Pengaruh Aliran Legisme Dalam Putusan Hakim di Indonesia (The Influence of Positivism Thought in Judge s Decision in Indonesia) Oleh Muhammad Nur 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pengaruh Aliran Legisme Dalam Putusan Hakim di Indonesia (The Influence of Positivism Thought in Judge s Decision in Indonesia) Oleh Muhammad Nur 1"

Transkripsi

1 Pengaruh Aliran Legisme Dalam Putusan Hakim di Indonesia (The Influence of Positivism Thought in Judge s Decision in Indonesia) Oleh Muhammad Nur 1 Abstract Positivism or Legism Thought, which was expanded during Middle Age in Europe, stands on the point that there is no law but act/ordinance, only act/ordinance could be as legal source. This belief was followed by lawyers and legal makers in 19th century in Netherland. This influence the making of legislation process in Netherlands Indies which is stated on Article 15 AB. If we look at the enforcement of law in Indonesian courts, the judges are given the authority to trial the case, the judges can not refuse the case by the reason of there is no regulation about that case, but the judges must find the law.in fact, the judges in Indonesia mostly are influenced by the legism thought, because of the court doctrin and tradition in Indonesia. It is also supported by legal education system and judges way of thinking, which often using formal logic silogism deductively. Keywords: Legism Thought, Judge s Decision, Indonesia. A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Aliran Positivisme/Legisme merupakan suatu aliran (mazhab) penemuan hukum yang berkembang pada abad pertengahan di Eropa. Mazhab ini berpendirian bahwa tiada hukum diluar Undang-Undang. Jadi menurut mereka hanya undangundang yang menjadi sumber hukum, selain undang-undang tidak diakui sebagai sumber hukum. Pandangan Legisme ini dikemukakan dalam zaman pikiran rasionalis, menurut Utrecht pikiran ini didasarkan pada dua hal, yaitu : a. Hukum yang ditentukan dalam undang-undang ialah hasil pekerjaan badan legislatif yang menggunakan rasio (akal), maka dari itu hanya peraturan undang-undang yang dapat menjadi hukum; 1 Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

2 Pengaruh Aliran Legisme Dalam Putusan Hakim di Indonesia (Muhammad Nur) b. Hukum kebiasaan tidak mungkin diterima sebagai hukum yang sungguhsungguh, karena corak kebiasaan itu berlain-lainan menurut waktu dan tempat, jadi tidak dapat disesuaikan dengan kepercayaan pada suatu hukum alam yang sifatnya tetap dan tidak berubah-ubah dimana-mana juga pada waktu apapun. 2 Pandangan teori legisme ini memberikan makna bahwa kebiasaan tidak dapat diterima sebagai hukum, sehingga apabila undang-undang tidak mengatur tentang sesuatu hal, maka dengan sendirinya akan terjadi kekosongan hukum. Hal ini tentu saja akan merugikan masyarakat pencari keadilan, karena tidak semua persoalan hidup masyarakat ternyata diatur secara lengkap dalam suatu peraturan. Artinya ada hal-hal yang specifik dalam pergaulan hidup masyarakat terlupakan oleh pembuat undang-undang untuk diatur dalam sebuah undang-undang. Teori legisme dianut oleh ilmu hukum maupun pembuat undang-undang pada abad ke-19 di Negeri Belanda, pada waktu hukum privat Belanda dikodifikasi pada tahun Pengaruh ini tentu saja sangat dirasakan dalam kodifikasi hukum privat di Hindia Belanda (Indonesia) yang dilakukan pada tahun 1848, melalui azas konkordansi. Oleh karena itu ajaran legisme juga dapat dirasakan di Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal 15 AB yang menentukan bahwa : Selain dari pada pengecualian-pengecualian yang telah ditetapkan tentang Bumiputera dan orangorang yang dipersamakan dengan mereka, maka kebiasaan tidak menimbulkan hukum kecuali dan hanya apabila undang-undang menunjuk kepada itu. Apabila dilihat dalam prosedur penegekan hukum di Pengadilan, kepada hakim diberikan kewenangan untuk menyelesaikan perkara yang diajukan ke pengadilan. Di mana hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hukum atau hukum kurang jelas mengaturnya. Hal ini secara tegas ditentukan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu : Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dengan demikian dalam suatu proses pengadilan di Indonesia, hakim dibebankan untuk menerima dan memutuskan setiap perkara yang diajukan 2 E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1961, hal

3 Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN kepadanya. Jadi hakim tidak boleh beralasan bahwa hukum tidak mengatur tentang perkara yang diajukan kepadanya, sehingga perkara tersebut harus ditolak. Akan tetapi adalah kewajiban untuk menggali hukum yang hidup dalam masyarakat apabila dalam undang-undang tidak ada pengaturan tentang hal tersebut. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapatlah dirumuskan permasalahan yaitu: Apakah hakim di Indonesia dipengaruhi oleh aliran Legisme dalam melahirkan putusannya? B. PEMBAHASAN 1. Mazhab Legisme/Positivisme Perundang-Undangan Proses lahirnnya mazhab positivisme ini berkaitan dengan permasalahan hukum yang timbul dalam masyarakat, dimana sebelum tahun 1800 umat manusia hanya mengenal hukum tidak tertulis, yang berupa hukum kebiasaan. 3 Sebagai reaksi terhadap ketidakpastian dan ketidakseragaman hukum, maka timbullah usaha untuk penyeragaman hukum melalui jalan kodifikasi. Permasalahan yang timbul selanjutnya adalah menyangkut dengan apa yang menjadi satu-satunya sumber hukum. Sehingga lahirlah aliran penemuan hukum yang bertitik tolak pada pandangan apa yang merupakan satu-satunya sumber hukum. Dengan demikian aliran positivisme undang-undang/legisme merupakan salah satu aliran tentang ajaran sumber hukum. Usaha pengkodifikasian hukum di eropa pada abad ke-19 ditujukan untuk seragamnya hukum yaitu dengan cara menuangkan hukum secara lengkap dan sistematis dalam Kitab Undang-undang. Hukum kebiasaan sebagai sumber hukum mulai ditinggalkan, di Perancis pada akhir abad ke-18 diadakan kodifikasi dan dicontoh oleh seluruh Eropa. Timbulnya gerakan kodifikasi ini disertai dengan lahirnya aliran legisme. 4 Mazhab positivisme undang-undang /legisme memandang bahwa satusatunya sumber hukum adalah undang-undang, yang dianggap cukup jelas dan 3 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Jokjakarta, 2007, hal I b I d., hal

4 Pengaruh Aliran Legisme Dalam Putusan Hakim di Indonesia (Muhammad Nur) lengkap, sehingga hakim hanyalah berkewajiban menerapkan peraturan hukum pada peristiwa konkritnya, dengan bantuan metode penafsiran terutama penafsiran gramatikal. 5 Menurut John Austin, dalam Lili Rasyidi menegaskan bahwa hukum itu sebagai a command of the Lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. hukum dianggap sebagai suatu sistem yanng logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). 6 Menurut E. Utrecht aliran legisme ini dikemukakan dalam zaman pikiran rasionalistis berdasarkan dua hal, yaitu : a. Hukum yang ditentukan dalam undang-undang ialah hasil pekerjaan badan legislatif yang menggunakan rasio (akal), maka dari itu hanya peraturan undang-undang yang dapat menjadi hukum; b. Hukum kebiasaan tidak mungkin diterima sebagai hukum yang sungguhsungguh, karena corak kebiasaan itu berlain-lainan menurut waktu dan tempat, jadi tidak dapat disesuaikan dengan kepercayaan pada suatu hukum alam yang sifatnya tetap dan tidak berubah-ubah dimana-mana juga pada waktu apapun. 7 Pandangan legisme bahwa undang-undang merupakan satu-satunya sumber hukum, dapat dilakukan melalui subsumptie. Untuk melaksanakan subsumptie ini diperlukan persyaratan yaitu : a. Undang-Undang harus bersifat umum (berlaku bagi setiap orang); b. Ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya harus dirumuskan secara abstrak (berlaku umum); c. Sistem peraturannya harus lengkap, sehingga tidak ada kekosongankekosongan. 8 5 I b I d. 6 Lili Rasjidi dan Tania Rasyidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1961, hal Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal.95 49

5 Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN Teori Legisme ini juga diikuti oleh Montesque, melalui trias politicanya, yang menyatakan bahwa tidak ada tempat untuk kebiasaan sebagai sumber hukum yang bebas. Jadi aliran ini berpendapat bahwa semua hukum itu berasal dari kehendak penguasa tertinggi, dalam hal ini kehendak pembentuk undang-undang. Oleh karena itu semua hukum terdapat dalam undang-undang. Berdasarkan pandangan ini, maka hanya undang-undanglah yang dapat menjadi sumber hukum, karena pengakuan kebiasaan sebagai sumber hukum berarti mengakui kekuasaan tertinggi lain di samping kekuasaan negara tertinggi (pembentuk undang-undang). Pembentuk undang-undang pada waktu itu ingin mencegah ketidak pastian dan ketidak seragaman hukum dengan mengabaikan hukum kebiasaan dan yurisprudensi. Hukum dan undang-undang itu identik. Usaha kearah kodifikasi ini hanya dapat dipahami melalui ajaran tentang pembagian kekuasaan yang mendapat pengaruh dari Montesquie dan harus dilihat dengan latar belakang pandangan negara liberal. Dalam ajaran trias politika tidak ada tempat untuk hukum kebiasaan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri. Penciptaan atau pembentukan hukum adalah monopoli pembentuk undang-undang. Rousseau dalam teorinya Kedaulatan rakyat menegaskan bahwa kehendak bersama dari rakyat (volente generale) adalah kekuasaan tertinggi. Undang-undang sebagai pernyataan kehendak rakyat satu-satunya sebagai sumber hukum, kebiasaan hanya dapat berlaku sebagai undang-undang secara diam-diam. 9 Berdasarkan mazhab ini, hukum adalah apa yang dibuat oleh badan legislatif, apabila suatu kaedah tidak ditentukan oleh badan legislatif ataupun yang bukan merupakan kehendak rakyat (volente generale) maka kaedah itu tidak merupakan kaedah hukum. 10 Mazhab legisme ini mendasarkan pendapatnya pada ajaran filsafat positivisme baik dari Montesquei maupun Rossuea. Negara menurut aliran filsafat ini merupakan lembaga hukum terpenting, karena negara mewujudkan medan in optima forma yang didalamnya politik dijalankan. Negara melambangkan dan mengkonkretkan struktur kewibawaan yang didalamnya orang-orang menjalani kehidupan. Di dalam negara 9 Van Aveldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hal Syafruddin Kalo, Modul Kuliah Penemuan Hukum, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumtarea Utara, Medan, 2005, hal.1 50

6 Pengaruh Aliran Legisme Dalam Putusan Hakim di Indonesia (Muhammad Nur) juga aspek normatif memainkan peranan sentral, yang menampakkan diri dalam dua segi. 11 Aliran filsafat ini melihat negara sebagai lembaga yang sangat penting, negara punya kedaulatan, artinya kemauan berkuasa dari kewibawaan yang mengambil keputusan. Tanpa ada kedaulatan tidak ada kewibawaan. Negara adalah sumber hukum, sejauh ia menciptakan hukum dan menjamin penegakan dan pelaksanaannya. Negara juga terikat pada hukum sejauh produksi hukum itu tidak sewenang-wenang. Sebagai lembaga sesungguhnya negara memiliki tugas in optima forma untuk mewujudkan ide hukum. Sebagai konsekwensi dari kewibaan negara tersebut maka satu-satunya sumber hukum yang diakui adalah undang-undang karena dibuat lembaga yang kedudukannya paling tinggi. Sedangkan kebiasaan tidak dibuat oleh lembaga yang mempunyai kekuasaan, sehingga kedudukannya sebagai sumber hukum tidak diterima, kecuali ditentukan oleh undang-undang sebagai sumber hukum. Menurut pandangan klasik yang dikemukakan oleh Montequieu dan Kant, hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya tidak menjalankan peranannya secara mandiri. Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong undang-undang (bauche de la loi), sehingga tidak dapat mengubah kekuatan hukum undang-undang, tidak dapat menambah atau menguranginya. 12 Kedudukan hakim yang tidak mandiri tersebut disebabkan undang-undang merupakan satu-satunya sumber hukum positif, oleh karena itu demi kepastian hukum, kesatuan hukum serta kebebasan warga negara yang terancam oleh kebebasan hakim, maka hakim harus di bawah undang-undang. Jadi pengadilan merupakan bentuk silogisme, yaitu bentuk berpikir logis dengan mengambil kesimpulan dari hal yang umum (premis mayor) dan hal yang khusus (premis minor). Premis mayornya adalah undang-undang ( Barang siapa mencuri dihukum ), premis minornya adalah peristiwa atau kasusnya (Suto mencuri), sedangkan putusannya merupakan kesimpulan yang logis (Karena Suto mencuri, maka harus dihukum). Karena kesimpulan logis itu tidak pernah berisi lebih dari isi premis, maka undangundang tidak akan berisi lebih dari yang terdapat dalam undang-undang dalam 11 Meuwissen, Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, (Terj. Arief Sidharta), Refika Aditama, Bandung, 2008, hal Sudikno Mertokusumo, Op. cit., hal

7 Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN hubungannya dengan peristiwa hukum. Demikian pula suatu putusan hakim tidak akan berisi atau meliputi lebih dari apa yang terdapat dalam undang-undang yang berhubungan dengan peristiwa konkrit. Namun kebiasaan sebagai sumber hukum juga merupakan suatu fenomena, sehingga perlu ada jalan keluar bagi berlakunya kebiasaan sebagai sumber hukum yaitu harus ditunjuk oleh undang-undang. Menurut Sudikno Mertokusumo : Apabila tidak ada penegasan mengenai penunjukan seperti misalnya bunyi pasal 15 AB, maka hukum kebiasaan dianggap berlaku secara diam-diam dan diciptakan fiksi bahwa hukum kebiasaan mempunyai kekuatan mengikat bukan karena kebiasaan, yaitu bahwa prilaku yang diulang mempunyai kekuatan mengikat, tetapi karena kehendak pembentuk undang-undang, baik yang tegas maupun secara diam-diam Putusan Hakim dan Penemuan Hukum di Indonesia Istilah penemuan hukum masih diperselisihkan, apakah tidak sebaiknya pelaksanaan hukum, atau penerapan hukum, pembentukan hukum atau penciptaan hukum. Pelaksanaan hukum berarti menjalankan hukum tanpa adanya sengketa atau pelanggaran. Penerapan hukum tidak lain berarti menerapkan hukum yang abstraks pada peristiwanya dan pembentukan hukum adalah merumuskan peraturan-peraturan umum yang berlaku bagi umum sedangkan penciptaan hukum memberi kesan bahwa hukumnya sama sekali tidak ada kemudian baru diciptakan. 14 Penemuan hukum yaitu proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit. 15 Oleh karena hakim turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan yang tidak, maka hakim itu menjalankan rechtsvinding (turut serta menemukan hukum) 16. Dengan demikian maka penemuan hukum yaitu proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu. Penemuan hukum ini 13 I b I d., hal Lihat I b I d., hal I b I d., hal Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal

8 Pengaruh Aliran Legisme Dalam Putusan Hakim di Indonesia (Muhammad Nur) berkaitan dengan aspek kehidupan manusia yang sangat luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam suatu peraturan perundangundangan dengan tuntas dan jelas. Oleh karena itu, sangat wajar apabila tidak ada peraturan perundangundangan yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan manusia, sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap dan jelas sejelas-jelasnya. Karenanya hukum tidak lengkap dan tidak jelas, maka hukum harus dicari dan diketemukan. Jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit 17. Penemuan hukum (Rechtsvinding) konotasinya seolah-olah hukum itu telah ada, hakim tinggal mencarinya dalam peraturan perundang-undangan. Tetapi dalam proses penegakan hukum tidak jarang ditemukan bahwa undang-undang itu tidak pernah lengkap dan sempurna, bahkan acapkali suatu peristiwa konkrit yang terjadi sama sekali tidak ada diatur dalam undang-undang. Dalam hal ini hakim harus mencari dan membentuk hukum (Rechtsvorming)-nya sendiri. Kenyataan ini membuat orang lebih suka memakai istilah pembentukan (Rechtsvorming) dari pada penemuan hukum (Rechtsvinding). Menurut Chainur Arrasyid, tugas hakim sebagai penegak hukum dan keadilan bukan saja mengadili berdasarkan hukum-hukum yang ada, tetapi lebih mendalam lagi mencari, dan menemukan untuk kemudian menuangkan dalam keputusannya, nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. 18 Penemuan hukum merupakan salah satu bentuk kebebasan yang diberikan kepada Pengadilan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa : Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menagakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Merdeka disini berarti bebas. Kebebasan peradilan atau hakim ialah bebas untuk mengadili dan bebas dari campur tangan dari pihak ekstra yudisiil I b I d., hal Chainur Arrasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal I b I d., hal

9 Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN Kebebasan hakim tidak berarti bahwa hakim bebas sekehendak hatinya dalam melaksanakan peradilan, akan tetapi hakim tetap tunduk dibawah aturan undangundang. Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menentukan bahwa: Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Dengan demikian maka kebebasan hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan dibatasi oleh hukum itu sendiri. Oleh karena itu dalam melaksanakan tugas sebagai penegak hukum dan keadilan, maka hakim dibebankan untuk menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hakim sama sekali tidak boleh menolak untuk menerima perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan bahwa hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Dalam Pasal 10 ayat (1) UU. No. 48 Tahun 2009 ditegaskan bahwa: Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,mengadili,dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya Kewajiban hakim dalam menjalankan fungsinya dipertegas lagi dalam Pasal 5 ayat (1) UU. No. 48 Tahun 2009 yang menentukan: (1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pasal 8 ayat (2) menegaskan bahwa: (2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Hakim sebagai organ pengadilan dianggap sebagai memahami hukum. Pencari keadilan datang kepadanya untuk mencari keadilan. Andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk merumus berdasarkan sebagai orang yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan demikian jelas bahwa hakim dalam melaksanakan fungsinya sebagai penegak hukum dan keadilan tidak boleh untuk menolak menerima perkara yang diajukan dengan asalasan hukum tidak jelas atau tidak ada hukum. Hakim wajib untuk menerima perkara dan menggali hukum terhadap perkara yang diterimanya, sehingga keadilan dapat dinikmati oleh para pencari keadilan. Menggali berarti hukumnya ada, tetapi masih harus digali, dicari dan ditemukan, bukannnya tidak ada hukum, lalu diciptakan. Menurut Van Apeldoorn, hakim harus menyesuaikan (waardern) undangundang dengan hal-hal yang konkrit yang terjadi di masyarakat dan hakim dapat menambah (aanvullen) undang-undang apabila perlu. Hakim harus menyesuaikan 54

10 Pengaruh Aliran Legisme Dalam Putusan Hakim di Indonesia (Muhammad Nur) undang-undang dengan hal-hal yang konkrit, karena undang-undang tidak meliputi segala kejadian yang timbul dalam masyarakat. Bukankah pembuat undang-undang hanya menetapkan suatu petunjuk hidup yang umum saja? Pertimbangan mengenai hal-hal yang konkrit, yaitu menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang konkrit diserahkan kepada hakim. 20 Keputusan hakim dapat memuat suatu hukum dalam suasana werkelejkheid yang menyimpang dari hukum dalam suasana positiviteit. Hakim menambah undang-undang karena pembuat undang-undang senantiasa tertinggal pada kejadian-kejadian yang baru yang timbul di masyarakat. Menurut Syarifuddin Kalo: Kemandirian hakim dalam menemukan dan pembentukan hukum itu, serta dapat menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak atau dalam mengisi ruang yang kosong dalam undang-undang, adalah tidak bertentangan dengan pasal 22 AB, karena keputusan hakim yang demikian itu hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara saja dan tidak berlaku sebagai peraturan umum. 21 Hukum di Indonesia mengenal penemuan hukum heteronom 22 sepanjang hakim terikat pada undang-undang, tetapi penemuan hukum ini juga mempunyai unsur-unsur otonom yang kuat, karena hakim sering kali harus menjelaskan atau melengkapi undang-undang menurut pandangannya sendiri. Apabila dilihat asas peradilan di Indonesia maka hakim sama sekali tidak terikat pada putusan hakim terdahulu mengenai perkara yang sejenis, tetapi akhir-akhir ini banyak hakim dalam menjatuhkan putusannya berkiblat pada pengadilan di atasnya. Menurut Sudikno Mertokusumo : Hal ini tidak berarti bahwa azasnya berubah menjadi the binding force of precedent, seperti yang dianut oleh negara-negara Anglo Saxon, tetapi terikatnya atau berkiblatnya hakim pada putusan terdahulu itu karena the persuasive force precedent, yang disebabkan karena putusan yang diikuti, yang mengikatnya itu meyakinkan hakim untuk diikuti Van Apeldoorn, Op. Cit., hal Syarifuddin Kalo, Op. Cit., hal Hakim bebas, tidak terikat pada putusan hakim lain yang pernah dijatuhkan mengenai perkara yang sejenis. Hakim berpikir deduktif dari bunyi undang-undang (umum) menuju ke peristiwa yang khusus dan akhirnya sampai pada putusan. Dalam memeriksa dan mengadili perkara hakim mendasarkan pada faktor-faktor di luar dirinya. 23 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal

11 Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN Menurut Munir Fuadi, faktor yang menyebabkan hakim di negara Eropa Kontinental, termasuk Indonesia cenderung mengikuti putusan hakim sebelumnya yaitu : 1. Karena putusan-putusan pengadilan yang tertinggi juga sering dikumpulkan, dipublikasi dan disusun secara sistematis dan tematis, sehingga para hakim cenderung untuk mengikuti putusan-putusan tersebut. 2. Para advokat yang membela perkara atau jaksa sering menggunakan dalildalil yang terdapat dalam kumpulan yurisprudensi tersebut. 3. Hal tersebut, menggiring hakim untuk memutus sesuai dengan putusan yang ada dalam kumpulan yurisprudensi tersebut. 4. Hakim sering tertarik dan simpatik dengan putusan hakim sebelumnya, atau tertarik dengan alasan dalam putusan hakim tersebut. 5. Atau karena bertumpuknya perkara yang dihadapi oleh hakim, hakim tidak sempat berpikir atau mengembangkan pikirannya tentang kasus tersebut, sehingga jalan yang paling cepat adalah dengan menuruti dalil-dalil dalam kasus serupa yang sebelumnya telah diputuskan oleh hakim lain. 6. Hakim mengikuti putusan hakim sebelumnya dari tingkat pengadilan yang lebih tinggi, untuk menghindari risiko pembatalan putusannya itu di tingkat banding atau kasasi nantinya. 24 Fungsi hakim yang bebas untuk mencari dan merumuskan nilai hukum adat dalam masyarakat, diharapkan dapat memfungsikan hukum untuk merekayasa masyarakat dalam seluruh aspek kehidupan dengan memenuhi rasa keadilan, kegunaan dan kepastian hukum secara serasi, seimbang dan selaras. Dewasa ini di Indonesia telah berkembang paham untuk memfungsikan hukum sebagai rekayasa sosial, terutama dalam hukum privat adat menjadi hukum privat nasional. Aspek yang penting dalam kehidupan hukum adalah kepastian hukum, artinya hukum berkehendak untuk menciptakan kepastian dalam hubungan antar orang dalam masyarakat. Salah satu yang berhubungan erat dengan masalah kepastian hukum adalah darimana hukum itu berasal, sehingga mempunyai kekuatan berlaku atau berlaku secara sah. Apabila berbicara tentang sumber sahnya berlaku hukum, maka 24 Munir Fuadi, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007, hal

12 Pengaruh Aliran Legisme Dalam Putusan Hakim di Indonesia (Muhammad Nur) dalam ilmu hukum dapat dilihat dari sahnya berlaku hukum secara formil dan secara materil. Sumber hukum dalam arti formil adalah dapat dilihat dari cara dan bentuk terjadinya hukum positif (ius constitutum) yang mempunyai daya laku yang mengikat para hakim dan penduduk warga masyarakat, dengan tidak mempersoalkan asal-usul dari peraturan hukum tersebut. Adapun sumber hukum formil di Indonesia meliputi : 1) Undang-Undang, baik dalam arti formil maupun dalam arti kata materil yang terdiri dari: a. Undang-Undang Dasar; b. Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah; g. Surat Keputusan dalam berbagai tingkatan. 2) Adat. 3) Kebiasaan (Customary, gewoonte). 4) Yurisprudensi. 5) Traktat. 6) Doktrin. 25 Sumber hukum dalam arti kata materil dapat dilihat dari pandangan hidup dan nilai-nilai (values) yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan keyakinan serta kesadaran hukum bangsa Indonesia. Sumber hukum dalam arti materil ini belum dapat berlaku sebagai hukum positif apabila belum dituangkan dalam bentuk-bentuk tertentu, seperti undang-undang, kebiasaan atau traktat melalui proses penciptaan, pembentukan hukum (law making, rechtsvorming), dan penemuan hukum (rechtsvinding) melalui Badan Legislatif dan lembaga peradilan (hakim) serta lembaga administrasi negara lainnya. Apakah hakim kita mampu mengembangkan pendayagunaan hukum dalam masyarakat? Ataupun menemukan hukum dan pembentukan hukum untuk mengisi kekosongan dalam hukum dan dapat menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak. Menurut Syarifuddin Kalo menegaskan bahwa: kemampuan para 25 Syarifuddin Kalo, Op.cit., hal

13 Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN hakim kita agaknya dihadapkan dengan suatu dilema, antara harapan dan kenyataan, terlebih lagi dalam Era Globalisasi ini. Kebutuhan hukum dalam masyarakat dengan cepat berkembang, sehingga para hakim diharapkan dapat menyesuaikan hukum dengan peristiwa yang konkrit dan mengambil keputusan berdasarkan hukum yang ditemukannya sendiri, dan akhirnya menjadi yurisprudensi yang tetap dan berwibawa. Dalam kenyataannya banyak faktor yang menyebabkan ketidak mampuan para hakim kita dalam menjalankan fungsinya sebagai penggali dan perumus nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. 26 Ketidakmampuan para hakim Indonesia untuk bertindak mandiri dan bebas dalam proses dan fungsi pembaharuan hukum nasional, terutama disebabkan oleh doktrin dan tradisi yang dianut dalam badan-badan pengadilan di Indonesia yang telah mengkonsepkan hakim sebatas sebagai pengucap bunyi hukum yang mereka temukan dari sumber-sumber formal yang telah ditetapkan terlebih dahulu secara doktrinal. Di samping itu pendidikan kehukuman dan kehakiman di Indonesia telah terlanjut sangat menekankan cara berpikir deduktif lewat silogisme logika formal, tanpa pernah mencoba mendedah mahasiswa juga kearah berpikir induktif yang diperlukan untuk menganalisis kasus-kasus dan beranjak dari kasus-kasus untuk mengembangkan case laws. C. PENUTUP Pada dasarnya aliran legisme yang berkembang di Eropa pada Abad pertengahan dan dibawa ke Indonesia melalui asaz konkordansi 1848 telah ditinggalkan oleh peraturan hukum di Indonesia. Namun ternyata hakim di Indonesia masih terkontaminasi dengan aliran tersebut, akibat doktrin dan tradisi yang dianut oleh badan peradilan di Indonesia di samping pendidikan hukum dan hakim yang masih menganut cara berpikir deduktif melalui silogisme berpikir logika formal. 26 I b I d., hal

14 Pengaruh Aliran Legisme Dalam Putusan Hakim di Indonesia (Muhammad Nur) DAFTAR PUSTAKA Chainur Arrasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2004 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002 Lili Rasjidi dan Tania Rasyidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002 Meuwissen, Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat (Terj. Arief Sidharta), Refika Aditama, Bandung, 2008 Munir Fuadi, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Jokjakarta, 2007 Hukum, Syafruddin Kalo, Modul Kuliah Penemuan Hukum, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumtarea Utara, Medan, Utrecht, E. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, Van Aveldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986 Sekretariat Negara, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Tentang Kekuasaan Kehakiman 59

Menjawab: Ilmu pada umumnya bertujuan: Untuk memecahkan masalah (problem solving) apa bagaimana mengapa

Menjawab: Ilmu pada umumnya bertujuan: Untuk memecahkan masalah (problem solving) apa bagaimana mengapa Ilmu pada umumnya bertujuan: Untuk memecahkan masalah (problem solving) Menjawab: apa bagaimana mengapa Sarjana Hukum mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah hukum (the power of solving legal

Lebih terperinci

PERADILAN: PROSES PEMBERIAN KEADILAN DI SUATU LEMBAGA YANG DISEBUT PENGADILAN:

PERADILAN: PROSES PEMBERIAN KEADILAN DI SUATU LEMBAGA YANG DISEBUT PENGADILAN: HUKUM YANG DICIPTAKAN MELALUI PUTUSAN PENGADILAN PERADILAN dan PENGADILAN PERADILAN: PROSES PEMBERIAN KEADILAN DI SUATU LEMBAGA YANG DISEBUT PENGADILAN PENGADILAN: LEMBAGA ATAU BADAN YANG BERTUGAS MENERIMA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara hukum menganut sistem hukum Civil Law

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara hukum menganut sistem hukum Civil Law BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia sebagai negara hukum menganut sistem hukum Civil Law (Eropa Continental) yang diwarisi selama ratusan tahun akibat penjajahan Belanda. Salah satu karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

FENOMENA DALAM KEKOSONGAN HUKUM Oleh : Hario Mahar Mitendra Diterima 19 April 2018; disetujui 26 April 2018

FENOMENA DALAM KEKOSONGAN HUKUM Oleh : Hario Mahar Mitendra Diterima 19 April 2018; disetujui 26 April 2018 FENOMENA DALAM KEKOSONGAN HUKUM Oleh : Hario Mahar Mitendra Diterima 19 April 2018; disetujui 26 April 2018 Negara Indonesia merupakan Negara hukum, sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sehingga sistem hukum Belanda pun diterapkan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi.

I. PENDAHULUAN. sehingga sistem hukum Belanda pun diterapkan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem hukum Indonesia berasal dari Belanda sebagai negara yang pernah menguasai Indonesia, sehingga sistem hukum Belanda pun diterapkan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi.

Lebih terperinci

II. Istilah Hukum Perdata

II. Istilah Hukum Perdata I. Pembidangan Hukum Privat Hukum Hukum Publik II. Istilah Hukum Perdata = Hukum Sipil >< Militer (Hukum Privat Materil) Lazim dipergunakan istilah Hukum Perdata Prof.Soebekti pokok-pokok Hukum Perdata

Lebih terperinci

PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM INDONESIA. Abstrak

PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM INDONESIA. Abstrak  PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM INDONESIA Abstrak Hukum Harus dilaksanakan dan ditegakkan, karena hukum berfungsi sebagai pelindung kepentingan manusia. Penegakan hukum harus memperhatikan unsur kepastian

Lebih terperinci

PERAN HAKIM DALAM PENEMUAN HUKUM DAN PENCIPTAAN HUKUM DALAM MENYELESAIKAN PERKARA DI PENGADILAN. Drs. ARPANI, S.H., M.H. (Hakim PA Bontang- Kaltim)

PERAN HAKIM DALAM PENEMUAN HUKUM DAN PENCIPTAAN HUKUM DALAM MENYELESAIKAN PERKARA DI PENGADILAN. Drs. ARPANI, S.H., M.H. (Hakim PA Bontang- Kaltim) PERAN HAKIM DALAM PENEMUAN HUKUM DAN PENCIPTAAN HUKUM DALAM MENYELESAIKAN PERKARA DI PENGADILAN Drs. ARPANI, S.H., M.H. (Hakim PA Bontang- Kaltim) A. Pendahuluan Kekuasaan Kehakiman dengan para Hakimnya

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN 1. Istilah dan pengertian - Hukum perdata materiil : hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak dalam hubungan perdata - Hukum perdata formil : hukum acara

Lebih terperinci

BAB. V PENEMUAN, PENAFSIRAN DAN PEMBENTUKAN HUKUM

BAB. V PENEMUAN, PENAFSIRAN DAN PEMBENTUKAN HUKUM BAB. V PENEMUAN, PENAFSIRAN DAN PEMBENTUKAN HUKUM I. PENGERTIAN PENEMUAN HUKUM PROSES PEMBENTUKAN HUKUM OLEH HAKIM ATAU PETUGAS-PETUGAS HUKUM LAINNYA YANG DIBERI TUGAS MELAKSANAKAN HUKUM TERHADAP PERISTIWA

Lebih terperinci

A.Latar Belakang Masalah

A.Latar Belakang Masalah A.Latar Belakang Masalah Setiap manusia hidup mempunyai kepentingan. Guna terpenuhinya kepentingan tersebut maka diperlukan adanya interaksi sosial. Atas interaksi sosial tersebut akan muncul hak dan kewajiban

Lebih terperinci

Pandangan tokoh Teori Sociological Jurisprudence mengenai hukum yang baik dalam. masyarakat

Pandangan tokoh Teori Sociological Jurisprudence mengenai hukum yang baik dalam. masyarakat MAKALAH TEORI HUKUM/KELAS A REGULE Pandangan tokoh Teori Sociological Jurisprudence mengenai hukum yang baik dalam masyarakat DISUSUN OLEH: MARIA MARGARETTA SITOMPUL,SH 117005012/HK PROGRAM STUDI MAGISTER

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 Keterangan Saksi Yang Diberikan di Bawah Sumpah dan Tidak Hadir Dalam Persidangan Disamakan Nilainya dengan Keterangan Saksi Di Bawah Sumpah Yang Diucapkan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. perkawinannya di Indonesia ada 2 (dua), yaitu : nikah pasangan beda agama. dispensasi perkawinan beda agama.

BAB V PENUTUP. perkawinannya di Indonesia ada 2 (dua), yaitu : nikah pasangan beda agama. dispensasi perkawinan beda agama. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Hambatan yang dihadapi oleh pasangan beda agama dalam pelaksanaan perkawinannya di Indonesia ada 2 (dua), yaitu : a. Penolakan oleh Lembaga Catatan Sipil atas pemberitahuan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. III/No. 1/Jan-Mar/2014

Lex Crimen Vol. III/No. 1/Jan-Mar/2014 KEWENANGAN HAKIM DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS PERKARA PIDANA YANG DIAJUKAN KE PENGADILAN 1 Oleh: IMMANUEL CHRISTOPHEL LIWE 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III SUMBER HUKUM

BAB III SUMBER HUKUM BAB III SUMBER HUKUM A. Pengertian Sumber Hukum Adapun yang dimaksud dengan sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

AZAS HUKUM. LIZA ERWINA, SH.M.HUM Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

AZAS HUKUM. LIZA ERWINA, SH.M.HUM Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara AZAS HUKUM LIZA ERWINA, SH.M.HUM Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara I. Pendahuluan : Pengertian azas dalam kamus Bahasa Indonesia adalah : a. Dasar, alas, pedoman misalnya batu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidup,

BAB I PENDAHULUAN. terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidup, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pergaulan hidup manusia, baik individu maupun kelompok sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidup, terutama norma hukum yang

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Chandra Furna Irawan, Ketua Pengurus Yayasan Sharia

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan

Lebih terperinci

Doktrin Precedent dan Plea Bargaining System. Oleh : Supriyanta, SH.MHum Fak. Hukum UNISRI Abstrak

Doktrin Precedent dan Plea Bargaining System. Oleh : Supriyanta, SH.MHum Fak. Hukum UNISRI Abstrak Doktrin Precedent dan Plea Bargaining System Oleh : Supriyanta, SH.MHum Fak. Hukum UNISRI Abstrak Doktrin precedent dikenal dalam tatanan hukum Anglo Saxon, dimana hakim terikat pada putusan hakim terdahulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur tindak pidana terhadap harta kekayaan yang merupakan suatu penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

BAB III. hukum khususnya dalam penyelesaian perkara-perkara di tingkat peradilan.

BAB III. hukum khususnya dalam penyelesaian perkara-perkara di tingkat peradilan. 69 BAB III AKIBAT HUKUM DALAM KEPUTUSAN HAKIM TERHADAP PENCABUTAN BERITA ACARA PEMERIKSAAN PADA SAAT DI PERSIDANGAN OLEH POLISI SEBAGAI SAKSI DALAM KASUS NARKOTIKA 3.1. Hakim dan Kedudukannya Dalam Peradilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

HUKUM PERBANKAN INDONESIA

HUKUM PERBANKAN INDONESIA HUKUM PERBANKAN INDONESIA Oleh: Irdanuraprida Idris HUKUM Dalam Pandangan Masyarakat Ketika seseorang berhadapan dengan Hukum pada saat kondisi sedang normal, orang cenderung berpandangan bahwa Hukum adalah

Lebih terperinci

Hakekat dan Karakteristik Sistem Hukum di Indonesia

Hakekat dan Karakteristik Sistem Hukum di Indonesia Modul 1 Hakekat dan Karakteristik Sistem Hukum di Indonesia Setiati Widihastuti, M.Hum. PENDAHULUAN ukum Indonesia merupakan suatu sistem hukum yang spesifik, dalam H arti ada beberapa hal yang membedakan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN TERHADAP AKTA PERDAMAIAN (ACTA VAN DADING) OLEH SALAH SATU PIHAK YANG BERPERKARA DI PENGADILAN

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN TERHADAP AKTA PERDAMAIAN (ACTA VAN DADING) OLEH SALAH SATU PIHAK YANG BERPERKARA DI PENGADILAN AKIBAT HUKUM PEMBATALAN TERHADAP AKTA PERDAMAIAN (ACTA VAN DADING) OLEH SALAH SATU PIHAK YANG BERPERKARA DI PENGADILAN Oleh : I Dewa Ayu Maheswari Adiananda Putu Gede Arya Sumerthayasa Bagian Hukum Peradilan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keadilan dan kepastian hukum tentulah menjadi dua harapan dari diberlakukannya hukum. Masyarakat yang kepentingannya tercemar akan merasa keadilannya terusik dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala

Lebih terperinci

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM Diajukan oleh: Ignatius Janitra No. Mhs. : 100510266 Program Studi Program Kehkhususan : Ilmu Hukum : Peradilan dan Penyelesaian

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan serta hal paling utama untuk dapat menentukan dapat atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu mengalami perkembangan diberbagai bidang. Perkembangan yang diawali niat demi pembangunan nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perbedaan pendapat merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia sehingga diperlukan adanya jaminan kemandirian dan kemerdekaan seseorang dalam menyampaikan

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PENIPUAN

TINJAUAN HUKUM PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PENIPUAN TINJAUAN HUKUM PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PENIPUAN (Studi Tentang Perbuatan Laki-laki Menghamili Perempuan Di Luar Nikah) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai

Lebih terperinci

SUMBER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA MAKALAH

SUMBER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA MAKALAH SUMBER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA MAKALAH Dibuat untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara Dibawah bimbingan dosen Bpk. EKO WAHYUDI, SH., MH. Oleh : KELOMPOK 3 KELAS C PROGRAM STUDI ILMU

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 14-1970::UU 35-1999 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.8, 2004 HUKUM. KEHAKIMAN. Lembaga Peradilan. Badan-badan Peradilan.

Lebih terperinci

Pengantar Ilmu Hukum Materi Sumber Hukum. Disampaikan oleh : Fully Handayani Ridwan

Pengantar Ilmu Hukum Materi Sumber Hukum. Disampaikan oleh : Fully Handayani Ridwan Pengantar Ilmu Hukum Materi Sumber Hukum Disampaikan oleh : Fully Handayani Ridwan Sebelum membahas Sumber-sumber hukum, ada baiknya perlu memahami bahwa ada tiga dasar kekuatan berlakunya hukum (peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu merasakan adanya gejolak dan keresahan di dalam kehidupan sehari-harinya, hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, negara Indonesia merupakan negara demokratis yang menjunjung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perbuatan dan Sifat melawan Hukum I. Pengertian perbuatan Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap gerak otot yang dikehendaki,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertangggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Asas kesalahan menyatakan dengan tegas

Lebih terperinci

SUMBER-SUMBER HUKUM dalam TATA HUKUM INDONESIA

SUMBER-SUMBER HUKUM dalam TATA HUKUM INDONESIA SUMBER-SUMBER HUKUM dalam TATA HUKUM INDONESIA pertanyaan yang timbul. Apa pertimbangan hakim dalam memutus perkara yang datang kepadanya? Bagaimana pembentuk peraturan merumuskan peraturannya? Apa landasan

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Usaha penanggulangan kejahatan, secara operasional dapat dilakukan melalui sarana penal maupun non penal. Menurut Muladi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi 13 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN A. Pengertian Kumulasi Gugatan Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi adalah pengumpulan; penimbunan; penghimpunan. 1 Kumulasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum. Hal ini ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni :

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni : I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) menentukan secara tegas, bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Pasal 1 ayat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Arti Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia Ketentuan Tentang Kekuasaan Kehakiman Diatur Dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA

BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA Oleh: Elsa Karina Br. Gultom Suhirman Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Regulation

Lebih terperinci

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA Disusun Dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 5-1991 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 2004 POLITIK. KEAMANAN. HUKUM. Kekuasaaan Negara. Kejaksaan. Pengadilan. Kepegawaian.

Lebih terperinci

Oleh: Achmad Rifai Mahasiswa S-3 PDIH Fakultas Hukum Unissula Jl. Raya Kaligawe, KM. 4Semarang

Oleh: Achmad Rifai Mahasiswa S-3 PDIH Fakultas Hukum Unissula Jl. Raya Kaligawe, KM. 4Semarang KEWENANGAN ABSOLUT PENGADILAN NEGERI DALAM MENGADILI SENGKETA HIBAH DI ANTARA ORANG ISLAM Kajian Putusan Pengadilan Negeri Sumenep Nomor: 04/Pdt.G/2014/PN.Smp Oleh: Achmad Rifai Mahasiswa S-3 PDIH Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hakim 1. Hakim Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undangundang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP). Sedangkan istilah hakim artinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini didasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERBUATAN HUKUM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERBUATAN HUKUM BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERBUATAN HUKUM A. Pengertian Dan Tujuan Hukum A.1. Pengertian Hukum Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, Hukum Agama dan Hukum Adat. Sebagian besar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DALAM PRESPEKTIF HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA. Efa Laela Fakhriah. Hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh

DALAM PRESPEKTIF HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA. Efa Laela Fakhriah. Hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh ACTIO POPULARIS (CITIZEN LAWSUIT ) DALAM PRESPEKTIF HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA Efa Laela Fakhriah I. Pendahuluan Hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja

Lebih terperinci

kekosongan hukum (rechtsvacuum)

kekosongan hukum (rechtsvacuum) kekosongan hukum (rechtsvacuum) Perkembangan masyarakat: lebih cepat dari perkembangan aturan peruuan sehingga: perkembangan dalam masyarakat tersebut menjadi titik tolak dari keberadaan suatu peraturan.

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

Oleh : Didit Susilo Guntono NIM. S BAB I PENDAHULUAN

Oleh : Didit Susilo Guntono NIM. S BAB I PENDAHULUAN Penegakan hukum tindak pidana pencabulan terhadap anak berdasarkan undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (studi di Pengadilan Negeri Sukoharjo) Oleh : Didit Susilo Guntono NIM. S310907004

Lebih terperinci

[DEVI SELVIYANA, SH] BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang harus dihargai dan dihormati oleh orang lain.

[DEVI SELVIYANA, SH] BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang harus dihargai dan dihormati oleh orang lain. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup berkelompok (bermasyarakat). Kehidupan bermasyarakat menuntut manusia untuk saling berinteraksi atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar hukum dan untuk mewujudkan kehidupan tata negara yang adil bagi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika. didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

BAB 1 PENDAHULUAN. Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika. didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum. Ada upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum

Lebih terperinci

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H 1 UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H A. LATAR BELAKANG Pemerintah sangat menjunjung tinggi perlindungan hukum bagi setiap warga negaranya, sehingga diperlukan pemantapan-pemantapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai kumpulan manusia, karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada sesudah meninggal.

Lebih terperinci

11 Secara umum, diartikan bahwa kerangka teori merupakan garis besar dari suatu rancangan atas dasar pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan meng

11 Secara umum, diartikan bahwa kerangka teori merupakan garis besar dari suatu rancangan atas dasar pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan meng 10 BAB II Landasan Teori 2.1. Uraian Teori Teori adalah suatu butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin

Lebih terperinci

Hukum Administrasi Negara

Hukum Administrasi Negara Hukum Administrasi Negara ASAS-ASAS HUKUM ADMINISTRASI NEGARA SUMBER-SUMBER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA KEDUDUKAN HAN DALAM ILMU HUKUM Charlyna S. Purba, S.H.,M.H Email: charlyna_shinta@yahoo.com Website:

Lebih terperinci

EKSEKUTIF, LEGISLATIF, DAN YUDIKATIF

EKSEKUTIF, LEGISLATIF, DAN YUDIKATIF EKSEKUTIF, LEGISLATIF, DAN YUDIKATIF HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA - B Adriana Grahani Firdausy, S.H., M.H. BADAN EKSEKUTIF PENGERTIAN Badan pelaksana UU yang dibuat oleh badan legislatif bersama dengan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu perjanjian dimana satu orang atau lebih mengikatkan

Lebih terperinci

BAB I. Dalam kehidupan bernegara yang semakin komplek baik mengenai. masalah ekonomi, budaya, politik, keamanan dan terlebih lagi masalah

BAB I. Dalam kehidupan bernegara yang semakin komplek baik mengenai. masalah ekonomi, budaya, politik, keamanan dan terlebih lagi masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan bernegara yang semakin komplek baik mengenai masalah ekonomi, budaya, politik, keamanan dan terlebih lagi masalah persamaan di hadapan hukum (equality

Lebih terperinci

Hukum, Negara dan Pemerintahan

Hukum, Negara dan Pemerintahan Hukum, Negara dan Pemerintahan Hukum Hukum peraturan yang memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang di buat oleh badan resmi yang berwajib, apabila melakukan pelanggaran

Lebih terperinci