(MAJALAH ILMIAH FAKULTAS TEKNIK - UNPAK) Hal.» Kata Pengantar i» Daftar Isi ii

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "(MAJALAH ILMIAH FAKULTAS TEKNIK - UNPAK) Hal.» Kata Pengantar i» Daftar Isi ii"

Transkripsi

1 ISSN (MAJALAH ILMIAH FAKULTAS TEKNIK - UNPAK) Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 Hal.» Kata Pengantar i» Daftar Isi ii» Analisa Pengaruh Pelebaran Jalan Raya Terhadap Tingkat Pelayanan Jalan (Studi Kasus : Jalan Raya Sukahati Kabupaten Bogor (Arif Mudianto, Budie Arif, dan Muhammad Taofiq) 1» Karakterisasi Phisik Airtanah Dan Identifikasi Pemunculan Mataair Pada Akuifer Endapan Gunung Api (Studi Kasus : Endapan Gunungapi Tangkubanperahu di Cekungan Bandung) (Bambang Sunarwan) 16» Konsep Pengembangan Stasiun Depok Lama Sebagai Kawasan Transit Oriented Development (TOD) (Budi Arief) 27» Analisis Kestabilan Lereng Di Kawasan Terrace Sentul City (Hikmad Lukman) 34» Microstrip Antena Pada Frequensi 9GH Frequensi Aplikasi Radar (Herry Satria Utama) 39» Pemanfaatan Pasir Pantai Pameungpeuk Garut Sebagai Agregat Halus Pada Beton (Titik Penta Artiningsih) 50

2 JURNAL TEKNOLOGI Vol. II, Edisi 24, Periode Januari-Juni ISSN PELINDUNG DR. H. Bibin Rubini, M.Pd. (Rektor UNPAK) PENANGGUNG JAWAB DR. Ir. Titik Penta Artiningsih, MT. (Dekan Fakultas Teknik) PENASEHAT/KONSULTAN (Ex. Officio) Kajur Teknik Sipil Kajur Perencanan Wilayah Dan Kota Kajur Teknik Geodesi Kajur Teknik Elektro Kajur Teknik Geologi PIMPINAN REDAKSI DR. Ir. Bambang Sunarwan, MT. SEKRETARIS REDAKSI Ir. M.A. Karmadi ANGGOTA REDAKSI Ir. Singgih Irianto, MSi., Ir. Teti Syahrulyati, M.Si., DR. Ir. Rochman Djaja AH. M.Surv., Ir. Ichwan Arif, MT., Ir. Budi Arief, MT., Ir. Dede Suhendi, MT., DR. Ir. Janthy T. Hidayat, M.Si., Ir. Akhmad Syafuan, MT., Heny Purwanti, ST., MT. PEMBANTU UMUM Sudarsono CATATAN : JURNAL TEKNOLOGI UNPAK, sebagai majalah ilmiah, direncanakan terbit setiap 6 (enam) bulan. Kehadirannya diharapkan mampu menjadi media komunikasi dan forum pembahasan keilmuan bagi staf pengajar dan mahasiswa, khususnya di lingkungan Fakultas Teknik - UNPAK. Untuk kelangsungan penerbitan, Redaksi berharap para ilmiawan sebagai pakar ilmu pengetahuan dan teknologi berkenan mengirimkan tulisan bebas dan kreatif berbentuk tulisan populer, hasil penelitian, atau gagasan orisinal yang segar. Pengiriman naskah ditulis dengan bahasa Indonesia atau Inggris dilengkapi dengan abstrak (tidak lebih dari 200 kata), ukuran kuarto/a4, ditulis dengan urutan Judul, Nama Penulis, Abstrak, Isi Tulisan dan Daftar Pustaka, dilengkapi dengan Riwayat Pendidikan/Pekerjaan terakhir Penulis. Panjang naskah disarankan tidak lebih dari 10 halaman atau 6000 kata, disertakan copy disket tulisan. Bila diterima, Redaksi akan mengedit sesuai gaya Jurnal Teknologi - UNPAK

3 Kata Pengantar Assalammualaikum Wr. Wb. JURNAL TEKNOLOGI Edisi ke 24 Periode (Januari Juni 2014), diterbitkan oleh Fakultas Teknik, Universitas Pakuan Bogor, berisi 6 (enam) makalah, hasil penulisan para staf pengajar/dosen, khususnya di lingkungan Fakultas Teknik Universitas Pakuan Bogor. Beberapa penyempurnaan masih terus diperlukan, termasuk saran dan kritik agar penerbitan selanjutnya makin memiliki nilai tambah dan bobot ilmiah, khususnya pada isi/materi tulisan yang ada. Diharapkan JURNAL TEKNOLOGI, Fakultas Teknik, Universitas Pakuan dapat terbit secara rutin dan bermanfaat bagi pembaca. Wassalam Redaksi i

4 JURNAL TEKNOLOGI Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014, ISSN DAFTAR ISI HaL. Kata Pengantar Daftar Isi i ii Analisa Pengaruh Pelebaran Jalan Raya Terhadap Tingkat Pelayanan Jalan (Studi Kasus : Jalan Raya Sukahati Kabupaten Bogor 1 Karakterisasi Phisik Airtanah Dan Identifikasi Pemunculan Mataair Pada Akuifer Endapan Gunung Api (Studi Kasus : Endapan Gunungapi Tangkubanperahu di Cekungan Bandung) 16 Konsep Pengembangan Stasiun Depok Lama Sebagai Kawasan Transit Oriented Development (TOD) 27 Analisis Kestabilan Lereng Di Kawasan Terrace Sentul City 34 Microstrip Antena Pada Frequensi 9GH Frequensi Aplikasi Radar 39 Pemanfaatan Pasir Pantai Pameungpeuk Garut Sebagai Agregat Halus Pada Beton 50 Alamat Redaksi/Penerbit Jurnal Teknologi Fakultas Teknik - Universitas Pakuan Jl. Pakuan (0251) Website : fakultasteknik@gmail.com Bogor ii

5 ANALISA PENGARUH PELEBARAN JALAN RAYA TERHADAP TINGKAT PELAYANAN JALAN (Studi Kasus Jalan Raya Sukahati Kabupaten Bogor) Oleh: Arif Mudianto, Budi Arief, dan Muhammad Taofiq Abstrak Jaringan jalan merupakan prasarana transportasi darat yang memegang peranan sangat penting dalam sektor perhubungan terutama untuk kesinambungan distribusi barang dan jasa. Pertumbuhan dan perkembangan Kabupaten Bogor yang terus meningkat dari tahun ke tahun berdampak pula pada bertambahnya jumlah dan jenis moda transportasi yang ada. Konsekuensi dari keadaan tersebut salah satunya adalah tingginya volume lalu lintas yang terjadi setiap hari pada daerah-daerah pusat perkotaan maupun daerah bangkitan lalu lintas lainnya seperti kawasan perumahan dan industri. Tingginya volume lalu-lintas menyebabkan kemacetan di ruas-ruas jalan yang ada baik di ruas jalan kolektor maupun arteri. Salah satu jalan yang sudah mulai mengalami dampak tingginya volume lalu-lintas adalah jalan Sukahati yang berada di Kabupaten Bogor. Maksud studi adalah untuk mengetahui pengaruh pelebaran jalan terhadap tingkat pelayanan jalan pada ruas Jalan Sukahati KabupatenBogor, sedangkan tujuan studi adalah 1) menghitung kinerja jalan sebelum dan sesudah pelebaran jalan, 2) Menganalisa kebutuhan lebar ruas jalan dan jumlah lajur yang dibutuhkan, 3) Menghitung pertumbuhan lalu-lintas akhir rencana, 4) Menganalisa hubungan pengaruh pelebaran jalan terhadap tingkat pelayan jalan. Metode yang digunakan adalah berupa pengumpulan data dan survei lalu-lintas. Data tipe jalan sebelum pelebaran adalah 2/2UD dengan lebar lajur 3,5 meter, sedangkan setelah pelebaran lebar lajur adalah 5,5 meter. Hasil analisis diperoleh kinerja jalan yang terdiri dari Kapsitas (C), Derajat Kejenuhan (DS), Kecepatan Arus Bebas (FV) dan Kecepatan Tempuh sebelum dan sesudah pelebaran jalan. Kinerja jalan setelah pelebaran lebih tinggi dari sebelum pelebaran. Tingkat pelayanan jalan Sukahati dari tahun-ketahun mulai mengalami penurunan. Nilai VCR pada tahun 2007 sebesar 0,73, sedangkan pada tahun 2010 senilai 0,78 sehingga masuk dalam katagori D. Karena nilai VCR pada tahun 2010 sudah lebih dari 0,75 maka dilakukan pelebaran jalan pada tahun 2014 untuk meningkatkan pelayanan jalan Sukahati. Peningkatan jalan berupa pelebaran jalan tersebut berhasil meningkatkan tingkat pelayanan ke katagori C dengan nilai VCR 0,66 dan berada pada katagori C. Dengan menggunakan analisa persamaan regresi diperoleh nilai r=0,83 dan koefisien determinasi (r 2 )=0,83. Nilai r=0,83 membuktikan bahwa pelebaran jalan sangat mempengaruhi tingkat pelayanan jalan. Dengan nilai r 2 =0,83 didapat nilai kd=69% yang berarti sebanyak 69 % pelebaran jalan akan mempengaruhi tingkat pelayanan, sedangkan sisanya 31% dipengaruhi oleh faktor yang lain seperti faktor jalan dan lalu-lintas. Kata kunci: Lebar Jalan, Kinerja Jalan, Tingkat Pelayanan 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jaringan jalan merupakan prasarana transportasi darat yang memegang peranan sangat penting dalam sektor perhubungan terutama untuk kesinambungan distribusi barang dan jasa. Keberadaan jalan raya sangat diperlukan untuk menunjang laju pertumbuhan seiring dengan meningkatnya sarana transportasi yang dapat menjangkau daerah-daerah terpencil. Keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan selama ini telah berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat. Konsekuensi atas keberhasilan tersebut Analisa Pengaruh Pelebaran Jalan Raya Terhadap Tingkat...(Arif Mudianto, Budi Arief, & M. Taofiq) 1

6 terhadap pelayanan jasa transportasi khususnya jalan raya adalah meningkatnya permintaan penyediaan jasa angkutan yang semakin luas dan dengan kualitas yang semakin meningkat pula. Pertumbuhan dan perkembangan Kabupaten Bogor yang terus meningkat dari tahun ke tahun berdampak pula pada bertambahnya jumlah dan jenis moda transportasi yang ada. Konsekuensi dari keadaan tersebut salah satunya adalah tingginya volume lalu lintas yang terjadi setiap hari pada daerah-daerah pusat perkotaan maupun daerah bangkitan lalu lintas lainnya seperti kawasan perumahan dan industri. Tingginya volume lalu-lintas menyebabkan kemacetan di ruas-ruas jalan yang ada baik di ruas jalan kolektor maupun arteri. Hal tersebut terjadi karena jumlah peningkatan moda transportasi tidak sesuai dengan peningkatan infrastruktur yang ada seperti lebar jalan yang belum memadai dan kondisi jalan yang buruk Maksud dan Tujuan Maksud Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pelebaran jalan terhadap tingkat pelayanan jalan pada ruas Jalan Sukahati Kabupaten Bogor Tujuan a) Menghitung kinerja jalan yang terdiri dari kapasitas jalan, derajat kejenuhan, kecepatan arus bebas dan kecepatan waktu tempuh serta tingkat pelayanan jalan (V/C Ratio) sebelum dan sesudah pelebaran jalan. b) Menganalisa kebutuhan lebar ruas jalan dan jumlah lajur yang dibutuhkan. c) Menghitung pertumbuhan lalu-lintas akhir rencana d) Menganalisa hubungan pengaruh pelebaran jalan terhadap tingkat pelayan jalan Gambaran Umum Wilayah Studi Jalan Sukahati merupakan jalan yang menghubungkan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor ke Kelurahan Talang Kecamatan Bogor Utara Kota Bogor. Sampai tahun 2012 jumlah penduduk Kabupaten Bogor jiwa. Gambar 1.1. Peta Jaringan Jalan Kecamatan Cibinong 2. TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Pengertian Jalan Definisi jalan menurut Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan, jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap, dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu-lintas, yang berada permukaan tanah, diatas permukaan tanah, dibawah permukaan tanah dan atau air, serta diatas permukaan air, kecuali jalan kereta api dan jalan kabel Klasifikasi Jalan Berdasarkan Undang Undang Nomor 38 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan, maka jalan dapat diklasifikasikan menjadi 3 klasifikasi jalan, yaitu: Klasifikasi Menurut Fungsi 1) Jalan Arteri a) Jalan Arteri Primer adalah ruas jalan yang menghubungkan antar kota jenjang kesatu yang berdampingan atau menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua (R. Desutama. 2007). b) Jalan Arteri Sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder lainnya atau kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. 2 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (1-15)

7 2) Jalan Kolektor a) Jalan Kolektor Primer adalah ruas jalan yang menghubungkan antar kota kedua dengan kota jenjang kedua, atau kota jenjang kesatu dengan kota jenjang ketiga. (R. Desutama. 2007). b) Jalan Kolektor Sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder lainnya atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga Tipe Jalan Berbagai tipe jalan akan memberikan kinerja yang berbeda pada pembebanan lalu-lintas. Tabel 2.3. Kondisi Dasar Tipe Jalan Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), ) Jalan Lokal a) Jalan Lokal Primer adalah ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan persil, kota jenjang kedua dengan persil, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga lainnya, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang di bawahnya. (R. Desutama, 2007). b) Jalan Lokal Sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, atau kawasan sekunder kedua dengan perumahan, atau kawasan sekunder ketiga dan seterusnya dengan perumahan. 4) Jalan Lingkungan Jalan Lingkungan adalah merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan Klasifikasi Menurut Statusnya Jalan umum menurut statusnya dikelompokkan menjadi: 1. Jalan Nasional 2. Jalan Propinsi 3. Jalan Kabupaten 4. Jalan Kota 5. Jalan Desa Klasifikasi Jalan menurut Kelas Jalan Klasifikasi kelas jalan berdasarkan penggunaan jalan dan kelancaran lalu-lintas: Tabel 2.1. Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), Jalan Perkotaan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI),1997 mendefinisikan ruas jalan perkotaan/semi perkotaan atau luar kota sebagai ruas jalan yang memiliki pengembangan permanen dan menerus sepanjang seluruh atau hampir seluruh jalan, minimum pada satu sisi jalan, apakah berupa perkembangan lahan atau bukan. Jalan di atau dekat pusat perkotaan dengan penduduk lebih dari (atau kurang dari jika mempunyai perkembangan samping jalan yang permanen dan menerus) juga digolongkan sebagai jalan perkotaan. Adanya jam puncak lalu-lintas pagi dan sore serta tingginya persentase kendaraan pribadi. Selain itu keberadaan kereb merupakan ciri prasarana jalan perkotaan Karateristik Jalan Perkotaan Kinerja suatu ruas jalan tergantung pada karakteristik utama suatu jalan yaitu: kapasitas perjalanan rata-rata dan tingkat pelayanannya ketika dibebani lalu lintas. Halhal yang mempengaruhi kapasitas, kecepatan perjalanan rata-rata dan tingkat pelayanan suatu ruas jalan adalah : 1) Geometrik Jalan Perkotaan Geometrik jalan didefinisikan sebagai suatu bangun jalan raya yang menggambarkan tentang bentuk/ukuran jalan raya baik yang menyangkut penampang melintang, memanjang, maupun aspek lain yang terkait dengan bentuk fisik jalan. 2) Alinyemen jalan Lengkung horizontal dengan jari-jari kecil mengurangi kecepatan arus bebas. Tanjakan yang juga mengurangi kecepatan arus bebas. Karena secara Analisa Pengaruh Pelebaran Jalan Raya Terhadap Tingkat...(Arif Mudianto, Budi Arief, & M. Taofiq) 3

8 umum kecepatan arus bebas adalah rendah, maka pengaruh ini diabaikan. 3) Tipe Jalan Berbagai tipe jalan akan menunjukan kinerja berbeda pada pembebanan lalulintas tertentu. Tipe jalan perkotaan adalah sebagai berikut: Jalan satu arah (1-3/1) Jalan dua lajur dua arah (2/2 UD) Jalan empat lajur dua arah, dibagi menjadi: - Tanpa median (Undivided) (4/2 UD) - Dengan median (Divided) (4/2 D) Jalan enam lajur dua arah terbagi (6/2D) 4) Lebar jalur; kecepatan arus bebas dan kapasitas meningkat dengan pertambahan lebar jalur lalu-lintas. 5) Bahu/Kereb (Shoulder); kecepatan dan kapasitas jalan akan meningkat bila lebar bahu semakin lebar. Kereb sangat berpengaruh terhadap dampak hambatan samping jalan. 6) Komposisi arus dan pemisahan arah Kapasitas jalan dua arah paling tinggi pada pemisahan arah 60-40, yaitu jika pada kedua arah adalah tidak sama pada periode waktu yang dianalisis. Volume lalu-lintas dipengaruhi komposisi arus lalu-lintas, setiap kendaraan yang ada harus dikonversikan menjadi suatu kendaraan standar. 7) Pengaturan lalu-lintas 8) Batas kecepatan jarang diberlakukan didaerah perkotaan Indonesia, dan karenanya hanya sedikit berpengaruh pada kecepatan arus bebas. Aturan lalulintas lainnya yang berpengaruh pada kinerja lalu-lintas adalah pembatasan parkir dan berhenti sepanjang sisi jalan, pembatasan akses tipe jalan tertentu, pembatasan akses dari lahan samping jalan dan sebagainya. 9) Perilaku pengemudi dan populasi kendaraan Manusia sebagai pengemudi kendaraan merupakan bagian dari arus lalu-lintas yaitu sebagai pemakai jalan. Faktor psikologis, fisik pengemudi sangat berpengaruh dalam menghadapi situasi arus lalu-lintas yang dihadapi. 10) Hambatan samping Hambatan samping, yaitu aktivitas samping jalan yang dapat menimbulkan konflik dan berpengaruh terhadap pergerakan arus lalu lintas serta menurunkan kinerja jalan. Adapun tipe kejadian hambatan samping, adalah : Jumlah pejalan kaki berjalan atau menyeberang sepanjang segmen jalan. Jumlah kendaraan berhenti dan parkir. Jumlah kendaraan bermotor yang masuk dan keluar dari lahan samping jalan dan jalan samping. Arus kendaraan lambat, yaitu arus total (kendaraan/jam) sepeda, becak, delman, pedati, traktor dan sebagainya. Tabel 2.4 Kelas Hambatan Samping Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), Volume Lalu-Lintas Rencana Volume lalu-lintas menunjukkan jumlah kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan dalam satu satuan waktu (hari, jam, menit) Lalu Lintas Harian Rata-Rata Lalu-lintas harian rata-rata (LHR) adalah volume lalu-lintas rata-rata dalam satu hari. LHR = n n. Kij. Fi i=0 n dimana : Kij = Jumlah kendaraan jenis I yang diamati pada hari ke j i = Jenis kendaraan j = Hari ke j n = Jumlah hari pengamatan Fi = Faktor koreksi untuk jenis kendaraan Lalu Lintas Harian Rata-Rata Tahunan LHRT adalah jumlah lalu lintas kendaraan rata-rata yang melewati satu jalur jalan selama 24 jam dan diperoleh dari data selama satu tahunan penuh. 4 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (1-15)

9 LHRT = n i=0 LHRi n dimana : LHRT = Lalu lintas harian rata-rata tahunan LHR = Volume lalu lintas harian N = Jumlah hari dalam tahun yang bersangkutan, n = 365 hari I = Jenis Kendaraan Satuan Mobil Penumpang (smp) Volume lalu-lintas untuk perencanaan geometrik umumnya ditetapkan dalam satuan mobil penumpang (smp) sehingga masing masing jenis kendaraan yang diperkirakan yang akan melewati jalan rencana harus dikonversikan kedalam satuan tersebut dengan dikalikan nilai ekivalensi mobil penumpang (emp). Tabel 2.5. Ekivalen Mobil Penumpang (emp) Jalan Perkotaan ambang pengaman konstruksi jalan dengan tinggi 5 meter dan kedalaman 1.5 meter. c. RUWASJA (Ruang Daerah Pengawasan Jalan) RUWASJA adalah ruang sepanjang jalan di luar DAMAJA yang dibatasi oleh tinggi dan lebar tertentu, diukur dari sumbu jalan sebagai berikut: - Jalan Arteri minimum 20 meter - Jalan Kolektor minimum 15 meter - Jalan Lokal minimum 10 meter Trotoar Bahu Jalur Lalu Lintas Bahu Saluran Gambar 2.2. Penampang Melintang Jalan Tanpa Median Jalur Lalu Lintas Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), Penampang Jalan Penampang Melintang Jalan Batas RUMIJA Ambang Bahu Jalur Lalu Lintas Bahu Drainase Batas RUMIJA 1) Jalur Lalu Lintas (Traveled Way) adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu lintas kendaraan. Jalur lalu lintas dapat terdiri atas beberapa lajur dengan tipe antara lain: a. 1 jalur 2 lajur 2 arah (2/2 TB) b. 1 jalur 2 lajur 1 arah (2/1 TB) c. 2 jalur 4 lajur 2 arah (4/2 B) d. 2 jalur n lajur 2 arah (2/2 B) Keterangan: TB = tidak terbagi/ Undivided B = terbagi/ Divided Tabel 2.6. Penentuan Lebar Jalur dan Bahu Jalan BADAN JALAN RUMAJA RUMIJA RUWASJA Gambar 2.1. Gambar Penampang Jalan a. RUMAJA (Ruang Manfaat Jalan) RUMAJA adalah daerah yang dibatasi oleh batas ambang pengaman konstruksi jalan di kedua sisi jalan, tinggi 5 meter di atas permukaan perkerasan pada sumbu jalan, dan kedalaman ruang bebas 1,5 meter di bawah muka jalan. b. RUMIJA (Daerah Milik Jalan) RUMIJA adalah daerah yang dibatasi oleh lebar yang sama dengan Damaja ditambah Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Dalam Kota, Keterangan: **) = Mengacu pada persyaratan *) = 2 jalur terbagi, masing masing n 3, 5m, dimana n jumlah lajur per jalur - = Tidak ditentukan 2) Lajur (Lane) adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dengan atau tanpa marka jalan, yang memiliki lebar cukup untuk satu kendaraan bermotor sedang berjalan, selain sepeda motor. Analisa Pengaruh Pelebaran Jalan Raya Terhadap Tingkat...(Arif Mudianto, Budi Arief, & M. Taofiq) 5

10 Tabel 2.7. Lebar Lajur Ideal Fungsi Kelas Lebar Lajur Ideal (m) Arteri I, 3,75 II, IIIA 3,50 Kolektor IIIA, IIIB 3,0 Lokal IIIC 3,0 Sumber:Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Dalam Kota, Jumlah Lajur Lalu-Lintas yang dibutuhkan sangat tergantung dari volume lalu lintas yang akan memakai jalan tersebut dan tingkat pelayanan jalan yang diharapkan. Kebutuhan lajur lalu lintas dapat ditetapkan berdasarkan tipe jalan yang akan dipilih, kemudian dihitung rasio perbandingan antara arus lalu lintas jam rencana dengan kapasitas tiap lajurnya apakah sudah memenuhi syarat yang ditetapkan didalam MKJI 97 yaitu Degree of Saturation (DS) < 0,75 dan bila nilai DS mendekati nilai 0,75 jalan tersebut harus diperlebar, dilakukan traffic management, atau dengan membuat jalan baru. Tabel 2.8. Pembagian Tipe Kendaraan Jalan Perkotaan Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), Kinerja Jalan Kapasitas Kapasitas didefinisikan sebagai arus maksimum melalui suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi tertentu. Persamaan dasar untuk menentukan kapasitas adalah sebagai berikut: C = C O x FC W x FC SP x FC SF x FC Cs dengan : C C O FC W FC SP FC SF = Kapasitas (smp/jam) = Kapasitas dasar (smp/jam) = Faktor penyesuaian lebar jalan = Faktor penyesuaian pemisah arah (hanya untuk jalan tak terbagi) = Faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan FC CS = Faktor penyesuaian ukuran kota 1) Kapasitas dasar (C 0 ) Tabel 2.9. Kapasitas Dasar (C 0 ) Jalan Perkotaan Type jalan Kapasitas dasar (smp/jam) Catatan Empat-lajur terbagi atau jalan satu-arah 1650 Per lajur Empat-lajur tak-terbagi 1500 Per lajur Dua-lajur tak-terbagi 2900 Total dua arah Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), ) Faktor penyesuaian lebar jalan Faktor penyesuaian lebar jalan ditentukan berdasarkan lebar jalan efektif yang dapat dilihat pada Tabel Tabel Faktor Penyesuaian Lebar Efektif Jalur Lalu Lintas (FCW) Tipe Jalan Empat-Lajur terbagi atau Jalan satu-arah Lebar Efektif Jalur Lalu Lintas (WC) (m) FCW Per lajur 3,00 3,25 3,50 3,75 4,00 Empat-lajur tak-terbagi Dua-lajur tak-terbagi Per lajur 3,0 3,25 3,50 3,75 4,0 Total kedua arah Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), ,92 0,96 1,00 1,04 1,08 0,91 0,95 1,00 1,05 1,09 0,56 0,87 1,00 1,14 1,25 1,29 1,34 3) Faktor penyesuaian pembagian arah jalan Faktor ini didasarkan pada kondisi dan distribusi arus lalu lintas dari kedua arah jalan atau untuk tipe jalan tanpa pembatas median. Tabel Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pembagian Arah (FC SP ) Pemisah arah SP (%-%) FCSP Dua-lajur (2/2) 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88 Empat-lajur (4/2) 1,00 0,985 0,97 0,955 0,94 Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), ) Faktor penyesuaian kapasitas akibat hambatan samping Untuk ruas jalan yang mempunyai kereb didasarkan pada 2 faktor yaitu lebar kereb (Wk) dan kelas hambatan samping. 6 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (1-15)

11 Tabel Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Hambatan Samping (FC SF ) Faktor penyesuaian Tipe Jalan untuk hambatan Kelas samping dan jarak kereb hambatan penghalang (FCSF) samping Jarak kereb penghalang (Wk) (m) 0,5 1,0 1,5 2, VL 0,95 0,97 0,99 1,01 L 0,94 0,96 0,98 1,00 4/2 D M 0,91 0,93 0,95 0,98 H 0,86 0,89 0,92 0,95 VH 0,81 0,85 0,88 0,92 VL 0,95 0,97 0,99 1,01 L 0,93 0,95 0,97 1,00 4/2 UD M 0,90 0,92 0,95 0,97 H 0,84 0,87 0,90 0,93 VH 0,77 0,81 0,85 0,90 VL 0,93 0,95 0,97 0,99 2/2 UD L 0,90 0,92 0,95 0,97 atau jalan M 0,86 0,88 0,91 0,94 satu-arah H 0,78 0,81 0,84 0,88 VH 0,68 0,72 0,77 0,82 Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), ) Faktor penyesuaian ukuran kota didasarkan pada jumlah penduduk. Tabel 2.13 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FC CS ) Ukuran kota (juta penduduk) Faktor penyesuaian untuk ukuran kota < 0,1 0,86 0,1 0,5 0,90 0,5 1,0 0,94 1,0 3,0 1,00 > 3,0 1,04 Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), Derajat Kejenuhan (DS) Derajat kejenuhan (DS) didefinisikan sebagai rasio arus jalan terhadap kapasitas, yang digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja simpang dan segmen jalan. Nilai DS menunjukkan apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak. Persamaan dasar untuk menentukan derajat kejenuhan adalah sebagai berikut: Q DS C dengan : DS = Derajat kejenuhan Q = Arus lalu lintas (smp/jam) C = Kapasitas (smp/jam) Kecepatan Arus Bebas (FV) Kecepatan arus bebas (FV) didefinisikan sebagai kecepatan pada tingkat arus nol yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika mengendarai kendaraan bermotor tanpa dipengaruhi oleh kendaraan bermotor lain di jalan. Persamaan untuk penentuan kecepatan arus bebas mempunyai bentuk umum berikut: FV = (FV 0 + FV W ). FFV SF. FFV CS 2 dengan: FV = Kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi lapangan (km/jam). FV = Kecepatan arus bebas dasar kendaraan 0 ringan pada jalan yang diamati (km/jam). FV = Penyesuaian kecepatan untuk lebar jalan W (km/jam). FFV = Faktor penyesuaian akibat hambatan SF samping dan lebar bahu. FFV CS = Faktor penyesuaian ukuran kota 1) Kecepatan arus bebas ditentukan berdasarkan tipe jalan dan jenis kendaraan. Tabel Kecepatan Arus Bebas Dasar untuk Jalan Perkotaan (FV 0 ) Tipe jalan/ Tipe alinyemen (kelas jarak pandang) Kecepatan arus bebas dasar (FV0) (km/jam) Kendaraan Sepeda berat motor (HV) (MC) Kendaran ringan (LV) Semua kendaraan (rata-rata) Enam-lajurterbagi (6/2 D) atau Tiga-lajur satuarah (3/1) Empat-lajur terbagi (4/2 D) atau Dua-lajur satuarah (3/1) Empat-lajur tak terbagi (4/2 UD) Dua-lajur takterbagi (2/2 UD) Sumber: Manula Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), ) Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk lebar jalur lalu lintas berdasarkan lebar jalur lalu lintas efektif Tabel Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas untuk Lebar Jalur Lalu-Lintas (FV W ) Tipe jalan Empat-lajur terbagi atau Jalan satu arah Empat-lajur-tak terbagi Dua-lajur tak-terbagi Lebar lajur lalu lintas efektif Lajur lalu lintas (WC) (m) Per lajur 3,00 3,25 3,50 3,75 4,00 Per lajur 3,00 3,25 3,50 3,75 4,00 Total Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997 FV Analisa Pengaruh Pelebaran Jalan Raya Terhadap Tingkat...(Arif Mudianto, Budi Arief, & M. Taofiq) 7

12 3) Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas akibat hambatan samping. Tabel Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas untuk Hambatan Samping dengan Jarak Kereb Penghalang (FFV SF ) Faktor penyesuaian Kelas untuk hambatan samping hambatan dan Lebar kerb penghalang Tipe jalan Samping (FFVSF) (SFC) Jarak: kerb penghalang (WK) (m) < 0,5 1,0 1,5 > 2, Empatlajur terbagi 4/2 D Empatlajur takterbagi 4/2 UD Dua-lajur takterbagi 2/2 UD atau Jalan satu arah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi 1,00 0,97 0,93 0,87 0,81 1,00 0,96 0,91 0,84 0,77 0,98 0,93 0,87 0,78 0,68 1,01 0,98 0,95 0,90 0,85 1,01 0,98 0,93 0,87 0,81 0,99 0,95 0,89 0,81 0,72 Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), ,01 0,99 0,97 0,93 0,88 1,01 0,99 0,96 0,90 0,85 0,99 0,96 0,92 0,84 0,77 1,02 1,00 0,99 0,96 0,92 1,02 1,00 0,98 0,94 0,90 1,00 0,98 0,95 0,88 0,82 4) Nilai faktor penyesuaian untuk pengaruh ukuran kota pada kecepatan arus bebas kendaraan (FFV CS ). Tabel Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas untuk Ukuran Kota (FFV CS ) Ukuran kota (Juta Penduduk) Faktor penyesuaian untuk ukuran kota < 0,1 0,90 0,1 0,5 0,93 0,5 1,0 0,95 1,0 3,0 1,00 >3,0 1,03 Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), Kecepatan Tempuh MKJI 1997 menggunakan kecepatan tempuh sebagai ukuran utama kinerja segmen jalan, karena mudah dimengerti dan diukur, dan merupakan masukan yang penting untuk biaya pemakai jalan dalam analisis ekonomi. Kecepatan tempuh ditentukan dengan menggunakan grafik pada Gambar Tingkat Pelayanan Tingkat Pelayanan suatu ruas jalan digunakan sebagai ukuran kualitatif yang mencerminkan persepsi pengemudi tentang kualitas mengendarai kendaraan. Dalam menetukan tingkat pelayanan suatu arus jalan akan ditinjau dari tingkat perbandingan antara volume arus lalu lintas yang melalui ruas jalan tersebut berbanding terbalik dengan kapasitas ruas jalan tersebut. V LOS C Dimana: LOS = tingkat pelayanan V = Volume lalu-lintas (smp/jam) C = Kapasitas (smp/jam) Tingkat Pelayanan A B C D E F Tabel Karakteristik Tingkat Pelayanan Karakteristik Kondisi arus bebas dengan kecepatan tinggi dan volume lalu lintas rendah Pengemudi dapat memlilih kecepatan yang diinginkan tanpa hambatan Arus stabil, tapi kecepatan operasi mulai dibatasi oleh kondisi lalu lintas Pengemudi mempunyai kebebasan yang cukup untuk memilih kecepatan Arus stabil tapi kecepatan dan gerak kendaraan dikendalikan Pengemudi dibatasi dalam memilih kecepatan Arus mendekati tidak stabil, kecepatan masih dikendalikan V/C Ratio masih dapat diterima Volume lalulintas mendekati/ berada pada kapasitas Arus tidak stabil, kecepatan kadang terhenti Arus yang dipaksakan atau macet, kecepatan rendah, volume diatas kapasitas, antrian panjang dan terjadi hambatan yang besar Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997 Batas Lingkup 0,00 0,20 0,20 0,44 0,44 0,74 0,74 0,84 0,84 1,00 >1, Pertumbuhan Lalu Lintas Untuk memperoleh nilai LHRT berdasarkan umur rencana yang ada maka digunakan rumus: Gambar 2.3. Kecepatan sebagai Fungsi DS 8 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (1-15)

13 LHR n = LHR 0 x (1+i) n dimana: LHRn = Lalu lintas harian pada awal tahun ke-n LHR 0 = Lalu lintas harian pada awal tahun rencana i = Faktor pertumbuhan (%) n = Umur rencana 3. METODOLOGI Metode yang gunakan adalah survei deskriptif (deskriptive survey methode) berupa pengumpulan data yang terdiri dari survei lalu lintas dan hambatan samping serta Metode statistik pendukung analisa Survei Lalu Lintas Tujuan dari survei lalu lintas adalah untuk mengetahui berapa besar Lalu lintas harian (LHR) dari masing-masing jenis kendaraan yang melewati ruas jalan Sukahati Kabupaten Bogor. Pada perkerjaan ini survei dilakukan selama 3 (tiga) hari selama 18 jam yang dibagi dalam 2 (tiga) shift survei, masing-masing shift 9 (sembilan) jam. Pembagian shift tersebut sebagai berikut: 1) Shift Kesatu : Pkl ) Shift Kedua : Pkl Jenis kendaraan yang diamati terdiri dari 3 (tiga) kelompok kendaraan yaitu kendaraan pribadi, kendaraan umum, dan kendaraan angkutan barang. Adapun golongan dan jenis kendaraan disajikan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Golongan dan Jenis Kendaraan No. Golongan Jenis Kendaraan Kendaraan 1 1 Sepeda motor 2 2 Mobil Pribadi 3 3 Mobil Penumpang 4 4 Mobil Hantaran 5 5A Bus Kecil 6 5B Bus Besar 7 6A Truck 2 Sumbu Kecil 8 6B Truck 2 Sumbu Besar 9 7A Truck 3 Sumbu 10 7B Truck Gandeng 11 7C Truck Semi Trailer 12 8 Kendaraan tidak bermotor Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997 Pelaksanaan survei dilakukan dengan mengacu pada Pedoman Survei Pencacahan Lalu Lintas dengan cara Manual Pd T B. Formula perhitungan nilai LHR yang digunakan mengikuti Petunjuk Teknis Perancangan dan Penyusunan Jalan Direktorat Jenderal Bina Marga, Direktorat Bina Program Jalan, Departemen Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia dan pada Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) Survei Hambatan Samping Survei hambatan samping dilakukan dengan cara menghitung langsung setiap tipe kejadian per jam per 200 meter pada lajur jalan yang diamati pada jam puncak pagi pukul Tipe kejadian digolongkan menjadi sebagai berikut : a. Jumlah pejalan kaki berjalan atau menyeberang sepanjang segmen jalan. b. Jumlah kendaraan berhenti atau parkir. c. Jumlah kendaraan bermotor yang masuk dan keluar dari lahan samping jalan. Arus kendaraan yang bergerak lambat, yaitu arus total (kend/jam) dari sepeda, becak, pedati, traktor dan sebagainya. Hambatan samping yang terutama berpengaruh terhadap kapasitas dan kinerja jalan, sedangkan untuk kriteria hambatan samping dibagi menjadi 4 bobot yaitu: Tabel 3.2 Bobot Kriteria Hambatan Samping Kriteria Hambatan Samping Bobot Pejalan kaki 0.5 Angkutan umum dan kendaraan lain berhenti 1.0 Kendaraan lambat (misal becak, kereta kuda) 0.4 Kendaraan keluar masuk dari lahan di samping jalan 0.7 Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), Metode Statistik Pendukung Analisis Analisis Regresi Linier Pemodelan volume lalu lintas yang umum digunakan untuk menentukan karakteristik kecepatan dan kerapatan adalah regresi linier. y = Ax + B Besarnya konstanta A dan B dapat dicari dengan persamaan-persamaan di bawah ini : B A 2 x. yx. xy n. x 2 x 2 n. xy x. y n. x 2 x 2 Dimana : A= konstanta regresi B= konstanta regresi x= variabel bebas y= variabel tidak bebas n= jumlah sampel Analisa Pengaruh Pelebaran Jalan Raya Terhadap Tingkat...(Arif Mudianto, Budi Arief, & M. Taofiq) 9

14 Analisis Korelasi Analisis korelasi digunakan untuk menentukan kuatnya hubungan antara peubah bebas dan tidak bebas yang dinyatakan dengan nilai koefisien korelasi r. Nilai koefisien korelasi bervariasi antara -1 sampai +1 (-1< r <+1). Apabila nilai koefisien sama dengan 0 (nol), maka dikatakan tidak terdapat korelasi antara peubah bebas dan peubah tidak bebas, sedangkan apabila nilai koefisien korelasi sama dengan 1 (satu) dikatakan mempunyai hubungan yang sempurna, nilai koefisien korelasi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : r n. xy x. y n. x x. n. y x Sebagai koefisien penentu digunakan koefisien determinasi (r 2 ) yang dihitung dengan mengkuadratkan nilai koefisien korelasi. Koefisien korelasi r ini perlu memenuhi syarat-syarat: a. Koefisien korelasi harus besar apabila kadar hubungan tinggi atau kuat b. Koofisien korelasi harus kecil apabila kadar hubungan itu kecil atau lemah. 4. ANALISA DATA 4.1. Data Hasil Penelitian Data Teknis Jalan Tabel 4.1. Data Ruas Jalan No. Data Keterangan 1. Sistem / Jaringan Jalan Sekunder/Jalan Jalan Perkotaan 2. Fungsi Jalan Kolektor Primer 3. Kelas Jalan III A 4. Status Jalan Jalan Kabupaten 5. Medan Jalan Datar (D) 6. Tipe Jalan 2/2 UD Sumber: Hasil Analisis, Data Geometrik Tabel 4.2. Data Geometrik Jalan Sebelum Pelebaran Setelah Pelebaran Tipe Jalan 2/2UD 2/2UD Kelas Jalan Kolektor Primer Kolektor Primer Lebar Jalur (m) 7 11 Lebar Lajur (m) 3,5 5,5 Jumlah Lajur 2 2 Sumber: Hasil Survei, 2014 y Data Volume Lalu Lintas Tabel 4.3. LHR Jalan Sukahati Sebelum Pelebaran No. Jenis Kendaraan LHR (kend./jam) Tahun Tahun smp/jam Tahun Tahun Sepeda Motor Mobil Pribadi Mobil Penumpang Mobil Hantaran Bus Kecil Bus Besar Truk 2 Sumbu (L) Truk 2 Sumbu (H) Truk 3 Sumbu Truk Gandeng Semi Trailer Kendaraan Tidak Bermotor TOTAL Sumber: Dinas Bina Marga Kabupaten Bogor, 2014 Tabel Volume Lalu Lintas Harian Tahun 2014 No. Jenis Volume smp/ smp/ emp Kendaraan Kendaraan hari jam 1 Sepeda Motor Mobil Pribadi Mobil Penumpang Mobil Hantaran Bus Kecil Bus Besar Truk 2 Sumbu (L) Truk 2 Sumbu (H) Truk 3 Sumbu Truk Gandeng Semi Trailer Kendaraan Tidak Bermotor TOTAL Sumber: Hasil Survei dan Analisis, Data Hambatan Samping Tabel 4.5. Volume Hambatan Samping Waktu PED PSV EEV SMV Sumber: Hasil Survei, 2014 Tabel 4.6. Penentuan Frekuensi Kejadian Hambatan Samping Type Kejadian Hambatan Samping Faktor Bobot Frekuensi Kejadian Frekuensi Bobot Pejalan Kaki/PED 0, Parkir Kendaraan Berhenti/PSV 1, Kendaraan Masuk+Keluar/EEV ,4 Kendaraan Lambat /SMV 0, ,2 111,6 Sumber: Hasil Analisis, Perhitungan Kinerja Jalan A. Kinerja Jalan Sebelum Pelebaran 1) Kapasitas (C) C 0 = 2900 (Tabel 2.9) FC W = 1,00 (Tabel 2.10) FC SP = 1,00 (Tabel 2.11) FC SF = 0,90 (Tabel 2.12) FC CS = 1,04 (Tabel 2.13) Sehingga: C = C 0 x FC W x FC SP x FC SF x FC Cs C = 2900 x 1,00 x 1,00 x 0,90 x 1,04 C = 2.714,4 smp/jam 10 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (1-15)

15 2) Derajat Kejenuhan (DS) Q DS n C dengan : Q 2007 = Arus lalu lintas = smp/jam Q 2010 = Arus lalu lintas = smp/jam C = Kapasitas = 2.714,4 smp/jam Sehingga: Q 1978 DS2007 0,73 C 2.714,4 Q 2225 DS2010 0,78 C 2.714,4 3) Kecepatan Arus Bebas (FV) FV = (FV 0 + FV W ). FFV SF. FFV CS dengan : FV 0 = 44 (Tabel 2.14) FV W = 0 (Tabel 2.15) FFV SF = 0,93 (Tabel 2.16) FFV CS = 1,03 (Tabel 2.17) Sehingga: FV = (FV 0 + FV W ). FFV SF. FFV CS FV = (44 + 0). 0,93. 1,03 = 42,12 km/jam 4) Kecepatan Tempuh Berdasarkan Gambar 2.4 Grafik Kecepatan sebagai fungsi DS pada tahun 2007, dengan nilai derajat kejenuham (DS)=0,73 dan kecepatan arus bebas (FV)= 42,12 di dapat nilai kecepatan tempuh kendaraan ringan tahun 2007 dari Grafik adalah 56 km/jam, sedangkan derajat kejenuhan (DS)=0,82 dan (FV)=42,12 didapat kecepatan kendaraan 58 km/jam (Gambar 4.1 Kecepatan Tempuh Tahun Sebelum Pelebaran). B. Kinerja Jalan Setelah Pelebaran 1) Kapasitas (C) C0 = 2900 (Tabel 2.09) FCW = 1,34 (Tabel 2.10) FCSP = 1,00 (Tabel 2.11) FCSF = 0,90 (Tabel 2.12) FCCS = 1,04 (Tabel 2.13) Sehingga: C = C 0 x FC W x FC SP x FC SF x FC Cs C = 2900 x 1,34 x 1,00 x 0,90 x 1,04 C = 3.637,30 smp/jam 2) Derajat Kejenuhan (DS) Q DS C dengan : Q = Arus lalu lintas = smp/jam C = Kapasitas = 3.637,30 smp/jam sehingga: DS ,30 Q 2014 C 0,66 3) Kecepatan Arus Bebas (FV) FV = (FV 0 + FV W ). FFV SF. FFV CS dengan : FV 0 = 44 (Tabel 2.14) FV W = 7 (Tabel 2.15) FFV SF = 0,93 (Tabel 2.16). FFV CS = 1,03 (Tabel 2.17). sehingga: FV = (FV 0 + FV W ). FFV SF. FFV CS FV = (44 + 7). 0,93. 1,03 FV = 48,85 km/jam 4) Kecepatan Tempuh Berdasarkan Gambar 2.4. Grafik Kecepatan sebagai fungsi DS, dengan Nilai DS=0,66 dan kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (LV)=48,85 km/jam, sehingga di dapat nilai Kecepatan Tempuh dari Grafik adalah 62 km/jam. Gambar 4.1. Grafik Kecepatan Tempuh Tahun 2007 dan 2010 Gambar 4.2. Grafik Kecepatan Tempuh Tahun 2007 dan 2010 Analisa Pengaruh Pelebaran Jalan Raya Terhadap Tingkat...(Arif Mudianto, Budi Arief, & M. Taofiq) 11

16 Perbandingan kinerja jalan sebelum dan sesudah pelebaran dapat dilihat pada Tabel 4.6 sebagai berikut: Tabel 4.6. Perbandingan Kinerja Jalan Kinerja Jalan Sebelum Pelebaran Setelah Pelebaran Kapasitas (C) (smp/jam) 2.714, , ,30 - Derajat Kejenuhan (DS) 0,73 0,82 0,66 - Kecepatan Arus Bebas (FV) (km/jam) 42,12 42,12 48,85 - Kecepatan Tempuh (km/jam) Sumber: Hasil Analisis, Tingkat Pelayanan kendaraan dikendalikan dan pengemudi dibatasi dalam memilih kecepatan. Tabel 4.7. Perbandingan Tingkat Pelayanan Kondisi Jalan Volume (V) smp/jam Kapasitas (C) smp/jam DS (V/C) Sebelum Pelebaran - Tahun ,40 0,73 C - Tahun ,40 0,78 D Setelah Pelebaran - Tahun , 30 0,66 C Sumber: Hasil Analisis, Pertumbuhan Lalu Lintas Dengan menjadikan LHR Tahun 2014 sebagai awal umur rencana, maka LHR pada tahun 2034 (Akhir Umur Rencana) sebagai berikut: LOS A. Sebelum Pelebaran Jalan V LOS C dengan: V 2007 = Volume Lalu lintas (VLHR) 2007 = smp/jam V 2010 = Volume Lalu lintas (VLHR) 2010 = smp/jam C = Kapasitas = 2.714,4 smp/jam Sehingga: LOS LOS , , ,73 0,78 Berdasarkan Tabel 2.18, dengan nilai LOS sebesar 0,73, maka tingkat pelayanan Jalan Sukahati sebelum pelebaran tahun 2007 adalah C dengan arus stabil tapi kecepatan dan gerak kendaraan dikendalikan dan pengemudi dibatasi dalam memilih kecepatan. Sedangkan pada tahun 2010, di dapat nilai LOS sebesar 0,82, sehingga tingkat pelayanan Jalan Raya Sukahati pada tahun 2010 adalah D dengan arus mendekati tidak stabil, kecepatan masih dikendalikan dan V/C ratio masih diterima. B. Setelah Pelebaran Jalan LOS 2014 V C dengan: V = Volume Lalu lintas = smp/jam C = Kapasitas = 3.637,30 smp/jam LOS , 30 0,66 Berdasarkan Tabel 2.18, dengan nilai LOS = 0,66, maka tingkat pelayanan ruas Jalan Sukahati setelah pelebaran adalah C dengan arus stabil tapi kecepatan dan gerak LHR n = LHR 0 x (1+i) n dimana : LHR n = Lalu lintas harian rata-rata = Tahun ke-n i = Tingkat Pertumbuhan Lalu lintas (4%) n = Umur rencana (20 tahun) LHR 0 = lalu lintas harian rata rata awal umur rencana - Sepeda Motor(MC) = kendaraan/jam = x (1 + 0,04) 20 = 4287 kendaraan/jam - Mobil Pribadi/Penumpang/ Hantaran (LV) - Bus Keci/Besar/ Truk Kecil (HV) LHR Tahun 2034 = kendaraan/jam = x ( 1 + 0,04 ) 20 = kendaraan/jam = 651 kendaraan/jam = 651 x ( 1 + 0,04 ) 20 = kendaraan/jam = kendaraan/jam Tabel 4.8. Volume LHR Jalan Sukahati Tahun 2034 Jenis Jumlah Volume LHR emp Kendaraan (kend./jam) (smp/jam) MC , LV , HV , Jumlah Sumber: Hasil Analisis, 2015 Tabel 4.9. Pertumbuhan Volume LHR Jalan Sukahati No. Tahun ke-n Tahun Volume LHR Sumber: Hasil Analisis, Perencanaan Lebar dan Jumlah Lajur A. Lebar Lajur 12 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (1-15)

17 Berdasarkan Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Dalam Kota, September, 1997, untuk jalan kolektor, serta memiliki VLHR smp/hari maka lebar jalur lalu lintas adalah 7 m, dengan lebar lajur 2 x 3,5 m (Tabel 2.7). Sehingga lebar lajur (lane) ideal sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 34 Tahun 2006 untuk jalan kolektor kelas IIIA adalah 3 meter. B. Jumlah Lajur Penentuan lebar lajur didasarkan pada kebutuhan untuk mengatasi derajat kejenuhan yang terjadi. Dari hasil analisa, arus kendaraan (Q) yang melewati ruas jalan ini pada tahun 2010 adalah sebesar 2225 smp/jam, dengan lebar jalan 7 meter didapat derajat kejenuhan (DS) sebesar 0,78 lebih dari 75 %, sehingga memerlukan penambahan lebar lajur. Berikut ini perhitungan derajat kejenuhan untuk rencana pelebaran, dicoba dengan menggunakan 2 lajur 2 arah tanpa median (2/2 UD) dengan lebar lajur 2x5,5m. C 0 = 2900 smp/jam (Tabel 2.09) FC W = 1,34 (Tabel 2.10) FC SP = 1,00 (Tabel 2.11) FC SF = 0,90 (Tabel 2.12) FC CS = 1,04 (Tabel 2.13) maka : C = C 0 x FC W x FC SP x FC SF x FC Cs C = 2900 x 1,34 x 1,00 x 0,90 x 1,04 C = 3.637,30 smp/jam Q 2225 DS 0,61 C 3.637,30 DS < 75% (memenuhi syarat) C. Lebar Jalur Lebar jalur ditentukan oleh jumlah lalu lintas dan fungsi jalan untuk keamanan dan kenyamanan pemakai jalan. Dalam hal ini berpedoman pada Table 2.7 tentang Penentuan Lebar jalur dan Bahu Jalan, sehingga digunakan lebar jalur 11 meter. D. Bahu Jalan Bahu jalan (shoulder) adalah suatu struktur yang berdampingan dengan jalur lalu lintas untuk melindungi perkerasan, mengamankan kebebasan samping dan penyediaan ruang untuk tempat berhenti sementara dan parkir. Lebar bahu jalan menurut Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, September, 1997 (Tabel 2.7), untuk jalan kolektor primer, serta memiliki VLHR smp/hari minimum adalah 2,0 m Lebar Jalur, Lajur dan Jumlah Lajur Akhir Tahun Rencana Dengan menjadikan Volume LHR tahun 2014 sebagai awal tahun rencana, diperoleh VLHR pada akhir rencana tahun ke-20 pada tahun 2034 adalah sebesar smp/jam (Tabel 4.14). Tipe jalan yang digunakan pada tahun 2014 adalah 2/2UD dengan kapasitas (C)= 3.637,30 smp/jam, sehingga didapat nilai DS tahun 2034 sebagai berikut: Q DS C ,30 1,46 Tingkat pelayanan dengan V/C=3,18 berada ada tingkat pelayanan F dengan karakteristik arus lalu-lintas: macet dan antrian panjang (volume kendaraan melebihi kapasitas dan aliran telah mengalami kemacetan). Derajat kejenuhan (DS) pada tahun 2034>75% sehingga tidak memenuhi syarat menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997 dan jalan harus dilebarkan. Dicoba dengan menggunakan tipe jalan Enam Lajur Tak Terbagi (6/2 UD) dengan lebar lajur 4 meter, didapat: C 0 = 1650 smp/jam (Tabel 2.09) FC W = 1,09 (Tabel 2.10) FC SP = 1,00 (Tabel 2.11) FC SF = 0,94 (Tabel 2.12) FC CS = 1,04 (Tabel 2.13) maka : C = C 0 x FC W x FC SP x FC SF x FC Cs C = 1650 x 1,09 x 1,00 x 0,94 x 1,04 C = 1.758,21 smp/jam perlajur C = ,21 x 6 = ,28 smp/jam Q DS C ,28 0,5 Pelebaran jalan dengan menggunakan tipe jalan 6/2UD didapat nilai derajat kejenuhan (DS)=0,5 dan memenuhi syarat karena DS<0,7, sedangkan untuk Level of Service (LOS)/tingkat pelayanan adalah C dengan karakteristik lalu-lintas Arus stabil tapi kecepatan dan gerak kendaraan dikendalikan Analisa Pengaruh Pelebaran Jalan Raya Terhadap Tingkat...(Arif Mudianto, Budi Arief, & M. Taofiq) 13

18 dan pengemudi dibatasi dalam memilih kecepatan. Dengan lebar tiap lajur 4 meter, didapat lebar jalur lalu lintas sebesar 24 meter dengan untuk tahun Analisa Korelasi Hubungan Analisis pengaruh pelebaran ruas jalan terhadap tingkat pelayanan jalan adalah sebagai berikut: Tabel Analisa Regresi Tahun Lebar Jalan DS x y xy x 2 y Sumber: Hasil Analisis, 2015 r n. xy x. y n. x x. n. y r 3.18, , ,64 r 0,83 2 y 2 2,21 A. Analisis Koefisien determinasi r 2 0,69 B. Persamaan Regresi y = ax + b n. xy x. y b n. x 2 x 2 y b. x a n dimana : a = konstanta regresi b = konstanta regresi x = variabel bebas y = variabel tidak bebas n = jumlah variabel b n. xy x. y 2 2 n. x x 3.18, , y b. x 2,21 0,03.25 a n 3 Persamaan Regresinya: y = -0,03 x + (0,98) x = 7 y = 0,78 x = 11 y = 10,71 2 0,98 0,03 Dengan menggunakan software Microsoft Excel diperoleh nilai Nilai r yang di dapat sebesar 0,83. artinya korelasinya positif (menyatakan arah hubungan antara x dan y adalah positif dan kuat). Dengan demikian jika lebar jalan di tingkatkan maka V/C ratio akan menurun. Kd = r % dimana: Kd = Koefisien diterminasi, yaitu presentrasi pengaruh pelebaran jalan terhadap V/C ratio. R = Nilai koefisien korelasi (Batas d adalah 0 d 1) sehingga: Kd = 0, % = 69 % Berdasarkan perhitungan diatas, didapat nilai Kd sebesar 27 %, ini berarti bahwa besarnya pengaruh pelebaran jalan terhadap V/C ratio sebesar 69% dan sisanya sebesar 31% dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti faktor jalan (kebebasan lateral, bahu jalan, keberadaan median, permukaan jalan, alinemen, kelandaian jalan, keberadaan trotoar, dll) dan faktor lalu lintas. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 1) Kinerja jalan berdasarkan analisa dan hasil perhitungan sebelum dan sesudah pelebaran ruas jalan diperoleh sebagai berikut: a. Kapasitas (C) setelah pelebaran ruas jalan mengalami peningkatan. b. Derajat Kejenuhan (DS) setelah pelebaran ruas jalan mengalami penurunan. c. Kecepatan arus bebas (FV) setelah pelebaran ruas jalan mengalami peningkatan. d. Kecepatan tempuh (VT) setelah pelebaran ruas jalan meningkat. 2) V/C Ratio Jalan Raya Sukahati sebelum pelebaran jalan tahun 2007 sebesar 0,73, berdasarkan karakteristik tingkat pelayanan, masuk dalam katagori C dan pada tahun 2010 dalam katagori D. Sedangkan V/C ratio setelah pelebaran tahun 2014 tingkat pelayanannya dalam katagori C. 3) Analisa regresi didapat nilai r= 0,83 yang artinya korelasinya positif (menyatakan arah hubungan antara x dan y adalah positif dan kuat). Dengan demikian jika lebar jalan di tingkatkan maka V/C ratio akan menurun. 14 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (1-15)

19 4) Berdasarkan LHR dan kondisi eksisting jalan tahun 2010, didapat nilai derajat kejenuhan 0,82. Pelebaran jalur lalu lintas harus dilakukan karena DS tahun 2010 > 0,75. Hasil analisa, dengan menggunakan lebar jalur lalu lintas dengan lebar 11 meter dengan menggunakan tipe jalan 1 jalur-2 lajur-2 arah tidak terbagi (2/2UD) didapat nilai derajat kejenuhan 0,66. Pertumbuhan lalu lintas pada akhir tahun rencana tahun 2034 adalah kendaraan/jam dan VLHR sebesar smp/jam. Dengan VLHR pada tahun 2034, dapat digunakan tipe jalan 6/2 UD dengan lebar lajur 4 meter, sehingga lebar jalur lalu lintas 24 meter Saran 1) Diperlukan penelitian lanjutan pengaruh pelebaran ruas jalan terhadap kinerja jalan dengan variable pengaruh tingkat pelayanan jalan yang lainnya seperti faktor jalan (kebebasan lateral, bahu jalan, keberadaan median, permukaan jalan, alinemen, kelandaian jalan, keberadaan trotoar, dll) dan faktor lalu lintas (komposisi lalu lintas, volume, distribusi lajur, gangguan lalu lintas, keberadaan kendaraan tidak bermotor, gangguan samping, dll.). 2) Dalam analisa karakteristik, kinerja jalan dan tingkat pelayanan jalan harus didukung oleh data-data yang akurat, agar analisis tersebut sesuai dengan yang diharapkan dan tidak terjadi hambatan dalam menganalisis. DAFTAR PUSTAKA 1]. BPS Kabupaten Bogor, 2012, Kabupaten Bogor Dalam Angka 2012, Badan Pusat Statistik, Bogor 2]. Departemen Pekerjaan Umum, 1997, Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) No.036/T/BM/1997, Jakarta 3]. Departemen Pekerjaan Umum, 2007, Survey Lalu Lintas, Direktorat Jenderal Bina Marga, Direktorat Bina Teknik, Jakarta 4]. Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, 2004, Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan dan Kawasan Perkotaan, ]. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 Tentang Jalan 6]. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 19/PRT/M/2011 Tentang Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Jalan 7]. Departemen Pekerjaan Umum, Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan, Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta 8]. Standar Nasional Indonesia, 2004, Geometri Jalan Perkotaan, RSNI T , Dewan Standar Nasional-DSN, Jakarta 9]. Tamin, O.Z. 2003, Perencanaan Dan Pemodelan Transportasi, Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung 10]. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan PENULIS : 1. Ir. Arif Mudianto, MT. Pengajar Mata Kuliah Perencanaan Geometrik dan Perencanaan Perkerasan Jalan Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Pakuan Bogor 2. Ir. Budi Arief, MT. Pengajar Mata Kuliah Transportasi Dasar dan Manajemen Transportasi Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Pakuan Bogor 3. Muhammad Taofiq, ST. Alumni Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Pakuan Bogor Analisa Pengaruh Pelebaran Jalan Raya Terhadap Tingkat...(Arif Mudianto, Budi Arief, & M. Taofiq) 15

20 KARAKTERISASI PHISIK AIRTANAH DAN IDENTIFIKASI PEMUNCULAN MATAAIR PADA AKUIFER ENDAPAN GUNUNG API (Studi Kasus : Endapan Gunungapi Tangkubanperahu di Cekungan Bandung) Oleh: Bambang Sunarwan Abstrak Gunung Tangkubanperahu (2.064 m.apl) merupakan gunung api strato, berada di wilayah Bandung Jawa Barat, menjadi puncak batas utara cekungan Bandung. Memiliki zonasi kemunculan mata air ke arah selatan dan menempati kaki G.Tangkubanperahu, jumlah total kurang lebih 142 mata air dengan kisaran debit 1 l/s hingga 15 l/s. Kemunculan mataair memiliki tipe umum rekahan pada batuan lahar dan lava, serta tipe depresi untuk kemunculan mata air pada tanah pelapukan. Kajian ini dimaksudkan menjadi informasi pokok untuk tujuan mengidentifikasi model hidrogeologi yang terdiri dari sistem akifer endapan gunung api dan pola aliran air di dalam tanah. Kata-kata kunci : akuifer, volkanik, PHISICAL GROUNDWATER CHARACTERITATION AND IDENTIFICATION SPRINGS AT THE VOLCANIC DEPOSITS. (Subject: Volcanic deposit of Tangkubanperahu at the Bandung - Soreang) by BAMBANG SUNARWAN Abstract Tangkubanperahu mountain ( 2064 masl ) is a strato volcano located in Bandung, is the peak of the northern boundary of the basin of Bandung. Has the appearance of springs zoning to the south and occupy G.Tangkubanperahu feet with a total of approximately 142 springs with discharge range 1 l/s. up to 15 l/sec. Occurrences springs have a common type of fracture in the lava rock and lava and types of depression on the ground for the emergence of springs and weathering 1. PENDAHULUAN Diketahui secara hidrogeologi daerah yang dibentuk oleh hasil erupsi gunungapi dan lapukannya memiliki kontribusi besar terhadap pemenuhan kebutuhan air, khususnya bagi penduduk yang yang kian meningkat mendiami kaki gunungapi seperti halnya kota kota besar di Indonesia: Bandung, Bogor - Jakarta, termasuk Medan, Semarang, dan Surabaya. Secara geografi posisi daerah kajian berada pada ( " ' ) BT dan (6 48' 29.70" 7 17' ) LS., merupakan batas kawasan CAT. Bandung Soreang, sesuai KEPPRES R.I. Nomor 26 Tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Airtanah. 16 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (16-26)

21 Posisi dan hubungan antara daerah imbuhan (recharge area) dengan daerah luahan (discharge area), perilaku aliran airtanah serta ketebalan maupun sebaran akifer sangat menentukan aktivitas ekplorasi ataupun deliniasi kawasan konservasi airtanah. 2. ENDAPAN VOLKANIK SEBAGAI PENYUSUN AKUIFER. Endapan volkanik hasil erupsi gunungapi, dapat dikelompokkan menjadi beberapa fasies, yaitu gabungan/kelompok tipikal batuan yang umum muncul pada jarak tertentu dari puncak gunung api, termasuk G. Tangkubanperahu. Diantara beberapa model yang pernah ada, dikenal Model Fasies Gunung api Strato Fuego oleh Cas dan Wright (1987), dari G.Fuego di Guatemala. Berdasar model tersebut, endapan gunung api hasil erupsi Gnung Tangkubanperahu terdiri dari tiga fasies (Tabel 1) 1) Fasies Inti Gunung api (Volcanic core) terletak pada elevasi m.dpl, terdiri dari andesit. Fasies ini bersifat impermeabel, tidak memiliki mata air. 2) Fasies Proksimal Gunung Api (Volcanic Proximal Fasies) terdistribusi pada elevasi ( ) m.dpl, dan terdiri dari: 2a) Proksimal 1 di elevasi ( ) m.dpl tersusun oleh aliran dan jatuhan piroklastik impermeable, serta fragmen andesit, matriks tuf. 2b) Proksimal 2 di elevasi ( ) m.dpl tersusun oleh lava andesit yang umumnya mengandung rekahan. Pada fasies ini terdapat zona mata air 1 terdiri dari ( ) = 142 mata air dengan total debit 178 l/det. 2c) Fasies Distal (Volcanic Distal Facies) terletak pada elevasi ( ) m.dpl; terdiri atas lahar permeabel, fragmen andesit tertanam di dalam matriks tuf atau pasir vulkanik. Batuan memperlihatkan rekahan dengan dimensi dan geometri tidak teridentifikasi. Pada fasies ini terletak zona mataair 2 terdiri dari 53 mata air dengan total debit 700 l/det. Kemunculan mata air dikontrol oleh kondisi geologi setempat, diantaranya kelerengan morfologi, kemiringan lapisan, jenis batuan, erosi permukaan, rekahan/fracture dan patahan 2.1. Hubungan Kelurusan Morfologi dan Kemunculan Mataair Dalam analisis kelurusan morfologi gunungapi, dan kemunculan mata air dimanfaatkan tiga seri data, yakni pola kelurusan, ditarik dari citra Shuttle Radar Topography Mission (SRTM), peta topografi skala 1:50.000, peta lokasi mata air, dan debit mata air. Target yang ingin diperoleh adalah distribusi, panjang kelurusan dan jarak tegak lurus antara titik lokasi mata air dengan kelurusan terdekat. Untuk memudahkan analisis digunakan piranti lunak GIS Arc View version 3.3 dengan modul Linstat. Gambar 1. Pola Kelurusan Teridentifikasi di CAT.Bandung-Soreang Karakteristik Phisik Airtanah dan Identifikasi Pemunculan Mataair Pada Akuifer.(Bambang Sunarwan) 17

22 air mengecil sejalan dengan jarak semakin jauh dari kelurusan (Gambar 4). Akan tetapi terdapat mata air dengan debit (10 20) l/d yang muncul pada jarak ( ) m dari kelurusan. Gambar 2. Diagram Roset Orientasi Kelurusan vs Jumlahnya. (Garis tebal/hitam menandai kisaran frekuensi kelurusan pada batuan gunung api). Tabel 1. Klasifikasi Kelompok Kemunculan Mataair Vs Debit mataair Debit Jenis (liter/detik) Depresi Kontak Fracture Jumlah < > Jumlah Gambar 3. Histogram Jarak Mataair Terhadap Kelurusan Terdekat Dua perhitungan tersebut kemudian dikorelasikan dengan data yang berkait dengan mata air. Metoda ini pernah dilakukan oleh Galanos dan Rokos (2006) dan Walsh (2008). Ada lebih dari 209 kelurusan telah ditarik dan terdigitasi pada citra sebagaimana diperlihatkan pada Kelurusan memiliki orientasi umum NW SE atau dalam kisaran N125 0 E s/d N E, sebagaimana diagram roset (Gambar 2)), kelurusan memiliki pola radial, sebagian besar mata air berada pada jarak 400 m dari kelurusan). Dari gambar dapat diketahui bahwa kelurusan pada batuan lava umumnya berkorelasi dengan kemunculan mata air di dekatnya, yaitu pada jarak mendekati 0 m dan ( ) m. Selanjutnya kelurusan pada lahar memiliki jarak terdekat dengan mata air berkisar antara 2 m hingga 2800 m, serta kelurusan pada piroklastik berjarak 200 m hingga 1000 m dari lokasi kemunculan mata air. Keberadaan aliran airanah dan pemunculan mata air secara umum diketahui berasosiasi dengan litologi penyusun akifer, dan sesuai hasil identifikasi di lapangan diketahui terdiri atas batuan piroklastik, lahar dan lava. Tinjauan terhadap hubungan antara debit mata air terhadap jarak dan kelurusan, diketahui bahwa, populasi mata air paling tinggi diperoleh pada jarak (0 2000) m dengan debit berkisar antara 1 hingga 2 l/d, sebagaimana pada (Gambar 3). Jumlah mata Gambar 4. Plot antara debit mata air (Q dalam l/d) dengan jarak lokasi mataair terhadap kelurusan (dalam m). Zona rekahan pada umumnya mengendalikan debit mata air, dan diketahui ada dua jenis asal pembentukan rekahan, yakni: pada aliran lava dan rekahan pada lahar, memiliki komposisi andesit dan basalt Hubungan Laju Infiltrasi dan Ketebalan Tanah Pelapukan Intensitas proses pelapukan di daerah penelitian sangat tinggi, dicirikan oleh tanah pelapukan dengan kisaran ketebalan antara 0.5 m sampai10 m. Lapisan setebal itu memiliki potensi menyimpan dan selanjutnya meresapkan air hujan ke dalam akifer batuan padu. Menurut Chow (1964) dan Miyazaki (1993), uji infiltrasi dapat dilakukan untuk menghitung laju infiltrasi akhir tanah pelapukan. Nilai akhir tanah pelapukan dari lahar menunjukkan kisaran (1,26 2,53) cm/menit, dilanjutkan oleh piroklastik sebesar 1,5 cm/menit, dan aliran lava dengan nilai (0,5 1,2) cm/menit (Gambar.6). Nilai laju infiltrasi akhir tersebut, menurut Linsley, dkk (1971) merupakan indikasi bahwa tanah pelapukan memiliki kapasitas cukup besar terhadap peresapan. (Gambar 7) merupakan 18 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (16-26)

23 nilai infiltrasi dari tuf pasir dari F. Cikidang (Qvu), tuf berbatu apung dari F.Cibereum (Qyd) dan breksi gunung api dari Formasi Cikapundung (Qyt) menunjukkan kisaran (I) sesuai (Tabel 3). Tabel 2. Kondisi Hidrogeologi Lereng Gunung Tangkubanperahu Volcanic facies Description Slope Spring Physical and hydraulic properties Symbol Lithology Zone Number Q (l/s) Volcanic core Volcanic Impermeable rock with less, (2076) m.aplestimated neck, 0 o 10 o 20 o 30 o 45 o data is available 2076) m.apl) consists of andesites to dacite Proximal facies ( m.asl) Proximal 1 facies ( m.asl) Proximal 2 facies ( masl) Distal facies ( m.asl) Pyroclastic fall and pyroclastic flow. Consists of andesite boulder dan tuff matrices Lava flow, consists of andesite to dacite lava Laharic breccias, consists of andesite to dacite boulder with tuff and volcanic sand and matrices. Source :* According to Meinzer (1944) op.cit Todd, 1984 after Erwin. D, (class 1-3)* 70 (class 1-2) (class 1-3)* Impermeable rock, high infiltrate on rate of soil 1.5 cm/min, no other data is available Permeable, secondary permeabi-lity: cooling/sheeting joint with unsyste matic pola, thick residual soil (2-5 m), final infiltrasi rate of cm/min Permeable, secondary permeabi-lity: fractured with isolated pattern, thick residual soil (2-5 m), final infiltration rate of cm/min Tabel 3. Nilai Laju Infiltrasi Pada Tanah Pelapukan (cm/menit) Nomor Lokasi Mata air Batuan penyusun akifer Satuan Batuan Elevasi (m.apl) Koordinat I (cm/menit) Urut Kode X Y 1 Dz.01 Cibogo Tuf Pasir Qvu '.58" 6 48' " Dz.08 Cicalung Tuf Pasir Qvu '.15" 6 49' " Dz.19 Cipanjak Tuf Pasir Qvu '.95" 6 50' " Dz.02 Pamecelan Tuf Pasir Qyd ' 6" 6 48' " Dz.06 Cinajuang Tuf Pasir Qyd '.22" 6 49' " Dz.20 Cihideng Tuf Pasir Qyd '.6" 6 50' " Dz.16 Rancakendal Tuf Pasir Qvu '.70" 6 54' " Dz.27 Dago-pojok Tuf Pasir Qvu ' 0.6"" 6 52' " Dz.21 FKIP Tuf Pasir Qvu '.82" 6 51' " Dz.22 Cisitu lama Tuf Pasir Qvu '.22" 6 53' " Dz.13 Setrasari Tuf Pasir Qvu '.15" 6 53' " Dz.18 Cisintok Tuf Pasir Qvu '.37" 6 51' " Dz.05 Babakan Tuf Berbatuapung Qyd '.37" 6 48' " Dz.17 Kt.Geologi Tuf Berbatuapung Qyd '.70" 6 54' " Dz.14 Lbr. Tengah Tuf Berbatuapung Qyd '.90" 6 52' " Dz.07 Cikawari Tuf Berbatuapung Qyd '.49" 6 49' " Dz 03 Ciburial Breksi Gunungapi Qyt ' 78" 6 51' " Dz 19 Ciharalang Breksi Gunungapi Qyt '.95" 6 50' " Dz 10 Tugu Breksi Gunungapi Qyt '.17" 6 50' " Dz 15 Bongkar Breksi Gunungapi Qyt '.21" 6 51' " Dz 23 Cicaheum Breksi Gunungapi Qyt '.29" 6 54' " Dz 24 Psr.Gunting Breksi Gunungapi Qyt '.07" 6 50' " Dz 25 Puncrut Breksi Gunungapi Qyt '.79" 6 50' " Dz 04 Cikurutug Breksi Gunungapi Qyt '.22" 6 51' " Dz 12 Pagerwangi Breksi Gunungapi Qyt ' 79" 6 53' " Dz 26 Psr.Munding Breksi Gunungapi Qyt '.13" 6 51' " Dz 28 Baturajak Breksi Gunungapi Qyt '.99" 6 50' " 0.14 Sumber : Dadang ZA, 1989 Karakteristik Phisik Airtanah dan Identifikasi Pemunculan Mataair Pada Akuifer.(Bambang Sunarwan) 19

24 2.3. Distribusi dan Geometri Mata Air Menurut Chow (1964) dan Miyazaki (1993) (Grafik laju infiltrasi pada Breksi lava/ Gunungapi, Tuff berbatuapung dan Tufa pasir) Gambar 5. Plot Interval Laju Infiltrasi Airtanah Pelapukan Berdasar kemunculan mata air daerah CAT. Bandung-Soreang, pada lereng (utara selatan) Gn. Tangkubanperahu bagian barat, dilengkapi kajian Sunarwan.B dan Puradimedja.D (1997), berbasis data IWACO-WASECO (1990), ditambah 60 mata air dan sumurgali kajian PPPG (2010), selanjutnya juga dari penelitian dan pengamatan langsung tahun (2011 s/d 2012). Maka dapat dilakukan pemerian terhadap zona kemunculan matair secara spasial, yaitu terdiri dari (3) zona: Zone 3: ( ) m.apl, = 78 buah Zone 2: ( ) m.apl, dan = 45 buah Zone 1: ( ) m.apl, = 19 buah T o t a l = 142 buah Berdasar Data Dadang Z.A, (1998) (Grafik memperlihatkan keteraturan antara nilai laju infiltrasi airtanah pelapukan pada jenis batuan tuf pasir (Qvu/F.Cikidang), tuf berbatu apung (Qyd/F.Cibereum) dan breksi lava atau (Qyt/F.Cikapundung). Gambar 6. Ploting Laju Infiltrasi Air pada Tanah Pelapukan Terhadap Elevasi. Rekaman pengukuran yang dilakukan di lapangan mencakup tujuh parameter yakni: koordinat (x, y, z), debit (Q) dalam liter/second, Total Padatan Terlarut (Total Dissolved Solids) (TDS) dalam ppm, Daya Hantar Listrik (Electric Conductivity) (DHL) dalam µs/cm, keasaman (ph), suhu mata air (Ta) dan suhu udara (Tu) dalam o C. Seluruh parameter ditampilkan dalam basis data. Gambar 7. Lokasi Minatan Sumber Air (Matair, sumurgali dan Sumur Pemboran). 20 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (16-26)

25 2.4. Kemunculan mata air vs elevasi Kemunculan mata air dan aliran airtanah teramati berada mulai elevasi 450 m.dpl hingga 1458 m.dpl, dan sebanyak 142 mata air teridentifikasi, dan diketahui muncul pada elevasi rata-rata 804,2 m.dpl. dalam jumlah kecil dijumpai pada elevasi 450 m.dpl dan paling tinggi pada elevasi 1650 m.dpl yakni kurang lebih ada 10 mataair. (Gambar.9-A). Dari plot kisaran elevasi aliran muka airtanah diketahui muka airtanah pada data pemboran (Gambar 4.9.B), diketahui rata-rata pada elevasi 778, 12 m.dpl, minimim pada elevasi 620,00 m.dpl dan tertinggi pada di daerah Cisarua Lembang. Gambar 10. Plot Interval Elevasi kemunculan Mata Air Berdasarkan Akifer Gambar 11. Plot Interval Elevasi kemunculan Mata Air dan Aliran Airtanah Berdasarkan Jenis Batuan Penyusun Akifer dalam CAT Bandung-oreang Variable N N* Mean StDev Minimum Maximum ELEVASI ,11 100,74 620, ,00 Gambar 8. Plot kisaran elevasi kemunculan mataair pada sistem Akifer Dari jenis dan peran batuan di tiap satuan batuan di CAT. Bandung-Soreang, diketahui mata air dan aliran airtanah terbanyak dijumpai pada batuan tuf berbatuapung, yakni pada elevasi 1300 m.dpl., kemudian akuifer lava yang secara umum menempati elevasi 700 m.dpl, dan paling sedikit berada pada akifer yang tersusun oleh breksi lahar serta batugamping napal (Gambar 10 A dan 10B). 3. TIPE KEMUNCULAN MATAIR DI CAT. BANDUNG SOREANG Dari hasil pengamatan, diketahui ada dua tipe kemunculan mata air (mata air depresi dan mataair rekahan) yang umum hadir di CAT. Bandung Soreang. Variable N N* Mean StDev Minimum Maximum ELEVASI ,11 100,74 620, ,00 Gambar 9. Plot kisaran elevasi aliran airtanah pada kondisi multi akifer (data pemboran) Kemunculan Mataair vs Akifer Penyusun Satuan Batuan Kemunculan mataair dijumpai pada setiap batuan yang mampu berperan sebagai akifer dan menjadi penyusun satuan batuan yang ada di CAT. Bandung Soreang. 3.1 Mata Air Depresi Mata air depresi terbentuk karena muka air tanah terpotong oleh topografi. Jenis ini merupakan jenis umum yang muncul di CAT. Bandung Soreang.. Kemunculannya dikendalikan oleh distribusi dan ketebalan tanah pelapukan. Beberapa contoh sketsa dan foto lokasi mata air depresi disajikan Pada Gambar 11 yaitu : a) Ds. Melatiwangi - Ujungberung, b) Cibiru c) Lokasi Ds. Curah Cai dan d) Ds.Mekarsari Lereng Gn. Manglayang. Karakteristik Phisik Airtanah dan Identifikasi Pemunculan Mataair Pada Akuifer.(Bambang Sunarwan) 21

26 Mata air Ds. Melati Wangi, Ujung Berung , mata air depresi? Tampak depan? Tampak samping (A) Mata air Kecamatan Cibiru , mata air depresi?? Tampak? depan Tampak samping B) Mata air Ds. Surah Cai , mata air depresi Tampak depan Tampak samping Mata air Ds. Ds. Mekarsari , Lokasi : Lereng timur Gunung Mangalayang. Merupakan : air depresi (C) Tampak depan Tampak samping (D) Gambar 12. Sketsa dan foto lokasi mata air depresi di a) Ds. Melatiwangi - Ujungberung, b) Cibiru c) Ds. Curah Cai dan d) Ds.Mekarsari Lereng Gn.Manglayang. 3.2 Mata Air Rekahan Mata air rekahan muncul dikendalikan oleh sistem dan pola rekahan yang terdapat pada batuan lava. Sebagaimana beberapa contoh mata air rekahan di lokasi kajian ditampaikan pada (Gambar 12), berikut yang terdiri dari: a) Desa Babakan Betawi, Ujungberung b) Desa Cinunuk, Kec. Cileunyi, c) Desa Nanggerang. Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang, d) Desa Nanggerang. Kecamatan Sukasari. Sumedang, e) Desa Cisepur, Calam Kuning, f) Kampung Cimenyan, Kecamatan Cimenjah. Kabupaten Sumedang. Debit mata air diukur pada 95 lokasi mata air dengan menggunakan stopwatch dan wadah ukur untuk mata air berdebit lebih kecil dari 5 l/det dan metoda stream channeling untuk mata air dengan debit lebih besar dari 5 l/det. 22 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (16-26)

27 Mata air Ds. Babakan Betawi, Ujung Berung Mata air rekahan lava, Q= L/d Tampak depan Tampak samping Mata air Ds. Cinunuk, Kec. Cileunyi Mata air rekahan lava, Q= L/d (A) (B) Tampak depan Tampak samping Mata air Ds. Nanggerang. Kec. Sukasari. Sumedang Mata air rekahan lava, Orientasi rekahan Q= L/d 1 m 8 m Tampak depan? Mata air Ds. Cikuda, Jatinangor Mata air rekahan piroklastik, Q= L/ d?? Tampak samping? (C) 7,5 m Tampak depan Tampak samping (D) Mata air Ds. Cisepur,Calam Kuning Mata air rekahan lahar, Orientasi rekahan Q= L/d Tampak depan Tampak samping (E) Karakteristik Phisik Airtanah dan Identifikasi Pemunculan Mataair Pada Akuifer.(Bambang Sunarwan) 23

28 Mata air Kp. Cimenyan, Kec. Cimenjah Mata air rekahan piroklasti Orientasi rekahan, Q= L/d Tampak depan Tampak samping (F) Mata air Kec. Sumedang Mata air rekahan piroklastik Orientasi rekahan, Q= L/d Gambar.13 Sketsa dan foto lokasi mata air rekahan di a) Ds.Babakan Betawi - Ujungberung b) Ds. Cinunuk - Kec. Cileunyi, c) Ds. Nanggerang - Kec. Sukasari. Smedang, d) Ds. Nanggerang - Kec. Sukasari. Sumedang, e) Ds.Cisepur,Calam Kuning, f) Kp. Cimenyan - Kec. Cimenjan dan g). Kec. Sumedang (G) 4. DISKUSI/KESIMPULAN 1) Kelerengan, kemiringan lapisan, jenis batuan, erosi permukaan, rekahan dan patahan memiliki pengaruh besar terhadap besar kecilnya debit mataair yang muncul, khususnya di daerah endapan volkanik. 2) Laju infiltrasi pada batuan dan tanah pelapukan di Cekungan airtanah Bandung, juga dipengaruhi oleh 3 tiga kelompok batuan yang menutupi yakni, Satuan Batuan batuan tuf pasir (Qvu/F.Cikidang), tuf berbatu apung (Qyd/F.Cibereum) dan breksi lava atau (Qyt/F.Cikapundung).Tiap satuan, tiap lokasi diperlukan kajian detil pengaruh dan efek yang ditimbulkan khususnya untuk tujuan konservasi airtanah. PUSTAKA 1) Bemmelen, van, 1934, Erupsi G. Tangkubanperahu dan Geologi Regional daerah Bandung Lembar Bandung, skala 1 : ) Brassington, 2000, Field Hydrogrology, International Association of Hydrogeologist publication 3) Birk, S., Liedl, R., dan Sauter, M. (2004): Identification of Localised Recharge and Conduit Flow by Combined Analysis of Hydraulic and Physico-Chemical Spring Responses (Urenbrunnen, SW-Germany), Journal of Hydrology 286. p ) Deptamben, 1979, Data Dasar Gunungapi Indonesia, Deptamben. 5) Dam, M.A.C., 1994, The Late Quaternary Evolution of the Bandung Basin, West Java, Indonesia. 6) Davis, J.C. (1986): Statistics and Data Analysis in Geology, John Wiley & Sons Inc., New York. 7) Distamben Jabar & DTLGKP, 2002, Peta Zonasi Konservasi Air Bawah Tanah Jawa Barat. 8) Domenico, P.A., Schwartz, F.W., 1990, Physical and Chemical Hydrogeology, John Wiley & Son, Inc., New York. 9) Drever, J.I. (1988): The Geochemistry of Natural Waters, Prentice Hall. 10) Freeze, R.A., Cherry, J.A., 1979, Groundwater, Prentice-Hill, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. 11) Galanos, I. dan Rokos, D. (2006): A statistical approach in investigating the hydrogeological significance of remotely sensed lineaments in the crystalline mountainous terrain of the island of Naxos, Greece, Hydrogeology Journal (2006) 14. pp DOI /s ) Hem, J.D. (1980): Hydrochemistry of Natural Waters, USGS Water Supply Papers. 13) IWACO& WASECO, 1989, Reconaissance of Environmental Aspects Related to Groundwater Resources in West Java, Special Report: 24 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (16-26)

29 West Java provincial Water Sources Master Plan for Water Supply, Directorate General of Human Settlement, Ministry of Public Works. 14) IWACO & WASECO, 1990, West Java Provincial Water Sources Master Plan for Water Supply Volume A: Groundwater Resources, Project Report of Cooperative Work between The Government of Indonesia and The Government of Netherlands. 15) Irawan, E., Puradimaja, D.J., Yuwono, Y.S., dan Syaifullah, T.A., 2000, Pemetaan Endapan Bahan Volkanik Dalam Upaya Identifikasi Akifer pada Sistem Gunungapi, Studi Kasus Daerah Pasirjambu Situwangi Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Buletin Geologi, Vol.3, Tahun ) Kim, T., Moon, D.C., Park, W.B., Park, K.H., dan Ko, G.W. (2007): Classification of springs of Jeju Island using cluster analysis of annual fluctuations in discharge variables: investigation of the regional groundwater system, Geosciences Journal, v. 11. n. 4, p ) Kovacs, A. dan Perrochet, P. (2008): A Quantitative Approach to Spring Hydrograph Decomposition, Journal of Hydrology. No pp ) Kusumadinata, K. (ed) (1979): Data Dasar Gunungapi Indonesia, Bandung: Departemen Pertambangan dan Energi. 19) Koesoemadinata, R.P., dan Hartono, D., 1981, Stratigrafi dan Sedimentasi Daerah Bandung, Prosiding Ahli Geologi Indonesia, Bandung. 20) Lattman, L.H. dan Parizek, R.R. (1964): Relationship between fracture traces and the occurrence of groundwater in carbonate rocks, Journal of Hydrology 2. pp ) Le Bas, M.J. dan Streckeisen, A.L., (1991): The IUGS systematics of igneous rocks, J. Geol. Soc. London 148, ) Lloyyd, J.W., 1981, Case Studies in Groundwater Resources Study Evaluation, Oxford University Press, NewYork. 23) Manga, M. (1999): On the Timescales Characterizing Groundwater Discharge at Springs. Journal of Hydrology 219. P ) Marks, 1959, Stratigraphic Lexicon of Indonesia. 25) Marpaung, J, 2003, Mataair dan Analisis Kawasan Imbuhan, Pengaliran dan Luahan Jalur Gunungapi : G.Tangkubanperahu, G. Bukittunggul, G.Burangrang, Tesis Magister, dibimbing oleh : Deny Juanda P dan Soedarto Notosiswoyo, tidak dipublikasikan. 26) Matthes, G., 1981, The Properties of Groundwater, MC.Graw Hill. 27) Mathes, S.E., dan Rasmussen, T.C., (2006), Combination Multivariate Statistical Analysis with Geographic Information Systems Mapping : A Tool for Deliniating Groundwater Contamination, Hydrogeology Journal, Vol 14, No.8, pp ) McPhie, J., Doyle, M.G., dan Allen, R.L. (1993): Volcanic Textures: A guide to the interpretation of textures in volcanic rocks, Hobart: CODES. University of Tasmania ) Melloul, A. dan Collin, M. (1992): The Principal Components Statistical Method as a Complementary Approach to Geochemical Methods in Water Quality Factor Identification; Application to the Coastal Plain Aquifer of Israel. Journal of Hydrology 140, p ) Pacheo, F.A.L. dan Alencoao, A.M.P. (2005): Role of fratures in weathering of solid rocks: narrowing the gap between laboratory and field weathering. Journal of Hydrology 316.p ) Peter J. Sugarman 1, Kenneth G. Miller 2, James V. Browning 2, 2005, Hydrostratigraphy of the New Jersey Coastal Plain : Sequences and facies predict continuity of aquifers and confining units, 2 Dept. of Geological Sciences, Rutgers University, Piscataway, NJ 08854, 3 Delaware Geological Survey,Newark,DE ) Puradimaja, D.J., 1995, Kajian Atas Hasil-Hasil Penelitian Geologi/Hidrogeologi Dalam Kaitan Delineasi Geometri Akifer Cekungan Bandung, Prosiding Seminar Sehari Airtanah Cekungan Bandung 33) Puradimaja, D.J. dan Santoso, D. (2005): Detection of Bribin Underground River Stream Using Bristow Resistivity Method, The Leading Edge, The Society of Exploration Geophysics (SEG). 34) Puradimaja, D.J. (1991): Differenciation hydrochimique et Karakteristik Phisik Airtanah dan Identifikasi Pemunculan Mataair Pada Akuifer.(Bambang Sunarwan) 25

30 isotopique des emergences karstique du Languedoc Roussillon (France). disertasi. Universite Montpellier. tidak dipublikasikan. 35) Repojadi.P, dan Team, 1998, data lapangan dan Analisa laboratorium, Konsevasi Airtanah di Wilayah Kabupaten Dati II Bandung dan sekitarnya, DGTL Bandung 36) Rosadi, Sukrisno dan Wagner, 1993, Kualitas dan Pengendalian Airtanah pada Beberapa Kawasan Cekungan Airtanah Bandung. 37) Silitonga, P.H., 1973, Peta Geologi Lembar Bandung, Jawa Barat, Skala 1: , PPPG-Bandung 38) Sutrisno, 1983, Peta Hidrogeologi Indonesia, Lembar Bandung, Skala 1: , Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung. 39) Shibhasaki, T., and Researh Group for Water Balance, 1995, Environtmental Management of Grondwater Basins, TOKAI UNIVERSITY PRESS, Japan 40) Sunarwan, B., dan Puradimaja, D.J., (1997),Penerapan metoda hidrokimia isotop Oksigen 18 ( 18 O), Deuterium dan Tritium ( 3 H). dalam karakterisasi akifer airtanah sisem akifer bahan volkanik Studi kasus Kawasan Padalarang Cimahi Lembang, Bandung ). Tesis Magister, dibimbing oleh : Juanda.P dan Soedarto Notosiswoyo, tesis S.2, tidak dipublikasi. 41) Sunarwan, B., dan Puradimaja, D.J., 1998, Variasi Kandungan Isotop Oksigen 18 ( 18 O) dan Deuterium ( 2 H) dalam airtanah sebagai Pelacak alami Guna mempelajari Perilaku Airtanah pada Sistem Akifer Volkanik Cimahi- Padalarang Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Prosiding PIT IAGI ke XXVI, Jakarta, ) Sunarwan, B., dan Puradimaja, D.J., (2000), Interpretasi Pola Aliran Airtanah pada Batuan Volkanik dengan Pelacak alami Isotop Stabil 18 O, 2 H dan 3 H. Studi kasus Formasi Cibereum Daerah Padalarang, Cimahi Bandung, Prosiding PIT.IAGI ke XXVII, Bandung, ) Sunarwan, B., dan Puradimaja, D.J., 2001 Study of Controlling Geological Parameter on Groudwater Chemical Facies Study : Tagogapu Padalarang- Jambudipa Areas, Bandung. Prosiding PIT IAGI ke XXIX, Yogyakarta, ) Steinhorst, R.K. Williams, R.E. (1985): Discrimination of Groundwater Sources using Cluster Analysis, MANOVA, Canonical Analysis and Discriminant Analysis, Water Resources Research 21, p ) Zuber, A., Motyka, J., 1994, Matrix Porosity as the Most Important Parameter of Fisured Rocks for Solute Transport at Large Scales, Journal of Hydrology, Vol.158, pp RIWAYAT PENULIS Dr. Ir. Bambang Sunarwan. MT., Staf pengajar Program Studi Teknik Geologi Universitas Pakuan Bogor. 26 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (16-26)

31 KONSEP PENGEMBANGAN STASIUN DEPOK LAMA SEBAGAI KAWASAN TRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT (TOD) Oleh : Budi Arief Abstrak Permasalahan tentang transportasi, diperlukan sebuah penyelesaian untuk memenuhi kebutuhan masyarakat untuk hidup nyaman, bekerja yang produktif dan optimal. Dalam implemntasi dibutuhkan suatu sistem untuk memberikan kemudahan dan pemanfaatan waktu yang relatif cepat terhadap aktivitas untuk sampai ke tujuan. Pada penelitian ini ditujukan untuk menemukan pola tata guna lahan campuran (Mixed Use) di sekitar titik-titik transit dan menemukan faktor-faktor pembentuknya di Kota Depok dan mengetahui sejauh mana pola atau bentuk konsep Transit Oriented Development (TOD) yang sudah ada di Kota Depok. Untuk pendekatan digunakan identifikasi, menganalisis dan memberikan pemecahan masalah melalui pendekatan teoritik dan pendekatan observasi. Pola tata guna lahan campuran (Mixed Use) yang terbentuk di sekitar titiktitik transit sebagian pola terbentuk walaupun tingkat kepadatan di Kota Depok semakin tinggi dan perencanaan yang kurang, faktor- faktor yang mempengaruhi; pertumbuhan penduduk yang tidak dapat dikendalikan dan dan sisitem transportasi yang kurang memadai. Kawasan yang tumbuh disekitar stasiun-stasiun kereta api pada lintas Jakarta-Bogor, kawasan Stasiun Depok Lama (dengan pengguna lahan perumahan, pertokoan, terminal), adalah kawasan secara konsep mengarah kepada konsep TOD. Tetapi kekurangan belum didukung oleh fasilitas akses yang baik dimana konsep TOD lebih meningkatkan fasilitas pergerakan pejalan kaki disekitar kawasan yang tersebut. Kata Kunci : Transit Oriented Development, Mixed Use, Kepadatan Tinggi, Pejalan Kaki 1. PENDAHULUAN Perkembangan Kota Depok yang mana merupakan kota metropolitan, saat ini sudah mengalami perkembangan yang cukup kompleks baik dari sisi penduduk, social, ekonomi, lingkungan, dan terutama sisi transportasinya. Pesatnya pertumbuhan transportasi/ pergerakan yang merupakan imbas dari pertumbuhan penduduk Kota Depok, tidak dapat dipungkiri mengharuskan pemerintah Kota Depok harus dapat memenuhi sekaligus mengatur kebutuhan transportasi/ pergerakan yang tumbuh dari variasi-variasi aktivitas penduduk di kota tersebut. Kebutuhan pergerakan/transportasi yang muncul secara bervariasi di Kota Depok, membutuhkan penanganan/ manajemen sarana prasana dan infrastruktur yang bijak serta representative terhadap perkembangan aktivitas penduduknya. Dengan demikian pengelolaan infrastruktur pergerakan/ transportasi diharapkan dapat memberikan kenyamanan dan kemudahan penduduk Kota Depok untuk melakukan pergerakan/ transportasi. Seiring dengan pertumbuhan aktivitas permukiman di Kota Depok yang terjadi secara sprawl/ acak, menyebabkan bangkitan pergerakan di Kota Depok memiliki pola yang organis/ tidak berpola. Kondisi tersebut ternyata memberikan dampak kemacetan/ tundaan pergerakan yang cukup besar di jalur utama, terutama pada Jalan Utama Margonda Kota Depok. Kondisi padatnya Jalan Margonda Kota Depok dipicu juga oleh variasi model sebaran pusat pusat kegiatan yang cenderung tidak terkelompokkan secara terintergrasi terhadap fasilitas/ utilitas pergerakan (stasiun, halte, terminal, dsb), selain tingkat volume beban lalu lintas yang didominasi kendaraan pribadi yang semakin meningkat tiap tahunnya. Melihat atribut permasahan tersebut, maka perlu ditelaah/ kaji tentang pengelompokan pusat pusat kegiatan (perdagangan/ jasa) Konsep Pengembangan Stasiun Depok Lama Sebagai Kawasan Transit Oriented Development (TOD) (Budi Arief) 27

32 yang terintergrasi terhadap fasilitas transportasi umum/ massal disepanjang Jalan Margonda guna menekan frekuensi dan variasi pergerakan antar zona dengan dominasi kendaraan pribadi pada sepanjang koridor jalan yang dimaksud. Dengan menekan variasi dan frekuensi pergerakan tersebut, diharapkan dapat mereduksi peningkatan beban lalu lintas di sepanjang Jalan Margonda Kota Depok. 2. TUJUAN KONSEP TOD Tujuan dari TOD adalah untuk memperpendek perjalanan dan membuat perjalanan lebih efisien karena semua pusat kegiatan diletakkan di sepanjang jalur angkutan massal sehingga aksesibilitas warga makin tinggi. Hal itu karena struktur bangunannya tidak terlalu lebar, penduduknya cukup (untuk tidak dibilang padat), dan kawasan itu mix use (tidak hanya satu zona): ada zona bisnis, perkantoran, fasilitas umum, dan fasilitas sosial sehingga orang dapat melakukan aktivitas dan mencukupi kebutuhannya dalam kawasan tersebut. Beberapa elemen yang perlu diperhatikan dalam perencanaan TOD adalah adanya tata guna lahan dengan mengkonsentrasikan aktivitas yang terkait dengan angkutan umum, membuat pencampuran tata guna lahan sehingga dapat membuat pergerakan dengan menggunakan angkutan umum dan mendukung angkutan dengan adanya perdagangan, dan adanya kampanye berjalan kaki. Kunci dalam perencanaan transportasi supaya membuat angkutan umum lebih nyaman adalah adanya integrasi tata guna lahan, kepadatan, konektivitas, urban design, akses angkutan umum dan lahan parker (park n ride). Adanya tata guna lahan dengan mengkonsentrasikan aktivitas, membuat pencampuran tata guna lahan sehingga terciptanya keterpaduan antara pusat kegiatan, sistem pergerakan dan transportasi, seperti terminal, pasar, perdagangan dan jasa serta jalur berjalan kaki. Kunci dalam perencanaan TOD adalah adanya integrasi tata guna lahan, penataan kepadatan, konektivitas, urban design, akses angkutan umum dan lahan parkir keterpaduan dengan ruang publik. 3. TAHAPAN PELAKSANAAN TOD Adapun tahapan pelaksanaan TOD dapat sebagai berikut : Tahapan tahapan : Tahap 1 : Memperkuat investasi publik dalam angkutan umum dengan memastikan bahwa pengembangan angkutan umum berpusat pada stasiun Tahap 2 : Mengetahui bahwa area stasiun adalah daerah khusus dan seluruh wilayah yang berada di sekitarnya berkesempatan untuk mengembangkan pembangunn tradisional. Tahap 3 : Mengambil kesempatan yang diberikan oleh angkutan umum untuk mempromosikan TOD sebagai bagian dari strategi manajemen pertumbuhan yang lebih luas Tahap 4 : Rezoning daerah-daerah yang berpengaruh di sekitar stasiun untuk hanya menggunakan moda angkutan umum dalam melakukan perjalanannya Tahap 5 : Fokus pada investasi instansi publik dan upaya perencanaan di daerah stasiun dengan peluang Tahap 6 pembangunan terbesar : Membangun broad-based core untuk mendukung TOD melalui pejabat-pejabat terpilih, staf pemerintah daerah, pemilik tanah, dan lingkungan Tahap 7 : Menyiapkan kerangka kerja mandiri untuk lebih mempromosikan TOD setelah perencanaan selesai. Gambar 1. Konsep Elemen Penting Yang Perlu Diperhatikan Dalam Perencanaan TOD 28 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (27-33)

33 4. METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan metode untuk menjelaskan dalam pelaksanaan penelitian yang menyangkut tentang bahan penelitian, alat penelitian, cara menganalisis temuan di lapangan, serta kendala yang dihadapi selama proses penelitian. 5. PENDEKATAN PENELITIAN Pendekatan yang digunakan untuk identifikasi, menganalisis dan memberikan pemecahan masalah adalah dengan pendekatan teoritik dan pendekatan observasi. a. Pendekatan Teoritik Pendekatan teoritik yang digunakan adalah kajian mengenai konsep sistem Transit Oriented Development yaitu landasan untuk menganalisa suatu kawasan yang memiliki tata guna lahan campuran dan memiliki kepadatan tinggi yang berlokasi dekat dengan titik-titik transit. b. Pendekatan Observasi Pendekatan observasi dilakukan dengan melakukan survey lapangan sebagai bahan penelitian yang dapat digambarkan secara nyata dan konkrit sesuai dengan kondisi dan permasalahan di lapangan untuk pengajuan pemecahan masalah di suatu kota. Pengamatan langsung digunakan untuk mendokumentasikan pola tata ruang disekitar titik-titik transit yang ada di Kota Depok dan sejauh mana konsep TOD sudah diterapkan. 6. BAHAN PENELITIAN Bahan Penelitian adalah variabel-variabel yang diadopsi dari lapangan sebagai elemen yang diangap berpengaruh terhadap permasalahan dan sebagai alat untuk memudahkan dalam penelusuran masalah. Bahan penelitian yang akan diamati difokuskan pada titik-titik transit yang ada di kota Depok, pola tata guna lahan disekitar titik-titik transit, tingkat kepadatan dan pola pemakaian moda transortasi yang mempengaruhi tingkat kemacetan dan kenyamanan pengguna. 7. ALAT PENELITIAN Dalam penelitian ini, alat yang digunakan untuk pengumpulan dan menganalisa data adalah : Peta dan Foto yang terkait dengan titititik transit dan sekitarnya di Kota Depok, alat perekam gambar, alat tulis untuk mencatat fakta lapangan, alat ukur untuk pendimensian objek fisik, Hardware (komputer, printer), software : program yang mendukung dalam penelitian. 8. PELAKSANAAN PENELITIAN Pelaksanaan penelitian dilakukan secara bertahap dengan metoda observasi langsung di lapangan baik dalam pencarian, pengumpulan data sesuai dengan variabel yang dibutuhkan, tahapan tersebut adalah : a. Tahap Persiapan Tahap persiapan adalah tahapan mengenai perijinan survey dilapangan dan pencarian data sekunder dari instansi terkait, menyiapkan peralatan survey lapangan. b. Tahap Pengumpulan Data Tahapan ini adalah dengan survey langsung ke lapangan untuk mendapatkan data primer yang terdiri dari data fisik, studi pustaka sebagai data sekunder yang terkait dengan konsep Transit Oriented Development. c. Tahap Pembahasan dan Analisis Dalam tahap ini data primer atau sekunder yang telah diperoleh di olah untuk menjawab pertanyaan penelitian 9. GAMBARAN UMUM KOTA DEPOK Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat : Lintang Selatan dan Bujur Timur. Kota Depok memiliki luas wilayah 200,29 km2 atau 0,58 % dari luas Provinsi Jawa Barat, berbatasan langsung dengan tiga kabupaten/kota dan dua provinsi yaitu : 1. Sebelah Utara : berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta; 2. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede Kota Bekasi dan Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor; 3. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Bojonggede Kabupaten Bogor; Konsep Pengembangan Stasiun Depok Lama Sebagai Kawasan Transit Oriented Development (TOD) (Budi Arief) 29

34 4. Sebelah Barat : berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Gunung Sindur Kabupaten Bogor; Secara administratif, berdasarkan Perda No 8 Tahun 2008 tentang Pembentukan WilayahmKecamatan di Kota Depok, Pemerintahan Kota Depok yang tadinya terdiri dari 6 Kecamatan dimekarkan menjadi 11 Kecamatan. 10. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsep TOD dapat dibangun di sebuah kawasan yang dianggap sudah mengalami penurunan baik fungsi dan kualitas fisiknya dan harus mengalami proses redevelopment (pembangunan kembali). Selain itu konsep ini juga dapat dilakukan pada infill sites (lahan yang sudah berkembang) maupun new growth areas (lahan pengembangan baru). Konsep TOD ini biasanya memberikan atau menciptakan fungsi-fungsi baru dan perbaikan jaringan sistem transit yang berada dalam kawasan ataupun menciptakan jaringan sistem transit yang baru. Dalam satu pengembangan kawasan TOD terdapat beberapa variabel yang harus ada dalam kawasan, yaitu : 1. Kawasan Pusat Komersial Fungsi komersial pada konsep TOD merupakan bagian inti dari kawasan yang diintegrasikan dengan fungsi transit. Terintegrasinya fungsi transit dan core comercial di kawasan akan dapat menarik orang-orang untuk datang ke kawasan dan menggunakan jasa transit menuju kawasan. Perletakan core comercial yang akan diciptakan harus tetap memperhatikan keseimbangan akan kenyamanan, visibilitas dan aksesibilitas dari pejalan kaki dan kendaraan. 2. Area Hunian Kawasan TOD juga harus dapat memfasilitasi fungsi hunian di sekitarnya. Bangunan yang cocok untuk satu kawasan TOD yang berada di kawasan perkotaan adalah bangunan apartemen mengingat tingginya intensitas di satu kawasan perkotaan. 3. Taman, Plasa dan Bangunan publik Pola pembangunan dari TOD adalah dengan penempatannya yang mudah diakses oleh berbagai fasilitas dan ruang publik. Fungsi ruang publik disini adalah agar dapat memenuhi tuntutan agar ruang publik sebagai tempat bagi masyarakat melakukan interaksi sosial. Selain itu ruang terbuka yang berupa taman dan plasa adalah sebagai pengikat antar massa bangunan. 4. Sistem Transit Lokasi tempat perhentian transit diletakan di bagian pusat dari area TOD yang berdekatan dengan core comercial area. Fungsi komersial tersebut harus dapat dilihat dan diakses dengan mudah dari tempat perhentian transit. 5. Mixed Use Fungsi-fungsi baru yang akan dimasukkan ke dalam kawasan perencanaan adalah fungsi mixed use berupa fungsi komersial (mall, toserba, retail, pkl), fungsi hunian, perkantoran, fasilitas publik dan sosial (stasiun kereta api beserta fasilitasnya, kantor keamanan, mesjid, dan gedung parkir), dll. Tujuan dari penggabungan berbagai fungsi yang ada ke dalam kawasan adalah untuk menciptakan suatu kawasan yang hidup selama 24 jam. Pengawasan dilakukan secara menerus dan bersama oleh aparat keamanan serta para penghuni kawasan, sehingga kemudian keamanan lingkungan dapat tetap terjaga dengan baik. 6. Sistem Jalan dan Sirkulasi. Jaringan jalan harus dapat menciptakan keselamatan serta menyediakan jalur pejalan yang nyaman yang terpisah antara jalur kendaraan dan pejalan. 7. Kebutuhan Parkir Fasilitas parkir dalam kawasan TOD harus memperhatikan : Sesuai dengan kebutuhan kawasan untuk kebutuhan minimum dan maksimum. Perletakan tempat parkir harus terintegrasi dengan jalur pejalan kaki dan jarak tempuh ke bangunan tidak terlalu jauh. Fungsi parkir dapat dilakukan dengan pembagian waktu, dimana waktu siang digunakan untuk parkir fungsi perkantoran dan pada malam hari digunakan sebagai tempat parkir untuk fungsi hunian. 30 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (27-33)

35 8. Jalur Pejalan Kaki Jalur pejalan kaki dibuat untuk menghubungkan fungsi-fungsi yang berada di kawasan sehingga pencapaian dari satu fungsi ke fungsi lain dapat diakses dengan mudah oleh pengguna jalan. Jalurjalur pejalan kaki dibuat dengan nyaman dan memiliki akses langsung ke area-area komersial dan transit. Jalur pejalan kaki juga harus teritegrasi dengan fungsi ruang terbuka dan plasa-plasa. Pada dasarnya konsep TOD (Transit Oriented Development) mempunyai prinsip-prinsip perancangan yaitu : a. Density Kepadatankawasanpengembangan yang terkait denganradius pelayanan titik transitnya. b. Diversity Harus beragamnya fungsi di kawasan (mix-use). c. Design Desain kawasan yang terintegrasi satu dengan lainnya. Gambar 4. Konsep Pola Sirkulasi Kawasan Depok Lama Gambar 5. Konstelasi (Keterkaitan) Kawasan Depok Lama Gambar 2. Konsep Pola Ruang Kawasan Depok Lama Stasiun Di Depok ada beberapa stasiun kereta api; Stasiun kereta api Universitas Indonesia, Stasiun kereta api Pondok Cina, Stasiun kereta api Depok Baru, Stasiun kereta api Depok Lama dan Stasiun Bojonggede. Stasiun kereta api listrik Depok Lama adalah salah satu dari beberapa stasiun kereta api di Depok yang merupakan titik transit. Kesibukan stasiun mulai terlihat kepadatannya antara pagi dan sore menjelang malam hari. Kepadatan bukan hanya terjadi pada sirkulasi pejalan kaki dari titik transit satu ke titik transit yang lain, tapi jenis kendaraan dari sepeda motor, mobil pribadi dan juga angkutan umum. Gambar 3. Konsep Pola Pergerakan Kawasan Depok Lama Terminal Terminal Depok merupakan satu terminal yang melayani angkutan dalam kota maupun ke luar kota, terminal ini mempunyai peran Konsep Pengembangan Stasiun Depok Lama Sebagai Kawasan Transit Oriented Development (TOD) (Budi Arief) 31

36 tinggi bagi masyarakat seperti halnya juga kereta api listrik. Lokasinya yang bersebelahan langsung dengan jalan utama kota depok yaitu jalan margonda raya, sebelah timur terminal depok adalah plaza depok dan perumahan pesona depok sedangkan di selatan terminal depok ITC depok. Perdagangan/Bisnis Pusat Perbelanjaan ITC Depok tergolong masih baru dibandingkan dengan pusat perbelanjaan yang lain, pusat perbelanjaan ini adalah pusat perbelanjaan yang dekat sekali dengan stasiun kereta api depok baru dengan terminal depok, pusat perbelanjaan ini juga mempunyai lahan parkir yang cukup luas di belakang ITC Depok atau besebelahan dengan stasiun kereta depok baru. Pasar Kemiri Muka yang letaknya sebelah utara stasiun dan terminal depok, sebelah timur pasar kemirimuka dalah pusat perbelanjaan mall depok, sirkulasi ke pasar bisanya melewati jl. dewi sartika. Akes menuju pasar kondisi sirkulasi pejalan kaki hampir sama denggan akses stasiun menuju terminal yang kondisinya kalau hujan turun akan banyak genangan air sehingga akses pejalan kaki tidak nyaman lagi. Sistem Jalan dan Sirkulasi Jalan margonda raya adalah jalan utama menuju depok atau menuju ke arah bogor, setiap hari bisa di lihat kepadatan pengguna jalan. Kemacetan jalan utama ini disebabkan kapasitas jalan yang sudah tidak cukup lagi ditambah dengan kurang disiplinya angkutan umum yang berbenti sembarangan, serta pejalan kaki yang tidak menggunakan jembatan penyeberangan. Jarak ideal titik transit satu ke ke titik transit yang lain adalah ± 400, jarak ideal yang bisa ditempuh dengan jalan kaki dan sepeda, radius dari titik pusat stasiun dan terminal mencakup jarak ke utara ± 400 sampai dengan bangunan Mall Depok Sebelah timur ada perumahan pesona depok dan plaza depok sebelah selatan ada bank jabar dan bank bni. Parkir Stasiun dan terminal Sudah dilengkapi khusus dengan area parkir sehingga Tidak banyak lagi parkir yang menggunakan jasa parkir yang disediakan penduduk setempah dirumah-rumah dan halaman, serta ada yang menggunakan area parkir pada pusat-pusat perbelanjaan yang berdekatan dengan titiktitik transit tersebut. Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka di sekitar titik tansit sedikit, bisa dibilang tidak ada, hanya area parkir pusat-pusat perbelanjaan dan area parkir terminal di depan. Itupun tidak berfungsi dengan baik. Beberapa faktor kaitanya dengan pola dan sisitem transit, Pola perkembangan penduduk justru terjadi pada saat ketika hampir setiap kota akan mempunyai instrumen pengendali perkembangan kota dalam bentuk rencana tata ruang kota. Pertanyaan umum yang sering muncul adalah bagaimana sebenarnya peran rencana transit di dalam proses perkembangan pembangunan. Perencanaan kota terlihat tidak saja tidak efektif, tetapi justru cenderung tidak berperan apa-apa di dalam mengarahkan pembangunan perkotaan yang sangat pesat. Tiga permasalahan besar yang dihadapi oleh kawasan perkotaan adalah : Adanya kecenderungan pemusatan kegiatan (over-concentration) pada kawasan-kawasan tertentu; Perkembangan penggunaan lahan yang bercampur (mized-use); dan Terjadinya alih fungsi lahan (land conversion) dari ruang terbuka, lahan konservasi, atau ruang terbuka hijau menjadi kawasan terbangun intensif (permukiman, industri, perkantoran, prasarana). Sedangkan permasalahan besar yang dihadapi oleh kawasan sub urban adalah : 1. Terjadinya pengalihan fungsi kawasan resapan air menjadi kawasan terbangun; 2. Terjadinya pembangunan fisik kawasan secara terpencar (urban sprawl); dan 3. Banyaknya lahan tidur di wilayah sub urban dan wilayah transis. Kemacetan arus lalu lintas yang terjadi di jalan dapat disebabkan oleh banyak faktor, antara lain : Kondisi fisik jalan, seperti kerusan struktur atau kondisi geometri yang kurang memadai, diantaranya lebar dan jumlah jalur yang tidak memadai, persimpangan jalan yang kurang terkontrol dengan baik; Disiplin pengguna jalan yang relatif rendah; Pelayanan ruas jalan yang tidak sesuai dengan fungsi dan peranannya; 32 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (27-33)

37 Lingkungan sepanjang jalan yang kurang mendukung; Lemahnya penegakan hukum (law enforcement); Kondisi lalu lintas, diantaranya peningkatan jumlah kendaraan yang cenderung meningkat. 11. KESIMPULAN Pola tata guna lahan campuran (Mixed Use) yang terbentuk di sekitar titik-titik transit sudah sebagian terbentuk walaupun tingkat kepadatan di Kota Depok semakin tinggi dan perencanaan yang kurang, faktor-faktor yang mempengaruhi; pertumbuhan penduduk yang tidak dapat dikendalikan dan dan sisitem transportasi yang kurang memadai Kawasan yang tumbuh disekitar stasiunstasiun kereta api pada lintas Jakarta-Bogor, kawasan Stasiun Depok lama (dengan pengguna lahan perumahan, pertokoan, terminal), adalah kawasan secara konsep mengarah kepada konsep TOD. Tetapi kekurangan belum didukung oleh fasilitas akses yang baik (misalnya fasilitas pejalan kaki) Kesadaran penggunaan angkutan umum daripada mobil pribadi didukung dengan perbaikan sistem keamanan dan kenyamanan transportasi umum yang didukung pembangunan infrastruktur pejalan kaki yang baik serta ruang terbuka hijau yang baik. PUSTAKA 1]. Boarnet, Marlon and Nicholas Compin. 1999, Transit-Oriented Development in San Diego County. APA Journal. Winter. 2]. Bappeda Kota Depok, 2014, Kajian Transit Oriented Development (TOD) Kota Depok 3]. Cervero, Robert and Peter Bosselmann Transit Villages: Assessing the Market Potential Through Visual 4]. Cervero, Robert California s Transit Village Movement. Journal of Public Transportation. Fall ]. Depan Tata Ruang Kota? Inovasi Online Edisi Vol.7/XVIII 6]. Douglas Porter Transit-Focused Development: A Progress Report. APA Journal. Autumn. 7]. Kramadibrata, Soedjono,2006, Beberapa Pemikiran Pola Pengembangan Transportasi Perkereta apian. 8]. Widayanti. Rina, R.Hari Susanto, 2013, id/publications/files/2140/jurnal TOD pdf PENULIS : Ir. Budi Arief. MT, Staf Dosen Program Studi Teknik Sipil, Fakults Teknik - Universitas Pakuan Bogor Untuk memperbaiki tata guna lahan campuran (Mixed Use) yang terbentuk di sekitar titiktitik transit di Depok perlu dilakukan peningkatan sisitem transportasi, memperbaiki perencanaan perkotaan dan mengendalikan pertumbuhan penduduk di sekitar titik-titik transit. Selain itu juga perlu adanya penambahan fasilitas-fasilitas umum dan infrastruktur pejalan kaki. Konsep Pengembangan Stasiun Depok Lama Sebagai Kawasan Transit Oriented Development (TOD) (Budi Arief) 33

38 ANALISIS KESTABILAN LERENG DI KAWASAN TERRACE SENTUL CITY Oleh : Hikmad Lukman Abstrak Bentang alam pada kawasan Terrace Hill Sentul City Kabupaten Bogor ini berada pada level sd dpl. merupakan kawasan yang berkontur, direncanakan digunakan sebagai kawasan perumahan dengan model Down Hill dan Up Hill. Untuk itu perlu dilakukan pematangan lahan berupa pekerjaan Galian (Cutting) dan Urugan (Fill), sementara karena kondisi lahan berlereng dan macam tanah berupa tanah lanau (silt) berpotensi mengalami kejadian kelongsoran, untuk itu perlu dilakukan pekerjaan perkuatan lereng. Kawasan ini juga berbatasan dengan kawasan perumahan penduduk sehingga perlu dilakukan evaluasi apakah pekerjaan pematangan lahan tersebut tidak mengganggu kawasan milik penduduk setempat. Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis ketabilan lereng menggunakan metoda Splicing dan program plaxis diperoleh bahwa pada kawasan terache hill perlu dilakukan rekayasa kestabilan lereng. Penanganan kawasan perumahan ini dapat penggunakan konstruksi tembok penahan tanah dari pasangan batu kali atau siklop beton, penempatan tumpukan karung yang berisi tanah, pemasangan bronjong atau menggunakan cerucuk bamboo, dolken dan tiang-tiang bor pile. Kata Kunci : Bronjong, Cerucuk Bambu, Tiang Bor Pile, Kestabilan Lereng 1. PENDAHULUAN Bentang alam pada kawasan Terrace Hill Sentul City Kabupaten Bogor ini berada pada level sd dpl. merupakan kawasan yang berkontur, sehingga untuk digunakan sebagai kawasan perumahan dan jalan lingkungan perlu dilakukan pematangan lahan berupa pekerjaan Galian (Cutting) dan Urugan (Fill) dengan melakukan perkuatan lereng. Konsep perumahan menggunakan model Down Hill dan Up Hill Kawasan ini juga berbatasan dengan kawasan perumahan penduduk sehingga perlu dilakukan evaluasi apakah dengan melakukan pekerjaan pematangan lahan tersebut tidak mengganggu kawasan lahan milik penduduk setempat. Maksud dari kegiatan ini adalah adalah mengevaluasi kondisi kestabilan Lereng eksisting, baik pada tanah asli maupun tanah hasil Urugan maupun kestabilan Dalam berdasarkan kondisi lingkungan eksisting, - Bila diperlukan, memperkuat lereng perbatasan antara kawasan lahan perumahan dengan kawasan penduduk. Cara yang dapat digunakan untuk menyelesaikan solusi adalah dengan cara melakukan langkah-langkah perhitungan dimensi DPT berdasarkan tinjauan kestabilan. Lokasi Perencanaan adalah pada Lokasi Terrace Hill Sentul City Kabupaten Bogor. Kawasan Perumahan berupa lereng alam dan buatan yang dibentuk berdasarkan rencana Site Plan perumahan tersebut. Adapun tujuannya adalah melakukan upaya penanganan kondisi lereng buatan/perkuatan lereng agar perumahan yang dibangun pada lokasi tersebut aman terhadap bahaya pergeseran dan penurunan tanah. Upaya penanganan lereng antara lain: - Merencanakan konstruksi DPT berdasarkan tinjauan kestabilan Luar Gambar 1. Site Plan Terrace Hill 34 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (34-38)

39 2. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran Analisis Kestabilan Lereng dan Perkuatan Lereng di lokasi Terrace Hill disesuaikan dengan keperluan dan kondisi lapangan pada Kerangka Acuan Kerja (KAK). Adapun kerangka pemeriksaan struktur dituangkan dalam Gambar 2. Bagan Alir di bawah ini. Indonesia. Alat sondir ini memberikan tekanan konus dengan atau tanpa hambatan pelekat (friction resistance) yang dapat dikorelasikan pada parameter tanah seperti undrained shear strength, kompresibilitas tanah dan dapat memperkirakan jenis lapisan tanah. Dari nilai qc dapat dikorelasikan terhadap konsistensi tanah lempung (Tabel 1.), sementara hubungan antara kepadatan, relative density, nilai N, qc dan Ø dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Hubungan antara konsistensi dengan tekanan konus (Begemann, 1965) Konsistensi Tekanan Undrained qc (kg/cm2) konus Cohesion (t/m2) Very soft < 2.5 < 1.25 Soft 2.5 5, MediumStiff Stiff Very stiff Hard > 40.0 > Tabel 2. Hubungan antara kepadatan, relative density, nilai N, qc dan Ø (Begemann, 1965) Sudut Tekanan Kepadatan Density Geser Nilai N konus, qc Relative (Dr) Dalam (kg/cm2) (⁰) Very loose < 0.2 < 4 < 20 < 30 Loose Medium dense Dense Very dense > 50 > 200 > 45 Gambar 2. Bagan Alir Pekerjaan Analisis 3. TINJAUAN PUSTAKA Untuk menganalisis Kestabilan Lereng dan Perkuatan Lereng di lokasi Terrace Hill diperlukan langkah-langkah peninjauan kondisi eksisting seperti: kondisi lereng, kondisi air saluran, kondisi tanah, yaitu: macam tanah, kedalaman lapisan tanah keras dan parameter tanah yang diperlukan dalam peninjauan kestabilan Lereng. a. Data Tanah Dengan menggunakan data profil tanah diperoleh kesimpulan tentang jenis tanah pada kedalaman tertentu, sehingga dapat dibuat stratifikasi tanah. Pembuatan stratifikasi tanah dapat menggunakan hasil sondir dan Bor Dalam (bor log). SPT (Standard Penetration Test) pada pekerjaan Boring dalam pada setiap interval tertentu digunakan untuk menentukan konsistensi atau density tanah di lapangan. SPT dapat dikorelasikan dengan : Konsistensinya, Kuat geser tanah, Parameter konsolidasi, Relatif density, Daya dukung pondasi dan Penurunan. Korelasi antara N- SPT dengan relative density dan sudut geser dalam telah ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai SPT dan properties tanah berdasarkan Standard Penetration Test (sumber: Terzaghi & Peck) SAND CLAY Nilai N SPT Relative Nilai N Density SPT Konsistensi 0 4 Very Loose < 2 Very Soft 4 10 Loose 2 4 Soft Medium 4 8 Medium Dense 8 15 Stiff > 50 Very Dense Very Stiff Alat sondir atau Duch Cone Penetrometer Test (CPT) merupakan alat penyelidikan tanah yang paling sederhana, murah, praktis dan sangat popular digunakan di Analisis Kestabilan Lereng Di Kawasan Terrace Sentul City (Hikmad Lukman) 35

40 3.1. Kestabilan Dinding Penahan Tanah (DPT). Teori dan rumus yang digunakan dalam perhitungan kestabilan talud mengikuti aturan yang sudah ditetapkan. Semua kestabilan yang ditinjau harus memenuhi angka keamanan yang dipersyaratkan. a. Faktor keamanan terhadap Guling: FK guling = M lawan guling/mguling 2 b. Faktor keamanan terhadap Geser: FK Geser = Flawan geser/fgeser 1,5 c. Faktor Keamanan terhadap Daya Dukung; FK daya dukung 3 d. Faktor Kemanan terhadap Kestabilan Lereng: FK kestabilan lereng 1, Kondisi Lapangan Kondisi lapangan dan hasil survei dilakukan sebagai dasar dalam menentukan kedudukan, kedalaman dan ketinggian lereng. Potongan melintang lahan Terrace Hill dapat dilihat pada Gambar 3. berikut ini. Sementara Hasil penyelidikan tanah dapat dilihat pada lampiran Dokumen Perencanaan Tegangan Bahan Tegangan bahan yang terjadi pada bahan konstruksi DPT berupa penentuan tegangan Lentur dan tekanan Normal tekan, kemudian dihitung besarnya tekanan geser bahan. Semua tegangan bahan yang terjadi harus lebih kecil dari tegangan ijin bahan yang digunakan Sistem Drainase Sistem drainase pada DPT diperlukan untuk mengalirkan air yang mengalir dibawah permukaan tanah dibelakang DPT agar supaya air tidak memberi tegangan tambahan pada struktur DPT. Bahan yang digunakan adalah, pipa PVC, injuk dan bahan lolos air seperti pasir dan kerikil. 4. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Metodologi Model Pendekatan Analisis Kestabilan Lereng dan Perkuatan Lereng di lokasi Terrace Hill Sentul City disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan. Areal tanah dilokasi berupa bentang alam yang berkontur. Untuk perkiraan kestabilan lereng, diperlukan data penyelidikan tanah berupa penentuan kedudukan tanah keras dan uji di laboratorium. Perencanaan DPT dilakukan dengan peninjauan kestabilan Guling, Geser, Daya Dukung, dan stabilitas lereng. Gambar 3. Potongan Melintang Lereng (Lokasi 5 dan 6). 5. PERHITUNGAN, ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1. Perhitungan Tinjauan kestabilan Lereng dan perkuatan lereng dilakukan pada beberapa lokasi yang tertera pada potongan melintang hasil pengukuran Kontur. Bahan DPT menggunakan pasangan batu belah adukan 1:4, sementara peninjauan kestabilan lereng ditinjau berdasarkan kondisi tanah di belakang dinding berupa tanah urugan Analisis Analisis perkuatan lereng dilakukan untuk peng besarnya faktor keamanan kestabilan 36 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (34-38)

41 lereng di lokasi 5 dimana di belakang lereng berupa tanah urugan buatan. Kondisi rencana permukaan lahan pada perumahan Terrace Hill, kedalaman tanah keras dan besarnya nilai parameter tanah dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Parameter Tanah, Kedalaman Tanah Keras Dalam Sumber Test Tanah : - PT. Soilfound Sakti - PT Purnajaya Engineering Modelisasi konstruksi Dinding Penahan Tanah disajikan pada Gambar 4. Hasil perhitungan besarnya kestabilan tanah menghasilkan: faktor keamanan guling = 1,83; geser = 1,72; dan Keamanan daya dukung = 2,1 Gambar 5. Model Kestabilan Lereng di lokasi 5 Hasil keluaran program Plaxis berupa Deformasi tanah (Gambar 6) dan total displacement (Gambar 7). Gambar 6. Deformasi Tanah (Program Plaxis) Gambar 4. Potongan melintang DPT di lokasi 5 Untuk analisis kestabilan lereng, digunakan metoda Felliinius yang kemudian dibandingkan dengan analisis kestabilan lereng menggunakan Program Plaxis (Gambar 5). Hasil keduanya menunjukkan hasil yang mirip sama bahwa kestabilan lereng dalam kondisi yang tidak aman (FK = 0,91), sehingga perlu ada perkuatan lereng. Gambar 7. Total Displacement (Program Plaxis) Kondisi lereng alam atau buatan dapat distabilkan dengan cara meningkatkan nilai kohesi tanah dan sudut geser dalam tanah. Cara meningkatkan kedua parameter tersebut dapat berbeda tergantung kondisi pembentukannya, yaitu pada lereng hasil galian (cutting) dan lereng rencana urugan (fill). Analisis Kestabilan Lereng Di Kawasan Terrace Sentul City (Hikmad Lukman) 37

42 Untuk kondisi lereng alam/tanah asli, peningkatan kedua parameter tanah tersebut dapat menggunakan cerucuk bambu, dolken atau tiang pancang atau tiang bor, kemudian untuk mengurangi gerusan air limpasan dapat menggunakan penanaman rumput/pohon atau pemasangan grassblok atau geotexstile membran. Untuk kondisi lereng buatan, dimana lereng buatan sudah terbentuk, maka penanganannya mirip dengan pada kondisi lereng alam/tanah asli, sementara bila lereng buatan belum terbentuk, maka peningkatan kedua parameter tanah tersebut dapat menggunakan pemasangan bronjong batu belah atau tumpukan karung berisi tanah atau tumpukan karung tersebut dimasukan kedalam Beronjong kawat atau geotexstile. Contoh kasus pada lokasi 5 potongan 1, dimana setelah lereng dipasang oleh beronjong batu kali dan karung berisi tanah, kestabilan Lereng pada kondisi jenuh air meningkat dengan meningkatnya nilai faktor keamanan lereng menjadi >1,5. 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Berdasarkan analisis kestabilan lereng pada lokasi di Terrace Hill, diperoleh kesimpulan bahwa pada lokasi 5 perlu dilakukan perkuatan lereng dengan indikator besarnya Faktor keamanan kelongsoran kurang dari 1,5. 2. Perkuatan lereng dapat menggunakan bronjong kawat (Macaferi) yang diisi batu pecah atau tumpukan karung berisi tanah, atau menggunakan tiang bor D30 atau cerucuk dolken Saran 1. Untuk jangka panjang, pada lahan lahan yang bebas dari lahan perumahan, kestabilan lahan dapat dilakukan dengan penanaman rumput atau pohon, grassblok, Soak Creed atau dengan pemasangan geomembran. 2. Perlu pengkajian lebih lanjut mengenai pemilihan bahan untuk perkuatan lereng. 3. Pada saat pelaksanaan pekerjaan DPT, penggalian dasar pondasi sebaiknya digali dengan panjang bertahap dengan atau pemasangan tumpukan karung berisi tanah kemudian dipasang pasangan batu kali untuk menghindari keruntuhan lokal. DAFTAR PUSTAKA 1]. Bishop, A.W. (1955): The Use of the Slip Cirrcle in stability analysisi of slopes,: Geotechnique, ol. 5 No.1, pp ]. Coduto D.P, Yeeung MR, Kitch: Geotechnical Engineering, Principles and Practice, Second Edition, ]. Lambe, W.T. and R.. Whitman (1969): Soil Mechanics, john Wiley and Sons 4]. Taylor, D.W. (1966): Fundamentals of Soil Mechanics, Secon Printing, john Wiley & Sons, Inc., New York 5]. Sowers, G.f. (1979): Introductory Soil Mechanics and Foundations: Geotechnical Engineering, Fourth Edition, MacMillan Publishing Company, Inc., New York. PENULIS : Ir. Hikmad Lukman, MT. Staf Dosen Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Pakuan, Bogor. 38 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (34-38)

43 MICROSTRIP ANTENA PADA FREQUENSI 9GH FREQUENSI APLIKASI RADAR Oleh : Herry Satria Utama Abstrak Indonesia adalah Negara kepulauan yang tersusun dari pulau besar dan sejumpah pulau kecil yang letaknya sangat strategis.letak geografis Indonesia menyebabkan harus ada pengamanan dan pengawasan wilayah perairan yang memerlukan aparat petugas dan kapal.kapal TNI_AL 117 buah dan 77 kapal diantaranya berusia 21-0 tahun.perbandingan jumlah kapal terhadap luas wilayah perairan Indonesia 1:72 ribu km 2.Dengan kondisi itu tidak semua daerah perairan Indonesia dapat diawasi, akibatnya sering adanya pencurian ikan di wilayah Indonesia, perampokan dan penyelundupan. Selain itu sering adanya pencurian ikan di wilayah Indonesia seperti halnya pulau sipadan dan ligitan yang akhirnya menjadi wilayah Malaysia. Untuk mengatasi masalah diatas, dirancanglah antenna radar. Kata Kunci : Antena Radar 1. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia yang terdiri dari lebih 17 ribu pulau dengan 2/3 wilayah terdiri dari lautan memerlukan pengawasan dan pengamanan ekstra tinggi sehingga pihak pihak asing tidak melakukan perbbuatan yang merugikan pihak Indonesia seperti pencurian ikan, perampokan (pembajakan kapal), perdagangan illegal dan pelanggaran batas wilayah sehingga mengakibatkan konflik seperti halnya pulau Sipadan dan pulau Ligitan. Pengawasan dan pengamanan wilayah Indonesia oleh TNI POLRI dapat ditingkatkan dengan menggunakan radar yang andal yang dipasang disepanjang garis pantai wilayah Indonesia. Dan kapalkapal nelayanindonesia memerlukan radar untuk kemudahan navigasi sehingga tidak melanggar wilayah Negara lain serta mencegah tabrakan dengan kapal lain. Antenna mikrostrip mempunyai keunggulan karena memiliki ukuran kecil, ringan dan kompetibel dengan rangkaian terintegrasi. Antenna ini memiliki bentuk seperti doard yang beukuran kecil, sesuai dengan substrat dan frekuensi yang digunakan relative ringan dan cukup kuat walaupun demikian antenna microstrip mempunyai kekurangan, yaitu bandwith yang sempit, efisiensi daya yang rendah dan tingginya rugi-rugi daya akibat polarisasi silang. 2. DASAR TEORI 2.1. Antena Antena dalam perangkat dalam komunikasi nirkabel berfungsi mengubah sinyal listrik (volt ampere) menjadi medan listrik dan magnet yang dapat merambat di udara sehingga dapat menerima gelombang radio kemudian meradiasikannya ke ruang bebas (free space) atau sebaliknya. Berdasarkan IEEE Standard Definitions of Terms for Antenna (IEEE Std ), antena didefinisikan sebagai sesuatu untuk meradiasikan atau menerima gelombang radio [13]. Antena merupakan terminal akhir pada sisi transmitter sebagai perangkat yang berfungsi meradiasikan sinyal informasi dari sumber dalam bentuk gelombang RF (Radio Frequency) dan merupakan terminal pertama yang menerima gelombang RF yang membawa sinyal informasi di dalamnya pada sisi penerima (receiver). Plot medan elektromagnetik yang diradiasikan oleh antena akan dijelaskan pada gambar 2.1 [15]: Microstrip Antena Pada Frequensi 9GH Frequensi Aplikasi Radar (Herry Satria Utama) 39

44 didefinisikan sebagai fungsi matematis atau sebuah representasi grafik dari radiasi antena sebagai sebuah fungsi dari koordinat ruang. Pada umumnya, pola radiasi ditentukan pada daerah far-field dan direpresentasikan sebagai suatu fungsi koordinat arah. Pola radiasi ini ditunjukkan dengan lobes dimana terdapat bagian yang disebut sebagai main/major (utama), side (samping), serta back (belakang) [16]. Gambar 2.1. PlotMedan Elektromagnetik yang Diradiasikan oleh Antena Antena memiliki beberapa parameter yang menentukan performansi kerja dari antena tersebut.parameter-parameter tersebut antara lain frekuensi kerja, bandwith, impedansi masukan, return loss, pola radiasi, beamwidth, gain, dan directivity Parameter Antena Antena bekerja dengan normal pada daerah medan jauh dari antena tersebut, karena pada daerah ini hanya terdapat energi radiasi dari antena tanpa dipengaruhi medan reaktif dari antena yang nilainya relatif terhadap jarak seperti pada gambar 2.2 [14]: Beamwidth, atau yang lebih sering digunakan yaitu half power beamwidth (HPBW) yaitu sudut dimana amplitudo dari Majorlobe berkurang separuhnya. Main/major lobe adalah radiasi yang memiliki arah radiasi maksimum sedangkan side lobe dan back lobe merupakan bagian dari minor lobe yang keberadaannya tidak diharapkan. Pola radiasi ini menunjukkan medan radiasi antena yang terdiri dari medan listrik dan medan magnetik. Representasi pola radiasi dapat dilihat pada gambar 2.3 [17]: Gambar 2.3. Representasi Pola Radiasi Gambar 2.2. Daerah Radiasi Antena Daerah medan jauh ini dapat dinyatakan dengan persamaan 2.1 di bawah [14] : R > 2 D... (2.1) Pola radiasi dapat dibedakan menjadi tiga yaitu : 1. Pola Isotropik Antena Isotropik disebut sebagai antena tanpa rugi-rugi yang mempunyai radiasi sama besar ke setiap arah. Gambar 2.4 menunjukkan pola radiasi isotropik [29] : Dimana D adalah dimensi terbesar dari antena, dan λ adalah panjang gelombang dari antena. Radiasi yang dihasilkan antena akan memiliki pola tertentu dan pola ini akan berbeda untuk jenis antena yang berbeda. Pola radiasi antena Gambar 2.4. Pola Radiasi Isotropik 40 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (39-49)

45 2. Pola Directional Antena yang memiliki pola radiasi directional atau searah dapat menerima radiasi elektromagnetik secara efektif pada arah-arah tertentu saja.pola radiasi directional dapat dilihat pada gambar 2.5 berikut [29] : Gambar 2.5. Pola Radiasi Direksional 3. Pola Omnidirectional Pola radiasi ini dibentuk dengan penggabungan pola dari dua bidang yang saling orthogonal dimana pola pada salah satu bidang tidak terarah sedangkan pola pada bidang lainnya merupakan pola terarah. Pada gambar 2.6 menunjukkan pola radiasi omnidirectional [29] : merupakan nilai perbandingan dari daya yang diradiasikan oleh antena dibandingkan dengan daya yang masuk ke antena [14], atau dapat dinyatakan sebagai hasil perkalian antara directivity dengan efisiensi dari antena, dengan menggunakan persamaan 2.3 [14] : 4 4A eff G D * eff * 2 eff...(2.3) 2 Dimana : G : Gain antena (db) A : Area dari permukaan antena (meter) η eff : Efisiensi radiasi dari antena A eff : Area efektif dari antena (meter) Nilai gain akan selalu lebih kecil dari nilai directivty, karena pada antena terdapat rugirugi transmisi dan ketidaksesuaian impedansi antara saluran pencatu dan antena yang menyebabkan tidak semua daya yang masuk ke antena dapat diradiasikan. Nilai efisiensi dari antena dapat dinyatakan dengan menggunakan persamaan 2.4 [14] : Rr eff...(2.4) Rr Rl Dimana : R r : Tahanan radiasi (Ω) : Tahanan rugi (Ω) R l Gambar 2.6. Pola Radiasi Omnidireksional Pengarahan (directivity) dari antena didefinisikan sebagai perbandingan (rasio) intensitas radiasi pada sebuah antena pada arah tertentu dengan intensitas radiasi ratarata pada semua arah. Keterarahan ini dapat dihitung menggunakan persamaan 2.2 di bawah ini [18] : U 4 D...(2.2) U 0 P rad Dimana : D : Keterarahan (db) U : Intensitas Radiasi (rad) U 0 : Intensitas Radiasi pada sumber isotropic (rad) : Daya total radiasi (rad) P rad Keterarahan dapat diartikan sebagai pengukuran dari intensitas radiasi dari antenasebagai fungsi arah [14]. Gain Agar daya yang diradiasikan oleh antena dapat optimal, maka impedansi sumber harus sama dengan impedansi dari antena.jika impedansi dari antena dengan sumber isotropik tidak sesuai maka sebagian dari daya yang akan dipantulkan kembali akan membentuk gelombang berdiri, nilai dari gelombang berdiri yang terbentuk dapat dihitung dengan menggunakan koefisien refleksi (Γ), yang dapat dinyatakan seperti pada persamaan 2.5 [14] : Z L Z 0...(2.5) Z L Z 0 Dimana : Z L : Impedansi beban (Antena) (Ω) Z 0 : Impedansi karakteristik (Ω) VSWR (Standing Wave Ratio) adalah perbandingan antara amplitude gelombang berdiri (standing wave) maksimum ( V max ) dengan minimum ( V min ).VSWR tersebut juga memiliki korelasi dengan koefisien refleksi. Hal ini dapat dilihat pada persamaan untuk memperoleh VSWR, yaitu [14]: Microstrip Antena Pada Frequensi 9GH Frequensi Aplikasi Radar (Herry Satria Utama) 41

46 V VSWR= V max min 1...(2.6) 1 Pada prakteknya, kondisi matched sulit sekali dicapai. Kondisi tidak matched ini menyebabkan tidak semua daya dari sumber (generator) diterima oleh beban, sehingga ada daya yang dikembalikan/dipantulkan. Adanya rugi-rugi yang dihasilkan ini disebut sebagai Return Loss dan dirumuskan menggunakan persamaan 2.7 : RL = Log Γ...(2.7) Nilai return loss yang sering dijadikan acuan adalah 10 db sehingga VSWR < 2 atau dapat diartikan bahwa daya yang dipantulkan tidak terlalu besar dibandingkan daya yang dikirimkan atau terjadi kesesuaian antara antena dan saluran transmisi (matching). Bandwidth pada suatu antena didefinisikan sebagai rentang frekuensi dimana performa antena sesuai dengan standar yang ditetapkan.untuk menentukan frekuensi kerja yaitu dengan impedance bandwidth dimana frekuensi kerja berdasarkan karakteristik impedansi atau return loss sehingga rentang frekuensi kerja didapatkan ketika memiliki nilai return loss di bawah 10 db. Rentang frekuensi yang menjadi bandwidthakan dijelaskan pada gambar 2.7 [19]: memenuhi kebutuhan tersebut.pada umumnya, miniaturisasi dimensi antena planar dilakukan dengan menggunakan material substrat yang memiliki permitivitas dielektrik yang tinggi. Namun, penggunaan material dengan permitivitas dielektrik yang tinggi mengakibatkan meningkatnya gelombang permukaan pada material yang dapat menurunkan kinerja parameter antena, di antaranya returnloss, gain, dan pola radiasi. Salah satu cara untuk miniaturisasi dimensi antena adalah menggunakan bahan metamaterial. Metamaterial merupakan material yang tidak tersedia di alam yang memiliki sifat permitivitas ( ) dan atau permeabilitas () negatif tetapi dapat direkayasa. Nilai permitivitas yang terdapat di ruang bebas ( 0 ) bernilai 8,85 x (F/m) [23]. Perbandingan antara permitivitas pada material dengan permitivitas ruang hampa menghasilkan konstanta dielektrik relatif ). ( r Sedangkan pada permeabilitas disebut sebagai ukuran dari parameter magnet yang terjadi pada sebuah material sebagai respons yang ditimbulkan terhadap medan magnet yang mengenainya. Di dalam teori elektromagnetik medan magnet dinamai dengan(h)yang merupakan representasi adanya pengaruh fluks magnet (B) terhadap perpindahan dipol dan perubahan arah pada dipol magnet. Gambar 2.7. Rentang Frekuensi Bandwidth Dengan melihat gambar 2.7 bandwidthyang dapat dicari dengan menggunakan persamaan 2.8 di bawah ini [19] : BW= f 2- f 1...(2.8) Dimana : f 2 : Frekuensi tertinggi (Hz) f 1 : Frekuensi terendah (Hz) f c : Frekuensi tengah (Hz) 2.3. Miniaturisasi Antena Perkembangan komunikasi bergerak dewasa ini menuntut perangkat dengan dimensi yang kecil, ringan, dan kompak.sehingga diperlukan miniaturisasi perangkat untuk Hubungan antara medan magnet dan fluks magnet disebut permeabilitas yang dinyatakan sebagai perbandingan antara medan magnet (H) dengan fluks magnet (B).Permeabilitas yang terdapatpada ruang hampa ) memiliki nilai 4π x 10-7 H/m. 42 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (39-49) ( 0 Perbandingan antara permeabilitas sebuah material terhadap permeabilitas ruang hampa menghasilkan permeabilitas relatif ). ( r Sebagian besar materialyang tersedia di alam memiliki nilai permitivitas dan permeabilitas positif yang disebutdouble positive (DPS), sebaliknya jika keduanya memiliki nilai negatif disebut double negative (DNG). Bahan-bahan tersebut kemudian dibagi lagi ke dalam beberapa kategori yaitu mu negative (MNG) dan epsilon negative(eng). Gambar

47 2.8 dijelaskanberupa klasifikasi material yang dipengaruhioleh permitivitas dan permeabilitas [24] : Gambar 2.9. Gelombang Elektromagnetik Pada gelombang elektromagnetik terdapat arah medan magnet dan medan listrik yang terpolarisasi pada sudut yang berhubungan dengan arah propagasi. Gambar 2.8. Klasifikasi Material Pada kuadran I, ( >0 dan μ >0), yaitu material double positive (DPS) yang memiliki nilai permitivitas dan permeabilitas positif yang merupakan jenis material yang tersedia di alam sebagai dielektrik. Pada kuadran II, ( <0 dan μ >0) material jenis epsilon negative (ENG) dengan permitivitas kurang dari nol dan permeabilitas lebih dari nol. Jenis dari material ini adalah plasma. Sedangkan kuadaran III, (ε <0 dan μ <0) material double negative (DNG) material jenis ini tidak tersedia di alam dengan nilai permitivitas dan permeabilitas kurang dari nol. Ketika gelombang tersebut memasuki suatu bahan material, yang terjadi adalah medanmedan gelombang saling berinteraksi dengan muatan-muatan dari atom dan molekul yang mengubah struktur material dan mengakibatkan bergerak. Jenis material yang digunakan pada penelitian ini adalah material (MNG) karena memiliki permeabilitas yang tinggi pada frekuensi kerja tertentu serta tidak menyerap gelombang permukaan yang menurunkan efisiensi dari parameter antena seperti gain dan bandwidth. Sifat pada material (MNG) sangat diperlukan karena dapat mereduksi dimensi dan mampu menekan gelombang permukaan sehingga diperoleh perbaikan gain dan bandwidth. MNG memiliki beberapa jenis struktur, antara lain Split Ring Resonator (SRR) dan Spiral Resonator (SR) seperti yang ditunjukkan oleh gambar 2.10 [10] : Kuadran IV yaitu mu negative (MNG) (ε >0 dan μ <0) material ini menunjukkan magnetic plasma yang memiliki permitivitas lebih besar dari nol dan permeabilitas kurang dari nol. Dari keempat kuadran yang diterangkan pada gambar 2.8, (ENG), (DNG), dan (MNG) merupakan bagian dari metamaterial yang tidak tersedia di alam. Dibawah ini dijelaskan rambatan dari suatu gelombang elektromagnetik seperti pada gambar 2.9 di bawah ini [25]: Gambar Struktur MNG (a) Struktur Split Ring Resonator (SRR); (b) Struktur Spiral Resonator (SR) Pada penelitian ini yang digunakan adalah struktur Spiral Resonator (SR). Struktur patch (SR) sebagai inklusi magnetik tiruan karena memiliki faktor reduksi dimensi antena yang lebih besar [31] Microstrip Antena Pada Frequensi 9GH Frequensi Aplikasi Radar (Herry Satria Utama) 43

48 2.4. Antena Planar Antena planar merupakan salah satu jenis antena yang mempunyai bentuk seperti bilah atau potongan yang mempunyau ukuran yang sangat tipis/kecil. Pada gambar 2.11 menjelaskan bentuk antena planar [17]: Gambar Pola Dasar Antena Planar Dalam bentuk dasar, seperti yang digambarkan pada Gambar 2.11 antena planar terdiri atas tiga lapisan, yaitu patch pada bagian paling atas dimana pada Gambar 2.11 digambarkan dengan warna kuning, substrat dielektrik digambarkan dengan warna putih, dan ground plane pada bagian dasar antena. a. Conducting Patch Patch terbuat dari bahan logam metal yang memiliki ketebalan tertentu. Jenis logam yang digunakan adalah bahan tembaga atau copper dengan konduktivitas sebesar 5,8 x 10 7 S/m. Elemen patch berfungsi dalam meradiasi gelombang radio yang nantinya dipancarkan kembali ke udara bebas. Besar, panjang, lebar, maupun radius dapat mempengaruhi frekuensi kerja antena. Elemen patch(peradiasi) dapat dibuat dalam berbagai bentuk seperti persegi panjang (rectangular), persegi, (square), circular, elips, segitiga, dan circularring. Pada gambar 2.12 di bawah memperlihatkan jenis patch dari antena planar [17]: antena seperti bandwidth, gain, return loss, dan pola radiasi. Penggunaan bahan dielektrik yang berbeda akan mempengaruhi perhitungan pada pengukuran antena secara keseluruhan. Bahan dielektrik yang digunakan memiliki nilai konstanta dielektrik 3,79< r <12 [18].Semakin tebal suatu substrat maka bandwidth yang dihasilkan akan semakin meningkat, namun dapat mengakibatkan terjadinya gelombang permukaan (surface wave) dan mengurangi daya masukan yang diterima oleh sebuah antena dalam meradiasikan gelombang elektromagnetik ke udara bebas (free space) sesuai arah yang ditentukan. c. Ground plane Groundatau pentanahan berfungsi sebagai reflectordari gelombang elektromagnetik. Bahan dari ground sama-sama menggunakan logam tembaga seperti pada elemen patch Dimensi Antena Dalammencari bentuk dimensi antena terlebih dahulu harus mengetahui parameter bahan yang digunakan seperti tebal substrat (h), konstanta dielektrik / r, tebal konduktor (t), dan rugi-rugi yang dimiliki oleh bahan. Setelah parameter bahan ditentukan selanjutnya menghitung panjang antena planar untuk mengetahui nilai bandwidth agar sesuai. Jika panjang antena terlalu pendek maka berpengaruh terhadap nilai bandwidth yang sempit.jika terlalu panjang maka bandwidth semakin lebar, namun berakibat terhadap efisiensi radiasi menjadi lebih kecil. Gambar Jenis Patch pada Antena Planar b. Substrat dielektrik Substrat merupakan bahan dielektrik yang membatasi antara patch (peradiasi) denganground (pentanahan). Substrat dapat digolongkan berdasarkan konstantadielektrik ( r ) dan ketebalan (h) yang dapat mempengaruhi kinerja dari Dengan mengatur lebar dari antena (w), maka nilai impedansi masukan juga akan berubah. Untuk mengetahui panjang dan lebar antena planar dapat menggunakan persamaan 2.9berikut [17] : c w=...(2.9) r 1 2 f 0 2 Dimana : w : Lebar konduktor (mm) r : Konstanta dielektrik relatif (V/m) c : Kecepatan cahaya di ruang bebas (3x Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (39-49)

49 f 0 m/s) : Frekuensi kerja antena (MHz) Sedangkan untuk menentukan panjang patch antena (L) diperlukan parameter L yang merupakan pertambahan panjang dari L ( L) akibat adanya fringing effect. Pertambahan panjang dari L ( L) tersebut dirumuskan dengan persamaan 2.10 [17] : L = 0,412 h w r 0,3 0,264 eff h w 0,258 0, 8 reff h... (2.10) Dimana h merupakan tebal substrat dan ( reff ) adalah konstanta dielektrik efektif yang dirumuskan menggunakan persamaan 2.11 yaitu [17] : r eff = ( r 1) ( r 1) 1...(2.11) 2 2 h 112 w Dimana : : Konstanta dielektrik relatif efektif h w r r eff bahan substrat (V/m) : Konstanta dielektrik relatif (V/m) : Tebal substrat (mm) : Lebar konduktor (mm) Dengan panjang patch (L) menggunakan persamaan 2.12 [17] : L = L eff - 2 L...(2.12) dimana L eff merupakanpanjangpatch efektif yang dapat dirumuskan dengan persamaan 2.13 berikut [17] : c L eff =...(2.13) 2 f 0 r eff Untuk menghitung nilai dari saluran pencatu dilakukan dengan menghitung lebar dan panjang inset feed. Lebar saluran pencatu (w 0) untuk w 0< 2 menggunakan persamaan 2.14 [20] : w A e w ; 2 h A e 2...(2.14) Sedangkan untuk w 0 >2, persamaan 2.15 adalah [20] : w = 0 (2.15) h r 1 0,61 B 1 ln(2b 1) (ln( B 1) 0,39 ) 2 r r Dengan nilai A dan B didapat dengan persamaan 2.16 dan 2.17 yaitu[20] : A = Z 0 60 B = 377 2Z0 r r 1 r 1 0, 11 (0,23...(2.16) 2 1 r...(2.17) Dimana : Z 0 : Impedansi karakteristik (50 Ω) : Konstanta dielektrik relatif (V/m) r 2.6. Teknik Pencatuan Saluran Mikrostrip Teknik pencatuan digunakan untuk menghasilkan radiasi baik secara kontak langsung maupun tidak langsung. Terdapat dua jenis metode pencatuan, yaitu: Contacting(direct feeding)dan Noncontacting(Electro-magnetically Coupled) atau biasa disebut Proximity coupled feeding. Saluran mikrostrip ini dibuat menggunakan dua tumpukan substrat dielektrik. Pada patch peradiasi terletak dengan posisi sebidang dengan substrat paling atas (layer pertama) dan untuk feeding atau pengumpan terletak sebidang dengan substrat pada layer kedua. Pencatuan ini dikopel secara elektromagnetis yang juga secara tidak langsung dibatasi oleh substrat dielektrik Teknik pencatuan Electro-magnetically Coupled (EMC) bertujuan untuk mengurangi radiasi yang tidak diinginkan serta memperbaiki bandwidth tanpa rangkaian matching tambahan [21]. Selain memiliki kelebihan dengan memperluas bandwidth, pencatuan ini memiliki kelemahan yaitu dibutuhkan ketepatan saat mendesain bagian atas dan bawah pada layer agar dapat terkopel dengan baik [22]. Gambar 2.10 merupakan pencatuan dengan Proximity coupled feeding seperti dibawah ini[19] : r Microstrip Antena Pada Frequensi 9GH Frequensi Aplikasi Radar (Herry Satria Utama) 45

50 2 k Gambar 2.13 Proximity Coupled Feeding 2.7. Antena Planar Array Salah satu teknik untuk meningkatkan performansi dari antena planar yaitu dengan mendesain antena array.antena array biasanya didesain untuk mencapai spesifikasi yang tidak dapat dicapai menggunakan antena satu elemen seperti bentuk pola radiasi tertentu, besar gain, dan lainnya. Selain itu antena array juga biasa digunakan jika antena membutuhkan pergeseran beam ke arah tertentu. Salah satu masalah pada antena array yaitu mutual coupling, adanya mutual coupling antar elemen dari antena dapat mengurangi effisiensi dari antena yang akan berimbas pada menurunnya gain absolut dari antena. Pengurangan effisiensi dari antena ini terjadi karena adanya gelombang permukaan yang terjadi antar elemen yang mengakibatkan hilangnya sebagian daya dari antena.cara untuk mengurangi mutual coupling yaitu dengan mengatur jarak antar elemen sebesar setengah lamda [27], selain itu dapat juga digunakan metamaterial dan Defeat Ground System (DGS) yang dibentuk dan diletakkan sedemikian rupa di antara elemen-elemen array [28]. Pola radiasi antena array lebih besar pada arah tertentu dan lebih kecil pada arah yang lain. Pola radiasi dari antena F(θ) dari suatu antena array merupakan perkalian antara faktor dari tiap elemen Fe (θ) dan array faktor dari antena Fa (θ), seperti dinyatakan pada persamaan 2.18 [18]: F( ) Fe ( ) F ( ) a Sedangkan nilai array factor (AF) dapat dihitung sebagai berikut [18] : AF N A n 1 n-1 exp(j(n -1).2.19 kd cos Dimana : β : phase eksitasi pada masing-masing single elemen A n-1 : nilai amplitude yang digunakan pada tiap-tiap elemen Untuk nilai A n 1, medan radiasi dapat dinormalisasi sebagai berikut [18]: N jn sin( ) 1 1 e 1 AF 2 n 2.22 j N 1 e N sin( ) 2 Main lobe yang dihasilkan dari antena array terjadi saat 0 sedangkan grating lobe terjadi saat 2n grating lobe dari antena array harus dihilangkan karena dapat menghasilkan sinyal yang diterima pada arah yang diinginkan. Nilai dari jarak antar elemen (d) agar grating lobe dapat dinyatakan sebagai berikut [18] : d sin 0,max Dimana sin0, max adalah arah sudut maksimum dari main beam dari antena. 3. PEMBAHASAN 3.1. Perancangan Antena Proses dalam merancang suatu antena yang pertama dilakukan adalah menentukan karakteristik antena seperti: frekuensi kerja, return loss, VSWR, gain dan beamwidth. Pada tabel 3.1 berikut ini menjelaskan spesifikasi dalam merancang antena planararray dengan ketentuan sebagai berikut: Tabel 3.1. Spesifikasi Perancangan Antena Frekuensi Kerja 9 GHz (8,9 9,1 GHz) Impedansi Terminal 50 Ω koaksialkonektor SMA VSWR 2 Beamwidth < 10 Gain > 10 db Bahan substrat yang digunakan adalah jenis Taconic dan FR 4 dengan ketebalan substrat 46 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (39-49)

51 1,52 mm dan 1,6 mm. Ketebalan substrat berpengaruh terhadap gelombang permukaan. Impedansi terminal yang digunakan 50 Ω karena pada umumnya standar yang digunakan untuk sistem komunikasi radio adalah 50 Ω. Semakin tipis ketebalan substrat maka efek gelombang permukaan semakin kecil.dengan mengecilnya gelombang permukaan diharapkan dapat meningkatkan kinerja dari antena seperti : gain,beamwidth, dan return loss. Pada penelitian ini dirancang dua jenis antena. Antena pertama yaitu antena konvensional (patch biasa) kemudian antena kedua yaitu antena patch (SR) dengan teknik planar array dimana nantinya dapat memperbaiki nilai gain dan beamwidth. Antena dengan patch (SR) dengan metode MNG (mu negative) menggunakan teknik planar array yang tidak menyerap gelombang permukaan dan memperbaiki nilai gain, beamwidth, dan return loss Perancangan Antena Konvensional Patch Tunggal Di bawah ini merupakan desain dari antena konvensional seperti pada gambar 3.3 berikut: W 0 Dimana nilai B adalah : 377 B= 2z0 r Sehingga : w 0= 1,52 7,98 1 ln 3,14 = 377x3,14 = 7,98 2x50 2,2 2,2 1 0,61 2x7,98 1 ln7,98 1 0,39 2x2,2 2,2 = 2,34 mm Dimana : h : Tebal substrat (1,52 mm) : Konstanta dielektrik relatif (2,2 V/m) r 3.4. Perhitungan Lebar, Panjang, dan Inset Feed Tahap selanjutnya adalah menghitung panjang (L), lebar (w), antena konvensional dengan spesifikasi f 0 = 9,031 x10 6 MHz, ( r ) = 2,2, h = 1,52 mm, dan c = 3 x 10 8 m/s. Untuk menghitung lebar antena menggunakan persamaan 2.9: w = c r 1 2 f 0 2 3x ,2 1 2x9,031x ,2 1 2x9,031 2 = 13,13 mm 8 Y 0 L Sedangkan untuk menentukan panjang patch (L) diperlukan parameter L yang merupakan pertambahan panjang dari L akibat adanya fringing effect. w Gambar 3.3. Antena Konvensional Pertambahan panjang dari L ( L) tersebut dirumuskan pada persamaan Sebelum menghitung L, menghitung nilai konstanta dielektrik relatif yang dirumuskan pada persamaan 2.11 di bawah ini : 3.3. Perhitungan Saluran Pencatu Antena Konvensional Patch Tunggal Untuk menghitung lebar saluran pencatu dengan w 0 >2, menggunakan persamaan (2.15)dengan memasukan nilai ( r ) = 2,2 dan Z 0 = 50 Ω adalah: w 0= h r 1 0,61 B 1 ln(2b 1) (ln( B 1) 0,39 ) 2 r r Microstrip Antena Pada Frequensi 9GH Frequensi Aplikasi Radar (Herry Satria Utama) 47 reff ( r 1) ( r 1) h 112 w = ( 2, ,52 ) = 1,851 mm 13,13

52 Sehingga persamaan 2.10 : L = 0,412 h L dapat dicari menggunakan ( ( reff reff 0,3) Sehingga dapat dihitung : w h 0,258) 0,264 w h 0,8 Ukuran patch antena konvensional seperti pada gambar 3.4 disesuaikan dengan iterasi panjangpatch, lebar patch, dan ujungfeed (w 0). Pada perhitungan ukuran w = 13,13 mm, panjang (L) = 10,958 mm, dan w 0 = 2,34 mm. Sedangkan ukuran insetfeed (Y 0)dibuat saat simulasi menggunakan CST Microwave Studioyaitu 3,5 mm. Selanjutnya dilakukan simulasi antena konvensional seperti pada gambar 3.5 : Sebelum mencari L, maka dihitung terlebih dahulu L effyaitu panjang patch efektif seperti yang dirumuskan pada persamaan 2.13 sebagai berikut : L eff = 2 f 0 c r eff 30 = 2x9,031 1,851 = 12,2 mm = 3x10 2x9,031x ,851 Sehingga L dapat dihitung menggunakan persamaan 2.12 seperti : L = L eff 2 L = 12,2 2 x 0,621 = 10,958 mm 3.5. Desain Akhir Antena Konvensional Patch Tunggal Antena konvensional dirancang dengan maksud untuk membandingkan nilai gain dan beamwidthkedua antena. Di bawah ini menjelaskan tampak depan dan belakang dari antena konvensional : Gambar 3.8. Pola Radiasi Antena Konvensional Patch Tunggal Pada gambar 3.8 menunjukkan pola radiasi yang dihasilkan dari antena konvensional patch tunggal, dan beamwidth (Angular width (3 db))yang dihasilkan adalah KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Dari hasil analisis yang dilakukan maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut: a. Antena microstrip berukuran kecil dan dapat digunakan untuk radar perbatasan NKRI Saran Saran yang dapat diberikan guna pengembangan jurnal ini sebagai berikut : a. Perbanyak referensi, dan update berkala agar relevan dengan kondisi saat ini DAFTAR PUSTAKA Gambar 3.4. Antena Konvensional; (a) tampak depan, (b) tampak belakang. 1] Chen, D and C.-H Cheng,2011. A novel compact ultra-wideband (UWB) wide slot antenna with via holes.ieee Progres In Electromagnetics Research, Vol. 94, ,2009 2] Satria, Herry (2015) BAHAN AJAR SALURAN GELOMBANG MIKRO BAB II & BAB III. : Tidak Diterbitkan 48 Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (39-49)

EVALUASI KINERJA JALAN PADA PENERAPAN SISTEM SATU ARAH DI KOTA BOGOR

EVALUASI KINERJA JALAN PADA PENERAPAN SISTEM SATU ARAH DI KOTA BOGOR EVALUASI KINERJA JALAN PADA PENERAPAN SISTEM SATU ARAH DI KOTA BOGOR Riyadi Suhandi, Budi Arief, Andi Rahmah 3 ABSTAK Penerapan jalur Sistem Satu Arah (SSA pada ruas jalan yang melingkari Istana Kepresidenan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. karakteristik arus jalan, dan aktivitas samping jalan.

BAB III LANDASAN TEORI. karakteristik arus jalan, dan aktivitas samping jalan. 14 BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Karakteristik Jalan Karakteristik utama jalan yang akan mempengaruhi kapasitas dan kinerja jalan jika jalan tersebut dibebani arus lalu lintas. Karakteristik jalan tersebut

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 JALAN Berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan Perkotaan Jalan perkotaan adalah jalan yang terdapat perkembangan secara permanen dan menerus di sepanjang atau hampir seluruh jalan, minimum pada satu sisi jalan, baik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Latar belakang kebutuhan akan perpindahan dalam suatu masyarakat, baik orang maupun barang menimbulkan pengangkutan. Untuk itu diperlukan alat-alat angkut, dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kecepatan bebas ruas jalan tersebut mendekati atau mencapai

II. TINJAUAN PUSTAKA. kecepatan bebas ruas jalan tersebut mendekati atau mencapai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Tentang Kemacetan Lalu lintas Kemacetan adalah kondisi dimana arus lalu lintas yang lewat pada ruas jalan yang ditinjau melebihi kapasitas rencana jalan tersebut yang

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. kapasitas. Data volume lalu lintas dapat berupa: d. Arus belok (belok kiri atau belok kanan).

BAB III LANDASAN TEORI. kapasitas. Data volume lalu lintas dapat berupa: d. Arus belok (belok kiri atau belok kanan). BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Volume Lalu Lintas Volume lalu lintas menunjukkan jumlah kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan dalam satu satuan waktu (hari, jam, menit). Sehubungan dengan penentuan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. manajemen sampai pengoperasian jalan (Sukirman 1994).

BAB III LANDASAN TEORI. manajemen sampai pengoperasian jalan (Sukirman 1994). BAB III LANDASAN TEORI 3.1.Volume Lalu Lintas Volume lalu lintas adalah banyaknya kendaraan yang melewati suatu titik atau garis tertentu pada suatu penampang melintang jalan.data pencacahan volume lalu

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. karakteristik jalan yang dapat diuraikan sebagai berikut: dapat dilihat pada uraian di bawah ini:

BAB III LANDASAN TEORI. karakteristik jalan yang dapat diuraikan sebagai berikut: dapat dilihat pada uraian di bawah ini: BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Karakteristik Jalan Setiap ruas jalan memiiki karakteristik yang berbeda-beda. Ada beberapa karakteristik jalan yang dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Geometrik Kondisi geometrik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) tahun 1997, ruas jalan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) tahun 1997, ruas jalan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Istilah Jalan 1. Jalan Luar Kota Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) tahun 1997, ruas jalan merupakan semua bagian dari jalur gerak (termasuk perkerasan),

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 KINERJA RUAS JALAN Kinerja ruas jalan menggunakan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997 yang meliputi volume lalu lintas, kapasitas jalan, kecepatan arus bebas, dan derajat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. berupa jalan aspal hotmix dengan panjang 1490 m. Dengan pangkal ruas

II. TINJAUAN PUSTAKA. berupa jalan aspal hotmix dengan panjang 1490 m. Dengan pangkal ruas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Lalu Lintas Jalan R.A Kartini Jalan R.A Kartini adalah jalan satu arah di wilayah Bandar Lampung yang berupa jalan aspal hotmix dengan panjang 1490 m. Dengan pangkal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Latar belakang kebutuhan akan perpindahan dalam suatu masyarakat, baik orang maupun barang menimbulkan pengangkutan. Untuk itu diperlukan alat-alat angkut, dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Jaringan Jalan Berdasarkan Undang-undang nomor 38 tahun 2004 tentang jalan, jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan

Lebih terperinci

MANUAL KAPASITAS JALAN INDONESIA. From : BAB 5 (MKJI) JALAN PERKOTAAN

MANUAL KAPASITAS JALAN INDONESIA. From : BAB 5 (MKJI) JALAN PERKOTAAN MANUAL KAPASITAS JALAN INDONESIA From : BAB 5 (MKJI) JALAN PERKOTAAN 1.1. Lingkup dan Tujuan 1. PENDAHULUAN 1.1.1. Definisi segmen jalan perkotaan : Mempunyai pengembangan secara permanen dan menerus minimum

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.2 Definisi Jalan Pasal 4 no. 38 Tahun 2004 tentang jalan, memberikan definisi mengenai jalan yaitu prasarana transportasi darat meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkapnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lori, dan jalan kabel (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lori, dan jalan kabel (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hirarki Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul Pengesahan Persetujuan Motto dan Persembahan ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI. Halaman Judul Pengesahan Persetujuan Motto dan Persembahan ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Halaman Judul i Pengesahan ii Persetujuan iii Motto dan Persembahan iv ABSTRAK v ABSTRACT vi KATA PENGANTAR vii DAFTAR ISI ix DAFTAR TABEL xiii DAFTAR GAMBAR xv DAFTAR LAMPIRAN xvi DAFTAR NOTASI

Lebih terperinci

Nursyamsu Hidayat, Ph.D.

Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Analisa jaringan jalan dibagi atas beberapa komponen: Segmen jalan Simpang bersinyal Simpang tidak bersinyal

Lebih terperinci

PENGARUH HAMBATAN SAMPING TERHADAP KINERJA RUAS JALAN RAYA SESETAN

PENGARUH HAMBATAN SAMPING TERHADAP KINERJA RUAS JALAN RAYA SESETAN PENGARUH HAMBATAN SAMPING TERHADAP KINERJA RUAS JALAN RAYA SESETAN TUGAS AKHIR Oleh : IDA BAGUS DEDY SANJAYA 0519151030 JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS UDAYANA 2016 PERNYATAAN Dengan ini

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabel Analisis Variabel yang digunakan dalam analisis kinerja Ruas Jalan Otto Iskandardiata Kota Bandung akibat pertumbuhan lalu lintas selama 10 tahun mendatang

Lebih terperinci

Analisis Kapasitas Ruas Jalan Raja Eyato Berdasarkan MKJI 1997 Indri Darise 1, Fakih Husnan 2, Indriati M Patuti 3.

Analisis Kapasitas Ruas Jalan Raja Eyato Berdasarkan MKJI 1997 Indri Darise 1, Fakih Husnan 2, Indriati M Patuti 3. Analisis Kapasitas Ruas Jalan Raja Eyato Berdasarkan MKJI 1997 Indri Darise 1, Fakih Husnan 2, Indriati M Patuti 3. INTISARI Kapasitas daya dukung jalan sangat penting dalam mendesain suatu ruas jalan,

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI 17 BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Kondisi Lalu Lintas Situasi lalu lintas untuk tahun yang dianalisa ditentukan menurut arus jam rencana, atau lalu lintas harian rerata tahunan (LHRT) dengan faktor yang sesuai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik suatu jalan akan mempengaruhi kinerja jalan tersebut.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik suatu jalan akan mempengaruhi kinerja jalan tersebut. 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karateristik Jalan Luar Kota Karakteristik suatu jalan akan mempengaruhi kinerja jalan tersebut. Karakteristik jalan tersebut terdiri atas beberapa hal, yaitu : 1. Geometrik

Lebih terperinci

Pengaruh Variasi Nilai emp Sepeda Motor Terhadap Kinerja Ruas Jalan Raya Cilember-Raya Cibabat, Cimahi ABSTRAK

Pengaruh Variasi Nilai emp Sepeda Motor Terhadap Kinerja Ruas Jalan Raya Cilember-Raya Cibabat, Cimahi ABSTRAK Pengaruh Variasi Nilai emp Sepeda Motor Terhadap Kinerja Ruas Jalan Raya Cilember-Raya Cibabat, Cimahi Aan Prabowo NRP : 0121087 Pembimbing : Silvia Sukirman, Ir. ABSTRAK Sepeda motor merupakan suatu moda

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Fungsi Jalan Sesuai dengan Undang-Undang No. 22 tahun 2009 dan menurut Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2006, sistem jaringan jalan di Indonesia dapat dibedakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, jalan perkotaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, jalan perkotaan 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jalan Perkotaan Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, jalan perkotaan merupakan segmen jalan yang mempunyai perkembangan secara permanen dan menerus sepanjang

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Tipe jalan pada jalan perkotaan adalah sebagai berikut ini.

BAB II DASAR TEORI. Tipe jalan pada jalan perkotaan adalah sebagai berikut ini. BAB II DASAR TEORI 2.1. Umum Jalan merupakan prasarana transportasi darat yang memegang peranan penting dalam konektifitas suatu daerah, sehingga kegiatan distribusi barang dan jasa dapat dilakukan secara

Lebih terperinci

Kata Kunci : Kinerja Ruas Jalan, Derajat Kejenuhan, Tingkat Pelayanan, Sistem Satu Arah

Kata Kunci : Kinerja Ruas Jalan, Derajat Kejenuhan, Tingkat Pelayanan, Sistem Satu Arah ABSTRAK Sistem satu arah merupakan suatu pola lalu lintas dimana dilakukan perubahan pada jalan dua arah menjadi jalan satu arah. Perubahan pola lalu lintas ini berfungsi untuk meningkatkan kapasitas jalan

Lebih terperinci

PENGANTAR TRANSPORTASI

PENGANTAR TRANSPORTASI PENGANTAR TRANSPORTASI KINERJA PELAYANAN TRANSPORTASI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA Jl. Boulevard Bintaro Sektor 7, Bintaro Jaya Tangerang Selatan 15224 KARAKTERISTIK ARUS LALU LINTAS FASILITAS ARUS TERGANGGU

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peraturan Perundang undangan dibidang LLAJ. pelosok wilayah daratan, untuk menunjang pemerataan, pertumbuhan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peraturan Perundang undangan dibidang LLAJ. pelosok wilayah daratan, untuk menunjang pemerataan, pertumbuhan dan 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peraturan Perundang undangan dibidang LLAJ Undang undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan yaitu pasal 3 yang berisi: Transportasi jalan diselenggarakan

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS JALAN TERHADAP KEMACETAN

ANALISIS KAPASITAS JALAN TERHADAP KEMACETAN ANALISIS KAPASITAS JALAN TERHADAP KEMACETAN (Studi kasus Jalan Karapitan) PROPOSAL PENELITIAN Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat akademis dalam menempuh program Sarjana (S-1) Oleh RIZKY ARIEF RAMADHAN

Lebih terperinci

EVALUASI TINGKAT PELAYANAN JALAN JENDERAL SUDIRMAN KABUPATEN SUKOHARJO

EVALUASI TINGKAT PELAYANAN JALAN JENDERAL SUDIRMAN KABUPATEN SUKOHARJO EVALUASI TINGKAT PELAYANAN JALAN JENDERAL SUDIRMAN KABUPATEN SUKOHARJO Tantin Pristyawati Staf Pengajar Teknik Sipil Universitas Gunung Kidul Yogyakarta (Email : pristya_tan@yahoo.com) ABSTRAK Jalan Jenderal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geometrik Jalan Geometrik jalan merupakan suatu bangun jalan raya yang menggambarkan bentuk atau ukuran jalan raya yang menyangkut penampang melintang, memanjang, maupun aspek

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERSETUJUAN KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR NOTASI DAN SINGKATAN

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERSETUJUAN KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR NOTASI DAN SINGKATAN DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL i LEMBAR PENGESAHAN ii LEMBAR PERSETUJUAN iii MOTTO iv KATA PENGANTAR v DAFTAR ISI vii DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR xiv DAFTAR NOTASI DAN SINGKATAN xvi ABSTRAK xix ABSTRACT

Lebih terperinci

DAFTAR ISTILAH. lingkungan). Rasio arus lalu lintas (smp/jam) terhadap kapasitas. (1) Kecepatan rata-rata teoritis (km/jam) lalu lintas. lewat.

DAFTAR ISTILAH. lingkungan). Rasio arus lalu lintas (smp/jam) terhadap kapasitas. (1) Kecepatan rata-rata teoritis (km/jam) lalu lintas. lewat. DAFTAR ISTILAH Ukuran Kinerja C Kapasitas (smp/jam) Arus lalu lintas (stabil) maksimum yang dapat dipertahankan pada kondisi tertentu (geometri, distribusi arah, komposisi lalu lintas dan faktor lingkungan).

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 29 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1. Volume Lalu Lintas Hasil penelitian yang dilaksanakan selama seminggu di ruas Jalan Mutiara Kecamatan Banggai Kabupaten Banggai Kepulauan khususnya sepanjang 18 m pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kinerja atau tingkat pelayanan jalan menurut US-HCM adalah ukuran. Kinerja ruas jalan pada umumnya dapat dinyatakan dalam kecepatan,

TINJAUAN PUSTAKA. Kinerja atau tingkat pelayanan jalan menurut US-HCM adalah ukuran. Kinerja ruas jalan pada umumnya dapat dinyatakan dalam kecepatan, 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kinerja (Level of Services) Kinerja atau tingkat pelayanan jalan menurut US-HCM adalah ukuran kualitatif yang digunakan di Amerika dan menerangkan kondisi operasional dalam arus

Lebih terperinci

JURNAL ANALISA KAPASITAS DAN TINGKAT PELAYANAN RUAS JALAN H.B YASIN BERDASARKAN MKJI Oleh RAHIMA AHMAD NIM:

JURNAL ANALISA KAPASITAS DAN TINGKAT PELAYANAN RUAS JALAN H.B YASIN BERDASARKAN MKJI Oleh RAHIMA AHMAD NIM: JURNAL ANALISA KAPASITAS DAN TINGKAT PELAYANAN RUAS JALAN H.B YASIN BERDASARKAN MKJI 1997 Oleh RAHIMA AHMAD NIM:5114 10 094 Jurnal ini telah disetujui dan telah diterima oleh dosen pembimbing sebagai salah

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. dan menerus di sepanjang atau hampir seluruh jalan, minimum pada satu sisi

II.TINJAUAN PUSTAKA. dan menerus di sepanjang atau hampir seluruh jalan, minimum pada satu sisi II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Jalan Perkotaan Jalan perkotaan adalah jalan yang terdapat perkembangan secara permanen dan menerus di sepanjang atau hampir seluruh jalan, minimum pada satu sisi

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA RUAS JALAN MENURUT MKJI 1997 ( Studi Kasus : Jalan Sulawesi Denpasar, Bali ) Oleh : Ngakan Putu Ari Kurniadhi NPM.

ANALISIS KINERJA RUAS JALAN MENURUT MKJI 1997 ( Studi Kasus : Jalan Sulawesi Denpasar, Bali ) Oleh : Ngakan Putu Ari Kurniadhi NPM. 1 ANALISIS KINERJA RUAS JALAN MENURUT MKJI 1997 ( Studi Kasus : Jalan Sulawesi Denpasar, Bali ) Laporan Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. Pengolongan jenis kendaraan sebagai berikut : Indeks untuk kendaraan bermotor dengan 4 roda (mobil penumpang)

BAB III LANDASAN TEORI. Pengolongan jenis kendaraan sebagai berikut : Indeks untuk kendaraan bermotor dengan 4 roda (mobil penumpang) BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Volume Lalu Lintas Menurut MKJI (1997) jenis kendaraan dibagi menjadi 3 golongan. Pengolongan jenis kendaraan sebagai berikut : 1. Kendaraan ringan (LV) Indeks untuk kendaraan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lalu Lintas Fungsi dasar dari Jalan yaitu memberikan pelayanan yang optimum pada arus lalu lintas dan sebagai akses kerumah-rumah. (silvia Sukirman, 1994). Arus lalu lintas

Lebih terperinci

Langkah Perhitungan PERHITUNGAN KINERJA RUAS JALAN PERKOTAAN BERDASARKAN MKJI Analisa Kondisi Ruas Jalan. Materi Kuliah Teknik Lalu Lintas

Langkah Perhitungan PERHITUNGAN KINERJA RUAS JALAN PERKOTAAN BERDASARKAN MKJI Analisa Kondisi Ruas Jalan. Materi Kuliah Teknik Lalu Lintas Materi Kuliah Teknik Lalu Lintas Langkah Perhitungan PERHITUNGAN KINERJA RUAS JALAN PERKOTAAN BERDASARKAN MKJI 1997 Dr.Eng. M. Zudhy Irawan, S.T., M.T. 1. Masukkan data ruas jalan a. Kondisi ruas jalan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro Perencanaan sistem transportasi pada dasarnya memperkirakan kebutuhan transportasi dimasa yang akan datang. Dalam perencanaan sistem transportasi makro

Lebih terperinci

Gambar 2.1 Keterkaitan Antar Subsistem Transportasi (Tamin, 2000)

Gambar 2.1 Keterkaitan Antar Subsistem Transportasi (Tamin, 2000) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro Perencanaan sistem transportasi pada dasarnya memperkirakan kebutuhan transportasi dimasa yang akan datang. Dalam perencanaan sistem transportasi makro

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. permukaan air, terkecuali jalan kereta, jalan lori, dan jalan kabel. (UU No. 38

BAB II LANDASAN TEORI. permukaan air, terkecuali jalan kereta, jalan lori, dan jalan kabel. (UU No. 38 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian jalan Jalan merupakan akses yang sangat penting bagi masyarakat.jalan juga memiliki alat transportasi kendaraan yang meliputi berbagai segala bagian jalan, termasuk

Lebih terperinci

DERAJAT KEJENUHAN JALAN DUA ARAH DENGAN MAUPUN TANPA MEDIAN DI KOTA BOGOR. Syaiful 1, Budiman 2

DERAJAT KEJENUHAN JALAN DUA ARAH DENGAN MAUPUN TANPA MEDIAN DI KOTA BOGOR. Syaiful 1, Budiman 2 DERAJAT KEJENUHAN JALAN DUA ARAH DENGAN MAUPUN TANPA MEDIAN DI KOTA BOGOR Syaiful 1, Budiman 2 1 Dosen Tetap Jurusan Teknik Sipil Univeristas Ibn Khaldu, Jl. KH. Sholeh Iskandar KM. 2 Bogor Email : syaiful@ft.uika-bogor.ac.id

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. meskipun mungkin terdapat perkembangan permanen yang sebentar-sebentar

II. TINJAUAN PUSTAKA. meskipun mungkin terdapat perkembangan permanen yang sebentar-sebentar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jalan Luar Kota Pengertian jalan luar kota menurut Manual Kapasitas jalan Indonesia (MKJI) 1997, merupakan segmen tanpa perkembangan yang menerus pada sisi manapun, meskipun mungkin

Lebih terperinci

PENGARUH PARKIR ON-STREET TERHADAP KINERJA RUAS JALAN ARIEF RAHMAN HAKIM KOTA MALANG

PENGARUH PARKIR ON-STREET TERHADAP KINERJA RUAS JALAN ARIEF RAHMAN HAKIM KOTA MALANG PENGARUH PARKIR ON-STREET TERHADAP KINERJA RUAS JALAN ARIEF RAHMAN HAKIM KOTA MALANG Dwi Ratnaningsih Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Malang dwiratna.polinema@gmail.com Abstrak Permasalahan dibidang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lalu Lintas 2.1.1 Pengertian Lalu Lintas Lalu lintas di dalam Undang-undang No. 22 tahun 2009, didefinisikan sebagai gerak kendaraan dan orang di ruang Lalu Lintas jalan. Sedang

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA JALAN TERHADAP RENCANA PEMBANGUNAN JALAN DUA JALUR

EVALUASI KINERJA JALAN TERHADAP RENCANA PEMBANGUNAN JALAN DUA JALUR EVALUASI KINERJA JALAN TERHADAP RENCANA PEMBANGUNAN JALAN DUA JALUR Said Jalalul Akbar 1), Wesli 2), Burhanuddin 3), Muammar Khadafi 4) Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh email:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro Perencanaan sistem transportasi pada umumnya memperkirakan kebutuhan transportasi dimasa yang akan datang. Dalam perencanaan sistem transportasi makro

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 bahwa Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT PELAYANAN JALAN (Studi Kasus Jalan Medan Banda Aceh km s.d km )

ANALISIS TINGKAT PELAYANAN JALAN (Studi Kasus Jalan Medan Banda Aceh km s.d km ) ANALISIS TINGKAT PELAYANAN JALAN (Studi Kasus Jalan Medan Banda Aceh km 254 +800 s.d km 256 +700 ) Lis Ayu Widari 1), Said Jalalul Akbar 2) Rizky Fajar 3) 1), 2) Jurusan Teknik Sipil, 3) Alumni Jurusan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: Evaluasi, pola pergerakan, efektivitas, ZoSS. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: Evaluasi, pola pergerakan, efektivitas, ZoSS. iii ABSTRAK Tingginya volume lalu lintas berpengaruh terhadap angka kecelakaan dan yang paling rentan menjadi korban kecelakaan adalah anak-anak sekolah. Untuk itu Pemerintah Kabupaten Badung memberi perhatian

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA RUAS JALAN IR. H. JUANDA, BANDUNG

EVALUASI KINERJA RUAS JALAN IR. H. JUANDA, BANDUNG EVALUASI KINERJA RUAS JALAN IR. H. JUANDA, BANDUNG Rio Reymond Manurung NRP: 0721029 Pembimbing: Tan Lie Ing, S.T.,M.T. FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG ABSTRAK

Lebih terperinci

ANALISIS HAMBATAN SAMPING AKIBAT AKTIVITAS PERDAGANGAN MODERN (Studi Kasus : Pada Jalan Brigjen Katamso di Bandar Lampung)

ANALISIS HAMBATAN SAMPING AKIBAT AKTIVITAS PERDAGANGAN MODERN (Studi Kasus : Pada Jalan Brigjen Katamso di Bandar Lampung) ANALISIS HAMBATAN SAMPING AKIBAT AKTIVITAS PERDAGANGAN MODERN (Studi Kasus : Pada Jalan Brigjen Katamso di Bandar Lampung) Septyanto Kurniawan Jurusan Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Metro Jl.Ki

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI. untuk mengetahui pengaruh yang terjadi pada jalan tersebut akibat pembangunan jalur

BAB 3 METODOLOGI. untuk mengetahui pengaruh yang terjadi pada jalan tersebut akibat pembangunan jalur BAB 3 METODOLOGI 3.1. Pendekatan Penelitian Pada tahap awal dilakukan pengamatan terhadap lokasi jalan yang akan diteliti untuk mengetahui pengaruh yang terjadi pada jalan tersebut akibat pembangunan jalur

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS, TINGKAT PELAYANAN, KINERJA DAN PENGARUH PEMBUATAN MEDIAN JALAN. Adhi Muhtadi ABSTRAK

ANALISIS KAPASITAS, TINGKAT PELAYANAN, KINERJA DAN PENGARUH PEMBUATAN MEDIAN JALAN. Adhi Muhtadi ABSTRAK Analisis Kapasitas, Tingkat Pelayanan, Kinerja dan 43 Pengaruh Pembuatan Median Jalan ANALISIS KAPASITAS, TINGKAT PELAYANAN, KINERJA DAN PENGARUH PEMBUATAN MEDIAN JALAN Adhi Muhtadi ABSTRAK Pada saat ini

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Kinerja Lalu Lintas Jalan Kriteria kinerja lalu lintas dapat ditentukan berdasarkan nilai derajat kejenuhan atau kecepatan tempuh pada suatu kondisi jalan tertentu yang terkait

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP ) Mata Kuliah : Rekayasa Lalulintas Kode : CES 5353 Semester : V Waktu : 1 x 2 x 50 menit Pertemuan : 4 (Empat)

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP ) Mata Kuliah : Rekayasa Lalulintas Kode : CES 5353 Semester : V Waktu : 1 x 2 x 50 menit Pertemuan : 4 (Empat) A. Tujuan Instruksional 1. Umum SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP ) Mata Kuliah : Rekayasa Lalulintas Kode : CES 5353 Semester : V Waktu : 1 x 2 x 50 menit Pertemuan : 4 (Empat) Mahasiswa dapat memahami tentang

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA JALAN KOMYOS SUDARSO PONTIANAK

ANALISIS KINERJA JALAN KOMYOS SUDARSO PONTIANAK ANALISIS KINERJA JALAN KOMYOS SUDARSO PONTIANAK U. Winda Dwi Septia 1) Abstrak Jalan-jalan yang ada di Kota Pontianak merupakan salah satu sarana perhubungan bagi distribusi arus lalu lintas, baik angkutan

Lebih terperinci

tertentu diluar ruang manfaat jalan.

tertentu diluar ruang manfaat jalan. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Karateristik Jalan Luar Kota 2.1.1 Pengertian Jalan Definisi jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap,

Lebih terperinci

Jurnal Sipil Statik Vol.2 No.1, Januari 2014 (29-36) ISSN:

Jurnal Sipil Statik Vol.2 No.1, Januari 2014 (29-36) ISSN: ANALISIS BESAR KONTRIBUSI HAMBATAN SAMPING TERHADAP KECEPATAN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL REGRESI LINIER BERGANDA (Studi Kasus: Ruas Jalan dalam Kota Segmen Ruas Jalan Sarapung) Edy Susanto Tataming Theo

Lebih terperinci

PERNYATAAN. Denpasar, Oktober Anak Agung Arie Setiawan NIM

PERNYATAAN. Denpasar, Oktober Anak Agung Arie Setiawan NIM PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini, saya: N a m a : Anak Agung Arie Setiawan NIM : 1204105024 Judul TA : Dampak Bangkitan Lalu Lintas Pasar Kertha Bhoga Terhadap Kinerja Ruas Jalan Pulau Bungin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Wikipedia (2011), ruas jalan adalah bagian jalan di antara dua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Wikipedia (2011), ruas jalan adalah bagian jalan di antara dua BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ruas Jalan Wikipedia (2011), ruas jalan adalah bagian jalan di antara dua simpul/persimpangan sebidang atau tidak sebidang baik yang dilengkapi dengan alat pemberi isyarat lalu

Lebih terperinci

Gambar 4.1 Potongan Melintang Jalan

Gambar 4.1 Potongan Melintang Jalan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Geometrik Jalan Jalan Arif Rahman Hakim merupakan jalan kolektor primer yang merupakan salah satu jalan menuju pusat Kota Gororntalo. Segmen yang menjadi objek

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA RUAS JALAN DI JALAN SUMPAH PEMUDA KOTA SURAKARTA (Study kasus : Kampus UNISRI sampai dengan Kantor Kelurahan Mojosongo) Sumina

EVALUASI KINERJA RUAS JALAN DI JALAN SUMPAH PEMUDA KOTA SURAKARTA (Study kasus : Kampus UNISRI sampai dengan Kantor Kelurahan Mojosongo) Sumina EVALUASI KINERJA RUAS JALAN DI JALAN SUMPAH PEMUDA KOTA SURAKARTA (Study kasus Kampus UNISRI sampai dengan Kantor Kelurahan Mojosongo) Sumina Abstrak Pertumbuhan jumlah kendaraan yang tinggi berdampak

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PELEBARAN RUAS JALAN TERHADAP KINERJA JALAN

ANALISIS PENGARUH PELEBARAN RUAS JALAN TERHADAP KINERJA JALAN ANALISIS PENGARUH PELEBARAN RUAS JALAN TERHADAP KINERJA JALAN Agus Wiyono Alumni Program Studi Teknik Sipil Universitas Surakarta Jl. Raya Palur KM 05 Surakarta Abstrak Jalan Adisumarmo Kartasura km 0,00

Lebih terperinci

EVALUASI KORIDOR JALAN KARANGMENJANGAN JALAN RAYA NGINDEN SEBAGAI JALAN ARTERI SEKUNDER. Jalan Karangmenjangan Jalan Raya BAB I

EVALUASI KORIDOR JALAN KARANGMENJANGAN JALAN RAYA NGINDEN SEBAGAI JALAN ARTERI SEKUNDER. Jalan Karangmenjangan Jalan Raya BAB I EVALUASI KORIDOR JALAN KARANGMENJANGAN JALAN RAYA NGINDEN SEBAGAI JALAN ARTERI SEKUNDER BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jalan Karangmenjangan Jalan Raya Nginden jika dilihat berdasarkan Dinas PU

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. (termasuk mobil penumpang, kopata, mikro bus, pick-up dan truck kecil. sesuai sitem klasifikasi Bina Marga).

BAB III LANDASAN TEORI. (termasuk mobil penumpang, kopata, mikro bus, pick-up dan truck kecil. sesuai sitem klasifikasi Bina Marga). 8 BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Komposisi lalu lintas Arus lalu lintas jalan perkotaan dibagi menjadi 4 jenis : 1. Kendaraan ringan ( Light Vecicles = LV ) Meliputi kendaraan bermotor 2 as beroda empat dengan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Volume Kendaraan Bermotor Volume lalu lintas menunjukan jumlah kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan dalam satu satuan waktu (hari, jam, menit). Sehubungan dengan penentuan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISA. kondisi geometrik jalan secara langsung. Data geometrik ruas jalan Kalimalang. a. Sistem jaringan jalan : Kolektor sekunder

BAB IV HASIL DAN ANALISA. kondisi geometrik jalan secara langsung. Data geometrik ruas jalan Kalimalang. a. Sistem jaringan jalan : Kolektor sekunder BAB IV HASIL DAN ANALISA BAB IV HASIL DAN ANALISA 4.1 Data Geometrik Jalan Data geometrik jalan adalah data yang berisi kondisi geometrik dari segmen jalan yang diteliti. Data ini merupakan data primer

Lebih terperinci

DAMPAK PUSAT PERBELANJAAN SAKURA MART TERHADAP KINERJA RUAS JALAN TRANS SULAWESI DI KOTA AMURANG

DAMPAK PUSAT PERBELANJAAN SAKURA MART TERHADAP KINERJA RUAS JALAN TRANS SULAWESI DI KOTA AMURANG Jurnal Sipil Statik Vol.4 No.12 Desember (787-794) ISSN: 2337-6732 DAMPAK PUSAT PERBELANJAAN SAKURA MART TERHADAP KINERJA RUAS JALAN TRANS SULAWESI DI KOTA AMURANG Meila Femina Katihokang James A. Timboeleng,

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA RUAS JALAN RAYA SUKAWATI AKIBAT BANGKITAN PERGERAKAN DARI PASAR SENI SUKAWATI

ANALISIS KINERJA RUAS JALAN RAYA SUKAWATI AKIBAT BANGKITAN PERGERAKAN DARI PASAR SENI SUKAWATI ANALISIS KINERJA RUAS JALAN RAYA SUKAWATI AKIBAT BANGKITAN PERGERAKAN DARI PASAR SENI SUKAWATI TUGAS AKHIR Oleh : COK AGUNG PURNAMA PUTRA 0704105090 JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS UDAYANA

Lebih terperinci

LAMPIRAN A (Hasil Pengamatan)

LAMPIRAN A (Hasil Pengamatan) LAMPIRAN A (Hasil Pengamatan) Kamis Selasa Minggu Kamis Selasa Lampiran 1 : Kendaraan Parkir dan Berhenti Di Bahu Jalan Pada Segmen I Per Jam Waktu Jenis Kendaraan Sepeda Bus Truk Bus Truk Motor Pick Besar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut MKJI (1997) ruas Jalan, kadang-kadang disebut juga Jalan raya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut MKJI (1997) ruas Jalan, kadang-kadang disebut juga Jalan raya 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Dan Fungsi Ruas Jalan Menurut MKJI (1997) ruas Jalan, kadang-kadang disebut juga Jalan raya atau daerah milik Jalan (right of way). Pengertian Jalan meliputi badan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Karakteristik Ruas Jalan 1. Volume lalu lintas Volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan (mobil penumpang) yang melalui suatu titik tiap satuan waktu. Data volume dapat berupa

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA BAB II STUDI PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Sebagai bahan referensi dalam penulisan skripsi ini, peneliti menggunakan beberapa jurnal penelitian sebelumnya sabagai bahan perbandingan, baik mengenai kekurangan

Lebih terperinci

III. PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN RAYA A. JENIS KENDARAAN

III. PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN RAYA A. JENIS KENDARAAN III. PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN RAYA A. JENIS KENDARAAN Jenis kendaraan berdasarkan fungsinya sebagai alat angkutan : 1. Angkutan pribadi Kendaraan untuk mengangkut individu pemilik kendaraan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Umum Fasilitas Berbalik Arah Jalan arteri dan jalan kolektor yang mempunyai lajur lebih dari empat dan dua arah biasanya menggunakan median jalan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi merupakan bagian integral dari masyarakat. Ia menunjukkan hubungan yang sangat erat dengan gaya hidup, jangkauan dan lokasi dari kegiatan yang produktif,

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN JURNAL

LEMBAR PENGESAHAN JURNAL LEMBAR PENGESAHAN JURNAL ANALISIS KINERJA RUAS JALAN TERBAGI (DIVIDED) PADA JALAN HB.YASIN KOTA GORONTALO DI SUSUN OLEH MULYONO MARDJUN NIM. 511 410 065 Telah Diuji dan Diterima Pada Tanggal 10 Januari

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. hal-hal yang mempengaruhi kriteria kinerja lalu lintas pada suatu kondisi jalan

BAB III LANDASAN TEORI. hal-hal yang mempengaruhi kriteria kinerja lalu lintas pada suatu kondisi jalan BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Kinerja Lalu Lintas Jalan Menurut PKJI 2014 derajat kejenuhan atau kecepatan tempuh merupakan hal-hal yang mempengaruhi kriteria kinerja lalu lintas pada suatu kondisi jalan

Lebih terperinci

komposisi lalu lintas, dan perilaku pengemudi di Indonesia. mengacu pada Spesifikasi Standar Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota 1990.

komposisi lalu lintas, dan perilaku pengemudi di Indonesia. mengacu pada Spesifikasi Standar Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota 1990. BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Umum Prosedur menentukan kinerja jalan luar kota berkaitan dengan rencana jalan, lalu lintas menggunakan MKJI 1997 yang disesuaikan dengan kondisi lalu lintas, komposisi lalu

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR ANALISIS DAMPAK LOKASI PINTU TOL SLIPI TERHADAP KINERJA JALAN S. PARMAN

TUGAS AKHIR ANALISIS DAMPAK LOKASI PINTU TOL SLIPI TERHADAP KINERJA JALAN S. PARMAN TUGAS AKHIR ANALISIS DAMPAK LOKASI PINTU TOL SLIPI TERHADAP KINERJA JALAN S. PARMAN Diajukan sebagai syarat untuk meraih gelar Sarjana Teknik Strata 1 (S-1) Disusun Oleh : Nama : Tri Hardiyanto NIM : 41108010048

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Definisi Jalan Perkotaan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI, Bina Marga 1997) mendefinisikan ruas jalan perkotaan sebagai ruas jalan yang memiliki pengembangan permanen dan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN 2.1. KAJIAN PUSTAKA 2.1.1.Bangkitan Perjalanan Metode Gravitasi dapat digunakan untuk memperkirakan daya tarik suatu lokasi dibandingkan lokasi lain disekitarnya

Lebih terperinci

KINERJA BEBERAPA RUAS JALAN DI KOTA PALEMBANG. Pujiono T. Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas IBA, Palembang.

KINERJA BEBERAPA RUAS JALAN DI KOTA PALEMBANG. Pujiono T. Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas IBA, Palembang. KINERJA BEBERAPA RUAS JALAN DI KOTA PALEMBANG Pujiono T. Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas IBA, Palembang. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja beberapa ruas

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA RUAS JALAN SULTAN SALEH PONTIANAK

ANALISIS KINERJA RUAS JALAN SULTAN SALEH PONTIANAK ANALISIS KINERJA RUAS JALAN SULTAN SALEH PONTIANAK Laporan Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta Oleh : STEFANUS NANANG RIYADI NPM :

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN. mengenai rekapitulasi untuk total semua jenis kendaraan, volume lalulintas harian

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN. mengenai rekapitulasi untuk total semua jenis kendaraan, volume lalulintas harian BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Untuk menganalisa lalulintas pada ruas jalan Jatiwaringin diperlukan data lalulintas pada lajur jalan tersebut. Dalam bab ini dibahas hasil dari penelitian

Lebih terperinci

EVALUASI KORIDOR JALAN SULAWESI JALAN KERTAJAYA INDAH SEBAGAI JALAN ARTERI SEKUNDER

EVALUASI KORIDOR JALAN SULAWESI JALAN KERTAJAYA INDAH SEBAGAI JALAN ARTERI SEKUNDER CAHYA BUANA, ST. MT MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR - PS 1380 EVALUASI KORIDOR JALAN SULAWESI JALAN KERTAJAYA INDAH SEBAGAI JALAN ARTERI SEKUNDER VITA NOER HAYATI NRP 3104 100 014 Dosen Pembimbing: Cahya Buana,

Lebih terperinci

ANALISIS EFEKTIVITAS ZONA SELAMAT SEKOLAH DAN KINERJA RUAS JALAN

ANALISIS EFEKTIVITAS ZONA SELAMAT SEKOLAH DAN KINERJA RUAS JALAN ANALISIS EFEKTIVITAS ZONA SELAMAT SEKOLAH DAN KINERJA RUAS JALAN ( STUDI KASUS: ZOSS SD NEGERI 1 UBUNG ) TUGAS AKHIR Oleh : I Gede Gita Narayana 1104105049 JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Data Hotel Malioboro. yang menampung sebanyak 12 unit kendaraan mobil penumpang. Luas lahan. B. Data Geometri Jalan

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Data Hotel Malioboro. yang menampung sebanyak 12 unit kendaraan mobil penumpang. Luas lahan. B. Data Geometri Jalan 29 BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Data Hotel Malioboro Hotel direncanakan memliki kamar sebanyak 30 unit dan fasilitas parkir yang menampung sebanyak 12 unit kendaraan mobil penumpang. Luas lahan sekitar

Lebih terperinci

PERENCANAAN JEMBATAN LAYANG UNTUK PERTEMUAN JALAN MAYOR ALIANYANG DENGAN JALAN SOEKARNO-HATTA KABUPATEN KUBU RAYA

PERENCANAAN JEMBATAN LAYANG UNTUK PERTEMUAN JALAN MAYOR ALIANYANG DENGAN JALAN SOEKARNO-HATTA KABUPATEN KUBU RAYA Restu RiaRestiana 1), Teddy Ariyadi 2), Siti Mayuni 2) Abstrak Pada pertemuan dua jalan arteri primer diharapkan tidak terjadi hambatan arus lalu lintas, dimana kendaraan dapat bergerak bebas. Jalan Soekarno-Hatta

Lebih terperinci

Jurnal Sipil Statik Vol.1 No.9, Agustus 2013 ( ) ISSN:

Jurnal Sipil Statik Vol.1 No.9, Agustus 2013 ( ) ISSN: ANALISA DERAJAT KEJENUHAN AKIBAT PENGARUH KECEPATAN KENDARAAN PADA JALAN PERKOTAAN DI KAWASAN KOMERSIL (STUDI KASUS: DI SEGMEN JALAN DEPAN MANADO TOWN SQUARE BOULEVARD MANADO) Rifan Ficry Kayori T. K.

Lebih terperinci

Doddy Cahyadi Saputra D y = 0,4371x + 496, PENDAHULUAN

Doddy Cahyadi Saputra D y = 0,4371x + 496, PENDAHULUAN RENCANA MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS AKIBAT DIBANGUNNYA RUMAH SAKIT MITRA MEDIKA DI JALAN SULTAN SYARIF ABDURAHMAN PONTIANAK Doddy Cahyadi Saputra D 111 09 016 Abstrak Rencana pembangunan Rumah Sakit

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: keselamatan pengguna jalan, kecepatan pengemudi kendaraan, ZoSS

ABSTRAK. Kata kunci: keselamatan pengguna jalan, kecepatan pengemudi kendaraan, ZoSS ABSTRAK Kawasan pendidikan merupakan suatu kawasan yang rentan terjadi kecelakaan lalu lintas dan yang menjadi korban adalah para siswa. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka dibuatkanlah Zona Selamat

Lebih terperinci

KAJIAN PELAYANAN FUNGSI JALAN KOTA BOGOR SELATAN (Studi Kasus Ruas Jalan Bogor Selatan Zona B)

KAJIAN PELAYANAN FUNGSI JALAN KOTA BOGOR SELATAN (Studi Kasus Ruas Jalan Bogor Selatan Zona B) KAJIAN PELAYANAN FUNGSI JALAN KOTA BOGOR SELATAN (Studi Kasus Ruas Jalan Bogor Selatan Zona B) Dede Sarwono Program Studi Teknik Sipi, Fakultas Teknik, Universitas Ibn Khaldun Bogor Jl.K.H. sholeh Iskandar

Lebih terperinci