BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan generasi sebelumnya. Menurut psikolog Ratih Ibrahim sebagaimana

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan generasi sebelumnya. Menurut psikolog Ratih Ibrahim sebagaimana"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Kini sudah jadi kecenderungan orang menikah di usia yang lebih tua dibandingkan generasi sebelumnya. Menurut psikolog Ratih Ibrahim sebagaimana yang dikutip oleh Anna, 1 bahwa sejak pertengahan tahun 1990-an, kecenderungan perempuan untuk menikah di atas usia 30 tahun semakin besar. Kenyataan ini penulis temukan ketika melakukan praktek penjemaatan di HKBP Bandung, Resort Bandung Riau-Martadinata. Penulis bertemu dengan jemaat laki-laki dan perempuan yang berusia di atas 30 tahun tetapi belum menikah. Mereka yang belum menikah, walaupun dari segi usia sudah memasuki usia menikah, oleh David Edgar dikategorikan sebagai kaum lajang (untuk selanjutnya penulis akan mengikuti pendapat David Edgar). 2 Kaum lajang tersebut bersama dengan keluarga-keluarga muda bergabung dalam Paduan suara Ekklesia. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman bergereja penulis, pelayanan seperti ini hanya penulis temukan di HKBP Bandung. Dari pengamatan penulis terlihat bahwa kaum lajang sepertinya menikmati status kelajangan mereka. Hal ini sangat kontras dengan para orangtua 1 Anna, Melajang, Siapa Takut? dalam diakses tanggal 21 Januari David Edgar, Hidup Melajang: Memahami Dunia Kaum Lajang Masa Kini, Yogyakarta: Yayasan Gloria, 2004, hal 17 1

2 yang kuatir dengan semakin banyaknya pemuda-pemudi yang berusia di atas 30 tahun tetapi belum menikah. Dalam setiap pertemuan-pertemuan ibadah, mereka selalu berdoa syafaat untuk pemuda-pemudi yang berusia di atas 30 tahun tetapi belum menikah. Penulis menangkap kesan adanya kekuatiran dan ketakutan dari para orangtua jika ada anggota keluarga yang belum menikah. Selain itu ada juga pemahaman para orangtua, jika seorang anak belum menikah maka tugas mereka sebagai orangtua dianggap masih belum selesai. Kekuatiran dari orangtua tersebut dapat dimengerti karena ada stereotip negatif yang ditujukan bagi mereka yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun. Jika yang belum menikah tersebut adalah laki-laki maka tersedia sebutan perjaka tua atau bujang lapuk untuk mereka. Belum lagi laki-laki sering diidentikkan dengan kebutuhan seksual yang besar. Demikian juga perempuan akan mendapatkan sebutan sebagai perawan tua. Bahkan sebutan perawan tua dirasakan berdampak jauh lebih besar untuk perempuan daripada sebutan perjaka tua untuk laki-laki. Stereotip negatif yang ditujukan kepada laki-laki lajang hanya dikaitkan dengan hasrat seksualnya dan itu pun sering kali mendapat pembenaran karena ia laki-laki. Tidak demikian halnya dengan perempuan. Label perawan tua yang diberikan kepada perempuan hanya merupakan permulaan. Perempuan dingin, judes, galak, frigid, kesepian, sombong, terlalu pemilih, tidak laku, akan menyusul dalam daftar stereotip lainnya terhadap perempuan lajang. Ditambah 2

3 lagi, adanya praduga negatif masyarakat terhadap kaum lajang, jika laki-laki atau perempuan masih betah dalam kelajangan mereka, mereka dicurigai memiliki penyimpangan seksual. Berdasarkan pengamatan penulis, perempuan lajang kelihatannya mendapat desakan lebih besar untuk menikah jika dibandingkan dengan laki-laki, baik dari keluarga dekatnya maupun dari masyarakat. Masyarakat memahami bahwa kodrat perempuan adalah menjadi penolong yang sepadan bagi laki-laki. Pemahaman tersebut didasarkan pada Perintah Allah dalam Kejadian 2: 18 Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia. Masyarakat sering menafsirkan perempuan sebagai penolong yang sepadan adalah perempuan sebagai istri. Eko Bambang Subiantoro mempertegas pendapat diatas, ia menyatakan bahwa sampai saat ini masyarakat masih meyakini bahwa kodrat perempuan adalah menjadi istri yang setia, mendampingi suami serta melayani suami dan hal tersebut merupakan tanggungjawab utama perempuan. 3 Ada kekeliruan dalam masyarakat dimana pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang kodrati untuk perempuan sehingga tidak mungkin ditolak. 4 Penolakan atas pernikahan merupakan penolakan atas kodratnya sebagai perempuan sehingga banyak perempuan yang berlomba-lomba untuk menikah secepat mungkin agar tidak dianggap menyalahi kodrat mereka sehingga dapat diterima dalam lingkungan 3 Eko Bambang Subiantoro, Perempuan dan Perkawinan: Sebuah Pertaruhan Eksistensi Diri dalam Jurnal Perempuan No.22, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2002, hal 13 4 Eko Bambang Subiantoro, Perempuan dan Perkawinan, hal 16 3

4 masyarakat dan terhindar dari label sebagai perawan tua. Hal senada juga diungkapkan oleh Esterlianawati yang mengutip pandangan Simone de Beauvoir, feminis eksistensialis yang pernah mengatakan bahwa banyak orangtua menganggap anak perempuannya tidak akan bahagia jika tidak bersuami. 5 Ruth Tiffany Barnhouse juga menegaskan hal tersebut bahwa status sosial seorang wanita dalam masyarakat patriarki terkait pada status ayahnya dan hanya dapat diubah (menjadi naik atau turun) melalui pernikahan. Status baru seorang wanita selalu disamakan dengan status suaminya. 6 Eksistensi perempuan sudah dikonstruksi sedemikian rupa untuk dilekatkan dalam konteks hubungannya dengan laki-laki (ayah atau suami). Dalam masyarakat juga terdapat kepercayaan bahwa setiap perempuan harus menjadi ibu. 7 Kepercayaan ini dilegitimasi dengan ajaran agama. Perintah Allah untuk beranak-cuculah dan bertambah banyak serta penuhilah bumi. (Kejadian 1: 28), seringkali dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa pernikahan adalah keharusan sehingga memunculkan anggapan bahwa orang-orang yang telah menikah adalah kelompok Kristen kelas satu sebab mereka telah mematuhi perintah Allah tersebut sedangkan mereka yang belum menikah adalah kelompok Kristen kelas dua karena dianggap gagal untuk mematuhi perintah Allah tersebut. Dari sejak kecil, orangtua telah mensosialisasikan kepercayaan tersebut kepada 5 Esterlianawati, Menikah atau Melajang, Sebuah Pilihan dari diakses tanggal 25 Januari Ruth Tiffany Barnhouse, Identitas Wanita: Bagaimana Mengenal dan Membentuk Citra Diri, Yogyakarta: Kanisius, 1988, hal 31 7 Kris Budiman, Feminis Laki-laki dan Wacana Gender, Magelang: IndonesiaTera, 2000, hal 32 4

5 anak-anak perempuan, mereka selalu mendapatkan mainan berupa boneka, peralatan masak-memasak. Di sekolah mereka juga diajarkan bagaimana bersikap dan berprilaku yang pantas dan yang tidak pantas sebagai seorang perempuan melalui pelajaran etika, budi pekerti dan lain-lain. Melalui buku-buku pelajaran bahasa Indonesia di sekolah, mereka pun diajarkan tugas yang pantas untuk lakilaki dan perempuan melalui kalimat-kalimat seperti Tuti membantu ibu di dapur atau Ayah membaca koran dan ibu merajut dan semakin diperkuat karena kalimat-kalimat tersebut disertai gambar-gambar sebagai ilustrasinya. Hasil wawancara Henny Supolo Sitepu dengan seorang perempuan dapat dijadikan gambaran bagaimana seorang anak perempuan dididik. 8 Berdasarkan seluruh rutinitas yang dilakukan ibunya, akhirnya membuat anak perempuan merasa bahwa perempuan memang dilahirkan untuk mengabdi pada suami dan anak-anak. Perempuan tersebut bercerita bahwa dari sejak kecil, ia telah diberi contoh bagaimana seharusnya perempuan bersikap oleh ibunya sendiri. Perempuan tersebut diberi contoh cara berjalan yang baik yaitu gemulai dan tidak gagah seperti laki-laki; cara berbicara yang baik yaitu tidak berteriak; cara tertawa yang sopan yaitu tidak terbahak-bahak dan berbagai kesopanan lainnya yang harus dimiliki perempuan sehingga dapat menjadi ibu yang baik. Perempuan tumbuh dengan pemahaman bahwa tempat perempuan adalah di rumah bersama 8 Henny Supolo Sitepu, Ratu Rumah Tangga dalam Mayling Oey-Gardiner dan Sulastri, Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini, Jakarta: Gramedia, 1996, hal

6 dengan anak-anak. Perempuan yang baik adalah perempuan yang berada di rumah, membesarkan anak-anak dan menunggu suami pulang. Dalam masyarakat Batak, juga ada tuntutan untuk segera menikah bagi orang yang telah dewasa karena dalam adat-istiadat suku Batak, pernikahan/perkawinan merupakan sarana untuk menciptakan relasi kekeluargaan dalam struktur Dalihan Na Tolu 9, yang secara literer berarti Tungku Nan Tiga, yang digambarkan seperti batu tungku tempat perapian menanak nasi (berasal dari kata, dalih = tungku, n = nan/terdiri dari, tolu = tiga). 10 Dalihan Na Tolu adalah pemetaan masyarakat Batak Toba yang terdiri dari hula-hula, dongan sabutuha dan boru. 11 Hula-hula adalah pihak yang mengambil putri dalam suatu perkawinan. Dongan sabutuha adalah teman semarga (dari kata dongan = teman, butuha = perut). Dongan sabutuha berarti saudara yang seibu-sebapa, berasal dari kandungan yang sama (disebut juga dengan dongan tubu) dalam arti luas yang disebut marga. Boru ialah pihak yang memberi anak putri dalam suatu pernikahan. Ketiga unsur masyarakat ini bukanlah strukur hirarkis atau subordinasi, yang satu lebih tinggi dari yang lain, tetapi pada dasarnya unsur Dalihan Na Tolu ini merupakan golongan fungsional dalam setiap upacara adat. 9 Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba hingga 1945: Suatu Pendekatan Sejarah, Antropologi Budaya Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hal Hiddin Situmorang, Mitos Dasar Kebudayaan Batak Toba, dalam Majalah Basis, Agustus 1988, hal Hiddin Situmorang, Mitos Dasar Kebudayaan Batak Toba, hal 292 6

7 Dalihan Na Tolu yang menjadi tonggak budaya Batak yang mengandaikan tiap individu berada dalam lembaga pernikahan dan sistem kekerabatan berdasarkan pertalian darah dan hubungan marga. Pernikahan membuat masyarakat Batak bersatu, berhubungan erat satu sama lain, artinya melalui pernikahanlah masyarakat Batak sangat terintegrasi. 12 Lembaga pernikahan dan hubungan kekerabatan merupakan tiang terpenting yang menyangga kehidupan tiap orang Batak. Orang Batak sangat suka memiliki keluarga besar dengan banyak kerabat. Pernikahan dan hubungan kekerabatan menjadi tujuan hidup dan memberi makna hidup bagi orang Batak. Ada pepatah orang Batak yang berbunyi: Magodang anak pangolihononhon, Magodang boru pamulion (Artinya : Anak-anak itu baik laki-laki maupun perempuan, jika sudah dewasa wajib dinikahkan). 13 Bagi orang Batak, lembaga pernikahan dan hubungan kekerabatan merupakan tempat dimana seseorang memperoleh arti hidup dan pengakuan akan eksistensi dirinya. Seseorang mendapatkan pengakuan melalui lembaga pernikahan dan hubungan kekerabatan yang luas. Hal ini tersirat dalam salah satu unsur dalam falsafah orang Batak: hagabeon. Arti hagabeon adalah mempunyai banyak anak, lelaki dan perempuan. Kehidupan dan kematian yang sia-sia bagi orang Batak adalah tanpa keturunan, terutama jika tak mempunyai anak laki-laki. 12 Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba hingga 1945, hal T.M. Sihombing, Filsafat Batak:Tentang Kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hal 53 7

8 Orang Batak menyebut mati tanpa keturuan sebagai mate ponggol yang secara literer berarti mati terputus. Ada umpama/pepatah Batak mengatakan, Hosuk humosukhosuk, hosuk di tombak ni Batangtoru; Porsuk ni na porsuk, sai umporsuk dope na so maranak so marboru (artinya: penderitaan yang terberat adalah tidak memiliki keturunan). 14 Sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu, bersifat patrilinear, maka laki-laki menjadi pemeran utama dalam kehidupan bermasyarakat. Perempuan adalah bagian dari kerabat ayahnya saat ia gadis kemudian setelah menikah perempuan menjadi bagian kelompok kekerabatan suaminya. 15 Adat Batak tak memberi tempat bagi filsafat eksistensialis yang berorientasi pada kemanusiaan manusia dalam tiap individu. Bagi Orang Batak, makna individu terletak dalam identitas kolektif, dimana individu ada untuk masyarakat. Dengan memperhatikan keterangan di atas, penulis menangkap kesan awal bahwa bagi perempuan Batak ketika belum menikah pada usia di atas 30 tahun adalah kondisi yang sulit karena dalam falsafah-falsafah hidup orang Batak didapati adanya tuntutan bagi orang dewasa untuk menikah. Ditambah lagi adanya stereotip negatif yang dilekatkan masyarakat pada mereka. Masyarakat juga memahami bahwa kodrat perempuan adalah menjadi istri dan ibu sehingga mengakibatkan adanya desakan sosial bagi perempuan bahwa pernikahan adalah kewajiban bagi perempuan. 14 T.M. Sihombing, Filsafat Batak, hal Rainy Hutabarat, Perempuan Dalam Budaya Batak: Boru ni Raja, Inang Soripada, dan Pembuka Hubungan Baru, dalam Majalah Gema tahun 1999, hal 82 8

9 Berdasarkan latar belakang inilah, penulis ingin mengetahui pergumulan yang dialami perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun berdasarkan pengalaman mereka sendiri dan bagaimana mereka menghadapi pergumulan-pergumulan tersebut. Selanjutnya penulis akan menelusuri bagaimana gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Bandung berperan menolong perempuan Batak menghadapi pergumulan sebagai perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun. Menurut penulis hal tersebut perlu dilakukan karena perempuan-perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun tersebut adalah warga jemaat HKBP Bandung sehingga penulis akan menelusuri seberapa besar perhatian gereja HKBP Bandung terhadap perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun dan bagaimana hal tersebut diwujudkan melalui pelayanan-pelayanan untuk kaum lajang sehingga dapat menolong perempuan Batak menghadapi pergumulan sebagai perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun. Akhirnya penulis akan mengkonstruksi suatu teologi yang kontekstual sehubungan dengan pergumulan yang dihadapi perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah: 9

10 1. Apakah pergumulan yang dialami perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun dan bagaimana mereka menghadapi pergumulanpergumulan tersebut? 2. Bagaimana gereja HKBP Bandung berperan dalam menolong perempuan Batak menghadapi pergumulan sebagai perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun? 3. Teologi kontekstual seperti apa yang dapat dibangun sehubungan dengan pengalaman perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun? 3. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pergumulan yang dialami perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun dan mengetahui sikap perempuan Batak dalam menghadapi pergumulan-pergumulan tersebut. 2. Untuk mengetahui peran gereja HKBP Bandung dalam menolong perempuan Batak menghadapi pergumulan sebagai perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun. 3. Untuk membangun teologi kontekstual melalui mendialogkan pergumulan perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun dengan pemahaman Paulus tentang pernikahan dalam I Korintus 7. 10

11 4. Hipotesis Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesa dalam penelitian ini adalah: 1. Ada perempuan Batak lajang yang merasa tidak nyaman dengan status mereka karena stereotip negatif yang dilekatkan pada mereka sehingga tidak siap menghadapi pergumulan berkaitan dengan statusnya sebagai perempuan yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun. 2. Gereja HKBP Bandung turut berperan mengubah stereotip negatif yang dilekatkan masyarakat pada perempuan yang belum menikah berusia di atas 30 tahun dengan melibatkan mereka dalam pelayanan sehingga mereka dapat menikmati masa lajang mereka dan mampu menghadapi pergumulan sebagai perempuan yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun. 3. Gereja HKBP Bandung belum merumuskan teologi kontekstual yang bisa menjawab pergumulan-pergumlan yang dialami sebagai perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun 5. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian fenomenologi dimana pengalaman manusia diperiksa melalui penjelasan yang terperinci dari orang yang diselidiki. 16 Peneliti berusaha 16 Andreas B Subagyo, Pengantar Riset Kuantitatif & Kualitatif: Termasuk Riset Teologi dan Keagamaan, Bandung: Kalam Hidup, 2004, hal

12 menggambarkan dan menjelaskan makna pengalaman manusia dan berusaha memperoleh apa yang ada di balik penggambaran orang mengenai pengalamannya tersebut yaitu sampai pada struktur yang mendasari kesadaran Lokasi Penelitian dan Waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Bandung Resort Bandung Riau-Martadinata, Jl LLRE. Martadinata No.96 Bandung. Di HKBP Bandung 566 KK (Kepala Keluarga) yang berjumlah jiwa. Jemaat dikelompokkan dalam 10 daerah-daerah pelayanan demi memudahkan untuk memberikan pelayanan kepada anggota jemaat. Penelitian lapangan dilakukan mulai dari 21 Juli 2008 sampai 7 Agustus 2008 dimana selama waktu itu, penulis melakukan wawancara dengan para responden yang dianggap dapat memenuhi tujuan penelitian yaitu perempuan-perempuan yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun serta majelis jemaat HKBP Bandung. 5.2 Sampel Dalam penelitian ini, penulis menetapkan sampel menurut sampel pertimbangan 18 dan sampel berantai. 19 Penulis harus lebih dahulu menguasai lingkungan penelitian, kemudian memilih narasumber berdasarkan pertimbangan bahwa mereka memenuhi kriteria yaitu 17 Andreas B Subagyo, Pengantar Riset Kuantitatif & Kualitatif, hal John Mansford Prior, Meneliti Jemaat: Pedoman Riset Partisipatoris, Jakarta: PT Grasindo, 1997, hal John Mansford Prior, Meneliti Jemaat, hal 39 12

13 perempuan-perempuan Batak warga jemaat HKBP Bandung yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun tetapi masih berkeinginan menikah. Berdasarkan wawancara penulis dengan Majelis Jemaat di HKBP Bandung, mereka belum pernah mendaftar jemaat yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun sehingga tidak ada daftar yang memastikan jumlah perempuan yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun. Oleh karena itu penulis berusaha mencari tahu dengan meminta informasi dari mereka tentang perempuan-perempuan berumur di atas 30 tahun namun belum menikah. Dari informasi yang penulis kumpulkan terdapat 30 orang perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun, namun yang aktif beribadah di HKBP Bandung hanya 13 orang. Mereka yang tidak aktif beribadah di HKBP Bandung karena alasan-alasan tertentu seperti bekerja di kota lain, beribadah di gereja lain, dan lain-lain. Penulis melakukan pendekatan pribadi kepada mereka untuk meminta kesediaan mereka diwancarai secara mendalam namun hanya 8 orang perempuan yang bersedia untuk diwawancarai. Penulis juga mewawancarai Majelis Jemaat HKBP Bandung yaitu 3 orang Pendeta jemaat dan 1 orang penatua yang mengetuai dewan koinonia untuk mengetahui pelayanan-pelayanan yang diberikan kepada kaum lajang. 13

14 5.3 Teknik Pengumpulan Data Metode yang dipakai untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: Penelitian Pustaka Penulis menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memaparkan falsafah-falsafah hidup orang Batak Toba tentang pernikahan/perkawinan. Penulis juga akan memaparkan kepercayaan masyarakat tentang kodrat perempuan sebagai istri dan ibu serta stereotip yang melekat pada kaum lajang. Penulis juga akan menggunakan Aturan-Peraturan HKBP untuk mendeskripsikan pelayanan bidang Koinonia, Marturia dan Diakonia di HKBP Bandung Penelitian Lapangan Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi dari para responden yaitu perempuan yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun dan Majelis Jemaat di HKBP Bandung. Penulis mewawancarai 8 orang perempuan yang belum menikah berusia di atas 30 tahun untuk mengetahui pergumulan yang mereka alami sebagai perempuan lajang dan bagaimana mereka menghadapinya. Penulis juga mewawancarai Majelis Jemaat di HKBP Bandung untuk mengetahui pelayanan-pelayanan yang diberikan kepada kaum lajang dan 14

15 menganalisa apakah pelayanan tersebut dapat menolong perempuan menghadapi pergumulan-pergumulan sebagai perempuan yang belum menikah/tidak menikah berusia di atas 30 tahun. Penulis mengumpulkan data dengan metode wawancara tidak terstruktur, 20 yaitu wawancara yang bersifat mendalam, yang ditandai oleh keterbukaan, keterlibatan, emosional dan kepercayaan antara pewawancara dan orang yang diwawancarai. Pertanyaan-pertanyaan yang digunakan dalam wawancara adalah pertanyaan tidak tertutup, di mana pertanyaan yang diajukan tidak hanya dijawab melainkan juga ditanggapi, dikomentari, diolah, diperbaiki, dibahas dan dianalisis bersama, untuk memperjelas pemahaman serta mempertajam gagasan. 21 Hasil wawancara akan ditanskrip menjadi teks, kemudian akan diringkas dan selanjutnya akan ditafsirkan dengan memberi ruang pada subjektifitas penulis. 20 Andreas B Subagyo, Pengantar Riset Kuantitatif & Kualitatif, hal John Mansford Prior, Meneliti Jemaat, hal

16 6. Judul Adapun judul yang dicanangkan untuk penulisan tesis ini adalah: PEREMPUAN LAJANG BATAK DALAM GEREJA HKBP (Suatu Kajian Teologis Tentang Pergumulan Perempuan Batak yang belum Menikah pada Usia di atas 30 Tahun Di HKBP Bandung, Resort Bandung Riau-Martadinata) 7. Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN Bab ini menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : PENGALAMAN PEREMPUAN BATAK YANG BELUM MENIKAH PADA USIA DI ATAS 30 TAHUN Bab ini menguraikan pergumulan-pergumulan yang dialami oleh perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun dan bagaimana mereka menghadapi pergumulanpergumulan tersebut. BAB III : HKBP BANDUNG DAN PELAYANAN KEPADA PEREMPUAN BATAK YANG BELUM MENIKAH PADA USIA DI ATAS 30 TAHUN 16

17 Bab ini memaparkan peran-peran yang dilakukan gereja HKBP untuk menolong perempuan Batak menghadapi pergumulanpergumulan sebagai perempuan yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun. BAB IV : KAJIAN TEOLOGIS TENTANG PERGUMULAN PEREMPUAN BATAK YANG BELUM MENIKAH PADA USIA DI ATAS 30 TAHUN Bagian ini merupakan suatu upaya untuk merumuskan sebuah teologi yang kontekstual yang dibangun berdasarkan pengalaman perempuan ketika menghadapi pergumulanpergumulan yang dihadapi perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN Merupakan kesimpulan dari seluruh pembahasan, termasuk saran-saran dan rekomendasi lanjutan terhadap masyarakat dan gereja. 17

BAB I PENDAHULUAN. 1 Bungaran A. Simanjuntak, Konflik, status dan kekuasaan orang Batak Toba, Yogyakarta, Jendela, 2002, hal 10

BAB I PENDAHULUAN. 1 Bungaran A. Simanjuntak, Konflik, status dan kekuasaan orang Batak Toba, Yogyakarta, Jendela, 2002, hal 10 BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN A.1 LATAR BELAKANG MASALAH Orang Batak Toba sebagai salah satu sub suku Batak memiliki perangkat struktur dan sistem sosial yang merupakan warisan dari nenek moyang. Struktur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Batak adalah salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia. Suku Batak tidak hanya satu saja tetapi terdiri dari beberapa sub suku. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Perempuan merupakan kaum yang sering di nomor duakan di kehidupan sehari-hari. Perempuan seringkali mendapat perlakuan yang kurang adil di dalam kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya.

BAB I PENDAHULUAN. budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. Umumnya manusia sangat

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN DALAM ADAT BATAK TOBA 2.1 SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BATAK TOBA

BAB II GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN DALAM ADAT BATAK TOBA 2.1 SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BATAK TOBA BAB II GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN DALAM ADAT BATAK TOBA 2.1 SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BATAK TOBA Adat bagi masyarakat Batak Toba merupakan hukum yang harus dipelihara sepanjang hidupnya. Adat yang diterima

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. A. Latar Belakang Permasalahan. Gereja Kristen Protestan di Bali, yang dalam penulisan ini selanjutnya disebut

Bab I Pendahuluan. A. Latar Belakang Permasalahan. Gereja Kristen Protestan di Bali, yang dalam penulisan ini selanjutnya disebut Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Permasalahan Gereja Kristen Protestan di Bali, yang dalam penulisan ini selanjutnya disebut Gereja Bali atau singkatannya GKPB, adalah salah satu dari sedikit gerejagereja

Lebih terperinci

P E N D A H U L U A N

P E N D A H U L U A N BAB I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Sebagaimana telah kita ketahui, Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari berbagai-bagai pulau dari Sabang sampai Merauke, dan didiami oleh berbagai-bagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam masyarakat, perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan merupakan suatu pranata dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan antara sesama manusia berlangsung sebagai bentuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan antara sesama manusia berlangsung sebagai bentuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan antara sesama manusia berlangsung sebagai bentuk komunikasi dan situasi. Kehidupan semacam inilah terjadi interaksi, dari hasil interaksi ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri dari beragam budaya dan ragam bahasa daerah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dengan adanya

Lebih terperinci

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tidak dapat dipungkiri bahwa ada begitu banyak tuntutan, tanggungjawab dan kewajiban yang tidak bisa diabaikan oleh seorang pendeta jemaat. Dengan berbagai

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep 2.1.1 Makna Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. [Type text]

BAB I PENDAHULUAN. [Type text] BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tari adalah suatu pertunjukan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat pendukungnya. Tari merupakan warisan budaya leluhur dari beberapa abad yang lampau. Tari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranak dan pihak perempuan atau parboru. Perkawinan mengikat kedua belah

BAB I PENDAHULUAN. paranak dan pihak perempuan atau parboru. Perkawinan mengikat kedua belah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam adat Batak Toba, penyatuan dua orang dari anggota masyarakat melalui perkawinan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kelompok masyarakat bersangkutan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir.

BAB I PENDAHULUAN. Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis di Provinsi Sumatera Utara, suku Batak terdiri dari 5 sub etnis yaitu : Batak Toba (Tapanuli), Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Mandailing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan

Lebih terperinci

11. TINJAUAN PUSTAKA. berbagai macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi di masyarakat yang. bersangkutan. Koentjaranigrat (1984: )

11. TINJAUAN PUSTAKA. berbagai macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi di masyarakat yang. bersangkutan. Koentjaranigrat (1984: ) 11. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Upacara Adat Upacara adalah sistem aktifitas atau rangkaian atau tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman budaya, suku dan kesenian yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Salah satu suku yang terdapat di Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku yang masing-masing suku

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku yang masing-masing suku BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku yang masing-masing suku memiliki bahasa daerah tersendiri yang membedakan bahasa suku yang satu dengan bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh keturunan maka penerus silsilah orang tua dan kekerabatan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh keturunan maka penerus silsilah orang tua dan kekerabatan keluarga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan kebahagiaan, kebanggaan, penerus keturunan, serta harta kekayaan pada sebuah keluarga. namun tidak semua keluarga dapat memperoleh keturunan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebudayaan merupakan sebuah cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebudayaan merupakan sebuah cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebudayaan merupakan sebuah cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat dan diwariskan secara turun temurun dari generasi kegenerasi berikutnya. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beragam ketentuan adat yang dimiliki. Kehidupan setiap etnis berbeda-beda. Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. beragam ketentuan adat yang dimiliki. Kehidupan setiap etnis berbeda-beda. Masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai etnis dengan berbagai nilai budaya dan beragam ketentuan adat yang dimiliki. Kehidupan setiap etnis berbeda-beda.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikerjakan, dan diterapkan oleh manusia (budi-daya manusia). Kata kebudayaan berasal

BAB I PENDAHULUAN. dikerjakan, dan diterapkan oleh manusia (budi-daya manusia). Kata kebudayaan berasal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keragaman suku. Pada setiap suku memmpunyai hasil kebudayaan masing-masing. Kebudayaan hadir dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebudayaan adalah salah satu yang dimiliki oleh setiap negara dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebudayaan adalah salah satu yang dimiliki oleh setiap negara dan 1 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kebudayaan adalah salah satu yang dimiliki oleh setiap negara dan menjadi identitasnya masing-masing. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki beragam kebudayaan,

Lebih terperinci

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Permasalahan BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang Permasalahan Suku Batak memiliki lima sub suku, yaitu suku Toba, Simalungun, Karo, Pak-Pak atau Dairi, dan Angkola-Mandailing. Setiap sub suku tersebut memiliki ciri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh masyarakat adat batak toba. Sistem ini dalam arti positif merupakan suatu sistem dimana seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentukan manusia yang tidak lahir begitu saja yang bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. bentukan manusia yang tidak lahir begitu saja yang bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Adat istiadat merupakan konsepsi pemikiran yang lahir sebagai rangkaian pemikiran manusia yang bersumber dari hakikat kemajuan akalnya. Sebelumnya disebut bahwa adat

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Edisi 55, Fakultas Teologi UKDW, Yogyakarta, 1999, hal

Bab I Pendahuluan. Edisi 55, Fakultas Teologi UKDW, Yogyakarta, 1999, hal 1 Bab I Pendahuluan 1. Latar Belakang Permasalahan Kesetaraan laki-laki dan perempuan sudah seringkali dibicarakan dan diperjuangkan. Meski demikian, tetap saja kita tidak bisa mengabaikan kodrat seorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Obor Indonesia, 1999, p Jane Cary Peck, Wanita dan Keluarga Kepenuhan Jati Diri dalam Perkawinan dan Keluarga, Yogyakarta:

BAB I PENDAHULUAN. Obor Indonesia, 1999, p Jane Cary Peck, Wanita dan Keluarga Kepenuhan Jati Diri dalam Perkawinan dan Keluarga, Yogyakarta: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Pada dasarnya setiap orang memiliki suatu gambaran tentang keluarga dan keluarga harmonis. Keluarga merupakan sistem sosial dari hubungan utama, yang memungkinkan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Kabupaten Tapanuli Utara

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Kabupaten Tapanuli Utara BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1. Letak Geografis Kabupaten Tapanuli Utara Kabupaten Tapanuli Utara merupakan salah satu kabupaten yang tekstur wilayahnya bergunung-gunung. Tapanuli Utara berada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jubelando O Tambunan, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jubelando O Tambunan, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai ciri keanekaragaman budaya yang berbeda tetapi tetap satu. Indonesia juga memiliki keanekaragaman agama

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kepemimpinan merupakan hal yang penting berada dalam gereja. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan gereja sebagai organisasi. Dalam teori Jan Hendriks mengenai jemaat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memahami wacana dengan baik dan tepat diperlukan bekal pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. memahami wacana dengan baik dan tepat diperlukan bekal pengetahuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif paling kompleks dan paling lengkap. Satuan pendukung kebahasaannya meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa,

Lebih terperinci

REKONTRUKSI IDENTITAS PEREMPUAN DALAM 1 KORINTUS 14 : DARI PERSPEKTIF POSKOLONIAL PEREMPUAN KRISTEN JAWA

REKONTRUKSI IDENTITAS PEREMPUAN DALAM 1 KORINTUS 14 : DARI PERSPEKTIF POSKOLONIAL PEREMPUAN KRISTEN JAWA REKONTRUKSI IDENTITAS PEREMPUAN DALAM 1 KORINTUS 14 : 34 40 DARI PERSPEKTIF POSKOLONIAL PEREMPUAN KRISTEN JAWA Tesis Diajukan kepada Program Pasca Sarjana Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendiami daerah Simalungun begitu juga dengan yang lainnya. marga, dimana menghubungkan dua pihak yakni pihak parboru atau sebagai

BAB I PENDAHULUAN. mendiami daerah Simalungun begitu juga dengan yang lainnya. marga, dimana menghubungkan dua pihak yakni pihak parboru atau sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batak merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia yang mana sebagian besar bermukim di Sumatera Utara. Suku yang dikategorikan sebagai Batak yaitu Batak Toba, Batak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam menyusun sebuah karya ilmiah sangat diperlukankajian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam menyusun sebuah karya ilmiah sangat diperlukankajian BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan yang Relevan Dalam menyusun sebuah karya ilmiah sangat diperlukankajian pustaka.kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Dra.Ny.Singgih D.Gunarsa, Psikologi Untuk Keluarga, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988 hal. 82

BAB I PENDAHULUAN. 1 Dra.Ny.Singgih D.Gunarsa, Psikologi Untuk Keluarga, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988 hal. 82 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak orang berpendapat bahwa siklus hidup manusia adalah lahir, menjadi dewasa, menikah, mendapatkan keturunan, tua dan mati. Oleh karena itu pernikahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suku tertua. Dalam suku Batak terdapat beberapa sub-suku-suku yang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suku tertua. Dalam suku Batak terdapat beberapa sub-suku-suku yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Provinsi sumatera utara dewasa ini mencatat adanya suku Batak dan Suku Melayu sebagai suku tertua. Dalam suku Batak terdapat beberapa sub-suku-suku yang membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB I PENDAHULUAN Dalam bagian ini akan dipaparkan: latarbelakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. 1. Latarbelakang Kehadiran gereja di tengah dunia ini

Lebih terperinci

bersikap kolot, dan lebih mudah menerima perubahan yang terjadi di dalam masyarakat terutama pada perempuan yang tidak menikah ini.

bersikap kolot, dan lebih mudah menerima perubahan yang terjadi di dalam masyarakat terutama pada perempuan yang tidak menikah ini. BAB V KESIMPULAN Suku Batak Toba merupakan suku yang kaya akan budaya salah satunya falasafah Dalihan Na Tolu yang menjadi landasan orang Batak Toba dalam bermasyarakat. Dalihan Na Tolu ini mengandung

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI Dalam bab ini berisi tentang analisa penulis terhadap hasil penelitian pada bab III dengan dibantu oleh teori-teori yang ada pada bab II. Analisa yang dilakukan akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi merupakan kebiasaan dalam suatu masyarakat yang diwariskan secara turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam suatu masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat, seperti perubahan pola pikir, perubahan gaya hidup, perubahan sosial, perubahan teknologi, dan sebagainya, memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak.

BAB I PENDAHULUAN. istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hula - hula dalam adat Batak Toba adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. Hula - hula merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai

I. PENDAHULUAN. Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai suku bangsa, golongan, dan lapisan sosial. Sudah tentu dalam kondisi yang demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Dalam menjalani proses kehidupan, peristiwa kematian tidak dapat dihindari oleh setiap manusia. Namun, peristiwa kematian sering menjadi tragedi bagi orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan di kota saat ini mulai dipenuhi dengan aktivitas yang semakin padat dan fasilitas yang memadai. Kenyataan tersebut tidak dapat dipungkiri oleh gereja-gereja

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Perempuan di berbagai belahan bumi umumnya dipandang sebagai manusia yang paling lemah, baik itu oleh laki-laki maupun dirinya sendiri. Pada dasarnya hal-hal

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkawinan poligami

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkawinan poligami 114 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkawinan poligami dibawah tangan pada masyarakat batak toba di Kota Bandar Lampung saat ini, maka dapat disimpulkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI 1. Definisi Harga Diri Coopersmith (1967, h.4) menyatakan bahwa self esteem refer to the evaluation which the individual makes and customarily maintains with regard

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem kekerabatan yang dianut masyarakat Indonesia umumnya adalah masyarakat patrilineal. Patrilineal adalah kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki.

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN 1.1.1 Latar Belakang Masalah Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) adalah Gereja mandiri bagian dari Gereja Protestan Indonesia (GPI) sekaligus anggota Persekutuan Gereja-Gereja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. defenisi mengenai kebudayaan sebagai berikut (terjemahannya):

I. PENDAHULUAN. defenisi mengenai kebudayaan sebagai berikut (terjemahannya): I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keragaman suku juga disertai dengan keragaman budaya. Itulah yang membuat suku budaya Indonesia sangat dikenal bangsa lain karena budayanya yang unik. Berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Komunikasi sebagai proses pertukaran simbol verbal dan nonverbal antara pengirim dan penerima untuk merubah tingkah laku kini melingkupi proses yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dalam menjalankan tata hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. E.P. Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. E.P. Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Secara umum masyarakat Karo menganggap bahwa agama Hindu-Karo adalah agama Pemena (Agama Pertama/Awal). Dalam agama Pemena, terdapat pencampuran konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Kata gender berasal dari kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin modern dan maju secara tidak langsung menuntut setiap orang untuk mampu bersaing dalam mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Budaya daerah adalah sebuah ciri khas dari sekelompok suatu Etnik yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Budaya daerah adalah sebuah ciri khas dari sekelompok suatu Etnik yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Budaya daerah adalah sebuah ciri khas dari sekelompok suatu Etnik yang memiliki kebiasaan, aturan, serta norma yang harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini sudah memiliki kebudayaan dan karya sastra tersendiri.

BAB I PENDAHULUAN. ini sudah memiliki kebudayaan dan karya sastra tersendiri. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri atas berbagai suku yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Salah satunya adalah etnis Batak. Etnis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan yang baru akan membentuk satu Dalihan Natolu. Dalihan Natolu

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan yang baru akan membentuk satu Dalihan Natolu. Dalihan Natolu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Peristiwa penting tersebut dikaitkan dengan upacaraupacara yang bersifat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Perkawinan adalah Anugrah dari pemberian Allah Tuhan kita yang terwujud/terbentuk dalam suatu ikatan lahir batin dari hubungan antara Suami dan Isteri (kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dihasilkan dari kebiasaan dari masing-masing suku-suku tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. yang dihasilkan dari kebiasaan dari masing-masing suku-suku tersebut. BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multikultural, hal ini terbukti dengan banyaknya suku bangsa di Indonesia yang mempunyai budaya berbedabeda. Perbedaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menganggap bentuk kehidupan itu benar, baik dan berguna bagi mereka. Fenomena dari

BAB I PENDAHULUAN. menganggap bentuk kehidupan itu benar, baik dan berguna bagi mereka. Fenomena dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dari berbagai perbedaan kehidupan manusia, satu bentuk variasi kehidupan mereka yang menonjol adalah fenomena stratifikasi (tingkat-tingkat) sosial. Perbedaan itu tidak

Lebih terperinci

BAB 4 KESIMPULAN Citra Tokoh Utama Perempuan die Kleine sebagai Subordinat dalam Novel RELAX karya Henni von Lange RELAX RELAX

BAB 4 KESIMPULAN Citra Tokoh Utama Perempuan die Kleine sebagai Subordinat dalam Novel RELAX karya Henni von Lange RELAX RELAX BAB 4 KESIMPULAN Berdasarkan teori yang sudah dipaparkan dalam bab dua dan analisis yang telah dilakukan dalam bab tiga, maka kesimpulan dari skripsi yang berjudul Citra Tokoh Utama Perempuan die Kleine

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila terutama pada sila yang pertama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suku bangsa. Unsur-unsur kebudayaan itu dirangkai dalam istilah-istilah budaya

BAB I PENDAHULUAN. suku bangsa. Unsur-unsur kebudayaan itu dirangkai dalam istilah-istilah budaya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap suku bangsa memiliki kekhasan pada budayanya masing-masing. Tujuh unsur kebudayaan universal tersebut dilestarikan di dalam kegiatan suatu suku bangsa. Unsur-unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Khotbah merupakan salah satu bagian dari rangkaian liturgi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Khotbah merupakan salah satu bagian dari rangkaian liturgi dalam BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Khotbah merupakan salah satu bagian dari rangkaian liturgi dalam kebaktian yang dilakukan oleh gereja. Setidaknya khotbah selalu ada dalam setiap kebaktian minggu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pers mempunyai beberapa fungsi yang saling berhubungan satu

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pers mempunyai beberapa fungsi yang saling berhubungan satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pers mempunyai beberapa fungsi yang saling berhubungan satu sama lain, yakni sebagai media informasi, media pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Fungsi

Lebih terperinci

XII. Diunduh dari. Bab. Keluarga Kristen Menjadi Berkat Bagi Lingkungan

XII.  Diunduh dari. Bab. Keluarga Kristen Menjadi Berkat Bagi Lingkungan Bab XII A. Pengantar Bernyani Kucinta Keluarga Tuhan Kucinta k luarga Tuhan, terjalin mesra sekali semua saling mengasihi betapa s nang kumenjadi k luarganya Tuhan Keluarga Kristen Menjadi Berkat Bagi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kehidupan seseorang dalam perjalanannya akan selalu mengalami perubahan. Perubahan ini dapat dikarenakan perkembangan dan pertumbuhan normal sebagai pribadi, maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Adat istiadat merupakan suatu hal yang sangat melekat dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Adat istiadat merupakan suatu hal yang sangat melekat dalam kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Adat istiadat merupakan suatu hal yang sangat melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap suku-suku pasti memiliki berbagai jenis upacara adat sebagai perwujudan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan salah satu praktek kebudayaan yang paling mengundang upaya perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ada sebagian kecil orang yang memilih untuk hidup sendiri, seperti Rasul Paulus

BAB I PENDAHULUAN. ada sebagian kecil orang yang memilih untuk hidup sendiri, seperti Rasul Paulus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Pernikahan merupakan salah satu fase dari kehidupan manusia. Memasuki jenjang pernikahan atau menikah adalah idaman hampir setiap orang. Dikatakan hampir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Pernikahan merupakan suatu hal yang dinantikan dalam kehidupan manusia karena melalui sebuah pernikahan dapat terbentuk satu keluarga yang akan dapat melanjutkan

Lebih terperinci

UKDW BAB I. PENDAHULUAN

UKDW BAB I. PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pada jaman sekarang, tidak dapat dipungkiri bahwa Gereja berada di tengah-tengah konteks yang kian berubah dan sungguh dinamis. Hal tersebut tampak jelas

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Keluarga adalah institusi pertama yang dibangun, ditetapkan dan diberkati Allah. Di dalam institusi keluarga itulah ada suatu persekutuan yang hidup yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua jenis manusia, tetapi hubungan yang masing-masing mempunyai peranan

BAB I PENDAHULUAN. antara dua jenis manusia, tetapi hubungan yang masing-masing mempunyai peranan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkawinan bukanlah sekedar ritus untuk mengabsahkan hubungan seksual antara dua jenis manusia, tetapi hubungan yang masing-masing mempunyai peranan penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun antara perorangan dengan kelompok manusia. Hartomo, H (1997)

BAB I PENDAHULUAN. maupun antara perorangan dengan kelompok manusia. Hartomo, H (1997) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang hidup di suatu wilayah tertentu dan saling berinteraksi satu sama lain. Masyarakat yang saling berhubungan satu dengan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kehidupan di perkotaan diperhadapkan dengan sebuah realita kehidupan yang kompleks. Pembangunan yang terus berlangsung membuat masyarakat berlomba-lomba untuk

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kehidupan gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat Batak Toba sebagai masyarakat yang di dalamnyalah gereja ini lahir

Lebih terperinci

HASIL WAWANCARA DENGAN KETUA ADAT PANJAITAN JABODETABEK( NELSON PANJAITAN)

HASIL WAWANCARA DENGAN KETUA ADAT PANJAITAN JABODETABEK( NELSON PANJAITAN) HASIL WAWANCARA DENGAN KETUA ADAT PANJAITAN JABODETABEK( NELSON PANJAITAN) X : Selamat siang pak N : Iya, siang X : Saya ingin bertanya-tanya tentang perkawinan semarga pak, kenapa perkawinan semarga itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa. Sampai saat ini tercatat terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa. Sampai saat ini tercatat terdapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa. Sampai saat ini tercatat terdapat lebih dari 500 etnis di Indonesia (Suryadinata, 1999). Suku Batak merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akal dan pikiran untuk dapat memanfaatkan isi dunia ini. Selain itu manusia. yang dilalui untuk dapat mempertahankan dirinya.

BAB I PENDAHULUAN. akal dan pikiran untuk dapat memanfaatkan isi dunia ini. Selain itu manusia. yang dilalui untuk dapat mempertahankan dirinya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahkluk Tuhan yang paling sempurna. Manusia diberi akal dan pikiran untuk dapat memanfaatkan isi dunia ini. Selain itu manusia memiliki kodrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, yang lahir dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, yang lahir dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Budaya merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, yang lahir dari pengalaman hidup sehari-hari yang dialami oleh setiap masyarakat dalam kelompok masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Suku ini banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Suku ini banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia. Suku ini banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara, khususnya daerah di sekitar Danau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan orang lain untuk melengkapi kehidupannya. Proses pernikahan menjadi salah satu upaya yang

Lebih terperinci

PEDOMAN WAWANCARA. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian dengan

PEDOMAN WAWANCARA. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian dengan PEDOMAN WAWANCARA I. Judul Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan pada pria WNA yang menikahi wanita WNI. II. Tujuan Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih dari pulau. Indonesia juga merupakan negara yang beragam

BAB I PENDAHULUAN. lebih dari pulau. Indonesia juga merupakan negara yang beragam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau. Indonesia juga merupakan negara yang beragam kebudayaannya. Terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Permasalahan Seksualitas merupakan pemberian dari Allah. Artinya bahwa Allah yang membuat manusia bersifat seksual. Masing-masing pribadi merupakan makhluk seksual

Lebih terperinci

BAB IV. Refleksi Teologis

BAB IV. Refleksi Teologis BAB IV Refleksi Teologis Budaya patriarki berkembang dalam kehidupan masyarakat di seluruh dunia dan mengakibatkan adanya pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Pembagian kerja ini menyebabkan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara akan persoalan Perjamuan Kudus maka ada banyak sekali pemahaman antar jemaat, bahkan antar pendeta pun kadang memiliki dasar pemahaman berbeda walau serupa.

Lebih terperinci

Rumah Tangga dibentuk untuk memulihkan kembali citra Allah pada pria dan wanita.

Rumah Tangga dibentuk untuk memulihkan kembali citra Allah pada pria dan wanita. Rumah Tangga dibentuk untuk memulihkan kembali citra Allah pada pria dan wanita. Keluarga dapat menjadi tempat kebahagiaan yang besar. Keluarga yang harmonis menunjukkan asas-asas hidup Kekristenan sejati,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?, Bandung, Penerbit Mizan, 1999, p. 101

BAB I PENDAHULUAN. 1 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?, Bandung, Penerbit Mizan, 1999, p. 101 1 BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Permasalahan Dalam kehidupan ini, manusia tercipta sebagai laki-laki dan perempuan. Mereka saling membutuhkan satu dengan yang lain. Seorang laki-laki membutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penuturnya dilindungi oleh Undang-undang Dasar Dalam penjelasan Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. penuturnya dilindungi oleh Undang-undang Dasar Dalam penjelasan Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia terdapat berbagai ragam bahasa daerah. Bahasa daerah hidup berdampingan dengan bahasa Indonesia. Semua bahasa daerah yang dipakai penuturnya dilindungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sudah jadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu

BAB I PENDAHULUAN. Sudah jadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sudah jadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. watak pada individu. Karena salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya

BAB I PENDAHULUAN. watak pada individu. Karena salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebudayaan Indonesia mempunyai nilai yang tinggi karena merupakan suatu system yang dikembangkan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad lamanya, di dalam kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan dalam Islam merupakan anjuran bagi kaum muslimin. Dalam undang

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan dalam Islam merupakan anjuran bagi kaum muslimin. Dalam undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan dalam Islam merupakan anjuran bagi kaum muslimin. Dalam undang undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang

Lebih terperinci