BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta merupakan arena seni budaya termasuk sastra yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta merupakan arena seni budaya termasuk sastra yang"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yogyakarta merupakan arena seni budaya termasuk sastra yang sampai hari ini terus tumbuh dan berkembang. Salah satu hal yang menjadikan sastra di Yogyakarta dapat bertahan adalah adanya semangat kekeluargaan. Semangat kekeluargaan ini mewujud dalam bentuk sanggar atau komunitas. Banyak sanggar atau komunitas sastra di Yogyakarta yang telah dan tengah melahirkan sastrawan yang produktif dan kreatif. Salah satu komunitas sastra di Yogyakarta yang melegenda adalah Persada Studi Klub (PSK). PSK merupakan salah satu komunitas sastra yang memiliki pengaruh bagi sastra Indonesia di Yogyakarta. Komunitas ini lahir tanggal 5 Maret di lantai dua kantor redaksi Koran Mingguan Pelopor Yogya di Jl. Malioboro 175 A, yang diawaki oleh penyair Umbu Landu Paranggi dan 6 penyair muda lainnya, yakni Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarna Pragolapati, Iman Budhi Santosa, Soeparno S. Adhy, Mugiyono Gitowarsono, dan M. Ipan Sugiyanto Sugito. PSK memiliki andil dalam kesastrawanan Emha Ainun Nadjib (selanjutnya disebut Nadjib). Dari PSK, Nadjib menjadi salah satu nama selain 1 Tanggal lahir berdasarkan keterangan sejumlah anggota di dalam buku Orang-orang Malioboro, Ragil Suwarna Pragolapati dalam antologi puisi Salam Penyair, serta dalam tesis Saeful Anwar mengenai PSK, kendati menurut Teguh Ranusastra Asmara dan Iman Budhi Santosa dalam wawancara 13 November 2013 menyatakan bahwa PSK lahir tahun 1968 yang kemudian mendasari perayaan ulang tahunnya tanggal 15 Maret 2013 di Rumah Budaya EAN terhitung 45 tahun.

2 2 Linus Suryadi Ag., Korrie Layun Rampan, dan sejumlah sastrawan yang sudah dikenal luas oleh arena sastra nasional. Di Yogyakarta di kawasan Malioboro ketika masih SMA, Nadjib telah dipertemukan dengan Paranggi, sebelum akhirnya pria asal Sumba yang mendapat julukan Presiden Malioboro ini hijrah ke Bali hingga sekarang. 2 Iklim arena sastra Yogyakarta berperan penting bagi Nadjib. Yogyakarta sebagai tempat bertemu dan berkumpulnya berbagai dan/atau antar-habitus bagi para sastrawan membentuk karakter arena sastra di dalamnya. Hal tersebut ditentukan berdasarkan komposisi antar-habitus yang dibawa oleh individuindividu sehingga menjadi sesuatu yang khas Yogyakarta dan tidak dapat ditemukan di manapun di Indonesia (Salam, 2013). Nadjib banyak membacakan puisi-puisinya di kampus-kampus, kampung, masjid, pertemuan-pertemuan tertentu, di depan buruh, di pesta ulang tahun, bahkan dalam acara disko, daripada secara tertulis lewat surat kabar dan majalah (Jabrohim, 2003). Dari segi kepenyairan, periode akhir 1970-an hingga akhir 1980-an dapat dikatakan sebagai periode pertama paling kreatif dan produktif bagi Nadjib. Di tahun-tahun tersebut ia banyak menerbitkan buku antologi puisi dengan berbagai kecenderungan, di antaranya puisi sosial (protes), sosio-religius, dan mistisisme Islam (tasawuf) (Alfian M., dkk., 2001: ; Betts, 2006: 11). Dapat dikatakan bahwa selepas pergulatan di arena sastra Yogyakarta, Nadjib berhasil menempati posisi dalam arena sastra nasional, bahkan internasional. 2 Lebih lanjut mengenai penelitian terhadap peran Umbu Landu Paranggi dalam sastra di Indonesia, sastra di Yogyakarta, dan sastra di Bali bisa dibaca dalam tesis I Made Astika dengan judul Pergulatan Umbu Landu Paranggi dalam Arena Sastra di Bali: Tinjauan Sosiologi Pierre Bourdieu, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2013.

3 3 Beberapa prestasi Nadjib di masa itu antara lain mememenangkan sayembara Tifa Sastra UI untuk kumpulan puisinya Sajak-sajak Sepanjang Jalan (1977), diundang membacakan puisi-puisinya di TIM 3, dan diundang dalam sejumlah program yang sifatnya internasional. Di antaranya adalah diundang dalam acara bidang teater Multi Cultural di Filipina (1980), The International Writing Program, Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), The International Songwriters Festival, Rotterdam, Belanda (1984), dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985) (Alfian M., dkk., 2001: 110; Jabrohim, 2003: 29; Betts, 2006: 3). Hal tersebut merupakan sebuah capaian yang tidak semua sastrawan Indonesia dapat meraihnya. Bersama para penyair dan penyanyi Yogyakarta, Nadjib aktif menggelar acara Poetry Singing. Bersama Deded Er Moerad ia ngamen di kampungkampung, bahkan ia disebut-sebut melatarbelakangi puisi-puisi Ebied G. Ade yang kemudian dinyanyikan. Selain itu tercatat sejumlah komunitas kampus di Yogyakarta dan beberapa artis ternama Indonesia membuat pertunjukan sastra dan teater yang kemudian semakin melambungkan namanya. Di antaranya mahasiswa Universitas Indonesia, Jamaah Shalahuddin UGM, mahasiswa IKIP Muhammadiyah Yogyakarta (sekarang UAD), Neno Warisman, Ayu Laksmi, dan lain-lain. 4 Selain pergulatannya di arena sastra, Nadjib pun masuk ke arena teater. Bersama Teater Dinasti pimpinan Fajar Suharno, Nadjib membuat pemanggungan puisi dan sejumlah naskah drama. Dengan diiringi seperangkat gamelan, Nadjib 3 Mendapat undangan untuk membaca puisi di TIM kala itu menjadi sebuah ukuran prestasi, mengingat tidak semua penyair mendapatkan kesempatan tersebut, terlebih sastrawan-sastrawan dari daerah. Acara tersebut dipandang sebagai acara yang sifatnya nasional, karena bertempat di Jakarta, Ibu Kota Republik Indonesia. 4 Puisi-puisi Nadjib selain dibacakan banyak pula yang dimusikalisasikan. Hal tersebut berawal ketika pada tahun 1970-an Nadjib aktif menyelenggarakan Poetri Singing di Yogyakarta bersama para penyair dan penyanyi muda waktu itu (Jabrohim, 2003: 31).

4 4 membacakan puisinya atau menyanyikannya bersama Grup Musik Dinasti, kemudian bersama Komunitas Pak Kanjeng, yang selanjutnya bermetamorfosis menjadi KiaiKanjeng sampai saat ini. Selain pergulatannya dalam arena sastra dan seni, Nadjib pun menembus dan meraih posisinya di arena agama, yang pada akhirnya mengarahkannya pada pergulatan di arena intelektual, politik, dan kebudayaan. Di masa Orde Baru, Nadjib tercatat sebagai anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) kendati pada tahun 1991 mengundurkan diri. Nadjib banyak ceramah mengenai agama, politik, dan kebudayaan di berbagai kota dan daerah di Indonesia. Dengan gerakan kebudayaan tersebut hingga saat ini Nadjib memperoleh sekaligus mampu mempertahankan posisinya yang mapan serta memiliki pengikut (jamaah) yang sangat banyak di kota-kota besar bahkan di pelosok-pelosok Indonesia. Seperti yang sudah disinggung, pergulatan Nadjib di arena sosial tersebut tidak dapat dilepaskan dari arena kekuasaan Orde Baru. Arena kekuasaan Orde Baru memiliki kakuatan untuk memunculkan hegemoni-hegemoninya yang didominasi oleh menguatnya Golongan Karya (Golkar). Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berlatar agama (Islam) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) ditekan oleh hegemoni Golkar. Pada saat itulah peluang berpolitik bagi Nadjib mulai terbuka, itu artinya akumulasi modal sosialnya semakin kuat. Nadjib kemudian tidak hanya dikenal sebagai penyair, akan tetapi juga seorang esais/kolomnis, penulis naskah drama, penulis cerita pendek, pemusik, kiai, budayawan, dan sejumlah penamaan lain yang merujuk pada identitas yang multi talenta (Ariadinata, 2014: 621). Ian L. Betts bahkan membuatkan semacam

5 5 biografi singkat mengenai Nadjib melalui bukunya Jalan Sunyi Emha (2006) yang diterbitkan oleh Kompas. Buku yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yakni The Silent Pilgrimage: Emha Ainun Nadjib, A Lifelong Journey Of Faith. Dalam buku ini disampaikan mengenai aktivitas-aktivitas sosial Nadjib di dalam berbagai arena sosial. Sehimpun kesaksian dari beberapa sahabat dekat Nadjib dan kesan-kesan mengenainya pun disampaikan dalam buku tersebut. Sebuah buku yang mengedepankan sebuah wacana bahwa Nadjib telah memberikan sumbangan yang unik kepada lanskap gerakan budaya modern Indonesia namun ia (bahkan) tidak dicatat justru di negerinya sendiri (Betts, 2006: vi). Wacana tersebut kemudian menjadi salah satu data penting bagi penelitian terhadap Nadjib. Nadjib tidak dapat dilepaskan begitu saja dari arena sastra di Indonesia. Nadjib dipandang memiliki cukup peran dalam arena sastra di Indonesia, kendati setelah ia menjadi selebritis ia tidak lagi banyak bergelut di dunia sastra (Jabrohim, 2003). Pergulatan-pergulatannya telah membawa pada arena sosial yang besar. Ada banyak orang yang mampu menembus posisi sebagai sastrawan, tetapi tidak banyak yang mampu mempertahankannya sebaik Nadjib. Menariknya, hal tersebut justru tidak dilakukan Nadjib dengan menulis karya sastra. Legitimasi yang dimilikinya dari berbagai arena membuat status sosial Nadjib semakin kuat dan berujung pada peraihan modal ekonomi yang juga besar. Saat ini Nadjib bahkan memiliki managemen yang terhimpun dalam CN-KK di Rumah Budaya EAN. Rumah Budaya ini sekaligus menaungi KiaiKanjeng, Progress, Letto, Geese Studio, Perpustakaan EAN, dan Merchandise United. Belakangan Rumah Budaya EAN pun menjadi kantor untuk Majalah Sastra

6 6 Sabana. Sebuah majalah sastra yang digagas oleh sastrawan-sastrawan eks. PSK didukung oleh sastrawan-sastrawan muda Yogyakarta. Sebagai seorang tokoh, Nadjib memiliki karisma dan otoritas terhadap arena sosialnya. Nadjib sebagai seseorang yang disegani, dipatuhi, dan dituruti perintah serta ajakannya, memiliki kekuasaan dan otoritas yang berangkat dari karisma itu. Atas dasar keilmuannya di berbagai bidang dan pergulatannya di arena sosial yang luas, Nadjib menjadi figur yang karismatik sehingga dijadikan sebagai panutan sejumlah pihak dan pengikutnya (baca: jamaah) yang besar. Melihat hal tersebut, penelitian terhadap Nadjib mulai dari pergulatannya hingga capaian posisinya dalam arena sastra dan arena sosial di Indonesia layak segera dilakukan. Tidak hanya persoalan di arena sastra atau seni budaya, tetapi juga persoalan agama, politik, dan persoalan-persoalan lain yang terjadi di Indonesia. Ada dua macam penelitian yang dapat dilakukan untuk mengkaji wacana mengenai Nadjib ini; pertama, melakukan penelitian terhadap karya-karya Nadjib, terutama puisi, naskah drama, dan esai-esainya. Kedua, penelitian terhadap aktivitas sosial Nadjib. Kedua hal tersebut dilakukan untuk mengetahui strategistrategi yang dilakukan Nadjib dalam pergulatan dan mempertahankan capaiannya untuk menempati sebuah posisi dalam arena sastra, serta arena sosial di Indonesia dan dunia Internasional. Penelitian ini dimungkinkan akan menguatkan atau akan melemahkan posisi dan citra Nadjib yang sampai saat ini terus dipertahankan. Kedua cara tersebut ditempuh dalam penelitian mengenai arena produksi kultural Nadjib ini. Hal tersebut didasarkan pada pentingnya mengetahui perkembangan karya Nadjib, apakah estetika karya yang dibawanya memengaruhi

7 7 posisinya saat ini, atau sebaliknya. Muncul asumsi bahwa posisi Nadjib merupakan faktor penting yang membuat karya-karyanya menjadi layak diperhitungkan dalam arena sastra di Indonesia. Sejumlah aktivitas sosial Nadjib yang beragam diteliti dan akan menjadi data penting dalam penelitian ini. Gejala semacam ini tentu menarik dikaji dari sudut pandang sosiologi. Dari kacamata sosiologis, kebudayaan begitu juga kesusastraan, dilihat sebagai pola kelakuan warga masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, Nadjib sebagai sastrawan yang masuk ke dalam arena kebudayaan, khususnya sastra, di sisi lain juga sebagai masyarakat dalam arena sosial yang besar, yang membuatnya untuk berpikir, berbicara, dan bertindak sesuai dengan beragam arena yang memiliki keterkaitan penting satu sama lain tersebut. Dalam pertarungan yang ketat, sastrawan dituntut memiliki modal yang besar untuk menjalani setiap kompetisi yang telah disediakan ataupun yang akan dibangunnya. Untuk itu, penelitian ini didasarkan pada kajian teori sosiologi sastra Pierre Bourdieu. Melalui teori sosiologi sastra Pierre Bourdieu, dijelaskan habitus,yang meliputi arena, modal, strategi, trajektori, dan capaian Nadjib di arena sastra hingga arena sosial yang lebih besar. Hal tersebut berdasar pada pandangan Bourdieu yang juga menekankan pada pengkajian arena lain di luar arena sastra yang diteliti dan arena kekuasaan yang menaunginya. Hingga kini, Nadjib masih menempati posisi yang mapan dan mampu bertahan baik dalam arena sastra maupun arena sosial.

8 8 1.2 Rumusan Masalah Berdasar latar belakang penelitian yang telah dipaparkan tersebut, maka terdapat sejumlah permasalahan. Nadjib telah berhasil menempati posisi mapan dalam arena sastra dan antar arena-arena lainya. Arena-arena yang berhasil ditembus oleh Nadjib tersebut saling terkait satu sama lain dan membentuk konsepsi dalam dunia sosial yang disebut arena sosial. Pencapaian posisi sosial Nadjib di dalam arena sastra dan arena sosial tentu tidak dapat dilepaskan dari habitusnya sebagai hasil dari serangkaian tindakan praktis yang telah dilakukan. Untuk itu perlu dilihat kondisi arena kekuasaan, arena sastra, dan habitus Nadjib melakukan pergulatannya untuk mencapai posisi mapan dalam arena sosial tersebut. Masalah-masalah tersebut kemudian dirumuskan menjadi sebagai berikut: 1. Arena kekuasaan dan arena sastra Indonesia yang mendominasi Nadjib. 2. Disposisi Nadjib di dalam arena sastra dan arena sosial. 3. Strategi, agen, dan pencapaian posisi Nadjib dalam arena sastra dan arena sosial. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang sudah dikemukakan, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini dibagi atas dua bagian yaitu tujuan khusus dan tujuan umum. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan (1) arena kekuasaan dan arena sastra yang mendominasi

9 9 Nadjib; (2) disposisi Nadjib dalam arena sastra dan arena sosial; (3) strategi dan peranan agen dalam pencapaian posisi Nadjib di arena sastra dan arena sosial. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menambah apresiasi terhadap Nadjib dalam kaitannya dengan arena sastra dan arena sosial. Secara teoritis, setelah melakukan kajian sastra dengan bantuan data-data sosiologi terhadap Nadjib dalam menempati arena sastra nasional dan arena sosial yang lainnya diharapkan dapat memperkaya khasana kajian sastra di Indonesia berkenaan dengan teori sosiologi Pierre Bourdieu. Sementara secara praktis penelitian ini semoga bermanfaat bagi mahasiswa, guru, dan dosen sebagai sumber informasi tentang Nadjib sebagai salah satu tokoh sastra di Indonesia. Selain itu, diharapkan dengan adanya penelitian ini akan ada penelitian lain yang melengkapi kajian terhadap tokoh sastra di Indonesaia. 1.4 Tinjauan Pustaka Dari sejumlah penelusuran literatur, ada begitu banyak tulisan tentang Nadjib, dalam bentuk buku, jurnal, artikel ilmiah, esai, keterangan foto, dan laporan penelitian. Namun demikian, belum ditemukan pembahasan yang serupa atau mendekati penelitian ini. Artinya, belum ada yang berusaha mengungkap capaian kesastrawanan Nadjib menggunakan teori sosiologi sastra Pierre Bourdieu secara signifikan dan menyeluruh. Meskipun demikian, ada tiga penelitian yang bersinggungan dengan Nadjib dengan menggunakan teori Pierre Bourdieu. Penelitian tersebut adalah makalah diskusi bulanan S2 Ilmu Sastra FIB UGM Aprinus Salam dengan judul

10 10 Sastra Yogya dalam Teori Bourdieu, tesis dengan judul Persada Studi Klub: Disposisi dan Pencapaiannya dalam Arena Sastra Nasional karya Saeful Anwar, dan tesis berjudul Pergulatan Umbu Landu Paranggi dalam Arena Sastra di Bali: Tinjauan Sosiologi Pierre Bourdieu karya I Made Astika. Ketiga penelitian tersebut memiliki titik fokus pembahasan yang hampir sama, yakni dengan mengaplikasikan teori sosiologi sastra Pierre Bourdieu untuk meneliti gejala sastra di Indonesia. Mengingat penggunaan teori sosiologi sastra Pierre Bourdieu dalam penelitian sastra di Indonesia relatif baru, maka ketiga penelitian tersebut menjadi sangat penting sebagai referensi penelitian ini. Kajian yang ditulis Aprinus Salam mengacu pada kehadiran dan relasi sastrawan Yogyakarta dari tahun ke tahun dalam konsep Bourdieu sehingga muncul arena sosial, dalam akivitas bersastra, yang kemudian disebut arena sastra. Kajian ini membahas interaksi antar sastrawan yang dipertemukan di Yogyakarta dalam mengumpulkan modalnya. Nadjib menjadi salah satu tokoh sastrawan Yogyakarta yang dibahas dalam penelitian ini. Kendati pembahasan mengenai Nadjib tidak secara spesifik, tetapi dari sini dapat dilihat bagaimana habitus dan pengumpulan modalnya dalam arena sastra Yogyakarta yang kelak sangat memengaruhinya untuk menjadi penyair, sastrawan, budayawan dengan akumulasi modal yang besar. Dari penelitian ini beberapa kunci mengenai capaian arena sosial Nadjib sedikit-banyak dapat dipetakan arahnya. Sementara itu, penelitian Saeful Anwar membahas posisi PSK yang terdominasi oleh kekuasaan Orde Baru. Penelitian yang dilakukan bergerak pada penelitian terhadap aktivitas anggota PSK. Sementara penelitian terhadap karyakarya para anggota PSK tidak dilakukan. Di dalam penelitian ini Nadjib sebagai

11 11 salah satu anggota PSK yang dipilih selain Paranggi, Ragil Suwarna Pragolapati, Iman Budhi Santosa, Linus Suryadi Ag., dan Korrie Layun Rampan berdasarkan peran sentral di PSK. Penelitian yang dilakukan oleh I Made Astika mendeskripsikan posisi Paranggi dalam arena sastra nasional; pergulatan Paranggi dalam arena sastra di Bali; dan strategi-strategi yang dilakukan oleh Paranggi dalam menghadapi arena sastranya. Dalam penelitian ini dibahas mengenai karya sastra dan proposisiproposisi dari seniman, sastrawan, atau wartawan yang berhubungan dengan Paranggi. Di Bali, Paranggi melakukan reproduksi-reproduksi dalam pergulatan arena sastra regional yang hampir mirip dengan apa yang telah dilakukannya di Yogyakarta. Di Bali, Paranggi telah berhasil membina sejumlah calon penulis yang kemudian dikenal sebagai sastrawan yang terkonsekrasi di tingkat nasional. Mengingat peran Paranggi terhadap Nadjib, maka penelitian ini menjadi penting, selain juga kesamaan teori yang digunakan. Untuk itulah penelitian ini mencoba mengkaji lebih detail mengenai habitus, arena, modal, strategi, trajektori, dan capaian kesastrawanan Nadjib di dalam menempati arena sastra nasional, selanjutnya bertrajektori dari arena sastra ke arena-arena sosial yang lainnya sehingga dapat menempati posisinya saat ini. 1.5 Landasan Teori Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Terdapat hubungan timbal-balik antara sastrawan,

12 12 sastra, dan masyarakat (Damono, 1984: 1). Struktur-struktur tersebut kemudian dapat dikaji secara sosiologi sastra untuk mengetahui sastra dari segi sosiologi. Masalah sosiologi sastra dapat dibagi menjadi sosiologi pengarang, isi karya sastra, pembaca, dan dampak sosial karya sastra. Dari kajian sosiologi sastra yang lebih memusatkan kepada perspektif biografis akan diperoleh deskripsi tentang konteks sosial sastrawan (Wellek & Werren, 1989: 111). Ada beberapa manfaat pengetahuan biografis berkaitan dengan konteks sosial pengarang; 1) menggambarkan sebab-sebab lahirnya karya sastra; 2) menggambarkan proses perkembangan sikap mental para tokoh yang menyangkut moral, intelektual dan sikap, 3) memberikan data terhadap kondisi psikologis penyair dan terhadap proses suatu karya sastra secara sistematis. Dari sana akan diketahui seberapa jauh data penyair tersebut relevan sebagai wacana terhadap karya-karyanya. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosiologi sastra Pierre Bourdieu. Bourdieu mengatasi persoalan kesenjangan antara teori-praktik, pikiran-tindakan, dan ide-realitas konkret (Takwin, 2009: xvi). Persoalan awal yang digarap Bourdieu adalah bagaimana suatu pengetahuan dan unsur-unsur budaya lainnya disebarkan serta berpengaruh di dalam suatu masyarakat. Bourdieu mengenalkan konsep field, yakni arena, tempat orang berstrategi dan berjuang untuk mendapatkan sumber daya yang diinginkan. Kaitannya dengan pembacaan terhadap sastra, teori sosiologi sastra Bourdieu bergerak dari studi teks ke dalam studi konteks. Karya seni baru bisa eksis sebagai objek simbolis setelah diakui dan dikenali secara sosial oleh penikmatnya. Ilmu sosiologi tidak hanya menjadikan produksi material sebuah

13 13 karya sebagai objek kajian, tetapi juga produksi simbolis karya sebagai produksi nilai dari karya tersebut (Bourdieu, 2012: 15-16). Sosiologi sastra mempersoalkan tentang bagaimana memahami karya seni sebagai manifestasi arena produksi kultural sastra secara keseluruhan. Arena produksi kultural sastra adalah tempat bagi pergulatan-pergulatan dengan mempertaruhkan kekuasaan untuk mengimposisi/memaksakan definisi dominan tentang sastrawan. Kekuasaan memiliki dominasi yang kuat dalam pergulatan pendefinisian seseorang disebut sastrawan (Bourdieu, 2012: 22). Biografi sastrawan sama pentingnya dengan analisis tentang karya, jaringan, pengakuan, penghargaan, serta kepentingan, juga ideologi dan politi, yang tidak selalu eksplisit dalam sastra. Status sastrawan dipandang sebagai label sekaligus proses kompleks yang terjadi dalam sebuah lingkup yang bernama arena (Karnanta, 2013: 1). Dalam pandangan Bourdieu (2012: 4), ketika menjadikan sastra sebagai subjek studi, tugas utama yang harus dikerjakan adalah mengontruksi ruang posisi-posisi dan ruang pengambilan-posisi (prises de position) tempat arena sastra diekspresikan. Arena terbentuk oleh setiap posisi dan determinasideterminasi yang tersusun dalam posisi-posisi yang lainnya. Struktur arena atau ruang posisi-posisi sebagai struktur distribusi modal menentukan keberhasilan di dalam arena dan memenangkan laba yang dipertaruhkan di dalamnya. Di dalam sastra, ruang pengambilan posisi sastra ditentukan oleh serangkaian manifestasi terstruktur agen-agen sosial yang terlibat di dalam arena sastra. Manifestasi tersebut meliputi karya-karya sastra, tindakan-tindakan politik,

14 14 polemik-polemik yang dibangun, dan beberapa hal lainnya yang tidak bisa dipisahkan dari ruang posisi sastra yang ditentukan oleh kepemilikan modal (pengakuan) dalam jumlah tertentu sekaligus pendudukan posisi yang sudah kokoh di dalam struktur distribusi modal spesifik ini. Hal tersebut disebabkan oleh arena sastra sebagai arena kekuatan (a field of forces), tetapi juga arena pergulatan (a field of struggle) yang cenderung melanggengkan arena kekuatan ini (Bourdieu, 2012: 5). Hal tersebut dapat dipahami sebagai strategi-strategi yang menitikberatkan pada posisinya di dalam relasi-relasi kekuasaan (rapports de force) yang ada. Bourdieu secara meyakinkan menentang konsep-konsep esensial tentang seni dan visi-visi karismatik seniman yang (masih) dominan hingga sekarang (Johnson, 2012: xi). Arena seni dan sastra harus dilepaskan dari dilema citra karismatik seorang seniman yang melakukan aktivitas kesenian sebagai penciptaan murni dan nir-kepentingan. Selain itu, pendapat para reduksionis yang menganggap penjelasan tindakan produksi dan produksinya harus dilakukan menurut fungsi-fungsi eksternal sadar atau tak sadar mereka, dengan merujukkan fungsi-fungsi itu yang darinya patron-patron atau audiens diperoleh juga harus dihindari (Bourdieu, 2012: 11). Ideologi karismatik dipandang sebagai dasar terdalam kepercayaan terhadap seni yang menjadi basis bagi berfungsinya arena produksi dan sirkulasi komoditas kultural. Hal tersebut karena seniman/sastrawan sebagai seorang figur menjadi sorotan yang cukup representatif dalam kepemilikan karisma di masyarakat. Ideologi tersebut memberikan jawaban bahwa seniman/sastrawan juga memiliki otoritas dan karisma yang berkaitan dengan keilmuan sehingga pola hubungan di arena sosial tidak seimbang.

15 15 Representasi karismatik penulis sebagai 'pencipta' mengarah ke pengelompokan segala sesuatu yang ditemukan tertulis dalam posisi penulis di jantung bidang produksi dan di bidang sosial oleh trajektori yang membawanya (Bourdieu, 1996: 168). Arena dapat dipahami sebagai sepotong kecil dunia sosial. Banyaknya arena yang memiliki keterkaitan penting satu sama lain itu kemudian membentuk konsepsi dalam dunia sosial yang disebut medan sosial/arena sosial. Konsep ini memandang realitas sosial sebagai suatu ruang (Rusdiarti, 2003: 34). Arena sosial merupakan jaringan struktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat. Arena di sini digunakan untuk menyebut arena kekuasaan yang dinamis dan di dalamnya terdapat beragam potensi yang eksis. Potensi itu dimiliki oleh aktor-aktor yang melakukan perjuangan memperebutkan atau mempertahankan posisi dengan modal-modal tertentu demi menghasilkan efek-efek tertentu. Arena merupakan ruang yang terstruktur dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri, dengan relasi-relasi kekuasaannya sendiri berjalan dengan suatu konsep dinamis, tempat perubahan posisi-posisi agen mau tak mau menyebabkan perubahan struktur arena. Di dalam arena apa pun, agen-agen yang menempati berbagai macam posisi yang tersedia (atau yang menciptakan posisiposisi baru) terlibat di dalam kompetensi memperebutkan kontrol kepentingan atau sumber daya yang khas dalam arena bersangkutan (Johnson, 2012: xviii). Arena selalu didefinisikan oleh sistem relasi objektif kekuasaan. Hal tersebut terdapat di antara posisi sosial yang berkorespondensi dengan sistem

16 16 relasi objektif yang terdapat di antara titik-titik simbolik: karya seni, manifesto artistik, deklarasi politik, dan sebagainya. Struktur arena didefinisikan pada suatu momen tertentu oleh keseimbangan antara titik-titik ini dan antara modal yang terbagi-bagi (Harker, 2009: 11). Arena sastra dan seni dalam pandangan Bourdieu (2012: 17) adalah tempat heirarki ganda berada. Bentuk heirarki tersebut adalah hierarki heteronom dan hierarki otonom. Prinsip hierarki heteronom adalah kekuasaan yang dapat diukur dari penjualan buku, jumlah pementasan teater, penghargaan-penghargaan, perjanjian, dan lain-lain. Ketika arena sastra dan seni kehilangan otonominya sehingga lenyap sebagai sebuah arena maka di situlah prinsip tersebut dapat berjalan. Akibatnya, para sastrawan dan seniman akan tunduk pada hukum yang diberlakukan oleh arena kekuasaan dan arena ekonomi. Prinsip hierarki otonom, mengukur kesuksesan dari pengakuan-pengakuan yang didapatkannya dari orangorang yang telah diakui (ahli sastra). Dominasi arena kekuasaan berpengaruh terhadap keberadaan arena sastra. Keberadaan hukum-hukum arena di sekelilingnya terutama keuntungan ekonomi dan politis membuat arena sastra menjadi semakin otonom. Keberadaan produsenprodusen yang otonom menjadikan kekuasaan secara simbolis semakin kuat. Artinya, dalam sebuah pergulatan di arena produksi kultural, legitimasi sebagai sastrawan tidak bisa dilepaskan dari kekayaan modal simbolik dari pihak-pihak tertentu dalam arena sastra. Bourdieu berpandangan bahwa ada tiga arena yang saling berhubungan berkaitan dengan dimensi sastra. Pertama, arena kekuasaan (the field of power),

17 17 yaitu suatu perangkat kekuasaan ekonomi-politik sebagai akibat adanya perbenturan yang menjurus ke pertarungan kekuasaan yang pada akhirnya dipegang oleh suatu elit kekuasaan konkret, yang juga secara konkret menjalankan kekuasaan tersebut. Kedua, arena literer atau arena sastra (literary field), yaitu suatu universum sosial di bidang estetika (kaidah, seni sastra) yang memiliki konvensi dan perangkat hukumnya sendiri. seorang sastrawan terikat pada medan literer ini pada suatu universum yang sifatnya otonom. Ketiga, the genises of the producer s habitus. Habitus dipahami sebagai disposisi yang dimiliki oleh setiap penulis, yang menentukan wataknya, yang pada gilirannya menentukan genre sastra yang diambilnya, dan dengan demikian berkompetisi di dalam arena sastra 5. Bourdieu memperkenalkan konsep habitus, sebagai suatu pandangan, pemikiran, dan tindakan sebagai kunci reproduksi, yang membangkitkan praktikpraktik pembentuk kehidupan sosial. Habitus adalah struktur kognitif perantara individu dan realitas sosial. Habitus mengacu pada sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal. Disposisi adalah sikap, kecenderungan dalam mempersepsi, merasakan, melakukan, dan berpikir, yang diinternalisasikan oleh individu berkat kondisi objektif eksistensi seseorang. Disposisi diperoleh dalam berbagai posisi sosial yang berada di dalam suatu arena, dan mengimplikasikan suatu penyesuaian subjektif terhadap posisi itu. Individu menggunakan habitus dalam berinteraksi dengan realitas sosial masyarakat. Hal tersebut identik dengan penempatan dirinya 5 Soediro Satoto, Arogansi Kekuasaan dan Politik Dampaknya Terhadap Sastra dan Seni Pertunjukan, dalam Sastra: Ideologi, politik, dan Kekuasaan, 2000, hlm

18 18 dalam masyarakat dan dipengaruhi oleh lingkungan sosial sehingga menjadi kebiasaan. Habitus yang ada dalam setiap individu menggunakan berbagai macam bentuk dalam memanifestasikan dirinya ke dalam setiap aspek dari interaksi manusia dengan dunia. Habitus kadang kala digambarkan sebagai logika permainan (feel for the game), sebuah rasa praksis yang mendorong agen-agen bertindak dan bereaksi dalam situasi-situasi spesifik dengan suatu cara yang tidak selalu dapat dikalkulasikan sebelumnya, dan bukan sekadar kepatuhan sadar pada aturan-aturan. Habitus sendiri merupakan hasil dari proses panjang pencekokan individu, dimulai sejak masa kanak-kanak yang kemudian menjadi semacam penginderaan kedua atau hakikat alamiah kedua (Johnson, 2012: xvi). Habitus merupakan nalar yang hanya ada selama ia ada dalam kepala agen. Habitus hanya ada di dalam, melalui, dan disebabkan oleh praksis agen dan interaksi antara mereka dan dengan lingkungannya (Jenkins, 2010: ). Agen sebagai subjek sosial mengacu pada individunya, sedangkan agensi lebih mengacu pada kemampuan individu tersebut terkait dengan relasinya terhadap struktur sosial. Sementara struktur sosial memiliki dua dimensi, yakni struktur objektif, struktur yang terpampang dalam struktur sosial, dan struktur subjektif, yakni struktur yang berada dan bekerja di dalam diri individu (Karnanta, 2013: 9). Untuk menjelaskan hubungan antara agensi dan struktur yang tidak linier, Bourdieu mengartikan habitus sebagai suatu sistem disposisi yang berlangsung lama (durable) dan berubah-ubah (transposable). Fungsinya sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif.

19 19 Sedangkan arena diartikan sebagai jaringan relasi antara posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran dan kehendak individual. Habitus dan arena merupakan perangkat konseptual utama yang krusial bagi Bourdieu yang ditopang oleh serangkaian ide lain, seperti kekuasaan sombolik, strategi, dan perebutan (kekuasaan simbolik dan material), beserta beragam jenis modal. Sebagaimana konsep Bourdieu mengenai habitus dan arena dalam kerangka dunia seni, arena dipandang sebagai sebuah mikrokosmos lingkup sosial yang memiliki aturan permainan tersendiri dengan mempertaruhkan hal-hal yang khas dan modal yang khas pula. Dalam konteks ini modal sosial menjadi sasaran utama perjuangan untuk memilikinya (Martini, 2003: 42). Bourdieu berupaya menjelaskan keberadaan karya sastra, bagaimana karya sastra mendapatkan legitimasinya, bagaimana sastrawan atau penyair menempati arena sosial di masyarakat atau negara, bagaimana strategi-strategi yang diambil oleh sastrawan, bagaimana kedudukan sastrawan dalam arena sosial. Di samping itu, modal-modal apa yang ada dalam kehadiran karya sastra, dan bagaimana keberadaan (intrinsik) karya sastra yang dimiliki agen menghasilkan praktik. Konsep modal sebagai khasanah ilmu ekonomi, berdasarkan cirinya mampu menjelaskan hubungan-hubungan kekuasaan kaitannya dengan arena produksi kultural sastra. Ciri yang pertama adalah modal terakumulasi melalui investasi. Ciri kedua, modal bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan. Ciri ketiga, modal dapat memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya (Bonnewitz dalam Haryatmoko, 2003: 11). Modal merupakan hubungan sosial,

20 20 artinya suatu energi sosial yang hanya ada dan membuahkan hasil-hasil dalam arena perjuangan di mana ia memproduksi dan mereproduksi. Ada empat macam capital/modal, yakni; pertama, modal ekonomi yang mencakup alat-alat produksi, materi, dan uang. Kedua, modal kultural/budaya sebagai keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Hal tersebut berperan dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Ketiga, modal sosial atau jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) sebagai hubunganhubungan yang merupakan sumber daya dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Keempat, modal simbolis, akumulasi bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi. Hal ini berkaitan dengan kekuasaan simbolis untuk mendapatkan sesuatu berkat mobilitas yang telah dikerjakan. Modal dipandang sebagai logika perjuangan-perjuangan dalam arena sebagai arena kekuatan untuk memperjuangkan posisi dan otoritas legitimasi. Keempat macam modal tersebut sangat berpengaruh dan menentukan bagi arena produksi kultural. Namun demikian dari keempat modal tersebut, ada dua bentuk modal yang sangat penting di dalam arena produksi kultural, yaitu modal simbolis yang mengacu kepada derajat akumulasi prestise, ketersohoran, konsekrasi atau kehormatan, dan dibangun di atas dialektika pengetahuan (connaissance) dan pengenalan (reconnaissance). Yang kedua adalah modal kultural yang berperan sebagai suatu bentuk pengetahuan, suatu kode internal atau suatu akuisisi kognitif yang melengkapi agen sosial dengan empati terhadap, apresiasi, atau kompetensi di dalam pemilah-milahan relasi-relasi dan artefakartefak kultural. Bourdieu berpendapat bahwa sebuah karya seni/sastra

21 21 mengandung makna dan kepentingan hanya bagi orang yang memiliki kompetensi kultural, yaitu kode atau modal kultural, tempat di mana karya itu dikodekan (encoded). Hal tersebut merupakan diakumulasi melalui satu proses panjang akuisisi atu kalkulasi yang mencakup tindakan pedagogis keluarga atau anggotaanggota kelompok (pendidikan keluarga), anggota-anggota terdidik formasi sosial (pendidikan yang tersebar), dan lembaga-lembaga sosial (pendidikan yang terlembagakan) (Johnson, 2012 : xix-xx). Di dalam ruang sosial, individu dan habitus-nya berhubungan dengan individu lain dan berbagai realitas sosial yang menghasilkan tindakan-tindakan sesuai dengan arena dan modal yang dimilikinya. Dari hal tersebut maka akan dihasilkan praktik. Praktik merupakan produk dari relasi antara habitus sebagai produk sejarah dan arena yang juga merupakan produk sejarah. Dalam suatu arena akan muncul pertaruhan, kekuatan-kekuatan dari orang yang memiliki modal dengan orang yang tidak memiliki modal. Modal sebagai konsentrasi kekuatan yang beroperasi di dalam arena menjadikan setiap arena menuntut setiap individu untuk modal-modal khusus agar bisa tetap hidup dan bertahan di dalamnya. Bourdieu merumuskan generatif yang menerangkan praktik sosial dengan persamaan: (Habitus x Modal) + Arena = Praktik (Takwin, 2009: xxi). Keterkaitan antara arena, habitus, dan modal bersifat langsung. Dalam usaha mencapai, mempertahankan, dan memperbaiki posisi serta mendapatkan posisi-posisi baru untuk membedakan dirinya dengan orang lain membutuhkan strategi. Perjuangan yang dilakukan adalah dengan pertarungan dalam arena sosial dan simbolis. Modal dalam suatu arena akan dipertaruhkan menggunakan strategi yang didukung oleh para agen. Hal tersebut terjadi karena

22 22 strategi merupakan suatu praktik yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan atau melebarkan kekuasaan dalam suatu arena (Bourdieu, 1990a: 61). Dalam hal ini Bourdieu (1984: ) membagi strategi menjadi dua macam; 1) strategi reproduksi yang merupakan himpunan praktik yang dirancang oleh agen untuk mempertahankan atau meningkatkan modal ke arah masa depan. 2) strategi rekonvensi yang merupakan sejumlah pergerakan agen dalam ruang sosial yang terstruktur dalam dua dimensi, yakni keseluruhan jumlah modal dominan dan terdominasi. Selain itu, Bourdieu (1990b: 68) menambahkan mengenai macam strategi, yakni strategi investasi biologis, strategi pewarisan, strategi pendidikan, strategi investasi ekonomi, dan strategi investasi simbolis. Strategi pewarisan berfungsi untuk menjamin kekayaan karena modal ekonomi menentukan dalam hubungan kekuasaan. Strategi pendidikan mengarah untuk menghasilkan pelaku sosial yang mumpuni agar mampu menerima warisan kelompok atau mampu memperbaiki jenjang sosial. Strategi investasi ekonomi merupakan upaya untuk mempertahankan atau menambah modal dari berbagai jenisnya (Bonnewitz dalam Haryatmoko, 2003: 15). Dalam hal ini modal ekonomi berkaitan dengan modal sosial yang akan melanggengkan hubunganhubungan sosial dengan jangka pendek maupun jangka panjang. Sedangkan strategi investasi simbolis adalah upaya mempertahankan atau meningkatkan pengakuan sosial yang bertujuan untuk memproduksi persepsi dan penilaian yang mendukung kekhasannya. Keberagaman strategi reproduksi sosial akan memicu perubahan strukturstruktur sosial. Untuk itu dibutuhkan ketepatan penerapan sarana dan strategi yang

23 23 akan menentukan arah reproduksi sosial. Strategi-strategi tersebut musti digerakkan sesuai dengan modal dan habitus yang dimiliki agen di sebuah arena dari waktu ke waktu mengingat strategi dapat berubah seiring dengan perubahan struktur sosial masyarakat menurut (Haryatmoko, 2003: 16). Untuk melalui ruang sosial seperti ini maka diperlukan adanya trajektori. Trajektori adalah serangkaian gerak suksesif seorang agen di dalam ruang yang terstruktur (berhierarki), yang bisa mengalami pergantian dan distorsi. Lebih tepatnya, di dalam struktur distribusi jenis-jenis modal berbeda dipertaruhkan di dalam arena, modal ekonomi dan modal konsekrasi spesifik (Bourdieu, 2012: 58). Pergulatan seorang agen dalam proses mendistribusikan modal dengan cara-cara tertentu dan memenangkan atau meraih sesuatu yang dipertaruhkan dalam arena sosial. Trajektori diartikan oleh Bourdieu (2012: 252) sebagai deskripsi serangkaian posisi yang silih berganti ditempati seorang sastrawan dalam sebuah arena sastra yang juga silih berganti. Di sini struktur arena sastra dapat terlihat dari trajektori yang dilakukan oleh para agen. Untuk itu diperlukan penyesuaian strategi tertentu sehingga investasi modal dapat berakumulasi secara maksimal dan menentukan kesuksesan seseorang. Demikianlah beberapa konsep arena kultural (sastra) menurut Bourdieu. Masalah yang telah diungkapkan dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan konsep-konsep tersebut. Teori tersebut nantinya akan dipakai untuk menjelaskan gejala-gejala yang ditemukan sesuai dengan permasalahan. Penjelasan tersebut tidak hanya dilakukan dengan mengemukakan, melukiskan gejala-gejala tetapi juga dengan keterangan tentang gejala tersebut, baik dengan

24 24 membandingkan, menghubungkan, memilah-milah, atau mengombinasikannya dengan teori Bourdieu. 1.6 Hipotesis Hipotesis sebagai simpulan atau jawaban sementara yang ditetapkan berdasarkan teori yang digunakan dalam penelitian ini mengimplikasikan hubungan antara masalah dengan dan proses-proses lain. Berdasarkan hal tersebut maka hipotesis penelitian ini yaitu; dalam meraih posisi di arena sastra hingga arena sosial, Nadjib senantiasa mendayagunakan sastra di dalam berbagai arena. Strategi yang dilakukan Nadjib untuk mengukuhkan posisinya adalah strategi reproduksi dan strategi rekonvensi, di samping peranan agen-agen sekelilingnya. Dari situ, modal yang telah diperoleh Nadjib diakumulasikan dan menjadi lebih kuat. 1.7 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, seperti; perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2007: 6). Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan, pengamatan, dan wawancara. Dengan demikian, satuan

25 25 data berupa arena kekuasaan dan arena sastra Nadjib, habitus dan modal Nadjib untuk menempati arena sastra nasional, strategi yang dilakukan Nadjib dalam mencapai posisinya dan peranserta para agen di dalam arena Nadjib dideskripsikan Metode Pengumpulan Data Praktik sastra hanya bisa dipahami melalui material karya dan ruang sosial tertentu yang menjadi latar kehidupan penulisnya. Dengan demikian, secara intrinsik satuan data dalam penelitian ini adalah karya sastra yang ditulis oleh Nadjib. Karya sastra digunakan untuk melihat bagaimana sosiologi kehidupan Nadjib di dalamnya. Pada tahap pengumpulan data juga dilakukan proses penyeleksian data. Pada langkah ini, semua data yang diperoleh diseleksi berdasarkan kesamaan karakteristiknya sesuai dengan masalah yang diajukan dalam penelitian. Penyeleksian data itu menggunakan teknik penyampelan purposif (purposive sampling). Purposive sampling adalah pengambilan sampel yang disesuaikan dengan tujuan penelitian (Siswantoro, 2010:73). Secara ekstrinsik, data dapat berupa teks dan proposisi-proposisi yang berhubungan dengan Nadjib. Data tentang posisi Nadjib dalam arena sastra dan arena sosial dikumpulkan dengan teknik dokumentasi dan wawancara. Dokumen yang dimaksud berupa buku, laporan penelitian, berita atau artikel-artikel di media massa (cetak dan elektronik), dan video yang memberikan informasi tentang pencapaian posisi Nadjib dalam arena sastra dan arena sosial di Indonesia.

26 26 Studi kepustakaan dilakukan dengan membaca sejumlah tulisan yang berhubungan dengan Nadjib. Sebagian besar data tertulis didapatkan di perpustakaan Rumah Budaya EAN. Pengamatan dilakukan pada sejumlah acara sastra yang berkaitan dengan Nadjib di Indonesia. Selain itu, pengumpulan data ini juga dilakukan dengan teknik wawancara. Teknik wawancara itu juga digunakan untuk memperoleh data tentang pergulatan Nadjib dalam arena sastra dan arena sosial di Indonesia. Wawancara dilakukan kepada sejumlah sastrawan dan seniman yang memiliki hubungan dekat dengan Nadjib. Ada dua pertanyaan yang menjadi garis besar dalam wawancara; 1) sejauh mana narasumber mengenal Nadjib; dan 2) penilaian narasumber terhadap karyakarya sastra Nadjib. Namun demikian pertanyaan dapat meluas seiring jawabanjawaban yang disampaikan oleh narasumber berkaitan dengan pentingnya jawaban-jawaban tersebut sebagai data terhadap peneliatian Metode Analisis Data Metode analisis ini dilakukan melalui tiga tahap analisis. Pertama, melakukan deskripsi mengenai arena kekuasaan dan arena sastra di Indonesia sebagai arena kompetisi Nadjib. Pengidentifikasian tersebut digunakan untuk meneroka bagaimana permulaan Nadjib menempati posisi dalam arena. Kedua, melakukan deskripsi mengenai disposisi Nadjib dalam arena sastra dan sosial, yang meliputi pertarungan Nadjib dalam arena sastra, karya sastra Nadjib dalam dominasi arena kekuasaan, pemerolehan modal, dan ideologi karismatik Nadjib. Di sini akan dilakukan pembacaan terhadap karya sastra

27 27 Nadjib. Pembacaan ini meliputi analisis terhadap pandangan-pandangan, peristiwa, atau masalah-masalah yang dihadirkan dalam karya sastranya. Analisis ini berguna untuk menemukan homologi antara praktik pergulatan Nadjib dalam arena sastra dengan karya-karya sastranya. Ketiga, menganalisis strategi yang digunakan dan peran agen dalam pencapaian posisi sosial Nadjib. Analisis ini digunakan untuk melihat hasil pertarungan simbolik Nadjib dengan sastrawan-sastrawan lain di Indonesia dalam mempertahankan dan pencapaian posisi sosial yang telah diperoleh. Nantinya akan dapat dilihat akumulasi dan pengelolaan modal yang dimiliki Nadjib untuk meraih posisi dalam arenanya. Data yang didapatkan dianalisis dengan mengorganisasikan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar penelitian. Dari itu dapat dirumuskan asumsi-asumsi dasar yang merujuk pada teori yang digunakan. Berkaitan dengan hal tersebut, pengorganisasian data disesuaikan dengan teori sosiologi sastra Pierre Bourdieu. Setelah semua data dianalisis, langkah selanjutnya adalah menyimpulkan temuan-temuan yang diperoleh sesuai dengan data yang ada. 1.8 Populasi, Sampel, dan Data Dalam kariernya, Nadjib telah menerbitkan belasan jilid buku puisi dan puluhan buku kumpulan esai. Buku kumpulan puisi karya Nadjib tersebut antara lain M Frustasi (1975) diterbitkan sederhana oleh Pabrik Tulisan, Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1977) memenangkan sayembara Tifa Sastra UI, Tak Mati-mati (1978) yang dibacakan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Sajak-Sajak Cinta

28 28 (1978), Tuhan Aku berguru KepadaMu (1980) dimusik-puisikan bersama Teater Dinasti di TIM, Nyanyian Gelandangan (1982) dibacakan bersama Teater Dinasti di Taman Budaya Surakarta, 99 Untuk Tuhanku (1982) dibacakan di Bentara Budaya Yogyakarta, Isra Mi raj yang Asyik (1986) dibacakan di UGM Yogyakarta, Suluk Pesisiran (1989), Syair Lautan Jilbab (1989), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990), Cahaya Maha Cahaya (1991), Sesobek Buku Harian Indonesia (1993), Abacadabra (1994), dan Syair-syair Asmaul Husna (1994). Ada pula beberapa naskah belum terbit bahkan tidak diterbitkan sampai hari ini, di antaranya Kanvas, Tidur Yang Panjang, Syair-syair Indonesia Raya, Iman Perubahan, Minuman Keras Nasibku, dan Syair Lembu. Buku kumpulan esainya, Sastra Yang Membebaskan (1984), Dari Pojok Sejarah (1985), Slilit Sang Kiai (1991), Markesot Bertutur (1993), Markesot Bertutur Lagi (1994), Indonesia Bagian dari Desa Saya (1994), Terus Mencoba Budaya Tanding (1995), Titik Nadir Demokrasi (1995), Opini Plesetan (1996), 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998), dan masih banyak lagi. Selain itu ada pula buku kumpulan cerpen Padang Kurusetra, namun naskah itu hilang dan tidak bisa diterbitkan. Satu-satunya yang terbit adalah Yang Terhormat Nama Saya (1992) yang diterbitkan ulang dengan judul BH (2005), Novel-esai Gerakan Punakawan atawa Arus Bawah (1994), dan skenario film yang ditulis bersama Viva Westi yakni RAYYA: Cahaya di Atas Cahaya (2011). Reportoar serta pementasan drama karya Nadjib bersama Teater Dinasti mencakup Geger Wong Ngoyak Macan (1982), Patung Kekasih (1983), Keajaiban Lik Par (1984), Mas Dukun (1986). Kemudian bersama Jamaah Salahudin UGM di akhir tahun 80-an Nadjib menghasilkan Lautan Jilbab yang

29 29 dipentaskan secara massal di Yogyakarta, Madiun, Ujung Pandang, dan Malang. Lakon tersebut merupakan salah satu karya Nadjib yang paling terkenal. Tahun 1990 mementaskan Santri-Santri Khidhir di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta bersama penonton di alun-alun Madiun. Pada tahun 1992 mementaskan Perahu Retak. Selanjutnya tahun 1993 muncul Sunan Sableng dan Baginda Faruq. Selain itu ada Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, Duta Dari Masa Depan bersama Teater Gandrik. Trilogi Tikungan Iblis, Nabi Darurat Rasul Ad Hoc, dan Kekasih Anjing bersama Teater Perdikan. Dari sekian banyak karya Nadjib tersebut, dipilih sebagai sampel yakni kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab, Sesobek Buku Harian Indonesia, dan Cahaya Maha Cahaya, novel-esai Gerakan Punakawan atawa Arus Bawah, kumpulan esai Terus Mencoba Budaya Tanding dan Slilit Sang Kiai. Sampel-sampel yang dipilih merupakan karya-karya yang memiliki pengaruh bagi Nadjib dalam pergulatannya di arena sastra dan arena sosial. Sampel yang diambil berupa kumpulan puisi, kumpulan esai, dan naskah drama. Adapun data lain berupa wawancara terhadap beberapa orang yang menurut penulis memiliki hubungan dekat dengan Nadjib di arena sastra dan sosial. Wawancara dilakukan untuk melengkapi data-data tertulis yang sudah ada. Wawancara dilakukan penulis kepada Iman Budhi Santosa, Mustofa W. Hasyim, dan Jabrohim. Santosa dipilih mengingat kedekatannya dengan Paranggi dan PSK, serta perannya dalam arena sastra Yogyakarta. Hasyim dipilih karena kedekatannya dengan Nadjib baik di arena sastra, jurnalis, dan dalam acara-acara pengajian yang digelar Nadjib. Sedangkan Jabrohim dipilih mengingat perannya dalam penerbitan beberapa buku Nadjib.

30 30 Penulis juga mengambil data atas pernyataan-pernyataan Nadjib dalam sejumlah acara. Acara-acara tersebut adalah acara Bincang-Bincang Sastra SPS, acara Musikalisasi Sastra TBY, dan acara Baca Puisi Festival Sastra LSBO PP Muhammadiyah. Acara-acara tersebut berterkaitan dengan arena sastra hingga arena sosial Nadjib. 1.9 Sistematika Penyajian Penelitian ini disajikan dengan empat bab sebagai berikut. Bab I berupa pendahuluan yang berisi: (1) latar belakang penelitian; (2) rumusan masalah; (3) tujuan penelitian; (4) tinjauan pustaka; (5) landasan teori; (6) hipotesis; (7) vareabel; (8) metode penelitian; (9) populasi, sampel, dan data; dan (10) sistematika penyajian. Indonesia. BAB II berisi uraian mengenai kondisi arena kekuasaan dan arena sastra di BAB III berisi uraian mengenai pertarungan Nadjib dalam arena sastra, karya sastra Nadjib, pengelolaan modal, dan ideologi karismatik Nadjib dalam disposisi di arena sastra dan arena sosial. BAB IV berisi uraian mengenai strategi, peranan agen, dan pencapaian posisi Nadjib di arena sastra dan arena sosial. BAB V berisi kesimpulan.

BAB V SIMPULAN. Dalam sastra nasional, Paranggi menempati posisi objektif sebagai penyair

BAB V SIMPULAN. Dalam sastra nasional, Paranggi menempati posisi objektif sebagai penyair BAB V SIMPULAN Dalam sastra nasional, Paranggi menempati posisi objektif sebagai penyair yang terkonsekrasi dan terlegitimasi dengan baik dalam arenanya. Konsekrasi dan legitimasi itu didasarkan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komunitas di Yogyakarta yang berdiri pada kurun waktu 1969 sampai 1977.

BAB I PENDAHULUAN. komunitas di Yogyakarta yang berdiri pada kurun waktu 1969 sampai 1977. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persada Studi Klub (selanjutnya disingkat PSK) merupakan salah satu komunitas di Yogyakarta yang berdiri pada kurun waktu 1969 sampai 1977. Dalam perjalanannya sebagai

Lebih terperinci

Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015 STRATEGI, AGEN, DAN POSISI EMHA AINUN NADJIB DI ARENA SASTRA DAN ARENA SOSIAL

Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015 STRATEGI, AGEN, DAN POSISI EMHA AINUN NADJIB DI ARENA SASTRA DAN ARENA SOSIAL STRATEGI, AGEN, DAN POSISI EMHA AINUN NADJIB DI ARENA SASTRA DAN ARENA SOSIAL Latief S. Nugraha Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Email: harjomartono89@gmail.com Abstrak Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015 PERGULATAN IMAN BUDHI SANTOSA UNTUK MENCAPAI POSISI TERKONSEKRASI DALAM ARENA SASTRA YOGYAKARTA

Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015 PERGULATAN IMAN BUDHI SANTOSA UNTUK MENCAPAI POSISI TERKONSEKRASI DALAM ARENA SASTRA YOGYAKARTA PERGULATAN IMAN BUDHI SANTOSA UNTUK MENCAPAI POSISI TERKONSEKRASI DALAM ARENA SASTRA YOGYAKARTA Anggun Nirmala Safitri Fakultas Sastra Universitas Jember Email: njun.ideas@gmail.com Abstrak Artikel ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud dari pengabdian perasaan dan pikiran pengarang yang muncul ketika ia berhubungan dengan lingkungan sekitar. Sastra dianggap sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat adalah novel. Menurut Esten (1993:

BAB I PENDAHULUAN. sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat adalah novel. Menurut Esten (1993: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu karya sastra prosa yang menggambarkan tentang permasalahan sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat adalah novel. Menurut Esten (1993: 12), novel merupakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. pembelajaran sastra berlangsung. Banyak siswa yang mengeluh apabila disuruh

1. PENDAHULUAN. pembelajaran sastra berlangsung. Banyak siswa yang mengeluh apabila disuruh 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembelajaran sastra di sekolah kini tampak semakin melesu dan kurang diminati oleh siswa. Hal ini terlihat dari respon siswa yang cenderung tidak antusias saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi yang diciptakan oleh sastrawan melalui kontemplasi dan suatu refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam

Lebih terperinci

. 1990b. The Logic of Practice. (translated Richard Nice). USA: Stanford

. 1990b. The Logic of Practice. (translated Richard Nice). USA: Stanford 172 DAFTAR PUSTAKA Alfian M., M. Alfan. 1993. Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia. Alfian M., M. Alfan, Aprinus Salam, Wawan Susetya. 2001. Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib.

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN Pada bagian ini akan diuraikan secara berturut-turut: simpulan, implikasi, dan saran A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sastra sangat dipengaruhi oleh bahasa dan aspek-aspek lain. Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. sastra sangat dipengaruhi oleh bahasa dan aspek-aspek lain. Oleh karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan suatu karya seni yang disampaikan oleh seorang sastrawan melalui media bahasa. Keindahan dalam suatu karya sastra sangat dipengaruhi oleh bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (fiction), wacana naratif (narrative discource), atau teks naratif (narrativetext).

BAB I PENDAHULUAN. (fiction), wacana naratif (narrative discource), atau teks naratif (narrativetext). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra adalah sebuah karya imajiner yang bermedia bahasa dan memiliki nilai estetis. Karya sastra juga merupakan sarana untuk mengungkapkan ide, gagasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Dalam perspektif ilmu-ilmu sosial terutama filsafat dan sosiologi, oposisi diantara subjektivisme dan objektivisme merupakan bagian yang selama ini tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bourdieu tentang Habitus Menurut Bourdieu (dalam Ritzer 2008:525) Habitus ialah media atau ranah yang memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Lomba Menulis Surat untuk Presiden RI tahun 2003 atas prakarsa Dewan

BAB I PENGANTAR. Lomba Menulis Surat untuk Presiden RI tahun 2003 atas prakarsa Dewan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Di tengah keberadaan sastra anak yang masih terpinggirkan dalam khazanah kesusastraan Indonesia 1, Abdurahman Faiz, yang terlahir pada tanggal 15 November 1995, mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Fotografi merupakan teknik yang digunakan untuk mengabadikan momen penting dalam kehidupan sehari-hari. Karena melalui sebuah foto kenangan demi kenangan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek dan Warren, 1990: 3). Karya sastra adalah suatu kegiatan kreatif, hasil kreasi pengarang. Ide

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Drama merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Drama merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra pada dasarnya adalah seni bahasa. Perbedaan seni sastra dengan cabang seni-seni yang lain terletak pada mediumnya yaitu bahasa. Seni lukis menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imajinatif peran sastrawan dan faktor-faktor yang melingkupi seorang sastrawan

BAB I PENDAHULUAN. imajinatif peran sastrawan dan faktor-faktor yang melingkupi seorang sastrawan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah karya kreatif dan imajinatif dengan fenomena hidup dan kehidupan manusia sebagai bahan bakunya. Sebagai karya yang kreatif dan imajinatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sisi-sisi kehidupan manusia dan memuat kebenaran-kebenaran kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. sisi-sisi kehidupan manusia dan memuat kebenaran-kebenaran kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan refleksi atau cerminan kondisi sosial masyarakat yang terjadi di dunia sehingga karya itu menggugah perasaan orang untuk berpikir tentang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (Hasanuddin, 1996:1). Dimensi pertama, drama sebagai seni lakon, seni peran

BAB 1 PENDAHULUAN. (Hasanuddin, 1996:1). Dimensi pertama, drama sebagai seni lakon, seni peran BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Drama merupakan karya yang memiliki dua dimensi karakter (Hasanuddin, 1996:1). Dimensi pertama, drama sebagai seni lakon, seni peran atau seni pertunjukan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati dan dipahami serta dimanfaatkan oleh masyarakat pembaca. Karya sastra memberikan kesenangan dan pemahaman

Lebih terperinci

Prakata. iii. Bandung, September Penulis

Prakata. iii. Bandung, September Penulis Prakata Bahasa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Bahasa digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lain. Bahasa mempunyai fungsi intelektual, sosial, dan emosional. Selain itu,

Lebih terperinci

07. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. A. Latar Belakang

07. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. A. Latar Belakang 07. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia A. Latar Belakang Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasian dalam mempelajari

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 1 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di lapangan yang menyajikan interpretasi saya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Nenden Lilis Aisiyah (cerpenis dan pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan

I. PENDAHULUAN. Nenden Lilis Aisiyah (cerpenis dan pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nenden Lilis Aisiyah (cerpenis dan pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia) menyatakan dalam Artikel Sastra

Lebih terperinci

KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP)

KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP) KTSP Perangkat Pembelajaran Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) PERANGKAT PEMBELAJARAN STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR Mata Pelajaran Satuan Pendidikan Kelas/Semester : Bahasa

Lebih terperinci

31. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs)

31. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) 31. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) A. Latar Belakang Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. siswa dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Siswa. dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar.

BAB 1 PENDAHULUAN. siswa dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Siswa. dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Berbicara adalah salah satu aspek keterampilan berbahasa yang dipelajari siswa dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun karya sastra.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di antaranya adalah Seni Rupa, Seni Musik, Seni Tari, dan Seni Teater. Beberapa jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra adalah bentuk seni yang diungkapkan oleh pikiran dan perasaan manusia dengan keindahan bahasa, keaslian gagasan, dan kedalaman pesan (Najid, 2003:7). Hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat penting. Posisi penting bahasa tersebut, semakin diakui terutama setelah munculnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu pertunjukan teater (Kamus Bahasa Indonesia: 212). Namun, dewasa ini

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu pertunjukan teater (Kamus Bahasa Indonesia: 212). Namun, dewasa ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Drama merupakan kisah utama yang memiliki konflik yang disusun untuk sesuatu pertunjukan teater (Kamus Bahasa Indonesia: 212). Namun, dewasa ini drama bukan hanya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Dunia seni saat ini semakin banyak jumlah dan beragam bentuknya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Dunia seni saat ini semakin banyak jumlah dan beragam bentuknya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dunia seni saat ini semakin banyak jumlah dan beragam bentuknya. Berbagai jenis seni yang dimiliki Indonesia sangat beragam mulai dari bentuk, ciri khas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem sosial kehidupan. Iswanto (dalam Jabrohim, 2001:59) mengemukakan

BAB I PENDAHULUAN. sistem sosial kehidupan. Iswanto (dalam Jabrohim, 2001:59) mengemukakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra selalu dinikmati oleh pembaca karena tidak pernah terlepas dari sistem sosial kehidupan. Iswanto (dalam Jabrohim, 2001:59) mengemukakan bahwa karya sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cipta yang menggambarkan kejadian-kejadian yang berkembang di masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. cipta yang menggambarkan kejadian-kejadian yang berkembang di masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan karya sastra tidak dapat dilepaskan dari gejolak dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Karena itu, sastra merupakan gambaran kehidupan yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 Tinjauan aspek sosiokultural puisi-puisi pada harian Solopos dan relevansinya sebagai materi ajar alternatif bahasa Indonesia di SMA (harian Solopos edisi oktober-desember 2008) Oleh: Erwan Kustriyono

Lebih terperinci

Bahasa dan Sastra Indonesia 3. untuk. SMP/MTs Kelas IX. Maryati Sutopo. Kelas VII. PUSAT PERBUKUAN Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Bahasa dan Sastra Indonesia 3. untuk. SMP/MTs Kelas IX. Maryati Sutopo. Kelas VII. PUSAT PERBUKUAN Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bahasa dan Sastra Indonesia 3 untuk SMP/MTs Kelas IX Kelas VII Maryati Sutopo PUSAT PERBUKUAN Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Hak Cipta pada Departemen Pendidikan Nasional Dilindungi Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I

BAB VI PENUTUP. Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I hingga V penulis menyimpulkan beberapa hal berikut. Pertama, bahwa tidur tanpa kasur di dusun Kasuran

Lebih terperinci

METODE PEMBELAJARAN BAHASA SASTRA Prosedur dan Kultur. Meyridah SMAN Tambang Ulang, Tanah Laut

METODE PEMBELAJARAN BAHASA SASTRA Prosedur dan Kultur. Meyridah SMAN Tambang Ulang, Tanah Laut METODE PEMBELAJARAN BAHASA SASTRA Prosedur dan Kultur Meyridah SMAN Tambang Ulang, Tanah Laut merydah76@gmail.com ABSTRAK Tulisan ini bertujuan memberikan kontribusi pemikiran terhadap implementasi pembelajaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup diperhitungkan karya-karyanya dan dianggap sebagai pengarang produktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring berjalannya waktu karya sastra di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal tersebut dibuktikan dari banyaknya karya sastra yang mucul dalam kalangan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam BAB V KESIMPULAN 5.1. Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum 2013 Konstruksi Identitas Nasional Indonesia tidaklah berlangsung secara alamiah. Ia berlangsung dengan konstruksi besar, dalam hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karya sastra merupakan kreativitas seseorang terhadap ide, pikiran, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karya sastra merupakan kreativitas seseorang terhadap ide, pikiran, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan kreativitas seseorang terhadap ide, pikiran, dan perasaan yang dimilikinya. Karya sastra merupakan hasil imajinasi manusia yang mengambil kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemersatu bangsa Indonesia. Selain itu, Bahasa Indonesia juga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. pemersatu bangsa Indonesia. Selain itu, Bahasa Indonesia juga merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia merupakan salah satu alat komunikasi dan alat pemersatu bangsa Indonesia. Selain itu, Bahasa Indonesia juga merupakan hasil kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan berkaitan erat dengan proses belajar mangajar. Seperti di sekolah tempat pelaksanaan pendidikan, peserta didik dan pendidik saling melaksanakan pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dan seseorang, antarmanusia, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dan seseorang, antarmanusia, dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat, ia terikat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. baik itu masalah pribadi maupun masalah umum. Masalah pribadi adalah masalah

I. PENDAHULUAN. baik itu masalah pribadi maupun masalah umum. Masalah pribadi adalah masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan manusia lain untuk berinteraksi. Dalam proses interaksi tersebut adakalanya timbul permasalahan, baik itu masalah pribadi

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Talempong goyang awalnya berasal dari Sanggar Singgalang yang. berada di daerah Koto kociak, kenagarian Limbanang, kabupaten

BAB IV KESIMPULAN. Talempong goyang awalnya berasal dari Sanggar Singgalang yang. berada di daerah Koto kociak, kenagarian Limbanang, kabupaten 99 BAB IV KESIMPULAN Talempong goyang awalnya berasal dari Sanggar Singgalang yang berada di daerah Koto kociak, kenagarian Limbanang, kabupaten Lima Puluh Koto, diestimasi sebagai hiburan alternatif musik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Hari-hari di Rainnesthood..., Adhe Mila Herdiyanti, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Hari-hari di Rainnesthood..., Adhe Mila Herdiyanti, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah bentuk tiruan kehidupan yang menggambarkan dan membahas kehidupan dan segala macam pikiran manusia. Lingkup sastra adalah masalah manusia, kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan pengarang dan psikologi isi hatinya, yang diiringi dengan daya

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan pengarang dan psikologi isi hatinya, yang diiringi dengan daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil perpaduan estetis antara keadaan lingkungan pengarang dan psikologi isi hatinya, yang diiringi dengan daya kreativitas yang tinggi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Sampai saat ini tidak banyak penelitian yang memperhatikan tentang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Sampai saat ini tidak banyak penelitian yang memperhatikan tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra anak masih terpinggirkan dalam khazanah kesusastraan di Indonesia. Sampai saat ini tidak banyak penelitian yang memperhatikan tentang sastra anak. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sastrawan kelas dunia. Begitu banyak karya sastra Jepang yang telah di

BAB I PENDAHULUAN. sastrawan kelas dunia. Begitu banyak karya sastra Jepang yang telah di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jepang adalah salah satu negara maju di Asia yang banyak memiliki sastrawan kelas dunia. Begitu banyak karya sastra Jepang yang telah di terjemahkan dalam berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di

Lebih terperinci

KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP)

KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP) PERANGKAT PEMBELAJARAN STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Satuan Pendidikan : SMP/MTs. Kelas : VII, VIII, IX Nama Guru : Dwi Agus Yunianto, S.Pd. NIP/NIK : 19650628

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dan kebudayaan sangat erat. Oleh sebab itu, sebagian besar objek karya

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dan kebudayaan sangat erat. Oleh sebab itu, sebagian besar objek karya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan suatu bentuk institusi sosial dan hasil pekerjaan seni kreatif dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Hubungan antara sastra, masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sastra tadi harus dapat dikomunikasikan kepada orang lain, karena dapat saja

BAB I PENDAHULUAN. sastra tadi harus dapat dikomunikasikan kepada orang lain, karena dapat saja BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah bentuk rekaman dengan bahasa yang akan disampaikan kepada orang lain. Sastra adalah komunikasi. Bentuk rekaman atau karya sastra tadi harus dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari kebudayaan. Usianya sudah cukup tua. Kehadiran hampir bersamaan dengan adanya manusia. Karena ia diciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang penelitian. Ruang lingkup penelitian dibatasi pada unsur intrinsik novel, khususnya latar dan objek penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberhasilan dalam pembelajaran berpengaruh pada tingkat pencapaian hasil belajar. Hasil belajar yang dicapai tentu harus melalui proses pembelajaran secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan bagian bentuk seni yang kehadirannya untuk diapresiasi. Artinya, kehadiran karya sastra untuk dimanfaatkan, dinikmati, dihargai, dan dikaji. Karya

Lebih terperinci

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN. ditarik beberapa kesimpulan dan dirumuskan beberapa saran sebagai berikut.

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN. ditarik beberapa kesimpulan dan dirumuskan beberapa saran sebagai berikut. BAB VI SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan pada Bab V dapatlah ditarik beberapa kesimpulan dan dirumuskan beberapa saran sebagai berikut. 6.1 Simpulan Memperhatikan rumusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum 2013 yang wajib dilaksanakan dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karya seni yang memiliki kekhasan dan sekaligus sistematis. Sastra adalah

BAB I PENDAHULUAN. karya seni yang memiliki kekhasan dan sekaligus sistematis. Sastra adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya (Al- Ma ruf 2009:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan suatu karya yang lahir dari hasil perenungan pengarang terhadap realitas yang ada di masyarakat. Karya sastra dibentuk

Lebih terperinci

ANALISIS TUTURAN METAFORIS DALAM LIRIK LAGU-LAGU LETTO

ANALISIS TUTURAN METAFORIS DALAM LIRIK LAGU-LAGU LETTO ANALISIS TUTURAN METAFORIS DALAM LIRIK LAGU-LAGU LETTO SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Oleh : TYAS PUJI PRAMESTI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan ungkapan kehidupan manusia yang memiliki nilai dan disajikan melalui bahasa yang menarik. Karya sastra bersifat imajinatif dan kreatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari, seperti halnya puisi karya Nita Widiati Efsa yang berisi tentang

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari, seperti halnya puisi karya Nita Widiati Efsa yang berisi tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini karya sastra banyak berisi tentang realitas kehidupan sehari-hari, seperti halnya puisi karya Nita Widiati Efsa yang berisi tentang percintaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan sebuah cerita fiksi atau rekaan yang dihasilkan lewat proses kreatif dan imajinasi pengarang. Tetapi, dalam proses kreatif penciptaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman,

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra sebagai ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kehidupan, yang dapat membangkitkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. XVIII dan XIX. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. XVIII dan XIX. Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karya sastra merupakan suatu benda budaya yang dapat ditinjau dan ditelaah dari berbagai sudut. Teks-teks sastra bersifat multitafsir atau multiinterpretasi. Isi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perempuan menjadi pembicaraan yang sangat menarik. Terlebih lagi dengan

I. PENDAHULUAN. perempuan menjadi pembicaraan yang sangat menarik. Terlebih lagi dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Membicarakan masalah perempuan tidak ada habisnya, sejak dulu wacana tentang perempuan menjadi pembicaraan yang sangat menarik. Terlebih lagi dengan munculnya

Lebih terperinci

2015 PERKEMBANGAN KESENIAN BRAI DI KOTA CIREBON TAHUN

2015 PERKEMBANGAN KESENIAN BRAI DI KOTA CIREBON TAHUN 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di Jawa Barat memiliki jenis yang beragam. Keanekaragaman jenis kesenian tradisional itu dalam perkembangannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra menggambarkan jiwa masyarakat. Karya sastra sebagai interpretasi kehidupan, melukiskan perilaku kehidupan manusia yang terjadi dalam masyarakat. Segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan cerminan, gambaran atau refleksi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan cerminan, gambaran atau refleksi kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan cerminan, gambaran atau refleksi kehidupan yang terjadi di masyarakat ataupun kehidupan seseorang. Karya sastra merupakan hasil kreasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan oleh masyarakat (Damono, 2002: 1). Selain dimanfaatkan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan oleh masyarakat (Damono, 2002: 1). Selain dimanfaatkan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dihayati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat (Damono, 2002: 1). Selain dimanfaatkan sebagai media hiburan,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Musik dangdut merupakan sebuah genre musik yang mengalami dinamika di setiap jamannya. Genre musik ini digemari oleh berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Berkembangnya dangdut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan apa yang ingin diutarakan pengarang. Hal-hal tersebut dapat

BAB I PENDAHULUAN. dengan apa yang ingin diutarakan pengarang. Hal-hal tersebut dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara tentang fenomena kesusastraan tentu tidak lepas dari kemunculannya. Hal ini disebabkan makna yang tersembunyi dalam karya sastra, tidak lepas dari maksud pengarang.

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. masyarakat hidup bersama biasanya akan terjadi relasi yang tidak seimbang. Hal

BAB VI KESIMPULAN. masyarakat hidup bersama biasanya akan terjadi relasi yang tidak seimbang. Hal BAB VI KESIMPULAN Pada sebuah kondisi masyarakat multikultural di mana berbagai kelom pok masyarakat hidup bersama biasanya akan terjadi relasi yang tidak seimbang. Hal tersebut ditandai dengan hadirnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesenian pada dasarnya adalah salah satu cara seseorang memasyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesenian pada dasarnya adalah salah satu cara seseorang memasyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian pada dasarnya adalah salah satu cara seseorang memasyarakat. Kesenian adalah ekspresi seseorang untuk berhubungan dengan orang lain (Sumardjo, 1992:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan erat kaitannya dengan proses belajar mengajar. Seperti di sekolah tempat pelaksanaan pendidikan, peserta didik dan pendidik saling melaksanakan pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara sadar dengan tujuan untuk menyampaikan ide, pesan, maksud,

BAB I PENDAHULUAN. secara sadar dengan tujuan untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar dengan tujuan untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan, dan pendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang merupakan bentuk ungkapan atau ekspresi keindahan. Setiap karya seni biasanya berawal dari ide atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. materi yang harus diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra

BAB I PENDAHULUAN. materi yang harus diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra, yaitu puisi, prosa (cerpen dan novel), dan drama adalah materi yang harus diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, seseorang dengan menggunakan bahasa yang indah.

I. PENDAHULUAN. tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, seseorang dengan menggunakan bahasa yang indah. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil imajinasi manusia yang dapat menimbulkan kesan pada diri pembaca. Karya juga merupakan ungkapan pikiran dan perasaan, baik tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menarik perhatian siswa. Selama ini pembelajaran sastra di sekolah-sekolah

BAB I PENDAHULUAN. menarik perhatian siswa. Selama ini pembelajaran sastra di sekolah-sekolah BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pembelajaran sastra merupakan bagian dari pembelajaran bahasa yang harus dilaksanakan oleh guru. Guru harus dapat melaksanakan pembelajaran sastra dengan menarik.

Lebih terperinci

UNSUR INTRINSIK PADA CERPEN MENJELANG LEBARAN, MBOK JAH, DAN DRS CITRAKSI DAN DRS CITRAKSA

UNSUR INTRINSIK PADA CERPEN MENJELANG LEBARAN, MBOK JAH, DAN DRS CITRAKSI DAN DRS CITRAKSA UNSUR INTRINSIK PADA CERPEN MENJELANG LEBARAN, MBOK JAH, DAN DRS CITRAKSI DAN DRS CITRAKSA KARYA UMAR KAYAM SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN AJAR BAHASA INDONESIA DI SMA Sun Suntini Program Studi Pendidikan Bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan medium bahasa. Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berupa pengalaman, semangat, ide, pemikiran, dan keyakinan dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. berupa pengalaman, semangat, ide, pemikiran, dan keyakinan dalam suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan hasil cipta yang mengungkapkan pribadi manusia berupa pengalaman, semangat, ide, pemikiran, dan keyakinan dalam suatu gambaran konkret yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara sastra dengan bahasa bersifat dialektis (Wellek dan Warren,

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara sastra dengan bahasa bersifat dialektis (Wellek dan Warren, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra dan bahasa merupakan dua bidang yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara sastra dengan bahasa bersifat dialektis (Wellek dan Warren, 1990:218).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Apriyanti Rahayu FAuziah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian  Apriyanti Rahayu FAuziah, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Seiring dengan perkembangan zaman, media massa merupakan tempat penyalur aspirasi atau pikiran masyarakat yang berfungsi untuk memberikan informasi dan mengetahui

Lebih terperinci

STRATEGI KEPENYAIRAN IMAN BUDHI SANTOSA DALAM ARENA SASTRA: KAJIAN SOSIOLOGI PIERRE BOURDIEU 1

STRATEGI KEPENYAIRAN IMAN BUDHI SANTOSA DALAM ARENA SASTRA: KAJIAN SOSIOLOGI PIERRE BOURDIEU 1 STRATEGI KEPENYAIRAN IMAN BUDHI SANTOSA DALAM ARENA SASTRA: KAJIAN SOSIOLOGI PIERRE BOURDIEU 1 POETRY STRATEGY OF IMAN BUDHI SANTOSA IN LITERARY FIELD: A STUDY ON SOCIOLOGY PIERRE BOURDIEU Ahmad Zamzuri

Lebih terperinci