BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit paru kronik progresif yang tidak menular, ditandai dengan adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat reversibel parsial. Penyakit PPOK berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap partikel berbahaya atau gas racun. 11 Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko utama penyakit PPOK. Selain itu, terdapat faktor-faktor risiko lainnya seperti riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja, hiperaktivitas bronkus, riwayat infeksi saluran napas bawah berulang dan defisiensi antitripsin alfa-1 yang sangat jarang terjadi di Indonesia. 6,11 Diagnosis PPOK ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang seperti foto toraks dan uji faal paru. 8,12 Gejala awal PPOK berupa batuk produktif yang sebagian besar terjadi diantara perokok berusia tahun, sementara dyspnea (sesak napas) merupakan gejala lanjutan pada usia tahun. 12 Penyakit paru obstruktif kronik terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau sering merupakan gabungan keduanya. 7,8,12 Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas dimana penderita mengalami batuk kronis dan produksi sputum berlebihan yang terjadi minimal selama tiga bulan dalam dua tahun berturut-turut, disertai rasa kelelahan dan rasa tidak nyaman pada penderita. 8,12,20 Gejala-gejala pada bronkitis kronik seperti batuk kronik dan produktif, obstruksi jalan napas dan gangguan pertukaran gas merupakan akibat perubahan patologi struktur paru. Perubahan struktur paru yang disebabkan oleh proses inflamasi kronik tersebut berupa peningkatan ukuran epitel-epitel kelenjar, hipertrofi otot polos dan jaringan penunjang pada dinding jalan napas, serta degenerasi tulang rawan jalan napas. Perubahan bronkiolus dan gangguan pertukaran gas di alveoli menyebabkan aliran darah dan aliran udara ke dinding alveoli yang

2 6 tidak sesuai (mismatched), dimana sebagian tempat (alveoli) terdapat aliran darah yang adekuat, tetapi sangat sedikit aliran udara dan sebaliknya pada sebagian tempat lain. Selain itu, juga terjadi penurunan kerja otot-otot respirasi dan penyempitan jalan napas yang menimbulkan hipoventilasi dan tidak cukupnya udara ke alveoli, hingga akhirnya menyebabkan peningkatan karbondioksida dalam darah dan kekurangan oksigen. Sementara itu, mediator-mediator inflamasi yang didominasi oleh sel T limfosit (CD8+), makrofag dan neutrofil mengakibatkan hipertrofi kelenjar-kelenjar yang memproduksi mukus dan peningkatan jumlah sel goblet, sehingga terjadi hipersekresi mukus. 20 Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal dan kerusakan dinding alveoli. 8 Pada emfisema terjadi penurunan elastisitas alveoli dan berkurangnya permukaan pertukaran gas sehingga pernapasan menjadi susah. Merokok adalah penyebab utama selain polusi dan faktor herediter. 21,22 Gejala awal emfisema berupa sesak napas dan batuk yang disertai penurunan aktivitas menjadi sangat terbatas, hingga akhirnya terjadi kerusakan alveoli yang permanen dan hilangnya kemampuan pertukaran gas oleh seluruh bagian paru. Emfisema tidak dapat disembuhkan, tetapi perubahan sikap dengan berhenti merokok dan perawatan dapat menurunkan degenerasi paru dan mengatasi simtom Obat Bronkodilator Obat bronkodilator merupakan obat utama perawatan PPOK. 13 Bronkodilator menyebabkan relaksasi otot-otot saluran pernapasan sehingga saluran bertambah lebar dan pernapasan menjadi lebih mudah. 23 Bronkodilator diberikan dalam perawatan reguler untuk mendapat efek bronkodilatasi dan juga digunakan untuk meredakan gejala eksaserbasi PPOK. 7,12 Jenis obat bronkodilator yang digunakan dalam merawat PPOK yaitu obat golongan agonis beta 2 dan antikolinergik. 13 Obat bronkodilator dapat diberikan secara tunggal ataupun dikombinasi, sesuai dengan klasifikasi derajat berat penyakit. 8 Pemilihan bentuk obat diutamakan bentuk inhalasi yaitu metered-dose inhalers (MDIs) dan dry-powder inhalers (DPIs). 7,12,13

3 Agonis beta 2 Obat golongan agonis beta 2 merupakan obat yang umumnya digunakan dalam perawatan penyakit asma dan PPOK. 24 Efek farmakologi utama agonis beta 2 adalah sebagai bronkodilator yaitu untuk merelaksasi otot polos pernapasan melalui stimulasi reseptor adrenergik beta 2 yang banyak terdapat pada otot polos saluran napas. 15,24 Stimulasi reseptor adrenergik beta 2 pada tingkat sel akan meningkatkan siklik adenosin monofosfat intraselular (camp) yang berperan dalam mengatur tonus otot polos pernapasan, sehingga terjadi bronkodilatasi. Selain itu, agonis beta 2 yang juga menstimulasi reseptor adrenergik beta 2 pada presinaptik ganglia parasimpatis saluran napas, menghambat pelepasan asetilkolin yang merupakan bronkokonstriktor sehingga menyebabkan bronkodilatasi. 15,24,25 Berdasarkan lama kerjanya, agonis beta 2 dibedakan menjadi agonis beta berefek singkat/sabas (Short Acting Beta Agonists) dan agonis beta berefek panjang/labas (Long Acting Beta Agonists). SABAs digunakan sebagai obat pereda simtom akut (reliever) karena memiliki onset kerja yang cepat (1-5 menit) walaupun tidak bertahan lama (4-6 jam). 13,15,23 LABAs mempunyai efek bronkodilator yang bertahan sekitar 12 jam hingga 24 jam sehingga lebih efektif penggunaanya dalam pengobatan reguler penyakit PPOK. 23 Agonis beta 2 dapat menimbulkan efek samping tremor, takikardia, gagal jantung kronik dan efek samping di rongga mulut berupa xerostomia. 26,27 Tabel 1. Macam-macam obat agonis beta 2 15,18 Agonis Beta 2 Macam Obat SABAs Salbutamol (albuterol), terbutaline, pirbuterol LABAs Salmeterol, formoterol, vilanterol, indacaterol Antikolinergik Pada PPOK, antikolinergik digunakan untuk mengurangi tonus otot yang menyebabkan hambatan aliran udara dan untuk menekan sekresi mukus. 28 Sistem saraf parasimpatis berperan dalam mengatur tonus otot bronkus. 13 Dalam keadaan

4 8 normal, rangsangan asetilkolin pada saraf parasimpatis reseptor muskarinik paru akan menyebabkan bronkokonstriksi, yaitu pada reseptor muskarinik M1 dan M3, sementara pada reseptor muskarinik M2 memiliki efek feedback untuk membatasi pelepasan asetilkolin. Selain itu, rangsangan asetilkolin pada reseptor muskarinik M3 di kelenjar submukosa saluran napas akan menyebabkan peningkatan sekresi mukus. 13,28 Antikolinergik atau antimuskarinik bronkodilator merupakan antagonis reseptor muskarinik kolinergik non selektif yang bekerja dengan menghambat asetilkolin pada saraf parasimpatis sehingga menimbulkan bronkodilatasi. 28 Bronkodilator antikolinergik terdiri dari antikolinergik berefek singkat/sama (Short acting muscarinic antagonist) seperti ipratropium bromida dan antikolinergik berefek panjang/lama (Long acting muscarinic antagonist) yaitu tiotropium bromida. SAMA bersifat non selektif dan menghambat ketiga reseptor muskarinik, menyebabkan bronkodilatasi dan sedikit supresi mukus, sedangkan LAMA bersifat lebih selektif terhadap reseptor M3. 29 Seperti fungsi SABA, SAMA juga digunakan untuk mengatasi simtom akut bronkospasme, sementara LAMA digunakan dalam pengobatan reguler. 15 Akan tetapi, jika dibandingkan dengan agonis beta 2, antikolinergik memiliki onset kerja yang lebih lama sehingga kurang efektif digunakan sebagai obat pereda simtom (reliever). 23,28 Ipratropium bromida (SAMA) bekerja dalam 15 menit dan bertahan selama 6-8 jam, sementara tiotropium (LAMA) membutuhkan waktu yang lebih lama untuk bekerja (20 menit), walaupun dapat bertahan selama 24 jam. 23 Bronkodilator antikolinergik memiliki lebih sedikit efek samping dibanding agonis beta 2. Xerostomia dan retensi urin merupakan efek samping yang paling sering dijumpai. 23 Tiotropium menyebabkan xerostomia pada 6-13% pasien Xerostomia Definisi Xerostomia berasal dari kata xeros (kering) dan stoma (mulut) yang artinya mulut kering. Xerostomia bukan merupakan penyakit, melainkan merupakan sensasi subjektif mulut kering yang tidak selalu disertai dengan hipofungsi kelenjar saliva/

5 9 hiposalivasi. 3 Dasar terjadinya xerostomia adalah perubahan kuantitatif atau kualitatif fungsi kelenjar saliva. 30 Perubahan komposisi dan kualitas saliva dapat menyebabkan xerostomia, walaupun tanpa terjadi penurunan aliran saliva. 3,31 Xerostomia sering ditemukan pada usia lanjut dan prevalensinya tinggi pada wanita postmenopause. Prevalensi xerostomia juga meningkat seiring pertambahan umur, dengan estimasi sekitar 30% populasi yang berumur 65 tahun ke atas menderita xerostomia. Akan tetapi, dalam keadaan sehat/tanpa masalah medis dan tanpa mengkonsumsi obat-obatan, aliran saliva dan komposisi saliva bersifat stabil dan tidak berhubungan dengan peningkatan umur Etiologi Xerostomia dapat disebabkan oleh banyak faktor diantaranya akibat merokok, penggunaan obat-obatan, proses penuaan, penyakit sistemik, penyakit kelenjar saliva, efek radioterapi kepala leher dan akibat bernapas dari mulut. 1-3,30,32 Selain faktorfaktor tersebut, xerostomia juga dapat terjadi akibat perubahan inervasi saraf autonom pada kelenjar saliva. Perubahan inervasi saraf yang didominasi rangsangan simpatis, seperti pada episode stres dan cemas akut mengakibatkan perubahan komposisi saliva yang menyebabkan sensasi mulut kering/xerostomia. Kondisi psikologis seperti depresi dan insomnia juga dapat menyebabkan xerostomia. 3 Beberapa penyebab xerostomia dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Obat-obatan Obat-obatan sering menyebabkan efek samping di rongga mulut berupa xerostomia. Lebih dari 500 jenis obat menyebabkan xerostomia dan dari obat yang sering diresepkan, 80% menyebabkan efek samping xerostomia. Obat-obatan yang menyebabkan xerostomia diantaranya obat golongan antikolinergik, antidepresan, antihistamin, obat diuretik, obat antihipertensi, bronkodilator dan opioid. 3,27 Efek samping obat-obatan terhadap terjadinya xerostomia juga dipengaruhi oleh kombinasi obat, dosis obat dan lama penggunaan obat. Semakin banyak seseorang mengkonsumsi obat-obatan (polifarmasi) atau semakin tinggi dosis obat dan semakin lama penggunaan obat, simtom mulut kering akan semakin parah. 1,3

6 10 2. Penyakit kelenjar saliva Beberapa penyakit kelenjar saliva dapat menyebabkan hiposalivasi dan xerostomia. Penyakit kelenjar saliva yang menyebabkan hiposalivasi/xerostomia diantaranya seperti parotitis, sialolithiasis, mukokel, obstruksi kelenjar saliva, adenoma dan karsinoma Penyakit sistemik Sejumlah besar penyakit sistemik dapat menyebabkan xerostomia, baik sebagai efek samping penyakit maupun yang secara langsung mempengaruhi kelenjar saliva dan menyebabkan berkurangnya sekresi saliva. Beberapa penyakit sistemik yang menyebabkan xerostomia diantaranya sindrom Sjogren s, diabetes, sarkoidosis, sistemik lupus eritematosus, infeksi HIV, hepatitis C, penyakit Graft-versus-hostdisease, tuberkulosis dan penyakit ginjal kronik. 1-3,30 Sindrom Sjogren s merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan inflamasi kelenjar eksokrin, sehingga menyebabkan kekeringan permukaan mukosa, terutama pada mukosa mata dan mukosa mulut. Infiltrasi limfosit yang progresif merusak asini sekretori kelenjar saliva mayor dan kelenjar saliva minor secara perlahan, mengakibatkan hiposalivasi dan xerostomia. Selain itu, hipofungsi kelenjar juga diakibatkan adanya gangguan stimulus pada kelenjar saliva. 3 Selain sindrom Sjogren s, penyakit autoimun yaitu kronik Graft-versus-hostdisease (cgvhd) juga menimbulkan manifestasi oral dan xerostomia merupakan keluhan yang paling sering ditemukan. Penyakit cgvhd menyebabkan fibrosis kelenjar saliva dan perubahan komposisi saliva (berkurangnya konsentrasi Na + dan meningkatnya konsentrasi K + ) sehingga terjadi penurunan aliran saliva. Pada tahap lanjut, penyakit cgvhd akan merusak fungsi kelenjar saliva mayor dengan menyerang reseptor muskarinik, transporter air dan ion kalsium. 2,33 Keadaan xerostomia juga menjadi salah satu komplikasi oral penyakit diabetes mellitus. Sebesar 38,5% anak-anak dan 53% dewasa penderita diabetes mellitus tipe 1 mengalami xerostomia dan 14%-62% penderita diabetes mellitus tipe 2 mengalami xerostomia. 30 Xerostomia terjadi terutama pada penderita penyakit diabetes mellitus dengan kontrol glikemik yang buruk, dimana ini diyakini berkaitan

7 11 dengan keadaan poliuri dan dehidrasi yang dialaminya. 30,33,34 Pada penderita dengan kontrol diabetes buruk, pemeriksaan laju aliran saliva stimulasi pada kelenjar parotid menunjukkan nilai terendah dibandingkan dengan kelompok diabetes terkontrol. Sekitar 24%-48% penderita diabetes mengalami pembesaran kelenjar parotid. 2 Penurunan laju sekresi saliva dan perubahan komposisi saliva terjadi sebagai akibat komplikasi kronis penyakit diabetes mellitus berupa neuropati, kelainan mikrovaskular dan disfungsi endotelial yang menyebabkan gangguan mikrosirkulasi Usia Xerostomia sering menjadi keluhan saat usia lanjut dan diperkirakan sekitar 12-47% individu usia lanjut mengalami mulut kering. 30 Proses penuaan mengakibatkan berkurangnya sekresi saliva total saat istirahat. 4,27 Sekitar 70% saliva total saat istirahat berasal dari kelenjar saliva submandibular dan sublingual sehingga berkurangnya aliran saliva yang berkaitan dengan usia disebabkan berkurangnya aliran saliva kelenjar submandibula dan sublingual dan sedikit dipengaruhi oleh kelenjar parotid. 27 Pemeriksaan histomorfometrik pada jaringan kelenjar saliva menunjukkan berkurangnya volume asinar, meningkatnya volume duktus, dan terjadinya penggantian sel-sel asinar oleh jaringan adiposa dan jaringan fibrotik. 4 Keadaan xerostomia pada manula dapat diperparah apabila manula menderita penyakit sistemik maupun mengkonsumsi obat-obatan akibat penyakit sistemik yang dideritanya. 3,4 Penggunaan obat-obatan meningkat seiring bertambahnya umur. Lebih dari 75% individu berusia 65 tahun ke atas mengkonsumsi minimal satu obat, sehingga prevalensi xerostomia akibat obat-obatan tinggi pada usia lanjut Terapi radiasi kepala dan leher Radioterapi kepala dan leher dapat menyebabkan komplikasi akut dan komplikasi kronis pada kelenjar saliva, menyebabkan perubahan komposisi saliva dan akhirnya menyebabkan xerostomia. 3 Pada tahap awal, ionisasi kelenjar saliva mengakibatkan inflamasi dan degenerasi pada parenkim kelenjar saliva, terutama pada sel-sel asinar serous. Pada tahap akhir, radioterapi mengakibatkan hilangnya sel-

8 12 sel asinar, perubahan duktus epitelium, fibrosis dan degenerasi jaringan adiposa kelenjar saliva. 36 Kelenjar saliva yang paling radiosensitif yaitu kelenjar parotid, diikuti kelenjar submandibula, sublingual dan kelenjar saliva minor. Efek akut radioterapi pada fungsi salivasi berlangsung pada minggu pertama radioterapi. Radiasi pada minggu pertama menyebabkan penurunan saliva sebesar 50%-60% dan setelah tujuh minggu mengalami penurunan sebesar 20%. 3 Fungsi salivasi terus menurun hingga beberapa bulan setelah radioterapi (1-3 bulan). 3,36 Jumlah dosis, durasi dan lamanya radioterapi berhubungan dengan keparahan xerostomia Tanda dan Gejala Tanda dan gejala klinis xerostomia yaitu sebagai berikut: 1. Tanda Mukosa oral terlihat kering dan eritema, dorsal lidah terlihat berlobus dan fisur, yang disertai dengan atrofi papila filiformis. 32,37 Xerostomia mengakibatkan mukosa menjadi rentan terhadap trauma, kandidiasis, terjadinya sindrom mulut terbakar dan halitosis. 3 Prevalensi kandidiasis dan angular cheilitis meningkat akibat menurunnya aktivitas cleansing dan antimikroba saliva. 37 Penderita xerostomia juga akan rentan terhadap karies servikal, karies rekuren, erosi enamel dan penyakit periodontal. 3,32,37 2. Gejala Penderita xerostomia akan mengalami kesulitan berbicara, mengunyah dan menelan serta mengalami perubahan pengecapan. Berkurangnya lubrikasi saliva saat makan, bahkan dapat menyebabkan makanan melekat dengan membran oral. Selain itu, penderita mengeluh adanya ketidaknyamanan oral dan pada yang memakai gigi tiruan, xerostomia akan menyebabkan retensi gigi tiruan yang buruk. Penderita xerostomia juga mengeluh adanya peningkatan kebutuhan untuk minum terutama pada malam hari dan ketika makan. 1,32,35

9 Diagnosis Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis xerostomia, diantaranya: 1. Anamnesis dan Kuesioner Xerostomia merupakan keluhan subjektif mulut kering, sehingga diagnosis xerostomia dapat ditegakkan dengan hanya melakukan anamnesis, menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang detail tentang keluhan mulut kering yang dialami seseorang. 4 Kuesioner juga dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis xerostomia. Pertanyaan dalam kuesioner meliputi gejala xerostomia dan perilaku dalam mengatasinya. 4,38 Tabel 2. Kuesioner untuk mendiagnosis xerostomia 38 1 Apakah mulut anda terasa kering saat ini? 2 Apakah saat mengkonsumsi makanan mulut anda juga terasa kering? 3 Apakah anda mengalami kesulitan dalam mengkonsumsi makanan yang kering? 4 Apakah anda mengalami kesulitan saat menelan makanan? 5 Apakah mulut anda membutuhkan air minum saat menelan makanan? 6 Apakah anda mengisap permen untuk meringankan mulut kering? 7 Apakah pada malam hari anda bangun untuk minum? 8 Apakah bibir anda terasa kering? 9 Apakah kulit wajah anda terasa kering? 10 Apakah mata anda terasa kering? 11 Apakah hidung anda terasa kering? 2. Pemeriksaan klinis rongga mulut Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan tanda-tanda kekeringan mukosa seperti bibir pecah, mukosa bukal yang pucat, lidah yang licin, eritema dan disertai atrofi papila. Kandidiasis sering ditemukan dan berkontribusi menyebabkan mukosa yang sensitif. Selain itu, lakukan pemeriksaan kelenjar saliva yaitu memeriksa apakah terjadi pembesaran, perubahan tekstur dan rasa sakit, serta memeriksa kuantitas dan kualitas saliva, melihat apakah saliva yang dihasilkan bersih, encer dan banyak. 39

10 14 Xerostomia juga ditandai oleh sarung tangan dan kaca mulut yang terasa lengket dengan permukaan mukosa saat dilakukan pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan fungsi kelenjar saliva dan laju sekresi saliva dapat dilakukan secara objektif menggunakan metode sialometri. 3 Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap saliva total (campuran cairan rongga mulut) maupun terhadap saliva individu, baik dalam keadaan tanpa stimulasi/istirahat atau dalam keadaan terstimulasi. 27,33 Saliva total lebih banyak digunakan sebagai indikator mulut kering dan penyakit sistemik yang bersangkutan, sementara pemeriksaan saliva individu lebih bermanfaat dalam mendiagnosis penyakit kelenjar saliva. 27 Teknik pengumpulan saliva dalam keadaan tanpa stimulasi diantaranya dengan metode draining/drooling, metode spitting, metode swabbing dan metode suction. 40 Pengumpulan saliva yang terstimulasi dapat dilakukan dengan metode mengunyah parafin ataupun dengan mengaplikasikan asam sitrat pada lidah. 40 Total waktu pengumpulan saliva sekitar 5-15 menit. 27 Untuk melakukan pengumpulan saliva istirahat, individu yang akan diukur salivanya, diinstruksikan untuk tidak makan, minum, merokok atau melakukan stimulasi apapun (termasuk tindakan higiene oral) selama 90 menit sebelum dilakukan pengukuran. 33 a. Saliva total tanpa stimulasi Dalam keadaan tanpa stimulasi, laju alir saliva total normalnya sekitar 0,5 ml/menit dan dikatakan hiposalivasi jika laju alir saliva total kurang dari 0,1 ml/ menit. 35,39 Pengumpulan saliva total istirahat dapat dilakukan dengan metode draining, spitting, suction dan absorbent (swab). 3 Pada metode draining, saliva dibiarkan mengalir dari mulut ke dalam suatu wadah, sementara metode spitting yaitu mengumpulkan saliva dalam mulut yang kemudian ditampung dalam suatu wadah/sialometer 1-2 kali setiap menit. Metode suction menggunakan saliva ejector, sementara pada metode swab caranya menggunakan cotton roll/sponge yang sebelumnya diukur beratnya, kemudian dimasukkan ke dalam mulut dan dibiarkan saliva mengalir membasahinya. Cotton roll/sponge tersebut kemudian diukur kembali beratnya dan dicari hasil selisihnya. Metode swab merupakan teknik yang efektif

11 parah. 27 b. Saliva total terstimulasi 15 untuk memperkirakan derajat salivasi pasien dengan keadaan xerostomia yang Pada keadaan terstimulasi, laju alir saliva meningkat menjadi 1,5-2 ml/menit dan dikatakan hiposalivasi jika kurang dari 0,7 ml/menit. 33 Pengumpulan saliva total stimulasi dapat menggunakan metode mastikasi dengan parafin wax, metode rangsangan dengan asam sitrat dan metode absorbent dengan sponge. Pada metode mastikasi, individu diberi parafin wax untuk dikunyah selama 5 menit. Setelah itu, saliva yang terakumulasi dalam mulut ditampung setiap menit dalam suatu wadah. Metode rangsangan dengan asam sitrat yaitu dengan mengaplikasikan asam sitrat pada lateral lidah setiap 30 detik selama 5 menit, kemudian saliva dikumpulkan dalam suatu wadah setiap menit. Pada metode absorbent/swab, sponge diletakkan di dalam mulut setelah sebelumnya ditimbang beratnya. Kemudian individu diinstruksi untuk mengunyah sponge tersebut. Sponge kemudian diukur kembali beratnya dan dicari hasil selisihnya. 27 c. Saliva individu kelenjar parotid Pengumpulan saliva individu kelenjar parotid dapat dilakukan dengan menggunakan alat cup Carlson-Crittenden/cup Lashley. Alat cup Lashley terdiri dari dua chamber, dimana bagian dalam chamber diletakkan diatas orifisi duktus stensen (mukosa bukal disekitar gigi molar satu permanen), sementara bagian luar chamber dihubungkan ke suction. Dalam keadaan tanpa stimulasi, aliran saliva individu kelenjar parotid sangat rendah/hampir tidak ada, sehingga pengumpulan saliva individu kelenjar parotid biasanya dilakukan dalam keadaan terstimulasi menggunakan larutan asam sitrat 2-4%. Larutan ini diaplikasikan pada lateral border lidah menggunakan cotton swab dengan interval detik selama 10 menit. 27

12 16 A B Gambar 1. Pengumpulan saliva individu kelenjar parotid. A= Alat cup Lashley, B= Posisi peletakan alat diatas orifisi kelenjar parotid (duktus Stensen) 27 d. Saliva individu kelenjar submandibula dan sublingual Pengumpulan saliva individu kelenjar submandibula dan sublingual juga dapat dilakukan dalam keadaan tanpa stimulasi maupun dalam keadaan terstimulasi (dengan asam sitrat 2-4%). Pengumpulan saliva biasanya dilakukan dengan menggunakan metode suction. Pada teknik ini, duktus Stensen dihambat menggunakan cup Lashley atau cotton rolls dan saliva yang terakumulasi pada dasar mulut dapat diaspirasi menggunakan syringe atau menggunakan alat suction yang diperkenalkan Wolff. 27 A B Gambar 2. Pengumpulan saliva individu kelenjar submandibula dan sublingual. A=Metode suction menggunakan syringe, B= alat suction menurut Wolff 27

13 17 4. Metode lain Selain metode pemeriksaan seperti penjelasan sebelumnya, untuk mengevaluasi fungsi saliva dapat juga dilakukan dengan melihat kemampuan seseorang untuk mengunyah dan menelan biskuit kering dalam keadaan tanpa air. 3 Sialografi, Ultrasonografi, MRI dan CT scan digunakan untuk mendeteksi adanya keadaan patologis seperti sialolith, obstruksi/kerusakan duktus, tumor dan kista yang menyebabkan disfungsi kelenjar saliva Hubungan Penggunaan Obat Bronkodilator pada Pasien PPOK terhadap Terjadinya Xerostomia Dalam keadaan istirahat, kelenjar saliva minor diperkirakan memproduksi setengah bagian dari saliva di rongga mulut. 33 Sementara dalam keadaan stimulasi, sekitar 90% saliva dihasilkan oleh kelenjar mayor. Kelenjar mayor terdiri dari kelenjar parotid, kelenjar submandibula dan kelenjar sublingual. Struktur anatomi kelenjar saliva terdiri dari sel asinar dan sel duktus. Sel asinar membentuk hasil akhir sekretori, sedangkan sel duktus membentuk sistem cabang yang mendistribusi saliva dari sel asinar kedalam rongga mulut. Sel asini kelenjar parotid menghasilkan saliva serous, kelenjar sublingual dan kelenjar minor menghasilkan saliva mukus dan kelenjar submandibula menghasilkan saliva seromukus yang didominasi sifat mukus. 1,33 Saliva serous adalah saliva yang encer, sementara saliva mukus lebih kental karena adanya kandungan musin, glikoprotein. 1 Saliva terdiri dari dua komponen, yaitu komponen cairan yang mencakup ionion dan komponen protein. Kedua komponen tersebut disekresi secara terpisah dengan mekanisme berbeda yang berada di bawah rangsangan sistem saraf autonom. Sekresi komponen cairan diatur oleh rangsangan parasimpatis melalui reseptor muskarinik-kolinergik dan pelepasan komponen protein oleh rangsangan simpatis melalui reseptor beta adrenergik. Rangsangan saraf parasimpatis akan menghasilkan saliva dengan kandungan komponen cairan yang tinggi, tetapi dengan konsentrasi protein yang rendah, sementara rangsangan saraf simpatis menghasilkan konsentrasi

14 18 protein yang tinggi, tetapi sedikit saliva. Oleh karena itu, rangsangan simpatis menyebabkan sensasi mulut kering. 33,41 Penggunaan agonis beta 2 menyebabkan perubahan komposisi saliva dan berkurangnya sekresi saliva. 16 Obat bronkodilator agonis beta 2, merupakan obat simpatomimetik, yaitu obat yang bekerja pada saraf simpatis dan menyerupai kerja neurotransmitter adrenergik. 26 Dengan adanya rangsangan simpatis, maka akan terangsang kelenjar submandibula dan kelenjar sublingual yang menghasilkan saliva mukus yang tebal dan kental, sedangkan kelenjar parotid yang tidak dipersarafi saraf simpatis tidak menghasilkan saliva. 26 Dengan demikian, volume saliva yang dihasilkan akan lebih sedikit. Padahal dalam keadaan terstimulasi, kelenjar parotid berkontribusi besar menghasilkan saliva (50-70%). 1 Selain itu, obat golongan simpatomimetik juga menyebabkan vasokonstriksi sehingga terjadi penurunan aliran saliva dan akhirnya mengakibatkan xerostomia. 26 Obat bronkodilator antikolinergik memiliki mekanisme kerja yang berbeda dalam menyebabkan xerostomia. Obat golongan antikolinergik merupakan obat parasimpatolitik yang bekerja antagonis pada saraf parasimpatis. 26 Seperti uraian sebelumnya, rangsangan parasimpatis berfungsi untuk mengatur sekresi komponen cairan saliva. Dengan adanya kerja obat antikolinergik yang menghambat perlekatan asetilkolin pada reseptor muskarinik-kolinergik saraf parasimpatis, maka akan terjadi gangguan sekresi cairan saliva yang akhirnya menyebabkan xerostomia. 41

15 Kerangka Teori Obat bronkodilator pada pasien PPOK Antikolinergik/ antimuskarinik Agonis Beta 2 SAMA LAMA SABA LABA Efek sistemik : Batuk, supraventikular takiaritmia, retensi urin, akut glaukoma Rongga mulut : Xerostomia, iritasi oral Efek sistemik : Nausea, konstipasi, sakit kepala Rongga mulut : Xerostomia Efek sistemik : Tremor, takikardia, hipokalemia Rongga mulut : Xerostomia Efek sistemik : Tremor, takikardia, hipokalemia Rongga mulut : Xerostomia

16 Kerangka Konsep Obat bronkodilator pada pasien PPOK Jenis obat Lama pemberian obat Xerostomia Usia pasien tahun Jenis Kelamin

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obat Kardiovaskular yang Digunakan Pasien PJK Obat kardiovaskular yang digunakan pasien PJK adalah obat yang digunakan untuk menjaga agar suplai oksigen selalu seimbang dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Xerostomia Umumnya perhatian terhadap saliva sangat kurang. Perhatian terhadap saliva baru timbul apabila terjadinya pengurangan sekresi saliva yang akan menimbulkan gejala mulut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diekskresikan ke dalam rongga mulut. Saliva dihasilkan oleh tiga pasang kelenjar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diekskresikan ke dalam rongga mulut. Saliva dihasilkan oleh tiga pasang kelenjar BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Saliva 2.1.1 Definisi dan fungsi saliva Saliva merupakan gabungan dari berbagai cairan dan komponen yang diekskresikan ke dalam rongga mulut. Saliva dihasilkan oleh tiga pasang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Antidepresan adalah terapi obat-obatan yang diberikan pada penderita gangguan depresif. Gangguan depresif adalah salah satu gangguan kesehatan jiwa yang paling sering

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Radioterapi Kanker daerah Kepala dan Leher 2.1.1 Definisi Radioterapi atau terapi radiasi merupakan salah satu metode pilihan dalam pengobatan penyakit maligna dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan penyakit yang perlu diwaspadai karena penyakit ini merupakan penyebab kematian dengan nomor urut lima di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hipertensi Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran darah yang menyebabkan kenaikan tekanan darah diatas normal, yaitu 140/90 mmhg. Pada stadium dini hipertensi sering

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ganja Ganja merupakan salah satu narkotika yang sering digunakan di dunia. 15 Hal ini disebabkan oleh efek dari Delta-9-Tetrahydrocannabinol (THC) yang tergolong cepat, sehingga

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM FARMAKOTERAPI ASMA H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM Pendahuluan Etiologi: asma ekstrinsik diinduksi alergi asma intrinsik Patofisiologi: Bronkokontriksi akut Hipersekresi mukus yang tebal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui mulut, dan pada kalangan usia lanjut. 2 Dry mouth berhubungan dengan

BAB I PENDAHULUAN. melalui mulut, dan pada kalangan usia lanjut. 2 Dry mouth berhubungan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Dry mouth merupakan keadaan rongga mulut yang kering, berhubungan dengan adanya penurunan aliran saliva. 1 Umumnya terjadi saat cemas, bernafas melalui mulut, dan pada

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. bersifat subjektif dan disebabkan oleh banyak faktor. 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. bersifat subjektif dan disebabkan oleh banyak faktor. 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Xerostomia Xerostomia merupakan suatu gejala kekeringan dalam mulut yang bersifat subjektif dan disebabkan oleh banyak faktor. 10 2.1.1 Definisi Xerostomia didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

HAL-HAL YANG BERPENGARUH PADA KOMPOSISI SEKRESI SALIVA. Departemen Biologi Oral FKG USU

HAL-HAL YANG BERPENGARUH PADA KOMPOSISI SEKRESI SALIVA. Departemen Biologi Oral FKG USU HAL-HAL YANG BERPENGARUH PADA KOMPOSISI SEKRESI SALIVA. Departemen Biologi Oral FKG USU HAL-HAL YANG BERPENGARUH PADA KOMPOSISI DAN SEKRESI SALIVA. Sekresi saliva - fungsi normal - kesehatan rongga mulut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, maka populasi penduduk lansia juga akan meningkat. 2 Menurut Badan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, maka populasi penduduk lansia juga akan meningkat. 2 Menurut Badan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Proporsi penduduk lanjut usia (lansia) bertambah lebih cepat dibandingkan kelompok usia lain. 1 Seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup penduduk Indonesia, maka

Lebih terperinci

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus PENDAHULUAN Survei Kesehatan Rumah Tangga Dep.Kes RI (SKRT 1986,1992 dan 1995) secara konsisten memperlihatkan kelompok penyakit pernapasan yaitu pneumonia, tuberkulosis dan bronkitis, asma dan emfisema

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kualitas hidup seseorang (Navazesh dan Kumar, 2008; Amerongen, 1991).

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kualitas hidup seseorang (Navazesh dan Kumar, 2008; Amerongen, 1991). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saliva memainkan peranan penting bagi kesehatan rongga mulut (Gupta, 2006). Berkurang atau bertambahnya produksi saliva dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang (Navazesh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan keadaan sakit sesak nafas karena terjadinya aktivitas berlebih terhadap rangsangan tertentu sehingga menyebabkan peradangan dan penyempitan pada saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan insulin, baik total ataupun sebagian. DM menunjuk pada. kumpulan gejala yang muncul pada seseorang yang dikarenakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan insulin, baik total ataupun sebagian. DM menunjuk pada. kumpulan gejala yang muncul pada seseorang yang dikarenakan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa ini Diabetes Melitus (DM) sudah menjadi penyakit yang diderita segala lapisan masyarakat. DM merupakan suatu kondisi abnormal pada proses metabolisme karbohidrat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kejadian penyakit asma akhir-akhir ini mengalami peningkatan dan relatif sangat tinggi dengan banyaknya morbiditas dan mortalitas. WHO memperkirakan 100-150 juta

Lebih terperinci

PATOGENESIS PENYAKIT ASMA

PATOGENESIS PENYAKIT ASMA PATOGENESIS PENYAKIT ASMA Pendekatan terapi yang rasional terhadap penyakit asma adalah tergantung dari pengetahuan mengenai patogenesis penyakit asma Asma adalah penyakit yang diperantarai oleh ikatan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ganja adalah tanaman Cannabis sativa yang diolah dengan cara mengeringkan dan mengompres bagian tangkai, daun, biji dan bunganya yang mengandung banyak resin. 1 Ganja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik,

BAB I PENDAHULUAN. SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan penyakit paru obstruktif kronik telah di bahas dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1022/MENKES/ SK/XI/2008 tentang pedoman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

Asma sering diartikan sebagai alergi, idiopatik, nonalergi atau gabungan.

Asma sering diartikan sebagai alergi, idiopatik, nonalergi atau gabungan. A S M A DEFINISI Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermitten, reversibel dimana trakea dan bronki berespons dalam secara hiperaktif terhadap stimulun tertentu. Asma dimanifestasikan dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Penyakit Ginjal Kronis

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Penyakit Ginjal Kronis BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Ginjal Kronis 2.1.1 Definisi Penyakit ginjal kronis adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progesif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan pesat pada teknologi terapi inhalasi telah memberikan manfaat yang besar bagi pasien yang menderita penyakit saluran pernapasan, tidak hanya pasien

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. napas, batuk kronik, dahak, wheezing, atau kombinasi dari tanda tersebut.

BAB 1 PENDAHULUAN. napas, batuk kronik, dahak, wheezing, atau kombinasi dari tanda tersebut. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah inflamasi saluran napas kecil. Pada bronkitis kronik terdapat infiltrat dan sekresi mukus di saluran pernapasan. Sedangkan

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT Faisal Yunus Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI - RS Persahabatan Jakarta PENDAHULUAN Asma penyakit kronik saluran napas Penyempitan saluran napas

Lebih terperinci

Anatomi dan Fisiologi saluran pernafasan. 1/9/2009 Zullies Ikawati's Lecture Notes 1

Anatomi dan Fisiologi saluran pernafasan. 1/9/2009 Zullies Ikawati's Lecture Notes 1 Anatomi dan Fisiologi saluran pernafasan 1/9/2009 Zullies Ikawati's Lecture Notes 1 Anatomi Sistem Pernafasan Manusia 1/9/2009 Zullies Ikawati's Lecture Notes 2 Sistem pernafasan atas 1/9/2009 Zullies

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah suatu keadaan terdapatnya keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif. Penyakit ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. ronggga mulut (Guggenheimer dan Moore, 2003). Lebih lanjut Starkenmann dan

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. ronggga mulut (Guggenheimer dan Moore, 2003). Lebih lanjut Starkenmann dan BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN E. Sekresi Saliva Pasien Hemodialisa a. Pengertian Saliva adalah cairan yang diproduksi oleh kelenjar parotid, submandibular dan sublingungal yang didistribusikan oleh kelenjar

Lebih terperinci

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9 Kanker Paru-Paru Kanker paru-paru merupakan kanker pembunuh nomor satu di Hong Kong. Ada lebih dari 4.000 kasus baru kanker paru-paru dan sekitar 3.600 kematian yang diakibatkan oleh penyakit ini setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau COPD (Chronic

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau COPD (Chronic BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau COPD (Chronic obstructive pulmonary disease) merupakan penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatanaliran udara di saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia contohnya adalah obesitas, diabetes, kolesterol, hipertensi, kanker usus,

BAB I PENDAHULUAN. manusia contohnya adalah obesitas, diabetes, kolesterol, hipertensi, kanker usus, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semakin majunya Ilmu Kedokteran menyebabkan penyakit infeksi sudah mulai berkurang sehingga lebih banyak orang yang mengalami penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif

Lebih terperinci

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5. L/O/G/O Buku pedoman ASMA DEFINISI : Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.Boalemo 11,0% Riskesdas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merokok mengganggu kesehatan barangkali merupakan istilah yang tepat, namun tidak populer dan tidak menarik bagi perokok. Banyak orang sakit akibat merokok, tetapi orang

Lebih terperinci

ANTAGONIS KOLINERGIK. Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS

ANTAGONIS KOLINERGIK. Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS ANTAGONIS KOLINERGIK Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS PENDAHULUAN Antagonis kolinergik disebut juga obat peng hambat kolinergik atau obat antikolinergik. Yang paling bermanfaat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Radioterapi Radioterapi merupakan terapi radiasi yang bertujuan menghancurkan sel kanker yang membelah dengan cepat, mengurangi ukuran sel kanker atau menghilangkan gejala, gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok merupakan sebuah kebiasaan yang telah membudaya bagi masyarakat di sekitar kita. Di berbagai wilayah perkotaan sampai pedesaan, dari anak anak sampai orang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Antihipertensi adalah obat obatan yang digunakan untuk mengobati

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Antihipertensi adalah obat obatan yang digunakan untuk mengobati BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antihipertensi 2.1.1 Definisi Antihipertensi adalah obat obatan yang digunakan untuk mengobati hipertensi. 14 Antihipertensi juga diberikan pada individu yang memiliki resiko

Lebih terperinci

1. Batuk Efektif. 1.1 Pengertian. 1.2 Tujuan

1. Batuk Efektif. 1.1 Pengertian. 1.2 Tujuan MAKALAH BATUK EFEKTIF 1. Batuk Efektif 1.1 Pengertian Batuk efektif adalah suatu metode batuk dengan benar, dimana klien dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah mengeluarkan dahak secara maksimal.

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN SIMPULAN. nafas dan nutrisi dengan kesenjangan antara teori dan intervensi sesuai evidance base dan

BAB IV PEMBAHASAN DAN SIMPULAN. nafas dan nutrisi dengan kesenjangan antara teori dan intervensi sesuai evidance base dan BAB IV PEMBAHASAN DAN SIMPULAN A. Pembahasan Bab ini membahas tentang gambaran pengelolaan terapi batuk efektif bersihan jalan nafas dan nutrisi dengan kesenjangan antara teori dan intervensi sesuai evidance

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan salah satu jenis dari penyakit tidak menular yang paling banyak ditemukan di masyarakat dan

Lebih terperinci

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani KEDARURATAN ASMA DAN PPOK Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr. Moewardi Surakarta WORKSHOP PIR 2017 PENDAHULUAN PPOK --> penyebab utama mortalitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok,

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merokok mengganggu kesehatan, kenyataan ini tidak dapat kita pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Allah SWT menciptakan segala sesuatu yang dia kehendaki selalu sebaik-baiknya. Segala sesuatu yang dia ingin ciptakan tidak ada yang sia-sia dan tidak mempunyai manfaat

Lebih terperinci

RITA ROGAYAH DEPT.PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FKUI

RITA ROGAYAH DEPT.PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FKUI RITA ROGAYAH DEPT.PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FKUI TIDUR Tidur suatu periode istirahat bagi tubuh dan jiwa Tidur dibagi menjadi 2 fase : 1. Active sleep / rapid eye movement (REM) 2. Quid

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibutuhkan manusia dan tempat pengeluaran karbon dioksida sebagai hasil sekresi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibutuhkan manusia dan tempat pengeluaran karbon dioksida sebagai hasil sekresi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Paru-paru merupakan salah satu organ vital pada manusia yang berfungsi pada sistem pernapasan manusia. Bertugas sebagai tempat pertukaran oksigen yang dibutuhkan

Lebih terperinci

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Usus Besar Kanker usus besar merupakan kanker yang paling umum terjadi di Hong Kong. Menurut statistik dari Hong Kong Cancer Registry pada tahun 2013, ada 66 orang penderita kanker usus besar dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saliva memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai proteksi, pengaturan reseptor

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saliva memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai proteksi, pengaturan reseptor I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saliva memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai proteksi, pengaturan reseptor pengecapan, dan turut menentukan persepsi rasa melalui interaksinya dengan stimulus sensoris.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menunjukkan gejala yang semakin memprihatinkan. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. menunjukkan gejala yang semakin memprihatinkan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyalahgunaan narkoba, psikotropika dan zat adiktif (NAPZA) atau yang populer diistilahkan dengan narkoba di kalangan sekelompok masyarakat kita menunjukkan gejala

Lebih terperinci

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KATA PENGANTAR Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa skripsi ini selesai disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi. Dalam penulisan skripsi berjudul:

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan perekonomian ke

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan perekonomian ke BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan perekonomian ke arah yang lebih baik di Indonesia, mempengaruhi pergeseran pola penyakit yang ditandai dengan

Lebih terperinci

Farmakoterapi Sistem Pencernaan dan. Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt. Dr. Agung Endro Nugroho, MSi, Apt. PENGANTAR

Farmakoterapi Sistem Pencernaan dan. Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt. Dr. Agung Endro Nugroho, MSi, Apt. PENGANTAR Farmakoterapi Sistem Pencernaan dan Pernafasan Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt. Dr. Agung Endro Nugroho, MSi, Apt. PENGANTAR Tujuan Manfaat Mata kuliah terkait Pokok bahasan Pustaka acuan pokok Sistem Pembelajaran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dan ketangkasan dalam berusaha atau kegairahan (Alwi, 2003).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dan ketangkasan dalam berusaha atau kegairahan (Alwi, 2003). BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Aktivitas Aktivitas adalah keaktifan atau kegiatan berupa usaha, pekerjaan, kekuatan dan ketangkasan dalam berusaha atau kegairahan (Alwi, 2003). Aktivitas yang dimaksudkan di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati. Penyakit ini berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi kronik pada jalan

Lebih terperinci

Saat. penyakit paling. atau. COPD/ Indonesia 1

Saat. penyakit paling. atau. COPD/ Indonesia 1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik Saat ini belum ada obat untuk mengobati Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK/COPD Chronic Obstructive Pulmonary Disease) dann penyakit ini akan memburuk secara berkalaa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 37 BAB III METODE PENELITIAN 38 A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan secara cross sectional, variabel bebas dan variabel terikat diobservasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Saliva Saliva adalah cairan kompleks yang diproduksi oleh kelenjar saliva dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem di dalam rongga

Lebih terperinci

BAB VI DINAMIKA PROSES AKSI. seperti menghirup udara yang kurang baik dalam hal ini debu pemotongan batu

BAB VI DINAMIKA PROSES AKSI. seperti menghirup udara yang kurang baik dalam hal ini debu pemotongan batu BAB VI DINAMIKA PROSES AKSI Hasil diskusi yang dilakukan oleh sebagian para pekerja pemotong batu dan pengrajin keramik mozaik memahami akan pentingnya menjaga kesehatan bagi diri mereka sendiri dari berbagai

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya Bab I Pendahuluan Latar Belakang Penelitian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya reversibel,

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia sekarang sedang menanggung beban ganda dalam kesehatan yang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia sekarang sedang menanggung beban ganda dalam kesehatan yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia sekarang sedang menanggung beban ganda dalam kesehatan yang dikarenakan bukan hanya penyakit menular yang menjadi tanggungan negara tetapi dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Asma Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai pada masa kanak-kanak. Merupakan salah satu reaksi hipersentivitas saluran napas, baik saluran

Lebih terperinci

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio Pengertian Polio Polio atau poliomyelitis adalah penyakit virus yang sangat mudah menular dan menyerang sistem saraf. Pada kondisi penyakit yang bertambah parah, bisa menyebabkan kesulitan 1 / 5 bernapas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saliva mayor yang terdiri dari: parotis, submandibularis, sublingualis, dan

BAB I PENDAHULUAN. saliva mayor yang terdiri dari: parotis, submandibularis, sublingualis, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saliva merupakan cairan tubuh yang kompleks dan bermanfaat bagi kesehatan rongga mulut. Saliva disekresi oleh tiga pasang glandula saliva mayor yang terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel yang tak terkendali dan kemampuan sel-sel tersebut untuk menyerang jaringan lainnya, baik

Lebih terperinci

Penyakit pada Lansia. Gaya Hidup Aktif dan Proses Penuaan dr. Imas Damayanti, M.Kes FPOK-UPI

Penyakit pada Lansia. Gaya Hidup Aktif dan Proses Penuaan dr. Imas Damayanti, M.Kes FPOK-UPI Penyakit pada Lansia Gaya Hidup Aktif dan Proses Penuaan dr. Imas Damayanti, M.Kes FPOK-UPI Semua penyakit ada obatnya kecuali menjadi tua Patofisiologi Penyakit-penyakit yang Berhungan dengan Usia Lanjut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma adalah suatu kondisi paru-paru kronis yang ditandai dengan sulit bernafas terjadi saat saluran pernafasan memberikan respon yang berlebihan dengan cara menyempit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyempitan saluran pernapasan. Dalam

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 2 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan survei analitik yaitu untuk mencari hubungan antara dua variabel yaitu menopause dengan Sindroma Mulut Terbakar (SMT).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2006). Kanker leher kepala telah tercatat sebanyak 10% dari kanker ganas di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2006). Kanker leher kepala telah tercatat sebanyak 10% dari kanker ganas di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker leher kepala merupakan kanker yang terdapat pada permukaan mukosa bagian dalam hidung dan nasofaring sampai trakhea dan esophagus, juga sering melibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG. sedang berkembang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG. sedang berkembang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG Asma merupakan penyebab mortilitas dan morbiditas kronis sedunia dan terdapat bukti bahwa prevalensi asma meningkat dalam 20 tahun terakhir. Prevalensi penyakit asma

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi

Lebih terperinci

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan Bronkitis pada Anak 1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan beban kerja pernafasan, yang menimbulkan sesak nafas, sehingga pasien mengalami penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan suatu istilah yang digunakan untuk sekelompok penyakit paru

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rongga mulut merupakan gambaran dari kesehatan seluruh tubuh, karena

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rongga mulut merupakan gambaran dari kesehatan seluruh tubuh, karena I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rongga mulut merupakan gambaran dari kesehatan seluruh tubuh, karena beberapa penyakit sistemik dapat bermanifestasi ke rongga mulut (Mays dkk., 2012). Stomatitis aftosa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mulut adalah gerbang utama masuknya segala macam penyakit. Keadaan

BAB I PENDAHULUAN. Mulut adalah gerbang utama masuknya segala macam penyakit. Keadaan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mulut adalah gerbang utama masuknya segala macam penyakit. Keadaan rongga mulut yang tidak sehat dapat menyebabkan kelainan pada organ lain. Infeksi masuk lewat gigi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai karakteristik keterbatasan aliran nafas yang persisten, bersifat progresif dan berkaitan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kanker kepala dan leher merupakan salah satu tumor ganas yang banyak

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kanker kepala dan leher merupakan salah satu tumor ganas yang banyak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker kepala dan leher merupakan salah satu tumor ganas yang banyak terjadi didunia dan meliputi sekitar 2,8% kasus keganasan (Jemal dkk., 2006). Kanker kepala

Lebih terperinci

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Pada penelitian ini kerangka konsep mengenai karakteristik pasien PPOK eksaserbasi akut akan diuraikan berdasarkan variabel katagorik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit pernapasan kronis yang merupakan bagian dari noncommunicable disease (NCD). Kematian akibat

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 30 mahasiswa FKG UI semester VII tahun 2008 diperoleh hasil sebagai berikut.

BAB 5 HASIL PENELITIAN. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 30 mahasiswa FKG UI semester VII tahun 2008 diperoleh hasil sebagai berikut. 36 BAB 5 HASIL PENELITIAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 30 mahasiswa FKG UI semester VII tahun 2008 diperoleh hasil sebagai berikut. Tabel 5.1. Frekuensi distribusi tes saliva subjek penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini, berkembangnya kehidupan, terjadi perubahan pola struktur

BAB I PENDAHULUAN. berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini, berkembangnya kehidupan, terjadi perubahan pola struktur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan epidemiologi kesehatan pada umumnya berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini, dapat dilihat dari sejarah ilmu epidemiologi itu sendiri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan perhatian di Indonesia. World Health Organisation (2012)

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan perhatian di Indonesia. World Health Organisation (2012) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) telah menjadi suatu keadaan yang membutuhkan perhatian di Indonesia. World Health Organisation (2012) mengatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang melibatkan glandula saliva. Sebelum membahas mengenai kedua penyakit

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang melibatkan glandula saliva. Sebelum membahas mengenai kedua penyakit BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Mukokel dan ranula merupakan dua contoh dari beberapa penyakit mulut yang melibatkan glandula saliva. Sebelum membahas mengenai kedua penyakit mulut tersebut, akan dibahas mengenai

Lebih terperinci

Tahap-tahap penegakan diagnosis :

Tahap-tahap penegakan diagnosis : Tahap-tahap penegakan diagnosis : Pada dasarnya, penegakan diagnosis terbagi menjadi beberapa poin penting yang nantinya akan mengarahkan kita menuju suatu diagnosis yang tepat. Oleh karena itu, kita perlu

Lebih terperinci

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru Exit Hidung Faring Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia Laring Trakea Bronkus Bronkiolus Alveolus Paru-paru Hidung Hidung berfungsi sebagai alat pernapasan dan indra pembau. Pada hidung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok menimbulkan berbagai masalah, baik di bidang kesehatan maupun sosio-ekonomi. Rokok menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti gangguan respirasi, gangguan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk asalnya atau dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi. Ekskresi di sini merupakan hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang banyak ditemui dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang banyak ditemui dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang banyak ditemui dan secara klinis ditandai oleh adanya episode batuk rekuren, napas pendek, rasa sesak di dada dan mengi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2007). World Health Organization (WHO) menyatakan lebih dari 100 juta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2007). World Health Organization (WHO) menyatakan lebih dari 100 juta 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asma penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang ditandai adanya mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Asma Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang terjadi di saluran pernafasan yang menyebabkan penyempitan pada saluran pernafasan tersebut (Nelson, 2007). Sedangkan menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan penyakit umum pada masyarakat yang di tandai dengan adanya peradangan pada saluran bronchial.

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sakit Perut Berulang Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut berulang pada remaja terjadi paling sedikit tiga kali dengan jarak paling sedikit

Lebih terperinci

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes type 2: apa artinya? Diabetes tipe 2 menyerang orang dari segala usia, dan dengan gejala-gejala awal tidak diketahui. Bahkan, sekitar satu dari tiga orang dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma merupakan penyakit heterogen dengan karakteristik adanya inflamasi saluran napas kronis. Penyakit ini ditandai dengan riwayat gejala saluran napas berupa wheezing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan. penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan. penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut. 1 BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut. A. Latar Belakang Aktivitas kehidupan manusia sangat dipengaruhi

Lebih terperinci