KEBIJAKAN MANAJEMEN LINGKUNGAN UNTUK EMISI DIOKSIN/FURAN YANG BERSUMBER DARI INDUSTRI LOGAM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEBIJAKAN MANAJEMEN LINGKUNGAN UNTUK EMISI DIOKSIN/FURAN YANG BERSUMBER DARI INDUSTRI LOGAM"

Transkripsi

1 KEBIJAKAN MANAJEMEN LINGKUNGAN UNTUK EMISI DIOKSIN/FURAN YANG BERSUMBER DARI INDUSTRI LOGAM Lina Warlina Universitas Terbuka Erliza Noor Akhmad Fauzi Rudy C. Tarumingkeng Surjono H. Sutjahjo Institut Pertanian Bogor ABSTRACT The aim of this research is to estimate dioxin/furan emission and concentration that can be used to present an alternative policy for emission reduction. The research applied the emission factor and dispersion methods. The result of estimation indicated that the dioxin/furan pollution has already high, therefore the estimated average exposure to dioxin also above total daily intake. The approaches on reducing the emission can be through command and control (CAC) and economic instrument (EI). In CAC, it is suggested that the government develop a standard such as air ambient concentration standard, maximum emission, and standard technology, while for EI by tax regulation and fine. The research conclusion is, dioxin/furan pollution should be reduced through the combination of CAC and EI system. In addition to common rules, the policy should include public campaign, best available technology, as well as define the responsibilities in every related institution. Key words: dioxin/furan, dispersion, emission, emission factor. Perkembangan teknologi dan industri yang sangat pesat dewasa ini membawa dampak baik positif dan negatif bagi kehidupan manusia. Dampak positif diharapkan dapat menaikkan kesejahteraan manusia, namun dampak negatif dapat menurunkan kualitas hidup manusia dan menyebabkan ketidakserasian dan keseimbangan lingkungan. Perkembangan teknologi dan industri telah memberikan peran yang berarti bagi pelaksanaan pembangunan. Peningkatan populasi dalam banyak hal juga mendorong dilakukannya industrialisasi. Sebagai konsekuensi, jumlah bahan baku dan buangan industri semakin meningkat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Hal ini berdampak pada meningkatnya pencemaran dan kerusakan lingkungan, baik yang terjadi di udara, tanah ataupun air. Jenis pencemar yang berasal dari senyawa kimia, ada yang bersifat relatif resisten (tahan) terhadap degradasi secara fisik atau metabolik, yang disebut senyawa kimia yang persisten. Salah satu senyawa persisten ini adalah dioksin dan furan yang dikeluarkan sebagai hasil samping industri, pembakaran ataupun sumber lainnya. Sumber dioksin/furan tidak saja terjadi dari industri atau insenerator, tapi dapat terjadi melalui pembakaran bahan yang mengandung klor, seperti dari limbah bahan organik dan produk kertas. Kandungan klor akan meningkat dengan semakin banyaknya

2 Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 2, September 2008, limbah berbagai jenis plastik. Menurut Lemieux (dalam Sumaiku, 2004) peneliti dari National Risk Management Research Laboratory, US-EPA, pembakaran sampah rumah tangga pada kondisi pembakaran dan suhu yang rendah dapat menimbulkan gas racun dioksin/furan lebih tinggi daripada insenerator yang terkendali, oleh karena itu di AS dilarang untuk membakar sampah di udara terbuka. Emisi dioksin/furan juga terjadi pada pembuangan akhir sampah atau TPA (Widyatmoko, 1999). Dioksin dan furan merupakan 2 senyawa yang berbeda, tapi mempunyai sifat fisik ataupun kimia yang hampir sama. Pencemaran akibat senyawa tersebut memberikan dampak untuk jangka panjang maupun jangka pendek terhadap kesehatan mahluk hidup ataupun lingkungan. Sifat persisten, akumulasi dan beracun dari dioksin/furan menyebabkan pencemaran dioksin/furan berdampak besar terhadap lingkungan, kesehatan (sosial) dan ekonomi. Terhadap kesehatan, untuk jangka panjang dioksin/furan akan menyebabkan kanker, gangguan pada sistem reproduksi dan cacat lahir; sedangkan jangka pendek akan menyebabkan kerusakan hati, kehilangan berat badan ataupun penurunan sistem kekebalan tubuh (Matsusshita, 2003; NIEHS, 2001). Menurut Ackerman (2003), apabila terpapar dioksin dengan konsentrasi 1 pg/kg. berat badan/hari, maka resiko terkena kanker adalah 1%. Pemerintah Indonesia hingga kini belum memberi perhatian khusus terhadap bahaya pencemaran dioksin/furan. Hal ini terlihat dari tidak adanya perangkat kebijakan ataupun peraturan tentang tingkat pencemaran tersebut. Negara-negara seperti Amerika, Jepang dan Eropa sudah lama menyadari akan bahaya dioksin/furan yang termasuk golongan Persistent Organic Pollutants (POPs) terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Kepedulian ini ditandai dengan penyelenggaraan kesepakatan pada Konvensi POPs di Stockholm pada Mei 2001, dimana Indonesia juga turut ambil bagian pada konvensi tersebut. Konvensi ini bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari pencemaran organik persisten. Salah satu butir kesepakatan yang dihasilkan adalah ketentuan untuk menurunkan emisi dioksin/furan (Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants, 2001). Sehubungan dengan POPs, sebenarnya Indonesia telah mempunyai PP No. 74 tahun 2001 tentang pengelolaan B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) serta PP No. 18 tahun 1999 tentang pengelolaan limbah B3. PP No. 74 tahun 2001 memuat daftar B3 yang dipergunakan dan daftar B3 yang dilarang dipergunakan. Berdasarkan daftar ini, bahan kimia POPs yang dilarang adalah aldrin, chlordane, DDT, dieldrin, endrin, heptachlor, mirex, toxaphene, hexachlorobenzene serta PCBs tetapi dioksin/furan belum termasuk yang dilarang penggunaanya. Sedangkan dalam PP No. 18 tahun 1999, pada pasal 34 mengenai pengolahan limbah B3, disebutkan bahwa pada pengolahan secara thermal dengan insenerator, maka efisiensi penghilangan dioksin/furan harus mencapai 99,999%. Selain kedua kebijakan tersebut, secara makro, kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan industri dan emisi ke udara yaitu UU No. 5 tahun 1985 tentang perindustrian, KepMen LH No. 13 tahun 1995 tentang baku mutu sumber tak bergerak dan PP No. 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara. Tetapi, pada kebijakan-kebijakan tersebut juga belum tercantum parameter untuk dioksin/furan. Di Indonesia, berdasarkan hasil inventarisasi Suminar (2003), estimasi total emisi dioksin/furan pada tahun 2000 diperkirakan mencapai (Toxic Equivalent), yang sumber pencemarannya berasal dari pembangkitan tenaga dan pemanasan (66%), industri pulp dan kertas (21%), pembakaran tak terkendali (7,7%), industri logam besi dan non besi (4,5%) dan sisanya merupakan hasil pembakaran dari industri mineral, transportasi dan tempat pembuangan sampah; dan sebesar 71,4% terbuang ke udara, dimana udara merupakan faktor yang penting dalam 64

3 Warlina, Kebijakan Manajemen Lingkungan untuk Emisi Diksin/Furan kehidupan. Jumlah ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Emisi Dioksin/Furan dari Berbagai Negara Negara / /2004 AS Croatia 109,05 115,7 Canada Jepang Cina Indonesia Sumber: Diolah dari The Chorine Chemistry Council (2002), Rodan (2002), Jerman (2003), CWS (1999), Jin et al. (2004), The People s Republic of China (2007) Dalam kurun waktu 7 8 tahun, AS berhasil menurunkan emisi dioksin/furan secara drastis. Penurunan yang subtansial ini disebabkan keberhasilan pemerintah AS untuk menetapkan peraturan yang ketat tentang penggunaan insenerator pada industri yang berpotensi mengeluarkan dioksin/furan. Selain peraturan yang ketat, monitoring dan pengawasan dilakukan juga secara terus menerus (The Chlorine Chemistry Council, 2002). Pembaharuan teknologi juga dilakukan untuk menekan emisi dioksin/furan. Di Jepang, dioksin merupakan salah satu zat pencemar berbahaya (Hazardous Air Pollutants) yang penanganannya diutamakan. Pada tahun 1999 pemerintah Jepang telah menetapkan langkah khusus penanganan jenis dioksin untuk mencegah dan mengatur pembuangan pencemaran lingkungan oleh senyawa ini. Peraturan ini menetapkan dasar penilaian dan standar-standar (lingkungan, pembuangan), regulasi dan langkah operasi (Imamura, 2003). Emisi dioksin/furan di Indonesia, bila dihitung paparan per orang per hari, maka telah mencapai pgteq. Hasil penelitian Universitas Kiel dan Environmental Protection Agency (EPA) menunjukkan bahwa secara normal tubuh manusia dewasa dapat menerima dioksin sebanyak 1-10 pg/kg berat badan/hari tanpa membahayakan kesehatan (EPA, 2003). Sehingga paparan pada tiap manusia telah sangat membahayakan kesehatan. Di lain pihak, Indonesia masih belum mempunyai perangkat kebijakan untuk pengendalian emisi dioksin/furan. Bila dikaji dari sumbernya, maka sumber dioksin/furan yang dapat dikendalikan berasal dari industri, yaitu sebagai hasil samping dari produk yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu, salah satu cara pengendalian dioksin/furan yaitu menerapkan kebijakan pada industri. Salah satu kendala pada penelitian dioksin/furan antara lain diperlukan biaya analisa yang mahal karena tingkat konsentrasi untuk dioksin/furan yang sangat rendah sehingga membutuhkan alat yang sangat sensitif. Untuk mengatasi kendala tersebut, maka estimasi emisi dilakukan dengan menggunakan faktor emisi yang dikeluarkan oleh United Nation Environmental Protection (UNEP). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kebijakan yang akan diterapkan pada industri sehubungan dengan emisi dioksin/furan yang berasal dari industri logam besi dan non besi. Untuk tujuan tersebut, maka terlebih dahulu akan di lakukan estimasi terhadap emisi dan konsentrasi yang dilepaskan industri. Berdasarkan sensus dari 21 industri logam besi dan non besi di daerah penelitian, maka ada 5 industri terpilih yang berpotensi mengeluarkan emisi dioksin/furan. Survei dilakukan terhadap industri untuk mengkaji teknologi yang digunakan sehubungan dengan emisi yang dilepaskan. 65

4 Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 2, September 2008, Pengumpulan data dilakukan dengan secara primer ataupun sekunder untuk data produksi (BPS), secara time series dari tahun Untuk mengkaji kebijakan manajemen lingkungan yang akan diusulkan, maka didasarkan pada jumlah emisi serta konsentrasi ambien pada daerah penelitian. Dengan demikian, ada 2 metode estimasi yang akan digunakan yaitu: - estimasi emisi - estimasi konsentrasi ambien Metode estimasi emisi Untuk menghitung estimasi emisi dioksin/furan ke lingkungan per tahun, (dinyatakan dalam gteq/tahun) sangat dipengaruhi oleh data aktivitas yaitu produksi yang dihasilkan atau bahan mentah yang digunakan sesuai dengan persamaan 1 (UNEP Chemicals, 2003; EPA, 2003): E yr = A yr * EF (1) E yr = emisi /tahun (/thn) A yr = data aktivitas per tahun yaitu banyaknya bahan baku atau produk yang diproduksi (kg/thn) EF = faktor emisi, massa emisi dioksin/unit tingkat aktifitas, dinyatakan dalam μg I-TEQ per unit bahan baku atau produk yang diproduksi. Penentuan faktor emisi dapat dilakukan dengan menggunakan Standardized Tookit yang dikeluarkan UNEP (UNEP, 2003). Nilai faktor emisi tergantung pada kategori dan sub-kategori suatu aktivitas/kegiatan. Selain itu, faktor emisi juga ditentukan oleh jenis teknologi dan jenis penyebaran media emisi. Metode estimasi konsentrasi ambien Konsentrasi pencemar di udara dipengaruhi oleh faktor dispersi, dimana salah satu penentunya adalah kondisi metereologi. Model dispersi yang digunakan adalah model persamaan dispersi Gaussian yang telah dimodifikasi (Rufo & Rufo Jr., 2004; Rabl & Spadaro, 1998): 2 QKVD y χ = exp -0.5 π σ σ (2) 2 us y z σ y χ = konsentrasi pada jarak x m dan y m Q = emisi polutan (massa per unit waktu) K = koefisien konversi V = jarak vertikal D = peluruhan (decay term) exp = eksponensial σy, σz = standar deviasi pada jarak lateral dan vertikal distribusi konsentrasi (m) Untuk mendapatkan nilai konsentrasi ambien, maka nilai konsentrasi emisi hasil dari model dispersi ini diperhitungkan dengan waktu paruh dari dioksin/furan di udara. 66

5 Warlina, Kebijakan Manajemen Lingkungan untuk Emisi Diksin/Furan HASIL DAN PEMBAHASAN Estimasi emisi Berdasarkan model persamaan (1), estimasi emisi dioksin/furan yang berasal dari industri pabrik logam besi dan non-besi di daerah penelitian dari tahun adalah sebesar 9,38 26,98 gteq (Gambar 1) yang berasal dari total produksi antara 1,87 2,15 juta ton. Emisi dioksin/furan di lingkungan bersifat akumulatif, sehingga walaupun emisi yang dikeluarkan industri kecil, tapi perlu diperhitungkan pula. Data pada tahun 1998 tidak diperhitungkan dalam analisis, karena merupakan pencilan. Bila dikaji berdasarkan jumlah penduduk daerah penelitian (tahun 2004 sebanyak orang), serta paparan sebesar 10 p/kg bb/hr (Kishimoto et al., 2001) maka seharusnya emisi yang dapat diterima oleh masyarakat adalah (50 kg * orang * 10 p/kg bb/hr * 365 hari) 0,3931 /tahun. Sedangkan rata-rata emisi yang dikeluarkan industri di daerah tersebut dalam tahun 2004 adalah 11,03-11,86 /tahun, sehingga pengurangan emisi yang harus dilakukan adalah sebesar 10,667 g.teq/tahun atau 97%. Bila dikaji emisi yang dihasilkan dari penelitian ini yang berasal dari industri logam besi dan non-besi, maka paparan per orang/hari/kg.bb telah mencapai 205,13-325,96 pgteq. Angka ini masih jauh di atas batas ambang maksimal yang telah ditentukan WHO ataupun EPA yaitu 10 pgteq, sehingga emisi dioksin/furan yang berasal dari industri logam besi dan non besi di daerah penelitian telah jauh melebihi ambang batas dan harus direduksi Total emisi (gteq) Tahun Gambar 1 Estimasi emisi dioksin/furan yang berasal dari industri logam tahun Estimasi konsentrasi emisi dan konsentrasi ambien Berdasarkan emisi yang dikeluarkan, maka konsentrasi dioksin/furan dihitung berdasarkan persamaan Gaussian (persamaan 2). Konsentrasi dioksin/furan ini sangat dipengaruhi tidak saja oleh emisi tetapi juga oleh faktor metereologi, seperti kecepatan angin, kestabilan cuaca, suhu dan kondisi fisik industri, seperti tinggi cerobong, diameter cerobong dan kecepatan gas keluar. Setelah memperhitungkan faktor-faktor tersebut, maka estimasi konsentrasi emisi pada tahun sebesar pgteq/m3, dengan konsentrasi ambien 0,48-0,73 pgteq/m3. Hasil kajian menunjukkan bahwa, konsentrasi emisi dioksin/furan total yang dihasilkan dalam penelitian ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan konsentrasi emisi standar dari beberapa negara, yaitu dari tahun rata-rata konsentrasi emisi dioksin/furan yang berasal dari pabrik logam 67

6 Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 2, September 2008, adalah ,3599 pgteq/m3. Berdasarkan literatur, konsentrasi emisi standar tertinggi yaitu 30 ngteq/m3 atau pgteq/m3 untuk negara Thailand (Kitcham, 2002), selain itu pada penelitian Rabl dan Spadaro (2002), menyatakan konsentrasi emisi maksimal yang berasal dari insenerator MSW adalah pgteq/m3. Dengan demikian, berdasarkan konsentrasi emisi ini juga terbukti bahwa konsentrasi maka emisi dioksin/furan yang terjadi harus direduksi. Demikian pula untuk konsentrasi ambien, berdasarkan WHO, konsentrasi ambien yang aman bagi kesehatan dan lingkungan adalah 0,11 pgteq/m3 (European Commision, 2001). Konsentrasi ambien pada daerah penelitian juga telah melebihi ambang batas. Implikasi Kebijakan Berdasarkan estimasi emisi, konsentrasi emisi dan konsentrasi ambien, maka kebijakan yang harus diterapkan yaitu kebijakan untuk pengendalian emisi atau pengurangan emisi. Dampak emisi dioksin/furan terhadap mahluk hidup sifatnya tidak langsung terlihat atau dapat dirasakan, butuh waktu untuk melihat dampak yang diakibatkan emisi tersebut, sehingga banyak orang mengabaikannya. Karena sifatnya yang persisten dan akumulatif, maka emisi ini harus mendapat perhatian yang serius, karena menyangkut generasi yang akan datang pula. Masyarakat harus mengetahui akan bahaya emisi tersebut. Kebijakan pengendalian emisi, khususnya dioksin/furan masih belum diperhatikan. Pemerintah sudah harus menyadari dan mulai mengendalikan emisi dioksin/furan tersebut sehingga tidak membahayakan lingkungan. Walaupun Indonesia telah menandatangani Konvensi Stockholm tentang POPs, tetapi Indonesia masih belum mempunyai perangkat kebijakan yang khusus mengatur pengendalian dioksin/furan tersebut. Selain itu, pemahaman tentang dioksin/furan di kalangan masyarakat maupun aparat pemerintah belum dikenal secara jelas. Hal ini berimplikasi bahwa pencemaran atau emisi dioksin/furan belum dikenal oleh masyarakat luas serta belum ada komitmen dari pemerintah dan institusi untuk pengendalian emisi dioksin/furan. Di lain pihak emisi dioksin/furan telah cukup tinggi. Kebijakan makro yang sebaiknya dilakukan khususnya untuk pengendalian dioksin/furan adalah memasukkan parameter dioksin/furan ke dalam PP No. 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara, bahwa emisi dioksin/furan merupakan emisi yang harus diperhatikan dengan mencantumkan nilai baku mutu ambien nasional. KLH diharapkan dapat membuat kebijakan secara nasional, agar emisi dioksin/furan juga menjadi perhatian. Emisi dioksin/furan dapat pula ditambahkan pada PP No. 74 tahun 2001 tentang penggelolaan B3. Dalam PP tersebut, penggunaan organoklorin POPs dan PCB telah dilarang, tetapi senyawa dioksin/furan belum tercantum. Walaupun dioksin/furan merupakan derivat pestisida yang peraturannya telah tercantum dalam peraturan B3, tetapi parameter dioksin/furan harus dicantumkan secara jelas untuk dilarang. Hal ini dikarenakan, sumber dioksin/furan tidak saja dari pestisida, tetapi dari bermacam-macam sumber. Selain PP No. 74 tahun 2001, parameter dioksin/furan juga dapat ditambahkan dalam peraturan mengenai baku mutu emisi sumber tak bergerak yang tertuang dalam KepMen LH No. 13 tahun 1995, khususnya untuk industri-industri yang berpotensi mengeluarkan emisi dioksin/furan, misalnya industri kertas, industri besi/baja, industri semen, industri kimia dan insenerator. Kebijakan lainnya yaitu pemerintah atau KLH juga dapat membuat kampanye publik untuk menyadarkan masyarakat akan dampak emisi dioksin/furan tersebut terutama terhadap kesehatan, sehingga masyarakat menjadi peduli. Masyarakat dapat berperan serta dalam mengontrol industriindustri yang mengeluarkan emisi dioksin/furan. 68

7 Warlina, Kebijakan Manajemen Lingkungan untuk Emisi Diksin/Furan Hal-hal yang juga harus diperhatikan dalam kebijakan yaitu besarnya emisi yang harus dikurangi, industri-industri yang mengeluarkan emisi serta peranan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam hal pengawasan dan kontrol. Pengurangan emisi dapat dilakukan antara lain dengan introduksi teknologi, dalam hal ini peranan Pemda sangat dibutuhkan untuk memonitor teknologi yang digunakan. Pemda sebaiknya lebih memperhatikan industri-industri yang berpotensi mengeluarkan emisi dioksin/furan, ada kebijakan untuk memonitor dan mengontrol emisi tersebut yang dilakukan secara berkala. Selain itu, ada kewajiban dimana industri harus melaporkan emisi yang dilepaskannya. Bapedal dan Pemda dapat menyarankan teknologi terbaik yang harus digunakan (Best Availabel Technology, BAT) untuk industri tersebut. Dalam hal ini, adanya koordinasi antara Pemda, Bapedalda dan industri merupakan hal yang sangat penting. Menurut Konvensi Stokhlom, emisi dioksin/furan merupakan emisi yang harus dieliminasi, sehingga berdasarkan sumbernya (dalam penelitian ini adalah industri), maka dapat dilakukan pengendalian/monitor terhadap industri tersebut. Pemerintah harus membuat peraturan-peraturan yang ketat untuk pengendalian emisi yang dikeluarkan industri, sehingga dapat digunakan instrumen Command and Control (CAC). Salah satu masalah yang timbul pada pengendalian pencemaran yaitu penentu kebijakan sulit untuk menentukan tingkat pencemaran tersebut. Pemerintah tidak terlalu berkepentingan untuk menentukan fungsi produksi dan fungsi biaya industri. Di lain pihak, bila menyerahkan pengendalian kepada industri saja tidak akan menjamin tercapainya efisiensi tersebut. Oleh sebab itu, pengendalian pencemaran melalui instrumen lain perlu dilakukan, yaitu dengan Instrument Ekonomi (IE), misalnya penggunaan pajak dan denda. Kebijakan-kebijakan yang diambil akan berimplikasi terhadap faktor ekonomi, lingkungan, sosial dan pemerintah/institusi. Adanya peningkatan produksi, secara tidak langsung akan berimplikasi terhadap peningkatkan kesejahteraan rakyat dan PDRB. Peningkatan produksi akan memberikan keuntungan industri, yang diharapkan dan secara langsung akan meningkatkan pendapatan masyarakat, karena sebagian besar masyarakat bekerja sebagai pegawai pada industri tersebut. Pengendalian emisi dioksin/furan dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen ekonomi yaitu pajak dan denda. Dana yang masuk yang berasal dari pajak ataupun denda dapat dikelola dalam suatu wadah yang penggunaannya dikembalikan untuk perbaikan lingkungan. Masyarakat diinformasikan bahwa perbaikan lingkungan berasal dari pajak emisi dan denda. Hal ini dapat berimplikasi untuk pembelajaran masyarakat agar peduli akan lingkungan dan sebagai kontrol sosial terhadap industriindustri tersebut. Sebaliknya, bila industri tersebut berhasil mengurangi emisi dan memperbaiki lingkungan, maka pemerintah sebaiknya juga memberikan insentif terhadap industri tersebut. Adanya kebijakan dan aturan-aturan pengendalian dioksin/furan diharapkan akan berimplikasi terhadap masyarakat. Kebijakan atau aturan-aturan tersebut akan mengubah sifat (behaviour) serta pemahaman masyarakat terhadap lingkungan pada umumnya dan dioksin/furan pada khususnya. Tahap awal pengendalian dioksin/furan yaitu memberikan informasi kepada masyarakat dan kalangan industri mengenai dioksin/furan serta dampaknya terhadap kesehatan mahluk hidup. Emisi ini bersifat kumulatif, sehingga bila tidak dikendalikan, tidak saja generasi kini, tapi akan menggangu kesehatan generasi yang akan datang. Dengan informasi mengenai sumbersumber pencemaran dioksin/furan, maka diharapkan masyarakat dapat memahami emisi dioksin/furan, misalnya dengan tidak banyak menggunakan plastik dan tidak melakukan pembakaran sampah di udara terbuka. Informasi ini dapat diberikan melalui media-media massa (kampanye publik) oleh kementerian Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Departemen Kesehatan (menyangkut kesehatan masyarakat) dan Departemen Perindustrian (menyangkut industri-industri yang mengeluarkan emisi). 69

8 Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 2, September 2008, Pada pembuatan kebijakan untuk pengendalian dioksin/furan ini, sebaiknya unsur masyarakat dilibatkan, terutama dalam penentuan insentif dan disinsentif yang diberlakukan terhadap industri. Hal ini dilakukan agar masyarakat bertindak sebagai sarana kontrol sosial yang efektif. Pemerintah tetap mempunyai kewenangan untuk mengawasi dan mengatur. Industri diharapkan mempunyai konsep Corporate Social Responsibility (CSR). CRS berhubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan, dimana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak hanya pada faktor keuangan semata, tapi juga harus mendasarkan konsekwensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang (Wikipedia, 2007). Industri wajib melaporkan pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan CSR. Kelangsungan hidup industri tidak hanya ditentukan oleh keuntungan ekonomi, tapi pemenuhan tanggung jawab lingkungan hidup dan sosial juga ikut menentukan. Dalam pelaksanaannya suatu kebijakan harus didukung oleh pemerintah. Tidak ada kebijakan yang dapat berjalan tanpa dukungan pemerintah. Untuk itu, dalam pengendalian emisi dioksin/furan dukungan pemerintah sangat diharapkan. Adanya koordinasi dari departemendepartemen terkait menjadi agenda pemerintah yang utama, yaitu Departemen Perindustrian, Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Kesehatan serta Departemen Perdagangan. Ada tanggung jawab dan wewenang dari masing-masing instansi, pemerintah pusat, pemerintah daerah, industri dan masyarakat. Pemerintah harus dapat mengeluarkan kebijakan yang tidak merugikan masyarakat ataupun kalangan industri. Langkah awal dalam pengendalian emisi dioksin/furan yaitu pemerintah harus menetapkan baku mutu dioksin/furan. Selanjutnya baku mutu tersebut dimasukkan ke dalam PP ataupun peraturan-peraturan lain. Selain itu, pemerintah juga harus menyiapkan segala fasilitas yang berhubungan dengan emisi dioksin/furan, misalnya sarana laboratorium untuk pemeriksaan dioksin/furan dan sarana monitoring dioksin/furan yang hingga saat ini belum ada. Tak kalah pentingnya yaitu penyiapan SDM yang dapat dilakukan dengan pelatihanpelatihan, serta adanya dukungan pemerintah yang bekerjasama dengan perguruan tinggi (PT) untuk melakukan penelitian-penelitian mengenai dioksin/furan. Hal yang juga penting dari kebijakan ini adalah memberikan penjelasan umum mengenai dioksin/furan serta dampak emisi terhadap mahluk hidup dan kesehatan manusia serta melakukan inventarisasi berkala untuk dioksin/furan. PENUTUP Dari analisis yang telah dilakukan dalam penelitian ini, dapat diuraikan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Emisi dioksin/furan telah melewati ambang batas sehingga paparan untuk tiap orang telah melampaui ambang batas. 2. Adanya kebijakan pengurangan emisi terhadap industri, diharapkan dapat mengurangi emisi yang berasal dari industri, sehingga akan dapat mengurangi dampak negatif yang cukup signifikan terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. 3. Pengendalian pencemaran dioksin/furan dapat dilakukan dengan menerapkan kebijakan gabungan antara sistem Command and Control (CAC) yaitu dengan adanya penetapan standar teknologi, konsentrasi di ambien dan emisi maksimum yang diperbolehkan dan sistem instrumen ekonomi (EI) yaitu penetapan pajak atau denda. 4. Dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, pemerintah selain melakukan monitoring dan pengawasan juga harus bekerjasama dengan instansi-instansi terkait, menetapkan standarstandar yang diperlukan, melakukan inventarisasi emisi dioksin/furan, menyiapkan 70

9 Warlina, Kebijakan Manajemen Lingkungan untuk Emisi Diksin/Furan sarana/prasarana, melakukan kampanye publik dan bersama dengan perguruan tinggi melakukan penelitian-penelitian. Di sisi industri, industri dapat menggunakan konsep CSR, malakukan pemeriksaan emisi yang dilepaskan serta terbuka untuk melakukan penelitianpenelitian dalam rangka penggunaan Best Available Technology (BAT). REFERENSI Ackerman, F. (2003). The outer bounds of the possible: Economic theory, precaution, and dioxin. Organohalogen Comp, 65, Canada-wide Standards (CWS). (1999). Socio-economic analysis for dioxin and furans: Summary by Priority Sector. Diambil 12 September 2004, dari Environment Protection Agency (EPA). (2003). Evaluating Atmospheric Releases Dioxin-Like Coumpounds from Combustion Sources. Diambil 6 Februari 2006, dari dioxin_pt1_vol3_ch03_dec2003.pdf. European Commision. (2001). Community strategy for dioxin, furan and polychlorinated biphenyls, COM (2001) 593 final. Diambil 25 Desember 2005, dari Imamura, K. (2003). Penanganan zat kimia di Jepang: Zat pencemar udara dan analisanya. Diambil 5 Desember 2004, dari Jerman, M. (2003). Dioxin and furan inventory in Republic of Croatia (Summary). EKONERG-Energi and Envinronmental Protection Institute, Ltd., Zagreb. Diambil 12 September 2004, dari PCDD_PCDF%20Sazetak_eng.pdf. Jin, J., Peng, H., Xiaoyan, T. (2004). An inventory of potential PCDD and PCDF emission sources in mainland of China. Organohalogen Comp, 66, Kictham, P. (2002). Air Quality Management. Nonthaburi. Diambil 6 Maret 2007, dari kitakyushu/urban_air/nothaburi.pdf. Kishimoto, A., Oka, T., Yoshida, K., Nakanishi, J. (2001). Socio economic analysis of dioxin reduction measures in Japan. Diambil 17 Juli 2005, dari Matsushita, M. (2003). Enabling facilities to facilitate early action on implementation of the Stochkolm Convention on organics pollutants (POPs) in Indonesia, Makalah pada Workshop Sosialisasi Hasil Inventarisasi Bahan Kimia POPs di Indonesia. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup. NIEHS-National Institute of Environmental Health Sciences. (2001). Dioxin research at the National Institute of Environmental Sciences (NIEHS). Diambil 4 Oktober 2004, dari dioxin.htm. Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants. (2001). Swedia. Diambil 21 Februari 2004, dari The People s Republic of China. (2007). National implementation plan for the Stockholm Convension on persistent organic pollutants. Diambil 21 November 2004, dari submission/china_nip_en.pdf. Rabl, A. & Spadaro, J.V. (1998). Health risk of air pollution from incenerators: A persfective. Waste Man Res Waste, 16,

10 Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 2, September 2008, Rabl, A. & Spadaro, J.V. (2002). Health impact of waste inceneration. Environmental and Science Technology,18, Rodan, B.D. & Cleverly, D.H. (2002). Polychlorinated dioxins and furans: sources, emission, and levels. Diambil 26 Agustus 2004, dari Rufo & Rufo Jr. (2004). Clean incinerator of solid waste: A cost- benefit analysis for Manila. Economy and Environment Program of Southeast Asia. Singapore Sumaiku, Y. (2004). Apa akibatnya dari pembakaran sampah di pekarangan rumah tangga dan pembakaran/kebakaran hutan terhadap kesehatan. Diambil 2 September 2004, dari Suminar, S.A. (2003). Estimasi emisi dioksin dan furan. Hasil penelitian disampaikan pada Enabling Activities to Facilitate Early Action on the Implementation of the Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants (POPs) in Indonesia. Workshop Hasil Inventarisasi POPs. UNIDO. KLH. Jakarta. The Chlorine Chemistry Council. (2002). A comparison of dioxin risk characterizations. Diambil 29 November 2004, dari UNEP. (2003). Standardized toolkit for identification and quantification of dioxin and furan releases. Inter-Organization Programme for the Sound Management of Chemicals. Geneva- Switzerland. Diambil 2 September 2004, dari UNEP Chemical. (2003). Formation of PCDD and PCDF an overview. Geneva, Switzerland. Diambil 27 Desember 2006, dari Widyatmoko, H. (1999). Masalah pencemaran dioksin. Diambil 2 September 2004, dari 1.html. Wikipedia. (2007). Tanggung jawab sosial perusahaan. Diambil 5 Desember 2007, dari 72

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi dan industri yang sangat pesat dewasa ini membawa dampak baik positif atau negatif bagi kehidupan manusia. Dampak positif diharapkan dapat menaikkan

Lebih terperinci

MODEL ALTERNATIF KEBIJAKAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

MODEL ALTERNATIF KEBIJAKAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 108 VII MODEL ALTERNATIF KEBIJAKAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1 Model Alternatif Kebijakan Model alternatif kebijakan dilakukan dengan menggunakan metode multi kriteria analisis dengan perangkat lunak PRIME

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Rumah Sakit / Rumah Sakit Khusus merupakan tempat-tempat umum dimana didalamnya berinteraksi antara pengelola, klien / orang sakit dan masyarakat /

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN STOCKHOLM CONVENTION ON PERSISTENT ORGANIC POLLUTANTS (KONVENSI STOCKHOLM TENTANG BAHAN PENCEMAR ORGANIK YANG PERSISTEN)

Lebih terperinci

ESTIMASI EMISI DIOKSIN/FURAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSENTRASI EMISI KE UDARA YANG BERASAL DARI INDUSTRI LOGAM

ESTIMASI EMISI DIOKSIN/FURAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSENTRASI EMISI KE UDARA YANG BERASAL DARI INDUSTRI LOGAM ESTIMASI EMISI DIOKSIN/FURAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSENTRASI EMISI KE UDARA YANG BERASAL DARI INDUSTRI LOGAM Lina Warlina (warlina@mail.ut.ac.id) Universitas Terbuka Erliza Noor Akhmad

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN STOCKHOLM CONVENTION ON PERSISTENT ORGANIC POLLUTANTS (KONVENSI STOCKHOLM TENTANG BAHAN PENCEMAR ORGANIK YANG PERSISTEN) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Ackerman,F The Outer Bounds Of The Possible : Economic Theory, Precaution, And Dioxin. Organohalogen Comp,65,

DAFTAR PUSTAKA. Ackerman,F The Outer Bounds Of The Possible : Economic Theory, Precaution, And Dioxin. Organohalogen Comp,65, DAFTAR PUSTAKA Ackerman,F. 2003. The Outer Bounds Of The Possible : Economic Theory, Precaution, And Dioxin. Organohalogen Comp,65,378-381 Fauzi, A., Warlina,. 2008. Estimasi Emisi Dioksn/Furan Dan Faktor-Faktor

Lebih terperinci

PERSISTENT ORGANIC POLLUTANS (POPS) DAN KONVENSI STOCKHOLM

PERSISTENT ORGANIC POLLUTANS (POPS) DAN KONVENSI STOCKHOLM PERSISTENT ORGANIC POLLUTANS (POPS) DAN KONVENSI STOCKHOLM Lina Warlina (warlina@mail.ut.ac.id) Universitas Terbuka ABSTRACT Persistent organic pollutants (POPs) are toxic chemicals that adversely affect

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN STOCKHOLM CONVENTION ON PERSISTENT ORGANIC POLLUTANTS (KONVENSI STOCKHOLM TENTANG BAHAN PENCEMAR ORGANIK YANG PERSISTEN) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

MODEL DAMPAK PENCEMARAN UNTUK PENYUSUNAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN DIOKSIN/FURAN (STUDI KASUS INDUSTRI LOGAM DI KAWASAN CILEGON) LINA WARLINA

MODEL DAMPAK PENCEMARAN UNTUK PENYUSUNAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN DIOKSIN/FURAN (STUDI KASUS INDUSTRI LOGAM DI KAWASAN CILEGON) LINA WARLINA MODEL DAMPAK PENCEMARAN UNTUK PENYUSUNAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN DIOKSIN/FURAN (STUDI KASUS INDUSTRI LOGAM DI KAWASAN CILEGON) LINA WARLINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN 42 III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di daerah Cilegon serta kawasan industri di Cilegon (Kawasan Industri Estate Cilegon, KIEC). Jenis industri di daerah tersebut adalah

Lebih terperinci

2 beracun, saat ini tumbuh pesat dalam rangka memenuhi kebutuhan perindustrian dan pertanian. Perdagangan bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu

2 beracun, saat ini tumbuh pesat dalam rangka memenuhi kebutuhan perindustrian dan pertanian. Perdagangan bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PENGESAHAN. KONVENSI. Rotterdam. Bahan Kimia. Pestisida. Berbahaya. Perdagangan. Prosedur Persetujuan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 72)

Lebih terperinci

Instrumen Ekonomi dan Skema Insentif untuk Pengelolaan PCBs: Konsep dan Rencana di Indonesia

Instrumen Ekonomi dan Skema Insentif untuk Pengelolaan PCBs: Konsep dan Rencana di Indonesia Instrumen Ekonomi dan Skema Insentif untuk Pengelolaan PCBs: Konsep dan Rencana di Indonesia Konvensi Stockholm Instrumen ekonomi dan skema insentif Instrumen ekonomi untuk pollution control, POPs, dan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. 1,4 0,37 0,048 0,01 2 x hari - 3 minggu 2 hari -8 bulan 2 bulan - 6 tahun 8 bulan - 6 tahun

II TINJAUAN PUSTAKA. 1,4 0,37 0,048 0,01 2 x hari - 3 minggu 2 hari -8 bulan 2 bulan - 6 tahun 8 bulan - 6 tahun 12 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dioksin/Furan dan Dampaknya pada Lingkungan, Kesehatan, dan Sosial Ekonomi Dioksin/furan termasuk sekelompok zat kimia berbahaya yang termasuk dalam golongan senyawa PCDD (Polychlorinated

Lebih terperinci

Regulasi PCB di Indonesia

Regulasi PCB di Indonesia Regulasi PCB di Indonesia Dan Perbandingan di Beberapa Negara Mohamad Mova Al Afghani Dyah Paramita Universitas Ibn Khaldun Bogor Jl. R.E. Martadinata No. 2, Bogor 16162 +62 251 8328 203 www.crpg.info

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGESAHAN ROTTERDAM CONVENTION ON THE PRIOR INFORMED CONSENT PROCEDURE FOR CERTAIN HAZARDOUS CHEMICALS AND PESTICIDES IN INTERNATIONAL TRADE

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGESAHAN ROTTERDAM CONVENTION ON THE PRIOR INFORMED CONSENT PROCEDURE FOR CERTAIN HAZARDOUS CHEMICALS AND PESTICIDES IN INTERNATIONAL TRADE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN MINAMATA CONVENTION ON MERCURY (KONVENSI MINAMATA MENGENAI MERKURI)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN MINAMATA CONVENTION ON MERCURY (KONVENSI MINAMATA MENGENAI MERKURI) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN MINAMATA CONVENTION ON MERCURY (KONVENSI MINAMATA MENGENAI MERKURI) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Sesi 2A : Aturan dan Hukum Menuntun ke Pengembangan Program Pemantauan Kualitas Udara

Sesi 2A : Aturan dan Hukum Menuntun ke Pengembangan Program Pemantauan Kualitas Udara Sesi 2A : Aturan dan Hukum Menuntun ke Pengembangan Program Pemantauan Kualitas Udara Tujuan: 1. Mengulas faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan untuk pemantauan dan pengendalian udara 2. Aturan dan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Ackerman F The outer bounds of the possible: economic theory, precaution, and dioxin. Organohalogen Comp 65:

DAFTAR PUSTAKA. Ackerman F The outer bounds of the possible: economic theory, precaution, and dioxin. Organohalogen Comp 65: 129 DAFTAR PUSTAKA Akhadi M. 1999. Dioksin ada di sekitar kita. Ekolita: Majalah Manajemen Mutu, Lingkungan dan Appraisal. Edisi 5. Jakarta. Ackerman F. 2003. The outer bounds of the possible: economic

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Penggunaan plastik di dunia tahun 2007dalam Million tones

Gambar 1.1. Penggunaan plastik di dunia tahun 2007dalam Million tones BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Limbah plastik merupakan permasalahan serius karena sifatnya nonbiodegradable tidak terurai secara alami oleh mikro organisme serta unsurunsur kimia yang terkandung

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG BAKU MUTU LINGKUNGAN HIDUP DAN KRITERIA BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG BAKU MUTU LINGKUNGAN HIDUP DAN KRITERIA BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG BAKU MUTU LINGKUNGAN HIDUP DAN KRITERIA BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a.

Lebih terperinci

ANALISIS ALTERNATIF POLIKLOROBIFENIL DALAM MINYAK TRANSFORMATOR SYAMSIYAH HERLIANI

ANALISIS ALTERNATIF POLIKLOROBIFENIL DALAM MINYAK TRANSFORMATOR SYAMSIYAH HERLIANI ANALISIS ALTERNATIF POLIKLOROBIFENIL DALAM MINYAK TRANSFORMATOR SYAMSIYAH HERLIANI DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ANALISIS ALTERNATIF

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI POPS

SISTEM INFORMASI POPS SISTEM INFORMASI POPS Heru D. Wahjono Pusat Teknologi Lingkungan, Kedeputian TPSA Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Jl. M.H. Thamrin No. 8, Lantai 12, Jakarta 10340 e-mail: herudw@gmail.com PENDAHULUAN

Lebih terperinci

Polyvinyl chloride (PVC) merupakan termasuk salah jenis plastik yang paling

Polyvinyl chloride (PVC) merupakan termasuk salah jenis plastik yang paling 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hampir dapat dipastikan bahwa abad 21 merupakan abad polimer. Plastik, serat, elastomer, bahan perekat (adhesive), protein, sellulosa semuanya merupakan istilah umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini berbagai Negara mulai merespon terhadap bahaya sampah plastik, terutama

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini berbagai Negara mulai merespon terhadap bahaya sampah plastik, terutama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini berbagai Negara mulai merespon terhadap bahaya sampah plastik, terutama sampah yang berupa kantong plastik. seperti di Kenya dan Uganda malah sudah

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latarbelakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latarbelakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latarbelakang Pada tahun 1996 diketahui bahwa kapasitas terpasang dari industri pulp dan kertas di Indonesia 5,5 juta ton dan terus mengalami peningkatan pesat. (Directory 2001

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR 04 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 04 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR 04 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 04 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR 04 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 04 TAHUN 2008 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DI KABUPATEN TABALONG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP-15/MENLH/4/1996 TENTANG PROGRAM LANGIT BIRU MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP-15/MENLH/4/1996 TENTANG PROGRAM LANGIT BIRU MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP-15/MENLH/4/1996 TENTANG PROGRAM LANGIT BIRU MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa untuk mencegah terjadinya pencemaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Polusi udara merupakan masalah lingkungan global yang terjadi di seluruh dunia. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), polusi udara menyebabkan kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, yaitu masuknya zat pencemar yang berbentuk gas, partikel kecil atau aerosol ke dalam udara (Soedomo,

Lebih terperinci

Slide 1. Paparan Menteri Perindustrian pada acara TROPICAL LANDSCAPES SUMMIT: A GLOBAL INVESTMENT OPPORTUNITY 28 APRIL 2015, Shangri la Hotel Jakarta

Slide 1. Paparan Menteri Perindustrian pada acara TROPICAL LANDSCAPES SUMMIT: A GLOBAL INVESTMENT OPPORTUNITY 28 APRIL 2015, Shangri la Hotel Jakarta Paparan Menteri Perindustrian pada acara TROPICAL LANDSCAPES SUMMIT: A GLOBAL INVESTMENT OPPORTUNITY 28 APRIL 2015, Shangri la Hotel Jakarta Slide 1 Pada pertemuan G-20 di Pittsburg tahun 2009, Pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelestarian

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Produksi plastik di dunia tahun 2012 dalam Million tones (PEMRG, 2013)

Gambar 1.1 Produksi plastik di dunia tahun 2012 dalam Million tones (PEMRG, 2013) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan manusia saat ini banyak menggunakan peralatan sehari-hari yang terbuat dari plastik. Plastik dipilih karena memiliki banyak keunggulan yaitu kuat, ringan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin meningkat seiring dengan kemajuan teknologi, yang juga akan membawa permasalahan lingkungan.

Lebih terperinci

Departemen Administrasi & Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Departemen Administrasi & Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia KMA 43026 Departemen Administrasi & Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof. Drh. Wiku Adisasmito, M.Sc., Ph.D. United State Environmental Protection Agency DEFINISI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sekarang maupun masa depan. Banyak negara memperdebatkan masalah ini dan

BAB 1 PENDAHULUAN. sekarang maupun masa depan. Banyak negara memperdebatkan masalah ini dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanasan global sebagai salah satu masalah lingkungan yang serius baik sekarang maupun masa depan. Banyak negara memperdebatkan masalah ini dan negara berkembang dituding

Lebih terperinci

Kerangka Hukum & Regulasi Kesehatan Lingkungan Yang Berorientasi Pada Pembangunan Berkelanjutan

Kerangka Hukum & Regulasi Kesehatan Lingkungan Yang Berorientasi Pada Pembangunan Berkelanjutan Kerangka Hukum & Regulasi Kesehatan Lingkungan Yang Berorientasi Pada Pembangunan Berkelanjutan Disampaikan dalam Kuliah S2 KMPK-IKM UGM Hukum, Etika dan Regulasi Kesehatan Masyarakat Oleh : Dr. Dinarjati

Lebih terperinci

PENERAPAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS 3R

PENERAPAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS 3R PENERAPAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS 3R Drs. Chairuddin,MSc P E NE RAPAN P E NG E L O L AAN S AM PAH B E RB AS I S 3 R Program Studi Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 129 TAHUN 2003 TENTANG BAKU MUTU EMISI USAHA DAN ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 129 TAHUN 2003 TENTANG BAKU MUTU EMISI USAHA DAN ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI S A L I N A N KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 129 TAHUN 2003 TENTANG BAKU MUTU EMISI USAHA DAN ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP; Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

Kebijakan Eliminasi dan Penghapusan Penggunaan PCBs dan alat/produk yang mengandung PCBs di Indonesia

Kebijakan Eliminasi dan Penghapusan Penggunaan PCBs dan alat/produk yang mengandung PCBs di Indonesia Kebijakan Eliminasi dan Penghapusan Penggunaan PCBs dan alat/produk yang mengandung PCBs di Indonesia Mohamad Mova Al Afghani Dyah Paramita Universitas Ibn Khaldun Bogor Jl. R.E. Martadinata No. 2, Bogor

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.687, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP. Emisi. Industri Rayon. Pengelolaan. PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2012 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Harga bahan bakar minyak memegang peranan yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Harga bahan bakar minyak memegang peranan yang sangat penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Harga bahan bakar minyak memegang peranan yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian di suatu negara. Fluktuasi harga minyak mentah dunia mempengaruhi suatu negara

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ABSTRAK... i ii iii vi iv xi xiii xiv BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian pokok di

BAB I PENDAHULUAN. Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian pokok di 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian pokok di bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu dipelihara

Lebih terperinci

ANALISIS KONSENTRASI GAS HIDROGEN SULFIDA (H2S) DI UDARA AMBIEN KAWASAN LOKASI PEMBUANGAN AKHIR (LPA) SAMPAH AIR DINGIN KOTA PADANG TUGAS AKHIR

ANALISIS KONSENTRASI GAS HIDROGEN SULFIDA (H2S) DI UDARA AMBIEN KAWASAN LOKASI PEMBUANGAN AKHIR (LPA) SAMPAH AIR DINGIN KOTA PADANG TUGAS AKHIR ANALISIS KONSENTRASI GAS HIDROGEN SULFIDA (H2S) DI UDARA AMBIEN KAWASAN LOKASI PEMBUANGAN AKHIR (LPA) SAMPAH AIR DINGIN KOTA PADANG TUGAS AKHIR OLEH ELGA MARDIA BP. 07174025 JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS

Lebih terperinci

KEBIJAKAN & PERKEMBANGAN PELAKSANAAN PROGRAM PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) SEKTOR INDUSTRI

KEBIJAKAN & PERKEMBANGAN PELAKSANAAN PROGRAM PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) SEKTOR INDUSTRI KEBIJAKAN & PERKEMBANGAN PELAKSANAAN PROGRAM PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) SEKTOR INDUSTRI Pusat Pengkajian Industri Hijau dan Lingkungan Hidup Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim dan Mutu Industri

Lebih terperinci

PENERAPAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS 3R

PENERAPAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS 3R Drs. Chairuddin,MSc PENERAPAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS 3R Program Studi Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Reduce, Reuse, Recycling

Lebih terperinci

HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup

HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup BAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

Geografi LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN II. K e l a s. xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013

Geografi LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN II. K e l a s. xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak perusahaan yang berjuang untuk mencapai ecoefficiency yang maksimal,

BAB I PENDAHULUAN. Banyak perusahaan yang berjuang untuk mencapai ecoefficiency yang maksimal, BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Lingkungan menjadi aspek penting yang perlu diperhatikan saat ini. Banyak perusahaan yang berjuang untuk mencapai ecoefficiency yang maksimal, yang berarti meningkatkan

Lebih terperinci

BAKU MUTU LINGKUNGAN. Untuk mengatakan atau menilai bahwa lingkungan telah rusak atau tercemar dipakai mutu baku lingkungan.

BAKU MUTU LINGKUNGAN. Untuk mengatakan atau menilai bahwa lingkungan telah rusak atau tercemar dipakai mutu baku lingkungan. 1 A. PENGERTIAN BAKU MUTU LINGKUNGAN 1. Fungsi Baku Mutu Lingkungan Untuk mengatakan atau menilai bahwa lingkungan telah rusak atau tercemar dipakai mutu baku lingkungan. Kemampuan lingkungan sering diistilahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah lingkungan semakin lama semakin berkembang, semakin besar dan serius. Persoalannya bukan saja bersifat lokal, tetapi sudah menjadi permasalahan global. Dampak

Lebih terperinci

STANDAR KOMPETENSI PENANGGUNGJAWAB PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA. : Penanggung Jawab Pengendalian Pencemaran. Lingkungan

STANDAR KOMPETENSI PENANGGUNGJAWAB PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA. : Penanggung Jawab Pengendalian Pencemaran. Lingkungan Lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 04 Tahun 2011 Tanggal : 14 September 2011 STANDAR KOMPETENSI PENANGGUNGJAWAB PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA 1. Kualifikasi : Penanggung Jawab Pengendalian

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 04 TAHUN 2011 TENTANG STANDAR KOMPETENSI DAN SERTIFIKASI KOMPETENSI PENANGGUNG JAWAB PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. beberapa tahun terakhir ini. Ekonomi kota yang tumbuh ditandai dengan laju urbanisasi yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. beberapa tahun terakhir ini. Ekonomi kota yang tumbuh ditandai dengan laju urbanisasi yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas udara perkotaan di Indonesia menunjukkan kecenderungan menurun dalam beberapa tahun terakhir ini. Ekonomi kota yang tumbuh ditandai dengan laju urbanisasi

Lebih terperinci

I. PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. baterai, lampu neon (fluorescent), insektisida, korek api gas, cat semprot (aerosol),

I. PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. baterai, lampu neon (fluorescent), insektisida, korek api gas, cat semprot (aerosol), 1 I. PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Produk-produk yang mengandung Bahan Berbahaya Beracun (B3) seperti baterai, lampu neon (fluorescent), insektisida, korek api gas, cat semprot (aerosol), disinfektan, obat-obatan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Udara tersebut berbentuk gas dan terdapat dimana-mana, sehingga akibatnya

BAB 1 : PENDAHULUAN. Udara tersebut berbentuk gas dan terdapat dimana-mana, sehingga akibatnya BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia setiap detik selama hidupnya akan membutuhkan udara. Secara ratarata manusia tidak dapat mempertahankan hidup tanpa udara lebih dari tiga menit. Udara tersebut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai salah satu cara untuk memantau kinerja produksinya. Pengukuran

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai salah satu cara untuk memantau kinerja produksinya. Pengukuran BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Produktivitas merupakan satu hal yang sangat penting bagi perusahaan sebagai salah satu cara untuk memantau kinerja produksinya. Pengukuran produktivitas dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 1990-an paradigma pembangunan ekonomi Indonesia

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 1990-an paradigma pembangunan ekonomi Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 1990-an paradigma pembangunan ekonomi Indonesia mengarah kepada industrialisasi. Sektor industri makin berperan sangat strategis sebagai motor penggerak pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan industri khususnya industri tesktil diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat. Namun bila dalam perumusan kebijakan

Lebih terperinci

STRATEGI TEKNOLOGI PRODUKSI BERSIH MELALUI TATA KELOLA YANG APIK (GHK)

STRATEGI TEKNOLOGI PRODUKSI BERSIH MELALUI TATA KELOLA YANG APIK (GHK) J. Tek. Ling Edisi Khusus Hal. 15-19 Jakarta Juli 2008 ISSN 1441-318X STRATEGI TEKNOLOGI PRODUKSI BERSIH MELALUI TATA KELOLA YANG APIK (GHK) Indriyati Peneliti di Pusat Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian

Lebih terperinci

PEDOMAN PENETAPAN BAKU MUTU AIR LIMBAH

PEDOMAN PENETAPAN BAKU MUTU AIR LIMBAH Lampiran III Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 01 Tahun 2010 Tanggal : 14 Januari 2010 PEDOMAN PENETAPAN BAKU MUTU AIR LIMBAH I. LATAR BELAKANG Penetapan baku mutu air limbah (BMAL) dari

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1990 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1990 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1990 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan expost facto yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mempelajari dinamika hubungan atau korelasi atau pengaruh antara faktor-faktor terukur yaitu jumlah

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 1995 Tentang : Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 1995 Tentang : Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak No. 13 Tahun 1995 Tentang : Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : 1. bahwa untuk mencegah terjadinya pencemaran udara dari jenis-jenis kegiatan sumber tidak

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1 Kesimpulan 1. Model DICE ( Dinamic Integrated Model of Climate and the Economy) adalah model Three Boxes Model yaitu suatu model yang menjelaskan dampak emisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manajemen dapat memantau perkembangan perusahaan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. manajemen dapat memantau perkembangan perusahaan tersebut. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya tujuan utama yang ingin dicapai oleh semua perusahaan adalah bagaimana perusahaan dapat memperoleh keuntungan yang sebesarbesarnya. Karena keberlangsungan

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENETAPAN BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAERAH

PEDOMAN TEKNIS PENETAPAN BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAERAH Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 12 Tahun 2010 Tanggal : 26 Maret 2010 I. PENDAHULUAN PEDOMAN TEKNIS PENETAPAN BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAERAH Dalam Pasal 20 ayat (4) Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1990 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR. Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1990 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR. Presiden Republik Indonesia, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1990 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup

Lebih terperinci

Perkembangan pengujian toksisitas akut oral

Perkembangan pengujian toksisitas akut oral Perkembangan pengujian toksisitas akut oral Oleh : Katharina Oginawati 1) dan Toro Adriantoro 2) 1) Institut Teknologi Bandung 2) Pusat Penelitian dan Pengembangan Laboratorium Kualitas Lingkungan PP 101

Lebih terperinci

TINJAUAN TENTANG PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP SERTA KETENTUAN PIDANANYA DALAM UU No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH) Oleh : Ariella Gitta Sari *) Abstrak

TINJAUAN TENTANG PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP SERTA KETENTUAN PIDANANYA DALAM UU No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH) Oleh : Ariella Gitta Sari *) Abstrak TINJAUAN TENTANG PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP SERTA KETENTUAN PIDANANYA DALAM UU No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH) Oleh : Ariella Gitta Sari *) Abstrak Dewasa ini lingkungan hidup sedang menjadi perhatian utama

Lebih terperinci

STANDAR INDUSTRI HIJAU

STANDAR INDUSTRI HIJAU Kementerian Perindustrian-Republik Indonesia Medan, 23 Februari 2017 OVERVIEW STANDAR INDUSTRI HIJAU Misi, Konsep dan Tujuan Pengembangan Industri Global Visi: Mengembangan Industri yang berkelanjutan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 21 TAHUN 2008

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 21 TAHUN 2008 SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK TERMAL MENTERI NEGARA LINGKUNGAN

Lebih terperinci

DISPERSI GAS KARBON MONOKSIDA (CO) DARI SUMBER TRANSPORTASI DI KOTA PONTIANAK

DISPERSI GAS KARBON MONOKSIDA (CO) DARI SUMBER TRANSPORTASI DI KOTA PONTIANAK DISPERSI GAS KARBON MONOKSIDA () DARI SUMBER TRANSPORTASI DI KOTA PONTIANAK DISPERSION OF CARBON MONOXIDE () FROM TRANSPORTATION SOURCE IN PONTIANAK CITY Winardi* Program Studi Teknik Lingkungan Universitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengontrol potensi finansial maupun potensi non finansial didalam meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. mengontrol potensi finansial maupun potensi non finansial didalam meningkatkan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam menghadapi era globalisasi, keberlangsungan perusahaan menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Sebuah perusahaan yang baik harus mampu mengontrol potensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor industri merupakan salah satu sektor yang menjadi tulang

I. PENDAHULUAN. Sektor industri merupakan salah satu sektor yang menjadi tulang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor industri merupakan salah satu sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Perkembangan sektor industri memiliki peran penting dalam memberikan dampak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Pesatnya pertambahan penduduk menyebabkan meningkatnya berbagai aktivitas sosial ekonomi masyarakat, pembangunan fasilitas kota seperti pusat bisnis, komersial dan industri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Didorong oleh issue perubahan iklim dunia yang menghangat belakangan ini

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Didorong oleh issue perubahan iklim dunia yang menghangat belakangan ini BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Didorong oleh issue perubahan iklim dunia yang menghangat belakangan ini dan perubahan tersebut terjadi akibat dari ulah manusia yang terus mengambil keuntungan dari

Lebih terperinci

ESTIMASI PRODUKSI DAN DISPERSI GAS POLUTAN DARI KEGIATAN DAUR ULANG LIMBAH ALUMINIUM

ESTIMASI PRODUKSI DAN DISPERSI GAS POLUTAN DARI KEGIATAN DAUR ULANG LIMBAH ALUMINIUM SEMINAR NASIONAL 212 - WASTE MANAGEMENT I ESTIMASI PRODUKSI DAN DISPERSI GAS POLUTAN DARI KEGIATAN DAUR ULANG LIMBAH ALUMINIUM GENERATION ESTIMATION AND THE DISPERSION OF POLLUTANT GASES FROM ALUMINIUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya Kertas dan Barang Cetakan

BAB I PENDAHULUAN Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya Kertas dan Barang Cetakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor industri merupakan sektor yang penting dalam perkembangan dan pembangunan ekonomi di wilayah Provinsi Sumatera Barat. Sektor industri memberikan kontribusi terhadap

Lebih terperinci

ANALISIS KONSENTRASI GAS AMMONIA (NH3) DI UDARA AMBIEN KAWASAN LOKASI PEMBUANGAN AKHIR (LPA) SAMPAH AIR DINGIN KOTA PADANG TUGAS AKHIR

ANALISIS KONSENTRASI GAS AMMONIA (NH3) DI UDARA AMBIEN KAWASAN LOKASI PEMBUANGAN AKHIR (LPA) SAMPAH AIR DINGIN KOTA PADANG TUGAS AKHIR 346/S1-TL/1011-P ANALISIS KONSENTRASI GAS AMMONIA (NH3) DI UDARA AMBIEN KAWASAN LOKASI PEMBUANGAN AKHIR (LPA) SAMPAH AIR DINGIN KOTA PADANG TUGAS AKHIR Oleh: DHONA MARLINDRA 07 174 024 JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PROGRAM PEMANTAUAN LINGKUNGAN H M M C J WIRTJES IV ( YANCE ) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

PELAKSANAAN PROGRAM PEMANTAUAN LINGKUNGAN H M M C J WIRTJES IV ( YANCE ) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara PELAKSANAAN PROGRAM PEMANTAUAN LINGKUNGAN H M M C J WIRTJES IV ( YANCE ) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara A. Dasar Pemikiran Sejak satu dasawarsa terakhir masyarakat semakin

Lebih terperinci

DAMPAK PEMBANGUNAN PADA KUALITAS UDARA

DAMPAK PEMBANGUNAN PADA KUALITAS UDARA DAMPAK PEMBANGUNAN PADA KUALITAS UDARA Dampak pencemaran udara debu dan lainnya Keluhan-keluhan tentang pencemaran di Jepang (Sumber: Komisi Koordinasi Sengketa Lingkungan) Sumber pencemaran udara Stasiun

Lebih terperinci

P E M B A N G U N A N B E R K E L A N J U T A N

P E M B A N G U N A N B E R K E L A N J U T A N P E M B A N G U N A N B E R K E L A N J U T A N K O N S E P P E M B A N G U N A N B E R K E L A N J U T A N Dalam mengejar pertumbuhan ekonomi seringkali menimbulkan dampak yang tidak terduga terhadap

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. d. bahwa lingkungan laut beserta sumber

Lebih terperinci

Mata Ajaran : Manajemen Lingkungan Rumah Sakit Topik : Lingkungan Hidup & Sistem Manajemen Lingkungan RS Minggu Ke : II

Mata Ajaran : Manajemen Lingkungan Rumah Sakit Topik : Lingkungan Hidup & Sistem Manajemen Lingkungan RS Minggu Ke : II Mata Ajaran : Manajemen Lingkungan Rumah Sakit Topik : Lingkungan Hidup & Sistem Manajemen Lingkungan RS Minggu Ke : II Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggali dan mengolah sumber daya alam dengan sebaik-baiknya yang meliputi

BAB I PENDAHULUAN. menggali dan mengolah sumber daya alam dengan sebaik-baiknya yang meliputi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan pembangunan pada hakekatnya adalah kegiatan manusia dalam menggali dan mengolah sumber daya alam dengan sebaik-baiknya yang meliputi air, udara, tanah

Lebih terperinci

Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M.

Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M. Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : 35410453 Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M.T TUGAS AKHIR USULAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN KINERJA LINGKUNGAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAN EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK DI JAWA TIMUR

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAN EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK DI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAN EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK DI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa baku mutu udara

Lebih terperinci

BAB II BIAYA LINGKUNGAN: PENGUKURAN DAN PELAPORAN. tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang

BAB II BIAYA LINGKUNGAN: PENGUKURAN DAN PELAPORAN. tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang BAB II BIAYA LINGKUNGAN: PENGUKURAN DAN PELAPORAN II.1 Pengertian Lingkungan Definisi lingkungan menurut Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah kesatuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030,

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Upaya kesehatan lingkungan berdasarkan Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030 pada sasaran ke enam ditujukan untuk mewujudkan ketersediaan dan pengelolaan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Gambar I.1 Bagan alir sederhana sistem pencemaran udara (Seinfield, 1986)

Bab I Pendahuluan. Gambar I.1 Bagan alir sederhana sistem pencemaran udara (Seinfield, 1986) Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Pencemaran udara didefinisikan sebagai hadirnya satu atau lebih substansi/ polutan di atmosfer (ambien) dalam jumlah tertentu yang dapat membahayakan atau mengganggu

Lebih terperinci

LAPORAN KEGIATAN PENGKAJIAN BAKU MUTU KUALITAS UDARA AMBIEN LAMPIRAN. PP No.41 TAHUN 1999

LAPORAN KEGIATAN PENGKAJIAN BAKU MUTU KUALITAS UDARA AMBIEN LAMPIRAN. PP No.41 TAHUN 1999 LAPORAN KEGIATAN PENGKAJIAN BAKU MUTU KUALITAS UDARA AMBIEN LAMPIRAN PP No.41 TAHUN 1999 PUSAT SARANA PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN Deputi Bidang Pembinaan Sarana Tehnis Lingkungan dan Peningkatan Kapasitas

Lebih terperinci

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tent

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tent No.1535, 2014. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN LH. Sumber Tidak Bergerak. Usaha. Pertambangan. Baku Mutu Emisi. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG BAKU

Lebih terperinci