BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu"

Transkripsi

1 BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Studi dilakukan di kawasan yang terkena dampak dari gempa bumi yang terjadi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada 2 September Kegiatan penelitian dilakukan selama 8 bulan mulai dari bulan Juni 2010 hingga Januari 2011 pada lokasi seperti yang ditunjukan pada Gambar 2. Kabupaten Bandung Jawa Barat Kecamatan Pangalengan Gambar 2. Lokasi Studi (tanpa skala) (Sumber :

2 Metode Proses perencanaan pada lokasi ini terdiri dari empat tahap yaitu tahap persiapan, tahap inventarisasi, tahap analisis, dan tahap perencanaan Persiapan Pada tahap ini dilakukan pembuatan rincian kegiatan penelitian, pengurusan administrasi perizinan penelitian, penelusuran sumber data yang dibutuhkan, dan persiapan kebutuhan alat dan bahan untuk penelitian Inventarisasi Pada tahap ini dilakukan pengambilan data dan survey tapak. Pengambilan data meliputi aspek fisik, biofisik, dan sosial (Tabel 2.) Tabel 2. Jenis, Spesifikasi, dan Bentuk Data Jenis Data Bentuk Data Sumber Data Interpretasi Data Spasial Atribut Data Umum Peta tata ruang BAPPEDA Tata Ruang Letak geografis dan administratif tapak Bakosurtanal Batas lokasi studi (Kecamatan Pangalengan) Topografi dan kemiringan Bakosurtanal Kelas lereng dan lokasi Iklim mikro BMG Data iklim Geologi Dit. Geologi dan Tata Peta tanah Lingkungan Penutupan lahan Bakosurtanal Peta penutupan lahan Biota (vegetasi) Bakosurtanal Peta vegetasi Data Sosial Demografi BPS Data Sosial digunakan Aktifitas ekonomi BPS untuk membandingkan Tingkat BPS kecenderungan kesejahteraan masyarakat Ketergantungan masyarakat terhadap tapak Lapangan penggunaan lahan yang nyata dengan penggunaan ideal Data primer diperoleh melalui survey lapangan dengan melakukan pengukuran, pemetaan, perekaman hasil wawancara dengan instasi dan penduduk setempat. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Data spasial disajikan dengan menggunakan program Arc View GIS, Adobe Potoshop, dan Corel Draw Graphic.

3 Analisis Analisis pada tahap ini digunakan untuk mengetahui berbagai macam potensi pada tapak mulai dari potensi bahaya, potensi sumberdaya, hingga potensi untuk pengembangan secara fisik. Metode analisis yang digunakan adalah metode METLAND (The Metropolitan Lanscape Planning Model Study) (Fabos dan Caswell, 1976). Metode analisis METLAND terdiri atas 3 (tiga) tahap penilaian dengan memilih variabel tertentu yang digunakan untuk menganalisis nilai-nilai intrinsik dalam karakter lingkungan yang bermanfaat atau menimbulkan bahaya pada lingkungan alam: yaitu Tahap I : Identifikasi Sumberdaya Kritis), Tahap II Identifikasi Zona Bahaya, dan Tahap III : Identifikasi Kesesuaian untuk Pengembangan (Fabos dan Caswell, 1976). Gambar 3 menunjukkan tahapantahapan dalam analisis terhadap masing-masing data. Sedangkan secara lebih rinci variabel analisis untuk setiap tahap disajikan pada Gambar 4. Gambar 3. Framework analisis lanskap untuk keperluan preservasi, perlindungan, dan pengembangan tapak (Modifikasi dari Fabos, 1976)

4 18 Gambar 4. Komponen Analisis Analisis Sumberdaya Yang Perlu Diproteksi a. Analisis Air Kriteria penilaian untuk suplai air permukaan dilihat dari jumlah dan kualitas air yang tersedia, konfigurasi topografi, kestabilan lereng, surficial dan material bedrock, karakter erosi, tingkat evaporasi, dan hazard seismic (Fabos dan Caswell, 1976). Kriteria penilaian untuk suplai dan kualitas air bawah tanah disajikan dalam table 3. Tabel 3. Kelas Kualitas Air Bawah Tanah Kelas Keterangan A Terletak pada : 1. Lahan alami (e.g. hutan dan wetland) yang belum pernah dilakukan penyemprotan atau kegiatan yang dapat mengganggu ambang batas kualitas air. 2. Penggunaan area rekreasi tertentu (e.g. lapangan tenis dan pantai) untuk kegiatan yang tidak menimbulkan polusi pada air. B Terletak pada area : 1. Area terbuka yang pernah dilakukan kegiatan penyemprotan hama (e.g. lahan bekas pertanian) 2. Area rekerasi tertentu yang hanya memiliki sedikit struktur permanen, tidak dipupuk, dan sedikit perkerasan. 3. Area penggalian dan pembuangan sampah tertentu C Terletak pada area : 1. Penggunaan untuk jalan, area parkir beraspal, dan /atau septic tank 2. Area rekreasi dan lahan pertanian yang membutuhkan pemupukan berkala dan penyemprotan hama (Sumber : Fabos dan Caswell, 1976)

5 19 Dalam analisis untuk kawasan sumberdaya air permukaan yang harus dilindungi digunakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2006 (Tabel 4). Tabel 4. Kriteria Kawasan Lindung Waduk, Situ dan Mata Air Kawasan Lindung Area Terlindung Waduk dan situ 50 m dari titik pasang tertinggi kea rah darat Mata air Radius 200 m di sekitar mata air (Sumber : BAPPEDA, 2006) b. Analisis Tanah Penentuan kasifikasi kelas lereng dalam analisis untuk tanah di Kecamatan Pangalengan menggunakan klasifikasi yang telah disederhanakan dari van Zuidam dalam Noor (2006) seperti yang ditunjukan oleh Tabel 5. Tabel 5. Klasifikasi Kelas Lereng Kelas lereng (0-2%) (2-7%) (7-15%) Sifat-sifat proses dan kondisi alamiah Datar hingga hampir datar; Tidak ada proses denudasi yang berarti Agak miring; Gerakan tanah kecepatan rendah, erosi lembat dan erosi alur (sheet and rill erosion). Rawan erosi. Miring; sama dengan di atas;, tetapi dengan besaran yang lebih tinggi. Sangat rawan erosi tanah Agak curam; erosi dan gerakan tanah lebih sering terjadi. (15-30%) Curam; proses denudasional intensif, erosi dan gerakan tanah sering terjadi. (35-100%) (Sumber : van Zuidam dalam Noor (2006)) Penentuan kawasan yang perlu dilindungi menggunakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Kriteria Kawasan Lindung Kategori Kawasan Kriteria Hutan lindung - Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbangan mempunyai jumlah nilai (score) 175 atau lebih; dan/atau - Kawasan hutan dengan kelerengan lebih dari 40%; dan/atau - Kawasan hutan dengan ketinggian 2000 mdpl; dan /atau - Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lapangan lebih dari 15 %; dan/atau - Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air; dan/atau - Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai.

6 20 Lanjutan Tabel 6. Berfungsi lindung di luar hutan lindung - Kawasan berfungsi lindung di luar kawasan hutan lindung dengan faktor-faktor kelerengan, jenis tanah dan curah hujan dengan score antara ;dan/atau - Kawasan dengan curah hujan lebih dari 1000 mm/tahun; dan/atau - Kelerengan di atas 15%; dan/atau - Ketinggian tempat 1000 sampai dengan 2000 meter di atas permukaan laut. Resapan air - Kawasan dengan curah hujan rata-rata lebih dari 1000 mm/tahun; - Lapisan tanahnya berupa pasir halus berukuran minimal 1/16 mm; - Mempunyai kemampuan meluluskan air dengan kecepatan lebih dari 1 meter/hari; - Kedalaman muka air tanah lebih dari 10 meter terhadap muka tanah setempat; - Kelerengan kurang dari 15%; - Kedudukan muka air tanah dangkal lebih tinggi dari kedudukan muka air tanah dalam. (Sumber : BAPPEDA, 2006) Analisis Kerawanan Gempa Bumi Dalam melakukan penilaian terhadap kerawanan gempa bumi digunakan standar yang terdapat dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 Tahapan analisis kerawanan ini terdiri dari pengumpulan informasi-informasi geologi, penilaian terhadap informasi tersebut, dan pemberian bobot nilai untuk mendapatkan skor akhir. Gambar 5 menunjukkan skema alur penilaian kerawanan gempa bumi. Gambar 5. Skema Alur Proses Penilaian Kerawanan Gempa Bumi

7 21 a) Sifat fisik batuan Sifat fisik batuan dapat menunjukan kondisi kekuatan batuan saat menerima tekanan atau beban. Semakin kuat batuan tersebut menerima beban dan tekanan maka kawasan tersebut dapat lebih tahan atau stabil ketika terjadi gempa bumi. Terdapat 4 kelompok batuan dalam penilaian sifat fisik batuan seperti pada Tabel 7. Tabel 7. Klasifikasi Batuan Kelompok Batuan andesit, granit, diorit, metamorf, breksi volkanik, aglomerat, breksi sedimen dan konglomerat batupasir, tuf kasar, batulanau, arkose, greywacke dan batugamping pasir, lanau, batulumpur, napal, tuf halus dan serpih lempung, lumpur, lempung organik dan gambut. b) Kemiringan lereng Sifat Fisik Kompak Tidak Kompak Informasi kemiringan lereng yang dipakai untuk zonasi kerawanan bencana ini, memakai klasifikasi lereng yang dibuat oleh Van Zuidam (1988) pada Tabel 8. Tabel 8. Klasifikasi Kemiringan Lereng Kemiringan Lereng (%) Klasifikasi Lereng Kestabilan 0-2 Datar 2-7 Landai Stabil 7-15 Miring Agak curam Curam Potensi longsor Sangat curam c) Kegempaan Faktor Kegempaan merupakan informasi yang menunjukkan tingkat intensitas gempa, baik berdasarkan skala Mercalli, anomali gaya berat, maupun skala Richter (Tabel 9). Tabel 9. Faktor Kegempaan MMI α Richter I, II, III, IV, V < 0,05 g < 5 VI, VII 0,05 0,15 g 5 6 VIII 0,15 0,30 g 6 6,5 IX, X, XI, XII > 0,30 g > 6,5

8 22 d) Struktur Geologi Struktur geologi merupakan pencerminan seberapa besar suatu wilayah mengalami deraan tektonik. Semakin rumit struktur geologi yang berkembang di suatu wilayah, menunjukkan bahwa wilayah tersebut cenderung sebagai wilayah yang tidak stabil. Beberapa struktur geologi yang dikenal adalah berupa kekar, lipatan dan patahan/ sesar. Pada dasarnya patahan akan terbentuk dalam suatu zona, jadi bukan sebagai satu tarikan garis saja. Pengkajian kerawanan terhadap bencana menggunakan satuan jarak terhadap zona sesar untuk penentuan kestabilan. Tabel 10 menjelaskan kestabilan kawasan terhadap jarak pada sesar. Tabel 10. Kestabilan Wilayah Terhadap Jarak Pada Sesar Jarak Sesar <100 m Tidak stabil 100 m 1000 m Kurang stabil >1000 m Stabil Kestabilan e) Nilai Kemampuan Nilai kemampuan yang diberikan dalam setiap analisis adalah dari angka 1 hingga 4. Nilai 1 adalah untuk wilayah yang paling stabil terhadap bencana geologi. Nilai 4 adalah nilai untuk daerah yang tidak stabil terhadap bencana alam geologi. Tabel 11 menjelaskan urutan nilai kemampuan yang diberikan untuk penentuan skoring kestabilan wilayah. Tabel 11. Klasifikasi nilai kemampuan Nilai kemampuan Klasifikasi 1 Tinggi 2 Sedang 3 Rendah 4 Sangat rendah f) Pembobotan Pembobotan yang diberikan dalam setiap analisis adalah dari angka 1 hingga 5. Nilai 1 artinya tingkat kepentingan informasi geologi yang sangat tinggi atau informasi geologi tersebut adalah informasi yang paling diperlukan untuk mengetahui zonasi bencana alam. Tabel 12 menjelaskan urutan pembobotan yang diberikan dalam zonasi kawasan rawan bencana.

9 23 Tabel 12. Pembobotan Pembobotan Klasifikasi 1 Kepentingan sangat rendah 2 Kepentingan rendah 3 Kepentingan sedang 4 Kepentingan tinggi 5 Kepentingan sangat tinggi Setiap kelas informasi mendapat pembobotan yang berbeda-beda sesuai keperluan pada penelitian ini. Penilaian Sifat Fisik Batuan diberi bobot 3 atau kepentingan sedang karena. Penilaian Kemiringan Lereng diberi bobot 3 atau kepentingan sedang karena potensi longsor dapat dihindari pada area dengan kondisi vegetasi konservasi yang baik. Penilaian Kegempaan diberi bobot 4 atau kepentingan tinggi karena Kecamatan Pangalengan mengalami dampak yang cukup besar meskipun terletak jauh dari pusat gempa. Penilaian Struktur Geologi diberi bobot 5 atau kepentingan sangat tinggi karena lokasi keberadaan patahan gempa harus sangat dihindari dari pembangunan struktur. g) Skoring Skoring merupakan perkalian antara pembobotan dengan nilai kemampuan, dan dari hasil perkalian tersebut dibuat suatu rentang nilai kelas yang menunjukkan nilai kemampuan lahan didalam menghadapi bencana alam kawasan rawan gempa bumi dan kawasan rawan letusan gunung berapi. Dengan demikian matriks pembobotan untuk kestabilan terhadap kawasan rawan gempa bumi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 13. Rentang skor dan pembagian tipe kerawanan gempa ditunjukkan pada Tabel 14. Tabel 13. Matriks pembobotan untuk kestabilan wilayah terhadap kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi dengan informasi geologi yang diperhitungkan. No Informasi Geologi Kelas Informasi Nilai Kemampuan Bobot Skor 1a. Andesit, granit, diorit, metamorf, breksi volkanik, aglomerat, breksi sedimen, 1 konglomerat 1 Geologi (Sifat Fisik dan Keteknikan Batuan) 1b. Batupasir, tufa kasar, batulanau, arkose, greywacke, batugamping 2 1c. Pasir, lanau, batulumpur, napal, tufa halus, serpih 3 1d. Lempung, lumpur, lempung organik, gambut 4 3

10 24 Lanjutan Tabel Kemiringan lereng 2a. Datar - Landai (0-7 %) 1 2b. Miring - Agak curam (7-30 %) 2 2c. Curam - Sangat Curam ( %) 3 2d. Terjal (>140 %) 4 3 I, II, III, IV, V <0,05 g < Kegempaan VI, VII 0,05-0,15 g VIII 0,15-0,30 g 6-6,5 3 IX, X, XI, XII > 0,30 g > 6,5 4 4a. Jauh dari zona sesar 1 4b. Dekat dengan zona sesar ( Struktur Geologi 1000 m dari zona sesar) 5 4c. Pada zona sesar (<100 m dari zona sesar) 3 Tabel 14. Tipologi Kawasan Rawan Gempa Bumi Skor Tipologi A B C D E F Masing-masing tipologi kerawanan memiliki pengertian. Tabel 15 menjelaskan pengertian dari setiap klasifikasi tipologi yang dihasilkan oleh matriks pembobotan. Tabel 15. Klasifikasi Kawasan Rawan Gempa Bumi Tipologi Tipe A Pengertian Kawasan ini berlokasi jauh dari daerah sesar yang rentan terhadap getaran gempa. Kawasan ini juga dicirikan dengan adanya kombinasi saling melemahkan dari faktor dominan yang berpotensi untuk merusak. Bila intensitas gempa tinggi (Modified Mercalli Intensity / MMI VIII) maka efek merusaknya diredam oleh sifat fisik batuan yang kompak dan kuat. Tipe B 1) Faktor yang menyebabkan tingkat kerawanan bencana gempa pada tipe ini tidak disebabkan oleh satu faktor dominan, tetapi disebabkan oleh lebih dari satu faktor yang saling mempengaruhi, yaitu intensitas gempa tinggi (MMI VIII) dan sifat fisik batuan menengah. 2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan cukup parah terutama untuk bangunan dengan konstruksi sederhana.

11 25 Lanjutan Tabel 15. Tipe C Tipe D Tipe E Tipe F 1) Terdapat paling tidak dua faktor dominan yang menyebabkan kerawanan tinggi pada kawasan ini. Kombinasi yang ada antara lain adalah intensitas gempa tinggi dan sifat fisik batuan lemah; atau kombinasi dari sifat fisik batuan lemah dan berada dekat zona sesar cukup merusak. 2) Kawasan ini mengalami kerusakan cukup parah dan kerusakan bangunan dengan konstruksi beton terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar. 1) Kerawanan gempa diakibatkan oleh akumulasi dua atau tiga faktor yang saling melemahkan. Sebagai contoh gempa pada kawasan dengan kemiringan lereng curam, intensitas gempa tinggi dan berada sepanjang zona sesar merusak; atau berada pada kawasan dimana sifat fisik batuan lemah, intensitas gempa tinggi, di beberapa tempat berada pada potensi landaan tsunami cukup merusak. 2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan parah untuk segala bangunan dan terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar. 1) Kawasan ini merupakan jalur sesar yang dekat dengan episentrum yang dicerminkan dengan intensitas gempa yang tinggi, serta di beberapa tempat berada pada potensi landaan tsunami merusak. Sifat fisik batuan dan kelerengan lahan juga pada kondisi yang rentan terhadap goncangan gempa. 2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa. 1) Kawasan ini berada pada kawasan landaan tsunami sangat merusak dan di sepanjang zona sesar sangat merusak, serta pada daerah dekat dengan episentrum dimana intensitas gempa tinggi. Kondisi ini diperparah dengan sifat fisik batuan lunak yang terletak pada kawasan morfologi curam sampai dengan sangat curam yang tidak kuat terhadap goncangan gempa. 2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa Analisis Kesesuaian Pengembangan Pada tahap ini diperoleh hasil keluaran berupa kawasan yang sesuai untuk berbagai jenis pengembangan. Kelas lereng digunakan untuk mendukung pengembangan yang sesuai pada kawasan berdasarkan karakter lahan (Tabel 16). Tabel 16. Kesesuaian Pengembangan Berdasarkan Kelas Lereng Kelas Lereng Karakter dan Kesesuaian Lahan 0 5% Lahan bertopografi datar, sangat sesuai untuk dikembangkan menjadi areal permukiman dan pertanian. Sebagian areal berpotensi terhadap genangan banjir dan sebagian berpotensi terhadap drainase yang buruk. 5 15% Lahan bertopografi landai; kurang sesuai untuk pembangunan lapangan terbang atau areal industry berat; irigasi yang terbatas namun baik untuk pengembangan pertanian keras. Lahan yang sesuai untuk dikembangan menjadi permukiman, perkantoran, dan areal bisnis dengan drainase baik % Lahan bertopografi bergelombang; kurang sesuai untuk areal pertanian karena masalah erosi; namun lahan dengan kemiringan lereng diatas 20% dapat dimanfaatkan untuk areal pertanian dengan jenis tanaman tertentu. Lahan ini juga baik untuk pengembangan industry ringan, komplek perumahan, dan untuk fasilitas rekreasi.

12 26 Lanjutan Tabel % Lahan bertopografi terjal; cocok untuk dikembangkan menjadi tempat tinggal dengan cara cluster; pariwisata dengan intensitas rendah dan lahan yang cocok untuk hutan dan padang rumput. >50% Lahan bertopografi sangat terjal; tempat yang sesuai untuk kehidupan satwa liar dan tanaman hutan lindung serta padang rumput yang terbatas; tidak sesuai untuk areal real estate karena topografi yang terlalu terjal. (Sumber : Noor (2006)) Sintesis Pada tahap ini ditentukan zonasi kawasan yang sesuai untuk pengembangan permukiman dan dapat mengurangi resiko dampak bencana gempa bumi yang ditimbulkan. Yang diutamakan dikembangkan dalam tapak adalah pola tata ruang. Hasil dari tahapan ini adalah gambar alternative ruang. Dalam Chiara dan Koppleman (1978), terdapat beberapa kondisi yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan tapak untuk perumahan, yaitu : a. Kondisi tanah dan bawah tanah; b. Air tanah dan drainase; c. Keterbebasan dari banjir permukaan; d. Kesesuaian penapakan bangunan yang akan direncanakan; e. Kesesuaian untuk akses dan sirkulasi; f. Kesesuaian untuk pembangunan ruang terbuka; g. Keterbebasan dari bahaya kecelakaan; h. Ketersediaan pelayanan saniter dan perlindungan; i. Keterbebasan dari bahaya dan gangguan setempat. Pengaturan zonasi tata ruang permukiman di kawasan rawan gempa bumi mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan Letusan Gempa sesuai dengan tipologi kerawanan gempa bumi yang dihasilkan proses analisis (Tabel 17).

13 27 Tabel 17. Aturan Zonasi Kawasan Rawan Gempa Bumi Tipologi Kawasan A B Aturan Zonasi Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangnya. Diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan beton bertulang maupun tidak bertulang b. Kepadatan bangunan tinggi (> 60 unit/ha), sedang (30-60 unit/ha), dan rendah (<30unit/Ha) c. Pola permukiman dapat mengelompok maupun menyebar Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB>70;KLB>200) hingga rendah (KDB<50;KLB <100) Diizinkan untuk kegiatan industri,pengawasan dan pengendalian yang ketat, yaitu: a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Skala industri besar, sedang, maupun kecil Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan. Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata agro kultural Diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain pertambangan batu dan pasir Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangnya. Diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan beton bertulang; kepadatan bangunan sedang dan rendah; pola permukiman menyebar b. Konstruksi bangunan semi permanen; kepadatan bangunan tinggi, sedang, dan rendah; pola permukiman mengelompok dan menyebar c. Konstruksi bangunan tradisional; kepadatan bangunan tinggi, sedang, dan rendah; pola permukiman mengelompok dan menyebar Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB > 70; KLB > 200) hingga rendah (KDB < 50; KLB < 100) Diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang ketat yaitu: a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Skala industri besar, sedang, maupun kecil Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan. Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata agro kultural. Diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain pertambangan batu dan pasir.

14 28 Lanjutan Tabel 17. C D Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangnya. Diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan semi permanen; kepadatan bangunan sedang dan rendah; pola permukiman mengelompok dan menyebar. b. Konstruksi bangunan tradisional; kepadatan bangunan sedang dan rendah; pola permukiman mengelompok dan menyebar. Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB > 70; KLB > 200) hingga rendah (KDB < 50; KLB < 100) Diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang ketat, yaitu: a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Skala industri sedang dan kecil Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan. Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata agro kultural. Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangnya Diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan semi permanen; kepadatan bangunan rendah; pola mengelompok dan menyebar b. Konstruksi bangunan tradisional; kepadatan bangunan rendah; pola permukiman dan menyebar Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Kepadatan bangunan sedang (KDB 50-70; KLB ) Diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang ketat, yaitu : a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Skala industri kecil Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep pelestarian lingkungan. Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata agro kultural E Ditentukan sebagai kawasan lindung F Ditentukan sebagai kawasan lindung Perencanaan Tahap perencanaan merupakan perwujudan dari tahapan-tahapan sebelumnya. Konsep yang telah ditentukan dikembangkan dalam bentuk rencana tata ruang, vegetasi, fasilitas/utilitas, program mitigasi, dan pengelolaan kawasan. Hasil dari tahap ini berupa gambar Landscape Plan.

15 29 Konsep yang direncanakan adalah tata ruang permukiman yang memudahkan dalam proses evakuasi bencana dan meminimalisir kerugian akibat bencana. Penentuan tata ruang kawasan mengacu pada ketentuan zonasi berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan Letusan Gempa (Tabel 18). Tabel 18. Peruntukan Ruang Kawasan Gempa Bumi Berdasarkan Tipologi Kawasan. Peruntukan Ruang Tipologi Kawasan A B C D E F Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Hutan Produksi Hutan Kota Hutan Rakyat Pertanian Sawah Pertanian Semusim Perkebunan Peternakan Perikanan Pertambangan Industri Pariwisata Permukiman Perdagangan dan Perkantoran Keterangan : = Dapat dibangun dengan syarat = Tidak dapat dibangun Tabel 19. Arahan Struktur Ruang Kawasan Rawan Gempa Bumi. Peruntukan Tipologi Kawasan Ruang A B C D E F Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Pusat Hunian Jaringan Air Bersih Drainase Sewerage Sistem Pembuangan Sampah Jaringan Transportasi Lokal

16 30 Lanjutan Tabel 19. Jaringan Telekomunikasi Jaringan Listrik Jaringan Energi Keterangan : = Dapat dibangun dengan syarat = Tidak dapat dibangun Rencana tata ruang yang disusun berupa : 1. Rencana Permukiman (Sarana Penghunian, Sarana Pendidikan, Sarana Kesehatan, Sarana Olahraga dan Daerah Terbuka, Sarana Peribadatan). Permukiman dibangun dengan pola yang sesuai dalam zonasi berdasarkan tipologi kerawanan gempa bumi. Tabel 20. Standar Kebutuhan Sarana Kesehatan No Jenis Sarana Jumlah Penduduk Pendukun g (jiwa) Kebutuhan per satuan sarana Luas Luas lantai lahan (m2) (m2) Standar (m2/jiw a) Radius pencapaia n (m) Kriteria Lokasi dan Penyelesaia n 1 Posyandu , Di tengahtengah kelompok tetangga dan tidak menyebrang jalan raya 2 Balai Pengobatan Warga 3 BKIA / Klinik bersalin 4 Puskesmas Pembantu dan Balai Pengobatan Lingkungan 5 Puskesmas dan Balai Pengobatan , Di tengah kelompok ketetanggan tidak menyebrang jalan raya , Dapat dijangkau dengan Ket Dapat bergabung dengan balai warga atau sarana hunian Dapat bergabung dengan balai warga , kendaraan Dapat umum bergabung dengan kantor kelurahan , Dapat bergabung dengan kantor kecamatan

17 31 Lanjutan Tabel Tempat praktek dokter 7 Apotik/rum ah obat Dapat bersatu dengan rumah tinggal/temp at usaha/apotik , (Sumber : SNI ) Tabel 21. Standar Kebutuhan Taman, Tempat Main dan Lapangan Olahraga No Jenis Minimum penduduk pendukung 1 Taman, tempat main 2 Taman, tempat main 3 Taman, tempat main dan lap, olahraga 4 Taman, tempat main dan lap. Olahraga 250 penduduk Lokasi Ditengah-tengah kelompok perumahan Luas Tanah Radius pencapaian Standar 250 m2 200 m 1 m2/p p Di pusat kegiatan RW m2 500 m 0,5 m2/p p Dikelompokkan dengan sekolah p Dikelompokkan dengan sekolah m2-0,3 m2/p ,2 m2/p 5 Taman, p Dapat di pusat ,3 m2/p tempat wilayah dan m2 main dan merupakan zona yang lap. lain dari pusat Olahraga wilayah 6 Jalur hijau Menyebar 15 m2/p (Sumber : Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah, 1983) 2. Rencana Sirkulasi (Jaringan transportasi lokal) Pada umumnya hierarki jalan terdiri dari jalan arteri, jalan kolektor, dan jalan lokal. Menurut Miro (1997) dalam Sarusuk (2006), peran dan fungsi masingmasing jalan tersebut, yaitu : a. Jalan Arteri : Jalan yang melayani rute jarak jauh dengan kecepatan ratarata tinggi dan jumlah masuk masih dibatasi secara efisien; b. Jalan Kolektor : jalan yang melayani rute jarak sedang dengan kecepatan rata-rata sedang dan jumlah masuk masih dibatasi;

18 32 c. Jalan Lokal : jalan yang melayani angkutan jarak dekat dengan kecepatan rata-rata rendah dan jumlah masuk yang tidak dibatasi. 3. Rencana Drainase. Standar perencanaan mengacu pada Pedoman Perencanaan Lingkungan Permukiman Kota. Di dalam pusat hunian selain rencana permukiman akan dikembangkan pula beberapa konsep perencanaan, yaitu : 1. Rencana Jalur Evakuasi Jalur evakuasi yang direncanakan berupa jalur jalan yang dapat dengan mudah membantu penduduk untuk bergerak atau menyelamatkan diri ke areaarea yang digunakan sebagai lokasi evakuasi sementara. Jalur jalan dibuat dengan pola yang tidak rumit atau tidak berkelok-kelok. Tanda penunjuk jalan yang digunakan harus mudah dipahami oleh penduduk. 2. Rencana Titik Evakuasi Titik evakuasi yang direncanakan berupa ruang-ruang terbuka dan bangunan serba guna yang tahan gempa. Titik-titik evakuasi ini harus mudah dijangkau oleh penduduk dan dilengkapi dengan fasilitas yang bisa berfungsi dalam kondisi darurat. Dalam menentukan tata letak setiap elemen yang diperlukan dalam suatu permukiman digunakan standar kesesuaian lahan berdasarkan kemiringan lereng seperti yang ditunjukkan pada Tabel 22. Tabel 22. Kesesuaian Penggunaan Lahan Berdasarkan Kemiringan Lereng Peruntukkan Kelas Kemiringan Lereng (%) Lahan >40 Jalan Raya Parkir Taman Bermain Area Perdagangan Drainase Permukiman Trotar Resapan Septik Tangga Umum Rekreasi (Sumber : Marsh, 1991)

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Kerangka Pikir Studi...

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Kerangka Pikir Studi... DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... BAB I PENDAHULUAN... 1.1. Latar Belakang... 1.2. Tujuan... 1.3. Kerangka Pikir Studi... BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 2.1. Perencanaan Lanskap... 2.2. Gempa Bumi...

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2014 KEMENPERA. Bencana Alam. Mitigasi. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 gg Tentang Penataan Ruang 1 Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d). TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 14 Informasi Geologi Untuk Penentuan Lokasi TPA UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah 1. Melaksanakan k pengelolaan l sampah dan memfasilitasi i penyediaan

Lebih terperinci

Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah

Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah 1. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-3241-1994, membagi kriteria pemilhan loasi TPA sampah menjadi tiga, yaitu: a. Kelayakan regional Kriteria yang digunakan

Lebih terperinci

BAB VII PENATAAN RUANG KAWASAN RAWAN LETUSAN GUNUNG BERAPI DAN KAWASAN RAWAN GEMPA BUMI [14]

BAB VII PENATAAN RUANG KAWASAN RAWAN LETUSAN GUNUNG BERAPI DAN KAWASAN RAWAN GEMPA BUMI [14] Kuliah ke 9 PERENCANAAN KOTA BERBASIS MITIGASI BENCANA TPL 410-2 SKS DR. Ir. Ken Martina K, MT. BAB VII PENATAAN RUANG KAWASAN RAWAN LETUSAN GUNUNG BERAPI DAN KAWASAN RAWAN GEMPA BUMI [14] Cakupan Penataan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Gorontalo merupakan salah satu kota di Indonesia yang rawan terjadi banjir. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi berkisar antara 106 138mm/tahun,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI KABUPATEN SINJAI

PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI KABUPATEN SINJAI -157- LAMPIRAN XXII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SINJAI TAHUN 2012-2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI KABUPATEN SINJAI A. KAWASAN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara geografis sebagian besar terletak pada kawasan rawan bencana alam dan memiliki banyak gunung berapi yang masih

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 33 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Studi ini dilakukan di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Secara administrasi pemerintahan Kota Padang Panjang terletak di Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN BERBASIS MITIGASI BENCANA

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN BERBASIS MITIGASI BENCANA TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 13 PERENCANAAN TATA RUANG BERBASIS MITIGASI BENCANA GEOLOGI 1. Pendahuluan Perencanaan tataguna lahan berbasis mitigasi bencana geologi dimaksudkan untuk mengantisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng pasifik. Pertemuan tiga

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan 1. Daerah bahaya yang termasuk daerah bahaya utama lintasan sesar lembang meliputi daerah yang akan terjadi kerusakan dampak besar akibat gemba bumi yang

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perencanaan Lanskap Perencanaan lanskap adalah suatu proses sintesis yang kreatif tanpa akhir dan dapat ditambah, juga merupakan proses yang rasional dan evolusi yang teratur.

Lebih terperinci

Cindy P. Welang¹, Windy Mononimbar², Hanny Poli³

Cindy P. Welang¹, Windy Mononimbar², Hanny Poli³ KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN PADA KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNG BERAPI DI KOTA TOMOHON Cindy P. Welang¹, Windy Mononimbar², Hanny Poli³ ¹Mahasiswa Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik

Lebih terperinci

Gambar 30. Diagram Konsep Pembagian Ruang

Gambar 30. Diagram Konsep Pembagian Ruang BAB V KONSEP DAN PERENCANAAN 5.1. Konsep Konsep dasar dari penelitian ini adalah merencanakan suatu tata ruang permukiman yang dapat mencegah atau mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana gempa

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN KATA PENGANTAR Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan bahwa RTRW Kabupaten harus menyesuaikan dengan Undang-undang tersebut paling lambat 3 tahun setelah diberlakukan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Demikian Laporan Akhir ini kami sampaikan, atas kerjasama semua pihak yang terkait kami ucapkan terima kasih. Medan, Desember 2012

KATA PENGANTAR. Demikian Laporan Akhir ini kami sampaikan, atas kerjasama semua pihak yang terkait kami ucapkan terima kasih. Medan, Desember 2012 KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-nya Laporan Akhir Kajian Rencana Zonasi Kawasan Industri ini dapat diselesaikan. Penyusunan Laporan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dengan morfologi yang beragam, dari daratan sampai pegunungan serta lautan. Keragaman ini dipengaruhi

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini merupakan hasil temuan dan hasil analisa terhadap kawasan Kampung Sindurejan yang berada di bantaran sungai

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia banyak sekali daerah yang,mengalami longsoran tanah yang tersebar di daerah-daerah pegunngan di Indonesia. Gerakan tanah atau biasa di sebut tanah longsor

Lebih terperinci

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA Asmirawati Staf Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kabupaten Bulukumba asmira_st@gmail.com ABSTRAK Peningkatan kebutuhan lahan perkotaan

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP PERMUKIMAN UNTUK MITIGASI BENCANA GEMPA BUMI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG CICI NURFATIMAH

PERENCANAAN LANSKAP PERMUKIMAN UNTUK MITIGASI BENCANA GEMPA BUMI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG CICI NURFATIMAH PERENCANAAN LANSKAP PERMUKIMAN UNTUK MITIGASI BENCANA GEMPA BUMI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG CICI NURFATIMAH DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Kabupaten Tanggamus 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus Secara geografis wilayah Kabupaten Tanggamus terletak pada posisi 104 0 18 105 0 12 Bujur Timur dan

Lebih terperinci

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa AY 12 TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah ke tempat yang relatif lebih rendah. Longsoran

Lebih terperinci

Ketentuan Umum Istilah dan Definisi

Ketentuan Umum Istilah dan Definisi Ketentuan Umum 2.1. Istilah dan Definisi Penyusunan RDTR menggunakan istilah dan definisi yang spesifik digunakan di dalam rencana tata ruang. Berikut adalah daftar istilah dan definisinya: 1) Ruang adalah

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH YOGYAKARTA

BAB III TINJAUAN WILAYAH YOGYAKARTA BAB III TINJAUAN WILAYAH YOGYAKARTA 3.1 TINJAUAN UMUM WILAYAH YOGYAKARTA 3.1.1 Kondisi Geografis dan Aministrasi Kota Yogyakarta terletak di bagian tengah-selatan Pulau Jawa dengan luas 32,50 km2. Kota

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2011-2031 I. UMUM 1. Faktor yang melatarbelakangi disusunnya Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan 3 Nilai Tanah : a. Ricardian Rent (mencakup sifat kualitas dr tanah) b. Locational Rent (mencakup lokasi relatif dr tanah) c. Environmental Rent (mencakup sifat

Lebih terperinci

METODOLOGI. Tabel 1. Jenis, Sumber, dan Kegunaan data No Jenis Data Sumber Data Kegunaan

METODOLOGI. Tabel 1. Jenis, Sumber, dan Kegunaan data No Jenis Data Sumber Data Kegunaan METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Pantai Kelapa Rapat (Klara) Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, dengan luas area ± 5.6 Ha (Gambar 2). Penelitian ini dilaksanakan selama 4

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH 3.1. Tinjauan Kondisi Umum Pegunungan Menoreh Kulonprogo 3.1.1. Tinjauan Kondisi Geografis dan Geologi Pegunungan Menoreh Pegunungan Menoreh yang terdapat pada Kabupaten

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi studi

Gambar 2 Peta lokasi studi 15 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Studi Studi dilakukan di Kebun Anggrek yang terletak dalam areal Taman Kyai Langgeng (TKL) di Jalan Cempaka No 6, Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), kepadatan penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta terutama di Kabupaten Sleman mencapai 1.939 jiwa/km 2. Di

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan.... DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Gambar Daftar Grafik i ii vii viii Bab I Pendahuluan. 1.1. Dasar Hukum..... 1.2. Profil Wilayah Kabupaten Sijunjung... 1.2.1 Kondisi Fisik

Lebih terperinci

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian. III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea Bogor, Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian terlihat pada Gambar 2. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN WILAYAH BAB III TINJAUAN WILAYAH 3.1 Kondisi Administratif Gambar 3.1. Peta Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sekitarnya Sumber : www.jogjakota.go.id Daerah Istimewa Yogyakarta terletak antara 7 30' - 8 15' lintang

Lebih terperinci

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Yogyakarta, 21 September 2012 BAPPEDA DIY Latar Belakang UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; Seluruh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Lahan Sitorus (1985) menjelaskan ada empat kelompok kualitas lahan utama : (a) Kualitas lahan ekologis yang berhubungan dengan kebutuhan tumbuhan seperti ketersediaan

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

BAB 5 RTRW KABUPATEN

BAB 5 RTRW KABUPATEN BAB 5 RTRW KABUPATEN Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten terdiri dari: 1. Rencana Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang; 2. Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung dan Budidaya; 3. Rencana Pengelolaan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI BAB II 2.1. Tinjauan Umum Sungai Beringin merupakan salah satu sungai yang mengalir di wilayah Semarang Barat, mulai dari Kecamatan Mijen dan Kecamatan Ngaliyan dan bermuara di Kecamatan Tugu (mengalir

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta)

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta) BAB III METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai lanskap kawasan ekowisata karst ini dilakukan di Lembah Mulo, Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG

ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG Oleh : Muhammad 3615100007 Friska Hadi N. 3615100010 Muhammad Luthfi H. 3615100024 Dini Rizki Rokhmawati 3615100026 Klara Hay 3615100704 Jurusan Perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bencana geologi merupakan bencana yang terjadi secara alamiah akibat

BAB I PENDAHULUAN. Bencana geologi merupakan bencana yang terjadi secara alamiah akibat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bencana geologi merupakan bencana yang terjadi secara alamiah akibat proses geologi yang siklus kejadiannya mulai dari sekala beberapa tahun hingga beberapa

Lebih terperinci

PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado

PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado Windy J. Mononimbar Program Studi Arsitektur dan Perencanaan Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki potensi bencana alam yang tinggi. Jika dilihat secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan yang berada pada pertemuan

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta administrasi kota Tangerang Selatan

Gambar 5 Peta administrasi kota Tangerang Selatan METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah Kota Tangerang Selatan yang merupakan hasil pemekaran dari kabupaten Tangerang propinsi Banten. Kota Tangerang Selatan mempunyai luas wilayah

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut (Triatmodjo, 2008:1).Hidrologi merupakan ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya. Penerapan ilmu hidrologi

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA 47 TAHUN 1997 (47/1997) 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA)

REPUBLIK INDONESIA 47 TAHUN 1997 (47/1997) 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA) Menimbang : PP 47/1997, RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 47 TAHUN 1997 (47/1997) Tanggal: 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA) Sumber:

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya,

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya, sifatsifatnya dan hubungan

Lebih terperinci

BAB 7 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara

BAB 7 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara BAB 7 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi Sumatera Utara digunakan sebagai merupakan acuan dalam pelaksanaan pengendalian

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

Gambar 1 Lokasi penelitian.

Gambar 1 Lokasi penelitian. 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Perencanaan tapak ini dilaksanakan di KHDTK Cikampek, Kabupaten Karawang, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juli 2012. Gambar

Lebih terperinci

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN II CONTOH PETA RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 2 LAMPIRAN III CONTOH PETA PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN L

Lebih terperinci

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT Suranta Sari Bencana gerakan tanah terjadi beberapa

Lebih terperinci

[ TEKNIK PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN]

[ TEKNIK PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN] [ TEKNIK PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN] AY 11 LOGO Pendahuluan Perencanaan Tata Guna lahan pada hakekatnya adalah Pemanfaatan lahan yang ditujukan untuk suatu permukaan tertentu. Permasalahan yang mungkin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana.

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Ilmu tentang bencana semakin berkembang dari tahun ke tahun seiring semakin banyaknya kejadian bencana. Berawal dengan kegiatan penanggulangan bencana mulai berkembang

Lebih terperinci

KAJIAN KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN SLOGOHIMO KABUPATEN WONOGIRI

KAJIAN KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN SLOGOHIMO KABUPATEN WONOGIRI KAJIAN KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN SLOGOHIMO KABUPATEN WONOGIRI SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-1 Fakultas Geografi Oleh : JUMIYATI NIRM: 5.6.16.91.5.15

Lebih terperinci

BAB II KONDISI UMUM LOKASI

BAB II KONDISI UMUM LOKASI 6 BAB II KONDISI UMUM LOKASI 2.1 GAMBARAN UMUM Lokasi wilayah studi terletak di wilayah Semarang Barat antara 06 57 18-07 00 54 Lintang Selatan dan 110 20 42-110 23 06 Bujur Timur. Wilayah kajian merupakan

Lebih terperinci

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL DAFTAR TABEL Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama... 1 Tabel SD-1A. Perubahan Luas Wilayah Menurut Penggunaan lahan Utama Tahun 2009 2011... 2 Tabel SD-1B. Topografi Kota Surabaya...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau utama dan ribuan pulau kecil disekelilingnya. Dengan 17.508 pulau, Indonesia menjadi negara

Lebih terperinci

BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Identifikasi dan Delineasi Daerah Rawan Longsor

BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Identifikasi dan Delineasi Daerah Rawan Longsor BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Daerah rawan longsor harus dijadikan areal konservasi, sehingga bebas dari kegiatan pertanian, pembangunan perumahan dan infrastruktur. Apabila lahan digunakan untuk perumahan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERANCANGAN

BAB IV ANALISIS PERANCANGAN 4.1 ANALISIS LOKASI TAPAK BAB IV ANALISIS PERANCANGAN Dalam perancangan arsitektur, analisis tapak merupakan tahap penilaian atau evaluasi mulai dari kondisi fisik, kondisi non fisik hingga standart peraturan

Lebih terperinci

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Dalam memahami karakter sebuah wilayah, pemahaman akan potensi dan masalah yang ada merupakan hal yang

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam

Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam Untuk penentuan prioritas kriteria dilakukan dengan memberikan penilaian atau bobot

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia, Pasifik dan Australia dengan ketiga lempengan ini bergerak saling menumbuk dan menghasilkan suatu

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Wilayah cilongok terkena longsor (Antaranews.com, 26 november 2016)

Gambar 1.1 Wilayah cilongok terkena longsor (Antaranews.com, 26 november 2016) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pertumbuhan penduduk di Indonesia termasuk kedalam pertumbuhunan yang tinggi. Jumlah penduduk semakin tinggi menyebabkan Indonesia menjadi negara ke empat dengan jumlah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Lombok memiliki luas 467.200 ha. dan secara geografis terletak antara 115 o 45-116 o 40 BT dan 8 o 10-9 o 10 LS. Pulau Lombok seringkali digambarkan sebagai

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS KATA PENGANTAR Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 11 ayat (2), mengamanatkan pemerintah daerah kabupaten berwenang dalam melaksanakan penataan ruang wilayah kabupaten

Lebih terperinci

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. Tipe-Tipe Tanah Longsor 1. Longsoran Translasi Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. 2. Longsoran Rotasi Longsoran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Longsorlahan Longsorlahan adalah salah satu bentuk dari gerak masa tanah, batuan dan runtuhan batu/tanah yang terjadi seketika bergerak menuju lereng bawah yang dikendalikan

Lebih terperinci

BAB III PUSAT STUDI PENGEMBANGAN BELUT DI SLEMAN

BAB III PUSAT STUDI PENGEMBANGAN BELUT DI SLEMAN BAB III PUSAT STUDI PENGEMBANGAN BELUT DI SLEMAN 3.1 Tinjauan Umum Kabupaten Sleman 3.1.1 Kondisi Geografis Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110 33 00 dan 110 13 00 Bujur Timur, 7 34

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL.

MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL. PP 47/1997, RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 47 TAHUN 1997 (47/1997) Tanggal: 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA) Sumber: LN 1997/96;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang selalu bergerak dan saling menumbuk.

Lebih terperinci