V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komunitas Primata di Taman Nasional Tesso Nilo Keanekaragaman Jenis Primata Hasil inventarisasi satwa primata yang ditemukan di Taman Nasional Tesso Nilo sebanyak 5 jenis dari 2 famili. Dari famili Cercopithecidae (3 jenis) terdiri dari monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung budeng (Trachypithecus auratus) dan lutung simpai (Presbytis melalophos). Dari famili Hylobatidae ditemukan 2 jenis primata yaitu owa ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Hylobates syndactylus). Hasil ini lebih banyak dibanding Ditjend PHKA (2007) yang menyebutkan bahwa ada 3 jenis primata di TNTN antara lain antara lain owa (Hylobates agilis), lutung simpai (Presbytis femoralis) dan beruk (Macaca nemestrina). Jenis-jenis satwa primata yang ditemukan di areal penelitian TNTN disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis-jenis satwa primata yang ditemukan di TNTN No. Nama lokal Nama ilmiah Famili 1. Owa ungko Hylobates agilis Hylobatidae 2. Monyet ekor panjang Macaca fascicularis Cercopithecidae 3. Lutung budeng Trachypithecus auratus Cercopithecidae 4. Lutung simpai Presbytis melalophos Cercopithecidae 5. Siamang Hylobates syndactylus Hylobatidae Untuk mengetahui keanekaragaman jenis primata di areal yang diteliti dapat diperoleh dengan menghitung indeks keanekaragaman jenis. Berdasarkan hasil rekapitulasi data jumlah jenis dan individu satwa primata di areal studi, diperoleh indeks keanekaragaman jenis primata menurut Shannon Wiener sebesar 0,99 mendekati 1. Hal ini berarti di areal perbatasan TN Tesso Nilo yang menjadi areal studi penelitian memiliki tingkat keanekaragaman jenis primata yang tergolong sedang. Soerianegara & Indrawan (2002) menambahkan bahwa ukuran contoh yang semakin besar menyebabkan jumlah jenis yang ditemukan bertambah. Walaupun kondisi habitat hutan sekunder satwa primata telah terganggu oleh berbagai aktivitas manusia, seperti penebangan hutan, perburuan satwaliar, dan perambahan hutan, tetapi jenis-jenis satwa primata yang terdapat di TNTN

2 32 telah beradaptasi dengan baik. Hal ini ditandai dengan ditemukannya satwa primata berdasarkan perjumpaan langsung Kepadatan Populasi Kepadatan populasi adalah suatu besaran populasi dalam suatu unit ruang, biasanya dinyatakan sebagai jumlah individu dalam suatu unit volume atau luas (Alikodra, 1990). Menurut Tarumingkeng (1994), kepadatan populasi adalah jumlah individu dalam satuan ekologis (daerah, luasan, dan lain-lain). Sepanjang kehidupan satwaliar, kepadatan populasi selalu berubah tergantung keadaan lingkungan (ruang dan waktu). Kawasan hutan perbatasan ini merupakan kawasan atau area koridor (ekoton) satwaliar yang diperkirakan memiliki tingkat keanekaragaman satwa yang sangat tinggi. Karena kawasannya yang merupakan penghubung dua edge (tipe vegetasi) yang berbeda antara hutan dengan perkebunan kelapa sawit. Diperkirakan sampai saat ini luas kawasan konservasi ini sudah banyak berkurang. Berkurangnya luas kawasan ini disebabkan oleh pembukaan areal yang dilakukan oleh peladang-peladang liar, areal yang habis terbakar, dan penebangan liar. Untuk menentukan ukuran populasi ditentukan dengan kepadatan populasi. Populasi dugaan jenis-jenis primata di areal perbatasan TN Tesso Nilo disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Pendugaan populasi beberapa satwa primata yang diamati TN Tesso Nilo No. Jenis Primata Kepadatan Populasi Rata-rata (ekor/ha) Dugaan Populasi Seluruh Areal (ekor) Persentase 1. Owa ungko 0, ,27% 2. Monyet ekor 0, ,27% panjang 3. Lutung budeng 0, ,70% 4. Lutung simpai 0, ,52% 5. Siamang 0, ,23% Total 1, ,00% Luas (ha) Dari hasil pengamatan didapatkan spesies primata yang memiliki populasi dugaan terbesar per luasan ha adalah jenis lutung budeng dengan populasi dugaan sebesar ekor atau kerapatan rata-rata sebesar 0,80 ekor/ha atau 80 ekor/km 2. Owa ungko dan monyet ekor panjang memiliki kepadatan populasi

3 Persentase Persentase 33 yang sama yaitu ekor atau kerapatan rata-rata sebesar 0,1429 ekor/ha atau 14,29 ekor/km 2. Kepadatan populasi lutung simpai lebih kecil dari ketiga jenis primata diatas dengan populasi sebesar 868 ekor atau kerapatan rata-ratanya 0,0643 ekor/ha atau 6,43 ekor/km 2. Sedangkan jenis primata yang memiliki kepadatan populasi terkecil adalah jenis siamang dengan populasi sebesar 193 ekor atau kerapatan rata-rata sebesar 0,0143 ekor/ha atau 1,43 ekor/km 2. 70% 70% 68.70% 68.70% 60% 60% 50% 50% 40% 40% 30% 30% 20% 20% 10% 10% 12.27% 12.27% 12.27% 12.27% 5.52% 5.52% 1.23% 1.23% 0% 0% Ungko Ungko M.e. M.e. panjang panjang L. L. budeng budeng L. L. simpai simpai Siamang Siamang Jenis Jenis Gambar 5. Diagram persentase kepadatan populasi ke lima jenis primata yang berada di dalam kawasan TNTN Sebaran dan Aktivitas Sebaran yang dimaksud adalah sebaran spasial yaitu sebaran menurut ruang dalam skala yang tertentu. Sebaran spasial adalah sebaran individu dan kelompok dalam populasi jenis satwaliar. Pola penyebaran ini merupakan strategi individu dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya (Alikodra, 1990). Individu dalam populasi menyebar menurut tiga pola yaitu pola acak (random), pola mengelompok (agregatif), dan pola merata (uniform). Pola sebaran acak menunjukkan adanya keseragaman habitat dan adanya perilaku non selektif dari spesies tersebut terhadap lingkungannya. Pola sebaran merata disebabkan oleh pengaruh negatif dari persaingan makan diantara individu, dan pola mengelompok disebabkan oleh sifat spesies yang suka menggerombol dan

4 34 adanya keragaman habitatnya (Tarumingkeng, 1994). Sebaran populasi jenis-jenis primata di areal studi seperti disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Sebaran populasi jenis-jenis primata di areal studi TNTN No. Jenis Primata Populasi Parameter 2 Dugaan (ekor) X * S X ** S *** X Pola Sebaran 1. Owa ungko ,14 4,81 0,83 Mengelompok 2. Monyet ekor panjang ,14 26,48 1,94 Mengelompok 3. Lutung budeng ,8 302,6 6,58 Mengelompok 4. Lutung simpai 868 0,06 4,90 0,84 Mengelompok 5. Siamang 193 0,01 0,24 0,18 Mengelompok Ket : *= rata-rata populasi yang teramati; **= keragaman populasi; ***= keragaman rata-rata populasi Pola sebaran dari seluruh jenis primata di areal studi menunjukan sebarannya mengelompok karena keragaman rata-rata populasi dari masingmasing jenis primata nilainya lebih besar dari rata-rata populasi. Hal ini sesuai dengan pola sebaran spesies primata yang mengelompok secara alami karena pola sebaran mengelompok menunjukan sifat spesies yang suka menggerombol (agregatif) dan adanya keragaman habitat di seluruh areal studi. Lutung budeng mempunyai penyebaran individu jenis primata yang paling tinggi dengan kepadatan populasi sebesar ekor. Sedangkan sebaran populasi jenis primata yang paling rendah yaitu terdapat pada jenis siamang dengan kepadatan populasi sebesar 193 ekor. Setiap jenis makhluk hidup akan selalu berinteraksi dengan lingkungan atau habitat sekitarnya, baik habitat yang masih alami maupun sudah terganggu dan beberapa jenis satwaliar dapat melakukan adaptasi terhadap lingkungan, salah satunya dengan mengubah perilakunya. Faktor lingkungan seperti faktor fisik (iklim, air, dan substrat) dan faktor biotik (vegetasi dan makanan) merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran mamalia besar (Vaughan, 1985). Pola aktivitas setiap jenis satwa primata yang ditemukan, berada berdasarkan waktu aktivitas yang umumnya dilakukan oleh satwa primata ini dikategorikan berdasarkan pengamatan di lapangan. Terbagi menjadi beberapa kategori, yaitu aktivitas bersuara, bergerak, makan, berkelahi dan lainnya.

5 35 Aktivitas berkelahi merupakan kegiatan satwa dalam mempertahankan daerah teritorinya dari individu atau kelompok lainnya. Satwaliar pada umumnya ada yang bersifat diurnal dan juga nokturnal. Satwa yang aktif pada pagi dan sore hari tergolong satwa yang bersifat diurnal, sedangkan satwa yang aktif di malam hari adalah satwa nokturnal. Dalam melakukan aktivitasnya, jenis-jenis satwa primata seperti owa ungko, lutung budeng, monyet ekor panjang, lutung simpai, dan siamang yang ditemukan umumnya melakukan aktivitasnya lebih banyak pada pagi hari sampai sore hari (bersifat diurnal). Satwaliar yang aktif di malam hari umumnya ditemukan secara tidak langsung atau melalui jejak dan kotoran, seperti jejak kaki harimau sumatera serta jejak kaki dan kotoran gajah sumatera. Gambar 6. Owa ungko (Hylobates agilis) Perbedaan pada total individu jenis satwa primata dalam aktivitas di pagi dan sore hari disajikan dalam persentase. Total individu setiap jenis yang melakukan aktivitas di pagi sampai siang hari sebesar 62,79 %, sedangkan yang memanfaatkan pada sore hari sebesar 37,21 %. Pada waktu pagi, satwa primata sebagian besar melakukan aktivitas untuk bergerak. Aktivitas bergerak diantaranya seperti bersuara, melompat dan berjalan-jalan mencari makan, pada saat siang hari digunakan untuk istirahat dan berteduh. Selain ditinjau berdasarkan pemanfaatan waktu aktivitas satwaliar, dikategorikan juga berdasarkan pemanfaatan stratifikasi tajuk hutan yaitu sebagai satwa arboreal dan terestrial. Vieira dan Filho (2003) menyatakan bahwa

6 36 perubahan ketinggian pada hutan hujan di Atlantic dapat mengubah komposisi dari komunitas pada lapisan hutan yang berbeda tanpa mengubah pola pemanfaatan habitat vertikal secara spesifik. Primack et al. (1998) menyatakan bahwa kekayaan jenis vertebrata yaitu mamalia berkorelasi dengan struktur kompleks dari hutan. Setiap strata tajuk hutan memilki kemampuan dalam mendukung kehidupan jenis-jenis satwaliar tertentu (Alikodra, 1990). Soerianegara dan Indrawan (2002) membagi strata hutan atas strata A (>30 m), strata B (20-30 m), strata C (4-20 m), strata D (1-4 m), dan strata E (0-1 m). Pemanfaatan strata hutan oleh masing-masing jenis satwa primata disajikan dalam Tabel 6 berikut. Tabel 6. Pemanfaatan strata hutan oleh masing-masing jenis satwa primata No. Nama Lokal Nama Ilmiah Strata Hutan A B C D E 1. Owa ungko Hylobates agilis Monyet ekor panjang Macaca fasicularis 3. Lutung budeng Trachypithecus auratus Lutung simpai Presbytis malalophos Siamang Hylobates syndactylus Dalam pembagian berdasarkan stratifikasi hutan, diketahui bahwa monyet ekor panjang memiliki sebaran vertikal yang lebih luas dibanding seluruh jenis satwa primata lainnya. Monyet ekor panjang memanfaatkan setiap strata hutan yang telah dibagi. Hal ini dapat disebabkan kebiasaan monyet ekor panjang untuk tidak memilih sumberdaya pakan tertentu. Jenis-jenis satwa primata yang memanfaatkan strata A yaitu monyet ekor panjang, owa ungko, lutung budeng dan lutung simpai. Santoso (1983) menyatakan bahwa pola aktivitas monyet ekor panjang di Pulau Tinjil yang banyak aktif pada tajuk pohon mengindikasikan bahwa ketersediaan sumberdaya pakannya sedang berlimpah pada stratifkasi atas.

7 37 Gambar 7. Monyet ekor panjang yang memiliki sebaran vertikal lebih luas Berdasarkan data pengamatan, rata-rata primata memanfaatkan pohon pada strata A dan strata B. Hal ini disebabkan karena pada ketinggian ini tersedia sumber pakan yang dibutuhkan oleh jenis-jenis primata seperti buah, daun, dan serangga. Selain itu, jenis-jenis primata dapat melakukan pergerakan yang lebih mudah dari strata B untuk berpindah ke strata A atau stara C. Gambar 8. Lutung budeng (Trachypithecus auratus) Lutung budeng dan simpai lebih banyak memanfaatkan strata A dibanding jenis mamalia lainnya karena kebutuhan pakan akan daun muda atau pucuk daun. Seperti halnya pernyataan Santoso (1983), lutung budeng juga lebih banyak

8 38 memanfaatkan strata hutan A disebabkan kebutuhannya akan daun muda yang terdapat di tajuk pohon teratas. Primata merupakan salah satu satwa penghuni hutan yang memiliki arti penting dalam kehidupan di alam. Keberadaan primata tidak hanya sebagai penghias alam, namun penting artinya dalam regenerasi hutan tropik. Tingginya tingkat gangguan habitat akibat penebangan liar, menurunnya potensi pakan, timbulnya kebisingan akibat pengoperasian gergaji mesin, perambahan hutan, dan perpindahan satwa ketempat-tempat lain yang baru yang masih menyediakan pakan yang berlimpah di habitat tertentu untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup satwa tersebut dapat menyebabkan penyebaran populasi satwa primata semakin berkurang. Berkurangnya populasi satwa primata di hutan alam nantinya diprediksi akibat dari perburuan satwaliar dan juga sebagai tanda perpindahan satwa tersebut ke habitat baru berupa perkebunan kelapa sawit Komposisi Vegetasi Vegetasi hutan di Taman Nasional Tesso Nilo yang menjadi areal penelitian merupakan vegetasi hutan dataran rendah. Dari hasil analisis vegetasi didapatkan komposisi jenis vegetasi yang sangat beragam. Ditemukan 111 jenis tumbuhan dari 43 famili. Jumlah jenis tumbuhan yang paling banyak ditemukan adalah dari famili Myrtaceae, Sapotaceae, Burseraceae, Anacardiaceae, Fabaceae dan Dipterocarpaceae. Berikut merupakan diagram rekapitulasi 10 famili terbanyak yang diperoleh (Gambar 9). Jenis tumbuhan dari famili Dipterocarpaceae adalah jenis yang paling banyak ditemukan di kawasan hutan ini. Sedikitnya dengan jumlah jenis tumbuhan sebanyak 25 jenis. Sedangkan untuk famili Anacardiaceae dan Fabaceae ditemukan jumlah jenis tumbuhan sebanyak 7 jenis. Untuk famili Burseraceae 6 jenis tumbuhan, famili Sapotaceae 5 jenis tumbuhan, dan famili Myrtaceae sebanyak 4 jenis tumbuhan. Famili Euphorbiaceae, Ebenaceae, Moraceae dan Myristicaceae masing-masing memiliki jumlah jenis tumbuhan yang sama yaitu sebanyak 3 jenis tumbuhan.

9 Jumlah Jumlah Euphorbiaceae Euphorbiaceae Ebenaceae Ebenaceae Moraceae Moraceae Myristicaceae Myristicaceae Myrtaceae Myrtaceae Sapotaceae Sapotaceae Family Family Burseraceae Burseraceae Anacardiacea Anacardiacea Fabaceae Fabaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Gambar 9. Rekapitulasi 10 famili tumbuhan terbanyak yang terdapat di TNTN Areal studi penelitian di Taman Nasional Tesso Nilo yang dekat dengan perkebunan kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur terbagi ke dalam 7 jalur. Vegetasi tumbuhan yang dapat ditemukan di hutan daratan rendah pada umumnya tumbuhan berkayu, tumbuhan rambat, terna, pencekik, saprofit, dan parasit. Jenisjenis tumbuhan berkayu yang banyak ditemukan di hutan TNTN diantaranya antara lain: kelat (Gonystylus forbesii), meranti kunyit (Shorea conica), medang keladi (Talauma gigantifolia), benau (Mangifera spp.), meranti sepat (Shorea macrantha), resak (Vatica spp.), meranti bunga (Shorea platycarpa), jejambu (Eugenia spp.), medang (Diospyros curranii), mahang (Macaranga sp.), sendoksendok (Endospermum diadenum), bintangur (Calophyllum soulattri), tapak-tapak (Sindora wallichii), nasi-nasi (Anisophyllea disticha), kulim (Scorodocarpus bracteatus), dan gerunggang (Cratoxylon spp.). Berikut jenis-jenis tumbuhan yang ada di Taman Nasional Tesso Nilo yang mendominasi di setiap jalurnya di sajikan dalam Tabel 7 berikut:

10 40 Tabel 7. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) terbesar dari tumbuhan di setiap jalur penelitian. Tingkat Jalur Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) Semai 1. Nasi-nasi Anisophyllea disticha Rhizophoraceae Meranti Shorea platycarpa Diptrerocarpaceae bunga 3. Kelat Gonystylus forbesii Thymelaeaceae Kelat Gonystylus forbesii Thymelaeaceae Sendoksendok Endospermum Euphorbiaceae diadenum 6. Kulim Scorodocarpus Moraceae bracteatus 7. Gerunggang Cratoxylon spp. Hypericaceae Pancang 1. Tapak-tapak Sindora wallichii Fabaceae Jejambu Eugenia sp. Myrtaceae Kelat Gonystylus forbesii Thymelaeaceae Jejambu Eugenia sp Myrtaceae Sendoksendok Endospermum Euphorbiaceae diadenum 6. Jejambu Eugenia sp. Myrtaceae Jejambu Eugenia spp. Myrtaceae Tiang 1. Meranti Shorea platycarpa Diptrerocarpaceae bunga 2. Arang-arang Eugenia sp. Myrtaceae Medang Diospyros curranii Ebenaceae Jejambu Eugenia sp. Myrtaceae Sendoksendok Endospermum Euphorbiaceae diadenum 6. Bintangur Calophyllum soulattri Guttaceae Jejambu Eugenia spp. Myrtaceae Pohon 1. Kelat Gonystylus forbesii Thymeliaceae Meranti Shorea conica Diptrerocarpaceae kunyit 3. Medang Talauma gigantifolia Magnoliaceae keladi 4. Benau Mangifera sp. Anacardiacea Meranti sepat Shorea macrantha Diptrerocarpaceae Resak Vatica sp. Diptrerocarpaceae Resak Vatica spp. Diptrerocarpaceae Kondisi Habitat Hampir disetiap jalur, kegiatan manusia di kawasan ini cukup intensif, terlihat dengan sering ditemukannya bekas-bekas aktivitas mereka. Aktivitas yang dijumpai di kawasan ini adalah penebangan hutan, perambahan hutan, dan perburuan satwaliar baik dengan senjata api maupun dengan pemasangan jerat

11 41 yang banyak ditemukan di dalam kawasan ini. Pada jalur 1, terdapat beberapa aktivitas manusia yang dapat mengganggu dan mengancam kelestarian flora dan fauna yaitu dengan adanya keberadaan beberapa lahan garapan berupa kebun kelapa sawit milik masyarakat. Berdasarkan analisis vegetasi yang dilakukan, pada tingkat pertumbuhan semai didominasi oleh Nasi-nasi (Anisophyllea disticha) dengan INP sebesar 20,12%. Untuk tingkat pertumbuhan pancang, didominasi oleh Tapak-tapak (Sindora wallichii) dengan INP sebesar 22,50%. Meranti bunga (Shorea platycarpa) mendominasi pada tingkat pertumbuhan tiang dengan INP sebesar 47,09%, sedangkan pada tingkat pertumbuhan pohon didominasi oleh jenis Kelat (Gonystylus forbesii) dengan INP sebesar 44,84%. Beberapa areal kawasan hutan yang berada di sekitar jalur 2 ini telah terbuka, bekas tebangan oleh masyarakat yang akan dijadikan kebun kelapa sawit. Selain itu juga terdapat bekas potongan kayu yang telah menjadi balok-balok, dan terdengar suara mesin pemotong kayu (chain saw) yang jaraknya dekat dengan areal penelitian. Didalam kawasan hutan ini terdapat aliran sungai dan sebagian besar terendam oleh air. Gambar 10. Kayu balok bekas penebangan liar di dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo Berdasarkan data hasil analisis vegetasi, jenis-jenis yang dominan di kawasan ini untuk vegetasi tingkat pertumbuhan semai didominasi oleh Meranti bunga (Shorea platycarpa) dengan INP sebesar 26,20%. Vegetasi tingkat pertumbuhan pancang didominasi oleh Jejambu (Euginia sp.) dengan INP sebesar

12 42 22,50 %. Vegetasi tingkat pertumbuhan tiang yang mendominasi adalah Arangarang (Eugenia sp.) dengan INP sebesar 43,17%. Sedangkan vegetasi tingkat pertumbuhan pohon didominasi oleh Meranti kunyit (Shorea conica) dengan INP sebesar 32,25%. Jalur 3 dan 4 merupakan areal lokasi penelitaian yang cukup jauh dengan pemukiman. Kawasan ini memiliki topografi yang datar dengan ketinggian m dpl. Untuk jalur 3, pada tingkat pertumbuhan semai, jenis tumbuhan yang mendominasi yaitu Kelat (Gonystylus forbesii) (INP=39,51%). Pada tingkat pertumbuhan pancang juga didominasi oleh Kelat (Gonystylus forbesii) dengan INP sebesar 40,48%. Untuk tingkat tiang yang mendominsasi jenis Petaling gajah (Homalium longifolium) dengan INP sebesar 41,28%. Sedangkan pada tingkat pohon jenis yang mendominasi yaitu jenis Medang keladi (Lalauma gigantifolia) dengan INP sebesar 36,31%. Jenis tumbuhan di jalur 4 yang mendominasi untuk tingkat semai yaitu Kelat (Gonystylus forbesii) (INP=84,81%). Pada tingkat pertumbuhan pancang, didominasi oleh Jejambu (Eugenia sp.) dengan INP sebesar 29,52%. Untuk tingkat pertumbuhan tiang, didominasi oleh Jejambu (Eugenia sp.) dengan INP sebesar 80,97%. Sedangkan pada tingkat pertumbuhan pohon, didominasi oleh Benau (Mangifera sp.) dengan INP sebesar 27,46%. Gambar 11. Areal bekas perambahan hutan didalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo Jalur 5 dan 6 merupakan jalur dimana terdapat banyak bekas kotoran dan jejak gajah. Di jalur ini sering terjadi masuknya gajah-gajah liar kedalam kebun

13 43 kelapa sawit dan merusaknya. Hal ini bisa disebabkan kawasan hutan yang semakin menyempit akibat konversi hutan menjadi kebun kelapa sawit. Di jalur 5, untuk tingkat pertumbuhan semai didominsi oleh Sendok-sendok (Endospermum diadenum) dengan INP sebesar 40,13%. Untuk tingkat pertumbuhan pancang juga didominasi oleh sendok-sendok dengan INP sebesar 33,44%. Pada tingkat pertumbuhan tiang didominasi oleh Meranti bunga (Shorea platycarpa) dengan INP sebesar 32,94%. Sedangkan untuk tingkat pertumbuhan pohon didominasi oleh jenis Meranti sepat (Shorea macrantha). Sendok-sendok merupakan jenis tumbuhan yang dapat hidup pada tegakan yang terbuka. Dominasi tumbuhan sendok-sendok pada hutan dataran rendah menunjukkan bahwa kondisi hutan dataran rendah tergolong terganggu. Kondisi hutan yang terganggu dapat juga diketahui dengan interaksi masyarakat yang berbatasan dengan hutan dataran rendah penebangan liar, perburuan satwaliar, mencari rotan ataupun kayu bakar. Untuk jalur 6, tingkat pertumbuhan semai didominasi oleh Kulim (Scorodocarpus bracteatus) dengan INP sebesar 74,66%. Untuk vegetasi tingkat pertumbuhan pancang didominasi oleh Jejambu (Eugenia sp.) dengan INP sebesar 56,14%. Untuk tingkat pertumbuhan tiang jenis didominasi oleh Bintangur (Colopyhllum soulattri) dengan INP sebesar 79,58%. Sedangkan untuk vegetasi tingkat pertumbuhan pohon didominasi oleh jenis Resak (Vatica sp.) dengan INP sebesar 61,31%. Berdasarkan analisis vegetasi yang dilakukan di jalur 7, diperoleh jenisjenis yang mendominasi pada habitat jalur VII. Pada tingkat pertumbuhan semai didominasi oleh Gerunggang dengan INP sebesar 48,08%. Pada tingkat pertumbuhan pancang didominasi oleh Jejambu dengan INP sebesar 57,98%. Pada tingkat pertumbuhan tiang juga didominasi oleh Jejambu dengan INP sebesar 80,61%. Sedangkan untuk tingkat pertumbuhan pohon jenis yang mendominasi yaitu Resak dengan INP sebesar 57,15%. Jenis. Habitat jalur ini memiliki topografi yang bergelombang, dengan kondisi habitat sebagian hutan rawa. Kondisi habitat di jalur ini keadaan hutannya lebih baik dibandingkan dengan jalur-jalur lainnya. Vegetasi hutan di jalur ini memiliki tingkat kerapatan yang tergolong tinggi dan belum tersentuh oleh adanya kegiatan

14 44 manusia. Akan tetapi kerusakan dan gangguan habitat di jalur ini masih bisa terjadi, karena seiring dengan berjalannya waktu dimana aktivitas manusia bukan tidak mungkin akan masuk ke habitat ini. Sehingga perlu dilakukan pengawasan dan perlindungan terhadap sumber daya hayati dan ekosistemnya yang masih alami demi tercapainya keseimbangan ekologi hutan. Gambar 12. Kondisi hutan Taman Nasional Tesso Nilo yang belum terganggu Seiring dengan perkembangan kondisi kawasan, habitat satwaliar di Taman Nasional Tesso Nilo banyak mengalami perubahan. Sebagai kesatuan ekosistem, apabila ada perubahan kondisi suatu bagian dari kawasan, yang merupakan juga habitat satwaliar akan membawa pengaruh dan perubahan pada satwaliar tersebut. Perubahan habitat tersebut bisa berupa berubahnya tipe penutupan lahan maupun tipe vegetasi dan terjadinya fragmentasi habitat. Pembalakan intensif sangat berpengaruh terhadap kerusakan struktur hutan terutama di kawasan hutan yang persentase komersialnya tinggi (Whitmore, 1982 dalam Yusuf, 1998). Haryanto (1987) dalam Yusuf (1998) berpendapat kegiatan pembalakan dengan sistem mekanis dengan intensif menyebabkan tumbuhnya jenis-jenis pionir secara dominan, seperti Macaranga spp., Mollatus spp., dan Anthhocephalus spp. Hal ini berarti menandakan rusaknya struktur hutan, yang berarti rusaknya habitat berbagai jenis satwaliar yang ada didalamnya. Pengaruh perubahan kondisi habitat akibat pembalakan terhadap satwaliar bervariasi menurut tingkat perubahan dan kemampuan beradaptasi jenis. Di areal bekas pembalakan yang bebas dari gangguan memegang peranan penting dalam memperkecil pengaruh negatif tersebut. Rinaldi (1985) dalam Yusuf (1998)

15 45 berpendapat di Way Kambas menunjukan bahwa siamang dapat beradapatasi dengan baik pada kondisi vegetasi tanpa strata A yang didominasi oleh jenis-jenis yang berfamili non-dipterocarpaceae. Begitu juga hasil penelitian Haryanto (1987) dalam Yusuf (1998) Hylobates muelleri dan Presbytis rubicunda yang sanggup beradaptasi dengan baik pada areal dengan strata yang lengkap. Secara keseluruhan keadaan hutan sebagai habitat satwaliar terancam mengalami kerusakan. Kerusakan habitat satwaliar di kawasan ini terjadi karena kondisi habitat telah banyak mengalami gangguan. Gangguan itu sendiri disebabkan oleh adanya kegiatan manusia seperti maraknya kegiatan penebangan liar. Ditambah dengan kawasannya yang dekat dengan perkebunan kelapa sawit, sehingga banyak perladangan liar yang dilakukan oleh penduduk sekitar dengan cara merambah hutan untuk ditanami dengan tanaman perkebunan tersebut yaitu kelapa sawit. Hal ini bila dibiarkan terus menerus akan dapat berakibat pada penurunan/degradasi populasi satwaliar terutama primata yang ada disekitarnya dan dapat mengancam akan keberadaan dan kelestariannya. Bahkan bila gangguan habitat tersebut terus terjadi lagi, selain dapat merusak habitat primata secara fisik juga dapat mengakibatkan terjadinya efek fragmentasi habitat dan kematian satwa primata serta migrasi satwaliar terutama primata Komunitas Primata di Dalam Kawasan Lindung Keanekaragaman Jenis Primata Jenis primata yang ditemukan di areal kawasan lindung yang berada di dalam perkebunan kelapa sawit yaitu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina). Berdasarkan hasil rekapitulasi data jumlah jenis dan individu satwa primata diperoleh indeks keanekaragaman jenis primata menurut Shannon Wiener sebesar 0,69. Hal ini berarti di areal kawasan lindung ini memiliki tingkat keanekaragaman jenis primata yang tergolong rendah. Tabel 8. Jenis-jenis satwa primata yang ditemukan di kawasan lindung perkebunan kelapa sawit No. Nama lokal Nama ilmiah Famili 1. Monyet ekor panjang Macaca fasicularis Cercopithecidae 2. Beruk Macaca nemestrina Cercopithecidae

16 46 Keanekaragaman jenis satwaliar bergantung pada luasan habitatnya, semakin besar atau luas suatu habitat maka kemungkinan ditemukannya jumlah jenis satwaliar semakin besar juga. Serupa dengan Soerianegara & Indrawan (2002) yang menambahkan bahwa ukuran contoh yang semakin besar menyebabkan jumlah jenis yang ditemukan bertambah. Gambar 13. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di dalam kawasan lindung perkebunan kelapa sawit Kepadatan Populasi Untuk menentukan ukuran populasi ditentukan dengan kepadatan populasi. Jumlah jenis primata monyet ekor panjang yang ditemukan sebanyak 13 ekor. Sehingga didapatkan populasi dugaan untuk jenis monyet ekor panjang sebesar 41,17 ekor perluasan 3,8 ha. Jumlah jenis primata beruk yang ditemukan sebanyak 11 ekor. Sehingga didapatkan populasi dugaan untuk jenis beruk sebesar 34,83 ekor perluasan 3,8 ha. Keberadaan satwa primata di kawasan lindung ini sangat rentan terhadap ancaman keberadaan manusia sehingga mengancam terhadap kemerosotan populasinya. Pendugaan populasi satwa primata di kawasan lindung perkebunan kelapa sawit disajikan dalam Tabel berikut ini.

17 47 Tabel 9. Pendugaan populasi satwa primata di kawasan lindung perkebunan kelapa sawit Dugaan No Kepadatan Populasi Luas Jenis Primata Populasi Persentase. Rata-rata (ekor/ha) (ha) Seluruh Areal 1. Monyet ekor 10,83 41,17 54,17% panjang 3,8 2. Beruk 9,17 34,83 45,83% Total % Perilaku dan Aktivitas Monyet ekor panjang dan beruk yang ditemukan di kawasan lindung yang ada di dalam perkebunan kelapa sawit hidup dalam kelompok. Monyet ekor panjang membentuk kelompok dengan jumlah individu yang ditemukan sebanyak 13 ekor dan beruk hidup membentuk kelompok dengan jumlah individu 11 ekor. Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), monyet ini hidup dalam kelompok yang terdiri dari banyak jantan dan betina dewasa. Jumlah individu setiap kelompok berbeda-beda. Di hutan bakau umumnya berjumlah antara ekor, sedangkan di hutan primer bisa mencapai ekor. Sedangkan beruk hidup berkelompok berjumlah sekitar 3-15 ekor pada hutan yang sudah terganggu, sedangkan pada hutan yang belum terganggu bisa mencapai 40-an ekor. Struktur organisasinya adalah multimale-multifemale atau banyak jantan dan betina dewasa. Monyet ekor panjang dan beruk dalam melakukan aktivitasnya, lebih banyak dilakukan pada pagi hari sampai sore hari (diurnal). Di pagi hari, monyet dan beruk mencari makan di dalam kawasan lindung berupa buah-buahan. Kadang-kadang ke daerah perkebunan kelapa sawit dengan melompat melewati sungai melalui dahan yang paling atas yang menjorok ke arah luar ke pelepah sawit untuk mencari pakan berupa buah kelapa sawit yang masih muda, dan kembali lagi ke dalam kawasan lindung pada sore hari. Kadang-kadang dijumpai di siang hari, kedua jenis primata ini kembali ke kawasan lindung untuk beristirahat dan berteduh Karakteristik Habitat Vegetasi di areal cadangan (hutan lindung) yang berada di dalam perkebunan kelapa sawit mempunyai habitat yang cukup unik, karena hampir

18 48 sebagian besar didominasi oleh jenis tumbuhan buah-buahan. Dari hasil analisis vegetasi didapatkan komposisi jenis vegetasi yang ditemukan yaitu 17 jenis tumbuhan. Komponen vegetasi jenis tumbuhan untuk di areal ini diantaranya adalah balam, cempedak, duku, durian, jeruk, kapau, kopi, laban, mangga, manggis, mata kucing, medang, mentaling, mindi, mundu, rambutan, dan rauh. Gambar 14. Kondisi vegetasi di areal kawasan lindung perkebunan sawit. kelapa Untuk tingkat semai jenis yang paling mendominasi adalah dari jenis tumbuhan kopi (Coffea spp.) dengan INP sebesar 79,65 %, sedangkan untuk tingkat pancang didominasi oleh tumbuhan jenis rambutan (Nephellium lappceum) dengan INP sebesar 44,44 %. Jenis tumbuhan untuk tingkat tiang didominasi oleh jenis laban (Vitex gamosepala) dengan INP sebesar 76,30 %, sedangkan untuk tingkat pohon jenis yang paling banyak ditemukan adalah jenis durian (Durio zibethinus) dengan INP sebesar 58,18 %. Berikut tabel dari INP untuk tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Tabel 10. INP untuk tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon No. Tingkat Jenis Nama Latin INP 1. Semai Kopi Coffea spp. 79,65 % 2. Pancang Rambutan Nephellium lappceum 44,44 % 3. Tiang Laban Vitex gamosepala 76,30 % 4. Pohon Durian Durio zibethinus 58,18 %

19 49 Kondisi habitat kawasan lindung di dalam perkebunan kelapa sawit ini yang didominasi oleh jenis tumbuhan buah-buahan menjadi pakan untuk jenis primata yang ada didalamnya. Kawasan tersebut dekat dengan sumber air (sempadan sungai), dan keadaan topografinya yang landai. Gambar 15. Kondisi sempadan sungai di areal kawasan lindung perkebunan kelapa sawit. Kawasan lindung dengan luasan areal kurang lebih 3,8 ha ini tidak sesuai dengan daya dukung habitat untuk primata tersebut. Karena luas kawasan yang sempit sering kali primata mencari makan di luar kawasan lindung yaitu perkebunan kelapa sawit. Sehingga, perlu dilakukan usaha penambahan luas kawasan guna tercapainya daya dukung habitat primata tersebut. Kondisi vegetasi di kawasan lindung memiliki tingkat kerapatan yang sedang. Seiring dengan perkembangan zaman kawasan tersebut sangat rentan akan gangguan aktivitas dari manusia seperti aktivitas pekerja buruh kebun kelapa sawit dan perburuan liar terhadap satwa primata.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Habitat Hutan Tesso Nilo merupakan salah satu hutan hujan dataran rendah yang tersisa di Sumatera saat ini dan merupakan daerah aliran Sungai Kampar. Hutan Tesso

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN DAN SEBARAN SATWA PRIMATA DI TAMAN NASIONAL TESSO NILO YANG BERBATASAN DENGAN KEBUN KELAPA SAWIT PT. INTI INDOSAWIT SUBUR, UKUI, RIAU

KEANEKARAGAMAN DAN SEBARAN SATWA PRIMATA DI TAMAN NASIONAL TESSO NILO YANG BERBATASAN DENGAN KEBUN KELAPA SAWIT PT. INTI INDOSAWIT SUBUR, UKUI, RIAU KEANEKARAGAMAN DAN SEBARAN SATWA PRIMATA DI TAMAN NASIONAL TESSO NILO YANG BERBATASAN DENGAN KEBUN KELAPA SAWIT PT. INTI INDOSAWIT SUBUR, UKUI, RIAU MOHAMMAD NURDIN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN

Lebih terperinci

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara)

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara) POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara) BALAI PENELITIAN KEHUTANAN AEK NAULI PENDAHULUAN Ekowisata berkembang seiringin meningkatnya

Lebih terperinci

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 :!,1G():5kr'W:5 JURnAl EKOlOGI DAn SAlns PUSAT PENELITIAN LlNGKUNGAN HIDUP a SUMBERDAYA ALAM (PPLH SDA) UNIVERSITAS PATTIMURA VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 POTENSI FLORA

Lebih terperinci

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK A. Kehadiran Satwaliar Kelompok Mamalia Kawasan Gunung Parakasak memiliki luas mencapai 1.252 ha, namun areal yang berhutan hanya tersisa < 1%. Areal hutan di Gunung

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk 122 VI. PEMBAHASAN UMUM Perluasan TNGH (40.000 ha) menjadi TNGHS (113.357 ha) terjadi atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitar TNGH, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Morfologi Umum Primata

II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Morfologi Umum Primata II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Morfologi Umum Primata Secara keseluruhan primata sudah mengalami spesialisasi untuk hidup di pohon. Menurut J.R. Napier dan P.H. Napier (1967), klasifikasi ilmiah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna (Syarifuddin, 2011). Menurut

Lebih terperinci

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP. 21 BAB V HASIL 5.1 Distribusi 5.1.1 Kondisi Habitat Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Joja (Presbytis potenziani) adalah salah satu primata endemik Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang unik dan isolasinya di Kepulauan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 28 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komposisi dan Struktur Tegakan 5.1.1. Komposisi Jenis Komposisi jenis merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17 persen dari jumlah seluruh spesies burung dunia, 381 spesies diantaranya merupakan spesies endemik (Sujatnika, Joseph, Soehartono,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus)

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus) Lutung (Trachypithecus auratus cristatus) Oleh: Muhammad Faisyal MY, SP PEH Pelaksana Lanjutan Resort Kembang Kuning, SPTN Wilayah II, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani Trachypithecus auratus cristatus)

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Kawasan lindung Bukit Barisan Selatan ditetapkan pada tahun 1935 sebagai Suaka Marga Satwa melalui Besluit Van

Lebih terperinci

OWA KELAWAT (Hylobates muelleri) SEBAGAI OBYEK WISATA PRIMATA DI TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA

OWA KELAWAT (Hylobates muelleri) SEBAGAI OBYEK WISATA PRIMATA DI TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA 1 OWA KELAWAT (Hylobates muelleri) SEBAGAI OBYEK WISATA PRIMATA DI TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA Afroh Manshur, M. Yunus A. Saputra, Fadhilah Iqra Mansyur Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah tropis dan mempunyai hutan hujan tropis yang cukup luas. Hutan hujan tropis mempunyai keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996) PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1. Taman Nasional Tesso Nilo Sejarah Kawasan

IV. KONDISI UMUM 4.1. Taman Nasional Tesso Nilo Sejarah Kawasan 18 IV. KONDISI UMUM 4.1. Taman Nasional Tesso Nilo 4.1.1. Sejarah Kawasan Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo mulanya dikenal sebagai kawasan hutan langgam yang difungsikan sebagai Hutan Produksi terbatas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan mungkin paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti rawa,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-ekologi 1. Taksonomi Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and Napier, 1986). Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di Indonesia. Hutan rawa gambut mempunyai karakteristik turnbuhan maupun hewan yang khas yaitu komunitas

Lebih terperinci

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG Sri Sumarni Fakultas Pertanian Universitas Kapuas Sintang e-mail : sri_nanisumarni@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung

Lebih terperinci

BAB IV PROFIL VEGETASI GUNUNG PARAKASAK

BAB IV PROFIL VEGETASI GUNUNG PARAKASAK BAB IV PROFIL VEGETASI GUNUNG PARAKASAK A. Kehadiran dan Keragaman Jenis Tanaman Pada lokasi gunung parakasak, tidak dilakukan pembuatan plot vegetasi dan hanya dilakukan kegiatan eksplorasi. Terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Keanekaragaman sumber daya hayati Indonesia termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ekosistem hutan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar terdapat di hutan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Salak merupakan salah satu ekosistem pegunungan tropis di Jawa Barat dengan kisaran ketinggian antara 400 m dpl sampai 2210 m dpl. Menurut (Van Steenis, 1972) kisaran

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman hayati yang terkandung

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM. Edy Hendras Wahyono

MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM. Edy Hendras Wahyono MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM Edy Hendras Wahyono Penerbitan ini didukung oleh : 2 MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI ACEH Naskah oleh : Edy Hendras Wahyono Illustrasi : Ishak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan semakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia seiring dengan perkembangan zaman. Pemanfaatan hutan biasanya sangat bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki luas sekitar Ha yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri

BAB I PENDAHULUAN. memiliki luas sekitar Ha yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lereng selatan Gunung Merapi meliputi Taman Nasional Gunung Merapi merupakan salah satu kawasan konservasi yang ada di Yogyakarta. Kawasan ini memiliki luas sekitar

Lebih terperinci

MONITORING LINGKUNGAN

MONITORING LINGKUNGAN MONITORING LINGKUNGAN Monitoring dalam kegiatan pengelolaan hutan sangat diperlukan guna mengetahui trend/kecenderungan perkembangan vegetasi (flora), fauna maupun kondisi alam dengan adanya kegiatan pengelolaan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Lokasi Penelitian 4.1.1 Letak dan Luas Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak antara 6 0 21-7 0 25 Lintang Selatan dan 106 0 42-107 0 33 Bujur

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, dua per tiga wilayah Indonesia adalah kawasan perairan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dijadikan sebagai salah satu habitat alami bagi satwa liar. Habitat alami di

I. PENDAHULUAN. dijadikan sebagai salah satu habitat alami bagi satwa liar. Habitat alami di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan basah merupakan daerah peralihan antara sistem perairan dan daratan yang dijadikan sebagai salah satu habitat alami bagi satwa liar. Habitat alami di Indonesia

Lebih terperinci

UKURAN KELOMPOK SIMPAI (Presbytis melalophos) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN

UKURAN KELOMPOK SIMPAI (Presbytis melalophos) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN UKURAN KELOMPOK SIMPAI (Presbytis melalophos) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN (SIMPAI (Presbytis melalophos) GROUP SIZE IN A FOREST OF CUGUNG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Vegetasi 5.1.1. Kondisi Habitat Daerah Aliran Sungai Analisis vegetasi dilakukan pada tiga lokasi dengan arah transek tegak lurus terhadap Hulu Sungai Plangai dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah. jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Burung memerlukan syarat

TINJAUAN PUSTAKA. Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah. jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Burung memerlukan syarat 17 TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi Burung Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai hampir di setiap tempat. Jenisnya sangat beranekaragam dan masingmasing jenis memiliki nilai

Lebih terperinci

I. PENDAHALUAN. dan kehutanan. Dalam bidang kehutanan, luas kawasan hutannya mencapai. (Badan Pusat Statistik Lampung, 2008).

I. PENDAHALUAN. dan kehutanan. Dalam bidang kehutanan, luas kawasan hutannya mencapai. (Badan Pusat Statistik Lampung, 2008). I. PENDAHALUAN A. Latar Belakang Masalah Provinsi Lampung dengan luas ± 3.528.835 ha, memiliki potensi sumber daya alam yang sangat beraneka ragam, prospektif, dan dapat diandalkan, mulai dari pertanian,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Kota Hutan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan ' Dari penelitian ini disimpulkan antara lain: "

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan ' Dari penelitian ini disimpulkan antara lain: BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ' i Dari penelitian ini disimpulkan antara lain: " Kemsakan hutan rawa gambut di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu dipengaruhi secara langsung oleh adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan primer (primary forest) adalah hutan yang telah mencapai umur lanjut dan ciri struktural tertentu yang sesuai dengan kematangannya serta memiliki sifat-sifat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Jenis Burung di Permukiman Keanekaragaman hayati dapat dikategorikan menjadi tiga tingkatan, yaitu keanekaragaman jenis, keanekaragaman genetik, dan keanekaragaman

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki jumlah keanekaragaman hayati nomor 2 paling banyak di dunia setelah Brasil (Noerdjito et al. 2005), yang mencakup 10% tumbuhan berbunga, 12% spesies mamalia,

Lebih terperinci