Redaksi KATA PENGANTAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Redaksi KATA PENGANTAR"

Transkripsi

1

2

3 KATA PENGANTAR Puji syukur, kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehingga Jurnal AgriSains ini dapat diterbitkan sesuai rencana. Jurnal AgriSains merupakan jurnal hasil penelitian bidang agrikultur yang diterbitkan oleh LPPM Universitas Mercu Buana Yogyakarta yang bekerja sama dengan Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta, terbit dua kali dalam setahun. Jurnal AgriSains perdana ini menyuguhkan 3 hasil penelitian dari 3 kelompok bidang ilmu, yaitu Peternakan, Agroteknologi dan Teknologi Hasil Pertanian. Pada kelompok bidang Peternakan disajikan 4 artikel dengan tema Pengembangan Ternak Sapi di Daerah Aliran Sungai Progo, Studi Kelayakan Usaha Ternak Kambing Peranakan Etawah, Pemanfaatan Tepung Pupa Ulat Sutra Sebagai Pakan Puyuh dan Pemanfaatan Limbah Sapi dan Babi sebagai bio gas, dan pada bidang Agroteknologi dilaporkan pengembangan teknologi pembenihan kacang hijau dan jagung. Sedangkan pada bidang Teknologi Hasil Pertanian disajikan pembuatan stick pisang, dan karak, serta evaluasi retensi vitamin C pada jus jeruk. Redaksi menyadari penerbitan jurnal perdana ini masih terdapat kekurangannya, oleh karena itu saran yang membangun sangat kami harapkan. Akhir kata semoga jurnal ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Wassalam. Redaksi

4 DAFTAR ISI ISSN : Hal Kata Pengantar Daftar Isi iii iv-v PEMANFAATAN TEPUNG PUPA ULAT SUTRA (Bombyx mori) UNTUK PAKAN PUYUH 1-6 (Coturnix-coturnix japonica) JANTAN Sri Hartati Candra Dewi dan J. Setiohadi DOSIS CAMPURAN LIMBAH SAPI DENGAN LIMBAH BABI TERHADAP PRODUKSI GASBIO (THE MIXTURE OF CATTLE AND PIGS WASTE DOSAGE TOWARDS BIOGAS PRODUCTION) 7-14 Setyo Utomo dan Vita Wahyuningsih POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) PROGO KULONPROGO, YOGYAKARTA Nur Rasminati dan Setyo Utomo ANALISIS PENDAPATAN DAN KELAYAKAN USAHA PETERNAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH DI KECAMATAN GIRIMULYO KABUPATEN KULONPROGO Sundari dan Komarun Efendi OPTIMASI PERENDAMAN DALAM LARUTAN CaCl 2 TERHADAP SIFAT FISIK DAN TINGKAT KESUKAAN STICK PISANG Agus Slamet PENAMBAHAN NATRIUM TRIPOLIFOSFAT DAN CMC (CARBOXY METHYL CELLULOSE) PADA PEMBUATAN KARAK Astuti Setyowati VITAMIN C RETENTION AND ACCEPTABILITY OF ORANGE (Citrus nobilis var. microcarpa) JUICE DURING STORAGE IN REFRIGERATOR Chatarina Wariyah

5 ISSN : PEMANFAATAN GULMA BABADOTAN DAN TEMBELEKAN DALAM PENGENDALIAN Sitophillus SPP. PADA BENIH JAGUNG Dian Astriani PENGARUH KADAR AIR DAN WADAH SIMPAN TERHADAP VIABILITAS BENIH KACANG HIJAU DAN POPULASI HAMA KUMBANG BUBUK KACANG HIJAU Callosobruchus Chinensis L Wafit Dinarto PEDOMAN PENULISAN NASKAH 78

6 PEMANFAATAN TEPUNG PUPA ULAT SUTRERA (Bombyx mori) UNTUK PAKAN PUYUH (Coturnix-coturnix japonica) JANTAN Sri Hartati Candra Dewi 1) dan J. Setiohadi 2) Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, Univ. Mercu Buana Yogyakarta candradewisrihartati@yahoo.co.id 1) Staf Pengajar Jurusan Peternakan, UMB Yogyakarta 2) Alumni Peternakan, UMB Yogyakarta ABSTRACT This research was conducted to investigate the effect of the usage of silk worms (Bombyx mori) pupa in rations on male quail performance. It used 120 male quails of 7 days old which were divided in to 5 treatments. Each treatment consisted of 3 replicationa, and 8 quails for eac replication. The level of silk worms (Bombyx mori) pupa meal in rations were respectively 0; 2,5; 5; 7,5; and 10%. The performances were feed consumption, ADG, feed conversion, mortality and carcass weight. This research was designed One Way Completely Randomized Design, and the data were analyzed by variance analysis and the significant results were tested by Duncan s New Multiple Range Tesr (DMRT). The results showed that the performance of male quail were not affected by the treatment. Feed consumtion were respectively 10,77; 10,74; 10,76; 10,78 and 10,76 g/quail/day. ADG were 2,27; 2,18; 2,10; 2,16 and 2,10 g/quail/day. FFed conversions were 4,73; 4,92; 5,12; 4,97 and 5,12. Carcass weight were 69,16; 68,67; 69,15; 67,40 and 68,19 %. It was concluded that silk worms (Bombyx mori) pupa a meal may be substituting fish meal up to 10 % level of the total rations. Key words : male quail (Coturnix-coturnix japonica), silk worms (Bombyx mori) pupa meal, performance. PENDAHULUAN Dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi masyarakat telah dilakukan usaha peningkatan produksi di bidang peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah menyusun program sebagai tindak lanjut Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) tentang prospek dan arah pengembangan agribisnis komoditas unggulan peternakan yaitu sapi, kambing/domba dan unggas (Anonimus, 2005). Selain komoditas unggulan perlu juga didukung dengan pengembangan ternak lain yang mempunyai potensi cukup baik sebagai pemenuhan protein hewani. Salah satu jenis ternak yang cukup potensial adalah puyuh (Coturnixcoturnix japonica), yang dapat menghasilkan daging maupun telur. Puyuh betina digunakan

7 sebagai penghasil telur dan puyuh jantan dapat diarahkan sebagai penghasil daging. Dalam mendukung usaha peternakan, faktor ketersediaan pakan sangat penting untuk diperhatikan baik kuantitas maupun kualitasnya. Ketergantungan komponen impor bahan penyusun ransum unggas yang semakin mahal, menyebabkan keterpurukan industri perunggasan dewasa ini. Oleh karena itu, dalam upaya mempertahankan kehadiran dan meningkatkan produktifitas ternak perlu dilakukan upaya mencari sumber pakan baru sebagai alternatif bahan pakan yang dari segi harga terjangkau tetapi mempunyai kualitas yang baik.. Masalah pakan dapat diatasi dengan cara pengembangan peternakan secara integratif dengan usaha pertanian maupun industri, sehingga dapat menekan biaya produksi. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan limbah industri yang dapat digunakan sebagai bahan pakan antara lain adalah limbah industri pemintalan benang sutera. Pupa ulat sutera (Bombyx mori) merupakan limbah budidaya ulat sutera dan proses pemintalan benang sutera. Kandungan protein tepung pupa ulat sutera cukup tinggi yaitu 54,9 % (Murtidjo, 1991). Mathius dan Sinurat (2001) mnyatakan bahwa dalam memanfaatkan limbah pertanian maupun industri perlu diperhatikan faktor kontinuitas ketersediaan, kandungan gizi, kemungkinan adanya faktor pembatas seperti zat anti nutrisi serta perlu tidaknya bahan tersebut diolah sebelum dapat digunakan sebagai pakan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dalam ransum terhadap kinerja puyuh (Coturnix-coturnix japonica) jantan. MATERI DAN METODE Materi Penelitian ini menggunakan puyuh (Coturnix-coturnix japonica) jantan umur 7 hari sebanyak 120 ekor. Obat-obatan yang digunakan adalah vaksin New Castle Disease (NCD) strain lasota, vitamin, antibiotic dan desinfektan. Kandang yang digunakan untuk penelitian adalah kandang kelompok model bertingkat, terbuat dari kayu, bamboo dan kawat strimin, sebanyak 15 buah. Ukuran kandang 50 cm x 40 cm x 30 cm, dan dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Peralatan yang digunakan adalah timbangan Ohaus berkapasitas 2610 gram, dengan kepekaan 0,1 gram. Seperangkat alat untuk menyembelih puyuh. Ransum yang digunakan dalam penelitian ini tersusun dari jagung, bekatul, tepung ikan, kapur dan tepung pupa ulat sutera. Penyusunan ransum penelitian dibedakan atas aras tepung pupa ulat sutera pada masing-masing perlakuan yaitu 0 %; 2,5 %; 5 %; 7,5% dan 10 % untuk mensubtitusi tepung ikan. Metode Metode pembuatan tepung pupa ulat sutera yaitu kepompong

8 ulat sutera dicuci dengan air bersih kemudian dipisahkan antara kepompong dan pupa dengan menggunakan gunting. Setelah itu ditiriskan dan dikeringkan dengan sinar matahari, kemudian digiling menjadi tepung. Puyuh dikelompokkan dalam 15 kandang, sehingga tiap kandang berisi 8 ekor. Tiap kelompok perlakuan terdiri dari 3 ulangan. Data yang diamati meliputi pertambahan bobot badan, konsumsi pakan, konversi pakan, persentase karkas dan mortalitas. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah terdiri dari 5 perlakuan dengan 3 ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis variansi dan apabila ada beda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan s New Multiple Range Test (DMRT) (Astuti, 1980). HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Konsumsi pakan rata-rata per ekor selama penelitian untuk setiap perlakuan tertera pada tabel 1. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa konsumsi pakan dengan menggunakan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dalam ransum terdapat perbedaan yang tidak nyata. Konsumsi pakan dipengaruhi beberapa faktor, antara lain umur, ukuran tubuh, palatabilitas, dan kualitas pakan yang diberikan. Konsumsi pakan yang berbeda tidak nyata tersebut karena ransum tiap perlakuan Tabel 1. Rata-rata konsumsi pakan setiap perlakuan (g/ekor/hari) Perlakuan Ulangan Rata-rata (ns) R0(Tp.pupa 0 %) 10,96 10,65 10,70 10,77 R1 (Tp.pupa 2,5 %) 10,76 10,69 10,76 10,74 R2 (Tp.pupa 5 %) 10,75 10,76 10,76 10,76 R3 (Tp.pupa 7,5 %) 10,78 10,77 10,72 10,76 R4 (Tp.pupa 10 %) 10,74 10,77 10,77 10,76 Keterangan : ns = berbeda tidak nyata disusun mendekati iso energi dan protein. Hal ini sesuai dengan pendapat Wahyudi (2003) dan Budi (2005) yang meyatakan bahwa pakan yang mempunyai nutrient yang relatif sama maka konsumsi pakannya juga relatif sama. Pertambahan Bobot Badan Rata-rata pertambahan bobot badan (g/ekor/hari) untuk setiap perlakuan tertera pada tabel 1. Pertambahan bobot badan hasil penelitian berkisar antara 2,02 2,33 g/ekor/hari. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa penggunaan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dalam ransum berbeda tidak nyata. Perbedaan pertambahan bobot badan yang tidak nyata disebabkan karena kandungan nutrient dalam ransum yang dikonsumsi

9 mempunyai kandungan protein dan energi yang relatif sama. Pertambahan bobot badan yang berbeda tidak sama ini disebabkan karena konsumsi pakan yang sama antar perlakuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (1994), yang menyatakan bahwa konsumsi pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan selain jenis kelamin, hormon, kastrasi, Tabel 2. Rata-rata pertambahan bobot badan setiap perlakuan (g/ekor/hari) Perlakuan Ulangan Rata-rata (ns) R0 (Tp.pupa 0 %) 2,26 2,23 2,33 2,27 R1 (Tp.pupa 2,5 %) 2,17 2,10 2,28 2,18 R2 (Tp.pupa 5 %) 2,02 2,16 2,13 2,10 R3 (Tp.pupa 7,5 %) 2,05 2,30 2,15 2,16 R4 (Tp.pupa 10 %) 2,04 2,05 2,22 2,10 Keterangan : ns = berbeda tidak nyata genetik dan jenis pakan yang diberikan. Dengan demikian penggunaan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) mempunyai pengaruh yang sama dengan tepung ikan, sehingga tepung tersebut dapat digunakan bahan pakan sebagai alternatif yang dapat menggantikan tepung ikan. Konversi Pakan Konversi pakan rata-rata untuk tiap perlakuan tertera pada tabel 3. Konversi pakan hasil penelitian berkisar antara 4,59 5,33. Tabel 3. Rata-rata konversi pakan setiap perlakuan Perlakuan Ulangan Rata-rata (ns) R0 (Tp.pupa 0 %) 4,84 4,77 4,59 4,73 R1 (Tp.pupa 2,5 %) 4,95 5,09 4,71 4,92 R2 (Tp.pupa 5 %) 5,33 4,98 5,05 5,12 R3 (Tp.pupa 7,5 %) 5,25 4,68 4,98 4,97 R4 (Tp.pupa 10 %) 5,26 5,25 4,85 5,12 Keterangan : ns = berbeda tidak nyata Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa konversi pakan antar perlakuan terdapat perbedaan yang tidak nyata. Hal ini disebabkan karena konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan yang berbeda tidak nyata juga. Konversi pakan merupakan perbandingan antara konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan, sehingga apabila kedua peubah tersebut tidak beda nyata makan konversi pakannya juga akan berbeda tidak nyata. Penggunaan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dengan

10 hasil yang berbeda tidak nyata dengan tepung ikan, maka tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dapat digunakan untuk menggantikan tepung ikan. Konversi pakan merupakan nilai yang menggambarkan kemampuan unggas untuk mengubah pakan menjadi daging. Hasil penelitian ini yang menghasilkan konversi pakan antara 4,59 5,33, hasil ini lebih rendah dibandingkan pakan yang menggunakan bahan pakan enceng gondok. Hasil penelitian Wahyudi (2003) yang menggunakan tepung enceng gondok dalam ransum puyuh jantan menghasilkan konversi pakan sebesar 5,68 7,82. Dengan demikian penggunaan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) lebih baik dari pada tepung enceng gondok. Hal ini sesuai dengan pendapat Kamal (1999) yang menyatakan bahwa semakin kecil konversi pakan menunjukkan bahwa ramsum yang dikonsumsi dapat digunakan lebih efisien dalam menghasilkan peningkatan bobot badan. Persentase Karkas Tabel 4. Rata-rata persentase karkas setiap perlakuan (%) Rata-rata persentase karkas yang dihasilkan untuk setiap perlakuan tertera dalam tabel 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang tidak nyata pada persentase karkas puyuh jantan. Persentase karkas merupakan hasil yang diperoleh dari bobot karkas dibagi dengan bobot hidup dikalikan 100 %., oleh karena bobot badan berbeda tidak nyata maka persentase karkaspun juga berbeda tidak nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (1994) dan hasil penelitian Dewi (2007), bahwa persentase karkas dipengaruhi oleh bobot hidup dan bobot karkas, apabila bobot hidup dan bobot karkas berbeda tidak nyata maka persentase karkasnya juga berbeda tidak nyata. Perlakuan Ulangan Rata-rata (ns) R0(Tp.pupa 0 %) 69,51 68,90 69,06 69,16 R1(Tp.pupa 2,5 %) 68,72 68,95 68,34 68,67 R2(Tp.pupa 5 %) 68,48 69,50 69,46 69,15 R3(Tp.pupa 7,5 %) 64,93 67,13 70,16 67,40 R4(Tp.pupa 10 %) 68,01 68,60 67,97 68,19 Keterangan : ns = berbeda tidak nyata Hasil penelitian persentase karkas puyuh jantan dengan perlakuan ransum dengan pakan yang menggunakan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) rata-rata berkisar antara 67,40 69,16 %. Hasil ini lebih baik dari persentase karkas yang menggunakan tepung gangsing yang berkisar antara 60,08 68,09 % (Budi, 2005). Mortalitas Selama penelitian tidak terjadi kematian puyuh, hal ini

11 menunjukkan bahwa pemberian tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dalam ransum tidak menyebabkan kematian puyuh. Hal ini membuktikan bahwa kandungan nutrient ransum dari bahan yang disusun dengan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) mampu memenuhi kebutuhan nitrisi puyuh jantan, dan juga tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) tidak mengandung bahan yang merugikan puyuh jantan. KESIMPULAN Tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dapat digunakan dalam ransum puyuh jantan mensubtitusi tepung ikan sampai pada aras 10 % tanpa mengganggu kinerja pada puyuh (Coturnix-coturnix japonica) jantan. DAFTAR PUSTAKA Anonimus, 2005, RPPK : Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Astuti, M., 1980, Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik. Bagian I. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Budi, S., 2005, Pengaruh Aras Tepung Gangsing (Sesarma reticulatum) dalam Ransum terhadap Kinerja Burung Puyuh (Coturnix-coturnix japonica) Jantan. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta. Dewi, S. H. C., 2007, Pengaruh Pemberian Gula dan Insulin sebelum Pemotongan terhadap Kualitas Fisik Daging Domba. Buletin Pertanian dan Peternakan Vol. 8 N Kamal, M. 1999, Nutrisi Ternak Dasar. Laboratorium Makanan Ternak. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Mathius I.W dan A.P. Sinurat, 2001, Pemanfaatan Bahan Baku Pakan Inkonvensional Untuk Ternak. Wartazoa Vol. 11 No. 2 Tahun Balai Penelitian Ternak. Bogor. Murtidjo, B. A., 1991, Pedoman Beternak Ayam Broiler. Yayasan Kanisius, Yogyakarta. Soeparno, Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wahyudi, A Pengaruh Penggunaan Tepung Enceng Gondok (Eichornia crassites) dalam Ransum terhadap Kinerja Burung Puyuh (Coturnix-coturnix

12 japonica) Fakultas Universitas Manggala. Jantan. pertanian, Wangsa Yogyakarta

13 DOSIS CAMPURAN LIMBAH SAPI DENGAN LIMBAH BABI TERHADAP PRODUKSI GASBIO (THE MIXTURE OF CATTLE AND PIGS WASTE DOSAGE TOWARDS BIOGAS PRODUCTION) Setyo Utomo 1 ) dan Vita Wahyuningsih 2 ) 1)Staf Pengajar Jurusan Peternakan, UMB Yogyakarta 2)Alumni Peternakan, UMB Yogyakarta ABSTRACT This research was aimed to know biogas production consist of the mixture of cattle and pigs waste within three levels. The treatment consist of 75% pigs waste; 25 % cattle waste (P1), 50% pigs waste; 50% cattle waste (P2) and 25% pigs waste; 75% cattle waste (P3). The observed variable consist of dry matter waste (DM), substrat, ph, C/N ratio, environmental and digester temperature, the maximal biogas product and the total of biogas. The research showed that the DM waste of P1 = 29,35%; P2= 25,98% and P3 = 80,88%. The DM of substrat P1 = 7,94%, P2 = 7,84% and P3 = 7,76%. ph of P1 = 7,59; P2 and P3 = 7,44. CN ratio P1 = 11,82; P2 = 10,32 and P3 = 8,81. The avarage of digester temperature P1 = 26,16 0 C; P2 = 26,38 0 C and P3 = 26,28 0 C with the environmental temperature was between 27 0 C to 30 0 C. The total of biogas production within 30 days retention was P1 = 2195,20 (l/1 atm/29 0 C); P2 = 2098,77 0 C (l/1 atm/29 0 C) and P3 = 2224,83 (l/1 atm/29 0 C) showed the different was not significant, while the biogas production tended to be higher rather than (P1) and (P2) and the maximum biogas production reached on the 21 st to 25 th day. Key words : Biogas production, Pig waste, Cattle waste, level PENDAHULUAN Limbah ternak merupakan sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produksi ternak dan lain-lain. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen dan lain-lain (Sihombing, 2000). Semakin berkembang usaha peternakan, limbah yang dihasilkan semakin meningkat. Salah satu alternatif untuk memecahkan masalah tersebut dengan menerapkan teknologi pembuatan gasbio (Basuki, 1985). Pembuatan dan penggunaan biogas mulai digalakkan pada awal tahun 1970-an, bertujuan memanfaatkan bahan limbah menjadi sumber energi lain di luar kayu bakar dan minyak tanah (Suriawirya, 2004). Teknologi pembuatan biogas dari kotoran ternak berpeluang menjadi solusi pilihan untuk keterbatasan ketersediaan bahan bakar minyak tanah dan kayu bakar serta peningkatan produksi ternak

14 menuju swasembada daging serta mendorong perbaikan lingkungan (Sembiring, 2005) Gasbio sebagai sumber bahan bakar dapat diperoleh melalui proses fermentasi anaerob dari limbah pertanian maupun limbah peternakan yang mengalami biokonversi menjadi bahan bakar yang lebih berguna. Komposisi gas bio terdiri dari gas methan (CH 4 ), Karbondioksida (CO 2 ), dan sedikit Hidrogen Sulfida (H 2 S), Nitrogen (N 2 ), Karbonmonoksida (CO) serta Oksigen (O 2 ) (Sihombing, 1980). Diantara komponen penyusun gas bio tersebut yang berfungsi sebagai bahan bakar adalah gas methan (CH 4 ) (Soejono et al. 1989) Produksi gas methan untuk setiap proses produksi produksi berbeda-beda, termasuk antara feses ternak babi dan ternak sapi potong, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan jumlah mikrobia dan C/N rasio feses. Menurut Hadi (1982) rasio C/N feses babi adalah 25 lebih besar dari pada sapi 18. Terdapat perbedaan jumlah mikrobia antara feses babi dan feses sapi potong. Selain itu banyak sedikitnya jumlah mikrobia dipengaruhi oleh perbedaan jenis makanan, umur ternak, kondisi pengumpulan feses, cara memelihara dan juga faktor lingkungan (Anonimus, 1980). MATERI DAN METODA Penelitian ini di Desa Karangwuni, Kecamatan Wates, Kabupaten Kulonprogo, DIY dan di Lab.Tanah Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta. Materi Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah larutan feses sapi potong dan feses babi masing-masing sebanyak 123,09 kg. Alat yang digunakan adalah digester berupa drum plastik bekas dengan kapasitas 125 l,digunakan sebanyak 9 buah, Gas holder, terbuat dari plastik berukuran 60 kg, 9 buah, selang kecil, digunakan untuk mengukur tekanan gas berbentuk U, thermometer, diperlukan 10 buah thermometer air raksa, ph Meter, digunakan untuk mengukur derajat keasaman isian digester (substrat), drum bekas dan ember dan Kompor gas. Metode Penelitian Penelitian menggunakan tiga level perlakuan dan tiga ulangan yaitu campuran feses babi dengan feses sapi. Sebelum substrat dimasukkan kedalam digester dilakukan pengamatan berupa kadar bahan kering feses dan substrat serta pengukuran C/N rasio. Pengamatan setelah pengisisan substrat adalah pengukuran ph,, pengukuran suhu lingkungan dan digester serta pengukuran produksi gas bio. 1. Analisis kadar bahan kering feses dan substrat 2. Pembuatan substrat Substrat dibuat dengan perbandingan feses dengan air 1 : 3 dari drum berkapasitas 125 l diisi 7 / 8

15 bagian x 125 l = 109,38 kg/l (kotoran + air) a. P1 digunakan substrat yang terdiri dari feses babi sebanyak 20,51 kg, feses sapi 6,84 kg dan airnya sebanyak 82,04 l b. P2 digunakan substrat yang terdiri dari feses babi sebanyak 13,675 kg, feses sapi 13,675 kg dan airnya sebanyak 82,04 l. c. P3 digunakan substrat yang terdiri dari feses babi sebanyak 8,84 kg, feses sapi 20,51 kg dan airnya sebanyak 82,04 l. 3. Pengukuran derajat keasaman, temperatur digester dan temperatur lingkungan 4. Pengukuran gas bio Setelah digester di isi dengan substrat (P1), (P2) dan (P3) dan pengisian dilakukan sampai hampir penuh yaitu 7 / 8 bagian drum berkapasitas 125 litter, pengukuran tekanan gas bio dalam slang yang diisi air indicator dimulai pada hari ke dua setelah substrat dimasukan kedalam digester. Untuk mengukur tekanan dalam gas holder digunakan rumus: P = g. h P : Tekanan dalam gas holder g : Gaya grafitasi bumi h : Selisih permukaan air dalam manometer Produksi gas bio dihitung berdasar tekanan suhu atmosfir 29 0 C dengan menggunakan rumus Boyle-Gay Lussac P1. V1 P2. V2 T T 1 2 P 1 : Tekanan gas dalam 1 atm P 2 : Tekanan gas dalam gas holder V 1 : Volume gas pada tekanan 1 atm V 2 : Volume gas dalam gas holder T 1 : Suhu lingkungan ( 0 Kelvin) T 2: Suhu dalam gas holder ( 0 Kelvin) Analisis Data Penelitian ini menggunakan Complletely Randomized Design (CRD) pola searah, dengan analisis data adalah analisis variansi. (Astuti, 1980). Hipotesis Produksi gas bio dipengaruhi oleh macam/level substrat / campuran (feses sapi dan feses babi). HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis bahan kering Feses dan substrat, ph serta C/N rasio Analisis bahan kering (BK) feses (P 3 ) sebesar 33,80%, lebih besar dari (P 1 ) 29,35% dan (P 2 ) 25,98%. Perbedaan BK terjadi karena pengaruh pakan, umur

16 ternak, jenis ternak dan besar kecilnya ternak. Selengkapnya data BK adalah sbb.: Tabel 1. Kadar bahan kering feses, substrat, ph dan C/N rasio Perlakuan BK. Feses BK Substrat ph C/N ( % ) ( % ) rasio P1 29,35 7,94 7,59 11,82 P2 25,98 7,84 7,52 10,32 P3 33,80 7,76 7,44 8,81 Sumber : Laboratorium Ilmu Tanah Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta. Kadar BK substrat masih dalam kisaran normal yaitu (P 3 ) sebesar 7,76 %, (P 2 ) 7,84% dan (P 1 ) 7,94%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Basuki, 1990) bahwa kadar bahan kering substrat berada pada kisaran 7 9 %. Derajat keasaman (ph) P 3 sebesar 7,44%, P 2 sebesar 7,52% dan P 1 sebesar 7,59%. Wibowo et al (1985) menyatakan bahwa aktivitas mikroorganisme dibutuhkan kisaran ph 6 8, sedangkan yang paling ideal 7,4 (Blot, 1976). Suriawirya dan Sastramiharja (1980), menambahkan bahwa fermentasi anaerob dapat bekerja dengan baik untuk menghasilkan gas bio secara optimal pada kisaran ph 6,8 8. Pada ph dibawah 6,8, misalnya 6,2, aktivitas mikroorganisme metanogenik menurun sedang bakteri asetogenik yang menghasilkan asam asetat terus meningkat dan mengakibatkan produksi gas bio menurun (Sihombing, 1997). Hasil penelitian menunjukan kandungan C/N rasio (P 3 ) adalah 8,81, (P 2 ) adalah 10,32 dan (P 1 ) adalah 11,82. Imbangan karbon (C) dan nitrogen (N) yang terkandung dalam bahan organik sangat menentukan kehidupan dan aktifitas mikroorganisme. Imbangan C/N yang optimum bagi mikroorganisme adalah % (Surajudin et al, 2006). Ratio C/N dalam bahan organik sangat mempengaruhi kegiatan mikroorganisme dalam memproduksi gas bio. Bila C/N terlalu tinggi populasi dan aktivitas mikroorganisme rendah akibatnya produksi gas bio menjadi rendah atau mungkin tidak terbentuk samasekali dan apabila C/N terlalu rendah akan mengurani nitrogen yang akan berubah menjadi ammonia dan meracuni bakteri (Hadi, 1982). B Proses gas bio Suhu lingkungan yang diperoleh dari hasil penelitian (Tabel 2) menunjukkan sebesar 28,16 0 C dengan kisaran C.

17 Tabel 2. Suhu lingkungan dan suhu digester Perlakuan Suhu digester ( 0 Suhu lingkungan C) ( 0 C) P1 26,16 28,16 P2 26,38 28,16 P3 26,28 28,16 perubahan hampir sama dengan suhu lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Meynell (1976) bahwa temperatur kerja penghasil gas bio sangat tergantung pada Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu digester dari (P1) 26,16 0 C, (P2) 26,38 0 C dan (P3) 26,28 0 C, suhu tersebut masih pada kisaran yang normal meskipun belum ideal untuk proses pembentukan gas bio. Fermentasi dapat berlangsung bila suhu lingkungan dan suhu digester berkisar antara C, sedangkan suhu digester yang ideal antara C (Sihombing, 1997). Suhu digester berada dibawah suhu lingkungan ideal dan suhu digester mengalami temperatur lingkungan, semakin tinggi suhu lingkungan, temperatur didalam pencerna (digester) gas bio semakin tinggi. Produksi gas bio akan menurun akibat perubahan temperatur yang mendadak dalam digester. Perubahan temperatur yang tibatiba melebihi 3 0 C akan mempengaruhi proses produksi gas bio (Hadi, 1980). C Produksi gas bio Volume gas bio yang di produksi setiap perlakuan tidak selalu sama. Adanya keteraturan yang sama yaitu bahwa produksi gas bio bervariasi dari ke hari namun cenderung mengalami kenaikan sampai dengan hari ke 20, tetapi setelah mancapai puncak produksi akan terjadi penurunan secara gradual. Hal ini di sebabkan oleh penurunan aktivitas bakteri anaerob, dengan adanya penurunan bahan organik yang telah mengalami degradasi menjadi komponen lain. 1. Pengukuran produksi gas bio Tabel 3: Produksi gas bio dari campuran feses babi dengan feses sapi per 10 hari (l/1 atm/29 0 C) Waktu Perlakuan Retensi P1 P2 P Jumlah Rerata ns ns. Rerata produksi gasbio ketiga perlakuan substrat berbeda tidak beda nyata (non significant).

18 Hasil penelitian produksi gas bio selama 30 hari menunjukkan bahwa puncak produksi dari (P 1 ) dicapai pada hari ke 20 sebesar 114,16 l, (P 2 ) dicapai pada hari ke 25 sebesar 128,37 l dan (P 3 ) dicapai pada hari ke 24 sebesar 113,17 l. Perbedaan tersebut dimungkinkan karena adanya faktor yang mempengaruhi produksi gas bio seperti C/N rasio substrat, apabila C/N rasio substrat mendekati C/N rasio yang ideal yaitu maka proses fermentasi akan lebih cepat sehingga produksi gas bio yang diproduksi akan lebih cepat. Hasil analisa statistik untuk ketiga perlakuan macam substrat menunjukkan adanya perbedaan yang tidak nyata. Hal itu disebabkan semua perlakuan Puncak produksi gasbio sesuai dengan Basuki et al (1990) yaitu bahwa puncak produksi gasbio dicapai pada hari ke dan setelah mencapai puncak produksi gas bio akan menurun secara gradual. Pada hari ke 30 gas bio masih tetap berproduksi ini dimungkinkan karena masih adanya substrat yang dapat digunakan untuk proses pembentukan gas bio, sehingga prses fermentasi tetap berlangsung. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Biogas mulai terbentuk pada hari ke 2 dan puncak produksi dicapai pada hari ke dengan bahan baku sebanyak 27,35 kg. Produksi gas bio yang paling baik dari ketiga level adalah substrat mempunyai ph, suhu lingkungan,suhu digester dan bahan kering substrat yang hampir sama. Adanya kecenderungan perbedaan dikarenakan adanya faktor yang mempengaruhi produksi gas bio seperti C/N rasio. Selain itu (P3) masih banyak aktifitas mikrobia dan zat-zat lainnya seperti protein, lemak, lignin dan lainnya yang dapat diurai menjadi gas methan. Fakta menunjukan bahwa perlakuan dengan slah satu bahan (feses) yang banyak memiliki kecenderungan produksi gasbio yang relative lebih banyak, hal ini disebabkan karena tingginya C/N rasio pada babi dan didukung banyaknya mikroorganisme yang mampu merubah gas methan yang terdapat pada feses sapi. (P3) yaitu sebesar 2224,83 l dan terendah adalah (P2) sebesar 2098,77 l. Saran Dalam pembuatan gasbio sebaiknya menggunakan substrat dengan campuran feses babi 25% dengan feses sapi sebanyak 75%, karena akan dihasilkan produksi gasbio terbanyak. DAFTAR PUSTAKA Anonimus Guide Book on Bio Gas Development. Energy Resources Development Series 21. United Nations Publ., Bangkok.

19 Astuti, M., Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik I. Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Basuki, P., Pemanfaatan Kotoran Ternak Sebagai Sumber Energi Rumah Tangga. Seminar on Development of Tropical Resources and Efective Utilization of Energi in Agriculture Januari 1985, Yogyakarta. Basuki, P., G. Murjito dan N. Ngadiono Hubungan Antara Umur Isian Bahan Baku Dengan Produksi Gas Bio Pada Kotoran Sapi Potong. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi. Fakultas Peternakan, UGM, Yogyakarta. Blot, P. de. S. J., (1976). Recycling Proses dalan Integrated Rural, Development system, Yayasan Realina, Yogyakarta. Hadi, N., Sumber Gas sebagai Sumber Energi dan Pengembangan Desa. Seminar Nasional Lembaga Penelitian Ternak Januari 1979, Jakarta. Hadi, Asmara, dan Ariono, 1982, Pra Rencana Pabrik Bio Gas dari Kotoran Sapi, Fakultas Teknik Kimia, ITS, Surabaya. Meynell., J. P Methane Planning a Digester. Prism Press, Stable Court, Calmington, Dorchester, Dosert. Sihombing, D. T. H. 1980, Prospek Penggunaan Bio Gas untuk Energi Pedesaan di Indonesia, LPL, No II Tahun XIV, LEMIGAS, Jakarta. Sihombing, D. T. H. 1997, Ilmu Ternak Babi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Sihombing, D. T. H. 2000, Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha Peternakan, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor. Soejono, M., E.S. Soetarto, R. Utomo, P. Basuki dan Harsoyo Pengaruh Amoniasi Urea Jerami Padi Terhadap Kotoran Sapi Untuk Produksi Gas Methana. Laporan Penelitian No. 50/L. PAU/UGM/215/1989. PAU. Bioteknologi UGM, Yogyakarta. Suriawiria, U. dan I. Sastramihardja Faktor Lingkungan Biotis dan Abiotis didalam Proses Pembentukan Gas Bio Serta Penggunaan Starter Efektif didalamnya. Lokakarya Pengembangan Energi Non Konvensional.

20 Direktorat Jenderal Ketenagaan Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta. Suriawirya, U, 2004, Menuai Biogas dari Limbah, Info Teknologi, Bandung. Sembiring, I, 2005, Biogas, Alternatif Ketika BBM Menipis, Waspada Online, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara

21 POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) PROGO KULONPROGO, YOGYAKARTA Nur Rasminati*) dan Setyo Utomo*) *)Staf Pengajar Program Studi Peternakan, Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta nurrasminati@yahoo.co.id ABSTRACT The objectives of this research was to know the potency of DAS Progo for beef cattle development based on capability of forage production, carrying capacity and the level of animal productivity. The number of 60 respondents that live around DAS Progo, Lendah district, Kulon Progo regency were used in this research. The data were feed productivity, average daily gain (ADG) and calving interval were analyzed descriptively. The result showed that 96,66% respondents have areas DAS that is planted with forage. While the rest don t have DAS area, but they undirectly used by buying from owner of DAS area. The productivity of elephant grass is 47,2 ton/ha/defoliation, so it s predicted the production in one year is 424,8 ton and can receive 33,25 UT of cattle. The ADG for PO and Simmental cross at 0 12 months are 0,476 g/head vs 0,509 g/head, months are 0,379 g/head vs 0,445 g/head, more than 30 month are 0,253 g/head vs 0,278 g/head. The calving interval for PO dan Simmental are 15,33 and 13,67 months. It could be concluded that DAS Progo area in Kulonprogo regency has potency for the cattle development. The Simmental cross is appropriate to be developed in DAS Progo, it has growth rate and calving interval better than PO cattle. Key words : DAS Progo, Beef cattle, The potency of area PENDAHULUAN DAS Progo menyimpan potensi dalam menghasilkan hijauan pakan ternak terutama rumput gajah dan rumput star grass yang berkembang pesat dengan produksi yang melimpah meskipun tanpa pembudidayaan yang intensif. Produksinya hampir 100 ton per ha per defoliasi. Hal ini didukung oleh kondisi media tumbuh yang sangat subur karena tersedianya unsur-unsur hara dalam tanah. Proses terbentuknya tanah di sepanjang DAS Progo disebabkan adanya endapan sungai yang selalu terjadi pada saat air melimpah dan tanaman yang ada, sehingga endapan maupun seresah bahan organik yang terbawa air akan tertahan, akhirnya menjadi media tumbuh tanaman yang sangat subur. Areal yang berjarak sekitar 700 m dari batas pemukiman penduduk merupakan lahan yang dapat ditanami hijauan pakan dan merupakan tanah tidak bertuan. Melihat fakta yang ada dapat dipastikan bahwa

22 pengembangan ternak sapi maupun ternak ruminansia lainnya dapat dilakukan secara intensif di wilayah tersebut. Kondisi yang ada sekarang menunjukkan bahwa ketersediaan hijauan belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat yang mempunyai ternak sapi dengan pola pemeliharaan yang masih tradisional. Mereka justru memberi pakan jerami padi dengan alasan jerami padi lebih efisien karena sekali mendatangkan dengan truk bisa dapat digunakan berhari-hari. Hal ini dapat dipahami karena pemeliharaan ternak hanya merupakan usaha sambilan dan hanya sekedar sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk mendapatkan uang kontan. Permasalahan yang dihadapi masyarakat adalah sapi yang berada di sepanjang DAS Progo belum berproduksi secara optimal sehingga keuntungan belum dapat dirasakan oleh petani peternak. Mereka belum memanfaatkan secara maksimal potensi DAS sebagai penyedia rumput atau hijauan pakan. Masyarakat perlu melihat secara langsung bahwa wilayahnya berpotensi sebagai pusat pengembangan ternak sapi karena keberadaan DAS dengan ketersediaan hijauan yang cukup tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi DAS Progo terhadap pengembangan ternak sapi di masyarakat sekitar terutama dalam penyediaan hijauan pakan, kemampuan produksi rumput, daya tampung ternak, produktivitas ternak baik produksi maupun reproduksinya. METODA PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di desa Ngentakrejo, kecamatan Lendah yang berada di wilayah aliran sungai (DAS) Progo Kulonprogo Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Peternak sapi, peternak yang diambil sebagai responden sebanyak 60 orang yang memiliki minimal 1 ekor ternak sapi dalam berbagai fase. 2. Ternak sapi, dibutuhkan minimal 60 ekor sapi dalam berbagai fase. 3. Hijauan pakan, yang digunakan adalah hijauan pakan yang tumbuh di sepanjang DAS Progo yaitu rumput alam, rumput gajah dan star grass. Metoda Penelitian ini menggunakan metoda survey terhadap 60 petani peternak responden sebagai sampel yang berada di desa Ngentakrejo, kecamatan Lendah, Kulon Progo terutama yang berada di sepanjang DAS Progo. Data yang diamati meliputi kinerja produksi sapi yang meliputi bobot badan pada setiap fase (pedet, fase pertumbuhan sampai dengan pubertas) dan ADG pada

23 masa pertumbuhan dan kinerja reproduksi seperti Calving Interval dan S/C serta data produksi rumput, Carrying Capacity dan jenis rumput unggul yang ada di wilayah DAS Progo. Analisis Data Data yang diperoleh baik data produktivitas hijauan maupun ternak, yang ada di DAS Progo Kulonprogo dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian Luas wilayah desa Ngentakrejo adalah 540,8865 Ha terdiri atas pemukiman, ladang, jalan, kuburan dan lahan DAS Progo. Kondisi DAS yang cukup luas sebagai lahan hijauan merupakan potensi yang baik untuk usaha pengembangan peternakan terutama ternak sapi potong. Diperkirakan desa ini memiliki lahan DAS sekitar 399 Ha. Ketersediaan lahan hijauan pakan di sepanjang DAS Progo akan menentukan jumlah hijauan pakan ternak yang dapat disediakan sebagai pakan. Pada kenyataannya sebagian besar lahan DAS ditanami hijauan pakan berupa rumput unggul (rumput gajah maupun star grass). Sehingga secara langsung sumber daya DAS akan menentukan keberhasilan usaha ternak sapi potong di DAS Progo. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar masyarakat di desa Ngentakrejo (96,66%) memiliki lahan DAS yang ditanami dengan hijauan pakan. Sedangkan sisanya tidak memiliki lahan DAS namun secara tidak langsung memanfaatkannya dengan cara membeli rumput kepada pemilik lahan DAS. Kepemilikan lahan DAS berlangsung secara turun temurun dan tidak dibuktikan oleh tanda bukti apapun, hanya berdasarkan siapa yang terlebih dahulu memanfaatkannya. Selengkapnya data kepemilikan lahan DAS tertera pada Tabel 1. Kepemilikan lahan DAS Tabel 1. Kepemilikan lahan daerah aliran sungai (DAS) Progo Jumlah responden Luas DAS (m 2 ) Orang Persentase 0 2 3, , , > ,67 Jumlah

24 Daya tampung DAS Progo Fungsi DAS Progo bagi masyarakat disekitarnya adalah sebagai lahan sawah / pertanian tadah hujan, lahan hijauan pakan ternak, tanaman pertanian seperti jagung, pisang, singkong, dan bahkan sebagai lahan penambangan pasir. Santosa (1992) menyatakan bahwa DAS merupakan bagian integral dari kesatuan wilayah teritorial yang mempunyai potensi untuk mendukung bidang pertanian termasuk bidang peternakan. Fungsi sinergis yang telah berlangsung selama ini adalah sebagai lahan penyedia hijauan pakan ternak khususnya ternak sapi. Kebanyakan tanaman rumput yang ditanam adalah rumput gajah, rumput raja dan rumput star grass serta rumput alam yang tumbuh secara liar. Pengelolaan hijauan pakan unggul belum dilakukan secara intensif, hanya dalam pemberian pupuk saja sedangkan pendangiran jarang dilakukan sehingga produktivitasnya belum optimal. Cara penanaman rumput gajah dan raja dilakukan dengan pols (akar) bukan menggunakan stek, sehingga diharapkan akan mempunyai titik tumbuh yang lebih banyak dan produksinya menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan stek. Luas lahan di sepanjang DAS yang diperkirakan sekitar 420 Ha di wilayah Ngentakrejo, hal ini dapat menjadi potensi untuk pengembangan usaha peternakan karena tersedianya lahan untuk sumber pakan yang cukup luas. Dari hasil penelitian diketahui bahwa produksi rumput gajah adalah sebesar 47,2 ton/ha/defoliasi, sehingga diperkirakan produksi hijauan selama satu tahun adalah 424,8 ton dan menampung sapi dewasa sekitar 33,25 UT/th. Produksi rumput gajah di lokasi penelitian belum optimal (optimal sekitar 150 ton/ha/defoliasi), karena rumput gajah di sepanjang DAS walaupun diberi pupuk, tetapi belum sesuai standar kebutuhan. Hal ini disebabkan peternak kurang memiliki modal untuk membeli sarana produksi termasuk membeli pupuk. Para peternak lebih mengutamakan memupuk tanaman pertaniannya dibandingkan dengan tanaman rumput. Pemberian Pakan Ketersediaan pakan secara kontinyu, murah dan mudah didapat merupakan kunci sukses keberhasilan suatu usaha peternakan. Biaya pakan menduduki porsi sekitar % dari total biaya produksi. Atas dasar itulah pemenuhan pakan secara cukup dan sempurna merupakan suatu keharusan dalam suatu usaha peternakan, khususnya pada ternak ruminansia kebutuhan akan hijauan pakan ternak juga menjadi sangat penting. Umumnya sapi di wilayah DAS mengkonsumsi pakan berasal dari hijauan pakan di lahan DAS (100%) meskipun harus menambah jerami dari daerah lain dengan alasan kepraktisan dalam teknis memotong hijauan terutama

25 dari aspek waktu. Sedangkan berdasarkan jenis rumputnya masyarakat DAS Progo sebagian besar memberikan jenis rumput gajah sebagai pakan ternak sapinya (86,67%) sedangkan sisanya (13,33%) memberikan campuran rumput gajah dengan rumput alam yang juga diambil dari lahan DAS. Defoliasi terhadap rumput gajah maupun rumut raja dilakukan pada umur hari, dengan alasan penampilan rumput belum terlalu tua dan ternak lebih menyukainya. Sebagaimana pendapat Reksohadiprojo (1985) yang menyatakan bahwa sebaiknya pemotongan rumput gajah adalah umur 6 8 minggu atau dilakukan paling baik adalah pada umur 6 minggu (42 hari). Jumlah pemberian rumput gajah per hari per ekor sapi adalah sekitar 25 kg untuk sapi dewasa (sekitar 18 bulan) dengan taksiran berat sekitar 350 kg sehingga masih diperlukan lagi hingga mencapai 35 kg/ekor/hari. Meskipun ternak tersebut juga diberi pakan tambahan atau pakan penguat yang terdiri atas bekatul, ampas tahu, kulit kedelai dan ketela. Rata-rata responden memberikan pakan penguat berupa bekatul (83,34%), bahan campuran (ampas tahu, bekatul, kulit kedelai dan ketela) sebanyak 1,66% dan hanya 1,66 yang memberikan ampas tahu dan sebanyak 13,34% masyarakat DAS tidak memberikan bahan pakan penguat. Capaian Produksi Sapi Sebagian besar masyarakat di sepanjang DAS Progo memiliki ternak sapi potong rata-rata 2 ekor (41,66%) atau berada pada jumlah kepemilikan antara 1 5 ekor, dengan status kepemilikan adalah milik sendiri (61,6%), gaduhan (28,3%) dan lain-lain (10%). Dari jumlah tersebut bangsa sapi yang dipelihara adalah sapi PO (52,2%) dan sapi Simental (47,8%). Umur sapi yang dipelihara masyarakat di DAS Progo terbanyak adalah anakan sampai dengan umur 30 bulan (76,31%) dan sisanya di atas 30 bulan. Berdasarkan kenyataan tersebut menunjukkan bahwa sudah terdapat kesadaran masyarakat untuk beternak sapi dari bangsa unggul yang lebih menguntungkan. Meskipun dari status kepemilikan ternak sapi terbesar adalah milik sendiri namun untuk pengembangan usaha masih dibutuhkan permodalan karena rata-rata kepemilikan hanya 2 ekor. Prospek pemeliharaan sapi masyarakat DAS cukup baik terutama ditinjau dari umur ternak sapinya disamping bangsa yang dipelihara. Dengan umur sapi anakan sampai dengan 30 bulan menunjukkan sapi dalam kisaran umur produktif baik untuk tujuan penggemukan maupun tujuan pembibitan. Peningkatan produktivitas sangat mungkin dilakukan dalam rangka meningkatkan kesadaran beternak sebagai

26 suatu kegiatan usaha. Indikator kinerja sapi dapat ditentukan berdasarkan capaian Avarage Daily Gain (ADG) dan dari kinerja reproduksinya sudah tergambarkan dalam ukuran CI (Calving Interval). ADG sapi DAS Progo Angka ADG menunjukkan hasil capaian dari seekor ternak (sapi) yang merupakan gambaran prestasi dari berbagai pengaruh baik genetik maupun lingkungan yang ada dimana sapi tersebut berada dan dipelihara. Pengaruhnya akan sangat nyata terutama pada masa pertumbuhan sapi (0 18 bulan) atau sebelum pubertas dicapai. Capaian ADG untuk sapi dengan bangsa yang berbeda yaitu PO dan Simmental dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan rata-rata ADG sapi PO dan Simmental pada umur pertumbuhan anakan sampai dengan 12 bulan diketahui adalah 0,476 g/ekor/hari vs 0,509 g/ekor/hari. Perbedaan ADG antar ke dua bangsa disebabkan karena genetik yang berbeda, sapi PO merupakan keturunan sapi-sapi Bos Zebu yang memiliki kemampuan pertumbuhan lebih lambat jika dibandingkan dengan Simmental yang merupakan keturunan Bos taurus. Tabel 2. Capaian ADG sapi DAS berdasarkan bangsa yang berbeda Avarage Daily Gain (ADG) g/ekor Umur (bulan ) Peranakan Ongole (PO) Simmental ,476 0, ,379 0,445 > 30 0,253 0,278 Williamson dan Payne (1993) menyatakan bahwa ratarata ADG dari mulai sapih sampai siap potong untuk sapisapi keturunan Bos taurus sebesar 0,84 kg sedangkan sapi-sapi keturunan Bos indicus sebesar 0,33 kg. Menurut Reksohadiprodjo (1985), kenaikan berat badan harian sapi keturunan Bos taurus lebih besar dibandingkan dengan Bos indicus karena secara genetis kedua bangsa ini memiliki karakteristik dalam hal pertumbuhan, pertumbuhan Bos indicus lebih lambat dibandingkan dengan Bos taurus. Rata-rata pertumbuhan harian sapi Simmental yang dipelihara di wilayah DAS hanya mencapai angka pertumbuhan 0,509 g/ekor/hari. Perbedaan ini disebabkan karena sapi-sapi Simmental yang dipelihara

27 masyarakat DAS bukan merupakan keturunan Bos taurus murni namun sudah merupakan persilangan dengan sapi-sapi PO (keturunan Bos Zebu) (Williamson dan Payne, 1993). Selain itu, pakan yang diberikan oleh peternak belum sesuai dengan standar kebutuhan sehingga pertumbuhan yang dihasilkan juga masih rendah. Pada pertumbuhan 12 bulan sampai dengan 30 bulan baik sapi-sapi PO maupun Simmental mengalami penurunan ADG yaitu 0,379 g/ekor/hari vs 0,445 g/ekor/hari, namun sapi Simmental masih berada lebih tinggi jika dibandingkan dengan sapi PO. Hal ini disebabkan karena masa pertumbuhan optimal sudah terlewati dan juga sapi-sapi sudah mengalami masa pubertas maupun kelahiran pertama pada sapi betina. Kedua bangsa yang berbeda capaian ADG nya disebabkan karena sistem pemeliharaan dan kemampuan genetis. Untuk sapi PO memiliki kemampuan genetis lebih rendah dibandingkan dengan sapi Simmental terutama dalam hal pertumbuhan (Reksohadiprodjo, 1985). Hal yang sama ditunjukkan pada ADG umur sapi di atas 30 bulan yang hanya dicapai pada sapi PO 0,253 g/ekor/hari dan sapi Simmental 0,278 g/ekor/hari. Penurunan ADG ini diakibatkan karena kondisi fisiologis sapi yang sudah banyak mengalami penurunan dalam pertumbuhan jaringan otot namun sudah lebih dominan ke arah pembentukan timbunan lemak. Dalam kondisi ideal berat tubuh akan bertambah (mengikuti kurva sigmoidal) yang menunjukkan laju pertumbuhan lebih besar pada saat menjelang pubertas dan selanjutnya akan berangsur-angsur menurun (lambat) pada saat dicapai dewasa kelamin (Williamson dan Payne, 1993; Black, 1983 dan Hammond, dkk, 1984). Interval kelahiran Untuk mengetahui kinerja reproduksi ternak sapi dapat dilakukan dengan pengukuran interval kelahiran (calving interval = CI). Atas dasar perhitungan CI maka performens dari pola pemeliharaan dan kemampuan ternak akan dapat tergambarkan dengan baik dan jelas. Calving interval akan menggambarkan jarak beranak yang normal jika batas-batas waktu ideal berdasarkan kondisi fisiologis ternak dapat tercapai. Kondisi paling ideal dari CI adalah 12 bulan (negara-negara maju) dan 13,5 bulan untuk Indonesia (Hardjosubroto, 1994). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ratarata CI untuk sapi PO dan Simmental masing-masing adalah 15,33 dan 13,67 bulan. Ternyata CI sapi Simmental mendekati kondisi CI yang digunakan di Indonesia yaitu 13, 5 bulan dan agak panjang untuk sapi PO. CI dipengaruhi oleh faktor genetik dan sistem pemeliharaan termasuk kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan. Berdasarkan capaian

28 nilai CI pemeliharaan sapi di wilayah DAS sudah tergolong baik terutama untuk sapi Simmental yang mampu merespon lingkungan secara baik dalam kinerja reproduksinya meskipun agak rendah pada sapi-sapi PO. Calving Interval menggambarkan estrus kembali setelah beranak (Estrus Post partum= EPP), S/C dan lama bunting. EPP dipengaruhi oleh penyapihan (weaning), kualitas dan kuantitas pakan dan kondisi kesehatan ternaknya. S/C dipengaruhi oleh kondisi ternak sapi, kualitas dan kuantitas pakan dan ketrampilan inseminator. Lama bunting sapi rata-rata pada kisaran 286 hari, maju dan mundurnya waktu bunting ditentukan oleh kondisi kesehatan induk, kondisi foetus dan jumlah anak yang dikandungnya. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa wilayah DAS Progo mampu menopang pakan ternak khususnya untuk ternak sapi. Kinerja produksi dan reproduksi sapi potong masih perlu ditingkatkan lagi. Sapi keturunan Simmental cocok untuk dikembangkan di wilayah DAS, memiliki angka pertumbuhan dan jarak beranak yang lebih baik jika dibandingkan dengan sapi PO. DAFTAR PUSTAKA Black, J.L., Sheep Production. Butterworth, London. Hammond, J.Jr, Bowman, J. C dan Robinson T. R., Hammond s Farm Animals. 5 th ed. Butler dan Tanner Ltd. London. Hardjosubroto, W., Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT Grassindo. Jakarta. Reksohadiprodjo, S., Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. BPFE, Yogyakarta. Santoso, H., Pengelolaan Daerah Aliran Sungai : Konsepsi dan Kebijaksanaan. Makalah disampaikan pada kursus Evaluator AMDAL Pertanian, 22 Mei Departemen Pertanian, Jakarta. Wiiliamson, G dan W. J. A. Payne, Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

29 ANALISIS PENDAPATAN DAN KELAYAKAN USAHA PETERNAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH DI KECAMATAN GIRIMULYO KABUPATEN KULONPROGO Sundari 1 dan Komarun Efendi 2 1 Dosen, Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta. 2 Alumni Prodi Produksi Ternak UMBY ABSTRACT *) This research was conducted to investigate the income and feasibility of etawah cross farming in Girimulyo, Kulonprogo regency. Location was determined by purposive on 3 villages and such as a combination of the high of land and population of Etawah cross. Samples were taken by proportional random sampling 10% of farmers. There were 51 farmers of 3 villages : Jatimulyo 37 respondent, Giripurwo 10 respondents, and Pendoworejo 4 respondents. The characteristics of respondents were the everage 48,78 years old, 50,99% on elementary school, 78,51% farmer as main job, experienced 25,05 years, 8 mature goat owned or 1,18 AU. The data analysis showed that the average income was Rp ,31 per year. This farming was feasible to be raised with RCR value 1,28 and rentability value 28,03%. The rentability was higher than Bank BRI rate in Girimulyo sub district. Break Event Point (BEP) Rp ,60 or 0,17 AU, about 1 mature goats. It was concluded that Etawah cross farming was profitable and feasible to be raised. Key words : Etawah cross, income, feasibility, Girimulyo subdistrict. PENDAHULUAN Permintaan pasar daging kambing dalam negeri setiap tahun mencapai 4,3 juta ekor. Sekitar 15% dari jumlah tersebut masih diimpor. Peluang pasar ekspor bahkan jauh lebih besar. Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO), peluang pasar daging kambing dunia saat ini mencapai 22,2 juta ekor per tahun. Sebagian besar permintaan itu datang dari Afrika, Amerika, Asia dan Eropa. Dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat, tingkat konsumsi daging per kapita dunia khususnya negara berkembang akan terus meningkat. Di sisi lain laju konsumsi daging kambing di Tanah Air juga mengalami peningkatan dengan laju 5,6% per tahun, bahkan pada tahun 2005 total konsumsi daging mencapai 18,531 ton atau 5,25 kg per kapita per tahun (Anonimus, 2005), sehingga ternak kambing masih sangat berpeluang untuk dikembangkan guna mencukupi kebutuhan gizi masayarakat dari protein hewani nasional.

PEMANFAATAN TEPUNG PUPA ULAT SUTRERA (Bombyx mori) UNTUK PAKAN PUYUH (Coturnix-coturnix japonica) JANTAN

PEMANFAATAN TEPUNG PUPA ULAT SUTRERA (Bombyx mori) UNTUK PAKAN PUYUH (Coturnix-coturnix japonica) JANTAN PEMANFAATAN TEPUNG PUPA ULAT SUTRERA (Bombyx mori) UNTUK PAKAN PUYUH (Coturnix-coturnix japonica) JANTAN Sri Hartati Candra Dewi 1) dan J. Setiohadi 2) Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, Univ. Mercu

Lebih terperinci

Key words : DAS Progo, Beef cattle, The potency of area

Key words : DAS Progo, Beef cattle, The potency of area POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) PROGO KULONPROGO, YOGYAKARTA Nur Rasminati*) dan Setyo Utomo*) *)Staf Pengajar Program Studi Peternakan, Fakultas Agroindustri, Universitas

Lebih terperinci

DOSIS CAMPURAN LIMBAH SAPI DENGAN LIMBAH BABI TERHADAP PRODUKSI GASBIO (THE MIXTURE OF CATTLE AND PIGS WASTE DOSAGE TOWARDS BIOGAS PRODUCTION)

DOSIS CAMPURAN LIMBAH SAPI DENGAN LIMBAH BABI TERHADAP PRODUKSI GASBIO (THE MIXTURE OF CATTLE AND PIGS WASTE DOSAGE TOWARDS BIOGAS PRODUCTION) DOSIS CAMPURAN LIMBAH SAPI DENGAN LIMBAH BABI TERHADAP PRODUKSI GASBIO (THE MIXTURE OF CATTLE AND PIGS WASTE DOSAGE TOWARDS BIOGAS PRODUCTION) Setyo Utomo 1 ) dan Vita Wahyuningsih 2 ) 1)Staf Pengajar

Lebih terperinci

Redaksi KATA PENGANTAR

Redaksi KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Puji syukur, kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehingga Jurnal AgriSains ini dapat diterbitkan sesuai rencana. Jurnal AgriSains merupakan jurnal hasil penelitian

Lebih terperinci

PENGARUH PERENDAMAN NaOH DAN PEREBUSAN BIJI SORGHUM TERHADAP KINERJA BROILER

PENGARUH PERENDAMAN NaOH DAN PEREBUSAN BIJI SORGHUM TERHADAP KINERJA BROILER PENGARUH PERENDAMAN NaOH DAN PEREBUSAN BIJI SORGHUM TERHADAP KINERJA BROILER Niken Astuti Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, Univ. Mercu Buana Yogyakarta ABSTRACT This research was conducted to investigate

Lebih terperinci

KINERJA AYAM KAMPUNG DENGAN RANSUM BERBASIS KONSENTRAT BROILER. Niken Astuti Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, Univ. Mercu Buana Yogyakarta

KINERJA AYAM KAMPUNG DENGAN RANSUM BERBASIS KONSENTRAT BROILER. Niken Astuti Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, Univ. Mercu Buana Yogyakarta KINERJA AYAM KAMPUNG DENGAN RANSUM BERBASIS KONSENTRAT BROILER Niken Astuti Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, Univ. Mercu Buana Yogyakarta ABSTRACT This research was conducted to investigate the effect

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN KELAYAKAN USAHA PETERNAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH DI KECAMATAN GIRIMULYO KABUPATEN KULONPROGO. Sundari 1 dan Komarun Efendi 2

ANALISIS PENDAPATAN DAN KELAYAKAN USAHA PETERNAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH DI KECAMATAN GIRIMULYO KABUPATEN KULONPROGO. Sundari 1 dan Komarun Efendi 2 ANALISIS PENDAPATAN DAN KELAYAKAN USAHA PETERNAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH DI KECAMATAN GIRIMULYO KABUPATEN KULONPROGO Sundari 1 dan Komarun Efendi 2 1 Dosen, Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, Universitas

Lebih terperinci

Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta

Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta Sains Peternakan Vol. 7 (1), Maret 2009: 20-24 ISSN 1693-8828 Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta N. Rasminati, S. Utomo dan D.A. Riyadi Jurusan Peternakan,

Lebih terperinci

pkecernaan NUTRIEN DAN PERSENTASE KARKAS PUYUH (Coturnix coturnix japonica) JANTAN YANG DIBERI AMPAS TAHU FERMENTASI DALAM RANSUM BASAL

pkecernaan NUTRIEN DAN PERSENTASE KARKAS PUYUH (Coturnix coturnix japonica) JANTAN YANG DIBERI AMPAS TAHU FERMENTASI DALAM RANSUM BASAL pkecernaan NUTRIEN DAN PERSENTASE KARKAS PUYUH (Coturnix coturnix japonica) JANTAN YANG DIBERI AMPAS TAHU FERMENTASI DALAM RANSUM BASAL Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG AMPAS TAHU DI DALAM RANSUM TERHADAP BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN INCOME OVER FEED COST AYAM SENTUL

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG AMPAS TAHU DI DALAM RANSUM TERHADAP BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN INCOME OVER FEED COST AYAM SENTUL PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG AMPAS TAHU DI DALAM RANSUM TERHADAP BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN INCOME OVER FEED COST AYAM SENTUL THE EFFECT OF TOFU WASTE MEAL IN RATIONS ON SLAUGHTER WEIGHTS, CARCASS WEIGHTS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging ayam merupakan salah satu daging yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, karena banyak mengandung protein dan zat-zat

Lebih terperinci

Reny Debora Tambunan, Reli Hevrizen dan Akhmad Prabowo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung ABSTRAK

Reny Debora Tambunan, Reli Hevrizen dan Akhmad Prabowo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung ABSTRAK ANALISIS USAHA PENGGEMUKAN SAPI BETINA PERANAKAN ONGOLE (PO) AFKIR (STUDI KASUS DI KELOMPOK TANI TERNAK SUKAMAJU II DESA PURWODADI KECAMATAN TANJUNG SARI, KABUPATEN LAMPUNG SELATAN) Reny Debora Tambunan,

Lebih terperinci

OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI

OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI Pita Sudrajad, Muryanto, dan A.C. Kusumasari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah E-mail: pitosudrajad@gmail.com Abstrak Telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelinci adalah salah satu ternak penghasil daging yang dapat dijadikan sumber protein hewani di Indonesia. Sampai saat ini masih sangat sedikit peternak yang mengembangkan

Lebih terperinci

THE INFLUENCES OF CAGE DENSITY ON THE PERFORMANCE OF HYBRID AND MOJOSARI DUCK IN STARTER PERIOD

THE INFLUENCES OF CAGE DENSITY ON THE PERFORMANCE OF HYBRID AND MOJOSARI DUCK IN STARTER PERIOD THE INFLUENCES OF CAGE DENSITY ON THE PERFORMANCE OF HYBRID AND MOJOSARI DUCK IN STARTER PERIOD Pinky R. P 1), E. Sudjarwo 2), and Achmanu 2) 1) Student of Animal Husbandry Faculty, University of Brawijaya

Lebih terperinci

PERFORMANCE AND CARCASS PERCENTAGE OF BRAHMAN CROSS STEER SUPLEMENTED BY DIFFERENT IN PREMIX CONCENTRATE ABSTRACT

PERFORMANCE AND CARCASS PERCENTAGE OF BRAHMAN CROSS STEER SUPLEMENTED BY DIFFERENT IN PREMIX CONCENTRATE ABSTRACT PERFORMANCE AND CARCASS PERCENTAGE OF BRAHMAN CROSS STEER SUPLEMENTED BY DIFFERENT IN PREMIX CONCENTRATE Sugeng Wirogo 1, Hary Nugroho 2 and Bambang Soejosopoetro 3 ABSTRACT This research aims to determine

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Domba pada umumnya dipelihara sebagai penghasil daging (Edey, 1983). Domba Lokal yang terdapat di Indonesia adalah Domba Ekor Tipis, Priangan dan Domba Ekor Gemuk.

Lebih terperinci

SKRIPSI TRESNA SARI PROGRAM STUD1 ILMU NUTFUSI DAN MAKAWAN TERNAK

SKRIPSI TRESNA SARI PROGRAM STUD1 ILMU NUTFUSI DAN MAKAWAN TERNAK i 0 b('/ PEMANFAATAN RANSUM AMPAS TEH (Cnnzrllin sinensis) YANG DITAMBAHKAN SENG (Zn) LEVEL BERBEDA TERHADAP REPRODUKSI DAN KONSUMSI KELINCI BETINA PADA SETIAP STATUS FISIOLOGI SKRIPSI TRESNA SARI PROGRAM

Lebih terperinci

Penampilan Kelinci Persilangan Lepas Sapih yang Mendapat Ransum dengan Beberapa Tingkat Penggunaan Ampas Teh

Penampilan Kelinci Persilangan Lepas Sapih yang Mendapat Ransum dengan Beberapa Tingkat Penggunaan Ampas Teh Media Peternakan, April 2004, hlm. 25-29 ISSN 0126-0472 Vol. 27 N0. 1 Penampilan Kelinci Persilangan Lepas Sapih yang Mendapat dengan Beberapa Tingkat Penggunaan Ampas Teh L. Khotijah, R. G. Pratas, &

Lebih terperinci

Pengaruh Jarak Waktu Pemberian Pakan Konsentrat dan Hijauan Terhadap Produktivitas Kambing Peranakan Etawah Lepas Sapih

Pengaruh Jarak Waktu Pemberian Pakan Konsentrat dan Hijauan Terhadap Produktivitas Kambing Peranakan Etawah Lepas Sapih Pengaruh Jarak Waktu Pemberian Pakan Konsentrat dan Hijauan Terhadap Produktivitas Iswoyo dan Widiyaningrum 1 Intisari Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh metode pemberian pakan konsentrat

Lebih terperinci

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN AgroinovasI FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN Usaha penggemukan sapi potong semakin menarik perhatian masyarakat karena begitu besarnya pasar tersedia untuk komoditas ini. Namun demikian,

Lebih terperinci

Pengaruh Tingkat Penambahan Tepung Daun Singkong dalam Ransum Komersial terhadap Performa Broiler Strain CP 707

Pengaruh Tingkat Penambahan Tepung Daun Singkong dalam Ransum Komersial terhadap Performa Broiler Strain CP 707 Pengaruh Tingkat Penambahan Tepung Daun Singkong dalam Ransum Komersial terhadap Performa Broiler Strain CP 707 Dede Risnajati 1 1Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Bandung Raya Jalan

Lebih terperinci

Bakteri Untuk Biogas ( Bag.2 ) Proses Biogas

Bakteri Untuk Biogas ( Bag.2 ) Proses Biogas Biogas adalah gas mudah terbakar yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara). Pada umumnya semua jenis bahan organik

Lebih terperinci

PENAMPILAN PRODUKSI AYAM BROILER YANG DIBERI TEPUNG GAMBIR (Uncaria Gambir Roxb) SEBAGAI FEED ADDITIVE DALAM PAKAN.

PENAMPILAN PRODUKSI AYAM BROILER YANG DIBERI TEPUNG GAMBIR (Uncaria Gambir Roxb) SEBAGAI FEED ADDITIVE DALAM PAKAN. PENAMPILAN PRODUKSI AYAM BROILER YANG DIBERI TEPUNG GAMBIR (Uncaria Gambir Roxb) SEBAGAI FEED ADDITIVE DALAM PAKAN Wa Ode Rosmiati 1, Natsir Sandiah 2, dan Rahim Aka 2 1 Mahasiswa Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Secara umum penelitian ini sudah berjalan dengan cukup baik. Terdapat sedikit hambatan saat akan memulai penelitian untuk mencari ternak percobaan dengan umur

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL

PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Pengaruh Lanjutan Substitusi Ampas Tahu pada Pakan Basal (BR-2) Terhadap Penampilan Ayam Broiler Umur 4-6 Minggu (Fase Finisher)

Pengaruh Lanjutan Substitusi Ampas Tahu pada Pakan Basal (BR-2) Terhadap Penampilan Ayam Broiler Umur 4-6 Minggu (Fase Finisher) Pengaruh Lanjutan Substitusi Ampas Tahu pada Pakan Basal (BR-2) Terhadap Penampilan Ayam Broiler Umur 4-6 Minggu (Fase Finisher) The Effect of Continued Substitution of Tofu on Basal Feed (BR-2) on The

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi. Ternak sapi,

Lebih terperinci

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING A. Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah peternak yang mengusahakan anakan ternak sapi dengan jumlah kepemilikan sapi betina minimal 2 ekor.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan kesadaran masyarakat akan

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI SAPI POTONG BAKALAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

ANALISIS POTENSI SAPI POTONG BAKALAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ANALISIS POTENSI SAPI POTONG BAKALAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Potency Analysis of Feeders Beef Cattle at Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) SUMADI, WARTOMO HARDJOSUBROTO dan NONO NGADIYONO Fakultas

Lebih terperinci

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah : BUDIDAYA SAPI POTONG I. Pendahuluan. Usaha peternakan sapi potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara besar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan

I. PENDAHULUAN. sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pakan merupakan faktor utama penentu keberhasilan usaha peternakan, karena sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan biaya

Lebih terperinci

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui sistem produksi ternak kerbau sungai Mengetahui sistem produksi ternak kerbau lumpur Tujuan

Lebih terperinci

ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH

ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH (The Estimation of Beef Cattle Output in Sukoharjo Central Java) SUMADI, N. NGADIYONO dan E. SULASTRI Fakultas Peternakan Universitas Gadjah

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN KONVERSI PAKAN ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA KOMBINASI PAKAN KOMERSIAL DENGAN DEDAK PADI, ONGGOK DAN POLLARD

PERTUMBUHAN DAN KONVERSI PAKAN ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA KOMBINASI PAKAN KOMERSIAL DENGAN DEDAK PADI, ONGGOK DAN POLLARD PERTUMBUHAN DAN KONVERSI PAKAN ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA KOMBINASI PAKAN KOMERSIAL DENGAN DEDAK PADI, ONGGOK DAN POLLARD SKRIPSI RISNA HAIRANI SITOMPUL PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI PETERNAKAN

Lebih terperinci

AGROVETERINER Vol.5, No.2 Juni 2017

AGROVETERINER Vol.5, No.2 Juni 2017 175 PEMANFAATAN CHLORELLA DALAM PAKAN YANG DISUBTITUSI TEPUNG ISI RUMEN TERHADAP PERSENTASE KARKAS AYAM PEDAGING Dhandy Koesoemo Wardhana 1), Mirni Lamid 2), Ngakan Made Rai W 3) 1)Departemen Kesehatan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI WILAYAH KECAMATAN WATES UNTUK PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG DENGAN POLA INTEGRATED FARMING

EVALUASI POTENSI WILAYAH KECAMATAN WATES UNTUK PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG DENGAN POLA INTEGRATED FARMING EVALUASI POTENSI WILAYAH KECAMATAN WATES UNTUK PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG DENGAN POLA INTEGRATED FARMING Nur Rasminati dan Setyo Utomo Dosen pada Program Studi Peternakan, Fakultas Agroindustri, Universitas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan strategis untuk dikembangkan di Indonesia. Populasi ternak sapi di suatu wilayah perlu diketahui untuk menjaga

Lebih terperinci

Iskandar Sembiring, T. Marzuki Jacob, dan Rukia Sitinjak. Departemen Perternakan, Fakultas Pertanian USU

Iskandar Sembiring, T. Marzuki Jacob, dan Rukia Sitinjak. Departemen Perternakan, Fakultas Pertanian USU Jurnal Agribisnis Perternakan, Vol. 2, No. 2, Agustus 2006 Pemanfaatan Hasil Sampingan Perkebunan dalam Konsentrat terhadap Persentase Bobot Non-karkas dan Income Over Feed Cost Kambing Kacang Selama Penggemukan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ternak Domba Garut merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara oleh masyarakat, karena pemeliharaannya yang tidak begitu sulit, dan sudah turun temurun dipelihara

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani, selain usaha pertaniannya, usaha peternakan pun banyak dikelola oleh masyarakat pedesaan salah satunya

Lebih terperinci

BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN NON KARKAS DOMBA LOKAL YANG DIGEMUKKAN DENGAN PEMBERIAN RANSUM KOMPLIT DAN HIJAUAN SKRIPSI AZIZ MEIARO H

BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN NON KARKAS DOMBA LOKAL YANG DIGEMUKKAN DENGAN PEMBERIAN RANSUM KOMPLIT DAN HIJAUAN SKRIPSI AZIZ MEIARO H BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN NON KARKAS DOMBA LOKAL YANG DIGEMUKKAN DENGAN PEMBERIAN RANSUM KOMPLIT DAN HIJAUAN SKRIPSI AZIZ MEIARO H PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

EFEK PENGGUNAAN KONSENTRAT PABRIKAN DAN BUATAN SENDIRI DALAM RANSUM BABI STARTER TERHADAP EFISIENSI PENGGUNAAN RANSUM. S.N.

EFEK PENGGUNAAN KONSENTRAT PABRIKAN DAN BUATAN SENDIRI DALAM RANSUM BABI STARTER TERHADAP EFISIENSI PENGGUNAAN RANSUM. S.N. EFEK PENGGUNAAN KONSENTRAT PABRIKAN DAN BUATAN SENDIRI DALAM RANSUM BABI STARTER TERHADAP EFISIENSI PENGGUNAAN RANSUM S.N. Rumerung* Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado, 95115 ABSTRAK

Lebih terperinci

Performa Pertumbuhan Puyuh Petelur Betina Silangan... Henry Geofrin Lase

Performa Pertumbuhan Puyuh Petelur Betina Silangan... Henry Geofrin Lase PERFORMA PERTUMBUHAN PUYUH (Coturnix coturnix japonica) PETELUR BETINA SILANGAN WARNA BULU COKLAT DAN HITAM DI PUSAT PEMBIBITAN PUYUH UNIVERSITAS PADJADJARAN GROWTH PERFORMANCE (Coturnix coturnix japonica)

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA

PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA DKI Jakarta merupakan wilayah terpadat penduduknya di Indonesia dengan kepadatan penduduk mencapai 13,7 ribu/km2 pada tahun

Lebih terperinci

Animal Agriculture Journal 3(3): , Oktober 2014 On Line at :

Animal Agriculture Journal 3(3): , Oktober 2014 On Line at : On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj ANALISIS BREAK EVEN POINT (BEP) DAN EFISIENSI EKONOMIS PEMELIHARAAN AYAM BROILER JANTAN YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG Salvinia molesta RAWA PENING

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia.

I. PENDAHULUAN. Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia. Buah nenas merupakan produk terpenting kedua setelah pisang. Produksi nenas mencapai 20%

Lebih terperinci

SUBSITUSI DEDAK DENGAN POD KAKAO YANG DIFERMENTASI DENGAN Aspergillus niger TERHADAP PERFORMANS BROILER UMUR 6 MINGGU

SUBSITUSI DEDAK DENGAN POD KAKAO YANG DIFERMENTASI DENGAN Aspergillus niger TERHADAP PERFORMANS BROILER UMUR 6 MINGGU SUBSITUSI DEDAK DENGAN POD KAKAO YANG DIFERMENTASI DENGAN Aspergillus niger TERHADAP PERFORMANS BROILER UMUR 6 MINGGU SKRIPSI ELJUNE R.P HABEAHAN 080306013 PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Analisis Pendapatan Peternak Sapi Potong Sistem Pemeliharaan Intensif dan Konvensional di Kabupaten Sleman Yogyakarta

Analisis Pendapatan Peternak Sapi Potong Sistem Pemeliharaan Intensif dan Konvensional di Kabupaten Sleman Yogyakarta Sains Peternakan Vol. 7 No 2 (2009): 73-79 ISSN 1693-8828 Analisis Pendapatan Peternak Sapi Potong Sistem Pemeliharaan Intensif dan Konvensional di Kabupaten Sleman Yogyakarta Sundari, A. S. Rejeki dan

Lebih terperinci

Pengaruh Tiga Jenis Pupuk Kotoran Ternak (Sapi, Ayam, dan Kambing) Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Rumput Brachiaria Humidicola

Pengaruh Tiga Jenis Pupuk Kotoran Ternak (Sapi, Ayam, dan Kambing) Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Rumput Brachiaria Humidicola Pengaruh Tiga Jenis Pupuk Kotoran Ternak (Sapi, Ayam, dan Kambing) Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Rumput Brachiaria Humidicola The Effect of Three Kind Manure (Cow, chicken, and goat) to The Vegetative

Lebih terperinci

PENGARUH SUPLEMENTASI BETAIN DALAM RANSUM RENDAH METIONIN TERHADAP KUALITAS TELUR PUYUH (Coturnix coturnix japonica) Jurusan/Program Studi Peternakan

PENGARUH SUPLEMENTASI BETAIN DALAM RANSUM RENDAH METIONIN TERHADAP KUALITAS TELUR PUYUH (Coturnix coturnix japonica) Jurusan/Program Studi Peternakan PENGARUH SUPLEMENTASI BETAIN DALAM RANSUM RENDAH METIONIN TERHADAP KUALITAS TELUR PUYUH (Coturnix coturnix japonica) Jurusan/Program Studi Peternakan Oleh : Sri Wahyuningsih H0509062 FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman.

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman. 1 I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Salah satu limbah peternakan ayam broiler yaitu litter bekas pakai pada masa pemeliharaan yang berupa bahan alas kandang yang sudah tercampur feses dan urine (litter broiler).

Lebih terperinci

KA-DO UNTUK PETERNAKAN INDONESIA Oleh: Fitria Nur Aini

KA-DO UNTUK PETERNAKAN INDONESIA Oleh: Fitria Nur Aini KA-DO UNTUK PETERNAKAN INDONESIA Oleh: Fitria Nur Aini Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS-2014) merupakan program utama Kementerian Pertanian dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan hewani

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

Afriansyah Nugraha*, Yuli Andriani**, Yuniar Mulyani**

Afriansyah Nugraha*, Yuli Andriani**, Yuniar Mulyani** PENGARUH PENAMBAHAN KIJING TAIWAN (Anadonta woodiana, Lea) DALAM PAKAN BUATAN TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN LELE SANGKURIANG (Clarias gariepinus) Afriansyah Nugraha*, Yuli Andriani**,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas hortikultura

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas hortikultura 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas hortikultura berjenis umbi lapis yang memiliki banyak manfaat dan bernilai ekonomis tinggi serta

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEPUNG CANGKANG TELUR AYAM RAS DALAM RANSUM TERHADAP PRODUKSI TELUR BURUNG PUYUH (Coturnix-coturnix japonica) SKRIPSI OLEH:

PEMANFAATAN TEPUNG CANGKANG TELUR AYAM RAS DALAM RANSUM TERHADAP PRODUKSI TELUR BURUNG PUYUH (Coturnix-coturnix japonica) SKRIPSI OLEH: PEMANFAATAN TEPUNG CANGKANG TELUR AYAM RAS DALAM RANSUM TERHADAP PRODUKSI TELUR BURUNG PUYUH (Coturnix-coturnix japonica) SKRIPSI OLEH: HERMAN SITEPU 030306027 IPT DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

Endah Subekti Pengaruh Jenis Kelamin.., PENGARUH JENIS KELAMIN DAN BOBOT POTONG TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAGING DOMBA LOKAL

Endah Subekti Pengaruh Jenis Kelamin.., PENGARUH JENIS KELAMIN DAN BOBOT POTONG TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAGING DOMBA LOKAL PENGARUH JENIS KELAMIN DAN BOBOT POTONG TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAGING DOMBA LOKAL EFFECT OF SEX AND SLAUGHTER WEIGHT ON THE MEAT PRODUCTION OF LOCAL SHEEP Endah Subekti Staf Pengajar Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan produksi protein hewani untuk masyarakat Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh peningkatan penduduk, maupun tingkat kesejahteraan

Lebih terperinci

BIOGAS. Sejarah Biogas. Apa itu Biogas? Bagaimana Biogas Dihasilkan? 5/22/2013

BIOGAS. Sejarah Biogas. Apa itu Biogas? Bagaimana Biogas Dihasilkan? 5/22/2013 Sejarah Biogas BIOGAS (1770) Ilmuwan di eropa menemukan gas di rawa-rawa. (1875) Avogadro biogas merupakan produk proses anaerobik atau proses fermentasi. (1884) Pasteur penelitian biogas menggunakan kotoran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas ayam buras salah satunya dapat dilakukan melalui perbaikan

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas ayam buras salah satunya dapat dilakukan melalui perbaikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini produktivitas ayam buras masih rendah, untuk meningkatkan produktivitas ayam buras salah satunya dapat dilakukan melalui perbaikan kualitas dan kuantitas pakan.

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI

PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga

I. PENDAHULUAN. Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga membutuhkan ketersediaan pakan yang cukup untuk ternak. Pakan merupakan hal utama dalam tata laksana

Lebih terperinci

PENDAPATAN TENAGA KERJA KELUARGA PADA USAHA TERNAK SAPI POTONG DI KECAMATAN TOROH KABUPATEN GROBOGAN

PENDAPATAN TENAGA KERJA KELUARGA PADA USAHA TERNAK SAPI POTONG DI KECAMATAN TOROH KABUPATEN GROBOGAN M. Handayani, dkk Pendapatan Tenaga Kerja... PENDAPATAN TENAGA KERJA KELUARGA PADA USAHA TERNAK SAPI POTONG DI KECAMATAN TOROH KABUPATEN GROBOGAN FAMILY LABOUR INCOME ON CATTLE FARMING IN TOROH SUBDISTRICT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Peternakan puyuh merupakan suatu kegiatan usaha di bidang budidaya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Peternakan puyuh merupakan suatu kegiatan usaha di bidang budidaya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan puyuh merupakan suatu kegiatan usaha di bidang budidaya burung puyuh (Coturnix coturnix) betina dengan tujuan utama menghasilkan telur konsumsi dan atau pemeliharaan

Lebih terperinci

PENGARUH PERBEDAAN KEPADATAN KANDANG TERHADAP PERFORMA PERTUMBUHAN KELINCI LEPAS SAPIH PERANAKAN NEW ZEALAND WHITE SKRIPSI BADRI YUSUF

PENGARUH PERBEDAAN KEPADATAN KANDANG TERHADAP PERFORMA PERTUMBUHAN KELINCI LEPAS SAPIH PERANAKAN NEW ZEALAND WHITE SKRIPSI BADRI YUSUF PENGARUH PERBEDAAN KEPADATAN KANDANG TERHADAP PERFORMA PERTUMBUHAN KELINCI LEPAS SAPIH PERANAKAN NEW ZEALAND WHITE SKRIPSI BADRI YUSUF PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ayam Pedaging dan Konversi Pakan ini merupakan penelitian penelitian. ransum yang digunakan yaitu 0%, 10%, 15% dan 20%.

BAB III METODE PENELITIAN. Ayam Pedaging dan Konversi Pakan ini merupakan penelitian penelitian. ransum yang digunakan yaitu 0%, 10%, 15% dan 20%. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Onggok Kering Terfermentasi Probiotik dalam Ransum Terhadap Konsumsi Pakan, Pertambahan Bobot Badan Ayam

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

Pengaruh Penggunaan Zeolit dalam Ransum terhadap Konsumsi Ransum, Pertumbuhan, dan Persentase Karkas Kelinci Lokal Jantan

Pengaruh Penggunaan Zeolit dalam Ransum terhadap Konsumsi Ransum, Pertumbuhan, dan Persentase Karkas Kelinci Lokal Jantan Pengaruh Penggunaan Zeolit dalam Ransum terhadap Konsumsi Ransum, Pertumbuhan, dan Persentase Karkas Kelinci Lokal Jantan Sulastri Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Jl. Prof.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi potong merupakan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4. PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Rata-rata suhu lingkungan dan kelembaban kandang Laboratotium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja sekitar 26,99 0 C dan 80,46%. Suhu yang nyaman untuk domba di daerah

Lebih terperinci

Pengaruh Imbangan Hijauan-Konsentrat dan Waktu Pemberian Ransum terhadap Produktivitas Kelinci Lokal Jantan

Pengaruh Imbangan Hijauan-Konsentrat dan Waktu Pemberian Ransum terhadap Produktivitas Kelinci Lokal Jantan Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 12 (2): 69-74 ISSN 1410-5020 Pengaruh Imbangan Hijauan-Konsentrat dan Waktu Pemberian Ransum terhadap Produktivitas Kelinci Lokal Jantan The Effect of Ration with

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian Suhu dan Kelembaban HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Suhu dalam kandang saat penelitian berlangsung berkisar antara 26,9-30,2 o C. Pagi 26,9 o C, siang 30,2 o C, dan sore 29,5 o C. Kelembaban

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap dalam ransum

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap dalam ransum BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap dalam ransum sebagai substitusi bungkil kedelai terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase 38 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase Terfermentasi Terhadap Konsumsi Pakan, Konversi Pakan dan Pertambahan Bobot

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Pakan Pakan adalah bahan makanan tunggal atau campuran, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada hewan untuk kelangsungan hidup, berproduksi, dan berkembang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu usaha peternakan. Minat

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu usaha peternakan. Minat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu usaha peternakan. Minat masyarakat yang tinggi terhadap produk hewani, terutama daging kambing, menyebabkan

Lebih terperinci

PENAMPILAN DOMBA EKOR TIPIS ( Ovis aries) JANTAN YANG DIGEMUKKAN DENGAN BEBERAPA IMBANGAN KONSENTRAT DAN RUMPUT GAJAH ( Pennisetum purpureum)

PENAMPILAN DOMBA EKOR TIPIS ( Ovis aries) JANTAN YANG DIGEMUKKAN DENGAN BEBERAPA IMBANGAN KONSENTRAT DAN RUMPUT GAJAH ( Pennisetum purpureum) PENAMPILAN DOMBA EKOR TIPIS ( Ovis aries) JANTAN YANG DIGEMUKKAN DENGAN BEBERAPA IMBANGAN KONSENTRAT DAN RUMPUT GAJAH ( Pennisetum purpureum) SKRIPSI TRI MULYANINGSIH PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

Lebih terperinci

ANALISIS PERFORMA PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETERNAK AYAM BROILER DENGAN SISTEM PEMELIHARAAN CLOSED HOUSE

ANALISIS PERFORMA PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETERNAK AYAM BROILER DENGAN SISTEM PEMELIHARAAN CLOSED HOUSE ANALISIS PERFORMA PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETERNAK AYAM BROILER DENGAN SISTEM PEMELIHARAAN CLOSED HOUSE POLA KEMITRAAN (Studi Kasus di Peternakan Plasma Sri Budi Ratini, Desa Candikusuma, Kecamatan Melaya,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai oleh masyarakat. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau konsumen lebih banyak memilih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rumput gajah odot (Pannisetum purpureum cv. Mott.) merupakan pakan. (Pannisetum purpureum cv. Mott) dapat mencapai 60 ton/ha/tahun

BAB I PENDAHULUAN. Rumput gajah odot (Pannisetum purpureum cv. Mott.) merupakan pakan. (Pannisetum purpureum cv. Mott) dapat mencapai 60 ton/ha/tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumput gajah odot (Pannisetum purpureum cv. Mott.) merupakan pakan hijauan unggul yang digunakan sebagai pakan ternak. Produksi rumput gajah (Pannisetum purpureum

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA BOBOT POTONG DENGAN YIELD GRADE DOMBA (Ovis aries) GARUT JANTAN YEARLING

HUBUNGAN ANTARA BOBOT POTONG DENGAN YIELD GRADE DOMBA (Ovis aries) GARUT JANTAN YEARLING HUBUNGAN ANTARA BOBOT POTONG DENGAN YIELD GRADE DOMBA (Ovis aries) GARUT JANTAN YEARLING Agung Gilang Pratama*, Siti Nurachma, dan Andiana Sarwestri Universitas Padjadjaran *Alumni Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

PENGARUH DOSIS EM-4 (EFFECTIVE MICROORGANISMS-4) DALAM AIR MINUM TERHADAP BERAT BADAN AYAM BURAS

PENGARUH DOSIS EM-4 (EFFECTIVE MICROORGANISMS-4) DALAM AIR MINUM TERHADAP BERAT BADAN AYAM BURAS PENGARUH DOSIS EM-4 (EFFECTIVE MICROORGANISMS-4) DALAM AIR MINUM TERHADAP BERAT BADAN AYAM BURAS EFFECT OF EM-4 (EFFECTIVE MICROORGANISMS-4) DOSAGE ADDED IN DRINKING WATER ON BODY WEIGHT OF LOCAL CHICKEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Biogas merupakan salah satu energi berupa gas yang dihasilkan dari bahan-bahan organik. Biogas merupakan salah satu energi terbarukan. Bahanbahan yang dapat

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN AKHMAD HAMDAN dan ENI SITI ROHAENI BPTP Kalimantan Selatan ABSTRAK Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang memiliki potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Soedjana (2011) berdasarkan data secara nasional, bahwa baik

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Soedjana (2011) berdasarkan data secara nasional, bahwa baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Soedjana (2011) berdasarkan data secara nasional, bahwa baik dalam ketersediaan, distribusi dan konsumsi daging sapi dan kerbau belum memenuhi tujuan

Lebih terperinci

PENGARUH SUPLEMENTASI ASAM AMINO DL-METIONIN DAN L-LISIN KADALUARSA DALAM PAKAN TERHADAP PERFORMAN AYAM BROILER

PENGARUH SUPLEMENTASI ASAM AMINO DL-METIONIN DAN L-LISIN KADALUARSA DALAM PAKAN TERHADAP PERFORMAN AYAM BROILER PENGARUH SUPLEMENTASI ASAM AMINO DL-METIONIN DAN L-LISIN KADALUARSA DALAM PAKAN TERHADAP PERFORMAN AYAM BROILER Oleh : 2005/187249/PT/04996 SKRIPSI Diserahkan guna memenuhi sebagian syarat yang diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan penyedia protein hewani yang cukup tinggi sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan penyedia protein hewani yang cukup tinggi sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging ayam merupakan penyedia protein hewani yang cukup tinggi sehingga banyak orang menjadikan sebagai usaha komersial yang terus dikembangkan untuk mencukupi kebutuhan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :...... LAMPIRAN 50 Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama :... 2. Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :... 4. Pendidikan Terakhir :.. 5. Mata Pencaharian a. Petani/peternak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... i ABSTRAK... ii ABSTRACT... iii UCAPAN TERIMA KASIH... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan

Lebih terperinci

KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN NINA MARLINA DAN SURAYAH ASKAR Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor 16002 RINGKASAN Salah satu jenis pakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gaduhan Sapi Potong. Gaduhan adalah istilah bagi hasil pada bidang peternakan yang biasanya

TINJAUAN PUSTAKA. Gaduhan Sapi Potong. Gaduhan adalah istilah bagi hasil pada bidang peternakan yang biasanya TINJAUAN PUSTAKA Gaduhan Sapi Potong Gaduhan adalah istilah bagi hasil pada bidang peternakan yang biasanya dilakukan pada peternakan rakyat. Hal ini terjadi berkaitan dengan keinginan rakyat untuk memelihara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi PT. Purwakarta Agrotechnopreneur Centre (PAC), terletak di desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Berdasarkan data statistik desa setempat, daerah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan menjadi salah satu faktor penentu dalam usaha peternakan, baik terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan tercapai bila mendapat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Menurut

PENDAHULUAN. dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Menurut I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permintaan daging sapi terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Menurut Direktorat Jendral Peternakan (2012)

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING. seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan, dan tenaga

ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING. seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan, dan tenaga VI. ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING A. Ketersediaan Input Dalam mengusahakan ternak sapi ada beberapa input yang harus dipenuhi seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan,

Lebih terperinci

KECERNAAN BAHAN KERING, BAHAN ORGANIK, DAN PROTEIN KASAR RANSUM YANG MENGANDUNG TEPUNG LIMBAH IKAN GABUS PASIR

KECERNAAN BAHAN KERING, BAHAN ORGANIK, DAN PROTEIN KASAR RANSUM YANG MENGANDUNG TEPUNG LIMBAH IKAN GABUS PASIR KECERNAAN BAHAN KERING, BAHAN ORGANIK, DAN PROTEIN KASAR RANSUM YANG MENGANDUNG TEPUNG LIMBAH IKAN GABUS PASIR (Butis amboinensis) SEBAGAI SUBSTITUSI TEPUNG IKAN PADA BROILER SKRIPSI Oleh : RAHMAYANTI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Minat masyarakat yang tinggi terhadap produk hewani terutama, daging kambing,

I. PENDAHULUAN. Minat masyarakat yang tinggi terhadap produk hewani terutama, daging kambing, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Minat masyarakat yang tinggi terhadap produk hewani terutama, daging kambing, menyebabkan ketersediaan produk hewani yang harus ditingkatkan baik dari segi

Lebih terperinci