BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DI INDONESIA. A. Perkembangan Perlindungan Konsumen di Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DI INDONESIA. A. Perkembangan Perlindungan Konsumen di Indonesia"

Transkripsi

1 BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DI INDONESIA. A. Perkembangan Perlindungan Konsumen di Indonesia Kepentingan-kepentingan konsumen telah lama menjadi perhatian, yang secara tegas telah dikemukakan pada tahun 1962 oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy yang menyampaikan pesan di depan Kongres tentang pentingnya kedudukan konsumen di dalam masyarakat. 23 Peristiwa berikutnya yang merupakan perhatian atas kepentingan konsumen, secara tegas telah ditetapkan dalam putusan Sidang Umum PBB pada sidang ke-106 tanggal 9 April Resolusi PBB tentang Perlindungan Konsumen (Resolusi 39/248) telah menegaskan enam kepentingan konsumen, yaitu sebagai berikut Perlindungan konsumen dari bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya. 2. Promosi dan perlindungan pada kepentingan ekonomi konsumen. 3. Tersedianya informasi yang mencukupi sehingga memungkinkan dilakukannya pilihan sesuai kehendak. 4. Pendidikan konsumen. 5. Tersedianya cara-cara ganti rugi yang efektif. 23 Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahan (Bandung : Alumni, 1981) hal Az. Nasution Sekilas Hukum Perlindungan Konsumen, Majalah Hukum dan Pembangunan, Fakultas Hukum UI, No. 6 tahun ke XVI, Desember hal

2 6. Kebebasan membentuk organisasi konsumen dan diberinya kesempatan kepada mereka untuk menyatakan pendapat sejak saat proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan konsumen. Pada masa kini, kecenderungan untuk memperluas ruang lingkup Hukum Perlindungan Konsumen telah dilakukan oleh The Economic Law Procurement System Project (ELIPS), yang mengemukakan 9 materi rumusan hukum perlindungan konsumen, yakni : Ketidaksetaraan dalam kekuatan tawar-menawar; 2. Kebebasan berkontrak versus keadilan dalam berkontrak; 3. Persyaratan untuk memberikan informasi kepada konsumen, yang meliputi hukum pengumuman yang umum dan hukum tentang keuangan; 4. Peraturan tentang perilaku/tindakan penjual, yang meliputi petunjuk, arahan yang salah dan kelicikan dalam perdagangan; 5. Peraturan tentang mutu produk, yang meliputi garansi dan keamanan produk; 6. Akses terhadap kredit (pelaporan, kredit, nondiskriminasi); 7. Batas-batas hak mengakhiri masa jaminan; 8. Peraturan tentang harga; 9. Pembetulan; Gerakan perlindungan konsumen internasional juga telah memiliki wadah yang cukup berwibawa, yang disebut Internasional Organization of Consumers Unions 25 Ibid, hal

3 (IOCU). Setiap tanggal 15 Maret organisasi ini menjadikan sebagai hari Hak Konsumen sedunia. 26 Untuk menjamin dan melindungi kepentingan konsumen atas produkproduk barang yang dibeli, sebelum Undang-Undang Perlindungan Konsumen lahir, peraturan perundang-undangan yang mengaturnya adalah sebagai berikut : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Kitab Undang- Undang Hukum Dagang (KUHD) yang merupakan produk peninggalan penjajahan Belanda, tetapi telah menjadi pedoman dalam menyelesaiakan kasus-kasus untuk melindungi konsumen yang mengalami kerugian atas cacatnya barang yang dibelinya. 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang. Penerbitan Undang-Undang ini dimaksudkan untuk menguasai dan mengatur barang-barang apapun yang diperdagangkan di Indonesia. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1964 tentang Standar Industri. Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun Salah satu tujuan dari standar itu adalah meningkatkan mutu dan hasil industri. 4. Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 81/M/K/SK/2/1974 tentang Pengesahan Standar Cara-Cara Analisis dan Syarat-Syarat Mutu Bahan Baku dan Hasil Industri. 26 Imelda Martinelli, Tiga Isu Penting Dalam Transaksi Konsumen, Era Hukum No. 11/Th 3/1997, hal Sutedi, op cit, hal

4 Di Indonesia masalah perlindungan konsumen baru mulai terdengar pada tahun 1970-an. Ini terutama ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bulan Mei Secara teoritis, pada awalnya Yayasan ini berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap promosi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri. Atas desakan suara-suara dari masyarakat, kegiatan promosi ini harus diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan, agar masyarakat tidak dirugikan dan kualitasnya terjamin. Adanya keinginan dan desakan masyarakat untuk melindungi dirinya dari barang yang rendah mutunya telah memacu untuk memikirkan secara sungguh-sungguh usaha untuk melindungi konsumen ini, dan mulailah gerakan untuk merealisasikan citacita itu. Ketika itu, gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media konsumen. Ketika YLKI berdiri, kondisi politik Indonesia masih dibayang-bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun, seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen (seperti yang dilakukan YLKI) dilakukan melalui koridor resmi, yaitu bagaimana memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atau konsumen. Setelah itu, sejak dekade 1980-an, gerakan atau perjuangan untuk mewujudkan sebuah Undang-Undang tentang perlindungan konsumen (UUPK) dilakukan selama bertahun-tahun. Pada masa Orde Baru, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memiliki greget besar untuk mewujudkannya 32

5 karena terbukti pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen (RUUPK) selalu ditunda. Baru pada era reformasi, keinginan terwujudnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen bisa terpenuhi. Pada masa pemerintahan BJ. Habibie, tepatnya pada tanggal 20 April 1999, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen disahkan secara resmi menjadi Undang- Undang Perlindungan Konsumen. Dengan adanya UUPK, jaminan atas perlindungan hak-hak konsumen di Indonesia diharapkan bisa terpenuhi dengan baik. Masalah perlindungan konsumen kemudian ditempatkan dalam koridor suatu sistem hukum perlindungan konsumen, yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Untuk hadirnya suatu Undang-Undnag tentang Perlindungan Konsumen yang terdiri atas 15 bab dan 65 Pasal, ternyata dibutuhkan waktu tidak kurang dari 25 tahun sejak gagasan awal tentang Undang-Undang ini dikumandangkan(tahun 1975 sampai dengan tahun 2000). Tak dapat disangkal, sebagai hasil kerja buatan manusia, terdapat beberapa hal yang kurang lengkap atau kurang sempurna dari Undang-Undang ini (selanjutnya merupakan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Sekalipun demikian, ia merupakan suatu kebutuhan seluruh rakyat Indonesia yang kesemuanya adalah konsumen pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen. Apalagi pikiran globalisasi telah melanda dunia. Keternukaan pasar saat ini dan kedudukan konsumen yang 33

6 lebih lemah dibanding dengan pelaku usaha, maka kebutuhan perlindungan konsumen tersebut merupakan suatu conditio sine qua non Dalam penjelasan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa peranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya, sebab perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat, serta lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Dalam aktivitas kegiatan usaha, kepentingan-kepentingan konsumen itu lahir karena adanya peranan konsumen yang telah memberikan sumbangan besar kepada pengusaha sebagai penyedia dan produk. Konsumen juga telah memberikan sumbangan besar kepada pelaku usaha dari barang barang dan jasa yang dibelinya, yang merupakan pihak yang menentukan dalam pemupukan modal yang diperlukan oleh pengusaha untuk mengembangkan usahanya, dan pada akhirnya konsumen menjadi penentu dalam menggerakkan roda perekonomian. Hukum perlindungan konsumen sangat berpengaruh dalam era globalisasi yang kehidupan masyarakatnya semakin maju baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun teknologi. Dalam setiap kemajuan tersebut terdapat berbagai permasalahan yang beraneka ragam dan kompleks. Mengingat sedemikian 28 Setiap fakta atau peristiwa merupakan suatu hal yang tidak dapat ditiadakan tanpa meniadakan kerugian itu sendiri, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa tanpa kenyataan/fakta termaksud, kerugian tidak akan terjadi, sumber Hukum Asuransi & Perusahaan Asuransi, Sri Rejeki Hartono, Sinar Grafika, Jakarta, 1997, diakses pada tanggal 16 Januari Ibid, hal

7 kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen di dalam masyarakat maka dilakukanlah berbagai upaya hukum guna memberikan solusi dalam setiap permasalahan tersebut,o!eh karena itu dibuatlah hukum perlindungan konsumen. Pelanggan merupakan konsumen dari jasa pelayanan telekomunikasi, perlindungan konsumen baginya merupakan suatu tuntutan yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Dalam dunia komunikasi, pihak pelanggan merupakan unsur yang sangat berperan sekali, mati hidupnya dunia komunikasi bersandar pada kepercayaan dari pihak masyarakat atau pelanggan. 30 Kegiatan penyediaan produk oleh pengusaha dan penggunaan produk oleh konsumen, dalam berbagai kemungkinan bentuk hukumnya, dijalankan oleh subjek hukum pengusaha, baik swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan subjek hukum konsumen. Hubungan hukum tersebut tentu saja harus diatur oleh peraturan perundang-undangan agar konsumen dapat dilindungi hak-hak dan kepentingannya. Untuk menarik minat konsumen dalam membeli produknya, para penyedia layanan (provider) telekomunikasi membuat berbagai cara dan strategi demi terpenuhinya target produksi dari perusahaan, yang juga memberikan keuntungan yang signifikan agar dapat menguasai pasar. Dengan berdasar hal tersebut, para provider telekomunikasi menjadi lebih profit oriented dalam menjalankan bisnisnya dan mulai menerobos etika maupun koridor-koridor periklanan. Iklan sudah berkembang dari aktifitas bisnis kecil-kecilan hingga didominasi bisnis raksasa, ketika pendapatan iklan telah mencapai 100 milyar dolar, atau 2 30 Indah Suri Oliviarni Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap pelanggan Sambungan Telekomunikasi di PT. Telkom Riau Daratan. di akses pada tanggal 10 Mei

8 persen dari produk nasional bruto AS, eksekutif periklanan yang terdahulu, melihat kembali pada praktik-praktik mereka dan mengakui bahwa satu-satunya nilai riil dari profesi adalah menimbun uang. 31 Di Indonesia, dalam kuartal pertama tahun 2009, pembelanjaan iklan telah mencapai ratusan milyar. Sector industri telekomunikasi, tercatat menghabiskan uang sebanyak Rp.253 miliar untuk belanja iklan di media televisi pada kuartal tahun Hal tersebut mencerminkan bahwa, iklan merupakan sebuah pengeluaran yang sangat besar bagi para perusahaan demi mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Keluhan terhadap layanan telekomunikasi menduduki peringkat tertinggi untuk tahun 2010, disusul disusul industri perbankan, perumahan, listrik dan transportasi. Ini harus menjadi perhatian karena per tahun, peringkat keluhan terhadap jasa layanan telekomunikasi terus meningkat yaitu, keenam di 2008, keempat di 2009 dan pertama di Menkominfo sendiri pernah memberikan langkah-langkah untuk menjadi Konsumen Telkom Yang Cerdas, jika terjadi gangguan layanan telekomunikasi adalah: 1. Menghubungi layanan konsumen operator yang digunakan dengan berbagai saluran yang disediakan. 2. Jika keluhan belum terlayani, pengguna bisa menghubungi lembaga konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan lainnya, untuk mengadvokasi keluhan tersebut. 31 Val E. Limburg, Electronic Media Etics- Etika Media Elektronik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), hal

9 3. Jika masih belum puas, tidak ada larangan untuk menuliskannya ke media massa, sosial media, atau media lainnya sebagai pengingat. 4. Hubungi layanan pengaduan yang dimiliki oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), baik melalui situs resmi mereka, SMS melalui nomor telepon , atau melalui ke Sejatinya di negara ini, konsumen telekomunikasi belum mendapatkan perlindungan yang optimal atas penggunaan jasa layanan telekomunikasi. Beberapa regulasi yang ada tidak serta merta menguatkan implementasi di lapangan tentang penegakan hukum yang berlaku. Konsumen atau pelanggan selama ini masih dijadikan obyek bukan subyek. B. Pengertian dan Cakupan Hukum Perlindungan Konsumen. Pengertian perlindungan konsumen termaktub dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menegaskan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggungjawab Bandingkan konsideran huruf d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 37

10 Apabila diperhatikan dalam penjelasan Bab sebelumnya, dapat di perhatikan bahwa sangat penting untuk dapat melindungi konsumen dari berbagai hal yang dapat mendatangkan kerugian bagi mereka. Konsumen perlu dilindungi, karena konsumen dianggap memiliki suatu kedudukan yang tidak seimbang dengan para pelaku usaha. Ketidakseimbangan ini menyangktu bidang pendidikan dan posisi tawar yang dimiliki oleh konsumen. Sering kali konsumen tidak berdaya menghadapi posisi yang lebih kuat dari para pelaku usaha. Pelindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menetukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh pelaku usaha. Pemberdayaan konsumen itu adalah dengan meningkatkan kesadaran kemampuan, dan kemandiriannya melindungi diri sendiri sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen. Di samping itu juga ada kemudahan dalam proses menjalankan sengketa konsumen yang timbul karena kerugian harta bendanya, keselamatan/ kesehatan tubuhnya, penggunaan dan/atau pemanfaatan produk konsumen. Perlu diingat bahwa sebelum ada Undang-Undang ini, konsumen umumnya lemah dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan daya tawar. 33 Terdapat tiga pengertian konsumen yang ingin mendapat perlindungan : 33 UN General Assembly Resolution 39/248 tanggal 9 April 1985,...recognizing that consumers often face imbalance in economic terms, educational levels and bargaining power. 38

11 1. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu. 2. Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/ jasa lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha. 3. Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya, tidak untuk diperdagangkan kembali. Konsumen (akhir) inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut. Selanjutnya, apabila digunakan istilah konsumen dalam Undang-Undang, yang dimaksudkan adalah konsumen akhir. Undang-Undang ini mendefenisikan konsumen (Pasal 1 angka 2) sebagai berikut : setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan. Sedangkan pelaku usaha adalah istilah yang digunakan pembuat Undang- Undang yang pada umumnya lebih dikenal dengan istilah pengusaha. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebut empat kelompok besar kalangan pelaku ekonomi, tiga diantaranya termasuk kelompok pengusaha (pelaku usaha, baik privat maupun publik). Ketiga kelompok pelaku usaha tersebut adalah sebagai berikut : Ibid, hal

12 1. kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing, tengkulak penyedia dana lainnya, dan sebagainya. 2. produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong, dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri atas orang/ badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/usaha yang berkaitan dengan pembuat pembuatan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan, orang/usaha yang berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan, narkotika, dan sebagainya. 3. Distibutor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, hypermarket, rumah sakit, klinik, warung dokter, usaha angkutan (darat, laut udara), kantor pengacara dan sebagainya. C. Asas dan Tujuan Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Asas perlindungan konsumen terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 2 dimana berbunyi Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.dimana yang dimaksud dengan asas-asas diatas adalah : Asas manfaat 35 Wibowo Tunardi, Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen, Tunardy.com/asas-dan-tujuan-hukum-perlindungan-konsumen./. diakses pada tanggal 12 Januari

13 Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya. 2. Asas keadilan Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang. 3. Asas keseimbangan Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Kelima asas yang disebutkan yang disebutkan dalam Pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu : 41

14 1. asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen, 2. asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3. asas kepastian hukum. Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai tiga ide dasar hukum atau tiga nilai dasar hukum, 36 yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa : In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how it distributes its benefits and cost, dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa every function of law, general or specific, is allocative. 37 Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah hal itu tidak menimbulkan masalah? Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu 36 Gustav Radbruch, Legal Philosophy, in The legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, 1950, hal Lihat juga Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta, Chandra Pratama, 1996), hal Peter Mahmud Marzuki, The Need for the Indonesian Economic Legal Framework, dalam Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX, Agustus, 1997, hal

15 dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya, dalam kasus hukum tertentu bila hakim menginginkan putusannya adil menurut persepsinya, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya. 38 Dalam hubungan ini, Radbruch mengajarkan : 39 bahwa kita harus menggunakan asas prioritas dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum. Achmad Ali tidak dapat menyetujui sepenuhnya pendapat Radbruch tersebut, sebagaimana dikatakannya : 40 Penulis sendiri sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi tidak dengan telah menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan Radbruch, yakni berturut-turut keadilan dulu baru kemanfaatan barulah terkhir kepastian hukum. Penulis sendiri menganggap hal yang lebih realistis jika menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang penulis maksudkan, ketiga tujuan hukum kita diprioritaskan sesuai kasus yang kita hadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum semua tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap kasus. Asas keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam asas keadilan, mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Kepentingan pemerintah dalam hubungan ini tidak dapat dilihat dalam hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen. Kepentingan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik 38 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: Chandra Pratama, 1996), hal Ibid., hal Ibid. 43

16 yang kehadirannya tidak secara langsung di antara para pihak tetap melalui berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Keseimbangan perlindungan antara pelaku usaha dan konsumen menampakkan fungsi hukum yang menurut Rescoe Pound sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingankepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain sebagai sarana control social. 41 Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Secara umum hubungan-hubungan hukum baik yang bersifat publik maupun privat dilandaskan pada prinsip-prinsip atau asas kebebasan, persamaan dan solidaritas. Dengan prinsip atau asas kebebasan, subyek hukum bebas melakukan apa yang diinginkannya dengan dibatasi oleh keinginan orang lain dan memelihara akan ketertiban social. Dengan prinsip atau asas kesamaan, setiap individu mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum untuk melaksanakan dan meneguhkan hak-haknya. Dalam hal ini hukum memberikan perlakuan yang sama terhadap individu. Sedangkan prinsip atau asas solidaritas sebenarnya merupakan sisi balik dari asas kebebasan. Apabila dalam prinsip atau asas kebebasan yang menonjol adalah hak, maka di dalam prinsip atau asas solidaritas yang menonjol adalah kewajiban, dan seakan-akan setiap individu sepakat untuk tetap mempertahankan kehidupan bermasyarakat yang 41 Edgar Bodenheimer, Jurisprudence, The Method and Philosophy of Law, Harvard Universitas, Cambridge, 1962, hal. 11., dikutip dari; Peter Mahmud Marzuki, Pembaharuan Hukum Ekonomi Indonesia, Universitas Airlangga, Surabaya, tanpa tahun, hal

17 merupakan modus survival bagi manusia. Melalui prinsip atau asas solidaritas dikembangkan kemungkinan Negara mencampuri urusan yang sebenarnya bersifat privat dengan alasan tetap terpeliharanya kehidupan bersama. 42 Dalam hubungan inilah kepentingan pemerintah sebagaimana dimaksudkan dalam asas keseimbangan di atas, yang sekaligus sebagai karakteristik dari apa yang dikenal dalam kajian hukum ekonomi. Sejak masuknya paham welfare state, Negara telah ikut campur dalam perekonomian rakyatnya melalui berbagai kebijakan yang terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hubungan kontraktual antara pelaku usaha dan konsumen. Pengaturan hal-hal tertentu yang berkaitan dengan masuknya paham Negara modern melalui welfare state, kita tidak menemukan lagi pengurusan kepentingan ekonomi oleh rakyat tanpa melibatkan pemerintah sebagai lembaga eksekutif bertanggung jawab memajukan kesejahteraan rakyatnya yang diwujudkan dalam suatu pembangunan nasional. Campur tangan Pemerintah di Indonesia sendiri dapat diketahui dari isi pembukaan dan Pasal 33 UUD1945, serta dalam GBHN dan dalam pelaksanaanya, termasuk Undang- Undang Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara jelas dapat diketahui bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan dalam rangka pembangunan nasional, yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Menyangkut asas keamanan dan keselamatan konsumen yang dikelompokkan ke dalam asas manfaat oleh karena keamanan dan keselamatan 42 J. H. P. Bellefroid, Inleiding tot de Rechtswetwenschap in Nederland, Dekker & Van de Vegt, Utrecht-Nederland, 1952, hal. 13, dikutip dari; Peter Mahmud Marzuki, Eksistensi Hukum Ekonomi, Makalah, Universitas Airlangga Surabaya, tanpa tahun, hal

18 konsumen itu sendiri merupakan bagian dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen di samping kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan. Memperhatikan uraian tentang asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen tersebut, demikian pula hubungannya dengan substansi Pasal 1 angka 1 dalam bab sebelumnya, maka tidak dapat diragukan bidang hukum ini berada dalam lingkup kajian hukum ekonomi. Hukum ekonomi yang dimaksud, mengakomodasi dua aspek hukum sekaligus yaitu aspek hukum publik dan aspek hukum privat (perdata), dalam hubungan ini, maka hukum ekonomi mengandung berbagai asas hukum yang bersumber dari kedua aspek hukum dimaksud. Di dalamnya mengandung nilai-nilai untuk melindungi berbagai aspek kehidupan kemanusiaan di dalam kegiatan ekonomi. Asas-asas hukum publik antara lain; asas keseimbangan kepentingan, asas pengawasan publik, dan asas campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi. Sedangkan asas-asas hukum yang bersumber dari hukum perdata dan/ atau hukum dagang yaitu khusus mengenai hubungan hukum para pihak di dalam suatu kegiatan atau perjanjian tertentu atau perbuatan hukum tertentu dimana harus menhormati hak dan kepentingan pihak lain. 43 Oleh karena hukum ekonomi mempersoalkan hubungan antara hukum dan kegiatan-kegiatan ekonomi, maka asas lain yang juga patut mendapat perhatian adalah asas-asas yang berlaku dalam aspek kegiatan ekonomi tersebut. Dalam kegiatan ekonomi yang sangat terkenal yaitu upaya mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya yang sekecil-kecilnya. Berangkat dari hal ini, 43 Sri Redjeki Hartono, menyongsong Sistem Hukum Ekonomi yang Berwawasan Asas Keseimbangan, dalam Kapita Selekta Hukum Ekonomi, (Bandung, Mandar Maju, 2000), hal

19 maka dalam hukum ekonomi juga berlaku asas maksimalisasi dan efisiensi. Melalui asas ini suatu aturan yang hendak diambil/ diterapkan harus mempertimbangkan sesuatu yang lebih menguntungkan secara maksimal bagi semua pihak, demikian pula harus menghindari suatu prosedur yang panjang dalam rangka efisiensi waktu, biaya, dan tenaga. Asas-asas hukum Perlindungan Konsumen yang dikelompokkan dalam 3 kelompok diatas yaitu asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan asas maksimalisasi, dan kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi. Asas kepastian hukum yang disejajarkan dengan asas efisiensi karena menurut Himawan bahwa : Hukum yang berwibawa berarti hukum yang efisien, di bawah naungan mana seseorang dapat melaksanakan hak-haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan kewajibannya tanpa penyimpangan. 44 Hukum Perlindungan konsumen memiliki tujuan yang diantaranya adalah : meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri 2. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; 3. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; 44 Himawan, Ch., Pendekatan Ekonomi terhadap Hukum Sebagai Sarana Pengembalian Wibawa Hukum, dalam Majalah Hukum dan Pembangunan. No. 5. tahun XXI, Oktober 1991, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Hal Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen,Ed. 1-4, (Jakarta. PT. Grafindo Persada, 2007), hal

20 4. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; 5. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; 6. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen. Achmad Ali mengatakan masing-masing Undang-Undang memiliki tujuan khusus. 46 Hal itu juga tampak dari pengaturan Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen, sekaligus membedakan dengan tujuan umum sebagaimana dikemukakan berkenaan dengan ketentuan Pasal 2 di atas. Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e. 46 Ibid, hal

21 sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a, dan b, termasuk huruf c, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d. Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapata kita lihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasi sebagai tujuan ganda. Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai dengan huruf f dari Pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam Undang-Undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menetukan efektivitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali bahwa kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas perundang-undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan. 47 D. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen di Indonesia Bentuk perlindungan konsumen di Indonesia melingkupi dua hal yaitu perlindungan konsumen yang muncul dari perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak dan bentuk perlindungan konsumen yang diberikan oleh negara 47 Acmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris tehadap Hukum, (Jakarta: Yarsif Watampon, 1998), hal

22 melalui ketentuan perundang-undangan mengenai perlindungan konsumen. Ada pun penjelasan hal tersebut adalah sebagai berikut. 1. Bentuk perlindungan konsumen dalam perjanjian. Yang dimaksud dengan perjanjian pada umumnya adalah berdasarkan defenisi dalam Pasal 1313 KUHPerdata yaitu suatu perbuatan yang mengikatkan dirinya antara satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih. Pengikatan ini, seperti telah diuraikan dalam Bab IV buku III KUHPerdata dirumuskan dalam bentuk : a. kesepakatan yang bebas; b. dilakukan oleh pihak yang demi hukum dianggap cakap untuk bertindak; c. untuk melakukan suatu prestasi tertentu; d. prestasi tersebut haruslah suatu prestasi yang diperkenankan oleh hukum, kepatutan, kesusialaan, ketertiban umum, dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas (atau biasa disebut dengan klausula yang halal). 48 Undang-Undang memberikan hak kepada setiap orang untuk secara bebas membuat dan melaksanakan perjanjian, selama keempat unsur di atas terpenuhi. Pihak-pihak dalam perjanjian adalah bebas menentukan aturan main yang mereka kehendaki dalam perjanjian tersebut, dan selanjutnya untuk melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan yang telah tercapai di antara mereka, selama dan sepanjang para pihak tidak melanggar ketentua mengenai klausa yang halal. Artinya, ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut tidak bertentangan 48 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal

23 dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, kesusilaan, kepatutan, dan kebiasaan yang berlaku umum di dalam masyarakat. Seperti telah diuraikan di atas, pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum (pemenuhan syarat subjektif) untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusialaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas (pemenuhan syarat objektif). Namun, adakalanya kedudukan dari kedua belah pihak dalam suatu perjanjian yang tidak terlalu menguntungkan bagi salah satu pihak. Dalam praktek dunia usaha juga menunjukkan bahwa keuntungan kedudukan tersebut sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku dan/atau klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang lebih dominan dari pihak lain. Dikatakan bersifat baku karena, baik perjanjian maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya. Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini, cenderung merugikan pihak yang kurang dominan tersebut. Terlebih lagi dengan sistem pembuktian yang berlaku di negara Indonesia saat ini, jelas tidaklah mudah bagi pihak yang cenderung dirugikan tersebut untuk membuktikan tidak adanya kesepakatan pada saat dibuatnya perjanjian baku tersebut, atau atas kalusula baku yang termuat dalam perjanjian yang ada. 51

24 Klausula baku umumnya dikenal sebagai perjanjian dengan syarat-syarat baku. Dimana klausula baku disiapkan terlebih dahulu oleh pihak pelaku usaha dan isinya telah ditentukan secara sepihak oleh pelaku usaha sehingga isinya sudah tentu lebih menguntungkan pelaku usaha sedangkan konsumen hanya dihadapkan pada 2 pilihan yaitu : a. Apabila konsumen membutuhkan produk barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepadanya, maka setujuilah perjanjian dengan syarat-syarat baku yang telah disiapkan pelaku usaha (take it) ; b. Apabila konsumen tidak menyetujui syarat-syarat baku yang ditawarkan tersebut maka jangan membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang bersangkutan (leave it). Di seluruh dunia, dengan sistem kenegaraan yang berbeda baik sistem individualisme maupun sosialisme berusaha mengarahkan perjanjian baku agar tidak merugikan konsumen. Ada 2 alasan yang menyebabkan harus diaturnya perjanjian baku antara lain : a. Pelanggaran oleh pelaku usaha terhadap asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab di dalam hukum perjanjian. b. Mencegah agar pelaku usaha, sebagai pihak yang kuat tidak mengeksploitasi konsumen sebagai pihak yang lemah. Ketentuan mengenai klausula baku tersebut diatas tidak diatur secara khusus di dalam KUHPerdata. KUHPerdata hanya mengatur tentang perjanjian secara umum dan jenis-jenis perikatan lain yang dikenal sewaktu KUHPerdata 52

25 dibuat seperti jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, penanggungan dan pemberian kuasa. Tinjauan mengenai klausula baku dalam KUHPerdata sebatas berlakunya klausul yang memberatkan dalam perjanjian baku dengan aturan-aturan dasar mengenai perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata. Terhadap adanya klausula yang memberatkan dalam KUHPerdata haruslah ditinjau dari Pasal 1337, 1338, dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Secara keseluruhan perlindungan konsumen terdapat dalam Undang- Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dibentuk oleh pemerintah dengan tujuan agar hak-hak yang dimiliki konsumen tidak dirugikan. Dalam Undang-Undang no. 8 tahun 1999 diatur mengenai hak dan kewajiban baik konsumen ataupun pelaku usaha yang terdapat dalam bab III Pasal 4 sampai dengan 7, dengan tujuan agar pihak konsumen dan pelaku usaha dapat mengetahui apa yang menjadi kewajiban dan haknya. Selain itu juga terdapat pengaturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam Pasal 8 sampai dengan 17 Undang-Undang no.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan di aturnya mengenai perbuatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha bisa mengantisipasi pelaku usaha agar tidak melakukan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian kepada konsumen. Secara 53

26 garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 dapat dibagi dalam dua larangan pokok, yaitu : 49 a. Larangan mengenai produk itu sendiri yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen; b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar atau tidak akurat yang menyesatkan konsumen. Beberapa hal lain yang perlu diperhatikan dari ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah larangan-larangan yang diatur dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 13 yang berhubungan dengan berbagai macam larangan dalam mempromosikan barang atau jasa tertentu, serta ketentuan Pasal 17 yang khusus diperuntukkan bagi perusahaan periklanan. 50 Dalam Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen juga diatur mengenai ketentuan pencantuman klausula baku yang terdapat dalam Pasal 18, dimana apabila konsumen menerima perjanjian baku yang telah dibuat oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ketentuan mengenai klausula baku ini diatur dalam Bab V tentang Ketentuan Pencantuman Klausula Baku yang hanya terdiri dari satu Pasal, yaitu Pasal 18. Pasal 18 tersebut, secara prinsip mengatur dua macam larangan yang diberlakukan bagi para pelaku usaha yang membuat perjanjian baku dan/atau mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang dibuat olehnya. Pasal 18 ayat (1) mengatur 49 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 2000) hal Ibid., hal

27 larangan pencantuman klasula baku, dan Pasal 18 ayat (2) mengatur bentuk atau format, serta penulisan perjanjian baku yang dilarang. Dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) dikatakan bahwa para pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian dimana klausula baku tersebut akan mengakibatkan : a. pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; g. menyatakan tundukanya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat 55

28 sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Selanjutnya, dalam Pasal 18 ayat (2) dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Sebagai konsekuensi atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) tersebut, Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyatakan batal demi hukum setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memuat ketentuan yang dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) maupun perjanjian baku atau klausula baku yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (2). Hal ini merupakan penegasan kembali akan sifat kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata jo. Pasal 1337 KUHPerdata. Ini berarti perjanjian yang memuat ketentuan mengenai klasula baku yang dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) atau memiliki format sebagaimana dlarang dalam Pasal 18 ayat (2) dianggap tidak pernah ada dan mengikat para pihak, pelaku usaha, dan konsumen yang melaksanakan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa tersebut. Atas kebatalan demi hukum dari klausula sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat (3), Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang tentang Perlindungan 56

29 Konsumen selanjutnya mewajibkan para pelaku usaha untuk menyesuaikan klasula baku yang bertentangan dengan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini. Apabila pelaku usaha melanggar hak dan kewajiban serta melakukan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha terhadap konsumen. Maka konsumen dapat meminta tanggung jawab kepada pihak pelaku usaha sebagaimana terdapat dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang no. 8 tahun 1999 melalui cara menggugat pelaku usaha yang diatur dalam bab X Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang no. 8 tahun Dimana konsumen dan pelaku usaha dapat memilih untuk menyelesaikan sengketa diluar pengadilan yang diatur dalam Pasal 47 melalui badan Penyelesaian Sengketa yang diatur dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 58 atau menyelesaikan sengketa melalui pengadilan yang terdapat dalam Pasal 48 Undang-Undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tuntutan yang di peruntukkan bagi pelaku usaha tidak hanya tuntutan secara perdata akan tetapi apabila pelaku usaha terbukti melakukan tindak pidana maka pelaku usaha juga dapat dituntut secara pidana melalui jalur pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 61 sampai Pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dimana pertanggungjawaban pidana tidak hanya dapat dikenakan kepada pengurus tetapi juga kepada perusahaannya. 57

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 2.1. Pengertian Perlindungan Konsumen Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Aktivitas bisnis merupakan fenomena yang sangat kompleks karena mencakup berbagai bidang baik hukum, ekonomi, dan politik. Salah satu kegiatan usaha yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan dan perkembangan perekonomian pada umumnya dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan dan perkembangan perekonomian pada umumnya dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan dan perkembangan perekonomian pada umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Konsumen Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah, pemakai terakhir dari benda dan jasa yang diserahkan kepada mereka

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 122 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Formulasi ketentuan Pasal ganti rugi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen memang belum dapat memberikan perlindungan hukum secara menyeluruh kepada konsumen

Lebih terperinci

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia Penyelenggaraan jasa multimedia adalah penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA 2.1 Perlindungan Hukum Perlindungan hukum adalah segala bentuk upaya pengayoman terhadap harkat dan martabat manusia serta pengakuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN OJEK SEPEDA MOTOR SEBAGAI KENDARAAN BERMOTOR UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN OJEK SEPEDA MOTOR SEBAGAI KENDARAAN BERMOTOR UMUM BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN OJEK SEPEDA MOTOR SEBAGAI KENDARAAN BERMOTOR UMUM 2.1 Perlindungan Konsumen 2.1.1 Pengertian dan Batasan Perlindungan Konsumen Hukum Perlindungan Konsumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsumen di Indonesia. Menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 8 tahun

BAB I PENDAHULUAN. konsumen di Indonesia. Menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 8 tahun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang saling memerlukan. Konsumen memerlukan barang dan jasa dari pelaku usaha guna memenuhi keperluannya. Sementara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PELAKU USAHA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN. iklan, dan pemakai jasa (pelanggan dsb).

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PELAKU USAHA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN. iklan, dan pemakai jasa (pelanggan dsb). BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PELAKU USAHA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN 2.1. Konsumen 2.1.1. Pengertian Konsumen Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan konsumen adalah pemakai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan tersebut maka setiap manusia mengkonsumsi atau menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan tersebut maka setiap manusia mengkonsumsi atau menggunakan BAB I PENDAHULUAN Setiap manusia mempunyai kebutuhan yang beragam dalam kehidupannya sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, namun manusia tidak mampu memenuhi setiap kebutuhannya tersebut secara

Lebih terperinci

Makan Kamang Jaya. : KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan tersebut. BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA

Makan Kamang Jaya. : KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan tersebut. BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA Bab ini merupakan inti dalam tulisan ini yang menengahkan tentang upaya perlindungan hukum bagi konsumen rumah makan kamang jaya, pembinaan dan pengawasan Pemerintah Daerah dan instansi terkait terhadap

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta. TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta. Perdagangan bebas berakibat meluasnya peredaran barang dan/ jasa yang dapat

Lebih terperinci

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit Kehadiran bank dirasakan semakin penting di tengah masyarakat. Masyarakat selalu membutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Kompas 18 Maret 2004, Perlindungan terhadap konsumen di Indonesia ternyata masih

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Kompas 18 Maret 2004, Perlindungan terhadap konsumen di Indonesia ternyata masih BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Perkembangan ekonomi yang semakin cepat memberikan hasil produksi yang sangat bervariatif, dari produksi barang maupun jasa yang dapat dikonsumsi oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hal. 2. diakses 06 September Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN.  hal. 2. diakses 06 September Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia dalam era globalisasi ini semakin menuntut tiap negara untuk meningkatkan kualitas keadaan politik, ekonomi, sosial dan budaya mereka agar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 44 BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 4.1 Kedudukan Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Perjanjian yang akan dianalisis di dalam penulisan skripsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak makanan import yang telah masuk ke Indonesia tanpa disertai

BAB I PENDAHULUAN. Banyak makanan import yang telah masuk ke Indonesia tanpa disertai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak makanan import yang telah masuk ke Indonesia tanpa disertai informasi yang jelas pada kemasan produknya. Pada kemasan produk makanan import biasanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi

BAB I PENDAHULUAN. perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan dan perkembangan perekonomian khususnya dibidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam

BAB III TINJAUAN UMUM. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam 21 BAB III TINJAUAN UMUM A. Tinjuan Umum Terhadap Hukum Perlindungan Konsumen 1. Latar belakang Perlindungan Konsumen Hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Pada

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mobilitas masyarakat yang semakin tinggi di era globalisasi sekarang ini. mengakibatkan kerugian pada konsumen.

BAB I PENDAHULUAN. mobilitas masyarakat yang semakin tinggi di era globalisasi sekarang ini. mengakibatkan kerugian pada konsumen. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dari perekonomian yang modern dapat dilihat dari kebutuhan hidup manusia yang semakin meningkat. Salah satu kebutuhan itu adalah tentang kebutuhan akan

Lebih terperinci

STIE DEWANTARA Perlindungan Konsumen Bisnis

STIE DEWANTARA Perlindungan Konsumen Bisnis Perlindungan Konsumen Bisnis Hukum Bisnis, Sesi 8 Pengertian & Dasar Hukum Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,

Lebih terperinci

ANALISIS HUKUM TENTANG UNDANG-UNDANG RAHASIA DAGANG DAN KETENTUAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

ANALISIS HUKUM TENTANG UNDANG-UNDANG RAHASIA DAGANG DAN KETENTUAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Al-Qishthu Volume 13, Nomor 2 2015 185 ANALISIS HUKUM TENTANG UNDANG-UNDANG RAHASIA DAGANG DAN KETENTUAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Pitriani Dosen Jurusan Syari ah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK 43 BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen 18 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA 2.1 Hukum Perlindungan Konsumen 2.1.1 Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen Ada dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen,

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENGAWASAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU OLEH BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI KOTA PADANG SKRIPSI

PELAKSANAAN PENGAWASAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU OLEH BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI KOTA PADANG SKRIPSI PELAKSANAAN PENGAWASAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU OLEH BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI KOTA PADANG SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar sarjana hukum Oleh : SETIA PURNAMA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. mengenal batas Negara membuat timbul berbagai permasalahan, antara lain

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. mengenal batas Negara membuat timbul berbagai permasalahan, antara lain BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha. Perkembangan globalisasi ekonomi dimana arus barang dan jasa tidak lagi mengenal batas Negara membuat timbul berbagai

Lebih terperinci

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Oleh: Wahyu Simon Tampubolon, SH, MH Dosen Tetap STIH Labuhanbatu e-mail : Wahyu.tampubolon@yahoo.com ABSTRAK Konsumen

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :

BAB III PENUTUP. permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut : BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, baik penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan, serta analisis yang telah penulis lakukan, berikut disajikan kesimpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pembangunan nasional suatu bangsa mencakup di dalamnya pembangunan ekonomi. Dalam pembangunan ekonomi diperlukan peran serta lembaga keuangan untuk

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERJANJIAN PADA PROGRAM INVESTASI

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERJANJIAN PADA PROGRAM INVESTASI BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERJANJIAN PADA PROGRAM INVESTASI A. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Sejarah lahirnya perlindungan konsumen di Indonesia ditandai dengan disahkannya

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KONSUMEN ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI, ANISAH SE.,MM.

PERLINDUNGAN KONSUMEN ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI, ANISAH SE.,MM. PERLINDUNGAN KONSUMEN ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI, ANISAH SE.,MM. 1 PERLINDUNGAN KONSUMEN setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN A. Pengertian dan Bentuk-bentuk Sengketa Konsumen Perkembangan di bidang perindustrian dan perdagangan telah

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam variasi barang maupun jasa. Banyaknya variasi barang maupun jasa

BAB I PENDAHULUAN. macam variasi barang maupun jasa. Banyaknya variasi barang maupun jasa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi ini perkembangan di berbagai bidang tumbuh dengan pesat. Perkembangan ekonomi salah satunya. Perkembangan ekonomi ini membawa banyak pengaruh juga

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PERJANJIAN BERLANGGANAN TELKOM Flexi DI KOTA PALU I KADEK MAPRA BAWA MANDA / D

ASPEK HUKUM PERJANJIAN BERLANGGANAN TELKOM Flexi DI KOTA PALU I KADEK MAPRA BAWA MANDA / D ASPEK HUKUM PERJANJIAN BERLANGGANAN TELKOM Flexi DI KOTA PALU I KADEK MAPRA BAWA MANDA / D 101 09 650 ABSTRAK Calon pelanggan sebelum mengikatkan diri dalam kontrak berlangganan dengan PT. Telkom, masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di segala

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di segala BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di segala bidang yang membawa pengaruh cukup besar bagi perkembangan perekonomian Indonesia.

Lebih terperinci

Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Oleh: Firya Oktaviarni 1 ABSTRAK Pembiayaan konsumen merupakan salah

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016 KAJIAN YURIDIS TENTANG PERJANJIAN BAKU ANTARA KREDITUR DAN DEBITUR MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 1 Oleh : Glen Wowor 2 ABSTRAK Penelitian ini dialkukan bertujuan

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA ATAS INFORMASI SUATU PRODUK MELALUI IKLAN YANG MENGELABUI KONSUMEN

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA ATAS INFORMASI SUATU PRODUK MELALUI IKLAN YANG MENGELABUI KONSUMEN TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA ATAS INFORMASI SUATU PRODUK MELALUI IKLAN YANG MENGELABUI KONSUMEN Oleh: Ni Putu Shinta Kurnia Dewi I Nyoman Gatrawan Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT:

Lebih terperinci

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen atau biasa disingkat dengan UUPK dan mulai diberlakukan pada tanggal 20 April UUP

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen atau biasa disingkat dengan UUPK dan mulai diberlakukan pada tanggal 20 April UUP BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan aktivitas masyarakat banyak menyebabkan perubahan dalam berbagai bidang di antaranya ekonomi, sosial, pembangunan, dan lain-lain. Kondisi ini menuntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu standard

BAB I PENDAHULUAN. Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu standard BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu standard contract. Perjanjian baku merupakan perjanjian yang ditentukan dan telah dituangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh terhadap semakin banyaknya kebutuhan masyarakat akan barang/ jasa tertentu yang diikuti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyentuh segala aspek kehidupan manusia. Komunikasi adalah sebuah proses

BAB I PENDAHULUAN. menyentuh segala aspek kehidupan manusia. Komunikasi adalah sebuah proses 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia semakin berubah, dalam beberapa tahun terakhir perkembangan sistem telekomunikasi di Indonesia sudah demikian pesatnya memberikan dampak yang menyentuh

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KONSUMEN. Business Law Semester Gasal 2014 Universitas Pembangunan Jaya

PERLINDUNGAN KONSUMEN. Business Law Semester Gasal 2014 Universitas Pembangunan Jaya PERLINDUNGAN KONSUMEN Business Law Semester Gasal 2014 Universitas Pembangunan Jaya MENGAPA KONSUMEN DILINDUNGI??? 2 ALASAN POKOK KONSUMEN PERLU DILINDUNGI MELINDUNGI KONSUMEN = MELINDUNGI SELURUH BANGSA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan atau jasa yang akan

BAB I PENDAHULUAN. jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan atau jasa yang akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan atau jasa yang akan dikonsumsi. Barang dan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melindungi kepentingan konsumen 1. Adapun hukum konsumen diartikan

BAB I PENDAHULUAN. yang melindungi kepentingan konsumen 1. Adapun hukum konsumen diartikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum yang memuat asasasas atau kaidah kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan

Lebih terperinci

loket). Biaya tersebut dialihkan secara sepihak kepada konsumen.

loket). Biaya tersebut dialihkan secara sepihak kepada konsumen. SIARAN PERS Badan Perlindungan Konsumen Nasional Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5 Jakarta 10110 Telp/Fax. 021-34833819, 021-3458867 www.bpkn.go.id Pelanggaran Hak Konsumen : b. KUH Perdata pasal 1315 : pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat, saat ini hampir setiap orang dalam satu ruang lingkup keluarga memiliki

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan analisis di atas penulis akan memberikan kesimpulan dari

BAB V PENUTUP. Berdasarkan analisis di atas penulis akan memberikan kesimpulan dari BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan analisis di atas penulis akan memberikan kesimpulan dari identifikasi masalah dalam sub sub bab sebelumnya, dijelaskan sebagai berikut: 1. Perkembangan transaksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN, PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN, PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM 21 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN, PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM 2.1 Konsumen. 2.1.1. Pengertian Konsumen. Pengertian Konsumen di Amerika Serikat dan MEE, kata Konsumen yang

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D 101 09 185 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Kredit Bank.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 58 TAHUN 2001 (58/2001) TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 58 TAHUN 2001 (58/2001) TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 58 TAHUN 2001 (58/2001) TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN I. UMUM Pasal 4 UU OJK menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN [LN 1999/42, TLN 3821]

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN [LN 1999/42, TLN 3821] UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN [LN 1999/42, TLN 3821] Bagian Kedua Sanksi Pidana Pasal 61 Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Pasal

Lebih terperinci

KLAUSULA BAKU PERJANJIAN KREDIT BANK RAKYAT INDONESIA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

KLAUSULA BAKU PERJANJIAN KREDIT BANK RAKYAT INDONESIA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 1 KLAUSULA BAKU PERJANJIAN KREDIT BANK RAKYAT INDONESIA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Oleh: Ida Bagus Oka Mahendra Putra Ni Made Ari Yuliartini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelancaran arus lalu lintas penduduk dari dan kesuatu daerah tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. kelancaran arus lalu lintas penduduk dari dan kesuatu daerah tertentu. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan karena wilayahnya meliputi ribuan pulau. Kondisi geografis wilayah nusantara tersebut menunjukkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN

PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PELALAWAN, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM. A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen. antar anggota masyarakat yang satu dengan yang

BAB III TINJAUAN UMUM. A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen. antar anggota masyarakat yang satu dengan yang BAB III TINJAUAN UMUM A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen Keberadaan hukum dalam masyarakat merupakan suatu sarana untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat, sehingga dalam hubungan

Lebih terperinci

BAB IV UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. A. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Yang Mengalami

BAB IV UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. A. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Yang Mengalami BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI ELECTRONIC BILL PRESENTMENT AND PAYMENT DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BW JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK A. Perlindungan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Oleh George Edward Pangkey ABSTRAK

Oleh George Edward Pangkey ABSTRAK ANALISIS TERHADAP PENERAPAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU PERUMAHAN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Oleh George Edward Pangkey ABSTRAK Pebisnis

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perlindungan Konsumen Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dan bukan Undang-Undang tentang Konsumen. menyebutkan pengertianpengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya pada. ditangguhkan sampai waktu yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya pada. ditangguhkan sampai waktu yang akan datang. BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Istishna merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Pelaksanaan Pengawasan Pencantuman Klausula Baku oleh BPSK Yogyakarta

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Pelaksanaan Pengawasan Pencantuman Klausula Baku oleh BPSK Yogyakarta BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Pelaksanaan Pengawasan Pencantuman Klausula Baku oleh BPSK Yogyakarta Dalam transaksi jual beli, biasanya pelaku usaha telah mempersiapkan perjanjian yang telah

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI KOTA

PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI KOTA LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 178 TAHUN : 2014 PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGANN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CIMAHI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menampakkan jati diri.

BAB I PENDAHULUAN. hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menampakkan jati diri. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perumahan merupakan kebutuhan utama atau primer yang harus dipenuhi oleh manusia. Perumahan tidak hanya dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan hidup, tetapi

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING A. Pelaksanaan Jual Beli Sistem Jual beli Pre Order dalam Usaha Clothing Pelaksanaan jual beli sistem pre order

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen. 1 Hal ini dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen. 1 Hal ini dapat dilihat dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat, dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan perlindungan hukum antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum, 19 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian Pembiayaan Konsumen 2.1.1 Pengertian Perjanjian Pembiayaan konsumen Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perlindungan Konsumen, Konsumen, dan Pelaku Usaha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perlindungan Konsumen, Konsumen, dan Pelaku Usaha 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perlindungan Konsumen 1. Pengertian Perlindungan Konsumen, Konsumen, dan Pelaku Usaha Hukum Perlindungan Konsumen menurut Az. Nasution adalah hukum konsumen yang memuat asas-asas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat vital dalam kehidupan masyarakat, hal ini didasari beberapa faktor

BAB I PENDAHULUAN. sangat vital dalam kehidupan masyarakat, hal ini didasari beberapa faktor BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia merupakan daratan yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil serta berupa perairan yang terdiri dari sebagian besar laut dan sungai,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Bandung: PT. Citra Adiya Bakti, 2001, hal.vii-viii.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Bandung: PT. Citra Adiya Bakti, 2001, hal.vii-viii. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan zaman yang menyebabkan kebutuhan masyarakat akan kecepatan atas akses infomasi dan telekomunikasi semakin tinggi. Perkembangan masyarakat salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kalangan individu maupun badan usaha. Dalam dunia usaha dikenal adanya

BAB I PENDAHULUAN. kalangan individu maupun badan usaha. Dalam dunia usaha dikenal adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara hukum, dimana Negara hukum memiliki prinsip menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kepada kebenaran dan

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. Tujuan negara Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah :

BAB. I PENDAHULUAN. Tujuan negara Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah : BAB. I PENDAHULUAN Tujuan negara Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah : Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. semakin pesatnya perkembangan dunia bisnis. Tentunya proses yang berjalan

BAB 1 PENDAHULUAN. semakin pesatnya perkembangan dunia bisnis. Tentunya proses yang berjalan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perekonomian di Indonesia saat ini didukung oleh perkembangan globalisai yang semakin maju. Perkembangan globalisasi tersebut berpengaruh terhadap semakin pesatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melayani masyarakat yang ingin menabungkan uangnya di bank, sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. melayani masyarakat yang ingin menabungkan uangnya di bank, sedangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting dalam masyarakat. Oleh karena itu hampir setiap orang pasti mengetahui mengenai peranan bank

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN 2.1 Pengertian Perjanjian Buku III KUHPerdata Indonesia mengatur tentang Perikatan, terdiri dari dua bagian yaitu peraturan-peraturan umum

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TANGGUNGJAWAB PRODUK TERHADAP UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

TINJAUAN YURIDIS TANGGUNGJAWAB PRODUK TERHADAP UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TINJAUAN YURIDIS TANGGUNGJAWAB PRODUK TERHADAP UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Dwi Afni Maileni Dosen Tetap Program Studi Ilmu Hukum UNRIKA Batam Abstrak Perlindungan konsumen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN (PELAKU USAHA) DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN (PELAKU USAHA) DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN (PELAKU USAHA) DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengaturan Perlindungan Konsumen di Indonesia Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II KAJIAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB II KAJIAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Latar Belakang Perlindungan Konsumen Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materil maupun formal semakin terasa sangat penting, mengingat makin

Lebih terperinci

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS CACAT TERSEMBUNYI PADA OBJEK PERJANJIAN JUAL BELI MOBIL YANG MEMBERIKAN FASILITAS GARANSI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO

Lebih terperinci

A. Pengertian konsumen dan perlindungan konsumen. Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

A. Pengertian konsumen dan perlindungan konsumen. Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau A. Pengertian konsumen dan perlindungan konsumen 1. Pengertian Konsumen Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). 15 Pengertian tersebut secara

Lebih terperinci

JIME, Vol. 3. No. 1 ISSN April 2017 PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN PDAM ATAS PENETAPAN TARIF DALAM KONTRAK BAKU

JIME, Vol. 3. No. 1 ISSN April 2017 PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN PDAM ATAS PENETAPAN TARIF DALAM KONTRAK BAKU PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN PDAM ATAS PENETAPAN TARIF DALAM KONTRAK BAKU EDI YANTO Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram Email: edidinata85@gmail.com Abstrak; Pembangunan di Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. barang dan jasa, serta fasilitas pendukung lainnya sebagai pelengkap yang dibutuhkan

BAB 1 PENDAHULUAN. barang dan jasa, serta fasilitas pendukung lainnya sebagai pelengkap yang dibutuhkan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan dunia usaha di Indonesia semakin ketat akan persaingannya, banyak perusahaan-perusahaan tumbuh berkembang dengan menawarkan beberapa pelayanan

Lebih terperinci

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS PEMAKAIAN JASA DARI PELAKU USAHA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS PEMAKAIAN JASA DARI PELAKU USAHA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS PEMAKAIAN JASA DARI PELAKU USAHA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Perlindungan konsumen sebelum terbentuknya undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. PT. Telekomunikasi Indonesia atau yang sering dikenal oleh awam dengan

BAB I PENDAHULUAN. PT. Telekomunikasi Indonesia atau yang sering dikenal oleh awam dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah PT. Telekomunikasi Indonesia atau yang sering dikenal oleh awam dengan Telkom, merupakan perusahaan informasi dan komunikasi serta penyedia jasa dan jaringantelekomunikasi

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. apalagi jangkauannya sendiri sangat luas meliputi sektor profit maupun nonprofit.

BAB I PENDAHULUAN. apalagi jangkauannya sendiri sangat luas meliputi sektor profit maupun nonprofit. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelayanan umum (public service) memang sarat dengan berbagai masalah, apalagi jangkauannya sendiri sangat luas meliputi sektor profit maupun nonprofit. Sedemikian luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dengan kodratnya, manusia diciptakan sebagai makhluk sosial.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dengan kodratnya, manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai dengan kodratnya, manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Menjalin suatu hubungan / interaksi antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah bidang industri. Hal ini didukung dengan tumbuhnya sektor

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah bidang industri. Hal ini didukung dengan tumbuhnya sektor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dewasa ini telah banyak memberikan berbagai kemajuan dalam pembangunan. Salah satunya adalah bidang industri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alat transportasi yang banyak dibutuhkan oleh manusia adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini menjadi salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk

BAB I PENDAHULUAN. Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk menyimpan dan meminjam uang. Namun, pada masa sekarang pengertian bank telah berkembang sedemikian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan masyarakat yang akan mengajukan pinjaman atau kredit kepada bank. Kredit merupakan suatu istilah

Lebih terperinci