SEKSUALITAS pada individu autis remaja Dra. Dyah Puspita *)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SEKSUALITAS pada individu autis remaja Dra. Dyah Puspita *)"

Transkripsi

1 SEKSUALITAS pada individu autis remaja Dra. Dyah Puspita *) [dimuat disitus ini seijin Ibu Dyah Puspita] Sebagai masyarakat timur, seringkali kita merasa sungkan membicarakan masalah seksualitas. Apalagi pada individu autis, yang memang memerlukan penanganan khusus. Selain sungkan, kebanyakan orang tua juga tidak sanggup menghadapi rangkaian masalah yang harus dihadapi di kemudian hari dan memilih untuk menyimpan masalah itu hingga saat-saat terakhir. Padahal justru peran orang tua di masa kanak anak sangatlah menentukan dalam mempersiapkan anak-anak autis ini menghadapi masa-masa remaja dan masa dewasa mereka. Tanpa persiapan dan penjelasan sebelumnya, anak autis bingung dan cemas menghadapi perubahan fisik dalam diri mereka atau terlanjur menjadi korban penanganan lingkungan yang kurang bertanggung jawab. BATASAN Individu autis adalah individu yang sudah mendapat diagnosa sebagai memiliki gangguan per-kembangan autisme sebelum usia 3 tahun, dengan manifestasi gangguan komunikasi, gangguan perilaku dan gangguan interaksi. Kadang mereka juga memiliki masalah lain seperti masalah makan, masalah tidur, gangguan sensoris dan sebagainya. Masa remaja autis, berawal pada usia yang berbeda-beda pada setiap individu. Ada yang sudah mengalami perubahan fisik dan dorongan seksual sejak usia 8 tahun, sementara yang lain terjadi sekitar usia tahun. Bahkan ada pula yang hingga awal usia 20-an tidak menunjukkan minat yang berarti. Adams (2000) menyebutkan bahwa diskusi awal mengenai topik ini sudah seharusnya dimulai saat anak berusia 10 tahun, kecuali anak tampak memiliki kebutuhan untuk itu di usia lebih dini. Yang jelas, penelitian menunjukkan bahwa pada individu dengan kebutuhan khusus (special needs individuals) juga terjadi perkembangan yang kurang lebih sama dengan individu yang tidak mengalami gangguan perkembangan. Mereka mengalami perubahan emosional, fisik dan sosial yang hampir sama. Perubahan fisik mereka antara lain: mulai tumbuh rambut di wajah, ketiak dan di daerah kemaluan, terjadi perubahan pertumbuhan rambut di seluruh tubuh, perubahan suara pria, wanita mulai menstruasi. Meski demikian, perubahan emosional bagi anak dengan kebutuhan khusus (termasuk autism) prosesnya cenderung lebih sulit karena minat mereka terhadap lawan jenis sering ditentang oleh lingkungan (Schwier&Hingsburger, 2000) sehingga tidak ada informasi yang jelas. Atau, sebaliknya, mereka justru menarik diri sama sekali dari pergaulan karena tidak mampu menterjemahkan begitu banyak pesan tersirat dan aturan sosial yang membingungkan. Temple Grandin dalam salah satu bukunya bahkan menuturkan bahwa ia memutuskan untuk hidup lajang (=celibacy) agar terhindar dari situasi sosial yang begitu rumit dan sulit ia atasi. Seksualitas adalah integrasi dari perasaan, kebutuhan dan hasrat yang membentuk kepribadian unik seseorang, mengungkapkan kecenderungan seseorang untuk menjadi pria atau wanita. Seks, sebaliknya, biasanya hanya didefinisikan sebagai jenis kelamin (pria atau wanita); atau kegiatan atau aktifitas dari hubungan fisik seks itu sendiri. Dalam makalah ini, seksualitas dibatasi sebagai pikiran, perasaan, sikap dan perilaku seseorang terhadap dirinya sendiri. (Schwier & Hingsburger, 2000). Dengan demikian, bukan kegiatan hubungan seks yang akan dibahas, tapi bagaimana membantu anak autis memahami seksualitas secara keseluruhan agar ia berkembang sebagai pribadi yang utuh dan mandiri. Seksualitas mencakup banyak faktor dan tidak bisa dilihat secara terpisah. Untuk dapat memahami seksualitas, kita harus memahami cinta kasih. Untuk dapat memahami cinta-kasih, kita harus memahami keterikatan (=bonding). Memahami keterikatan, kita harus memahami arti cinta tanpa pamrih. Dan tentu saja, untuk dapat memahami arti cinta tanpa pamrih, kita harus pernah merasakannya. (Schwier&Hingsburger, 2000). Sayangnya bagi individu dengan kebutuhan khusus ini, seringkali mereka kurang mendapatkan perlakuan penuh kasih dari lingkungan terdekatnya. Bahkan ada penelitian yang menunjukkan bahwa lingkungan lebih tertarik kepada bayi atau balita yang lucu, menggemaskan dan berespons dengan baik; tapi kurang tertarik kepada mereka yang kurang menarik. Apalagi anak autis seringkali kurang mampu berkomunikasi atau berespons sehingga lingkungan berasumsi bahwa anak-anak ini juga tidak paham stimulasi atau percakapan. Lingkungan lalu memutuskan untuk tidak mengajak bicara anak-anak ini, dengan pemikiran yang sangat sederhana mereka kan tidak mengerti. Seringkali kesempatan anak-anak dengan kebutuhan

2 khusus ini untuk bergaul dengan teman sebaya juga terbatas, sehingga mereka tidak punya pengalaman bergaul yang cukup untuk membentuk hubungan emosional yang sehat sesuai usia mereka. SEKSUALITAS PADA INDIVIDU AUTISTIC SPECTRUM DISORDER Selain gangguan perilaku dan gangguan komunikasi, masalah individu autis adalah dalam membentuk interaksi dengan orang lain. Masalah interaksi ini (DSM IV- R-2000), termanifestasi dalam bentuk gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik: - kesulitan dalam menggunakan perilaku non-verbal seperti kontak mata, ekspresi wajah, postur tubuh, dan isyarat untuk mengatur hubungan sosial - kesulitan membentuk hubungan dengan teman sebaya yang sesuai dengan tahap perkembangannya - ketidak-mampuan untuk secara spontan mencari orang lain untuk tujuan berbagi kesenangan, minat atau keberhasilan - ketidak-mampuan membentuk hubungan sosio-emosional yang timbal balik. Dewey and Everad (1974) menjelaskan bahwa individu autis bisa merasa tertarik pada orang lain, tapi gaya ekspresi seksualitas mereka seringkali naif, tidak matang dan tidak sesuai dengan usianya. Gangguan autism mereka tampaknya menghambat mereka dalam memahami sinyal-sinyal tersirat yang selalu ada dalam hubungan antar manusia. Jadi meskipun mereka mengalami perkembangan fisik yang kurang lebih sama dengan anak lain seusianya, tapi perkembangan emosi dan ketrampilan sosial mereka yang tidak berimbang cenderung menghambat mereka untuk berinteraksi secara positif dan efektif dengan orang lain (dalam hal ini lawan jenis). Temple Grandin menjelaskan bahwa interaksi sosial yang bagi orang lain merupakan sesuatu yang terjadi secara alamiah, baginya adalah hal yang paling sulit untuk ia pahami. Ia harus belajar melalui cara yang coba-salah (=trial error) karena ia tidak paham harus berbuat apa. Bagi dia, manusia sulit ditebak, respons emosinya sangat rumit dan bergradasi, dan reaksi atas stimulus cenderung berubah-ubah. Ia harus terus menerus menalar interaksi sosial. Bahkan hingga kini, hubungan antar pribadi adalah hal yang tidak dipahami oleh Grandin. Untuk mempermudah dirinya sendiri, Grandin mengembangkan sistim untuk memahami interaksi sosial, yang ia sebut Sins of the System, yang terbagi atas 4 kelompok: ~ Really bad things. Misal: membunuh, membakar, mencuri dan berbagai larangan lain. ~ Courtesy rules. Misal: tidak menerobos antrian, aturan saat makan, mengucapkan terima kasih, menjaga kebersihan diri. Hal-hal yang penting untuk membuat orang lain merasa nyaman. ~ Illegal but not bad. Misal: sedikit ngebut di jalan raya, parkir di tempat terlarang. ~ Sins of the System (SOS). Misal: mengisap ganja, masuk penjara selama 10 tahun, dan perilaku seksual yang menyimpang. SOS adalah penalti yang sangat parah sehingga mengalahkan semua llogika. Kadang penalti untuk perilaku seksual menyimpang lebih parah daripada untuk pembunuhan. Karena Grandin sangat bingung akan muatan emosional yang terkandung dalam aturan-aturan hubungan antar pribadi, ia bahkan tidak berani membicarakannya karena takut melanggar SOS. Grandin paham bahwa aturan SOS di sebuah lingkungan bisa diartikan sebagai perilaku yang dapat diterima, sementara di lingkungan yang berbeda belum tentu (standard di setiap lingkungan tidak sama). Sementara itu, 3 aturan lain lebih bersifat permanen dan berlaku pada semua lingkungan sehingga bisa lebih dimengerti oleh Grandin. Kekhawatiran Grandin melanggar SOS membuatnya memilih untuk hidup melajang. Menurut Grandin, ia terhindar dari aneka masalah karena pilihannya tersebut. Grandin menganjurkan individu lain dengan autism untuk memahami bahwa perilaku tertentu tidak bisa ditoleransi. Karena itu, biasanya individu autis memutuskan untuk hidup melajang, atau bila memutuskan untuk menikah sekalipun, biasanya menikah dengan pasangan yang memiliki gangguan serupa. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Grandin, sebuah survei atas 63 anak autis menunjukkan bahwa tidak satupun dari mereka menikah saat sudah dewasa (Rutter 1970). Kanner (1972) melakukan survei serupa pada 96 anak autis, tidak satupun secara bersungguh-sungguh memikirkan kemungkinan untuk menikah. Pada survei lain, 21 anak HFA (highfunctioning autism) ditanya mengenai pengetahuan mereka, pengalaman dan keinginan mereka sehubungan dengan seksualitas (Ousley&Mezibov 1992). Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak frustrasi pada pria autis dewasa karena perbedaan antara minat terhadap aktifitas seksual dan pengalaman seksual mereka. Rasa frustrasi tersebut tentu saja tidak sehat, apalagi bila anak bingung oleh berbagai perubahan fisik dan hormon dalam dirinya. Karena itu penting sekali memberikan informasi positif mengenai seksualitas sejak usia dini. Pendidikan seks yang terus menerus juga akan membantu mengurangi stres dan perasaan terisolir yang biasanya muncul pada individu autis remaja.

3 Dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual individu autis sebenarnya tidak terganggu, tapi ekspresi mereka yang mencerminkan ketidak-matangan perkembangan sosial dan emosional mereka. Fakta membuktikan, individu autis mengembangkan perilaku seksual yang tidak seharusnya karena ketidak-mampuan mereka memahami norma dan aturan sosial, dan karena ketidak mampuan mereka berkomunikasi dengan efektif serta membentuk hubungan timbal balik. Pada saat bersamaan, kesulitan mereka dalam membayangkan berbagai hal membuat mereka mengalami kesulitan berfantasi sehingga pada akhirnya memerlukan rangsangan khusus sebagai upaya membantu memberi kepuasan pada kebutuhan seksual mereka. PENDIDIKAN SEKSUALITAS BAGI INDIVIDU AUTIS Menurut Adams (1997), tujuan pendidikan seks bagi individu autis adalah untuk membuat individu: - sadar dan menghargai ciri seksualitas diri sendiri - memahami perbedaan mendasar antara anatomi pria dan wanita, serta peran masing-masing jender dalam reproduksi manusia - mengerti perubahan fisik dan emosi yang akan dialaminya, termasuk masalah-masalah seperti menstruasi, mimpi basah, perasaan yang berubah-ubah, tumbuhnya bulu di sekujur tubuh, perubahan bau badan dsb. - memahami bahwa tidak ada seorangpun punya hak melakukan tindakan seksual atas dirinya tanpa izin - memahami tanggung jawab yang terlibat bila kita memiliki keturunan - memahami bahwa cara-cara kontrol kelahiran (metode keluarga berencana) harus dilakukan, kecuali anak memang dikehendaki dan dapat dirawat dengan baik serta bertanggung jawab - memahami peran dan tanggung jawabnya dalam menjaga kesehatan diri dan orang lain - tahu dan dapat mencari bantuan untuk masalah-masalah tertentu bilamana diperlukan (manakala terjadi pelecehan atau penularan penyakit) - memahami makna norma masyarakat mengenai perilaku seksual yang pantas di lingkungannya Sambil mengingatkan bahwa setiap individu berbeda, Schwier & Hingsburger (2000) mengusulkan untuk mengajarkan beberapa hal sesuai usia mental anak: Antara 3-9 tahun - Beda laki dan perempuan (anatomi, kebiasaan, emosi, tuntutan lingkungan dsb) - Beda tempat publik dan pribadi, nama anggota badan - Proses kelahiran bayi Antara 9-15 tahun - Menstruasi - Mimpi basah - Perubahan fisik lainnya - Cara mengenali dan mengatakan tidak pada sentuhan seksual oleh orang lain - Proses pembuahan yang menghasilkan bayi - Perasaan dan dorongan seksual - Masturbasi Usia 16 tahun dan lebih - Proses terjadinya hubungan antar pribadi - Proses berkembangnya dorongan seksual dan bagaimana mengatasinya - Homoseksualitas (perasaan senang pada teman sejenis) - Beda antara cinta kasih dan hubungan seks - Hukum dan konsekuensi dari menyentuh orang lain secara seksual - Pencegahan kehamilan, metode keluarga berencana - Penularan penyakit seksual - Tanggung jawab perkawinan dan memiliki anak Ada 2 (dua) jenis pengarahan yang diperlukan anak sehubungan dengan topik di atas, yaitu: 1. Anak harus tahu batasan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dari perilakunya. Misal: tidak boleh membuka baju di depan orang lain, bagian tubuh mana dari orang lain yang masih pantas untuk disentuh (tangan, bahu), atau bagaimana menjaga kebersihan tubuh. 2. Anak harus diajarkan dasar-dasar ketrampilan sosial. Tanpa dasar seperti ini, ia akan sulit memasuki tahapan yang lebih rumit dari hubungan antar manusia seperti persahabatan, cinta, perkawinan, sampai ke hubungan seks. Biasanya individu

4 tersebut sendiri yang menunjukkan apakah ia memiliki kebutuhan untuk sekedar berteman atau membentuk hubungan antar individu yang lebih rumit. Dalam menetapkan kebutuhan pengajaran pada anak, diperlukan pengamatan intensif. Misal: Anto disuruh teman-teman sebayanya mendatangi seorang gadis dan menyentuh dada gadis tersebut. Atau, Ali yang berdiri di kamar mandi dan buang air kecil dengan celana yang diturunkan hingga ke mata kaki. Sekilas tampaknya perilaku-perilaku tersebut tergolong perilaku seksual yang tidak pantas, tapi sesungguhnya lebih mewakili ketidak tahuan anak akan hukum aturan sosial yang berlaku. Anto tidak tahu bahwa tidak boleh asal menyentuh dada gadis, sementara Ali juga tidak tahu bagaimana buang air kecil yang sepantasnya bagi pria dewasa. Tidak cukup hanya meminta anak membedakan bagian tubuh atau memahami bagaimana bayi terjadi. Penting mengintegrasikan aspek fisik, emosi dan sosial pada saat mengajarkan beberapa hal di atas. Anak harus mengerti sikap, nilai dan ketrampilan dasar tertentu untuk dapat berespons pada situasi yang berbeda-beda. Misalnya ketika belajar mengenai payudara-nya sendiri, seorang anak gadis harus tahu bahwa: ~ Payudara memiliki tujuan estetika dan tujuan fungsi (aspek fisik) ~ Payudara adalah bagian tubuh yang pribadi (aspek sosial) ~ Tidak nyaman membicarakan bagian-bagian tubuh pribadi begini, maka penting menemukan seseorang yang bersedia menjawab pertanyaan dan masalah (aspek sosial) ~ Banyak cara menolak upaya-upaya yang tidak diinginkan bila seseorang berusaha menyentuh payudaranya (ketrampilan) ~ Kalau ada orang lain berusaha menyentuh payudaranya, ia mungkin akan merasa tidak nyaman (aspek emosional). Selain pengertian tentang perubahan fisik, aspek sosial, ketrampilan dan emosional; penting mengembangkan perasaan positif terhadap diri sendiri ( = self love & self acceptance ). Perasaan positif terhadap diri sendiri ini sangat penting dan menentukan. Beberapa kasus membuktikan kemungkinan yang sangat memprihatinkan bila seorang individu tidak merasa diterima apa adanya. Misal: Seorang wanita tidak suka penampilan dan dirinya sendiri. Begitu bencinya ia pada dirinya sendiri, sehingga ia bahkan tidak bisa bercermin. Setiap kali ia melihat bayangan dirinya sendiri, ia akan memukuli dirinya. Atau wanita lain yang hanya bisa berbisik ketika diminta menjawab pertanyaan orang lain. Atau wanita lain yang begitu saja membiarkan dirinya dijadikan obyek oleh laki-laki karena mendambakan kemungkinan melupakan bahwa dirinya tidak menarik sehingga bahkan pelecehan atas dirinya ia biarkan saja karena ia artikan sebagai bentuk perhatian dari seseorang terhadap dirinya.yang penting adalah memperhatikan tingkat pemahaman, kemampuan berbahasa, tingkat fungsi sosial, perilaku dan kematangan emosi setiap individu sehingga materi pengajaran juga dapat disesuaikan dengan kondisi anak. TIPS BAGI ORANG TUA DALAM MENGAJARKAN SEKSUALITAS Orang tua adalah pihak yang bertanggung jawab atas proses pengajaran seksualitas pada anak. Bagaimanapun, rumah adalah daerah pribadi dimana anak diharapkan mengekspresikan kebutuhan seksualitasnya. Orang tua berkesempatan memperkenalkan nama anggota tubuh melalui kegiatan sehari-hari, orang tua bisa membentuk rutinitas kebiasaan anak sehingga anak paham konsep-konsep publik versus pribadi, orang tua dan saudara kandung juga bisa menjadi model perilaku bagi anak. Selain itu, orang tua juga harus dilibatkan karena banyak pertimbangan nilai moral yang perlu diputuskan sebelum langkah-langkah penanganan bisa diambil. Misal: bagaimana mensikapi kebutuhan anak akan ekspresi seksualitas, apakah seorang anak diperbolehkan masturbasi atau tidak, akan sangat tergantung pada pandangan orang tua. Bahaya pelecehan seksual oleh orang lain di luar keluarga juga menjadi alasan mengapa persiapan menghadapi masa remaja menjadi tanggung jawab orang tua. Bahaya tersebut tidak hanya dirasakan oleh orang tua anak perempuan, tetapi juga oleh orang tua anak laki. Pendidikan dan informasi mengenai seksual bagi anak autis ini sebaiknya juga memperhatikan masalah kecemasan individual, terutama yang berhubungan dengan perubahan fisik dan emosi mereka. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan saat merancang pendidikan seks bagi individu autis adalah untuk: - sebanyak mungkin menggunakan alat bantu visual - membagi informasi atau penjelasan rumit ke dalam beberapa bagian yang lebih dapat dicerna anak - memberikan penguat perilaku terutama untuk aturan-aturan dan struktur yang berhubungan dengan masalah seksualitas, misal: tentang bagian tubuh yang publik dan pribadi.

5 Gaya dalam mengajarkan konsep-konsep ketrampilan sosial, kesehatan, pendidikan seks dan pendidikan mengenai hubungan antar individu yang rumit, harus melalui strategi dan instruksi yang sudah terbukti berhasil bagi individu tersebut, antara lain melalui (Adams, 1997): penjelasan singkat dan harafiah, contoh-contoh konkrit, saat-saat belajar yang tidak sengaja, cerita sosial (=social stories), pengulangan, bermain peran (=role play), tugas per langkah yang dipasangkan dengan alat bantu visual, errorless teaching, latihan memasangkan gambar dengan tulisan, dan sebagainya. Bagaimanapun, penguat perilaku positif dan sikap menerima keadaan anak apa adanya adalah dasar paling penting bagi pendidikan seksualitas yang efektif efisien bagi anak-anak autis. Proses pengajaran berbagai konsep abstrak (antara lain: publik dan pribadi ) paling efektif dilakukan melalui teknik: modeling (memberikan contoh) penjelasan pengulangan (terus menerus) Misal: mengajarkan cara berpakaian, lakukan di tempat pribadi. Tutup pintu kamar mandi atau kamar tidur dan jelaskan kepada anak bahwa ini adalah perilaku yang pribadi, jadi kita harus tutup pintu. Kalau anak melakukan kekeliruan dan, misalnya, menyentuh kelaminnya di supermarket ketika sedang menimbang buah, langsung katakan dengan suara yang tenang, Menyentuh diri sendiri juga perilaku pribadi. Kita tidak menyentuh bagian tubuh pribadi di tempat umum. Kalau tidak mungkin menarik anak ke daerah yang tertutup, coba alihkan perhatiannya ke hal lain dan diskusikan masalah ini begitu Anda sampai di rumah. Memberikan contoh adalah hal penting, karena itu orang tua dan lingkungan individu autis juga harus menjaga sikap mereka untuk dapat menghasilkan individu autis dewasa yang bertanggung jawab. Bila orang lain di rumah mondar-mandir tanpa baju yang pantas, tentu saja sulit memberi pengarahan pada anak autis untuk berpakaian secara rapi sebelum keluar dari kamar. Atau bila ibu keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk yang dililitkan, bagaimana pula anak paham bahwa ia harus berpakaian sebelum keluar dari kamar mandi? Mengajarkan konsep apa, lalu kapan dan dimana relatif lebih mudah dibanding mengajarkan bagaimana yaitu dimana anak diajarkan untuk mengaplikasikan pengetahuan mengenai ketrampilan sosial dan seksualitasnya dalam situasisituasi aktual. Berbagai pengajaran bagi individu dengan kebutuhan khusus yang bisa membantu mereka menyelesaikan masalah pelecehan seksual adalah rumus sederhana berikut: No-Go-Tell. 1. Mengatakan Tidak bukan hal mudah bagi seorang remaja yang didatangi orang lain yang lebih dari dia (lebih kuat, lebih tua, lebih matang, lebih percaya diri, lebih cerdas). Anak harus paham bahwa pribadi berarti tubuhnya adalah miliknya, dan tidak ada orang lain yang boleh asal sentuh bagian tubuhnya tanpa izinnya. 2. Pergi, menuntut individu untuk mendobrak sesuatu. Dalam situasi yang penuh ketegangan, biasanya anak ditekan untuk melakukan sesuatu, bagaimana melakukannya, dan tidak boleh bilang-bilang. Untuk bisa pergi dari situasi seperti itu atau berusaha untuk lari, menuntut anak untuk paham bahwa tidak semua perintah harus dituruti. 3. Mengatakan pada orang lain (=lapor), menuntut seseorang untuk melanggar janji atau melawan ancaman. Tidak mudah karena biasanya anak-anak ini berada di bawah tekanan dan kontrol dari jauh melalui ancaman. Untuk dapat melapor, anak harus paham bahwa ia yang menentukan fakta apa bisa dikatakan sebagai rahasia, dan ia yang menetapkan fakta apa yang bisa digolongkan sebagai aman. Lalu, KAPAN kita mulai proses pendidikan seksualitas ini? Mengingat bahwa seksualitas mencakup begitu banyak aspek (pikiran, perasaan, sikap dan perilaku seseorang terhadap dirinya), maka proses pengajaran sudah seharusnya dimulai sejak usia dini. Setidaknya anak sudah dibekali mengenai aturan dan norma sosial yang berlaku yang membedakan antara sikap, perilaku pria & wanita dari yang paling sederhana (anatomi berbeda, toilet berbeda dsb) hingga yang paling abstrak (tanggung jawab dan kodrat).

6 Pendidikan seksual merupakan sebuah proses berkesinambungan, berawal dari masa kanak hingga masa dewasa. Tujuan pendidikan seksualitas bukan agar individu dapat info sebanyak mungkin, tetapi untuk dapat menggunakan informasi secara lebih fungsional. Untuk mengupayakan proses pendidikan seksualitas yang memiliki hambatan minimal, ada beberapa prinsip yang bisa dijadikan acuan dalam bertindak (Spragg, 2001): 1. Ciptakan suasana keterbukaan sehingga anak tidak sungkan bertanya mengenai masalah seksualitas. Bila sikap kita menyiratkan tabu, atau enggan, maka anak lebih mendengarkan informasi dari luar rumah, yang mungkin saja tidak sesuai dengan apa yang seharusnya. 2. Bila anak tampak tertarik dengan topik ini, gunakan saat tersebut untuk masuk ke dalam pembahasan. Biasanya bila ia mulai memperhatikan kehamilan, orang menyusui, perbedaan wanita & pria, dan sebagainya. Sebaliknya, bila anak tampak tidak menunjukkan tanda-tanda ketertarikan, ini bukan alasan bagi kita untuk menunda diskusi mengenai masalah seksualitas. Bisa saja ia tidak tampak tertarik karena ia tidak percaya diri atau tidak yakin. Kita tidak bisa mengelak, karena perkembangan fisiknya segera akan membuatnya tersadar akan perubahan tersebut. 3. Berikan informasi dasar yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan komunikasinya. Setidaknya, informasi mencakup anatomi, konsep bagian badan pribadi, sentuhan baik >< buruk, masturbasi, hubungan antara jender sejenis dan lawan jenis dan sebagainya. Berikan informasi dalam bentuk yang dapat ia pahami. Tentu saja tingkat pemahaman akan sangat mempengaruhi. Hindari memberikan informasi yang terlalu banyak, tidak perlu atau tidak mereka pahami. 4. Gunakan strategi instruksi yang konkrit, bermakna dan individual. Informasi sebaiknya ditampilkan dalam bentuk yang paling mudah diproses. Misal, mereka umumnya visual learners, jadi gunakan visual cues. Instruksi verbal sebaiknya sederhana dan konkrit, dan tambahkan materi audio-visual dan gambar. Hindari penggunaan konsep abstrak dan gaya bahasa metafor. Informasi juga sebaiknya diberikan dalam bentuk chunks (kelompok kecil) yang terus menerus diulang-ulang. 5. Kembangkan aturan mengenai perilaku seksualitas yang boleh dan tidak boleh. Ajarkan konsep-konsep: publik >< pribadi, batasan pribadi, kesadaran akan keselamatan diri, izin dan tanggung jawab pribadi dalam kaitannya dengan perilaku seksual yang bertanggung jawab. Anak-anak sulit melihat dari sudut pandang orang lain, karena itu harus dilatih melalui bermacam ilustrasi konkrit atau dengan mengajarkan berbagai aturan bagaimana bersikap. Misal: aturan waktu dan tempat untuk melakukan masturbasi, tidak boleh menyentuh orang lain tanpa izin, menghindari berbincang dengan orang yang tidak dikenal dsb. 6. Jangan abaikan sisi perasaan dari perilaku seksual. Hindari terlalu terpusat pada diskusi mengenai perilaku hubungan seks itu sendiri. Penting bagi anak utnuk dapat membedakan berbagai jenis hubungan (persahataban, hubungan kasih, cinta, hubungan kerja dsb). Perasaan yang berkaitan dengan hubungan yang berbeda-beda ini juga berbeda-beda, tidak saja dalam hal intensitas dan fokus tetapi juga dalam hal ekspresi. Garis bawahi bahwa hubungan intim seksual adalah bentuk mengekspresikan kasih dan perhatian, dan bukan sekedar aktifitas biologis. Sebaliknya, bisa juga kita mengungkapkan rasa kasih dan perhatian melalui cara lain selain hubungan seksualitas tersebut. Jangan lupa tekankan bahwa dorongan seksual tersebut seringkali harus dikontrol dan ditahan. 7. Dorong anak untuk aktif dalam kegiatan atau pergaulan dengan teman sebaya sehingga ia aktif. Beri anak kesempatan untuk memiliki pengalaman bergaul dengan teman sebaya (lawan jenis atau tidak) agar ia paham bahwa kegiatan yang bermacam-macam dengan berbagai teman perlu berakhir dengan hubungan seksual. Respons teman sebaya juga merupakan media yang sesuai untuk mengajarkan batasan dalam perilaku fisik saat bergaul. 8. Ajarkan makna nilai dan moral. Mengajarkan makna nilai dan moral adalah hak dan kewajiban orang tua. Konsep-konsep ini sangat membantu anak menetapkan batasan, terutama ketika mereka bingung atau keadaan sangat tidak jelas sehingga mereka tidak tahu harus berespons bagaimana. Nilai dan moral ini juga bisa menjadi landasan orang tua mengembangkan self-respect dan selfesteem yang positif. KESIMPULAN Seksualitas adalah konsep yang sangat luas, mencakup berbagai aspek yang perlu diketahui anak sebagai bekal menghadapi masyarakat ketika mereka beranjak remaja dan dewasa. Proses pengajaran berada di tangan orang tua, karena batasan norma, kebiasaan dan aturan perlu ditegakkan oleh orang tua di lingkungan pribadi yaitu di rumah. Orang tua perlu membedakan antara seksualitas dan hubungan seks. Penting sekali memberikan informasi jelas, bermakna dan konkrit bagi anak agar mereka dapat mensikapi perubahan fisik dan psikis saat pubertas tanpa cemas berlebihan memahami bahwa hubungan antar pribadi sangat rumit dan perlu pertanggung jawaban menghargai diri sendiri sehingga bersikap waspada dalam menjaga diri memecahkan masalah bila mereka dihadapkan pada lingkungan yang melecehkan

7 KIAT PRAKTIS Mempersiapkan & Membantu Anak Autis Mengikuti Pendidikan di Sekolah Umum oleh Dra. Dyah Puspita *) Pendidikan adalah kunci masa depan setiap individu, apalagi bila ia termasuk penyandang autisme. Setiap orang tua mendambakan agar anaknya bisa mengikuti pendidikan jalur normal yang memberikan kesempatan bagi anak mengikuti semua kegiatan. Sayangnya di Indonesia belum menjadi keharusan bagi semua institusi untuk menerima anak dengan masalah autisme bersekolah di tempat mereka. Seringkali kesempatan bersekolah tersebut masih harus diperjuangkan, dan perjuangan yang luar biasa sulitnya bisa menjadi sia-sia karena anak, orang tua maupun guru belum sungguh-sungguh mempersiapkan diri menghadapi murid istimewa ini di tengah-tengah mereka. Atau, ketika anak sudah berada di sekolah dan timbul masalah, sedikit orang yang paham harus bagaimana membantu anak sehingga ia makin terpuruk dalam masalah. Kiat praktis mempersiapkan dan membantu anak autis ini bersekolah di sekolah umum adalah tema yang dikupas dalam makalah singkat ini. I. INDIVIDU AUTISME Seseorang baru dapat dikatakan sebagai termasuk Autistic Spectrum Disorder, bila ia memiliki sebagian dari uraian gejala-gejala berikut ini: a. Gangguan komunikasi --- cenderung mengalami hambatan mengekspresikan diri, sulit bertanya jawab sesuai konteks, sering membeo ucapan orang lain, atau bahkan mengalami hambatan bicara secara total dan berbagai bentuk masalah gangguan komunikasi lainnya. Biasanya, orang tua khawatir anaknya ASD karena perkembangan bicara yang tidak setara dengan anak lain seusianya. b. Gangguan perilaku --- adanya perilaku stereotipi / khas seperti mengepakkan tangan, melompat-lompat, berjalan jinjit, senang pada benda yang berputar atau memutar-mutarkan benda, mengketuk-ketukkan benda ke benda lain, obsesi pada bagian benda atau benda yang tidak wajar dan berbagai bentuk masalah perilaku lain yang tidak wajar bagi anak seusianya. Variasi perilaku yang ter-tampil sangatlah beragam, sehingga tidak mungkin dijabarkan satu per satu. c. Gangguan interaksi --- secara umum terdapat keengganan untuk berinteraksi secara aktif dengan orang lain, sering terganggu dengan keberadaan orang lain di sekitarnya, tidak dapat bermain bersama anak lain, lebih senang menyendiri dan sebagainya. Masalah di atas sering juga disertai dengan adanya ketidakmampuan untuk bermain, gangguan makan dan atau gangguan tidur. Anak tidak menggunakan permainan sebagaimana mestinya, sangat pemilih dalam hal menu makanannya, cenderung ada masalah pencernaan, atau sangat terbatas asupannya. Anak juga sering sulit tidur atau terbangun tengah malam dan berbagai jenis permasalahan lainnya. Beberapa individu yang termasuk dalam spektrum autisme juga melaporkan bahwa mereka memiliki berbagai ciri khas dalam mempersepsi dunia, seperti misalnya (Siegel, 1996): Visual thinking dimana mereka lebih mudah memahami hal konkrit (dapat dilihat dan dipegang) daripada hal abstrak. Biasanya, ingatan atas berbagai konsep tersimpan dalam bentuk video atau file gambar. Proses berpikir yang menggunakan gambar/film seperti ini, jelas lebih lambat daripada proses berpikir verbal; akibatnya.. mereka perlu jeda beberapa saat sebelum bisa memberikan jawaban atas pertanyaan tertentu. Individu dengan gaya berpikir seperti ini, juga lebih menggunakan asosiasi daripada berpikir secara logis menggunakan logika. Processing problems Sebagian anak ASD mengalam kesulitan memproses data. Mereka cenderung terbatas dalam memahami common sense atau menggunakan akal sehat/nalar. Mereka sulit merangkai informasi verbal yang panjang (rangkaian instruksi),

8 sulit diminta mengingat sesuatu sambil mengerjakan hal lain, dan sulit memahami bahasa verbal/lisan. Hal-hal tersebut di atas tampak konsisten dengan kecenderungan individu ASD yang lebih mudah berpikir secara visual. Sensory sensitivities Perkembangan yang kurang optimal pada sistim neurobiologis individu ASD juga sedikit banyak mempengaruhi perkembangan indra mereka sehingga terjadi salah satu atau semua pada sebagian anak ASD: - Sound sensitivity: dimana anak jadi takut berlebihan pd suara keras/bising. Ketakutan yang berlebihan ini membuat mereka bingung, merasa cemas atau terganggu, yang sering termanifestasi dalam bentuk perilaku buruk. Pola kepekaan akan suara keras/ bising ini tidak sama, dan frekuensi setiap individu juga berbeda-beda. Kadang anak mendengung/bergumam untuk menghalangi gangguan suara tadi. Dengan ia mendengung, ia hanya mendengar dengungannya dan tidak mendengar suara lain yang tidak dapat ia prediksi. - Touch sensitivity: anak memiliki kepekaan terhadap sentuhan ringan atau sebaliknya terhadap sentuhan dalam. Masalah kepekaan yang berlebihan ini biasanya terwujud dalam bentuk masalah perilaku (termasuk masalah makan & pakaian). Bila anak peka terhadap sentuhan dan terganggu dengan sentuhan kita, maka pelukan kita justru dapat ia artikan sebagai hukuman yang menyakitkan. - Rhytm difficulties: Individu sulit mempersepsi irama yang tertampil dalam bentuk lagu, bicara, jeda dan saat utk masuk dalam percakapan. Itu sebabnya banyak individu ASD terus menerus berbicara, atau menyerobot masuk saat percakapan sedang berlangsung, yang seringkali dianggap lingkungan sebagai tidak sopan. Padahal, ini adalah masalah fisik mereka. Communications frustrations Gangguan perkembangan bicara bahasa yang terjadi pada individu ASD membuat mereka sering frustrasi karena masalah komunikasi. Mereka bisa mengerti orang lain, tapi terutama bila orang lain bicara langsung kepada mereka. Itu sebabnya mereka seolah tidak mendengar bila orang lain bercakap-cakap sesamanya. Mereka merasa, percakapan itu tidak ditujukan kepada mereka, karena itu mereka sulit memahami tuntutan lingkungan yang meminta mereka menjawab meski mereka tidak ditanya secara langsung. Individu ASD juga sulit mengungkapkan diri, sehingga lalu berteriak atau berperilaku negatif lain sekedar untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka tidak tahu dan atau tidak mampu mengungkapkan diri secara efektif, kadang harus berada dalam kondisi tertekan untuk dapat ekspresi sehingga seringkali frustrasi bila tidak dimengerti. Social & emotional issues Ciri lain yang sangat dominan adalah fiksasi atau keterpakuan akan sesuatu yang membuat individu ASD cenderung berpikir kaku. Akibatnya, individu ASD sulit adaptasi atau memahami perubahan yang terjadi di lingkungan sehari-hari. Apalagi, bila perubahan tersebut terjadi dengan cepat dan tanpa penjelasan sama sekali. Keterpakuan akan sesuatu membuat mereka sulit memahami berbagai situasi sosial seperti tata cara pergaulan dan hukum sosialisasi yang sangat bervariasi tergantung kondisi dan situasi sesaat. Pada umumnya individu ASD tidak pernah membayangkan bahwa orang lain juga bisa mempersepsi sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, karena hal ini adalah sesuatu yang sangat abstrak. Itu sebabnya, banyak yang sulit empati bila tidak dilatih melalui pengalaman dan pengarahan. Problems of control: Berbagai gangguan perkembangan neurologi di otak menjadikan masalah individu ASD menjadi makin kompleks. Mereka mengalami kesulitan mengontrol diri sendiri, yang terwujud dalam berbagai bentuk masalah perilaku. Mereka cenderung berperilaku ritual dengan pola tertentu, dan ada keterpakuan pada beberapa jenis objek. Sebagian dari mereka juga memiliki ketakutan yang luar biasa pada hal-hal yang tidak ia mengerti. Problems of tolerance: Kepekaan yang berlebihan akan rangsang stimuli tertentu, membuat individu ASD menarik diri dari lingkungannya. Mereka kurang dapat mentolerir rangsang-rangsang tersebut, dan ini merupakan manifestasi masalah sensori di tubuhnya. Sebagian dari mereka juga cenderung sangat peka terhadap berbagai muatan emosi yang terjadi di sekitarnya. Mereka bingung dan cemas bila tidak dapat memahami pesan-pesan emosi yang terjadi saat bergaul, sehingga kadang memutuskan untuk menarik diri dari pergaulan. Problems of connection: Berbagai masalah yang berkaitan dengan kemampuan individu menalar adalah Attention problems: masalah pemusatan perhatian, terus menerus terdistraksi Perceptual problems: masalah proses persepsi, bingung sehingga menghindari orang lain.

9 Systems integration problems: proses informasi di otak bekerja secara mono (tunggal) sehingga sulit memproses beberapa hal sekaligus Left-right hemisphere-integration problems: otak kiri tidak secara konsisten tahu apa yang terjadi pada otak kanan (dan sebaliknya), sehingga tidak sepenuhnya sadar pada apa yang sedang terjadi. Perbedaan manifestasi gangguan-gangguan tersebut, menjadikan setiap individu sangat unik. Tidak ada dua individu autisme yang sama persis, bahkan yang kembar sekalipun. Itu sebabnya, penanganan juga tidak dapat disama-ratakan. Paham individual differences (Greenspan, 1998) sangat ditekankan, sehingga orang tua dan guru tidak memberikan penanganan seragam bagi sekelompok anak. Dalam menghadapi variasi jenis kelebihan dan kekurangan masing-masing anak, kemampuan untuk mengobservasi menjadi sangat penting. Orang tua adalah pengamat di rumah, guru adalah pengamat handal di sekolah. Apa yang harus diamati? Banyak sekali: kebiasaan anak dalam menghabiskan waktu di rumah, perilaku yang sering ia tampilkan, bagaimana ia mencerna informasi, bagaimana respons anak terhadap usaha orang tua mengajarkan kebiasaan baru dan sebagainya. Karena itu, penting bagi pendidik dan orang tua anak ASD untuk bekerja sama berusaha mencari penanganan terbaik bagi anak-anak ini. Mau tidak mau, suka tidak suka, para orang dewasa di sekitar anak ASD-lah yang harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan anak ASD. Berikan mereka kesempatan dan target yang realistis di tempat belajar umum, serta ajarkan ketrampilan-ketrampilan baru melalui cara yang khusus (bila perlu) sesuai kemampuan dan gaya belajar mereka. Gaya belajar individu autisme Setiap individu mempunyai gaya tersendiri dalam upayanya mencerna informasi secara efektif. Pada umumnya kita belajar melalui indra penglihatan, perabaan dan atau pendengaran. Kita juga punya aneka gaya dalam mengingat. Ada individu yang lebih ingat fakta daripada orang lain. Ada yang lebih suka detil, sementara orang lain tidak suka pada detil. Bagaimana dengan individu autisme? Ada beberapa gaya belajar yang dominan pada diri mereka (Sussman, 1999): * Rote learner: Anak yang memakai gaya belajar ini, cenderung menghafalkan informasi apa adanya, tanpa memahami arti simbol yang mereka hafalkan itu. Contoh: anak dapat mengucapkan huruf dengan baik secara urut (atau melengkapi urutan abjad yang tak lengkap), tetapi sesungguhnya tidak tahu bahwa huruf itu bila digabung dengan huruf lain akan menjadi kata yang mengandung makna. Atau, anak yang dapat menghafalkan angka, tidak: Anak tahu bahwa simbol itu mewakili 'jumlah' benda. * Gestalt learner: Bila anak menghafalkan kalimat-kalimat secara utuh tanpa mengerti arti kata-per-kata yang terdapat pada kalimat tersebut, anak cenderung belajar menggunakan gaya 'gestalt' (melihat sesuatu secara global). Berbeda dengan anak non-autis yang belajar bicara justru mulai dari kata-per-kata, anak autis dengan gaya 'gestalt' akan belajar bicara dengan mengulangi seluruh kalimat. Ia ingat seluruh kejadian, tetapi sulit memilah mana yang penting dan mana yang tidak. Ia mungkin akan sulit menjawab pertanyaan tentang salah satu detil. Misalnya, Anda berikan mainan karet yang biasanya dimainkan sambil mandi dan mengatakan "letakkan di air", ia akan dapat melakukannya. Tetapi bila Anda berikan mainan yang sama lalu mengatakan "letakkan di rak mainan", ia akan tetap meletakkannya di air. Ia tidak paham makna kata 'letakkan' tetapi hanya mengasosiasikan seluruh kalimat dengan kebiasaannya saja. Berbeda dengan anak non-autis yang belajar bicara justru mulai dari kata-per-kata, anak autis dengan gaya 'gestalt' akan belajar bicara dengan mengulangi seluruh kalimat. Ia ingat seluruh kejadian, tetapi sulit memilah mana yang penting dan mana yang tidak. Ia mungkin akan sulit menjawab pertanyaan tentang salah satu detil. * Visual learner: Anak dengan gaya belajar 'visual' senang melihat-lihat buku atau gambar atau menonton TV dan umumnya lebih mudah mencerna informasi yang dapat mereka lihat, daripada yang hanya dapat mereka dengar. Berhubung penglihatan adalah indra terkuat mereka, tidak heran banyak anak autis sangat menyukai TV/ VCD / gambar. * Hands-on learner: Anak yang belajar dengan gaya ini, senang mencoba-coba dan biasanya mendapatkan pengetahuan melalui pengalamannya. Mulanya ia mungkin tidak tahu apa arti kata 'buka' tetapi sesudah Anda letakkan tangannya di pegangan pintu dan membantu tangannya membuka sambil Anda katakan 'buka', ia segera tahu bahwa bila Anda katakan 'buka' berarti.. ia ke pintu dan membuka pintu itu. Anak-anak ini umumnya senang menekan-nekan tombol, membongkar mainan dsb. * Auditory learner: Anak dengan gaya belajar ini senang bicara dan mendengarkan orang lain bicara. Ia mendapatkan informasi melalui pendengarannya. Jarang sekali anak autis bergantung sepenuhnya pada gaya ini dan biasanya menggabungkannya dengan gaya lain. Tanpa mengesampingkan fakta bahwa setiap individu autis memiliki ciri khas yang berbeda-beda, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kaitannya dengan kegiatan belajar-mengajar, pada umumnya mereka memiliki ciri khas sebagai berikut:

10 II. PENDIDIKAN BAGI INDIVIDU AUTISME Fakta bahwa individu-individu ASD belajar secara berbeda karena perbedaan neurobiologist bawaan mereka memberikan dampak pada tiga hal (Siegel, 1996): 1. Belajar menjadi tugas yang lebih berat bagi individu ASD 2. Individu ASD harus diajarkan dalam gaya yang khusus bagi setiap individu, agar mereka bisa memahami materi dengan baik. Berarti, stimulus disampaikan dalam bentuk atau cara yang khusus 3. Bila intervensi dilakukan lebih dini, maka perjuangan untuk mengajar individu-individu ini diharapkan akan lebih mudah karena mereka sudah lebih tertata (tidak terlalu tantrum atau berperilaku negatif lainnya) Intervensi dini menjadi satu langkah yang penting, dan salah satu teknik/metode yang banyak digunakan adalah Applied Behavioral Analysis yang ditemukan oleh Ivar O. Lovaas (Maurice, 1996). Penanganan intervensi dini menggunakan teknik one-on-one atau satu guru satu anak, yang sangat intensif dan terfokus dengan kurikulum yang sangat terstruktur. Komponen one-on-one ini menjadi penting artinya pada proses belajar awal, terutama bagi anak-anak yang masih rendah tingkat kepatuhan dan imitasi-nya. (Siegel, 1996). Intensitas (jumlah jam per minggu) juga sangat penting, seperti yang dilaporkan oleh hasil penelitian Lovaas (Lovaas, 1981). Kecenderungan orang tua untuk panik dan mengharapkan hasil terbaik membuat mereka menjadwalkan penanganan intensif terstruktur tanpa melihat pengaruhnya pada anak. Akibatnya, anak menjadi tertekan dan bingung, apalagi bila di luar penanganan terstruktur tersebut tidak ada bentuk penanganan lain yang lebih alami sementara penanganan (terapi) yang ia terima dilakukan secara kaku. Itu sebabnya, Greenspan (1998) mengusulkan adanya usaha orang tua meluangkan waktu bersama anak dalam bentuk kegiatan tidak berstruktur tetapi alami. Ada beberapa kemungkinan yang dapat ditempuh oleh anak ASD dalam jalur pendidikan. Penetapan akan menempuh jalur yang mana sangat dipenuhi oleh berbagai aspek, antara lain: banyaknya gejala autisme pada anak, daya tangkap, kemampuan berkomunikasi, usia dan harapan (atau tuntutan) orang tua. Alternatif pilihan bentuk pendidikan yang berlaku di Amerika Serikat, antara lain terbagi atas jalur pendidikan khusus (Siegel, 1996): 1. Individual Therapy, antara lain melalui penanganan di tempat terapi atau di rumah (home-based therapy dan kemudian homeschooling). Intervensi seperti ini merupakan dasar dari pendidikan individu ASD. Melalui penanganan one-on-one, anak belajar berbagai konsep dasar dan belajar mengembangkan sikap mengikuti aturan yang ia perlukan untuk berbaur di masyarakat. 2. Designated Autistic Classes Salah satu bentuk transisi dari penanganan individual ke bentuk kelas klasikal, dimana sekelompok anak yang semuanya autis, belajar bersama-sama mengikuti jenis instruksi yang khas. Anak-anak ini berada dalam kelompok yang kecil (1-3 anak), dan biasanya merupakan anak-anak yang masih kecil yang belum mampu imitasi dengan baik. 3. Ability Grouped Classes Anak-anak yang sudah dapat melakukan imitasi, sudah tidak terlalu memerlukan penanganan one-on-one untuk meningkatkan kepatuhan, sudah ada respons terhadap pujian, dan ada minat terhadap alat permainan; memerlukan jenis lingkungan yang menyediakan teman sebaya yang secara sosial lebih baik meski juga memiliki masalah perkembangan bahasa. 4. Social Skills Development and Mixed Disability Classes Kelas ini terdiri atas anak dengan kebutuhan khusus, tetapi tidak melulu autistik. Biasanya, anak autis berespons dengan baik bila dikelompokkan dengan anak-anak Down Syndrome yang cenderung memiliki ciri hyper-social (ketertarikan berlebihan untuk membina hubungan sosial dengan orang lain). Ciri ini membuat mereka cenderung bertahan, memerintah, dan berlari-lari di sekitar anak autis sekedar untuk mendapatkan respons. Hal ini baik sekali bagi si anak autis. dan jalur pendidikan umum (mainstream). Maksud kata mainstream berarti melibatkan seorang anak dengan kebutuhan khusus ke dalam kelas-kelas umum. Penanganan anak sungguh-sungguh dilakukan tanpa adanya perhatian pada kebutuhan khusus yang ada pada anak. Padahal, sebetulnya anak memang memiliki kebutuhan khusus. Tujuan orang tua memasukkan anak ke jalur pendidikan umum bisa untuk academic main-stream (agar anak sepenuhnya bisa mengikuti kegiatan akademis) atau social mainstream (agar anak dapat mengikuti kegiatan sosialisasi bersama teman).

11 III. PERSIAPAN YANG SEBAIKNYA DIJALANKAN Berdasarkan uraian di atas, tentu saja kita harus menarik satu kesimpulan: ada jenjang persiapan yang harus dijalani sebelum anak dengan gangguan perkembangan autisme ini dimasukkan ke dalam lingkungan sekolah umum. Persiapan tersebut perlu dijalani oleh berbagai pihak yang terlibat: anak, sekolah dan orang tua. * Anak: dua hal penting yang harus dipertimbangkan adalah apakah anak siap untuk belajar dalam kelompok (kecil atau besar, tergantung masing-masing sekolah) dan kesiapan anak mengikuti rutinitas di sekolah (makan bersama, toileting, olah raga, upacara dsb). Semua pihak perlu mempertimbangkan faktor berikut: - Fungsi kognitif Tingkatan fungsi kognisi, verbal atau non-verbal - Bahasa dan komunikasi Tingkatan pemahaman bahasa (bicara >< tertulis), tingkatan kemampuan berkomunikasi - Kemampuan akademis Pemahaman konsep bahasa, matematika, kebutuhan akan bantuan dari orang lain - Perilaku di kelas Kesanggupan mengikuti proses belajar mengajar di kelas (1:3, 1:8, 1:15, 1:30). Kesanggupan mengerjakan tugas secara mandiri. Kesanggupan untuk menyesuaikan diri dengan transisi atau perubahan di dalam kelas * Sekolah: Saat ini sudah ada beberapa sekolah menerima keberadaan anak autis di dalam kelas umum. Tetapi sikap menerima saja tidak cukup bila tidak diikuti dengan beberapa penyesuaian, antara ain: - Modifikasi lingkungan: Bangunan sekolah, tata-letak di dalam kelas, lingkungan sekitar - Pelatihan staf: Menerima perbedaan anak dan mau belajar lagi Keterbukaan akan kerja sama dengan pihak lain terkait Pengetahuan dan ketrampilan untuk membantu tatalaksana anak autis - Penyuluhan kepada orang tua/anak lain: Hal ini tidak mudah, karena banyak orang tua lain beranggapan bahwa sekolah umum seharusnya tidak menerima anak dengan masalah. Mereka khawatir sifat autisme anak akan menular pada anak-anak mereka. - Sikap terhadap saudara kandung: apakah keberadaan saudara sekandung dengan autisme ini menjadi suatu keuntungan atau kekurangan bagi kakak/adik tsb. * Orang tua: Keadaan orang tua sangat menentukan proses belajar mengajar dan pencapaian masing-masing anak. Dalam hal ini, yang penting diperhatikan adalah: - Pengharapan keluarga: Apa yang diharapkan dicapai dari keberadaan anak berada di sekolah: apakah full inclusion atau social mainstream? Pengharapan ini sangat menentukan target pendidikan bagi anak di sekolah. Target yang lepas dari konteks dalam arti tidak sesuai potensi yang ditampilkan anak (berlebihan), tentu akan membuat siapapun yang terlibat menjadi frustrasi. Anak bahkan bisa tidak suka belajar / sekolah. Sebaliknya, target di bawah kemampuan anak akan membuat ia bosan dan juga tidak suka sekolah. - Kebutuhan dari anggota keluarga yang lain: Anggota keluarga bukan terdiri atas anak autis ini saja, tetapi tentu saja menyangkut kakak/adik dan orang tua anak. Keterlibatan anak di lingkungan sekolah umum, mau tidak mau akan mempengaruhi kegiatan sehari-hari seluruh keluarga. Anak harus mengerjakan pekerjaan rumah, orang tua harus menunggui, kakak/adik diberi tanggung jawab mengenai kegiatan anak di rumah dan sekolah, dsb. - Adanya dukungan lingkungan: Lingkungan disini, termasuk juga orang tua lain di sekolah tersebut (POMG). Bagaimanakah sikap mereka, apakah mendukung atau tidak. Bagaimana juga sikap anak lain di sekolah tersebut, apakah menerima keberadaan anak autis ini atau tidak. Bagaimana sikap guru di luar kelas ini, sikap kepala sekolah dsb. * Tenaga profesional terkait: Adakah tenaga profesional yang dilibatkan dalam tim pendukung anak:

12 - Dokter: Peran dokter disini (dokter anak, psikiater anak, dokter mata, THT, gizi dsb sesuai kebutuhan anak) amat penting karena proses belajar mengajar anak tidak akan lancar kecuali ia dalam keadaan sehat. - Psikolog: Peran psikolog adalah untuk memberikan gambaran profil psikologis anak (psychological profile), sehingga orang tua dan pihak sekolah paham kelebihan dan kekurangan anak secara menyeluruh. Gambaran profil ini dapat membantu semua pihak terkait dalam mengarahkan anak sehingga potensi aktual dapat terealisir secara optimal tanpa membuat anak tertekan. - Guru pendamping: Pada umumnya anak autis memerlukan guru pendamping pada masa awal penyesuaian di lingkungan kelas yang jelas berbeda dengan lingkungan terapi individual. Masalahnya, tidak semua sekolah menyediakan guru pendamping dengan kualifikasi yang jelas, atau tidak semua orang tua bersedia menggunakan guru pendamping yang disediakan pihak sekolah oleh karena berbagai alasan. Guru pendamping juga sering tidak paham sebatas mana mereka diperbolehkan membantu anak. Akibatnya, anak tergantung pada guru pendamping, guru kelas tidak berusaha kenal anak karena anak hampir selalu berada bersama dengan guru pendamping, dan pada akhirnya anak tetap menjadi anak bawang karena ia tidak terlalu berbaur dengan lingkungannya. - Terapis: Meskipun sudah bersekolah di sekolah umum, sebagian dari anak autis masih memerlukan bimbingan khusus di rumah. Tugas ini biasanya dibebankan kepada terapis rumah, yaitu terapis atau guru yang bertugas untuk mengulang materi yang dipelajari di sekolah lengkap dengan generalisasi-nya, mempersiapkan anak akan materi yang akan datang, dan membantu anak mengkompensasi kelemahannya melalui berbagai teknik dan kiat praktis. Apakah ada kerja sama yang baik antara tenaga profesional dengan sekolah dan keluarga, dalam arti keterbukaan secara profesional demi kemajuan si anak. Adakah bantuan akademis (dalam bentuk sesi khusus atau modifikasi proses), atau kelompok orang tua dengan masalah sama? Piramida sasaran pendidikan: Dr. Lam Chee Meng & Chan Yee Pei, BSc dalam konferensi WeCan di Singapore November 2002 mengungkapkan bahwa semua pihak sebaiknya mengacu pada piramida berikut dalam menerapkan target pendidikan bagi anak autisme: 3 Socialization Academic skills 2 Work Habits, Self-Regulation Self-Help, Independence Functional Communication 1 Bagian piramida yang paling penting adalah bagian bawah, karena seluruh bangunan akan hancur bila pondasi tidak kokoh. Bagian paling bawah, adalah: * Work habits, Self-regulation: Sikap kerja anak setiapkali diberi tugas dan bagaimana ia mengembangkan kontrol serta strategi setiap ia mengahadapi stres. * Self-Help, Independence: Kemampuan anak membantu dirinya sendiri dan bersikap mandiri sesuai usia tahap perkembangan. Misal: mampu ke kamar mandi sendiri, mampu membereskan buku sendiri, bertanggung jawab atas barang bawaannya, pergi ke guru tanpa harus diarahkan dsb. * Functional Communication: Meskipun sebagian komunitas anak autis dapat bicara, tetapi seringkali kemampuannya masih belum untuk menjawab pertanyaan secara konsisten dan kontekstual. Anak juga terkadang belum dapat menyampaikan keinginan, perasaan dan pendapat sehingga sering frustrasi dan lalu menyebabkan ia berperilaku negatif. Persiapan bagian bawah piramida tersebut seyogyanya dilakukan sebelum anak masuk ke sekolah umum, karena di sekolah anak akan berhadapan dengan target akademis dan sosialisasi.

SEKSUALITAS pada individu autis remaja

SEKSUALITAS pada individu autis remaja SEKSUALITAS pada individu autis remaja Dra. Dyah Puspita *) Sebagai masyarakat timur, seringkali kita merasa sungkan membicarakan masalah seksualitas. Apalagi pada individu autis, yang memang memerlukan

Lebih terperinci

BABl PENDAHULUAN. Kehidupan manusia melalui beberapa tahap perkembangan yang dimulai

BABl PENDAHULUAN. Kehidupan manusia melalui beberapa tahap perkembangan yang dimulai BABl PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia melalui beberapa tahap perkembangan yang dimulai dari masa pra lahir, masa bayi, masa awal anak-anak, pertengahan masa anakanak dan akhir

Lebih terperinci

PENDIDIKAN BAGI ANAK AUTIS. Mohamad Sugiarmin

PENDIDIKAN BAGI ANAK AUTIS. Mohamad Sugiarmin PENDIDIKAN BAGI ANAK AUTIS Mohamad Sugiarmin Pengantar Perhatian pemerintah dan masyarakat Upaya bantuan Sumber dukungan Tantangan dan Peluang Konsep Anak Autis dan Prevalensi Autism = autisme yaitu nama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang berbeda-beda, diantaranya faktor genetik, biologis, psikis dan sosial. Pada setiap pertumbuhan dan

Lebih terperinci

KIAT PRAKTIS Mempersiapkan & Membantu Anak Autis Mengikuti Pendidikan di Sekolah Umum. oleh Dra. Dyah Puspita *)

KIAT PRAKTIS Mempersiapkan & Membantu Anak Autis Mengikuti Pendidikan di Sekolah Umum. oleh Dra. Dyah Puspita *) KIAT PRAKTIS Mempersiapkan & Membantu Anak Autis Mengikuti Pendidikan di Sekolah Umum oleh Dra. Dyah Puspita *) Pendidikan adalah kunci masa depan setiap individu, apalagi bila ia termasuk penyandang autisme.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dimana pada masa ini akan terjadi perubahan fisik, mental, dan psikososial yang cepat

Lebih terperinci

SEKOLAH IDEAL. Oleh: Damar Kristianto

SEKOLAH IDEAL. Oleh: Damar Kristianto 1 SEKOLAH IDEAL Oleh: Damar Kristianto Berbicara mengenai Sekolah Ideal, dalam sharing ini saya ingin membicarakan mengenai pandangan saya seperti apa sekolah umum (inklusi) dalam menyelenggarakan pendidikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat sekarang ini, namun masih terbatasnya

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat sekarang ini, namun masih terbatasnya 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembagan tentang seksualitas pada remaja banyak dibahas dan menjadi sorotan masyarakat sekarang ini, namun masih terbatasnya pembahasan tentang seksualitas

Lebih terperinci

SEX EDUCATION. Editor : Nurul Misbah, SKM

SEX EDUCATION. Editor : Nurul Misbah, SKM SEX EDUCATION Editor : Nurul Misbah, SKM ISU-ISU SEKSUALITAS : Pembicaraan mengenai seksualitas seringkali dianggap sebagai hal yang tabu tidak pantas dibicarakan dalam komunitas umum bersifat pribadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dapat dipastikan dalam kehidupan ini, bahwa setiap pasangan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dapat dipastikan dalam kehidupan ini, bahwa setiap pasangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dapat dipastikan dalam kehidupan ini, bahwa setiap pasangan yang telah menikah pastilah mendambakan hadirnya buah hati di tengah-tengah kehidupan mereka, yaitu

Lebih terperinci

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 2 Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka Dalam bab ini, akan dibahas mengenai tinjauan pustaka yang digunakan peneliti terkait dengan penelitian yang dilakukan, dan dapat menjadi landasan teoritis untuk mendukung penelitian

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN Lampiran 1 Kuesioner Lampiran 2 Surat Pemohonan Izin Survei Pendahuluan I Lampiran 3 Surat Pemohonan Izin Survei Pendahuluan II Lampiran 4 Surat Pengambilan Data Penelitian Lampiran 5 Surat Selesai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai adanya proses perubahan pada aspek fisik maupun psikologis

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai adanya proses perubahan pada aspek fisik maupun psikologis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak menuju dewasa, yang ditandai adanya proses perubahan pada aspek fisik maupun psikologis (Hurlock, 1988:261).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Remaja adalah mereka yang berusia diantara 10-24 tahun dan merupakan salah satu kelompok populasi terbesar yang apabila dihitung jumlahnya berkisar 30% dari jumlah

Lebih terperinci

SEKOLAH UNTUK ANAK AUTISTIK

SEKOLAH UNTUK ANAK AUTISTIK SEKOLAH UNTUK ANAK AUTISTIK Oleh Augustina K. Priyanto, S.Psi. Konsultan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus dan Orang Tua Anak Autistik Berbagai pendapat berkembang mengenai ide sekolah reguler bagi anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Istilah autisme sudah cukup familiar di kalangan masyarakat saat ini, karena media baik media elektronik maupun media massa memberikan informasi secara lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut Papalia et, al (2008) adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa

Lebih terperinci

Tahap-tahap Tumbuh Kembang Manusia

Tahap-tahap Tumbuh Kembang Manusia Tahap-tahap Tumbuh Kembang Manusia Rentang Perkembangan Manusia UMBY 1. Neonatus (lahir 28 hari) Pada tahap ini, perkembangan neonatus sangat memungkinkan untuk dikembangkan sesuai keinginan. 2. Bayi (1

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemandirian Anak TK 2.1.1 Pengertian Menurut Padiyana (2007) kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk berbuat bebas, melakukan sesuatu atas dorongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. UNESCO pada tahun 2014 mencatat bahwa jumlah anak autis di dunia mencapai

BAB I PENDAHULUAN. UNESCO pada tahun 2014 mencatat bahwa jumlah anak autis di dunia mencapai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak-anak autis di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Data UNESCO pada tahun 2014 mencatat bahwa jumlah anak autis di dunia mencapai 35 juta jiwa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

KUESIONER PENELITIAN

KUESIONER PENELITIAN KUESIONER PENELITIAN Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 I. Kata Pengantar Dengan hormat, sehubungan dengan penelitian saya dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita

Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita 133 134 Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita 135 136 Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita 137 138

Lebih terperinci

Adriatik Ivanti, M.Psi, Psi

Adriatik Ivanti, M.Psi, Psi Adriatik Ivanti, M.Psi, Psi Autism aritnya hidup sendiri Karakteristik tingkah laku, adanya defisit pada area: 1. Interaksi sosial 2. Komunikasi 3. Tingkah laku berulang dan terbatas A. Adanya gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK ANAK USIA SD Oleh : Sugiyanto

KARAKTERISTIK ANAK USIA SD Oleh : Sugiyanto KARAKTERISTIK ANAK USIA SD Oleh : Sugiyanto Ada beberapa karakteristik anak di usia Sekolah Dasar yang perlu diketahui para guru, agar lebih mengetahui keadaan peserta didik khususnya ditingkat Sekolah

Lebih terperinci

PENDIDIKAN SEKSUALITAS PADA REMAJA MELALUI MEDIA PEMBELAJARAN

PENDIDIKAN SEKSUALITAS PADA REMAJA MELALUI MEDIA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN SEKSUALITAS PADA REMAJA MELALUI MEDIA PEMBELAJARAN Diana Dewi Wahyuningsih Universitas Tunas Pembangunan Surakarta dianadewi_81@yahoo.com Kata Kunci: Pendidikan Seksualitas, Aspek Psikologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju masa dewasa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia mengalami proses perkembangan secara bertahap, dan salah satu periode perkembangan yang harus dijalani manusia adalah masa remaja. Masa remaja merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi ada beberapa permasalahan seperti perkembangan seksual,

BAB I PENDAHULUAN. tetapi ada beberapa permasalahan seperti perkembangan seksual, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah seksual telah menjadi problematika sosial di kalangan masyarakat. Masalah tersebut tidak sekedar berwujud dalam satu bentuk, tetapi ada beberapa permasalahan

Lebih terperinci

Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita

Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita 121 122 Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita 123 124 Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita 125 126

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan oleh : Putri Nurul Falah F 100

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan setiap manusia pasti diikuti dengan beberapa macam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan setiap manusia pasti diikuti dengan beberapa macam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan setiap manusia pasti diikuti dengan beberapa macam perkembangan, mulai dari perkembangan kognisi, emosi, maupun sosial. Secara umum, seorang individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Perkembangan Sosial 2.1.1 Pengertian Perkembangan Sosial Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berprilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang mampu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Pada bab ini penulis akan membuat kesimpulan berdasarkan hasil data dan kajian

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Pada bab ini penulis akan membuat kesimpulan berdasarkan hasil data dan kajian BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Pada bab ini penulis akan membuat kesimpulan berdasarkan hasil data dan kajian permasalahn penelitian. Maka dapat dikatakan bahwa hasil penelitian ini telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian setiap orang. Ketika menikah, tentunya orang berkeinginan untuk mempunyai sebuah keluarga yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus (ABK) adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau. sosial dan emosional dibanding dengan anak-anak lain seusianya.

BAB I PENDAHULUAN. khusus (ABK) adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau. sosial dan emosional dibanding dengan anak-anak lain seusianya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi anak yang terlahir normal, para orang tua relatif mudah dalam mengasuh dan mendidik mereka. Akan tetapi, pada anak yang lahir dengan berkelainan sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa awal adalah masa dimana seseorang memperoleh pasangan hidup, terutama bagi seorang perempuan. Hal ini sesuai dengan teori Hurlock (2002) bahwa tugas masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Peran Orang Tua 2.1.1. Definisi Peran Orang Tua Qiami (2003) menjelaskan bahwa orangtua adalah unsur pokok dalam pendidikan dan memainkan peran penting dan terbesar dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. karena kehidupan manusia sendiri tidak terlepas dari masalah ini. Remaja bisa dengan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. karena kehidupan manusia sendiri tidak terlepas dari masalah ini. Remaja bisa dengan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian A. 1 Perilaku Seks Sebelum Menikah Masalah seksual mungkin sama panjangnya dengan perjalanan hidup manusia, karena kehidupan manusia sendiri tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini, tidak semua orang berada pada kondisi fisik yang sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan ada

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan media komunikasi yang semakin pesat,

BABI PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan media komunikasi yang semakin pesat, BAB I PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Seiring dengan kemajuan media komunikasi yang semakin pesat, informasi menjadi cepat tersebar ke seluruh pelosok Indonesia melalui berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Respon Penerimaan Anak 1. Pengertian Respon atau umpan balik adalah reaksi komunikan sebagai dampak atau pengaruh dari pesan yang disampaikan, baik secara langsung maupun tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak adalah dambaan dalam setiap keluarga dan setiap orang tua pasti memiliki keinginan untuk mempunyai anak yang sempurna, tanpa cacat. Bagi ibu yang sedang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menikmati masa remajanya dengan baik dan membahagiakan, sebab tidak jarang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menikmati masa remajanya dengan baik dan membahagiakan, sebab tidak jarang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang indah, tetapi tidak setiap remaja dapat menikmati masa remajanya dengan baik dan membahagiakan, sebab tidak jarang beberapa permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan bagian penting dalam kehidupan. Bahkan di dalam Undang-Undang Dasar Negara di sebutkan bahwa setiap warga Negara berhak dan wajib mendapat pendidikan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sampai saat ini masalah seksualitas selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Hal ini dimungkinkan karena permasalahan seksual telah menjadi suatu hal yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya pendidikan seks untuk anak dan remaja sangat perlu, peran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya pendidikan seks untuk anak dan remaja sangat perlu, peran BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Seks Pada dasarnya pendidikan seks untuk anak dan remaja sangat perlu, peran orang tua yang sangat dituntut lebih dominan untuk memperkenalkan sesuai dengan usia dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan yang maha Esa

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan yang maha Esa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan yang maha Esa yang harus disyukuri oleh setiap orang. Kehidupan yang diberikan kepada setiap manusia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP OVER PROTECTIVE ORANGTUA DENGAN KECENDERUNGAN TERHADAP PERGAULAN BEBAS. S k r i p s i

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP OVER PROTECTIVE ORANGTUA DENGAN KECENDERUNGAN TERHADAP PERGAULAN BEBAS. S k r i p s i HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP OVER PROTECTIVE ORANGTUA DENGAN KECENDERUNGAN TERHADAP PERGAULAN BEBAS S k r i p s i Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai gelar derajat sarjana S-1 Psikologi

Lebih terperinci

Bagaimana Memotivasi Anak Belajar?

Bagaimana Memotivasi Anak Belajar? Image type unknown http://majalahmataair.co.id/upload_article_img/bagaimana memotivasi anak belajar.jpg Bagaimana Memotivasi Anak Belajar? Seberapa sering kita mendengar ucapan Aku benci matematika atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dipandang sebagai proses yang dinamis yang dipengaruhi oleh sifat bakat seseorang dan pengaruh lingkungan dalam menentukan tingkah laku apa yang

Lebih terperinci

Lampiran 1 PEDOMAN WAWANCARA

Lampiran 1 PEDOMAN WAWANCARA 99 Lampiran 1 PEDOMAN WAWANCARA I. KEY INFORMAN 1. Faktor Internal Hubungan Dalam Keluarga a) Status dalam keluarga b) Pekerjaan orangtua c) Hubungan kedekatan dengan orangtua d) Peran orangtua dirumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi beberapa individu dapat menjadi hal yang istimewa dan penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam kehidupan yang

Lebih terperinci

BAB I. Seks dan Problematikanya. A. Pendahuluan

BAB I. Seks dan Problematikanya. A. Pendahuluan BAB I Seks dan Problematikanya A. Pendahuluan Seks bagi sebagian orang, khususnya bagi masyarakat peradaban Timur terdengar sangat menyeramkan. Membicarakannya merupakan suatu hal yang tabu, apalagi mengaitkannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seks selalu menarik untuk dibicarakan, tapi selalu menimbulkan kontradiksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seks selalu menarik untuk dibicarakan, tapi selalu menimbulkan kontradiksi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seks selalu menarik untuk dibicarakan, tapi selalu menimbulkan kontradiksi di masyarakat. Ada sebagian masyarakat yang berpendapat bahwa pendidikan seks perlu

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Hormat saya, Penyusun

KATA PENGANTAR. Hormat saya, Penyusun KATA PENGANTAR Dalam rangka memenuhi tugas akhir skripsi, maka penyusun bermaksud mengadakan penelitian yang berjudul Sikap ibu anak autistik terhadap pelaksanaan intervensi perilaku dengan metoda ABA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan masa transisi yang ditandai oleh adanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan masa transisi yang ditandai oleh adanya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan fisik dan psikologi. Masa remaja yakni antara usia 10-19 tahun, masa ini juga disebut suatu

Lebih terperinci

perubahan-perubahan fisik itu (Sarwono, 2011).

perubahan-perubahan fisik itu (Sarwono, 2011). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk seksual tidaklah pernah bisa luput karena disaat berbicara masalah seputar seks rasanya tidak akan ada habis-habisnya. Hanya kematian yang

Lebih terperinci

2015 EFEKTIVITAS PENGGUNAAN PROGRAM SON-RISE PADA KELUARGA DALAM MENGURANGI PERILAKU OFF-TASK PADA ANAK AUTIS

2015 EFEKTIVITAS PENGGUNAAN PROGRAM SON-RISE PADA KELUARGA DALAM MENGURANGI PERILAKU OFF-TASK PADA ANAK AUTIS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Autis bukan sesuatu hal yang baru lagi bagi dunia, pun di Indonesia, melainkan suatu permasalahan gangguan perkembangan yang mendalam di seluruh dunia termasuk

Lebih terperinci

Anak Autistik dan Anak Kesulitan Belajar. Mohamad Sugiarmin Pos Indonesia Bandung, Senin 27 April 2009

Anak Autistik dan Anak Kesulitan Belajar. Mohamad Sugiarmin Pos Indonesia Bandung, Senin 27 April 2009 Anak Autistik dan Anak Kesulitan Belajar Mohamad Sugiarmin Pos Indonesia Bandung, Senin 27 April 2009 Pengantar Variasi potensi dan masalah yang terdapat pada ABK Pemahaman yang beragam tentang ABK Koordinasi

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

PERSEPEKTIF PENDIDIKAN KELUARGA DALAM PERLINDUNGAN DIRI ANAK Oleh: Arumi Savitri Fatimaningrum, S.Psi., M.A.

PERSEPEKTIF PENDIDIKAN KELUARGA DALAM PERLINDUNGAN DIRI ANAK Oleh: Arumi Savitri Fatimaningrum, S.Psi., M.A. 1 PERSEPEKTIF PENDIDIKAN KELUARGA DALAM PERLINDUNGAN DIRI ANAK Oleh: Arumi Savitri Fatimaningrum, S.Psi., M.A. Perlindungan diri anak merupakan hal yang perlu kita galakkan pada masa sekarang ini. Maraknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia akan mengalami perkembangan sepanjang hidupnya, mulai dari masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, dewasa menengah,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan terbesar yang dihadapi siswa adalah masalah yang berkaitan dengan prestasi, baik akademis maupun non akademis. Hasil diskusi kelompok terarah yang

Lebih terperinci

15. Lampiran I : Surat Keterangan Bukti Penelitian BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

15. Lampiran I : Surat Keterangan Bukti Penelitian BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 15. Lampiran I : Surat Keterangan Bukti Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah suatu tahap perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai oleh perubahan-perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat berkembang secara baik atau tidak. Karena setiap manusia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat berkembang secara baik atau tidak. Karena setiap manusia memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Setiap orang tua menginginkan anaknya lahir secara sehat sesuai dengan pertumbuhannya. Akan tetapi pola asuh orang tua yang menjadikan pertumbuhan anak tersebut dapat

Lebih terperinci

Gambaran konsep pacaran, Nindyastuti Erika Pratiwi, FPsi UI, Pendahuluan

Gambaran konsep pacaran, Nindyastuti Erika Pratiwi, FPsi UI, Pendahuluan 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang melibatkan berbagai perubahan, baik dalam hal fisik, kognitif, psikologis, spiritual,

Lebih terperinci

Pusat Layanan Autisme Mansfield Australia

Pusat Layanan Autisme Mansfield Australia Pusat Layanan Autisme Mansfield Australia Merupakan kondisi kecemasan yg berlebihan, ketakutan, menarik diri sbg bentuk patologi psikologis Gelisah atau panik terjadi kapan saja dan dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

Contextblindness Penyandang autisme adalah individu yang tidak asosial Judul asli: Autisten zijn niet asosial

Contextblindness Penyandang autisme adalah individu yang tidak asosial Judul asli: Autisten zijn niet asosial Contextblindness Penyandang autisme adalah individu yang tidak asosial Judul asli: Autisten zijn niet asosial Wawancara dengan pakar autisme Belgia Peter Vermuelen Oleh : Priscilla Keeman Talent Jaargang

Lebih terperinci

Edukasi Kesehatan Mental Intensif 15. Lampiran A. Informed consent (Persetujuan dalam keadaan sadar) yang digunakan dalam studi ini

Edukasi Kesehatan Mental Intensif 15. Lampiran A. Informed consent (Persetujuan dalam keadaan sadar) yang digunakan dalam studi ini Edukasi Kesehatan Mental Intensif 15 Lampiran A. Informed consent (Persetujuan dalam keadaan sadar) yang digunakan dalam studi ini PERSETUJUAN DALAM KEADAAN SADAR UNTUK BERPARTISIPASI SEBAGAI SUBJEK RISET

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang mendorong semua lapisan masyarakat untuk masuk kedalam

BAB I PENDAHULUAN. berkembang mendorong semua lapisan masyarakat untuk masuk kedalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan teknologi dan informasi yang saat ini semakin cepat dan berkembang mendorong semua lapisan masyarakat untuk masuk kedalam system dunia yang mengglobal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penerapan Toilet Training 1. Pengertian Toilet Training Toilet training atau latihan berkemih dan defekasi adalah salah satu tugas perkembangan anak usia toddler (1-3 tahun).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus 16 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru dimana secara sosiologis, remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Berbagai macam vitamin, gizi maupun suplemen dikonsumsi oleh

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Berbagai macam vitamin, gizi maupun suplemen dikonsumsi oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah suatu titipan Tuhan yang sangat berharga. Saat diberikan kepercayaan untuk mempunyai anak, maka para calon orang tua akan menjaga sebaik-baiknya dari mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional

Lebih terperinci

KONSEP INTERAKSI KOMUNIKASI PENDAHULUAN

KONSEP INTERAKSI KOMUNIKASI PENDAHULUAN KONSEP INTERAKSI KOMUNIKASI PENDAHULUAN Keterampilan berkomunikasi merupakan suatu kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap individu. Melalui komunikasi individu akan merasakan kepuasan, kesenangan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Perubahan pada masa remaja mencakup perubahan fisik, kognitif, dan sosial. Perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya. Perkembangan anak terjadi melalui beberapa tahapan dan setiap

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya. Perkembangan anak terjadi melalui beberapa tahapan dan setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap anak mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan dalam hidupnya. Perkembangan anak terjadi melalui beberapa tahapan dan setiap tahapan mempunyai ciri

Lebih terperinci

Ternyata Dimas Autis. Berawal dari Kontak Mata 1

Ternyata Dimas Autis. Berawal dari Kontak Mata 1 Ternyata Dimas Autis Berawal dari Kontak Mata 1 Kenali Autisme Menghadapi kenyaataan Dimas autis, saya banyak belajar tentang autisme. Tak kenal maka tak sayang, demikian kata pepatah. Tak kenal maka ta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

Standar Kompetensi 1. Memahami berbagai sistem dalam kehidupan manusia. Kompetensi Dasar 1.2. Mendeskripsikan tahapan perkembangan manusia

Standar Kompetensi 1. Memahami berbagai sistem dalam kehidupan manusia. Kompetensi Dasar 1.2. Mendeskripsikan tahapan perkembangan manusia RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN ( RPP ) Jenjang Sekolah : SMP 3 Pajangan Mata Pelajaran : IPA Terpadu Kelas / Semester : VIII / I Alokasi waktu : 1 X 40 (1 x Pertemuan) Standar Kompetensi 1. Memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sosial anak telah dimulai sejak bayi, kemudian pada masa kanak-kanak dan selanjutnya pada masa remaja. Hubungan sosial anak pertamatama masih sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa peralihan atau masa transisi di mana para remaja belum bisa sungguh-sungguh

BAB I PENDAHULUAN. Masa peralihan atau masa transisi di mana para remaja belum bisa sungguh-sungguh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa peralihan atau masa transisi di mana para remaja belum bisa sungguh-sungguh dikatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. UKM Olahraga merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. UKM Olahraga merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah UKM Olahraga merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa sebagai wadah dari mahasiswa untuk menyalurkan bakat dibidang olahraga. Mahasiswa juga dapat mengembangkan

Lebih terperinci

TUMBUH KEMBANG ANAK USIA DINI. Rita Eka Izzaty

TUMBUH KEMBANG ANAK USIA DINI. Rita Eka Izzaty TUMBUH KEMBANG ANAK USIA DINI Rita Eka Izzaty SETUJUKAH BAHWA Setiap anak cerdas Setiap anak manis Setiap anak pintar Setiap anak hebat MENGAPA ANAK SEJAK USIA DINI PENTING UNTUK DIASUH DAN DIDIDIK DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. generasi berikutnya (Jameela, 2010). fase ini individu mengalami perubahan dari anak-anak menuju dewasa

BAB I PENDAHULUAN. generasi berikutnya (Jameela, 2010). fase ini individu mengalami perubahan dari anak-anak menuju dewasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini di Indonesia 62 juta remaja sedang tumbuh di tanah air. Artinya satu dari lima orang Indonesia berada dalam rentang usia remaja. Mereka adalah calon generasi

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISA. Untuk mempelajari perkembangan anak dari usia 2 tahun, ada baiknya

BAB 2 DATA DAN ANALISA. Untuk mempelajari perkembangan anak dari usia 2 tahun, ada baiknya 4 BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Data Perkembangan Balita Untuk mempelajari perkembangan anak dari usia 2 tahun, ada baiknya mengetahui sekelumit pertumbuhan fisik dan sisi psikologinya. Ada beberapa aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Fungsi utama Rumah Sakit yakni melayani masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Seiring dengan berjalannya waktu dan semakin majunya teknologi kedokteran,

Lebih terperinci

BAB IV PAPARAN HASIL PENELITIAN PENGEMBANGAN. Paket produk pengembangan ini terdiri dari tiga bagian.

BAB IV PAPARAN HASIL PENELITIAN PENGEMBANGAN. Paket produk pengembangan ini terdiri dari tiga bagian. BAB IV PAPARAN HASIL PENELITIAN PENGEMBANGAN A. Deskripsi Produk Paket produk pengembangan ini terdiri dari tiga bagian. 1. Panduan. Panduan ini terdiri dari tiga bagian pula, yaitu; a. Deskripsi Pelaksanaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti melewati tahap-tahap perkembangan yaitu masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Namun ada suatu masa dimana individu

Lebih terperinci

TAHAP PERKEMBANGAN ANAK USIA 12-17 TAHUN

TAHAP PERKEMBANGAN ANAK USIA 12-17 TAHUN TAHAP PERKEMBANGAN ANAK USIA 12-17 TAHUN LATAR BELAKANG Lerner dan Hultsch (1983) menyatakan bahwa istilah perkembangan sering diperdebatkan dalam sains. Walaupun demikian, terdapat konsensus bahwa yang

Lebih terperinci