BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan mengenai Surat Dakwaan a. Pengertian Surat Dakwaan Surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan (M. Yahya Harahap, 2012: ). b. Fungsi Surat Dakwaan Sebagai suatu akta, maka surat dakwaan mempunyai fungsi yang sangat dominan dalam proses pidana. Fungsi-fungsi surat dakwaan adalah (Harun M. Husein, 1994: 94-95): 1) Merupakan dasar dan sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan sidang; 2) Fungsi surat dakwaan bagi penuntut umum, hakim, dan terdakwa/penasihat hukum: a) Bagi Penuntut Umum Surat dakwaan merupakan dasar pelimpahan perkara. Dalam tahap selanjutnya, surat dakwaan itu menjadi dasar pembuktian/pembahasan yuridis, dasar tuntutan pidana, dan akhirnya merupakan dasar upaya hukum. b) Bagi Hakim Surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan, membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dasar pertimbangan dan dasar pengambilan keputusan tentang bersalah tidaknya terdakwa dalam tindak pidana yang didakwakan kepadanya. 14

2 15 c) Bagi Terdakwa/Penasihat Hukum Surat dakwaan merupakan dasar untuk mempersiapkan pembelaan dan oleh karena itulah surat dakwaan harus disusun secara cermat, jelas, dan lengkap. Surat dakwaan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, akan merugikan hak pembelaan terdakwa dan oleh karenanya dapat dinyatakan batal demi hukum. c. Syarat Surat Dakwaan Mengenai syarat surat dakwaan dapat dilihat pada Pasal 143 KUHAP. Ditentukan dua syarat yang harus dipenuhi surat dakwaan: 1) Syarat Formal a) Surat dakwaan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umum/jaksa; b) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka. 2) Syarat Materiil a) Uraian cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan; b) Menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (tempus delicti dan locus delicti). Kekurangan syarat formal tidak menyebabkan surat dakwaan batal demi hukum ( van rechtswege nietig atau null and void), tapi dapat dibatalkan atau vernietigbaar (voedable) karena sifat kekurangsempurnaan pencantuman syarat formal dianggap bernilai imperfect (kurang sempurna). Kesalahan atau ketidaksempurnaan syarat formal dapat dibetulkan hakim dalam putusan, sebab pembetulan syarat formal dakwaan, pada pokoknya tidak menimbulkan sesuatu akibat hukum yang dapat merugikan terdakwa. Sedangkan kekurangan syarat materiil mengakibatkan surat dakwaan batal demi hukum (M. Yahya Harahap, 2012: 391-

3 16 392) hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat (3) KUHAP yang mengancam dengan tegas bahwa surat dakwaan yang tidak cermat, jelas dan lengkap dan tidak sepenuhnya memuat syarat materil pada surat dakwaan mengakibatkan dakwaan batal demi hukum. Surat dakwaan yang tidak memenuhi syarat materil adalah merupakan surat dakwaan null and void atau van reechts wege nietig. (Matteus A. Rogahang, 2012: 111) Pengubahan surat dakwaan juga dapat terjadi, mengubah surat dakwaan diatur dalam Pasal 144 KUHAP yang berbunyi: 1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya. 2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya 7 (tujuh ) hari sebelum sidang dimulai. 3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan, ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik. Dari ketentuan diatas dapatlah disimpulkan: 1) Perubahan surat dakwaan dilakukan oleh Penuntut Umum; 2) Waktu perubahan tersebut adalah 7 (tujuh) hari sebelum sidang; 3) Perubahan surat dakwaan hanya satu kali saja; 4) Turunan perubahan surat dakwaan haruslah diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum atau penyidik. Rupanya yang diatur dalam KUHAP adalah prosedur perubahan surat dakwaan, sedangkan materi surat dakwaan tidak diatur apa yang diperbolehkan atau apa yang tidak boleh diubah. (Willhelmus Taliak, 2015:80)

4 17 Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 15K/Kr/1969 tanggal 13 Pebruari 1971 menyatakan dengan tegas bahwa perubahan tuduhan yang dimaksud Pasal 282 HIR adalah perubahan yang tidak mengakibatkan timbulnya perbuatan pidana lain. (Willhelmus Taliak, 2015: 81) d. Bentuk Surat Dakwaan 1) Surat Dakwaan Biasa Bentuk surat dakwaan biasa adalah surat dakwaan yang disusun dalam rumusan tunggal. Surat dakwaan hanya berisi satu saja dakwaan. Umumnya perumusan dakwaan tunggal dijumpai dalam tindak pidana yang jelas serta tidak mengandung faktor penyertaan (mededaderschap) atau faktor concursus maupun faktor alternatif atau faktor subsidair. Baik pelakunya maupun tindak pidana yang dilanggar sedemikian rupa jelas dan sederhana, sehingga surat dakwaan cukup dirumuskan dalam bentuk tunggal (M.Yahya Harahap, 2012: 398). Seorang atau lebih terdakwa mungkin melakukan satu macam perbuatan saja, misalnya pencurian (biasa) ex Pasal 362 KUHP. Dalam hal seperti itu, dakwaan disusun secara tunggal, yaitu pencurian (biasa) itu (Andi Hamzah, 2011: 184). 2) Surat Dakwaan Alternatif Antara isi rumusan dakwaan yang satu dengan yang lain saling mengecualikan dan memberi pilihan kepada hakim atau pengadilan untuk menentukan dakwaan mana yang tepat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang dilakukannya. Jadi, antara satu dakwaan dengan dakwaan yang lain tersirat perkataan atau yang memberi pilihan kepada hakim untuk menerapkan salah satu di antara dakwaan-dakwaan yang diajukan. Sekiranya hakim berpendapat bahwa dakwaan yang satu tidak tepat

5 18 dan tidak terbukti, hakim dapat beralih memilih dakwaan berikutnya (M.Yahya Harahap, 2012: ). Dakwaan alternatif dibuat dalam dua hal menurut Van Bemmelen, yaitu sebagai berikut: 1. Jika penuntut umum tidak mengetahui perbuatan mana apakah yang satu ataukah yang lain akan terbukti nanti di persidangan suatu perbuatan apakah merupakan pencurian ataukah penadahan. 2. Jika penuntut umum ragu, peraturan hukum pidana yang mana yang akan diterapkan oleh hakim atas perbuatan yang menurut pertimbangannya telah nyata tersebut. Dalam hal dakwaan alternatif yang sesungguhnya, maka menurut Van Bemmelen, masing-masing dakwaan tersebut saling mengecualikan satu sama lain. Hakim dapat mengadakan pilihan dakwaan mana yang telah terbukti dan bebas untuk menyatakan bahwa dakwaan kedua yang telah terbukti tanpa memutuskan terlebih dahulu mengenai dakwaan pertama (Andi Hamzah, 2011: 185). 3) Surat Dakwaan Subsidair Bentuk dakwaan yang terdiri dari dua atau beberapa dakwaan yang disusun dan dijejerkan secara berurutan (berturut -turut), mulai dari dakwaan tindak pidana yang terberat sampai kepada dakwaan tindak pidana yang teringan. Pada lazimnya ditinjau dari teori dan praktek bentuk dakwaan subsidair diajukan, apabila peristiwa tindak pidana yang terjadi menimbulkan suatu akibat dan akibat yang timbul itu meliputi atau bertitik singgung dengan beberapa ketentuan pasal pidana yang hampir saling berdekatan cara melakukan tindak pidana tersebut (M. Yahya Harahap, 2012: 402).

6 19 Dalam hal ini pembuat dakwaan bermaksud agar hakim memeriksa terlebih dahulu dakwaan primair dan jika ini tidak terbukti, barulah memeriksa dakwaan subsidair (Andi Hamzah, 2011: 185). 4) Surat Dakwaan Kumulasi Surat dakwaan kumulasi bisa juga disebut dakwaan yang berbentuk multiple, yakni surat dakwaan yang disusun berupa rangkaian dari beberapa dakwaan atas kejahatan atau pelanggaran. Menurut Pasal 141 KUHAP, penuntut umum dapat mengajukan dakwaan yang berbentuk kumulasi atau kumulatif apabila dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan menerima beberapa berkas perkara dalam hal: a) Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungan. b) Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain. Tentang ketentuan huruf b ini, KUHAP memberi penegasan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 141 huruf b, sebagai berikut: yang dimaksud dengan tindak pidana dianggap mempunyai sangkut-paut satu dengan yang lain, apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh: (1) Lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat yang bersamaan; (2) Lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda akan tetapi merupakan pelaksanaan dari mufakat jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya; (3) Satu orang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang akan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindak pidana.

7 20 c) Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. Kesimpulan yang dapat ditarik dari ketentuan pasal maupun penjelasan, adanya wewenang penuntut umum untuk mengajukan dakwaan yang berbentuk kumulasi, baik kumulasi perkara tindak pidana maupun sekaligus kumulasi terdakwa dengan kumulasi dakwaannya (M.Yahya Harahap, 2012: ). Apabila suatu dakwaan secara kumulatif, maka tiap perbuatan (delik) itu harus dibuktikan sendiri-sendiri pula, walaupun pidananya disesuaikan dengan peraturan tentang delik gabungan ( samenloop) dalam Pasal 63 sampai dengan Pasal 71 KUHP. Untuk itu perlu diperhatikan peraturan gabungan tersebut beserta teori-teorinya dalam menyusun dakwaan (Andi Hamzah, 2011: 185). 5) Surat Dakwaan Gabungan/Kombinasi Dakwaan ini disebut dakwaan gabungan/kombinasi, dikarenakan dalam dakwaan ini terdapat beberapa dakwaan yang merupakan gabungan dari dakwaan yang bersifat alternatif maupun dakwaan yang bersifat subsider. Dakwaan bentuk ini dipergunakan dalam hal terjadinya kumulasi dari pada tindak pidana yang didakwakan. Pembuktian dakwaan kombinasi ini dilakukan terhadap setiap lapisan dakwaan, jadi setiap lapisan dakwaan harus ada tindak pidana yang dibuktikan. Pembuktian pada masing-masing lapisan dakwaan tersebut dilaksanakan sesuai dengan bentuk lapisannya, apabila lapisannya bersifat subsider, maka pembuktian dilakukan secara berurut mulai dari lapisan teratas sampai kepada lapisan yang dipandang terbukti. Apabila lapisannya terdiri dari lapisan-lapisan yang bersifat alternatif, maka pembuktian dakwaan pada lapis yang bersangkutan langsung dilakukan terhadap dakwaan yang dipandang

8 21 terbukti. Bentuk dakwaan ini erat kaitannya dengan bentuk tindak pidana yang disebut concursus maupun deelneming (penyertaan) (Harun M. Husein, 1994: 89-90). 2. Tinjauan mengenai Eksepsi/Keberatan a. Pengertian Eksepsi/Keberatan Pengertian eksepsi atau exception adalah: 1) Tangkisan ( plead) atau pembelaan yang tidak mengenai atau tidak diajukan terhadap materi pokok surat dakwaan, 2) Tetapi keberatan atau pembelaan ditujukan terhadap cacat formal yang melekat pada surat dakwaan. Sistem Common Law memiliki beberapa istilah hukum (legal term) yang saling dapat dipertukarkan ( interchangable) anatara yang satu dengan yang lain, seperti: exception atau plead ataupun objection. Dia merupakan action atau upaya untuk membela diri terdakwa tentang adanya cacat formal yang melekat pada perkara pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Pasal 156 ayat (1) KUHAP, definisi eksepsi tidak dirumuskan secara jelas. Istilah yang digunakan adalah keberatan. Kepada terdakwa atau penasihat hukumnya diberi hak untuk mengajukan keberatan, pengertian keberatan yag disebut dalam pasal ini, lebih dekat pengertiannya dengan objection dalam sistem Common Law, yang berarti perkara yang diajukan terhadap terdakwa mengandung tertib acara yang improper (tidak tepat) atau illegal (tidak sah). (M. Yahya Harahap, 2012: 123). b. Jenis-jenis Eksepsi 1) Eksepsi Kewenangan Mengadili Disebut eksepsi tak berwenang mengadili atau exception of incompetency (exception van onbevoegheid), dalam arti pengadilan

9 22 yang dilimpahi perkara tidak berwenang mengadili, yang diklasifikasikan sebagai berikut: a) Tidak berwenang secara absolut Munculnya persoalan kewenangan absolut mengadili (absolut competence), sebagai akibat Pasal 10 Undang- Undang No. 14/1970 yang telah menetapkan dan membagi yurisdiksi substantif untuk setiap lingkungan peradilan pada satu segi, dan pada segi lain disebabkan faktor pembentukan jenis peradilan khusus yang kewenangannya secara absolut diberikan kepada peradilan khusus tersebut (seperti peradilan anak). b) Tidak berwenang secara relatif Disebut kewenangan relatif mengadili perkara (relative competence), didasarkan pada faktor daerah hukum atau wilayah hukum suatu pengadilan. Setiap pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi, terbatas daerah atau wilayah hukumnya. Patokan menentukan batas daerah atau wilayah hukum pada dasarnya disesuaikan dengan sistem pemerintahan Tingkat I (Provinsi) dan Tingkat II (Kabupaten atau Kotamadya). (M. Yahya Harahap, 201 2: 124). 2) Eksepsi Kewenangan Menuntut Gugur Hapus atau gugurnya kewenangan penuntutan disebabkan faktor tertentu yang disebut dalam ketentuan pasal yang bersangkutan. Mengenai eksepsi ini yang terpenting di antaranya: a) Exceptio judicate atau nebis in idem (Pasal 76 KUHP) Faktor yang menghapus kewenangan penuntutan dalam eksepsi ini: tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, telah pernah didakwakan, diperiksa, dan diadili serta putusannya:

10 23 i. Telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan ii. Putusannya bersifat positif, yakni dipidana atau dibebaskan maupun dilepaskan dari segala tuntutan hukum. b) Exceptio in tempores (Pasal 78 KUHP) Penuntutan tindak pidana yang diajukan kepada terdakwa melampaui tenggang batas waktu yang ditentukan undangundang (That the time prescribed by law for bringing such action or offense has expired). Seperti yang diketahui, Bab VIII KUHP, mulai dari Pasal 78-82, telah mengatur sistem penerapan kadaluwarsa penuntutan pidana. c) Terdakwa meninggal dunia Sesuai dengan ketentuan Pasal 77 KUHP, kewenangan menuntut pidana hapus atas alasan terdakwa meninggal dunia. (M. Yahya Harahap, 2012: 125). 3) Eksepsi Tuntutan Penuntut Umum Tidak Dapat Diterima Patokan untuk mengajukan eksepsi atau untuk menjatuhkan putusan dengan amar menyataan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, apabila tata cara pemeriksaan yang dilakukan tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau yang diminta ketentuan undang-undang. Ke dalam kelompok ini antara lain dapat dikemukakan: a) Eksepsi pemeriksaan penyidikan tidak memenuhi syarat ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP. Pasal 56 ayat (1) menggariskan Miranda Rule yang menegaskan, setiap peuntutan atau persidangan, tersangka atau terdakwa didampingi penasihat hukum, ketentuan ini merupakan syarat yang diminta undang-undang apabila

11 24 tindak pidana yang disangkakan atau diakwakan, diancam dengan pidana mati atau pidana 15 tahun atau lebih. Atau bagi yang tidak mampu dan diancam dengan pidana 5 tahun lebih, tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Apabila ketentuan Pasal 56 ayat (1) tidak dipenuhi, dianggap pemeriksaan tidak memenuhi syarat yang diminta undang-undang, yang berakibat tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. b) Eksepsi Pemeriksaan tidak memenuhi syarat klacht delict. Tindak pidana yang didakwakan delik aduan ( klacht delict), tetapi ternyata penuntutannya kepada terdakwa tanpa pengaduan dari korban atau dari orang yang disebut dalam pasal delik yang bersangkutan atau tenggang waktu pengaduan yang digariskan Bab VII (Pasal 72-75) KUHP, tidak dipenuhi, oleh karena itu syarat yang diminta atau ditentukan undang-undang tidak dipenuhi oleh penyidik dan penuntut umum (tidak ada pengaduan). Berarti tuntutan penuntut umum terhadap terdakwa, tidak memenuhi syarat undang-undang, sehingga tuntutan untuk meminta pertanggungjawaban pidana kepada terdakwa tidak dapat diterima. (M. Yahya Harahap, 2012: 126) 4) Eksepsi Lepas dari Segala Tuntutan Hukum Eksepsi ini dikontruksi dari ketentuan Pasal 67 KUHAP, yang memperkenalkan bentuk putusan Pengadilan Negeri lepas dari segala tuntutan hukum atau onslag van rechtsvervolging. Selanjutnya apa yang disebut dalam Pasal 67 tentang eksepsi ini, dipertegas lagi dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP, yang memberi patokan tentang arti putusan lepas dari segala tuntutan hukum,

12 25 yakni: Jika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan sesuatu tindak pidana. (M. Yahya Harahap, 2012: 126). 5) Eksepsi Dakwaan Tidak Dapat Diterima Pengertian yang umum diberikan terhadap eksepsi dakwaan tidak dapat diterima: apabila dakwaan yang diajukan mengandung cacat formal atau engandung kekeliruan beracara ( error in procedure). Bisa cacat mengenai orang yang didakwa, keliru, susunan atau bentuk surat dakwaan yang diajukan penuntut umum salah atau keliru. (M. Yahya Harahap, 2012: 127). 6) Eksepsi Dakwaan Batal Dakwaan batal, atau batal demi hukum, atas alasan dakwaan yang diajukan penuntut umum, tidak memenuhi Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) dianggap obscuur libeli (kabur) atau confuse (membingungkan) atau misleading (menyesatkan) yang berakibat sulit bagi terdakwa untuk melakukan pembelaan diri. Tindakan penegakan hukum yang mengahadapkan terdakwa dengan surat dakwaan yang tidak jelas atau membingungkan, dikualifikasi sebagai perkosaan terhadap hak asasi atas pembelaan diri. (M. Yahya Harahap, 2012: 129). 3. Tinjauan mengenai Laporan dan Aduan. a. Pengertian Laporan Menurut Pasal 1 butir 24 KUHAP, Laporan adalah Pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.

13 26 Jadi laporan adalah sesuatu peristiwa yang telah dilaporkan kepada pejabat yang berwenang tentang suatu tindak pidana, untuk dapat segera ditindaklanjuti oleh pejabat yang bersangkutan (pro ses penyelidikan/penyidikan). (Andi Sofyan, dkk., 2014: 75). b. Pihak Pelapor Dalam hal terjadi suatu tindak pidana, maka KUHAP telah menentukan pihak-pihak yang berhak melapor, sebagaimana menurut Pasal 108 KUHAP, sebagai berikut: (1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan/atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak mengajukan laporan kepada penyelidik dan/atau penyidik baik lisan maupun tertulis. (2) Setiap orang yang mengetahui pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana, terhadap ketenteraman umum dan keamanan umum atau terhadap hak milik wajib seketikan itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik. (3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa pidana yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik. (Andi Sofyan, dkk., 2014: 76). c. Pengertian Aduan Menurut Pasal 1 butir 25 KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya. Selain pengertian pengaduan, maka yang dengan delik aduan adalah suatu delik/tindak pidana atau peristiwa pidana yang hanya dapat

14 27 diterima/diproses (dituntut) apabila telah masuk pengaduan (permintaan) dari orang yang berhak mengadu. Tindak pidana aduan menurut undang-undang dibedakan atas dua bagian, yakni: 1) Tindak Pidana Aduan Absolut (Absolute Klachdelict) Adapaun yang dimaksud dengan tindak pidana aduan absolut adalah tindak pidana yang tidak dapat dituntut, apabila tidak ada pengaduan dari pihak korban atau yang dirugikan atau dipermalukan dengan terjadinya tindak pidana tersebut, sebab di dalam tindak pidana aduan absolut yang dituntut bukan hukumnya tetapi adalah peristiwanya, sehingga permintaan dalam penuntutan dalam pengaduan harus berbunyi saya minta agar peristiwa ini dituntut. 2) Tindak Pidana Aduan Relatif (Relative Klachdelict) Tindak pidana aduan relatif pada prinsipnya bukanlah merupakan delik aduan, akan tetapi termasuk laporan (delik biasa). Akan tetapi akan menjadi delik aduan apabila dilakukan dalam lingkungan keluarga sendiri. Jadi penuntutan dilakukan bukan peristiwanya atau kejahatannya tetapi hanya kepada orang-orang yang telah melakukan tindak pidana itu. Oleh karena itu, apabila tindak pidana aduan relatif dilakukan penuntutan, maka perkanya dapat dibelah (Spleit). (Andi Sofyan, dkk., 2014: 78-80). d. Pihak-Pihak yang Berhak Mengajukan Pengaduan 1) Menurut Pasal 72 KUHP a) Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, dan orang itu umurnya belum cukup enam belas tahun dan lagi belum dewasa, atau

15 28 selama ia berada di bawah pengampuan yang disebabkan oleh hal lain daripada keborosan, maka wakilnya yang sah dalam perkara perdata yang berhak mengadu; b) Jika tidak ada wakil, atau wakil itu sendiri yang harus diadukan, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau pengampu pengawas, atau majelis yang menjadi wali pengawas atau pengampu pengawas; juga mungkin atas pengaduan istrinya atau seorang keluarga sedarah dalam garis lurus, atau jika itu tidak ada, atas pengaduan seorang keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga. 2) Menurut Pasal 73 KUHP, yaitu Jika yang terkena kejahatan meninggal di dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam pasal berikut maka tanpa memperpanjang tenggang itu, penuntutan dilakukan atas pengaduan orang tuanya, anaknya, atau suaminya (istrinya) yang masih hidup kecuali kalau ternyata bahwa yang meinggal tidak menghendaki penuntutan. 3) Menurut Pasal 293 KUHP, bahwa Tenggang waktu tersebut dalam Pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan. 4) Menurut Pasal 284 ayat (2) KUHP, bahwa Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

16 29 5) Menurut Pasal 284 ayat (4) KUHP, bahwa Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai. (Andi Sofyan, dkk., 2014: 80-81). 4. Tinjauan mengenai Putusan. a. Pengertian Putusan Apabila tahap proses penuntutan, pembelaan, dan jawaban telah berakhir, tibalah saatnya hakim ketua menyatakan pemeriksaan dinyatakan ditutup. Pernyataan inilah yang mengantar persidangan ke tahap musyawarah hakim, guna menyiapkan putusan yang akan dijatuhkan pengadilan (M. Yahya Harahap, 2012: 347). Putusan pengadilan adalah putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkaranya (Lilik Mulyadi, 2007: 203). Sementara itu yang dimaksud putusan pengadilan menurut Pasal 1 angka 11 KUHAP, adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. (Andi Sofyan, dkk., 2014: 348) b. Bentuk-Bentuk Putusan 1) Putusan Bebas Putusan bebas berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum ( vrij spraak) atau acquittal. Terdakwa diputus bebas berdasarkan ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yaitu apabila dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan,

17 30 kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Ditinjau dari segi yuridis, putusan bebas ialah putusan yang dinilai majelis hakim yang bersangkutan: a) Tidak Memenuhi Asas Pembuktian Menurut Undangundang Secara Negatif Pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu, tidak diyakini oleh hakim. b) Tidak Memenuhi Asas Minimum Pembuktian Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah (M.Yahya Harahap, 2012: ). 2) Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP, yang berbunyi: Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Pada putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, apa yang didakwakan kepada terdakwa cukup terbukti secara sah baik dinilai dari segi pembuktian menurut undang-undang maupun dari segi batas minimum pembuktian yang diatur Pasal 183 KUHAP. Akan tetapi, perbuatan yang terbukti itu tidak merupakan tindak pidana. Tegasnya perbuatan yang didakwakan dan telah terbukti itu, tidak diatur dan termasuk ruang lingkup hukum pidana (M. Yahya Harahap, 2012: 352).

18 31 3) Putusan Pemidanaan Bentuk putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 KUHAP. Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) KUHAP, penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa (M.Yahya Harahap, 2012: 354). 4) Penetapan Tidak Berwenang Mengadili Setelah menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, yang utama diperiksa adalah apakah perkara yang dilimpahkan penuntut umum tersebut termasuk wewenang Pengadilan Negeri yang dipimpinnya. Seandainya Ketua Pengadilan Negeri berpendapat perkara tersebut tidak termasuk wewenangnya seperti yang ditentukan dalam Pasal 84 KUHAP, yaitu karena tindak pidana yang terjadi tidak dilakukan dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan, atau; sekalipun terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, diketemukan atau ditahan berada di wilayah Pengadilan Negeri tersebut, tapi tindak pidananya dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri yang lain, sedang saksi-saksi yang dipanggil pun lebih dekat dengan Pengadilan Negeri tempat di mana tindak pidana dilakukan, maka Pengadilan Negeri yang menerima pelimpahan perkara tersebut, tidak berwenang mengadili. Untuk itu Pengadilan Negeri mengeluarkan surat penetapan yang berisi pernyataan tidak berwenang mengadili (M. Yahya Harahap, 2012: ).

19 32 5) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Tidak Dapat Diterima Penjatuhan putusan yang menyatakan dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima, berpedoman kepada Pasal 156 ayat (1) KUHAP sehubungan dengan bantahan atau eksepsi yang diajukan terdakwa atau penasihat hukum (M. Yahya Harahap, 2012: 358). 6) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Batal Demi Hukum Alasan utama untuk membatalkan surat dakwaan demi hukum, apabila surat dakwaan tidak memenuhi unsur yang ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Yang dapat dijadikan dasar menyatakan dakwaan jaksa batal demi hukum: a) Apabila dakwaan tidak merumuskan semua unsur dalih yang didakwakan; b) Tidak memerinci secara jelas peran dan perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam dakwaan; c) Dakwaan kabur atau obscuur libel, karena tidak dijelaskan cara bagaimana kejahatan dilakukan (M. Yahya Harahap, 2012: ). c. Hal yang Harus Dimuat dalam Putusan Putusan pemidanaan harus memuat pernyataan-pernyataan yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Apabila putusan tidak memuat pernyataan yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 197 ayat (2) KUHAP, bisa mengakibatkan putusan batal demi hukum. Hal yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP (M. Yahya Harahap, 2012: ): 1) Berkepala: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Hukum yang ditegakkan bukan atas nama hukum atau penguasa, tetapi atas nama Tuhan Yang Maha Esa.

20 33 2) Identitas Terdakwa Dalam putusan jelas dan terang diuraikan identitas terdakwa, guna menjamin kepastian hukum bahwa orang yang dijatuhi pidana adalah terdakwa yang sedang diadili. 3) Dakwaan, Sebagaimana Terdapat Dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum Surat dakwaan mesti secara utuh dicantumkan dalam putusan, sesuai dengan apa yang diuraikan penuntut umum. 4) Pertimbangan yang lengkap Fakta dan keadaan harus jelas diuraikan sesuai dengan apa yang ditemukan dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Fakta atau keadaan yang memberatkan atau meringankan terdakwa, mesti jelas diungkapkan dalam uraian pertimbangan putusan sebagai dasar titik tolak untuk menentukan berat ringannya hukuman pidana yang akan ditimpakan kepada terdakwa. Penguraian fakta dan keadaan serta alat pembuktian, di samping diuraikan secara deskriptif, juga dipertimbangkan secara argumentatif, sehingga jelas terbaca jalan pikiran yang logis dan reasoning yang mantap, yang mendukung kesimpulan pertimbangan hakim. 5) Tuntutan Pidana Penuntut Umum Kesimpulan tuntutan pidana atau rekuisitor penuntut umum ditempatkan antara uraian identitas terdakwa dengan surat dakwaan. Mengenai dasar-dasar hukum alasan kesimpulan tuntutan pidana tersebut diuraikan serangkaian dengan pertimbangan fakta dan keadaan serta pertimbangan mengenai alat bukti. 6) Peraturan Undang-Undang yang Menjadi Dasar Pemidanaan Putusan pemidanaan memuat pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa.

21 34 7) Hari dan Tanggal Diadakannya Musyawarah Majelis Sesuai dengan ketentuan Pasal 197 huruf g KUHAP, putusan Pengadilan Negeri harus juga memuat tanggal hari musyawarah dan tanggal hari pengucapan pengumuman putusan. 8) Pernyataan Kesalahan Terdakwa Berupa penegasan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasi dan pemidanaan atau hukuman yang dijatuhkan. 9) Pembebanan Biaya Perkara dan Penentuan Barang Bukti Tentang biaya perkara dalam perkara pidana diatur dalam Pasal 222 KUHAP, yang menggariskan ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan. Pada putusan pemidanaan biaya perkara dibebankan kepada terdakwa, sedangkan pada putusan pembebasan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum dibebankan kepada negara. Setiap putusan pengadilan harus menegaskan status barang bukti yang berpedoman pada ketentuan Pasal 194 KUHAP, kecuali dalam perkara yang bersangkutan tidak ada barang bukti. 10) Penjelasan Tentang Surat Palsu Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik dianggap palsu. 11) Perintah Penahanan, tetap dalam tahanan atau pembebasan 12) Hari dan Tanggal Putusan, Nama Penuntut Umum, Hakim yang Memutus, dan Panitera Merupakan isi penutup putusan, ditempatkan menyusul sesudah amar putusan. d. Penandatanganan Putusan Keabsahan putusan secara formal sebagai akta resmi, pada saat putusan ditandatangani. Secara materiil, autentifikasi dan daya eksekusi baru melekat pada dirinya, terhitung sejak putusan

22 35 ditandatangani. Secara formal dan materiil, putusan yang tidak ditandatangani tidak mempunyai daya autentifikasi dan daya eksekusi. Pasal 200 KUHAP memerintahkan: Surat putusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan diucapkan (M.Yahya Harahap, 2012: 375). e. Putusan Diucapkan dalam Sidang Terbuka Pasal 195 KUHAP berbunyi: Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Sekalipun perkara kesusilaan dan perkara yang terdakwanya anak-anak boleh diperiksa dalam sidang tertutup, namun pengucapan putusan tidak boleh tertutup. Kalau tidak, putusan dianggap tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum (M. Yahya Harahap, 2012: 378). f. Wajib Memberitahu Segala Hak Terdakwa Pasal 196 ayat (3) KUHAP membebankan kewajiban kepada ketua sidang untuk memberitahukan kepada terdakwa segala sesuatu apa yang menjadi haknya sehubungan dengan putusan pemidanaan yang diucapkan. Pemberitahuan hak-hak terdakwa dilakukan ketua sidang segera setelah putusan pemidanaan diucapkan. Maksud pemberitahuan itu, supaya terdakwa mengetahui haknya; agar dapat memilih upaya apa yang akan ditempuhnya sehubungan dengan putusan pemidanaan yang baru dijatuhkan kepadanya (M. Yahya Harahap, 2012: 380). Tentang hak terdakwa yang wajib diberitahukan ketua sidang sehubungan dengan penjatuhan putusan pemidanaan, dirinci dalam Pasal 196 ayat (3) KUHAP (M.Yahya Harahap, 2012: ). 1) Hak Terdakwa untuk Menerima Putusan Hakim ketua sidang wajib memberitahukan hak terdakwa menerima putusan. Penerimaan terdakwa atas putusan hukuman pidana yang dijatuhkan, dengan sendirinya

23 36 putusan tersebut berkekuatan hukum tetap dan langsung dapat dieksekusi, kecuali penuntut umum tidak dapat menerimanya serta mengajukan permintaan banding atas putusan. 2) Hak Terdakwa Segera Menolak Putusan Ketua sidang juga wajib memberitahukan kepada terdakwa akan haknya untuk segera menolak putusan. Penolakan terhadap putusan pemidanaan, merupakan upaya terdakwa untuk mengajukan banding. Apabila terdakwa menolak putusan, dengan sendirinya putusan belum berkekuatan hukum tetap serta putusan belum dapat dieksekusi sampai menunggu putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. 3) Hak Terdakwa untuk Mempelajari Putusan Hak selanjutnya yang harus diberitahukan hakim kepada terdakwa ialah hak untuk mempelajari putusan sebelum terdakwa menerima atau menolak putusan. Hak ini disebut hak berpikir. Sambil mempelajari putusan, terdakwa dalam suatu tenggang waktu tertentu mempergunakan hak untuk berpikir apakah menerima atau menolak putusan. Tenggang waktunya persis serupa dengan tenggang waktu untuk mengajukan permintaan banding. 4) Hak Terdakwa Minta Penangguhan Pelaksanaan Putusan Guna Mengajukan Grasi Hak lain yang wajib diberitahukan ketua sidang kepada terdakwa adalah hak menerima putusan, dan dibarengi dengan hak minta grasi, serta sekaligus minta

24 37 penangguhan pelaksanaan putusan sehubungan dengan pengajuan permintaan grasi tersebut. 5) Hak Mengajukan Permintaan Banding Hak selanjutnya yang harus diberitahukan ketua sidang kepada terdakwa, hak mengajukan permintaan pemeriksaan perkara dalam peradilan tingkat banding, apabila menolak putusan pemidanaan yang dijatuhkan pengadilan kepadanya. Tenggang waktu pengajuan permintaan banding menurut Pasal 233 ayat (2) KUHAP ialah 7 hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan atau sejak tanggal pemberitahuan putusan bagi terdakwa yang tidak hadir pada saat putusan diucapkan. 6) Hak Terdakwa Mencabut Pernyataan Menerima atau Menolak Putusan dalam Tenggang Waktu yang Ditentukan Sesuai dengan Pasal 196 ayat (3) huruf e KUHAP, undang-undang memberi hak kepada terdakwa untuk mencabut kembali pernyataan penerimaan atau penolakan yang diberikannya. Pernyataan penerimaan atau penolakan terhadap putusan, sifatnya tidak permanen, tetapi relatif selama tenggang waktu tertentu. Sifatnya baru permanen jika tenggang waktu yang ditentukan undang-undang telah dilampaui. 5. Tinjauan mengenai Pencurian Pencurian di atur pada Bab XXII Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pengertian pencurian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata curi yang berarti mengambil barang milik orang lain tanpa izin dengan tidak sah, biasanya dengan sembunyi-sembunyi. Sedangkan

25 38 pencurian sendiri adalah proses, cara dan perbuatannya. Pencurian dikelompokkan menjadi beberapa jenis yakni: a. Pencurian Biasa Diatur dalam Pasal 362 KUHP, yang berbunyi: barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagaian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara maksimum lima tahun atau pidana denda maksimum enam puluh rupiah b. Pencurian dengan Pemberatan Diatur dalam Pasal 363 KUHP, yang berbunyi: (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, Ke-1 pencurian ternak; Ke-2 pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang; Ke-3 pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang adanya disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak; Ke-4 pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu; Ke-5 pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

26 39 (2) Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan salah satu tersebut ke-4 dan ke-5 maka dikenakan penjara paling lama sembilan tahun. c. Pencurian dengan Kekerasan Diatur dalam Pasal 365 KUHP yaitu diancam hukuman penjara maksimum 9 tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diiringi dengan kekearasan atau ancaman kekerasan terhadap orang-orang dengan tujuan mempersiapkan atau mempermudah pencurian itu, atau pada keadaan tertangkap tangan dupaya mempunyai kesempatan bagi sendiri atau orang lain yang turut serta melakukan kejahatan itu, untuk melarikan diri supaya barang yang dicuri tetap dalam kekuasaannya. Pada intinya Pasal 365 KUHP memiliki unsur: 1) Maksud untuk mempersiapkan pencurian, yaitu perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang mendahului pengambilan barang. Misalnya: mengikat penjaga rumah, memukul dan lain-lain; 2) Maksud untuk mempermudah pencurian, yaitu pengambilan barang dipermudah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Misalnya: menodong agar diam, tidak bergerak, sedangkan si pencuri lain mengambil barang dalam rumah. d. Pencurian Ringan Diatur dalam Pasal 364 KUHP, yaitu: (1) Pencurian biasa, asal harga yang dicuri tidak lebih dari Rp.25-; (2) Pencurian dilakukan oleh dua orang atau lebih, asal harga barang tidak lebih dari Rp.25-; (3) Pencurian dengan masuk ke tempat kejahatan atau mencapai barang yang dicuri dengan jalan membongkar, memecah, memanjat, kunci palsu atau sebagainya asal: a) Harga barang tidak lebih dari Rp.25-; dan

27 40 b) Tidak dilakukan dalam rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya. Pasal ini praktis tidak berarti lagi, oleh karena pencurian ringan ini dahulu hanya ada hubungannya dengan wewenang pengadilan Landgerecht, yang sekarang sudah tidak ada lagi. (M. Sudrajat Bassar, 1986:67) e. Pencurian dalam Kalangan Keluraga Diatur dalam Pasal 367 KUHP, yang berbunyi: (1) Pencurian atau membantu pada pencurian atas kerugian suami atau istri sendiri tidak dihukum, oleh karena orang-orang itu sama-sama memiliki harta benda suami istri. Bagi mereka yang tunduk pada peraturan perkawinan menurut sipil, dimana berlaku peraturan tentag cerai meja makan dan tempat tidur yang berarti, perkawinan mereka masih tetap berlangsung, akan tetapi hanya kewajiban mereka untuk bersama-sama tinggal dalam satu rumah saja yang ditiadakan, jika ada pencurian terjadi atas kerugian suami istri sendiri yang telah bercerai meja makan itu, hanya dapat dituntut apabila ada pengadian dari suami atau istri yang dirugikan; (2) Pencurian atau membantu pencurian oleh keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan turunan lurus atau keluarga karena perkawinan turunan menyimpang dalam derajat kedua; (3) Jika menurut adat istiadat keturunan ibu kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain dari pada bapak kandung, maka peraturan tentang pencurian dalam kalangan keluarga tersebut pada Pasal 367 ayat (2) KUHP berlaku pula pada orang itu, misalnya seorang kemenakan yang mencuri harta benda ibunya adalah delik aduan. Berdasarkan Pasal 367 ayat (2) KUHP, apabila pelaku atau pembantu dari pencurian-pencurian dari Pasal 362 KUHP sampai

28 41 dengan Pasal 365 KUHP adalah suami atau istri dari si korban dan mereka yang dibebaskan dari kewajiban berumah bersama, atau keluarga semenda, baik dalam keturunan lurus maupun keturunan menyimpang derajad kedua, maka terhadap orang itu sendiri hanya boleh dilakukan penuntutan atas pengaduan si korban pencurian (M. Sudrajat Bassar, 1986:68).

29 42 Perkara Tindak Pidana Pencurian B. Kerangka Pemikiran Proses Pemeriksaan di Persidangan Penuntutan Surat Dakwaan Eksepsi Eksepsi Dakwaan Penuntut Umum Prematur Putusan : menunjukan urutan komponen penting yang dinyatakan dan dideskripsikan pada penelitian. : menunjukkan mengenai pengajuan eksepsi oleh Terdakwa dengan alasan dakwaan Penuntut Umum Prematur. Gambar. 1 Skematik Kerangka Pemikiran

30 43 Penjelasan Kerangka Pemikiran: Kerangka pemikiran tersebut diatas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menjabarkan serta menemukan jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian hukum ini, yaitu mengenai Tinjauan Tentang Pengajuan Eksepsi Oleh Terdakwa Dengan Alasan Penuntut Umum Bersifat Prematur (Studi Putusan Pengadilan Negeri Padangsidimpuan Nomor: 88/Pid.B/2015/PN.PSP). Dimana dalam proses beracara perkara pidana dimulai dengan adanya perkara, untuk kemudian dilakukan penyelidikan dan penyidikan guna menentukan pelaku tindak pidana tersebut, proses selanjutnya adalah proses persidangan yang dimulai dengan pembuatan dan pengajuan Surat Dakwaan oleh Penuntut Umum yang isinya mengenai uraian perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa, proses pemeriksaan persidangan utamanya dalam pembuatan Surat Dakwaan merupakan proses yang penting dan butuh ketelitian, karena sedikit kesalahan dapat berakibat pada lepasnya terdakwa. Selanjutnya Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk mengajukan keberatan atau eksepsi. Dalam KUHAP sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP hanya mengatur 3 (tiga) macam keberatan yakni, keberatan tidak berwenang mengadili, keberatan dakwaan tidak dapat diterima dan keberatan surat dakwaan harus dibatalkan. Namun pada prakteknya masih banyak jenis eksepsi selain yang diatur oleh KUHAP yang merupakan bagian dari ke-3 jenis eksepsi tersebut, contohnya sebagaimana kasus yang penulis angkat yakni pengajuan eksepsi oleh terdakwa dengan alasan surat dakwaan penuntut umum bersifat prematur. Muara dari kerangka diatas adalah apakah eksepsi yang diajukan oleh terdakwa dengan alasan surat dakwaan penuntut umum bersifat prematur sesuai dengan KUHAP dan apakah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Padangsidimpuan mempertimbangkan eksepsi tersebut.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Bab XXII : Pencurian Pasal 362 Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA

BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA A. Pencurian Dalam keluarga merupakan Delik Aduan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) secara tegas tidak

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DISUSUN OLEH : NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 76, 1981 (KEHAKIMAN. TINDAK PIDANA. Warganegara. Hukum Acara Pidana. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

PENGANCAMAN/AFDREIGINGAFDREIGING. Fachrizal Afandi

PENGANCAMAN/AFDREIGINGAFDREIGING. Fachrizal Afandi PEMERASAN/AFPERSING AFPERSING DAN PENGANCAMAN/AFDREIGINGAFDREIGING FACHRIZAL AFANDI, S.Psi., SH., MH Fakultas Hukum Universitas Brawijaya PEMERASAN DAN PENGANCAMAN (BAB XXIII) PEMERASAN DALAM BENTUK POKOK

Lebih terperinci

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1492, 2014 KEJAKSAAN AGUNG. Pidana. Penanganan. Korporasi. Subjek Hukum. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-028/A/JA/10/2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF A. Pencurian Dengan Kekerasan Dalam KUHP 1. Pengertian Pencurian Dengan Kekerasan Pencurian dengan kekerasan adalah suatu tindakan yang menyimpang.

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PUTUSAN NOMOR 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN.

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PUTUSAN NOMOR 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN. BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PUTUSAN NOMOR 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN.BLB A. Tindak Pencurian Kendaraan Bermotor yang Dilakukan

Lebih terperinci

BAB VII PERADILAN PAJAK

BAB VII PERADILAN PAJAK BAB VII PERADILAN PAJAK A. Peradilan Pajak 1. Pengertian Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Jaksa Penuntut Umum a. Pengertian Kejaksaan Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan wawancara terhadap sejumlah responden yang akan memberikan gambaran

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III HUKUMAN PENCURIAN DI KALANGAN KELUARGA DALAM. HUKUM PIDANA INDONESIA PASAL 367 ayat (2) KUHP

BAB III HUKUMAN PENCURIAN DI KALANGAN KELUARGA DALAM. HUKUM PIDANA INDONESIA PASAL 367 ayat (2) KUHP BAB III HUKUMAN PENCURIAN DI KALANGAN KELUARGA DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA PASAL 367 ayat (2) KUHP A. Pengertian Pencurian Dikalangan Keluarga Dalam KUHP Pengertian pencurian di kalangan keluarga menurut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Pengertian Penuntut Umum Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, membedakan pengertian istilah antara Jaksa dan Penuntut Umum. Menurut ketentuan Bab

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

Berlin Nainggolan: Hapusnya Hak Penuntutan Dalam Hukum Pidana, 2002 USU Repository

Berlin Nainggolan: Hapusnya Hak Penuntutan Dalam Hukum Pidana, 2002 USU Repository USU Repository 2006 DAFTAR ISI Kata Pengantar... i Daftar Isi... ii A. Pengertian... 1-2 B. Dasar Peniadaan Penuntutan... 3-6 C. Hapusnya Hak Menuntut... 7-13 Kesimpulan... 14 Daftar Pustaka...... 15 ii

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HUBUNGAN FUNGSIONIL ANTARA PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM DALAM DELIK ADUAN RICK SYEKH ALIF SAPUTRA / D

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HUBUNGAN FUNGSIONIL ANTARA PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM DALAM DELIK ADUAN RICK SYEKH ALIF SAPUTRA / D TINJAUAN YURIDIS TENTANG HUBUNGAN FUNGSIONIL ANTARA PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM DALAM DELIK ADUAN RICK SYEKH ALIF SAPUTRA / D 101 07 074 ABSTRAK Hukum pidana sebagai salah satu perangkat kaedah hukum yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan Dactyloscopy adalah ilmu yang mempelajari sidik jari untuk keperluan pengenalan kembali identifikasi orang dengan cara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau

Lebih terperinci

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 TENTANG PEMBUATAN SURAT DAKWAAN

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 TENTANG PEMBUATAN SURAT DAKWAAN I. PENDAHULUAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 TENTANG PEMBUATAN SURAT DAKWAAN Menurut hasil eksaminasi perkara terutama perkara-perkara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

APA ITU CACAT HUKUM FORMIL?

APA ITU CACAT HUKUM FORMIL? APA ITU CACAT HUKUM FORMIL? Oleh : Kolonel Chk Hidayat Manao, SH, MH Kadilmil II-09 Bandung Dalam praktek peradilan hukum pidana, baik Penyidik POM TNI, Oditur Militer, Penasihat Hukum (PH) dan Hakim Militer

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 3.1 Dasar Filosofis Asas Ne Bis In Idem Hak penuntut umum untuk melakukan penuntuttan terhadap setiap orang yang dituduh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga. Menurut Penjelasan Umum Undang- Undang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN. MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN www.kompasiana.com Mantan Kepala Divisi Konstruksi VII PT Adhi Karya Wilayah Bali, NTB, NTT, dan Maluku, Imam Wijaya Santosa, kembali mendapat pengurangan

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Upaya hukum Kasasi a. Pengertian Upaya hukum Kasasi Sebelum penulis kemukakan pengertian kasasi, terlebih dahulu penulis akan mengemukakan

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, menurut Simons hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan hukum dan penegakkan hukum yang sah. pembuatan aturan atau ketentuan dalam bentuk perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan hukum dan penegakkan hukum yang sah. pembuatan aturan atau ketentuan dalam bentuk perundang-undangan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia merupakan kewajiban mutlak dari Bangsa Indonesia. Hal tersebut dikarenakan Negara Indonesia adalah Negara yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER I. KETENTUAN UMUM A. Tujuan 1. Meningkatkan kualitas pelayanan pengadilan bagi prajurit TNI dan masyarakat pencari keadilan. 2. Meningkatkan

Lebih terperinci

TUGAS MATA KULIAH ANALISIS KASUS DAN PRAKTEK BERACARA

TUGAS MATA KULIAH ANALISIS KASUS DAN PRAKTEK BERACARA TUGAS MATA KULIAH ANALISIS KASUS DAN PRAKTEK BERACARA OLEH : MAHASISWA BAGIAN ACARA SEMESTER VII JANUARSE DJAMI RIWU NIM. 1202011076 DPA. BILL NOPE,SH.,LLM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NUSA CENDANA TAHUN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 3, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3668) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, artinya segala tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia harus berdasarkan hukum yang berlaku di negara Indonesia. Penerapan hukum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013 HAK TERDAKWA MELAKUKAN UPAYA HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA 1 Oleh : Bilryan Lumempouw 2 Upaya hukum merupakan hak yang penting bagi terdakwa dalam pembuktian bahwa dirinya tidak bersalah, sekaligus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk menjamin perlindungan hak azasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga baru yang

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER I. KETENTUAN UMUM A. Tujuan 1. Meningkatkan kualitas pelayanan pengadilan bagi prajurit TNI dan masyarakat pencari keadilan. 2. Meningkatkan

Lebih terperinci

Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan. Surastini Fitriasih

Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan. Surastini Fitriasih Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan Surastini Fitriasih Dalam Buku II KUHP: Bab XXII : Pencurian Bab XXIII: Pemerasan & Pengancaman Bab XXIV: Penggelapan Barang Bab XXV : Perbuatan Curang Bab XXVI: Merugikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

Lebih terperinci