada pemeliharaan iklim tropis. Inferioritas semakin besar pada sistem produksi semi-intensif skala kecil peternakan rakyat misalnya di Tanzania, Ethiopia dan Pakistan. Hal ini menunjukkan bahwa cekaman ekstrem panas tropis bersamasama dengan berbagai faktor lainnya terutama kualitas hijauan, manajemen pemeliharaan (reproduksi) dan insiden penyakit telah mengakibatkan deteriorasi berbagai komponen reproduksi sapi perah Bos taurus. Kondisi tersebut mengakibatkan interval antara satu kelahiran dengan kelahiran selanjutnya menjadi panjang, sehingga menurunkan produksi susu selama hidup produktif sapi betina. 67

8 PERFORMA REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI INDONESIA Sebagaimana sudah diuraikan, periode antara kelahiran akan ditentukan oleh periode waktu antara kelahiran dengan mulainya resumsi ovari, antara kejadian estrus pertama dengan servis pertama postpartus dan antara servis pertama dengan konsepsi (KING, 1993). Berdasarkan ketersediaan data lapang berupa informasi tanggal inseminasi dan kelahiran dari sapi FH di sejumlah lokasi baik di stasiun bibit dan peternakan rakyat di Jateng dan Jabar, dapat disajikan nilai indeks reproduksi sebagai faktor penentu interval kelahiran sebagai tertera pada Tabel 2. Semua parameter reproduksi tersebut lebih panjang dari indeks reproduksi sebagai direkomendasikan untuk sapi perah Bos taurus yang dipelihara pada wilayah asal iklim sedang. Sapi betina direkomendasikan segera dikawinkan setelah melewati periode EWP untuk mencapai lama kosong sekitar hari, sehingga bisa diperoleh kelahiran anak setiap tahun (SCHMIDT el al., 1988). Nilai indeks reproduksi sapi FH tersebut menjadi lebih lama pada pemeliharaan di peternakan rakyat. Berbagai keterlambatan tersebut menyebabkan sapi tidak bisa melahirkan anak setiap tahun dan menghasilkan produksi susu lebih banyak selama masa hidup produktif. Meskipun demikian, apabila dibandingkan berbagai indeks reproduksi sapi FH pada kondisi manajemen intensif dan iklim nyaman di stasiun bibit (BPTU Baturraden dan BPPT-SP Cikole), nilainya masih berbanding cukup baik dengan sapi FH dan Bos taurus lainnya baik di daerah iklim sedang ataupun sejumlah daerah tropis. Demikian pula nilai indeks reproduksi sapi FH di peternakan rakyat masih sebanding dengan sapi Bos taurus pada pemeliharaan peternakan rakyat di daerah tropis, seperti di Asia dan Afrika (Tabel 2). Fertilitas telah diketahui merupakan suatu proses kompleks yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti fisiologi, nutrisi, manajemen dan lingkungan. Demikian pula fertilitas (tradisional) dipengaruhi oleh faktor genetik pada tingkat relatif rendah (ROYAL et al., 2000). Interaksi berbagai faktor mengakibatkan keterlambatan komponen reproduksi sapi perah baik pada pemeliharaan intensif seperti stasiun bibit ataupun semi-intensif di peternakan rakyat. Skor kondisi tubuh yang jelek selama awal laktasi, misalnya, diketahui meningkatkan resiko kegagalan reproduksi, gangguan metabolik, lemahnya ekspresi estrus (primer), hilangnya tanda-tanda estrus sekunder, gangguan penyakit, mortalitas awal dari fetus (dan embrio) serta aborsi. Pada peternakan rakyat, sejumlah faktor lain lebih memperburuk situasi seperti inseminasi yang kurang tepat, teknik inseminasi yang belum baik oleh inseminator, kurang tepat handling dan thawing semen, serta kurangnya sanitasi kesehatan dan pelayanan perkawinan. PENUTUP Untuk mengidentifikasi kemungkinan berbagai gangguan reproduksi secara spesifik apakah dikarenakan aspek genetik, nutrisi, fisiologi, manajemen dan lingkungan, diperlukan pemeriksaan status fisiologis reproduksi ternak. Pengukuran progesteron sebagai salah satu hormon kunci yang mengatur regulasi siklus estrus direkomendasikan untuk diaplikasikan terutama pada sapi betina bibit dengan potensi produksi susu tinggi. Ini dapat dilakukan menerapkan teknik Radioimmunoassay (RIA) dengan mengkoleksi setiap dua minggu sekali dari serum, plasma dan contoh susu. Dengan melakukan tes progesteron akan diketahui berbagai kondisi fisiologis reproduksi seperti dalam memonitoring onset dari pubertas, resumsi ovari postpartus, siklus estrus dan kebuntingan (FAO/IAEA, 1999). Oleh karenanya terdapat tugas besar untuk memperpendek indeks reproduksi sapi FH domestik mendekati nilai yang direkomendasikan. Untuk menjawab hal tersebut, diperlukan teknik analisa yang lebih tepat dan akurat, melakukan berbagai riset terkait dalam mencari jawaban lebih spesifik terjadinya berbagai inferioritas kinerja reproduksi sampai taraf kondisi fisiologis reproduksi ternak. Kajian berbagai faktor eksternal seperti sistem pemberiaan pakan, manajemen reproduksi dan lingkungan pemeliharaan serta kontribusi pengaruh iklim (temperatur dan humidity) tentunya merupakan isu yang penting. Kajian performa reproduksi berdasarkan indeks fertilitas secara tradisional, meskipun demikian, masih sangat diperlukan pada sistem 68

9 usaha sapi perah di Indonesia karena dapat dilakukan dengan tidak membutuhkan biaya besar dalam mendeteksi abnormalitas reproduksi ternak. Dengan mengevaluasi berbagai indeks reproduksi sebagai faktor penentu kelahiran, diharap menjadi informasi cukup baik dalam mencari berbagai alternatif strategis agar sapi perah di peternak rakyat bisa menjalani kelahiran mendekati target interval setiap tahun. DAFTAR PUSTAKA AGEEB, A.G. and J.F. HAYES Genetic and environmental effects on the productivity of Holstein-Friesian cattle under the climatic conditions of Central Sudan. Tropical Animal Health and Production. 32: ALEJANDRINO, A.L. C.O. ASAAD, B. MALABAYABAS, A.C. DE VERA, M.S. HERRERA, C.C. DEOCARIS, L.M. IGNACIO and L.P. PALO. Constraints on dairy cattle productivity at the smallholder level in the Philippines. Preven. Vet. Med. 38: ALLRICH, R.D Endocrine and neutral control of oestrus in dairy cows. J. Dairy Sci. 77: ARBEL, R., Y. BIGUN, E. EZRA, H. STURMAN and D. HOJMAN The effect of extended calving intervals in high-yielding lactating cows on milk production and profitability. J. Dairy Sci. 84: BAGNATO, A. and OLTENACU, P.A Phenotypic evaluation of fertility traits and their association with milk production of Italian Friesian cattle. J. Dairy Sci. 77: BASTIDAS, P., J. TROCONIZ, O. VERDE and O. SILVA Effect of suckling on pregnancy rates and call performance in Brahman cows. Theriogenology 21: BUTLER, W.R Nutritional interactions with reproductive performance in dairy cattle. Anim. Rep. Sci : BUTLER. W.R Inhibition of ovulation in the postpartum cow and the lactating sow. Liv. Prod. Sci. 98: CANFIELD, R.W. AND W.R. BUTLER Energy balance and pulsatile luteinising hormone secretion in early postpartum dairy cows. Domest. Anim. Endocrinol. 7: CARTMILL, J.A., B.A. HENSLEY, S.Z. EL-ZARKOUNY, T.G. ROZELL, J.F. SMITH and J.S. STEVENSON Stage of cycle, incidence and timing of ovulation, and pregnancy rates in dairy cattle after three timed breeding protocols. J. Dairy Sci. 84: CHAGUNDA, M.G.G., E.W. BRUNS, C.B.A. WOLLNY and H.M. KING Effect of milk yieldbased selection on some reproductive traits of Holstein Friesian cows on large-scale dairy farms in Malawi. Liv. Res. For Rural Dev.16 (7) ). COLLARD, B.L., P.J. BOETTCHER, J.C.M. DEKKERS, D. PETITCLERC and L.R. SCHAEFFER Relationship between energy balance and health traits of dairy cattle in early lactation. J. Dairy Sci. 83: DARWASH, A.O., G.E. LAMMING and J.A. WOOLLIAMS The phenotypic association between the interval to postpartum ovulation and traditional measures of fertility in dairy cattle. J. Anim. Sci. 65: DHALIWAL, G.S., R.D. MURRAY, D.Y. DOWNHAM and H. DOBSON Significance of pregnancy rates to successive services to assess the fertility pattern of individual dairy herds. Anim. Rep. Sci. 41: DISKIN, M.G. and SREENAN, J.M Fertilisation and embryonic mortality rates in beef heifers after artificial insemination. J. Rep. and Fertility, 59: DOHOO, I.R., S.W. MARTIN, A.H. MEEK and W.C.D. SANDALS Disease, production and culling in Holstein-Friesian cows. 1. The data. Prev. Vet. Med. 1: DOMECQ, J.J., A.L. SKIDMORE, J.W. LLOID and J.B. KANEENE Relationship between body condition score and milk yield in a large dairy herd of high yielding Holstein cows. J. Dairy Sci. 80: DRANSSFILED, M.G.B., R.L. NEBEL, R.E. PEARSON and L.D. WARNICK Timing of insemination for dairy cows identified in estrus by a radiotelemetric detection system. J. Dairy Sci. 81: FAO/IAEA Self-coating milk progesterone radioimmunoassay (RIA). Bench protocol. Version-ScRIA 3.1. FIRK, R., E. STAMER, W. JUNGE and J. KRIETER Automation of oestrus detection in dairy cows: a review. Liv. Prod. Sci. 75: FORTUNE, J.E Ovarian follicular growth and development in mammals. Biol. Reprod. 50:

10 GARCIA-PENICHE, T.B., B.G. CASSELL, R.E. PEARSON and I. MISZTAL Comparisons of Holsteins with Brown Swiss and Jersey cows on the same farm for age at first calving and first calving interval. J. Dairy Sci. 88: GARVERICK, H.A. and M.F. SMITH Female reproductive physiology and endocrinology of cattle. Vet. Clinics of North America, Food Anim. Prac. 9: GEARHART, M.A., C.R. CURTIS, H.N. ERB, R.D. SMITH, C.J. SNIFFEN, L.E. CHASE, and M.D. COOPER Relationship of changes in condition score to cow health in Holsteins. J. Dairy Sci. 73: GORDON, I Controlled reproduction in cattle and buffaloes. Cab International, Wallington, UK. GRÖHN, Y.T., S.W. EICKER, V. DUCROCG and J.A. HERTL The effect of disease on culling Holstein dairy cows in New York State. J. Dairy Sci. 81: GRÖHN, Y.T. and P.J. RAJALA-SCHULTZ Epidemiology of reproductive performance in dairy cows. Anim. Rep. Sci : HAWK, H.W Transport and fate of spermatozoa after insemination of cattle. J. Dairy Sci. 70: HUBBERT, W.T Recommendation for standardising bovine reproductive terms. Cornell Veterinarian 62: HELMER, S.D. and J.H. BRITT Mounting behaviour as affected by stage of oestrus cycle in Holstein heifers. J. Dairy Sci. 68: IRELAND, J.J., M. MIHM, E. AUSTIN, M.G. DISKIN and J.F. ROCHE Historical perspective of turnover of dominant follicles during the bovine estrous cycle: Key, concepts, studies, advancements, and terms. J. Dairy Sci. 83: ISLAM, M.N., M.M. RAHMAN and S. FARUQUE Reproductive performance of different crossbred and indigenous dairy catle under small holder farming condition in Bangladesh. Online J. of Biolog. Sci. 2(4): KAYA, I., C. UZMAY, A. KAYA and Y. AKBAS Comparative analysis of milk yield and reproductive traits of Holstein-Friesian cows born in Turkey or imported from Italy and kept on farms under the Turkish-ANAFI project. Ital. J. Anim. Sci. 2: KIDA, K., M. MIYAKE, H. ONO and K. SATO Estrous behaviour and plasma levels of sex steroids in cows and heifers. Japan Anim. Rep. 27: KING, G.J Reproduction in domestic animals. World Anim. Sci. Elsevier, Amsterdam, The Netherlands, p LUCY, M.C Mechanism linking nutrition and reproduction in postpartum cows. Reprod., Suppl. 61: LYIMO, Z.C., R. NKYA, L. SCHOONMAN and F.J.C.M. VAN EERDENBURG Post-partum reproductive performance of crossbred dairy cattle on smallholders farm in sub-humid coastal Tanzania. Trop. Anim. Health and Prod. 36: MAATJE, K., S.H. LOEFFLER and B. ENGEL Predicting optimal time of insemination in cows that show visual signs of oestrus by estimating onset of oestrus with pedometers. J. Dairy Sci. 80: MAI, H.M., D. OGWU, L.O. EDUVIE and A.A. VOH Detection of oestrus in Bunaji cows under field conditions. Trop. Anim. Health Prod. 34: MCLAREN, A Fertilization, cleavage and implantation. Pages in Reproduction in Farm Animals. E.S.E. HAFEZ, Ed. 3 rd ed. Lea & Febiger. Philadelphia. MOORE, R.K., B.W. KENNEDY, L.R. SCHAEFFER and J.E. MOXLEY Relationships between reproduction traits, age and body weight at calving, and days dry in first lactation Ayrshires and Holsteins. J. Dairy Sci. 73: MSANGA, Y.N. and M.J. BRYANT Effect of restricted suckling of calves on the productivity of crossbred dairy cattle. Trop. Anim. Health and Prod. 35 : MUKASA-MUGERWA, E A review of reproductive performance of female Bos indicus (Zebu) cattle. ILCA Monograph 6, Int. Liv. Centre for Africa, Nairobi, Kenya. NEBEL, R.L., W.L. WALKER, M.L. MCGILLIARD, C.H. ALLEN and G.S. HECKMAN Timing of artificial insemination of dairy cows: Fixed time once daily versus morning and afternoon. J. Dairy Sci. 77: NGONGONI, N.T., C. MAPIYE, M. MWALE and B. MUPETA Factors affecting milk production in the smallholder dairy sector of Zimbabwe. Liv. Res. For Rural Dev. 18 (5) ). 70

11 NIAZI, A.A.K and M. ALEEM Comparative studies on the reproductive efficiency of imported and local born Friesian cows in Pakistan. Online Journal of Biological Sciences 3(4): OSEI, S.A., K. EFFAH-BAAH and P. KARIKARI The reproductive performance of Friesian cattle bred in the hot humid forest zone of Ghana. World Animal Review. FAO. Rome. OSENI, S., I. MISZTAL, S. TSURUTA and R. REKAYA Seasonality of days open in US Holstein. J. Dairy Sci. 86: OUWELTHES, W., E.A.A. SMOLDERS, P. VAN ELDIK, L. ELVING and Y.H. SCHUKKEN Herd fertility parameters in relation to milk production in dairy cattle. Livestock Production Science 46 : PRYCE, J.E., M.D. ROYAL, P.C. GARNSWORTHY and I.L. MAO Fertility in the highproducing dairy cow. Liv. Prod. Sci. 86 : RANKIN, T.A. W.R. SMITH, R.D. SHANKS, and J.R. LODGE Timing of insemination in dairy heifers. J. Dairy Sci. 75: REIMERS, T.J., R.D. SMITH and S.K. NEWMAN Management factors affecting reproductive performance of dairy cows in the northeastern United States. J. Dairy Sci. 68: ROYAL, M.D., A.O. DARWASH, A.P.F. FLINT, R. WEBB, J.A. WOOLLIAMS and G.E. LAMMING Declining fertility in dairy cattle: changes in traditional and endocrine parameters of fertility. Anim. Sci. 70: SALEM, M.B., M. DJEMALI, C. KAYOULI and A. MAJDOUB A review of environmental and management factors affecting the reproductive performance of Holstein-Friesian dairy herds in Tunisia. Livestock Research for Rural development 18 (4). org.co/lrrd/ (Cited 2006). SALISBURY, GW., N.L. VAN DENMARK and J.R. LODGE Physiology of Reproduction and Artificial Insemination of Cattle. 2 nd ed. W.H. FREEMAN and Co., San Fransisco, CA. SAVIO, J.D., M.P. BOLAND, N. HYNES and J.F. ROCHE Resumption of follicular activity in the early postpartum period of dairy cows. J. Reprod. Fertil. 88: SCHMIDT, G., L.D. VAN VLECK, AND M.F. HUTJENS Principles of dairy science. 2 nd ed. Prentice Hall, Englewood Cliffs. New Jersey. SCHOFIELD, S.A., C.J.C. PHILIPS and A.R. OWENS Variation in milk production, activity rate and electrical impedance of cervical mucus over the oestrus period of dairy cows. Anim. Rep. Sci. 24: SHIFERAW, Y., B-A. TENHAGEN, M. BEKANA and T. KASSA Reproductive disorders of crossbred dairy cows in the Central Highlands of Ethiophia and their effect on reproductive performance. Trop. Anim. Health and Prod. 37: SIMERL, N.A., C.J. WILCOX, W.W. THATCHER and F.G. MARTIN Prepartum and peripartum reproductive performance of dairy heifers freshening at young ages. J. Dairy Sci. 74: SMITH, M.C.A. and J.M. WALLACE Influence of early post partum ovulation on the reestablishment of pregnancy in multiparous and primiparous dairy cattle. Reprod. Fertil. Dev. 10: SREENAN, J.M., M.G. DISKIN and D.G. MORRI Embryo survival rate in cattle: a major limitation to the achievement of high fertility. In: DISKIN MG (ed)., Fertility in highproducing dairy cattle. Anim. Sci. Vol 1, Occasional Publication No. 26. British. Soc. Anim. Sci. pp STEVENSON, J.S., Y. KOBAYASHI, M.P. SHIPKA and K.C. RAUCHHOLZ Altering conception of dairy cattle by gonadotropin-releasing hormone preceding leuteolysis induced by prostaglandin F 2α. J. Dairy Sci. 82: STEVENSON, J.S Reproductive management of dairy cows in high milk-producing herds. J. Dairy Sci. 84 (E. Suppl.): E128 E143. THACHER, W.W. and C.J. WILCOX Postpartum estrus as an indicator of reproductive status of the dairy cow. J. Dairy Sci. 56: TOWSON, D.H., P.C.W. TSANG, W.R. BUTLER, M.FRAJBLAT, L.C. GRIEL, JR., C.J. JOHNSON, R.A. MILVAE, G.M. NIKSIC and J.L. PATE Relationship fertility to ovarian follicular waves before breeding in dairy cows. J. Anim. Sci. 80: TÜRKYILMAZ, M.K Reproductive characteristics of Holstein cattle reared in a private dairy cattle enterprise in Aydin. Turk J. Vet. Anim. Sci. 29: VANROOSE, G., A. DE KRUIF, A. VAN SOOM, M. FORSBERG, T. GREVE, H. GUSTAFSSON, T. KATILA, H. KINDAHL and E. ROPSTAD

12 Embryonic mortality and embryo-phatogen interactions. Anim. Rep. Sci : VASCONCELOS, J.L.M., R.W. SILCOX, J.A. LASERDA, J.R. PURSLEY and M.C. WILTBANK Pregnancy rate, pregnancy loss and response to heat stress after AI a two different times from ovulation in dairy cows. Biol. Reprod. 56 (Suppl.1): 140. WALKER, W.L., R.L. NEBEL and M.L. MCGILLIARD Time of ovulation relative to mounting activity in dairy cattle. J. Dairy Sci. 79: WEBB, R., J.G. GONG, A.S. LAW AND S.M. RUSBRIDGE Control of ovarian function in cattle. J. Reprod. Fertil. Suppl. 45: YOSHIDA, C. and T. NAKAO Some characteristic of primary and secondary oestrous signs in high-producing dairy cows. Reprod. Dom. Anim. 40:

13 Tabel 1. Indeks reproduksi (hari) sapi perah Bos taurus dan silangannya di berbagai wilayah (negara) Indeks reproduksi Negara Rataan Sumber Lahir kawin pertama Friesian Italia 87 BAGNATO and OLTENACU et al. (1994) Sapi perah Belanda Belanda 79 OUWELTJES et al. (1996) Friesian-Holstein India DHALIWAL et al. (1996) Holstein x Sahiwal Philipina 106 ALEJANDRINO et al. (1999) Friesian silangan Banglades 109 ISLAM et al. (2002) B. taurus silangan Tanzania MSANGA and BRYANT (2003) B. Taurus silangan Ethiopia SHIFERAW et al. (2005) Friesian-Holstein Tunisia SALEM et al. (2006) Jersey USA 74 SIMERL et al. (1992) Holstein USA 70 SIMERL et al. (1992) Ayrshire USA 82 MOORE et al. (1990) Holstein USA 79 MOORE et al. (1990) Jersey USA 74 SIMERL et al. (1992) Holstein USA 70 SIMERL et al. (1992) Kawin pertama - konsepsi Friesian x Zebu Tanzania 87 LYIMO et al. (2004) Jersey USA 38 SIMERL et al. (1992) Holstein USA 45 SIMERL et al. (1992) Sapi perah Belanda Belanda 22 OUWELTJES et al. (1996) Friesian-Holstein India DHALIWAL et al. (1996) Masa kosong Holstein x Sahiwal Philipina 186 ALEJANDRINO et al. (1999) Friesian impor Pakistan 259 NIAZI and ALEEM (2003) Friesian lokal Pakistan 284 NIAZI and ALEEM (2003) Holstein Turkey TÜRKYILMAZ (2005) Holstein USA OSENI et al. (2003) Friesian-Holstein Turkey KAYA et al. (2003) Friesian-Holstein Tunisia SALEM et al. (2006) Friesian- Holstein India DHALIWAL et al. (1996) Jersey USA 122 SIMERL et al. (1992) Holstein USA 120 SIMERL et al. (1992) Sapi perah silangan Tanzania MSANGA and BRYANT (2003) Holstein Israel 128 ARBEL et al. (2001) Holstein silangan Israel 110 ARBEL et al. (2001) Ayrshire USA 107 MOORE et al. (1990) Holstein USA 101 MOORE et al. (1990) Kebuntingan Holstein Turkey TÜRKYILMAZ (2005) Friesian-Holstein Malawi 279 CHAGUNDA et al. (2004) Friesian Ghana 278 OSEI et al. (1991) Friesian-Holstein Sudan 279 AGEEB and HAYES (2000) Friesian Ghana 278 OSEI et al. (1991) Ayrshire USA 282 MOORE et al. (1990) Holstein USA 282 MOORE et al. (1990) Holstein x Sahiwal Philipina 469 ALEJANDRINO et al. (1999) 73

14 Tabel 1. Indeks reproduksi (hari) sapi perah Bos taurus dan silangannya di berbagai wilayah (negara) (Lanjutan) Interval kelahiran Negara Rataan Sumber Silangan Friesian Banglades 373 ISLAM et al. (2002) Friesian impor Pakistan 540 NIAZI and ALEEM (2003) Friesian lokal Pakistan 568 NIAZI and ALEEM (2003) Holstein Turkey TÜRKYILMAZ (2005) Holstein USA GARCHIA-PENICHE et al. (2005) Brown Swiss USA GARCHIA-PENICHE et al. (2005) Friesian-Holstein Malawi CHAGUNDA et al. (2004) Friesian Pakistan NIAZI and ALEEM (2003) Friesian-Holstein Tunisia SALEM et al. (2006) Jersey Zimbabwe 498 NGONGONI et al. (2006) Friesian Zimbabwe 530 NGONGONI et al. (2006) Silangan Ethiopia SHIFERAW et al. (2005) Friesian-Holstein Sudan 486 AGEEB and HAYES (2000) Sapi Perah Belanda Belanda 383 OUWELTJES et al. (1996) Jersey USA 391 SIMERL et al. (1992) Holstein USA 394 SIMERL et al. (1992) Jersey USA 391 SIMERL et al. (1992) Holstein USA 394 SIMERL et al. (1992) Tabel 2. Indeks reproduksi sapi Friesian-Holstein pada dua manajemen, stasiun bibit dan peternak rakyat di Jawa Tengah dan Jawa Barat Jawa Tengah Indeks reproduksi (hari) BPTU Baturraden Peternakan rakyat* N Rataan SD N Rataan SD Lahir kawin I Kawin I konsepsi Lama kosong Interval beranak S/C (kali) 527 1,84 1, ,93 1,1 Jawa Barat BPPT-SP Cikole KPSBU Lembang** Lahir kawin I Lama kosong Interval beranak S/C (kali) 146 1,79 1, ,43 1,70 Keterangan: *Peternakan rakyat binaan BPTU Baturraden di Kabupaten Banyumas ** Peternakan rakyat yang terabung sebagai anggota koperasi sapi perah KPSBU Lembang. 74

PERFORMA REPRODUKSI SAPI DARA FRIESIAN-HOLSTEIN PADAPETERNAKAN RAKYAT KPSBU DAN BPPT SP CIKOLE DI LEMBANG

PERFORMA REPRODUKSI SAPI DARA FRIESIAN-HOLSTEIN PADAPETERNAKAN RAKYAT KPSBU DAN BPPT SP CIKOLE DI LEMBANG PERFORMA REPRODUKSI SAPI DARA FRIESIAN-HOLSTEIN PADAPETERNAKAN RAKYAT KPSBU DAN BPPT SP CIKOLE DI LEMBANG Peternakan sebagai salah satu subsektorpertanian memegang peranan penting dalam pembangunan nasional,

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009). II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Karakteristik Sapi Perah FH (Fries Hollands) Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibandingkan dengan ternak perah lainnya. Sapi perah memiliki kontribusi

Lebih terperinci

A. ANGGRAENI 1 dan K. DIWYANTO 2 ABSTRACT

A. ANGGRAENI 1 dan K. DIWYANTO 2 ABSTRACT VARIASI PERIODE KAWIN PERTAMA POSTPARTUS SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI STASIUN BIBIT BPTU BATURRADEN DAN PETERNAKAN RAKYAT BINAAN DI KABUPATEN BANYUMAS, JAWA TENGAH (Variation on the Interval from Calving

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)

Lebih terperinci

Moch. Makin, dan Dwi Suharwanto Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

Moch. Makin, dan Dwi Suharwanto Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Makin, M. Dan Suharwanto, D., Performa Sifat Produksi dan Reproduksi Performa Sifat-Sifat Produksi Susu dan Reproduksi Sapi Perah Fries Holland Di Jawa Barat (Milk Production and Reproduction Performance

Lebih terperinci

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi lokal. Sapi ini tahan terhadap iklim tropis dengan musim kemaraunya (Yulianto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, namun sampai

Lebih terperinci

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 HORMON KEBUNTINGAN DAN KELAHIRAN 33 Peranan hormon dalam proses kebuntingan 33 Kelahiran 34 MASALAH-MASALAH REPRODUKSI 35 FERTILITAS 35 Faktor

Lebih terperinci

Efisiensi reproduksi sapi perah PFH pada berbagai umur di CV. Milkindo Berka Abadi Desa Tegalsari Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang

Efisiensi reproduksi sapi perah PFH pada berbagai umur di CV. Milkindo Berka Abadi Desa Tegalsari Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 24 (3): 32-37 ISSN: 0852-3581 Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/ Efisiensi reproduksi sapi perah PFH pada berbagai umur di CV. Milkindo Berka Abadi Desa Tegalsari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum PT. UPBS Pangalengan 4.1.1. Kondisi Lingkungan Perusahaan PT. UPBS (Ultra Peternakan Bandung Selatan) berlokasi di Desa Marga Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam pemeliharaannya selalu diarahkan pada peningkatan produksi susu. Sapi perah bangsa Fries Holland (FH)

Lebih terperinci

PERFORMA REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN BETINA DI PETERNAKAN RAKYAT KPSBU DAN BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI OKTARIA DWI PRIHATIN

PERFORMA REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN BETINA DI PETERNAKAN RAKYAT KPSBU DAN BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI OKTARIA DWI PRIHATIN PERFORMA REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN BETINA DI PETERNAKAN RAKYAT KPSBU DAN BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI OKTARIA DWI PRIHATIN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

PERFORMA PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI YUNI FITRIYANI

PERFORMA PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI YUNI FITRIYANI PERFORMA PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI YUNI FITRIYANI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN

Lebih terperinci

POLA ESTRUS INDUK SAPI PERANAKAN ONGOLE DIBANDINGKAN DENGAN SILANGAN SIMMENTAL-PERANAKAN ONGOLE. Dosen Fakultas Peternakan UGM

POLA ESTRUS INDUK SAPI PERANAKAN ONGOLE DIBANDINGKAN DENGAN SILANGAN SIMMENTAL-PERANAKAN ONGOLE. Dosen Fakultas Peternakan UGM POLA ESTRUS INDUK SAPI PERANAKAN ONGOLE DIBANDINGKAN DENGAN SILANGAN SIMMENTAL-PERANAKAN ONGOLE Batseba M.W. Tiro 1) dan Endang Baliarti 2) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua 2) Dosen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Reproduksi merupakan sifat yang sangat menentukan keuntungan usaha peternakan sapi perah. Inefisiensi reproduksi dapat menimbulkan berbagai kerugian pada usaha peterkan sapi

Lebih terperinci

PENGARUH KEHADIRAN SAPI JANTAN TERHADAP PARAMETER PEDOMETER PADA SAPI FRIESIAN HOLLAND (FH)

PENGARUH KEHADIRAN SAPI JANTAN TERHADAP PARAMETER PEDOMETER PADA SAPI FRIESIAN HOLLAND (FH) PENGARUH KEHADIRAN SAPI JANTAN TERHADAP PARAMETER PEDOMETER PADA SAPI FRIESIAN HOLLAND (FH) (Effect of the Presence of Bull on Pedometer Reading of Friesian Holland Cow) SUTRESNIWATI 1 dan JUDITH B. ROELOFS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi North Holland dan West Friesland negeri Belanda yang memiliki temperatur lingkungan kurang

Lebih terperinci

PENGARUH MASA LAKTASI, MASA KERING, MASA KOSONG DAN SELANG BERANAK PADA PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT SP CIKOLE, LEMBANG

PENGARUH MASA LAKTASI, MASA KERING, MASA KOSONG DAN SELANG BERANAK PADA PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT SP CIKOLE, LEMBANG PENGARUH MASA LAKTASI, MASA KERING, MASA KOSONG DAN SELANG BERANAK PADA PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT SP CIKOLE, LEMBANG (Effects of lactation length, days dry, days open and calving interval

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persepsi Peternak Terhadap IB Persepsi peternak sapi potong terhadap pelaksanaan IB adalah tanggapan para peternak yang ada di wilayah pos IB Dumati terhadap pelayanan IB

Lebih terperinci

PERBANDINGAN DUA METODE PENDUGAAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH BERDASARKAN CATATAN SEBULAN SEKALI

PERBANDINGAN DUA METODE PENDUGAAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH BERDASARKAN CATATAN SEBULAN SEKALI PERBANDINGAN DUA METODE PENDUGAAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH BERDASARKAN CATATAN SEBULAN SEKALI (Comparison of Two Methods for Estimating Milk Yield in Dairy Cattle Based on Monthly Record) E. Kurnianto

Lebih terperinci

PENAMPILAN PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BALAI PENGEMBANGAN PERBIBITAN TERNAK SAPI PERAH CIKOLE, LEMBANG

PENAMPILAN PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BALAI PENGEMBANGAN PERBIBITAN TERNAK SAPI PERAH CIKOLE, LEMBANG PENAMPILAN PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BALAI PENGEMBANGAN PERBIBITAN TERNAK SAPI PERAH CIKOLE, LEMBANG (Milk Production and Reproductive Performances of Holstein-Friesian Dairy

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA KERING PADA PRODUKSI SUSU SAPI PERAH

PENGARUH LAMA KERING PADA PRODUKSI SUSU SAPI PERAH PENGARUH LAMA KERING PADA PRODUKSI SUSU SAPI PERAH ANNEKE ANGGRAENI Balai Penelitian Ternak Jalan Veteran III PO Box 221, Bogor 16002 E-mail: Annekeanggraeni@yahoo.co.i d ABSTRAK Lama kering memberi kesempatan

Lebih terperinci

PERBAIKAN FERTILITAS MELALUI APLIKASI HORMONE GONADOTROPIN PADA INDUK SAPI BALI ANESTRUS POST-PARTUM DI TIMOR BARAT

PERBAIKAN FERTILITAS MELALUI APLIKASI HORMONE GONADOTROPIN PADA INDUK SAPI BALI ANESTRUS POST-PARTUM DI TIMOR BARAT PERBAIKAN FERTILITAS MELALUI APLIKASI HORMONE GONADOTROPIN PADA INDUK SAPI BALI ANESTRUS POST-PARTUM DI TIMOR BARAT Amirudin Pohan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTT ABSTRAK Induk Sapi Bali yang

Lebih terperinci

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). Peningkatan produktifitas ternak adalah suatu keharusan, Oleh karena itu diperlukan upaya memotivasi

Lebih terperinci

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI SILANGAN SIMPO dan LIMPO YANG DIPELIHARA DI KONDISI LAHAN KERING

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI SILANGAN SIMPO dan LIMPO YANG DIPELIHARA DI KONDISI LAHAN KERING PERFORMANS REPRODUKSI SAPI SILANGAN SIMPO dan LIMPO YANG DIPELIHARA DI KONDISI LAHAN KERING Aryogi dan Esnawan Budisantoso Loka Penelitian Sapi Potong, Grati Pasuruan, Jawa Timur Balai Pengkajian Teknologi

Lebih terperinci

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat Problem utama pada sub sektor peternakan saat ini adalah ketidakmampuan secara optimal menyediakan produk-produk peternakan, seperti daging, telur, dan susu untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat akan

Lebih terperinci

PARAMETER GENETIK BOBOT BADAN DAN LINGKAR DADA PADA SAPI PERAH

PARAMETER GENETIK BOBOT BADAN DAN LINGKAR DADA PADA SAPI PERAH Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 00 PARAMETER GENETIK BOBOT BADAN DAN LINGKAR DADA PADA SAPI PERAH (Genetic Parameter of Body Weights and Chest Girths in Dairy Cattle) SUCIK MAYLINDA

Lebih terperinci

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Lebih terperinci

SURAT PERNYATAAN. Y a n h e n d r i NIM. B

SURAT PERNYATAAN. Y a n h e n d r i NIM. B PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI PERSILANGAN F1 DAN F2 SIMENTAL SERTA HUBUNGANNYA DENGAN KADAR HORMON ESTROGEN DAN PROGESTERON PADA DATARAN TINGGI SUMATERA BARAT YANHENDRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERAN KADAR PROGESTERON DALAM PLASMA DARAH UNTUK DETEKSI ESTRUS DAN AKTIVITAS OVARIUM

PERAN KADAR PROGESTERON DALAM PLASMA DARAH UNTUK DETEKSI ESTRUS DAN AKTIVITAS OVARIUM Seminar Nasional Peternakan dun Veteriner 1998 PERAN KADAR PROGESTERON DALAM PLASMA DARAH UNTUK DETEKSI ESTRUS DAN AKTIVITAS OVARIUM DIM BuDI WIIONO Instalasi Penelitian dart Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

CALVING INTERVAL SAPI PERAH LAKTASI DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TENAK (BBPTU-HPT) BATURRADEN PURWOKERTO JAWA TENGAH

CALVING INTERVAL SAPI PERAH LAKTASI DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TENAK (BBPTU-HPT) BATURRADEN PURWOKERTO JAWA TENGAH CALVING INTERVAL SAPI PERAH LAKTASI DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK (BBPTU-HPT) BATURRADEN PURWOKERTO JAWA TENGAH CALVING INTERVAL AT LACTATING DAIRY CATTLE IN BALAI BESAR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak di pelihara petani-peternak di Sumatera Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi pesisir dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

PERFORMANS PERTUMBUHAN DAN BOBOT BADAN SAPI PERAH BETINA FRIES HOLLAND UMUR 0-18 Bulan

PERFORMANS PERTUMBUHAN DAN BOBOT BADAN SAPI PERAH BETINA FRIES HOLLAND UMUR 0-18 Bulan PERFORMANS PERTUMBUHAN DAN BOBOT BADAN SAPI PERAH BETINA FRIES HOLLAND UMUR 0-18 Bulan Didin S. Tasripin ; Asep Anang ; Heni Indrijani Fakultas Peternakan Universitas Padjadjarani Disampaikan pada Ruminant

Lebih terperinci

Siklus Estrus Induk Kambing Peranakan Boer F1 Dengan Perlakuan Penyapihan Dini Pada Masa Post Partum

Siklus Estrus Induk Kambing Peranakan Boer F1 Dengan Perlakuan Penyapihan Dini Pada Masa Post Partum Induk Kambing Peranakan Boer F1 Dengan Perlakuan Penyapihan Dini Pada Masa Post Partum Muhammad Rizar Z. 1), Agung Pramana W.M. 1), Gatot Ciptadi 3) 1 Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR

SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR Vivi Dwi Siagarini 1), Nurul Isnaini 2), Sri Wahjuningsing

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah. Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah. Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden berada pada wilayah yang meliputi 3 (tiga) area, yaitu

Lebih terperinci

PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK

PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK ABSTRAK Tinggi rendahnya status reproduksi sekelompok ternak, dipengaruhi oleh lima hal sebagai berikut:

Lebih terperinci

Salmiyati Paune, Jurusan Peternakan Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Fahrul Ilham, Tri Ananda Erwin Nugroho

Salmiyati Paune, Jurusan Peternakan Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Fahrul Ilham, Tri Ananda Erwin Nugroho PERBANDINGAN TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA SAPI BALI DAN SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) DI UNIT PELAKSANA TEKNIS DAERAH (UPTD) PENGEMBANGAN TERNAK WONGGAHU By Salmiyati Paune, Fahrul Ilham, S.

Lebih terperinci

Gambar 1. Produksi Susu Nasional ( ) Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011)

Gambar 1. Produksi Susu Nasional ( ) Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011) TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Sapi Perah di Indonesia Usaha peternakan sapi perah yang diusahakan oleh pribumi diperkirakan berdiri sekitar tahun 1925. Usaha ini berlanjut secara bertahap sampai saat ini.

Lebih terperinci

Hubungan Antara Umur dan Bobot Badan...Firdha Cryptana Morga

Hubungan Antara Umur dan Bobot Badan...Firdha Cryptana Morga HUBUNGAN ANTARA UMUR DAN BOBOT BADAN KAWIN PERTAMA SAPI PERAH FRIES HOLLAND DENGAN PRODUKSI SUSU HARIAN LAKTASI PERTAMA DAN LAKTASI KEDUA DI PT. ULTRA PETERNAKAN BANDUNG SELATAN (UPBS) PANGALENGAN JAWA

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aplikasi bioteknologi reproduksi di bidang peternakan merupakan suatu terobosan untuk memacu pengembangan usaha peternakan. Sapi merupakan salah satu jenis ternak

Lebih terperinci

EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt*

EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt* EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO Oleh : Donny Wahyu, SPt* Kinerja reproduksi sapi betina adalah semua aspek yang berkaitan dengan reproduksi ternak. Estrus pertama setelah beranak

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan. Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi

KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan. Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi saudara tiri dan regresi anak-induk berturut turut 0,60±0,54 dan 0,28±0,52. Nilai estimasi heritabilitas

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma nutfah nasional Indonesia, hasil domestikasi dari banteng liar beratus-ratus tahun yang lalu.

Lebih terperinci

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility REPRODUCTION PERFORMANCE OF BEEF CATTLE FILIAL LIMOUSIN AND FILIAL ONGOLE UNDERDISTRICT PALANG DISTRICT TUBAN Suprayitno, M. Nur Ihsan dan Sri Wahyuningsih ¹) Undergraduate Student of Animal Husbandry,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manajemen. Pembibitan sapi perah dimaksudkan untuk meningkatkan populasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manajemen. Pembibitan sapi perah dimaksudkan untuk meningkatkan populasi 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembibitan Sapi Perah Dalam kerangka budidaya sapi perah, pembibitan merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari ketiga pilar bidang peternakan yaitu, pakan, bibit dan manajemen.

Lebih terperinci

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS), HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS), ph DAN KEKENTALAN SEKRESI ESTRUS TERHADAP NON RETURN RATE (NR) DAN CONCEPTION RATE (CR) PADA INSEMINASI BUATAN (IB) SAPI PERANAKAN FRIES HOLLAND Arisqi Furqon Program

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam upaya menjadikan subsektor peternakan sebagai pendorong kemandirian pertanian Nasional, dibutuhkan terobosan pengembangan sistem peternakan. Dalam percepatan penciptaan

Lebih terperinci

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),SUHU RECTAL DAN KETEBALAN VULVA TERHADAP NON RETURN RATE (NR) DAN CONCEPTION RATE (CR) PADA SAPI POTONG

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),SUHU RECTAL DAN KETEBALAN VULVA TERHADAP NON RETURN RATE (NR) DAN CONCEPTION RATE (CR) PADA SAPI POTONG HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),SUHU RECTAL DAN KETEBALAN VULVA TERHADAP NON RETURN RATE (NR) DAN CONCEPTION RATE (CR) PADA SAPI POTONG Mohammad jamaludin 1, Sumartono 2, Nurul Humaidah 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda 3 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda Siklus reproduksi terkait dengan berbagai fenomena, meliputi pubertas dan kematangan seksual, musim kawin, siklus estrus, aktivitas seksual setelah beranak, dan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produksi susu sangat menentukan bagi perkembangan industri susu sapi perah nasional. Susu segar yang dihasilkan oleh sapi perah di dalam negeri sampai saat ini baru memenuhi

Lebih terperinci

BAB V INDUKSI KELAHIRAN

BAB V INDUKSI KELAHIRAN BAB V INDUKSI KELAHIRAN 5.1 Pendahuluan Induksi kelahiran merupakan suatu proses merangsang kelahiran dengan mengunakan preparat hormon dengan tujuan ekonomis. Beberapa alasan dilakukannya induksi kelahiran

Lebih terperinci

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO. Moh. Nur Ihsan dan Sri Wahjuningsih Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB, Malang

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO. Moh. Nur Ihsan dan Sri Wahjuningsih Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB, Malang PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO Moh. Nur Ihsan dan Sri Wahjuningsih Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB, Malang RINGKASAN Suatu penelitian untuk mengevaluasi penampilan

Lebih terperinci

E. Kurnianto, I. Sumeidiana, dan R. Yuniara Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang ABSTRAK

E. Kurnianto, I. Sumeidiana, dan R. Yuniara Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang ABSTRAK PERBANDINGAN DUA METODE PENDUGAAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH BERDASARKAN CATATAN SEBULAN SEKALI (Comparison of Two Methods for Estimating Milk Yield in Dairy Cattle Based on Monthly Record) E. Kurnianto,

Lebih terperinci

JURNAL ILMU TERNAK, JUNI 2016, VOL.16, NO.1

JURNAL ILMU TERNAK, JUNI 2016, VOL.16, NO.1 Hubungan antara Tingkat Reproduksi Sapi Perah terhadap Tingkat Kerugian Peternak (The Relationship between Dairy Cattle s Reproductive Performance and Farmers s Economic Losses) Rangga Setiawan 1, Nurcholidah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ternak Sapi Bali Sapi Bali merupakan plasma nutfah dan sebagai ternak potong andalan yang dapat memenuhi kebutuhan daging sekitar 27% dari total populasi sapi potong Indonesia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada peningkatan pendapatan, taraf hidup, dan tingkat pendidikan masyarakat yang pada akhirnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan merupakan bagian penting dari sektor pertanian dalam sistem pangan nasional. Industri peternakan memiliki peran sebagai penyedia komoditas pangan hewani. Sapi

Lebih terperinci

Kinerja Reproduksi Induk Sapi Silangan Simmental Peranakan Ongole dan Sapi Peranakan Ongole Periode Postpartum

Kinerja Reproduksi Induk Sapi Silangan Simmental Peranakan Ongole dan Sapi Peranakan Ongole Periode Postpartum Sains Peternakan Vol. 6 (2), September 2008: 45-53 ISSN 1693-8828 Kinerja Reproduksi Induk Sapi Silangan Simmental Peranakan Ongole dan Sapi Peranakan Ongole Periode Postpartum Wisnu Tri Husodo Michael

Lebih terperinci

Minggu Topik Sub Topik Metode Pembelajaran

Minggu Topik Sub Topik Metode Pembelajaran Rencana Kegiatan dan Pembelajaran Mingguan (RKPM) a. Kuliah Minggu Topik Sub Topik Metode Pembelajaran Dosen Pengampu I Pendahuluan 1. Pengertian reproduksi 2. Peranan proses reproduksi dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah.ternak dan hasil produksinya merupakan sumber bahan pangan protein yang sangat penting untuk peningkatan

Lebih terperinci

COMPARISON REPRODUCTION PERFORMANCE OF IMPORTED HOLSTEIN

COMPARISON REPRODUCTION PERFORMANCE OF IMPORTED HOLSTEIN PERBANDINGAN PERFORMA REPRODUKSI SAPI PERAH FRIES HOLLAND IMPOR DAN KETURUNANNYA DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL HIJAUAN PAKAN TERNAK (BBPTU-HPT) BATURRADEN COMPARISON REPRODUCTION PERFORMANCE

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu pengetahuan mendorong meningkatnya taraf hidup masyarakat yang ditandai dengan peningkatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA SapiFriesian Holsteindan Tampilan Produksi Susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA SapiFriesian Holsteindan Tampilan Produksi Susu 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SapiFriesian Holsteindan Tampilan Produksi Susu Sapi Friesian Holstein(FH) memiliki ciri badan menyerupai baji, terdapat belang berbentuk segitiga putih di dahi, warna tubuhbelang

Lebih terperinci

MASALAH MANAJEMEN REPRODUKSI SAPI TERHADAP PERFORMAN OVARIUM SAPI. Agung Budiyanto

MASALAH MANAJEMEN REPRODUKSI SAPI TERHADAP PERFORMAN OVARIUM SAPI. Agung Budiyanto MASALAH MANAJEMEN REPRODUKSI SAPI TERHADAP PERFORMAN OVARIUM SAPI Agung Budiyanto Dosen FKH, Master dan Doctoral Degree Pasca Sarjana UGM Sekretaris Bagian Reproduksi dan Kebidanan FKH UGM Ketua Asosisasi

Lebih terperinci

Evaluasi Penampilan Reproduksi Sapi Perah (Studi Kasus Di Perusahaan Peternakan Sapi Perah KUD Sinarjaya)

Evaluasi Penampilan Reproduksi Sapi Perah (Studi Kasus Di Perusahaan Peternakan Sapi Perah KUD Sinarjaya) Evaluasi Penampilan Reproduksi Sapi Perah (Studi Kasus Di Perusahaan Peternakan Sapi Perah KUD Sinarjaya) (Evaluation performance reproduction on dairy cattle (Case study in sinarjaya dairy cattle cooperation)

Lebih terperinci

Pengaruh Pemberian Prostaglandin F2 Alpha Terhadap Waktu Kemunculan Birahi dan Keberhasilan Inseminasi Buatan Sapi Brahman Cross (Bx) Heifers

Pengaruh Pemberian Prostaglandin F2 Alpha Terhadap Waktu Kemunculan Birahi dan Keberhasilan Inseminasi Buatan Sapi Brahman Cross (Bx) Heifers ISSN : 0852-3681 E-ISSN : 2443-0765 Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 27 (3): 39 43 Available online at http://jiip.ub.ac.id Pengaruh Pemberian Prostaglandin F2 Alpha Terhadap Waktu Kemunculan Birahi dan Keberhasilan

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi Perah Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang mempunyai tanduk berongga. Sapi perah Fries Holland atau juga disebut Friesian Holstein

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein (FH) Bangsa sapi perah Fries Holland berasal dari North Holland dan West Friesland yaitu dua propinsi yang ada di Belanda. Kedua propinsi tersebut merupakan

Lebih terperinci

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D.

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. Mekanisme umpan balik pelepasan hormon reproduksi pada hewan betina Rangsangan luar Cahaya, stress,

Lebih terperinci

IMBANGAN HIJAUAN-KONSENTRAT OPTIMAL UNTUK KONSUMSI RANSUM DAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH HOLSTEIN LAKTASI

IMBANGAN HIJAUAN-KONSENTRAT OPTIMAL UNTUK KONSUMSI RANSUM DAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH HOLSTEIN LAKTASI SeminarNasionalPeternakan dan Veteriner 1999 IMBANGAN HIJAUAN-KONSENTRAT OPTIMAL UNTUK KONSUMSI RANSUM DAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH HOLSTEIN LAKTASI ENDANG SULISTYOWATI Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

Anatomi/organ reproduksi wanita

Anatomi/organ reproduksi wanita Anatomi/organ reproduksi wanita Genitalia luar Genitalia dalam Anatomi payudara Kelainan organ reproduksi wanita Fisiologi alat reproduksi wanita Hubungan ovarium dan gonadotropin hormon Sekresi hormon

Lebih terperinci

PENGARUH KARAKTERISTIK LENDIR SERVIK SEBELUM INSEMINASI BUATAN (IB) TERHADAP KEBERHASILAN KEBUNTINGAN SAPI KOMPOSIT

PENGARUH KARAKTERISTIK LENDIR SERVIK SEBELUM INSEMINASI BUATAN (IB) TERHADAP KEBERHASILAN KEBUNTINGAN SAPI KOMPOSIT PENGARUH KARAKTERISTIK LENDIR SERVIK SEBELUM INSEMINASI BUATAN (IB) TERHADAP KEBERHASILAN KEBUNTINGAN SAPI KOMPOSIT 1) Irfan 1), Sri Wahjuningsih 2) dan Trinil Susilawati 2) Mahasiswa Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh. MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO DOSEN PENGAMPU Drh. BUDI PURWO W, MP SEMESTER III JUNAIDI PANGERAN SAPUTRA NIRM 06 2 4 10 375

Lebih terperinci

PENGARUH PENYUNTIKAN PROSTAGLANDIN TERHADAP PERSENTASE BIRAHI DAN ANGKA KEBUNTINGAN SAPI BALI DAN PO DI KALIMANTAN SELATAN

PENGARUH PENYUNTIKAN PROSTAGLANDIN TERHADAP PERSENTASE BIRAHI DAN ANGKA KEBUNTINGAN SAPI BALI DAN PO DI KALIMANTAN SELATAN PENGARUH PENYUNTIKAN PROSTAGLANDIN TERHADAP PERSENTASE BIRAHI DAN ANGKA KEBUNTINGAN SAPI BALI DAN PO DI KALIMANTAN SELATAN SUDARMAJI, ABD. MALIK DAN AAM GUNAWAN Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

EVALUASI EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH PERANAKAN FRIES HOLLAND (PFH) PADA BERBAGAI PARITAS DI KUD SUMBER MAKMUR KECAMATAN NGANTANG KABUPATEN MALANG

EVALUASI EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH PERANAKAN FRIES HOLLAND (PFH) PADA BERBAGAI PARITAS DI KUD SUMBER MAKMUR KECAMATAN NGANTANG KABUPATEN MALANG EVALUASI EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH PERANAKAN FRIES HOLLAND (PFH) PADA BERBAGAI PARITAS DI KUD SUMBER MAKMUR KECAMATAN NGANTANG KABUPATEN MALANG Putri Retno A, M. Nur Ihsan dan Nuryadi Bagian Produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang dikembangkan dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai hasil utama serta pupuk organik

Lebih terperinci

Peningkatan Angka Kebuntingan melalui Pemberian Hormone Eksogen CIDR-B dan Injeksi hcg pada Sapi Bali di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari

Peningkatan Angka Kebuntingan melalui Pemberian Hormone Eksogen CIDR-B dan Injeksi hcg pada Sapi Bali di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari Peningkatan Angka Kebuntingan melalui Pemberian Hormone Eksogen CIDR-B dan Injeksi hcg pada Sapi Bali di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari Depison 1 Intisari Kegiatan ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui

Lebih terperinci

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI PERAH EKS-IMPOR DAN LOKAL PADA TIGA PERIODE KELAHIRAN DI SP 2 T, KUTT SUKA MAKMUR GRATI, PASURUAN

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI PERAH EKS-IMPOR DAN LOKAL PADA TIGA PERIODE KELAHIRAN DI SP 2 T, KUTT SUKA MAKMUR GRATI, PASURUAN PERFORMANS REPRODUKSI SAPI PERAH EKS-IMPOR DAN LOKAL PADA TIGA PERIODE KELAHIRAN DI SP 2 T, KUTT SUKA MAKMUR GRATI, PASURUAN (The Performance of Ex-Import and Local Dairy Cattle Reproductive at Three Calving

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk pengembangan ternak sapi potong. Kemampuan menampung ternak sapi di Lampung sebesar

Lebih terperinci

CONCEPTION RATE PADA SAPI PERAH LAKTASI DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK BATURRADEN PURWOKERTO JAWA TENGAH

CONCEPTION RATE PADA SAPI PERAH LAKTASI DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK BATURRADEN PURWOKERTO JAWA TENGAH CONCEPTION RATE PADA SAPI PERAH LAKTASI DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK BATURRADEN PURWOKERTO JAWA TENGAH CONCEPTION RATE AT LACTATING DAIRY CATTLE IN BALAI BESAR PEMBIBITAN

Lebih terperinci

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI BALI PADA SISTEM TIGA STRATA

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI BALI PADA SISTEM TIGA STRATA Jurnal Kedokteran Hewan ISSN : 1978-225X Tjok Gde Oka Pemayun, dkk PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI BALI PADA SISTEM TIGA STRATA Reproduction Performance of Bali Cattle on Three Strata Forage System Tjok Gde

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani, selain usaha pertaniannya, usaha peternakan pun banyak dikelola oleh masyarakat pedesaan salah satunya

Lebih terperinci

KAJIAN PERFORMANS REPRODUKSI SAPI ACEH SEBAGAI INFORMASI DASAR DALAM PELESTARIAN PLASMA NUTFAH GENETIK TERNAK LOKAL

KAJIAN PERFORMANS REPRODUKSI SAPI ACEH SEBAGAI INFORMASI DASAR DALAM PELESTARIAN PLASMA NUTFAH GENETIK TERNAK LOKAL Jurnal Ilmiah Peternakan 3 (2) : 29-33 (2015) ISSN : 2337-9294 KAJIAN PERFORMANS REPRODUKSI SAPI ACEH SEBAGAI INFORMASI DASAR DALAM PELESTARIAN PLASMA NUTFAH GENETIK TERNAK LOKAL Study of Reproduction

Lebih terperinci

TAMPILAN REPRODUKSI SAPI Friesian Holstein PADA BERBAGAI PARITAS DI KOPERASI AGRONIAGA DESA GADING KEMBAR KECAMATAN JABUNG KABUPATEN MALANG

TAMPILAN REPRODUKSI SAPI Friesian Holstein PADA BERBAGAI PARITAS DI KOPERASI AGRONIAGA DESA GADING KEMBAR KECAMATAN JABUNG KABUPATEN MALANG TAMPILAN REPRODUKSI SAPI Friesian Holstein PADA BERBAGAI PARITAS DI KOPERASI AGRONIAGA DESA GADING KEMBAR KECAMATAN JABUNG KABUPATEN MALANG Joni Setiawan 1), Trinil Susilawati 2) and Nurul Isnaini 2) 1).

Lebih terperinci

Upaya Meningkatkan Intensitas Berahi Pada Kerbau Dalam Hubungannya Dengan Peningkatan Angka Konsepsi Hasil Inseminasi Buatan

Upaya Meningkatkan Intensitas Berahi Pada Kerbau Dalam Hubungannya Dengan Peningkatan Angka Konsepsi Hasil Inseminasi Buatan Upaya Meningkatkan Intensitas Berahi Pada Kerbau Dalam Hubungannya Dengan Peningkatan Angka Konsepsi Hasil Inseminasi Buatan Tongku N. Siregar 1 Intisari Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara

Lebih terperinci

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN PERANAKAN LIMOUSIN DI KABUPATEN MALANG

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN PERANAKAN LIMOUSIN DI KABUPATEN MALANG PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN PERANAKAN LIMOUSIN DI KABUPATEN MALANG Nuryadi dan Sri Wahjuningsih Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya ABSTRAK Tujuan dari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang ada

Lebih terperinci

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lama Kebuntingan pada Sapi Hissar Sumbawa

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lama Kebuntingan pada Sapi Hissar Sumbawa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lama Kebuntingan pada Sapi Hissar Chairussyuhur Arman 1 Intisari Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi lama kebuntingan telah dilakukan dengan menganalisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) bukan berasal dari New Zealand, tetapi dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan,

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi Pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak dipelihara petani-peternak di Sumatra Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi Pesisir mempunyai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole (PO) Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Populasi sapi PO terbesar berada di

Lebih terperinci

Buletin Veteriner Udayana Vol.1 No.2. :83-87 ISSN : Agustus 2009 INDUKSI ESTRUS DENGAN PMSG DAN GN-RH PADA SAPI PERAH ANESTRUS POSTPARTUM

Buletin Veteriner Udayana Vol.1 No.2. :83-87 ISSN : Agustus 2009 INDUKSI ESTRUS DENGAN PMSG DAN GN-RH PADA SAPI PERAH ANESTRUS POSTPARTUM INDUKSI ESTRUS DENGAN PMSG DAN GN-RH PADA SAPI PERAH ANESTRUS POSTPARTUM (Induction of Oestrus with PMSG and Gn-RH in the Postpartum an Oestrus Dairy Cattle) Oleh; Tjok Gde Oka Pemayun Laboratorium Reproduksi

Lebih terperinci