KAJIAN KELESTARIAN TEGAKAN DAN PRODUKSI KAYU JATI JANGKA PANJANG KPH BOJONEGORO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR CHRISTINA BASARIA S.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN KELESTARIAN TEGAKAN DAN PRODUKSI KAYU JATI JANGKA PANJANG KPH BOJONEGORO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR CHRISTINA BASARIA S."

Transkripsi

1 KAJIAN KELESTARIAN TEGAKAN DAN PRODUKSI KAYU JATI JANGKA PANJANG KPH BOJONEGORO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR CHRISTINA BASARIA S. DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 KAJIAN KELESTARIAN TEGAKAN DAN PRODUKSI KAYU JATI JANGKA PANJANG KPH BOJONEGORO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR CHRISTINA BASARIA S. Sripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

3 RINGKASAN CHRISTINA BASARIA S. (E ). Kajian Kelestarian Tegakan dan Produksi Kayu Jati Jangka Panjang KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Dibimbing oleh TEDDY RUSOLONO KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Bojonegoro tergolong ke dalam kelas perusahaan jati berdasarkan jenis kayu dan ditetapkan sebagai kelas perusahaan tebang habis berdasarkan bentuk tebangan. KPH Bojonegoro dengan luas wilayah ,4 ha memiliki daur 60 tahun dan umur tebang minimum (UTM) 50 tahun. Dalam melaksanakan pengelolaan hutan yang berazaskan kelestarian, Perum Perhutani mengacu pada Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 143/Kpts/Dj/I/1974 yang menetapkan cara pengaturan hasil berdasarkan metode kombinasi luas areal dan massa kayu. Berdasarkan surat keputusan tersebut tiap tahunnya tanaman dianggap berhasil tumbuh dan potensi tegakan tiap kelas umur tetap tanpa memperhitungkan faktor gangguan hutan. Konsep kelestarian yang digambarkan sebagai hutan normal sulit tercapai, namun bisa tercapai dalam jangka waktu tertentu. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2008 di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Data yang digunakan berupa data sekunder. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tingkat kelestarian tegakan dan kelestarian produksi kayu jati di KPH Bojonegoro dengan mempertimbangkan berbagai kondisi tingkat kerusakan hutan. Berdasarkan struktur kelas hutan dari tahun 1975 sampai 2007 dapat dihitung besarnya tingkat kelestarian dan kerusakan kelas hutan KPH Bojonegoro. Untuk keperluan proyeksi pada berbagai tingkat gangguan hutan dapat ditentukan nilai ratarata tingkat kelestarian dan kerusakan yang mencerminkan kondisi normal, harapan, dan pesimis. Potensi hutan produktif pada kondisi harapan dan normal meningkat ditunjukkan oleh umur rata-rata tanaman semakin meningkat dan penyebaran kelas umur mulai merata, sehingga pada kondisi harapan dan normal kelestarian tegakan tercapai. Pada kondisi pesimis kelestarian tegakan tidak tercapai karena potensi hutan produktif menurun tiap jangka. Kelestarian produksi jangka ke depan dapat diwujudkan karena potensi hasil (luas dan volume) tebangan A2 cenderung meningkat pada kondisi harapan dan normal, sedangkan pada proyeksi kondisi pesimis kelestarian produksi tidak dapat diwujudkan karena potensi hasil tebangan A2 cenderung menurun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa KPH Bojonegoro mampu mencapai tingkat kelestarian tegakan dan produksi pada kondisi harapan dan normal. Saat KPH Bojonegoro berada pada kondisi pesimis maka perlu ditekan tingkat kerusakan sampai kondisi harapan atau normal. Kata kunci : kelestarian tegakan jati, kelestarian produksi kayu jati

4 SUMMARY CHRISTINA BASARIA S. (E ). Study of Sustainability of the Long Term Stand and Teak Product at KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II East Java. Under Supervision of TEDDY RUSOLONO KPH Bojonegoro is classified as teak company based on wood type and as clear cutting company based on cutting type. The regional of KPH Bojonegoro is broadly ,4 ha has the cycle 60 years and minimum cutting time 50 years. In practicing sustainable forest management, Perum Perhutani referred to Director General's Instruction Forestry No. 143/Kpts/Dj/I/1974 that appointed the method of the results regulation based on the combination method of the area and the wood mass. Based on the instruction each year the crop was considered succeeded in growing and the potential for the stand of each age class was continued without counting on the disturbance factor of the forest. The concept of sustainability which is described as normal forest is hard to reach, but can be reached within a certain time. This research was held on August 2008 at KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II East Java. Secondary datas are used in this research. It is aimed to study the sustainability of the stand and teak product at KPH Bojonegoro through several conditions for the level of the disturbance of the forest. Based on the structure of forest class from 1975 until 2007 could be predicted the sustainability and the disturbance of forest class of KPH Bojonegoro. For projection need at some of forest disturbance grade can be decided the average value of sustainability and disturbance grade that is shown by normal, optimism, and pessimist condition. The potential of productive forest in optimism and normal condition increase that is shown by plant average age getting increase and its distribution begin to spread everywhere, so that in optimism and normal condition the sustainability of stand can be reached. Meanwhile in pessimist condition, the sustainability of stand is unable to reached because the potential of productive forest is getting decrease in every period of time. The sustainability of product for some periods forward can be reached because the product of A2 cutting is getting increase in optimism and normal condition, whereas in pessimist condition the sustainability of product can not be reached because the product of A2 cutting is getting decrease. The result of this research shows that KPH Bojonegoro can reach the sustainability of stand and teak product in optimism and normal condition. When KPH Bojonegoro is on the pessimist condition, it needs to press the disturbance until become optimism or normal condition. Keywords : sustainability of teak stand, sustainability of teak product

5 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Kelestarian Tegakan dan Produksi Kayu Jati Jangka Panjang KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Januari 2009 Christina Basaria S. NRP E

6 Judul Skripsi : KAJIAN KELESTARIAN TEGAKAN DAN PRODUKSI KAYU JATI JANGKA PANJANG KPH BOJONEGORO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR Nama Mahasiswa : CHRISTINA BASARIA S. NIM : E Menyetujui : Dosen Pembimbing, Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS NIP Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan, Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP Tanggal Lulus :

7 KATA PENGANTAR Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Bapa atas anugerah dan kasih karunia-nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul skripsi dari penelitian yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2008 adalah Kajian Kelestarian Tegakan dan Produksi Kayu Jati Jangka Panjang KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 143/Kpts/Dj/I/1974 yang menetapkan cara pengaturan hasil dengan metode kombinasi luas areal dan massa kayu, tiap tahunnya tanaman dianggap berhasil tumbuh dan potensi tegakan tiap kelas umur tetap tanpa memperhitungkan faktor gangguan hutan. Konsep kelestarian yang digambarkan sebagai hutan normal sulit tercapai, sehingga dalam penerapan metode umur tebang rata-rata (metode Burns) dengan mempertimbangkan berbagai kondisi tingkat kerusakan hutan maka dapat dikaji tingkat kelestarian tegakan dan produksi kayu jati di KPH Bojonegoro. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS selaku pembimbing. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak KPH Bojonegoro dan SPH Bojonegoro yang telah membantu dalam menyediakan datadata yang diperlukan serta fasilitas yang mendukung selama penelitian dilaksanakan, dan seluruh staf Departemen Manajemen Hutan dan keluarga besar Fakultas Kehutanan IPB atas bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, adik adik tercinta, serta seluruh keluarga atas segala doa, motivasi, dan kasih sayangnya. Terima kasih penulis ucapkan kepada teman teman seperjuangan di Darmaga Regency C8, C20, C21, Chandra, MNH 41, BDH 41, THH 41, KSH 41 atas semangat, doa, dan bantuannya. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu demi penyempurnaan, penulis mengharapkan kritik dan saran. Akhir kata semoga karya tulis ini memberikan manfaat. Bogor, Januari 2009 Penulis

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 28 November 1985 sebagai anak pertama dari empat bersaudara pasangan Posden Siringoringo dan Riani Hasibuan. Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 4 Medan dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan yakni sebagai anggota Departemen Planologi Forest Management Student Club (FMSC) tahun dan panitia Temu Manajer (TM) Jurusan Manajemen Hutan tahun Penulis juga telah mengikuti Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di BKPH Banyumas Timur dan BKPH Banyumas Barat serta Praktek Pengelolaan Hutan Lestari di Kampus Lapangan Fakultas Kehutanan UGM, Desa Getas, Kabupaten Blora. Selain itu penulis juga telah melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di KPH Sukabumi, Jawa Barat serta penelitian di SPH Bojonegoro dan KPH Bojonegoro, Jawa Timur untuk memenuhi tugas akhir. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Kajian Kelestarian Tegakan dan Produksi Kayu Jati Jangka Panjang KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur dibimbing oleh Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS.

9 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN... vii BAB I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 2 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Kelestarian Hasil Konsep Hutan Normal Kelas Perusahaan Pembedaan Kelas Hutan Bentuk Tebangan Daur Pengaturan Hasil Jangka Benah Pengamanan Hutan BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Sumber Data dan Jenis Data Kerangka Pemikiran Asumsi-asumsi Dasar Analisis Data... 14

10 iv BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Keadaan Lapangan Daerah Aliran Sungai Tanah Iklim Sosial Ekonomi Bagian Hutan Tegakan BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Struktur Kelas Hutan Tingkat Kelestarian dan Kerusakan Hutan Kelestarian Tegakan Kelestarian Produksi Kayu Jati BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 47

11 No. DAFTAR TABEL Halaman 1. Struktur kelas hutan produktif KPH Bojonegoro dari tahun 1975 sampai Persentase tingkat kelestarian dan kerusakan hutan di KPH Bojonegoro selama periode Luas dan persentase TK, TJBK dan MR berdasarkan hasil Audit SDH Tahun Persentase penambahan luas tanaman baru (KU I) berdasarkan data rencana dan realisasi mulai tahun Rekapitulasi realisasi luas tebangan dan tanaman jati selama periode di KPH Bojonegoro Faktor koreksi untuk prediksi luas dan volume tebangan di KPH Bojonegoro Nilai-nilai bonita, KBD, dan faktor koreksi (FK) yang digunakan dalam perhitungan etat tebangan A pada setiap jangka proyeksi Realisasi tebangan E di KPH Bojonegoro pada periode

12 No. DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka Pemikiran untuk Kajian Kelestarian Sumberdaya Hutan dan Produksi Kayu di KPH Bojonegoro Tingkat kelestarian kelas hutan atas kelas umur pada kondisi normal, harapan dan pesimis untuk proyeksi tegakan di KPH Bojonegoro Tingkat kerusakan kelas hutan atas kelas umur pada kondisi normal, harapan dan pesimis untuk proyeksi tegakan di KPH Bojonegoro Prediksi struktur kelas hutan pada kondisi ideal Prediksi struktur kelas hutan pada kondisi harapan Prediksi struktur kelas hutan pada kondisi normal Prediksi struktur kelas hutan pada kondisi pesimis Umur rata-rata tanaman (URT) dan umur tebang rata-rata (UTR) Realisasi dan prediksi luas tebangan A2 KPH Bojonegoro pada kondisi ideal, normal, harapan, dan pesimis Realisasi dan prediksi volume tebangan A2 KPH Bojonegoro pada kondisi ideal, normal, harapan, dan pesimis Realisasi dan prediksi luas tebangan E KPH Bojonegoro pada kondisi ideal, normal,harapan, dan pesimis Realisasi dan prediksi luas tebangan E KPH Bojonegoro pada kondisi ideal, normal, harapan, dan pesimis Klasifikasi volume tebangan A2 menurut jenis sortimen Klasifikasi volume tebangan E menurut jenis sortimen... 44

13 No. DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Prediksi struktur kelas hutan pada kondisi ideal Prediksi struktur kelas hutan pada kondisi harapan Prediksi struktur kelas hutan pada kondisi normal Prediksi struktur kelas hutan pada kondisi pesimis Klasifikasi volume tebangan A2 menurut jenis sortimen Klasifikasi volume tebangan E menurut jenis sortimen Perhitungan etat tegakan jati di KPH Bojonegoro untuk prediksi penebangan jangka Komposisi sortimen berdasarkan jenis tebangannya di wilayah Perum Perhutani Unit II Jawa Timur... 56

14 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Dalam melaksanakan pengelolaan hutan yang berazaskan kelestarian, Perum Perhutani berpedoman pada kaidah-kaidah kehutanan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan diselaraskan dengan prinsip kelestarian perusahaan, yaitu mengacu pada Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 143/Kpts/Dj/I/1974. Berdasarkan surat keputusan tersebut ditetapkan cara pengaturan hasil dengan metode kombinasi luas areal dan massa kayu (metode Burns). Dalam surat keputusan tersebut tiap tahunnya tanaman dianggap berhasil tumbuh dan potensi tegakan tiap kelas umur tetap tanpa memperhitungkan faktor gangguan hutan. Kondisi hutan yang dihadapi saat ini ialah kondisi hutan dengan potensi tegakan terbesar berada pada kelas umur muda. Penerapan metode Burns pada tegakan yang susunan kelas umurnya menyimpang dari normal (penyebaran luas tegakan di tiap kelas umur tidak sama) akan mengakibatkan penebangan tanaman yang masih muda, apabila akumulasi luas tegakan terdapat pada kelas umur muda. Timbulnya akumulasi luas tegakan pada kelas umur muda disebabkan karena keamanan hutan yang rawan sehingga mengakibatkan kegagalan tanaman muda untuk mencapai kelas umur yang lebih tua (Perum Perhutani 1982). Mengingat bahwa penebangan tanaman yang masih muda cenderung menimbulkan keadaan yang rawan ditinjau dari segi keamanan sehingga perlu dilakukan penundaan tebang tanaman yang umurnya belum mencapai daur dan menetapkan suatu batas umur tebang minimum tidak boleh ditebang. Konsep kelestarian yang digambarkan sebagai hutan normal sulit tercapai, namun bisa tercapai dalam jangka waktu tertentu melalui pelaksanaan jangka benah. Melalui penelitian ini, berdasarkan perubahan luas hutan akibat kerusakan yang terjadi pada KPH Bojonegoro, dapat dikaji pemanenan jangka panjang yang lestari.

15 2 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tingkat kelestarian tegakan dan kelestarian produksi kayu jati di KPH Bojonegoro dengan mempertimbangkan berbagai kondisi tingkat kerusakan hutan. 1.3 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak KPH Bojonegoro dalam memberikan informasi mengenai pengaruh beberapa kondisi gangguan hutan terhadap kelestarian tegakan dan produksi kayu KPH Bojonegoro untuk masa yang akan datang, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk menyusun perencanaan hutan dalam rangka pengelolaan hutan lestari.

16 2.1 Konsep Kelestarian Hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA Salah satu elemen yang paling penting dalam pengelolaan hutan adalah konsep kelestarian hasil hutan (sustained yield forestry). Definisi kelestarian hasil hutan telah mengalami perkembangan dan bervariasi dari negara yang satu ke negara lain. Pada mulanya suatu hutan dianggap dimanfaatkan secara lestari bila tebangan tahunan atau periodik tidak mengurangi kapasitas hasil dan bila setelah penebangan dilakukan di seluruh kawasan hutan, potensi tegakan di lapangan tidak berkurang dibanding dengan sebelum dilakukan penebangan (Simon 2000). Menurut SCHULER (1984) diacu dalam Simon (2000) bahwa kelestarian hasil hutan dititikberatkan pada hasil kayu yang hampir sama dari tahun ke tahun. Namun menurut Hartig (1975) diacu dalam Simon (2000) menulis suatu instruksi untuk pengaturan hutan bahwa untuk hutan negara, kayu yang boleh ditebang dari hutan tidak boleh melebihi ketentuan pengelolaan yang baik dengan hasil permanen. Sedangkan COTTA (1812) diacu dalam Simon (2000) mendefinisikan kelestarian hasil hutan dengan ciri-ciri tercapainya hasil yang tertinggi, dengan biaya yang terendah, dan mencukupi kebutuhan masyarakat. Konsep kelestarian hasil hutan sekarang pada umumnya dianggap mempunyai hubungan dengan lingkup yang lebih luas, menurut aspek ekologi maupun sosial ekonomi suatu wilayah (Simon 2000). 2.2 Konsep Hutan Normal Hutan normal dapat didefinisikan sebagai hutan yang dapat mencapai dan menjaga derajat kesempurnaan hutan untuk memenuhi ketentuan sesuai dengan tujuan pengelolaan (OSMASTON 1968, diacu dalam Simon 2000). Secara ideal hutan normal merupakan tebangan dengan persebaran kelas umur yang merata dan riap yang maksimal. Tebangan tahunan atau periodik pada hakekatnya harus sama dengan riap untuk jangka waktu yang bersangkutan. Dengan demikian hasil kayu

17 4 yang maksimal dapat diperoleh sepanjang waktu tanpa membahayakan hasil di masa yang akan datang, dan oleh karena itu kelestarian hasil hutan dapat dipertahankan. 2.3 Kelas Perusahaan Kelas perusahaan adalah nama dari suatu kesatuan pengusahaan hutan yang diambil dari salah satu dari tiga kemungkinan yang dapat dipilih, yaitu : nama jenis pohon atau hasil hutan utama lainnya yang diambil atau diusahakan, tujuan penggunaan kayu yang dijadikan hasil utama atau sistem silvikultur utama yang dipergunakan dalam suatu kesatuan pengusahaan dan diatur kelestarian hasilnya (Suhendang et al. 2005). KPH Bojonegoro ditetapkan sebagai kelas perusahaan Tebang Habis Jati, dengan demikian setiap usaha penebangan habis harus selalu diikuti dengan usaha penanaman kembali / permudaan. Oleh sebab itu, agar selalu diusahakan penanaman kembali dengan menggunakan jenis tanaman pokok kelas perusahaan, yaitu jenis jati dengan menggunakan bibit yang berkualitas tinggi (Perum Perhutani 2001). Untuk tanah-tanah kosong yang kurang / tidak baik untuk jati dapat ditanami dengan jenis lain yang sesuai untuk tempat tersebut. Pada lahan yang ditanami jenis kayu lain setelah kondisi tanah meningkat lebih baik, maka tanaman kayu lain diganti dan ditanami dengan jenis sesuai kelas perusahaannya. 2.4 Pembedaan Kelas Hutan Kelas hutan adalah penggolongan kawasan hutan ke dalam kelas-kelas berdasarkan aspek dan tujuan tertentu. Aspek yang digunakan dalam pembagian/ penggolongan kawasan hutan adalah kondisi fisik kawasan, kesesuaian lahan, lingkungan dan vegetasi. Tujuan penggolongan kawsan hutan ke dalam kelas-kelas hutan adalah untuk menentukan tindakan silvikultur yang perlu dilakukan pada tiap kelas hutan (Perum Perhutani 1992). Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 143/Kpts/Dj/I/1974 pengaturan kelestarian hutan memerlukan pemisahan hutan ke dalam kelas hutan berdasarkan tujuan pengusahaannnya, yaitu bukan untuk produksi

18 5 dan untuk produksi. Kelas hutan bukan untuk produksi adalah kawasan hutan yang karena berbagai-bagai sebab tidak dapat disediakan untuk penghasilan kayu dan/atau hasil hutan lainnya, yang terdiri dari TBP (tak baik untuk penghasilan), LDTI (lapangan dengan tujuan istimewa), SA/HW (suaka alam/hutan wisata), dan hutan lindung. Kelas hutan untuk produksi merupakan lapangan-lapangan untuk menghasilkan kayu dan/atau hasil hutan lainnya, yang terdiri dari kawasan untuk produksi kayu jati dan bukan untuk produksi kayu jati. Kawasan yang baik untuk produksi kayu jati, dibagi atas kawasan baik untuk perusahaan tebang habis dan tidak baik untuk perusahaan tebang habis (TBPTH), sedangkan kawasan yang bukan untuk produksi kayu jati, dibagi lagi atas kawasan tak baik untuk jati, tanaman jenis kayu lain (TJKL), dan hutan lindung terbatas (HLT). Kawasan yang baik untuk perusahaan tebang habis, dibagi ke dalam kawasan produktif dan tidak produktif. Kawasan ditumbuhi dengan hutan jati produktif dibagi lagi dalam kelas-kelas hutan yang didasarkan atas umur (kelas umur) dan keadaan hutannya. Kelas umur I s/d XII (KU I s/d XII) yaitu semua hutan tanaman jati yang memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu dipisah-pisahkan ke dalam 12 kelas umur. Masing-masing meliputi 10 tahun, sehingga hutan-hutan yang pada permulaan jangka perusahaan berumur 1 sampai 10 tahun, dimasukkan ke dalam kelas umur ke I, hutanhutan yang berumur 11 s/d 20 tahun tergolong ke dalam kelas umur ke II, dst. Kelas hutan masak tebang (MT) adalah tegakan-tegakan yang berumur 120 tahun atau lebih dan baik, termasuk ke dalam masak tebang (lengkapnya : sudah masak untuk ditebang = sudah waktunya boleh ditebang). Batas umur tertinggi untuk kelas hutan ini tidak ada dan keadaan hutan ini, demikian baiknya, hingga penebangannya dapat ditunda dalam waktu yang agak lama dengan tidak menimbulkan kerugian apa-apa. Untuk keperluan penetapan bonita, umurnya ditetapkan 120 tahun. Jika batang dan tajuk pohon-pohon mempunyai banyak cacat-cacat itu seharusnya dimasukkan ke dalam kelas hutan miskin riap. Kelas hutan miskin riap (MR) adalah semua hutan jati yang berdasarkan keadaannya tidak memuaskan, yaitu tidak ada harapan mempunyai riap yang cukup, dimasukkan ke dalam kelas hutan miskin riap. Hutan-hutan

19 6 semacam itu perlu secepat mungkin ditebang habis dan diganti dengan tanaman jati yang baru (Perum Perhutani 1974). Kawasan yang termasuk kawasan tidak produktif, yaitu : lapangan tebang habis jangka lampau (LTJL), tanah kosong (TK), hutan kayu lain (terdiri dari TKLdan HAKL), dan hutan jati bertumbuhan kurang (terdiri dari TJBK dan HAJBK). 2.5 Bentuk Tebangan Bentuk tebangan di dalam kelas perusahaan tebang habis jati, terdiri dari tebangan A (tebangan habis biasa), tebangan B (tebangan habis lain), tebangan C (tebangan habis hutan yang dihapuskan), tebangan D (tebangan lain), dan tebangan E (tebangan penjarangan). Tebangan A adalah penebangan habis hutan produktif, yang dibedakan atas A.1. Lelesan bidang tebang habis tahun lampau, A.2. Tebang habis biasa pada jangka berjalan, yaitu penebangan habis pada kelas hutan produktif baik kayu pokok maupun kayu lain dalam jangka berjalan, A.3. Tebang habis biasa pada jangka berikut, yaitu lapangan-lapangan yang akan ditebang dalam jangka perusahaan yang akan datang, A.4. Tebang jalur, yaitu tebang habis terbatas pada areal yang tidak baik untuk tebang habis. Tujuan diadakannya bentuk tebangan A.1 dan A.3 adalah untuk mempermudah pendaftaran rencana tanaman dan teresan di dalam jangka perusahaan yang berjalan, sehingga dapat diketahui rencana penanaman pada lapangan-lapangan yang ditebang habis dalam jangka berjalan (A.2). Lapangan yang direncanakan diteres pada akhir jangka (khusus kelas perusahaan jati) diketahui akan ditebang dalam jangka perusahaan yang berikutnya (A.3). Tebangan B adalah penebangan habis dari kelas hutan tidak produktif yaitu tanah kosong (TK) dan hutan bertumbuhan kurang (BK). Tebangan C yaitu penebangan pada lapangan-lapangan yang pada permulaan jangka perusahaan telah dihapuskan, juga dari lapangan-lapangan yang direncanakan pasti akan dihapus dalam jangka berjalan. Bentuk tebangan ini meliputi bidang-bidang yang sesudah ditebang tidak akan ditanami lagi. Tebangan D terdiri dari D.1. tebangan pembersihan atau tebang limbah, adalah penebangan pohon-pohon yang merana, condong dan rebah yang berada di hutan

20 7 alam, yang terdapat pada lapangan untuk tebang habis, maupun pada lapangan yang tidak baik untuk tebang habis; D.2. tebangan tak tersangka, adalah penebangan yang berasal dari lapangan-lapangan yang mengalami kerusakan akibat angin, bencana alam atau akan dibuat jalan dan sebagainya, baik di dalam kawasan hutan maupun di pekarangan dinas TPK atau tanah perusahaan; D.3. Tebangan pilih ialah penebangan eksploitasi yang dilakukan secara selektif pada lapangan-lapangan yang tidak baik untuk tebang habis. Sedangkan tebangan E ialah penebangan yang berasal dari pemeliharaaan hutan-hutan yang dilakukan dengan jalan penjarangan. Hasil yang diperoleh dari tebang penjarangan diartikan pula sebagai hasil pendahuluan. 2.6 Daur Daur adalah jangka waktu antara saat penanaman hutan sampai dengan saat pemungutan hasil akhir atau tebangan habis. Menurut Simon (2000) daur atau rotasi adalah suatu periode dalam tahun yang diperlukan untuk menanam dan memelihara suatu jenis pohon sampai mencapai umur yang dianggap masak untuk keperluan tertentu. Istilah daur sebenarnya hanya dipakai untuk pengelolaan hutan tanaman sama umur. Daur dibedakan menurut jangka waktu (lamanya) sebagai berikut : Daur pendek : kurang dari 15 tahun Daur menengah : tahun Daur panjang : > 40 tahun Pada dasarnya daur yang digunakan adalah daur ekonomis/finansial karena lebih sesuai dengan tujuan perusahaan. Dalam menetapkan daur juga mempertimbangkan berbagai aspek lain sesuai kondisi sosial ekonomi daerah, tingkat kerawanan sosial dan sebagainya. Pedoman umum daur kayu kelas perusahaan jati adalah tahun (Perum Perhutani 1992). Timbulnya istilah daur tidak terlepas dari konsep hutan normal. Pada mulanya, maksud konsep hutan normal adalah untuk menyajikan suatu patokan sebagai pembanding keadaan hutan yang ada di lapangan untuk kepentingan pengelolaan hutan berdasarkan azas kelestarian (MEYER et al diacu dalam Simon 2000). Idealnya, setiap tegakan dalam suatu hutan normal akan ditebang pada umur tertentu,

21 8 yaitu umur daur. Oleh karena itu penentuan panjang daur merupakan salah satu keputusan kunci dalam pengelolaan hutan tanaman sama umur. Adapun pertimbangan KPH Bojonegoro menggunakan daur 60 tahun dan umur tebang minimum (UTM) 50 tahun adalah dengan memperhatikan struktur kelas hutan produktif yang ada, kurang menguntungkan menggunakan daur lama (70 tahun dan 80 tahun); serta memperhatikan azas kelestarian hutan dan azas kelangsungan produksi. 2.7 Pengaturan Hasil Pengaturan hasil merupakan upaya untuk mengatur pemungutan hasil (panenan) agar jumlah hasil yang dipungut setiap periode kurang lebih sama dan dapat diusahakan meningkat secara berkesinambungan. Pengaturan hasil berintikan penentuan etat. Etat didefinisikan sebagai besarnya porsi luas atau massa kayu atau jumlah batang yang boleh dipungut setiap tahun selama jangka pengusahaan yang menjamin kelestarian produksi dan sumberdaya (Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia 1999). Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam penetapan etat tebangan, antara lain : etat volume tidak dibenarkan melebihi pertumbuhan tegakan (riap), pemanfaatan semua jenis kayu komersial secara optimal, menjamin kelestarian produksi dan kelestarian hutan, memperhatikan kebijaksanaan pemerintah di bidang pengusahaan hutan, menjamin fungsi perlindungan hutan. Faktor yang mempengaruhi etat tebangan, antara lain : sistem silvikultur yang digunakan, rotasi tebangan yang digunakan, diameter minimum yang diijinkan untuk ditebang, luas areal berhutan yang dapat dilakukan penebangan, massa tegakan, jenis pohon. Pada dasarnya metode yang digunakan di dalam pengaturan hasil adalah metode kombinasi etat luas dan etat volume berdasarkan SK Dirjen Kehutanan No. 143/Kpts/Dj/I/1974. a) Penentuan Etat Etat luas = Keterangan : L = luas jenis kayu pokok yang dihasilkan dalam ha

22 9 D = daur (tahun) Etat massa = Keterangan : = massa kayu tegakan kelas umur pada UTR = massa kayu hutan miskin riap b) Umur Tebang Rata-rata (UTR) adalah umur rata-rata kelas perusahaan ditambah setengah daur dari kelas perusahaan/bagian hutan yamg bersangkutan. Cara perhitungan ini didasarkan pada anggapan bahwa rata-rata dari kelas hutan yang ada akan mencapai umur tebang setelah jangka waktu setengah daur. UTR = ū + ½ d Keterangan : UTR = umur tebang rata-rata d = daur ū = umur rata-rata yang dihitung dengan rumus : ū = = luas areal tanaman ke-i = umur tengah tanaman ke-i i =1, 2, 3,. Sampai tanaman terakhir dalam kelas umur bersangkutan. c) Pengujian Jangka Waktu Penebangan (cutting time test) Hasil perhitungan etat tersebut perlu diuji. Cutting time test adalah pengujian terhadap kelestarian produksi selama daur berdasarkan luas tegakan produksi yang ada serta berdasarkan potensi produksi dari masing-masing petak/anak petak. Bilamana dalam pengujian kumulatif tahun-tahun penebangan selama daur dianggap ada perbedaan nyata dengan daur yang telah ditetapkan, maka etat massa yang telah didapat pada perhitungan pertama dikoreksi menjadi etat massa untuk diuji lagi pada cutting time test berikutnya masih memberikan perbedaan lebih dari dua tahun, etat yang telah dikoreksi kembali berturut-turut sampai perbedaan akhirnya maksimum 2 tahun.

23 Jangka Benah Jangka benah ialah apabila kelas umur (KU), umur pada saat ditebang di bawah umur tebang minimum yang telah ditetapkan. Jangka benah dilaksanakan agar setiap kelas umur (KU), umur pada saat ditebang mencapai umur tebang minimum (Perum Perhutani 2001). Dalam konsep kelestarian, jangka benah dilakukan untuk membenahi kepincangan-kepincangan agar hutan dapat normal kembali. 2.9 Pengamanan Hutan Pengamanan hutan bertujuan untuk mencegah terjadinya penyerobotan tanah hutan, penebangan liar, penggembalaan liar, dan kebakaran hutan. Pengamanan hutan guna menanggulangi adanya perambahan hutan dan pencurian hasil hutan dilakukan secara rutin, khusus maupun terpadu dengan titik berat mencegah segala bentuk pelanggaran yang berupa penebangan liar, perambah kawasan, dan perladangan berpindah; pengangkutan, peredaran, penyelundupan, dan pencurian hasil hutan; industri penggergajian kayu liar, kayu tebangan liar yang dilindungi oleh dokumen sah, pemberian izin pengolahan kayu dan areal hutan yang tidak melalui prosedur, pemilik modal yang membiayai usaha penebangan liar, serta penadah/pembeli kayu liar. Perubahan potensi hutan akibat gangguan keamanan dan bencana alam antara lain : pencurian, angin, kebakaran, tanaman gagal, dan hama penyakit (Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia 1999). Faktor utama yang menyebabkan timbulnya kemunduran potensi hutan jati di Jawa adalah adanya kemiskinan di daerah pedesaan karena menurunnya rata-rata pemilikan lahan pertanian dan meningkatnya angkatan kerja, sehingga menyebabkan terjadinya tanaman gagal, penggembalaan ternak yang berlebihan di lahan hutan, dan pencurian kayu (Simon 2000).

24 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2008 di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. 3.2 Sumber Data dan Jenis Data Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari : 1. Buku RKPH KPH Bojonegoro selama 4 jangka yaitu jangka , jangka , jangka dan jangka Laporan audit sumberdaya hutan KPH Bojonegoro tahun 2007 Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah : 1. Hasil risalah hutan KPH Bojonegoro jangka , jangka , jangka dan jangka Data register kelas hutan per Bagian Hutan 3. Tabel ikhtisar luas kelas hutan pada berbagai jangka per Bagian Hutan 4. Tabel etat luas dan etat volume berbagai jangka 5. Realisasi dan rencana produksi 10 tahun terakhir 6. Realisasi dan rencana penanaman 10 tahun terakhir 7. Realisasi dan rencana penjarangan 10 tahun terakhir 8. Tingkat kerusakan atau gangguan terhadap hutan 10 tahun terakhir. 3.3 Kerangka Pemikiran Permasalahan utama yang dianalisis dalam kajian ini adalah tingkat kelestarian tegakan dan produksi kayu di KPH Bojonegoro pada masa yang akan datang. Hal ini dapat dijawab dengan membuat prediksi berdasarkan evaluasi kondisi tegakan saat ini dan selama 30 tahun terakhir (tiga jangka). Dari hasil evaluasi tersebut dapat dianalisis kecenderungan struktur kelas hutan dan potensinya serta gambaran realisasi kegiatan pengelolaan hutan pada dua jangka Rencana Pengaturan

25 12 Kelestarian Hutan (RPKH) yang berurutan (yakni pada tahun ke t dan t + 10). Perubahan struktur luas kelas hutan selama sepuluh tahun, baik menjadi areal produktif (pindah kelas umur), non produktif (turun potensi menjadi tanah kosong, tanaman jati bertumbuhan kurang, atau miskin riap) maupun menjadi tanaman baru (kelas umur I), digunakan sebagai dasar penyusunan model proyeksi untuk memprediksi struktur kelas hutan pada jangka yang akan datang berdasarkan asumsiasumsi tertentu yang dibangun atas dasar kondisi sumberdaya hutan selama 30 tahun terakhir. Dalam kajian ini, diasumsikan bahwa kondisi struktur kelas hutan sebelum masa penjarahan (tahun ) merupakan kondisi normal dengan laju kerusakan hutan cenderung minimal, kondisi struktur kelas hutan setelah masa penjarahan mencerminkan kondisi pesimis dengan laju kerusakan hutan cenderung lebih besar, serta penetapan target maksimum kerusakan yang boleh terjadi sebesar 20 % per jangka (2 % per tahun) mencerminkan kondisi harapan. Model proyeksi digunakan untuk memprediksi struktur kelas hutan pada masa yang akan datang berdasarkan struktur kelas hutan jati saat ini (yakni hasil audit sumberdaya hutan tahun 2007). Model proyeksi dianalisis dengan menggunakan berbagai faktor kerusakan. Berdasarkan struktur kelas hutan jati saat ini dan asumsi berbagai tingkat kerusakan maka dilakukan pengaturan hasil (metode Burns), yang meliputi : perhitungan etat, pengujian etat, dan jangka benah. Selanjutnya, dapat ditentukan proyeksi luas dan volume tebangan (terutama tebangan A2 dan E) pada setiap jangka dihitung berdasarkan metode Burns tersebut. Analisis lebih lanjut terhadap hasil proyeksi dilakukan guna memperoleh suatu rumusan skenario pengelolaan yang dapat dijadikan dasar penyusunan rencana kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan pada masa mendatang. Alur dari kerangka pemikiran untuk kajian kelestarian tegakan dan produksi kayu jati di KPH Boojonegoro disajikan pada Gambar 1. berikut :

26 13 Evaluasi kondisi sumberdaya hutan pada 30 tahun lalu : Struktur kelas hutan Realisasi pengelolaan Struktur kelas hutan pada tahun ke-t Asumsiasumsi Struktur kelas hutan pada tahun ke t +10 Model proyeksi : Alih tumbuh (pindah kelas umur) Kerusakan (TK,TJBK,MR) Tanaman muda (KU I) Audit sumberdaya hutan terakhir (2007) Struktur kelas hutan saat ini Sumber hasil/produksi jati Tingkat kerusakan : Harapan Normal Pesimis Pengaturan hasil (metode Burns) : Perhitungan etat Pengujian etat Jangka benah Proyeksi jangka mendatang : Struktur kelas hutan Luas dan volume tebangan (A3,E) Analisis hasil proyeksi dan formulasi skenario pengelolaan Kesimpulan dan rekomendasi Gambar 1 Kerangka pemikiran untuk kajian kelestarian tegakan dan produksi kayu di KPH Bojonegoro

27 Asumsi-asumsi Dasar Asumsi-asumsi yang digunakan adalah : 1. Kondisi sumberdaya hutan beserta kecenderungan perubahannya selama 30 tahun terakhir dapat dijadikan dasar untuk prediksi kondisi sumberdaya hutan pada masa mendatang. Dalam hal ini diasumsikan pula bahwa : 1.1 Kondisi sumberdaya hutan sebelum masa penjarahan mencerminkan kondisi normal dimana laju kerusakan hutan cenderung rendah, sehingga dapat dijadikan dasar prediksi dalam situasi tingkat gangguan hutan relatif rendah 1.2 Kondisi sumberdaya hutan setelah masa penjarahan mencerminkan kondisi pesimis dimana laju kerusakan hutan umumnya disebabkan oleh penjarahan hutan besar-besaran dan tidak terkendali, sehingga dapat dijadikan dasar prediksi dalam situasi tingkat gangguan hutan tinggi. 1.3 Kondisi dengan target kerusakan maksimum yang boleh terjadi sebesar 20 % per jangka ( 2 % per tahun) mencerminkan kondisi harapan. 2. Total luas areal hutan yang bisa untuk tujuan produksi (jumlah dari areal produktif dan non produktif) selama jangka proyeksi diasumsikan tetap, dengan alasan tidak ada kemungkinan terjadinya penambahan areal KPH pada masa mendatang. 3. Kelas hutan miskin riap (MR) pada jangka yang akan datang diasumsikan berasal dari tegakan kelas umur IV, V, dan VI. 3.5 Analisis Data Berdasarkan kerangka pemikiran dan asumsi-asumsi di atas, proses analisis data dilakukan dengan penyusunan model proyeksi yang digunakan untuk memprediksi potensi sumberdaya hutan pada masa yang akan datang, baik dalam hal struktur kelas hutan maupun potensi hasilnya (luas dan volume tebangan). Proses analisis data sebagai berikut :

28 15 1. Tingkat kelestarian dan kerusakan hutan Gambaran kondisi sumberdaya hutan pada masa lalu dapat diperoleh dengan mengevaluasi struktur kelas hutan serta rencana dan realisasi kegiatan pengelolaan hutan selama empat jangka (jangka , , , dan ) dan hasil audit sumberdaya hutan tahun Berdasarkan evaluasi terhadap kondisi sumberdaya hutan pada jangka lalu dan saat ini selanjutnya disusun suatu model proyeksi untuk memprediksi potensi sumberdaya hutan pada masa mendatang, baik dalam hal struktur kelas hutan maupun potensi hasilnya (luas dan volume penebangan). Pada dasarnya, model proyeksi tersebut menggambarkan perubahan/dinamika tegakan suatu jangka ke jangka berikutnya. Dinamika tegakan yang tercakup dalam model proyeksi ini adalah: 1. Alih tumbuh, yaitu perpindahan tegakan dari satu kelas umur ke kelas umur diatasnya. Besarnya laju alih tumbuh dinyatakan sebagai tingkat kelestarian yang dihitung dengan rumus : =, untuk i = 1,2,,7; j = 2,3,,8 dimana : = persentase alih tumbuh (tingkat kelestarian) dari tegakan kelas umur ke-i pada jangka sebelumnya menjadi tegakan kelas umur ke-j pada jangka berikutnya = luas (ha) tegakan kelas umur ke-i (ha) pada jangka sebelumnya = luas (ha) tegakan kelas umur ke-j (ha) pada jangka berikutnya. 2. Kerusakan dan penurunan potensi tegakan, dimana adanya gangguan hutan dapat menyebabkan hilangnya luasan suatu tegakan kelas umur untuk tumbuh menjadi tegakan kelas umur berikutnya. Karena ada gangguan hutan tersebut maka nilai p tidak mungkin 100% sehingga akan terdapat tingkat kerusakan (q, %) sebesar : = 100% -, untuk i = 1,2,,7; j = 2,3,,8 Dalam hal ini terdapat kemungkinan kerusakan tegakan sebagai berikut : 2.1 Pada tegakan kelas umur I, kelas umur II, dan kelas umur III mengalami kerusakan menjadi tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang,

29 16 dimana tingkat kerusakannya (t, %) akan sama dengan nilai,, dan 2.2 Pada tegakan kelas umur IV, kelas umur V dan kelas umur VI mengalami kerusakan selain menjadi tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang dan juga penurunan potensi tegakannya menjadi miskin riap. Oleh karena itu, tingkat kerusakan (q, %) pada ketiga kelas umur tersebut terdiri atas tingkat kerusakan menjadi tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang (t, %) dan tingkat penurunan potensi menjadi miskin riap (r, %), sehingga : = +, untuk i = 4,5,6; j = 5,6,7 Besarnya nilai t dan r dihitung berdasarkan proporsi luasan tanah kosong, tanaman jati bertumbuhan kurang, dan miskin riap pada tegakan berumur 40 tahun ke atas dari data hasil audit sumberdaya hutan KPH Bojonegoro tahun Penambahan tanaman baru, yaitu luasan areal non produktif yang ditanami dan menjadi tegakan kelas umur I pada jangka berikutnya. Persentase penambahan tanaman baru (b, %) dihitung dengan rumus : U k,t = x 100%, untuk k = 1,2, n; l = 2,3, n Dimana : U κ,ι = persentase penambahan tanaman baru dari jangka ke-k (sebelumnya) menjadi ke-l (berikutnya) α = luas kelas umur I (ha) pada jangka ke-l (berikutnya) t = luas tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang (ha) pada awal jangka ke-l (sebelumnya) b = luas tebangan A2 (ha) dalam jangka ke-l (sebelumnya) c = luas tebangan B dan D (ha) dalam jangka ke-l (sebelumnya). Berdasarkan data struktur luas kelas hutan selama empat jangka dan audit sumberdaya hutan tahun 2007, dapat dihitung besarnya tingkat kelestarian dan kerusakan kelas hutan di KPH Bojonegoro. Untuk keperluan proyeksi pada berbagai

30 17 tingkat gangguan hutan, selanjutnya ditentukan nilai rata-rata tingkat kelestarian dan kerusakan yang mencerminkan kondisi : 1. Normal, yakni rata-rata dari persentase kelestarian atau kerusakan mulai periode jangka , jangka , hingga sebelum terjadinya masa penjarahan. 2. Pesimis, yakni rata-rata (terboboti perbedaan lama jangka) mulai periode terjadinya masa penjarahan, jangka , hingga tahun Harapan, yakni target kerusakan maksimum yang boleh terjadi sebesar 20 % per jangka ( 2 % per tahun). 2. Kelestarian tegakan Struktur kelas hutan pada jangka mendatang diprediksi dengan cara mengalikan luas masing-masing kelas hutan pada jangka sebelumnya dengan persentase tingkat kelestarian sehingga dapat diprediksi luas suatu kelas umur yang beralih ke kelas umur berikutnya. Luas suatu kelas umur yang rusak menjadi tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang atau miskin riap diprediksi dari persentase tingkat kerusakannya. Penambahan tanaman baru pada kelas umur I diprediksi berdasarkan persentase kemampuan rata-rata penanaman. Pengurangan luas areal produktif (kelas umur VII ke atas) dimungkinkan karena adanya penebangan dalam jangka yang dihitung berdasarkan perhitungan etat. 3. Kelestarian Produksi Kayu Jati Pada setiap awal jangka proyeksi dari masing-masing skenario dilakukan perhitungan etat (luas dan volume) dari tebangan A (tebang habis) dan tebangan E (penjarangan komersil) berdasarkan struktur kelas hutan yang terbentuk guna menentukan besarnya luas dan volume penebangan pada tiap jangka proyeksi. Etat tebangan dihitung berdasarkan metode Burn (umur tebang rata-rata). Dalam perhitungan tersebut, digunakan nilai rata-rata bonita, kerapatan bidang dasar (KBD), dan faktor koreksi (FK). Selama jangka proyeksi, ketiga faktor tersebut diasumsikan tetap dengan pertimbangan bahwa : 1. Bonita mencerminkan kualitas tempat tumbuh yang tidak mudah berubah dalam tempo singkat (walaupun terdapat kecenderungan semakin menurun)

31 18 2. Kerapatan bidang dasar (KBD) merupakan ukuran kerapatan tegakan yang dipengaruhi oleh gangguan/kerusakan hutan. Dalam kajian ini, perubahan luas akibat gangguan hutan telah dipertimbangkan dalam skenario proyeksi (normal, harapan, dan pesimis), sehingga juga dapat mencerminkan perubahan kerapatan bidang dasar (KBD) selama jangka proyeksi. 3. Faktor koreksi (FK) merupakan suatu koreksi sistematis terhadap penyimpangan antara realisasi dan rencana, yang dapat mencerminkan ratarata pencapaian produksi pada jangka panjang. Hasil perhitungan dan pengujian etat ditindaklanjuti dengan tahapan jangka benah jika ada KU yang sudah waktunya ditebang (berdasarkan pengujian etat) masih memiliki umur di bawah UTM (umur tebang minimum). Prosedur jangka benah yang dilakukan berpedoman pada SK Direksi Perum Perhutani No /DIR tanggal 15 September Selanjutnya, disusun bagan tebang hipotesis untuk menentukan luas dan volume tebangan, khususnya untuk jangka proyeksi pertama. Taksiran luas dan volume tebangan penjarangan dihitung dengan rumus : Le 1j = 5 i 2 1 ij 10 a Ve 1j = e 1. v e L j 1 Dimana : Le 1j = luas tebangan penjarangan (ha/tahun) pada jangka ke-j α 1ij = total luas KU II-V pada jangka ke-j Ve 1j = volume tebangan jati pada jangka ke-j ve 1 = rata-rata volume per hektar tebangan penjarangan. Faktor koreksi untuk prediksi akhir ditentukan berdasarkan rumus : Dimana : FKl FKv Lb,vb FKl = l l b k dan FKv = v v = faktor koreksi untuk prediksi luas tebangan = faktor koreksi untuk prediksi volume tebangan = prediksi luas dan volume tebangan yang dihitung untuk tiap bagian hutan dan kemudian digabungkan untuk tingkat KPH. b k

32 19 Lk,vk = prediksi luas dan volume tebangan yang dihitung untuk level KPH. Untuk memperoleh taksiran nilai finansial dari hasil tebangan yang lebih realistis sesuai kualitas dan harga kayunya, maka prediksi volume tebangan A2 dan E pada setiap jangka proyeksi diklasifikasikan berdasarkan jenis sortimen AI, AII, dan AIII.

33 4.1 Letak BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bojonegoro dengan luas wilayah ,4 ha, secara administratif seluruh wilayahnya berada di Daerah Tingkat II Kabupaten Bojonegoro, dengan batas hutan bagian utara berbatasan dengan kota Kabupaten Bojonegoro, bagian timur berbatasan dengan KPH Jombang, bagian selatan berbatasan dengan KPH Saradan dan KPH Nganjuk, sedangkan bagian barat berbatasan dengan KPH Padangan. Secara geografis, batas KPH Bojonegoro terletak pada sebelah utara LS, sebelah selatan LS, sebelah barat BT, dan sebelah timur terletak pada BT. 4.2 Keadaan Lapangan Keadaan hutan dalam KPH Bojonegoro berada pada lapangan yang datar sampai miring, makin ke selatan mendekati Gunung Pandan keadaan lapangan makin bergelombang sampai berbukit-bukit dan terpisah-pisah oleh jurang dengan ketinggian m dpl. Bagian selatan dari Bagian Hutan Cerme, Temayang, dan Deling keadaan lapangannya sangat berbukit-bukit dan terpisah-pisah oleh jurang yang dalam, ditambah dengan jenis tanahnya yang mudah longsor (tanah mergel), mengakibatkan keadaan tegakan hutannya menjadi kurang baik. Di bagian utara formasi geologinya berbeda, keadaan lapangan agak mendatar dimana akan membawa pengaruh terhadap kesuburan tempat tumbuh, kesimpulannya keadaan hutannya di bagian timur adalah lebih baik daripada yang ada di bagian selatan. 4.3 Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu daerah tertentu yang berbentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam

34 21 fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber-sumber air lainnya yang penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum-hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut (PP. 33 tahun 1970, pasal 1, ayat 13), tentang Perencanaan Hutan. DAS Bengawan Solo merupakan DAS yang terluas di Pulau Jawa, yaitu dengan sungai sepanjang kurang lebih 600 km mempunyai daerah aliran seluas ha. KPH Bojonegoro seluruhnya berada pada DAS Bengawan Solo tersebut atau merupakan 3 % dari luas DAS, sebagai KPH terluas diantara KPH-KPH yang ikut menyusun DAS Bengawan Solo. 4.4 Tanah Bagian utara adalah lapisan kapur dimana terdapat fosil-fosil yang turut membentuk lapisan kapur dan batu pasir. Tanah-tanah kapur yang berasal dari batu kapur bercampur dengan batu pasir terdapat di Bagian Hutan Ngorogunung, Dander, dan Deling bagian utara, bagian barat daya, timur, dan selatan utamanya di Bagian Hutan Clangap, Temayang, Cerme, dan Deling. Bagian selatan adalah lapisan mergel, yang pelapukannya menjadi tanah margalit yang liat/lengket dan berwarna putih kelabu sampai kelabu kehitam-hitaman. Mergel yang bercampur dengan batu kapur, pasir dalam pelapukannya menjadi tanah mergel berpasir, berwarna coklat atau kelabu dan mempunyai susunan butir tanah yang baik, tanah tersebut baik untuk pertumbuhan jati. Pada lembah Kali Gondang, Kali Tretes dan bagian atas Kalitidu adalah tanah liat hitam, yang keadaannya sedang sampai baik, dimana jati dapat tumbuh dengan cukup baik. Di bagian paling selatan mendekati Gunung Pandan, tanah berasal dari pelapukan breccie yang dangkal, berwarna hitam dan perlu dilindungi dari erosi. Di bagian Tenggara dari Bagian Hutan Deling terdapat pula tanah-tanah berasal dari pelapukan Tuf yang baik untuk jati.

35 Iklim Iklim wilayah KPH Bojonegoro mempunyai perbedaan yang jelas antara musim hujan dengan musim kemarau. Dari stasiun pengamat hujan yang berada di sekitar hutan diperoleh kriteria bulan basah, bulan lembab, dan bulan kering. Menurut SCHMIDT dan FERGUSON (1951), kriteria bulan basah, bulan lembab, dan bulan kering adalah sebagai berikut : a) Bulan basah, dengan curah hujan : > 100 mm/bln b) Bulan lembab, dengan curah hujan : mm/bln c) Bulan kering, dengan curah hujan : < 60 mm/bln. Berdasarkan perbandingan bulan basah dan bulan kering, maka SCHMIDT dan FERGUSON menetapakan tipe iklim di Indonesia dengan mempergunakan rumus nilai Q sebagai berikut : Jumlah rata-rata bulan kering Q = x 100 % Jumlah rata-rata bulan basah Berdasarkan jumlah rata-rata bulan kering dan bulan basah, maka dapat diketahui tipe iklim wilayah KPH Bojonegoro tahun 1992 s/d 2000 adalah sebagai berikut : Jumlah rata-rata bulan kering Q = x 100 % Jumlah rata-rata bulan basah 36,6 = x 100 % 59 = 62 % (termasuk tipe iklim D). Sesuai dengan kriteria SCHMIDT dan FERGUSON, iklim wilayah KPH Bojonegoro termasuk tipe iklim D.

36 Sosial Ekonomi a. Pengembangan Desa Hutan Tingkat kemampuan suatu desa dalam penyelenggaraan yang berkaitan dengan sosial ekonomi dinyatakan dengan tingkat pengembangan desanya dengan status swakarya, swadaya, dan swasembada. Hutan sebagai bagian dari lingkungan himpunan masyarakat di sekitar hutan, maka kawasan dari tingkat desa-desa itu akan berpengaruh yang berbeda pula mengenai sikap masyarakatnya terhadap hutan. Jumlah desa hutan di wilayah Perhutani KPH Bojonegoro sebanyak 139 desa, 4 desa swakarya, 3 desa swadaya, dan 132 desa swasembada. b. Penyebaran Penduduk Jumlah penduduk dalam kecamatan-kecamatan yang masuk dalam wilayah kerja KPH Bojonegoro ± orang terdiri dari 49,7 % dan 50,3 % perempuan. c. Mata Pencaharian Mata pencaharian penduduk dekat wilayah hutan KPH Bojonegoro adalah sebagai petani, pedagang, industri/kerajinan, buruh, pegawai/tni, dan lain-lain. 4.7 Bagian Hutan Bagian Hutan adalah suatu areal hutan yang ditetapkan sebagai Kesatuan Produksi dan Kesatuan Eksploitasi. Dengan demikian diharapkan dapat menghasilkan kayu setiap tahun secara terus-menerus, dalam jumlah yang memenuhi syarat pengelolaan hutan yang baik dan sesuai dengan azas kelestarian hutan. KPH Bojonegoro wilayah hutannya seluas ,4 ha, dibagi dalam enam Bagian Hutan yaitu : a. Bagian Hutan Clangap luas 3.475,8 ha b. Bagian Hutan Dander luas 6.181,6 ha c. Bagian Hutan Ngorogunung luas ha d. Bagian Hutan Cerme luas 8.459,7 ha e. Bagian Hutan Temayang luas ,4 ha

37 24 f. Bagian Hutan Deling luas 8.887,9 ha Masing-masing Bagian Hutan ini dibagi dalam petak-petak yang berfungsi sebagai kesatuan manajemen dan kesatuan administrasi, dengan demikian petak harus memenuhi syarat, antara lain : luasnya tertentu, lokasinya, batas dan nomornya tetap. Lokasi petak tersebut dibatasi dengan alur yang dibuat sedemikian rupa, sehingga pada saatnya dapat ditingkatkan sebagai jalan angkutan. 4.8 Tegakan KPH Bojonegoro adalah merupakan kelas perusahaan jati yang didominasi oleh tanaman jati dan juga terdapat tanaman Mahoni, Sonokeling, Sonosiso, Sonobrit, Gmelina arborea dan Johar. KPH Bojonegoro dengan alamnya yang baik untuk pertumbuhan jati. Posisi distribusi jenis tanman di KPH Bojonegoro adalah jenisjenis : a. Jati : 87 % b. Mahoni : 7 % c. Sonokeling : 2 % d. Rimba : 3 % Dalam pengelolaan direncanakan jenis-jenis yang presentasenya kecil akan dirombak menjadi jenis jati paling tidak diganti jenis-jenis yang merupakan substitusi kayu jati misalnya mahoni atau sonokeling.

38 5.1 Struktur Kelas Hutan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Bojonegoro merupakan kelas perusahaan jati berdasarkan jenis kayu dan ditetapkan sebagai kelas perusahaan tebang habis berdasarkan bentuk tebangan. Struktur kelas hutan KPH Bojonegoro selama empat jangka terakhir yaitu jangka , , , dan dievaluasi dengan menggunakan metode pengaturan hasil (metode Burns) dengan mempertimbangkan berbagai kondisi tingkat kerusakan, sehingga dapat diprediksi kelestarian tegakan dan kelestarian produksi kayu jati KPH Bojonegoro. Data pada Tabel 1. menyajikan daftar struktur kelas hutan KPH Bojonegoro selama empat jangka terakhir, baik kelas hutan produktif maupun kelas hutan non produktif. Perubahan luas wilayah KPH Bojonegoro dari ,8 ha menjadi 50145,4 ha mulai jangka disebabkan karena mulai jangka tersebut ada pengaturan kembali beberapa wilayah kerja RPH mengenai luas dan jumlah petak hutannya serta pemisahan wilayah RPH Ringinanom dari BKPH Clangap digabungkan ke BKPH Nglambangan. Penurunan luas hutan produktif terlihat pada jangka , sebagai akibat besarnya tingkat kerusakan pada jangka Gambaran luas hutan produktif selama empat jangka dibanding dengan kondisi saat ini adalah sebagai berikut : 1. Jangka perusahaan tahun : ( 32673,4 : 50099,8 ) x 100 % = 65 % 2. Jangka perusahaan tahun : ( 35816,2 : 50099,8 ) x 100 % = 71 % 3. Jangka perusahaan tahun : ( 35996,8 : 50145,4 ) x 100 % = 72 % 4. Jangka perusahaan tahun : ( 26187,2 : 50145,4 ) x 100 % = 52 % 5. Kondisi saat ini tahun 2007 : ( 30705,8 : 50145,4 ) x 100 % = 61 % Dari kondisi struktur kelas hutan tersebut dapat disimpulkan bahwa dinamika tegakan yang mungkin terjadi, meliputi : alih tumbuh (perpindahan tegakan dari suatu kelas umur ke kelas umur di atasnya), kerusakan dan penurunan potensi tegakan (adanya gangguan hutan dapat menyebabkan hilangnya luasan suatu tegakan kelas umur untuk tumbuh menjadi tegakan kelas umur berikutnya), dan penambahan

39 26 tanaman baru (luasan areal non produktif yang ditanami dan menjadi tegakan kelas umur I pada jangka berikutnya) (Perum Perhutani 2007). Tabel 1 Struktur kelas hutan KPH Bojonegoro dari tahun 1975 sampai 2007 a. Produktif Kelas hutan Luas areal (ha) pada tiap jangka I ( ) II ( ) III ( ) IV ( ) V (2007) Kelas umur I (1-10) 10492, ,9 4729,7 6460, ,7 Kelas umur II (11-20) 5760,6 8511,1 9638,6 4725,9 3767,7 Kelas umur III (21-30) 2464,9 4340,8 6630,3 6136,3 3600,3 Kelas umur IV (31-40) 2103,6 1889,5 3691,8 3073,2 2010,2 Kelas umur V (41-50) 1936,1 1573,9 1492,1 1537,4 755,1 Kelas umur VI (51-60) 1784,9 1688,0 1361,2 477,3 396,0 Kelas umur VII (61-70) 2773,9 1872,7 1444,9 597,2 82,1 Kelas umur VIII (71-80) 1537,7 1212,7 947,7 462,4 144,3 Kelas umur IX (81-90) 117,1 280,8 70,0 6,3 16,9 Kelas umur X (91-100) Masak tebang 1135,7 7,9 Miskin riap 3702,4 1226,1 863,7 1158,4 1542,5 Hutan alam jati miskin riap (HAJMR) 5118,9 1551,9 Jumlah produktif (a) 32673, , , , ,8 b. Non-produktif Lapangan tebang habis jangka lampau (LTJL) 1225,3 516,5 497,4 451,3 46,1 Tanaman kayu lain (TKL) 4,3 1763,4 9187,8 1056,7 Tanah kosong (TK) 1044,7 9,2 1231,6 974,6 4490,7 Hutan alam kayu lain (HAKL) 888,3 356,4 374,6 132,9 90,2 Tanaman jati bertumbuhan kurang (TJBK) 1131,4 17,0 2975,8 5041,1 8530,0 Hutan alam jati bertumbuhan kurang (HAJBK) 114,3 171,3 846,0 1487,5 Tidak baik untuk perusahaan tebang habis (TBPTH) 7588,4 7586,8 779,5 777,3 661,5 Tanah kosong tidak baik untuk jati (TKTBJ) 301,5 29,3 80,0 14,2 Hutan alam kayu lain tidak baik untuk jati (HAKLTBJ) 260,5 100,6 Tanaman jati merana (TJM) 124,4 Tanaman jenis kayu lain (TJKL) 2381,6 3040,8 3072,8 3146,5 1884,1 Hutan lindung terbatas (HLT) 5,7 Tidak baik untuk penghasilan (TBP) 635,5 670,3 694,6 193,3 197,2 Lapangan dengan tujuan istimewa (LDTI) 126,8 219,6 821,9 805,9 Suaka alam (SA) Hutan lindung (HL) 1120,5 1070,1 1051,4 1051,4 1050,4 Alur 610,0 607,8 612,6 612,6 612,6 Jumlah non-produktif (b) 17426, , , , ,6 Total (a+b) 50099, , , , ,4 Sumber : Buku RPKH jangka , buku RPKH jangka , bukurpkh jangka , buku RPKH jangka dan Hasil Audit 2007

40 27 Tegakan pada kelas umur I, kelas umur II, dan kelas umur III yang mengalami kerusakan menjadi tanah kosong (TK) dan tanaman jati bertumbuhan kurang (TJBK). Sementara untuk tegakan kelas umur IV, kelas umur V, dan kelas umur VI yang mengalami kerusakan selain menjadi tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang, juga mengalami penurunan potensi tegakan menjadi miskin riap (MR). Penurunan luas hutan produktif diduga terjadi karena adanya pencurian yang terus-menerus dan penjarahan terutama pada kelas umur III ke atas. Untuk mendapat gambaran seberapa besar tingkat kelestarian dan tingkat kerusakan dinamika tegakan jati KPH Bojonegoro maka dibandingkan kondisi kelas umur pada tahun t dan setelah tumbuh menjadi kelas umur berikutnya pada tahun t Tingkat Kelestarian dan Kerusakan Tingkat kelestarian dan kerusakan yang digambarkan berdasarkan kondisi tegakan selama periode digunakan dalam memprediksi luas suatu kelas umur yang beralih menjadi kelas umur berikutnya ataupun yang rusak menjadi tanah kosong, tanaman jati bertumbuhan kurang, dan miskin riap. Berdasarkan struktur kelas hutan dari tahun 1975 sampai 2007 dapat dihitung besarnya tingkat kelestarian dan kerusakan kelas hutan KPH Bojonegoro seperti tertera pada Tabel 2. Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat kerusakan terbesar terdapat pada kondisi III-IV dan IV-V. Hal ini disebabkan karena kondisi hutan pada saat itu merupakan kondisi hutan setelah masa reformasi atau kondisi terburuk dengan laju kerusakan terbesar dan tidak terkendali. Jika dilihat dari struktur kelas hutan pada kondisi III-IV dan IV-V lebih kecil potensi kelas umur muda dan kelas umur tua dibanding pada kondisi I-II dan II-III. Menurut Perum Perhutani (2007), untuk keperluan proyeksi pada berbagai tingkat gangguan hutan dapat ditentukan nilai rata-rata tingkat kelestarian dan kerusakan yang mencerminkan kondisi normal (rata-rata dari persentase kelestarian atau kerusakan dari tahun 1968 hingga 1991), harapan (kondisi normal tetapi persentase kerusakan pada tiap kelas umur ditargetkan maksimum 20 % per jangka atau 2% per tahun), dan pesimis (rata-rata / terboboti perbedaan lama jangka dari

41 Tingkat kelestarian (%) (alih tumbuh, %) 28 persentase kelestarian atau kerusakan dari tahun 1991 hingga 2006). Oleh sebab itu, kondisi I-II dan II-III dikelompokkan menjadi kondisi normal karena tingkat kelestarian pada kondisi tersebut lebih besar, sedangkan kondisi III-IV dan IV-V. merupakan kondisi pesimis disebabkan tingkat kelestarian yang lebih kecil. Tabel 2 Persentase tingkat kelestarian dan kerusakan hutan di KPH Bojonegoro selama periode No. Kelas Umur Tingkat kelestarian (%) Tingkat kerusakan (%) I-II II-III III-IV IV-V I-II II-III III-IV IV-V 1 Kelas umur I (1-10) Kelas umur II (11-20) 81,1 79,8 99,9 58,3 18,9 20,2 0,1 41,7 3 Kelas umur III (21-30) 75,4 77,9 63,7 76,2 24,6 22,1 36,3 23,8 4 Kelas umur IV (31-40) 76,7 85,0 46,4 32,8 23,3 15,0 53,6 67,2 5 Kelas umur V (41-50) 74,8 79,0 41,6 24,6 25,2 21,0 58,4 75,4 6 Kelas umur VI (51-60) 87,2 86,5 32,0 25,8 12,8 13,5 68,0 74,2 7 Kelas umur VII (61-70) 100,0 85,6 43,9 17,2 0,0 14,4 56,1 82,8 8 Kelas umur VIII (71-80) 43,7 50,6 32,0 24,2 56,3 49,4 68,0 75,8 Keterangan : I = jangka , II = jangka , III = jangka , IV = jangka Data pada Gambar 2. menjelaskan bahwa kondisi harapan dengan tingkat kerusakan maksimum 2 % per tahun, tingkat kelestariannya lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi normal dan pesimis I-II II-III III-IV IV-V V-VI VI-VII VII-VIII Ideal Harapan 80,3 80,0 81,6 80,0 86,8 91,5 80,0 Normal 80,3 76,9 81,6 77,3 86,8 91,5 47,8 Pesimis 86,1 67,8 41,8 36,0 29,9 35,0 29,4 Kelas umur (KU) Gambar 2 Tingkat kelestarian kelas hutan atas kelas umur pada kondisi ideal, harapan, normal, dan pesimis untuk proyeksi tegakan di KPH Bojonegoro. Tingkat kelestarian yang ditunjukkan kondisi normal pada kelas umur VII-VIII mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena pada kelas umur VII ke atas banyak tanaman yang tidak berhasil tumbuh menjadi kelas umur berikutnya pada jangka selanjutnya serta adanya gangguan keamanan. Selain itu, kelas umur VII ke atas

42 Tingkat kerusakan (%) 29 merupakan kelas umur yang sudah layak ditebang, mengingat daur yang digunakan KPH Bojonegoro adalah 60 tahun. Tingkat kerusakan berdasarkan kelas hutan KPH Bojonegoro selama periode yang mencerminkan kondisi ideal, harapan, normal, dan pesimis ditunjukkan pada Gambar 3. Tingkat kerusakan ini menggambarkan adanya gangguan hutan yang dapat menyebabkan hilangnya luasan suatu tegakan kelas umur untuk tumbuh menjadi tegakan pada kelas umur berikutnya. Dalam hal ini, kondisi ideal disertakan sebagai pembanding yang menunjukkan kondisi hutan tanpa disertai faktor kerusakan I-II II-III III-IV IV-V V-VI VI-VII VII-VIII Ideal Harapan 19,7 20,0 18,4 20,0 13,2 8,5 20,0 Normal 19,7 23,1 18,4 22,7 13,2 8,5 52,2 Pesimis 13,9 32,2 58,2 64,0 70,1 65,0 70,6 Gambar 3 Kelas umur (KU) Tingkat kerusakan kelas hutan atas kelas umur pada kondisi ideal, harapan, normal, dan pesimis untuk proyeksi tegakan di KPH Bojonegoro. Data pada Gambar 3. menjelaskan bahwa tingkat kerusakan paling besar terjadi pada kondisi pesimis. Kondisi paling kritis yang ditunjukkan pada kondisi pesimis, menunjukkan tingkat kerusakan sebesar 70,6 %. Hal ini disebabkan semakin besar gangguan hutan pada kelas umur tua (kelas umur VII ke atas) karena selain kelas umur tersebut rawan terhadap pencurian, kelas umur VII ke atas sudah layak tebang sesuai daur yang digunakan KPH Bojonegoro. Persentase tingkat kerusakan pada kelas umur I, kelas umur II, dan kelas umur III (Gambar 3.) menunjukkan besarnya potensi tanah kosong yang akan ditanami pada jangka berikutnya. Untuk kelas umur IV ke atas, total persentase tingkat kerusakan tersebut masih menunjukkan total potensi tanah kosong, tanaman jati bertumbuhan kurang, dan miskin riap.

43 30 Data hasil audit sumberdaya hutan tahun 2007 pada Tabel 3. menunjukkan bahwa dari total luas tegakan berumur 40 tahun ke atas terdapat 89,4 % areal tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang dan 10,6 areal miskin riap. Besarnya potensi tanah kosong dan miskin riap diakibatkan karena kurangnya pemeliharaan dan pengamanan terhadap tegakan jati yang ada di KPH Bojonegoro. Tabel 3 Luas dan persentase tanah kosong, tanaman jati bertumbuhan kurang dan miskin riap berdasarkan hasil audit sumberdaya hutan tahun 2007 Kelas hutan Luas (ha) Persentase (%) Miskin Riap (MR) 1542,5 10,6 Tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang (TK dan TJBK) 13020,7 89,4 Jumlah 14563,2 100,0 Dugaan penurunan potensi hutan akibat kerusakan atau gangguan keamanan hutan ini tercermin dari meningkatnya kelas hutan tanah kosong (TK) dan tanaman jati bertumbuhan kurang (TJBK) yang cukup tinggi. Data realisasi dan rencana pada Tabel 4. menunjukkan persentase penambahan luas tanaman baru pada awal jangka diasumsikan sebesar 38,4 % dan pada jangka diasumsikan sebesar 57,7 % dari total luas areal non produktif (tanah kosong, tanaman jati bertumbuhan kurang, dan bekas tebangan), sehingga diperoleh rata-rata potensi tanaman baru (kelas umur I) yaitu sebesar 48,1 %. Hal ini menunjukkan bahwa hanya 48,1 % dari total kerusakan pada jangka sebelumnya yang ditanami kembali menjadi kelas umur I, sedangkan sisanya masih berupa tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang pada awal jangka berikutnya. Hal ini cukup logis karena pada jangka sebelumnya selalu ada areal non produktif yang tidak sepenuhnya dapat ditanami kembali menjadi kelas umur I pada jangka berikutnya. Data realisasi luas tebangan dan tanaman jati selama periode di KPH Bojonegoro disajikan pada Tabel 5. Data realisasi luas tebangan pada jangka lebih besar daripada luas tanaman sehingga proporsi tanam terhadap tebangan sebesar 77,3 %. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan tanam tidak menutupi semua lahan yang telah ditebang.

44 31 Tabel 4 Persentase penambahan luas tanaman baru (kelas umur I) berdasarkan data rencana dan realisasi mulai tahun Jangka RPKH Lama jangka (tahun) Luas awal jangka (ha) Luas tebangan (ha) TK TJBK A2 B+D Potensi rehabilitasi Luas kelas umur I (ha) jangka berikut Proporsi (%) kelas umur I / rehabilitasi ,6 2975,8 3872,0 4225, ,0 4729,7 38, ,6 5041,1 1110,0 4064, ,7 6460,9 57,7 Hasil realisasi selama enam tahun pada jangka menunjukkan bahwa terjadi peningkatan luas areal tanaman jati bahkan melebihi luas tebangan. Sehingga proporsi luas tanaman terhadap luas tebangan yang diperoleh meningkat sebesar 292,7 %. Hal ini menandakan adanya upaya penanaman dalam upaya meningkatkan potensi dan produksi jati. Tabel 5 Rekapitulasi realisasi luas tebangan dan tanaman jati selama periode di KPH Bojonegoro Luas tebangan Luas tanaman (ha) Proporsi Jangka RPKH Tahun A2 (ha) B+D (ha) Proporsi B/A (%) Tumpangsari Banjar harian Total tanam/tebang (%) , , , , , , , , , , , ,1 Jumlah 1110,0 4064,0 366, ,0 292, , , , , , , , , , , , , , , , , , , Jumlah , ,3 Sumber : Buku Statistik Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

45 Kelestarian Tegakan Data hasil audit sumberdaya hutan tahun 2007 akan diprediksi kondisi struktur kelas hutan dan hasil (luas dan volume) tebangan untuk lima jangka ke depan. Dalam kajian ini akan dimasukkan berbagai kondisi tingkat kerusakan hutan, baik yang mencerminkan kondisi normal, harapan, maupun kondisi pesimis. Di samping itu, untuk memperoleh perbandingan maka dalam kajian ini disertakan kondisi ideal (tanpa faktor kerusakan). Tegakan suatu hutan dikatakan lestari jika penyebaran kelas umur tegakan merata. Sehingga jika tegakan dimanfaatkan secara lestari maka setelah dilakukan penebangan, potensi tegakan tidak berkurang dibanding dengan sebelum dilakukan penebangan dan tebangan tahunan tidak mengurangi kapasitas hasil (Simon 2000). Pengelolaan hutan lestari berdasarkan aspek produksi menunjukkan terjaminnya keberlanjutan pemanfaatan hasil hutan dan usahanya. Struktur kelas hutan pada jangka mendatang diprediksi dengan cara mengalikan luas masing-masing kelas hutan pada jangka sebelumnya dengan persentase tingkat kelestarian. Luas suatu kelas umur yang rusak menjadi tanah kosong, tanaman jati bertumbuhan kurang, atau miskin riap diprediksi dari persentase tingkat kerusakannya, sehingga potensi tanaman baru yang akan ditanam kembali menjadi kelas umur I berasal dari perkalian persentase penambahan tanaman baru terhadap besarnya potensi kerusakan. Kondisi hutan KPH Bojonegoro berdasarkan hasil prediksi struktur kelas hutan yang menggambarkan kondisi ideal disajikan pada Gambar 4. Potensi tegakan pada kondisi ideal pada dasarnya tidak menunjukkan adanya pengurangan potensi tegakan meskipun dilakukan penebangan pada jangka sebelumnya. Hal ini dikarenakan pada kondisi ini tidak memasukkan faktor kerusakan dalam memprediksi struktur kelas hutan, sehingga tiap tahunnya tanaman dianggap berhasil tumbuh. Meskipun demikian, terlihat bahwa struktur kelas hutan pada kondisi ini tidak menyebar merata. Potensi tegakan pada kelas umur muda lebih besar dibanding pada kelas umur tua. Hal ini diakibatkan proyeksi kondisi hutan yang digunakan pada awal jangka prediksi

46 Luas (ha) 33 menunjukkan kondisi hutan terakhir dari KPH Bojonegoro yang penyebaran kelas umurnya tidak merata. Areal non produktif (tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang) masih terdapat pada kondisi ini meskipun semakin berkurang selama jangka prediksi. Hal tersebut cukup logis mengingat masih terdapat areal non produktif yang tidak sepenuhnya ditanami kembali pada jangka sebelumnya Kondisi ideal Kelas hutan Gambar 4 Prediksi struktur kelas hutan pada kondisi ideal. Konsep kelestarian yang digambarkan sebagai hutan normal sulit tercapai, namun bisa tercapai dalam jangka waktu tertentu. Kondisi hutan yang ideal tanpa faktor kerusakan hampir tidak mungkin dapat dicapai, sehingga persentase kerusakan pada tiap kelas umur ditargetkan maksimum 20 % per jangka (2 % per tahun). Kondisi hutan dengan nilai kerusakan tersebut dicerminkan sebagai kondisi harapan. Prediksi struktur kelas hutan dengan angka kerusakan harapan (persentase kerusakan ditargetkan maksimum 2 % per tahun) seperti terlihat pada Gambar 5. menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pada kelas hutan produktif. Potensi kelas umur tua mengalami peningkatan tiap jangka sehingga besarnya potensi areal tebang meningkat. Hal ini disebabkan semakin merata penyebaran potensi hutan sehingga tidak hanya terkonsentrasi pada kelas umur muda saja. Target kerusakan maksimum sebesar 2 % per tahun pada kondisi harapan, menggambarkan adanya potensi hutan miskin riap tiap jangka. Sama halnya dengan potensi areal non produktif (tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang) yang masih ditemui di tiap jangka meskipun nilainya lebih kecil dibanding awal

47 Luas (ha) Luas (ha) 34 jangka. Hal tersebut cukup logis karena potensi tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang masih terdapat pada jangka sebelumnya yang tidak sepenuhnya ditanami kembali menjadi kelas umur I pada jangka berikutnya Kondisi harapan Kelas hutan Gambar 5 Prediksi struktur kelas hutan pada kondisi harapan. Prediksi struktur kelas hutan dengan angka kerusakan normal berdasarkan Gambar 6. menunjukkan struktur kelas hutan produktif mengalami peningkatan. Potensi hutan pada kondisi normal tidak jauh berbeda dengan kondisi harapan, meskipun potensi hutan pada kondisi harapan lebih besar. Hal ini ditandai oleh tingkat kerusakan pada kondisi normal yang tidak berbeda bahkan sama pada kelas umur tertentu jika dibandingkan dengan kondisi harapan. Penyebaran struktur kelas hutan yang berangsur semakin merata antara kelas umur muda dan kelas umur tua menunjukkan ada kemungkinan tercapainya kelestarian tegakan Kondisi normal Kelas hutan Gambar 6 Prediksi struktur kelas hutan pada kondisi normal.

48 Luas (ha) 35 Prediksi struktur kelas hutan pada kondisi pesimis disajikan pada Gambar 7. Potensi hutan produktif pada kondisi pesimis mengalami peningkatan yang tidak normal. Potensi hutan pada kondisi ini lebih kecil dibanding pada kondisi harapan dan normal. Hal ini disebabkan karena tingkat kerusakan pada kondisi pesimis jauh lebih besar dibanding kondisi harapan dan normal. Ditandai dengan besarnya potensi hutan miskin riap, tanah kosong, dan tanaman jati bertumbuhan kurang yang lebih besar dibanding pada kondisi harapan dan normal. Penambahan tanaman baru pada kondisi pesimis lebih besar dibanding kondisi lainnya karena dipengaruhi oleh besarnya potensi tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang pada jangka sebelumnya. Tidak sepenuhnya tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang tersebut ditanami kembali, sehingga cukup logis jika pada tiap jangka masih terdapat areal non produktif tersebut Kondisi pesimis Kelas hutan Gambar 7 Prediksi struktur kelas hutan pada kondisi pesimis. Peningkatan dan penurunan potensi hutan dapat juga dilihat dari keadaan umur rata-rata tanaman (URT). semakin meningkatnya umur rata-rata tanaman pada tiap jangka maka menggambarkan kondisi struktur kelas hutan semakin membaik. Hal tersebut ditandai dengan semakin meningkatnya potensi kelas hutan produktif dan penyebaran potensi kelas hutan semakin merata. Data pada Gambar 8. berikut menyajikan umur rata-rata tanaman baik pada kondisi ideal, harapan, normal, maupun pesimis. Nilai umur rata-rata tanaman ini diperoleh dari pengurangan umur tebang rata-rata terhadap setengah dari nilai daur.

49 Umur (tahun) 36 Umur rata-rata tanaman pada kondisi ideal, harapan, dan normal mengalami peningkatan. Kondisi struktur kelas hutan produktif yang semakin membaik dan potensi kelas umur yang layak tebang meningkat sehingga mengakibatkan peningkatan umur rata-rata tanaman, namun pada kondisi pesimis umur rata-rata tanaman mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena luas hutan produktif pada kondisi pesimis menurun. Umur rata-rata tanaman kondisi harapan dan normal mendekati setengah dari daur yang ditetapkan, sedangkan pada kondisi pesimis, umur rata-rata tanaman masih jauh dari umur rata-rata tanaman normal (setengah daur). Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi harapan dan normal, kelestarian tegakan masih dapat tercapai karena tegakan yang ada berpotensi tumbuh dengan baik dan memberikan hasil yang optimal hingga waktunya untuk ditebang URT - ideal URT - Normal URT - Harapan URT - pesimis Gambar 8 Umur rata-rata tanaman (URT) dan umur tebang rata-rata (UTR). Perhitungan luas dan volume tebangan dalam kajian ini didasarkan atas data struktur kelas hutan, rencana dan relisasinya pada tingkat KPH. Padahal, pada penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) biasanya etat dihitung untuk tiap bagian hutan kemudian digabungkan jika dikehendaki taksiran etat untuk tingkat KPH. Tentunya cara perhitungan seperti dalam kajian ini dapat menimbulkan bias, untuk itu perlu dilakukan koreksi terhadap prediksi luas dan volume tebangan pada bagan tebangan hipotetis yang disusun. Berdasarkan data Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) jangka , faktor koreksi prediksi hasil jati di

50 37 KPH Bojonegoro adalah 0,85 (untuk prediksi luas tebangan) dan 1,23 (untuk prediksi volume tebangan), seperti tertera pada Tabel 6. Tabel 6 Faktor koreksi untuk prediksi luas dan volume tebangan di KPH Bojonegoro Jangka RPKH Bagian Hutan Luas (ha) RPKH Hasil kajian Faktor koreksi Volume Luas Volume Luas Volume (m 3 ) (ha) (m 3 ) (FKl) (FKv) CLANGAP 16,60 914,00 DANDER 51, ,00 NGOROGUNUNG 78, ,00 DELING 71, ,00 TEMAYANG 149, ,00 CERME 66, ,00 Jumlah 434, ,00 511, ,30 0,85 1,23 Etat tebangan A2 dihitung berdasarkan metode Burns (umur tebang rata-rata) dengan prosedur perhitungan dan pengujiannya mengikuti pedoman pada Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 143/Kpts/Dj/1974 (tentang Peraturan Inventarisasi Hutan Jati dan Peraturan Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan), sebagaimana yang lazim diterapkan saat ini. Dalam perhitungan etat tersebut, digunakan nilai rata-rata bonita, kerapatan bidang dasar (KBD), dan faktor koreksi (FK) seperti tertera pada Tabel 7. Tabel 7 Nilai-nilai bonita, Kerapatan Bidang Dasar (KBD), dan faktor koreksi (FK) yang digunakan dalam perhitungan etat tebangan A pada setiap jangka proyeksi No. Kelas hutan Bonita KBD FK 1 Miskin riap (MR) 2,50 0,50 0,89 2 Kelas umur IX 3,00 0,88 0,89 3 Kelas umur VIII 4,00 0,90 0,89 4 Kelas umur VII 3,50 0,80 0,89 5 Kelas umur VI 3,50 0,80 0,89 6 Kelas umur V 3,50 0,79 0,89 7 Kelas umur IV 3,00 0,84 0,89 8 Kelas umur III 3,00 1,02 0,89 9 Kelas umur II 3,00 1,10 0,89 10 Kelas umur I 2,50 0,63 0,89 Rata-rata bonita dan KBD yang digunakan merupakan hasil audit sumberdaya hutan tahun 2007 dengan pertimbangan bahwa nilai-nilai tersebut cukup mencerminkan kondisi tegakan terakhir. Faktor koreksi (FK) merupakan

51 38 perbandingan antara realisasi dan rencana volume tebangan selama periode Selama jangka proyeksi, ketiga faktor tersebut diasumsikan tetap. 5.4 Kelestarian Produksi Kayu Jati Menurut SCHULER (1984) diacu dalam Simon (2000) bahwa kelestarian hasil hutan dititikberatkan pada hasil kayu yang hampir sama dari tahun ke tahun. Konsep kelestarian hasil menunjukkan bahwa untuk jangka panjang hutan dapat memberikan hasil sepanjang masa. Hal ini sulit tercapai, namun dalam jangka waktu tertentu dapat tercapai dengan adanya tindakan jangka benah yang dapat membenahi hutan agar dapat normal kembali. Hasil perhitungan dan pengujian etat ditindaklanjuti dengan tahapan jangka benah jika ada kelas umur yang sudah waktunya ditebang (berdasarkan pengujian etat) masih memiliki umur di bawah umur tebang minimum (UTM). Prosedur jangka benah yang dilakukan berpedoman pada SK Direksi Perum Perhutani No /DIR tanggal 15 September 1983 (sebagai respon terhadap Surat Kepala Unit II Perum Perhutani Jawa Timur No /CAN/II tanggal 14 Oktober 1982) tentang Pengaturan Hasil yang Menyimpang dari Normal. Selanjutnya disusun pula bagan tebang hipotetis untuk menentukan luas dan volume tebangan, khususnya untuk jangka proyeksi pertama. Pada setiap awal jangka proyeksi, dilakukan perhitungan etat (luas dan volume) dari tebangan A2 berdasarkan struktur kelas hutan yang terbentuk guna menentukan besarnya luas dan volume penebangan pada tiap jangka proyeksi (Perum Perhutani 2007). Data pada Gambar 9. menyajikan prediksi besarnya luas tebangan A2 yang dihasilkan KPH Bojonegoro selama lima jangka ke depan. Etat luas yang diperoleh setelah jangka benah dikalikan faktor koreksi luas sebesar 0,85 akan menghasilkan besarnya tebangan A2. Berdasarkan hasil realisasi jangka dan , terlihat bahwa luas tebangan A2 pada kondisi ideal, normal, harapan dan pesimis adalah sama. Pada jangka luas tebangan A2 pada berbagai kondisi sama karena jangka ini merupakan awal jangka yang menggambarkan kondisi struktur kelas hutan terakhir berdasarkan hasil audit sumberdaya hutan tahun 2007.

52 Luas Tebangan A2 (ha/th) 39 Luas tebangan A2 pada kondisi ideal mengalami peningkatan karena pada kondisi ini tidak disertakan faktor kerusakan dalam memprediksi struktur kelas hutan, sehingga luas tebangan A2 pada kondisi ideal paling besar dibanding pada ketiga kondisi lainnya. Hasil perhitungan etat tebangan A2 menggambarkan prediksi luas tebangan A2 pada kondisi harapan dan normal semakin meningkat dibanding pada kondisi pesimis. Peningkatan luas tebangan A2 tersebut disebabkan oleh kerusakan hutan cenderung lebih kecil dibanding pada kondisi pesimis Ideal Normal Harapan Pesimis Gambar 9 Realisasi dan prediksi luas tebangan A2 KPH Bojonegoro pada kondisi ideal, harapan, normal, dan pesimis. Prediksi volume tebangan A2 diperoleh dari besarnya etat volume pada jangka benah pertama dikali dengan faktor koreksi volume sebesar 1,23. Dari prediksi luas tebangan A2, dapat diperoleh prediksi volume tebangan A2 seperti pada Gambar 10. Hasil tebangan A2 yang diperoleh di setiap kondisi untuk beberapa jangka ke depan menunjukkan kemampuan KPH Bojonegoro memanen hasil hutan secara terusmenerus, meskipun besar produksinya tidak sama tiap tahun. Kelestarian produksi kayu jati dapat dicapai jika dilihat dari kemampuan produksi KPH Bojonegoro secara terus-menerus mengalami peningkatan tiap jangkanya.

53 Volume tebangan A2 (m3/th) Ideal Normal Harapan Pesimis Gambar 10 Realisasi dan prediksi volume tebangan A2 KPH Bojonegoro pada kondisi ideal, harapan, normal, dan pesimis. Berdasarkan Tabel 8. berikut disajikan realisasi tebangan E per tahun di KPH Bojonegoro selama periode Selain hasil dari tebangan A2 (tebang habis) pada tiap jangka proyeksi dihitung juga taksiran hasil dari tebangan E (penjarangan). Tabel 8 Realisasi tebangan E di KPH Bojonegoro pada periode Tahun Realisasi Luas (ha) Volume (m3) Produktifitas (m3/ha) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,0 Rata-rata 4,9 Sumber : Buku Statistik Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

54 Luas tebangan E (ha/th) 41 Tebangan E berasal dari tegakan berumur tahun (kelas umur II V), dengan asumsi tebangan E (penjarangan) dapat diperoleh sekali dalam lima tahun. Tebangan E merupakan tebangan tambahan bagi perusahaan sehingga tidak berperan dalam penentuan tingkat kelestarian. Hasil realisasi tebangan E tersebut menunjukkan peningkatan dan penurunan yang tidak teratur. Berdasarkan hasil realisasi tebangan E diperoleh nilai rata-rata produksi tebangan E sebesar 4,9 m 3 /ha. Data pada Gambar 11. menyajikan hasil realisasi dan prediksi luas tebangan E KPH Bojonegoro baik pada kondisi ideal, normal, harapan, dan pesimis. Hasil prediksi rata-rata luas tebangan E per tahun diperoleh dari seperlima tegakan berumur tahun (kelas umur II V) dalam satu jangka yang dikalikan dengan faktor koreksi untuk luas tebangan sebesar 0,85. Luas tebangan E pada kondisi ideal, harapan, dan normal mengalami peningkatan hingga jangka Namun luas tebangan E pada kondisi ideal adalah luas tebangan E terbesar karena pada kondisi tersebut tidak disertakan faktor kerusakan. Jangka potensi tebangan E pada kondisi ideal, harapan, dan normal menurun. Hal ini disebabkan oleh kondisi struktur kelas hutan yang semakin membaik dan semakin meratanya penyebaran potensi kelas hutan sehingga kelas umur tua mengalami peningkatan Ideal Normal Harapan Pesimis Gambar 11 Realisasi dan prediksi luas tebangan E KPH Bojonegoro pada kondisi ideal, normal, harapan, dan pesimis. Dari data prediksi luas tebangan E dapat diperoleh prediksi volume tebangan E seperti tertera pada Gambar 12. Prediksi volume tebangan E diperoleh dari taksiran volume hasil penjarangan per tahun dikali dengan faktor kerusakan sebesar 1,23.

55 Volume tebangan E (m3/th) Ideal Normal Harapan Pesimis Gambar 12 Realisasi dan prediksi volume tebangan E KPH Bojonegoro pada kondisi ideal, normal, harapan, dan pesimis. Penyebaran luas hutan yang mulai merata pada berbagai kelas umur menyebabkan prediksi rata-rata luas dan volume tebangan E semakin menurun jangka pada kondisi ideal, harapan, dan normal. Hal ini menunjukkan bahwa kelas umur IV ke atas mengalami peningkatan. Dalam memperoleh taksiran nilai finansial dari hasil tebangan yang lebih realistis sesuai kualitas dan harga kayunya, maka prediksi volume tebangan A2 pada setiap jangka proyeksi diklasifikasikan berdasarkan jenis sortimen A.I, A.II, dan A.III. Sesuai standar yang umum digunakan di wilayah Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, untuk KPH Bojonegoro dapat diprediksi bahwa setiap 1 m 3 volume tebangan A2 dapat menghasilkan 6 % (0,06 m 3 ) sortimen A.I, 14 % (0,14 m 3 ) sortimen A.II, dan 80 % (0,8 m 3 ) sortimen A.III. Berdasarkan Gambar 13. berikut disajikan klasifikasi realisasi dan prediksi volume tebangan A2 atas sortimen A.I, A.II, dan A.III pada kondisi ideal, normal, harapan, dan pesimis. Untuk mendapatkan nilai prediksi volume tebangan tersebut, maka volume tebangan A2 pada dikalikan dengan nilai standar yang ditetapkan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur untuk KPH Bojonegoro menurut jenis sortimen. Dapat disimpulkan bahwa jenis sortimen A.III pada tebangan A2 memiliki rata-rata volume tebangan terbesar yaitu sebesar 80 % dibanding jenis sortimen lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa untuk tebangan A2, didominasi oleh kayu-kayu besar.

56 A.I - ideal A.II - ideal A.III - ideal A.I - normal A.II - normal A.III - normal A.I - harapan A.II - harapan A.III - harapan A.I - pesimis A.II - pesimis A.III - pesimis volume tebangan (m3/th) 43 Sehingga dengan semakin meningkatnya jenis sortimen A.III maka nilai jualnya juga semakin tinggi. Peningkatan volume tebangan A2 menurut jenis sortimen jika dicerminkan pada berbagai tingkat kerusakan hutan maka kondisi harapan dan normal menghasilkan jenis sortimen A.III lebih besar dibanding kondisi pesimis. Hal ini disebabkan oleh luas dan volume tebangan A2 pada kondisi harapan dan normal mengalami peningkatan lebih besar dibanding kondisi pesimis. Jenis sortimen A.III mendominasi pada tebangan A2 karena potensi kelas umur tua yang sudah layak untuk ditebang mengalami peningkatan. Besarnya peningkatan potensi kelas umur tua yang sudah layak ditebang, tercermin pada kondisi harapan dan normal. Klasifikasi volume tebangan A2 menurut jenis sortimen Rata-rata volume tebangan A2 (m3/th) Rata-rata volume tebangan A2 (m3/th) Rata-rata volume tebangan A2 (m3/th) Rata-rata volume tebangan A2 (m3/th) Rata-rata volume tebangan A2 (m3/th) Rata-rata volume tebangan A2 (m3/th) Rata-rata volume tebangan A2 (m3/th) Rata-rata volume tebangan A2 (m3/th) Ideal Normal Harapan Pesimis Gambar 13 Klasifikasi volume tebangan A2 menurut jenis sortimen. Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, untuk KPH Bojonegoro dapat diprediksi bahwa setiap 1 m 3 volume tebangan E dapat menghasilkan 74 % (0,74 m 3 ) sortimen A.I, 17 % (0,17 m 3 ) sortimen A.II, dan 9 % (0,09 m 3 ) sortimen A.III. Pada Tabel 15.

57 A.I - ideal A.II - ideal A.III - ideal A.I - normal A.II - normal A.III - normal A.I - harapan A.II - harapan A.III - harapan A.I - pesimis A.II - pesimis A.III - pesimis volume tebangan (m3/th) 44 berikut ini disajikan klasifikasi realisasi dan prediksi volume tebangan E atas sortimen A.I, A.II, dan A.III pada kondisi ideal, harapan, normal, dan pesimis. Data pada Tabel 11. menggambarkan bahwa jenis sortimen A.I pada tebangan E memiliki rata-rata volume tebangan terbesar yaitu sebesar 74 % dibanding jenis sortimen lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa untuk tebangan E, didominasi oleh kayu-kayu kecil. Sehingga dengan semakin meningkatnya jenis sortimen A.I maka nilai jualnya juga semakin tinggi. Klasifikasi volume tebangan E menurut jenis sortimen Rata-rata volume tebangan (m3/th) Rata-rata volume tebangan (m3/th) Rata-rata volume tebangan (m3/th) Rata-rata volume tebangan (m3/th) Rata-rata volume tebangan (m3/th) Rata-rata volume tebangan (m3/th) Rata-rata volume tebangan (m3/th) Rata-rata volume tebangan (m3/th) Ideal Normal Harapan Pesimis Gambar 14 Klasifikasi volume tebangan E menurut jenis sortimen.

58 BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil prediksi struktur kelas hutan KPH Bojonegoro untuk lima jangka ke depan dapat disimpulkan bahwa : 1. Selama lima jangka ke depan pada kondisi harapan dan normal kelestarian tegakan mulai dapat tercapai. Hal ini didukung oleh potensi hutan produktif pada kondisi harapan dan normal meningkat pada tiap jangka dan mulai meratanya potensi kelas umur muda dan kelas umur tua, sedangkan pada kondisi pesimis kelestarian tegakan tidak tercapai karena potensi hutan produktif menurun tiap jangka. 2. Umur rata-rata tanaman pada kondisi harapan dan normal semakin meningkat dan mendekati umur rata-rata tanaman normalnya. Hal ini dapat membuktikan bahwa tegakan pada kondisi tersebut semakin membaik. 3. Pada proyeksi kondisi normal dan harapan, kelestarian produksi jangka ke depan dapat diwujudkan karena potensi hasil (luas dan volume) tebangan A2 cenderung meningkat, namun apabila laju kerusakan hutan pada proyeksi kondisi pesimis maka kelestarian produksi tidak dapat diwujudkan karena potensi hasil tebangan A2 cenderung menurun. 4. KPH Bojonegoro dapat mencapai tingkat kelestarian tegakan dan produksi pada kondisi harapan dan normal, namun pada kondisi pesimis perlu ditekan tingkat kerusakan sampai batas kondisi harapan atau normal. Dalam jangka pendek pihak KPH Bojonegoro dapat memilih jenis yang daurnya lebih pendek untuk mengisi areal non produktif. 6.2 Saran Perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap pengaruh dari diikutsertakannya kelas umur I (KU I) dalam penetapan pengaturan hasil.

59 DAFTAR PUSTAKA Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia Panduan Kehutanan Indonesia. Ed-2. Jakarta. Perum Perhutani Peraturan Inventarisasi Hutan Jati dan Peraturan Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan. Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Kehutanan. Jakarta. Perum Perhutani Masalah Pengaturan Hasil Tegakan yang Menyimpang dari Normal. Seksi Perencanaan Umum Biro Perencanaan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Perum Perhutani Pedoman Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH). Jakarta. Perum Perhutani RPKH Kelas Perusahaan Jati KPH Bojonegoro Jangka Perusahaan 1 Januari 2002 s/d 31 Desember KPH Bojonegoro. Perum Perhutani Kajian Pencapaian Kelestarian Sumberdaya Hutan dan Produksi Kayu di KPH. Perum Perhutani Unit II Jawa Timur KPH Madiun. Jawa Timur. Simon H Hutan Jati dan Kemakmuran Problematika dan Strategi Pemecahannya. Yogyakarta: BIGRAF Publishing. Suhendang E, I Nengah SJ, Ahmad H Penuntun Praktikum Perencanaan Hutan (MNH 312). Bagian Perencanaan Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

60 LAMPIRAN

61 48 Lampiran 1 Prediksi struktur kelas hutan pada kondisi ideal Kelas hutan Jangka pengelolaan Kelas umur I 18390,7 7330,8 4906,9 3601,3 3664,1 Kelas umur II 3767, ,7 7330,8 4906,9 3601,3 Kelas umur III 3600,3 3767, ,7 7330,8 4906,9 Kelas umur IV 2010,2 3600,3 3767, ,7 7330,8 Kelas umur V 755,1 2010,2 3600,3 3767, ,7 Kelas umur VI 396,0 713,5 433,3 1841,8 1877,6 Kelas umur VII 82,1 Kelas umur VIII 144,3 Kelas umur IX 16,9 Kelas umur X Miskin riap 1542,5 Masak tebang Jumlah produktif 30705, , , , ,3 Tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang 13020,7 7913,3 5296,8 3887,4 3955,2 Jumlah total 43726, , , , ,5 Lampiran 2 Prediksi struktur kelas hutan pada kondisi harapan Kelas hutan Jangka pengelolaan Kelas umur I 18390,7 9967,3 9011,2 8351,7 8267,3 Kelas umur II 3767, ,7 8003,8 7236,0 6706,4 Kelas umur III 3600,3 3014, ,2 6403,0 5788,8 Kelas umur IV 2010,2 2937,8 2459,6 9640,4 5224,9 Kelas umur V 755,1 1608,2 2350,3 1967,6 7712,3 Kelas umur VI 396,0 619,3 293,3 1043,6 884,1 Kelas umur VII 82,1 Kelas umur VIII 144,3 Kelas umur IX 16,9 Kelas umur X Miskin riap 1542,5 52,6 67,0 69,0 218,6 Masak tebang Jumlah produktif 30705, , , , ,3 Tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang 13020, ,3 9727,2 9015,3 8924,2 Jumlah total 43726, , , , ,5

62 49 Lampiran 3 Prediksi struktur kelas hutan pada kondisi normal Kelas hutan Jangka pengelolaan Kelas umur I 18390, ,9 9292,7 8602,8 8556,9 Kelas umur II 3767, ,0 8071,0 7463,7 6909,6 Kelas umur III 3600,3 2895, ,9 6202,8 5736,0 Kelas umur IV 2010,2 2937,6 2362,6 9262,3 5061,0 Kelas umur V 755,1 1553,1 2269,6 1825,3 7156,1 Kelas umur VI 396,0 619,2 272,4 1009,9 833,4 Kelas umur VII 82,1 Kelas umur VIII 144,3 Kelas umur IX 16,9 Kelas umur X Miskin riap 1542,5 58,5 75,2 73,3 236,7 Masak tebang Jumlah produktif 30705, , , , ,7 Tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang 13020, , ,1 9286,4 9236,8 Jumlah total 43726, , , , ,5 Lampiran 4 Prediksi struktur kelas hutan pada kondisi pesimis Kelas hutan Jangka pengelolaan Kelas umur I 18390, , , , ,5 Kelas umur II 3767, ,5 9399,4 8942,3 9625,1 Kelas umur III 3600,3 2555, ,5 6376,2 6066,2 Kelas umur IV 2010,2 1505,7 1068,9 4489,6 2666,6 Kelas umur V 755,1 722,7 541,3 384,3 1210,6 Kelas umur VI 396,0 213,4 216,2 161,9 Kelas umur VII 82,1 Kelas umur VIII 144,3 Kelas umur IX 16,9 Kelas umur X Miskin riap 1542,5 189,5 155,9 112,8 228,6 Masak tebang Jumlah produktif 30705, , , , ,6 Tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang 13020, , , , ,9 Jumlah total 43726, , , , ,5

63 50 Lampiran 5 Klasifikasi volume tebangan A2 menurut jenis sortimen Kondisi Jenis sortimen Rata-rata volume tebangan (m3/th) Ideal A.I - ideal A.II - ideal A.III - ideal Normal A.I - normal A.II - normal A.III - normal Harapan A.I - harapan A.II - harapan A.III - harapan Pesimis A.I - pesimis A.II - pesimis A.III - pesimis Lampiran 6 Klasifikasi volume tebangan E menurut jenis sortimen Jenis Rata-rata volume tebangan (m3/th) Kondisi sortimen Ideal A.I - ideal A.II - ideal A.III - ideal Normal A.I - normal A.II - normal A.III - normal Harapan A.I - harapan A.II - harapan A.III - harapan Pesimis A.I - pesimis A.II - pesimis A.III - pesimis

64 Lampiran 7 PERHITUNGAN ETAT TEGAKAN JATI DI KPH BOJONEGORO UNTUK PREDIKSI PENEBANGAN JANGKA Input (isilah sel-sel berwarna merah muda): 1. Jangka RPKH: (awal risalah 2007) 2. Jenis tegakan: Jati APB 3. Daur tegakan: 60 tahun 4. Umur tebang minimum (UTM): 50 tahun 5. Faktor koreksi (FK) volume: 0,89 6. Data hasil risalah: Kelas hutan Luas Rata-rata Umur Volume (ha) Bonita KBD tengah Per ha *) Total Miskin riap (MR) 1542,5 2,5 0, , ,8 Masak tebang (MT) 0 0 0,0 Kelas umur IX 16,9 3,0 0, ,5 1376,6 Kelas umur VIII 144,3 4,0 0, , ,1 Kelas umur VII 82,1 3,5 0, ,3 7248,4 Kelas umur VI 396,0 3,5 0, , ,0 Kelas umur V 755,1 3,5 0, , ,9 Kelas umur IV 2010,2 3,0 0, , ,9 Kelas umur III 3600,3 3,0 1, , ,6 Kelas umur II 3767,7 3,0 1, , ,1 Kelas umur I 18390,7 2,5 0, , ,6 Jml. Kelas umur (KU) 29163, ,3 Jml. Semua (MR + KU) 30705, ,0 *) Catatan: volume per hektar tiap kelas umur dihitung berdasarkan Tabel Wolff von Wulfing pada saat UTR dan dikoreksi KBD 51

65 Output: Setelah jangka benah: 1. Umur tebang rata-rata (UTR) 43 th UTM = 50 th UTM = 50 th 2. Etat (sebelum pengujian): Etat setelah pengujian (terakhir): Jangka 10 tahun pertama: 2.1. Etat luas 511,8 ha/th Etat luas = 511,8 ha/th Etat luas = 222,3 ha/th 2.2. Etat volume 32973,4 m 3 /th Etat volume= 35478,3 m 3 /th Etat volume= 16198,8 m 3 /th Hasil penjarangan: Total luas KU II-V = 10133,3 ha Rataan produktivitas = 4,9 m 3 /ha Taksiran luas rataan = 1520,0 ha/tahun Taksiran volume rataan= 7447,98 m 3 /th 3. Pengujian jangka waktu penebangan (JWP) ke-1: Aspek pengujian MR MT KU IX KU VIII KU VII KU VI KU V KU IV KU III KU II KU I Kumulatif 1. Menurut etat luas: 1.2. Umur saat ditebang (th) JWP-L (th) 3,01 0 0,03 0,28 0,16 0,77 1,48 3,93 7,04 7,36 35,94 60, UTR-L (th) 0 87,02 77,14 68,08 58,39 49,74 42,96 39,52 39,68 54,97 2. Menurut etat volume: 2.1. Volume tabel pada UTR-L 0 164,0 222,0 169,0 152,0 138,0 104,0 99,0 99,0 104, Bonita 0 3,0 4,0 3,5 3,5 3,5 3,0 3,0 3,0 2, Faktor koreksi (fk) 0,89 0 0,89 0,89 0,89 0,89 0,89 0,89 0,89 0,89 0, Volume terkoreksi (m 3 ) 57425, , , , , , , , , , JWP-V (th) 1,74 0 0,07 0,78 0,30 1,30 2,22 4,74 9,81 11,07 32,52 64, UTR-V (th) 0 87,03 77,39 68,15 58,65 50,11 43,37 40,91 41,54 53,26 3. Kesimpulan untuk perbaikan Perbaiki etat! Perlu jangka benah 52

KAJIAN KELESTARIAN TEGAKAN DAN PRODUKSI KAYU JATI JANGKA PANJANG KPH BOJONEGORO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR CHRISTINA BASARIA S.

KAJIAN KELESTARIAN TEGAKAN DAN PRODUKSI KAYU JATI JANGKA PANJANG KPH BOJONEGORO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR CHRISTINA BASARIA S. KAJIAN KELESTARIAN TEGAKAN DAN PRODUKSI KAYU JATI JANGKA PANJANG KPH BOJONEGORO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR CHRISTINA BASARIA S. DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Kelestarian Hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA Salah satu elemen yang paling penting dalam pengelolaan hutan adalah konsep kelestarian hasil hutan (sustained yield forestry). Definisi kelestarian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2008 di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. 3.2 Sumber Data dan Jenis Data Data yang

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bojonegoro dengan luas wilayah 50.145,4 ha, secara administratif seluruh wilayahnya berada di Daerah Tingkat II Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Tentang Jati (Tectona grandis L.f) Menurut Sumarna (2002), klasifikasi tanaman jati digolongkan sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae

Lebih terperinci

Rohman* Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. Abstract. Pendahuluan

Rohman* Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. Abstract. Pendahuluan Casualty Per Cent dalam Perhitungan Etat Hutan Tanaman Jati Perum Perhutani Casualty Per Cent on AAC Determination of Teak Forest Plantation in Perum Perhutani Abstract Rohman* Jurusan Manajemen Hutan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Menurut Sessions (2007), pemanenan hutan merupakan serangkaian aktivitas penebangan pohon dan pemindahan kayu dari hutan ke tepi jalan untuk dimuat dan diangkut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Pengelolaan hutan merupakan sebuah usaha yang

BAB I PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Pengelolaan hutan merupakan sebuah usaha yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Pengelolaan hutan merupakan sebuah usaha yang dilakukan untuk memperoleh

Lebih terperinci

EVALUASI PERUBAHAN KELAS HUTAN PRODUKTIF TEGAKAN JATI (Tectona grandis L.f.) Pudy Syawaluddin E

EVALUASI PERUBAHAN KELAS HUTAN PRODUKTIF TEGAKAN JATI (Tectona grandis L.f.) Pudy Syawaluddin E EVALUASI PERUBAHAN KELAS HUTAN PRODUKTIF TEGAKAN JATI (Tectona grandis L.f.) (Kasus di Kesatuan Pemangkuan Hutan Nganjuk Perum Perhutani Unit II Jawa Timur) Pudy Syawaluddin E14101052 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan hutan lestari perlu dilaksanakan agar perubahan hutan yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan hutan lestari perlu dilaksanakan agar perubahan hutan yang terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dan persekutuan alam lingkungan. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hutan tidak hanya mempunyai peranan dalam segi ekologi, tetapi sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hutan tidak hanya mempunyai peranan dalam segi ekologi, tetapi sebagai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan tidak hanya mempunyai peranan dalam segi ekologi, tetapi sebagai salah satu sumber devisa negara. Dalam UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, dinyatakan

Lebih terperinci

PENYUSUNAN TABEL TEGAKAN HUTAN TANAMAN AKASIA (Acacia crassicarpa A. CUNN. EX BENTH) STUDI KASUS AREAL RAWA GAMBUT HUTAN TANAMAN PT.

PENYUSUNAN TABEL TEGAKAN HUTAN TANAMAN AKASIA (Acacia crassicarpa A. CUNN. EX BENTH) STUDI KASUS AREAL RAWA GAMBUT HUTAN TANAMAN PT. i PENYUSUNAN TABEL TEGAKAN HUTAN TANAMAN AKASIA (Acacia crassicarpa A. CUNN. EX BENTH) STUDI KASUS AREAL RAWA GAMBUT HUTAN TANAMAN PT. WIRAKARYA SAKTI GIANDI NAROFALAH SIREGAR E 14104050 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 POTENSI

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (KASUS DI KONSESI HUTAN PT

EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (KASUS DI KONSESI HUTAN PT EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (KASUS DI KONSESI HUTAN PT. SARI BUMI KUSUMA UNIT SERUYAN, KALIMANTAN TENGAH) IRVAN DALI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

Lebih terperinci

DAMPAK PENAMBANGAN PASIR PADA LAHAN HUTAN ALAM TERHADAP SIFAT FISIK, KIMIA, DAN BIOLOGI TANAH IFA SARI MARYANI

DAMPAK PENAMBANGAN PASIR PADA LAHAN HUTAN ALAM TERHADAP SIFAT FISIK, KIMIA, DAN BIOLOGI TANAH IFA SARI MARYANI DAMPAK PENAMBANGAN PASIR PADA LAHAN HUTAN ALAM TERHADAP SIFAT FISIK, KIMIA, DAN BIOLOGI TANAH (Studi Kasus Di Pulau Sebaik Kabupaten Karimun Kepulauan Riau) IFA SARI MARYANI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI 10 BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI 4.1 Letak Geografis dan Luas Kesatuan Pemangkuan Hutan Bojonegoro memiliki luas wilayah 50.145,4 hektar. Secara administratif wilayah KPH Bojonegoro seluruhnya berada di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan perkembangan paradigma pengelolaan hutan. Davis,dkk. (2001)

BAB I PENDAHULUAN. dengan perkembangan paradigma pengelolaan hutan. Davis,dkk. (2001) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pandangan terhadap kelestarian hutan telah mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan paradigma pengelolaan hutan. Davis,dkk. (2001) menggambarkan ada empat

Lebih terperinci

KETERBUKAAN AREAL DAN KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT KEGIATAN PENEBANGAN DAN PENYARADAN (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah)

KETERBUKAAN AREAL DAN KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT KEGIATAN PENEBANGAN DAN PENYARADAN (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah) KETERBUKAAN AREAL DAN KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT KEGIATAN PENEBANGAN DAN PENYARADAN (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah) ARIEF KURNIAWAN NASUTION DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI

PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI ( Tectona grandis Linn. f) PADA PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA AHSAN MAULANA DEPARTEMEN HASIL HUTAN

Lebih terperinci

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA PUTRI KOMALASARI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Hutan sendiri

BAB I PENDAHULUAN. hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Hutan sendiri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehutanan menurut pasal 1 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii) DENGAN METODE KOAKAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT YUDHA ASMARA ADHI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang disebutkan di atas, terdapat unsur-unsur yang meliputi suatu kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. yang disebutkan di atas, terdapat unsur-unsur yang meliputi suatu kesatuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 33 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENERTIBAN DAN PENGENDALIAN HUTAN PRODUKSI

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENEBANGAN RATA TANAH UNTUK POHON JATI (Tectona grandis Linn f ) di KPH Nganjuk Perum Perhutani Unit II Jawa Timur RIZQIYAH

ANALISIS KEBIJAKAN PENEBANGAN RATA TANAH UNTUK POHON JATI (Tectona grandis Linn f ) di KPH Nganjuk Perum Perhutani Unit II Jawa Timur RIZQIYAH ANALISIS KEBIJAKAN PENEBANGAN RATA TANAH UNTUK POHON JATI (Tectona grandis Linn f ) di KPH Nganjuk Perum Perhutani Unit II Jawa Timur RIZQIYAH DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

STUDI PENYUSUNAN MODEL PENGATURAN HASIL HUTAN DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN SISTEM DI KPH CEPU PERUM PERHUTANI UNIT I JAWA TENGAH

STUDI PENYUSUNAN MODEL PENGATURAN HASIL HUTAN DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN SISTEM DI KPH CEPU PERUM PERHUTANI UNIT I JAWA TENGAH STUDI PENYUSUNAN MODEL PENGATURAN HASIL HUTAN DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN SISTEM DI KPH CEPU PERUM PERHUTANI UNIT I JAWA TENGAH Oleh Fajar Munandar E.14102901 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengolahan hasil hingga pemasaran hasil hutan. Pengelolaan menuju

BAB I PENDAHULUAN. pengolahan hasil hingga pemasaran hasil hutan. Pengelolaan menuju BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan hutan tanaman di Jawa, khususnya oleh Perum Perhutani merupakan suatu rangkaian kegiatan yang mencakup beberapa kegiatan utama mulai dari penanaman, pemeliharaan

Lebih terperinci

Lampiran 1 Struktur kelas hutan jati (Tectona grandis L. f.) KPH Madiun tahun 2011

Lampiran 1 Struktur kelas hutan jati (Tectona grandis L. f.) KPH Madiun tahun 2011 53 Lampiran 1 Struktur kelas hutan jati (Tectona grandis L. f.) KPH Madiun tahun 2011 Kelas Hutan Luas (ha) Produktif KUI 6.584,2 KUII 3.138,7 KUIII 1.676,5 KUIV 1.859,6 KUV 203,9 KUVI 959,6 KUVII 615,7

Lebih terperinci

PROSEDUR SERTIFIKASI SUMBER BENIH

PROSEDUR SERTIFIKASI SUMBER BENIH LAMPIRAN 7 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.1/Menhut-II/2009 Tanggal : 6 Januari 2009 PROSEDUR SERTIFIKASI SUMBER BENIH A. Identifikasi dan Deskripsi Calon Sumber Benih 1. Pemilik sumber benih mengajukan

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii) DENGAN METODE KOAKAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT YUDHA ASMARA ADHI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI JENIS STIMULANSIA TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI JENIS STIMULANSIA TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI JENIS STIMULANSIA TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii Jung et de Vriese) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT NURKHAIRANI DEPARTEMEN HASIL

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 27 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah dan Perkembangan Perusahaan PT. Ratah Timber merupakan salah satu perusahaan swasta nasional yang memperoleh kepercayaan dari pemerintah untuk mengelola

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN POTENSI LIMBAH PEMANENAN KAYU (STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH)

IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN POTENSI LIMBAH PEMANENAN KAYU (STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH) IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN POTENSI LIMBAH PEMANENAN KAYU (STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH) RIKA MUSTIKA SARI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati Ringkasan Penelitian ini dilakukan terhadap anggota Kelompok Tani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam terbesar yang dimiliki bangsa Indonesia yang dapat memberikan manfaat yang besar untuk kehidupan makluk hidup. Salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertukangan dan termasuk kelas kuat dan awet II (Martawijaya et al., 1981). sebagai pilihan utama (Sukmadjaja dan Mariska, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. pertukangan dan termasuk kelas kuat dan awet II (Martawijaya et al., 1981). sebagai pilihan utama (Sukmadjaja dan Mariska, 2003). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jati (Tectona grandis Linn. F) merupakan salah satu jenis penghasil kayu pertukangan yang memiliki nilai ekonomi tinggi untuk berbagai macam keperluan pertukangan

Lebih terperinci

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI (Shorea spp.) PADA AREAL PMUMHM DI IUPHHK PT. ITCI Kartika Utama KALIMANTAN TIMUR YULI AKHIARNI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

EVALUASI PERUBAHAN KELAS HUTAN PRODUKTIF TEGAKAN JATI (Tectona grandis L.f.) Pudy Syawaluddin E

EVALUASI PERUBAHAN KELAS HUTAN PRODUKTIF TEGAKAN JATI (Tectona grandis L.f.) Pudy Syawaluddin E EVALUASI PERUBAHAN KELAS HUTAN PRODUKTIF TEGAKAN JATI (Tectona grandis L.f.) (Kasus di Kesatuan Pemangkuan Hutan Nganjuk Perum Perhutani Unit II Jawa Timur) Pudy Syawaluddin E14101052 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

Sistem silvikultur. Sistem silvikultur & Model Struktur Hutan:

Sistem silvikultur. Sistem silvikultur & Model Struktur Hutan: Sistem silvikultur. Sistem silvikultur & Model Struktur Hutan: Sistem Silvikultur, Daur & Rotasi Tebang, Hutan Normal & Regulated Forest Suatu sistem silvikultur : menjabarkan kegiatan, karakteristik dan

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU SKRIPSI OLEH: BASA ERIKA LIMBONG 061201013/ MANAJEMEN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif. Hal

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Pleurotus spp. PADA MEDIA SERBUK GERGAJIAN KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) ALWIAH

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Pleurotus spp. PADA MEDIA SERBUK GERGAJIAN KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) ALWIAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Pleurotus spp. PADA MEDIA SERBUK GERGAJIAN KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) ALWIAH DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas Kawasan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor berada pada wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Bogor, Bekasi dan Tangerang dengan batas-batas

Lebih terperinci

FORMAT PROPOSAL TEKNIS PENAWARAN DALAM PELELANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN ALAM

FORMAT PROPOSAL TEKNIS PENAWARAN DALAM PELELANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN ALAM Lampiran : I Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : 51/KPTS/VI-PHP/2003 Tanggal : 28 Oktober 2003 BENTUK DAN ISI A. Bentuk FORMAT PROPOSAL TEKNIS PENAWARAN DALAM PELELANGAN IZIN USAHA

Lebih terperinci

Lampiran 4. Analisis Keragaman Retensi Bahan Pengawet Asam Borat

Lampiran 4. Analisis Keragaman Retensi Bahan Pengawet Asam Borat Lampiran 1. Kadar Air Kayu Sebelum Proses Pengawetan Kayu Berat Awal (gram) BKT (gram) Kadar Air (%) 1 185,8 165,2 12,46 2 187,2 166,8 12,23 3 173,4 152,3 13,85 Kadar Air Rata-rata 12,85 Lampiran 2. Kerapatan

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN USAHA DAN KONTRIBUSI PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT KOPERASI HUTAN JAYA LESTARI KABUPATEN KONAWE SELATAN, PROPINSI SULAWESI TENGGARA

ANALISIS KELAYAKAN USAHA DAN KONTRIBUSI PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT KOPERASI HUTAN JAYA LESTARI KABUPATEN KONAWE SELATAN, PROPINSI SULAWESI TENGGARA ANALISIS KELAYAKAN USAHA DAN KONTRIBUSI PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT KOPERASI HUTAN JAYA LESTARI KABUPATEN KONAWE SELATAN, PROPINSI SULAWESI TENGGARA L. BINTANG SETYADI B. DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA UTARA

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA UTARA PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA UTARA HASIL PENELITIAN OLEH: ANITA NAOMI LUMBAN GAOL 061201012/ MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 23 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum KPH Cepu 4.1.1 Letak Geografi dan Luas Kawasan Berdasarkan peta geografis, KPH Cepu terletak antara 111 16 111 38 Bujur Timur dan 06 528 07 248

Lebih terperinci

PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA

PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan merupakan kegiatan mengeluarkan hasil hutan berupa kayu maupun non kayu dari dalam hutan. Menurut Suparto (1979) pemanenan hasil hutan adalah serangkaian

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaturan hasil saat ini yang berlaku pada pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia menggunakan sistem silvikultur yang diterapkan pada IUPHHK Hutan Produksi dalam P.11/Menhut-II/2009.

Lebih terperinci

IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas Areal

IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas Areal IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas Areal Kawasan KPH Balapulang secara geografis terletak antara 6 o 48 o - 7 o 12 Lintang Selatan dan 108 o 13-109 o 8 Bujur Timur dengan luas kawasan 29.790,13 ha. Wilayah

Lebih terperinci

TINGKAT KONSUMSI KAYU BAKAR MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN (Kasus Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat)

TINGKAT KONSUMSI KAYU BAKAR MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN (Kasus Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat) TINGKAT KONSUMSI KAYU BAKAR MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN (Kasus Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat) BUDIYANTO DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman (tegakan seumur). Salah satu hutan tanaman yang telah dikelola dan

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman (tegakan seumur). Salah satu hutan tanaman yang telah dikelola dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan menurut Pasal 1 (2) Undang-Undang No. 41/99 tentang Kehutanan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 36 BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN A. Keadaan Geografi Letak dan Batas Wilayah Kabupaten Ngawi secara geografis terletak pada koordinat 7º 21 7º 31 LS dan 110º 10 111º 40 BT. Batas wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

LIMBAH PEMANENAN DAN FAKTOR EKSPLOITASI PADA PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI (Studi Kasus di HPHTI PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan)

LIMBAH PEMANENAN DAN FAKTOR EKSPLOITASI PADA PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI (Studi Kasus di HPHTI PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan) LIMBAH PEMANENAN DAN FAKTOR EKSPLOITASI PADA PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI (Studi Kasus di HPHTI PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan) DWI PUSPITASARI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

KONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA

KONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA Hadirin sekalian, penulis berpendapat, beberapa permasalahan besar di muka sangatlah penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan hutan, akan tetapi pembahasan terhadap konsep-konsep dasar ilmu kehutanan

Lebih terperinci

KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES

KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA

Lebih terperinci

KAJIAN KELESTARIAN TEGAKAN KAYU JATI (Tectona grandis L.f.) DI KPH CIAMIS PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN HERNOWO SADEWO

KAJIAN KELESTARIAN TEGAKAN KAYU JATI (Tectona grandis L.f.) DI KPH CIAMIS PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN HERNOWO SADEWO KAJIAN KELESTARIAN TEGAKAN KAYU JATI (Tectona grandis L.f.) DI KPH CIAMIS PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN HERNOWO SADEWO DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas DAS/ Sub DAS Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) yang dijadikan objek penelitian adalah Stasiun Pengamatan Jedong yang terletak di titik 7 59

Lebih terperinci

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN A. Dasar Manajemen Hutan working plan perhitungan dan pengaturan hasil Manajemen Hutan

1. PENDAHULUAN A. Dasar Manajemen Hutan working plan perhitungan dan pengaturan hasil Manajemen Hutan 1. PENDAHULUAN A. Dasar Manajemen Hutan Manajemen hutan merupakan suatu pengertian luas dari pengetrapan / aplikasi pengetahuan tentang kehutanan dan ilmu yang sejenis dalam mengelola hutan untuk kepentingan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.60/Menhut-II/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.60/Menhut-II/2011 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.60/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGATURAN KELESTARIAN HUTAN DAN RENCANA TEKNIK TAHUNAN DI WILAYAH PERUM PERHUTANI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Kebijakan konservasi hutan atau pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya

BAB I. PENDAHULUAN. Kebijakan konservasi hutan atau pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan konservasi hutan atau pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan secara bijaksana di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, menunjukkan adanya dinamika yang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 08.1/Kpts-II/2000 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR PEMANFAATAN HASIL HUTAN DALAM HUTAN PRODUKSI SECARA LESTARI

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 08.1/Kpts-II/2000 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR PEMANFAATAN HASIL HUTAN DALAM HUTAN PRODUKSI SECARA LESTARI KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 08.1/Kpts-II/2000 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR PEMANFAATAN HASIL HUTAN DALAM HUTAN PRODUKSI SECARA LESTARI MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa berdasarkan Pasal 2

Lebih terperinci

Sistem silvikultur & Model Struktur Hutan:

Sistem silvikultur & Model Struktur Hutan: Sistem silvikultur & Model Struktur Hutan: Sistem Silvikultur, Daur & Rotasi Tebang, Hutan Normal & Regulated Forest Teddy Rusolono Dosen MK. Manajemen Hutan 2010 Sistem Silvikultur Silvikultur : ilmu

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Umum Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Luas wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebesar 13,57 % dari Total Luas

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan Areal konsesi hutan PT. Salaki Summa Sejahtera merupakan areal bekas tebangan dari PT. Tjirebon Agung yang berdasarkan SK IUPHHK Nomor

Lebih terperinci

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 369/Kpts-IV/1985 TANGGAL : 7 Desember 1985 KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION KETENTUAN I : TUJUAN PENGUSAHAAN

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI Oleh : PUTRI SINAMBELA 071201035/MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011 LEMBAR PENGESAHAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 744/Kpts-II/1990 TANGGAL : 13 Desember 1990

LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 744/Kpts-II/1990 TANGGAL : 13 Desember 1990 LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 744/Kpts-II/1990 TANGGAL : 13 Desember 1990 KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. WAPOGA MUTIARA TIMBER KETENTUAN I : TUJUAN PENGUSAHAAN HUTAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam hal ini adalah kayu dan modal produksi. Untuk itu maka terbentuk

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam hal ini adalah kayu dan modal produksi. Untuk itu maka terbentuk BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Sistem Dinamika Potensi Pendapatan Hutan dapat dikatakan sebagai alat produksi sekaligus hasil produksi. Hutan sebagai alat produksi artinya hutan menghasilkan yang boleh

Lebih terperinci

MG-6 DAUR DAN ETAT PEMANENAN KAYU

MG-6 DAUR DAN ETAT PEMANENAN KAYU MG-6 DAUR DAN ETAT PEMANENAN KAYU Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc Asti Istiqomah, SP EKONOMI KEHUTANAN ESL 325 (3-0) PENGERTIAN DAUR DAUR: Jangka waktu yang diperlukan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan jati merupakan bagian dari sejarah kehidupan manusia di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Hutan jati merupakan bagian dari sejarah kehidupan manusia di Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan jati merupakan bagian dari sejarah kehidupan manusia di Indonesia khususnya di Pulau Jawa, karena kayu jati telah dianggap sebagai sejatining kayu (kayu yang sebenarnya).

Lebih terperinci

PENYUSUNAN TABEL VOLUME POHON Eucalyptus grandis DI HUTAN TANAMAN PT. TOBA PULP LESTARI, Tbk SEKTOR TELE, KABUPATEN SAMOSIR

PENYUSUNAN TABEL VOLUME POHON Eucalyptus grandis DI HUTAN TANAMAN PT. TOBA PULP LESTARI, Tbk SEKTOR TELE, KABUPATEN SAMOSIR PENYUSUNAN TABEL VOLUME POHON Eucalyptus grandis DI HUTAN TANAMAN PT. TOBA PULP LESTARI, Tbk SEKTOR TELE, KABUPATEN SAMOSIR SKRIPSI OLEH TETTY HRU PARDEDE 031201029 / MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Letak dan Batas Letak suatu wilayah adalah lokasi atau posisi suatu tempat yang terdapat di permukaan bumi. Letak suatu wilayah merupakan faktor yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan curah hujan yang tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal tidak berhutan.

Lebih terperinci

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan tanah terbuka pada suatu daerah yang dapat menjadi salah satu faktor penentu kualitas lingkungan. Kondisi lahan pada suatu daerah akan mempengaruhi

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 12 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2011 dan bertempat di KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. 3.2 Bahan dan Alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

PENENTUAN DAUR OPTIMAL DENGAN FAKTOR PENCURIAN KAYU DI KPH BOJONEGORO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR MELDA RIANITA ARUAN

PENENTUAN DAUR OPTIMAL DENGAN FAKTOR PENCURIAN KAYU DI KPH BOJONEGORO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR MELDA RIANITA ARUAN PENENTUAN DAUR OPTIMAL DENGAN FAKTOR PENCURIAN KAYU DI KPH BOJONEGORO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR MELDA RIANITA ARUAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 27 RINGKASAN

Lebih terperinci

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Letak dan Luas Lokasi penelitian terletak di dalam areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan (Kelompok Hutan Sungai Seruyan Hulu) yang berada pada koordinat

Lebih terperinci

III. KEADAAN UMUM LOKASI

III. KEADAAN UMUM LOKASI III. KEADAAN UMUM LOKASI Penelitian dilakukan di wilayah Jawa Timur dan berdasarkan jenis datanya terbagi menjadi 2 yaitu: data habitat dan morfometri. Data karakteristik habitat diambil di Kabupaten Nganjuk,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jati merupakan jenis kayu komersil yang bermutu dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu kayu penting yang

Lebih terperinci

KAJIAN KELESTARIAN PRODUKSI HASIL HUTAN KAYU JATI ( Tectona grandis L. f) KPH JATIROGO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR DESI ANGGRAINI

KAJIAN KELESTARIAN PRODUKSI HASIL HUTAN KAYU JATI ( Tectona grandis L. f) KPH JATIROGO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR DESI ANGGRAINI i KAJIAN KELESTARIAN PRODUKSI HASIL HUTAN KAYU JATI ( Tectona grandis L. f) KPH JATIROGO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR DESI ANGGRAINI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KONDISI UMUM PERUSAHAAN

KONDISI UMUM PERUSAHAAN KONDISI UMUM PERUSAHAAN Sejarah Kebun PT. National Sago Prima dahulu merupakan salah satu bagian dari kelompok usaha Siak Raya Group dengan nama PT. National Timber and Forest Product yang didirikan pada

Lebih terperinci

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat 73 VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT 6.1. Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Hutan sebagai asset dan modal pembangunan nasional memiliki potensi dan

Lebih terperinci

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM PENDUGAAN POTENSI TEGAKAN HUTAN PINUS (Pinus merkusii) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM START MENGGUNAKAN UNIT CONTOH LINGKARAN KONVENSIONAL

Lebih terperinci

KADAR AIR TITIK JENUH SERAT BEBERAPA JENIS KAYU PERDAGANGAN INDONESIA ARIF RAKHMAN HARIJADI

KADAR AIR TITIK JENUH SERAT BEBERAPA JENIS KAYU PERDAGANGAN INDONESIA ARIF RAKHMAN HARIJADI KADAR AIR TITIK JENUH SERAT BEBERAPA JENIS KAYU PERDAGANGAN INDONESIA ARIF RAKHMAN HARIJADI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 KADAR AIR TITIK JENUH SERAT BEBERAPA

Lebih terperinci

PENDUGAAN EROSI TANAH DIEMPAT KECAMATAN KABUPATEN SIMALUNGUN BERDASARKAN METODE ULSE

PENDUGAAN EROSI TANAH DIEMPAT KECAMATAN KABUPATEN SIMALUNGUN BERDASARKAN METODE ULSE PENDUGAAN EROSI TANAH DIEMPAT KECAMATAN KABUPATEN SIMALUNGUN BERDASARKAN METODE ULSE SKRIPSI Oleh: MARDINA JUWITA OKTAFIA BUTAR BUTAR 080303038 DEPARTEMEN AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI IKLIM, TANAH DAN IRIGASI PADA LAHAN POTENSIAL PERTANIAN DI KABUPATEN DELI SERDANG

IDENTIFIKASI IKLIM, TANAH DAN IRIGASI PADA LAHAN POTENSIAL PERTANIAN DI KABUPATEN DELI SERDANG IDENTIFIKASI IKLIM, TANAH DAN IRIGASI PADA LAHAN POTENSIAL PERTANIAN DI KABUPATEN DELI SERDANG SKRIPSI OLEH : BERNAT FERNANDO SIDABUTAR DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci