ANALISIS SPASIAL SEBARAN KASUS TUBERKULOSIS DI TINJAU DARI FAKTOR LINGKUNGAN DALAM RUMAH DI KABUPATEN LUWU UTARA

Transkripsi

1 ANALISIS SPASIAL SEBARAN KASUS TUBERKULOSIS DI TINJAU DARI FAKTOR LINGKUNGAN DALAM RUMAH DI KABUPATEN LUWU UTARA Analysis of Spatial Distribution of Tuberculosis Cases on the Review of Environmental Factors in the House in the District of North Luwu Year 2010 Komang*), Hasanuddin Ishak, Anwar Daud *) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui distribusi spasial kasus tuberkulosis ditinjau dari faktor lingkungan dalam rumah di Kabupaten Luwu Utara Tahun Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Luwu utara dengan lokasi penelitian di wilayah Puskesmas Masamba dan Baebunta.Metode yang digunakan dalam penelitian adalah observasional dengan desain cross sectional studi (potong lintang) dengan pendekatan sistem informasi Geografi (SIG). Sampel kasus dalam penelitian ini adalah semua kasus TB paru BTA (+) yang berusia 15 tahun ke atas dan telah di diagnosis oleh puskesmas sebagai kasus TB paru BTA(+) yang bertempat tinggal di wilayah puskesmas Masamba dan Baebunta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Di wilayah Puskesmas Baebunta dan Masamba ditemukan 37,7 % kasus berada < 100 m dari sungai; 45,9 kasus berada dalam range < 250 m dari sungai; (86,8 % kasus terjadi dalam jarak < 500 m dari sungai) dan hanya 13,11% kasus yang terletak > 500 m dari sungai. Sebaran kasus tuberculosis banyak ditemukan dengan lingkungan dalam rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu : Kepadatan penghuni rumah, suhu dan kelembaban, luas ventilasi,pencahayaan ruang keluarga dan jenis lantai yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Wilayah puskesmas baebunta lebih banyak ditemukan lingkungan dalam rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dibandingkan dengan wilayah puskesmas masamba. Kata Kunci: lingkungan dalam rumah, Distribusi Spasial,TB paru. ABSTRACT This study aims to know the spatial distribution of tuberculosis cases in terms of environmental factors in the home in North Luwu district in The research was conducted in Luwu north with research sites in the area of health centers and Baebunta.Metode Masamba used in the study was observational with crosssectional study design (cross-sectional) approach to Geographic information systems (GIS). The sample of cases in this study were all cases of pulmonary tuberculosis AFB (+) aged 15 years and over and has been diagnosed by the clinic as a case of pulmonary tuberculosis AFB (+) residing in the area of health centers and Baebunta Masamba. The results showed that in the health center and Masamba Baebunta found 37.7% of cases were <100 m from the river; 45.9 cases in range <250 m from the river; (86.8% of cases occur within a distance <500 m from river ) and only 13.11% of cases are located> 500 m from the stream. Distribution of tuberculosis cases are found with the environment in homes that do not meet health requirements, namely: the household density, temperature and humidity, area ventilation, lighting and the type of floor family room that did not meet health requirements. Baebunta clinic areas were more common in home environments that do not meet health requirements as compared to the health center town. Keywords: environment in the home, Spatial Distribution, pulmonary TB. 1

2 Pendahuluan Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan paling sering bermanifestasi di paru. Mikobakterium ini ditransmisikan melalui droplet di udara, sehingga seorang penderita tuberkulosis paru merupakan sumber penyebab penularan tuberkulosis paru pada populasi di sekitarnya. Sampai saat ini penyakit tuberkulosis paru masih menjadi masalah kesehatan yang utama, baik di dunia maupun di Indonesia. Menurut WHO (2006) dilaporkan angka prevalensi kasus penyakit tuberkulosis paru di Indonesia 130/ , setiap tahun ada kasus baru dan jumlah kematian sekitar pertahun, angka insidensi kasus Tuberkulosis paru BTA (+) sekitar 110/ penduduk. Penyakit ini merupakan penyebab kematian urutan ketiga, setelah penyakit jantung dan penyakit saluran pernapasan. 2 Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2001 (WHO, 2004), penyakit ini menempati urutan pertama penyebab kematian di Indonesia dengan prevalensi sebesar 26,4%. Sementara itu hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, TBC menduduki peringkat ke tiga penyebab kematian (9,4% dari total kematian) dengan angka kesakitan diperkirakan sebesar 800 per penduduk berdasarkan gejala tanpa pemeriksaan laboratorium. Hasil Survei Prevalensi Tuberkulosis 2004 yang diintegrasikan dengan penyelenggaraan SKRT 2004, persentase responden yang suspek TB dengan gejala penyerta batuk sebesar 8,3 persen. Survei tersebut juga memberikan estimasi prevalensi TB sebesar 119 per dengan angka prevalensi TB yang lebih tinggi di kawasan luar Jawa-Bali (198 per ) daripada prevalensi TB di kawasan Jawa Bali (67 per ). Perbedaan bermakna prevalensi TB didapatkan antara kelompok umur di bawah 45 tahun dan 45 tahun ke atas, di mana prevalensi kelompok umur tua tiga kali lebih besar dari kelompok umur muda. Sementara itu tidak ditemukan perbedaan 2

3 bermakna antara prevalensi menurut jenis kelamin dan tempat tinggal (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes, 2005). Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit tuberkulosis paru bukan hanya dari aspek kesehatan semata tetapi juga dari aspek sosial ekonomi, dengan demikian tuberkulosis paru merupakan ancaman terhadap cita-cita pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Karenanya perang terhadap penyakit tuberkulosis paru berarti pula perang terhadap kemiskinan, ketidakproduktifan dan kelemahan akibat tuberkulosis. WHO dalam Annual Report on Global TB Control (2003) menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high burden countries terhadap tuberkulosis paru, termasuk Indonesia. Pada tahun 2004 diperkirakan 2 juta orang meninggal di seluruh dunia karena penyakit tuberkulosis paru dari total 9 juta kasus. Karena jumlah penduduknya yang cukup besar, Indonesia menempati urutan ketiga di dunia dalam hal penderita tuberkulosis paru setelah India dan China. Setiap tahun angka perkiraan kasus baru berkisar antara 500 hingga 600 orang diantara penduduk. Kabupaten Luwu Utara dengan luas wilayah 7.502,58,Km 2 yang terdiri dari 11 Kecamatan dan 171 desa, terbagi menjadi daerah dataran rendah dengan jumlah desa 146 (85.38 %), dan daerah pegunungan/dataran tinggi dengan jumlah desa 25 (14.61 %). Mempunyai sarana kesehatan;1 rumah sakit pemerintah, 0 rumah sakit swasta, 12 puskesmas. Jumlah penduduk di Kabupaten Luwu Utara berdasarkan data dari kantor Biro Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Luwu Utara tahun 2006 sebesar jiwa, tahun 2007 sebesar jiwa, tahun 2008 sebesar jiwa, tahun 2009 sebesar jiwa, tahun 2010 sebesar mempunyai masalah dengan penyakit tuberkulosis paru dalam 5 tahun terakhir jumlah kasus penderita tuberkulosis paru cenderung berfluktuasi, 3

4 begitu pula dengan angka prevalensi disetiap tahun menunjukkan trend yang meningkat. Tahun 2005 angka kasus penderita tuberkulosis paru sebanyak 221 penderita, tahun 2006 sebanyak 368 penderita, tahun 2007 sebanyak 213 penderita, tahun 2008 sebanyak 249 penderita,tahun 2009 sebanyak 275 penderita, Januari Sampai dengan bulan Juni tahun 2010 sebanyak 338 penderita. Angka Prevalensi penyakit tuberkulosis paru di Kabupaten Luwu utara, tahun 2006 sebesar 123 per ,tahun 2007 sebesar 71 per penduduk, tahun 2008 sebesar 82 per penduduk, tahun 2009 sebesar 88 per penduduk, tahun 2010 sebesar 107 per penduduk. Hingga saat ini pengolahan register tuberkulosis paru di Kabupaten Luwu Utara masih terbatas dalam bentuk analisis tabular dan grafik. Analisis sebaran kasus masih berupa agregasi di tingkat desa dan kecamatan, tetapi bukan dalam bentuk pemetaan. Agar dapat mengidentifikasi rantai penularan tuberkulosis paru sistem surveilans seharusnya dapat mengidentifikasi sebaran kasus tuberkulosis paru hingga tingkat individual tidak hanya agregat. Identifikasi lokasi penderita tuberkulosis paru sampai tingkat lokasi individu sangat dimungkinkan karena dalam register tuberkulosis paru terdapat alamat penderita yang dapat dipetakan menggunakan pendekatan Geographic Information System (GIS). 6 Sampai saat ini belum diketahui pola spasial yang terinci mengenai distribusi kasus tuberkulosis paru ditinjau dari faktor lingkungan dalam rumah di Kabupaten Luwu Utara. Gambaran spasial kasus penyakit tuberkulosis paru diharapkan dapat mengidentifikasi faktor-faktor risiko keruangan terhadap penyebaran penyakit tuberkulosis paru di Kabupaten Luwu Utara. 6 4

5 Metode Penelitian Tujuan penelitian ini adalah Mengetahui Distribusi Spasial kasus TB paru ditinjau dari faktor lingkungan dalam rumah di Kabupaten Luwu Utara. Jenis penelitian penelitian ini adalah adalah observasional dengan desain cross sectional studi (potong lintang) dengan pendekatan Sistem Informasi Geografi (SIG) yang memiliki kemampuan untuk menvisualisasikan, mengeksplorasi, memilah-milah data, dan menganalisis data secara spasial. Populasi dalam penelitian ini adalah Semua kasus TB paru BTA positif yang bertempat tinggal di wilayah puskesmas Masamba dan Baebunta dan tercatat di register puskesmas di Kabupaten Luwu utara tahun 2010 Sampel dalam penelitian ini adalah Semua kasus TB paru BTA (+) yang berusia 15 tahun keatas yang tercatat di register puskesmas dan telah didiagnosis oleh puskesmas yang bertempat tinggal diwilayah puskesmas Masamba dan wilayah puskesmas Masamba Kabupaten luwu utara. Data primer diperoleh dari hasil identifikasi di lapangan baik berupa pengukuran titik koordinat rumah penderita BTA positif dengan GPS Merek Garmin map 76CSx, wawancara untuk memperoleh data secara langsung tentang data umum responden, kamarisasi, kontak dengan penderita, kepadatan penghuni dan adanya kejadian penyakit TB paru, serta karakteristik sampel dengan menggunakan kuesioner. Observasi : dilakukan untuk memperoleh data tentang kondisi rumah yaitu pencahayaan, ventilasi, suhu dan kelembaban, kepadatan penghuni, jenis lantai dengan menggunakan ceklis. Data sekunder diperoleh melalui 5

6 kantor Dinas Kesehatan atau instansi yang berkaitan dengan penelitian ini. Hasil dan Pembahasan Setelah lapisan (layer) peta sungai ditambahkan pada layer kasus tuberkulosis dan peta wilayah Baebunta dan masamba didapati bahwa secara kualitatif didapati kecenderungan kluster TB di daerah yang berdekatan dengan sungai. Sedangkan data kuantitatif diperoleh dengan membuat zona buffer sungai seperti tampak dalam gambar peta (lampiran 4)Tampak bahwa 37,7 % kasus berada < 100 m dari sungai; 45,9 kasus berada dalam range < 250 m dari sungai; (86,8 % kasus terjadi dalam jarak < 500 m dari sungai) dan hanya 13,11% kasus yang terletak > 500 m dari sungai. Sehingga tampak kesan bahwa kasus TB cenderung tinggi di daerah sekitar sungai. Hasil penelitian ini memperkuat penemuan Chandrasekaran india dan Ruswanto bambang di pekalongan. Suatu rumah yang penghuninya sangat padat memungkinkan terjadinya penularan (kontak) bibit penyakit dari satu manusia ke manusia yang lain, dari segi kesehatan, kepadatan penghuni sangat bermakna pengaruhnya yang mana akan memudahkan terjadinya penyakit seperti TB paru dan penyakit lainnya yang menyebar melalui udara (Endjang, 2000). hasil penelitian tentang kondisi lingkungan fisik dalam rumah dengan kejadian tuberkulosis paru bahwa kepadatan penghuni rumah responden yang tidak memenuhi syarat (kurang dari 9 m² /orang) sebanyak 42 rumah (68,9%), Sedangkan kepadatan penghuni yang memenuhi syarat yaitu lebih dari atau sama dengan 9 m² /orang sebanyak 19 rumah(31,1%). Wilayah yang paling banyak ditemukan kepadatan penghuni yang tidak memenuhi syarat (< 9 m2/orang) adalah wilayah puskemas Baebunta yaitu berjumlah 26 rumah (72,2%) sedangkan wilayah puskesmas Masamba sebanyak 16 rumah (64%). 6

7 Kasus TB paru BTA positif lebih banyak ditemukan dengan kondisi kepadatan penghuni yang tidak memenuhi syarat dan tersebar di pemukiman penduduk yang kebetulan berdekatan dengan sungai. Di luwu utara ada dua sungai besar yaitu sungai rongkong dan baliase. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap kelembaban, kelembaban rumah responden yang tidak memenuhi syarat (<40% atau >70%) sebanyak 35 orang (57,4%) sedangkan yang memenuhi syarat (40 70%)sebanyak 26 orang ( 42,6%). wilayah puskesmas Masamba lebih banyak ditemukan kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan (<40% atau >70%) dibandingkan dengan wilayah puskesmas Baebunta. Wilayah puskesmas Masamba ditemukan kelembaban yang tidak memenuhi syarat (<40% atau >70%) sebesar 16 rumah(64%), yang memenuhi syarat (40 70%) sebesar 9 rumah(36%) sedangkan wilayah puskesmas Masamba yang tidak memenuhi syarat (<40% atau >70%) sebesar 19 rumah(52,7%) yang memenuhi syarat (40 70%) sebesar 17 rumah(47,2%). Bakteri mycobacterium tuberculosa seperti halnya bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan hal yang essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri (Gould & Brooker, 2003). Selain itu menurut Notoatmodjo (2003), kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk bakteri tuberkulosis. Dari hasil pengukuran suhu rumah responden ditemukan wilayah puskesmas Baebunta lebih banyak ditemukan suhu rumah yang tidak memenuhi syarat (< 18 OC atau >30 OC) dibandingkan dengan wilayah puskesmas masamba. Wilayah puskesmas Baebunta lebih banyak ditemukan suhu rumah yang tidak memenuhi syarat (< 18 OC atau >30 OC) dibandingkan dengan wilayah puskesmas masamba. Wilayah 7

8 puskesmas baebunta suhu rumah yang tidak memenuhi syarat sebesar ( <18 OC atau >30 OC) sebesar 22 rumah(61,1%), suhu rumah yang memenuhi syarat (18 30 OC) sebesar 14 rumah(38,8%), sedangkan wilayah puskesmas Masamba suhu rumah yang tidak memenuhi syarat sebesar ( <18 OC atau >30 OC) sebesar 13 rumah(52%), suhu rumah yang memenuhi syarat (18 30 OC) sebesar 12 rumah(48%). Suasana rumah yang diteliti dengan suhu dan kelembaban yang tinggi disebabkan karena desain rumah yang dimiliki responden menggunakan atap seng dan dinding rumah juga ada yang terbuat dari seng, sebagian dari kayu dan bambu. Atap dan dinding rumah yang terbuat dari seng akan menambah panas ruangan karena sinar matahari yang diterima oleh atap dan dinding seng hanya sebagian yang dipantulkan dan lebih banyak yang diserap. Luas ventilasi dalam rumah dalam penelitian ini adalah Luas ventilasi meliputi luas lubang angin yang dapat masuk kedalam rumah dibagi dengan luas lantai dikalikan 100%, diukur pada tempat dimana responden menghabiskan sebagian waktunya dengan menggunakan rol meter. Pada kasus yang tidak memenuhi syarat (< 10% luas lantai), yang memenuhi syarat ( 10% luas lantai). Dari hasil pengukuran ditemukan ventilasi rumah responden yang tidak memenuhi syarat (< 10% dari luas lantai) sebanyak 50 orang (82,0 %), sedangkan yang memenuhi syarat ( 10% dari luas lantai) sebanyak 11 orang (18,0 %). Wilayah puskesmas Baebunta lebih banyak ditemukan luas ventilasi yang tidak memenuhi (< 10% dari luas lantai) dibandingkan dengan wilayah puskesmas Masamba. Wilayah puskesmas Baebunta ditemukan rumah yang luas ventilasi tidak memenuhi syarat (< 10% dari luas lantai ) sebesar 30 rumah(83,3%) dan rumah yang luas ventilasi memenuhi syarat ( 10% dari luas lantai) sebesar 6 rumah(16,7%) sedangkan wilayah puskesmas Masamba, rumah yang memiliki luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat (< 10% dari luas lantai) sebesar 20 8

9 rumah(80%), dan yang memenuhi syarat( 10% dari luas lantai) sebesar 5 rumah(20%). Menurut Azwar (1990) dan Notoatmodjo (2003), salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Menurut indikator penghawaan rumah luas ventilasi rumah yang memenuhi syarat kesehatan adalah 10% luas lantai dan luas ventilasi rumah < 10 % dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Secara umum pengukuran pencahayaan terhadap sinar matahari adalah dengan menggunakan lux meter, yang diukur di tengah-tengah ruangan, pada tempat setinggi < 84 cm dari lantai, dengan ketentuan tidak memenuhi syarat kesehatan bila < 50 lux atau > 300 lux, dan memenuhi syarat kesehatan bila pencahayaan rumah antara lux. Hasil pengukuran 61 responden ditemukan pencahayaan ruang keluarga yang tidak memenuhi syarat (pencahayaan 50 Lux atau 300 Lux.) sebanyak 48 rumah (78,7 %), sedangkan pencahayaan ruang keluarga yang memenuhi syarat ( lux) sebanyak 13 rumah (21,3%). Wilayah puskesmas Baebunta lebih banyak ditemukan pencahayaan ruang keluarga yang tidak memenuhi syarat (pencahayaan 50 Lux atau 300 Lux.) dibandingkan dengan wilayah puskesmas Masamba. Wilayah puskesmas Baebunta ditemukan pencahayaan ruang keluarga yang tidak memenuhi syarat (pencahayaan 50 Lux atau 300 Lux.) sebesar 29 rumah(80,6%) dan pencahayaan ruang keluarga yang memenuhi syarat ( lux) sebesar 7 rumah(19,4%) sedangkan wilayah puskesmas Masamba ditemukan pencahayaan ruang keluarga yang tidak memenuhi syarat (pencahayaan 50 Lux atau 300 Lux.) sebesar 19 rumah(76%), dan pencahayaan ruang keluarga yang memenuhi syarat ( lux) sebesar 6 rumah(24%). 9

10 Cahaya alamiah yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya kuman TB (Notoatmodjo,2003). Berdasarkan hasil observasi lapangan terhadap jenis lantai ditemukan rumah responden yang jenis lantai tidak memenuhi syarat(tidak kedap air) sebanyak 39 orang (63,9 %), sedangkan yang memenuhi syarat (kedap air)sebanyak 22 orang (36,1 %). Wilayah puskemas Baebunta lebih banyak ditemukan jenis lantai yang tidak memenuhi syarat (tidak kedap air) dibandingkan dengan wilayah puskesmas Masamba. Wilayah puskesmas Baebunta jenis lantai yang tidak memenuhi syarat sebesar 29 rumah (80,6%) dan jenis lantai yang memenuhi syarat (kedap air) sebesar 7 rumah (19,4%), sedangkan wilayah puskesmas masamba jenis lantai yang tidak memenuhi syarat( tidak kedap air) sebesar 10 rumah (40%), dan jenis lantai yang memenuhi syarat(kedap air) sebesar 15 rumah (60%). Secara hipotesis jenis lantai yang tidak kedap air memiliki peran terhadap proses kejadian tuberkulosis paru, melalui kelembaban dalam ruangan karena lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban. Namun penelitian yang dilakukan oleh Agus Subagyo yang menyatakan bahwa jenis lantai rumah yang tidak kedap air tidak ada hubungan dengan kejadian penyakit tuberkulosis paru. Lantai yang tidak kedap air dapat mempengaruhi kelembaban didalam rumah dan kelembaban dapat mempengaruhi berkembang biaknya kuman mycobacterium tuberkulosis. Simpulan Berdasarkan analisis spasial wilayah Baebunta dan masamba didapati bahwa secara kualitatif didapati kecenderungan kluster TB di daerah yang berdekatan dengan sungai. Sedangkan data kuantitatif diperoleh dengan membuat zona buffer sungai seperti tampak dalam gambar peta (lampiran 4)Tampak bahwa 37,7 % kasus berada < 100 m dari sungai; 45,9 kasus berada dalam range < 250 m dari sungai; (86,8 % kasus terjadi dalam jarak < 500 m dari sungai) dan hanya 13,11% kasus 10

11 yang terletak > 500 m dari sungai. Sehingga tampak kesan bahwa kasus TB cenderung tinggi di daerah sekitar sungai. Pada gambar tersebut dapat diamati bahwa daerah-daerah tersebut memiliki kecenderungan adanya faktor risiko tuberkulosis seperti kepadatan penghuni yang cukup tinggi dan lingkungan yang kurang sehat ( rumah yang kecil dan berdesak-desakan, gang yang sempit, kurang ventilasi dll). Ucapan Terima Kasih Ucapan terimakasih dan penghargaan kepada Tim Pembimbing Penelitian, Fakultas Kesehatan Masyarakat program Pasca Sarjana UNHAS, Dinas Kesehatan Kabupaten Luwu Utara serta rekan-rekan mahasiswa Program Magister Konsentrasi Kesehatan Lingkungan. Daftar Acuan 1. Achmadi, Umar Fahmi, Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2:cetakan II, Jakarta, World Health Organization, Dalam; Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta, Chrysantina A, Kusnanto H, Fuad A dalam: Analisis Spasial dan Temporal Kasus Tuberkulosis di Kota Yogya Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Cetakan ke 8. Jakarta p Crofton J, Horne N, Miller F, Tuberkulosis Klinis, Edisi 2. Jakarta: Penerbit; Widya Medika

12 7. DepKes RI, Direktorat Jendral PPM & PL, Buku Saku Petugas Program TBC, Stop TB, Jakarta Riyanto, Prilnali, Hendi; pengembangan Aplikasi Sistem Informasi Geografis berbasis Desktop dan Web. Penerbit Gava Media, Yogyakarta Widoyono, Penyakit Tropis; Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya, Penerbit Erlangga, Semarang Dinas Kesehatan Kabupaten Luwu Utara, Laporan program penanggulangan TBC, Masamba, http :// www. Science gate way.org/impact/ifozi,html : Spatial Analysis Of Tuberculosis Cases In Migrants and Permanent, Beijing Gambar 9. Peta Kasus Tuberkulosis dengan Layer Sungai Meter Di Wilayah Puskesmas Masamba dan Baebunta, Tahun

13 0 100 meter dari sungai 23 kasus (37,7%) Gambar 10. Peta Kasus Tuberkulosis dengan Layer Sungai Meter Di Wilayah Puskesmas Masamba dan Baebunta, Tahun

14 0 250 meter dari sungai 28 kasus (45,9 %) Gambar 11.Peta Kasus Tuberkulosis dengan Layer Sungai Meter Di Wilayah Puskesmas Masamba dan Baebunta, Tahun

15 3. Analisis Spasial berdasarkan Karakteristik Lingkungan dalam r meter dari sungai 53 kasus (86,8 %) 15