KEANEKARAGAMAN DAN SEBARAN SATWA PRIMATA DI TAMAN NASIONAL TESSO NILO YANG BERBATASAN DENGAN KEBUN KELAPA SAWIT PT. INTI INDOSAWIT SUBUR, UKUI, RIAU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEANEKARAGAMAN DAN SEBARAN SATWA PRIMATA DI TAMAN NASIONAL TESSO NILO YANG BERBATASAN DENGAN KEBUN KELAPA SAWIT PT. INTI INDOSAWIT SUBUR, UKUI, RIAU"

Transkripsi

1 KEANEKARAGAMAN DAN SEBARAN SATWA PRIMATA DI TAMAN NASIONAL TESSO NILO YANG BERBATASAN DENGAN KEBUN KELAPA SAWIT PT. INTI INDOSAWIT SUBUR, UKUI, RIAU MOHAMMAD NURDIN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

2 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman dan Sebaran Satwa Primata di Taman Nasional Tesso Nilo yang Berbatasan dengan Kebun Kelapa Sawit PT. Inti Indosawit Subur, Ukui, Riau adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks serta dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Januari 2010 Mohammad Nurdin NIM. E

3 RINGKASAN MOHAMMAD NURDIN. E Keanekaragaman dan Sebaran Satwa Primata di Taman Nasional Tesso Nilo yang Berbatasan dengan Kebun Kelapa Sawit PT. Inti Indosawit Subur, Ukui, Riau. Dibawah bimbingan A. MACHMUD THOHARI Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) merupakan kawasan hutan dataran rendah yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, salah satunya adalah satwa primata. Lokasi TNTN ini dekat dengan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman. Taman Nasional Tesso Nilo yang letaknya berbatasan langsung dengan perkebunan kelapa sawit akan memiliki dampak atau pengaruh terhadap keberadaan satwaliar khususnya satwa primata. Berkurangnya habitat asli di dalam hutan karena semakin berkembang dan meluasnya areal perkebunan terutama kelapa sawit dapat mengakibatkan degradasi populasi dan migrasi satwa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman jenis dan sebaran satwa primata, dan juga untuk mengetahui karakteristik habitat terutama pada kawasan Taman Nasional Tesso Nilo. Dengan menggunakan intensitas sampling 1 % dari luas arael yang diteliti yaitu diambil sepertiga luasan taman nasional sebesar ha, maka didapatkan total luas unit contoh yang harus diamati adalah 135 ha. Dengan total luas unit contoh tersebut dan luas setiap unit contohnya 20 ha maka jumlah jalur yang harus diamati sebanyak 7 jalur. Inventarisasi satwaliar dengan menggunakan metode line transect (transek garis) dan analisis vegetasi untuk habitatnya. Panjang jalur pengamatan ±2 km dan lebar kiri-kanan jalur 50 m. Kegiatan penelitian dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan dari bulan Maret-Mei 2008 dilakukan di TNTN. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak Minitab 13 dan Excel Satwa primata yang ditemukan di Taman Nasional Tesso Nilo sebanyak 5 jenis dari 2 famili, yaitu dari famili Cercopithecidae (3 jenis) seperti monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung budeng (Trachypithecus auratus) dan lutung simpai (Presbytis melalophos). Sedangkan dari famili Hylobatidae ditemukan 2 jenis primata yaitu owa ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Hylobates syndactylus). Pola sebaran dari seluruh jenis primata di areal studi menunjukan sebarannya mengelompok. Dari hasil analisis vegetasi didapatkan komposisi jenis vegetasi yang sangat beragam. Ditemukan 111 jenis tumbuhan dari 43 famili. Jumlah jenis tumbuhan yang paling banyak ditemukan adalah dari famili Dipterocarpaceae dengan 25 jenis. Untuk tingkat pohon INP jenis yang mendominasi adalah Resak (Vatica spp.) INP 61,31%, tingkat tiang adalah jenis Jejambu (Eugenia spp.) dengan INP 80,97%. Tingkat pancang juga sama yaitu jenis Jejambu (Eugenia spp.) INP 57,98%. Sedangkan untuk semai jenis yang banyak adalah Kelat (Gonystylus forbesii) INP 84,81%. Secara keseluruhan kondisi hutan Tesso Nilo sebagai habitat satwaliar sangat terancam. Hal ini diakibatkan karena adanya gangguan penebangan dan perladangan liar yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Kata kunci: Taman Nasional Tesso Nilo, satwa primata

4 SUMMARY MOHAMMAD NURDIN. E Biodiversity and Distribution of Primate in Tesso Nilo National Park Abuted on Palm Plantation of PT. Inti Indosawit Subur, Ukui, Riau. Under supervision of A. MACHMUD THOHARI Tesso Nilo National Park is lowland forest area which still having a high biodiversity, one of them is primates. Location of This national park in encircling by palm plantation area and industrial forest (HTI). This hardly having an effect or affecting for existence of wildlife especially primates. Number of residents that is increasingly increases has increased requirement would various land resources, so that many forests converted to fulfill requirement of area of settlement, agricultural land, plantation and industry crop forest resulting to decrease and the happening of fragmentation of habitat. PT. Inti Indosawit Subur is one of palm plantation company which close at Tesso Nilo National Park. This company also experiences problem which caused by the entry of primates like longtailed and pigtailed macaques to areal plantation and eats of palm-kernel. Sees from the problems hence required [by] this study. The aims of the study were to identify biodiversity and distribution of primate, and characteristics of habitat in Tesso Nilo National Park. Areal becoming research area with a wide ha, that a third expansion of Tesso Nilo National Park and made 1% intensitas sampling so just 135 ha had become sample plot area of researching. In such a way that observations were made in seven artificial traffic lane, on the Tesso Nilo National Park abuted on palm plantation of PT. Inti Indosawit Subur with 2 km long to each and width 100 m, this observation using line transect method (Stripe Transect) for inventory of primate and vegetation analysis. This study was conducted on March to May Data analysis was conducted using Minitab 13 and Microsoft Excel for Windows Primates finding 5 species such as long-tail macaque, mitred leaf monkey, ebony leaf monkey, agile gibbon, and siamang in Tesso Nilo National Park. And the distribution of primate dispersed as group (agregatif). Vegetation analysis at tree stand, pillar, stake and seedling it is gotten that amounts species identified 111 plant types which is including 43 set of relativeses. Vegetation types which at most found is from set of relatives Dipterocarpaceae with number of plant types 25 species. for level of tree, important and dominant type with value INP is plant type Resak (Vatica spp.) INP 61,31%, At growth level of pillar species which important and is dominant is type Jejambu (Eugenia spp.) INP 80,97%. At growth level of important and dominant species stake is Jejambu (Eugenia spp.) INP 57,98%. At growth level of seedling species which is dominant is Kelat (Gonystylus forbesii) INP 84,81%. Totality condition of Tesso Nilo forest as habitat of primates in danger. It is because disturbance from illegal logging and illegal farming that doing by local people. Keyword: Tesso Nilo National Park, Primate

5 KEANEKARAGAMAN DAN SEBARAN SATWA PRIMATA DI TAMAN NASIONAL TESSO NILO YANG BERBATASAN DENGAN KEBUN KELAPA SAWIT PT. INTI INDOSAWIT SUBUR, UKUI, RIAU MOHAMMAD NURDIN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

6 Judul Penelitian : Keanekaragaman dan Sebaran Satwa Primata di Taman Nasional Tesso Nilo yang Berbatasan dengan Kebun Kelapa Sawit PT. Inti Indosawit Subur, Ukui, Riau Nama : Mohammad Nurdin NRP : E Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas : Kehutanan Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA NIP : Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP Tanggal Lulus:

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 21 November 1984 di Bogor, Jawa Barat, dari pasangan Mawih dan Atjih. Pendidikan formal ditempuh pada SD Negeri Cilendek 1 Bogor hingga lulus pada tahun Kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama ditempuh di SLTP Negeri 6 Bogor dan lulus pada tahun Penulis menamatkan jenjang pendidikan menengah atas pada tahun 2003 di SMU Rimba Madya Bogor dan memperoleh Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan pilihan mayor Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Penulis pernah aktif sebagai anggota HIMAKOVA (Himpunan Mahasiswa Konservasi), dan tergabung ke dalam Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH). Pada tahun Penulis melaksanakan kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Perhutani Unit 1 Jawa Tengah di BKPH Rawa Timur (Cilacap), BKPH Gunung Slamet Barat (Baturraden) dan di Getas pada tahun Kemudian dilanjutkan dengan kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur selama kurang lebih 2 bulan pada tahun Penulis melakukan penelitian karya ilmiah yang berjudul Keanekaragaman dan Sebaran Satwa Primata di Taman Nasional Tesso Nilo yang Berbatasan dengan Kebun Kelapa Sawit PT. Inti Indosawit Subur, Ukui, Riau, dibawah bimbingan Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB.

8 UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam terhaturkan kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat serta umatnya hingga akhir zaman. Penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini dan penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Orangtua Ayah dan Bunda (Mawih dan Atjih) tercinta yang selalu mendoakan, mendukung serta memberikan motivasi baik secara moral dan materil selama proses belajar dan penyelesaian skripsi. 2. Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA selaku Pembimbing yang selalu memberikan nasehat, arahan dan bimbingan. 3. Ir. Endang S. Husaeni, M.Si dan Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, M.Si sebagai dosen penguji komprehensif atas koreksi, saran dan nasehat kepada penulis. 4. Febi Muryanto, S.Hut dan Mohammad Ramli, S.Hut atas segala dukungan, bantuan, semangat, dan motivasi yang diberikan kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi. 5. Bu Evan, Bu Titin, Pak Acu atas segala dukungan, waktu, semangat dan nasihat yang diberikan kepada penulis. 6. Teman-teman KSHE angkatan komodo (2003/40) atas pembelajaran, semangat, dan motivasi selama proses belajar.

9 KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil alamin dengan rasa puji dan syukur kehadirat Allah Subhannahu Wa Ta ala atas segala petunjuk, rahmat dan karunia-nya yang telah mengingatkan kita ketika lupa dari-nya dan memberi pengetahuan atas kebodohanku serta memberikan kemudahan kami atas setiap urusan, sehingga laporan penelitian ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam semoga senantiasa tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad saw beserta keluarga, para sahabatnya yang terpilih, serta para pengikutnya. Skripsi ini berjudul Keanekaragaman dan Sebaran Satwa Primata di Taman Nasional Tesso Nilo yang Berbatasan dengan Kebun Kelapa Sawit PT. Inti Indosawit Subur Ukui Riau, disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini mengkaji mengenai keanekaragaman jenis primata dan sebarannya serta karakteristik habitatnya yang ada di dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo. Sebagai informasi tambahan, dilakukan juga studi keanekaragaman jenis primata di kawasan lindung dalam perkebunan kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan dunia ilmu pengetahuan. Bogor, Januari 2010 Mohammad Nurdin NIM. E

10 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan Manfaat... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Morfologi Umum Primata Beberapa Jenis Primata di Indonesia Macaca fascicularis Macaca nemestrina Presbytis melalophos Trachypithecus auratus Hylobates syndactylus Hylobates agilis III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Metode Pengambilan Data Analisis Data IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Taman Nasional Tesso Nilo Sejarah Kawasan Letak dan Luas Aksesibilitas Topografi Geologi dan Tanah Iklim Hidrologi Flora Fauna PT. Inti Indosawit Subur Curah Hujan Suhu Udara Batas Wilayah Iklim Geologi i ii iv v vi

11 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komunitas Primata di Taman Nasional Tesso Nilo Keanekaragaman Jenis Primata Kepadatan Populasi Sebaran dan Aktivitas Komposisi Vegetasi Kondisi Habitat Komunitas Primata di Dalam Kawasan Lindung Keanekaragaman Jenis Primata Kepadatan Populasi Perilaku dan Aktivitas Karakterisitik Habitat VI. KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Saran DARTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 54

12 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1 Luasan bentang lahan berdasarkan kelas kemiringan lereng secara metrik Jenis Tanah yang Terdapat di PT. Inti Indosawit Subur, kebun Ukui Jenis-jenis satwa primata yang ditemukan di TNTN Pendugaan populasi beberapa satwa primata yang diamati TN Tesso Nilo Sebaran populasi jenis-jenis primata di areal studi TNTN Pemanfaatan strata hutan oleh masing-masing jenis satwa primata Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) terbesar dari tumbuhan di setiap jalur penelitian Jenis-jenis satwa primata yang ditemukan di kawasan lindung perkebunan kelapa sawit Pendugaan populasi satwa primata di kawasan lindung perkebunan kelapa sawit INP untuk tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon... 48

13 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1 Peta lokasi penelitian di TN Tesso Nilo yang berbatasan dengan kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur Bentuk transek garis pengamatan satwaliar primata di TNTN Bentuk unit contoh metode garis berpetak untuk inventarisasi vegetasi Peta letak kawasan Taman Nasional Tesso Nilo Diagram kepadatan populasi ke lima jenis primata yang berada di dalam kawasan TNTN Owa ungko (Hylobates agilis) Monyet ekor panjang yang memiliki sebaran vertikal lebih luas Lutung budeng (Trachypithecus auratus) Rekapitulasi 10 famili tumbuhan terbanyak yang terdapat di TNTN Kayu balok bekas penebangan liar di dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo Areal bekas perambahan hutan didalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo Kondisi hutan Taman Nasional Tesso Nilo yang belum terganggu Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di dalam kawasan lindung perkebunan kelapa sawit Kondisi vegetasi di areal cadangan (kawasan lindung) perkebunan kelapa sawit Kondisi sempadan sungai di areal cadangan (kawasan lindung) perkebunan kelapa sawit... 49

14 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1 Jenis-jenis tumbuhan di kawasan TNTN Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai dan pancang di jalur Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang dan pohon di jalur Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai dan pancang di jalur Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang dan pohon di jalur Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai dan pancang di jalur Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang dan pohon di jalur Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai dan pancang di jalur Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang dan pohon di jalur Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai dan pancang di jalur Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang dan pohon di jalur Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai dan pancang di jalur Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang dan pohon di jalur Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai dan pancang di jalur Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang dan pohon di jalur Pengamatan satwa primata di TNTN Tally Sheet Pengamatan Vegetasi Tingkat Pohon Tally Sheet Pengamatan Vegetasi Tingkat Tiang Tally Sheet Pengamatan Vegetasi Tingkat Pancang Tally Sheet Pengamatan Vegetasi Tingkat Semai... 74

15 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan Tesso Nilo setelah resmi ditetapkan menjadi taman nasional, kawasan hutannya masih tetap dalam bahaya. Pembalakan liar, konversi menjadi kebun dan ancaman lainnya dari dulu hingga kini masih menjadi faktor yang membuat hutan yang kaya akan keanekaragaman hayati ini, harus diselamatkan. Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) memiliki luas ± Ha dan secara administratif terletak di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Kawasan yang masuk wilayah taman nasional ini dulunya merupakan kawasan bekas Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Tesso Nilo memiliki fungsi ekologis yang amat penting bagi Riau. Selain menjadi hulu beberapa sungai di Riau, kawasan ini juga memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dibanding hutan dataran rendah lainnya di dunia. Tesso Nilo adalah ekosistem asli hutan dataran rendah (lowland forest). Meskipun saat ini kondisi hutan telah terganggu, namun masih menyisakan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi. Menurut Ditjend PHKA (2007) satwa primata yang ada di TNTN ada 3 jenis yaitu owa (Hylobates agilis), lutung simpai (Presbytis femoralis) dan beruk (Macaca nemestrina). Di kawasan ini juga tercatat ada sekitar 107 jenis burung, salah satunya adalah beo sumatera (Gracula religiosa) yang hampir punah. Jenis gajah sumatera, harimau sumatera, macan dahan, beruang madu, tapir dan rangkong juga masih banyak berada di kawasan ini. Keanekaragaman hayati flora dan fauna yang ada didalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo dapat terancam keberadaan dan kelestariannya oleh kegiatan yang ada disekitarnya, seperti perusahaan yang bergerak dibidang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), dan perkebunan kelapa sawit. Salah satu perusahaan perkebunan yang dekat dengan TN Tesso Nilo adalah perkebunan kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur Riau. Letak perkebunan kelapa sawit yang dekat dengan kawasan TNTN akan memiliki dampak atau pengaruh terhadap keberadaan satwaliar khususnya satwa primata di kawasan TNTN. Berkurangnya habitat asli di dalam hutan karena

16 2 semakin berkembang dan meluasnya areal perkebunan terutama kelapa sawit dapat mengakibatkan degradasi populasi dan migrasi satwa. Perkebunan kelapa sawit juga akan mengalami masalah yang disebabkan oleh masuknya satwa primata. Terutama monyet ekor panjang dan beruk yang mudah beradaptasi dengan areal perkebunan. Jenis primata ini sering dijumpai memakan buah sawit yang masih muda. Interaksi satwa primata dengan kelapa sawit yang terus terjadi, dapat menyebabkan kerugian pada kebun kelapa sawit, hal ini dikarenakan primata tersebut mencari pakan dengan memasuki daerah perkebunan. Melihat permasalahan tersebut, maka telah dilakukan kegiatan studi penelitian mengenai keanekaragaman jenis satwaliar khususnya satwa primata. Hal ini untuk memberikan gambaran mengenai keberadaan satwa primata dan penyebarannya di areal kawasan Taman Nasional Tesso Nilo yang berbatasan dengan perkebunan kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur Riau Tujuan Tujuan pelaksanaan kegiatan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui keanekaragaman jenis dan sebaran satwa primata di dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo yang berbatasan dengan perkebunan kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Ukui, Riau. 2. Mengetahui karakteristik habitat pada kawasan Taman Nasional Tesso Nilo Manfaat Hasil kegiatan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan data dan informasi terbaru mengenai jenis-jenis satwa primata bagi Taman Nasional Tesso Nilo. Demi kelestariannya diharapkan adanya kerjasama pengelolaan yang baik antara pihak TN Tesso Nilo dengan pihak perkebunan kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Ukui, Riau.

17 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Morfologi Umum Primata Secara keseluruhan primata sudah mengalami spesialisasi untuk hidup di pohon. Menurut J.R. Napier dan P.H. Napier (1967), klasifikasi ilmiah primata adalah : Kingdom : Animalia Phyllum : Chordata Sub Phyllum : Vertebrata Class : Mamalia Ordo : Primata Primata umumnya dibagi kedalam 3 sub ordo yaitu : Prosimii, Tarsii, dan Simii. Dari sekitar 195 jenis primata yang ada di dunia, 40 jenis ditemukan di Indonesia. Di Indonesia terdapat 2 jenis (Nycticebus) dari sub ordo Prosimii (famili Lorisidae), 5 jenis (Tarsius) dari sub ordo Tarsii (famili Tarsidae) dan jenis-jenis dari sub ordo Simii termasuk dalam famili Cercopithecidae, Hylobatidae, dan Pongidae. Pada famili Cercopithecidae. Di Indonesia terdapat 25 jenis terbagi Macaca (11 jenis), Presbytis (12 jenis), Simias (1 jenis) dan Nasalis (1 jenis). Famili Hylobatidae terdapat 6 jenis (Hylobates) dan Pongidae 2 jenis (Pongo) (Supriatna dan Wahyono, 2000) Beberapa Jenis Primata di Indonesia Macaca fascicularis (Monyet ekor panjang) Menurut Kurland (1973) dalam Pamungkas (2001), perbandingan ekor dan tubuh merupakan suatu ciri khusus secara morfologi yang dapat digunakan untuk membedakan antara Macaca fascicularis dengan Macaca jenis lainnya, dan ukuran tubuh yang kecil berwarna cokelat dengan bagian perutnya berwarna lebih muda, seringkali berwarna keputih-putihan yang jelas pada bagian muka. Pada monyet-monyet yang belum dewasa sering memiliki jambang mengelilingi muka, walaupun tidak terpisah secara nyata pada Macaca nemestrina (Lekagul dan Mc Neely, 1977).

18 4 a. Ekologi dan Penyebaran Monyet ekor panjang merupakan satu dari jenis primata yang paling berhasil dalam penyebarannya. Penyebarannya meliputi seluruh kawasan Asia Tenggara yaitu antara 20º LU 10º LS dan 92º BT 128º BT (Wheatly, 1980 dalam Pamungkas, 2001). Lekagul dan Mc Neely (1977) menyatakan bahwa penyebaran monyet ini adalah di Indonesia, Thailand, Burma (Myanmar), Malaya, Philipina dan beberapa pulau kecil lainnya. Di Indonesia Macaca fascicularis terdapat di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Kepulauan Lingga dan Riau, Bangka, Belitung, Kepulauan Tambelan, Kepulauan Natuna, Simalur, Nias, Jawa dan Bali, Matasari, Pulau Bawean, Pulau Timor, Pulau Lombok, Pulau Sumba, Pulau Sumbawa dan Flores (Ditjend PHPA, 1986). b. Perilaku dan Aktivitas Monyet ekor panjang hidup dalam kelompok-kelompok. Satu kelompok monyet ekor panjang dapat terdiri dari 8-40 ekor atau lebih termasuk beberapa betina (Medway, 1978 dalam Pamungkas, 2001). Menurut Lekagul dan Mc. Neely (1977), suatu kelompok monyet ekor panjang dapat terdiri lebih dari 100 individu dan betina yang sedang menyusui dapat hamil kembali. Hal ini menunjukkan suatu kecenderungan kearah perluasan populasi. Tekanan populasi yang tinggi karena cepat bereproduksi dapat menjelaskan mengapa monyet ini telah memperluas habitatnya sampai mangrove dan tipe hutan pantai yang umumnya diabaikan oleh jenis lain. Menurut Medway (1978) dalam Pamungkas (2001), monyet ekor panjang bersifat arboreal, meskipun sering turun kebawah. Monyet ekor panjang beradaptasi dengan kehidupan manusia. Mereka takut air, dapat berenang dengan cepat dan terampil (Lekagul dan Mc. Neely, 1977). c. Habitat Habitat adalah tempat dimana organisme tersebut hidup atau tempat dimana organisme tersebut dapat ditemukan (Odum, 1971). Suatu habitat merupakan kesatuan dari sejumlah komponen fisik yang terdiri dari air, tanah, topografi dan iklim (mikro dan makro) serta komponen biologis yang terdiri dari manusia, vegatasi dan margasatwa (Semiet, 1986). Sedangkan menurut Yoakum (1971), bahwa komponen habitat yang terpenting bagi kehidupan

19 5 margasatwa adalah makanan, air, tempat berlindung dan ruang (dalam Pamungkas, 2001). Satwaliar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Oleh karena itu, habitat suatu jenis satwaliar belum tentu sesuai untuk jenis lain. Habitat suatu jenis satwaliar mengandung suatu sistem yang terbentuk dari interaksi antar komponen fisik dan biotik. Sistem tersebut dapat mengendalikan kehidupan satwaliar yang hidup di dalamnya (Alikodra, 1990). Menurut Lekagul dan Mc Neely (1977), meskipun habitat klasik Macaca fascicularis adalah hutan rawa mangrove, namun mereka juga ditemukan di hutan primer dan sekunder sampai ketinggian 2000 mdpl, di hutan bekas tebangan dan daerah-daerah pertanian dimana mereka dianggap sebagai hama. Sebaliknya menurut Supriatna dan Wahyono (2000), monyet ini hidup pada hutan primer sampai sekunder mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi sekitar 1000 mdpl. Seringkali juga ditemukan di hutan bakau, perkebunan sampai ke hutan dekat perkampungan. d. Pakan Monyet ini pemakan segala jenis makanan (omnivora), namun komposisinya mengandung lebih banyak buah-buahan (60%), selebihnya berupa bunga, daun muda, biji, umbi. Monyet yang hidup di rawa-rawa kadang-kadang turun ke tanah pada air surut dan berjalan menelusuri sungai mencari serangga. Monyet yang hidup di daerah bakau atau pesisir, sering dijumpai memakan kepiting atau jenis moluska lainnya. Sehingga sering monyet ini disebut Crabs eating macaque. e. Status Konservasi Hingga kini monyet ini belum dilindungi undang-undang dan resikonya masih rendah terhadap kepunahan. Penangkapan langsung dari habitatnya untuk dijadikan percobaan atau peliharaan, merupakan sisi lain dari terganggunya populasi di alam. Monyet ini merupakan hama bagi penduduk, karena dapat merusak lahan pertanian padi, jagung, perbenihan karet dan pohon buah-buahan. Sejak tahun 70-an, monyet ekor panjang diekspor untuk keperluan riset biomedik dan juga penelitian psikologi.

20 Macaca nemestrina (Monyet ekor pendek/beruk) Monyet ini berbadan besar, tegap dengan dimorfisme seksual yang tampak jelas yaitu terdapat perbedaan yang jelas antara jantan dan betina. Diantara semua jenis monyet, warna jenis dari beruk ini sangat bervariasi. Akan tetapi, secaca umum warna yang dominan adalah cokelat keabu-abuan dan kemerahmerahan. (Lekagul dan Mc Neely, 1977). a. Ekologi dan Penyebaran Monyet ekor pendek tersebar mulai dari India timur laut, Assam, Thailand, Malaysia dan Borneo. Di Indonesia terdapat di pulau Sumatera, Mentawai, dan Kalimantan. Monyet ini tidak terdapat di Jawa baik kehidupannya maupun tanda-tanda yang berupa fosil (Lekagul dan Mc Neely, 1977). Di Sumatera beruk terdapat di semua provinsi yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, dan Lampung (Wilson dan Wilson, 1980 dalam Pamungkas, 2001). Penyebaran beruk juga terdapat di Suaka Margasatwa Pleihari dan Suaka Margasatwa Kutai, Kalimantan. b. Perilaku dan Aktivitas Monyet ekor pendek digolongkan kedalam bentuk kelompok multimales group yaitu mempunyai lebih dari satu ekor jantan dewasa dalam satu kelompok. Southwick dan Cadigan (1972) dalam Pamungkas (2001) dari hasil penelitiannya menemukan bahwa beruk di Malaya sering dijumpai di hutan sekunder dalam populasi yang cukup rendah, demikian juga di hutan primer. Hal ini disebabkan oleh pola pergerakan dan tingkah laku yang lebih menyukai pohon-pohon kecil. Kesukaan untuk berada di tanah bukan ketika berjalan saja, bahkan pada waktu memakan buah yang sudah dipetik dari pohon pun sering dibawa turun ke tanah (Wilson dan Wilson, 1975 dalam Pamungkas, 2001). c. Habitat Menurut Lekagul dan Mc Neely (1977), pada Macaca nemestrina mendiami hutan primer dan sekunder di pedalaman dan jarang ditemukan di pinggir pantai atau hutan pantai.

21 7 d. Pakan Beruk mengkonsumsi berbagai jenis makanan. Komposisi pakannya adalah buah dan biji 73%, daun-daunan 5%, bunga 1%, dan beberapa jenis makanan lain seperti serangga, kepiting sungai, rayap, telur burung sekitar 12%. Sisanya berupa jamur atau bagian tumbuhan lainnya. Beruk ini memakan lebih dari 160 jenis tumbuhan yang berbeda. e. Status Konservasi Ancaman utama keberadaan beruk adalah penangkapan satwa ini dari habitat alamnya, terutama di Sumatera, untuk diperdagangkan dalam jumlah yang cukup besar. Beruk diklasifikasikan sebagai primata yang rentan dalam daftar IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), dan dimasukkan ke dalam Appendix II CITES (Convention on International Trade Of Endengared Species Flora and Fauna). Beruk juga sering digunakan sebagi hewan percobaan dalam penelitian biomedik, seperti halnya monyet ekor panjang. Di Sumatera, tenaga beruk sering dimanfaatkan sebagai pengambil atau pemanjat pohon kelapa untuk memetik buahnya. Beruk sering dianggap sebagai hama tanaman perkebunan dan pertanian Presbytis melalophos (Simpai) Monyet ini berukuran sedang sampai besar, dengan kepala bulat, hidung pesek dan perut yang besar, memiliki ekor yang lebih panjang dari ukuran kepala dan badannya. Rambut yang menutupi tubuhnya cukup panjang dan tebal dan yang berada dikepala membentuk jambul berujung runcing. Alis meremang, kaku mengarah kedepan (Napier dan Napier, 1967). a. Ekologi dan Penyebaran Simpai adalah salah satu jenis Presbytis yang memiliki wilayah penyebaran terluas di Sumatera, yaitu mulai dari Sumatera bagian selatan hingga bagian utara Danau Toba serta Kalimantan. Habitat yang disukai adalah hutan hujan bawah sampai pegunungan dengan ketinggian sekitar 2000 mdpl. Mereka jarang dijumpai pada daerah rawa-rawa atau tepian aliran sungai (Ditjend PHPA, 1986).

22 8 b. Perilaku dan Aktivitas Simpai memiliki ukuran kelompok yang relatif kecil yaitu 5-13 ekor dan bersifat poligami dengan satu ekor jantan memimpin kelompok (Wilson dan Wilson, 1975 dalam Pamungkas, 2001). Simpai banyak dijumpai pada pohonpohon pada strata tajuk lapisan tengah dan bawah sebagai tempat mencari makan dan melakukan aktivitas harian. Sebagai tempat untuk beristirahat dan tidur dipilih tajuk lapisan atas dengan ketinggian lebih dari 20 m (paling sering sekitar 40 m). Jarang sekali simpai turun ke tanah atau lantai hutan (Ruhiyat, 1983 dalam Pamungkas, 2001). c. Habitat Simpai lebih suka tinggal di hutan-hutan pedalaman dan sering dijumpai pada hutan primer dataran rendah sampai pegunungan hingga 2500 mdpl. Mereka jarang dijumpai pada daerah rawa-rawa atau tepian aliran sungai. Penyusutan hutan menyebabkan mereka kadang-kadang dijumpai di daerah perkebunan (Supriatna dan Wahyono, 2000). Simpai banyak dijumpai pada pohon-pohon pada strata tajuk lapisan tengah dan bawah sebagai tempat mencari makan dan melakukan aktivitas harian. Sebagai tempat untuk beristirahat dan tidur dipilih tajuk lapisan atas dengan ketinggian lebih dari 20 m (paling sering sekitar 40 m). Jarang sekali simpai turun ke tanah atau lantai hutan. Pohon-pohon tempat tidur tersebut umumnya terletak di punggung bukit dan daerah-daerah yang lebih tinggi (Ruhiyat, 1983 dalam Pamungkas, 2001). d. Pakan Pakan simpai adalah buah-buahan, bunga, biji, pucuk daun dan beberapa jenis serangga kecil. Simpai mengkonsumsi lebih dari 55 jenis tumbuhan yang berbeda. Komposisi pakan simpai iniantara daun 33%, buah 46%, bunga 17%, dan makanan lain sampai 4%. e. Status Konservasi Informasi tentang populasi satwa ini di alam belum banyak diketahui. Namun, penyusutan habitat mengancam kelangsungan populasi simpai di seluruh daerah sebarannya. Meskipun dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan, kondisi tersebut dapat meningkatkan kematian anak-anak simpai.

23 9 Hal inilah yang mendorong perlindungan satwa ini melalui Undang-undang No. 5 tahun Trachypithecus auratus (Budeng) Monyet ini mempunyai warna rambut hitam, diselingi dengan warna keperak-perakkan. Bagian ventral, berwarna kelabu pucat dan kepala mempunyai jambul. Anak lutung yang baru lahir berwarna kuning jingga dan tidak berjambul, setelah meningkat dewasa warnanya berubah menjadi hitam kelabu. a. Ekologi dan Penyebaran Lutung budeng tersebar mulai dari Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Beberapa jenis dari lutung budeng seperti T.a. auratus dan mauritius tersebar di Jawa Barat bagian barat dan tenggara, sedangkan jenis T.a. cristatus, tersebar di Bangka, Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur dan Selatan, Sumatera bagian selatan termasuk juga Jawa Timur, Bali dan Lombok. Habitat yang disukainya adalah hutan bakau, hutan dataran rendah hingga hutan dataran tinggi baik primer atau sekunder. Lutung ini juga mendiami daerah perkebunan. b. Perilaku dan Aktivitas Dalam hidupnya lutung budeng membentuk kelompok dengan beberapa individu mulai dari 6-23 ekor. Dalam setiap kelompok terdapat jantan sebagai pimpinan kelompok, dan beberapa betina serta anak-anak yang masih dalam asuhan induknya. Lutung ini aktif pada siang hari (diurnal) dan hidup pada berbagai lapisan hutan (arboreal). Dalam melakukan pergerakan, lebih sering meloncat saat pindah pohon. Kadang-kadang mereka juga berjalan dengan keempat anggota tubuhnya yaitu kedua tangan dan kakinya saat bergerak di cabang pohon yang besar atau saat turun di tanah. Lutung ini sering memilih pohon tidur di sekitar sungai. Tidur pada dahan atau percabangan pohon. c. Habitat Lutung budeng hidup di hutan bakau, hutan dataran rendah hingga hutan dataran tinggi baik primer atau sekunder. Lutung ini juga mendiami perkebunan (Supriatna dan Wahyono, 2000).

24 10 d. Pakan Lutung budeng memakan lebih dari 66 jenis tumbuhan yang berbeda. Komposisi makanan 50% berupa daun, 32% buah, 13% bunga dan sisanya bagian dari tumbuhan atau serangga. e. Status Konservasi Akibat dari pengurangan habitat untuk berbagai peruntukan, maka semenjak tanggal 22 September 1999, Lutung budeng dan Lutung hitam telah dilindungi undang-undang, berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 733/Kpts-II/1999. Selain itu tahun 1996 lutung ini oleh IUCN dikategorikan sebagai primata yang rentan (Vulnerable) Hylobates syndactylus (Siamang) Siamang adalah sejenis kera yang memiliki rambut panjang dan kasar, hitam seluruhnya kecuali disekeliling muka dan dagu. Tangan lebih panjang dari tubuhnya, kaki pendek tetapi besar. Ukuran badan secara keseluruhan adalah paling besar dari semua spesies yang ada. Pada tangan siamang dijumpai selaput kulit yang menghubungkan jari kedua dan ketiga, hal ini merupakan pembeda yang khas terhadap spesies Gibbon yang lain. Siamang mempunyai kantung suara pada tenggorokannya. Kantung suara ini dapat dikembangkan sebesar kepalanya, untuk mengumandangkan suara pada waktu-waktu tertentu (Sastrapradja, 1982). a. Ekologi dan Penyebaran Siamang terdapat di semenanjung Malaysia dan Sumatera (Napier dan Napier, 1967 ; Wilson dan Wilson, 1976 ; Chivers, 1972 ; Gittins dan Raemakers, 1980 dalam Pamungkas, 2001). Siamang menempati hutan-hutan dataran rendah sampai di hutan pegunungan sampai ketinggian 1200 mdpl. Keterampilannya dalam mencari makan dari tajuk ke tajuk melebihi spesies Gibbon yang lain. Hal ini ditunjang oleh kecakapan yang seimbang antar tangan dan kakinya (Sastrapradja, 1982). b. Perilaku dan Aktivitas Siamang bersifat monogami, hidup dengan pasangan jantan dan betina yang tetap, serta diikuti oleh beberapa anak yang belum dapat mandiri

25 11 (Supriatna dan Wahyono, 2000). Dalam satu keluarga gibbon hanya terdiri dari 3 sampai 4 individu (Bismark, 1984). Pada Gibbon umumnya hidup secara arboreal, yaitu pada tajuk-tajuk dan puncak-puncak pohon. Sifat arboreal ini menjadikan gibbon hampir tidak pernah bergerak turun ke bawah. Pohon-pohon dengan tajuk-tajuk yang rapat sangat disukai gibbon untuk istirahat malam maupun siang hari (Napier dan Napier, 1967). c. Habitat Siamang menempati hutan tropik primer atau sekunder, mulai dari hutan dataran rendah hingga hutan perbukitan sampai ketinggian 3800 mdp (Supriatna dan Wahyono, 2000). Pada Gibbon umumnya hidup secara arboreal, yaitu pada tajuk-tajuk dan puncak-puncak pohon. Gibbon menempati lantai hutan hujan tropis, hutan setengah menggugurkan daun, serta hutan pegunungan dibawah ketinggian 2000 mdpl (Napier dan Napier, 1967). Sifat arboreal ini menjadikan gibbon hampir tidak pernah bergerak turun ke bawah. Pohon-pohon dengan tajuk-tajuk yang rapat sangat disukai gibbon untuk istirahat malam maupun siang hari. d. Pakan Siamang memakan hampir semua bagian tumbuhan seperti, daun, buah, biji, dan bunga. Selain itu, satwa ini juga mengkonsumsi beberapa jenis serangga. Komposisi makanan siamang adalah 59% daun, 31% buah, 8% bunga, dan 3% berbagai jenis serangga. Siamang dikenal sebagai penyebar biji-bijian (seed dispersal) beberapa jenis tumbuhan Ficus. e. Status Konservasi Status populasinya siamang di alam tergolong genting, artinya dikhawatirkan satwa ini akan punah jika tidak dilakukan upaya pelestarian, terutama perlindungan habitatnya. Untuk melindunginya Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan dan undang-undang, yaitu SK Menteri Pertanian 14 Februari 1973 No. 66/Kpts/um/2/1973, SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/Kpts-II/1991, dan diperkuat dengan Undangundang No. 5 tahun 1990.

26 Hylobates agilis (Unko) Pada kera jenis ini, pergelangan dan jari tangan maupun kakinya berwarna hitam. Biasanya warna tersebut lebih gelap dari warna tubuhnya yang kadangkadang berwarna cokelat gelap. Pada punggung terdapat rambut berwarna putih, jantan mempunyai lengkungan putih yang lebih jelas disekelilingnya jika dibandingkan dengan betina (Sastrapradja, 1982). a. Ekologi dan Penyebaran Wau-wau tangan hitam (ungko) banyak dijumpai di semenanjung Malaysia dan Sumatera (Napier dan Napier, 1967). Spesies ini juga tersebar di daerah Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan (Sastrapradja, 1982). Terdapat dua sub spesies yang dikenal dengan Hylobates agilis-agilis cuvier di Sumatera dan Hylobates agilis albibarbis di Kalimantan (Sastrapradja et al, 1982 ; Chivers, 1978 dalam Bismark, 1984). b. Perilaku dan Aktivitas Ungko hidup membentuk keluarga atau pasangan (monogamous) serta diikuti oleh 1 atau 2 anak yang belum dapat mandiri. Ungko berpindah dengan cara bergelantungan atau berayun dari dahan satu ke dahan yang lain. Kadangkadang bila berada di tanah atau di dahan yang besar, mereka dapat berjalan menggunakan kedua kakinya (bipedal) (Supriatna dan Wahyono, 2000). Aktivitas hariannya dilakukan pada siang hari (diurnal). Diawali dari terbit fajar sampai beberapa saat menjelang senja (Chivers, 1972 dalam Pamungkas, 2001). c. Habitat Ungko hidup di hutan primer datran rendah dan hutan rawa. Selain itu, mereka sering ditemukan di daerah batas antara hutan rawa dan tanah kering. Apabila ungko bersuara, oleh masyarakat Kalimantan Tengah dijadikan pertanda bahwa tidak jauh dari mereka terdapat daratan atau rawa (Supriatna dan Wahyono, 2000). Aktivitas hariannya dilakukan pada siang hari (diurnal). Diawali dari terbit fajar sampai beberapa saat menjelang senja (Chivers, 1972 dalam Pamungkas, 2001).

27 13 d. Pakan Pakan ungko terdiri dari buah, daun, bunga dan beberapa jenis serangga kecil. Umumnya mereka makan sambil bergantungan pada dahan dan memetik satu persatu buah, biji, bunga atau daun muda. Kadang-kadang juga menarik ranting yang ada pakannya. Primata ini mengkonsumsi buah 58%, daun 39%, bunga 3% dan sisanya yaitu sekitar 1% berbagai jenis serangga. e. Status Konservasi Penyusutan habitat akibat pembukaan hutan untuk lahan pertanian, perkebunan, atau pembalakan, menyebabkan penurunan populasi satwa ini di alam. Menurut IUCN, ungko dikategorikan sebagai satwa genting yang hampir punah jika tidak ditangani dengan segera. Pemerintah Indonesia melindunginya melalui SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/Kpts- II/1991, dan diperkuat dengan Undang-undang No. 5 tahun 1990.

28 III. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Pelaksanaan kegiatan penelitian ini dilakukan di areal kawasan hutan Taman Nasional Tesso Nilo yang berbatasan dengan perkebunan kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Ukui Riau. Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Maret Mei Untuk informasi tambahan, dilakukan juga pengamatan pada kawasan lindung di dalam perkebunan kelapa sawit. Peta lokasi penelitian di TN Tesso Nilo yang berbatasan dengan kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Ukui Riau disajikan pada sajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Peta lokasi penelitian di TN Tesso Nilo yang berbatasan dengan kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur 4.2. Alat dan Bahan 1. Bahan-bahan yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini antara lain : tali tambang, tali rafia, pita berwarna, buku identifikasi tumbuhan Check List Tumbuhan Sumatera, buku identifikasi jenis primata Panduan Lapangan Primata Indonesia, peta kerja, tally sheet dan obat-obatan (P3K).

29 15 2. Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini antara lain : pengukur waktu (stopwatch), kamera, golok, binokuler, meteran, kompas suunto, GPS (Global Positioning System) Garmin 76 Csx, gunting dan alat-alat tulis Metode Pengumpulan Data Di Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo Untuk menghimpun data dan informasi mengenai satwa primata dilakukan inventarisasi satwaliar dengan menggunakan metode line transect (transek garis) dan analisis vegetasi untuk habitatnya. Panjang jalur pengamatan ±2 km dan lebar kiri-kanan jalur 50 m. Untuk mendukung pengamatan satwaliar digunakan metode concentration count (titik konsentrasi). Bentuk unit contoh metode transek garis disajikan pada Gambar m 50 m Jalur transek 2 km Gambar 2. Bentuk transek garis pengamatan satwa primata di TNTN. a. Orientasi Lapangan Orientasi lapangan ini dimaksudkan untuk mengenal secara keseluruhan areal yang akan dilakukan studi sekaligus melakukan kegiatan survei. Setelah itu mencocokkan keadaan lapangan dengan peta kerja yang ada. Kegiatan yang lain adalah menentukan lokasi pengamatan untuk kelompok satwaliar primata yang akan diamati. Pada setiap awal jalur pengamatan diberi tanda dengan patok dari kayu atau bambu atau penendaan pada pohon. b. Pembuatan Jalur Pengamatan Jalur pengamatan satwaliar primata dibuat dengan mengikuti jalur pengamatan dari analisis vegetasi. Pada jalur pengamatan satwa dibuat jalur dengan panjang jalur transek yaitu 2 km.

30 16 Pembuatan jalur pengamatan satwa ditandai dengan menandai titik-titik pada jalur dengan menggunakan pita (flagging) dengan selang 25 m atau disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Sebelumnya ditentukan terlebih dahulu titik awal jalur dengan GPS (Global Positioning System), hal ini untuk bisa mengetahui koordinat lintang dan bujurnya yang dianggap penting untuk pembuatan peta transek agar lebih tepat dan teliti sehingga akan mempermudah dalam proses pertampalan (over laying) dengan peta tematik lainnya. Selanjutnya mulai diukur titik lanjutan secara manual dengan menggunakan kompas dan tali dengan jarak antar tali 25 m sepanjang jalur yang dibuat (dicatat jarak dan sudutnya). Dengan mencatat hal-hal tersebut diatas, maka penyebaran titik-titik lokasi primata selama berlangsungnya pengamatan dapat digambarkan dalam peta-peta bersama-sama jalur pengamatan secara tepat. Peta yang dihasilkan nantinya dapat ditampalkan dengan tema-tema peta yang lain dalam rangka analisis selanjutnya. c. Pengamatan Primata Dalam hal ini transek dibuat dengan memotong kawasan pengamatan menjadi beberapa garis transek. Selanjutnya pengamatan pada jalur tersebut dilakukan pada periode tertentu (pada saat melakukan aktivitas pada satu jalur). Data yang dikumpulkan dari pengamatan satwaliar primata dengan menggunakan metode transek garis antara lain : Nama jenis satwaliar primata Jumlah individu Waktu diketemukannya jenis satwaliar tersebut Amati habitat satwaliar Letak posisi satwa dan tipe vegetasi. Dengan menggunakan intensitas sampling 1 % dari luas arael yang diteliti yaitu diambil sepertiga luasan taman nasional sebesar ha, maka didapatkan total luas unit contoh yang harus diamati adalah 135 ha. Dengan total luas unit contoh tersebut dan luas setiap unit contohnya 20 ha maka jumlah jalur yang harus diamati sebanyak 7 jalur.

31 17 d. Inventarisasi Vegetasi Inventarisasi vegetasi di habitat primata dengan menggunakan metode garis berpetak untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan di habitat yang dihuninya. Kegiatan ini sebagai tambahan data untuk memperoleh gambaran tentang kondisi habitat yang dihuni oleh satwa primata. Data yang dikumpulkan untuk tingkat pohon (tumbuhan dengan diameter >20 cm) dan tiang (tumbuhan dengan diameter cm) adalah jenis, jumlah individu setiap jenis, diameter dada (130 cm) dan tinggi total dan tinggi bebas cabang. Sedangkan data yang dikumpulkan untuk pertumbuhan semai (tumbuhan yang tingginya <1,5 m) dan pancang (tumbuhan dengan diameter <10 cm dan tingginya >1,5 m) hanyalah jenis dan jumlah individu setiap jenis yang ditemukan. Soerianegara & Indrawan (2002) menjelaskan bahwa pada tingkat pertumbuhan semai (a) digunakan ukuran dengan besar 2x2 m, untuk tingkat pertumbuhan pancang (b) ukurannya sebesar 5x5 m. Pada tingkat pertumbuhan tiang (c) ukurannya sebesar 10x10 m, untuk tingkat pertumbuhan pohon (d) ukuran yang digunakan sebesar 20x20 m. Bentuk metode garis berpetak disajikan pada Gambar 3. c b a d 100 m Gambar 3. Bentuk unit contoh metode garis berpetak dalam inventarisasi vegetasi Kawasan Lindung di Dalam Areal Kebun Kelapa Sawit Metode yang digunakan dalam inventarisasi satwa primata sama seperti yang dilakukan untuk di Taman Nasional Tesso Nilo yaitu dengan menggunakan metode line transect (transek garis) mengikuti jalur analisis vegetasi untuk habitatnya. Tetapi panjang jalur pengamatan hanya ± 150 m dengan lebar kirikanan jalur 20 m karena luasannya relatif lebih kecil dibanding Taman Nasional Tesso Nilo.

32 Analisis Data a. Pendugaan Kepadatan Dugaan kepadatan suatu jenis primata berdasarkan metode transek garis dapat dihitung dengan menggunakan rumus : Persamaan King : Dj x i 2Lw atau Ket : Dj : kepadatan populasi aktual untuk jalur ke-j ( ind/km 2 ) Σx i L w a Dj : jumlah individu primata yang ditemukan (ind) : panjang garis transek : lebar kiri/kanan : luas jalur pengamatan Untuk ukuran pendugaan populasi total seluruh areal yang diteliti dapat menggunakan rumus : P Dj a x A Ket : P : populasi dugaan untuk seluruh areal ( ind/ha) Σa A b. Analisis Vegetasi : jumlah jalur pengamatan : luas total areal penelitian (ha) Analisis vegetasi yang dilakukan untuk menentukan komposisi dominasi suatu jenis pohon pada suatu komunitas. Soeranegara & Indrawan (2002) menyatakan bahwa persamaan yang digunakan dalam menentukan komposisis vegetasi adalah sebagai berikut: INP = KR + FR + DR Kerapatan (K) = Jumlah individu suatu jenis Luas unit contoh Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis x 100 % Frekuensi (F) Kerapatan seluruh jenis = Jumlah plot ditemukannya suatu jenis Jumlah seluruh plot dalam unit contoh a x i

33 19 Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu jenis x 100 % Dominansi (D) Frekuensi seluruh jenis = Luas bidang dasar suatu jenis Luas unit contoh Dominansi Relatif (DR) = Dominansi suatu jenis x 100 % Dominansi seluruh jenis Keterangan: Luas bidang dasar suatu jenis = ¼ µ D 2 c. Analisis Keanekaragaman Primata Untuk mengetahui keanekaragaman jenis primata di areal yang diteliti, dapat diperoleh dengan menghitung Indeks Keanekaragaman Jenis. Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis mamalia ditentukan dengan menggunakan Indeks Keanekargaman Shannon-Wiener dengan rumus sebagai berikut: H ' p i. ln p Ket. : H = Indeks keanekaragaman i p i n i N n i = jumlah individu jenis ke-i N = jumlah individu seluruh jenis Dari hasil perhitungan nilai keanekaragaman jenis menurut Shannon- Wiener dapat diketahui kekayaan jenis satwaliar primata tersebut dengan melihat nilai H dengan kisaran sebagai berikut : H < 1 memiliki tingkat keanekaragaman jenisnya rendah 1<H <3 memiliki tingkat keanekaragaman jenisnya sedang H > 3 memiliki tingkat keanekaragaman jenisnya tinggi d. Pola Sebaran Spasial Pola sebaran spasial berbentuk acak, berkelompok dan merata (Alikodra, 1990). Satwa primata merupakan satwa yang secara alami dan sebagian besar hidup dalam kelompok sosial. Pola sebaran yang akan ditentukan adalah pola sebaran kelompok jenis primata di seluruh areal studi.

34 20 Dari segi statistika, hubungan antara rata-rata dan keragaman individu contoh yang terdapat dalam setiap satuan sampel (contoh), masing-masing pola tersebut adalah sebagai berikut (Tarumingkeng, 1994): a. Pola sebaran acak, apabila S X x (memiliki pola sebaran frekuensi poisson) b. Pola sebaran mengelompok, apabila S X x (memiliki pola sebaran frekuensi binomial negatif) c. Pola sebaran merata, apabila S X x (memiliki pola sebaran frekuensi binomial) Ket: S = keragaman rata-rata/simpangan baku rata-rata X x = rata-rata contoh Untuk mencari nilai ragam pengamatan di areal penelitian digunakan persamaan berikut : S 2 X X 2 i n b X 1 i 2 / n b S X S 2 X n b Ket: 2 S X = keragaman populasi S = keragaman rata-rata populasi/simpangan baku rata-rata X n b = jumlah jalur pengamatan

35 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Taman Nasional Tesso Nilo Sejarah Kawasan Pada awalnya, kawasan hutan Tesso Nilo ditetapkan sebagai Hutan Produksi Terbatas dan merupakan hutan yang dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri plywood dan produk kayu lainnya. Tahun 1980 permasalahan gajah sudah mulai timbul karena dibukanya kawasan Hutan Langgam yang saat ini bernama Tesso Nilo sebagai daerah pemukiman transmigrasi. Sejak itulah konflik antara gajah dan manusia ada, gajah mendatangi dan merusak lahan tanaman masyarakat. Pada tahun 1984, gangguan gajah di Provinsi Riau semakin meningkat, sehingga pemerintah mencadangkan habitat gajah yang salah satunya adalah kawasan Tesso Nilo. Pencadangan habitat gajah di kawasan hutan Tesso Nilo oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup yang pada akhirnya tidak terealisasi. Selanjutnya pada tanggal 30 April 2001, Gubernur Riau mengusulkan kembali kawasan Tesso Nilo dengan luas hektar sebagai kawasan konservasi gajah. Tanggal 25 Agustus 2003, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan No. 282/Kpts-II/2003 tentang pencabutan Izin Areal PT. INHUTANI IV dan meminta Gubernur Riau untuk melakukan langkah-langkah persiapan penunjukan kawasan hutan Tesso Nilo sebagai kawasan konservasi gajah. Pada tanggal 1 Mei 2004, tim terpadu mengeluarkan berita acara tentang pengkajian dan pembahasan tim terpadu atas usulan pembentukan Taman Nasional Tesso Nilo di Provinsi Riau. Pada tanggal 19 Juli 2004, Menteri Kehutanan menunjuk Tesso Nilo sebagai kawasan Taman Nasional yang berada pada areal PT. INHUTANI IV melalui surat Keputusan No. 255/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Sebagai kawasan Hutan Tesso Nilo yang terletak di kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu Provinsi Riau seluas hektar menjadi Taman nasional Tesso Nilo.

36 Letak dan Luas Letak kawasan Taman Nasional Tesso Nilo secara administratif berada di dua kabupaten yakni Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Secara Geografis terletak antara Lintang Selatan dan Bujur Timur. Gambar 4. Peta letak kawasan Taman Nasional Tesso Nilo Kawasan ini dibatasi oleh hutan produksi, perkebunan kelapa sawit, tanah milik dan pemukiman penduduk. Secara administrasi kawasan TNTN berbatasan dengan : 1. Disebelah barat berbatasan dengan HPH Nanjak Makmur dengan vegetasi hutan sepanjang m. 2. Disebelah utara berbatasan dengan PT. RAPP dengan vegetasi akasia sepanjang m. Desa Lubuk Kembang Bunga dengan vegetasi semak dan sisa hutan sepanjang m. Desa Air Hitam dengan vegetasi semak sepanjang 921 m. 3. Disebelah timur berbatasan dengan Dusun Bagan Limau dengan vegetasi sawit, lahan kosong sepanjang m dan vegetasi hutan sepanjang m.

37 23 PT. Inti Indosawit Subur dengan vegetasi kelapa sawit sepanjang m. KKPA dengan vegetasi kelapa sawit dan hutan sepanjang m. 4. Disebelah selatan berbatasan dengan PT. Putri Lindung Bulan dengan vegetasi akasia sepanjang m. PT. Rimba Lazuardi dengan vegetasi akasia sepanjang m. CV. Riau Jambi Sejahtera dengan vegetasi hutan sepanjang m. Luas kawasan Taman Nasional Tesso Nilo berdasarkan Surat keputusan Menteri Kehutanan No. 255/Menhut-II/2004 seluas hektar. Berdasarkan perhitungan grafis (hasil plot koordinat buku ukur survei penataan sendiri dan persekutuan areal kerja) PT. INHUTANI IV, PT. Nanjak Makmur dan PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) tahun 2000 adalah seluas hektar Aksesibilitas Sebagian besar kawasan Taman Nasional Tesso Nilo berada di Kabupaten Pelalawan yang terletak 60 km dari ibukota Provinsi Riau, Pekanbaru. Kawasan hutan Tesso Nilo memiliki aksesibilitas yang sangat terbuka, hampir seluruh keliling kawasan ini memiliki jaringan jalan masuk, hal ini mempercepat penurunan kualitas hutan akibat pencurian hasil hutan dan perburuan satwa. Aksesibilitas menuju hutan Tesso Nilo antara lain: 1. Jalan Raya Lintas Timur Sumatera Ukui- Ds Lubuk Kembang Bunga 2. Jalan Raya Lintas Timur Sumatera Ukui- Dusun Bagan Limau 3. Jalan Raya Taluk Kuantan-Air Molek-Baserah-Simpang Inuman 4. Jalan Raya Taluk Kuantan-Air Molek-simpang lala-desa Pontian mekar 5. Jalan Raya Taluk Kuantan-Air Molek-Simpang Klayan (simpang mangga) 6. Jalan Raya Taluk Kuantan-Air Molek-Simpang Selanjut 7. Jalan Raya Taluk Kuantan-Air Molek-Simpang Sentajo Topografi Penentuan kemiringan lereng suatu bentang lahan didasarkan pada data kontur dari Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : dengan interval kontur 25 m. Tingkat kemiringan lereng dikelompokkan kedalam 5 kelas kemiringan lereng yaitu datar, landai, bergelombang, curam dan sangat curam. Luasan bentang lahan

38 24 berdasarkan kelas kemiringan lereng secara metrik maupun dalam proporsinya disajikan dalam Tabel 1 sebagai berikut. Tabel 1. Luasan bentang lahan berdasarkan kelas kemiringan lereng secara metrik No. Kemiringan Lereng Luas (Ha) Proporsi (%) % (datar) ,43 51, % (landai) 2.467,05 6, % (bergelombang) 4.854,19 12, % (curam) 3.869,28 10,12 5. >45 % (sangat curam) 7.526,03 19,69 Total ,98 100,00 Sumber : Rencana Pengelolaan Taman Nasional Tesso Nilo (RKL TNTN) Geologi dan Tanah Kawasan-kawasan pada bagian barat dan timur Pekanbaru, masing-masing digolongkan sebagai dataran rendah dan rawa dataran rendah. Kondisi litologinya dicirikan oleh bahan organik semi lapuk yang berasal dari gambut tropis zaman kuarter dan batuan pasir Kaolinit, batuan liat serta tufa asam yang sudah mengalami proses pelapisan sedimen dari zaman Kuarter. Berdasarkan laporan RKL TNTN, penggolangan jenis tanah oleh USDA (United State Departement Agrinomic), jenis tanah yang mendominasi kawasan tersebut adalah Tropohemist (sekarang Haplohemist) dan Paleudults. Kawasan ini berada pada kisaran hutan yang berambut tebal, berawa sampai kawasan kering dengan ketinggian meter dari permukaan laut yang dilapisi oleh gambut memiliki ketebalan bervariasi di atas pasir dan liat berpasir Iklim Dataran bagian timur dari kawasan Sumatera bagian tengah secara umum digolongkan sangat lembab dengan curah hujan tahunan yang berkisar antara mm. Kondisi hutan yang lembab dan rapat akan banyak menggugurkan daun, sehingga banyak tumbuhan yang mengalami kekeringan serta mati. Kondisi yang kering memicu terjadinya kebakaran hutan seperti yang terjadi pada tahun-tahun belakangan ini. Berdasarkan data laporan RKL TNTN yang bersumber dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Balai Wilayah I Stasiun Meteorologi Pekanbaru, rata-rata curah hujan tertinggi selama 10 tahun terakhir

39 25 ( ) jatuh pada bulan November yaitu sebesar 278,67 mm dan terendah pada bulan Juni sebesar 133,19 mm. Sedangkan rata-rata curah hujan tahunan sebesar 2.395,39 mm/tahun (Dephut, 2006) Hidrologi Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo dan sekitarnya merupakan daerah tangkapan air bagi beberapa sungai antara lain : Sungai Tesso (bagian barat), Sungai Segati (bagian utara) dan Sungai Nilo (bagian timur). Ketiganya merupakan sub DAS dari DAS Kampar, tepatnya diantara DAS Tesso dan DAS Nilo di Provinsi Riau. Sungai Nilo dan Sungai Air Sawan merupakan jalur jelajah gajah yang sering diseberangi oleh kelompok gajah dalam mencari makan. Sungai Nilo yang berhulu dari Sungai Air Sawan berada di pinggir desa Lubuk Kembang Bunga, tepatnya di sisi sebelah barat dan berbatasan dengan areal tanaman akasia milik PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Flora Kawasan Tesso Nilo dinyatakan sebagai hutan yang terkaya keanekaragaman hayati di dunia dan merupakan salah satu habitat terakhir bagi gajah sumatera yang saat ini mulai terancam keberadaannya (Dephut, 2006). Meskipun saat ini kondisi hutan Tesso Nilo telah terganggu, namun kawasan hutannya masih menyisakan keragaman jenis flora yang tinggi. Di kawasan tersebut ditemukan 360 jenis pohon yang tergolong dalam 165 marga dan 57 suku yang diantaranya terdapat beberapa jenis yang dilindungi dan terancam punah, yakni : kayu batu (Irvingia malayana), kempas (Koompasia malaccensis), jelutung (Dyera polyphylla), Sindora leiocarpa, Sindora velutina, Sindora brugemani, kulim (Scorodocarpus borneonsis), tembesu (Fagraea fragrans), dan jenis-jenis lainnya yang telah termasuk dalam Red List International Undangeseed Convention Nature (IUCN) seperti gaharu (Aquilaria malaccensis), ramin (Gonystylus bancanus), keranji (Dialium spp), meranti (Shorea spp), keruing (Dipterocarpus spp), durian (durio spp) dan jenis Aglaia spp.

40 26 Selain itu ditemukan pula 82 jenis tumbuhan obat yang selama ini dimanfaatkan masyarakat untuk mengobati berbagai macam penyakit. Diantaranya patalo/pasak bumi (Eurycoma longifolia) adalah salah satu tumbuhan obat yang populer sebagai obat kuat, biasanya akarnya dicampur dengan janin kijang yang diambil dari kandungan induknya kemudian direndam dalam alkohol. patalo/pasak Bumi ini juga biasa digunakan untuk obat malaria. Jenis tumbuhan obat lainnya diantaranya, kunyik bolai (Zingiber purpureum), jarangau (Acorus calamus), lengkuas putih (Alpinia galanga), akar bulu (Argyreira capitata), sundik langit (Amorphopalus spp), dan akar kayu kuning (Lepionurus sylvestris) yang merupakan obat penyakit kuning Fauna Kawasan hutan Taman nasional Tesso Nilo yang mempunyai kawasan hutan yang basah dan kering, sehingga memungkinkan untuk berkembangnya kehidupan satwaliar. Selain satwa gajah sumatera yang merupakan satwa endemik, Menurut Dirjend PHKA (2007) satwa-satwa lain yang terdapat di Taman Nasional ini terdiri dari 107 jenis burung, 23 jenis mamalia, 3 jenis primata, 50 jenis ikan, 15 jenis reptilian, 18 jenis ampibia dan berbagai jenis serangga. Satwa-satwa yang terdapat di Taman Nasional Tesso Nilo diantaranya: 1. Mamalia, antara lain harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), macan dahan (Neofelis neobulosa), beruang madu (Helarcos malayanus), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragolus javanicus), rusa (Cervus unicolor), babi hutan (Sus sp), tapir (Tapirus indicus) dan bajing (Callosciurus spp). 2. Primata antara lain owa (Hylobates agilis), lutung simpai (Presbytis femoralis) dan beruk (Macaca nemestrina). 3. Burung diantaranya adalah beo sumatera (Gracula religiosa), burung kipas (Rhipidura albicollis). elang ular (Spilornis cheela), alap-alap capung (Microchierax fringillarius), kuau (Argusianus argus), burung udang punggung merah (Ceyx rufidorsa), julang jambul hitam (Aceros corrugatus), kangkareng hitam ((anorrhinus malayanus), rangkong badak (Buceros rhinoceros), ayam hutan (Gallus gallus), dan betet ekor panjang (Psittacula longicauda).

41 27 4. Reptilia diantaranya ular kawat (Ramphotyphlops braminus), dan ular kopi (Elaphe Flavolineata). ular picung air ((Xenochrophis trianguligerus), ular cabe kecil (Maticora intestinalis), ular sendok, ular cobra (Ophiphagus Hannah), sanca sawah (Phyton reticulates), ular gendang/phyton darah sumatera (Phyton curtus), dan buaya sinyulong (Tomistoma schlegeleii). 5. Amphibia, antara lain katak serasah berbintik (Leptobrachium hendriksoni), kodok buduk sungai (Bufo asper), kodok buduk (Bufo melanostictus), katak lekat (kalophrynus pleurostigma), percil bintil (Microhyla heymonsi), katak sawah (Fejervarya cancrivora), katak kangkung (Limnpnectes malesianus), katak batu (L. macrodon), bancet rawa sumatera (Occodozuga sumatrana), kongkang kolam (Rana chalconota), kongkang gading (R. erythraena), kongkang kasar (R. gladulosa), kongkang racun (R.hosii), kongkang jangkrik (R. nicobariensis), dan kongkang sungai totol (R. signata) PT. Inti Indosawit Subur Batas Wilayah Batas wilayah studi meliputi Batas Proyek, Batas Ekologis, Batas Administratif dan Batas Teknis. a. Batas Proyek Batas proyek adalah batas kegiatan perkebunan kelapa sawit (Kebun Buatan dan Kebun Ukui) yang mencakup areal seluas ,11 Ha. Dua areal perkebunan untuk lokasi Kebun Buatan, adalah 5.781,47 Ha merupakan areal Kebun Inti dan ha merupakan areal Kebun Plasma. Untuk lokasi di Kebun Ukui, luas areal perkebunan adalah seluas 6.727,64 Ha yang merupakan areal perkebunan inti dan Ha merupakan areal perkebunan plasma. Batas batas proyek sebagian besar masih dibatasi oleh hutan sekunder dan hutan belukar dan sebagian kecil juga dibatasi oleh tanah garapan milik penduduk. b. Batas Ekologis Batas ekologis ditetapkan berdasarkan ruang persebaran dampak kegiatan perkebunan kelapa sawit dan pabrik minyak kelapa sawit terhadap lingkungan biogeofisik kimia. Berdasarkan pertimbangan ini, maka batas ekologis studi

42 28 evaluasi lingkungan kegiatan perkebunan kelapa sawit mencakup seluruh areal perkebunan dan daerah hilir sungai yang diperkirakan terpengaruh oleh dampak erosi dan pembuangan limbah industri minyak kelapa sawit. c. Batas Administratif Untuk lokasi perkebunan di Buatan batas administratif meliputi daerah Siak, Kabupaten Bengkalis, dan Kecamatan Langgam, Kecamatan Bunut, Kabupaten Kampar. Untuk lokasi perkebunan di Ukui batas administratif yang ditetapkan, adalah Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Kampar, Kecamatan Paris Penyu, dan Kabupaten Indragiri Hulu. d. Batas Teknis Batas teknis ditetapkan berdasarkan pertimbangan ketersediaan tenaga, waktu dan biaya serta kemampuan ilmu dan teknologi. hasil dari batas proyek, batas ekologis, administratif pada batas teknis akan menggambarkan batas studi evaluasi lingkungan Curah Hujan Data curah hujan dan hari hujan diambil dari Stasiun Minas dan Sei Apit yang jaraknya masing-masing sekitar 40 km dari lokasi proyek. Kebun yang paling berdekatan dengan areal proyek adalah kebun SUS PTP II di S. Buatan. Curah hujan di areal proyek dan sekitarnya berkisar antara mm/tahun dengan distribusi yang merata sepanjang tahun tanpa terdapat bulan kering yang nyata, dengan hari hujan berkisar antara 91 hari 140 hari. Curah hujan yang rendah terjadi pada bulan-bulan Mei Agustus, akan tetapi jumlahnya masih jauh diatas 100 mm Suhu Udara Data temperatur yang diambil dari Stasiun Simpang Tiga (± 150 km dari lokasi proyek) yang meliputi kurun waktu 9 tahun ( ) menunjukkan temperatur maksimum rata-rata 32,4 0 C, temperatur minimum rata-rata 21,7 0 C dengan temperatur rata-rata sepanjang tahun 26,3 0 C.

43 Iklim Lokasi kegiatan perkebunan kelapa sawit secara geografis terletak antara Bujur Timur dan Lintang Selatan. Dengan demikian lokasi kegiatan terletak didaerah beriklim tropis. Untuk mengetahui kondisi iklim di areal perkebunan, maka dasar iklim diambil dari stasiun meteorologi terdekat, yakni stasiun Minas, Sei Apit, Simpang Tiga, Air Molek dan Japura/Rengat. Berdasarkan klasifikasi yang telah dibuat oleh Schmidt & Ferguson (1951), areal proyek termasuk dalam tipe A dengan nilai Q sebesar 13,0. Sedangkan apabila menggunakan metode Koppen, areal proyek termasuk tipe Afa yaitu tipe iklim tanpa bulan kering yang nyata serta temperatur pada bulan terpanas di atas 22 0 C. Dengan menggunakan batasan yang telah dibuat oleh Pusat Penelitian Marihat (PPM), berarti keadaan curah hujan di areal termasuk dalam klas terbaik (klas 1) untuk ditanami tanaman perkebunan, karena berada pada selang mm/tahunnya. Kelembaban udara dari Stasiun Simpang Tiga menunjukan, bahwa areal perkebunan mempunyai kelembaban udara yang cukup tinggi, ratarata 83,6%. Sedangkan kecepatan untuk angin rata-rata 3,5 knot dengan kecepatan maksimun 16,7 knot Geologi dan Tanah Klasifikasi tanah yang terdapat di perkebunan kelapa sawit diantaranya: Podsolik Merah Kekuningan Jenis tanah ini terdapat pada bentuk wilayah datar agak berombak (F/U), bergelombang (R) dan berbukit (H) dengan bahan induk batuan liat (clay stone). Kedalaman tanah lebih dari 100 cm, tekstur terdiri dari lempung berpasir, lempung berpasir dan lempung. Alluvial Jenis tanah ini terdapat pada bentuk wilayah datar (F). Kedalaman tanah lebih dari 100 m, tekstur lempung berpasir sampai pasir. Jenis tanah yang terdapat di PT. Indosawit Subur Ukui disajikan pada Tabel 2.

44 30 Tabel 2. Jenis Tanah yang Terdapat di PT. Inti Indosawit Subur, kebun Ukui Nama Formasi Umur Litologi Aluvium muda Aluvium tua Holosan Plistosen muda Lumpur, pasir dan kerikil Lempung pindahan, lanau pasir, kerikil, banyak sisa tumbuhan Formasi kerumutan Formasi minas Formasi petani Plistosen Plistosen Pliosen (gambut) Lempung tufan, pasir, kerikil. Kerikil, kerakal, pasir lempung. Batu lumpur sering mengandung karbonan, lignit, sedikit batu lanau dan batu pasir.

45 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komunitas Primata di Taman Nasional Tesso Nilo Keanekaragaman Jenis Primata Hasil inventarisasi satwa primata yang ditemukan di Taman Nasional Tesso Nilo sebanyak 5 jenis dari 2 famili. Dari famili Cercopithecidae (3 jenis) terdiri dari monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung budeng (Trachypithecus auratus) dan lutung simpai (Presbytis melalophos). Dari famili Hylobatidae ditemukan 2 jenis primata yaitu owa ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Hylobates syndactylus). Hasil ini lebih banyak dibanding Ditjend PHKA (2007) yang menyebutkan bahwa ada 3 jenis primata di TNTN antara lain antara lain owa (Hylobates agilis), lutung simpai (Presbytis femoralis) dan beruk (Macaca nemestrina). Jenis-jenis satwa primata yang ditemukan di areal penelitian TNTN disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis-jenis satwa primata yang ditemukan di TNTN No. Nama lokal Nama ilmiah Famili 1. Owa ungko Hylobates agilis Hylobatidae 2. Monyet ekor panjang Macaca fascicularis Cercopithecidae 3. Lutung budeng Trachypithecus auratus Cercopithecidae 4. Lutung simpai Presbytis melalophos Cercopithecidae 5. Siamang Hylobates syndactylus Hylobatidae Untuk mengetahui keanekaragaman jenis primata di areal yang diteliti dapat diperoleh dengan menghitung indeks keanekaragaman jenis. Berdasarkan hasil rekapitulasi data jumlah jenis dan individu satwa primata di areal studi, diperoleh indeks keanekaragaman jenis primata menurut Shannon Wiener sebesar 0,99 mendekati 1. Hal ini berarti di areal perbatasan TN Tesso Nilo yang menjadi areal studi penelitian memiliki tingkat keanekaragaman jenis primata yang tergolong sedang. Soerianegara & Indrawan (2002) menambahkan bahwa ukuran contoh yang semakin besar menyebabkan jumlah jenis yang ditemukan bertambah. Walaupun kondisi habitat hutan sekunder satwa primata telah terganggu oleh berbagai aktivitas manusia, seperti penebangan hutan, perburuan satwaliar, dan perambahan hutan, tetapi jenis-jenis satwa primata yang terdapat di TNTN

46 32 telah beradaptasi dengan baik. Hal ini ditandai dengan ditemukannya satwa primata berdasarkan perjumpaan langsung Kepadatan Populasi Kepadatan populasi adalah suatu besaran populasi dalam suatu unit ruang, biasanya dinyatakan sebagai jumlah individu dalam suatu unit volume atau luas (Alikodra, 1990). Menurut Tarumingkeng (1994), kepadatan populasi adalah jumlah individu dalam satuan ekologis (daerah, luasan, dan lain-lain). Sepanjang kehidupan satwaliar, kepadatan populasi selalu berubah tergantung keadaan lingkungan (ruang dan waktu). Kawasan hutan perbatasan ini merupakan kawasan atau area koridor (ekoton) satwaliar yang diperkirakan memiliki tingkat keanekaragaman satwa yang sangat tinggi. Karena kawasannya yang merupakan penghubung dua edge (tipe vegetasi) yang berbeda antara hutan dengan perkebunan kelapa sawit. Diperkirakan sampai saat ini luas kawasan konservasi ini sudah banyak berkurang. Berkurangnya luas kawasan ini disebabkan oleh pembukaan areal yang dilakukan oleh peladang-peladang liar, areal yang habis terbakar, dan penebangan liar. Untuk menentukan ukuran populasi ditentukan dengan kepadatan populasi. Populasi dugaan jenis-jenis primata di areal perbatasan TN Tesso Nilo disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Pendugaan populasi beberapa satwa primata yang diamati TN Tesso Nilo No. Jenis Primata Kepadatan Populasi Rata-rata (ekor/ha) Dugaan Populasi Seluruh Areal (ekor) Persentase 1. Owa ungko 0, ,27% 2. Monyet ekor 0, ,27% panjang 3. Lutung budeng 0, ,70% 4. Lutung simpai 0, ,52% 5. Siamang 0, ,23% Total 1, ,00% Luas (ha) Dari hasil pengamatan didapatkan spesies primata yang memiliki populasi dugaan terbesar per luasan ha adalah jenis lutung budeng dengan populasi dugaan sebesar ekor atau kerapatan rata-rata sebesar 0,80 ekor/ha atau 80 ekor/km 2. Owa ungko dan monyet ekor panjang memiliki kepadatan populasi

47 Persentase Persentase 33 yang sama yaitu ekor atau kerapatan rata-rata sebesar 0,1429 ekor/ha atau 14,29 ekor/km 2. Kepadatan populasi lutung simpai lebih kecil dari ketiga jenis primata diatas dengan populasi sebesar 868 ekor atau kerapatan rata-ratanya 0,0643 ekor/ha atau 6,43 ekor/km 2. Sedangkan jenis primata yang memiliki kepadatan populasi terkecil adalah jenis siamang dengan populasi sebesar 193 ekor atau kerapatan rata-rata sebesar 0,0143 ekor/ha atau 1,43 ekor/km 2. 70% 70% 68.70% 68.70% 60% 60% 50% 50% 40% 40% 30% 30% 20% 20% 10% 10% 12.27% 12.27% 12.27% 12.27% 5.52% 5.52% 1.23% 1.23% 0% 0% Ungko Ungko M.e. M.e. panjang panjang L. L. budeng budeng L. L. simpai simpai Siamang Siamang Jenis Jenis Gambar 5. Diagram persentase kepadatan populasi ke lima jenis primata yang berada di dalam kawasan TNTN Sebaran dan Aktivitas Sebaran yang dimaksud adalah sebaran spasial yaitu sebaran menurut ruang dalam skala yang tertentu. Sebaran spasial adalah sebaran individu dan kelompok dalam populasi jenis satwaliar. Pola penyebaran ini merupakan strategi individu dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya (Alikodra, 1990). Individu dalam populasi menyebar menurut tiga pola yaitu pola acak (random), pola mengelompok (agregatif), dan pola merata (uniform). Pola sebaran acak menunjukkan adanya keseragaman habitat dan adanya perilaku non selektif dari spesies tersebut terhadap lingkungannya. Pola sebaran merata disebabkan oleh pengaruh negatif dari persaingan makan diantara individu, dan pola mengelompok disebabkan oleh sifat spesies yang suka menggerombol dan

48 34 adanya keragaman habitatnya (Tarumingkeng, 1994). Sebaran populasi jenis-jenis primata di areal studi seperti disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Sebaran populasi jenis-jenis primata di areal studi TNTN No. Jenis Primata Populasi Parameter 2 Dugaan (ekor) X * S X ** S *** X Pola Sebaran 1. Owa ungko ,14 4,81 0,83 Mengelompok 2. Monyet ekor panjang ,14 26,48 1,94 Mengelompok 3. Lutung budeng ,8 302,6 6,58 Mengelompok 4. Lutung simpai 868 0,06 4,90 0,84 Mengelompok 5. Siamang 193 0,01 0,24 0,18 Mengelompok Ket : *= rata-rata populasi yang teramati; **= keragaman populasi; ***= keragaman rata-rata populasi Pola sebaran dari seluruh jenis primata di areal studi menunjukan sebarannya mengelompok karena keragaman rata-rata populasi dari masingmasing jenis primata nilainya lebih besar dari rata-rata populasi. Hal ini sesuai dengan pola sebaran spesies primata yang mengelompok secara alami karena pola sebaran mengelompok menunjukan sifat spesies yang suka menggerombol (agregatif) dan adanya keragaman habitat di seluruh areal studi. Lutung budeng mempunyai penyebaran individu jenis primata yang paling tinggi dengan kepadatan populasi sebesar ekor. Sedangkan sebaran populasi jenis primata yang paling rendah yaitu terdapat pada jenis siamang dengan kepadatan populasi sebesar 193 ekor. Setiap jenis makhluk hidup akan selalu berinteraksi dengan lingkungan atau habitat sekitarnya, baik habitat yang masih alami maupun sudah terganggu dan beberapa jenis satwaliar dapat melakukan adaptasi terhadap lingkungan, salah satunya dengan mengubah perilakunya. Faktor lingkungan seperti faktor fisik (iklim, air, dan substrat) dan faktor biotik (vegetasi dan makanan) merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran mamalia besar (Vaughan, 1985). Pola aktivitas setiap jenis satwa primata yang ditemukan, berada berdasarkan waktu aktivitas yang umumnya dilakukan oleh satwa primata ini dikategorikan berdasarkan pengamatan di lapangan. Terbagi menjadi beberapa kategori, yaitu aktivitas bersuara, bergerak, makan, berkelahi dan lainnya.

49 35 Aktivitas berkelahi merupakan kegiatan satwa dalam mempertahankan daerah teritorinya dari individu atau kelompok lainnya. Satwaliar pada umumnya ada yang bersifat diurnal dan juga nokturnal. Satwa yang aktif pada pagi dan sore hari tergolong satwa yang bersifat diurnal, sedangkan satwa yang aktif di malam hari adalah satwa nokturnal. Dalam melakukan aktivitasnya, jenis-jenis satwa primata seperti owa ungko, lutung budeng, monyet ekor panjang, lutung simpai, dan siamang yang ditemukan umumnya melakukan aktivitasnya lebih banyak pada pagi hari sampai sore hari (bersifat diurnal). Satwaliar yang aktif di malam hari umumnya ditemukan secara tidak langsung atau melalui jejak dan kotoran, seperti jejak kaki harimau sumatera serta jejak kaki dan kotoran gajah sumatera. Gambar 6. Owa ungko (Hylobates agilis) Perbedaan pada total individu jenis satwa primata dalam aktivitas di pagi dan sore hari disajikan dalam persentase. Total individu setiap jenis yang melakukan aktivitas di pagi sampai siang hari sebesar 62,79 %, sedangkan yang memanfaatkan pada sore hari sebesar 37,21 %. Pada waktu pagi, satwa primata sebagian besar melakukan aktivitas untuk bergerak. Aktivitas bergerak diantaranya seperti bersuara, melompat dan berjalan-jalan mencari makan, pada saat siang hari digunakan untuk istirahat dan berteduh. Selain ditinjau berdasarkan pemanfaatan waktu aktivitas satwaliar, dikategorikan juga berdasarkan pemanfaatan stratifikasi tajuk hutan yaitu sebagai satwa arboreal dan terestrial. Vieira dan Filho (2003) menyatakan bahwa

50 36 perubahan ketinggian pada hutan hujan di Atlantic dapat mengubah komposisi dari komunitas pada lapisan hutan yang berbeda tanpa mengubah pola pemanfaatan habitat vertikal secara spesifik. Primack et al. (1998) menyatakan bahwa kekayaan jenis vertebrata yaitu mamalia berkorelasi dengan struktur kompleks dari hutan. Setiap strata tajuk hutan memilki kemampuan dalam mendukung kehidupan jenis-jenis satwaliar tertentu (Alikodra, 1990). Soerianegara dan Indrawan (2002) membagi strata hutan atas strata A (>30 m), strata B (20-30 m), strata C (4-20 m), strata D (1-4 m), dan strata E (0-1 m). Pemanfaatan strata hutan oleh masing-masing jenis satwa primata disajikan dalam Tabel 6 berikut. Tabel 6. Pemanfaatan strata hutan oleh masing-masing jenis satwa primata No. Nama Lokal Nama Ilmiah Strata Hutan A B C D E 1. Owa ungko Hylobates agilis Monyet ekor panjang Macaca fasicularis 3. Lutung budeng Trachypithecus auratus Lutung simpai Presbytis malalophos Siamang Hylobates syndactylus Dalam pembagian berdasarkan stratifikasi hutan, diketahui bahwa monyet ekor panjang memiliki sebaran vertikal yang lebih luas dibanding seluruh jenis satwa primata lainnya. Monyet ekor panjang memanfaatkan setiap strata hutan yang telah dibagi. Hal ini dapat disebabkan kebiasaan monyet ekor panjang untuk tidak memilih sumberdaya pakan tertentu. Jenis-jenis satwa primata yang memanfaatkan strata A yaitu monyet ekor panjang, owa ungko, lutung budeng dan lutung simpai. Santoso (1983) menyatakan bahwa pola aktivitas monyet ekor panjang di Pulau Tinjil yang banyak aktif pada tajuk pohon mengindikasikan bahwa ketersediaan sumberdaya pakannya sedang berlimpah pada stratifkasi atas.

51 37 Gambar 7. Monyet ekor panjang yang memiliki sebaran vertikal lebih luas Berdasarkan data pengamatan, rata-rata primata memanfaatkan pohon pada strata A dan strata B. Hal ini disebabkan karena pada ketinggian ini tersedia sumber pakan yang dibutuhkan oleh jenis-jenis primata seperti buah, daun, dan serangga. Selain itu, jenis-jenis primata dapat melakukan pergerakan yang lebih mudah dari strata B untuk berpindah ke strata A atau stara C. Gambar 8. Lutung budeng (Trachypithecus auratus) Lutung budeng dan simpai lebih banyak memanfaatkan strata A dibanding jenis mamalia lainnya karena kebutuhan pakan akan daun muda atau pucuk daun. Seperti halnya pernyataan Santoso (1983), lutung budeng juga lebih banyak

52 38 memanfaatkan strata hutan A disebabkan kebutuhannya akan daun muda yang terdapat di tajuk pohon teratas. Primata merupakan salah satu satwa penghuni hutan yang memiliki arti penting dalam kehidupan di alam. Keberadaan primata tidak hanya sebagai penghias alam, namun penting artinya dalam regenerasi hutan tropik. Tingginya tingkat gangguan habitat akibat penebangan liar, menurunnya potensi pakan, timbulnya kebisingan akibat pengoperasian gergaji mesin, perambahan hutan, dan perpindahan satwa ketempat-tempat lain yang baru yang masih menyediakan pakan yang berlimpah di habitat tertentu untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup satwa tersebut dapat menyebabkan penyebaran populasi satwa primata semakin berkurang. Berkurangnya populasi satwa primata di hutan alam nantinya diprediksi akibat dari perburuan satwaliar dan juga sebagai tanda perpindahan satwa tersebut ke habitat baru berupa perkebunan kelapa sawit Komposisi Vegetasi Vegetasi hutan di Taman Nasional Tesso Nilo yang menjadi areal penelitian merupakan vegetasi hutan dataran rendah. Dari hasil analisis vegetasi didapatkan komposisi jenis vegetasi yang sangat beragam. Ditemukan 111 jenis tumbuhan dari 43 famili. Jumlah jenis tumbuhan yang paling banyak ditemukan adalah dari famili Myrtaceae, Sapotaceae, Burseraceae, Anacardiaceae, Fabaceae dan Dipterocarpaceae. Berikut merupakan diagram rekapitulasi 10 famili terbanyak yang diperoleh (Gambar 9). Jenis tumbuhan dari famili Dipterocarpaceae adalah jenis yang paling banyak ditemukan di kawasan hutan ini. Sedikitnya dengan jumlah jenis tumbuhan sebanyak 25 jenis. Sedangkan untuk famili Anacardiaceae dan Fabaceae ditemukan jumlah jenis tumbuhan sebanyak 7 jenis. Untuk famili Burseraceae 6 jenis tumbuhan, famili Sapotaceae 5 jenis tumbuhan, dan famili Myrtaceae sebanyak 4 jenis tumbuhan. Famili Euphorbiaceae, Ebenaceae, Moraceae dan Myristicaceae masing-masing memiliki jumlah jenis tumbuhan yang sama yaitu sebanyak 3 jenis tumbuhan.

53 Jumlah Jumlah Euphorbiaceae Euphorbiaceae Ebenaceae Ebenaceae Moraceae Moraceae Myristicaceae Myristicaceae Myrtaceae Myrtaceae Sapotaceae Sapotaceae Family Family Burseraceae Burseraceae Anacardiacea Anacardiacea Fabaceae Fabaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Gambar 9. Rekapitulasi 10 famili tumbuhan terbanyak yang terdapat di TNTN Areal studi penelitian di Taman Nasional Tesso Nilo yang dekat dengan perkebunan kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur terbagi ke dalam 7 jalur. Vegetasi tumbuhan yang dapat ditemukan di hutan daratan rendah pada umumnya tumbuhan berkayu, tumbuhan rambat, terna, pencekik, saprofit, dan parasit. Jenisjenis tumbuhan berkayu yang banyak ditemukan di hutan TNTN diantaranya antara lain: kelat (Gonystylus forbesii), meranti kunyit (Shorea conica), medang keladi (Talauma gigantifolia), benau (Mangifera spp.), meranti sepat (Shorea macrantha), resak (Vatica spp.), meranti bunga (Shorea platycarpa), jejambu (Eugenia spp.), medang (Diospyros curranii), mahang (Macaranga sp.), sendoksendok (Endospermum diadenum), bintangur (Calophyllum soulattri), tapak-tapak (Sindora wallichii), nasi-nasi (Anisophyllea disticha), kulim (Scorodocarpus bracteatus), dan gerunggang (Cratoxylon spp.). Berikut jenis-jenis tumbuhan yang ada di Taman Nasional Tesso Nilo yang mendominasi di setiap jalurnya di sajikan dalam Tabel 7 berikut:

54 40 Tabel 7. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) terbesar dari tumbuhan di setiap jalur penelitian. Tingkat Jalur Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%) Semai 1. Nasi-nasi Anisophyllea disticha Rhizophoraceae Meranti Shorea platycarpa Diptrerocarpaceae bunga 3. Kelat Gonystylus forbesii Thymelaeaceae Kelat Gonystylus forbesii Thymelaeaceae Sendoksendok Endospermum Euphorbiaceae diadenum 6. Kulim Scorodocarpus Moraceae bracteatus 7. Gerunggang Cratoxylon spp. Hypericaceae Pancang 1. Tapak-tapak Sindora wallichii Fabaceae Jejambu Eugenia sp. Myrtaceae Kelat Gonystylus forbesii Thymelaeaceae Jejambu Eugenia sp Myrtaceae Sendoksendok Endospermum Euphorbiaceae diadenum 6. Jejambu Eugenia sp. Myrtaceae Jejambu Eugenia spp. Myrtaceae Tiang 1. Meranti Shorea platycarpa Diptrerocarpaceae bunga 2. Arang-arang Eugenia sp. Myrtaceae Medang Diospyros curranii Ebenaceae Jejambu Eugenia sp. Myrtaceae Sendoksendok Endospermum Euphorbiaceae diadenum 6. Bintangur Calophyllum soulattri Guttaceae Jejambu Eugenia spp. Myrtaceae Pohon 1. Kelat Gonystylus forbesii Thymeliaceae Meranti Shorea conica Diptrerocarpaceae kunyit 3. Medang Talauma gigantifolia Magnoliaceae keladi 4. Benau Mangifera sp. Anacardiacea Meranti sepat Shorea macrantha Diptrerocarpaceae Resak Vatica sp. Diptrerocarpaceae Resak Vatica spp. Diptrerocarpaceae Kondisi Habitat Hampir disetiap jalur, kegiatan manusia di kawasan ini cukup intensif, terlihat dengan sering ditemukannya bekas-bekas aktivitas mereka. Aktivitas yang dijumpai di kawasan ini adalah penebangan hutan, perambahan hutan, dan perburuan satwaliar baik dengan senjata api maupun dengan pemasangan jerat

55 41 yang banyak ditemukan di dalam kawasan ini. Pada jalur 1, terdapat beberapa aktivitas manusia yang dapat mengganggu dan mengancam kelestarian flora dan fauna yaitu dengan adanya keberadaan beberapa lahan garapan berupa kebun kelapa sawit milik masyarakat. Berdasarkan analisis vegetasi yang dilakukan, pada tingkat pertumbuhan semai didominasi oleh Nasi-nasi (Anisophyllea disticha) dengan INP sebesar 20,12%. Untuk tingkat pertumbuhan pancang, didominasi oleh Tapak-tapak (Sindora wallichii) dengan INP sebesar 22,50%. Meranti bunga (Shorea platycarpa) mendominasi pada tingkat pertumbuhan tiang dengan INP sebesar 47,09%, sedangkan pada tingkat pertumbuhan pohon didominasi oleh jenis Kelat (Gonystylus forbesii) dengan INP sebesar 44,84%. Beberapa areal kawasan hutan yang berada di sekitar jalur 2 ini telah terbuka, bekas tebangan oleh masyarakat yang akan dijadikan kebun kelapa sawit. Selain itu juga terdapat bekas potongan kayu yang telah menjadi balok-balok, dan terdengar suara mesin pemotong kayu (chain saw) yang jaraknya dekat dengan areal penelitian. Didalam kawasan hutan ini terdapat aliran sungai dan sebagian besar terendam oleh air. Gambar 10. Kayu balok bekas penebangan liar di dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo Berdasarkan data hasil analisis vegetasi, jenis-jenis yang dominan di kawasan ini untuk vegetasi tingkat pertumbuhan semai didominasi oleh Meranti bunga (Shorea platycarpa) dengan INP sebesar 26,20%. Vegetasi tingkat pertumbuhan pancang didominasi oleh Jejambu (Euginia sp.) dengan INP sebesar

56 42 22,50 %. Vegetasi tingkat pertumbuhan tiang yang mendominasi adalah Arangarang (Eugenia sp.) dengan INP sebesar 43,17%. Sedangkan vegetasi tingkat pertumbuhan pohon didominasi oleh Meranti kunyit (Shorea conica) dengan INP sebesar 32,25%. Jalur 3 dan 4 merupakan areal lokasi penelitaian yang cukup jauh dengan pemukiman. Kawasan ini memiliki topografi yang datar dengan ketinggian m dpl. Untuk jalur 3, pada tingkat pertumbuhan semai, jenis tumbuhan yang mendominasi yaitu Kelat (Gonystylus forbesii) (INP=39,51%). Pada tingkat pertumbuhan pancang juga didominasi oleh Kelat (Gonystylus forbesii) dengan INP sebesar 40,48%. Untuk tingkat tiang yang mendominsasi jenis Petaling gajah (Homalium longifolium) dengan INP sebesar 41,28%. Sedangkan pada tingkat pohon jenis yang mendominasi yaitu jenis Medang keladi (Lalauma gigantifolia) dengan INP sebesar 36,31%. Jenis tumbuhan di jalur 4 yang mendominasi untuk tingkat semai yaitu Kelat (Gonystylus forbesii) (INP=84,81%). Pada tingkat pertumbuhan pancang, didominasi oleh Jejambu (Eugenia sp.) dengan INP sebesar 29,52%. Untuk tingkat pertumbuhan tiang, didominasi oleh Jejambu (Eugenia sp.) dengan INP sebesar 80,97%. Sedangkan pada tingkat pertumbuhan pohon, didominasi oleh Benau (Mangifera sp.) dengan INP sebesar 27,46%. Gambar 11. Areal bekas perambahan hutan didalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo Jalur 5 dan 6 merupakan jalur dimana terdapat banyak bekas kotoran dan jejak gajah. Di jalur ini sering terjadi masuknya gajah-gajah liar kedalam kebun

57 43 kelapa sawit dan merusaknya. Hal ini bisa disebabkan kawasan hutan yang semakin menyempit akibat konversi hutan menjadi kebun kelapa sawit. Di jalur 5, untuk tingkat pertumbuhan semai didominsi oleh Sendok-sendok (Endospermum diadenum) dengan INP sebesar 40,13%. Untuk tingkat pertumbuhan pancang juga didominasi oleh sendok-sendok dengan INP sebesar 33,44%. Pada tingkat pertumbuhan tiang didominasi oleh Meranti bunga (Shorea platycarpa) dengan INP sebesar 32,94%. Sedangkan untuk tingkat pertumbuhan pohon didominasi oleh jenis Meranti sepat (Shorea macrantha). Sendok-sendok merupakan jenis tumbuhan yang dapat hidup pada tegakan yang terbuka. Dominasi tumbuhan sendok-sendok pada hutan dataran rendah menunjukkan bahwa kondisi hutan dataran rendah tergolong terganggu. Kondisi hutan yang terganggu dapat juga diketahui dengan interaksi masyarakat yang berbatasan dengan hutan dataran rendah penebangan liar, perburuan satwaliar, mencari rotan ataupun kayu bakar. Untuk jalur 6, tingkat pertumbuhan semai didominasi oleh Kulim (Scorodocarpus bracteatus) dengan INP sebesar 74,66%. Untuk vegetasi tingkat pertumbuhan pancang didominasi oleh Jejambu (Eugenia sp.) dengan INP sebesar 56,14%. Untuk tingkat pertumbuhan tiang jenis didominasi oleh Bintangur (Colopyhllum soulattri) dengan INP sebesar 79,58%. Sedangkan untuk vegetasi tingkat pertumbuhan pohon didominasi oleh jenis Resak (Vatica sp.) dengan INP sebesar 61,31%. Berdasarkan analisis vegetasi yang dilakukan di jalur 7, diperoleh jenisjenis yang mendominasi pada habitat jalur VII. Pada tingkat pertumbuhan semai didominasi oleh Gerunggang dengan INP sebesar 48,08%. Pada tingkat pertumbuhan pancang didominasi oleh Jejambu dengan INP sebesar 57,98%. Pada tingkat pertumbuhan tiang juga didominasi oleh Jejambu dengan INP sebesar 80,61%. Sedangkan untuk tingkat pertumbuhan pohon jenis yang mendominasi yaitu Resak dengan INP sebesar 57,15%. Jenis. Habitat jalur ini memiliki topografi yang bergelombang, dengan kondisi habitat sebagian hutan rawa. Kondisi habitat di jalur ini keadaan hutannya lebih baik dibandingkan dengan jalur-jalur lainnya. Vegetasi hutan di jalur ini memiliki tingkat kerapatan yang tergolong tinggi dan belum tersentuh oleh adanya kegiatan

58 44 manusia. Akan tetapi kerusakan dan gangguan habitat di jalur ini masih bisa terjadi, karena seiring dengan berjalannya waktu dimana aktivitas manusia bukan tidak mungkin akan masuk ke habitat ini. Sehingga perlu dilakukan pengawasan dan perlindungan terhadap sumber daya hayati dan ekosistemnya yang masih alami demi tercapainya keseimbangan ekologi hutan. Gambar 12. Kondisi hutan Taman Nasional Tesso Nilo yang belum terganggu Seiring dengan perkembangan kondisi kawasan, habitat satwaliar di Taman Nasional Tesso Nilo banyak mengalami perubahan. Sebagai kesatuan ekosistem, apabila ada perubahan kondisi suatu bagian dari kawasan, yang merupakan juga habitat satwaliar akan membawa pengaruh dan perubahan pada satwaliar tersebut. Perubahan habitat tersebut bisa berupa berubahnya tipe penutupan lahan maupun tipe vegetasi dan terjadinya fragmentasi habitat. Pembalakan intensif sangat berpengaruh terhadap kerusakan struktur hutan terutama di kawasan hutan yang persentase komersialnya tinggi (Whitmore, 1982 dalam Yusuf, 1998). Haryanto (1987) dalam Yusuf (1998) berpendapat kegiatan pembalakan dengan sistem mekanis dengan intensif menyebabkan tumbuhnya jenis-jenis pionir secara dominan, seperti Macaranga spp., Mollatus spp., dan Anthhocephalus spp. Hal ini berarti menandakan rusaknya struktur hutan, yang berarti rusaknya habitat berbagai jenis satwaliar yang ada didalamnya. Pengaruh perubahan kondisi habitat akibat pembalakan terhadap satwaliar bervariasi menurut tingkat perubahan dan kemampuan beradaptasi jenis. Di areal bekas pembalakan yang bebas dari gangguan memegang peranan penting dalam memperkecil pengaruh negatif tersebut. Rinaldi (1985) dalam Yusuf (1998)

59 45 berpendapat di Way Kambas menunjukan bahwa siamang dapat beradapatasi dengan baik pada kondisi vegetasi tanpa strata A yang didominasi oleh jenis-jenis yang berfamili non-dipterocarpaceae. Begitu juga hasil penelitian Haryanto (1987) dalam Yusuf (1998) Hylobates muelleri dan Presbytis rubicunda yang sanggup beradaptasi dengan baik pada areal dengan strata yang lengkap. Secara keseluruhan keadaan hutan sebagai habitat satwaliar terancam mengalami kerusakan. Kerusakan habitat satwaliar di kawasan ini terjadi karena kondisi habitat telah banyak mengalami gangguan. Gangguan itu sendiri disebabkan oleh adanya kegiatan manusia seperti maraknya kegiatan penebangan liar. Ditambah dengan kawasannya yang dekat dengan perkebunan kelapa sawit, sehingga banyak perladangan liar yang dilakukan oleh penduduk sekitar dengan cara merambah hutan untuk ditanami dengan tanaman perkebunan tersebut yaitu kelapa sawit. Hal ini bila dibiarkan terus menerus akan dapat berakibat pada penurunan/degradasi populasi satwaliar terutama primata yang ada disekitarnya dan dapat mengancam akan keberadaan dan kelestariannya. Bahkan bila gangguan habitat tersebut terus terjadi lagi, selain dapat merusak habitat primata secara fisik juga dapat mengakibatkan terjadinya efek fragmentasi habitat dan kematian satwa primata serta migrasi satwaliar terutama primata Komunitas Primata di Dalam Kawasan Lindung Keanekaragaman Jenis Primata Jenis primata yang ditemukan di areal kawasan lindung yang berada di dalam perkebunan kelapa sawit yaitu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina). Berdasarkan hasil rekapitulasi data jumlah jenis dan individu satwa primata diperoleh indeks keanekaragaman jenis primata menurut Shannon Wiener sebesar 0,69. Hal ini berarti di areal kawasan lindung ini memiliki tingkat keanekaragaman jenis primata yang tergolong rendah. Tabel 8. Jenis-jenis satwa primata yang ditemukan di kawasan lindung perkebunan kelapa sawit No. Nama lokal Nama ilmiah Famili 1. Monyet ekor panjang Macaca fasicularis Cercopithecidae 2. Beruk Macaca nemestrina Cercopithecidae

60 46 Keanekaragaman jenis satwaliar bergantung pada luasan habitatnya, semakin besar atau luas suatu habitat maka kemungkinan ditemukannya jumlah jenis satwaliar semakin besar juga. Serupa dengan Soerianegara & Indrawan (2002) yang menambahkan bahwa ukuran contoh yang semakin besar menyebabkan jumlah jenis yang ditemukan bertambah. Gambar 13. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di dalam kawasan lindung perkebunan kelapa sawit Kepadatan Populasi Untuk menentukan ukuran populasi ditentukan dengan kepadatan populasi. Jumlah jenis primata monyet ekor panjang yang ditemukan sebanyak 13 ekor. Sehingga didapatkan populasi dugaan untuk jenis monyet ekor panjang sebesar 41,17 ekor perluasan 3,8 ha. Jumlah jenis primata beruk yang ditemukan sebanyak 11 ekor. Sehingga didapatkan populasi dugaan untuk jenis beruk sebesar 34,83 ekor perluasan 3,8 ha. Keberadaan satwa primata di kawasan lindung ini sangat rentan terhadap ancaman keberadaan manusia sehingga mengancam terhadap kemerosotan populasinya. Pendugaan populasi satwa primata di kawasan lindung perkebunan kelapa sawit disajikan dalam Tabel berikut ini.

61 47 Tabel 9. Pendugaan populasi satwa primata di kawasan lindung perkebunan kelapa sawit Dugaan No Kepadatan Populasi Luas Jenis Primata Populasi Persentase. Rata-rata (ekor/ha) (ha) Seluruh Areal 1. Monyet ekor 10,83 41,17 54,17% panjang 3,8 2. Beruk 9,17 34,83 45,83% Total % Perilaku dan Aktivitas Monyet ekor panjang dan beruk yang ditemukan di kawasan lindung yang ada di dalam perkebunan kelapa sawit hidup dalam kelompok. Monyet ekor panjang membentuk kelompok dengan jumlah individu yang ditemukan sebanyak 13 ekor dan beruk hidup membentuk kelompok dengan jumlah individu 11 ekor. Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), monyet ini hidup dalam kelompok yang terdiri dari banyak jantan dan betina dewasa. Jumlah individu setiap kelompok berbeda-beda. Di hutan bakau umumnya berjumlah antara ekor, sedangkan di hutan primer bisa mencapai ekor. Sedangkan beruk hidup berkelompok berjumlah sekitar 3-15 ekor pada hutan yang sudah terganggu, sedangkan pada hutan yang belum terganggu bisa mencapai 40-an ekor. Struktur organisasinya adalah multimale-multifemale atau banyak jantan dan betina dewasa. Monyet ekor panjang dan beruk dalam melakukan aktivitasnya, lebih banyak dilakukan pada pagi hari sampai sore hari (diurnal). Di pagi hari, monyet dan beruk mencari makan di dalam kawasan lindung berupa buah-buahan. Kadang-kadang ke daerah perkebunan kelapa sawit dengan melompat melewati sungai melalui dahan yang paling atas yang menjorok ke arah luar ke pelepah sawit untuk mencari pakan berupa buah kelapa sawit yang masih muda, dan kembali lagi ke dalam kawasan lindung pada sore hari. Kadang-kadang dijumpai di siang hari, kedua jenis primata ini kembali ke kawasan lindung untuk beristirahat dan berteduh Karakteristik Habitat Vegetasi di areal cadangan (hutan lindung) yang berada di dalam perkebunan kelapa sawit mempunyai habitat yang cukup unik, karena hampir

62 48 sebagian besar didominasi oleh jenis tumbuhan buah-buahan. Dari hasil analisis vegetasi didapatkan komposisi jenis vegetasi yang ditemukan yaitu 17 jenis tumbuhan. Komponen vegetasi jenis tumbuhan untuk di areal ini diantaranya adalah balam, cempedak, duku, durian, jeruk, kapau, kopi, laban, mangga, manggis, mata kucing, medang, mentaling, mindi, mundu, rambutan, dan rauh. Gambar 14. Kondisi vegetasi di areal kawasan lindung perkebunan sawit. kelapa Untuk tingkat semai jenis yang paling mendominasi adalah dari jenis tumbuhan kopi (Coffea spp.) dengan INP sebesar 79,65 %, sedangkan untuk tingkat pancang didominasi oleh tumbuhan jenis rambutan (Nephellium lappceum) dengan INP sebesar 44,44 %. Jenis tumbuhan untuk tingkat tiang didominasi oleh jenis laban (Vitex gamosepala) dengan INP sebesar 76,30 %, sedangkan untuk tingkat pohon jenis yang paling banyak ditemukan adalah jenis durian (Durio zibethinus) dengan INP sebesar 58,18 %. Berikut tabel dari INP untuk tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Tabel 10. INP untuk tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon No. Tingkat Jenis Nama Latin INP 1. Semai Kopi Coffea spp. 79,65 % 2. Pancang Rambutan Nephellium lappceum 44,44 % 3. Tiang Laban Vitex gamosepala 76,30 % 4. Pohon Durian Durio zibethinus 58,18 %

63 49 Kondisi habitat kawasan lindung di dalam perkebunan kelapa sawit ini yang didominasi oleh jenis tumbuhan buah-buahan menjadi pakan untuk jenis primata yang ada didalamnya. Kawasan tersebut dekat dengan sumber air (sempadan sungai), dan keadaan topografinya yang landai. Gambar 15. Kondisi sempadan sungai di areal kawasan lindung perkebunan kelapa sawit. Kawasan lindung dengan luasan areal kurang lebih 3,8 ha ini tidak sesuai dengan daya dukung habitat untuk primata tersebut. Karena luas kawasan yang sempit sering kali primata mencari makan di luar kawasan lindung yaitu perkebunan kelapa sawit. Sehingga, perlu dilakukan usaha penambahan luas kawasan guna tercapainya daya dukung habitat primata tersebut. Kondisi vegetasi di kawasan lindung memiliki tingkat kerapatan yang sedang. Seiring dengan perkembangan zaman kawasan tersebut sangat rentan akan gangguan aktivitas dari manusia seperti aktivitas pekerja buruh kebun kelapa sawit dan perburuan liar terhadap satwa primata.

II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Morfologi Umum Primata

II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Morfologi Umum Primata II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Morfologi Umum Primata Secara keseluruhan primata sudah mengalami spesialisasi untuk hidup di pohon. Menurut J.R. Napier dan P.H. Napier (1967), klasifikasi ilmiah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kelas : Mamalia Ordo : Primates Subordo : Anthropoidea Infraordo :

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 24 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di areal kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Secara umum, areal yang diteliti adalah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM. Edy Hendras Wahyono

MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM. Edy Hendras Wahyono MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM Edy Hendras Wahyono Penerbitan ini didukung oleh : 2 MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI ACEH Naskah oleh : Edy Hendras Wahyono Illustrasi : Ishak

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-ekologi 1. Taksonomi Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and Napier, 1986). Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus)

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus) Lutung (Trachypithecus auratus cristatus) Oleh: Muhammad Faisyal MY, SP PEH Pelaksana Lanjutan Resort Kembang Kuning, SPTN Wilayah II, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani Trachypithecus auratus cristatus)

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komunitas Primata di Taman Nasional Tesso Nilo 5.1.1. Keanekaragaman Jenis Primata Hasil inventarisasi satwa primata yang ditemukan di Taman Nasional Tesso Nilo sebanyak 5

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU Number of Individual and Groups Proboscis (Nasalis Larvatus, Wurmb) In Sentarum Lake

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ilmiah Pengklasifikasian primata berdasarkan 3 (tiga) tingkatan taksonomi, yaitu (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan secara terang-terangan,

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep Madura Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember 2016. Gambar

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Joja (Presbytis potenziani) adalah salah satu primata endemik Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang unik dan isolasinya di Kepulauan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT.BA) (PERSERO) TBK - UNIT PRODUKSI OMBILIN (UPO) DAN TAMBANG BATUBARA TANPA IZIN (PETI) TERHADAP KUALITAS AIR SUNGAI OMBILIN SAWAHLUNTO

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon. BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT Ana Dairiana, Nur illiyyina S, Syampadzi Nurroh, dan R Rodlyan Ghufrona Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Analisis vegetasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi lutung Jawa Klasifikasi lutung Jawa menurut Groves (2001) dalam Febriyanti (2008) adalah sebagai berikut : Kingdom Class Ordo Sub ordo Famili Sub famili Genus : Animalia

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Riau dengan luas 94.560 km persegi merupakan Provinsi terluas di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas sebesar 9.260.421

Lebih terperinci

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KELOR, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KELOR, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KELOR, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: 978-602-60401-3-8 PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBEBASAN FRAGMENTASI HABITAT ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI HUTAN RAWA TRIPA Wardatul Hayuni 1), Samsul

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah tropis dan mempunyai hutan hujan tropis yang cukup luas. Hutan hujan tropis mempunyai keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki luas sekitar 3.742.120 ha atau sekitar 52,20% dari seluruh luas provinsi, luasan kawasan hutan ini sesuai dengan yang termaktub

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi ungko dan siamang

Lebih terperinci

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 4 praktek perambahan masyarakat lokal melalui aktivitas pertanian atau perladangan berpindah dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan karakteristik usaha kehutanan yang

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT Diversity of Species Meranti (Shore spp) In Protected Forest Area Ambawang

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. A. Metode survei

II. METODOLOGI. A. Metode survei II. METODOLOGI A. Metode survei Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan di KPHP Maria Donggomassa wilayah Donggomasa menggunakan sistem plot, dengan tahapan pelaksaan sebagai berikut : 1. Stratifikasi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP. 21 BAB V HASIL 5.1 Distribusi 5.1.1 Kondisi Habitat Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI GUNUNG ASEUPAN Dalam Rangka Konservasi Dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman primata yang tinggi, primata tersebut merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1. Taman Nasional Tesso Nilo Sejarah Kawasan

IV. KONDISI UMUM 4.1. Taman Nasional Tesso Nilo Sejarah Kawasan 18 IV. KONDISI UMUM 4.1. Taman Nasional Tesso Nilo 4.1.1. Sejarah Kawasan Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo mulanya dikenal sebagai kawasan hutan langgam yang difungsikan sebagai Hutan Produksi terbatas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi ilmiah simpai sebagai berikut :

2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi ilmiah simpai sebagai berikut : 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi 2.1.1 Taksonomi Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi ilmiah simpai sebagai berikut : Kingdom Filum Kelas Ordo Sub-ordo Famili Sub-famili Genus : Animalia :

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI Oleh : MUHAMMAD MARLIANSYAH 061202036 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KALITOPO, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KALITOPO, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KALITOPO, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 I.

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang (tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan Nycticebus

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) DI KAWASAN KONSERVASI RUMAH PELANGI DUSUN GUNUNG BENUAH KECAMATAN SUNGAI AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA Diversity Study of Kantong Semar Plants (Nepenthes

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

4 METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

4 METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan 15 4 METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan (Mei Juni 2012) di Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Pancar, Bogor, Jawa Barat. Lokasi studi secara administratif terletak di wilayah

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang membentang di wilayah 10 Kabupaten dan 2 Provinsi tentu memiliki potensi wisata alam yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 12 BAB III METODOLOGI PENELIT TIAN 31 Waktu dan Tempat Penelitian inii dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 yang berlokasi di TAHURA Inten Dewata dimana terdapat dua lokasi yaitu Gunung Kunci dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dimulai bulan Juni hingga Agustus 2011. Lokasi penelitian bertempat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996) PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Syzygium merupakan marga dari suku Myrtaceae (jambu-jambuan) yang memiliki jumlah spesies yang sangat banyak. Tercatat kurang lebih 1200 spesies Syzygium yang tumbuh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga padang golf yaitu Cibodas Golf Park dengan koordinat 6 0 44 18.34 LS dan 107 0 00 13.49 BT pada ketinggian 1339 m di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci