NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA BERKELANJUTAN Implementasi Filosofi TRIHITAKARANA di Bali. Disusun oleh : Ida Bagus Rabindra ABSTRACT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA BERKELANJUTAN Implementasi Filosofi TRIHITAKARANA di Bali. Disusun oleh : Ida Bagus Rabindra ABSTRACT"

Transkripsi

1 NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA BERKELANJUTAN Implementasi Filosofi TRIHITAKARANA di Bali. Disusun oleh : Ida Bagus Rabindra ABSTRACT The key of success in sustainable development implementation are: involve in community participation, understand and imply local wisdom, arrange synergies between local wisdom and the modern life. All of those keys are include in the process of decision makers policy. The local wisdom as well as community ideology has been proofed that people could live in harmony with the natural environment as their mother nature. Local wisdom and community ideology should synergize with values pattern which accepted by local community. The concept of Trihitakarana means three elements of harmonious causes that philosophically based on the Balinese community living. This ideological concept was based on Balinese-Hinduism religion, which believe in harmonious relationship human with God, human with human, and human with nature. This article explained: synergize between the Trihitakarana as ideology, environmental system analysis (ESA/ KLHS), and current issues in sustainable green city planning and management. Keywords : implementation, synergize, local wisdom, Trihitakarana, sustainable. PENDAHULUAN Dalam kerangka menjamin terwujudnya ruang nusantara yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, diterbitkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-undang ini mengatur perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah kota. Demi efektifnya implementasi undangundang diatas, maka Kementerian Pekerjaan Umum menerbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Beberapa solusi cerdas yang dipaparkan dalam Konferensi Nasional Smart Green City Planning yang dilaksanakan di Werdhapura Village Center, Bali-November 2010, diantaranya mengenai metode penyusunan program pemanfaatan/ pengendalian penataan ruang, penyusunan peraturan zonasi, serta penataan ruang yang berwawasan lingkungan dan berprinsip pembangunan keberkelanjutan melalui pendekatan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). 1

2 Latar Belakang Dalam penataan ruang kota, para pakar sering mengingatkan akan arti penting The Hannover Principles 1992, menyangkut Kota Hijau yaitu tentang hak kemanusiaan dan alam agar diakomodasi dalam pembangunan kota supaya bisa sehat, beragam dan berkelanjutan. Diingatkan juga tentang Gerakan Urbanisme Baru (New Urbanism) sebagai konsep dengan lima prinsip penangkal kecenderungan urbanisme brutal sebagaimana terjadi pada dekade 1980-an. Tak juga kalah pentingnya memasukkan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dalam setiap proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Negeri ini sesungguhnya begitu kaya dengan kearifan-kearifan lokal yang sangat bernilai, namun tak sedikit yang faktanya diabaikan dan ditinggalkan oleh komunitasnya sendiri, dikarenakan dianggap usang dan tidak mudah diimplementasikan untuk memecahkan masalah kekinian. Salah satu kearifan lokal yang dinilai para pakar telah memuat prinsipprinsip menangkal kecenderungan urbanisme brutal adalah falsafah Trihitakarana, yang merupakan pandangan sekaligus landasan segenap segi kehidupan masyarakat Bali. Sesungguhnya, pelajaran teramat penting yang dapat ditarik dari keteladanan kearifan lokal adalah adanya kesatuan yang utuh atau kesenyawaan antara warga dan lingkungan komunitasnya, serta terbentuknya ikatan sosial (social cohesiveness) yang sangat kental diantara para warganya. Permasalahan Implementasi nilai-nilai kearifan lokal kedalam proses analisis dan sintesis pemecahan masalah perencanaan kota saat ini, tak semudah yang bisa kita bayangkan dan harapkan. Dibutuhkan suatu pemahaman mendalam tentang makna filosofis setiap kearifan lokal yang ada, dan kecermatan sosiologis serta kepekaan ideologis dalam analisis strategis pendekatan metodologis implementasi nilai intrinsiknya; Khususnya bagaimana mensinergikannya kedalam pola dan metoda pendekatan analisis modern, seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Metodologi Pemecahan Masalah Diperlukan upaya sinkronisasi secara cerdas dan bijak antara dua pola pendekatan yang berbeda asas dan ideologis ini, dengan memposisikan keduanya tidak dalam satu aras kategoris, melainkan komposisi saling mengisi dan melengkapi; Masing-masing sebagai kerangka yang mewadahi (container) dengan isi yang diwadahi (content) secara padu dan harmoni. Inti upaya ini adalah mengaktualisasi 2

3 potensi nila-nilai intrinsik kearifan lokal yang terpendam, keatas permukaan kompleksitas masalah saat ini bagi manfaat pemenuhan kebutuhan kekinian, dalam kerangka metoda logis yang sedemikian dinamis. SOLUSI CERDAS PENATAAN RUANG KOTA Penataan ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Wujud proses dan hasil penataan ruang adalah dalam Kebijakan, Rencana dan Program Tata Ruang (KRP). Untuk menghasilkan rencana tata ruang yang sekaligus dapat menghambat, mengurangi atau bahkan mengatasi dampak-dampak langsung ataupun tak langsungnya terhadap lingkungan alami, maka diperlukan beberapa peraturan atau metoda analisis yang wajib diintegrasikan sebagai solusi cerdas kedalam proses penataan ruang, antara lain: 1. Menjamin Tersedianya Ruang Terbuka Hijau (RTH) Patut disyukuri, bahwasanya Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum cepat menyadari akan arti penting ruang terbuka hijau sebagai prasyarat kota yang berkelanjutan. Bahwa perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah kota. Memperkuat amanat isi Undang-undang no. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang tersebut, diterbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Penyediaan dan pemanfaatan RTH dalam RTRW Kota/RDTR Kota/RTR Kawasan Strategis Kota /RTR Kawasan Perkotaan, dimaksudkan agar menjamin tersedianya ruang yang cukup bagi: (a) Kawasan konservasi untuk kelestarian hidrologis, (b) Kawasan pengendalian air larian dengan menyediakan kolam retensi; (c) Area pengembangan keanekaragaman hayati; (d) Area penciptaan iklim mikro dan pereduksi polutan dikawasan perkotaan; (e) Tempat rekreasi dan olahraga masyarakat; (f) Pembatas perkembangan kota kearah yang tidak diharapkan; (g) Pengamanan sumberdaya baik alam, buatan maupun historis; (h) Penyediaan RTH yang bersifat privat, melalui pembatasan kepadatan serta criteria pemanfaatannya; (i) Area mitigasi/ evakuasi bencana; dan (j) Ruang 3

4 penempatan pertandaan (signage) sesuai dengan peraturan perundangan dan tidak mengganggu fungsi utama RTH tersebut. Tujuan penyelenggaraan RTH adalah Menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air, menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat, serta meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih. Fungsi Utama (intrinsic) RTH adalah Fungsi Ekologis, yakni memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari system sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro agar system sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancer, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyedia habitat satwa, penyerap polutan media udara, air dan tanah, serta penahan angin. Adapun fungsi tambahan (extrinsic) RTH adalah fungsi sosial dan budaya, fungsi ekonomi sebagai sumber produk yang bisa dijual, fungsi estetika untuk meningkatkan kenyamanan dan keindahan, fungsi-fungsi ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, keberlanjutan kota seperti perlindungan tata air, keseimbangan ekologi dan konservasi hayati. Manfaat langsung Ruang Terbuka Hijau (RTH)) membentuk keindahan dan kenyamanan serta mendapatkan bahanbahan bernilai ekonomi, disamping manfaat tidak langsung seperti pembersih udara yang sangat efektif, pemeliharaan kelangsungan persediaan air tanah, pelestarian fungsi lingkungan (konservasi hayati atau keanekaragaman hayati). 2. K.L.H.S. sebagai Proses Analisis Lingkungan Sistematis Devinisi KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) atau SEA (Strategic Environment Assesment) adalah suatu proses sistematis dan komprehensif untuk mengevaluasi dampak lingkungan, pertimbangan sosial dan ekonomi, serta prospek keberlanjutan dari usulan kebijakan rencana, dan program pembangunan. KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan atau kebijakan, rencana dan program (KRP). 4

5 KLHS dibutuhkan untuk mengintegrasikan pertimbangan lingkungan hidup dan keberlanjutan melalui penyusunan Kebijakan, Rencana dan Program (KRP) untuk meningkatkan pembangunan; memperkuat proses pengambilan keputusan atas KRP, mengurangi kemungkinan kekeliruan dalam membuat prakiraan/ prediksi pada awal proses perencanaan, kebijakan, rencana atau program pembangunan. Tujuan KLHS adalah menghasilkan Kebijakan, Rencana dan Program (KRP) yang berwawasan lingkungan hidup. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, kedalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan kesejahteraan dan mutu hidup generasi kini dan generasi masa depan. Sedangkan manfaat KLHS adalah dalam meningkatkan kredibilitas keputusan yang diambil dan mendorong kajian dampak lingkungan (AMDAL) pada tingkat proyek menjadi lebih efektif biaya dan waktu. KLHS memperkuat proses perencanaan melalui beberapa hal seperti : Identifikasi masalah-masalah lngkungan hidup dan kendala pembangunan di wilayah studi; Menganalisis implikasi berbagai opsi perencanaan terhadap lingkungan dan memberi rekomendasi untuk optimasi atau pengembangan berbagai alternative yang berkelanjutan; Merekomendasikan langkah untuk meminimalisasi resiko lingkungan dan sekaligus memaksimalisasi manfaat termasuk rekomendasi desain proyek dan studi AMDAL proyek bersangkutan, penataan kelembagaan, dan inisiatif untuk mengendalikan dampak kumulatif. KLHS minimal memuat kajian, antara lain: Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup, kinerja layanan jasa ekosistem, efisiensi pemanfaatan sumber daya alam, serta tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim. Pada prinsipnya KLHS perlu dilaksanakan secara terintegrasi dengan proses perencanaan. Hal itu untuk menjamin agar pengaruhnya terhadap muatan KRP yang diputuskan memadai. Namun keragaman kondisi yang mempengaruhi proses perencanaan KRP menyebabkan pelaksanaan KLHS dapat dilakukan dengan cara : 5

6 a. KLHS dilaksanakan sebagai bagian dari proses penyusunan rancangan KRP atau dianggap sebagai peleburan kedua proses tersebut. b. KLHS dilaksanakan bersamaan dengan proses penyusunan rancangan KRP, dimana kedua proses tersebut diselenggarakan secara parallel namun saling berinteraksi satu sama lain. c. KLHS dilaksanakan setelah KRP ditetapkan; dimana keseluruhan rangkaian proses KLHS berdiri sendiri. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BALI DALAM LANDASAN FILOSOFI TRIHITAKARANA Masyarakat Bali, yang kehidupannya dituntun oleh nilai-nilai kebudayaan Bali yang bercorak religious Hinduistis, selalu berusaha bersikap seimbang terhadap alam sekitarnya. Sehingga dapat dikatakan, bahwa nilai dasar dari kehidupan adat di Bali adalah nilai keseimbangan (Dharmayudha dan Koti Cantika, 1994) Nilai keseimbangan ini diwujudkan dalam asas-asas kehidupan masyarakat Bali, yakni : 1. Asas selalu berharap dapat menyesuaikan diri dan berusaha menjalin hubungan dengan elemen-elemen alam dan kehidupan yang mengitarinya. 2. Asas selalu berharap dapat menciptakan suasana kedamaian dan ketentraman antar sesama mahluk dan juga terhadap alam dimana manusia hidup sebagai salah satu elemen dari alam semesta raya Nilai dan asas-asas tersebut kemudian dipersepsikan sebagai landasan filosofis TRIHITAKARANA, yang artinya menurut Ketut Kaler (1983) adalah Tiga unsur yang merupakan sumber sebab terciptanya kebaikan ; Adapun ketiga unsur tersebut adalah : 1. Unsur Jiwa yang disebut Atman, 2. Unsur Tenaga atau Kekuatan yang disebut Prana, 3. Unsur Badan Wadag atau Ragawi yang disebut Sarira. Ketiga unsur Tri Hita Karana ini kemudian dipakai sebagai pola dasar baku oleh masyarakat Bali dalam membentuk segala sesuatu yang diharapkan dapat menciptakan keharmonisan, termasuk membentuk desa dan komunitasnya. Dalam pembentukan desa (adat) yang harmonis, ketiga unsur Tri Hita Karana diwujudkan sebagai : 6

7 1. Parhyangan Desa, yaitu Tri Kahyangan atau Tiga Tempat Suci, berupa Pura Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem sebagai unsur jiwa atau atman -nya desa. 2. Pawongan Desa, adalah segenap Krama Desa yaitu warga komunitas desa sebagai unsur tenaga atau prana nya desa. 3. Palemahan Desa, adalah tanah dan lingkungan Wilayah Desa termasuk daerah pemukimannya yang merupakan unsur badan wadag atau sarira -nya desa. atau Kesejahteraan, dalam filosofi ini kesejahteraan hanya dapat dicapai melalui tiga jalan yang diharapkan. Ketiga jalan dimaksud, yakni Satyam atau Kebenaran yang bisa dicapai melalui kedamaian Atman atau Jiwa; Ciwam atau Kebijakan yang bisa dicapai melalui keharmonisan Prana atau Tenaga/Kekuatan Komunitas; dan Sundaram atau Kebahagiaan yang dapat dicapai melalui kearifan Sarira atau Badan Wadag/ Fisik Lingkungan. Tri Hita Karana mengajarkan pencapaian tujuan hidup yang disebut dengan Jagaditha Gambar 01 SKEMA FILOSOFI TRIHITAKARANA Pola hubungan yang seimbang dan serasi diantara ketiga sumber kesejahteraan dan kedamaian ini, diharapkan agar manusia selalu berusaha untuk menjaga keharmonisan hubungannya dengan ketiga unsur itu, yakni : 1. Hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, untuk mencapai Kebenaran, 2. Hubungan harmonis manusia dengan manusia, untuk mencapai Kebijakan, 7

8 3. Hubungan harmonis manusia dengan alam, untuk mencapai Kebahagiaan. IMPLEMENTASI TRIHITAKARANA KEDALAM KONSEP TATA RUANG DESA ADAT DI BALI Penerapan falsafah Trihitakarana dalam penataan ruang, dapat diimplementasikan baik kedalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pendekatan penerapan Trihitakarana kedalam konteks pola tata ruang desa dilakukan melalui wujud implementasi makna ketiga unsurnya yakni implementasi makna Parhyangan sebagai Jiwa Desa, implementasi makna Pawongan sebagai Tenaga Desa dan implementasi makna Palemahan sebagai Sarira Desa. 1. Parhyangan : Pengendali Pemekaran Fisik Wilayah dan Tata Guna Lahan Desa Adat Dalam setiap desa adat di Bali (baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan) terdapat Parhyangan Desa, yang merupakan wujud hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan dalam pemahaman falsafah Trihitakarana. Parhyangan desa terdiri atas 3 (tiga) buah Pura (bangunan suci tempat beribadah) yang berada pada Hulu-Desa, Pusat-Desa, dan Hilir-Desa dimana ketiganya menjadi batas tegas peruntukan dan perkembangan fisik desa. Pura pada hulu desa disebut Pura Puseh, yakni pura yang berkaitan dengan keyakinan akan proses penciptaan atau kelahiran manusia, dimana Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Brahma atau Sang Pencipta di-stana-kan (diposisikan untuk disembah). Dengan diposisikannya pada bagian Kaja-Kangin atau Timur Laut sebagai wilayah paling hulu desa dengan tata nilai ruang Utamaning- Utama, maka secara tegas diatur untuk tidak diperkenankan adanya fungsi fisik profane guna lahan lain pada wilayah desa yang lebih hulu daripada Pura Puseh, sehingga Pura ini menjadi batas fisik kelayakan fungsi guna lahan profane (non sacral) wilayah paling Timur (Kangin) dan wilayah paling Utara (Kaja) Desa. Pura pada pusat desa disebut Pura Desa, yakni pura yang berkaitan dengan keyakinan akan proses pemeliharaan atau kehidupan manusia, dimana Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Wisnu atau Sang Pemelihara di-stanakan. Posisinya pada pusat desa dengan tata nilai Madya-ning-Madya, menjadikannya sebagai pusat pertumbuhan dan pengendalian perkembangan desa yang tak 8

9 dapat digeser fungsi lain sebagai pusat desa. Pusat Desa berperan mengendalikan batas terluar desa, hal ini dapat terjadi karena batas terluar desa biasanya disyaratkan dengan jangkauan suara kulkul (kentongan) dari pura dipusat desa ini. Berdasarkan hasil penelitian jarak terluar batas wilayah dari pusat, suara kulkul masih dapat terdengar pada radius sekitar 500 meter hingga 800 meter (Rabindra, Pola Komunits Kota Tabanan, Bali, Tesis, PWK-ITB, 1995). Pura pada hilir desa disebut Pura Dalem, yakni pura yang berkaitan dengan keyakinan akan proses peleburan atau kematian manusia, dimana Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa atau Sang Pelebur atau Sang Pemralina di-stana-kan. Sesuai dengan fungsinya sebagai pura kematian, pada kawasan sekitar pura ini biasanya juga terdapat Setra atau pemakaman/kuburan desa. Dengan diposisikannya pada bagian Kelod- Kauh atau Barat-Daya sebagai wilayah paling hilir desa dengan tata nilai ruang Nista-ning-Nista, maka tidak layak adanya fungsi fisik profane guna lahan lain yang lebih nista dari kuburan, sehingga Pura ini menjadi batas fisik kelayakan fungsi guna lahan paling Barat (Kauh) dan Selatan (Kelod) Desa. 2. Pawongan : Pengendali Jumlah Populasi Komunitas dan Ikatan Sosial Antar Warga Komunitas Pawongan Desa, adalah segenap Krama Desa yaitu warga komunitas desa sebagai tenaga atau prana nya desa; merupakan kekuatan yang timbul dan terwujud dari bentuk hubungan harmonis antara manusia satu dengan manusia lainnya sebagai unsur utama pembentuk sebuah komunitas, dalam pemahaman falsafah Tri Hita Karana. Komunitas inilah inti kekuatan atau tenaga atau prana nya desa (adat) sebagai unit-unit dasar pembentuk komunitas wilayah atau kota. Kekuatan komunitas ini bukanlah pada ukuran tenaga dalam artian fisis, melainkan kekuatan sosial berupa rasa kebersamaan, solidaritas dan sikap gotong royong yang sangat kental diantara para warganya. Sebuah kekuatan sosial yang terbentuk dari harmoni hubungan antara manusia satu dengan lainnya, yang diikat dengan kedekatan fisik dan intensitas komunikasi dan tingkat kenal yang tinggi diantara satu dengan lainnya (social cohesiveness). Krama desa atau warga komunitas desa (adat) terdiri dari jumlah beberapa warga komunitas banjar (adat), dimana 9

10 warga komunitas banjar adat terdiri dari warga beberapa komunitas tempekan. Berdasarkan hasil penelitian, jumlah warga komunitas tempekan biasanya terdiri dari 25 hingga 50 kepala keluarga atau sekitar 100 jiwa hingga 250 jiwa atau setara dengan jumlah warga rukun tetangga (RT) minimal. Beberapa tempekan biasanya membentuk suatu komunitas banjar (adat), dengan jumlah warga komunitas banjar (adat) idealnya terdiri atas 150 hingga 250 kepala keluarga atau sekitar 600 jiwa hingga 1000 jiwa, atau setara dengan jumlah warga rukun warga (RW) ideal. Pada wilayah pusat kota yang padat, jumlah warga banjar (dinas) bisa mencapai sekitar 1200 jiwa sampai 2000 jiwa atau sekitar 250 hingga 500 kepala keluarga. Luas wilayah banjar minimal diperkotaan sekitar 35 Ha hingga 55 Ha atau luas wilayah dalam radius 350 m sampai dengan 420 m. Sedangkan luas wilayah banjar maksimal adalah sekitar 75 Ha hingga 200 Ha atau seluas wilayah dalam radius 500 m sampai dengan 800 m (Rabindra, Tesis, PWK-ITB,1995). Besaran jumlah unit-unit komunitas tempekan, banjar dan krama desa terbentuk atas dasar derajat ikatan sosial yang dipengaruhi oleh kedekatan fisik lingkungan, intensitas pertemuan dan komunikasi, serta rasa saling kenal dan saling memperhatikan diantara anggota komunitas. Dengan unit dasar besaran ini secara otomatis akan terkendali jumlah populasi setiap unit komunitas, sehingga sulit timbul terjadinya peledakan jumlah populasi yang tak terkendali didalam maupun diluar komunitas. Disamping komunitas inti seperti diatas, terdapat juga sub-sub komunitas yang disebut sekehe atau kelompok, seperti : sekehe suka duka yakni semacam koperasi suka-duka, gotong royong, arisan, dsb; sekehe subak yakni kelompok pengairan dan pertanian; sekehe gong yakni kelompok kesenian dan sebagainya; sekehe semal yakni kelompok pembasmi hama pertanian; juga sekehe teruna-teruni yakni kelompok remaja semacam kelompok karang taruna. Hampir tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan baik, apabila rasa kebersamaan dalam komunitas terbentuk begitu harmonis; demikian halnya dalam konteks dengan penataan ruang wilayah, tak ada masalah pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang yang tak bisa diselesaikan secara mudah dan tanpa masalah oleh warga komunitas yang harmonis. 10

11 3. Palemahan : Pengendali Perluasan Kawasan Terbangun dan Terjaganya Kelestarian Lingkungan Alami Yang dimaksud dengan Badan Wadag atau Sarira Desa, adalah wujud fisik lingkungan desa (adat) di Bali yang terdiri atas cluster pemukiman masyarakat termasuk pekarangannya; fasilitas sosial non sakral seperti Bale Desa/ Bale Banjar/ Bale Wantilan, Pasar, Sekolah, jalan lingkungan lapangan, kuburan (setra), dan lain sebagainya; juga termasuk kebon (teba), tegalan, sawah serta sungai, situ/ danau/ pantai, bukit, lembah, jurang, hutan dan elemen lingkungan alami lain yang ada didalam wilayahnya. Cluster pemukiman dalam satuan unit tempekan, banjar maupun desa ditata dengan berbagai bentuk seperti konsep perempatan agung/ Catur Muka, konsep Swastikasana, Konsep Linier Tri Mandala (seperti di Desa Penglipuran) atau Iron Grid (seperti di Tenganan atau Desa Bugbug) dan sebagainya. Apapun konsep cluster pemukiman selalu mengacu pada ikatan sosio-religious dengan tata letak Tri Kahyangan, dan ikatan sosio-kultural dengan pola komunitas krama desa yang hidup diwilayahnya. Yang membedakan penerapan pola desa selain kondisi geografis dan topografis alam lingkungan desa, adalah latar belakang historis terbentuknya desa, atau system jaringan transportasi wilayah yang lebih luas. Pekarangan sebagai unsur-unsur pembentuk cluster ditata secara sangat bijaksana dengan memperlakukan konsep Sanga Mandala, yakni sistem tata nilai ruang yang membagi pekarangan dalam 9 (Sembilan) zona pemanfaatan. Konsep ini memiliki tiga zona Utama, 3 zona Madya, serta Madya ning Nista.dan 3 zona Nista. Zona Utama ning Utama berfungsi sebagai Pemerajan yakni tempat suci yang 70 % berupa ruang terbuka dengan proporsi hijau sekitar 50:50 atau sekitar 4 % total pekarangan. Zona Madya ning Madya berfungsi sebagai Natah atau halaman tengah multi fungsi yang 100% terbuka dengan proporsi hijau 50:50 atau sekitar 5,5% total pekarangan. Sementara 7 zona lainnya rata-rata 60 % terbangun dan 40 % terbuka dengan proporsi hijau 50:50 atau setara dengan 15,5 % total pekarangan. Jadi setiap pekarangan menyumbang ruang terbuka 40,5 % dengan ruang terbuka hijau 25 % total luas pekarangan. Konsep penyengker yang membentengi pekarangan, selain mencegah konflik kepentingan dengan tetangga, juga 11

12 mengendalikan pertumbuhan fisik bangunan karena memisahkan pekarangan yang boleh dibangun dengan teba atau kebun yang tak boleh dibangun. konsep telajakan antara pekarangan dengan pekarangan lain dan dengan jalan lingkungan (semacam garis sempadan pagar atau bangunan) membuat batas sakral yang menjadikan manfaat pencegah perselisihan dengan masyarakat umum selain manfaat konstruktif pagar dan bangunan, juga menyumbang ruang terbuka hijau yang cukup signifikan. Topografi desa dikelola dengan sangat arif, yakni tidak melakukan pembentukan muka tanah dengan metoda cut dan fill secara sembarangan, karena aturan tidak diperkenankan merubah komposisi bagian lahan hulu ke hilir dan atau sebaliknya. Metoda yang diijinkan adalah dengan metoda terrasering/ berjenjang untuk mengurangi dampak terjadinya run-off ataupun longsor. Disamping memberi manfaat pada system pengairan pertanian yang disebut subak, metoda terasering ini juga memberi peluang sangat besar pada proses pelambatan aliran air kehilir, sehingga daya serap air permukaan menjadi sangat efektif. Pemanfaatan potensi hidrografis seperti sungai, mata air dan situ/ danau juga dikelola secara sangat bijaksana untuk melindungi sumber-sumber air bersih dan air pertanian bagi kehidupan bersama. Mata air (mumbul) dan situ atau danau dijaga dengan membangun semacam petirtan (pura kecil tempat mengambil air suci bagi kegiatan sakral), pelanggaran perlakuan terhadap sumber-sumber air diancam sanksi agama dan adat yang sangat berat. Aliran sungai dikelola secara kolektif untuk dijaga dan dimanfaatkan demi kesejahteraan bersama melalui sistem teknologi pengairan tradisional yang fenomenal yakni sistem subak. Sistem ini dikelola oleh sub komunitas yang disebut sekehe subak, yakni kelompok petani dan warga pengelola air bagi manfaat pertanian (khususnya sawah) dan manfaat lainnya seperti untuk kegiatan mandi, cuci dan kakus (MCK). 12

13 Gambar 02 SKEMA IMPLEMENTASI TRIHITAKARANA DALAM KONSEP HARMONISASI TATA NILAI RUANG DESA ADAT Pada bagian belakang setiap pekarangan biasanya terdapat teba atau kebun/ kandang hewan/ruang terbuka hijau dan lain sebagainya, yang rata-rata seluas setidaknya 50 % setiap pekarangan, ini berarti menyumbang RTH yang sangat signifikan bagi desa. Disamping itu, potensi hutan, tebing, lembah ataupun jurang juga dikelola secara sangat bijaksana, umumnya kawasan-kawasan seperti ini dijadikan tanah ulayat seperti laba desa (tanah milik desa) dan laba pura (tanah milik pura), dimana ditetapkan awig-awig desa atau aturan lokal yang sangat ketat terhadap pemanfaatan dan perubahan peruntukkannya. Dengan aturan yang sangat ketat dan umumnya sangat ditaati oleh krama desa, maka kelestarian alam lingkungan pada kawasan-kawasan tadi akan sangat terjaga. IMPLEMENTASI TRIHITAKARANA KEDALAM PENATAAN RUANG KOTA SECARA CERDAS Desa adat merupakan entitas utama terbentuknya kota-kota di Bali, dari dahulu kala hingga kini. Populasi yang berkembang secara pesat akibat proses urbanisasi dikawasan perkotaan di Bali, tidak serta merta melahirkan 13

14 pemekaran desa-desa baru. Lebih cenderung terjadi peningkatan jumlah populasi warga desa atau pemekaran banjar-banjar baru didalam desa. Karenanya pola tata ruang desa adat sebaiknya dapat tetap dipertahankan dan juga dapat dijadikan landasan pokok pengembangan tata ruang perkotaan di Bali. Perkembangan kegiatan pariwisata telah menarik begitu banyak pendatang untuk menetap dikawasan perkotaan di Bali. Heterogenitas penduduk yang tinggal dan menetap di wilayah-wilayah desa adat dikawasan perkotaan pun menjadi lebih beragam. Mengatasi keberagaman latar belakang sosial dan budaya yang berkembang diterapkan aturan kependudukan bagi pendatang, yakni boleh tinggal dan menetap pada wilayah salah satu banjar adat dari desa adat tertentu dikawasan perkotaan dengan menjadi warga banjar dinas dan warga desa dinas. Banjar Dinas dan Desa Dinas adalah bentuk banjar adat atau desa adat yang juga diperankan sebagai banjar administrasi atau desa administrasi yang melayani urusan administrasi warga pendatang. Warga pendatang tidak diwajibkan mengikuti kegiatan adat banjar atau desa adat, namun wajib mentaati berbagai peraturan yang berlaku pada banjar/desa adat tersebut, yang umumnya diatur dalam awig-awig desa adat. Diantara aturan yang wajib ditaati warga pendatang adalah peraturan menyangkut tata ruang desa adat dalam pembangunan sarana dan prasarana baru bagi pemukiman dan fasilitas pendukungnya. Permasalahan sering muncul apabila berbagai peraturan menyangkut tata ruang kawasan perkotaan yang diterapkan oleh pemerintah kota/kabupaten, tak selaras dengan awig-awig desa-desa adat entitas pokok terbentuknya wilayah kota tersebut. Koreksi atas masalah yang muncul sepatutnya dialamatkan kepada kebijakan pemerintah kota/kabupaten yang tidak mampu mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal yang ada kedalam analisis kebijakan tata ruang kotanya. Sepatutnya pemerintah kota/kabupaten dapat mengadopsi potensi-potensi kearifan lokal yang tertuang dalam berbagai awig-awig desa adat, sebagai landasan konseptual isi (content) materi analisis kebijakan dan perencanaan tata ruang kota. Sedangkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagai metodologi modern penataan ruang kota hijau yang berkelanjutan, dapat dijadikan wadah (container) dari proses analisis strategis dalam pendekatan perencanaan tata ruang perkotaan sebagai suatu metode pemecahan masalah secara cerdas. 14

15 Melalui sinergi content container antara implementasi nilai-nilai kearifan lokal konsep Trihitakarana kedalam proses analisis strategis pengambilan kebijakan tata ruang kota hijau berkelanjutan secara sinkron, diharapkan tercipta dan terjaga keharmonisan kehidupan masyarakat kota diantara elemenelemen lingkungan binaan kota dan elemenelemen lingkungan alaminya. Gambar 03 SINERGI IMPLEMENTASI SOLUSI CERDAS PENATAAN RUANG (CONTAINER) DENGAN IMPLEMENTASI FILOSOFI TRIHITAKARANA (CONTENT) Daftar Pustaka Adhika, I Made, Peran Banjar dalam Penataan Komunitas Perkotaan di Bali, 15

16 Studi Kasus Kota Denpasar, Tesis S-2, Program Pasca Sarjana PWK-ITB, Bandung, Cantika, Koti dan I Made Dharmayudha, Filsafat Adat Bali, Upadha Sastra, Denpasar, Kozlowski, Jerzy and G.Hill, Towards Planning For Sustainable Development A Guide for the Ultimate Environmental Threshold (UET) Method, Avebury, Brookfield USA, Mantra, Ida Bagus, Bali : Masalah Sosial Budaya dan Modernisasi, Upadha Sastra, Denpasar, Rudito, Bambang dan Melia Famiola, Social Mapping Metode Pemetaan Sosial, Teknik Memahami Suatu Masyarakat atau Komuniti, Penerbit Rekayasa Sains, Bandung, Rabindra, Ida Bagus, Pola Komunitas Kota Tabanan, Bali, Tesis S-2, Program Pasca Sarjana PWK-ITB, Bandung, Russ, Thomas H., Site Planning and Design Handbook, McGraw-Hill Companies, Boston, Massachusetts, Simonds, John Ormbee, Garden Cities 21: Creating A Livable Urban Environment, McGraw- Hill, Inc., , Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008, tentang, Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, , Tanya Jawab Seputar Penyelenggaraan Penataan Ruang Daerah, Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta,

Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU)

Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU) PENGADAAN TANAH UNTUK RUANG TERBUKA HIJAU DI KAWASAN PERKOTAAN Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU) Sekilas RTH Di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Lebih terperinci

Bali. Pola Tata Ruang Tradisional

Bali. Pola Tata Ruang Tradisional Bali Pola Tata Ruang Tradisional Konsep Sanga Mandala Konsep Tri Angga pada lingkungan Konsep Tri Angga pada Rumah Tata Ruang Rumah Tinggal Konsep tata ruang tradisional Pola tata ruang tradisional Bali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan,

Lebih terperinci

INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI

INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI Saat ini banyak kota besar yang kekurangan ruang terbuka hijau atau yang sering disingkat sebagai RTH. Padahal, RTH ini memiliki beberapa manfaat penting

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem irigasi subak merupakan warisan budaya masyarakat Bali. Organisasi

BAB I PENDAHULUAN. Sistem irigasi subak merupakan warisan budaya masyarakat Bali. Organisasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem irigasi subak merupakan warisan budaya masyarakat Bali. Organisasi petani tersebut berwatak sosio agraris religius. Subak sebagai lembaga sosial dapat dipandang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW 09-1303) RUANG TERBUKA HIJAU 7 Oleh Dr.Ir.Rimadewi S,MIP J P Wil h d K t Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Lebih terperinci

-2- saling melengkapi dan saling mendukung, sedangkan peran KLHS pada perencanaan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup bersifat menguatkan. K

-2- saling melengkapi dan saling mendukung, sedangkan peran KLHS pada perencanaan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup bersifat menguatkan. K TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I LINGKUNGAN HIDUP. Strategis. Penyelenggaraan. Tata Cara. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 228) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PENDEKATAN ASPEK LINGKUNGAN DALAM KEBIJAKAN PENATAAN RUANG NASIONAL

PENDEKATAN ASPEK LINGKUNGAN DALAM KEBIJAKAN PENATAAN RUANG NASIONAL PENDEKATAN ASPEK LINGKUNGAN DALAM KEBIJAKAN PENATAAN RUANG NASIONAL Ir. Iman Soedradjat, MPM DIREKTUR PENATAAN RUANG NASIONAL disampaikan pada acara: SEMINAR NASIONAL PERTIMBANGAN LINGKUNGAN DALAM PENATAAN

Lebih terperinci

BAB V ARAHAN PELESTARIAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI AGA DAN REKOMENDASI

BAB V ARAHAN PELESTARIAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI AGA DAN REKOMENDASI BAB V ARAHAN PELESTARIAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI AGA DAN REKOMENDASI Bab ini akan menjelaskan mengenai Dasar Pertimbangan, Konsep Pelestarian, Arahan pelestarian permukiman tradisional di Desa Adat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MATARAM,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pembangunan dan lingkungan hidup adalah dua bidang yang saling berkaitan. Di satu sisi pembangunan dirasakan perlu untuk meningkatkan harkat hidup manusia. Tapi di

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. KLHS Raperda RTR Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. KLHS Raperda RTR Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kawasan Pantai Utara Jakarta ditetapkan sebagai kawasan strategis Provinsi DKI Jakarta. Areal sepanjang pantai sekitar 32 km tersebut merupakan pintu gerbang dari

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN 2013-2032 I. UMUM Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara,

Lebih terperinci

PERENCANAAN PERLINDUNGAN

PERENCANAAN PERLINDUNGAN PERENCANAAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP UU No 32 tahun 2009 TUJUAN melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup menjamin keselamatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan yang terjadi di wilayah perkotaan sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan yang terjadi lebih banyak

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA. Keserasian Kawasan. Perumahan. Pemukiman. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA. Keserasian Kawasan. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. No.42, 2008 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA. Keserasian Kawasan. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 11/PERMEN/M/2008 TENTANG PEDOMAN KESERASIAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2016 TAHUN 2016 TENTANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2016 TAHUN 2016 TENTANG PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2016 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA TATA RUANG KAWASAN STRATEGIS PROVINSI KAWASAN PERKOTAAN BREBES-TEGAL-SLAWI-PEMALANG TAHUN 2016-2036 I

Lebih terperinci

Batu menuju KOTA IDEAL

Batu menuju KOTA IDEAL Batu menuju KOTA IDEAL 24 September 2014 Disampaikan dalam acara Sosialisasi Pembangunan Berkelanjutan di Kota Batu Dinas Perumahan Kota Batu Aris Subagiyo Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas

Lebih terperinci

II. LANSKAP DAN KARAKTERISTIK

II. LANSKAP DAN KARAKTERISTIK Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) II. LANSKAP DAN KARAKTERISTIK Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Siti Nurul Rofiqo Irwan, SP., MAgr, PhD. LANSKAP DAN KARAKTERISTIK Tujuan: Memahami dasar pemikiran merencana

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

Instrumen Perhitungan Dampak Sosial Ekonomi dan Lingkungan Akibat Konversi Lahan

Instrumen Perhitungan Dampak Sosial Ekonomi dan Lingkungan Akibat Konversi Lahan Instrumen Perhitungan Dampak Sosial Ekonomi dan Lingkungan Akibat Konversi Lahan TA 2014 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kota merupakan perwujudan aktivitas manusia yang berfungsi sebagai pusat kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menentukan arah/kebijakan pembangunan. 2

BAB I PENDAHULUAN. menentukan arah/kebijakan pembangunan. 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pulau Bali sebagai daerah yang terkenal akan kebudayaannya bisa dikatakan sudah menjadi ikon pariwisata dunia. Setiap orang yang mengunjungi Bali sepakat bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan

I. PENDAHULUAN. Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan 19 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan alamnya dari masa ke masa. Berbagai lingkungan mempunyai tatanan masing masing sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya alih fungsi ruang hijau menjadi ruang terbangun, merupakan sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua Kabupaten Kota di Indonesia.

Lebih terperinci

BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP PEMERINTAH KABUPATEN SIGI TAHUN 2014 0 BUPATI SIGI PROVINSI

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG TAHUN 2011 2031 UMUM Ruang wilayah Kabupaten Karawang dengan keanekaragaman

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN 2011-2031 I. UMUM Proses pertumbuhan dan perkembangan wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

~ 53 ~ PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup Jelas. Pasal 2 Cukup Jelas. Pasal 3 Cukup Jelas

~ 53 ~ PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup Jelas. Pasal 2 Cukup Jelas. Pasal 3 Cukup Jelas ~ 51 ~ PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KABUPATEN KAYONG UTARA TAHUN 2015-2035 I. UMUM 1. Ruang Wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara menyeluruh. Pembangunan daerah telah berlangsung

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. stabilitator lingkungan perkotaan. Kota Depok, Jawa Barat saat ini juga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. stabilitator lingkungan perkotaan. Kota Depok, Jawa Barat saat ini juga BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Lingkungan perkotaan identik dengan pembangunan fisik yang sangat pesat. Pengembangan menjadi kota metropolitan menjadikan lahan di kota menjadi semakin berkurang,

Lebih terperinci

WALIKOTA TIDORE KEPULAUAN

WALIKOTA TIDORE KEPULAUAN WALIKOTA TIDORE KEPULAUAN PERATURAN DAERAH KOTA TIDORE KEPULAUAN NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TIDORE KEPULAUAN, Menimbang

Lebih terperinci

5.3. VISI JANGKA MENENGAH KOTA PADANG

5.3. VISI JANGKA MENENGAH KOTA PADANG Misi untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang cerdas, sehat, beriman dan berkualitas tinggi merupakan prasyarat mutlak untuk dapat mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera. Sumberdaya manusia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimensi ekonomi dibandingkan dengan dimensi ekologi. Struktur alami sebagai tulang punggung Ruang Terbuka Hijau harus dilihat

BAB I PENDAHULUAN. dimensi ekonomi dibandingkan dengan dimensi ekologi. Struktur alami sebagai tulang punggung Ruang Terbuka Hijau harus dilihat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota-kota di Indonesia kini tengah mengalami degradasi lingkungan menuju berkurangnya ekologis, akibat pembangunan kota yang lebih menekankan dimensi ekonomi

Lebih terperinci

CUPLIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

CUPLIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN CUPLIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a bahwa

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS [KLHS] SEBAGAI KERANGKA BERFIKIR DALAM PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS [KLHS] SEBAGAI KERANGKA BERFIKIR DALAM PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS [KLHS] SEBAGAI KERANGKA BERFIKIR DALAM PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH Oleh : Ir. Bambang Setyabudi, MURP Asisten Deputi Urusan Perencanaan Lingkungan, Kementerian Negara

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini akan menguraikan kesimpulan dan saran sebagai hasil pengolahan data penelitian dan pembahasan terhadap hasil analisis yang telah disajikan dalam beberapa bab sebelumnya.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup,

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA POSO (STUDI KASUS : KECAMATAN POSO KOTA)

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA POSO (STUDI KASUS : KECAMATAN POSO KOTA) ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA POSO (STUDI KASUS : KECAMATAN POSO KOTA) Juliana Maria Tontou 1, Ingerid L. Moniaga ST. M.Si 2, Michael M.Rengkung, ST. MT 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

2.1. TUJUAN PENATAAN RUANG WILAYAH KOTA BANDA ACEH

2.1. TUJUAN PENATAAN RUANG WILAYAH KOTA BANDA ACEH 2.1. TUJUAN PENATAAN RUANG WILAYAH KOTA BANDA ACEH Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kota Banda Aceh dirumuskan untuk mengatasi permasalahan tata ruang dan sekaligus memanfaatkan potensi yang dimiliki, serta

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa Provinsi Jambi merupakan daerah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan perekonomian di kota-kota besar dan metropolitan seperti DKI Jakarta diikuti pula dengan berkembangnya kegiatan atau aktivitas masyarakat perkotaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

JURNAL. Diajukan oleh : DIYANA NPM : Program Studi : Ilmu Hukum Program Kekhususan : Hukum Pertanahan dan Lingkungan Hidup FAKULTAS HUKUM

JURNAL. Diajukan oleh : DIYANA NPM : Program Studi : Ilmu Hukum Program Kekhususan : Hukum Pertanahan dan Lingkungan Hidup FAKULTAS HUKUM JURNAL PELAKSANAAN KEBIJAKAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA PEKANBARU SETELAH BERLAKUKANYA UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG JUNCTO PERATURAN DAERAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II PEKANBARU

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS. potensi wisata, yaitu potensi fisik dan potensi budayayang bisa dikembangkan dengan

BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS. potensi wisata, yaitu potensi fisik dan potensi budayayang bisa dikembangkan dengan BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS 2.1 Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian sebelumnya berkaitan dengan pengembangan potensi ekowisata, dilakukan oleh Suryawan (2014), di Desa Cau Belayu,

Lebih terperinci

V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN

V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN Visi dan misi merupakan gambaran apa yang ingin dicapai Kota Surabaya pada akhir periode kepemimpinan walikota dan wakil walikota terpilih, yaitu: V.1

Lebih terperinci

PERATURAN DESA.. KECAMATAN. KABUPATEN... NOMOR :... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN SUMBER AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DESA.. KECAMATAN. KABUPATEN... NOMOR :... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN SUMBER AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DESA.. KECAMATAN. KABUPATEN... NOMOR :... TAHUN 20... TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN SUMBER AIR DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA Menimbang : a. bahwa sumber air sebagai

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN HUTAN KOTA DALAM STRATEGI PEMBANGUNAN PERKOTAAN PROVINSI BANTEN

PEMBANGUNAN HUTAN KOTA DALAM STRATEGI PEMBANGUNAN PERKOTAAN PROVINSI BANTEN PEMBANGUNAN HUTAN KOTA DALAM STRATEGI PEMBANGUNAN PERKOTAAN PROVINSI BANTEN Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Banten Hotel Ledian, 14 oktober 2014 I. GAMBARAN UMUM 1. WILAYAH PERKOTAAN PROVINSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomena pemanasan bumi, degradasi kualitas lingkungan dan bencana lingkungan telah membangkitkan kesadaran dan tindakan bersama akan pentingnya menjaga keberlanjutan

Lebih terperinci

Sekretariat : BAPPEDA KOTA BOGOR, Lantai 3 Jl. Kapten Muslihat No Bogor

Sekretariat : BAPPEDA KOTA BOGOR, Lantai 3 Jl. Kapten Muslihat No Bogor Sekretariat : BAPPEDA KOTA BOGOR, Lantai 3 Jl. Kapten Muslihat No. 21 - Bogor GAMBARAN UMUM P2KH merupakan inisiatif untuk mewujudkan Kota Hijau secara inklusif dan komprehensif yang difokuskan pada 3

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR. TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR. TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR. TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perencanaan dan Perancangan Lanskap Planning atau perencanaan merupakan suatu gambaran prakiraan dalam pendekatan suatu keadaan di masa mendatang. Dalam hal ini dimaksudkan

Lebih terperinci

BAGIAN 1 PENDAHULUAN. 1.2 Latar Belakang Permasalahan Perancangan

BAGIAN 1 PENDAHULUAN. 1.2 Latar Belakang Permasalahan Perancangan BAGIAN 1 PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Dan Batasan Judul Permukiman Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, dapat merupakan kawasan perkotaan dan perkampungan (document.tips,

Lebih terperinci

BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR

BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUMAJANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN Menimbang Mengingat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUMAJANG,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN KATA PENGANTAR Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan bahwa RTRW Kabupaten harus menyesuaikan dengan Undang-undang tersebut paling lambat 3 tahun setelah diberlakukan.

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 10 TAHUN : 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.228, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Strategis. Penyelenggaraan. Tata Cara. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5941) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN LAPORAN AKHIR 1-1

BAB 1 PENDAHULUAN LAPORAN AKHIR 1-1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kabupaten Jayapura Tahun 2013-2017 merupakan dokumen perencanaan pembangunan daerah yang harus ada dalam penyelenggaraan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 42 2012 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 42 TAHUN 2012 TENTANG BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BEKASI, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Lingkungan hidup dan sumber daya alam merupakan anugerah Tuhan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Lingkungan hidup dan sumber daya alam merupakan anugerah Tuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lingkungan hidup dan sumber daya alam merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber dan penunjang

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SIAK SRI INDRAPURA KABUPATEN SIAK TAHUN 2002-2011 I. PENJELASAN UMUM Pertumbuhan penduduk menyebabkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG,

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan

Lebih terperinci

BERHUBUNGAN DENGAN ALAM Connecting People to Nature - MULAILAH DARI PEKARANGAN

BERHUBUNGAN DENGAN ALAM Connecting People to Nature - MULAILAH DARI PEKARANGAN BERHUBUNGAN DENGAN ALAM Connecting People to Nature - MULAILAH DARI PEKARANGAN page 1 / 12 page 2 / 12 BERHUBUNGAN DENGAN ALAM Connecting People to Nature page 3 / 12 a ul ailah-dari-pekarangan/ MULAILAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam semesta ini. Bagi umat manusia, keberadaan air sudah menjadi sesuatu yang urgen sejak zaman

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

Paradigma Pendidikan berbasis Tri Hita Karana Dr. Putu Sudira, MP. Dosen Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta

Paradigma Pendidikan berbasis Tri Hita Karana Dr. Putu Sudira, MP. Dosen Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta Paradigma Pendidikan berbasis Tri Hita Karana Dr. Putu Sudira, MP. Dosen Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta Ajeg bali yang selama ini menjadi perbincangan masyarakat bali tanpa pengembangan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGALIHAN SAHAM DAN BATASAN LUASAN LAHAN DALAM PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL DAN PEMANFAATAN PERAIRAN DI SEKITARNYA DALAM RANGKA

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI 3.1 IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI PELAYANAN BADAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI JAWA TENGAH Dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci