ZONASI PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DENGAN PENDEKATAN EKOWISATA (Kasus Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto di Provinsi Gorontalo)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ZONASI PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DENGAN PENDEKATAN EKOWISATA (Kasus Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto di Provinsi Gorontalo)"

Transkripsi

1 ZONASI PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DENGAN PENDEKATAN EKOWISATA (Kasus Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto di Provinsi Gorontalo) MARINI SUSANTI HAMIDUN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Zonasi Pengelolaan Taman Nasional dengan Pendekatan Ekowisata (Kasus Calon Taman Nasional Nantu- Boliohuto di Provinsi Gorontalo) adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi dimanapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Februari 2012 Marini Susanti Hamidun P

4

5 ABSTRACT MARINI SUSANTI HAMIDUN. National Park Management Zoning by Ecotourism Approach (Case of Nantu-Boliyohuto National Park Candidate in Gorontalo Province), under the supervisors of; Cecep Kusmana, Ernan Rustiadi, Soehartini Sekartjakrarini, Nelson Pomalingo. National Park is a nature conservation area which has a native ecosystem, managed by the zoning system and used for the purpose of research, science, education, culture, tourism, and recreation. Candidates for the National Park area covering 62,943 ha Nantu Boliyohuto located in Gorontalo Province, and has been proposed as a National Park under Proposal No. Letter /05/638/2003 April 8, In this regard, the main objective of this research is to produce a management zoning of CTN Nantu Boliyohuto by ecotourism based, with some of the operational objectives of the study, namely: 1) identification and analysis of ecological, social and cultural conditions in the CTN-Nantu Boliyohuto ; 2 ) review of the assessment area CTN- Nantu Boliyohuto as ecotourism area, and 3) the process of drafting zoning CTNNB region. Purposive sampling method used to select 6 villages and to select 45 respondents in each village. Techniques of data retrieval is done by observation and interviews (primary data), as well as by literature studies (secondary data). The analysis used are the analysis of vegetation, tourist attraction assessment, spatial analysis, and multicriteria analysis. The results of this study were: 1) in the region Nantu CTN-Boliyohuto much as 204 plant species were identified, of which there are 17 protected species, among others; Caryota mitis, Cycas rumphii, and Livistonia rotundifolia,; 32 species animals, some of which were endemic to Sulawesi and protected species, namely Babyrousa babyrussa, Bubalus depressicornis, Tarsius spectrum, and Macaca heckii; 49 species of birds and 24 species of which are endemic to Sulawesi; as well as the physical condition of the appeal of unique and beautiful, the salt-lick, scenery, waterfalls, harmonization of the township, fields, hills, mountains, and rivers; 2) community around the area generally consists of farmers with low education, interact with the region in the harvesting of timber and non timber, such as rattan, leaf woka, building materials, foodstuff, fruits, bamboo, honey and hunt, and use of land as a farm plantation / agriculture and residences; 3) the region has the potential of high tourist attraction, with a fairly smooth accessibility, supported by social conditions, interests and expectations of society towards the implementation of ecotourism activities, as well as support of Gorontalo Provincial Government through its superior programs in the fields of tourism, although tourism has not been supported by adequate facilities, and 4) establishment of zoning map initiated by combining elevation, slope maps, land cover map, and wildlife sensitivity map, which generates maps of ecological sensitivity. The consideration based on ecotourism criteria, namely conservation, economics, public participation, and control. The results of the ecological sensitivity map overlay of these criteria of ecotourism is CTN Nantu Boliyohuto Management Zone, which consists of a core zone covering an area of ,3 Ha (76,99%), forest zone covering an area of ,1 Ha (17,2%), use zone of 2.447,8 (3,9%), and traditional zone covering an area of 1.206,3 Ha (1,92%). Keywords: national parks, zoning, ecotourism

6

7 RINGKASAN MARINI SUSANTI HAMIDUN. Zonasi Pengelolaan Taman Nasional dengan Pendekatan Ekowisata (Kasus Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto di Provinsi Gorontalo), dibawah bimbingan: Cecep Kusmana, Ernan Rustiadi, Soehartini Sekartjakrarini, Nelson Pomalingo. Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Untuk mengelola kawasan ini diperlukan sistem zonasi yang berupa perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam (SDA) hayati dan ekosistemnya. Zonasi ditentukan sebagai hasil analisis spasial pengelompokan yang mempunyai kemampuan dan karakteristik yang sama, dengan tujuan memberikan arah pengelolaan dan perencanaan menyeluruh pada suatu wilayah. Pengelolaan taman nasional melalui sistem zonasi bukan hanya difokuskan pada potensi flora dan fauna khas yang dilindungi, namun juga pada kebutuhan sosial ekonomi masyarakat sekitar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Paradigma baru pengelolaan taman nasional ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan dana pengelolaan dari pihak luar, sehingga mendorong kemandirian dalam mengelola atau membiayai sendiri. Konsep ekowisata merupakan konsep operasional dari pembangunan berkelanjutan yang dapat menjembatani kepentingan pemerintah dalam hal konservasi dan kepentingan masyarakat sekitar dalam hal pengembangan ekonomi. Kawasan Calon Taman Nasional Nantu Boliyohuto seluas Ha yang terletak di Provinsi Gorontalo, merupakan gabungan dari Suaka Margasatwa Nantu ( Ha), Hutan Produksi Terbatas ( Ha) dan Hutan Lindung ( Ha). Kawasan ini telah diajukan sebagai Taman Nasional berdasarkan Surat Usulan No /05/638/2003 tanggal 8 April Berkenaan dengan hal tersebut, maka tujuan utama penelitian ini adalah menghasilkan zonasi pengelolaan CTN Nantu-Boliyohuto yang berbasis ekowisata, dengan beberapa tujuan operasional penelitian, yaitu: 1) identifikasi dan analisis kondisi ekologi dan kondisi sosial budaya masyarakat di kawasan CTN Nantu-Boliyohuto; 2) kajian penilaian kawasan CTN Nantu-Boliyohuto sebagai kawasan ekowisata; dan 3) proses penyusunan zonasi kawasan CTNNB. Untuk pengambilan data masyarakat, enam desa dipilih secara purposive sampling, yaitu desa-desa yang berinteraksi intensif dengan kawasan CTN Nantu-Boliyohuto, yaitu Desa Pangahu, Desa Mohiyolo, Desa Saritani, Desa Sidohardjo, Desa Kasia, dan Desa Potanga. Sedangkan data responden masyarakat, setiap desa dipilih 45 responden yang dipilih secara purposive sampling, yaitu masyarakat yang berumur diatas 20 tahun. Teknik pengambilan data dilakukan dengan cara pengamatan dan wawancara (data primer), serta dengan cara studi literatur (data sekunder) yang berasal dari hasil-hasil penelitian sebelumnya dan instansi terkait lainnya. Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis vegetasi, analisis penilaian daya tarik wisata, analisis spasial yang menggunakan sistem informasi geografis, dan analisis multikriteria. Hasil penelitian ini yaitu: Pertama, dalam kawasan CTN Nantu- Boliyohuto terdapat 204 jenis tumbuhan yang teridentifikasi, yang diantaranya

8 terdapat 17 jenis yang dilindungi, yaitu Caryota mitis, Cycas rumphii, Livistonia rotundifolia, Macaranga crassistipulosa, Elmerillia ovalis,, Terminalia celebica, Diospyros hebecarpa, Pterospermum celebicum, Manilkara celebica, Kjellbergiodendron celebicum, Shorea sp, Licualla flabelum, Cratoxylum celebicum, Dillenia serrata, Grammatophyllum speciosum, Diospyros celebica dan Dillenia sp.; 32 jenis satwa, yang diantaranya jenis endemik Sulawesi dan dilindungi, yaitu Babirusa (Babyrousa babyrussa), Anoa (Bubalus depressicornis), Tarsius (Tarsius spectrum), Kuskus Sulawesi (Strigocuscus celebensis) dan Monyet Hitam Sulawesi (Macaca heckii); 49 jenis burung dengan 24 jenis diantaranya merupakan endemik Sulawesi; serta daya tarik kondisi fisik yang unik dan indah, yaitu kubangan lumpur bergaram (salt-lick), panorama alam, air terjun, harmonisasi perkampungan, ladang, bukit, pegunungan, dan sungai. Kedua, masyarakat sekitar kawasan umumnya terdiri dari petani dengan pendidikan yang masih rendah, berinteraksi dengan kawasan dalam pengambilan hasil hutan berupa kayu dan non kayu, seperti rotan, daun woka, bahan bangunan, bahan makanan, buah-buahan, bamboo, madu dan berburu, serta pemanfaatan lahan sebagai ladang perkebunan/pertanian dan tempat tinggal. Ketiga, sebagai kawasan yang akan dijadikan destinasi pariwisata, kawasan ini memiliki potensi daya tarik wisata yang tinggi, dengan aksesibilitas yang cukup lancar, didukung oleh kondisi sosial masyarakat, minat dan harapan masyarakat terhadap penyelenggaraan kegiatan ekowisata, serta dukungan Pemerintah Provinsi Gorontalo melalui program unggulannya di bidang pariwisata, meskipun semuanya itu belum didukung fasilitas wisata yang memadai. Keempat, proses penetapan zonasi diawali dengan menggabungkan (overlay) beberapa peta dasar/tematik kawasan, yaitu peta ketinggian, peta kelerengan, peta tutupan lahan, dan peta sensitivitas satwa, yang menghasilkan peta sensitivitas ekologi. Zonasi peta sensitivitas ekologi terbagi atas kelas sangat sensitif yang direkomendasikan menjadi zona inti, kelas sensitif yang direkomendasikan menjadi zona rimba, dan kelas tidak sensitif direkomendasikan menjadi zona pemanfaatan/zona lainnya. Setelah itu dilakukan pertimbangan berdasarkan kriteria ekowisata, yaitu konservasi, ekonomi, partisipasi masyarakat, dan kendali. Hasil overlay dari peta sensivitas ekologi dengan kriteria-kriteria ekowisata adalah Zona Pengelolaan CTN Nantu Boliyohuto, terdiri dari zona inti seluas ,3 Ha (76,99%), zona rimba seluas ,1 Ha (17,2%), zona pemanfaatan seluas 2.447,8 Ha (3,9%), dan zona tradisional seluas 1.206,3 Ha (1,92%).

9 @Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumberdaya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

10

11 ZONASI PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DENGAN PENDEKATAN EKOWISATA (Kasus Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto di Provinsi Gorontalo) Oleh MARINI SUSANTI HAMIDUN Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

12 Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS 2. Dr. Omo Rusdiana, MS Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Bambang Supriyanto, MSc 2. Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS

13 HALAMAN PENGESAHAN Judul Disertasi Nama Mahasiswa NRP Program Studi : Zonasi Pengelolaan Taman Nasional dengan Pendekatan Ekowisata (Kasus Calon Taman Nasional Nantu- Boliyohuto di Provinsi Gorontalo) : Marini Susanti Hamidun : P : Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS (Ketua) Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr (Anggota) Dr. Ir. Soehartini Sekartjakrarini, M.Sc (Anggota) Prof. Dr. Ir. Nelson Pomalingo, M.Pd (Anggota) Diketahui, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam & Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc, Agr Tanggal Ujian: 28 Januari 2012 Tanggal Lulus:

14

15 PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian disertasi yang berjudul: Zonasi Pengelolaan Taman Nasional dengan Pendekatan Ekowisata (Studi Kasus di Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto Provinsi Gorontalo). Penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua orang tua, Alm. Husain Hamidun - Alm. Hadidjah Machmud; Alm. Rudy Rudolf Manese; Anakda Muzdalifah Manese; Ibunda Salmah Manese Monoarfa; saudarasaudaraku: Affandi, Dewi, Norman, atas keikhlasan, kesetiaan, motivasi dan doanya selama ini. Terimakasih yang sedalam-dalamnya penulis haturkan kepada Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS; Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr; Dr. Ir. Soehartini Sekartjakrarini, M.Sc; dan Prof. Dr. Ir. Nelson Pomalingo, M.Pd. yang selama ini telah mengikhlaskan waktu, tenaga, dan pikiran yang begitu besar membimbing penulis, dan tak henti-hentinya memberi semangat hingga penulis berada pada tahap akhir. Terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PS-PSL) selama masa studi saya, yaitu Alm. Prof. Dr. Ir. Sri Saeni, MS; Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS; dan Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS; Dr. Etty Riani, MS; Dr. Ir. Widiatmaka, DEA dan Dr. Ir. Lailan Syafina, MSc beserta seluruh staf PS-PSL. Terima kasih setinggi-tingginya kepada Rektor Universitas Negeri Gorontalo (UNG), rekan-rekan dosen UNG beserta seluruh staf, dan rekan-rekan dosen Universitas Gorontalo (UG) beserta mahasiswanya. Terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Bapak H. Mulyono Lahay, SE dan keluarga, Bapak Ir. Lukman Baga dan keluarga; rekan-rekan Ririungan Mahasiswa Gorontalo Bogor (RMGB); rekan-rekan mahasiswa IPB tahun 2003; dan rekan-rekan alumni SMANSA 88 Gorontalo yang senantiasa membantu, mendampingi, memberi kritikan dan semangat; serta seluruh keluarga, sahabat dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu, baik materi maupun non materi, langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian studi. Bogor, Februari 2012

16

17 RIWAYAT HIDUP Marini Susanti Hamidun dilahirkan di Gorontalo pada tanggal 4 Mei 1970, sebagai anak ke tiga dari empat bersaudara dari Ayah Drs. Husain Hamidun (Almarhum) dan Ibu Hadidjah Machmud (Almarhumah). Menikah dengan dr. Rudy Rudolf Manese (Almarhum) tahun 1994, dan dikaruniai seorang anak Muzdalifah Alya Amalia Manese. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) diselesaikan di Gorontalo. Pendidikan sarjana S-1 ditempuh di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun Pada tahun 1998, penulis melanjutkan pendidikan Magister di Program Studi Pengelolaan Lingkungan Hidup, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin dan lulus pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke program doktor diperoleh pada tahun 2003 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor dengan bantuan beasiswa BPPS Ditjen Pendidikan Tinggi. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Biologi, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Gorontalo sejak tahun 2001.

18

19 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman I II PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerangka Pikir Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kebaruan TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional Sejarah Taman Nasional Kawasan Konservasi Jenis-Jenis Kawasan Konservasi Pemanfaatan Kawasan Konservasi Peran Serta Masyarakat Terhadap Konservasi Peranan dan Manfaat Taman Nasional Perubahan Kebijakan Taman Nasional Konsep Perwilayahan (Zonasi) Zoning Regulation Zonasi Taman Nasional Pariwisata Definisi Pariwisata Perkembangan Pariwisata Dunia Perubahan pola Kepariwisataan Destinasi Pariwisata Ekowisata III IV METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Desain Penelitian Teknik Pengambilan Data Analisis Data Analisis CTNNB sebagai Kawasan Ekowisata Menyusun Zonasi CTN Nantu-Boliyohuto KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak dan Luas Iklim... 74

20 4.3. Topografi, Kelerengan, dan Penggunaan Lahan Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Tinjauan Umum Kawasan CTN Nantu-Boliyohuto Struktur Organisasi V VI HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Eksisting Kondisi Ekologi Kondisi Sosial ekonomi dan Budaya Ancaman Bagi Kawasan CTNNB Kajian Ekowisata pada CTNNB Daya Tarik Wisata Alam Aksesibilitas Fasilitas Wisata Masyarakat dan Lingkungan Potensi Pasar Zonasi CTN Nantu-Boliyohuto Analisis Sensitivitas Ekologi Pertimbangan Penentuan Zona Pembagian Zona Pengelolaan CTNNB KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

21 . DAFTAR TABEL No Teks Halaman Perubahan Paradigma Pengelolaan Kawasan Konservasi... Daftar Penelitian Penyusunan Zonasi di Kawasan Konservasi Batasan dan Kreiteria Tipe Zona pada Taman Nasional Peruntukan dan Jenis Kegiatan pada Zona-Zona Taman Nasional Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara Perkembangan Wisatawan Nusantara Tahun Bentuk Pariwisata Global Unsur-Unsur Penting dalam ekowisata... Jenis Data dan Sumber Data... Variabel Kondisi Ekologis dan Sosial yang diamati di CTNNB... Keadaan Iklim Kabupaten Gorontalo Tahun Sistem Lahan CTNNB... Data Kependudukan dan Kependidikan... Data Sarana Kesehatan... Jenis Flora Endemik dan Dilindungi pada Kawasan CTNB... Hasil Analisis Keanekaragaman Satwa Lokasi Saltlick... Data Kependudukan Desa Sekitar Kawasan CTNNB... Penilaian Daya Tarik Wisata di CTN Nantu-Boliyohuto... Penilaian Aksesibilitas CTN Nantu-Boliyohuto... Penilaian Fasilitas Wisata di CTN Nantu-Boliyohuto... Penilaian Lingkungan dan Masyarakat CTN Nantu-Boliyohuto... Kelas Ketinggian CTN Nantu-Boliyohuto... Klasifikasi Kelerengan di CTN Nantu-Boliyohuto... Klasifikasi Penutupan Lahan di CTNNB... Hasil Penilaian Potensi Zona Berdasarkan Sensitivitas Ekologi... Penyebaran Daya Tarik Wisata Alam Pada Kawasan CTNNB... Zona Pengelolaan CTN Nantu-Boliyohuto

22

23 DAFTAR GAMBAR No Teks Halaman 1.1. Kerangka Pikir Alternatif Pengelompokan dan Arah Pengelolaan Taman Nasional Sistimatika Konsep Wilayah Flowchart Tahapan Penetapan Zonasi Trend Kunjungan Wisatawan Dunia... Diagram Kunjungan Wisatawan Provinsi Gorontalo... Keterkaitan antar Unsur Pembangun Sistem Pariwisata... Kepentingan Pelaku Pariwisata Terhadap Sumberdaya... Lokasi Penelitian di CTN Nantu-Boliyohuto Desain Metode Garis Berpetak Skema Analisis Multikriteria Zonasi CTNNB Kerangka Penilaian Zonasi CTNNB Peta Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto Jenis Tumbuhan Endemik dan Dilindungi pada Kawasan CTNNB.. Jenis Satwa Endemik dan Dilindungi pada Kawasan CTNNB... Pembalakan dan Pencurian Liar... Kegiatan PETI dalam Kawasan CTNNB... Kegiatan Pengambilan Hasil Hutan Non-Kayu... Pemandangan Selama Perjalanan Jalur Sungai... Kubangan Saltlick... Air Terjun dalam Kawasan CTNNB... Diagram Kunjungan Wisatawan ke Provinsi Gorontalo Peta Kelas Ketinggian Peta Kelas Lereng Peta Penutupan Lahan Jejak Kaki dan Kotoran Babirusa dan Anoa Peta Sensivitas Satwa Endemik Peta Sensitivitas Ekologi Peta Penggunaan Lahan Peta Sebaran Daya Tarik Wisata Peta Zona Pengelolaan CTNNB

24 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam (KPA) yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Tujuan pengelolaan di atas dapat dikelompokkan ke dalam 4 (empat) aspek utama yaitu: konservasi, penelitian, pendidikan, dan kepariwisataan. Sistem zonasi merupakan cara atau metode pengelolaan taman nasional untuk mewujudkan fungsi KPA, yaitu: perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam (SDA) hayati dan ekosistem. Sistem zonasi memegang peran penting dalam mengatur peruntukan kawasan dan akses pemanfaatan. Dengan menerapkan sistem zonasi sebagai kebijakan pengelolaan, maka kawasan taman nasional akan dipilah-pilah ke dalam beberapa zona sesuai dengan fungsinya. Dalam hal ini akan diperlukan zona-zona yang mempunyai fungsi utama perlindungan/konservasi, fungsi utama pendidikan, fungsi utama rekreasi dan zona dengan fungsi utama meredam aktifitas masyarakat yang bersifat negatif di sekitar kawasan. Zonasi ditentukan sebagai hasil analisis spasial pengelompokan yang mempunyai kemampuan dan karakteristik yang sama, dengan tujuan memberikan arah pengelolaan dan perencanaan menyeluruh pada suatu wilayah, yang membagi wilayah tersebut ke dalam zona-zona yang sesuai dengan peruntukan dan kegiatan yang bersifat saling mendukung (compatible) serta memisahkannya dari kegiatan yang saling bertentangan (incompatible) (Rustiadi et al., 2004). Sistem zonasi pada taman nasional bukan berarti melarang penggunaannya dalam zona tertentu, tetapi menandakan adanya perbedaan tujuan pengelolaan pada bagian-bagian (zona) yang berbeda (Walter, 1986 dalam Bos, 1991). Zonasi juga merupakan penataan ruang pada setiap kawasan taman nasional dimana penerapan dan penegakan hukum dilaksanakan secara tegas dan pasti. Sebagai

25 2 konsekuensi dari sistem zonasi tersebut, maka setiap perlakuan atau kegiatan terhadap kawasan taman nasional, untuk kepentingan pengelolaan dan pemanfataan, harus bercermin pada aturan yang berlaku pada setiap zona dimana kegiatan tersebut dilakukan. Dengan demikian keberadaan zonasi dalam sistem pengelolaan taman nasional menjadi sangat penting, tidak saja sebagai acuan dalam menentukan gerak langkah pengelolaan dan pengembangan konservasi di taman nasional, tetapi sekaligus merupakan sistem perlindungan yang akan mengendalikan aktivitas di dalam dan di sekitarnya. Namun kenyataannya tidak ada taman nasional yang tidak mengalami tekanan, dan tidak ada yang tanpa keberadaan masyarakat. Berbagai kerusakan sumberdaya alam (SDA) dan pencemaran lingkungan terus meningkat. Akar masalahnya kompleks, berbagai macam bentuk tekanan yang mempengaruhi laju kerusakan antara lain lemahnya upaya penegakan hukum, rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap lingkungan, belum adanya koordinasi yang terjalin secara sistematis antara pengelola taman nasional dengan pemerintah daerah, serta penunjukan taman nasional tanpa konsultasi dengan pihak lain dan tidak mempertimbangkan keberadaan masyarakat di kawasan tersebut. Selama dua dekade terakhir, kegiatan pembangunan yang ada telah mengakibatkan habitat alami dan keanekaragaman jenis mengalami penurunan akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Terlebih lagi sejak munculnya era reformasi yang dipersepsikan oleh masyarakat sebagai era yang boleh melakukan apa saja. Penjarahan kayu dan hasil hutan semakin meningkat, sehingga sumber daya hutan yang masih tersisa dan berada dalam kawasan konservasi terancam (Dephut, 2004). Selain itu, pertumbuhan penduduk juga menimbulkan beberapa masalah dalam hal penggunaan ruang dan lahan yang semakin sempit, yang mengakibatkan wilayah-wilayah dan sumberdayasumberdaya yang termasuk pada kawasan konservasi telah berubah fungsi dan peruntukannya, baik secara legal maupun ilegal. Semua kawasan konservasi yang dikelola pemerintah untuk kepentingan umum mengalami kerusakan, pengurangan luas, atau diperebutkan berbagai pihak yang ingin memanfaatkan kawasan tersebut untuk kepentingan lain, seperti yang terjadi pada TN Rawa Aopa Watumohai yang mengalami kerusakan seluas 9000 Ha, TN Kerinci Seblat

26 3 mengalami kerusakan sebesar Ha, atau TN Bukit Barisan yang mengalami total kerusakan seluas Ha dengan laju kerusakan 4000 Ha pertahun. Menyikapi kenyataan kondisi taman nasional tersebut, maka penyusunan zonasi tidak lagi hanya berisi pada pelarangan atau perijinan akses manusia terhadap pemanfaatan SDA hayati dan ekosistemnya, tetapi lebih mengarah kepada keberlanjutan atau ketidakberlanjutan. Kesalahan paradigma menyebabkan pendekatan-pendekatan pengelolaan taman nasional selalu menempatkan masyarakat sebagai bawahan yang harus mengikuti keinginan atasan (penguasa). Akibatnya sering terjadi konflik antara pemegang kekuasaan, pengelola, dengan masyarakat setempat. Berbagai kasus yang terjadi pada beberapa taman nasional selama ini antara lain: pada TN Kutai terdapat areal Hak Pengusahaan Hutan dan pertambangan milik Pertamina dan seluruh fasilitasi perusahaan termasuk kompleks karyawan ( Hamline.edu); pada TN Bogani Nani Wartabone terdapat pemukiman masyarakat Desa Pinogu yang berada dalam kawasan zona inti; pada zona inti TN Lore Lindu terdapat wilayah upacara adat Suku Toro dan melarang masyarakat masuk ke zona tersebut sehingga menimbulkan konflik antara pengelola dan masyarakat adat Suku Toro; perladangan liar dan konversi menjadi perkebunan, pertanian dan pemukiman yang menyebabkan hancurnya jutaan hektar hutan tropis pada taman nasional; serta perdagangan satwa liar yang tidak bisa dikendalikan. Indonesia memiliki 50 taman nasional (TN) dengan kondisi status rencana pengelolaan (RP): 8% (4 TN) belum memiliki RP, 64% (32 TN) telah memiliki RP dan telah disahkan, dan 28% (14 TN) telah memiliki RP tapi belum disahkan. Sedangkan 50% (25 TN) belum memiliki zonasi, 44% (22 TN) sudah memiliki zonasi dan sudah disahkan, dan 6% (3 TN) sudah memiliki zonasi tapi belum disahkan (Dephut, 2008). Kenyataan ini menjelaskan bahwa pengelolaan suatu taman nasional tidak mudah dilakukan. Untuk menyempurnakan pengelolaan taman nasional, maka dibuatlah Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 56 tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional yang merupakan pengembangan dari pedoman zonasi taman nasional yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1968 tentang KSA dan KPA. Permenhut ini memberikan peluang cukup besar bagi akses masyarakat dan penyelesaian konflik

27 4 tenurial khususnya di kawasan taman nasional, juga memberi peluang yang lebih baik dan kemungkinan penerapannya jauh lebih mudah karena sudah ada zona pengelolaan yang disepakati oleh masyarakat, baik wilayahnya maupun regulasinya. Dalam Permenhut No 56/2006, zonasi pada taman nasional terdiri dari zona inti, yaitu bagian dari kawasan taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas; zona rimba yaitu bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan; zona pemanfaatan, yaitu bagian dari kawasan taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya; zona tradisional, yaitu bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan SDA; zona rehabilitasi, yaitu bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan; zona religi, budaya dan sejarah, yaitu bagian dari taman nasional yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalam warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungna nilai-nilai budaya atau sejarah; dan zona khusus, yaitu bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional, antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. Beberapa kawasan di Provinsi Gorontalo yaitu: Suaka Margasatwa (SM) Nantu seluas Ha, Hutan Lindung (HL) Boliyohuto ( Ha) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Boliyohuto ( Ha) akan digabung menjadi satu unit pengelolaan taman nasional dengan luas Ha berdasarkan Surat Usulan No /05/638/2003 tanggal 8 April Usulan ini diajukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Gorontalo sebagai Taman Nasional ke Menteri

28 5 Kehutanan dengan nama Taman Nasional Nantu-Boliyohuto (BKSDA, 2002). Sebagai kawasan yang sedang diusulkan sebagai kawasan taman nasional, Calon Taman Nasional (CTN) Nantu-Boliyohuto membutuhkan rencana pengelolaan yang menjamin tercapainya tujuan perlindungan sistem-sistem ekologis dan sistem penyangga kehidupan, pengawetan sumber plasma nutfah dan pelestarian sumberdaya hayati, dan pemanfaatan secara lestari. Penelitian Clayton (1996) & Dunggio (2005) menemukan potensi keanekaragaman satwa yang umumnya merupakan jenis-jenis yang endemik, yaitu: babirusa (Babyrousa babyrussa), anoa (Bubalus depressicornis), monyet hitam sulawesi (Macaca heckii), tarsius (Tarsius spectrum), kuskus sulawesi (Strigocuscus celebensis), dan babi hutan sulawesi, serta 80 jenis burung (35 jenis diantaranya merupakan endemik Sulawesi). Selain itu, kawasan ini memiliki keanekaragaman tumbuhan, antara lain Caryota mitis, Cycas rumphii, dan Livistonia rotundifolia atau daun woka (termasuk dalam appendix II CITES), Macaranga crassistipulosa, Elmerillia ovalis,, Terminalia celebica, Diospyros hebecarpa, (endemik Sulawesi), pohon rao atau Dracontomelon dao dan Palaquium obovatum atau yang lebih dikenal dengan nama pohon Nantu yang diameter batangnya dapat mencapai 150 cm, serta Anggrek Raksasa atau Grammatophyllum speciosum(dilindungi berdasarkan PP No 7 tahun 1999). Keunikan anggrek ini adalah ukuran tubuhnya yang besar dimana panjang batangnya dapat mencapai 5 meter. Potensi lain yang dimiliki oleh CTN Nantu- Boliyohuto adalah panorama alam/karakteristik ekosistem (sungai, air terjun, perbukitan), dan kubangan air garam alami (salt-lick) sebagai tempat bermain dan berkumpulnya babirusa dan jenis-jenis mamalia lainnya. Pengelolaan taman nasional bukan hanya difokuskan pada potensi spesies flora dan fauna khas yang dilindungi, namun juga kebutuhan sosial ekonomi masyarakat sekitar, baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga selain kondisi di dalam kawasan, penentuan zona taman nasional juga harus mempertimbangkan kondisi lingkungan daerah penyangga (buffer area). Pembagian kawasan taman nasional ke dalam zona bersifat khas untuk masingmasing kawasan (site spesific) sesuai dengan kondisi lingkungan (biofisik) serta sosial ekonomi dan budaya lokal. Pengaturan zonasi dapat berperan melalui

29 6 pemberian akses pemanfaatan sumberdaya hayati dan ekosistem yang lestari dalam bentuk alokasi lahan atau zona tertentu kepada masyarakat daerah penyangga. Upaya ini diharapkan dapat membantu peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat, membangun kesadaran konservasi, dan mendorong partisipasi sosial untuk ikut mengamankan kawasan taman nasional. Paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi bertujuan untuk mengurangi ketergantungan dana pengelolaan dari pihak luar dan melakukan konservasi dengan biaya sendiri. Ini dapat dilakukan melalui pengembangan pemanfaatan berbagai potensi kawasan dan mampu mengarahkan pada orientasi bisnis yang dilakukan dalam koridor-koridor pemanfaatan yang menjamin kelestariannya. Pola kemitraan yang melibatkan masyarakat lokal dan pihak swasta tampaknya merupakan peluang yang bisa dimanfaatkan. Melibatkan dan memberdayakan masyarakat merupakan proses untuk memfasilitasi dan mendorong masyarakat agar mampu menempatkan diri secara proporsional dan menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan strategisnya untuk mencapai suatu keberlanjutan dalam jangka panjang. Pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat dengan pembangunan berkelanjutan dimana pemberdayaan masyarakat merupakan suatu prasyarat utama serta dapat diibaratkan sebagai gerbong yang akan membawa masyarakat menuju suatu keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi yang dinamis. Ekowisata merupakan konsep operasional dari konsep pembangunan berkelanjutan, yang merupakan kegiatan konservasi yang dapat menjembatani kepentingan pemerintah dalam hal konservasi dan kepentingan masyarakat lokal dalam hal pengembangan ekonomi. Pengembangan ekowisata, yang pelaksanaanya berbasis pada masyarakat merupakan salah satu alternatif bisnis konservasi yang potensinya sangat besar untuk dikembangkan. Ekowisata merupakan suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif masyarakat, dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran, berdampak negatif minimal, memberikan konstribusi positif terhadap pembangunan ekonomi daerah, dan diberlakukan bagi kawasan lindung, kawasan terbuka, kawasan alam binaan, serta kawasan budaya. Ekowisata

30 7 diyakini mampu mempaduserasikan semua kepentingan dalam suatu hubungan timbal balik yang saling tergantung dan saling mempengaruhi dalam pengelolaan kawasan taman nasional yang berkelanjutan yang memperhatikan aspek ekologi, sosial budaya, dan ekonomi (Sekartjakarini, 2004). Pendekatan konsep ekowisata digunakan pada perencanaan pengembangan pengelolaan kawasan CTNNB karena implementasi konsep ekowisata ini adalah : 1) dapat menghasilkan uang untuk mengelola dan melindungi habitat dan spesies; 2) melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya; 3) memungkinkan masyarakat setempat memperoleh manfaat ekonomi dari kawasan; dan 4) memberikan sarana untuk meningkatkan kesadaran orang akan pentingnya pengetahuan dan pelestarian lingkungan. Beberapa contoh taman nasional yang menjadikan kegiatan ekowisata sebagai sumber ekonomi adalah Taman Nasional Virungan Rwanda, yang mempunyai kekayaan satwa jenis gorila. Tingginya arus wisatawan yang datang berkunjung pada tahun 1990 untuk melihat gorila telah menyumbangkan perolehan sejumlah 1 juta dollar AS. Pengelolaan ekowisata dapat juga dilakukan pada kawasan penyangga, contohnya pada Menjangan Jungle and Beach Resort yang terletak di zona penyangga Taman Nasional Bali Barat. Resort ini luasnya sekitar 300 Ha. Resort ini tidak menarik karcis masuk bagi wisatawan, tetapi setiap aktivitas yang ada dalam kawasan dikenakan tarif : 1) naik kuda untuk trekking US$ 45/jam, dan naik menjadi US$ 55/2 jam; 2) bersepeda bertualang dalam hutan US$ 50; 3) pengamatan burung US$ 40; dan menyelam US$ 45. Penghasilan dari perolehan belanja wisatawan ini sebagian dipergunakan untuk merehabilitasi kawasan. Contoh pengelolaan taman nasional yang melibatkan masyarakat adalah Taman Nasional Ayers Rock yang merupakan salah satu tempat yang sering di kunjungi di Australia. Sebagian besar pengelolaan dan manajemen taman nasional ini dilakukan oleh pendudukk asli (suku Aborigin), yang bekerja sama dengan pemerintah. Potensi sumber daya alam hayati dan ekosistem yang dimiliki kawasan CTNNB menunjukkan bahwa kawasam ini memiliki obyek dan daya tarik wisata alam. Atraksi satwa liar dan pengamatan burung yang endemik, keunikan dan keindahan bentang alam, serta budaya masyarakat yang ada pada kawasan CTN Nantu-Boliyohuto ini jika di rancang dan dikembangkan akan mampu menarik

31 8 minat wisatawan untuk berkunjung sehingga dapat mendatangkan dampak ekonomi yang berarti. Hal ini juga sejalan dengan program Pemerintah Provinsi Gorontalo yang tercantum dalam Strategi dan Pengembangan Kepariwisataan Gorontalo (2005), yang menyebutkan bahwa air terjun Adudu Nantu dan Kawasan SM Nantu merupakan obyek dan daerah tujuan wisata Kerangka Pikir Tujuan suatu kawasan ditetapkan sebagai taman nasional untuk dapat memberikan manfaat: 1) ekologis yang mampu melestarikan keanekagaraman hayati dan sekosistemnya; 2) ekonomi yang berarti mampu memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia; dan 3) sosial yang berarti mampu menciptakan kesempatan kerja dan berusaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun kenyataan menunjukkan bahwa tujuan tersebut belum terwujud. Keberadaan taman nasional justru sering dianggap sebagai sumber konflik antar berbagai pihak. Secara ekologi degradasi SDA hayati dan ekosistemnya terjadi hampir di seluruh taman nasional dan cenderung meningkat, baik yang disebabkan oleh illegal logging, perambahan kawasan, maupun karena desakan pembangunan sektor non kehutanan, diantaranya untuk perkebunan, pertambangan, perindustrian, dan pemukiman. Secara sosial ekonomi sistem pengelolaan taman nasional belum mampu mendukung peningkatan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat di sekitar taman nasional secara optimal. Dari aspek persepsi dan partisipasi masyarakat tentang konservasi SDA dan ekosistem kawasan taman nasional masih rendah, yang ditunjukkan dengan masih maraknya illegal logging, penambangan emas tanpa ijin (PETI), perambahan kawasan, dan perburuan satwa. Penetapan suatu kawasan sebagai taman nasional sama dengan menutup akses masyarakat terhadap pemanfaatan SDA dalam kawasan, sementara masyarakat masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap SDA tersebut. Keadaan ini menimbulkan kesan bahwa taman nasional tidak memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar, sehingga timbullah dikotomi antara konservasi dan ekonomi. Konservasionis memandang kawasan konservasi sebagai ekosistem yang harus dijaga keutuhan fisik dan kelestarian SDA hayatinya, sehingga kegiatan-kegiatan ekonomi yang terkait langsung dengan kawasan dibatasi bahkan dilarang sama sekali, karena akan menyebabkan terdegradasinya

32 9 kualitas SDA hayati dan ekosistem kawasan. Sebaliknya ekonom memandang kawasan konservasi dengan segala potensinya sebagai aset ekonomi yang akan memberikan manfaat ekonomi atau kesejahteraan diseksploitasi dan dimanfaatkan secara langsung. Dikotomi ini pada akhirnya hanya akan memastikan degradasi tetap terus terjadi. Widada (2008) menjelaskan bahwa dikotomi tidak perlu terjadi jika memahami 5 prinsip esensi konservasi dan ekonomi, yaitu : 1) konservasi merupakan landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, tanpa adanya jaminan ketersediaan SDA hayati, maka pembangunan ekonomi akan terhenti; 2) ekonomi merupakan landasan pembangunan konservasi yang berkelanjutan, tanpa adanya manfaat ekonomi bagi masyarakat secara berkelanjutan, maka program konservasi akan terhenti karena masyarakat tidak peduli; 3) kegiatan konservasi dan ekonomi, keduanya bertujuan meningkatkan mutu kehidupan dan kesejahteraan masyarakat; 4) dengan pengetahuan konservasi manusia akan lebih mampu memahami kompleksitas ekosistem alami sehingga menyadari bahwa SDA perlu dikelola secara hati-hati agar tetap lestari meskipun SDA tersebut dimanfaatkan secara terus menerus; dan 5) dengan pengetahuan ekonomi manusia akan mampu menentukan pilihan-pilihan kegiatan ekonomi yang paling rasional dalam penggunaan SDA untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya secara berkelanjutan. Dengan memahami prinsip-prinsip di atas maka pengelolaan kawasan taman nasional seharusnya mampu mengembangkan program konservasi yang dapat mengkaitkan kegiatan ekonomi masyarakat, atau sebaliknya mengembangkan kegiatan ekonomi masyarakat yang dapat mengkaitkan program konservasi, yaitu suatu konsep pemberdayaan masyarakat yang dapat membuka alternatif peningkatan ekonomi bagi masyarakat sekitar taman nasional sekaligus berkontribusi pada konservasi dengan meningkatkan kepedulian dan dukungan perlindungan kawasan yang memiliki nilai biologis, ekologis, dan nilai sejarah yang tinggi. Ekowisata merupakan konsep operasional dari konsep pembangunan berkelanjutan, yang merupakan kegiatan konservasi yang dapat menjembatani kepentingan pemerintah dalam hal konservasi dan kepentingan masyarakat lokal dalam hal pengembangan ekonomi. Ekowisata adalah perpaduan antara

33 10 konservasi dan pariwisata dimana pendapatan yang diperoleh dari pariwisata seharusnya dikembalikan kepada kawasan untuk perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati serta perbaikan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ekowisata harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan, melibatkan secara aktif masyarakat lokal dan budayanya, mempromosikan pendidikan lingkungan, serta memberikan manfaat ekonomi bagi pengelolaan taman nasional dan masyarakat sekitarnya (Sekatjakrarini, 2004; Ceballos-Lascurain, 1996; Boo, 1990). Hal ini sejalan dengan tujuan ditetapkannya suatu kawasan menjadi taman nasional, yaitu: perlindungan sistemsistem ekologis dan sistem penyangga kehidupan, pengawetan sumber plasma nutfah, pelestarian sumberdaya hayati, dan pemanfaatan secara lestari. Merujuk pada definisi taman nasional, yaitu kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (UU No 5/1990, Permenhut No 56/2006, PP No 28/20911), maka sistem pengelolaan pada taman nasional dilakukan dengan sistem zonasi. Permenhut No.56/Menhut-II/2006 tentang pedoman zonasi taman nasional, membagi taman nasional ke dalam tujuh zona, yaitu: zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah, serta zona khusus. Proses penyusunan zona pengelolaan terbagi dalam beberapa tahapan. Tahapan pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi dan menganalisis kondisi eksisting dan potensi kawasan dari aspek ekologi, aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar, dan aspek ekonomi berupa potensi jasa lingkungan. Tahapan kedua adalah melakukan analisis pengelolaan kawasan berdasarkan konsep ekowisata. Analisis dilakukan berdasarkan pada beberapa unsur utama (Shelly et al., 2001), yaitu: 1) Kualitas dan keunikan sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya sebagai obyek dan daya tarik wisata (ODTW). Kekayaan keanekaragaman hayati merupakan daya tarik utama bagi pangsa pasar ekowisata, sehingga kualitas, keberlanjutan dan pelestarian sumber daya alam,

34 11 peninggalan sejarah dan budaya menjadi sangat penting untuk ekowisata. Pengembangan ekowisata juga memberikan peluang yang sangat besar, untuk mempromosikan pelestarian keaneka-ragaman hayati Indonesia, khususnya kawasan CTNNB di tingkat internasional, nasional, regional dan lokal. 2) Pemberdayaan dan pelibatan masyarakat, mulai dari tingkat perencanaan hingga pada tingkat pengelolaan, dengan memanfaatkan pengetahuan tentang alam dan budaya serta kawasan daya tarik wisata, dimiliki oleh masyarakat setempat, 3) Pendidikan dan interpretasi untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. Ekowisata memberikan nilai tambah kepada pengunjung dan masyarakat setempat dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman. Nilai tambah ini mempengaruhi perubahan perilaku dari pengunjung, masyarakat dan pengembang pariwisata agar sadar dan lebih menghargai alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. 4) Ekowisata sebagai sarana mewujudkan ekonomi berkelanjutan. Ekowisata memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan bagi penyelenggara, pemerintah dan masyarakat setempat, melalui kegiatan-kegiatan yang non-ekstraktif dan nonkonsumtif sehingga meningkatkan perekonomian daerah setempat. Penyelenggaraan yang memperhatikan kaidah-kaidah ekowisata, mewujudkan ekonomi berkelanjutan; dan 5) Pertumbuhan pasar ekowisata di tingkat internasional dan nasional. Kenyataan memperlihatkan kecendrungan meningkatnya permintaan terhadap produk ekowisata baik ditingkat internasional maupun nasional. Hal ini disebabkan meningkatnya promosi yang mendorong orang untuk berprilaku positif terhadap alam dan berkeinginan untuk mengunjungi kawasan-kawasan yang masih alami agar dapat meningkatkan kesadaran, penghargaan dan kepeduliannya terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya setempat. Tahapan ketiga adalah menyusun zonasi pengelolaan CTNNB berdasarkan pada kriteria dan indikator zonasi taman nasional, yang dianalisis sesuai dengan kondisi eksisting kawasan dari aspek ekologi, sosial budaya, dan potensi ekonomi. Beberapa parameter yang dipertimbangkan adalah: 1) kriteria ekologi: penyebaran satwa & tumbuhan, penutupan lahan, kelerengan, ketinggian,; 2) kriteria sosial: penggunaan lahan oleh masyarakat; dan 3) kriteria ekonomi: penyebaran

35 12 ODTWA. Pembobotan dan penilaian kriteria-kriteria di atas harus dilakukan dengan teliti, akurat dan saling bersinergi antara aspek ekologi, sosial, dan ekonomi, sehingga akan menghasilkan zonasi pengelolaan yang tepat. Skema kerangka pikir penyusunan zonasi taman nasional dengan pendekatan ekowisata pada CTN Nantu-Boliyohuto dapat dilihat pada Gambar 5.1. Kerusakan/ degradasi; Kehati menurun; konflik antar stakeholder; konversi kawasan masyarakat sekitar terabaikan (+) (-) TAMAN NASIONAL Kelestarian SDAHE; Peluang kerja untuk kesejahteraan masy; Memenuhi kebutuhan hidup Dikotomi Konservasi vs Ekonomi Kondisi kawasan Ekologi; Sosial budaya; Ekonomi MASYARAKAT Ekowisata Konservasi; Partisipasi; Edukasi, rekreasi; Ekonomi; Kendali Dikelola dengan Sistem Zonasi Kelestarian SDAHE; minat terhadap kegiatan WA meningkat; Pelibatan masyarakat bisa meningkatkan kesejahteraannya (-) (+) Kriteria Penyusunan Zonasi Zonasi Pengelolaan Taman Nasional Gambar 1.1. Kerangka pikir penyusunan zonasi CTNNB dengan pendekatan ekowisata Hasil akhir dari proses penyusunan ini adalah ditetapkannya zonasi pengelolaan. Dalam kawasan taman nasional sekurang-kurangnya terdiri dari zona inti, yang diperuntukkan pada perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya; zona rimba, kawasan penyangga antara zona inti dan zona pemanfaatan yang diperuntukan pada kegiatan pengawetan dan pemanfaatan

36 13 sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti; dan zona pemanfaatan, yang diperuntukkan pada pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengenmbangan yang menunjang pemanfaatan, kegiatan penunjang lainnya (Permenhut No 56/2006) Perumusan Masalah Sebagai kawasan yang sedang diusulkan menjadi kawasan taman nasional, pemerintah daerah harus bisa mengantisipasi dan mencegah terjadinya kesalahan pengelolaan pada kawasan CTNNB. Pemerintah daerah harus mempunyai draft perencanaan bagaimana arah pengelolaan kawasan ini kedepan, yang nantinya digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan zonasi pengelolaan dan penyusunan rencana strategis pengelolaanya sesuai dengan kondisi kawasan dan fungsi peruntukannya. Penyusunan zonasi harus melalui proses check and recheck kondisi eksisting kawasan, baik dari aspek ekologi, sosial budaya masyarakat, dan aspek ekonomi. Salah satu kendala bagi penyusunan zonasi pada kawasan CTN Nantu-Boliyohuto adalah masih kurangnya data-data tentang kondisi eksisting kawasan, yang merupakan hal penting dalam penyusunan zonasi. Hasil survey pada beberapa instansi pemerintah (Dinas Kehutanan, Bappeda, BKSDA) maupun di lokasi kawasan CTN, tidak ditemukan data-data yang akurat dan relevan. Clayton (1996), Hiola (2004) dan Dunggio (2005) melakukan penelitian hanya pada bagian kawasan SM Nantu. Sedangkan pada kawasan bagian HL Boliyohuto dan HPT Boliyohuto tidak ditemukan data eksisting dan rencana pengelolaan yang sedang berlaku. Sebagai pendekatan yang digunakan pada penyusunan zonasi, perlu dilakukan kajian kelayakan penyelenggaraan kegiatan ekowisata pada kawasan CTNNB sesuai dengan persyaratan-persyaratan ekowisata. Selanjutnya menjabarkannya ke dalam proses penyusunan kriteria dan indikator penetapan zonasi. Berdasarkan kondisi kawasan CTN Nantu-Boliyohuto, maka dapat dirumuskan permasalahan yang berkaitan dengan proses penyusunan zonasinya, yaitu:

37 14 1. Bagaimanakah kondisi eksisting ekologi dan kondisi sosial budaya masyarakat di kawasan CTN Nantu-Boliyohuto? 2. Bagaimanakah kajian CTN Nantu-Boliyohuto sebagai kawasan ekowisata? 3. Bagaimana proses penyusunan zonasi CTN Nantu-Boliyohuto? 1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan yang ada pada CTN Nantu- Boliyohuto, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan zonasi pengelolaan CTN Nantu-Boliyohuto yang didasarkan pada keadaan kondisi ekologis (biofisik) kawasan, kondisi sosial budaya masyarakat, dan potensi ekonomi, yang menuju pada pengelolaan kawasan mandiri yang berbasis ekowisata. Untuk mencapai tujuan ini ditetapkan beberapa tujuan operasional penelitian, yaitu : 1. Mengkaji kondisi ekologi dan kondisi sosial budaya masyarakat di kawasan CTN Nantu-Boliyohuto. 2. Mengkaji penilaian kawasan CTN Nantu-Boliyohuto sebagai kawasan ekowisata. 3. Menentukan zonasi kawasan CTNNB Manfaat Penelitian Secara umum, penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi pemikiran dan bahan kajian ilmu pengetahuan dan informasi kepada masyarakat, peneliti, wisatawan, pengusaha, pengelola, dan stakeholder lainnya. Secara khusus terhadap kebijakan pusat : 1. Memberikan informasi kepada pemerintah pusat tentang keberadaan CTN Nantu-Boliyohuto, yang diharapkan bisa ditindaklanjuti dengan menganggarkan dana bagi kegiatan pengembangan dan pengelolaan CTN. 2. Sebagai acuan untuk memberikan/menetapkan status hukum sebagai Taman Nasional Nantu-Boliyohuto. 3. Merupakan sumbangan kajian terhadap penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) dan penyusunan zonasi ketika kawasan ini telah ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional Nantu-Boliyohuto.

38 15 Terhadap kebijakan daerah : 1. Menindaklanjuti pengajuan kepada pemerintah pusat untuk segera menetapkan status kawasan menjadi Taman Nasional Nantu-Boliyohuto. 2. Bersama-sama dengan instansi terkait (para stakeholder) merancang peraturan daerah yang mengatur tentang pengembangan dan pengelolaan kawasan CTN Nantu-Boliyohuto Kebaruan Kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah: Mengembangkan proses/mekanisme penentuan kriteria penyusunan zonasi taman nasional dengan pendekatan yang dilakukan. Penelitian ini memadukan kriteria ekowisata sebagai pendekatannya dengan kriteria yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan yang tertuang dalam Permenhut No.56/Menhut-II/2006 tentang pedoman zonasi taman nasional. Perpaduan ini menghasilkan metodologi penyusunan zonasi taman nasional yang didasarkan pada kondisi ekologis kawasan, kondisi sosial budaya masyarakat setempat, dan potensi ekonomi kawasan, serta melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama bersama para pihak yang berkepentingan. Zonasi pengelolaan yang terbentuk akan menghasilkan program pengelolaan yang dalam pelaksanaannya dapat meminimalkan konflik antar kepentingan para stakeholder, tumpang tindihnya peruntukan dan pemanfatan kawasan, kerusakan kawasan, memberikan insentif ekonomi berupa PAD, serta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dengan tetap menjaga kelestarian keberadaan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang pada akhirnya terwujudnya sustainable development.

39 17 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taman Nasional Sejarah Taman Nasional Yellowstone National Park di Amerika Serikat yang di bangun pada tahun 1872 merupakan pelaksanaan dari konsepsi Taman Nasional yang pertama di dunia. Kemudian sejarah mencatat bahwa Yellowstone National Park ini merupakan unsur pendorong sebagai model pembentukan Taman-Taman Nasional di negara-negara lain. Namun bagi beberapa negara ada kecenderungan bervariasi didalam penerapannya, yang dikarenakan baik oleh pola pengelolaannya maupun karena keadaan geografi, kekayaan sumber daya alam, dan pandangan masyarakat terhadap lingkungan hidupnya. Pada Sidang Umum IUCN (The International Union for Conservation of Nature Resources) yang diadakan di New Delhi pada tahun 1969, menetapkan batasan Taman Nasional sebagai prinsip pokok yang harus dipunyai oleh setiap Taman Nasional, sehingga mempunyai keseragaman di tiap Negara. Dalam Protect Area Category IUCN, taman nasional termasuk dalam kategori II (1994) dan didefinisikan sebagai wilayah alamiah di daratan atau lautan yang ditunjuk untuk: 1) melindungi integritas ekologi satu atau lebih untuk kepentingan generasi kini dan yang akan datang; 2) melarang eksploitasi dan okupasi yang bertentanan dengan tujuan penunjukkannya; 3) memberikan landasan untuk penembangan spiritual, ilmu pengetahuan, rekreasi, dan kesempatan bagi pengunjung yang ramah secara ekologi dan budaya (Wiratno et al., 2004). Di Indonesia, sampai awal dekade tahun 1980-an, konsep taman nasional sebenarnya belum begitu dikenal dalam pengelolaan kawasan pelestarian alam. Undang-undang No.5 tahun 1967 menyebutkan bahwa kawasan pelestarian alam terdiri atas cagar alam, suaka margasatwa, serta hutan wisata yang terbagi lagi menjadi taman buru dan hutan wisata. Namun demikian, pemikiran kearah itu telah berkembang di jajaran Direktoret PPA, hingga pada tahun 1977 lembaga ini memunculkan kriteria taman nasional dengan definisi yang persis sama dengan kesepakatan IUCN tahun 1969, yaitu kawasan pelestarian yang luas, baik di darat maupun di laut, yang didalamnya terdapat satu atau lebih ekosistem alam yang

40 18 utuh tidak terganggu; didalamnya terdapat jenis-jenis tumbuhan atau satwa beserta habitatnya, juga tempat-tempat yang secara geomorfologis bernilai untuk kepentingan ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya, rekreasi dan pariwisata, panorama alam yang menonjol; dimana masyarakat diperbolehkan masuk kedalam kawasan untuk berbagai kepentingan tersebut. Didalam Indonesian Conservation Plan, taman nasional didefinisikan sebagai kawasan luas dan relatif belum terganggu yang memiliki nilai alam tinggi, mudah dikunjungi dan bermanfaatn bagi daerah. Sedangkan dalam UU No.5/1990 taman nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (Wiratno et al., 2004). Kriteria penunjukan suatu kawasan menjadi taman nasional tertuang dalam UU No 5/1990, Permenhut No 56/2006, PP No 28/2011, yaitu : 1. Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami; 2. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami; 3. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; 4. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam; 5. Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri Kawasan Konservasi Istilah kawasan dalam Undang Undang No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, diartikan sebagai wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya. Dalam Ensiklopedia Indonesia (Redaksi Ensiklopedia Indonesia 1983), konservasi masih diartikan sempit, yaitu perlindungan benda dan hasil produksi

41 19 dari kerusakan. Akibatnya banyak kalangan yang memandang pembangunan dan konservasi sebagai dua kutub yang bertentangan. Di satu sisi pembangunan menghendaki adanya perubahan dan di sisi lain konservasi tidak menghendaki adanya perubahan, karena perubahan dapat menimbulkan kerusakan. Pemahaman tersebut menimbulkan anggapan konservasi sebagai penghambat pembangunan. Padahal tujuan konservasi adalah menunjang pembangunan berkelanjutan. Undang Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menggunakan istilah Kawasan Lindung, yaitu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Sedangkan dalam Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya cenderung menggunakan istilah konservasi. Aoyoma (2000) mendefinisikan kawasan konservasi adalah kawasan yang ditetapkan untuk melindungi dan melestarikan sumber daya kehidupan, yang pada akhirnya menjamin kesejahteraan dan ketentraman masyarakat yang mempunyai kepentingan bersama (stakeholder) dengan pengelolaan secara berkelanjutan. Menurut Mac Kinnon et al. (1993), kawasan konservasi didefinisikan sebagai kawasan yang dilindungi karena memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu : 1) karakteristik atau keunikan ekosistem, misalnya hutan hujan tropik; 2) adanya spesies khusus yang terancam kepunahan, endemik, spesifik, dan/atau langka; 3) tempatnya memiliki keanekaragaman spesies (megabiodiversity); 4) landskap atau ciri geofisik yang bernilai estetik atau pengetahuan, misalnya glasier, air terjun; 5) fungsi perlindungan hidrologi untuk pengaturan air, erosi, dan kesuburan tanah; 6) fasilitas untuk rekreasi alam, misalnya danau, pantai, pemandangan pegunungan, satwa liar yang menarik, misalnya danau, pantai, sungai, pegunungan; dan 7) tempat peninggalan budaya, misalnya candi, kuil, atau galian purbakala. Pada tahun 1980, World Wild Fund for Nature (WWF) bekerja sama dengan International Union for the Conservation of Nature (IUCN) dan United Nations Environmental Programme (UNEP) menerbitkan dokumen Strategi Konservasi Dunia (BAPPENAS, 2003; MacKinnon et al, 1993). Dokumen yang sangat penting itu menekankan bahwa umat manusia, yang merupakan bagian dari

42 20 alam, mungkin sekali tidak mempunyai masa depan di planet bumi ini, kecuali bila alam dan sumber daya alaminya dilindungi dan dipelihara. Strategi Konservasi Dunia juga menekankan pentingnya pesan baru bahwa konservasi tidak bertentangan dengan pembangunan dimana konservasi mencakup baik perlindungan alam maupun penggunaan sumber daya alam secara rasional dan bijaksana. Karena itulah, Strategi Konservasi Dunia memberi tekanan pada tiga tujuan utama, yaitu : 1. Perlindungan proses-proses ekologi dan sistem-sistem penyangga kehidupan. Kehidupan adalah merupakan suatu sistem yang terdiri dari proses berkait satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi, yang apabila terputus akan mempengaruhi kehidupan. Agar manusia tidak dihadapkan pada perubahan yang tidak diduga yang akan mempengaruhi kemampuan pemanfaatan sumber daya alam, maka proses ekologis yang mengandung kehidupan itu perlu dijaga dan dilindungi. Perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan perlindungan mata air, tebing, tepian sungai, danau dan jurang, pengelolaan akiran sungai; perlindungan terhadap gejala keunikan dan keindahan alam, dan lain-lain. 2. Pelestarian keanekaragaman hayati dan sumber-sumber plasma nutfah. Sumber daya alam terdiri dari unsur-unsur hayati dan nonhayati (fisik dan nonfisik). Semua unsur ini saling terkait dan saling mempengaruhi. Punahnya salah satu unsur tidak dapat diganti dengan unsur lain. pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dapat dilakukan secara in-situ ataupun ex-situ. 3. Pemanfaatan sumber daya alam dan ekosistem secara lestari. Pada hakekatnya merupakan usaha pengendalian/pembatasan dalam pemanfaatan sumber daya alam sehingga pemanfaatan tersebut dapat dilakukan secara terus-menerus pada masa mendatang.

43 Jenis-Jenis Kawasan Konservasi Berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh IUCN-The World Conservation Union (MacKinnon et al.,1993), ada sepuluh jenis kawasan konservasi yang dikenal di dunia, yaitu : 1. Cagar Alam, bertujuan untuk melindungi alam dan menjaga proses alami dalam kondisi yang tidak terganggu dengan maksud untuk memperoleh contoh-contoh ekologis yang mewakili lingkungan alami, yang dapat dimanfaatkan bagi keprluan studi ilmiah, pemantauan lingkungan, pendidikan, dan pemeliharaan sumberdaya plasma nutfah dalam suatu keadaan dinamis dan berevolusi; 2. Taman Nasional, bertujuan untuk melindungi kawasan alami dan berpemandangan indah yang terpenting secara nasional atau internasional serta memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan, dan rekreasi; 3. Monumen Alam/Landmark Alam, bertujuan untuk melindungi cirri-ciri alami yang bernilai secara nasional karena menarik perhatian atau mempunyai karakteristik yang unik; 4. Suaka Margasatwa, bertujuan untuk menjamin kondisi alami yang perlu bagi spesies, kumpulan spesies, komunitas hayati, atau cirri-ciri lingkungan fisik yang penting secara nasional, mungkin diperlukan campur tangan manusia yang spesifik untuk menjaga kelestariannya; 5. Bentang Alam, bertujuan untuk melindungi dan menjaga bentang alam yang penting secara nasional, yang memiliki karakteristik interaksi yang serasi antara manusia dan lingkungannya; 6. Cagar Sumberdaya, bertujuan untuk melindungi sumberdaya alam kawasan tersebut bagi penggunaan di masa depan dan mencagah kegiatan pembangunan yang dapat mempengaruhi sumberdaya; 7. Cagar Budaya, bertujuan untuk memungkinkan berlangsungnya cara hidup masyarakat yang serasi dengan lingkungannya; 8. Kawasan Pengelolaan Sumberdaya Ganda, bertujuan untuk menyediakan produksi air, kayu, satwa, padang penggembalaan dan obyek wisata secara berkelanjutan, dengan pelestarian alam terutama ditujukan untuk mendukung kegiatan ekonomi;

44 22 9. Cagar Biosfir, bertujuan untuk melestarikan keanekaragaman dan keutuhan komunitas tumbuhan dan satwa dalam ekosistem alaminya bagi penggunaan masa sekarang dan masa depan, dan untuk menjaga keanekaragaman plasma nutfah dari spesies yang merupakan bahan baku bagi evolusinya; dan 10. Taman Warisan Dunia, bertujuan untuk melindungi bentang alam yang dianggap memiliki nilai universal yang menonjol dan merupakan daftar pilihan dari kawasan alami dan budaya yang unik di bumi. Di Indonesia, jenis-jenis kawasan konservasi disebutkan dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yaitu: 1. Kawasan suaka alam yang memegang peranan penting dalam perlindungan sistem penyangga kehidupan selain berfungsi sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, terdiri atas : 1). Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami; dan 2) Suaka Margasatwa merupakan kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Fungsi pokok suaka margasatwa adalah sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan, satwa beserta ekosistemnya dan sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Di dalam suaka margasatwa dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya. 2. Kawasan pelestarian alam yang terdiri atas : 1) Taman nasional, yaitu kawasan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang digunakan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman nasional ditata dalam tiga zona, yaitu zona inti, zoba rimba, dan zona pemanfaatan. Zona inti dilindungi secara mutlak dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Zona rimba berfungsi sebagai penyangga zona inti dan zona pemanfaatan merupakan

45 23 bagian kawasan yang dapat dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata; 2). Taman Wisata Alam adalah kawasan yang tujuan utamanya untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam; dan 3) Taman Hutan Raya (Tahura) adalah kawasan untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli atau bukan asli (eksotik) yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Setiap kategori kawasan konservasi memiliki fungsi, karakteristik, dan manajemen yang berbeda karena memiliki tujuan penetapan dan pengelolaan yang berbeda. Akan tetapi semua kawasan konservasi mempunyai fungsi pokok yang sama yaitu : 1. sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; 2. sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya; 3. untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya Pemanfaatan Kawasan Konservasi Untuk mengakomodir adanya sejumlah masyarakat di dalam dan sekitar hutan dan kawasan konservasi yang masih menggantungkan hidupnya pada hutan dan hasil hutan, pemerintah mengeluarkan beberapa bentuk kebijakan antara lain: 1. Pada kawasan hutan produksi, masyarakat lokal diperbolehkan memungut hasil hutan (kayu, rotan, dan hasil hutan lainnya) untuk kepentingan hidup sehari-hari. 2. Pada kawasan konservasi (Taman Nasional) disediakan zona pemanfaatan tradisional. 3. Adanya program HPH Bina Desa Hutan sebagai upaya meningkatkan kehidupan masyarakat sekitar hutan Pemanfaatan kawasan konservasi diluar fungsinya tidak jarang menimbulkan berbagai tekanan terhadap keutuhan kawasan dan potensinya. Tidak ada kawasan konservasi yang terbebas dari kegiatan illegal, baik berupa penebangan liar, perburuan liar, perambahan hutan untuk peladangan dan pemukiman, eksplorasi dan eksploitasi bahan tambang, maupun konflik

46 24 penggunaan lahan dan penggunaan lainnya. Tekanan terhadap kawasan konservasi semakin diperparah karena pihak yang berwenang mengelola kawasan konservasi berjalan di tengah kompleksnya konflik kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan juga antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Masalah ekologis terjadi pula, terutama disebabkan kesalahpahaman dan ketidakpedulian terhadap ekologi didalam merencanakan alokasi dan pemanfaatan lahan. Konflik-konflik kepentingan antara pembangunan dan konservasi akhirnya menghasilkan kesan bahwa kawasan konservasi hanya merupakan kawasan sisa dari alokasi lahan kegiatan lain. Dari sudut pandang keefektifan pengelolaannya, keberadaan kawasan konservasi di Indonesia masih belum dikelola secara optimal. IUCN (2003) dalam Soekmadi (2003) telah menganalisis berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan konservasi, khususnya di negara berkembang dan menawarkan sebuah pergeseran paradigma yang mendasar, seperti yang dikemukakan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi Topik Paradigma Lama Paradigma Baru Tujuan 1. Hanya untuk tujuan konservasi 2. Dibangun utamanya hanya untuk perlindungan hidupan liar yang istimewa 3. Dikelola khusus untuk pengunjung wisatawan 4. Nilai utamanya sifat liar 5. About protection 1. Mencakup tujuan sosial dan ekonomi 2. Dikembangkan juga untuk alasan ilmiah, ekonomi, dan budaya 3. Dikelola bersama masyarakat lokal 4. Mencalkup nilai budaya dari sifat liar yang dilindungi 5. Also about restoration, rehabilitation, and social economic purposes Pengelolaan Oleh pemerintah pusat Melibatkan para pihak yang berkepentingan Masyarakat lokal Cakupan pengelolaan Persepsi Teknik pengelolaan Pendanaan 1. Perencanaan & pengelolaan memusuhi masyarakat 2. Pengelolaan tanpa memperdulikan opini pendapat masyarakat 1. Dikembangkan secara terpisah 2. Dikelola seperti pulau biologi 1. Dipandang utamanya sebagai asset nasional (milik pemerintah) 2. Dipandang hanya untuk kepentingan nasional 1. Pengelolaan dilakukan sebagai respon jangka pendek 2. Orientasi pengelolaan hanya difokuskan pada orientasi teknis Dibayarkan hanya dari pajak (taxpayer) oleh pemerintah Dikelola oleh ilmuan dan para ahli SDA Kemampuan manajemen Sumber : IUCN, 2003 dalam Soekmadi, Dikelola bersama untuk dan dikelola oleh masyarakat setempat 2. Dikelola dengan mengakomodasikan kepentingan masyarakat setempat 1. Direncanakan & dikembangkan sebagai bagian dat sistem nasional, regional, & internasional 2. Dikembangkan dalam bentuk jaringan (PAN Protected Area Network) 1. Dipandang sebagai asset public 2. Dipandang sebagai kepentingan internasional 1. Pengelolaan diadaptasikan menurut perspekti jangka panjang 2. Orientasi pengelolaan juga mempertimbangkan aspek politik Dibiayai dari berbagai sumber keuangan yang memungkinkan 1. Dikelola oleh multi-skilled individuals 2. Dikembangkan dari kearifan lokal

47 Peran Serta Masyarakat Terhadap Konservasi Di beberapa kawasan konservasi, seperti pada TN Bukit Tigapuluh, TN Siberut, TN Kayan Mentarang, dan TN Lorentz, peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk yang berada dalam kawasan taman nasional, masih sangat dominan. Masyarakat ini umumnya memiliki kaitan sejarah dan hubungan sosal-ekonomi-religius yang erat dengan kawasan-kawasan taman nasional tersebut. Hubungan ini sudah terbangun selama puluhan tahun, bahkan ratusan tahun, jauh sebelum adanya penetapan kawasan tersebut menjad taman nasional, sehingga taman nasional telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat ini. Analisis historis terhadap peran beberapa sistem pengetahuan lokal dalam berbagai bentuk praktek penggunaan lahan oleh masyarakat tradisional menunjukkan bahwa telah terdapat cukup bukti pentingnya mengadopsi dan mengintegrasikan sistem-sistem tersebut dalam upaya pengelolaan kawasan konservasi atau upaya-upaya yang dikembangkan dalam starategi nasional (Wiratno et al., 2004). Paradigma konservasi nasional saat ini harus diusahakan berpihak pada masyarakat lokal melalui berbagai instrumen kebijakan yang berorientasi pada pembagian keuntungan serta pembagian hak dan tanggung jawab yang adil dalam pengelolaan kawasan maupun produk-produk konservasi. Konsekuensinya, strategi konservasi harus diarahkan kepada upaya-upaya yang berproses bukan top-down, tetapi lebih mengutamakan dialog, penyelarasan visi dan persepsi yang semuanya memerlukan dukungan berbagai disiplin ilmu sosial. Dengan demikian konservasi bukan lagi menjad monopoli kaum konservasonis, rimbawan, atau pencinta lingkungan saja, karena isu dan masalah dalam pengelolaan kawasan konservasi sangat kompleks dan melebar pada aspek-aspek sosial-budaya dan ekonomi, psikologi, sejarah, hukum dan politik, yang masing-masing kasusnya sangat bervariasi. Pemberdayaan dan peran serta masyarakat terhadap pengelolaan kawasan konservasi telah telah diakomodir oleh pemerintah, seperti yang tercantum pada perundangan dan peraturan pemerintah, antara lain:

48 26 1. Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam pada Pasal 49 (pemberdayaan masyarakat) dan pasal 50 (peran serta masyarakat). 2. Peraturan Menteri Kehutanan No 56 Tahun 2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional pada Pasal 19 (peran serta masyarakat) 3. Peraturan Menteri Kehutanan No P.19/Menhut-II/2004 Tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam pada Pasal 4 (Pelaksanaan kolaborasi pengelolaan). 4. Undang-Undang No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan pada Pasal 34, pasal 37 (pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan), pasal 47, pasal 48 (perlindungan hutan dan konserasi alam), pasal 60, pasal 62, pasal 64 (pengawasan), pasal 67 (masyarakat hukum adat), pasal 68, pasal 69, pasal 70 (peran serta masyarakat), pasal 71, pasal 72 (gugatan perwakilan). 5. Undang-Undang No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada Pasal 37 (Peran serta masyarakat) Peranan dan Manfaat Taman Nasional Taman nasional pada setiap negara memegang peranan yang berbeda, tergantung pada keadaan dan perkembangan sosoial ekonomi negara yang bersangkutan serta tergantung pada kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya. Di beberapa negara, pengelolaan taman nasional ditujukan langsung pada perlindungan dan pelestarian satwa dan habitatnya, dimana dengan satwa indah yang dapat berkembang biak menarik sejumlah wisatawan asing sehingga mendatangkan devisa bagi Negara. Negara-negara Afrika Timur (misalnya Kenya dan Tanzania) merupakan Negara yang kaya akan berbagai jenis satwa dengan padang rumputnya, sehingga peranan taman nasional di daerah itu diarahkan pada pemanfaatan satwanya. Negara lain menempatkan kegiatan pengelolaannya pada pelestarian dan perlindungan pemandangan alami yang indah dan menakjubkan dengan keunikan formasi geologi dan geomorfologinya, sehingga memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk menikmati kehidupan spiritual dan menyaksikan kedasyatan alam sebagai warisan nasional negara itu. Amerika serikat mempunyai banyak taman nasional yang dikelola dengan tujuan demikian. Ada Negara yang karena kekurangan tempat-tempat berpemandangan indah dan

49 27 kering akan satwa yang unik dan khas, mengelola taman nasionalnya dengan menitikberatkan perlindungan dan pelestarian ekosistem yang masih murni dan asli, dimana masih terdapat keseimbangan alami antara flora, fauna dan mikro organisme untuk tujuan pendidikan, penelitian dan budaya (Wiratno et al., 2004). Bagi Indonesia yang kaya akan keanekaragaman dan keunikan jenis flora dan fauna serta melimpahnya sumber daya alam dan tersebarnya pemandangan alam yang indah mempunyai potensi yang baik dalam mengelola taman nasionalnya. Pada Taman Nasional Ujung Kulon, pengelolaannya terutama pada badak bercula satu yang sangat terkenal itu. Demikian pula pada Taman Nasional Komodo yang mempunyai biawak komodo yang hanya satu-satunya di dunia. Taman nasional Baluran ditujukan untuk wisata safari, yang mempunyai kondisi yang hampir sama dengan Kenya dan Tanzania. Taman nasional Bromo Tengger Semeru, dengan pemandangan alam serta sumber daya alam berupa kawah dan laut pasirnya, adat istiadat Tengger dan gunung berapi yang selalu mengepulkan asapnya, maka pengelolaannya ditujukan untuk rekreasi (wisata). Wiratno et al. (2004) menggambarkan alternatif kriteria pengelompokan dan arah pengelolaan Taman Nasional Indonesia seperti pada Gambar 2.1. Taman Nasional Bukit tigapuluh Kayan Mentarang Betung Kerihun Gunung Palung Lorentz Teluk Cendrawasih Wakatobi RAa Watumohai Sibert Takabonerate Bukit baka-bukit Raya Lore Lindu Karimunjawa BN Wartabone Gunung Leuser Kerinci Seblat Berbak Way Kambas Kutai Kepulauan Seribu G. Halimun-Salak Danau Sentarum Bukit Barisan Tanjung Putting Palung Bunaken Meru Betiri Komodo Bali Barat G. Gede-Pangrango Bromo Tengger Baluran Ujung Kulon Kelimutu Alas Purwo Kriteria Pengelompokan Tingkat ketergantungan masyarakat tradisional Tingkat konflik antarsektor dengan masyarakat Tingkat Pengelolaan Arah Pengelolaan bersama Manajemen Kolaboratif Kemandirian pengelolaan Pengelolaan masyarakat lokal Gambar 2.1. Alternatif pengelompokan & arah pengelolaan TN (Wiratno et al., 2004)

50 Perubahan Kebijakan Taman Nasional Sejak 90 yahun yang lalu, Indonesia telah memiliki pengelolaan kawasan konservasi, dan pada tahun 1990 taman nasional secara sah ditetapkan sebagai bagian dari sistem kawasan konservasi dilindungi (Rhee et al., 2004 dalam Supriyanto et al., 2010). Undang-undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan ekosistemnya dan Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan kerangka kerja dasar hukum yang sah bagi pengelolaan taman nasional di Indonesia. Substansi utama tentang pengelolaan dari kedua undang-undang tersebut yaitu: 1. Tujuan utama dari pengelolaan taman nasional adalah pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, namun demikian pemanfaatan terbatas dapat dilakukan untuk pendidikan, penelitian, menunjang kegiatan budidaya, dan pariwisata alam. 2. Pengelolaan taman nasional dikelola oleh Balai Taman Nasional di bawah Departemen Kehutanan. 3. Sistem zonasi digunakan dalam pengelolaan taman nasional. 4. Tidak ada zona yang diperuntukkan bagi pemukiman, sawah, pemanenan sumberdaya, atau penggunaan lahan produktif lainnya. Kedua undang-undang tersebut mempertimbangkan bahwa konservasi bebas dari faktor manusia dan memastikan bahwa semua kegiatan pemanfaatan sumberdaya oleh masyarakat setempat dianggap ilegal. Hasil Konggres Taman Nasional di Durban Yordania tahun 2003 antara lain menyatakan bahwa setiap entitas kawasan konservasi harus memberikan manfaat riil bagi sosial ekonomi masyarakat dan para pihak, serta ekspektasi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan dapat memberikan alternatif mata pencaharian mereka. Setahun kemudian terbit Permenhut No P.19 Tahun 2004 tentang kolaboratif, yang mengakui semua pelaku terkait, termasuk masyarakat setempat sebagai pihak yang berkepentingan yang sah pada pengelolaan taman nasional. Tahun 2006 terbit Permenhut No. P.56 tentang pedoman zonasi taman nasional yang menjadi landasan terbentuknya zona khusus, dimana pemanfaatan lahan yang menyokong mata pencaharian masyarakat setempat dan telah ada sejak sebelum kawasan tersebut menjadi kawawsan taman nasional secara resmi diakui (Dephut, 2006).

51 Konsep Perwilayahan (Zonasi) Berbagai istilah tentang kewilayahan seperti zona, ruang, kawasan, area, daerah, wilayah, dan istilah-istilah sejenis, banyak digunakan dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbeda-beda (Rustiadi et al., 2004). Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang membedakan pengertian ruang, wilayah, dan kawasan. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat usaha manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional, jadi setidaknya wilayah harus memiliki unsur lokasi, bentuk, luas, dan fungsi. Sedangkan kawasan adalah dengan fungsi utama lindung atau budidaya. Sementara menurut Rustiadi et. al (2004), wilayah didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas yang spesifik (tertentu) dimana bagian-bagian dari wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Dari definisi tersebut, terlihat bahwa tidak ada batasan yang spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat meaningfull, baik untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian, maupun evaluasi. Dengan demikian, batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (berubah-ubah). Sementara itu, pengertian daerah walaupun tidak disebutkan secara eksplisit namun umumnya dipahami sebagai unit wilayah berdasarkan aspek administratif. Konsep wilayah yang paling klasik (Richardson, 1969; Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et.al., 2004) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wiayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform atau homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Namun cara klasifikasi konsep wilayah menurut Hagget et al. ini ternyata kurang mampu menjelaskan kompleksitas atau keragaman konsep-konsep wilayah yang ada. Menurut Rustiadi et. al. (2001) kerangka klasifikasi konsep wilayah yang lebih

52 30 mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah yang dikenal selama ini adalah : 1) wilayah homogen, 2) wilayah sistem/fungsional, dan 3) wilayah perencanaan. Dalam pendekatan klasifikasi konsep wilayah yang terakhir, wilayah nodal dipandang sebagai salah satu bentuk dari konsep wilayah sistem. Sedangkan dalam kelompok wilayah perencanaan, terdapat konsep wilayah administratifpolitis dan wilayah perencanaan fungsional. Pengembangan konsep wilayah dan penerapannya pada dunia nyata akan menghasilkan suatu perwilayahan (zonasi). Permukaan bumi akan terbagi-bagi atas berbagai wilayah sesuai dengan konsep wilayahnya. Perbedaan konsep wilayah yang diterapkan menghasilkan perbedaan unit-unit atau batas-batas wilayah yang dihasilkansistematika pembagian dan keterkaitan berbagai konsep wilayah dapat dilihat dalam Gambar 2.2. Homogen Nodal (pusat - hinterland ) Sistem Sederhana Desa - Kota Budidaya - Lindung Wilayah Sistem/ Fungsional Sistem Komplek Sistem ekonomi: Agropolitan, kawasan produksi, kawasan industri Sistem ekologi: DAS, hutan, pesisir Sistem Sosial - Politik: cagar budaya, wilayah etnik Perencanaan/ Pengelolaan Umumnya disusun/dikembangkan berdasarkan: Konsep homogen/fungsional: KSP, KATING, dan sebagainya Administrasi-politik: propinsi, kabupaten,kota Gambar 2.2. Sistematika konsep-konsep wilayah Pada awalnya zonasi muncul pada saat adanya krisis urbanisasi dalam pengelolaan kota diawal era industrialisasi di kota-kota di Eropa dan Amerika Utara terutama yang berhubungan dengan kesehatan, sanitasi, dan masalah transportasi. Zonasi (zoning) adalah istilah dari Amerika Utara untuk sistem pengaturan penggunaan lahan. New York City adalah kota yang pertama mengadopsi pengaturan zoning pada tahun 1916 sebagai reaksi atas pembangunan

53 31 The Equitable Building yang terletak di Brodway 120. Tower bangunan tersebut telah melampaui dan menghalangi pemukiman di sekitarnya sehingga mengurangi kualitas hidup penduduk. Untuk menentukan standar minimum sinar dan udara untuk jalan yang makin gelap akibat makin tingginya bangunan dan memisahkan kegiatan yang dianggap tidak sesuai, dibuatlah pengaturan zoning (zoning regulation). Pengaturan ini ditulis oleh suatu komisi yang diketuai oleh Edward Basset dan ditandatangani oleh Walikota John Purroy Mitchel yang kemudian menjadi blueprint untuk semua wilayah lainnya di negara tersebut. Edward Basset kemudian menulis tentang The Standart State Zoning Enabling Act yang diterima oleh hampir semua negara bagian tanpa perubahan. Diakhir era tahun 1920-an sebagian besar negara bagian telah mengembangkan satu set zoning regulation sesuai kebutuhan masing-masing. Tahun 1926 Mahkamah Agung menetapkan bahwa zoning sebagai hak dari Negara-negara bagian di USA untuk dikenakan pada pemilik lahan ( Beberapa pengertian zonasi dapat dilihat dari pernyataan-pernyatan para peneliti, yaitu: zonasi merupakan metode klasifikasi, alat yang ampuh untuk mendeskripsikan fenomena, termasuk didalam menggambarkan hubungan antara manusia dengan sumber daya alam yang dimanfaatkannya di atas permukaan bumi. Keragaman dan perbedaan karakteristik sumberdaya serta perilaku dan cara-cara manusia memanfaatkannya di atas bumi ini dapat dijelaskan dan disederhanakan dengan pengklasifikasian spasial (Rustiadi et. al, 2004). Sejalan dengan hal itu, McKinnon et al. (1993) menyatakan bahwa zonasi merupakan suatu kebijaksanaan untuk membagi kawasan sesuai dengan potensi dan karakteristik sumberdaya alam dan lingkungan untuk memenuhi prinsip-prinsip kelestarian dan pemenuhan kebutuhan manusia secara lestari. Walter (1986) dalam Bos (1993) menyatakan bahwa zonasi merupakan metode perencanaan struktur wilayah dengan cara mendesain unit area untuk tujuan khusus. Dalam pengelolaan taman nasional, zonasi bukan berarti melarang penggunaan kawasan dalam zona tertentu, tetapi zonasi menandakan ada perbedaan dalam hal tujuan pengelolaan pada bagian-bagian taman nasional (zona) yang berbeda. Selain itu zonasi memungkinkan pengawasan yang lebih jelas, spesifik dan efektif. Hal ini berhubungan dengan tujuan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik.

54 32 Tujuan dari zonasi yaitu: meminimalkan penggunaan lahan yang tidak sesuai, meningkatkan pelayanan terhadap fasilitas yang bersifat publik (umum), menjaga keseimbangan kehidupan masyarakat, dan mendukung peningkatan ekonomi. Zonasi memberikan certainty, legitimacy, dan accountability dalam penggunaan dan pemanfaatan lahan. Tetapi zonasi juga tidak dapat meramalkan keadaan dimasa depan secara rinci, sehingga harus dilakukan rezoning. Zonasi ditentukan sebagai hasil analisis spasial pengelompokkan yang mempunyai kemampuan dan karakteristik yang sama, dengan tujuan memberikan arah pengelolaan dan perencanaan menyeluruh pada suatu wilayah, yang membagi wilayah tersebut ke dalam zona-zona yang sesuai dengan peruntukan dan kegiatan yang bersifat saling mendukung (compatible) serta memisahkannya dari kegiatan yang saling bertentangan (incompatible) (Rustiadi et. al, 2004). Lebih lanjut dikatakan bahwa penentuan zona tersebut difokuskan berdasarkan kegiatan utama dan prioritas pemanfaatan sumberdaya guna mempermudah pengendalian dan pemanfaatan. Rencana zonasi menjelaskan fokus kegiatan dan nama zona yang dipilih berdasarkan kondisi dan kegiatan yang diizinkan atau dapat dilakukan dengan persyaratan tertentu. Kegiatan bersyarat tersebut tidak perlu ditujukan untuk suatu zona tetapi pada waktu yang bersamaan dapat dipertimbangkan berkesinambungan pada suatu zona khusus. Penetapan rencana zonasi dimaksudkan untuk memelihara keberlanjutan sumberdaya dalam jangka panjang serta mengeliminir berbagai faktor tekanan terhadap ekosistem akibat kegiatan yang tidak sesuai (incompatible). Penyusunan rencana zonasi dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu 1) penyusunan rencana zonasi mempertimbangkan kebijakan pembangunan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan daerah, kepentingan masyarakat dan hak-hak ulayat, serta kepentingan yang bersifat khusus; 2) pendekatan bioekoregion dimana ekosistem dibentuk oleh sub-ekosistem yang saling terkait satu sama lainnya, oleh sebab itu kombinasi penggunaan data biogeofisik yang menggambarkan kondisi bio-ekoregion merupakan persyaratan yang dibutuhkan (necessary condition) dalam menetapkan zona-zona yang akan dipilih; dan 3) dilakukan melalui pengumpulan data dan informasi yang dapat digali dari persepsi masyarakat yang hidup di sekitar ekosistem tersebut, terutama kontek historis

55 33 mengenai kejadian yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya dari masa lampau sampai saat ini, serta implikasinya terhadap keberlanjutan sumberdaya tersebut. Penetapan zona harus mencerminkan kenyataan yang ada di lapangan dengan mempertimbangkan serangkaian data sebagai berikut: bio-ekoregion wilayah, kesesuaian dan peruntukan sumberdaya, penggunaan masa lalu, sekarang dan mendatang, alokasi sumberdaya, kepekaan lingkungan, dan keterkaitan zonasi dengan pengembangan peruntukannya dan keterkaitannya dengan zona lainnya yang berdekatan. Zona pengelolaan merupakan alat bagi pengelola kawasan konservasi untuk memisahkan kawasan yang pemanfaatannya bertentangan serta untuk mengelola kawasan dengan manfaat ganda Zoning regulation Zoning regulation adalah ketentuan yang mengatur klasifikasi zona, pengaturan lebih lanjut mengenai pemanfaatan kawasan, dan prosedur pelaksanaannya, yang mencakup definisi hukum, standart, pernyataan kebijakan, dan prosedur untuk memandu aparat daerah dan pemilik lahan dalam pengembangan dan pembangunan. Materi zoning regulation bertujuan untuk mendeskripsikan zona penggunaan lahan yang berbeda-beda, menjelaskan ketentuan aturan yang diterapkan pada setiap zona, menata prosedur untuk mengadministrasikan dan mengubah peraturan zoning (zoning regulation). Fungsi utama zoning regulation adalah sebagai instrumen pengendalian pembangunan (peraturan yang memuat prosedur pelaksanaan pembangunan sampai pada tatacara pengawasannya), sebagai pedoman penyusunan rencana operasional (menjadi jembatan dalam penyusunan rencana tata runag yang bersifat operasional, memuat ketentuan-ketentuan tentang penjabaran rencana yang bersifat makro kedalam rencana yang bersifat submakro sampai pada rencana rinci), dan sebagai panduan teknis pengembangan dan pemanfaatan lahan (mencakup tataguna lahan, intensitas pembangunan, tata bangunan, prasarana minimum, dan standar perencanaan). Kelengkapan dari zoning regulation terdiri dari : 1. Zoning text/zoning statement/legal text: berisi aturan aturan (regulation), dan menjelaskan tentang tata guna lahan dan kawasan, permitted and conditional

56 34 uses, minimum lot requirements, standart pengembangan, administrasi pengembangan zoning 2. Zoning map : berisi pembagian blok peruntukan (zona), dengan ketentuan aturan untuk tiap blok peruntukan tersebut, dan menggambarkan peta tata guna lahan dan lokasi tiap fungsi lahan dan kawasan Tujuan zoning regulation adalah: 1)menjamin bahwa pembangunan yang akan dilaksanakan dapat mencapai standart kualitas lokal minimum (health, safety and welfare); 2) tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia, perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan, dan mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan. Di Indonesia, zoning regulation diatur dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Untuk kawasan konservasi diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, dan khusus untuk taman nasional diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional Zonasi Taman Nasional Pemilihan lokasi untuk dijadikan suatu zona dalam suatu taman nasional sangat tergantung pada kekhasan, situasi dan kondisi kawasan yang dikelola. Nikijuluw (2002) menyusun pemilihan lokasi didasarkan pada : 1. Alternatif lokasi harus diterima mayoritas masyarakat secara, sosial, budaya dan politik. 2. Diterapkan secara bertahap agar masyarakat secara perlahan dapat menyesuaikan kegiatan pemanfaatan dengan sesuatu yang baru serta memberikan ruang terhadap pengelola untuk melihat dan mengevaluasi dampak negatif yang terjadi. 3. Pendekatan manajemen harus dapat disesuaikan dengan perubahan kondisi biologi dan ekonomi. 4. Penerapannya berdasarkan efisiensi dan inovasi, masyarakat harus didorong dan dimotivasi untuk melakukan pendekatan manajemen yang baru, dengan

57 35 harapan bisa memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. 5. Pengelola harus mempunyai dana yang cukup untuk menjalankan peraturan yang dibuatnya sehingga manajemen yang baru dapat diimplementasikan dengan baik. 6. Ada implikasi terhadap tenaga kerja, pengangguran dan keadilan. Pendekatan manajemen yang baru harus lebih adil dan menguntungkan semua pihak, tidak hanya menguntungkan pihak tertentu. Menurut Philips (2002), pada dasarnya tidak ada suatu formula khusus untuk menentukan zonasi. Perencana kawasan taman nasional harus memulainya dengan dasar tujuan pengelolaan yang telah ditetapkan. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan zonasi adalah sebagai berikut : 1. Perlindungan biodiversitas yang bernilai tinggi. 2. Batasan-batasan yang terkait dengan lanskap dan perbedaan ekologi, seperti kelerengan, jenis tanah, hidrologi, dan nilai lanskap. 3. Penyediaan ajang bagi pengunjung untuk mencari pengalaman yang bervariasi. 4. Eliminasi atau minimasi kegiatan dan pemanfaatan yang merusak sumber daya yang ada di dalam kawasan. 5. Kapabilitas kawasan untuk mendukung berbagai macam keinginan pemanfaatan dan pembangunan. 6. Hasil proses partisipasi atau konsultasi publik. 7. Kebijakan pemerintah yang terkait dengan penggunaan lahan. 8. Pemanfaatan oleh masyarakat setempat yang telah ada. Salm dalam Bengen (2001) menjabarkan kriteria penentuan suatu lokasi zona berdasarkan kriteria : 1. Kriteria ekologi: nilai suatu ekosistem dan jenis biota dapat dilihat dari kriteria: a. Keanekaragaman hayati; didasarkan pada keragaman atau kekayaan ekosistem, habitat, komunitas dan jenis biota. Lokasi yang sangat beragam dan harus mempunyai nilai paling tinggi.

58 36 b. Alami; didasarkan pada tingkat degradasi. Lokasi yang terdegradasi mempunyai nilai yang rendah, dan sedikit berkontribusi dalam prosesproses biologis. c. Ketergantungan; didasarkan pada tingkat ketergantungan spesies pada lokasi, atau tingkat dimana ekosistem tergantung pada proses-proses ekologis yang berlangsung di lokasi. d. Keterwakilan; didasarkan pada tingkat dimana lokasi mewakili semua habitat, proses ekologis, komunitas biologi, ciri geologi atau karakteristik alam lainnya. e. Keunikan; didasarkan keberadaan suatu spesies endemik atau yang hampir punah. f. Integritas; didasarkan pada tingkat dimana lokasi merupakan suatu unit fungsional dari entitas ekologi. g. Produktivitas; didasarkan pada tingkat dimana proses-proses produktif di lokasi memberikan manfaat atau keuntungan bagi biota atau manusia. h. Kerentanan; didasarkan pada kepekaan. 2. Kriteria sosial: manfaat sosial dan budaya pesisir dapat dilihat dari kriteria: a. Penerimaan masyarakat; didasarkan pada tingkat dukungan masyarakat lokal. b. Kesehatan Masyarakat; didasarkan pada tingkat dimana penetapan kawasan konservasi dapat membantu mengurangi pencemaran lingkungan atau penyakit yang berpengaruh pada kesehatan masyarakat. c. Rekreasi; didasarkan pada tingkat dimana lokasi dapat digunakan untuk rekreasi bagi penduduk disekitar. d. Budaya; didasarkan pada nilai sejarah, agama, seni atau nilai budaya lain dari lokasi. e. Estetika; didasarkan pada nilai keindahan lokasi. f. Konflik kepentingan; didasarkan pada tingkat dimana kawasan konservasi dapat berpengaruh pada aktifitas masyarakat lokal. g. Keamanan; didasarkan pada tingkat bahaya dari lokasi bagi manusia karena adanya erosi dan hambatan lainnya. h. Aksesibilitas; didasarkan pada kemudahan mencapai lokasi.

59 37 i. Kepedulian masyarakat; didasarkan pada tingkat dimana monitoring, penelitian, pendidikan atau pelatihan di dalam lokasi dapat berkontribusi pada pengetahuan, apresiasi nilai-nilai lingkungan dan tujuan konservasi. j. Konflik dan kompatibilitas; didasarkan pada tingkat dimana lokasi dapat membantu menyelesaikan konflik antara kepentingan sumberdaya alam dan aktifitas manusia, atau tingkat dimana kompatibilitas antara sumberdaya alam dan manusia dapat dicapai. 3. Kriteria ekonomi: manfaat ekonomi pesisir dapat dilihat dari kriteria: a. Spesies penting; didasarkan pada tingkat dimana spesies penting komersial tergantung pada lokasi. b. Kepentingan; didasarkan pada jumlah masyarakat yang tergantung pada lokasi dan ukuran hasil sumberdaya alam. c. Bentuk ancaman; didasarkan pada luasnya perubahan pola pemanfaatan yang mengancam keseluruhan nilai lokasi bagi manusia. d. Manfaat ekonomi; didasarkan pada tingkat dimana perlindungan lokasi akan berpengaruh pada ekonomi lokal dalam jangka panjang. e. Pariwisata; didasarkan pada nilai keberadaan atau potensi lokasi untuk pengembangan pariwisata. Dalam pengelolaan kawasan taman nasional, zonasi digunakan untuk mendefinisikan tujuan spasial penggunaan ruang dan pembatasan, dalam pemanfaatan sumberdaya alam (Portman, 2007). Umumnya zonasi taman nasional terdiri dari zona inti, zona rimba sebagai buffer dari zona inti, dan zona pemanfaatan (Sabatini et al, 2007;. Day, 2002; Bohnsack, 1996). Zonasi dapat dilakukan dengan menggunakan analisis multikriteria (Keisler dan Sundell, 1997; Geneletti, 2001). Analisis multikriteria adalah perangkat pengambilan keputusan yang dikembangkan untuk masalah-masalah kompleks multikriteria yang mencakup aspek kualitatis dan atau kuantitatif dalam proses pengambilan keputusan. Pada penelitian/penyusunan zonasi dengan teknik analisis multikriteria, selalu menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam membagi wilayah suatu kawasan ke dalam zona-zona yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan karena zonasi selalu berhubungan dengan spasial yang bersifat distribusi geografiis (Villa et al. 2002). Beberapa penelitian yang menggunakan

60 38 analisis multi kriteria berbasis SIG antara lain dapat dilihat pada Tabel 2.2. Beberapa peneliti lainnya melakukan zoning dengan menggunakan metode Sistem Informasi Geografis dan pengindraan jauh (Zafar et al., 2011), dengan kriterianya adalah: ketinggian, jarak dari jalan, jarak dari sungai, jarak dari masyarakat, kelerengan, dan penggunaan lahan. Tabel 2.2. Daftar Penelitian Penyusunan Zonasi di Kawasan Konservasi No Nama Topik dan Lokasi Tahun 1 Boteva, et al. Evaluasi & Pemetaan Habitat Konservasi dengan menggunakan SIG di Creta Yunani Genneletti Pengambilan keputusan berbasis SIG untuk mengidentifikasi prioritas konservasi alami di 2004 lembah Alpen 3 Ridgley & Heil Perencanaan zona penyangga pada kawasan konservasi dengan menggunakan aplikasi 1998 multikriteria di TN Izta-Popo Mexico 4 Hjortso, et al. Aplikasi multikriteria untuk menyusun pengelolaan kawasan lindung dan kawasan penyangga Villa, et al. Zonasi kawasan konservasi laut dengan menggunakan analisis multikriteria di taman 2002 nasional Laut Pulau Asinara Italia 6 Portman Rancangan zonasi tapal batas taman nasional laut Crossman Optimalisai zonasi taman nasional laut dengan menggunakan sistem pendukung keputusan Zonasi kawasan konservasi untuk perlindungan dan Geneletti & Van pemanfaatan, dengan menggunakan analisis Duren multikriteria Hermawan, et al. Pemanfaatan ruang dan lahan di TN Gunung Ciremai 2005 Zonasi taman nasional di Indonesia diatur dalam Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, yaitu suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan-rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas antar zona, dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Sedangkan Zona Taman Nasional adalah wilayah di dalam kawasan taman nasional yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat (Tabel 2.3. dan Tabel 2.4.). Adapun tahapan zonasi taman nasional digambarkan pada Gambar 2.3.

61 39 Tabel 2.3. Batasan dan kreiteria tipe zona pada taman nasional Tipe Zona Batasan Kriteria Inti Rimba Pemanfaatan Tradisional Bagian dari kawasan taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas Bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan. Bagian dari kawasan taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya. Bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan SDA Bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu Rehabilitasi dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan Bagian dari taman nasional yang didalamnya terdapat sirus Religi, religi, peninggalam warisan budaya dan budaya dan atau sejarah yang sejarah dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungna nilainilai budaya atau sejarah Bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupanya Khusus yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional, antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik Sumber : Hasil olahan dari PerMenHut No. P.56/Menhut-II/ Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; 2. Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya yang merupakan ciri khas ekosistem dalam kawasan taman nasional yang kondisi fisiknya masih asli dan belum diganggu oleh manusia; 3. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau belum diganggu manusia; 4. Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami; 5. Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi; 6. Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah; 7. Merupakan habitat satwa dan atau tumbuhan tertentu yang prioritas dan khas/endemik; 8. Merupakan tempat aktivitas satwa migran. 1. Kawasan yang merupakan habitat atau daerah jelajah untuk melindungi dan mendukung upaya perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi; 2. Memiliki ekosistem dan atau keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan; 3. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa tertentu. 1. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik; 2. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; 3. Kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung pemanfaatan jasa lingkungan, pengembangan pariwisata alam, rekreasi, penelitian dan pendidikan; 4. Merupakan wilayah yang memungkinkan dibangunnya sarana prasarana bagi kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan, pariwisata alam, rekreasi, penelitian dan pendidikan; 5. Tidak berbatasan langsung dengan zona inti 1. Adanya potensi dan kondisi SDA hayati non kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisonal oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya; 2. Di wilayah perairan terdapat potensi dan kondisi SDA hayati tertentu yang telah dimanfaatkan melalui kegiatan pengembangbiakan, perbanyakan dan pembesaran oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya 1. Adanya perubahan fisik, sifat fisik dan hayati yang secara ekologi berpengaruh kepada kelestarian ekosistem yang pemulihannya diperlukan campur tangan manusia; 2. adanya infasi spesies yang mengganggu jenis atau spesies asli kawasan 3. pemulihan kawasan sekurang-kurangnya memerlukan waktu 5 (lima) tahun 1. Adanya lokasi untuk kegiatan religi yang masih dipelihara dan dipergunakan oleh masyarakat; 2. Adanya situs budaya dan sejarah baik yang dilindungi undang-undang, maupun tidak dilindungi undang-undang 1. Telah terdapat sekelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional; 2. Telah terdapat sarana prasarana antara lain telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik; 3. Lokasi tidak berbatasan dengan zona inti

62 40 Tabel 2.4. Peruntukan dan jenis kegiatan pada zona-zona taman nasional Tipe Zona Peruntukan Kegiatan Inti Perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya Rimba Pemanfaatan Kegiatan pengawetan dan pemanfaatan SDA dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan, konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migrant dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti Pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan, kegiatan penunjang budidaya 1. Perlindungan dan pengamanan; 2. Inventarisasi dan monitoring SDA hayati dan ekosistemnya; 3. Penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan,m pendidikan, dan atau penunjang budidaya; 4. Dapat dibangun sarana dan prasarana tidak permanen dan terbatas untuk kegiatan penelitian dan pengelolaan 1. Perlindungan dan pengamanan 2. Inventarisasi & monitoring SDA hayati & Ekosistemnya 3. Pengembangan penelitian, wisata terbatas & pengembangan 4. Pembangunan sarana & prasarana tidak permanen untuk kegiatan penelitian & pengelolaan 1. Perlindungan dan pengamanan; 2. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan ekosistemnya; 3. Penelitian dan pengembangan pendidikan, dan penunjang budidaya; 4. Pengembangan, potensi dan daya tarik wisata alam; 5. Pembinaan habitat dan populasi; 6. Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfaatan kondisi/jasa lingkungan; 7. Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan, wisata alam dan pemanfaatan kondisi/jasa lingkungan. Tradisional Pemanfaatan potensi tertentu oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidpnya 1. Perlindungan dan pengamanan; 2. Inventarisasi dan monitoring potensi jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat; 3. Pembinaan habitat dan populasi; 4. Penelitian dan pengembangan; 5. Pemanfaatan potensi & kondisi SDA sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan yang berlaku Rehabilitasi Religi, budaya dan sejarah Khusus Mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya Memperlihatkan dan melindungi nilai-nilai hasil karya budaya, sejarah arkeolgi maupun keagamaan, sebagai wahana penelitian, pendidikan dan wisata alam sejarah, arkeologi dan religious Kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut Perlindungan dan pengamanan Sumber : Hasil olahan dari PerMenHut No. P.56/Menhut-II/ Perlindungan dan pengamanan; 2. Pemanfaatan pariwisata alam, penelitian, pendidikan dan religi; 3. Penyelenggaraan upacara adat; 4. Pemeliharaan situs budaya dan sejarah, serta keberlangsungan upacara-upacara ritual keagamaan/adat yang ada 1. Perlindungan dan pengamanan; 2. Pemanfaatan untuk menunjang kehidupan masyarakat 3. Rehabilitasi; 4. Monitoring populasi dan aktivitas masyarakat serta daya dukung wilayah

63 41 Mulai iii Pembentukan Tim Kerja Penyusunan rencana kerja Pengesahan Ka BTN Nilai biodiversitas, arkeologi, DTW, potensi Jasling Data spatial: tanah, geologi, iklim, topografi, geomorfologi, land use Sosekbud masyarakat oceanografi Penyusunan Draft Rancangan Zonasi Survey & analisa Peta rancangan zonasi Uraian potensi global Batas geografi zona Kegiatan yang boleh / tidak boleh pada tiap zona Pembahasan/penyempurnaan Berita acara dan peta hasil kesepakatan ditandatangani wakilwakil para pihak dan wakil Balai Bahan rekomendai Pemda Konsultasi Publik Rekomendasi Pemda Pengiriman dokumen ke direktur teknis Rekomendasi pemerintah daerah Buku data dan analisa Tata batas zonasi Ka BTN Persetujuan direktur teknis Pemancangan patok batas Penyusunan BA pemancangan patok batas Penetapan Penandatanganan BA yang telah disetujui direktur penandatanganan BA tata batas zonasi Diterima Instansi terkait Pengesahan DirJen Penilaian Direktur teknis Buku Penataan Zonasi Ditolak Ka BTN menetapkan draft final penataan zonasi Buku Penataan Zonasi yang telah disahkan Ka BTN Distribusi: Eselon I Dephut Eselon II PHKA Gubernur/Bupati/Walikota Disseminasi kepada publik/para pihak Selesai Sumber: Hasil olahan dari PerMenHut No. P.56/Menhut-II/2006 Gambar 2.3. Flowchart tahapan penetapan zonasi taman nasional

64 Pariwisata Definisi Pariwisata Douglass (1982), mengemukakan bahwa aktifitas wisata adalah penggunaan waktu luang yang menyenangkan dan konstruktif yang memberikan tambahan pengetahuan dan pengalaman mental maupun fisik. Sedangkan Yoeti (1990) mendefinisikan wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain dengan suatu maksud tertentu dan dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Definisi lain dikemukakan oleh Gunn (1994), yaitu suatu pergerakan manusia yang bersifat sementara dari tempat tinggal atau pekerjaannya menuju satu tujuan tertentu, dimana aktfitas dilakukan di tempat tersebut serta disediakan fasilitas untuk mengakomodasi keinginan mereka. Sementara WTO (Fennel, 1999) mendefinisikan kegiatan wisata sebagai kegiatan perjalanan seseorang untuk kesenangan (pleasure), minimal satu hari dan tidak lebih dari satu tahun untuk wisatawan mancanegara dan enam bulan bagi wisatawan domestik. Istilah pariwisata terlahir dari bahasa Sansekerta, yaitu : pari yang artinya penuh, lengkap, atau berkeliling, dan wisata yang artinya pergi meningggalkan rumah terus-menerus, mengembara, sehingga jika dirangkai menjadi pariwisata yang artinya pergi secara lengkap meninggalkan rumah berkeliling terus menerus. Dalam operasionalnya, Pemerintah Indonesia mendefinisikan : mereka yang meninggalkan rumah untuk mrngadakan perjalanan tanpa mencari nafkah di tempat-tempat yang dikunjungi sambil menikmati kunjungan mereka (Pendit, 2002). Dalam Agenda 21 (2001) pariwisata didefinisikan sebagai Seluruh kegiatan orang melakukan perjalanan ke dan tinggal di suatu tempat diluar lingkungan kesehariannya untuk jangka waktu tidak lebih dari setahun untuk bersantai (leisure), bisnis dan berbagai maksud yang lain. Dari definisi tersebut berkembang sifat pariwisata yng sangat dinamis sehingga pariwisata mendapatan julukan sebagai; multi billion business, factory without smoke, gold mining without ending, dream industry. Dalam UU Kepariwisataan No. 10 tahun 2009 dijelaskan bahwa wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagain dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tari

65 43 wisata; wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisatat; pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait dibidang tersebut Perkembangan Pariwisata Pariwisata Internasional Kecenderungan perkembangan pariwisata dunia menunjukkan bahwa pariwisata telah menjadi industri terbesar di dunia. World Travel and Tourism Council ( menyebutkan bahwa kegiatan ini telah melibatkan sekitar 438 juta kunjungan wisata di tahun 1990 dengan US$ 264 Milyar penerimaan ke seluruh dunia, dan meningkat menjadi 919 juta kunjungan ditahun 2008 dengan US$ 941 Milyar (Gambar 2.4). Sumber : UNWTO Tourism Highlights 2010 Gambar 2.4. Trend Kunjungan Wisatawan Dunia Pertumbuhan yang cukup besar menunjukkan bahwa pariwisata dapat menjadi solusi bagi negara-negara berkembang untuk keluar dari situasi keterbelakangan. Pariwisata dipromosikan sebagai sektor yang bukan hanya dapat dikembangkan di berbagai tempat yang memiliki sumber daya untuk industri sekunder, tetapi juga dapat ditumbuhkan dari kekayaan keindahan sumber daya alam dan kekayaan budaya masyarakat lokal. Perkembangan industri pariwisata

66 44 tidak hanya terkait dengan bisnis perjalanan secara umum, tetapi juga pada tingkat kunjungan wisatawan secara nasional pada kawasan-kawasan yang dilindungi, seperti taman nasional dan cagar alam. Pariwisata Nasional Perkembangan kunjungan wisata internasional yang melibatkan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang pesat hingga tahun 2008 (Tabel 2.5.). Pada tahun 2001 tercatat 5,1 juta wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia, dan meningkat menjadi 6,2 juta pada tahun Dalam kurun waktu tujuh tahun, angka kunjungan wisata meningkat 21,5 %. Sementara itu, penerimaan devisa meningkat dari USD 5,4 miliar pada tahun 2001 menjadi USD 7,3 miliar pada tahun 2008, atau meningkat sebesar 35,89 persen. Dalam kurun waktu tahun telah terjadi peningkatan kunjungan wisman rata-rata sebesar 4,4 persen per tahun, dan penerimaan devisa rata-rata sebesar 12,56 % per tahun. Tabel 2.5. Kunjungan Wisatawan Mancanegara, Rata-Rata Pengeluaran, Lama Tinggal Dan Penerimaan Devisa Tahun Pengeluaran Per Orang Lama Penerimaan Pertumbuhan (USD) Pertumbuhan (%) Tahun Kunjungan Tinggal Devisa (%) Per Per (hari) (juta USD) kunjungan hari , ,36 100,42 10, ,62-5, ,33 893,26 91,29 9, ,15-17, ,25 903,74 93,27 9, ,02-10, ,12 901,66 95,17 9, ,87 18, ,00 904,00 99,86 9, ,90-5, ,61 913,09 100,48 9, ,98-1, ,02 970,98 107,70 9, ,98 20, , ,54 137,38 8, ,39 38,00 Sumber : Renstra KemBudPar Tahun Sementara itu, dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 200 juta, wisatawan nusantara (wisnus) merupakan pasar yang sangat besar bagi pariwisata Indonesia. Keberhasilan kinerja kepariwisataan juga tercermin dari meningkatnya jumlah pergerakan wisatawan nusantara (wisnus) dari juta perjalanan pada tahun 2001 menjadi 225,042 juta perjalanan pada tahun Peningkatan pergerakan wisatawan nusantara selama tahun menghasilkan

67 45 peningkatan pengeluaran dari Rp 58,71 triliun di tahun 2001 menjadi Rp 123,17 triliun di tahun 2008 atau meningkat sebesar 109,79 persen. Pergerakan wisatawan nusantara dalam kurun waktu tahun telah terjadi pertumbuhan yang berfluktuasi dengan rata-rata sebesar 2,08 persen per tahun (Tabel 2.6). Tahun Tabel 2.6. Perkembangan Wisatawan Nusantara Tahun Wisnus (ribuan orang) Pertumbuhan (%) Perjalanan (ribuan orang) Pengeluaran (triliun Rp) Pertumbuhan (%) , , ,82 17, , ,87 2, , ,70 1, , ,72 4, , ,21 18, , ,01 15, , ,17 20,74 Sumber : Renstra Kembudpar Tahun Pariwisata saat ini menjadi sektor yang cukup penting bagi perekonomian nasional. Tahun 2008 perolehan devisa dari sektor pariwisata ini berada di urutan ke 4 sebagai penyumbang devisa terbesar setelah minyak dan gas bumi, kelapa sawit, dan karet olahan. Dengan pertumbuhan pariwisata dunia yang terus meningkat, diharapkan jumlah kunjungan wisatawan di Indonesia akan semakin meningkat dan akan memberikan konstribusi ekonomi yang semakin besar pula. Selain konstribusi ekonomi, kegiatan pariwisata juga membuka kesempatan kerja baru di daerah tujuan wisata. Kegiatan pembangunan pariwisata di Indonesia juga membuka beberapa daerah yang kurang berkembang, dimana kegiatan ekonomi lainnya sukar dikembangkan, maka pariwisata seringkali menjadi kegiatan perintis yang diharapkan mampu menstimulasi timbulnya kegiatan ekonomi lainnya. Namun demikian, kebijakan pembangunan pariwisata yang telah dilakukan lebih mengutamakan manfaat ekonomi sehingga mengakibatkan terabaikannya pelestarian lingkungan dan terpinggirkannya penduduk lokal. Keadaan tersebut mendorong timbulnya kesadaran untuk mengembangkan pariwisata yang ramah terhadap lingkungan dan memperhatikan penduduk setempat.

68 46 Pariwisata Gorontalo Pemerintah Provinsi Gorontalo mempunyai program unggulan dalam mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan Ekonomi di Daerah. Tiga program unggulan pemerintah, yakni pengembangan sumber daya manusia (SDM), Agropolitan, dan Program Perikanan dan Kelautan. Selain tiga program unggulan itu, pemerintah juga mulai tahun 2011 ini telah menetapkan dua program unggulan lain yakni peningkatan pariwisata dan pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dalam memacu peningkatan ekonomi masyarakat ( pembangunan.html) Visi pengembangan pariwisata Gorontalo dalam Strategi dan Pengembangan Kepariwisataan Gorontalo (2007) adalah terwujudnya daerah tujuan wisata yang berwawasan lingkungan dan berdaya saing, dengan misinya mengembangkan dan melestarikan obyek wisata, meningkatkan peran serta masyarakat, serta arah kebijakannya menjadikan provinsi Gorontalo sebagai daerah tujuan wisata baru yang berbasis masyarakat dan potensi lokal. Kunjungan wisatawan ke Provinsi Gorontalo, baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara terus meningkat (Gambar 2.5.). (Sumber: Dinas Perhubungan, Postel dan Pariwisata Provinsi Gorontalo, 2006) Gambar 2.5. Diagram Kunjungan Wisatawan ke Provinsi Gorontalo Beberapa kawasan wisata yang telah dikembangkan antara lain yaitu: Kawasan Wisata Lombongo, Taman Laut Olele, Benteng Otanaha, Benteng Oranye, Danau Limboto, Pulau Saronde, Pulau Lampu. Selain daya tarik lokasi wisata, Gorontalo memiliki kerajinan khas yang sudah dikenalkan keluar daerah

ANALISIS VEGETASI HUTAN PRODUKSI TERBATAS BOLIYOHUTO PROVINSI GORONTALO

ANALISIS VEGETASI HUTAN PRODUKSI TERBATAS BOLIYOHUTO PROVINSI GORONTALO ANALISIS VEGETASI HUTAN PRODUKSI TERBATAS BOLIYOHUTO PROVINSI GORONTALO Marini Susanti Hamidun, Dewi Wahyuni K. Baderan Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan IPA Universitas Negeri GorontaloJalan Jendral

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR Oleh : AGUSTINA RATRI HENDROWATI L2D 097 422 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

HABITAT POHON PENYUSUN UTAMA KAWASAN HUTAN NANTU-BOLIYOHUTO. Marini Susanti Hamidun, Dewi Wahyuni K. Baderan ABSTRAK

HABITAT POHON PENYUSUN UTAMA KAWASAN HUTAN NANTU-BOLIYOHUTO. Marini Susanti Hamidun, Dewi Wahyuni K. Baderan ABSTRAK HABITAT POHON PENYUSUN UTAMA KAWASAN HUTAN NANTU-BOLIYOHUTO Marini Susanti Hamidun, Dewi Wahyuni K. Baderan Department of Biology, Faculty of Science and Mathematic, Jalan Jenderal Sudirman No 6 Gorontalo

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber penghasil devisa potensial selain sektor migas. Indonesia sebagai suatu negara kepulauan memiliki potensi alam dan budaya

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia yang dikenal dengan negara kepulauan memiliki lebih dari 18.000 pulau, memiliki luasan hutan lebih dari 100 juta hektar dan memiliki lebih dari 500 etnik

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km, dan membentang antara garis

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah dasar ini selanjutnya

Lebih terperinci

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) Oleh : GITA ALFA ARSYADHA L2D 097 444 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada 82,6 443.8 157.9 13.2 2664.8 1294.5 977.6 2948.8 348.7 1777.9 1831.6 65.8 2274.9 5243.4 469.2 4998.4 Hektar 9946.9 11841.8 13981.2 36 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Citra Data tentang luas tutupan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaaan sumber daya dan keanekaragaman hayati berupa jenis-jenis satwa maupun

BAB I PENDAHULUAN. kekayaaan sumber daya dan keanekaragaman hayati berupa jenis-jenis satwa maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba dengan luas areal 13.490 hektar merupakan salah satu kawasan konservasi darat di Bengkulu yang memiliki kekayaaan sumber daya dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Potensi sumber daya alam hutan serta perairannya berupa flora, fauna dan ekosistem termasuk di dalamnya gejala alam dengan keindahan alam yang dimiliki oleh bangsa

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekowisata bagi negara-negara berkembang dipandang sebagai cara untuk mengembangkan perekonomian dengan memanfaatkan kawasan-kawasan alami secara tidak konsumtif. Untuk

Lebih terperinci

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Jakarta, 29 Juli 2011 1 2 3 Progress Legalisasi RTR Pulau Sumatera Konsepsi Tujuan, Kebijakan, Dan Strategi Rtr Pulau Sumatera Muatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kawasan yang mempunyai berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan yang saling berinteraksi di dalamnya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 59 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Suaka Margasatwa Nantu, Kawasan Hutan Lindung Boliyohuto, dan Kawasan Hutan Produksi Terbatas Boliyohuto, yang

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPATIBILITAS PEMANFAATAN LAHAN MASYARAKAT DI ZONA KHUSUS TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG

ANALISIS KOMPATIBILITAS PEMANFAATAN LAHAN MASYARAKAT DI ZONA KHUSUS TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG ANALISIS KOMPATIBILITAS PEMANFAATAN LAHAN MASYARAKAT DI ZONA KHUSUS TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG Compatibility Analysis on Existing Land Use by Community in Special Zone at National Park Bantimurung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan ekosistemnya. Potensi sumber daya alam tersebut semestinya dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini 57 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Hutan Indonesia Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang memanfaatkan potensi sumber daya alam dan lingkungan. Kegiatan wisata alam itu sendiri dapat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera 1 2 3 Pendahuluan (Sistem Perencanaan Tata Ruang - Kebijakan Nasional Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera) Penyelamatan Ekosistem Sumatera dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi),

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi), SINTESIS . Dasar kriteria dan indikator penetapan zonasi TN belum lengkap,. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi), 3. Informasi dan pengembangan jasa lingkungan belum

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat dalam pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan konservasi (KHK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun1999 terdiri dari kawasan suaka alam (KSA), kawasan pelestarian alam (KPA) dan Taman Buru. KHK

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam

BAB I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wisata alam oleh Direktorat Jenderal Pariwisata (1998:3) dan Yoeti (2000) dalam Puspitasari (2011:3) disebutkan sebagai kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas

I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa kawasan konservasi di Indonesia dibedakan menjadi dua yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.330, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Pelestarian. Suaka. Kawasan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5798) PERATURAN

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Oleh Pengampu : Ja Posman Napitu : Prof. Dr.Djoko Marsono,M.Sc Program Studi : Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional di banyak negara berkembang pada umumnya ditekankan pada pembangunan ekonomi. Hal ini disebabkan karena yang paling terasa adalah keterbelakangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi merupakan suatu kawasan yang dikelola dan dilindungi dalam rangka pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Penetapan status sebuah kawasan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu aset penting bagi negara, yang juga merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Hutan sebagai sumberdaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan yang berkelanjutan dimasa kini telah menjadi keharusan, dimana keberadaan serta keberlangsungan fungsi sumber daya

Lebih terperinci

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6.1 Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Manapeu Tanahdaru Wilayah karst dapat menyediakan air sepanjang tahun. Hal ini disebabkan daerah karst memiliki

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki banyak potensi objek wisata yang tersebar di seluruh pulau yang ada. Salah satu objek wisata yang berpotensi dikembangkan adalah kawasan konservasi hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan menurut fungsi pokoknya dibagi menjadi tiga yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi (Dephut, 2009). Hutan konservasi sendiri didefinisikan kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki luas sekitar 3.742.120 ha atau sekitar 52,20% dari seluruh luas provinsi, luasan kawasan hutan ini sesuai dengan yang termaktub

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah kawasan suaka alam yang mempunyai

Lebih terperinci

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 I. PENDAHULUAN REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 Pembangunan kehutanan pada era 2000 2004 merupakan kegiatan pembangunan yang sangat berbeda dengan kegiatan pada era-era sebelumnya. Kondisi dan situasi

Lebih terperinci

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

PENILAIAN DAYA TARIK WISATA KAWASAN AIR TERJUN MANANGGAR DI DESA ENGKANGIN KECAMATAN AIR BESAR KABUPATEN LANDAK

PENILAIAN DAYA TARIK WISATA KAWASAN AIR TERJUN MANANGGAR DI DESA ENGKANGIN KECAMATAN AIR BESAR KABUPATEN LANDAK PENILAIAN DAYA TARIK WISATA KAWASAN AIR TERJUN MANANGGAR DI DESA ENGKANGIN KECAMATAN AIR BESAR KABUPATEN LANDAK Assessment Of Tourist Attraction Zone Mananggar Waterfall Village Engkangin District Air

Lebih terperinci

Lampiran 1. Daftar taman nasional yang memiliki perencanaan zonasi

Lampiran 1. Daftar taman nasional yang memiliki perencanaan zonasi LAMPIRAN 168 Lampiran 1. Daftar taman nasional yang memiliki perencanaan zonasi No Nama dan SK Kawasan 1 Bukit Barisan Selatan SK Mentan No. 736/Mentan/X/ 1982, 14 Oktober 1982 2 Bali Barat* SK Menhut

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN EBONI DALAM SISTEM DAERAH PENYANGGA. M. Bismarck

PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN EBONI DALAM SISTEM DAERAH PENYANGGA. M. Bismarck Berita Biologi, Volume 6. Nomor 2, Agustus 2002 PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN EBONI DALAM SISTEM DAERAH PENYANGGA M. Bismarck Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor ABSTRACT The increasing value

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 81 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Eksisting Kawasan Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto 5.1.1. Kondisi Ekologi Vegetasi Kawasan CTN Nantu-Boliyohuto merupakan gabungan dari Kawasan SM Nantu, HPT

Lebih terperinci

Dr. Ir. H. NAHARDI, MM. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah

Dr. Ir. H. NAHARDI, MM. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Dr. Ir. H. NAHARDI, MM. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah 1 Pengelolaan Taman Hutan Raya (TAHURA) Pengertian TAHURA Taman Hutan Raya adalah Kawasan Pelestarian Alam (KPA) Untuk tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kawasan yang dilindungi (protected area) sebagai tujuan wisata melahirkan

BAB I PENDAHULUAN. kawasan yang dilindungi (protected area) sebagai tujuan wisata melahirkan BAB I PENDAHULUAN Sejarah perkembangan ekowisata yang tidak lepas dari pemanfaatan kawasan yang dilindungi (protected area) sebagai tujuan wisata melahirkan definisi ekowisata sebagai perjalanan ke wilayah-wilayah

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kabupaten Bandung Selatan memiliki sebuah kawasan wisata potensial, yaitu kawasan wisata Ciwidey. Di kawasan tersebut terdapat empat tujuan wisata utama, diantaranya

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA 7.1 Kerangka Umum Analytical Network Process (ANP) Prioritas strategi pengembangan TN Karimunjawa ditetapkan berdasarkan pilihan atas variabel-variabel

Lebih terperinci