ANALISIS PAJAK PENGHASILAN JOINT OPERATION

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS PAJAK PENGHASILAN JOINT OPERATION"

Transkripsi

1 1 ANALISIS PAJAK PENGHASILAN JOINT OPERATION JASA KONSULTANSI PADA BIDANG KONSTRUKSI (STUDI KASUS PADA PT. ARKONIN ENGINEERING MP JO PT. CATUR KARSA GEMILANG) Nadhilah Hafizhi, Gunadi Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Abstract This study analyze the implementation of Joint Operation s Income Tax obligations fulfillment, and also discuss about the probability of Joint Operation as the subject for Income Tax. This study use qualitative approach and method. It concluded that the Income Tax liability upon Joint Operation on PT. Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang has followed the provisions based on circular issued by Directorate General of Tax, unfortunately the circular which been issued is private rulling that is mainly used for its internal affair of taxpayers. Obstacles faced by the Joint Operation on the fulfillment of Income Tax obligation were about withholding taxes article 21 and article 23. The form of Joint Operation as not the subject of Income Tax is correct, especially because the Body into the subject of Income Tax in general is not temporary like Joint Operation. Keywords: Construction; Income Tax; Joint Operation Pendahuluan Pembangunan infrastruktur penting dalam pembangunan nasional karena menunjang aktivitas masyarakat sehari-hari, yang pada akhirnya dapat mendukung pertumbuhan dari suatu negara. Jasa konstruksi merupakan salah satu bidang usaha yang menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau bentuk fisik lainnya, memiliki peranan penting dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan nasional melalui pembangunan infrastruktur seperti pengadaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sudarto (2011) menyatakan bahwa sektor konstruksi berpengaruh terhadap hampir seluruh sektor bidang perekonomian, antara lain jalan, bendungan, pekerjaan irigasi, perumahan, sekolah, dan pekerjaan konstruksi lain yang merupakan landasan fisik untuk pengembangan dan peningkatan standar hidup. Selain melalui pembangunan fisik pengadaan sarana dan prasarana, pertumbuhan ekonomi juga didukung oleh jasa konstruksi melalui berkembangnya industri barang dan jasa yang diperlukan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Industri ini akan tumbuh seiring dengan berkembanganya perusahaan jasa konstruksi.

2 2 Nilai Konstruksi yang Diselesaikan di Indonesia Tahun Nilai Konstruksi (dalam miliar rupiah) Persentase Kenaikan (%) , , , ,3 Sumber : Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa saat ini usaha jasa konstruksi terus berkembang. Hal ini dapat dilihat melalui banyaknya bangunan fisik atau pekerjaan yang diselesaikan berdasarkan surat perjanjian kerja, yang disebut sebagai nilai konstruksi. Nilai konstruksi merupakan besarnya nilai pekerjaan yang diselesaikan secara fisik selama jangka waktu tertentu oleh pihak kontraktor atas pekerjaan berdasarkan surat perjanjian kontrak atau surat perintah kerja antara pemilik dengan kontraktor. Nilai konstruksi selalu meningkat setiap tahunnya. Seiring dengan perkembangan zaman serta meningkatnya tuntutan masyarakat akan kuantitas dan kualitas hasil pekerjaan konstruksi, maka diperlukan manajemen dalam usaha jasa konstruksi. Para pelaku usaha bidang konstruksi mengatur strategi untuk mencapai hasil yang diharapkan melalui sumber daya material maupun sumber daya manusia yang dimiliki. Salah satu jalan yang ditempuh oleh para pelaku usaha bidang konstruksi ialah dengan menjalin perjanjian kemitraan. Perjanjian kerja bersama mitra bisnis dalam bidang konstruksi merupakan upaya memperkecil risiko yang dihadapi dalam pembangunan dan memperbesar potensi keuntungan. Risiko tersebut antara lain ialah tidak terpenuhinya standar kualitas yang diharapkan, tidak terselesaikannya pelaksanaan pembangunan sesuai jadwal yang telah ditetapkan, terlampauinya anggaran biaya pelaksanaan dari rencana pengeluaran, serta gagalnya metode pelaksanaan pembangunan yang dianut. Potensi keuntungan dapat diperbesar karena dapat dilakukan penghematan biaya operasional pelaksanaan pekerjaan, serta meminimalisasi kemungkinan terjadinya kesalahan. Kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pelaksanaan pekerjaan akan mengakibatkan kerugian biaya, waktu, dan kualitas pekerjaan. Karena keuntungan-keuntungan tersebut, maka para pengusaha jasa konstruksi seringkali melakukan strategi kemitraan untuk mengerjakan suatu proyek melalui pembentukan Joint Operation atau yang biasa disebut sebagai JO.

3 3 JO atau Kerjasama Operasi (KSO), merupakan kerjasama operasi dua badan usaha atau lebih yang bersifat sementara, hanya untuk melaksanakan suatu proyek tertentu sampai proyek tersebut selesai dikerjakan (Muljono, 2009, h.21). Pada saat proyek tersebut selesai, maka JO pun selesai dan harus dibubarkan. Pengertian JO sama dengan KSO, tetapi istilah JO lebih banyak digunakan pada kegiatan usaha kontraktor, sementara perlakuan perpajakan pada JO sama dengan perlakuan perpajakan pada KSO (Muljono, 2009, h.21). Di sisi lain, istilah KSO digunakan pada kegiatan pengelolaan dan pengoperasian sarana/ jaringan telekomunikasi, pengoperasian pelayanan medis (rumah sakit), dan sebagainya. Salah satu pekerjaan yang dilaksanakan dengan membentuk JO misalnya Review Program dan Kegiatan Pegembangan Permukiman yang diselenggarakan oleh Kementrian Pekerjaan Umum. JO pada pekerjaan ini dibentuk karena terdapat keuntungan berupa kemudahan pengoperasian pekerjaan, yaitu beban pekerjaan dibagi dan dikerjakan bersama. Kegiatan Pengembangan Permukiman merupakan program dari Kementrian Pekerjaan Umum yang bertujuan untuk menciptakan tempat tinggal yang layak bagi rumah tangga. Proyek ini dilakukan di 32 propinsi di Indonesia, dengan sumber dana dari Anggaran Pengeluaran Belanja Negara (APBN). Penyerahan jasa pada pekerjaan Review Program dan Kegiatan Pengembangan Permukiman ialah berupa jasa konsultansi. Hasil akhir pekerjaan merupakan rekomendasi atas perbaikan program dan kegiatan pengembangan permukiman sehingga pembangunan permukiman masyarakat dapat berjalan sesuai rencana. JO dibentuk oleh dua perusahaan yang bergerak dalam industri jasa konstruksi pada pekerjaan ini. Pelaksanaan pekerjaan Review Program dan Kegiatan Pengembangan Permukiman oleh PT. Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang dalam implementasinya mengalami beberapa hambatan, yaitu dalam pemenuhan kewajiban perpajakan atas Pajak Penghasilan (PPh), khususnya PPh potong pungut. Perangkat hukum pajak yang ada sementara ini tidak mengakomodir atau mengatur secara tegas mengenai JO karena pengaturannya baru terdapat dalam bentuk Surat dan Surat Edaran untuk Pajak Penghasilan. Pengaturan pajak atas JO diatur dalam beberapa private rulling seperti S-323/PJ.42/1989, S-60/PJ.422/1994, S-1375/PJ.52/2001, S-823/PJ.312/2002, dan S-830/PJ.312/2005. Pada surat-surat tersebut dinyatakan bahwa JO bukanlah Subjek Pajak Penghasilan tetapi memiliki kewajiban sebagai withholder, melakukan potong pungut atas withholding taxes, seperti pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Satu-satunya pengaturan pajak atas JO yang memiliki kekuatan hukum mengikat dan berlaku saat ini ialah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2012 yang pada Pasal 3

4 4 menyatakan bahwa bentuk KSO dikategorikan sebagai Badan dalam pengaturan PPN, sehingga memiliki kewajiban melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak atas nama bentuk KSO. Pengertian JO dan KSO dipersamakan karena keduanya memiliki pengertian serupa, yaitu kerjasama operasi dua badan usaha atau lebih yang bersifat sementara hanya untuk melaksanakan suatu proyek tertentu sampai proyek tersebut selesai dikerjakan. Oleh karena itu PP Nomor 1 Tahun 2012 berlaku pula bagi JO karena definisinya sama dengan KSO. Sebaiknya pengaturan pajak atas JO diatur dalam suatu perangkat yang baku dan memiliki kekuatan hukum mengikat, mengingat peraturan pajak merupakan suatu instrumen penting dalam pemungutan pajak. Pengaturan pajak atas JO yang baku dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat memenuhi asas kepastian (certainty) sehingga dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya kesulitan dan kesalahan pada pelaksanaan kewajiban perpajakan. Asas certainty merupakan asas kepastian pemungutan pajak meliputi subjek pajak, objek pajak, jumlah pajak terutang, kapan pajak harus dibayar, dan kemana pajak tersebut harus dibayar. Tanpa adanya acuan mengenai pelaksanaan kewajiban perpajakan atas JO selain surat-surat DJP yang bersifat sebagai private rulling, pada pelaksanaannya hal ini dapat menimbulkan kesulitan bahkan kesalahan penghitungan pajak terhutang atas penghasilan maupun kewajiban potong pungut JO. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, pertanyaan penelitian dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan kewajiban Pajak Penghasilan atas Joint Operation pada PT. Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang? 2. Apa hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan kewajiban Pajak Penghasilan atas Joint Operation pada PT. Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang? 3. Bagaimana kemungkinan bentuk Joint Operation dapat dijadikan Subjek Pajak Penghasilan? Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk Menganalisis pelaksanaan kewajiban Pajak Penghasilan atas Joint Operation pada PT. Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang, menganalisis hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan kewajiban Pajak Penghasilan atas Joint Operation pada PT. Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang, dan menganalisis kemungkinan bentuk Joint Operation untuk dapat dijadikan Subjek Pajak Penghasilan.

5 5 Tinjauan Teoritis Mardiasmo (2008) mengutip Rochmat Soemitro, mengungkapkan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Terdapat tiga unsur pokok perpajakan menurut Mansury (1996) yaitu kebijakan perpajakan (tax policy) merupakan kebijaksanaan perpajakan positif merupakan alternatif yang dipilih dari berbagai pilihan lain, agar dapat dicapai sasaran yang hendak dituju sistem perpajakan; Undang-undang perpajakan (tax laws) adalah seperangkat peraturan perpajakan yang terdiri dari Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya; administrasi perpajakan (tax administration) instansi atau badan yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan pungutan pajak, orang orang yang terdiri dari pejabat dan pegawai yang bekerja ada instansi paerpajakan yang secara nyata melaksanakan kegiatan pemungutan pajak, dan kegiatan penyelenggaraan pungutan pajak oleh suatu instansi atau badan guna mencapai sasaran sesuai kebijaksanaan pajak berdasarkan sarana hukum dalam Undang-undang perpajakan dengan efisien. Pada dasarnya terdapat tiga asas penting dalam sistem pajak yang harus selalu diperhatikan sehingga tercapai keseimbangan antara pemerintah dan masyarakat. The revenue adequacy principle untuk kepentingan pemerintah, the equity principle untuk kepentingan masyarakat, dan the certainty principle untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat. Asas ease of administration dalam beberapa literatur seringkali dikaitkan dengan certainty principle. Mansury (1996) mengungkapkan bahwa kaidah certainty menyangkut kepastian akan empat hal, yaitu kepastian akan siapa Subjek Pajak, kepastian tentang Objek Pajak hingga jumlah pajak yang harus dibayar, kepastian tentang berapa jumlah pajak yang harus dibayar, dan kepastian tentang bagaimana jumlah pajak terutang harus dibayar. Pengertian certainty lebih lanjut ialah menjamin setiap orang untuk tidak ragu-ragu untuk menjalankan kewajiban membayar pajak, karena segala sesuatunya sudah jelas (Judisseno, 2005, h. 11). Certainty atau asas kepastian hukum adalah tujuan setiap undang-undang. Dalam membuat undangundang dan peraturan-peraturan yang mengikat umum, harus diusahakan supaya ketentuan yang dimuat dalam undang-undang adalah jelas, tegas, dan tidak mengandung arti ganda atau memberikan peluang untuk ditafsirkan lain (Soemitro, Rochmat dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, h. 21). Pajak pada hakikatnya merupakan iuran kepada negara yang dipungut berdasarkan Undang-undang. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa erat kaitannya antara pemungutan pajak dengan hukum yang melandasinya, sehingga diperlukan kepastian hukum

6 6 dalam pemungutan pajak. Soemitro (1988) mengungkapkan bahwa untuk mewujudkan kepastian hukum, diperlukan beberapa faktor, yaitu objek, subjek, tempat, waktu, pendefinisian, penyempitan/ perluasan, ruang lingkup, penggunaan bahasa hukum, penggunaan istilah yang baku, dan syarat-syarat lain. Penghasilan merupakan salah satu objek pajak. Mansury (1996) mengungkapkan bahwa definisi penghasilan ialah apa saja sumber tambahan kemampuan untuk menguasai barang dan jasa yang dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Dalam Pajak Penghasilan dikenal istilah withholding taxes yang merupakan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga untuk melakukan pemotongan. Pajak Penghasilan menurut Pandiangan (2010) adalah salah satu jenis pajak langsung yang ada di Indonesia dan dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Departemen Keuangan. Hibridisasi antara self assessment dan official assessment semakin berkembang pesat sejak diperkenalkannya teknik pemotongan/ pemungutan pajak yang populer disebut withholding tax (Rosdiana dan Edi Slamet, 2011, h.107). Sistem ini adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak (Mardiasmo, 2008, h. 8). Ditinjau dari segi pemotongan pajak pada saat penerimaan penghasilan, withholding tax system adalah sistem pemotongan pajak pada sumbernya yang disebut sebagai levying tax at source (Nurmantu, 2005, h.110). PPh Pemotongan Pemungutan merupakan penerapan sistem perpajakan yang menggunakan withholding system di mana pajak yang dibayar seseorang atau badan, dipotong atau dipungut oleh pihak ke 3 (Setiawan, 2006, h. 1). Dalam bidang usaha jasa konstruksi, untuk meminimalisir resiko pelaksanaan maka seringkali kontraktror memberntuk Joint Operation. Joint Operation dilakukan oleh beberapa perusahaan karena berbagai alasan, seperti proyek yang akan dikerjakan cukup besar sehingga memerlukan pendanaan besar, atau diperlukan keahlian yang bermacam-macam, yang terkadang tidak dipunyai oleh satu perusahaan sehingga perusahaan itu merasa perlu untuk bekerja sama dengan perusahaan lain (Muldjono, 2009, h. 21). Modal kerja JO berupa kelebihan kemampuan dari masing-masing anggotanya yang dapat berupa kemampuan penguasaan teknologi, financial support yang kuat, spesialisasi keahlian, atau bahkan fasilitas penugasan semata (Rahayu, Ning dan Iman Santoso, 2007, h. 116). Santoso (2007) mengelompokkan JO ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu: (1) Kerjasama Administratif Formal (KSF); dan (2) Kerjasama Operasional (KSO). Pada bentuk KSF, dibentuk suatu bentuk badan baru sebagai perwujudan Joint Operation antara pihak terkait.

7 7 Oleh karena itu KSF dikenal pula sebagai JO dengan separate legal entity. Pada bentuk KSO, tidak dibentuk suatu badan baru sebagai perwujudan Joint Operation antara pihak terkait sehingga tanggung jawab pekerjaan terhadap project owner berada pada masing-masing anggota JO. Oleh karena itu KSO dikenal pula sebagai JO dengan non-separate legal entity. Dalam KSF, terdapat Joint Operation Agreement (JOA) dimana di dalamnya terdapat hak dan kewajiban anggota JO secara jelas, termasuk mengenai penghasilan. JOA mengatur hal-hal teknis yang mencakup tata cara kontribusi pendanaan JO, pengaturan mengenai penyusutan, sewa alat, biaya gaji/ upah karyawan, dsb, serta rasio pembagian hasil bersih usaha yang dilakukan oleh JO. Sementara pada KSO, pembagian penghasilan atas anggota JO didasarkan pada konstribusinya. Metode Penelitian Bungin (2010) mengungkapkan bahwa format deskriptif kualitatif pada umumnya dilakukan pada penelitian dalam bentuk studi kasus. Metode kualitatif pada umumnya digunakan dalam penelitian yang bertujuan untuk eksplorasi, eksplanasi, dan mendeskripsikan suatu fenomena. Permasalahan yang ingin diangkat dalam penelitian ini diteliti dengan menggunakan pendekatan kualitatif karena penelitian berbentuk studi kasus dan bertujuan untuk menggambarkan dan mendokumentasikan bagaimana pelaksanaan kewajiban perpajakan pada PT. Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang, serta hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pekerjaan Review Program dan Kegiatan Pengembangan Permukiman, serta menggambarkan kemungkinan JO untuk menjadi Subjek Pajak Penghasilan. Berdasarkan tujuan penelitian, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif karena bertujuan untuk mendeskripsikan kewajiban Pajak Penghasilan dari PT. Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang beserta hambatan yang dihadapinya. Penelitian berfokus pada kasus yang dihadapi oleh PT. Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang. Penelitian juga bertujuan untuk menggambarkan kemungkinan JO untuk menjadi Subjek Pajak Penghasilan. Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif dilakukan dengan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milah dalam satuan yang dapat dikelola, mensistesiskannya, mencari dan menemukan pola, kemudian menemukan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Dalam penelitian ini, dilakukan analisis terhadap permasalahan berdasarkan studi dokumen yang didukung dengan teori-teori yang relevan. Referensi literatur

8 8 tersebut selanjutnya dikaitkan dengan data lapangan yang ditemukan. Hasil wawancara dengan informan menjadi data pendukung dalam analisis yang dilakukan. Untuk mendapatkan hasil analisis, peneliti melakukan organisasi data serta mencari dan menemukan pola sehingga dapat ditarik suatu simpulan dari penelitian yang dilakukan. Hasil Penelitian dan Pembahasan Subjek Pajak dalam bentuk kerjasama JO ialah dua badan atau lebih yang memiliki tujuan yang sama dan setuju untuk bekerjasama menyelesaikan suatu pekerjaan. Bentuk kerjasama tersebut selain disebut sebagai JO, seringkali disebut sebagai KSO. Dalam pengaturan Surat dan Surat Edaran yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, tidak ada suatu istilah khusus yang pasti digunakan untuk bentuk kerjasama ini. Hal tersebut bertentangan dengan definisi JO dalam literatur yang menyebutkan bahwa JO terbagi menjadi KSF dan KSO. Istilah JO seringkali dipertukarkan dengan KSO dalam pengaturan Surat atau Surat Edaran dari Direktorat Jenderal Pajak. Hal tersebut dapat menimbulkan kesalahan penafsiran dari sisi Wajib Pajak, karena kewajiban pajak atas KSF dan KSO berbeda. Pengertian bentuk kerjasama tersebut dalam Surat yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak. Atas istilah JO ataupun KSO dalam Surat Dirjen Pajak, seharusnya diseragamkan. Hal tersebut dapat meminimalisir terjadinya kesalahan pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak. Selain itu, dengan seragamnya istilah yang digunakan, maka pengaturan atas JO maupun KSO tersebut menjadi pasti dan tegas. Hal tersebut sesuai dengan asas certainty yang memiliki tujuan utama agar dalam pembuatan undang-undang dan peraturan-peraturan yang mengikat umum, harus diusahakan supaya ketentuan yang dimuat dalam undang-undang adalah jelas, tegas, dan tidak mengandung arti ganda atau memberikan peluang untuk ditafsirkan lain. Pengaturan Pajak atas JO hingga saat ini hanya diatur dalam bentuk Surat dan Surat Edaran dari Direktorat Jenderal Pajak. Surat dan Surat Edaran terkait pengaturan pajak atas JO diantaranya ialah S-323/PJ.42/1989, S-752/PJ.52/1990, S-60/PJ.422/1994, SE-44/PJ/1994, S-1375/PJ.52/2001, S-823/PJ.312/2002, S-830/PJ.312/2005, dan S-956/PJ.53/2005. Satusatunya pengaturan dalam bidang Pajak Penghasilan yang lebih tinggi dari Surat dan Surat Edaran ialah Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-214/PJ./2001 yang menyatakan bahwa atas JO diwajibkan melaksanakan pembukuan. Pengaturan lainnya ialah dalam bidang Pajak Pertambahan Nilai yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 yang mengatur JO sebagai bentuk badan lainnya sebagai Subjek PPN. Pengaturan pajak atas JO yang terbatas berupa Surat dan Surat Edaran Dirjen Pajak belum memadai dan tidak memiliki kekuatan

9 9 hukum mengikat berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Pengaturan pajak atas JO yang terbatas dalam bentuk Surat dan Surat Edaran dari Dirjen Pajak tidak memenuhi asas certainty karena kedua bentuk pengaturan tersebut tidak memiliki kedudukan hukum dalam hierarki pengaturan Perundang-undangan di Indonesia. Tanpa adanya pengaturan yang memiliki kekuatan hukum mengikat maka pengaturan tersebut menjadi tidak pasti. Oleh karena itu, sebaiknya pengaturan atas perlakuan pajak JO beserta mekanisme dan tata cara pemotongan atau pemungutannya, khususnya PPh diatur secara jelas dan pasti sehingga tidak terjadi kesalahan persepsi yang pada akhirnya menyebabkan kerugian bagi Wajib Pajak. Tanpa adanya prosedur yang jelas maka Wajib Pajak akan sulit untuk menjalankan kewajibannya, menimbulkan keragu-raguan, dan bagi fiskus ataupun pihak lainnya yang terlibat lainnya dapat mengalami kesalahan penafsiran. Pengaturan yang tidak memadai selain menimbulkan masalah ketidakpastian dalam bidang hukum (asas certainty), menimbulkan masalah dalam kesederhanaan pemungutan dan pemenuhan kewajiban pajaknya dari sisi Wajib Pajak. Simplicity menegaskan bahwa peraturan pajak hendaknya sederhana, sehingga pasti, jelas, dan mudah dimengerti oleh Wajib Pajak. Kesederhanaan struktur sistem perpajakan dapat menciptakan kesederhanaan dalam melaksanakan pemungutan pajak, sedangkan kesederhanaan penyusunan Undang-undang dapat mempermudah pemahaman Undang-undang tersebut. Pengaturan pajak yang tidak pasti dan dapat menimbulkan kesalahan penafsiran dalam pelaksanaannya, tidak memenuhi simplicity. Mengingat semakin meningkatnya pelaksanaan pekerjaan proyek dengan JO di bidang konstruksi, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak perlu mengatur lebih tegas perlakuan perpajakan atas JO dalam satu bentuk pengaturan pajak yang hierarki legalnya lebih kuat dasar dan kekuatan hukumnya. Pengaturan pajak atas JO sekurang-kurangnya dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan atau Peraturan Dirjen Pajak, agar terdapat kepastian hukum sebagai acuan umum bagi wajib pajak dalam menjalankan dan mematuhi kewajiban dan haknya di bidang perpajakan dengan baik dan benar. Pengaturan pajak atas JO dalam Peraturan Menteri Keuangan atau Peraturan Dirjen Pajak memiliki kepastian hukum dan kekuatan hukum sesuai dengan hierarki Peraturan Perundang-undangan pada Undangundang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Narasumber dari pihak Direktorat Jenderal Pajak mengungkapkan bahwa: Intinya itu sih begini ya kalau yang biasa kami pakai karena kami di peraturan, jadi sebenarnya pengaturan itu sudah ada tingkatan-tingkatannya. Jadi dari Undang-undang

10 10 Dasar, lalu Undang-undang, PP, Peraturan Menteri, dan yang lain sebagainya ya ada disitu. Nah yang diakui sebagai Undang-undang itu yang mana saja. Nah Perdirjen atau SE, sebenarnya itu tidak diakui ya, cuma mereka bisa diakui asalkan diamanhkan oleh peraturan diatasnya. Undang-undaangnya itu nanti nyuruh apakah diatur oleh Perdirjen atau SE begitu, sehingga Perdirjen atau SE ini diakui. Begitu juga bisa dengan PP atau PMK nya nyuruh diatur dengan Perdirjen atau SE jadi bisa diakui. Tapi kalau untuk PER dan SE ini enggak ada amanat nya dari atas, ya itu perlu dipertanyakan lagi berarti. Biasanya kalau di Perdirjen atau SE, kita hanya mengatur tata cara saja. Jadi sebenarnya pengaturan tata cara ini kan kewenangan kita ya, kewenangan DJP untuk mengatur, seperti tata cara menyetor, melapor, begitu. Jadi hal ini bisa mengakomodasi Wajib Pajak dan juga kita supaya semua hal menjadi jelas. Jadi bisa berfungsi bagi dua belah pihak (Wawancara mendalam dengan Samudra dan Agus, 20 Mei 2013). Berdasarkan uraian informan di atas, dapat dilihat bahwa pengaturan pajak atas JO yang terbatas berupa Surat dan Surat Edaran Dirjen Pajak belum memadai dan tidak memiliki kekuatan hukum apabila memperhatikan Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Surat dan Surat Edaran Dirjen Pajak tidak memiliki kedudukan dan kekuatan hukum berdasarkan Undang-undang tersebut. Untuk pengaturan pajak, lebih baik diatur dalam bentuk PER, PP, atau PMK sehingga memiliki kepastian hukum dan dapat mengikat secara umum. Pengaturan dalam bentuk PER, PP, atau PMK tersebut pun hendaknya didukung dengan amanat pada Undangundang di atasnya yang menyatakan bahwa untuk tata laksana selanjutnya diatur dalam PER, PP, atau PMK tersebut. Pada PT. Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang, dibentuk suatu badan baru (separate legal entity) sebagai bentuk kerja sama dari pihak anggota di dalamnya, sehingga tanggung jawab pekerjaan terhadap pemilik proyek, Kementrian Pekerjaan Umum, berada pada entitas JO, bukan pada masing-masing JO. JO ini merupakan bentuk kerja sama operasional dari dua entitas berbeda yaitu PT. Arkonin Engineering MP dan PT. Catur Karsa Gemilang. Pada JO dibentuk entitas baru bernama PT. Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang, sehingga JO ini merupakan bentuk administrative JO. Dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, PT. Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang telah mengikuti ketentuan sesuai Surat dan Surat Edaran Dirjen Pajak. Namun pada hakikatnya kedua pengaturan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena Surat merupakan jawaban dari Dirjen Pajak atas pertanyaan dari Wajib Pajak terkait

11 11 masalah yang dihadapinya. Surat bersifat internal bagi Wajib Pajak yang dituju, seharusnya Surat tida menjadi acuan hukum untuk Wajib Pajak secara umum. Terdapat kewajiban withholding taxes PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 pada PT. Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang. Dalam pelaksanaan withholding taxes tersebut terdapat hambatan yang dialami. Pada PPh Pasal 21, hambatan yang dihadapi ialah ketika JO mengalami pemeriksaan laporan keuangan dan kewajiban perpajakannya oleh BPKP, maka para pegawai atau karyawan atas JO dikategorikan sebagai tenaga ahli padahal mereka ialah pegawai tetap yang berasal dari perusahaan anggota JO. Hal ini dialami oleh anggota lead JO yaitu PT. Arkonin Engineering MP. Pada pelaporan akhir laporan keuangan dan penyetoran PPh 21, berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), para pegawai tetap yang bekerja pada JO dikategorikan sebagai tenaga ahli sehingga atas dasar penghasilan yang sama atas pegawai bersangkutan terdapat dua kali pengenaan pajak yaitu atas pegawai tetap pada perusahaan dan sebagai tenaga ahli pada JO. Pengenaan PPh Pasal 21 sebanyak dua kali atas seorang pegawai, yaitu sebagai pegawai tetap dan tenaga ahli, menyebabkan Wajib Pajak dirugikan karena berarti ia harus membayar jumlah pajak lebih besar dari yang seharusnya terutang. Hambatan yang dihadapi dalam PPh Pasal 23 ialah penghasilan yang diterima oleh JO dari pemberi penghasilan dipotong langsung dari jumlah omzet, walaupun sudah dipisahkan dalam laporan keuangan JO antara biaya personalia dan biaya non personalia. Atas biaya personalia seharusnya tidak dipotong PPh Pasal 23 karena sudah dipotong PPh Pasal 21 kepegawaian. Kesalahan penerapan dasar pengenaan PPh Pasal 23 tersebut menyebabkan kerugian bagi JO karena jumlah pajak terutang menjadi lebih besar dari yang seharusnya. Hendaknya pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan atas jumlah biaya non personalia saja. Permasalahan akan kesalahan perlakuan terhadap pemotongan pajak atas PPh Pasal 23 ini dapat dihindari apabila pada pekerjaan pemerintah atas pemeriksaan dari BPKP didampingi oleh pihak dari kantor pajak setempat. Pengaturan pada private rulling saat ini menyatakan bahwa JO bukanlah Subjek Pajak Penghasilan. Pada studi ini menganalisis hal-hal yang memungkinkan JO untuk menjadi Subjek Pajak Penghasilan beserta hal-hal yang tidak memungkinkan JO untuk menjadi Subjek Pajak Penghasilan. Apabila JO menjadi Subjek Pajak Penghasilan, maka pengaturan pajak atas JO menjadi lebih pasti, karena akan diatur dalam Undang-undang, khususnya Undangundang Pajak Penghasilan. Namun terdapat hal-hal lain yang tidak memungkinkan JO untuk menjadi Subjek Pajak Penghasilan, berikut merupakan penguraian secara ringkas dalam tabel berikut:

12 12 Kemungkinan JO Sebagai Badan dalam Subjek Pajak Penghasilan No. Hal-hal yang dapat memungkinkan JO untuk menjadi Subjek Pajak Penghasilan Hal-hal yang tidak memungkinkan JO untuk menjadi Subjek Pajak Penghasilan 1. Pada Pasal 1 angka 3 Undangundang KUP Nomor 28 Tahun 2007 dinyatakan bahwa pembayar, pemotong, dan pemungut pajak merupakan Wajib Pajak. JO memiliki kewajiban atas PPh potong pungut, sehingga JO seharusnya dapat menjadi Wajib Pajak. 2. JO merupakan bentuk badan lainnya dalam pengaturan PPN pada Undang-undang Nomor 42 tahun 2009, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun Berdasarkan KUHP 1623, JO merupakan persekutuan khusus. Persekutuan khusus ialah salah satu bentuk dari perkumpulan perdata. Pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang PPh Nomor 36 Tahun 2008, dinyatakan bahwa perkumpulan merupakan Subjek Pajak Penghasilan. 4. JO yang bersifat murni atau administrative JO dapat menjadi Subjek Pajak Penghasilan karena terbentuk suatu entity baru pada kerja sama tersebut, disertai dengan registrasi NPWP. Namun perlu diperhatikan juga jangka waktu pelaksanaan pekerjaan JO, karena JO yang cocok untuk dijadikan Subjek Pajak Penghasilan ialah yang dibentuk untuk pekerjaan dengan jangka waktu panjang. Pada private rulling yang diterbitkan oleh DJP, dinyatakan bahwa JO bukanlah Badan sebagai Subjek Pajak Penghasilan. Selain itu, Subjek Pajak Penghasilan Badan telah disebutkan satu persatu dalam Undang-undang PPh Nomor 36 Tahun 2008, dan JO bukanlah salah satunya. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 50/ PRI/ 1991 Pasal 1 huruf d menyatakan bahwa JO merupakan bentuk kerja sama yang bersifat sementara, sehingga JO bukanlah badan hukum menurut peraturan perundang-undangan Indonesia. Bentuk non pure JO atau non administrative JO tidak dapat dijadikan Subjek Pajak Penghasilan karena kerja sama hanya merupakan simbol dari koordinasi antar anggota JO. Pada non administrative JO juga tidak terdapat kewajiban untuk registrasi NPWP baru atas identitas JO. Apabila pekerjaan JO bersifat jangka pendek, maka pengubahan status JO menjadi Subjek Pajak akan mempersulit Wajib Pajak sendiri dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya.

13 13 No. Hal-hal yang dapat memungkinkan JO untuk menjadi Subjek Pajak Penghasilan Hal-hal yang tidak memungkinkan JO untuk menjadi Subjek Pajak Penghasilan 5. Adanya perubahan pengenaan tarif terhadap Penghasilan kena Pajak. Berdasarkan Undangundang Nomor 17 Tahun 2000 atas Penghasilan Kena Pajak dikenakan tarif progresif tiga lapis, sedangkan saat ini berlaku Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 yang menggunakan tarif flat sebesar 25%. 6. JO dapat dipersamakan dengan bentuk firma, khususnya administrative JO karena menggunakan nama bersama dalam entity JO yang baru dan melakukan transaksi dengan pihak luar dengan nama bersama yang baru tersebut. Hal ini terjadi dalam salah satu kasus perkara kasasi perdata Nomor 01 K/N/ Sebagai Subjek Pajak Penghasilan, JO akan memiliki kewajiban menyampaikan SPT tersendiri atas kegiatan usahanya. Untuk itu, JO akan melakukan pembukuan meliputi pencatatan atas penghasilan dan biaya yang dikeluarkan. Pembukuan berfungsi untuk mempermudah Wajib Pajak dalam pencatatan kegiatan usaha, dan bagi fiskus dapat mendukung fungsi pengawasan. Sumber: Hasil Olahan Peneliti Sifat JO bukanlah untuk melakukan suatu kegiatan usaha terus menerus, namun hanya bersifat sementara. Hal ini lah yang menyebabkan JO tidak dapat menjadi Badan sebagai Subjek Pajak Penghasilan. Selain itu, JO tidak memiliki organ pengurus khusus seperti bentuk Badan lainnya. Pada hakikatnya anggota JO ialah Subjek Pajak Penghasilan Badan yang dikenakan Pajak Penghasilan. Pengubahan JO menjadi Subjek Pajak Penghasilan membutuhkan upaya yang cukup besar. Diperlukan pengubahan Undangundang dan sistem administrasi atas pemungutan pajak atas JO ini. Pada akhirnya, hal tersebut dapat menyebabkan kerugian bagi Negara karena harus mengeluarkan biaya yang cukup besar atas pengubahan ini. Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat hal-hal yang memungkinkan JO untuk dapat menjadi Subjek Pajak Penghasilan, dan yang tidak memungkinkan JO untuk dapat menjadi Subjek Pajak Penghasilan. Menurut Undang-undang KUP, JO dapat menjadi Wajib Pajak karena kewajibannya memotong dan memungut withholding taxes. Apabila melihat Pasal 1 angka 2 Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 dinyatakan bahwa Wajib Pajak

14 14 merupakan Orang Pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Wajib Pajak merupakan setiap orang atau badan yang telah memenuhi persyaratan subjektif sebagai Subjek Pajak dan persyaratan objektif sebagai Objek Pajak. Jadi, dapat disimpulkan apabila seseorang atau badan mendapat predikat Wajib Pajak, maka secara otomatis ia merupakan Subjek Pajak. Pada pengertian Wajib Pajak Pasal 1 angka 2 Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 tersebut terdapat dua poin penting yaitu orang pribadi atau badan dan meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak. JO memenuhi kriteria Wajib Pajak menurut Undang-undang tersebut karena poin penting sebagai pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak dipenuhi, yang melalui kepemilikan NPWP atas namanya sendiri maka JO memiliki kewajiban membayar, memotong, dan memungut pajak atas withholding taxes. Namun JO tetap tidak memenuhi poin ponting sebagai Orang Pribadi atau Badan karena pada Pasal 1 angka 3 Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 tersebut diuraikan pengertian Badan. Berdasarkan Pasal 1623 KUH Perdata, JO merupakan salah satu bentuk persekutuan khusus karena JO dibentuk untuk menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu. JO dibentuk oleh anggotanya untuk mengerjakan suatu pekerjaan dan ketika pekerjaan tersebut selesai maka JO berakhir dengan sendirinya. Persekutuan perdata merupakan salah satu bentuk dari perkumpulan berbentuk bukan badan hukum berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. KUHP membagi perkumpulan perdata menjadi perkumpulan berbentuk badan hukum dan bukan badan hukum. Perkumpulan memiliki empat unsur yaitu adanya kepentingan bersama, kehendak bersama, unsur tujuan, dan kerjasama yang jelas. Apabila memperhatikan unsur-unsur tersebut maka seharusnya JO memenuhi unsur perkumpulan menurut perdata karena dibentuk berdasarkan kepentingan dan kehendak bersama dari anggota JO, serta memiliki tujuan dan kerjasama yang jelas, yang biasanya dituangkan dalam kontrak JO. Perkumpulan merupakan Subjek Pajak Badan menurut penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang PPh Nomor 36 Tahun 2008, sehingga seharusnya JO sebagai perkumpulan merupakan Badan berdasarkan Undang-undang PPh Nomor 36 Tahun 2008 menurut ketentuan perdata, namun private rulling yang diterbitkan oleh DJP yang menyatakan bahwa JO bukanlah Subjek Pajak Penghasilan. Apabila melihat sifat JO, terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan JO untuk menjadi Subjek Pajak Penghasilan. JO tidak dapat dikategorikan sebagai persekutuan karena terutama persekutuan di Indonesia pada umumnya didirikan oleh dua orang pribadi atau lebih yang bekerja sama terutama berdasarkan keahlian khususnya, dan persekutuan di Indonesia

15 15 didirikan untuk melakukan kegiatan yang bersifat terus menerus. Selain sifat JO yang sementara, salah satu alasan mengapa JO tidak dikatakan sebagai badan hukum atau disebut dengan legal entity ialah karena tidak adanya organ yang melakukan pengurusan atas JO secara tetap dan terus menerus. Pengubahan JO menjadi Subjek Pajak PPh sebagai Badan memerlukan banyak upaya dari sisi pemerintah karena akan dilakukan penyesuaian yang pada akhirnya merubah Peraturan Perundang-undangan Pajak Penghasilan dan sistem administrasi pelaporan SPT PPh Badan Pengubahan Peraturan Perundang-undangan Pajak Penghasilan perlu dilakukan sehingga terdapat kepastian hukum yang menyatakan bahwa JO merupakan Subjek Badan pada PPh, selain itu diperlukan petunjuk pelaksanaan mengenai pemenuhan kewajiban pajak JO sebagai Subjek Badan pada PPh. Perubahan sistem administrasi pelaporan SPT PPh Badan 1771 yang dimaksud ialah melalui penambahan formulir khusus bagi penghasilan dan biaya JO yang dilakukan oleh perusahaan. Pengubahan JO menjadi Subjek Badan pada PPh akan memerlukan banyak pengubahan peraturan pajak dan penerbitan formulir SPT PPh Badan 1771 yang baru. Pengubahan-pengubahan tersebut pada akhirnya memerlukan biaya yang tidak sedikit harus dikeluarkan oleh Pemerintah. Perbaikan sistem pengaturan pajak atas JO yang terbaik bukanlah melalui pengubahan status JO menjadi Subjek Badan Pajak Penghasilan karena terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan JO untuk menjadi Subjek Pajak Penghasilan. Perbaikan dapat dilakukan melalui penetapan kewajiban pembukuan meliputi laporan keuangan atas JO baik yang berbentuk administrative maupun non administrative. Laporan keuangan memiliki berbagai fungsi. Bagi pihak fiskus, penyelenggaraan pembukuan oleh JO dapat mempermudah fungsi pengawasan terhadap Wajib Pajak. Fiskus dapat memeriksa dan melakukan verifikasi secara tepat dan jelas terhadap Laporan Keuangan ataupun SPT PPh Badan dari perusahaan anggota JO. Bagi Wajib Pajak anggota JO, penyelenggaraan pembukuan meliputi laporan keuangan memberikan keuntungan untuk mempermudah sistem pencatatan keuangan dan dapat menjadi bukti terhadap fiskus apabila dibutuhkan kelak dalam pemeriksaan pajak. Wajib Pajak anggota JO dapat menunjukkan bukti yang nyata dan jelas atas penghasilan dan biaya yang dikeluarkan selama proyek JO berlangsung dihadapan fiskus apabila diperlukan nantinya. Pelampiran laporan keuangan JO dapat dilampirkan pada pelaporan SPT 21 Masa Desember yang merupakan akumulasi satu tahun atau dilampirkan pada pelaporan SPT PPh Badan masing-masing anggota JO. Selain kewajiban pembukuan meliputi laporan keuangan, perbaikan sistem pengaturan pajak juga hendaknya diikuti dengan adanya instrumen pengaturan pajak yang lebih tinggi dari Surat atau Surat Edaran yang diterbitkan Dirjen Pajak, yang mengatur secara terperinci

16 16 mengenai tata cara dan mekanisme pemenuhan kewajiban pajak atas JO. Hal tersebut dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan persepsi dan pemenuhan kewajiban pajak. Pengaturan pajak yang memiliki kekuatan hukum mengikat dapat menjamin kepastian hukum dari pengaturan itu sendiri. Simpulan Pelaksanaan kewajiban Pajak Penghasilan atas Joint Operation pada PT. Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang telah mengikuti ketentuan-ketentuan berdasarkan pengaturan Joint Operation dalam Surat maupun Surat Edaran yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak yang hakikatnya merupakan private rulling yang bersifat internal bagi Wajib Pajak dalam Surat terbitan Dirjen Pajak. Surat dan Surat Edaran tidak memiliki hierarki dan kekuatan hukum berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pengaturan pajak yang tidak memiliki kekuatan hukum dapat menimbulkan keragu-raguan atas perlakuan pajak atas JO dan tidak menjamin adanya kepastian (certainty). Hambatan yang dihadapi PT. Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang dalam pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan atas Joint Operation ialah terkait withholding taxes. Hambatan tersebut berupa pemenuhan kewajiban potong pungut pada PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. JO bukan merupakan Badan sebagai Subjek Pajak Penghasilan karena tidak memenuhi pengertian badan menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 2. Apabila dilihat berdasarkan Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1623 KUHP, JO dapat dikategorikan sebagai persekutuan khusus ataupun perkumpulan bukan badan hukum yang merupakan Subjek Pajak Penghasilan. Namun di sisi lain terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan JO untuk dijadikan sebagai Subjek Pajak Penghasilan terutama karena definisi Badan dalam perpajakan lebih ditujukan untuk persekutuan atau perkumpulan yang bersifat tidak sementara, sedangkan JO bersifat temporer sehingga tidak dapat digolongkan sebagai Subjek PPh Badan. Apabila JO menjadi Subjek PPh Badan, maka diperlukan pengubahan Peraturan Perundang-undangan dan sistem administrasi pelaporan SPT PPh Badan Pengubahanpengubahan tersebut pada akhirnya memerlukan biaya yang tidak sedikit harus dikeluarkan oleh Pemerintah.

17 17 Saran Pengaturan pajak atas JO yang terbatas berupa Surat dan Surat Edaran Dirjen Pajak belum memadai dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hendaknya pengaturan pajak atas JO diterbitkan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan atau Peraturan Dirjen Pajak yang diamanatkan oleh Undang-undang di atasnya sehingga memiliki kekuatan hukum dan menimbulkan kepastian (certainty), dengan menguraikan secara jelas dan terperinci terutama mengenai kewajiban potong pungut atas JO dan mekanisme atau tata cara potong pungutnya serta pemenuhan kewajiban pajak atas JO lainnya, sehingga kesalahan penerapan pemotongan seperti pada studi kasus dapat terhindari. Atas pemeriksaan penyelenggaraan proyek dan pencatatan keuangan atau pembukuan pada proyek pemerintah oleh BPKP, hendaknya dilengkapi juga oleh personil dari DJP atau petugas pajak dari KPP setempat ataupun tenaga yang memiliki kemampuan di bidang perpajakan. Hal ini dapat meminimalisir permasalahan akan kesalahan persepsi dan penerapan penghitungan maupun pengenaan pajak. Pengaturan pada saat ini yaitu JO bukan Badan sebagai Subjek Pajak pada PPh sudah tepat karena pada hakikatnya anggota JO sendiri merupakan Subjek Pajak Badan menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun Apabila kemudahan administrasi diperlukan dalam pemungutan pajak atas JO, cara terbaik bukanlah melalui pengubahan status JO sebagai Subjek Pajak Badan, namun atas JO sebaiknya terdapat kewajiban untuk melaksanakan pembukuan meliputi laporan keuangan, yang pada akhirnya dilampirkan dalam pelaporan SPT 21 Masa Desember yang merupakan akumulasi satu tahun atau SPT PPh Badan masingmasing anggota JO. Penyelenggaraan pembukuan meliputi laporan keuangan oleh JO memiliki fungsi yang dapat memberikan keuntungan dan kemudahan baik bagi pihak fiskus maupun Wajib Pajak sendiri.

18 18 Kepustakaan Buku Bungin, Burhan. (2010). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Judisseno, Rimsky K. (2005). Pajak dan Strategi Bisnis: Suatu Tinjauan Tentang Kepastian Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Mansury. (1996). Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia (Jilid 2). Jakarta: Bina Rena Pariwara. (1996). Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta: Ind-Hill Co Mardiasmo. (2008). Perpajakan: Edisi Revisi Yogyakarta: Andi Muljono, Djoko. (2009). Tax Planning: Menyiasati Pajak dengan Bijak. Yogyakarta: ANDI Nurmantu, Safri. (2005). Pengantar Perpajakan (Edisi 3). Jakarta: Granit. Pandiangan, Liberti. (2010). Pedoman Praktis Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26. Jakarta: Salemba Empat Rahayu, Ning dan Iman Santoso (2007). Bunga Rampai Perpajakan Indonesia. Depok: FISIP UI Pers Rosdiana, Haula dan Edi Slamet. (2011). Panduan Lengkap Tata Cara Perpajakan di Indonesia. Jakarta: Visimedia Setiawan, Agus. (2006). PPh Pemotongan Pemungutan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Soemitro, Rochmat (1988). Pajak Ditinjau dari Segi Hukum. Bandung: PT. Eresco Soemitro, Rochmat dan Dewi Kania Sugiharti. (2004). Asas dan Dasar Perpajakan (Edisi Revisi 1). Bandung: PT. Refika Aditama Sudarto. (2011). Meningkatkan Kinerja Perusahaan Jasa Konstruksi di Indonesia: Aplikasi Knowledge Based Management System. Jakarta: Centre for Construction and Infrastructure Studies. Publikasi Elektronik

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pajak penghasilan atas pengembangan investasi bidang properti.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pajak penghasilan atas pengembangan investasi bidang properti. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan tidak lepas dari penelitian-penelitian yang sudah ada dan masih relevan untuk digunakan. Di bawah ini adalah penelitian terdahulu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Tentang Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Hukum pajak disebut juga hukum fiskal yaitu keseluruhan dari peraturanperaturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk

Lebih terperinci

ANALISIS PROSES PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 (Studi Kasus: PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II. Cabang Tanjung Priok)

ANALISIS PROSES PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 (Studi Kasus: PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II. Cabang Tanjung Priok) ANALISIS PROSES PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 (Studi Kasus: PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II Cabang Tanjung Priok) RIZKI WULANDARI Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik. untuk mensejahterakan rakyat Indonesia secara adil dan makmur.

BAB I PENDAHULUAN. yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik. untuk mensejahterakan rakyat Indonesia secara adil dan makmur. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Salah satu ciri dari negara yang sedang berkembang adalah adanya pengeluaran dari kas negara yang besar

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani II.1. Dasar-dasar Perpajakan Indonesia BAB II LANDASAN TEORI II.1.1. Definisi Pajak Apabila membahas pengertian pajak, banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya pengertian pajak yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pembangunan nasional yang berlangsung terus menerus dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pembangunan nasional yang berlangsung terus menerus dan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pembangunan nasional yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan memiliki tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat baik secara material

Lebih terperinci

TINJAUAN UMUM HUKUM PAJAK

TINJAUAN UMUM HUKUM PAJAK 1 TINJAUAN UMUM HUKUM PAJAK Tujuan Instruksional : A. Umum Mahasiswa diharapkan mendapatkan pemahaman tentang tinjauan umum hukum pajak di Indonesia. B. Khusus o Mahasiswa mengetahui sejarah perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. mungkin hidup tanpa adanya masyarakat. Negara adalah masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. mungkin hidup tanpa adanya masyarakat. Negara adalah masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri Pajak yang didefenisikan oleh Rochmat Soemitro adalah gejala masyarakat, artinya pajak hanya ada di dalam masyarakat. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

ANALISIS PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA CV INDAH UTAMA 171

ANALISIS PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA CV INDAH UTAMA 171 ANALISIS PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA CV INDAH UTAMA 171 Suryanto Kanadi (Suryanto_Kanadi@yahoo.com) Lili Syafitri (Lili.Syafitri@rocketmail.com) Jurusan Akuntansi STIE MDP Abstrak Tujuan dari penelitian

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. mempunyai pendapat yang berbeda, antara lain:

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. mempunyai pendapat yang berbeda, antara lain: BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian Pajak Secara umum pajak dapat diartikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh pemerintah. Beradasarkan peraturan perundang-undangan yang hasilnya

Lebih terperinci

Perpajakan 1. Pengantar, Pungutan Lain, Fungsi Pajak, Dasar Teori Pemungutan Pajak, Kedudukan Hukum Pajak, Hk. Pajak Materil dan Formil

Perpajakan 1. Pengantar, Pungutan Lain, Fungsi Pajak, Dasar Teori Pemungutan Pajak, Kedudukan Hukum Pajak, Hk. Pajak Materil dan Formil Modul ke: 1Fakultas Ekonomi dan Bisnis Perpajakan 1 Pengantar, Pungutan Lain, Fungsi Pajak, Dasar Teori Pemungutan Pajak, Kedudukan Hukum Pajak, Hk. Pajak Materil dan Formil Suri Mahrani, S.Sos, M.Ak.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak merupakan suatu kewajiban dan pengabdian peran aktif warga negara dan anggota masyarakat lainnya untuk membiayai berbagai keperluan negara berupa pembangunan

Lebih terperinci

Perpajakan Joint Operation Usaha Jasa Konstruksi

Perpajakan Joint Operation Usaha Jasa Konstruksi Perpajakan Joint Operation Usaha Jasa Konstruksi Priyanto Rustadi Pengantar Bentuk penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Joint Operation dapat bermacam-macam, baik itu dari usaha, dari modal maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. infrastruktur dan lainnya, tidak terkecuali dengan Negara Indonesia. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. infrastruktur dan lainnya, tidak terkecuali dengan Negara Indonesia. Untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Suatu Negara membutuhkan dana yang cukup untuk melakukan pembangunan infrastruktur dan lainnya, tidak terkecuali dengan Negara Indonesia. Untuk mendapatkan

Lebih terperinci

Tinjauan Atas Pengunaan e-spt Dalam Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan Wajib Pajak Badan di Konsultan Pajak TRITAX. Siti Umie Sartika

Tinjauan Atas Pengunaan e-spt Dalam Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan Wajib Pajak Badan di Konsultan Pajak TRITAX. Siti Umie Sartika Tinjauan Atas Pengunaan e-spt Dalam Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan Wajib Pajak Badan di Konsultan Pajak TRITAX Siti Umie Sartika 21308047 Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengunaan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. bukunya Mardiasmo (2011 : 1) :

BAB II LANDASAN TEORI. bukunya Mardiasmo (2011 : 1) : BAB II LANDASAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Pajak a. Definisi Pajak Membahas mengenai perpajakan tidak terlepas dari pengertian pajak itu sendiri, menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam bukunya Mardiasmo

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Tabel Penerimaan Dalam Negeri Tahun (dalam miliar rupiah)

BAB 1 PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Tabel Penerimaan Dalam Negeri Tahun (dalam miliar rupiah) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seperti yang telah diketahui bahwa negara dalam hal menyelenggarakan pemerintahan termasuk membiayai pembangunan membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pengeluaran Negara baik pengeluaran rutin maupun pembangunan, perpajakan yang baik guna menghimpun dana dari masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pengeluaran Negara baik pengeluaran rutin maupun pembangunan, perpajakan yang baik guna menghimpun dana dari masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam segi ekonomi, pajak merupakan perpindahan sumber daya dari sektor privat ke sektor publik. Bagi sektor publik, pajak akan digunakan untuk membiayai pengeluaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang memiliki kontribusi untuk menunjang pembangunan yang sedang dilaksanakan bangsa Indonesia. Ini ditunjukkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agar dapat bersaing dengan negara-negara lain. Dalam hal ini peran masyarakat Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. agar dapat bersaing dengan negara-negara lain. Dalam hal ini peran masyarakat Indonesia, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) Pada era globalisasi seperti sekarang, persaingan antar negara semakin ketat. Oleh karena itu, Negara Indonesia dengan gencar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia saat ini sedang mengalami berbagai permasalahan di berbagai sektor

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia saat ini sedang mengalami berbagai permasalahan di berbagai sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia saat ini sedang mengalami berbagai permasalahan di berbagai sektor khususnya di sektor ekonomi dan untuk tetap dapat bertahan dan memperbaiki kondisi yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Pajak II.1.1 Pengertian, Unsur dan Fungsi Pajak Pada dewasa ini perusahaan membutuhkan laporan operasional dan laporan keuangan yang dapat dipercaya. Dalam hal ini, sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran

BAB I PENDAHULUAN. langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat di paksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Untuk mengetahui dengan jelas pengertian pajak, berikut ini akandikemukakan definisi-definisi pajak yang diambil dari beberapa sumber.definisi pajak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. memenuhi pembangunan nasional secara merata, yang dapat meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. memenuhi pembangunan nasional secara merata, yang dapat meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri Sumber penerimaan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagian besar berasal dari pajak. Pajak merupakan salah satu sumber dana yang digunakan

Lebih terperinci

SURVEY KEPATUHAN WAJIB PAJAK PENGUSAHA UKM DI KOTAMADYA DEPOK

SURVEY KEPATUHAN WAJIB PAJAK PENGUSAHA UKM DI KOTAMADYA DEPOK EKONOMI DAN BISNIS VOL 14 NO 1 2015 : 1-6 1 SURVEY KEPATUHAN WAJIB PAJAK PENGUSAHA UKM DI KOTAMADYA DEPOK Ernita Siambaton, Riskon Ginting dan Syamsurizal Jurusan Adm Niaga Politeknik Negeri Jakarta Abstrak

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli di bidang perpajakan menurut Prof. Dr.

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli di bidang perpajakan menurut Prof. Dr. BAB II LANDASAN TEORI II.1 Dasar - dasar Perpajakan Indonesia II.1.1 Definisi dan Unsur Pajak Dibawah ini terdapat beberapa definisi-definisi dan unsur pajak yang terangkum tentang pajak yang dikemukakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Belanja Negara. Salah satu yang termasuk dalam APBN adalah pajak.

BAB I PENDAHULUAN. Belanja Negara. Salah satu yang termasuk dalam APBN adalah pajak. BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Dalam menjalankan pemerintahan, diperlukan sarana dan prasarana yang tentunya tidak terlepas dari masalah pembiayaan pembangunan yang memerlukan banyak dana.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Menurut Andriani (1991) dalam Waluyo (2011), pajak adalah iuran kepada negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Menurut Andriani (1991) dalam Waluyo (2011), pajak adalah iuran kepada negara 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1.Landasan Teori 2.1.1. Definisi Pajak Menurut Andriani (1991) dalam Waluyo (2011), pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara. Hal ini dapat dilihat dari persentase dalam APBN tahun 2006 yang terdiri

BAB 1 PENDAHULUAN. negara. Hal ini dapat dilihat dari persentase dalam APBN tahun 2006 yang terdiri BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerimaan dari sektor pajak adalah salah satu sumber penerimaan terbesar negara. Hal ini dapat dilihat dari persentase dalam APBN tahun 2006 yang terdiri dari: realisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berkesinambungan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berkesinambungan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berkesinambungan dengan tujuan utama adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk mewujudkan tujuan tersebut

Lebih terperinci

BAB II. adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang

BAB II. adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pemahaman Perpajakan II.1.1 Definisi Pajak Adriani seperti dikutip Brotodihardjo (1998) mendefinisikan, Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pajak merupakan komponen yang sangat penting dalam keberlangsungan

BAB II KERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pajak merupakan komponen yang sangat penting dalam keberlangsungan BAB II KERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak merupakan komponen yang sangat penting dalam keberlangsungan kehidupan suatu negara. Dalam Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada keadilan sosial. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, negara harus

BAB I PENDAHULUAN. kepada keadilan sosial. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, negara harus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu tujuan negara yang disepakati oleh para pendiri awal negara ini adalah menyejahterakan rakyat dan menciptakan kemakmuran yang berasaskan kepada keadilan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang terbesar dan sangat penting bagi penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan nasional. Kewajiban perpajakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang Dalam suatu pemerintahan di setiap Negara, tentu mempunyai tujuan yang sama salah satunya yaitu untuk mensejahterakan masyarakatnya. Demi mensejahterakan masyarakatnya,

Lebih terperinci

BAB II ASPEK-ASPEK HUKUM TENTANG PEMALSUAN FAKTUR PAJAK

BAB II ASPEK-ASPEK HUKUM TENTANG PEMALSUAN FAKTUR PAJAK BAB II ASPEK-ASPEK HUKUM TENTANG PEMALSUAN FAKTUR PAJAK A. Ruang Lingkup Hukum Pajak Pajak dilihat dari segi hukum, menurut Rochmat Soemitro, didefinisikan sebagai perikatan yang timbul karena undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan agar negara tersebut dapat mandiri dalam membiayai pengeluaran

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan agar negara tersebut dapat mandiri dalam membiayai pengeluaran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerimaan Negara yaitu penerimaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan tulang punggung pelaksanaan kegiatan pemerintahan agar negara tersebut dapat mandiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI. Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI. Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI (PKLM) Dalam rangka mewujudkan masyarakat adil, makmur, sejahtera, aman dan merata yang merupakan bagian dari tujuan luhur Negara Republik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pajak 2.1.1 Definisi Pajak (2011: 1): Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam bukunya Mardiasmo Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang- Undang (yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengatur keseimbangan kehidupan perekonomian dan pemanfaatan dana

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengatur keseimbangan kehidupan perekonomian dan pemanfaatan dana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pajak merupakan pembayaran yang diwajibkan kepada setiap warga negara yang kontraprestasinya tidak bersifat langsung. Penerimaan pajak bagi suatu negara merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), pasal

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), pasal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemungutan pajak di Indonesia diatur dalam Konstitusi Negara, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), pasal 23A menegaskan bahwa, pajak

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PAJAK PADA PENGADILAN PAJAK

PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PAJAK PADA PENGADILAN PAJAK PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PAJAK PADA PENGADILAN PAJAK Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar Email : adzan_amjah@yahoo.co.id Abstract The dispute over the tax debt begins and the difference of opinion

Lebih terperinci

ACCOUNT REPRESENTATIVE JEMBATAN PENGHUBUNG BAGI KEPATUHAN WAJIB PAJAK. Eddy Suryanto HP Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta

ACCOUNT REPRESENTATIVE JEMBATAN PENGHUBUNG BAGI KEPATUHAN WAJIB PAJAK. Eddy Suryanto HP Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta ACCOUNT REPRESENTATIVE JEMBATAN PENGHUBUNG BAGI KEPATUHAN WAJIB PAJAK Eddy Suryanto HP Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta ABSTRACT Taxpayers to make tax reform as partners with the implementation

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. A. Pengaturan Pemilikan NPWP Bagi Wanita Kawin Bekerja. kapan berakhirnya kewajiban kewajiban yang menyertainya.

BAB IV ANALISIS. A. Pengaturan Pemilikan NPWP Bagi Wanita Kawin Bekerja. kapan berakhirnya kewajiban kewajiban yang menyertainya. BAB IV ANALISIS A. Pengaturan Pemilikan NPWP Bagi Wanita Kawin Bekerja Dalam Self Assessment System wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak, Wajib Pajak aktif mulai dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara di dunia.. Sehingga tidak bisa dipungkiri tuntutan ekonomi dalam memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara di dunia.. Sehingga tidak bisa dipungkiri tuntutan ekonomi dalam memenuhi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk terpadat peringkat 4 dari seluruh negara di dunia.. Sehingga tidak bisa dipungkiri tuntutan ekonomi dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat seiring dengan peningkatan pembangunan itu sendiri. Salah satu sumber pendanaan proyek pembangunan yang dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. meningkat seiring dengan peningkatan pembangunan itu sendiri. Salah satu sumber pendanaan proyek pembangunan yang dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang. Perkembangan yang ada di Indonesia dapat dilihat dari adanya peningkatan pembangunan yang direncanakan sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kontraprestasi yang langsung dapat digunakan untuk membayar pengeluaran

BAB I PENDAHULUAN. kontraprestasi yang langsung dapat digunakan untuk membayar pengeluaran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal atau kontraprestasi yang langsung

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Berikut ini beberapa pengertian pajak menurut beberapa ahli, salah. satunya menurut R. Santoso Brotodiharjo sebagai berikut:

BAB II LANDASAN TEORI. Berikut ini beberapa pengertian pajak menurut beberapa ahli, salah. satunya menurut R. Santoso Brotodiharjo sebagai berikut: 7 BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep Dasar Perpajakan 1. Pengertian Pajak Berikut ini beberapa pengertian pajak menurut beberapa ahli, salah satunya menurut R. Santoso Brotodiharjo sebagai berikut: Pajak

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. menyediakan jalan umum, membayar gaji pegawai dan lain sebagainnya. Dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. menyediakan jalan umum, membayar gaji pegawai dan lain sebagainnya. Dengan BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Perpajakan Pada mulanya pajak belum merupakan suatu pungutan, tetapi hanya merupakan pemberian sukarela dalam memelihara kepentingan negara, seperti menyediakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pengertian Pajak Pengertian Pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat (1) adalah : Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Theory of Reasoned Action atau Teori Aksi Rencana (TRA)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Theory of Reasoned Action atau Teori Aksi Rencana (TRA) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Theory of Reasoned Action atau Teori Aksi Rencana (TRA) Theory of Reasoned Action (TRA) adalah suatu teori yang berhubungan dengan sikap dan perilaku individu

Lebih terperinci

ANALISIS KOREKSI FISKAL ATAS LAPORAN KEUANGAN KOMERSIAL PADA CV. SRIDADI PURWOREJO TAHUN PAJAK Oleh : NgestiWahyu S Caecilia Rosma Widiyohening

ANALISIS KOREKSI FISKAL ATAS LAPORAN KEUANGAN KOMERSIAL PADA CV. SRIDADI PURWOREJO TAHUN PAJAK Oleh : NgestiWahyu S Caecilia Rosma Widiyohening ANALISIS KOREKSI FISKAL ATAS LAPORAN KEUANGAN KOMERSIAL PADA CV. SRIDADI PURWOREJO TAHUN PAJAK 2013 Oleh : NgestiWahyu S Caecilia Rosma Widiyohening ABSTRAK CV. SRIDADI adalah perusahaan yang bergerak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI (PKLM) Sebagai mahluk hidup dan juga sosial manusia memerlukan fasilitas-fasilitas

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI (PKLM) Sebagai mahluk hidup dan juga sosial manusia memerlukan fasilitas-fasilitas BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI (PKLM) Sebagai mahluk hidup dan juga sosial manusia memerlukan fasilitas-fasilitas pribadi maupun fasilitas-fasilitas umum untuk dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri, menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Mardiasmo (2011 : 1) :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri, menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Mardiasmo (2011 : 1) : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pajak 2.1.1.1. Definisi Pajak Membahas mengenai perpajakan tidak terlepas dari pengertian pajak itu sendiri, menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Mardiasmo

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pajak Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1: Pajak adalah kontribusi wajib kepada

Lebih terperinci

Judul :Penerapan Tax Review

Judul :Penerapan Tax Review Judul :Penerapan Tax Review Sebagai Dasar Evaluasi Atas Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Pajak Penghasilan Badan dan Pajak Pertambahan Nilai Pada PT. KBIC Tahun 2015 Nama : I Kadek Agus Setiawan NIM : 1315351203

Lebih terperinci

JURNAL PENELITIAN TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEBIJAKAN PEMERIKSAAN PAJAK OLEH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK. Disusun oleh: Deddy Arief Setiawan ABSTRAK

JURNAL PENELITIAN TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEBIJAKAN PEMERIKSAAN PAJAK OLEH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK. Disusun oleh: Deddy Arief Setiawan ABSTRAK -1- JURNAL PENELITIAN TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEBIJAKAN PEMERIKSAAN PAJAK OLEH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK Disusun oleh: Deddy Arief Setiawan ABSTRAK Kebijakan pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh Direktorat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu-satunya. Dari berbagai alasan pengenaan pajak, kebijakan pajak di Indonesia akhir-akhir

BAB I PENDAHULUAN. satu-satunya. Dari berbagai alasan pengenaan pajak, kebijakan pajak di Indonesia akhir-akhir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri Mendapatkan penerimaan Negara merupakan hal yang paling utama walaupun belum satu-satunya. Dari berbagai alasan pengenaan pajak, kebijakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. Pembangunan di segala bidang merupakan tanggung jawab pemerintah dan rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sesuai dengan yang kita ketahui bahwa penerimaan negara untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sesuai dengan yang kita ketahui bahwa penerimaan negara untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan yang kita ketahui bahwa penerimaan negara untuk membiayai pengeluaran bagi negara yang cukup besar adalah dari penerimaan sektor Pajak. Tidak bisa dipungkiri

Lebih terperinci

ANALISIS PENYELESAIAN BANDING ATAS SENGKETA HUTANG PAJAK PENGHASILAN BADAN (STUDI KASUS PT. RMS DI PENGADILAN PAJAK)

ANALISIS PENYELESAIAN BANDING ATAS SENGKETA HUTANG PAJAK PENGHASILAN BADAN (STUDI KASUS PT. RMS DI PENGADILAN PAJAK) ANALISIS PENYELESAIAN BANDING ATAS SENGKETA HUTANG PAJAK PENGHASILAN BADAN (STUDI KASUS PT. RMS DI PENGADILAN PAJAK) Vita Arina Anzelica, Gustian Djuanda Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Keuangan,

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN PAJAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2009 ATAS PPH PASAL 21 CV FAZAR UTAMA DI SAMARINDA

PEMERIKSAAN PAJAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2009 ATAS PPH PASAL 21 CV FAZAR UTAMA DI SAMARINDA PEMERIKSAAN PAJAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2009 ATAS PPH PASAL 21 CV FAZAR UTAMA DI SAMARINDA Oleh : Ariany Pitaloka, H. Eddy Soegiarto K 2, Imam Nazarudin Latif 3 Fakultas Ekonomi Universitas

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan kepada CV X, berikut adalah beberapa hal yang dapat disimpulkan dari hasil penelitian: 1. CV X telah melakukan

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. Pajak merupakan sumber penerimaan utama negara yang digunakan

Bab 1. Pendahuluan. Pajak merupakan sumber penerimaan utama negara yang digunakan 1 Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan sumber penerimaan utama negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah dan pembangunan. Hal ini tertuang dalam Anggaran Penerimaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTEK KERJA LAPANGAN MANDIRI. Praktik Kerja Lapangan Mandiri adalah kegiatan yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTEK KERJA LAPANGAN MANDIRI. Praktik Kerja Lapangan Mandiri adalah kegiatan yang dilakukan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTEK KERJA LAPANGAN MANDIRI Praktik Kerja Lapangan Mandiri adalah kegiatan yang dilakukan mahasiswa secara mandiri yang bertujuan memberikan pengalaman praktik di

Lebih terperinci

ANALISIS SISTEM DAN PROSEDUR PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL (Studi pada Rumah Sakit Ngudi Waluyo Wlingi)

ANALISIS SISTEM DAN PROSEDUR PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL (Studi pada Rumah Sakit Ngudi Waluyo Wlingi) ANALISIS SISTEM DAN PROSEDUR PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL (Studi pada Rumah Sakit Ngudi Waluyo Wlingi) Rizqi Arum Mawarni Srikandi Kumadji Idris Effendy (PS Perpajakan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjalankan pemerintahan diperlukan sarana dan prasarana yang tentunya

BAB I PENDAHULUAN. menjalankan pemerintahan diperlukan sarana dan prasarana yang tentunya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan perekonomian Indonesia, dalam menjalankan pemerintahan diperlukan sarana dan prasarana yang tentunya tidak terlepas dari masalah pembiayaan

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN TENTANG PENERAPAN PENGHITUNGAN, PEYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 ATAS WAJIB PAJAK BADAN.

BAB III PEMBAHASAN TENTANG PENERAPAN PENGHITUNGAN, PEYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 ATAS WAJIB PAJAK BADAN. BAB III PEMBAHASAN TENTANG PENERAPAN PENGHITUNGAN, PEYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 ATAS WAJIB PAJAK BADAN. 3.1 Teori Tentang Pajak 3.1.1 Definisi Pajak Secara umum pajak dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. memaksimalkan kesejahteraan mereka. Penyatuan kepentingan seperti ini,

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. memaksimalkan kesejahteraan mereka. Penyatuan kepentingan seperti ini, BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Teori keagenan Manajer mempunyai kewajiban untuk memaksimalkan kesejahteraan para pemegang saham. Namun disisi lain, manajer

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Keberhasilan suatu bangsa dalam pembangunan nasional sangat ditentukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Keberhasilan suatu bangsa dalam pembangunan nasional sangat ditentukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri Keberhasilan suatu bangsa dalam pembangunan nasional sangat ditentukan oleh kemampuan bangsa untuk dapat memajukan kesejahteraan masyarakat,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pajak (Pangestu, Rusmana:2014). Realisasi penerimaan pajak tahun 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. pajak (Pangestu, Rusmana:2014). Realisasi penerimaan pajak tahun 2014 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pajak merupakan tumpuan sumber penerimaan negara Indonesia. Hal ini terlihat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang menunjukkan bahwa sektor

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung. BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak adalah Iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (Wajib Pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Soemitro (1990:2) dalam buku Perpajakan: Pendekatan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Soemitro (1990:2) dalam buku Perpajakan: Pendekatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak merupakan sumber penerimaan dalam negeri yang sangat penting dalam menopang pembiayaan pembangunan. Besar kecilnya nilai pajak akan menentukan kapasitas anggaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dalam membenahi semua sektor, terutama sektor perekonomian. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dalam membenahi semua sektor, terutama sektor perekonomian. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan perekonomian global terutama di Indonesia ikut memacu pemerintah dalam membenahi semua sektor, terutama sektor perekonomian. Dalam membenahi

Lebih terperinci

ANALISIS PEMERIKSAAN PAJAK DALAM UPAYA OPTIMALISASI PENERIMAAN PAJAK PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA JAKARTA KEMAYORAN

ANALISIS PEMERIKSAAN PAJAK DALAM UPAYA OPTIMALISASI PENERIMAAN PAJAK PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA JAKARTA KEMAYORAN ANALISIS PEMERIKSAAN PAJAK DALAM UPAYA OPTIMALISASI PENERIMAAN PAJAK PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA JAKARTA KEMAYORAN DIMAS WIBISONO Jalan Taruna III no. 8 Kelurahan Serdang Jakarta Pusat, 08561808586,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung secara terus menerus, berkesinambungan dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah Self Assessment System yang berarti wajib pajak diberi kepercayaan

BAB I PENDAHULUAN. adalah Self Assessment System yang berarti wajib pajak diberi kepercayaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dijelaskan bahwa sistem perpajakan yang berlaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang diperjualbelikan, telah dikenai biaya pajak selain dari pada harga pokoknya

BAB I PENDAHULUAN. yang diperjualbelikan, telah dikenai biaya pajak selain dari pada harga pokoknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang melakukan pembangunan dan pembaharuan di segala bidang untuk mendorong

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat baik materiil maupun spiritual (Waluyo, 2013:2). Dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat baik materiil maupun spiritual (Waluyo, 2013:2). Dalam 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung secara terusmenerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan (daya pikul) masing-masing yang dapat dipaksakan untuk membiayai

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan (daya pikul) masing-masing yang dapat dipaksakan untuk membiayai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang PKLM Dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan, dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Dana tersebut dikumpulkan dari segenap potensi sumber daya yang dimiliki suatu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Definisi Pajak menurut undang-undang No.16 tahun 2009 tentang. perubahan keempat atas undang undang No. 6 tahun 1983 tentang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Definisi Pajak menurut undang-undang No.16 tahun 2009 tentang. perubahan keempat atas undang undang No. 6 tahun 1983 tentang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Definisi Pajak menurut undang-undang No.16 tahun 2009 tentang perubahan keempat atas undang undang No. 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negeri sebagai sumber utama pembiayaan untuk pembangunan nasional. Sesuai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. negeri sebagai sumber utama pembiayaan untuk pembangunan nasional. Sesuai dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak merupakan sumber utama bagi penerimaan negara yang berasal dari dalam negeri sebagai sumber utama pembiayaan untuk pembangunan nasional. Sesuai dengan data penerimaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perpajakan ditentukan melakukan kewajiban perpajakan.

BAB I PENDAHULUAN. perpajakan ditentukan melakukan kewajiban perpajakan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal yang langsung dapat ditujukan dan digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan tujuan membangun negara untuk lebih berkembang dan maju, termasuk

BAB I PENDAHULUAN. dengan tujuan membangun negara untuk lebih berkembang dan maju, termasuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara melakukan proses pembangunan yang terus berkesinambungan dengan tujuan membangun negara untuk lebih berkembang dan maju, termasuk Indonesia. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil dari pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil dari pembangunan nasional serta reformasi di berbagai bidang menempatkan sektor pajak sebagai sektor yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. tahun 2009 (KUP) pasal 1 ayat 1 bahwa pajak adalah kontribusi wajib pajak

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. tahun 2009 (KUP) pasal 1 ayat 1 bahwa pajak adalah kontribusi wajib pajak 8 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Definisi Pajak Menurut Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir kali

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 Tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 Tentang BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut pasal 1 angka 1 Undang-undang perpajakan No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus-menerus

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus-menerus BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus-menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penerimaan dalam negeri yang terbesar. Semakin besarnya

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penerimaan dalam negeri yang terbesar. Semakin besarnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sasaran utama dari kebijaksanaan keuangan negara di bidang penerimaan dalam negeri adalah untuk menggali, mendorong, dan mengembangkan sumbersumber penerimaan dari

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. untuk kesejahteraan rakyat. Pajak merupakan salah satu penerimaan terbesar negara perlu terus

BAB II KAJIAN PUSTAKA. untuk kesejahteraan rakyat. Pajak merupakan salah satu penerimaan terbesar negara perlu terus BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Definisi Pajak Pajak merupakan kontribusi wajib rakyat kepada negara yang diatur berdasarkan undangundang yang bersifat memaksa, tanpa imbalan atau balas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan bagi negara untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan bagi negara untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan bagi negara untuk menjalankan pemerintahan. Pemungutan pajak sudah lama ada, dari adanya upeti wajib kepada

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Definisi pajak menurut undang-undang dan pakar pajak sebagai berikut :

BAB II LANDASAN TEORI. Definisi pajak menurut undang-undang dan pakar pajak sebagai berikut : BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Definisi pajak menurut undang-undang dan pakar pajak sebagai berikut : Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan yang sama untuk mengetahui masalah perpajakan di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan yang sama untuk mengetahui masalah perpajakan di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pengadaan dana merupakan masalah yang penting bagi tercapainya tujuan pembangunan nasional. Sumber pembiayaan pembangunan berasal dari dalam negeri dan luar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya dari sektor privat ke sektor publik. Sutedi (2013:1), memahami pengertian

BAB I PENDAHULUAN. daya dari sektor privat ke sektor publik. Sutedi (2013:1), memahami pengertian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pajak dari perspektif ekonomi diartikan sebagai terjadinya transfer sumber daya dari sektor privat ke sektor publik. Sutedi (2013:1), memahami pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktek Kerja Lapangan Mandiri. yang semula dilakukan Cuma-Cuma dan sifatnya memaksa tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktek Kerja Lapangan Mandiri. yang semula dilakukan Cuma-Cuma dan sifatnya memaksa tersebut. 4 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktek Kerja Lapangan Mandiri Dengan adanya perkembangan dalam masyarakat, sifat upeti (pemberian) yang semula dilakukan Cuma-Cuma dan sifatnya memaksa tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan tanpa mendapat jasa timbal secara langsung dan digunakan untuk membayar

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK KERJA NYATA

LAPORAN PRAKTEK KERJA NYATA PROSEDUR PELAKSANAAN DAN PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) ATAS PENGADAAN BARANG DAN JASA PADA PERSEROAN TERBATAS PERKEBUNAN NUSANTARA X KEBUN KERTOSARI JEMBER LAPORAN PRAKTEK KERJA NYATA Diajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) Sebagai salah satu negara berkembang Indonesia sedang melaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) Sebagai salah satu negara berkembang Indonesia sedang melaksanakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) Sebagai salah satu negara berkembang Indonesia sedang melaksanakan pembangunan di segala bidang, yang tentunya membutuhkan dana

Lebih terperinci