BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perlengketan langsung antara kedua organ. Berdasarkan etiologinya, adhesi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perlengketan langsung antara kedua organ. Berdasarkan etiologinya, adhesi"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Adhesi Intraperitoneal dan Epidemiologinya Adhesi Intraperitoneal Adhesi intraperitoneal adalah ikatan patologis yang biasanya terjadi antara omentum, usus, dan dinding abdomen. Ikatan ini dapat berupa lapisan jaringan ikat tipis, sambungan fibrous tebal yang berisi pembuluh darah dan saraf, atau perlengketan langsung antara kedua organ. Berdasarkan etiologinya, adhesi intraperitoneal dibagi menjadi kongenital dan didapat, yang bisa diakibatkan radang atau post operasi (Arung et al., 2011) Epidemiologi Adhesi Intraperitoneal Penilaian insiden yang sebenarnya dari terbentuknya adhesi intraperitoneal sangat sulit dilakukan karena adhesi intraperitoneal yang asimptomatik jarang ditemukan kecuali pada pasien yang menjalani pembedahan abdomen di kemudian hari atau menjalani otopsi (Lauder et al., 2010). Adhesi intraperitoneal kebanyakan diinduksi oleh prosedur pembedahan dalam cavum peritoneum, dengan prevalensi sebesar 63%-97% setelah prosedur operasi abdomen mayor. Survei di Inggris pada tahun 1992 melaporkan total kasus obstruksi karena adhesi intestinal pertahunnya. Pembedahan kolorektal sebagai jenis pembedahan yang paling sering menyebabkan adhesi (Arung et al., 2011). 6

2 Pada tahun 1994 di Amerika Serikat, ditemukan bahwa adhesiolisis merupakan alasan dari seluruh pasien dirawatinapkan (1% dari keseluruhan rawat inap di Amerika Serikat pada tahun 1994), menghabiskan biaya sebesar 1,33 milyar dolar, dan rawat inap selama hari. Adapun pada tahun 2004, sebesar prosedur adhesiolisis telah dilakukan di Amerika Serikat. Bahkan setelah dilakukan adhesiolisis, obstruksi yang rekuren sering terjadi (8% sampai 32%). Diketahui bahwa kematian terjadi pada 3% sampai 5% pasien dengan obstruksi sederhana, dan meningkat menjadi sebesar 30% jika usus terstrangulasi, nekrosis, dan perforasi (Ergul dan Korukluoglu, 2008). Penelitian oleh Surgical and Clinical Adhesion Research (SCAR) dengan mengikuti 29,790 pasien yang telah menjalani operasi abdomen dan pelvis di Skotlandia, dalam kurun waktu 10 tahun, dan diikuti readmisi ke rumah sakitnya. Sekitar sepertiga pasien direadmisi dengan rata-rata 2,1 kali, untuk komplikasi yang berhubungan langsung atau kemungkinan berhubungan dengan adhesi atau telah menjalani operasi yang dikomplikasikan oleh adhesi intraperitoneal yang terjadi dalam kurun waktu 10 tahun. Dan ditemukan pula bahwa resiko adhesi tertinggi diakibatkan oleh prosedur pembedahan kolon dan rektum di bidang bedah umum dan, ovarium dan tuba fallopi pada pembedahan ginekologi (Pados et al., 2010). 2.2 Penyembuhan Peritoneum dan Patofisiologi Adhesi Intraperitoneal Penyembuhan Peritoneum Pembentukan adhesi sangat erat hubungannya dengan penyembuhan luka. Penyembuhan luka, baik itu suatu permukaan ataupun suatu organ, akan melalui 3

3 fase. Fase pertama, inflamasi, ditandai dengan hemostasis dan inflamasi, aktivasi kaskade pembekuan, vasodiloatasi yang terjadi karena pelepasan histamine dan pelepasan vasokonstriktor seperti thromboxane A2 dan prostaglandin-2a. Fase kedua, proliferasi, ditandai dengan epitelialisasi, angiogenesis, pembentukan jaringan granulasi dan deposisi kolagen. Fase ketiga, maturasi, ditandai dengan kontraksi luka membentuk jaringan parut, penggantian kolagen tipe III oleh kolagen tipe I yang lebih kuat dan pembuangan pembuluh darah yang tidak lagi diperlukan melalui apoptosis (Vaze et al.,2010). Perbedaan penyembuhan peritoneum dengan penyembuhan luka pada kulit adalah di mana penyembuhan peritoneum terjadi epitelialisasi pada keseluruhan permukaan secara simultan, sedangkan pada kulit terjadi epidermalisasi secara bertahap dari tepi luka. Mesotel baru timbul pada pertengahan luka yang besar pada waktu yang sama dengan mesotel baru timbul pada pertengahan luka yang kecil (dizerega dan Campeau, 2001). Sel yang pertama kali muncul saat peritoneum cedera asalah sel Polymorphonuclear (PMN). Sel mesotel yang cedera menghasilkan kemokin interleukin-8 (IL-8) yang menarik sel PMN. Dua puluh empat sampai 36 jam setelah cedera, jumlah sel PMN menurun, dan monosit berubah menjadi makrofag yang direkrut oleh monocyte chemotactic protein-1(mcp-1) dan regulated upon activation normal T-cell expressed, and presumably secreted (RANTES) - yang juga disekresi oleh sel mesotel yang cedera. Asal makrofag ini adalah dari area submesotel di mana mereka diam sebagai monosit yang tidak aktif. Makrofag berfungsi membangun jaringan granulasi dan melakukan remodelling jaringan

4 yang cedera dengan mengsekresi sitokin-sitokin, seperti IL-1β dan tumor necrotizing factor α (TNFα) yang merangsang mesotel menghasilkan IL-6. Makrofag tetap berada pada lokasi cedera sampai hari setelah cedera (Akerberg, 2013). Setelah 3 sampai 4 hari, muncul sel-sel mesenkim punca yang primitif pada luka yang berfungsi merestorasi peritoneum yang cedera. Pada saat yang sama, fibroblas yang berproliferasi muncul, yang diperkirakan berasal dari area lapisan submesotel atau dapat berasal dari sel mesenkim punca. Makrofag kemudian menstimulasi fibroblas melalui transforming growth factor β (TGFβ) dan substansi lain untuk menghasilkan extracellular matrix (ECM). Fibroblas penting untuk remodelling jaringan dan pembangunan ECM (Akerberg, 2013). Secara bertahap, matriks lapisan submesotel dibangun, sel mesotel mulai muncul secara tersebar pada permukaan luka dan menyatu antara 5 sampai 7 hari setelah cedera (Akerberg, 2013). Adapun sumber sel mesotel baru yang mengisi defek peritoneum masih merupakan kontroversi. Penelitian-penelitian memperkirakan bahwa sumber sel mesotel adalah transformasi dari sel-sel di dalam cairan peritoneum, transformasi sel-sel mesenkim punca di dasar dan atau transformasi sel-sel darah menjadi sel mesotel (Akerberg, 2013). Lapisan mesotel penting dalam deposisi dan pembersihan fibrin local dalam rongga serosal. Lapisan mesotel menghasilkan macam-macam faktor seperti Plasminogen Activating Inhibitor (PAI) dan urokinase Plasminogen Activator Inhibitor (upai). Penyembuhan lapisan mesotel merupakan tahap penting dalam pencegahan adhesi (Vaze et al., 2010).

5 Akhirnya, segala tipe cedera jaringan akan berujung pada satu dari empat kemungkinan. Pertama, tercapainya kesamaan jaringan melalui mekanisme perbaikan normal. Kedua, regenerasi yang terjadi dengan penggantian. Ketiga, kurangnya penyembuhan, seperti yang terjadi pada ulkus kronis. Terakhir, penyembuhan yang berlebihan, seperti yang terjadi pada jaringan parut dan kontraktur (Vaze et al., 2010) Patofisiologi Adhesi Intraperitoneal Sampai saat ini, patofisiologi adhesi intraperitoneal masih belum jelas dan menjadi kontroversi (Arung et al., 2011). Secara umum, keseimbangan antara deposisi fibrin dan degradasinya yang akan menentukan mekanisme penyembuhan peritoneum apakah akan berjalan normal atau terbentuk adhesi. Waktu yang dibutuhkan oleh mesotel untuk mengalami regenerasi komplit adalah 8 hari (Kamel, 2010). Cedera peritoneum akan merangsang terjadinya radang, dan kemudian mengaktivasi kaskade koagulasi, membentuk trombin, yang akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Pada pembedahan abdomen, terjadi gangguan keseimbangan sehingga sistem koagulasi lebih besar pengaruhnya daripada sistem fibrinolisis. Fibroblas menginvasi matriks fibrin dan membentuk ECM yang kemudian dikumpulkan. ECM ini masih dapat didegradasi oleh proenzim dari matriks metalloproteinase sehingga penyembuhan peritoneal menjadi normal. Jika proses ini diinhibisi oleh tissue inhibitor dari matriks metalloproteinase, maka terjadilah pembentukan adhesi. Secara umum, jika fibrinolisis tidak terjadi dalam 5-7 hari, maka matriks fibrin bertahan dan diorganisasi oleh fibroblas penghasil

6 kolagen, membentuk adhesi, yang kemudian diikuti oleh tumbuhnya pembuluh darah baru yang dimediasi oleh faktor angiogenik (Arung et al., 2011). Cedera peritoneum Inflamasi kerusakan dinding pembuluh darah Dan mesotel Meningkatkan protein-protein, Sitokin-sitokin Meningkatkan sel-sel (makrofag, platelet, mesotel) fibrinogen fibrin protrombin trombin tpa Plasminogen PAI-1 upa PAI-2 PAI-1 tpa PAI-2 upa Fibrin bertambah (fibroblas, sintesis kolagen) TIMPs Plasmin (-) Pr-MMPs MMPs ECM produk degradasi fibrin produk pertumbuhan degradasi kapiler penyembuhan adhesi penyembuhan normal normal (perbaikan peritoneum) Gambar 2.1 Keseimbangan antara plasminogen activator dan plasminogen inihibitor. TIMP: Tissue inhibitors of metalloproteinases; MMP: Matrix metalloproteinase; ECM: Extracellular matrix; tpa: Tissue-type plasminogen activator; upa: Urokinasetype plasminogen Activator; PAI: Plasminogen-activating inhibitor (Arung et al., 2011). Tabel 2.1

7 Faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas fibrinolitik dari mesotel (Brugmann et al., 2010) Faktor Urokinase-like plasminogen activator (u-pa) Tissue plasminogen activator (t-pa) Matrix metalloproteinases (MMP) Tissue-derived inhibitors (TIMP) Plasminogen activation inhibitors (PAI 1/ 2) Mechanical destruction of mesothelium Mesothelial ischemia Hypoxy Radical formation Bacterial lipopolysaccharide Interleukins (e.g., IL-1, IL-6) Neurokinin-1 receptor (NK-1) Substance P (SP) Tumor necrosis factor α (TNF α) Transforming growth factor β (TGF β) Intracellular adhesion molecule (ICAM 1) Vascular cell adhesion molecule (VCAM) Aktivitas fibrinolitik Di sisi lain, aktivasi sistem fibrinolitik mengubah plasminogen menjadi plasmin yang bekerja mendegradasi fibrin. Plasminogen aktivator terdiri dari tissue type plasminogen activator (tpa) dan urokinase-type plasminogen Activator (upa), yang diekspresikan oleh sel endotel, sel mesotel, dan makrofag. Di dalam peritoneum, 95% dari pengaktifan plasminogen diakibatkan oleh tpa. upa sama efektifnya dalam mendegradasi fibrin, namun afinitas terhadap

8 fibrinnya lebih rendah, sehingga perannya lebih sedikit dalam mengaktivasi plasminogen (Arung et al., 2011). Aktivasi plasminogen dihambat oleh plasminogen activator inhibitor (PAI) 1 dan -2, dimana PAI 1 adalah glikoprotein yang lebih kuat dalam menginhibisi tpa dan upa. PAI-1 dan PAI-2 diproduksi oleh sel endotel, sel mesotel, monosit, makrofag, dan fibroblas. Plasminogen activator inhibitor lain yang teridentifikasi yaitu PAI-3 dan protease nexin 1. Keseimbangan antara plasminogen activator dan plasminogen inhibitor penting dalam menentukan penyembuhan peritoneum. PAI-1 penting dalam pembentukan adhesi dan konsentrasi PAI -1 ditemukan tinggi pada pasien dengan adhesi yang luas (Arung et al., 2011). 2.3 Etiologi dan Faktor Resiko Adhesi Intraperitoneal Adhesi intraperitoneal dapat terjadi sebagai respon terhadap cedera, di mana pembedahan sebagai penyebab terseringnya. Prosedur pembedahan yang sering menyebabkan adhesi intraperitoneal yaitu kolesistektomi, appendisektomi, repair hernia, pembedahan kanker, pembedahan hepar, dan pembedahan sistem reproduksi pelvis. Ovarium sering menjadi tempat terjadinya adhesi karena letaknya yang dekat dengan permukaan peritoneum lainnya (Kamel, 2010). Faktor resiko adhesi yaitu manipulasi kasar saat pembedahan, hipoksia dan iskemia jaringan, diseksi tumpul adhesi sebelumnya, keringnya permukaan jaringan dan serosa, infeksi, endometriosis peritoneal, adanya benda asing, dan adanya darah atau bekuan darah intraperitoneal (Kamel, 2010).

9 2.4 Konsekuensi dan Derajat dari Adhesi Intraperitoneal Konsekuensi klinis, ekonomis, dan medikolegal dari Adhesi Intraperitoneal Konsekuensi adhesi intraperitoneal secara klinis adalah obstruksi karena adhesi usus halus, nyeri pelvis atau abdomen, dan infertilitas. Adhesi intraperitoneal juga mempersulit pembedahan selanjutnya (Arung et al., 2011). Pasien dengan adhesi intraperitoneal dapat menunjukkan gejala meteorismus, gerakan usus yang tidak teratur, nyeri abdomen kronis, gangguan pencernaan, infertilitas, dan obstruksi intestinal. Adhesi postoperatif ditemukan mengakibatkan 40% dari semua kasus obstruksi saluran cerna dan 65% sampai 75% dari semua kasus obstruksi usus halus. Tindakan kolektomi, dengan luka insisi peritoneum yang besar, meningkatkan kejadian obstruksi intestinal sebesar 11% (Brugmann et al., 2010). Penelitian oleh Sastry et al menemukan bahwa waktu rata-rata yang dibutuhkan dari operasi sampai terjadinya obstruksi usus halus adalah 24 bulan. Peningkatan resiko obstruksi usus halus terjadi dengan peningkatan lama operasi dan adanya operasi sebelumnya, sedangkan resiko obstruksi usus halus menurun pada pasien dengan kondisi fisik berdasarkan American Society of Anesthesiologist (ASA) lebih dari 3 (Sastry et al., 2015). Adhesi intraperitoneal juga merupakan penyebab dari 15% sampai 20% kasus inferitilitas wanita sekunder. Adhesi paratubal dan paraovarian mengakibatkan terjebaknya folikel dan menurunkan mobilitas dan blokade dari tuba fallopi, sehingga membatasi gerakan oosit, meningkatkan resiko kehamilan ektopik (Brugmann et al., 2010).

10 Nyeri kronis perut bagian bawah menurunkan kualitas hidup dan merupakan alasan dilakukannya 30% sampai 50% dari semua laparoskopi dan 5% histerektomi. Penelitian oleh DiZerega menemukan bahwa adhesi merupakan penyebab dari hanya 40% nyeri kronis perut bagian bawah pada wanita yang sebelumnya menjalani operasi, dan 25% kasus masih belum jelas penyebabnya (Brugmann et al., 2010). Keltz, et al (2006) menemukan pula bahwa gejala nyeri perut kronis menurun secara signifikan setelah dilakukan adhesiolisis parakolik sisi kanan, namun penelitian lain oleh Swank, et al (2003) menemukan tidak adanya penurunan gejala nyeri perut setelah adhesiolisis secara laparoskopik. Suatu penelitian menemukan adanya serat saraf secara histologi, ultrastruktural, dan imunohistokimia pada semua adhesi intraperitoneal yang diperiksa. Dan serat saraf ini mengekspresikan protein yang berhubungan dengan gen calcitonin dan substansi P - penanda neuron sensoris. Penelitian ini mensugesti bahwa struktur ini mempunyai kemampuan mengkonduksi nyeri dengan stimulasi yang sesuai (Arung et al., 2011). Seorang ahli bedah memiliki tanggung jawab untuk memberikan informasi yang cukup sehubungan dengan resiko operasi abdomen termasuk resiko adhesi intraperitoneal. Ini memiliki implikasi langsung untuk praktek klinis dan klaim medikolegal (Rajab et al., 2009; Solomon et al., 2010). Pasien yang akan menjalani operasi juga harus diinformasikan dengan pemahaman secara tertulis mengenai kemungkinan operasi ulangan adhesiolisis dan komplikasinya, dengan menyebutkan pula ekstensi operasi, lama anestesi, kehilangan darah, dan resiko cedera omentum, buli, ureter, dan pembuluh darah. Reoperasi mempunyai angka

11 enterotomi sebesar 20%. Dan adhesi intraperitoneal akan menyulitkan operasi ataupun tindakan minimal invasif berikutnya, ultrasonografi diagnostik, pengambilan oosit untuk IVF (In Vitro Fertilization), pemberian kemoterapi intraperitoneal, dan dialisis peritoneal (Brugmann et al., 2010). Penelitian oleh Van Goor menginformasikan bahwa hanya 25% dari pasien yang menjalani operasi yang diberitahu akan kemungkinan terjadinya adhesi intraperitoneal dan kemungkinan perlunya dilakukan adhesiolisis di masa yang akan datang, dan adhesi hanya disebutkan pada 10% persetujuan praoperasi (Van Goor, 2007). Dari sudut pandang ekonomi, adhesi intraperitoneal menghabiskan dana sebesar $13 juta pertahunnya di Swedia dan $1,3 miliar pertahunnya di Amerika (Arung et al., 2011). Klaim medikolegal sehubungan dengan adhesi intraperitoneal yang berhasil di Inggris di antaranya yaitu kasus perforasi usus saat dilakukan adhesiolisis secara laparoskopik, keterlambatan diagnosis obstruksi usus halus karena adhesi, dan infertilitas dan nyeri akibat adhesi (Ellis dan Crowe, 2009). Adapun dampak yang diakibatkan oleh adhesi intraperitoneal adalah signifikan, namun Clinical Adhesion Research and Evaluation (CARE) di Jerman menemukan bahwa tidak semua, yaitu sebesar 83,1% ahli bedah memberitahu pasien mereka akan resiko terjadinya adhesi intraperitoneal sebelum melakukan pembedahan (Hackethal et al., 2010) Derajat dari Adhesi Intraperitoneal Ada beberapa sistem derajat yang digunakan untuk menilai beratnya adhesi intraperitoneal. Sistem derajat adhesi intraperitoneal yang sering dipakai

12 sampai saat ini adalah sistem derajat berdasarkan Zulhke et al., di mana derajat 0 berarti tidak ada adhesi, dan derajat 4 berarti adhesi yang kuat dan luas yang hanya dapat dipisahkan dengan instrumen tajam dan tidak dapat dipisahkan tanpa merusak organ. Derajat Tabel 2.2 Sistem Derajat Adhesi Intraperitoneal (Zulhke et al., 1990) 0 Tidak ada adhesi Observasi Adhesi tipis, mudah dipisahkan dengan diseksi tumpul, tanpa vaskularisasi Adhesi yang lebih kuat, sebagian dapat dipisahkan dengan diseksi tumpul dan sebagian lagi dengan diseksi tajam, mulai ada vaskularisasi Adhesi yang kuat, lisis hanya bisa dilakukan dengan diseksi tajam, vaskularisasi jelas Adhesi sangat kuat, lisis hanya bisa dilakukan dengan diseksi tajam, organ melekat kuat dan tidak dapat dipisahkan tanpa merusak organ Tabel 2.3 Sistem Derajat Adhesi Intraperitoneal Berdasarkan Densitas (Frederick et al., 1986) Derajat Observasi 0 Tidak ada adhesi 1 Adhesi terlokalisir dan tipis 2 Adhesi terlokalisir dan padat 3 Adhesi luas dan tipis 4 Adhesi luas dan padat

13 Tabel 2.4 Sistem Derajat Adhesi Intraperitoneal Berdasarkan Area Cedera (Guvenal et al.,2001) Derajat Observasi 0 Tidak ada adhesi 1 Adhesi 25% area cedera 2 Adhesi 50% area cedera 3 Semua area terlibat Tabel 2.5 Sistem Derajat Adhesi Intraperitoneal Berdasarkan Vaskularitas dan Densitas (Canbaz et al., 2005) Derajat 0 Tidak ada adhesi Observasi 1 Adhesi tipis, mudah dipisahkan dengan jari 2 3 Adhesi ringan, berkelanjutan tanpa vaskuler, dapat dipisahkan secara tumpul Adhesi sedang, berserat, vaskularisasi sedang, memerlukan diseksi tajam 4 Jaringan parut padat, di mana bidang jaringan tidak jelas 2.5 Pencegahan Adhesi Intraperitoneal Pencegahan adhesi intraperitoneal postoperative meliputi 3 tahap yaitu: pendekatan operasi (laparoskopik versus laparotomi), teknik operasi (konvensional versus mikrosurgikal), dan adjuvan pembedahan (Kamel, 2010) Pendekatan Pembedahan Laparaskopik dengan akses minimal ke cavum abdomen atau pelvis berhubungan dengan adhesi postoperatif yang lebih rendah dibandingkan dengan pembedahan terbuka jika teknik laparoskopik benar. Keuntungan pembedahan

14 laparoskopik yaitu kecilnya insisi peritoneum parietal, benda asing yang lebih sedikit, lingkungan yang lembab, trauma dan pendarahan jaringan yang lebih sedikit, lebih sedikit manipulasi struktur lain yang jauh, lebih cepat kembalinya motilitas usus dan ambulasinya (Kamel, 2010). Adapun kekurangan pendekatan secara laparoskopik yaitu cedera jaringan karena kesalahan pemilihan dan pemakaian instrumen, adhesi masih terjadi setelah laparoskopik, pneumoperitoneum dengan gas CO2 yang tidak dihumidifikasi adalah kofaktor adhesi, pembentukan adhesi berhubungan dengan lama pneumoperitoneum, dan iskemia subserosal sebagai konsekuensi tekanan tinggi gas intraperitoneal (Kamel, 2010). Gas CO2 berhubungan dengan penurunan kadar oksigen jaringan, asidosis, dan pelepasan spesies oksigen reaktif yang diperkirakan adhesiogenik (Pados et al., 2013) Teknik Pembedahan William Steward Halsted, seorang ahli bedah Amerika, menyatakan prinsip-prinsip pembedahan, yang akhirnya disebut Prinsip Halsted, yang meliputi teknik aseptik, penanganan jaringan dengan halus, diseksi tajam jaringan, hemostasis dengan menggunakan seminimal mungkin jahitan yang non-iritatif, menghilangkan ruang kosong, dan, menghindari ketegangan. Sebagai tambahan adalah irigasi yang terus-menerus, mempertahankan kelembaban jaringan, penggunaan instrumen mikro dan atraumatik, yang juga terbukti efektif (Omer dan Al-Harizi, 2014). Tambahan terhadap teknik pembedahan yaitu teknik pembedahan mikro yang pertama kali diterapkan oleh Swolin pada tahun Prinsip dari

15 mikrosurgikal yaitu dengan pembesaran untuk visualisasi yang lebih baik, menggunakan instrumen yang lebih kecil, dan jahitan yang lebih halus. Prinsip pembedahan mikro lainnya termasuk penanganan jaringan yang lebih minimal, mencegahnya mengeringnya jaringan, menghindari benda asing, dan hemostasis yang lebih baik (Kamel, 2010). Teknik pembedahan baru saat ini yaitu penggunaan laser, kebanyakannya ultra-pulse carbon dioxide. Menghilangkan jahitan peritoneum adalah salah satu upaya untuk menghindari adanya benda asing dalam cavum peritoneum dan ditemukan menurunkan durasi operasi, kejadian demam, dan menurunkan penggunaan analgetik serta kembalinya aktivitas usus yang lebih cepat (Kamel, 2010) Adjuvan Pembedahan

16 Tabel 2.6 Adjuvan dalam mencegah adhesi postoperatif (Kamel, 2010) Agen Fibrinolitik Thrombokinase, fibrinolysin, streptokinase, urokinase, hyaluronidase, chymotrypsin, trypsin, papain and pepsin. Tissue plasminogen activators and recombinant t-pa Thromboxane synthetase inhibitors: imidazole and ridogrel Thrombin inhibitor (rec-hirudin 1) Anti-proliferative medications: Paclitaxel and Camptothecin Polypeptides: lysozyme, polylysine, and polyglutamate Antikoagulan Heparin Low molecular weight heparin (Enoxaparin-Na) Agen antiinflamasi Low-dose aspirin Anti-inflammatory peptides: retinoic acid, quinacrine, or dipyridamole Antihistamines: Promethazine Corticosteroids: dexamethasone, hydrocortisone and prednisolone Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID): Ketorolac, Tolmetin, Ibuprofen and Indomethacin Antibiotik Systemic antibiotics (cephalosporins or tetracyclines) Peritoneal irrigation (cefazolin or tetracycline) Pemisahan mekanis Peritoneal instillates Crystalloid solutions: normal saline and Ringer s lactate Viscous solutions: 32% Dextran-70 (Hyskon 1) Carboxymethylcellulose (CMC): high MW polysaccharide gel Hyaluronic acid (HA): a naturally occurring glycosaminoglycan HA with phosphate-buffered-saline HAPBS: (Sepracoat 1) HA with iron 0.5% ferric hyaluronate gel: (Lubricoat 1) Auto-cross-linked hyaluronan solution or gel (ACP-gel) N,O-carboxymethyl chitosan (NOCC): gel and solution Barrier Barrier endogen: Fetal amniotic membranes Peritoneal transplants Omental grafts Bladder strips Barrier eksogen: 0.5% ferric hyaluronate gel (Intergel 1): withdrawn from market HA with carboxymethylcellulose HA-CMC: (Seprafilm 1) AdhibitTM: gel used after cardiac surgery Adept 1: is an intra-peritoneal fluid Polyethylene glycol-peg: (SprayGel 1) Poloxamer 407 of (FlowGel 1) Polytetrafluoroethylene: (Gore-Tex 1) Fibrin glue: composed of fibrinogen, thrombin, calcium, and factor-viii Oxidized-regenerated cellulose-orc: (Surgicel 1) i

17 Interceed 1 (TC7) Modified neutralized Interceed (ntc7) Mineral oil, silicone, vaseline, gelatin, rubber sheets, metal foils, plastic hoods (abandoned) Agen Baru Films of polyethylene oxide and carboxymethylcellulose: (Oxiplex 1) Shelhigh dome pericardial patch no-react Pluronic F127/F68 alginate buprofen mixture (Sol Gel 1) Aloe vera gel Agen yang masih diteliti Colchicine Medroxyprogesterone acetate (MPA) Calcium channel blockers Phosphatidylcholine instillation Vitamin E D-Penicillamine Methylene blue Pentoxifylline Statin Epidermal growth factor (EGF) Terbentuknya adhesi intraperitoneal masih tidak dapat dihindari pada pembedahan pelvis reproduktif walau dengan teknik laparoskopi yang baik, pembedahan mikro, dan penggunaan laser, sehingga dicari bahan yang dapat mencegah pembentukan adhesi (Kamel, 2010). Macam-macam adjuvan pembedahan ditemukan untuk mencegah pembentukan adhesi intraperitoneal, namun tidak semuanya efektif. Adjuvan yang dapat digunakan untuk mencegah adhesi di antaranya adalah agen fibrinolitik, antikoagulan, agen antiinflamasi, antibiotik, pemisahan secara mekanis, penghalang (barrier), agen-agen baru maupun agen-agen yang masih dalam penelitian (Kamel, 2010). Suatu penelitian yang dikerjakan oleh Clinical Adhesion Research and Evaluation (CARE) di Jerman, mendapatkan bahwa 38,4% ahli bedah menggunakan agen antiadhesi secara rutin (Hackethal et al., 2010). 2.6 Pemisahan secara mekanis

18 Pemisahan permukaan peritoneum yang telanjang pada awal proses penyembuhan adalah metode yang ideal dalam pencegahan adhesi intraperitoneal. Larutan kristaloid banyak digunakan untuk instilasi cavum abdomen setelah pembedahan. Ringer laktat yang dimasukkan ke dalam intraperitoneal hewan mempunyai efek penyeimbang yang lebih baik, ditemukan menurunkan pembentukan adhesi dibandingkan normal saline. Sayangnya cairan ini diserap dengan kecepatan 35 ml/jam, sehingga jika dihitung maka diperlukan 5 liter cairan untuk mempertahankan kondisi pemisahan sampai 6 hari postoperasi. Kendala lainnya yaitu resiko infeksi, edema paru, dan kebocoran pada lokasi punksi. Untuk memperpanjang lama cairan di intraperitoneal maka digunakan larutan dengan viskositas yang lebih tinggi, seperti dextran, yang bekerja melapisi peritoneum yang telanjang dan sebagai larutan osmotik yang mengakibatkan melayangnya (hydrofloatation) viscera. Selanjutnya, ditemukan pula CMC yang lebih efektif dibandingkan dextran. Larutan lain yang termasuk dalam pemisah mekanis yaitu Hyaluronic acid dan N,Ocarboxymethyl chitosan (NOCC) (Kamel, 2010). Selain instilasi peritoneal di atas, mekanisme pemisahan lain yaitu dengan memberi barrier (pelindung). Pelindung mekanis yang ideal harus aman dan efektif, tidak merangsang peradangan, tidak merangsang reaksi imun, bertahan selama masa kritis penyembuhan peritoneum, terfiksasi pada lokasi aplikasinya tanpa dijahit atau distapler, tetap aktif walaupun ada darah, dan dapat didegradasi secara biologis tanpa perlu dikeluarkan. Sebagai tambahan, barrier tidak boleh menghalangi penyembuhan luka dan meningkatkan resiko infeksi (Kamel, 2010; Cimen et al., 2013). Barrier

19 eksogen yang bisa digunakan yaitu graft membran amnion dan transplan peritoneum autolog. Sedangkan barrier eksogen contohnya gel 0,5% ferric hyaluronate, dan gel HA-CMC (Kamel, 2010). Penelitian-penelitian menemukan bahwa kebanyakan adhesi adalah sementara dan lisis secara alami dalam waktu 72 jam. Pembentukan adhesi yang menetap terjadi 3 hari setelah operasi, sehingga agen barrier diharapkan dapat bertahan pada tempat cedera selama beberapa hari setelah operasi (Cimen et al., 2013) Peran HA CMC (Hyaluronic acid Carboxymethylcellulose) dalam Mencegah Adhesi Intraperitoneal Hidrogel Berbasis Polisakarida Hidrogel adalah materi yang terbentuk dengan interaksi fisik atau ikatan kimiawi rantai polimer yang hidrofilik, memampukannya menyerap air dalam jumlah banyak. Molekul air berpenetrasi ke dalam ruang interstisial dari jaringan polimer tiga dimensi, membuat hidrogel menyerupai jaringan biologis. Jumlah air yang terabsorbsi tergantung pada seberapa berporinya hidrogel dan seberapa hidrofilnya kelompok fungsional polimer tersebut (Camponeschi et al., 2015). Hidrogel dibagi menjadi hidrogel fisik, di mana ikatan polimer dipegang oleh kaitan-kaitan molekul dan atau interaksi ion, ikatan hidrogen, dan atau dipolar, dan, hidrogel kimiawi, yang terdiri dari jaringan yang terikat kovalen dari ikatan kimia rantai polimer melalui tambahan agen-agen lain yang diikat bersama yang mampu bereaksi dengan kelompok fungsional spesifik pada rantai polimer. Sebagai

20 tambahan, hidrogel kimiawi juga menunjukkan interaksi fisik sampai batas tertentu sebagai bagian dari polimer tersebut. Tidak seperti hidrogel fisik, ikatan mekanis hidrogel kimiawi dapat terbentuk kembali dengan baik, memungkinkannya untuk dimodulasi dari derajat ikatannya, sehingga hidrogel kimiawi lebih disukai (Camponeschi et al., 2015). Hidrogel berbasis polisakarida adalah hidrogel kimiawi yang sangat menjanjikan dalam dunia kedokteran. Bahan ini digunakan dari pembuatan jaringan sampai mengendalikan pelepasan obat untuk terapi lokal. Bagian paling menarik dari bahan ini adalah bahwa bahan ini mampu diaplikasikan tanpa mengubah struktur kimia, mekanis, dan biologisnya. Hal ini dikarenakan sifatnya yang thixotropic. Thixotropic adalah sifat cairan di mana jika diaduk maka viskositasnya turun dan semakin kuat pengadukannya maka viskositasnya akan semakin turun. Apabila pengadukan dihentikan, viskositas cairan akan naik kembali. Modulasi kekentalan dan fisik kimia bahan ini dapat dilakukan dengan mengikatnya dengan agen-agen lain dan memanfaatkan sifat thixotropic-nya (Camponeschi et al., 2015) Hyaluronic Acid Carboxymethylcellulose (HA-CMC) sebagai Hidrogel Berbasis Polisakarida Beberapa polimer alami dapat digunakan sebagai bahan hidrogel kimiawi. Polisakarida adalah salah satu yang paling baik karena mereka memiliki kelompok ionik, memudahkan modifikasi struktur kimianya dengan kelompok fungsional baru atau enzim lainnya. Hidrogel polisakarida yang diikat secara kimia menunjukkan bahwa sifat mekanis dan pori-pori mereka dapat dikendalikan berdasarkan derajat

21 ikatan, bahwa mereka mampu menyerap banyak air sesuai berat (kemampuan membengkak) mereka menentukan sifat mekanis dan kimianya, dan, bahwa kebanyakan bersifat thixotrophic, membuatnya memungkinkan untuk diinjeksi melalui jarum suntik, sehingga cocok untuk aplikasi biomedis (Camponeschi et al., 2015). Hidrogel berbasis polisakarida saat ini banyak diminati penggunaannya sebagai matriks untuk perbaikan dan regenerasi macam-macam jaringan dan organ. Karakteristik hidrogel ini yaitu permeabilitasnya yang tinggi sehingga mengizinkan pertukaran oksigen, nutrisi, dan metabolit larut air, yang penting dalam mendukung pertumbuhan sel (Camponeschi et al., 2015). Hyaluronic acid (HA) adalah polisakarida linier dengan unit disakarida berulang yang terdiri dari D-glucuronate dan N-acetyl-D-glucosamine. HA merupakan komponen yang alami ada di dalam jaringan dan cairan tubuh seperti kulit, cairan sendi, dan jaringan ikat interstitial, dan berfungsi melindungi secara

22 Gambar 2.2 Struktur Kimia Hidrogel Polisakarida yang Sering Digunakan: HYAL (Hyaluronic Acid) dan CMC (Carboxymethylcellulose) (Camponeschi et al., 2015) mekanis, lubrikasi sel, dan menopang secara fisik (Pados et al., 2010; Primariawan, 2010). HA dalam bentuk alami adalah cairan yang akan termetabolisme setelah 12 jam di dalam tubuh. HA ini bisa diikat secara kimiawi (cross-linked), menjadi bentuk gel. Kepadatan gel tergantung dari derajat ikatan tiap rantai HA yang membuat metabolismenya lebih lambat di dalam tubuh, sehingga efek HA lebih lama (Mettler, 2014). Suatu penelitian menemukan bahwa larutan HA berdosis kecil (0,2 dan 0,4%) mengurangi kejadian adhesi intraperitoneal secara signifikan, adapun efektivitas sebagai anti-adhesi dari larutan HA ini adalah bergantung pada volume, di mana volume tinggi terlihat paling efektif (Reijnen et al., 2001). Carboxymethylcellulose (CMC) adalah polisakarida dengan berat molekul tinggi, derivat dari cellulose. Mekanisme absorpsinya belum jelas (Pados et al., 2010). CMC tersedia dalam berbagai macam berat molekul, dan diformulasikan dalam campuran cairan dengan viskositas tertentu. CMC dalam bentuk cairan

23 berfungsi sebagai lubrikan mengakibatkan hydrofloatation. Karena cairan ini mudah keluar dari rongga peritoneal secara in vivo, sehingga saat ini banyak dikembangkan barrier membrane berbasis CMC (Primariawan, 2010). Penelitian menemukan bahwa efektivitas sebagai anti-adhesi dari 1,7% larutan CMC, yang kekentalannya setara dengan 0,4% larutan HA, tidak bergantung pada volume (Reijnen et al., 2001). Campuran hidrogel diperoleh dengan mengikat 2 polimer berbeda melalui reaksi kimia. Hyaluronic acid dan carboxymethylcellulose (HA-CMC) adalah kombinasi dari hyaluronic acid dan carboxymethylcellulose, yang dapat diserap yang larut dan membentuk gel yang hidrofilik lebih kurang 24 jam setelah diaplikasikan. Dia merupakan barrier yang spesifik terhadap lokasi dan bekerja secara mekanik memisahkan jaringan yang bersebelahan dan bertahan 7 hari. HA akan dieliminasi dalam tubuh setelah 4 minggu, namun absorpsi CMC masih belum diketahui jelas (Pados et al., 2010). Penelitian oleh Reijnen et al.(2001) menemukan bahwa Larutan HA dan CMC konsentrasi rendah dapat pula menurunkan pembentukan abses intraabdomen. Kemampuan menurunkan kejadian abses oleh larutan HA maupun CMC ini tidak tergantung pada volum, malah ditemukan bahwa volum larutan CMC yang kecil menurunkan kejadian dan ukuran abses lebih baik dibandingkan dengan volum yang besar. Kelihatannya penurunan pembentukan abses tidak dapat diaplikasikan seperti konsep hydrofloatation pada pencegahan adhesi. Kemampuan HA dalam mengurangi abses diketahui merupakan bagian dari peran biologisnya dibandingkan peran mekanisnya. Peran HA secara biologis yang telah diketahui sejak lama yaitu kerjanya

24 dalam mendukung dan menjaga batas proses radang. HA dapat memperkuat respon imun humoral dan menginduksi pembentukan interleukin (IL)-1, IL-8 dan tumor necrosis factor. HA diketahui pula mempunyai efek antioksidan, membantu dalam pembuangan radikal bebas, dan menghambat proteinase radang. HA ditemukan meningkatkan proliferasi sel mesotel peritoneum manusia dan menurunkan produksi PAI. Kerja terhadap PAI inilah yang berperan utama dalam pendauran fibrin, mendukung pencegahan pembentukan abses (Reijnen, 2001). Seprafilm merupakan bahan yang mengandung HA dan CMC dalam bentuk membran. Seprafilm ini telah disetujui penggunaannya oleh FDA pada tahun 1996 dan banyak digunakan untuk mencegah adhesi. Bahan ini bersifat biokompatibel, nonimunogenik, dan melekat pada permukaan jaringan. Bahan ini dapat digunakan walau ada darah dan irigasi. Perlindungan permukaan jaringan terjadi selama 7 hari dengan pembentukan gel gelatin yang kental dan hidrofilik yang akan terabsorpsi seluruhnya setelah 28 hari (Primariawan, 2010; Chu et al., 2010, Akerberg, 2013, Omer dan Al-Harizi, 2014). Penelitian menunjukkan bahwa Seprafilm tidak mengganggu pelepasan TGF-β dan serine protease jaringan yang berperan dalam memperbaiki jaringan (Akerberg, 2013). Kekhawatiran sehubungan dengan penggunaan Seprafilm adalah peningkatan kejadian abses dan kebocoran anastomosis saat reseksi dan anastomosis usus. Untuk menurunkan kejadian kebocoran anastomose, disarankan agar anastomose tidak dibungkus dengan lembaran Seprafilm (Akerberg, 2013).

25 Namun penelitian keamanan dan efikasi seprafilm menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang signifikan akan morbiditas secara keseluruhan, kebocoran anastomose, dan pembentukan abses, antara pemakaian Seprafilm dengan placebo (Kumar et al., 2009). Pembentukan fistula, reaksi benda asing, terkumpulnya cairan intraperitoneal adalah komplikasi lain yang dilaporkan (Omer dan Al-Harizi, 2014). Guardix-sol merupakan bahan yang mengandung HA dan CMC dalam bentuk cair. Bahan ini mempunyai biokompatibilitas, non-imunogenik, dapat diserap dan mudah diaplikasikan (Primariawan, 2010). Bahan ini membentuk barrier dengan cara disemprotkan ke tempat cedera peritoneum yang rentan terhadap adhesi. Larutan yang sangat kental ini melekat ke jaringan tersebut, dan setelah beberapa hari, terhidrolisis, terabsorpsi, dan diekskresi oleh ginjal. Bahan ini juga bersifat spesifik terhadap lokasi aplikasi sehingga bisa digunakan untuk cedera peritoneum yang multiple (Park et al., 2011) Peran Dextran dalam Mencegah Adhesi Intraperitoneal Dextran merupakan larutan yang larut dalam air. Dengan berat molekul yang besar sehingga dextran tidak langsung diserap dari permukaan peritoneum, ia mengakibatkan terjadinya hydrofloatation (melalui osmosis) dan memisahkan jaringan-jaringan yang cedera (Akerberg, 2013). Selain itu, perubahan struktur fibrin yang terjadi akibat pemberian dextran juga turut berperan dalam mencegah adhesi, sehingga dextran pernah sering digunakan secara intraperitoneal dalam pembedahan fertilitas sebagai bagian dari protokol pencegahan adhesi pada tahun 1980-an (Cimen et al., 2013).

26 Efek samping yang dilaporkan sehubungan dengan penggunaan dextran yaitu ascites, syok anafilaktik, dan koagulopati. Kondisi yang terakhir diperkirakan terjadi karena peningkatan tpa dan penurunan faktor koagulasi yang terjadi setelah pemberian dextran (Akerberg, 2013). Dextran diperkirakan mempunyai efek antitrombotik dan antiplatelet, namun mekanismenya belum diketahui dengan jelas. Dextran diperkirakan menghambat uptake tpa oleh mannose receptor pada lapisan endotel, sehingga tpa terus mengaktivasi fibrinolisis dengan mengubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin mengandung pula von Willebrand factor (vwf) dan platelet protease-activated receptor-1 (PAR-1), yang mendesensitisasi respon platelet terhadap thrombin (Jones et al., 2008). Dextran dapat melepaskan TGF β dari bentuk tidak aktifnya yang terikat plasma, sehingga meningkatkan efeknya dan malah meningkatkan kejadian adhesi. Dextran dapat pula mengaktivasi dan menginduksi pelepasan IL-1β oleh peritoneum, mengaktivasi sel imun di daerah tersebut, sehingga memodulasi respon imun ketika diaplikasikan ke dalam rongga peritoneum (Akerberg, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. kesakitan, infertilitas dan nyeri perut. Pengetahuan tentang

BAB I PENDAHULUAN. kesakitan, infertilitas dan nyeri perut. Pengetahuan tentang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adhesi intraabdomen setelah operasi menyebabkan timbulnya beberapa hal seperti kesakitan, infertilitas dan nyeri perut. Pengetahuan tentang pathogenesis terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Adhesi intraperitoneum paska laparotomi merupakan masalah bagi dokter

BAB I PENDAHULUAN. Adhesi intraperitoneum paska laparotomi merupakan masalah bagi dokter BAB I PENDAHULUAN 1.1.LATAR BELAKANG Adhesi intraperitoneum paska laparotomi merupakan masalah bagi dokter bedah. Adhesi menimbulkan morbiditas bagi pasien berupa obstruksi intestinal, sehingga sering

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma 3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma tajam, tumpul, panas ataupun dingin. Luka merupakan suatu keadaan patologis yang dapat menganggu

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. cedera abrasi menyerupai dengan cedera peritoneum saat operasi abdomen..

BAB VI PEMBAHASAN. cedera abrasi menyerupai dengan cedera peritoneum saat operasi abdomen.. BAB VI PEMBAHASAN Pembentukan adhesi intraperitoneum secara eksperimental dapat dilakukan melalui berbagai cara, yaitu model iskemia, model perlukaan peritoneum, model cedera termal, dengan benda asing,

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 25 BAB 5 HASIL PENELITIAN Preparat jaringan yang telah dibuat, diamati dibawah mikroskop multinokuler dengan perbesaran 4x dan 10x. Semua preparat dapat dibaca berdasarkan tolok ukur skor tingkat peradangan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PEMBERIAN LARUTAN HYALURONIC ACID CARBOXYMETHYLCELLULOSE

PERBANDINGAN PEMBERIAN LARUTAN HYALURONIC ACID CARBOXYMETHYLCELLULOSE TESIS PERBANDINGAN PEMBERIAN LARUTAN HYALURONIC ACID CARBOXYMETHYLCELLULOSE DENGAN LARUTAN DEXTRAN 40 SECARA INTRAPERITONEAL DALAM MENURUNKAN KEJADIAN ADHESI INTRAPERITONEAL PASCALAPAROTOMI PADA TIKUS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi rongga mulut. Lapisan ini terdiri dari epitel gepeng berlapis baik yang berkeratin maupun

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 0 BAB 5 HASIL PENELITIAN Berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 4x dan 10x terhadap 60 preparat, terlihat adanya peradangan yang diakibatkan aplikasi H 2 O 2 10%, serta perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Adhesi peritoneal pasca operasi abdomen dan pelvis adalah konsekuensi

BAB I PENDAHULUAN. Adhesi peritoneal pasca operasi abdomen dan pelvis adalah konsekuensi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Adhesi peritoneal pasca operasi abdomen dan pelvis adalah konsekuensi alamiah dari iritasi peritoneum oleh karena infeksi maupun trauma bedah serta proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kandungan bahan tertentu. Faktor intrinsik diantaranya adalah penurunan

BAB I PENDAHULUAN. kandungan bahan tertentu. Faktor intrinsik diantaranya adalah penurunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penuaan atau aging process merupakan proses alami yang akan dialami oleh setiap makhluk hidup di dunia ini, tetapi proses penuaan setiap orang tidaklah sama, ada beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Adhesi peritoneal pasca operasi daerah abdomen dan pelvis adalah konsekuensi alamiah dari iritasi peritoneum oleh karena infeksi maupun trauma bedah serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan sepsis merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di Intensive Care Unit (ICU). Tingginya biaya perawatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan adhesi (Fang, 2010; Binda,2006; Binda,2009) laparotomi berkisar antara 67% hingga 93%. Adhesi peritonium merupakan

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan adhesi (Fang, 2010; Binda,2006; Binda,2009) laparotomi berkisar antara 67% hingga 93%. Adhesi peritonium merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adhesi peritonium merupakan suatu tantangan klinis penting dalam operasi gastrointestinal sebagai komplikasi dari iritasi peritonium baik karena infeksi ataupun trauma

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. viserale, maupun antara peritoneum visceral dengan parietal. 1 Adhesi tersebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. viserale, maupun antara peritoneum visceral dengan parietal. 1 Adhesi tersebut BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEFINISI DAN KLASIFIKASI Adhesi intraperitoneum adalah perlengketan fibrosa (jaringan ikat) yang abnormal diantara permukaan peritoneum yang berdekatan, baik antar peritoneum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit jinak ginekologi yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di negara-negara maju maupun berkembang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan Fungsi Peritoneum Peritoneum merupakan selapis sel mesotelium komplek dengan membran basalis yang ditopang oleh jaringan ikat yang kaya akan pembuluh darah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar wilayah di Indonesia adalah wilayah dengan dataran rendah yaitu berupa sungai dan rawa yang di dalamnya banyak sekali spesies ikan yang berpotensi tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang. masih menjadi masalah di negara tropis dan subtropis

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang. masih menjadi masalah di negara tropis dan subtropis BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih menjadi masalah di negara tropis dan subtropis termasuk Indonesia. Penyebab penyakit malaria ini adalah parasit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penghilangan gigi dari soketnya (Wray dkk, 2003). Pencabutan gigi dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penghilangan gigi dari soketnya (Wray dkk, 2003). Pencabutan gigi dilakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencabutan gigi didefinisikan sebagai tindakan pembedahan dengan tujuan penghilangan gigi dari soketnya (Wray dkk, 2003). Pencabutan gigi dilakukan karena berbagai hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cepat. 15 Trauma atau cedera pada rongga perut akan memicu terbentuknya

BAB I PENDAHULUAN. cepat. 15 Trauma atau cedera pada rongga perut akan memicu terbentuknya cepat. 15 Trauma atau cedera pada rongga perut akan memicu terbentuknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Adhesi intraperitoneal pasca prosedur operasi abdomen dan pelvis terjadi hampir pada

Lebih terperinci

FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS

FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS FATMAWATI MADYA SP2FER S ENDOMETRIOSIS Telah banyak hipotesa diajukan untuk menerangkan patogenesis endometriosis, tapi hingga kini belum ada satupun teori yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk mengukur status kesehatan ibu disuatu negara. Dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Dasar Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit periodontal adalah kondisi patologis yang ditandai adanya kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen periodontal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras. 7 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaringan lunak rongga mulut dilindungi oleh mukosa yang merupakan lapisan terluar rongga mulut. Mukosa melindungi jaringan dibawahnya dari kerusakan dan masuknya mikroorganisme

Lebih terperinci

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) RESPON INFLAMASI (RADANG) Radang pada umumnya dibagi menjadi 3 bagian Peradangan akut, merupakan respon awal suatu proses kerusakan jaringan. Respon imun,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker telah menjadi masalah kesehatan di dunia, termasuk di Indonesia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2014 menunjukkan kanker merupakan penyebab kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulut, yang dapat disebabkan oleh trauma maupun tindakan bedah. Proses

BAB I PENDAHULUAN. mulut, yang dapat disebabkan oleh trauma maupun tindakan bedah. Proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Luka merupakan kerusakan fisik yang ditandai dengan terganggunya kontinuitas struktur jaringan yang normal. 1 Luka sering terjadi dalam rongga mulut, yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengalami penyembuhan luka (Fedi dkk., 2004). Proses penyembuhan luka meliputi beberapa fase yaitu fase inflamasi,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengalami penyembuhan luka (Fedi dkk., 2004). Proses penyembuhan luka meliputi beberapa fase yaitu fase inflamasi, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luka adalah terputusnya kontinuitas sel dan jaringan tubuh yang disebabkan oleh trauma (Fedi dkk., 2004). Luka dapat disebabkan oleh trauma mekanis, suhu dan kimia (Chandrasoma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi diabetes melitus (DM) tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO

Lebih terperinci

BAB V HEMOSTASIS Definisi Mekanisme hemostasis Sistem koagulasi

BAB V HEMOSTASIS Definisi Mekanisme hemostasis Sistem koagulasi BAB V HEMOSTASIS Definisi Hemostasis adalah mekanisme tubuh untuk menghentikan perdarahan karena trauma dan mencegah perdarahan spontan. Hemostasis juga menjaga darah tetap cair. Mekanisme hemostasis Jika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh, terhitung sekitar 16% dari berat badan manusia dewasa. Kulit memiliki banyak fungsi penting, termasuk sebagai sistem pertahanan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Trombosit merupakan salah satu komponen sel darah yang tidak berinti dalam jumlah normal 150-450x10 9 sel/l. Ukuran sel ini bervariasi dengan rerata diameter 8-10 fl

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, terlihat adanya ketertarikan pada polypeptide growth factor

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, terlihat adanya ketertarikan pada polypeptide growth factor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, terlihat adanya ketertarikan pada polypeptide growth factor (PGFs) sebagai mediator biologis dalam proses regenerasi periodontal. Bahan-bahan tersebut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG. Tumbuhnya insidensi lesi yang terjadi pada tulang. rawan ditandai oleh peningkatan tajam dari individu

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG. Tumbuhnya insidensi lesi yang terjadi pada tulang. rawan ditandai oleh peningkatan tajam dari individu BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG Tumbuhnya insidensi lesi yang terjadi pada tulang rawan ditandai oleh peningkatan tajam dari individu dalam bidang olahraga dan terjadinya penekanan lebih besar pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan gangguan integritas jaringan yang menyebabkan kerusakan

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan gangguan integritas jaringan yang menyebabkan kerusakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Luka merupakan gangguan integritas jaringan yang menyebabkan kerusakan dan biasanya berhubungan dengan hilangnya fungsi. 1 Saat barier rusak akibat ulkus, luka

Lebih terperinci

Proses Penyembuhan Fraktur (Regenerasi Tulang)

Proses Penyembuhan Fraktur (Regenerasi Tulang) Proses Penyembuhan Fraktur (Regenerasi Tulang) Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk memperbaiki kerusakan kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyembuhan luka merupakan proses yang dinamis, meliputi empat fase, yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan luka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam Global Burden Disease Report, World Health Organization (WHO)

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam Global Burden Disease Report, World Health Organization (WHO) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian luka pada kecelakaan seiring waktu semakin meningkat. Dalam Global Burden Disease Report, World Health Organization (WHO) melaporkan kecelakaan lalu lintas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dkk., 2006). Secara fisiologis, tubuh manusia akan merespons adanya perlukaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dkk., 2006). Secara fisiologis, tubuh manusia akan merespons adanya perlukaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gingiva merupakan bagian dari mukosa rongga mulut yang menutupi tulang alveolar pada kedua rahang dan mengelilingi leher gigi (Reddy, 2008). Perlukaan pada gingiva sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. oleh dokter gigi untuk menghilangkan gigi dari dalam soketnya dan menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. oleh dokter gigi untuk menghilangkan gigi dari dalam soketnya dan menyebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencabutan gigi adalah salah satu tindakan bedah minor yang dilakukan oleh dokter gigi untuk menghilangkan gigi dari dalam soketnya dan menyebabkan perlukaan (Wray dkk.,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang memiliki efek analgetik, antipiretik dan antiinflamasi yang bekerja secara perifer. Obat ini digunakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan pada

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan pada BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Data hasil penelitian jumlah netrofil yang menginvasi cairan intraperitoneal mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Endometriosis adalah pertumbuhan jaringan (sel-sel kelenjar dan stroma) abnormal mirip endometrium (endometrium like tissue) diluar kavum uterus. Terutama pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aktivasi koagulasi dan fibrinolitik merupakan bagian dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. Aktivasi koagulasi dan fibrinolitik merupakan bagian dari sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivasi koagulasi dan fibrinolitik merupakan bagian dari sistem hemostasis dalam upaya menjaga homeostasis tubuh terhadap terjadinya perdarahan atau trombosis. 1 Trombosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker merupakan pertumbuhan yang cepat dan abnormal pada sel, tidak terkontrol, dan tidak terlihat batasan yang jelas dengan jaringan yang sehat serta mempunyai sifat

Lebih terperinci

Mekanisme Pembekuan Darah

Mekanisme Pembekuan Darah Mekanisme Pembekuan Darah Pada pembuluh darah yang rusak, kaskade koagulasi secara cepat diaktifasi untuk menghasilkan trombin dan akhirnya untuk membentuk solid fibrin dari soluble fibrinogen, memperkuat

Lebih terperinci

KEBUTUHAN DASAR MANUSIA KONSEP LUKA

KEBUTUHAN DASAR MANUSIA KONSEP LUKA KEBUTUHAN DASAR MANUSIA KONSEP LUKA Oleh Kelompok 7 Vera Tri Astuti Hsb (071101030) Nova Winda Srgh (071101031) Hafizhoh Isneini P (071101032) Rini Sri Wanda (071101033) Dian P S (071101034) Kulit merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Nurdiana dkk., 2008). Luka bakar merupakan cedera yang mengakibatkan

I. PENDAHULUAN. (Nurdiana dkk., 2008). Luka bakar merupakan cedera yang mengakibatkan I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Luka bakar merupakan salah satu insiden yang sering terjadi di masyarakat khususnya rumah tangga dan ditemukan terbayak adalah luka bakar derajat II (Nurdiana dkk., 2008).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 ANATOMI DAN FUNGSI PERITONEUM. Peritoneum merupakan selapis sel mesotelium komplek dengan membran basalis yang ditopang oleh jaringan ikat yang kaya akan pembuluh darah.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang sering terjadi pada kulit

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang sering terjadi pada kulit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang sering terjadi pada kulit atau jaringan akibat adanya kontak dengan listrik, api, pajanan suhu yang tinggi dari matahari,

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. bagi mikroorganisme dan menghilangkan kelebihan eksudat.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. bagi mikroorganisme dan menghilangkan kelebihan eksudat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kulit adalah salah satu organ terbesar dalam tubuh. Kulit menutupi tubuh 2 m 2, berat sekitar 3 kg atau 15% dari berat badan dan menerima 1/3 suplai sirkulasi darah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekaligus juga meningkatkan resiko persalinan prematur. KPD yang terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. sekaligus juga meningkatkan resiko persalinan prematur. KPD yang terjadi pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehamilan dengan ketuban Pecah Dini (KPD) masih merupakan masalah penting dalam bidang obstetri, karena berkaitan dengan penyulit atau komplikasi yang dapat meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Adhesi Peritoneal Adhesi peritoneal adalah perlengketan abnormal antara permukaan peritoneum yang berdekatan, baik antara peritoneum viserale, maupun antara peritoneum

Lebih terperinci

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini studi tentang hubungan antara makanan dan kesehatan memerlukan metode yang mampu memperkirakan asupan makanan biasa. Pada penelitian terdahulu, berbagai upaya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tiga jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. yang berasal dari implantasi endometriosis dan pertumbuhan jaringan. endometrium yang mencapai rongga peritoneal.

BAB I. Pendahuluan. yang berasal dari implantasi endometriosis dan pertumbuhan jaringan. endometrium yang mencapai rongga peritoneal. BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Penelitian. Endometriosis merupakan penyakit yang timbul pada 10% wanita reproduktif dan memiliki gejala nyeri pelvis, dismenorea, dan infertilitas. 1 Endometriosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan insufisiensi vaskuler dan neuropati. 1

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan insufisiensi vaskuler dan neuropati. 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum pada penderita diabetes melitus merupakan komplikasi kronis berupa makroangiopati dan mikroangiopati yang paling sering kita jumpai diakibatkan

Lebih terperinci

I.! PENDAHULUAN. A.!Latar Belakang Masalah. Kasus kerusakan tulang pada bidang kedokteran gigi dapat disebabkan oleh

I.! PENDAHULUAN. A.!Latar Belakang Masalah. Kasus kerusakan tulang pada bidang kedokteran gigi dapat disebabkan oleh I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Kasus kerusakan tulang pada bidang kedokteran gigi dapat disebabkan oleh berbagai hal. Nekrosis jaringan pulpa dan penyakit periodontal, misalnya, dapat menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi hiperurisemia pada populasi manusia cukup tinggi. Studi di Amerika tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi hiperurisemia sebesar 21,2% pada pria dan 21,6%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fibrovaskuler menyerupai sayap, merupakan lipatan dari konjungtiva yang

BAB I PENDAHULUAN. fibrovaskuler menyerupai sayap, merupakan lipatan dari konjungtiva yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pterigium merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan pertumbuhan jaringan fibrovaskuler menyerupai sayap, merupakan lipatan dari konjungtiva yang menginvasi bagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. kehamilan ektopik yang berakhir dengan keadaan ruptur atau abortus. 12 Kehamilan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. kehamilan ektopik yang berakhir dengan keadaan ruptur atau abortus. 12 Kehamilan 24 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Definisi Kehamilan Ektopik Terganggu Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang terjadi diluar rongga uteri. Lokasi tersering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskuler merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh adanya gangguan pada jantung dan pembuluh darah. Data World Heart Organization menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. makroskopis (in vivo), hasil FTIR dan hasil uji kemampuan absorbsi tentang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. makroskopis (in vivo), hasil FTIR dan hasil uji kemampuan absorbsi tentang BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan disajikan hasil pengumpulan data dari observasi makroskopis (in vivo), hasil FTIR dan hasil uji kemampuan absorbsi tentang pengaruh kasa hidrogel paduan kitosan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengambil kebijakan di bidang kesehatan. Beberapa dekade belakangan ini,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengambil kebijakan di bidang kesehatan. Beberapa dekade belakangan ini, 9 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang mempunyai karakterisktik meningkatnya nilai glukosa plasma darah. Kondisi hiperglikemia ini diakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sembuh tanpa jaringan parut. Penyembuhan fraktur bisa terjadi secara langsung atau

BAB I PENDAHULUAN. sembuh tanpa jaringan parut. Penyembuhan fraktur bisa terjadi secara langsung atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat partial ataupun total. 1 Penyembuhan fraktur adalah sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Kemajuan di bidang kedokteran merupakan hal yang. tidak dapat dipungkiri pada saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Kemajuan di bidang kedokteran merupakan hal yang. tidak dapat dipungkiri pada saat ini. 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kemajuan di bidang kedokteran merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri pada saat ini. Penemuan dan penelitian yang baru pun sangat dinantikan dan dibutuhkan manfaatnya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Proses Penyembuhan Fraktur Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk memperbaiki kerusakan kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Luka bakar merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Hal ini disebabkan karena tingginya angka mortalitas dan morbiditas luka bakar, khususnya pada negara dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. sering dikeluhkan oleh masyarakat Indonesia. Menurut Survei Kesehatan Rumah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. sering dikeluhkan oleh masyarakat Indonesia. Menurut Survei Kesehatan Rumah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penyakit gigi dan mulut termasuk ke dalam sepuluh besar penyakit yang sering dikeluhkan oleh masyarakat Indonesia. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan dalam masyarakat, terutama pada wanita dan usia lanjut. Walaupun penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan dalam masyarakat, terutama pada wanita dan usia lanjut. Walaupun penyakit ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit batu kandung empedu atau kolelitiasis merupakan penyakit yang lazim ditemukan dalam masyarakat, terutama pada wanita dan usia lanjut. Walaupun penyakit ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kontributor utama terjadinya aterosklerosis. Diabetes mellitus merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. kontributor utama terjadinya aterosklerosis. Diabetes mellitus merupakan suatu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 adalah insiden kardiovaskuler yang didasari oleh proses aterosklerosis. Peningkatan Agregasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan suatu golongan penyakit ditandai dengan adanya pembelahan sel yang berlangsung secara tidak terkendali serta berkaitan dengan kemampuan sel sel dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Proses menjadi tua merupakan suatu proses menghilangnya secara bertahap

BAB 1 PENDAHULUAN. Proses menjadi tua merupakan suatu proses menghilangnya secara bertahap 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Proses menjadi tua merupakan suatu proses menghilangnya secara bertahap kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri, mempertahankan struktur dan fungsi normalnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang memiliki penyakit ginjal stadium akhir, pasien dengan transplantasi ginjal mempunyai harapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. periodontitis. Dalam kondisi kronis, periodontitis memiliki gambaran klinis berupa

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. periodontitis. Dalam kondisi kronis, periodontitis memiliki gambaran klinis berupa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia kedokteran gigi erat sekali kaitannya dengan penyakit yang dapat berujung pada kerusakan atau defek pada tulang alveolar, salah satunya adalah periodontitis. Dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat

BAB 1 PENDAHULUAN. Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat yang memiliki khasiat analgetik, antipiretik, serta anti radang dan banyak digunakan untuk menghilangkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

Urutan mekanisme hemostasis dan koagulasi dapat dijelaskan sebagai berikut:

Urutan mekanisme hemostasis dan koagulasi dapat dijelaskan sebagai berikut: MEKANISME HEMOSTASIS Urutan mekanisme hemostasis dan koagulasi dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Segera setelah pembuluh darah terpotong atau pecah, rangsangan dari pembuluh darah yang rusak itu menyebabkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakkan jaringan untuk menghancurkan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kulit merupakan barier penting tubuh terhadap lingkungan termasuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kulit merupakan barier penting tubuh terhadap lingkungan termasuk PENDAHULUAN Latar Belakang Kulit merupakan barier penting tubuh terhadap lingkungan termasuk mikroorganisme. Gangguan atau kerusakan pada struktur anatomi kulit dengan hilangnya fungsi yang berturut-turut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Luka adalah kasus yang paling sering dialami oleh manusia, angka kejadian luka

BAB I PENDAHULUAN. Luka adalah kasus yang paling sering dialami oleh manusia, angka kejadian luka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Luka jaringan lunak rongga mulut banyak dijumpai pada pasien di klinik gigi. Luka adalah kasus yang paling sering dialami oleh manusia, angka kejadian luka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan kasus cedera yang sering dialami oleh setiap manusia. Luka

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan kasus cedera yang sering dialami oleh setiap manusia. Luka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Luka merupakan kasus cedera yang sering dialami oleh setiap manusia. Luka itu sendiri didefinisikan sebagai hilangnya integritas epitelial dari kulit. (Cohen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum diketahui. IBD terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jaringan, setelah transplantasi gigi. Meskipun ada kemungkinan bahwa prosedur

BAB I PENDAHULUAN. jaringan, setelah transplantasi gigi. Meskipun ada kemungkinan bahwa prosedur BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bone grafting merupakan prosedur kedua terbanyak dalam hal transplantasi jaringan, setelah transplantasi gigi. Meskipun ada kemungkinan bahwa prosedur ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ulcerative Colitis (UC) termasuk dalam golongan penyakit Inflammatory Bowel Disease (IBD). Keadaan ini sering berlangsung kronis sehingga dapat mengarah pada keganasan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah tanaman kembang bulan [Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray].

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah tanaman kembang bulan [Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray]. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu bahan alam berkhasiat obat yang banyak diteliti manfaatnya adalah tanaman kembang bulan [Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray]. Tanaman kembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. trauma dan tindakan bedah mulut dan maksilofasial. Tindakan bedah mulut dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. trauma dan tindakan bedah mulut dan maksilofasial. Tindakan bedah mulut dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera saraf tepi merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi pasca trauma dan tindakan bedah mulut dan maksilofasial. Tindakan bedah mulut dan maksilofasial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang diawali terjadinya ketuban pecah dini. Akan tetapi sulit menentukan

BAB I PENDAHULUAN. yang diawali terjadinya ketuban pecah dini. Akan tetapi sulit menentukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini mortalitas dan morbiditas neonatus pada bayi preterm / prematur masih sangat tinggi. Hal ini berkaitan dengan maturitas organ pada bayi lahir seperti

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. saluran usus (Price, 1997 : 502). Obserfasi usus aiau illeus adalah obstruksi

BAB I KONSEP DASAR. saluran usus (Price, 1997 : 502). Obserfasi usus aiau illeus adalah obstruksi BAB I KONSEP DASAR A. Pengertian Obstruksi usus atau illeus adalah gangguan aliran normal isi usus sepanjang saluran usus (Price, 1997 : 502). Obserfasi usus aiau illeus adalah obstruksi saluran cerna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa tipe dari luka, diantaranya abrasi, laserasi, insisi, puncture,

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa tipe dari luka, diantaranya abrasi, laserasi, insisi, puncture, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Luka merupakan rusaknya permukaan kulit/mukosa yang menghasilkan perdarahan. Luka dapat disebabkan oleh 2 faktor, yaitu faktor fisik dan kimia. Terdapat beberapa

Lebih terperinci

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Serviks Kanker serviks merupakan penyakit yang umum ditemui di Hong Kong. Kanker ini menempati peringkat kesepuluh di antara kanker yang diderita oleh wanita dengan lebih dari 400 kasus baru setiap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi yang biasa disebut juga dengan peradangan, merupakan salah satu bagian dari sistem imunitas tubuh manusia. Peradangan merupakan respon tubuh terhadap adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21. World Health. Organization (WHO) melaporkan bahwa pada tahun 2000 jumlah

BAB I PENDAHULUAN. ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21. World Health. Organization (WHO) melaporkan bahwa pada tahun 2000 jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang menjadi ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa

Lebih terperinci

Migrasi Lekosit dan Inflamasi

Migrasi Lekosit dan Inflamasi Migrasi Lekosit dan Inflamasi Sistem kekebalan bergantung pada sirkulasi terusmenerus leukosit melalui tubuh Untuk Respon kekebalan bawaan - berbagai limfosit, granulosit, dan monosit dapat merespon Untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Fraktur femur memiliki insiden berkisar dari 9,5-18,9 per per

BAB 1 PENDAHULUAN. Fraktur femur memiliki insiden berkisar dari 9,5-18,9 per per BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fraktur femur memiliki insiden berkisar dari 9,5-18,9 per 100.000 per tahun. 1 Sekitar 250.000 kejadian fraktur femur terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Jumlah

Lebih terperinci