BAB II. Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II. Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana"

Transkripsi

1 BAB II PUTUSAN YANG MENYATAKAN SURAT DAKWAAN BATAL DEMI HUKUM SETELAH PEMERIKSAAN POKOK PERKARA DAN PEMBACAAN TUNTUTAN DIKAITKAN DENGAN KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN YANG BERLAKU A. Dakwaan 1. Pengertian Surat Dakwaan Istilah surat dakwaan (telastelegging) dipakai secara resmi di dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebelumnya dalam beberapa undang-undang yang berkaitan dengan hukum acara pidana dipakai istilah surat tuduhan sebagai terjemahan dari (telastelegging). Pengertian dari surat dakwaan itu sendiri adalah suatu akta yang di buat oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan oleh terdakwa sekaligus merupakan dasar pemeriksaan perkara bagi hakim dalam putusan-putusan penyelesaian perkara tindak pidana di Pengadilan. 61 Surat dakwaan merupakan dasar penting dari hukum acara pidana karena berdasarkan hal-hal yang dimuat dalam surat dakwaan itulah hakim akan memerika perkara itu. 62 Pemeriksaan harus didasarkan pada dakwaan dan menurut Nederburg pemeriksaan itu tidak batal jika batas-batas dilalui (dilampaui), namun putusan hakim 61 Matteus A. Rogahang, Suatu Study Tentang Akibat Hukum Dari Surat Dakwaan Kabur Dalam Perkara Pidana, Jurnal Lex Crimen, Vol. I, No. 4, Okt-Des 2012, hal Andi Hamzah (1996), Op. cit., hal. 170.

2 itu hanya diperbolehkan mengenai peristiwa-peristiwa yang masih terletak pada batas-batas itu. 63 Surat dakwaan merupakan dasar atau landasan pemeriksaan di dalam sidang pengadilan. Hakim dalam memeriksa suatu perkara tindak pidana tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan. Seorang terdakwa yang dihadapkan ke sidang pengadilan hanya dapat dijatuhi hukuman oleh karena telah terbukti melakukan tindak pidana seperti yang disebutkan atau dinyatakan jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya. 64 Surat dakwaan dalam perkara pidana merupakan pedoman dasar dari keseluruhan proses pidana. Keseluruhan isi dalam surat dakwaan merupakan dasar bagi pemeriksaan dan dasar bagi putusan hakim. 65 Menurut Andi Hamzah terdakwa hanya dapat dipidana jika terbukti telah melakukan delik yang disebut di dalam surat dakwaan. Jika terdakwa terbukti melakukan delik tetapi tidak disebut di dalam surat dakwaan, maka terhadap terdakwa tidak dapat dipidana. 66 Surat dakwaan itu sangat besar gunanya bagi acara pidana, karena merupakan dasarnya. Surat dakwaan sebagai landasan pemeriksaan bagi hakim berarti sebagai titik tolak pemeriksaan terdakwa 67, sedangkan surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan berarti hakim tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam 63 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, Balai Aksara, Yudhistira, 1985), hal Matteus A. Rogahang, Op. cit., hal. 111, dan hal Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2222 K/Pid/2012 tanggal 14 Mei 2013, hal Andi Hamzah (1985), Op. cit., hal M. Yahya Harahap (II), Op. cit, hal. 389.

3 surat dakwaan. 68 Surat dakwaan menentukan batas-batas bagi pemeriksaan hakim. Jauh lebih penting fungsi dari surat dakwaan adalah harus dapat memberikan penjelasan kepada terdakwa dan kepada hakim, atas perbuatan yang mana terdakwa didakwa. 69 Surat dakwaan berguna sebagai dasar atau landasan pemeriksaan perkara di dalam sidang pengadilan. Hakim dalam memeriksa suatu perkara tindak pidana tidak boleh menyimpang dari substansi yang dirumuskan dalam surat dakwaan. 70 Surat dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan surat dakwaan itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan. 71 Konsekuensi surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, berarti surat dakwaan harus sudah dibuat dan harus dilampirkan pada waktu pelimpahan perkara ke pengadilan sebelum pemeriksaan sidang pengadilan dilakukan. 72 Andi Hamzah membedakannya dengan surat gugatan. Kalau dalam perkara perdata disebut surat gugatan, sedangkan dalam perkara pidana disebut surat dakwaan. Keduanya mempunyai persamaan yaitu sama-sama sebagai dasar hakim dalam melakukan pemeriksaan dan hanya dalam batas-batas isi surat gugatan/dakwaan itulah hakim boleh memutuskannya. Perbedaan dari keduanya yaitu, kalau surat gugatan dibuat/disusun oleh pihak yang dirugikan, sedangkan 68 Ibid., hal Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2222 K/Pid/2012 tanggal 14 Mei 2013, hal. hal Wilhelmus Taliak, Akibat Hukum Surat Dakwaan Batal dan Surat Dakwaan Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Perkara Pidana, Jurnal Lex Crimen, Vol. IV, No. 1, Jan-Mar 2015, hal A. Hamzah dan Irdan Dahlan, Surat Dakwaan, (Bandung: Alumni, 1987), hal Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan), (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 44.

4 dalam surat dakwaan, diharuskan bagi jaksa penuntut umum yang membuat/menyusun surat dakwaan itu dan tidak bergantung pada kemauan korban (kecuali delik aduan). 73 Menurut M. Yahya Harahap, sebelum KUHAP diberlakukan yaitu pada masa berlakunya periode Herziene Inlandsch Reglimen (HIR), surat dakwaan disebut surat tuduhan (acte van beschuldiging). 74 Surat tuduhan dibuat oleh Ketua Pengadilan Negeri sehingga kedudukan jaksa penuntut umum belum sempurna dan tidak berdiri sendiri, karena Ketua Pengadilan Negeri tidak terikat pada surat tolakan jaksa, dan jaksa-jaksa penuntut umum masih berada dalam pengawasan Ketua Pengadilan Negeri. 75 Sebelum lahirnya KUHAP, jaksa tidak bertugas untuk membuat surat dakwaan atau surat tuduhan melainkan hanya membuat surat pelimpahan perkara ke pengadilan. Dengan berlakunya sesuai Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia dan SEMA Nomor: 6/MA/1962/23/SE Tanggal 20 Oktober 1962, jaksa diberi tugas membuat surat tuduhan atau surat dakwaan. Sesuai Pasal 12 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 1961 bilamana jaksa dalam membuat surat dakwaan kurang memenuhi syarat, maka jaksa wajib memperhatikan saran-saran yang diberikan hakim Andi Hamzah (1996), Loc. cit. 74 M. Yahya Harahap (II), Op. Cit., hal Ibid., hal Prapto Soepardi, Surat Dakwaan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1991, hal. 11. Hal itu juga diperjelas dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 6/MA/1962/23/SE Tanggal 20 Oktober 1962.

5 Istilah surat tuduhan dipersamakan dengan acte van beschuldiging dipakai pada masa dulu (sebelum KUHAP), namun setelah berlakunya KUHAP tahun 1981 seperti yang ditentukan dalam Pasal 140 ayat (1) KUHAP diberi nama surat dakwaan atau pada masa lalu surat dakwaan biasa juga disebut dengan istilah acte van verwijzing yang dalam istilah hukum Inggris ini disebut dengan imputation atau indictment. 77 Istilah surat dakwaan dalam KUHAP inilah yang dipersamakan pula dengan telastelegging. 78 Istilah surat dakwaan merupakan kata yang diperkenalkan melalui ketentuan Pasal 140 ayat (1) KUHAP. Istilah yang diperkenalkan oleh HIR melalui Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44 adalah surat tuduhan (acte van beschuldiging). Selain itu istilah surat dakwaan dalam hukum Belanda yang menganut sistem Eropa Kontinental lazim disebut dengan acte van verwijzing atau pada Anglo Saxon dikenal dengan istilah imputation. 79 Setelah berlakunya KUHAP tahun 1981, penuntut umum barulah menjadi mandiri dalam membuat surat dakwaan seperti telah ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Tenggang waktu antara mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 sampai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 ini disebut masa transisi bagi jaksa untuk menjadi seorang jaksa penuntut umum yang benar-benar mandiri. Penuntut umum menjadi diwajibkan untuk selalu meningkatkan kemampuan 77 M. Yahya Harahap (II), Loc. cit. Surat tuduhan dalam HIR dibuat oleh Ketua Pengadilan Negeri dengan istilah acte van beschuldiging atau lazim disebut acte van verwijzing yakni akte yang menyerahkan perkara ke persidangan dan memuat perbuatan-perbuatan yang dituduhkan diakses tanggal 26 November 2015, Artikel yang ditulis oleh G.A.M. Strijards, berjudul Tiranie en Territoir. 79 Lilik Mulyadi (I), Op. cit, hal. 37.

6 dalam menjalankan tugasnya yang pada akhirnya benar-benar menjadi seorang penuntut umum yang profesional dalam segala seginya, berinovasi, bertindak cepat, cermat, dan tepat. 80 KUHAP tidak memberikan pengertian tentang surat dakwaan, namun dapat ditemukan dalam doktrin-doktrin para ahli dan yurisprudensi. Pengertian surat dakwaan menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, adalah: 81 a. Surat akta. b. Memuat perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. c. Perumusan mana ditarik dan disimpulkan dari hasil pemeriksaan penyidikan dihubungkan dengan unsur delik pasal tindak pidana yang dilanggar dan didakwakan kepada terdakwa. d. Surat dakwaan tersebut menjadi dasar pemeriksaan bagi hakim dalam sidang pengadilan. Keseluruhan pasal-pasal di dalam KUHAP tidak menentukan batasan apa yang disebut dengan surat dakwaan. Mengenai batasan surat dakwaan diserahkan kepada para doktrina, kebiasaan praktik peradilan dan yurisprudensi. Terdapat beberapa pandangan para doktrina mengenai surat dakwaan, antara lain surat dakwaan dirumuskan oleh M. Yahya Harahap sebagai surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di sidang pengadilan Prapto Soepardi, Op. cit., hal M. Yahya Harahap (II), Loc. cit. 82 Ibid., hal. 387.

7 Rumusan pengertian surat dakwaan ini disesuaikan dengan jiwa dan ketentuan KUHAP. Sekalipun dikenal surat tuduhan, namun oleh karena KUHAP menggunakan istilah surat dakwaan, maka pada pengertian ini sudah digunakan istilah atau sebutan yang berasal dari KUHAP, seperti istilah yang didakwakan dan hasil pemeriksaan penyidikan sebagai istilah baru yang dibakukan dalam KUHAP untuk menggantikan istilah tuduhan dan yang dituduhkan. Demikian juga istilah pemeriksaan permulaan yang disebut dalam HIR dibakukan menjadi sebutan pemeriksaan penyidikan di dalam KUHAP. 83 Pengertian surat dakwaan dirumuskan oleh A. Karim Nasution sebagai suatu surat atau akta yang memuat suatu perumusan dari tindak pidana yang dituduhkan, yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan yang bila ternyata cukup bukti, terdakwa dapat dijatuhkan hukuman. 84 Pengertian ini masih menggunakan istilah tuduhan untuk surat dakwaan, yang seolah-olah belum sesuai jiwa KUHAP yang menggunakan istilah surat dakwaan. Lilik Mulyadi merumuskannya sebagai dasar dari hukum acara pidana dan berdasarkan dakwaan itulah pemeriksaan persidangan dilakukan. 85 Surat dakwaan dibuat oleh penuntut umum berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pendahuluan yang dilakukan oleh penyidik, semua informasi mengenai fakta-fakta 83 Ibid. 84 A. Karim Nasution, Masalah Surat Tuduhan Dalam Proses Pidana, (Jakarta: PN Percetakan Negara Republik Indonesia, 1972), hal Lilik Mulyadi (I), Op. cit, hal. 39.

8 delik terhimpun di dalam berkas perkara (case dosier). 86 Hakim pada prinsipnya tidak dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa jika perbuatan tersebut tidak didakwakan oleh penuntut umum di dalam surat dakwaannya sebagaimana ketentuan di dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 321 K/Pid/1983 Tanggal 26 Mei Pengertian surat dakwaan dirumuskan oleh A. Soetomo sebagai surat yang dibuat atau disiapkan oleh penuntut umum yang dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas perkara ke pengadilan yang memuat nama dan identitas pelaku atau pembuat pidana, termasuk kapan dan di mana perbuatan itu dilakukan serta uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan yang didakwakan dan dilakukan oleh terdakwa yang memenuhi unsur-unsur pasal-pasal tertentu dari undang-undang tertentu pula yang nantinya menjadi dasar dan titik tolak pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan untuk dibuktikan kebenaran perbuatan yang didakwakan itu dilakukan dan memastikan kebenaran terdakwa adalah pelaku atau tidak yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidana tersebut. 88 Jika hakim mengadili terdakwa, maka pembuktian terhadap fakta-fakta di persidangan yang akan menentukan terbukti atau tidaknya seseorang bersalah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana yang disebutkan di dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum. Jika pembuktian di persidangan, ternyata kesalahan terdakwa 86 Soedjono Dirdjosisworo, Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum, (Jakarta: Rajawai Press, 1984), hal Lilik Mulyadi (I), Loc. cit. 88 A. Soetomo, Pedoman Dasar Pembuatan Surat Dakwaan dan Suplemen, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1989), hal. 4.

9 terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum sesuai dengan rumusan di dalam surat dakwaan maka hakim pengadilan akan menjatuhkan pidana. Sebaliknya, jika terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum, atau perbuatan tersebut tidak dirumuskan di dalam surat dakwaan, maka hakim pengadilan akan membebaskan terdakwa. 89 Menurut A. Soetomo, ada terobosan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Putusan Nomor 693 K/Pid/1986 Tanggal 12 Juli 1986 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 675 K/Pid/1987 Tanggal 21 Maret 1989 dimana kedua putusan ini dapat dijadikan sebagai yurisprudensi. Terdakwa dijatuhi pidana dengan tindak pidana sejenis yang sifatnya lebih ringan, misalnya didakwa secara tunggal melanggar Pasal 360 ayat (1) KUH Pidana akan tetapi yang terbukti adalah Pasal Pasal 360 ayat (2) KUH Pidana, maka terdakwa dapat dijatuhi pidana sesuai dengan Pasal 360 ayat (2) KUH Pidana walaupun pasal ini tidak didakwakan. 90 Yurisprudensi yang lain masih menurut A. Soetomo yaitu Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 818 K/Pid/1984 Tanggal 30 Mei 1985, dimana terdakwa didakwa secara tunggal melanggar Pasal 310 KUH Pidana akan tetapi yang terbukti adalah Pasal 315 KUH Pidana, maka terdakwa dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan Pasal 315 KUH Pidana walaupun pasal ini tidak didakwakan di surat 89 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2011), hal Pencantuman unsur melawan hukum dalam suatu tindak pidana berpengaruh pada proses pembuktian. Apabila dalam suatu pasal secara nyata terdapat unsur melawan hukum, maka penuntut umum harus membuktikan unsur tersebut, jika unsur tersebut tidak terbukti maka putusannya vrijspraak atau putusan bebas. Sedangkan, jika unsur melawan hukum tidak secara tegas merupakan unsur dari suatu tindak pidana maka tidak terbuktinya unsur tersebut menyebabkan putusannya lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtverfolging). 90 A. Soetomo, Op. cit., hal. 40.

10 dakwaan penuntut umum. Alasan Mahkamah Agung yang berpendirian dapat dijatuhi pidana asalkan tindak pidananya yang sejenis. 91 Terkait dengan prinsip surat dakwaan adalah dasar bagi hakim dalam pemeriksaan perkara, dalam pandangan M. Yahya Harahap bahwa hakim tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan. Seorang terdakwa yang dihadapkan ke sidang pengadilan hanya dijatuhi hukuman karena telah terbukti melakukan tindak pidana seperti yang disebutkan atau yang telah dinyatakan dalam surat dakwaan. Oleh karena itu menurutnya pendekatan pemeriksaan persidangan harus bertitik tolak dan diarahkan kepada upaya membuktikan tindak pidana yang dirumuskan dalam surat dakwaan. 92 Penegasan prinsip surat dakwaan adalah dasar bagi hakim ini menurut M. Yahya Harahap sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 68K/Kr/1973 Tanggal 16 Desember 1976, yang menyatakan: Putusan pengadilan harus berdasarkan pada tuduhan, yang dalam hal ini berdasarkan Pasal 315 KUHP, walaupun kata-kata yang tertera dalam surat tuduhan lebih banyak ditujukan pada Pasal 310 KUHP. 93 Berdasarkan prinsip ini, M. Yahya Harahap sepertinya tidak sependapat dengan alasan Mahkamah Agung yang berpendirian dapat dijatuhi pidana asalkan tindak pidananya yang sejenis seperti yurisprudensi di atas. Hal seperti inilah menurut M. Yahya Harahap yang sering dilalaikan oleh sebahagian hakim dalam pemeriksaan perkara di persidangan. Sering pemeriksaan 91 Ibid. 92 M. Yahya Harahap (II), Op. cit., hal Ibid.

11 sidang menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan yang mengabaikan pemeriksaan, dan pertimbangan putusan menyimpang dari apa yang dimaksudkan dalam surat dakwaan. 94 Pengakuan terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Putusan Nomor 693 K/Pid/1986 Tanggal 12 Juli 1986 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 675 K/Pid/1987 Tanggal 21 Maret 1989 serta Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 818 K/Pid/1984 Tanggal 30 Mei 1985, sebagai yurisprudensi tidak sependapat dengan pandangan M. Yahya Harahap, dan bahkan dalam bukunya berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP sama sekali tidak memasukkan ketiga putusan tersebut sebagai yurisprudensi. Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat dua pandangan yang saling berbeda, pada satu sisi putusan MA tersebut di atas menyatakan terdakwa dapat dijatuhi pidana asalkan tindak pidananya yang sejenis, sedangkan di sisi lain menurut M. Yahya Harahap menentang dan menyatakan hal seperti itu sebagai suatu kelalaian oleh sebahagian hakim dalam pemeriksaan perkara di persidangan, dan menganggap pertimbangan yang demikian menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan, dan mengabaikan pemeriksaan. 2. Syarat-Syarat Surat Dakwaan Syarat-syarat surat dakwaan menurut ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b KUHAP, hanya menyebutkan bahwa syarat-syarat suatu surat dakwaan diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal 94 Ibid.

12 lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan serta uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tindak pidana dilakukan. Menurut pandangan doktrina, ketentuan surat dakwaan ini merupakan syarat formil dan syarat materiil yang harus ada dalam surat dakwaan. 95 Syarat-syarat dalam surat dakwaan terkategori ada 2 (dua) syarat yang harus ada dalam surat dakwaan yang terdiri dari syarat formil dan materiil. Syarat-syarat tersebut terdapat dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP yaitu: 96 a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka (Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP). b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan (Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP). Syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP tersebut adalah syarat formil surat dakwaan, sedangkan syarat-syarat yang terdapat pada Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP tersebut adalah syarat materiil surat dakwaan. Perkara 95 Lilik Mulyadi (II), RUU KUHAP Dari Perspektif Seorang Hakim, Makalah Disampaikan Dalam Diskusi Panel Quo Vadis RUU KUHAP: Catatan Kritis atas RUU KUHAP, Dalam Rangka Merayakan 60 Tahun Denny Kailimang, S.H., M.H., di Hotel Shangri-la, Jakarta, Tanggal 26 Nopember 2008, hal. 14. Pada acara ini dihadiri berbagai nara sumber lainnya yaitu Kombes (Pol) Dr. RM. Panggabean, SH, MH (Kabid Kumdang Divbinkum Polri), Ramelan, SH MH (Mantan Jampidsus Kejagung RI), Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, SH MH (Akademisi, Advokad & Tim Perumus RUU KUHAP) dan Prof. Dr. Andi Hamzah, SH (Tim Perumus RUU KUHAP). Lilik Mulyadi adalah Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Penulis Buku Ilmu Hukum dan Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Merdeka, Malang. 96 Andi Hamzah (1996), OP. cit., hal. 170.

13 pidana sebelum disidangkan harus dipelajari terlebih dahulu apakah surat dakwaan memenuhi syarat formil dan syarat materiil. 97 Menurut Lilik Mulyadi ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP merupakan syarat formil surat dakwaan. Sedangkan ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP merupakan syarat materiil surat dakwaan. Dikatakan Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP sebagai syarat formil karena ketentuan ini diperlukan untuk meneliti kebenaran terdakwa yang diadili sesuai dengan identitas terdakwa di dalam surat dakwaan penuntut umum. 98 Untuk memenuhi syarat formil dan syarat materiil dalam dakwaan, maka terhadap dakwaan tersebut harus pula dilakukan eksaminasi. 99 Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP dikatakan sebagai syarat materiil karena ketentuan ini merupakan bagian yang paling penting di dalam surat dakwaan. Sebab, jika surat dakwaan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, maka surat dakwaan tersebut menjadi batal demi hukum, artinya dakwaan tersebut dengan sendirinya tidak dapat dilanjutkan. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP yang pada intinya syarat surat dakwaan paling penting adalah harus diuraikan secara cermat, jelas, dan lengkap 97 Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Pidana Oleh Hakim Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura. Lampiran SK Ketua Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura Nomor: W4.U13/459/KP.01.10/IV/2012 Tanggal 24 April Lilik Mulyadi (I), Op. cit., hal Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-036/A/JA/09/2011 tenggal 21 September 2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum, (Jakarta: Kejagung RI, 2011), hal. 4 dan hal Lihat juga: Pasal 1 angka 11 jo Pasal 49, Pasal 50 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per- 036/A/JA/09/2011 Tenggal 21 September 2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. Eksaminasi adalah penelitian dan pemeriksaan berkas perkara di semua tingkat penanganan perkara oleh pimpinan untuk menilai kecakapan dan kemampuan teknis Jaksa/JPU dalam melaksanakan tugas atau penyelesaian suatu perkara dari sudut teknis yuridis maupun administrasi negara.

14 mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan. 100 Bilamana bertitik tolak pada ketentuan Pasal 143 ayat (3) KUHAP (vide: Pasal 50 ayat (4) RUU KUHAP), menurut Lilik Mulyadi mengatakan secara tegas hanya mengancam batal demi hukum (van rechtwege nietig atau null and void) terhadap syarat materiil surat dakwaan terkait pemenuhan syarat dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP (vide: Pasal 50 ayat (2) huruf b RUU KUHAP). Akan tetapi mengenai kapan dan dalam hal apa suatu dakwaan tidak dapat diterima tidak diatur. 101 Dalam hal ini perlu diketahui perbedaan antara dakwaan tidak dapat diterima dan dakwaan batal demi hukum. Keriteria suatu dakwaan tidak dapat diterima menurut pendapat Tirtaamidjaja dan Amin disebabkan faktor-faktor karena: 1) dituntutnya seseorang, padahal tidak ada pengaduan dari si korban dalam tindak pidana aduan (klacht delicten); 2) adanya daluwarsa hak menuntut sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP; 3) adanya unsur ne bis in idem sebagaimana diatur dalam Pasal 76 KUHP; dan 4) adanya keberatan terhadap apa yang didakwakan kepada terdakwa sedang diperiksa oleh pengadilan lain (asas exceptio litis pendentis). 102 M. Yahya Harahap menyebut terhadap empat 100 Lilik Mulyadi (I), Loc. cit. 101 Lilik Mulyadi (II), Op. cit., hal H. M. Tirtaamidjaja, Kedudukan Hakim dan Jaksa, (Jakarta: Fasco, 1955), hal. 71. Lihat juga: S. M. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1971), hal. 141.

15 faktor di atas, dengan istilah dakwaan tidak dapat diterima dan khusus ne bis in idem dapat juga disebut sebagai tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. 103 Sedangkan untuk dakwaan batal demi hukum disebabkan oleh karena faktor-faktor yang disebutkan di dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP tidak terpenuhi dalam surat dakwaan, atau tidak terpenuhinya syarat materiil dalam suatu dakwaan, maka batal demi hukum (bersifat wajib batal). Untuk dakwaan dapat dibatalkan disebabkan oleh karena faktor-faktor yang disebutkan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP tidak terpenuhi dalam surat dakwaan, atau tidak terpenuhinya syarat formil dalam surat dakwaan, maka terhadap dakwaan tersebut dapat diajukan pembatalannya (bersifat relatif), tergantung juga pada kualifikasi syarat formil yang tidak terpenuhi. M. Yahya Harahap bahkan mengatakan bahwa kekurangan syarat formil tidak menyebabkan surat dakwaan batal demi hukum. Surat dakwaan yang kekurangan syarat formil tidak dengan sendirinya batal menurut hukum (van rechtswege nietig / null end void), tetapi pembatalan surat dakwaan yang kekurangan syarat formil tersebut adalah dapat dibatalkan (vernietigbaar / voedable), karena hal itu dipandang sebagai kurang sempurna (imperpect). Kesalahan syarat formiil tidak bersifat prinsipil. Misalnya kesalahan menyebut umur tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan surat dakwaan Lilik Mulyadi (II), Op. cit., hal M. Yahya Harahap (II), Op. cit., hal. 391.

16 Kesalahan atas ketidaksempurnaan syarat formil masih dapat dibetulkan hakim dalam proses pemeriksaan. Pembetulan kekurangan syarat formil dalam surat dakwaan pada prinsipnya tidak menimbulkan sesuatu akibat hukum yang dapat merugikan terdakwa. Contoh jaksa penuntut umum lupa mencantumkan jenis kelamin terdakwa. Kelalaian demikian bertentangan dengan Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP, namun kelalaian seperti ini tidak sampai mempunyai kualitas yang bersifat membatalkan surat dakwaan, karena tanpa mencantumkan jenis kelamin terdakwa sekalipun masih dapat diidentifikasi pada diri terdakwa itu sendiri. 105 Menurut Andi Hamzah, dari Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, yang menjadi syarat mutlak adalah dicantumkannya: waktu terjadinya delik, tempat terjadinya delik, dan delik yang didakwakan (waktu, tempat, dan delik). Disebutkan sebagai syarat mutlak karena bila tidak disebutkan waktu, tempat, dan delik yang didakwakan menjadikan surat dakwaan tersebut batal, dasarnya adalah Pasal 143 ayat (3) KUHAP. 106 Surat dakwaan yang menjadi batal demi hukum itu disebut juga dengan van rechtswege nietig atau juga disebut dengan null end void. 107 Syarat mutlak yang disebut Andi Hamzah berarti sifatnya wajib, sama halnya dengan pendapat M. Yahya Harahap mengatakan syarat materiil tidak boleh 105 Marwan Mas, Penguatan Argumentasi Fakta-Fakta Persidangan dan Teori Hukum Dalam Putusan Hakim (Strenghtening the Argument on Legal Facts and Legal Theories in Judge-Made Laws) Kajian Putusan Nomor 181 K/Pid/2007/MA, Jurnal Yudisial, Vol. 5, No. 3, Desember 2012, hal Andi Hamzah (1996), Op. cit., hal Wilhelmus Taliak, Op. cit., hal. 82.

17 dilalaikan. Menurut M. Yahya Harahap syarat formal dan syarat materiil surat dakwaan adalah: 108 a. Syarat formal memuat hal-hal yang berhubungan dengan: 1) Surat dakwaan diberi tanggal dan tandatangan oleh penuntut umum/jaksa. 2) Nama lengkap, tempat lahir, umum atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka. b. Syarat materiil memuat dua unsur yang tidak boleh dilalaikan: 1) Uraian cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan. 2) Menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (tempus delicti dan locus delicti). Pemenuhan syarat-syarat formil dan materiil terkait dengan Pasal 143 ayat (2) KUHAP ini harus sinkron dengan hasil penyidikan, harus benar-benar sejalan dan seiring dengan hasil pemeriksaan penyidikan. Surat dakwaan yang menyimpang dari hasil pemeriksaan penyidikan merupakan surat dakwaan palsu dan tidak benar untuk dibawa ke sidang pengadilan. Materi surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan hakim dalam sidang pengadilan, tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan tindak pidana yang disangkakan oleh penyidik dalam berkas perkara penyidikan. 109 Menurut M. Yahya Harahap apabila surat dakwaan menyimpang dari hasil pemeriksaan surat penyidikan, maka hakim dapat menyatakan surat dakwaan tersebut tidak dapat diterima atas alasan isi surat dakwaan kabur (obscuur libel). 110 Terdakwa hanya dapat dijatuhi pidana jika terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang diuraikan dalam surat dakwaan M. Yahya Harahap (II), Loc. cit. 109 Marwan Mas, Op. cit., hal M. Yahya Harahap (II), Op. Cit., hal Marwan Mas, Loc. cit.

18 Berdasarkan Pasal 143 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP terbentuklah dua syarat yaitu syarat formil dan materiil. Kedua syarat ini harus dipenuhi dalam surat dakwaan. Akan tetapi undang-undang sendiri membedakan kedua syarat ini tepatnya di Pasal 143 ayat (3) KUHAP karena menurut pasal ini Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, maka syarat mutlak menyusun surat dakwaan adalah harus dicantumkannya uraian mengenai waktu dan tempat terjadinya delik, dan delik yang didakwakan. Syarat mutlak dalam surat dakwaan harus diuraikan secara, cermat, jelas, dan lengkap, karena konsekuensi juridis dari pelanggaran dan/atau tidak dipenuhinya syarat mutlak tersebut adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP, yaitu surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum. Terkait dengan syarat materiil dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP tentang hal-hal atau keadaan-keadaan yang memberatkan atau meringankan terdakwa, ada pendapat yang menarik antara Andi Hamzah dan M. Yahya Harahap. Sebagaimana Andi Hamzah berpendapat bahwa: Di dalam KUHAP Pasal 143 disebut syarat-syarat seperti tersebut di atas. Syarat yang mutlak ialah dicantumkannya waktu dan tempat terjadinya delik dan delik yang didakwakan. Selain daripada syarat-syarat tersebut, menurut peraturan lama dan kebiasaan, perlu pula disebut hal-hal dan keadaan-keadaan dalam mana delik dilakukan khususnya mengenai hal yang meringankan dan memberatkan. Kalau hal-hal dan keadaan-keadaan tidak disebut dalam

19 dakwaan tidak menjadikan batalnya dakwaan, 112 berlainan jika waktu dan tempat terjadinya delik serta delik yang didakwakan tidak disebut yang menjadikan dakwaan menjadi batal (Pasal 143 ayat 3 KUHAP). 113 Pendapat Andi Hamzah tersebut telah sesuai dengan jiwa Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP yang mempersempit pemaknaan dari syarat materiil. Sebagaimana diketahui bahwa mengenai hal-hal dan keadaan-keadaan yang memberatkan dan meringankan tidak lagi dimasukkan dalam rumusan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, namun keadaan-keadaan itu tidak bersifat wajib (mutlak). Ini berarti cukup dengan dirumuskannya delik pidana itu saja telah memenuhi syarat materiil. Merumuskan delik pidana berarti merumuskan cara-cara dilakukannya tindak pidana. Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP hanya menyebut uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan, bukan menyebut keadaankeadaan. Rumusan syarat materiil dalam ketentuan lama yaitu dalam Pasal 250 ayat (4) HIR ditentukan sebagai berikut: Apabila ditimbangnya, bahwa ada cukup alasan-alasan akan menuntut tersangka tentang kejahatan atau pelanggaran maka perkara itu diserahkan kepada persidangan pengadilan negeri dengan menyatakan dalam surat ketetapan itu perbuatan-perbuatan yang dituduhkan serta menerangkan kirakira pada waktu mana dan kira-kira di tempat mana perbuatan itu dilakukan kalau tidak disebut itu semuanya surat ketetapan batal, kecuali bila ada perubahan menurut Pasal 282. Dalam surat ketetapan itu diterangkan juga keadaan-keadaan waktu melakukan perbuatan itu, terutama benar hal-hal yang dapat meringankan atau memberatkan kesalahan yang tersangka. 114 Ia memerintahkan juga supaya surat-surat syah dan daftar-daftar asli yang 112 Garis bawah tersebut di atas merupakan penekanan dari penulis. 113 Andi Hamzah (1985), Op. cit., hal Garis bawah tersebut di atas merupakan penekanan dari penulis.

20 tersebut dalam Pasal 83 h diserahkan kepadanya dan untuk penerimaan ini diberikan surat tanda penerimaan. Berdasarkan rumusan syarat materiil dalam ketentuan Pasal 250 ayat (4) HIR tersebut dapat diketahui bahwa surat dakwaan adalah perbuatan-perbuatan yang ditudukan kepada si tertuduh serta kira-kira waktunya dan kira-kira dimana tempatnya perbuatan itu dilakukan. Dalam surat penetapan itu hendaklah diterangkan juga keadaan waktu perbuatan itu dilakukan sebagai hal-hal yang dapat meringankan atau memberatkan kesalahan si tertuduh. Jika hal-hal itu tidak disebut maka surat penetepan itu batal. Rumusan Pasal 250 ayat (4) HIR berbeda dengan rumusan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Rumusan Pasal 250 ayat (4) HIR menggunakan syarat materiil yang terlalu melebar dibandingkan dengan rumusan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP yang sangat sederhana. Rumusan hal-hal atau keadaan-keadaan yang dapat meringankan atau memberatkan terdakwa dalam rumusan Rumusan Pasal 250 ayat (4) HIR sebagai salah satu syarat materiil, tidak lagi dimasukkan dalam rumusan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Perbedaannya cukup jelas mengenai syarat materiil surat dakwaan antara ketentuan lama (HIR) dan ketentuan baru (KUHAP). Dalam HIR tidak ada menyebutkan bahwa dakwaan harus diuraikan secara jelas, cermat dan lengkap tentang tindak pidana yang didakwakan tetapi ada ditemukan hal-hal atau keadaankeadaan yang memberatkan atau meringankan terdakwa. Sedangkan dalam KUHAP harus diuraikan secara jelas, cermat dan lengkap tentang tindak pidana yang

21 didakwakan, dan tidak ditemukan hal-hal atau keadaan-keadaan yang memberatkan atau meringankan terdakwa. Menurut ketentuan lama syarat material wajib ditambah lagi dengan uraian yang meringankan atau memberatkan terdakwa, tetapi syarat ini dalam KUHAP tidak mutlak harus dicantumkan. Tidak dipenuhinya syarat-syarat mengenai hal-hal atau keadaan-keadaan yang memberatkan atau meringankan terdakwa berdasarkan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP tidak akan mengakibatkan batalnya surat dakwan. 115 Pandangan yang hampir sama dengan pendapat Andi Hamzah tersebut adalah juga dikemukakan oleh M. Yahya Harahap yang berpendapat berikut: 116 Fakta dan keadaan bukan termasuk syarat materiil. Sebab kalau dijabarkan apa yang menjadi isi syarat materiil surat dakwaan adalah: a. Uraian cermat, lengkap dan jelas mengenai tindak pidana yang didakwakan. Hal ini berarti uraian lengkap mengenai unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. b. Menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Pada syarat inipun tidak disebutkan mengenai fakta dan keadaan. 117 Yang disebutkan hanya mengenai waktu dan tempat kejadian. Baik pada syarat pertama dan kedua tidak disebut mengenai fakta dan keadaan. Oleh karena itu mengenai fakta dan keadaan bukan merupakan syarat materiil maupun syarat formal dalam surat dakwaan. Tanpa menyebutkan fakta dan keadaan dalam surat dakwaan, tidak mengurangi sahnya surat dakwaan. 118 Namun demikian, sebaliknya surat dakwaan sedapat mungkin memuat fakta dan keadaan yang meliputi tindak pidana yang didakwakan. Penguraian fakta dan keadaan yang lengkap dalam surat dakwaan, lebih memberi penjelasan kepada terdakwa dan hakim tentang tindak pidana yang didakwakan. Akan tetapi surat dakwaan yang tidak memuat uraian tentang fakta dan keadaan secara sempurna dan lengkap, tidak mengakibatkan batalnya surat dakwaan. 119 Hal ini ditegaskan dalam suatu 115 Matteus A. Rogahang, Op. cit., hal M. Yahya Harahap (II), Op. cit., hal Garis bawah tersebut di atas merupakan penekanan dari penulis. 118 Garis bawah tersebut di atas merupakan penekanan dari penulis. 119 Garis bawah tersebut di atas merupakan penekanan dari penulis.

22 Putusan Mahkamah Agung Nomor 36 K/Kr/1968 Tanggal 23 Agustus 1968 yang memuat: Walaupun surat tuduhan tidak menyebutkan fakta dan keadaan yang menyertai perbuatan yang dituduhkan tidak secara lengkap tergambar, tidak dengan sendirinya mengakibatkan batalnya putusan. Terkait dengan rumusan Pasal 143 ayat (3) KUHAP yang menegaskan: Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum, ada persamaan dan perbedaan pendapat antara Andi Hamzah dan M. Yahya Harahap terkait dengan pemenuhan syarat materiil dalam surat dakwaan. Sekalipun menurut Pasal 143 ayat (3) KUHAP dinyatakan batal demi hukum terhadap surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, namun antara keadaan-keadaan, fakta-fakta, dan cara melakukan tindak pidana perlu diketahui perbedaannya. Berdasarkan pendapat Andi Hamzah di atas dengan tegas mengatakan: Kalau hal-hal dan keadaan-keadaan tidak disebut dalam dakwaan tidak menjadikan batalnya dakwaan. Pendapat ini memiliki kesamaan dengan pendapat M. Yahya Harahap yang mengatakan: Fakta dan keadaan bukan termasuk syarat materiil, dan Tanpa menyebutkan fakta dan keadaan dalam surat dakwaan, tidak mengurangi sahnya surat dakwaan. Fakta dan keadaan menurut kedua pandangan ini bukan merupakan syarat materiil, artinya bilapun fakta-fakta dan keadaan-keadaan itu tidak disebutkan dalam surat dakwaan, tidak membuat surat dakwaan itu menjadi batal demi hukum. Secara keseluruhan rumusan dalam Pasal 143 KUHAP tidak memberikan penjelasan dan pengertian lebih lanjut tentang cara menyusun uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai delik yang didakwakan dengan menyebut waktu dan

23 tempat delik itu dilakukan. Oleh karena itu dalam prakteknya, pengertian dan cara penguraian cermat, jelas, dan lengkap tersebut diserahkan kepada yurisprudensi dan doktrin yang berlaku. 120 Menurut Jonkers, yang harus dimuat dalam surat dakwaan selain menguraikan perbuatan yang sungguh-sungguh dilakukan bertentangan dengan hukum pidana, juga harus memuat unsur-unsur yuridis kejahatan yang bersangkutan. Artinya, surat dakwaan harus memuat dan menguraikan sedemikian rupa, sehingga jelas dan terang bahwa suatu perbuatan sungguh-sungguh telah dilakukan (syarat materiil). Termasuk dalam uraian yang jelas dan lengkap adalah tentang bagaimana (cara-cara) perbuatan dilakukan dalam kaitan dengan perumusan delik dalam hukum pidana serta dimana tercantum larangan atas perbuatan itu. 121 KUHAP sendiri khususnya pada Pasal 143 ayat (2) KUHAP tidak menggariskan dan menjelaskan dengan tegas fakta dan keadaan sebagai syarat materiil. Akibatnya dalam praktik beracara menimbulkan permasalahan. Oleh karena itu untuk meminimalisir permasalahan dalam praktik beracara itu, maka Putusan Mahkamah Agung Nomor 36 K/Kr/1968 Tanggal 23 Agustus 1968 dapat dipedomani sebagai yurisprudensi untuk menilai surat dakwaan yang tidak secara lengkap memuat fakta dan keadaan, tidak dengan sendirinya mengakibatkan batalnya surat dakwaan diakses tanggal 29 November 2015, Nota Keberatan Atas Surat Dakwaan Nomor Register Perkara: PDM-1305/JKT.PST/07/05 pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Dalam Perkara Atas Nama Terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto oleh Tim Penasehat Hukum Terdakwa, Mohamad Assegaf dkk, hal Ibid.

24 M. Yahya Harahap menyarankan bahwa harus dibedakan pengertian fakta dan/atau keadaan dengan cara melakukan tindak pidana. Cara melakukan tindak pidana menurutnya merupakan syarat materiil surat dakwaan, misalnya terdakwa didakwa membunuh, tetapi surat dakwaan tidak menyebutkan secara jelas cara pembunuhan dilakukan oleh terdakwa. Dakwaan yang demikian adalah kabur sehingga persidangan tidak tahu arah bagaimana membuktikan kesalahan terdakwa. Lain halnya mengenai fakta dan/atau keadaan yang lebih mendekati masalah pembuktian dan berhubungan dengan hal-hal yang memberatkan hukuman. Oleh karena fakta dan/atau keadaan ini lebih dekat dengan masalah alat pembuktian maka fakta dan/atau keadaan itu dapat dikemukakan oleh jaksa dalam persidangan. 122 Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa dalam pemenuhan syarat materiil surat dakwaan hanya ada tiga hal pokok penting yang harus dipenuhi, yaitu 1) Waktu tindak pidana dilakukan (tempus delicti), 2) Tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti), dan 3) Uraian cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan. Syarat ketiga merupakan cara-cara tindak pidana dilakukan. Namun perlu diketahui pula bahwa mengenai syarat ketiga tidak perlu disebutkan mengenai fakta dan/atau keadaan-keadaan terkait dengan tindak pidana itu, cukup dengan menyebutkan cara-cara tindak pidana itu dilakukan. 3. Bentuk-Bentuk Surat Dakwaan Pasal 140 ayat (1) KUHAP menentukan: Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu 122 M. Yahya Harahap (II), Loc. cit.

25 secepatnya membuat surat dakwaan. KUHAP tidak menyebut bentuk-bentuk surat dakwaan yang harus disusun oleh penuntut umum. Demikian juga dalam Pasal 143 ayat (1) KUHAP menentukan: Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara disertai dengan surat dakwaan. Bentuk-bentuk surat dakwaan dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan, didasarkan pada Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE-004/J.A/11/1993 Tentang Pembuatan Surat Dakwaan. Surat edaran ini ditujukan agar ada keseragaman para penuntut umum dalam membuat surat dakwaan. Dalam surat edaran tersebut dikenal ada 4 (empat) bentuk surat dakwaan yaitu: dakwaan tunggal (surat dakwaan biasa), dakwaan alternatif, dakwaan kumulatif, dan dakwaan subsidair (bersusun lapis). a. Dakwaan tunggal Bentuk surat dakwaan tunggal menurut M. Yahya Harahap disebut juga dengan surat dakwaan biasa. Surat dakwaan tunggal hanya berisi satu dakwaan saja. Perumusan dakwaan tunggal umumnya dijumpai dalam tindak pidana yang jelas serta tidak mengandung faktor penyertaan (deelneming) atau faktor perbarengan (concurcus) atau alternatif atau faktor subsidair. 123 Dalam surat dakwaan tunggal hanya diperuntukkan untuk satu tindak pidana saja yang didakwakan, karena tidak 123 M. Yahya Harahap (II), Op. cit., hal Contohnya dari hasil penyidikan terhadap tindak pidana pencurian biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUH Pidana hanya dilakukan oleh pelaku dengan sendiri.

26 terdapat kemungkinan untuk mengajukan alternatif atau dakwaan pengganti lainnya. 124 Jaksa penuntut umum dalam menentukan surat dakwaan tunggal, harus benarbenar yakin bahwa dengan dakwaan tunggal tersebut terdakwa tidak lepas dari jeratan hukum sesuai dengan yang didakwakan. Kelemahan dari surat dakwaan tunggal mengandung risiko besar, jika dakwaan tunggal tersebut gagal, maka tidak ada alternatif lain bagi hakim kecuali membebaskan terdakwa (vrijspraak). 125 Baik pelakunya maupun ketentuan tindak pidana yang dilanggar sedemikian rupa harus jelas dan sederhana, sehingga surat dakwaannya cukup dirumuskan dalam bentuk dakwaan tunggal. Misalnya, suatu perbuatan dilakukan hanya sendiri oleh terdakwa, tidak menyentuh faktor penyertaan atau perbarengan atau alternatif atau subsidair. Jika demikian halnya, cukup merumuskan dakwaan tunggal dengan uraian secara jelas dan memenuhi syarat perbuatan melawan hukum materiil dan formil yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP diakses tanggal 2 Desember 2015, Artikel ditulis oleh Marry Margaretha Saragih, Bentuk-Bentuk Surat Dakwaan, dipublikasikan di website hukumonline, tanggal 29 Maret Lilik Mulyadi (I), Op. cit., hal Pasal 143 KUHAP menentukan: menentukan: a. Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadii perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. b. Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: 1) Nama Iengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; 2) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan termpat tindak pidana itu dilakukan. c. Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.

27 b. Dakwaan alternatif Bentuk surat dakwaan alternatif disebut juga dengan dakwan pilihan (keuze tenlastelegging). Sehingga bilamana penuntut umum menggunakan dakwaan alternatif, maka hakim dapat secara langsung memilih untuk menentukan dakwaan mana yang cocok sesuai dengan yang terbukti di persidangan. 127 Menurut M. Yahya Harahap dakwaan alternatif ini disebut juga dengan dakwaan yang saling mengecualikan dan memberikan pilihan. Tujuan dakwaan alternatif adalah untuk mencegah pelaku terlepas atau bebas dari pertanggungjawaban hukum pidana. Tujuannya juga untuk memberi pilihan kepada hakim untuk menerapkan hukum yang lebih tepat. 128 Dakwaan yang berbentuk alternatif bersifat saling mengecualikan dan memberikan pilihan kepada hakim atau pengadilan untuk menentukan dakwaan mana yang tepat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang dilakukan. Ciri-ciri dakwaan alternatif dihubungkan dengan kata sambung atau yang berartti memberikan pilihan bagi hakim untuk menerapkan salah satu di antara dakwaan-dakwaan yang diajukan. Menurut van Bemmelen, surat dakwaan alternatif dibuat apabila penuntut umum tidak begitu yakin (ragu) dari berbagai perbuatan delik akan terbukti di sidang pengadilan misalnya delik pencurian atau penadahan. Van Bemmelen menegaskan d. Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan. dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri. 127 Ibid., hal M. Yahya Harahap (II), Op. cit., hal. 400.

28 surat dakwaan alternatif bersifat saling mengecualikan antara satu sama lain. Hakim dapat mengadakan pilihan dari dakwaan-dakwaan terhadap delik. Hakim bebas memilih dan menyatakan dakwaan yang terbukti tanpa memeriksa dan memutuskan terlebih dahulu terhadap dakwaan lainnya. Misalnya hakim menyatakan dakwaan kedua terbukti, oleh karena itu hakim tidak perlu lagi memeriksa dan memutuskan dakwaan pertama. 129 Sebagaimana diketahui bahwa dalam surat dakwaan alternatif terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapat kepastian tentang Tindak Pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. Dalam dakwaan alternatif, meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, hanya satu dakwaan saja yang dibuktikan tanpa harus memperhatikan urutannya dan jika salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam bentuk surat dakwaan ini, antara lapisan satu dengan yang lainnya menggunakan kata sambung atau. 130 Contoh dakwaan alternatif: Pertama: Pencurian (Pasal 362 KUHP) atau kedua: penadahan (Pasal 480 KUHP). Sekiranya hakim berpendapat bahwa dakwaan yang satu tidak tepat atau tidak terbukti, hakim dapat beralih memilih dakwaan berikutnya. Itu sebabnya dakwaan alternatif disebut dengan dakwaan yang 129 Andi Hamzah (1996), Op. cit., hal diakses tanggal 2 Desember 2015, Artikel ditulis oleh Marry Margaretha Saragih, Bentuk-Bentuk Surat Dakwaan, dipublikasikan di website hukumonline, tanggal 29 Maret 2012.

29 memberikan kesempatan kepada hakim memilih salah satu di antara dakwaan yang diajukan dalam surat dakwaan. Cara pemeriksaan dakwaan yang bersifat alternatif pertama kali hakim harus memeriksa dan mempertimbangkan terlebih dahulu dakwaan pada urutan pertama, jika dakwaan pada urutan pertama terbukti, maka pemeriksaan untuk dakwaan selanjutnya tidak perlu diperiksa dan dipertimbangkan lagi oleh hakim. Jika dakwaan pertama ternyata tidak terbukti, maka barulah hakim melanjutkan dakwaan yang selanjutnya dengan ketentuan harus membebaskan terdakwa dari dakwaan pertama yang tidak terbukti tersebut dan menjatuhkan hukum terhadap dakwaan berikutnya yang dianggap terbukti. Pemeriksaan terhadap dakwaan alternatif juga dapat dilakukan dengan cara memeriksa dakwaan secara keseluruhan, dari hasil pemeriksaan atas keseluruhan isi dakwaan, maka barulah hakim memilih dakwaan mana yang paling tepat menurutnya untuk dijatuhkan kepada terdakwa. c. Dakwaan kumulasi Menentukan dakwaan kumulasi atau kumulatif maksudnya adalah surat dakwaan yang disusun berupa rangkaian dari beberapa dakwaan atau disebut juga dengan gabungan dari beberapa dakwaan sekaligus. Dakwaan kumulasi ini dapat dilakukan pada saat yang sama dan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan yang sama, kepada terdakwa diajukan gabungan beberapa dakwaan sekaligus. Tata cara

30 pengajuan dakwaan kumulasi disebut juga penggabungan perkara dalam satu surat dakwaan. 131 Bentuk surat dakwaan kumulasi dipergunakan dalam hal terdakwa melakukan beberapa tindak pidana yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. Contoh dakwaan kumulatif: kesatu: pembunuhan (Pasal 338 KUHP) dan kedua: pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP) dan ketiga: Perkosaan (Pasal 285 KUHP). 132 Bentuk surat dakwaan kumulasi dipergunakan dalam hal terdakwa atau para terdakwa yang melakukan lebih dari satu perbuatan pidana (delik), misalnya di samping terdakwa atau para terdakwa melakukan perbuatan pencurian biasa, juga membawa senjata api tanpa izin yang berwajib. 133 Dalam hal ini surat dakwaan harus disusun secara kumulatif, terdakwa atau para terdakwa didakwa dua macam perbuatan pidana (delik) sekaligus, yaitu pencurian biasa dan membawa senjata api tanpa izin dari yang berwajib. Dengan demikian dakwaan akan disusun sebagai dakwaan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Apabila suatu dakwaan disusun secara kumulatif, maka terhadap tiap-tiap perbuatan pidana (delik) itu harus dibuktikan tersendiri-sendiri pula, walaupun pidananya disesuaikan dengan peraturan tentang delik gabungan (samenloop) dalam Pasal 63 s/d Pasal 71 KUHAP Ibid., hal diakses tanggal 2 Desember 2015, Artikel ditulis oleh Marry Margaretha Saragih, Bentuk-Bentuk Surat Dakwaan, dipublikasikan di website hukumonline, tanggal 29 Maret Andi Hamzah (1985), Op. cit., hal Andi Hamzah (1996), Op. cit., hal. 188.

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM JIKA SURAT DAKWAAN DINYATAKAN OBSCUUR LIBEL OLEH HAKIM 1 Oleh: Dahriyanto Imani 2

AKIBAT HUKUM JIKA SURAT DAKWAAN DINYATAKAN OBSCUUR LIBEL OLEH HAKIM 1 Oleh: Dahriyanto Imani 2 AKIBAT HUKUM JIKA SURAT DAKWAAN DINYATAKAN OBSCUUR LIBEL OLEH HAKIM 1 Oleh: Dahriyanto Imani 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana syarat-syarat membuat surat dakwaan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM SURAT DAKWAAN BATAL DAN SURAT DAKWAAN DINYATAKAN TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM PERKARA PIDANA 1 Oleh : Wilhelmus Taliak 2

AKIBAT HUKUM SURAT DAKWAAN BATAL DAN SURAT DAKWAAN DINYATAKAN TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM PERKARA PIDANA 1 Oleh : Wilhelmus Taliak 2 AKIBAT HUKUM SURAT DAKWAAN BATAL DAN SURAT DAKWAAN DINYATAKAN TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM PERKARA PIDANA 1 Oleh : Wilhelmus Taliak 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack Vol. 23/No. 9/April/2017 Jurnal Hukum Unsrat Kumendong W.J: Kemungkinan Penyidik... KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1 Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Email:wempiejhkumendong@gmail.com Abstrack

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 TENTANG PEMBUATAN SURAT DAKWAAN

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 TENTANG PEMBUATAN SURAT DAKWAAN I. PENDAHULUAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 TENTANG PEMBUATAN SURAT DAKWAAN Menurut hasil eksaminasi perkara terutama perkara-perkara

Lebih terperinci

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2 KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,

Lebih terperinci

RUU KUHAP DARI PERSPEKTIF SEORANG HAKIM 1. Oleh: Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. 2. Saat ini selaku hukum positif (ius constitutum) hukum acara pidana

RUU KUHAP DARI PERSPEKTIF SEORANG HAKIM 1. Oleh: Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. 2. Saat ini selaku hukum positif (ius constitutum) hukum acara pidana RUU KUHAP DARI PERSPEKTIF SEORANG HAKIM 1 Oleh: Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. 2 I. Pendahuluan Saat ini selaku hukum positif (ius constitutum) hukum acara pidana yang diterapkan pada kebijakan aplikatif

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-69/E/02/1997 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana -------------------------------- Jakarta, 19 Pebruari 1997 KEPADA

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu masyarakat tertentu atau dalam Negara tertentu saja, tetapi merupakan permasalahan

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 3.1 Dasar Filosofis Asas Ne Bis In Idem Hak penuntut umum untuk melakukan penuntuttan terhadap setiap orang yang dituduh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan suatu perkara pidana dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan mempertimbangkan dan menilai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185. KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT KUHAP 1 Oleh: Sofia Biloro 2 Dosen Pembimbing: Tonny Rompis, SH, MH; Max Sepang, SH, MH ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 2/April/2015. KAJIAN YURIDIS DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Yessy Paramita Samadi 2

Lex Crimen Vol. IV/No. 2/April/2015. KAJIAN YURIDIS DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Yessy Paramita Samadi 2 KAJIAN YURIDIS DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Yessy Paramita Samadi 2 ABSTRAK Tujuan dilakuakn penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan dakwaan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 1/Jan-Feb/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 1/Jan-Feb/2017 KAJIAN YURIDIS PERUBAHAN PENUNTUTAN OLEH JAKSA DALAM PERKARA PIDANA MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1981 1 Oleh : Christian Gerald Wangke 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A. PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A. Supit 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan permasalahan serta hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

Lebih terperinci

PENYIDIKAN TAMBAHAN DALAM PERKARA PIDANA

PENYIDIKAN TAMBAHAN DALAM PERKARA PIDANA PENYIDIKAN TAMBAHAN DALAM PERKARA PIDANA Oleh : I Made Wahyu Chandra Satriana ABSTRACT The obligation for investigators to conduct additional investigation, in case of the return of the case file from

Lebih terperinci

BAB III PERTIMBANGAN PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUAT SURAT DAKWAAN SECARA TERPISAH

BAB III PERTIMBANGAN PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUAT SURAT DAKWAAN SECARA TERPISAH BAB III PERTIMBANGAN PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUAT SURAT DAKWAAN SECARA TERPISAH Di dalam hukum acara pidana secara garis besar tahapan-tahapan dalam hukum acara pidana dibagi dalam 5 (lima) tahapan, yaitu:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan mengenai Surat Dakwaan a. Pengertian Surat Dakwaan Surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa

Lebih terperinci

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa balinewsnetwork.com Mantan Bupati Jembrana, I Gede Winasa membantah tudingan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyebut dirinya

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto * Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum Cakra Nur Budi Hartanto * * Jaksa Kejaksaan Negeri Salatiga, mahasiswa Magister (S-2) Ilmu Hukum UNISSULA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

Berlin Nainggolan: Hapusnya Hak Penuntutan Dalam Hukum Pidana, 2002 USU Repository

Berlin Nainggolan: Hapusnya Hak Penuntutan Dalam Hukum Pidana, 2002 USU Repository USU Repository 2006 DAFTAR ISI Kata Pengantar... i Daftar Isi... ii A. Pengertian... 1-2 B. Dasar Peniadaan Penuntutan... 3-6 C. Hapusnya Hak Menuntut... 7-13 Kesimpulan... 14 Daftar Pustaka...... 15 ii

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasar atas

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

BAB III PENUTUP. maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut : BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut : Konsekuensi bagi Jaksa yang tidak menggunakan kewenangannya dalam

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016. EKSEPSI DALAM KUHAP DAN PRAKTEK PERADILAN 1 Oleh : Sorongan Terry Tommy 2

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016. EKSEPSI DALAM KUHAP DAN PRAKTEK PERADILAN 1 Oleh : Sorongan Terry Tommy 2 EKSEPSI DALAM KUHAP DAN PRAKTEK PERADILAN 1 Oleh : Sorongan Terry Tommy 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apa alasan terdakwa atau penasehat hukumnya mengajukan eksepsi

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM SURAT DAKWAAN. Lembaga penuntut umum seperti yang kita kenal sekarang berasal dari

BAB II TINJAUAN UMUM SURAT DAKWAAN. Lembaga penuntut umum seperti yang kita kenal sekarang berasal dari BAB II TINJAUAN UMUM SURAT DAKWAAN Sebelum membahas tentang surat dakwaan terlebih dahulu sedikit dibahas mengenai lembaga yang berhak sebagai penuntut umum didalam persidangan. Lembaga penuntut umum seperti

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2 KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apa tujuan pembuktian

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2 GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi alasan ganti kerugian

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. A. Simpulan

BAB IV PENUTUP. A. Simpulan 1 BAB IV PENUTUP Setelah melakukan analisa terhadap permasalahan yang diteliti, maka pada akhir penulisan hukum ini penulis menyampaikan simpulan dan saran. Dalam simpulan dan saran ini akan dimuat suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia merupakan pedoman yang sangat penting dalam mewujudkan suatu keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah dasar yang kuat

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017 KAJIAN YURIDIS TERHADAP PENANGGUHAN PENAHANAN DENGAN JAMINAN ORANG BERDASARKAN PASAL 31 KUHAP 1 Oleh : Nurul Auliani 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui siapa pejabat yang

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Hukum tertulis yang berlaku di Indonesia mendapat pengaruh dari hukum Barat, khususnya hukum Belanda. 1 Pada tanggal 1 Mei 1848 di negeri Belanda berlaku perundang-undangan

Lebih terperinci

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hakikat dari tindak pidana ringan dan bagaimana prosedur pemeriksaan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017 PROSES PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Raymond Lontokan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa bentuk-bentuk perbuatan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Algra, N.E., dkk, Kamus Hukum Belanda Indonesia, Bandung: Binacipta, 1997.

DAFTAR PUSTAKA. Algra, N.E., dkk, Kamus Hukum Belanda Indonesia, Bandung: Binacipta, 1997. DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta: Kencana, 2009. Algra, N.E.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Jaksa Penuntut Umum a. Pengertian Kejaksaan Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Pengertian Penuntut Umum Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, membedakan pengertian istilah antara Jaksa dan Penuntut Umum. Menurut ketentuan Bab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana diketahui salah satu asas yang dianut oleh KUHAP adalah asas deferensial fungsional. Pengertian asas diferensial fungsional adalah adanya pemisahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 ABSTRAK Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif, di mana penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016 PEMECAHAN PERKARA PIDANA (SPLITSING) SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMPERCEPAT PROSES PEMBUKTIAN 1 Oleh: Christian Rompas 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui sebuah perkara dilakukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman

II. TINJAUAN PUSTAKA. tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertimbangan dalam Putusan Hakim Hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan putusan dalam setiap pengadilan perkara tindak pidana, hal tersebut sesuai dengan bunyi UU No. 48 tahun

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016 PENANGKAPAN DAN PENAHANAN SEBAGAI UPAYA PAKSA DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Hartati S. Nusi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana alasan penangkapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak pidana yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah tindak pidana pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan merupakan suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017 KEWAJIBAN PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PEMERIKSAAN TERHADAP TERSANGKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Christian Tambuwun 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

APA ITU CACAT HUKUM FORMIL?

APA ITU CACAT HUKUM FORMIL? APA ITU CACAT HUKUM FORMIL? Oleh : Kolonel Chk Hidayat Manao, SH, MH Kadilmil II-09 Bandung Dalam praktek peradilan hukum pidana, baik Penyidik POM TNI, Oditur Militer, Penasihat Hukum (PH) dan Hakim Militer

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2 KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM KARYA ILMIAH KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM O L E H : DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. : 19580724 1987031003 KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti yang tercantum pada pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam persidangan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan terdakwa mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono yang dilaksanakan di

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017 WEWENANG PRA PENUNTUTAN PENUNTUT UMUM DALAM PASAL 14 HURUF B KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KAJIAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 130/PUU-XIII/2015) 1 Oleh: Kalvin Kawengian 2 ABSTRAK Tujuan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus KAJIAN HUKUM TERHADAP PROSEDUR PENANGKAPAN OLEH PENYIDIK MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1981 1 Oleh: Dormauli Lumban Gaol 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimanakah prosedur

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan 78 BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan tuntutan ganti kerugian akibat tidak sahnya penangkapan dan penahanan melalui proses praperadilan, maka dapat

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

PETUNJUK PENGISIAN ADVISBLAAD HAKIM BANDING

PETUNJUK PENGISIAN ADVISBLAAD HAKIM BANDING PETUNJUK PENGISIAN ADVISBLAAD HAKIM BANDING I. Mempelajari Berkas Perkara 1. Bentuk Dakwaan: a. Tunggal : Adalah tehadap Terdakwa hanya didakwakan satu perbuatan yang memenuhi Uraian dalam satu Pasal tertentu

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-189/E/5/95 Sifat : - Lampiran : - Perihal : Pola Penanganan dan Penyelesaian Perkara Kehutanan Jakarta, 3 Mei 1995 KEPADA YTH. Para Kepala Kejaksaan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2 PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana ketentuan-ketentuan mengenai penahanan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan dengan asas-asas dan norma-normanya dan juga oleh

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan dengan asas-asas dan norma-normanya dan juga oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan hukum pidana, ditandai oleh perubahan peraturan perundang-undangan dengan asas-asas dan norma-normanya dan juga oleh dinamika doktrin dan ajaran-ajaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kewenangan Pengadilan Tinggi dalam menjatuhkan sebuah putusan akhir ternyata masih ada yang menimbulkan permasalahan. Untuk itu dalam bab tinjauan pustaka ini, penulis hendak menguraikan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013 HAK TERDAKWA MELAKUKAN UPAYA HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA 1 Oleh : Bilryan Lumempouw 2 Upaya hukum merupakan hak yang penting bagi terdakwa dalam pembuktian bahwa dirinya tidak bersalah, sekaligus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum acara pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu dianggap tidak pernah ada (never existed) dari sejak semula, atau putusan itu

BAB I PENDAHULUAN. yaitu dianggap tidak pernah ada (never existed) dari sejak semula, atau putusan itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Putusan batal demi hukum adalah suatu putusan yang memiliki akibat hukum yaitu dianggap tidak pernah ada (never existed) dari sejak semula, atau putusan itu tidak memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendahuluan sebelum pemeriksaan sidang di pengadilan. 1 Istilah praperadilan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendahuluan sebelum pemeriksaan sidang di pengadilan. 1 Istilah praperadilan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Praperadilan 2.1.1 Pengertian Praperadilan : Secara harfiah pengertian praperadilan dalam KUHAP memiliki arti yang berbeda, Pra memilik arti mendahului dan praperadilan sama

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis diatas maka dapat ditarik kesimpulan

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis diatas maka dapat ditarik kesimpulan BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan dalam penulisan hukum ini yaitu : 1. Ketentuan Pasal 263 KUHAP

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Dakwaan a) Pengertian Surat Dakwaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) tidak mengatur mengenai adanya Surat Dakwaan. Surat dakwaan

Lebih terperinci