EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS DI ERA OTONOMI. Syamsul Gusri A

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS DI ERA OTONOMI. Syamsul Gusri A"

Transkripsi

1 EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS DI ERA OTONOMI Oleh: Syamsul Gusri A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005

2 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Efektivitas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bengkalis di Era O tonomi adalah benar karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam dafta r pustaka dibagian akhir tugas akhir ini. Bogor, Desember 2005 Syamsul Gusri NRP. A

3 ABSTRAK SYAMSUL GUSRI. Efektivitas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bengkalis di Era Otonomi. Dibimbing oleh Hermanto Siregar dan Dedi Budiman Hakim. Otonomi daerah telah memberikan banyak perubahan pada pengelolaan daerah dan pengelolaan keuangan daerah. Perubahan ini merupakan implikasi disahkannya Undang-Undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan pembagian keuangan antar pusat dan daerah. Perubahan pada keuangan daerah sangat dirasakan terutama bagi daerah yang mendapatkan bagi hasil yang lebih besar dengan adanya otonomi daerah. Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu daerah yang mendapatkan dana bagi hasil yang cukup besar dari migas. Pendapatan yang besar tidak selalu berbanding lurus dengan percepatan pembangunan bahkan bisa menimbulkan konflik di daerah. Dengan dasar inilah penulis melakukan kajian Efektivitas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bengkalis di Era Otonomi dengan tujuan: (1) menganalisis efektivitas pengelolaan keuangan daerah setelah otonomi, (2) menganalisis kontribusi setiap mata anggara n pada APBD kabupaten Bengkalis, (3) menganalisis keadilan alokasi anggaran setelah otonomi daerah, (4) menganalisis perencanaan pengelolaan keuangan daerah dalam mendukung program pembangunan daerah, (5) merumuskan alternatif penggunaan anggaran yang memberikan manfaat optimal kepada masyarakat. Sesuai dengan judul, lokasi kajian ini adalah Kabupaten Bengkalis, dengan sumber data sekunder dirangkum dari APBD Kabupaten Bengkalis dan laporan pertanggungjawaban Bupati Kabupaten Bengkalis tahun anggaran 1998/ Metode kajian ini menggunakan analisa rasio dan konversi anggaran. Hasil kajian menyimpulkan bahwa selama otonomi pengelolaaan keuangan daerah Kabupaten Bengkalis belum dikelola dengan efektif dan alokasi anggaran yang belum berpihak kepada masya rakat (adil) serta belum inovatifnya pemerintah daerah dalam mengelola keuangan (dilihat dari pendapatan, belanja dan pembiayaan). Hasil kajian ini membenarkan kesimpulan awal bahwa pendapatan daerah yang besar tidak berbanding lurus dengan usaha percepatan pembangunan daerah. Terakhir, dari kajian ini dibuat rancangan strategi membangun keuangan daerah yang dilihat dari tiga aspek keuangan daerah yaitu: (1) pendapatan, (2) belanja dan (3) pembiayaan, yang melahirkan tiga strategi membangun keuangan daerah yaitu: (1) membangun sistem keuangan daerah, (2) mengoptimalkan dana luar dan (3) audit internal.

4 Hak cipta milik Syamsul Gusri, tahun 2005 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya

5 Judul Tugas Akhir Nama : Efektivitas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bengkalis di Era Otonomi. : Syamsul Gusri NIM : A Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Ketua Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Anggota Diketahui Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Tanggal Ujian: 24 Oktober 2005 Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc Tanggal Lulus:

6 EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS DI ERA OTONOMI SYAMSUL GUSRI Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005

7 PRAKATA Tiada kalimat yang paling tepat untuk diucapkan selain puja dan syukur ke hadapan Allah SWT sang pencipta semesta alam, yang mengetahui setiap langkah dan gerakan kita, mengetahui yang disembunyikan dan di zahirkan, yang tidak pernah lelah mengawasi hambanya, menunjukkan kepada jalan yang benar, yang telah memberikan kekuatan bagi penulis untuk merampungkan tugas akhir ini. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW, qudwah yang tertinggi, contoh yang tiada tandingnya, guru sekalian alam dan rujukan yang terbaik bagi seluruh umat manusia yang ingin mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar M.Ec. yang selalu memberikan motivasi dalam penyelesaian tugas akhir ini dan bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim M.Ec. yang telah memeriksa de ngan teliti tugas akhir ini, sehingga tulisan ini bisa diselesaikan. Terima kasih tak lupa kami sampaikan kepada bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat M.Ec sebagai ketua program studi dan Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. sebagai dekan Sekolah Pascasarjana dan teristimewa kepada semua dosen Magister Manajemen Pembangunan Daerah yang tidak tersebutkan satu persatu pada tulisan ini. Penulis sangat menyadari semakin dipelajari makin sedikit ilmu yang miliki. Semoga tulisan ini akan dapat memberikan kontribusi dalam kajian pembangunan daerah, amin! Bogor, Desember 2005 Syamsul Gusri

8 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Syamsul Gusri bin Syukur, dilahirkan di Padang pada tanggal 5 Agustus 1965 dari Ibu Hj. Rasyi ah dengan Ayah H. Syukur Rajo nan Kayo. Penulis merupakan anak ke 10 dari empat belas bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan di SDN 49 Padang ditamatkan pada tahun 1979, Sekolah Menengah Tingkat Pertama di SMPN 05 Padang ditamatkan tahun 1982, Sekolah Menengah Tingkat Atas di SMAN 03 Padang ditamatkan tahun 1985 dan Universitas Riau pada Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen ditamatkan tahun 1992 dengan mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi. Selanjutnya pada tahun 2002 penulis diterima pada Program Studi Magister Manajemen Pembangunan Daerah, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan biaya sendiri. Penulis pada saat diterima diamanatkan sebagai anggota DPRD Kabupaten Bengkalis dari Partai Keadilan yang berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera priode dan sekarang bergabung dengan XSYS International, Konsultan sektor publik berkantor pusat di Jakarta. Menikah 05 Pebruari tahun 1993 dengan Hj. Arlina istri yang sangat dicintai dan telah diamanahkan lima orang putri yang tersayang yaitu Rumaisha Afifatul Hafizah, Yaumiyatul Furqoni, Shofiyah Salsabila, Khansa Al Qodisiyah dan Shafura. Bogor, Desember 2005 Syamsul Gusri

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kewenangan, Partisipas dan Korupsi Dalam Era Otonomi Daerah Perencanaan Pembangunan Daerah Anggaran Daerah Keuangan Daerah Sebelum Otonomi Keuangan Daerah Setelah Otonomi Perbedaan Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Analisa Keuangan Daerah Keadilan Pembangunan Daerah III. METODOLOGI 3.1. Subjek Kajian Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Konversi Rancangan Program dan Strategi Kerangka Pemikiran IV. EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 4.1. Efektivitas Pengelolaan Keuangan Daerah Keadilan Alokasi Keuangan Daerah Analisa Perencanaan Keuangan Daerah Konversi Anggaran Sebelum dengan Sesudah Otonomi Daerah V. RANCANGAN STRATEGI KEUANGAN DAERAH... 88

10 VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA

11 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1.1. Ringkasan APBD Kabupaten Bengkalis Tahun 1998/1999 sampai dengan Tahun Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun Pembagian Keuangan Antara Pemerintahan Propinsi dan Kabupaten/kota Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun Perbedaan Keuangan Daerah Sebelum dan Setelah Otonomi Rasio Efektivitas Anggaran Tahun 1998/ Rasio Efektivitas Anggaran Tahun Tingkat Pertumbuhan Realisasi Anggaran Kab. Bengkalis Tahun 1998/ APBD Berdasarkan Rencana Aktual Pengeluaran Pembangunan Daerah Trend Kenaikan APBD Kab. Bengkalis Tahun 1998/ Rasio Vertikal dengan Pendapatan Rasio Vertikal dua Anggaran Alokasi Pengeluaran Pemerintah Kab. Bengkalis Berdasarkan Rencana Tahun Alokasi Pengeluaran Pemerintah Kab. Bengkalis Berdasarkan Realisasi Anggaran Tahun Konversi Anggaran Berdasarkan Rencana Pendapatan Konversi Anggaran Berdasarkan Realisasi Pendapatan... 85

12 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 3.1. Kerangka Berfikir Trend Kenaikan PAD Trend Dana Perimbangan Trend Pengeluaran Rutin Trend Aktual Pengeluaran Pembangunan Trend Pengeluaran Pembangunan Terserap Rancangan Strategi Pembangunan Daerah Alur Pikir Rancangan Program Strategi Keuangan Daerah... 92

13 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1. Ringkasan APBD Kabupaten Bengkalis Tahun 1998/ Ringkasan APBD Kabupaten Bengkalis Tahun 1999/ Ringkasan APBD Kabupaten Bengkalis Tahun Ringkasan APBD Kabupaten Bengkalis Tahun Ringkasan APBD Kabupaten Bengkalis Tahun Ringkasan APBD Kabupaten Bengkalis Tahun

14 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan landasan pelaksanaan desentralisasi di bidang politik, administrasi, dan fiskal dalam rangka mewujudkan Otonomi Daerah. Undang-Undang Nomor 22 berintikan pembagian kewenangan dan fungsi (power sharing) antara pemerintah pusat dan daerah. Sementara Undang-Undang Nomor 25 mengatur pembagian sumber -sumber daya keuangan (financial sharing) antara pusat-daerah sebagai konsekwensi pembagian kewenangan tersebut (Simanjutak, 2001; Suharyo, 2000). Kedua undang-undang ini menekankan bahwa pengembangan otonomi daerah diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi masyarakat, pemerataan, keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman sumber daya daerah. Selain itu undang-undang ini juga telah memberi kejelasan arah yang ingin dicapai dan memberi keleluasaan bagi daerah melebihi apa yang ada di masa sebelumnya. Pelaksanaan otonomi daerah yang efektif dilaksanakan pada bulan Januari 2001 telah membuat perubahan-perubahan yang mendasar dalam pelaksanaan dan pembiayaan pembangunan wilayah di masing-masing daerah Kabupaten/Kota. Perubahan tersebut khususnya terlihat pada daerah-daerah yang mempunyai bagi hasil sumberdaya alam, dimana pendapatan daerah mereka mengalami kenaikan yang sangat besar dibandingkan sebelum masa otonomi. Kondisi ini dapat terjadi

15 2 karena otonomi daerah telah memberi kewenangan yang sangat luas kepada setiap daerah dalam mengatur pembangunan daerah dan kewenangan fiskal. Sehingga setiap daerah memiliki keleluasaan untuk mengembangkan potensi penerimaan daerah pada satu sisi, dan keleluasaan untuk menyusun program dan prioritas pembangunan di sisi lainnya. Sesuai dengan semangat dan jiwa dari kedua undang-undang diatas berarti otonomi diharapkan mempunyai dampak positif kepada daerah berupa: 1. Terjadinya daerah-daerah pertumbuhan baru di kabupaten/kota, menggantikan pembangunan terpusat yang selama ini telah dianggap oleh banyak kalangan sebagai penyebab lambannya pembangunan di daerah dan semakin memperbesar ketimpangan pembangunan antar daerah. 2. Terjadinya percepatan pembangunan daerah, sehingga daerah yang selama ini lambat untuk berkembang akan mampu untuk memacu ketinggalannya. Melalui otonomi daerah ini diharapkan juga akan terjadi persaingan antar daerah yang sehat, sehingga memacu masing-masing daerah untuk memperkuat daya saingnya sebagai pemicu dan penentu keberhasilan pembangunan di daerah tersebut. Pembangunan wilayah yang hanya mengejar pertumbuhan tinggi dengan mengandalkan keunggulan komparatif semata berupa kekayaan alam yang berlimpah, upah tenaga kerja murah, dan posisi strategis, saat ini sulit untuk dipertahankan lagi. Daya saing tidak dapat diperoleh dari misalnya faktor upah rendah atau tingkat bunga rendah, tetapi harus pula diperoleh dari kemampuan untuk melakukan perbaikan dan inovasi secara berkesinambungan. Oleh karena itu sangat pe nting sekali untuk menyusun rencana program pembangunan guna menciptakan atau menaikkan daya saing wilayah.

16 3 Pada saat melihat fakta kondisi yang ada, maka kepentingan tiap program dapat bersifat (1) harus segera dilaksanakan segera, (2) dapat dilakukan di saat yang lain, dan (3) dapat dilakukan pada tahap selanjutnya. Sementara bila dilihat dari karakteristiknya, program satu dengan program lainnya dapat bersifat (1) komplementer, output yang ada menjadi input bagi yang lain atau (2) tidak terkait langsung satu sama lain. Atas dasar semua kondisi ini, maka daftar program yang tersusun perlu disusun urutan prioritasnya, yang berarti mengenali lebih dalam urgensi dan karakteristik tiap program yang ada dikaitkan denga n keberadaan program yang lain. Keperluan untuk menentukan prioritas program dalam perencanaan pembangunan daerah semakin terasa penting jika dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah saat ini. Salah satu ciri utama otonomi daerah, sebagaimana yang tersirat dalam UU Nomor 25 Tahun 1999, adalah daerah otonom memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakannya sendiri untuk pembiayaan pembangunan daerah. Kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri bertujuan antara lain adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, dan memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sejalan dengan kewenangan tersebut, Pemerintah Daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pendapatan lainnya untuk percepatan

17 4 pembangunan daerah. Tuntutan peningkatan PAD semakin besar seiring dengan semakin banyaknya kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah disertai pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dan dokumentasi (P3D) ke daerah dalam jumlah besar. Sementara, sejauh ini dana perimbangan yang merupakan transfer keuangan oleh pusat kepada daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, meskipun jumlahnya relatif memadai yakni sekurang-kurangnya sebesar 25 persen dari Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN, namun daerah harus lebih kreatif dalam meningkatkan pendapatannya untuk meningkatkan akuntabilitas dan keleluasaan dalam pembelanjaan APBD-nya. Sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal, namun tentu saja di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk diantaranya adalah pajak daerah dan retribusi daerah yang memang telah sejak lama menjadi unsur PAD yang utama (Sidik, 2002). Dalam perspektif sumber pembiayaan, pembangunan daerah itu dapat dibagi ke dalam tiga kelompok. Pertama, pembangunan yang menjadi kewajiban pemerintah daerah, yaitu pembangunan yang harus dibiayai oleh APBD yang bersumber pada pendapatan asli daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan, pinjaman daerah dan sisa lebih anggaran tahun sebelumnya. Kedua, pembangunan yang merupakan kewajiban pemerintah pusat tetapi pelaksanaannya oleh pemerintah daerah. Biaya pembangunan diambil dari APBN yang kemudian ditransfer ke APBD. Ketiga, pembangunan yang dibiayai APBN dan langsung dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat dengan mengambil lokasi pada daerah (Kunarjo, 2002). Berdasarkan ketiga perspektif ini maka sangat penting sekali bagi suatu daerah untuk bisa melaksanakan efektivitas

18 5 pengelolaan keuangan daerah, yang dilakukan bukan hanya untuk menggali sumber-sumber penerimaannya saja namun juga termasuk bagaimana mengatur pengeluarannya. Tidak efektifnya pengelolaan keuangan daerah dapat dipastikan akan menyebabkan pelaksanaan pembangunan daerah tidak optimal. Beranjak dari konsep pemikiran ini, maka menarik sekali untuk diangkat suatu isu yakni bagaimana tingkat efektivitas pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Bengkalis, khususnya dalam era otonomi daerah ini Perumusan Masalah Kabupaten Bengkalis sangat beruntung dengan adanya otonomi daerah, terutama sekali bila ditinjau dari bagi hasil minyak. Hal ini dibuktikan dari peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan kelipatan yang sangat besar dibandingkan sebelum pelaksanaan Otonomi Daerah (lihat Tabel 1.1). Peningkatan ini berasal dari bagi hasil minyak bumi yang merupakan 15 persen bagian daerah dan 85 persen bagi pusat. Dari yang 15 persen itu, 6 persen untuk daerah penghasil, 6 persen untuk daerah bukan penghasil dan 3 persen bagian propinsi. Perubahan lain yang prinsip adalah dalam perencanaan keuangan daerah, yang dimulai dari bagaimana pemerintah mengoptimalkan sumber pendapatan dan pembelanjaan, penjaringan aspirasi sampai anggaran diajukan ke DPRD untuk dilakukan pembahasan. Walaupun terjadi perubahan yang mendasar dalam pengelolaan keuangan daerah, pemerintah daerah diberikan waktu menyesuaikan antara anggaran sebelum otonomi dengan setelah otonomi. Tiga tahun anggaran bisa digunakan untuk melakukan penyesuaian yaitu tahun anggaran 2000, 2001

19 6 dan Pada tahun 2003 sudah harus melaksanakan anggaran dengan berbasis kinerja. Tapi kenyataannya kabupaten Bengkalis baru melaksanakan anggaran berbasis kinerja pada tahun anggaran Belum dilaksanakannya pengelolaan anggaran berbasis kinerja tentu juga berdampak dalam pengalokasian anggaran yang tidak mempunyai ukuran tingkat keberhasilan. Tabel 1.1. Ringkasan APBD Kab. Ben gkalis Tahun 1998/1999 s/d 2003 (milyar rupiah) No Uraian 1998/ / Rencana Realisasi Rencana Realisasi Rencana Realisasi A PENDAPATAN I Sisa Perhitungan Tahun Lalu II PAD III Dana Perimbangan IV Bagian Pinjaman Pemda V Bagian Penerimaan lain B PENGELUARAN I Pengeluaran Rutin II Pengeluaran Pembangunan No Uraian Rencana Realisasi Rencana Realisasi Rencana Realisai A PENDAPATAN 1, , , , , , I Sisa Perhitungan Tahun Lalu II PAD III Dana Perimbangan , IV Bagian Pinjaman Pemda V Bagian Penerimaan lain B PENGELUARAN 1, , , , , I Pengeluaran Rutin II Pengeluaran Pembangunan , Sumber: APBD Kab. Bengkalis

20 7 Semua perbedaan ini menuntut kerja pemerintah yang lebih profesional agar anggaran yang diterima menjadi efektif penggunaannya. Namun seiring berjalannya otonomi pengelolaan keuangan yang diharapkan ini belum berjalan sebagaimana yang menjadi ketentuan perundang-undangan. Ini merupakan suatu indikasi bahwa pemerintah belum sungguh-sungguh untuk melaksanakan amanah perundang-undangan tentang pemerintahan dan otonomi daerah. Apakah ini juga merupakan petunjuk belum siapnya pemerintah dengan sistem dan perangkatnya, yang terbukti dari banyaknya anggaran luncuran yang terjadi setelah pelaksanaan otonomi daerah? Bahkan pada awal otonomi daerah tahun 2001 tidak cukup setengah dari anggaran pembangunan yang mampu dila ksanakan pada tahun tersebut. Pada sisi lain setelah otonomi berlangsung, dari tahun ke tahun anggaran pembangunan cenderung mengalami penurunan jumlahnya. Walaupun sepintas nampak mengalami kenaikan dari 2001 ke 2002 tapi kenaikan itu lebih diakibatkan luncuran anggaran pembangunan pada tahun Hal yang sebaliknya terjadi pada pengeluaran rutin (belanja aparatur) yang terus mengalami kenaikan pada tahun 2001, 2002 dan Kenaikan yang sangat jelas adalah antara anggaran sebelum dan sesudah otonomi daerah. Dimana pada tahun anggaran 1999/2000 total pendapatan daerah adalah 195,63 milyar rupiah, kemudian melonjak tinggi pada tahun 2001 menjadi 1,047 Triliun rupiah. Melalui peningkatan anggaran yang sangat besar tersebut diharapkan akan terjadi percepatan pembangunan daerah, peningkatan pendapatan masyarakat serta pengurangan pengangguran, angka kemiskinan, perbaikan kesehatan masyakat dan pendidikan. Semua ini dapat terjadi apabila anggaran

21 8 dalam jumlah yang besar setelah otonomi tersebut dikelola secara optimal. Dalam kenyataannya, setelah empat tahun perjalanan otonomi, masyarakat sepertinya masih belum merasakan perubahan yang berarti dalam kehidupan mereka. Ini ditandai dengan banyaknya tuntutan masyarakat untuk pemekaran karena merasa tidak menda patkan keadilan alokasi anggaran setelah otonomi daerah. Tuntutan itu berakibat pada timbulnya konflik vertikal dan horizontal. Konflik vertikal karena ketidakpuasan dengan pemerintah, sedangkan konflik horizontal dengan munculnya pro dan kontra di tengah masyarakat. Ketidakpuasan ini juga menimbulkan tuntutan yang secara terus -menerus bagi masyarakat untuk melakukan pemekaran, terutama kecamatan yang mempunyai pendapatan yang besar. Apalagi Kabupaten Bengkalis dilihat secara geografis mempunyai wilayah yang cukup luas (11 ribu km 2 ) yang terletak di daratan Sumatera dan daerah kepulauan yang sebaran penduduknya berjauhan. Dengan kondisi geografis seperti ini tentu saja pelayanan kepada masyarakat juga sangat jauh dari ibukota kabupaten menambah ketidakpuasan mereka. Ketidakpuasan ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila pemerintah mau dan mampu mengakomodir kepentingan masyarakat dengan mengalokasikan sumber dana yang besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memberikan pelayanan publik yang baik. Apabila ini dilakukan oleh pemerintah, pada prinsipnya masyarakat tidak akan menuntut lebih banyak. Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi yaitu terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memilik i kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai

22 9 untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. (Sidik, 2002). Semestinya sumber keuangan daerah tersebut harus disesuaikan dengan fiscal potentials yang merupakan obyek pajak sesungguhnya sehingga penerimaan daerah dapat dijangkau secara optimal. Dalam kenyataannya selama ini Kabupaten Bengkalis selalu menargetkan besarnya penerimaan daerah hanya berdasarkan incremental potentials yang menyebabkan realisasi penerimaan tampak selalu di atas target. Situasi ini bukan hanya terlihat pada pencapaian sumber-sumber penerimaan saja, tetapi juga kelihatan dalam realisasi pengeluaran. Sehingga Kabupaten Bengkalis seakan-akan sudah mencapai optimalisasi pengelolaan keuangan daerah. Padahal dalam konsep efektivitas pengelolaan keuangan daerah tidak pernah sekalipun terpikirkan adanya pencapaian realisasi di atas target. Dengan demikian, fakta bahwa Kabupaten Bengkalis selama ini mampu meraih realisasi selalu di atas target belumlah menggambarkan pengelolaan keuangan daerah yang terjadi selama ini dikatakan efektif. Beranjak dari semua konsep pemikiran ini, maka dapat disampaikan beberapa permasalahan yang diangkat dalam penelit ian sebagai berikut: 1. Sejauh manakah efektivitas pengelolaan keuangan daerah setelah otonomi. 2. Bagaimana kontribusi pendapatan dan pengeluaran daerah kabupaten Bengkalis sebelum dan sesudah diberlakukannya otonomi daerah. 3. Sejauh manakah keadilan pembangunan ditinjau dari segi keuangan daerah. 4. Bagaimana perencanaan anggaran daerah setelah otonomi daerah.

23 Tujuan dan Manfaat Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, dapat disampaikan beberapa tujuan dari penelitian ini yakni : 1. Menganalisis efektiv itas pengelolaan keuangan daerah setelah otonomi. 2. Menganalisis kontribusi setiap mata anggaran pada APBD kabupaten Bengkalis. 3. Menganalisis keadilan alokasi anggaran setelah otonomi daerah.. 4. Menganalisis perencanaan pengelolaan keuangan daerah dalam mendukung program pembangunan daerah. 5. Merumuskan alternatif pengelolaan anggaran yang memberikan manfaat optimal kepada masyarakat. Hasil dari kajian studi pembangunan daerah ini merupakan masukan bagi pemerintahan daerah Kabupaten Bengkalis, khususnya dalam menetapkan kebijakan anggaran, mendorong terwujudnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah serta mengefektifkan pengelolaan keuangan daerah. Sementara dalam konteks keilmuan, studi ini mempunyai kontribusi dalam pengembangan kajian pembangunan daerah, terutama untuk institusi IPB. Pada akhirnya, hasil dari pengkajian studi ini diharapkan dapat membantu penulis dalam menjalankan tugas politis dan profesi untuk berperan aktif terhadap daerah secara khusus dan masyarakat secara umum.

24 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kewenangan, Partisipasi dan Korupsi dalam Era Otonomi Daerah Dalam Undang-undang nomor 22 tahun 1999 disebutkan bahwa Otonomi Daerah itu adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dua hal yang prinsip dari otonomi ini adalah kewenangan dan partisipasi (aspirasi) masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Dari kedua prinsip otonomi tersebut (kewenangan dan partisipasi), yang lebih sering dituntut oleh daerah adalah kewenangan. Dimana tuntutan itu tampaknya berlebihan dengan menerjemahkannya menjadi kekuasaan yang berlebihan. Sedangkan kekuasan yang berlebihan cendrung menimbulkan korupsi yang berlebihan (Power tends to corupts, the absolute power corupts absolutely). Pada sisi lain partisipasi sering kali diabaikan dalam proses pembangunan di masa otonomi yang akhirnya menimbulkan ketimpangan dalam pelaksanaan pembangunan di daerah. Pemerintah kurang melibatkan masyarakat sehingga masyarakat tetap termarginalkan dalam pelaksanaan proses pembangunan. Upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat tidak saja untuk membangun kepercayaan baru pada institusi pemerintah dan politik, tapi yang lebih penting lagi adalah sebagai metode untuk mencapai visi daerah. Dengan partisipasi yang benar akan tercipta ruang bagi masyarakat untuk ikut serta dan bertanggungjawab dalam proses kemajuan suatu daerah, sehingga potensi masyarakat akan lebih optimal dimanfaatkan sebagai subjek pembangunan.

25 12 Partisipasi masyarakat sebagai subjek pembangunan sekaligus akan membuat keadaan yang lebih adil dan akuntabel, yang nantinya dapat memperbaiki kegagalan-kegagalan yang terjadi pada instansi peme rintahan di masa lalu. Pemerintah seharusnya berfungsi sebagai agen pembangunan untuk memajukan masyarakat dan bangsa, bukan sebaliknya menjadi penghalang bagi masyarakat dalam mengembangkan potensi dirinya dan keikusertaan dalam pelaksaan proses pembangunan sebagaimana terjadi dalam pembangunan dimasa lalu. Desentralisasi seharusnya bisa membuka ruang partisipasi yang demokratis, dalam artian dapat terjadi penyerahan kewenangan sampai ke unit terendah pemerintahan yang dapat diakses semua pihak, sehingga masya kat dapat merasakan hak politik dan kebebasan. Kewenangan dan partisipasi dalam otonomi daerah tentu saja menuntut be rjalannya pemerintahan yang baik (good governance), sehingga otonomi berjalan sesuai dengan aturannya. Singkatnya dapat dikatakan, good governance dapat tercipta apabila dua kekuatan saling mendukung yakni pemerintahan yang terbuka, tanggap, mau mendengar, mau melibatkan (inklusif) dengan warga yang bertanggung jawab, aktif dan memiliki kesadaran. Dalam konsep partisipatif terdapat keyakinan bahwa pemerintah tidak dapat mengatur dirinya sendiri, tapi harus dikontrol dan diimbangi dengan kondisi masyarakat yang aktif dan terorganisir. Secara eksplisit pandangan ini percaya bahwa kepemerintahan yang baik (good governance) tidak akan terjadi tanpa adanya civil society yang kuat. Civil society yang kuat ini merupakan salah satu modal pembangunan yang sangat berharga selain finansial dan fisik. Perhatian

26 13 yang lebih fokus pada good governance ini adalah bentuk keberpihakan bagaimana pengelolaan pemerintahan tersebut dapat terhindar dari praktekpraktek korupsi. Masalah korupsi telah menjadi permasalahan tersendiri yang menyedot perhatian banyak pihak, bukan hanya masyarakat lokal tapi juga internasional akibat dari bad government. Tumbuh suburnya korupsi di Indonesia saat ini telah menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan banyak pihak terhadap kemampuan pemerintah daerah pasca orde baru dalam mengatasi persoalan korupsi yang sistemik dan sudah merasuk ke dalam tubuh birokrasi sehingga menjadi warisan yang lebih parah lagi bagi generasi mendatang di setiap daerah setelah adanya otonomi. Otonomi sebenarnya diciptakan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi tingkat korupsi dengan sistem pemerintahan daerah yang lebih baik serta pengaturan sistem ke uangan yang lebih efektif dan transparan. Pengelolaan keuangan daerah tidak lagi dengan sistem keuangan tradisional tapi menggunakan anggaran berbasis kinerja. Sayangnya, dalam beberapa tahun perjalanan otonomi daerah ini masih banyak daerah yang belum melaksanakan anggaran berbasis kinerja tersebut. Korupsi yang besar akan menjatuhkan perekonomian suatu daerah dan menurunkan pendapatan masyarakat. Karim (2002) menyebutkan bahwa korupsi sebagai wasteful spending yang dapat menurunkan pendapatan masyarakat. Menurutnya ada dua faktor yang sangat mempengaruhi pendapatan masyarakat jika dikaitkan dengan permasalahan korupsi yaitu korupsi dari penerimaan dan korupsi dari pembiayaan. Faktor korupsi penerimaan bisa berasal dari pajak, retribusi dan penerimaan lainnya, sedangkan dari pembiayaan yaitu korupsi

27 14 terhadap alokasi dan pelaksanaan anggaran proyek yang mengakibatkan alokasi anggaran menjadi lebih kecil dari yang seharusnya diberikan kepada masyarakat. Menurut konsep makro keseimbangan umum dari pendapatan agregat dicapai melalui rumusan : Y = G + C + I + (X M). Dimana G merupakan pengeluaran pemerintah yang sepenuhnya akan dibiayai oleh penerimaan pemerintah (pajak), sehingga terjadi keseimbangan G = T. Misalkan korupsi proyek pembangunan dinotasikan á dan korupsi penerimaan pajak dinotasikan â, maka keseimbangan berubah menjadi G = T á â. Sehingga pendapatan agregat dapat ditulis kembali yakni Y = (T á â) + C + I + (X M). Disamping itu korupsi juga akan menurunkan pendapatan dan menggeser kurva penawaran ke kiri. Dengan bergesernya kurva penawaran ke kiri akan menggeser titik equilibrium ke kiri atas yang menyebabkan kenaikan harga, yang mengurangi kesejahteraan masyarakat Perencanaan Pembangunan Daerah Banyak pendapat yang diutarakan mengenai konsep perencanaan, namun sampai sekarang belum ada kesepakatan yang baku tentang makna perencanaan itu sendiri. Meskipun demikian secara umum dapat dikatakan perencanaan merupakan alat dan cara untuk mencapai tujuan, target dan strategi yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam bab pembahasan nantinya perencanaan yang dimaksudkan lebih spesifik pada perenca naan keuangan daerah. 1. Fungsi Perencanaan Sebelum melanjutkan pembahasan ada baiknya dilihat sepintas tentang fungsi-fungsi perencanaan, sebagai berikut :

28 15 (a). Sarana komunikasi bagi semua stakeholder. Dengan adanya perencanaan, masyakat dan stakeholder lainnya dapat mengetahui mau dibawa kemana pembangunan suatu daerah. Melalui komunikasi, pemerintah akan mendapat dukungan dan legitimasi dari masyarakat. Namun, jika pemerintah tertutup, akan banyak protes berdatangan dari masyarakat. (b). Dasar dalam mengatur sumberdaya dan sumberdana. Seperti diketahui bahwa daerah memiliki keterbatasan dana atau dikenal dengan budgetconstraints, sehingga dengan perencanaan yang baik sumberdaya yang terbatas bisa dioptimalkan. (c). Menjadi tolok ukur keberhasilan fungsi pengendalian. Setiap pekerjaan, apalagi pekerjaan sektor publik harus terukur, sehingga keberhasilannya juga bisa dipertanggungjawabkan ke hadapan publik, disamping juga sebagai alat kendali. (d). Alat untuk melakukan evaluasi. Dengan adanya perencanaan bisa dilakukan perbaikan terus -menerus dengan melakukan evaluasi yang teratur. Ini bisa dilakukan karena pekerjaan itu terukur. Pada prinsipnya semua daerah itu telah melakukan perencanaan daerah, oleh karena hal itu merupakan suatu kewajiban tiap daerah. Namun ya ng sering terjadi perencanaan itu hanya tersimpan di arsip dokumen, dengan segala macam alasan. 2. Beberapa Ciri-Ciri Perencanaan yang Baik Perencanaan pembangunan daerah dikatakan berjalan baik bila memenuhi ciri-ciri sebagai berikut:

29 16 (a). Punya target yang jelas. Satu daerah dengan daerah lain mempunyai target yang berbeda yang tercantum dalam renstra daerah masing-masing. Perencanaan yang baik apabila dari target yang dimiliki mempunyai langkah-langkah yang jelas untuk melaksanakannya. (b). Konsisten dan realistis. Yang sering terjadi adalah berbeda antara apa yang direncanakan dengan apa yang dikerjakan sehingga pekerjaan tidak sesuai lagi denga n perenc anaan yang dibuat dan disetujui bersama. Perencanaan juga harus mengukur sumberdaya yang dimiliki, sehingga perencanaan yang dibuat bukanlah yang tidak mungkin dilaksanakan. (c). Mempunyai pengawasan yang kontinu. Dengan alur dan sistem yang jelas sehingga perencanaan akan me njadi alat kontrol yang kontinu. (d). Jelas target fisik dan pembiayaannya. Perencanaan harus mempunyai target pencapaian apa yang dikerjakan termasuk kualitas dan persyaratan secara fisik lainnya. Disamping itu perencanaan juga jelas target anggarannya. (e). Terukur. Sehingga dalam pelaksanaanya memudahkan menentukan indikator keberhasilannya. (f). Ada batas waktu yang jelas dari setiap pekerjaan. 3. Proses Perencanaan Perencanaan itu tidak muncul dengan sendirinya, tetapi harus disusun secara sistematis melalui beberapa proses yakni : (a). Penentuan tujuan (goal setting). Tujuan merupakan akhir dari sebuah rencana. Tujuan mempunyai lima hal yang dikenal dengan SMART (Specific, Measurable, Achievable, Realitic, Timely)

30 17 (b). Penentuan target. Target merupakan serangkaian kegiatan dari tujuan. Misalnya tujuan dari suatu daerah adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka targetnya bisa berupa; penurunan angka kemiskinan, penurunan angka pengangguran, meningkatkan investasi, pengurangan laju inflasi dan seterusnya. (c). Mengetahui posisi awal perencanaan. Mengetahui posisi dimana, berapa sumberdaya yang dimiliki, kekuatan pendukung, tantangan, peluang, dst. (d). Punya alternatif. Perencanaan tidak boleh hanya ada satu. Karena kondisi sosial ekonomi yang selalu berubah. Oleh karena itu harus selalu ada pilihan pada kondisi tertentu atau terjadinya perubahan variabel ekonomi. (e). Menyusun rangkaian langkah untuk mencapai tujuan. Dalam model-model perencanaan pembangunan, dikenal juga ada model pengeluaran agregat dengan persama an Y = C + I + G + X M. Melalui persamaan ini pendapatan dapat dilihat dari dua sisi yakni : 1. Permintaan efektif atau permintaan akhir (Y). Permintaan efektif dikenal juga sebagai permintaan agregat (aggregate demand) yang terdiri atas konsumsi dan tabungan (Y= C + S) yang kemudian ditambah dengan pengeluaran pemerintah (G) dan net ekspor (X M). 2. Penawaran efektif atau penawaran agregat (aggregate supply ) yang disebut nilai tambah suatu produksi atau jumlah pembayaran untuk faktor primer dari suatu produksi Setelah otonomi daerah, dalam melaksanakan perencanaan pembangunan setiap daerah diberi wewenang lebih besar untuk menentukan arah pembangunan daerah masing masing. Dulu daerah sangat tergantung dengan perencanaan

31 18 nasional yang dirancang oleh BAPPENAS namun setelah otonomi, daerah diberikan keluwesan dalam melakukan perencanaan pembangunan daerah walaupun harus tetap mengacu pada program pembangunan nasional. Menyusun perencanaan pembangunan menjadi suatu hal yang wajib bagi daerah, sehingga ada istilah rencanakan pekerjaan dan kerjakan rencana. Ada daerah yang mampu melakukan perenca naan dengan baik tapi tidak mampu atau mau melaksanakan rencananya, sehingga perencanaan hanya menjadi dokumen yang tidak mempunyai makna. Begitu juga dengan pembangunan daerah banyak perenca naan daerah yang dilakukan namun tidak konsisten dalam menjalankannya. Pada dasarnya perencanaan pembangunan mempunyai beberapa persyaratan sebagai berikut (Kunarjo, 2002) : (a). Perenca naan harus didasari dengan tujuan pembangunan. (b). Perencanaan harus konsisten dan realistis. (c). Perencanaan harus dibarengi dengan dengan pengawasan yang kontinu. (d). Perencanaan harus mencakup aspek fisik dan pembiayaan. (e). Para perencana an harus memahami berbagai perilaku dan hubungan dan hubungan antar variabel ekonomi. (f). Perenca naan harus mempunyai koordinasi 2.3. Anggaran Daerah Anggaran daerah yang merupakan anggaran publik berisi rencana kegiatan yang dipresentasikan dalam bentuk rencana pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Atau sering juga disebut anggaran publik yang merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan suatu organisasi yang meliputi

32 19 informasi mengenai pendapatan, belanja dan pembiayaan. Dalam pelaksanaan pembangunan daerah, anggaran tersebut memiliki banyak fungsi yang dapat dijabarkan sebagai berikut : (a). Anggaran sebagai Alat Perencanaan Anggaran daerah merupakan alat perencanaan untuk mencapai tujuan daerah yang digunakan untuk: 1. Merumuskan tujuan serta sasaran kebijakan agar sesuai dengan visi yang ditetapkan. 2. Merencanakan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi serta merencanakan alternatif sumber pembiayaannya. 3. Mengalokasikan dana pada berbagai program dan kegiatan yang telah disusun. 4. Menentukan indikator kinerja dan tingkatan pencapaian serta strategi pencapaian. 5. Menjadi sumber informasi kepada pelaku ekonomi untuk melakukan investasi di suatu daerah. (b). Anggaran Sebagai Alat Pengendali Anggaran memberikan rencana detail atas pendapatan dan pengeluaran pemerintah agar pembelanjaan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Oleh karena itu anggaran harus dirancang sedemikian rupa untuk menjadi alat kendali keuangan daerah. Dengan demikian anggaran akan mampu mengendalikan pengeluran secara tepat, sehingga menghindari pemborosan, pengeluaran yang tidak bermanfaat dan juga korupsi. Sebagai alat pengendalian manajerial, anggaran digunakan untuk menjelaskan dan meyakinkan ketersediaan sejumlah uang untuk pembangunan

33 20 dan memenuhi kewajiban pemerintah. Pengendalian ini bisa dilakukan denga n cara (1) sebagai alat pembanding antara yang dianggarkan dengan aktual, (2) menghitung selisih antara rencana dan realisasi, (3) mencari dan menemukan penyebab terjadinya suatu varians, (4) Alat ukur perencanaan tahun berikutnya. (d). Anggaran Sebagai Alat Kebijakan Fiskal Dari anggaran dapat diketahui arah dan kebijakan pemerintah dan prediksi-prediksi ekonomi yang dilakukan. Sebagai kebijakan fiskal juga bisa digunakan untuk pengendalian ekonomi untuk mencapai tujuan ekonomi daerah. (e). Anggaran Se bagai Alat Politik Anggaran digunakan untuk memberikan prioritas pembangunan daerah dan merupakan komitmen politik antara eksekutif dan legislatif dalam penentuan porsi anggaran sekaligus juga menjadi alat pengikat dalam pelaksanaan anggaran. Sebagai political tools anggaran harus terbuka dan dikontrol penuh oleh publik dan pelaku politik, sehingga dalam aplikasinya tepat sasaran untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagai alat politik anggaran tidak boleh liar menjadi alat kepentingan politik penguasa (elit) atau kepentingan politik lain (seperti luar negeri, kekuatan parpol besar dan kekuatan lainnya). (f). Anggaran Sebagai Alat Koordinasi dan Komunikasi Anggaran sebagai alat koordinasi dan komunikasi merupakan fungsi yang harus dibuat sedemikian rupa dan membentuk sistem sehingga mampu mengkoordinasikan antar sektor dan mengkomunikasikan antar satuan kerja. Ini sering menjadi kendala tersendiri dalam pelaksanan keuangan daerah sehingga kurangnya sinergi antar sektor dan satuan kerja. Akibat lebih jauh dengan gap ini

34 21 adalah ego sektoral dan ego satuan kerja dengan pola pikir yang masih terbingkai dengan target projek bukan dengan target strategi bersama yang telah ditetapkan. Dua kendala yang sering muncul di daerah yaitu komitmen politik da n koordinasi antar sektor dan satuan kerja menjadikan fungsi anggaran yang lepas kendali. Disamping itu anggaran juga merupakan alat komunikasi kepada semua stakeholder seperti masyarakat, LSM, dunia usaha dan pengambil kebijakan daerah. Bagi semua stakeholder anggaran mempunyai manfaat yang berbeda satu sama lainnya. Untuk masyarakat dan LSM anggaran akan dilihat terutama sejauh mana kepentingan publik terakomodir dalam anggaran yang dibuat pemerintah. Bagi dunia usaha menjadi sebuah indikator perkembangan ekonomi dan sektor ekonomi yang menjanjikan untuk melakukan investasi. Bagi pengambil kebijakan (pemerintah dan DPRD) tentu saja ini merupakan salah satu alat untuk mengukur tingkat keberhasilan dan proyeksi anggaran untuk yang akan datang. Jadi anggaran harus dibuat transparan sehingga semua pihak bisa mengetahui, mengontrol dan ikut berpartisispasi dalam pembangunan daerah. (g). Anggaran Sebagai Alat Penilaian Kinerja Anggaran sebagaimana yang disebutkan diatas adalah komitmen yang dilaksanakan oleh pemerintah yang merupakan amanah dari masyakat daerah yang bersangkutan melalui wakilnya di DPRD telah menentukan arah kebijakan, visi, misi serta target dari anggaran, sekaligus juga menentukan penilaian kinerja anggaran. Dengan demikian implementasi dari pemerintah dan seluruh perangkatnya terukur dengan target yang telah ditetapkan.

35 22 (h). Anggaran Sebagai Alat Motivasi Anggaran sebagai alat motivasi dapat dilakukan dengan target yang telah ditentukan masing-masing satuan kerja dengan penilaian secara periodik atau berkala sehingga mampu mendorong kinerja masing-masing unit untuk mencapai target yang lebih tinggi Keuangan Daerah sebelum Otonomi Daerah Pendapatan Pengelolaan keuangan daerah sebelum otonomi daerah diatur berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun Menurut undang-undang tersebut pemerintah pusat membagi bantuan (walaupun istilah ini sangat tidak cocok, karena makna membagi bantuan bisa bermakna daerah yang perlu dikasihani bukan daerah dianggap punya kemampuan) keuangan ke daerah didasarkan pada dua kategori, pendapatan yang diserahkan kepada pemerintah daerah dan subsidi kepada pemerintah daerah. Alokasi keuangan ke daerah tersebut bertujuan agar daerah otonom dapat mengurus rumah tangganya sendiri dengan sebaik-baiknya. Namun tidak semua sumber pembiayaan dapat diserahkan kepada pemerintah daerah. Maka daerah otonom diwajibkan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian maka pemerintah daerah otonom dapat merencanakan anggaran pendapatan dan belanja daerahnya sendiri sesuai dengan kebijaksanaan dan inisiatif dalam melaksanakan urusan rumah tangga daerah. Dalam pasal 55 Undang-undang nomor 5 tahun 1974 disebutkan mengenai sumber pendapatan daerah otonom yaitu: (a). Pendapatan asli daerah

36 23 1. Hasil Pajak Daerah 2. Hasil Retribusi Daerah 3. Hasil Perusahaan Daerah 4. Lain-lain Usaha Daerah yang Sah (b). Pendapatan yang berasal dari pemerintah pusat 1. Sumbangan dari Pemerintah Pusat 2. Sumbangan-sumbangan lain yang diatur de ngan perundang-undangan. (c). Lain-lain pendapatan yang sah. Seperti sumbangan pihak ketiga dan lain -lain (d). Alokasi dana sektoral ini biasa digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang dilaksanakan oleh dinas-dinas propinsi dibawah pengawasan pemerintah pusat. Alokasi dana sektoral tidak masuk ke dalam APBD Pengeluaran Dalam anggaran sebelum otonomi kita mengenal dua jenis pengeluaran yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Sistem yang dianut yaitu anggaran berimbang, dimana jumlah pendapatan dan jumlah pengeluaran selalu sama. Sistem ini sering juga disebut dengan anggaran tradisional. Anggaran tradisional merupakan pendekatan yang banyak digunakan beberapa negara berkembang dewasa ini. Beberapa ciri anggaran tradisional. 1. Struktur anggaran yang bersifat line-item, yaitu perencanaan yang anggaran yang didasarkan pos anggaran yang telah ada sebelumnya. Dengan siste m seperti ini tidak memungkinkan pemerintah daerah untuk menghilangkan pos anggaran yang dianggap tidak dibutuhkan atau menambah pos baru yang dibutuhkan.

37 24 2. Penyusunan anggaran dengan pendekatan incrementalism, yaitu menambah atau mengurangi anggaran yang telah ada berdasarkan satu atau lebih variabel pada tahun sebelumnya. 3. Cenderung sentralistik, sehingga daerah kurang diberikan kesempatan untuk mengembangkan inovasi anggaran, karena semua sudah ditentukan dari pusat. 4. Prinsip anggaran bruto, yaitu hanya menghitung angka kasar sehingga sangat sulit mengukur tingkat keberhasilan kualitas anggaran. Struktur anggaran tradisiona l dengan ciri-ciri di atas tak mampu mengungkapkan besarnya dana yang dikeluarkan untuk setiap pendapatan. Oleh karena itu anggaran tradisional memiliki beberapa kelemahan yaitu : 1. Cenderung terjadinya pos -pos anggaran tertentu yang sulit dipertanggungawabkan karena anggaran tidak diteliti secara menyeluruh efektivitas penggunaannya, tapi hanya merupakan gambaran umum. 2. Lebih berorientasi kepada input dari pada output sehingga anggaran tradisional sulit untuk memantau kinerja. Anggaran dinilai sejauh mana telah dikerjakan sesuai dengan aturan bukan kepada bermanfaat dan dampak ekonomi dari sebuah anggaran. 3. Sekat antar unit kerja yang cenderung kaku sehingga sulit untuk mencapai visi bersama dan koordinasi antar unit kerja. 4. Proses anggaran yang terpisah antara pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan.

38 Keuangan Daerah Setelah Otonomi Daerah Pendapatan Berdasarkan Undang-undang nomor 25 tahun 1999 (sekarang diganti dengan Undang-undang nomor 33 tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pendapatan dapat dikelompokan menjadi : (a). Pendapatan Asli Daerah 1. Pajak daerah 2. Retribusi daerah 3. Hasil Usaha Daerah 4. Lain-lain penerimaan yang sah (c). Dana Perimbangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah 1. Bagian daerah dari PBB 2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 3. Penerimaan Sumberdaya Alam 4. Dana Alokasi umum (DAU) 5. Dana Alokasi Khusus (DAK) (d). Pinjaman Daerah (e). Lain pendapatan daerah yang sah Bila ditabulasikan dana perimbangan antara pusat dan daerah, serta pembagian propinsi dengan kabupaten/kota akan nampak seperti pada Tabel 2.1 dan Tabel 2.2. di bawah ini

39 26 Tabel 2.1. A Pajak Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah Menurut UU Nomor 25 tahun 1999 Sumber Pendapatan Pem. Pusat (%) Pem. Daerah (%) 1 PBB BPHTB B Sumberdaya Alam Minyak Gas Alam Pertambangan Umum Hutan Reboisasi Perikanan C DAU D DAK Sumber: Mardiasmo (2002) Tabel 2.2. Pembagian Keuangan antara Pemerintahan Propinsi dan Kab/Kota Menurut UU nomor 25 tahun 1999 (%) Sumber Pendapatan Propinsi Kab/Kota Penghasil Kab/Kota Lainnya PBB 16,2 64,8 ** BPHTB A Pertambangan 1 Minyak Bumi Gas Alam B Pertambangan Umum 1 Iuran Tetap Iuran Eksplorasi dan Eksplotasi C Kehutanan 1 Iuran Hak Pengusahaan Hutan Provisi Hasil Hutan D Perikanan Sumber: Mardiasmo (2002) ** 9% sisanya untuk biaya pemungutan

40 Pengeluaran dan Peng elolaan Anggaran di era otonomi ini lebih dikenal dengan anggaran berbasis kinerja (perfomance budgeting). Secara umum anggaran berbasis kinerja ini sudah harus diterapkan di daerah paling lambat dua tahun setelah diberlakukannya otonomi anggaran daerah. Pendekatan anggaran berbasis kinerja disusun untuk mengatasi kelemahan dalam sistem anggaran tradisional, khususnya kelemahan karena tidak adanya tolok ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja. Anggaran berbasis kinerja sangat menekankan pada konsep value for money dan pengawasan atas kinerja output. Pendekatan ini juga mengutamakan prioritas tujuan serta pendekatan yang sistematis dan rasional dalam pengambilan keputusan. Sistem anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem yang mencakup kegiatan penyusunan program dan tolok ukur kinerja sebagai instrumen untuk mencapai tujuan dan program. Penerapan sistem anggaran kinerja dalam penyusunan anggaran dimulai dengan perumusan visi, misi dan program keseluruhan dan unit kerja masing-masing. Berdasarka n struktur, pengeluaran tersebut terdiri dari atas (1) belanja aparatur, (2) belanja publik, (3) belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, dan (4) belanja tidak tersangka, yang dapat dijelaskan masing-masing sebagai berikut. Belanja aparatur terdiri dari belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal yang dilokasikan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat atau dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat.

41 28 Belanja publik, ialah bagian belanja yang berupa belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal yang dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dampaknya secara langsung dirasakan oleh masyarakat. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan. Belanja bagi hasil unt uk kabupaten bisa berupa bagi hasil pajak atau retribusi ke desa penghasil sedangkan bantuan keuangan adalah bantuan kepada pemerintah yang lebih rendah seperti desa. Belanja tidak tersangka yang digunakan untuk (1) kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana alam, (2) hutang priode sebelumnya yang belum diselesaikan atau yang tersedia anggaran untuk tahun yang bersangkutan, dan (3) pengembalian penerimaan atau kelebihan penerimaan. Anggaran daerah disusun berdasarkan pendekatan kinerja, yaitu siste m anggaran yang mengutamakan kepada upaya pencapaian hasil kerja atau output dari alokasi biaya dari input yang ditetapkan. Anggaran belanja yang disusun dengan pendekatan kinerja juga harus memuat keterangan sebagai berikut: 1. Sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja. 2. Standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan. 3. Persentase dari jumlah pendapatan yang membiayaan belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan dan belanja modal. Adapun rangkaian penyusunannya dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Penyusunan AKU (arah dan kebijakan umum) APBD. 2. Penyusunan strategi dan prioritas (dengan SK Bupati).

EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS DI ERA OTONOMI. Syamsul Gusri A

EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS DI ERA OTONOMI. Syamsul Gusri A EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS DI ERA OTONOMI Oleh: Syamsul Gusri A015010245 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya di Indonesia semakin pesat dengan adanya era reformasi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang ditetapkan dengan undang-undang telah membawa konsekuensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (revisi dari UU no

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu harapan cerah bagi pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki kesempatan untuk mengelola,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1. Landasan Teori 2.1. 1 Definisi dan Teori Otonomi Khusus UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 6 menyatakan bahwa daerah otonom yaitu kesatuan masyarakat hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Paradigma pengelolaan keuangan daerah telah mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-undang No. 32 tahun 2004

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 1999 telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pengertian anggaran menurut Mardiasmo (2004:62) menyatakan bahwa :

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pengertian anggaran menurut Mardiasmo (2004:62) menyatakan bahwa : 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Anggaran Pendapatan 2.1.1.1 Pengertian Anggaran Pengertian anggaran menurut Mardiasmo (2004:62) menyatakan bahwa : Anggaran Publik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang No.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pembangunan daerah (sebagai bagian integral dari pembangunan nasional) pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan dana merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari manajemen organisasi. Oleh karena itu, anggaran memiliki posisi yang penting sebagai tindakan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang melanda indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat ekonomi lemah berupa ketimpangan ekonomi.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah dan Pemerintahan Daerah 2.1. Otonomi Daerah Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah daerah, otonomi daerah adalah kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 diharapkan pembangunan di daerah berjalan seiring dengan pembangunan di pusat. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi politik yang dilancarkan pada tahun 1988 telah berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan dengan pemerintahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

BAB I PENDAHULUAN. tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sesuai dengan Undang-undang No 34 Tahun 2000 yang sekarang diubah menjadi Undang-undang No 28 Tahun 2009 pasal 1 ayat 1 menyatakan Daerah Otonom adalah kesatuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peralihan masa orde baru ke reformasi memberikan perubahan terhadap pemerintahan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut adalah otonomi daerah yang merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di Indonesia saat ini semakin pesat seiring dengan adanya era reformasi. Negara Indonesia yang awalnya menggunakan sistem sentralisasi dalam pemerintahannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan penyelenggaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN A. PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berkaitan dengan manajemen keuangan pemerintah daerah, sesuai dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah membawa dampak negatif yang cukup dalam pada hampir seluruh sektor dan pelaku ekonomi. Krisis yang bermula

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan rangkaian dari program-program di segala bidang secara menyeluruh, terarah dan berkesinambungan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan baru dari pemerintah Republik Indonesia yang mereformasi

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan baru dari pemerintah Republik Indonesia yang mereformasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Akuntansi keuangan daerah merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang mendapat perhatian besar dari berbagai pihak semenjak reformasi pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang Pemerintahan yakni perubahan struktur pemerintahan, dari sentralisasi menuju desentralisasi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU Taryono Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai negara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai negara, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai negara, peranan negara dan pemerintah bergeser dari peran sebagai pemerintah (government)

Lebih terperinci

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL Analisis Rasio untuk Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah 333 ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL Vidya Vitta Adhivinna Universitas PGRI Yogyakarta,

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1 Kondisi Pendapatan Daerah Pendapatan daerah terdiri dari tiga kelompok, yaitu Pendapatan Asli

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam era globalisasi dan

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam era globalisasi dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kegiatan yang berkesinambungan dengan tujuan utama adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam era globalisasi dan persaingan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1 Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2011 dan Perkiraan Tahun 2012 Kerangka Ekonomi Daerah dan Pembiayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era otonomi terjadi pergeseran wewenang dan tanggung jawab dalam pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi daerah memberikan

Lebih terperinci

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang 10 BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA Semenjak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, Pemerintah Indonesia melakukan reformasi di bidang Pemerintahan Daerah dan Pengelolaan Keuangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Derah dan Undang-Undang Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Pada dasarnya negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun dan memperbaiki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001, pemerintah daerah telah melaksanakan secara serentak otonomi daerah dengan berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 22 & 25 tahun 1999, kemudian diubah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan dan pengeluaran yang terjadi dimasa lalu (Bastian, 2010). Pada

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan dan pengeluaran yang terjadi dimasa lalu (Bastian, 2010). Pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anggaran dapat diinterpretasi sebagai paket pernyataan perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang.

Lebih terperinci

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas pemerintah secara profesional untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada saat ini perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya di Indonesia semakin pesat dengan adanya era baru dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut. 3. Bagi masyarakat, memberikan informasi yang jelas tentang pengelolaan keuangan di Provinsi Sumatera Utara BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 4. Prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sistem pemerintahan daerah sangat erat kaitannya dengan otonomi daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem pemerintahan di Indonesia bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beralihnya masa orde lama ke orde baru telah menimbulkan banyak. perubahan baik dalam segi pemerintahan, ekonomi dan politik.

BAB I PENDAHULUAN. Beralihnya masa orde lama ke orde baru telah menimbulkan banyak. perubahan baik dalam segi pemerintahan, ekonomi dan politik. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Beralihnya masa orde lama ke orde baru telah menimbulkan banyak perubahan baik dalam segi pemerintahan, ekonomi dan politik. Dari segi pemerintahan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Reformasi yang terjadi pada sektor publik di Indonesia juga diikuti dengan adanya tuntutan demokratisasi, tentunya dapat menjadi suatu fenomena global bagi bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk penerapan prinsip-prinsip good governance.dalam rangka pengaplikasian

BAB I PENDAHULUAN. bentuk penerapan prinsip-prinsip good governance.dalam rangka pengaplikasian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tata kelola yang diselenggarakan pemerintahan secara baik dalam suatu Negara merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Pemerintah wajib menerapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan bertujuan untuk menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik. Sejalan dengan perkembangan era globalisasi, nampaknya pembangunan yang merata pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa lalu Pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Sintang diselenggarakan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 17

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

BAB I PENDAHULUAN. dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Salah satu bentuk apresiasi terhadap pelaksanaan otonomi daerah adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tonggak perubahan yang bergerak sejak tahun 1998 dengan pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan dalam aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan daerahnya. Salah satu tujuan dari pembangunan diantaranya adalah meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang dilaksanakan secara efektif mulai tanggal 1 Januari 2002, merupakan kebijakan yang dipandang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Reformasi dalam bidang pengelolaan keuangan Negara khususnya dalam sistem perencanaan dan penganggaran telah banyak membawa perubahan yang sangat mendasar dalam pelaksanaannya.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kualitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) telah terus-menerus menjadi prioritas pemerintah. Menurut Mardiasmo (2002, p.16) instansi sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Tugas Pembantuan.

BAB I PENDAHULUAN. dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Tugas Pembantuan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Faktor keuangan merupakan faktor utama yang merupakan sumber daya finansial bagi pembiayaan penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. publik dalam rangka memenuhi kebutuhan dan hak publik (Mardiasmo,2002:2).

BAB I PENDAHULUAN. publik dalam rangka memenuhi kebutuhan dan hak publik (Mardiasmo,2002:2). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sektor publik merupakan entitas yang aktivitasnya memberikan pelayanan publik dalam rangka memenuhi kebutuhan dan hak publik (Mardiasmo,2002:2). Dalam menyelenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap pelayanan prima dari pemerintah yang berorientasi pada kepuasan masyarakat semakin besar sejak era

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Transfer antarpemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya dan bahkan sudah menjadi ciri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hampir seluruh kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada tahun 1997 Pemerintah akhirnya mengeluarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kalau dilihat dari segi waktu

Lebih terperinci

PENINGKATAN KINERJA MELALUI ANGGARAN BERBASIS KINERJA PADA SEKSI ANGGARAN DINAS PENDAPATAN DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BINTAN

PENINGKATAN KINERJA MELALUI ANGGARAN BERBASIS KINERJA PADA SEKSI ANGGARAN DINAS PENDAPATAN DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BINTAN PENINGKATAN KINERJA MELALUI ANGGARAN BERBASIS KINERJA PADA SEKSI ANGGARAN DINAS PENDAPATAN DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BINTAN Oleh : NAMA : HASIS SARTONO, S.Kom NIP : 19782911 200312 1 010

Lebih terperinci