BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Prolog (Pengantar, Tamhid) Allah menurunkan agama Islam kepada umatnya disertai dengan aturanaturan. Aturan-aturan tersebut dibuat oleh Allah agar manusia selamat hidup di dunia sampai ke akhirat kelak. Agama Islam beserta aturan-aturan hukum yang dibuat oleh Allah tersebut merupakan wahyu, diturunkan kepada para Nabi dan RasulNya melalui perantaraan Malaikat Jibril. Sedangkan Nabi dan Rasul terakhir adalah Muhammad SAW. Wahyu yang diturunkan oleh Allah tersebut, adakalanya untuk menyelesaikan persoalan hukum yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu, dan dalam ilmu Al Qur an dikenal dengan istilah asbabun nuzul atau sebab-sebab turunnya wahyu atau ayat Al Qur an. 1 Namun apabila Allah tidak menurunkan wahyu kepada Nabi atau Rasul untuk menyelesaikan persoalan hukum tertentu yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu, maka Nabi melakukan ijtihad, menggali hukumnya (istinbath), 1 Asbabun-Nuzul, jika ditinjau dari persfektif yuridis sangat membantu umat Islam untuk memecahkan persoalan hukum yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu dengan cara melakukan interpretasi juridis historis. Bahkan teori double movement Fazlur Rahman amat sangat bergantung pada keberadaan ilmu ini. 19

2 20 kemudian hasil ijtihad Nabi tersebut disebut dengan As Sunnah baik berupa qauliyah, fi liyah dan taqriyah. Dengan demikian terlihat bahwa, sumber hukum Islam semasa Nabi Muhammad SAW hidup hanya dua yaitu, Al Qur an dan As Sunnah Nabi sebagai empirisasi dari wahyu Allah. Seiring dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW meluasnya wilayah kekuasaan Islam, terpencarnya para sahabat Nabi ke berbagai wilayah, dan banyaknya para sahabat yang gugur dalam pertempuran, maka umat Islam mendapat tantangan baru di bidang hukum, karena kadang kala masalah hukum yang sedang dihadapi tidak ada hukumnya di dalam Al Qur an dan al Sunnah, dan dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang sedang dihadapi tersebut, para sahabat selalu berijtihad, dan mereka dapat dengan mudah menemukan hukum atas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu karena para sahabat sangat mengenal tekhnik Nabi berijtihad. Hasil ijtihad para sahabat tersebut, jika tidak dibantah oleh sahabat Nabi yang lainnya, maka dianggap ijma para sahabat. Sebaliknya, jika hasil ijtihad sahabat Nabi tersebut dibantah oleh sahabat Nabi yang lain, maka hasil ijtihad sahabat Nabi tersebut tidak dapat dianggap sebagai ijma para sahabat, melainkan hanya pendapat pribadi para sahabat Nabi tentang persoalan-persoalan hukum tertentu. Dengan demikian terlihat bahwa, sumber hukum Islam pada masa sahabat hanya tiga yaitu; Al Qur an, As Sunnah dan ijma para sahabat. Seiring dengan berjalannya waktu, dan wafatnya para sahabat Nabi, maka otoritas tasyri jatuh ke tangan generasi tabi in kemudian tabi it tabi in dan seterusnya. Setelah masa sahabat, dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam, para ulama tetap berpegang teguh kepada Al Qur an, As Sunnah dan ijma para sahabat. Namun karena persoalan hukum yang

3 21 dihadapi oleh umat Islam selalu berkembang dan merupakan persoalan hukum baru, di mana dalam Al Qur an, As Sunnah dan ijma para sahabat tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama dalam mengagali hukumnya, memakai beberapa metode istinbath hukum di antaranya; maslahah mursalah atau istislah oleh Imam Malik, Istihsan oleh Imam Hanafi, Qiyas oleh Imam Syafi i, Istishab oleh Imam Ahmad bin Hambal dan lain sebagainya. Beberapa metode istinbath hukum yang dipakai oleh para imam mujtahid di atas, metode qiyas mendapat tempat di hati sebagian besar ulama dan umat Islam karena berdasarkan kepada nash Al Qur an dan atau As Sunnah tertentu. Mayoritas ulama menerima qiyas sebagai sumber hukum Islam yang keempat setelah Al Qur an, As Sunnah dan ijma para sahabat. 2 Sedangkan metode istinbath hukum yang lainnya, termasuk maslahah mursalah atau istislah yang diperkenalkan oleh Imam Malik ra selalu diperdebatkan, bahkan ditolak oleh mayoritas penganut madzhab Syafi iyah. 3 Teori maslahah mursalah atau istislah sebagaimana disebutkan di atas, pertama kali diperkenalkan oleh Imam Malik pendiri madzhab Malikiyyah. Namun karena pengikutnya yang lebih akhir mengingkari hal tersebut, maka setelah abad ketiga hijriyah tidak ada lagi ahli usul fiqih yang menisbatkan maslahah mursalah kepada Imam Malik 4 sehingga tidak berlebihan jika ada pendapat yang menyatakan bahwa teori maslahah mursalah ditemukan dan dipopulerkan oleh ulama-ulama usul fiqih dari kalangan Syafi iyah yaitu Imam al Haramain al Juwaini, guru Imam al Ghazali. Dan menurut beberapa hasil penelitian ahli usul fiqih yang paling banyak 2 Abdul Wahaf Khallaf (2003), Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta, hal Ahmad Munif Suratmaputra, (2002), Fisafat Hukum Islam Ghazali; Maslahah Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, hal Wael B. Hallag, (2000), A History of Islamic Legal Theories, Alih bahasa E. Kusnadiningrat, Rajawali Press, Jakarta, hal

4 22 membahas dan mengkaji maslahah mursalah adalah Imam al Ghazali yang dikenal dengan sebutan hujjatul Islam. 5 Imam Malik oleh penulis muslim digolongkan ke dalam golongan sahabat kecil, karena di waktu kecilnya, dia sempat bertemu dengan Rasulullah. Imam Malik merupakan salah seorang imam mujtahid yang empat yaitu Maliki, Hanafi, Syafi i dan Hambali yang sempat bertemu dan belajar banyak kepada para sahabat Nabi. Imam Malik tinggal di Madinah, pusat pemerintah Islam waktu itu. Karena Madinah merupakan pusat pemerintahan Islam dan tempat tinggalnya Nabi setelah hijrah dari Makkah, maka Madinah dikenal pula dengan sebutan kota hadist. Dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang dihadapi oleh masyarakat muslim waktu itu, Imam Malik mencari hukumnya di dalam Al Qur an, dan jika tidak menemukannya dalam Al Qur an, maka Imam Malik mencarinya di dalam As Sunnah Nabi 6 dan apabila di dalam Al Qur an dan As Sunnah tidak ditemukan, maka dia mendasarkan pendapatnya kepada ijma para sahabat, dan apabila ijma para sahabat tidak ada mengenai masalah (hukum) tersebut, maka Imam Malik mengaggali hukum (istinbath) dengan cara berijtihad. Sedangkan metode ijtihad yang dipakai oleh Imam Malik dalam rangka menggali hukum (istinbath) ada dua yaitu; qiyas dan istislah atau maslahah mursalah. 5 Ahmad Munif Suratmaputra, (2002), Op. Cit, hal Penulis sendiri cenderung dengan pendapat pertama yang menyatakan teori maslahah mursalah pertama kali diperkenalkan oleh Imam Malik dan menjadi popoler di tangan Imam Ghazali. 6 Imam Malik menerima hadist-hadist ahad sebagai hujjah (sumber hukum Islam) yaitu apabila hadisthadist ahad tersebut sesuai dengan amalan dan prilaku masyarakat Madinah. Namun jika hadist ahad tersebut tidak sesuai dengan amalan dan prilaku masyarakat Madinah maka hadist ahad tersebut tidak diterima oleh Imam Malik sebagai hujjah. Imam Malik membuat tolak ukur amalan dan prilaku masyarakat Madinah untuk dapat menerima hadist ahad sebagai hujjah karena pada masa itu sudah banyak berkembang hadist-hadist palsu di kalangan umat Islam. Imam Malik menganggap masyarakat Madinah lebih tahu mengenai Sunnah Nabi karena mereka tinggal satu kota bersama Nabi. Tolak ukur yang dibuat oleh Imam Malik tersebut ditolak oleh Imam Syafi i, muridnya dengan alasan bahwa setelah meninggalnya Nabi dan meluasnya wilayah kekuasaan Islam para sahabat Nabi telah menyebar ke berbagai wilayah Islam.

5 23 Metode qiyas dipraktekkan atau digunakan oleh Imam Malik apabila ada nash tertentu, baik Al Qur an maupun As Sunnah yang mendasarinya. Sedangkan metode istislah atau maslahah mursalah dipraktekkan oleh Imam Malik apabila masalah (hukum) yang sedang dihadapi, tidak ada satupun nash yang mendasarinya, baik yang membenarkan maupun yang melarangnya, bahkan dalam kasus-kasus tertentu, Imam Malik menggunakan metode maslahah mursalah dalam men-takhsis ayat-ayat Al Qur an yang bersifat umum. 7 Dan yang menjadi bahasan di sini hanya metode istislah atau maslahah mursalah. B. Macam-Macam Munasib. Ada baiknya sebelum membahas secara komprehensif mengenai maslahah mursalah terlebih dahulu penulis paparkan tentang bab munasib yang mempunyai kaitan erat dengan bab maslahah mursalah. Dalam pembahasan masalik al illat pada bab qiyas, terdapat pembahasan berupa al munasabah dimana al munasabah itu sendiri berarti pemaparan sifat yang secara rasio sesuai dengan penerapan hukum dan merupakan satu diantara metode penerapan illat -yang berarti bahwa sifat itu patut dijadikan landasan penetapan hukum dengan menggunakan metode qiyas. 8 Dilihat dari segi kelayakannya, Wahbah Zuhailiy membagi munasib dalam tiga klasifikasi yakni al munasib al mu tabar, al munasib al mulgha, dan al munasib al mursal. 1. Al Munasib al Mu tabar. 7 Abdul Wahaf Khallaf, (2003), Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta, hal Wahbah Zuhaili, (2008) Ushul Fiqh Islamiy, Beirut, Lebanon: Dar Fikr, Juz 2 (dua) hlm. 33

6 24 Al munasib al mu tabar berarti bahwa syari mengakuinya sebagai illat penetapan hukum. Hal ini diketahui dari ketentuan-ketentuan hukum syara dalam permasalahan-permasalahan kasuistik yang mengacu pada al munasib tersebut. Semisal semua hukum-hukum syara yang diformulasikan dan diberlakukan untuk memelihara maqashid al syâri ah al kulliyah (tujuan-tujuan dasar syariat) yang mencakup lima hal, yakni hifzd al din (memelihara agama), hifd al nafs (perlindungan jiwa), hifzd al aql (perlindungan terhadap akal), hifzd al nasl (pemeliharaan keturunan), hifzd al mal (dan perlindungan atas harta kekayaan). 9 Wahbah menjelaskan keterangan diatas dengan memberikan contoh bahwa jihad dan penumpasan kaum murtad bertujuan untuk memelihara agama, pemberlakuan hukum qishash untuk memelihara jiwa, diharamkannya khamr dan sanksi yang diberikan pada peminumnya adalah untuk memelihara akal manusia, keharaman zina ditujukan untuk memelihara garis keturunan, keharaman mencuri, pemotongan tangan pencuri serta pensyariatan ganti rugi atas pelanggaran hak milik dikukuhkan untuk menjaga harta kekayaan. Begitu pula rukhsah (keringanan) diperbolehkannya tidak berpuasa ramadhan bagi musafir dan penderita sakit, qashar dan jama dalam shalat bagi musafir, semua ini disyariatkan untuk menolak atau menghindari kesulitan pada manusia. Dalam menyikapi sifat-sifat tersebut tidak ada perbedaan lagi status kelayakannya sebagai variabel kebolehan penetap hukum (illat) berdasarkan penelitian (istiqra ) bahwa hukum-hukum syara diformulasikan untuk menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan (jalb al maslahah wa daf al mafsadah). 2. Al Munasib al Mulgha. 9 Lihat pula: Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut, Lebanon: Dar Fikr) hlm. 278

7 25 Al munasib al mulgha berarti munasib dimana syara mengakui dengan menolak keberadaannya sebagai illat penetapan hukum. Hal ini dapat diketahui dengan ketentuan-ketentuan hukum yang menunjukkan tidak diperhitungkannya munasib ini. Contohnya seperti kafarat dari pembatalan puasa ramadhan dikarenakan melakukan hubungan badan dengan lawan jenis. Kafarat dalam hal ini adalah memerdekakan budak, berpuasa selama dua bulan berturut-turut, memberikan makanan kepada enam puluh orang miskin. Ketentuan kafarat tersebut harus dipenuhi secara berurutan sesuai taraf kemampuan. Bagi orang yang kaya mungkin saja hukuman yang bisa membuatnya bertobat adalah berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Karena dengan kekayaan yang dimilikinya, memerdekakan budak ialah hal yang mudah untuk dilakukan dan dalam hal ini (menghukumi berpuasa pada si kaya) terdapat kemaslahatan agar dia jerah. Namun syara tidak menyikapi kemaslahatan tersebut dan tetap mewajibkannya memerdekakan budak sebagaimana yang telah ditentukan dalam As Sunnah. Atau, karena kafarat bertujuan untuk sekedar menguji kadar kepatuhan seorang hamba. Sifat ini (al munasib al mulgha) tidak ada khilaf bahwa ia tidak dapat dijadikan illat hukum sebagaimana yang telah disinggung awal. 3. Al Munasib al Mursal. Munasib yang ketiga ini ialah sifat dimana tidak diketahui bahwa syara menyikapinya dengan penolakan atau pengakuan atas keberadaannya baik dalam nash atau ijma. Maksudnya, tidak ditemukan dalam hukum-hukum syara hal-hal yang menunjukkan diakui atau ditolak keberadaan sifat tersebut. Di sinilah titik tolak perbedaan pendapat para ulama ushul akan kebolehan menjadikan sifat ini sebagai illat. Ada berbagai istilah yang digunakan ushuliyin,

8 26 Kalangan Malikiyah menyebutnya maslahah mursalah, Imam Ghazali menyebutnya dengan istishlah, ulama ushul kalangan mutakallimin menyebutnya dengan al munasib al mursal al mula im, sebagian yang lain menyebut al istidlal al mursal, sedangankan al Haramain dan Ibnu al Syam ani menyebutnya dengan istidlal. 10 C. Macam-Macam Maslahah Pembagian sifat yang selaras dengan penerapan hukum (al washf al munasib) diatas ialah dilihat dari segi pengakuan dan tidaknya syara terhadap maslahah tersebut. Dari segi prioritas waktu pemenuhannya, maslahah terbagi menjadi tiga macam. 1. Al Dharuriyah Maslahah ini adalah suatu hal yang urgen bagi kehidupan manusia di dunia maupun akhirat. Apabila maslahah ini tidak terwujud maka kehidupan di dunia akan timpang, kebahagian akhirat tidak tercapai dan mendapat siksa. Kemaslahatan ini ialah memelihara maqashid al syari ah al kulliyah (tujuan-tujuan dasar syariat) yang mencakup lima hal, yakni hifzd al din (memelihara agama), hifd al nafs (perlindungan jiwa), hifzd al aql (perlindungan terhadap akal), hifzd al nasl (pemeliharaan keturunan), hifzd al mal (dan perlindungan atas harta kekayaan). 2. Al Hajiyah Maslahah al hajiyah (sekunder) ialah maslahah yang dibutuhkan manusia untuk menghilangkan kesulitan. Apabila hal ini tidak terwujud maka manusia akan mengalami kesulitan dan kesempitan yang tidak sampai mengakibatkan bahaya terhadap manusia itu sendiri. Syari dalam mewujudkan maslahah ini mensyariatkan 10 Wahbah al Zuhailiy, Op Cit., juz II, hlm

9 27 ketentuan-ketentuan dalam muamalah, keringanan kebolehan jama dan qashar shalat bagi musafir, dipebolehkannya tidak puasa bagi wanita hamil, menyusui dan orang sakit, dan lainnya. 3. Al Tahsiniyah Maslahah ini ditujukan untuk mengakomodasi adat istiadat (kebiasaan) dan akhlak yang mulia. Seperti disyariatkannya bersuci sebelum shalat, berpakaian indah dan rapi, dan lainnya. 11 D. Definisi Maslahah Mursalah Kata maslahah yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan maslahat, berasal dari Bahasa Arab yaitu maslahah. Maslahah ini secara bahasa atau secara etimologi berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna atau kegunaan. 12 Maslahah merupakan bentuk masdar (adverd) dari fi il (verb) shalaha. Dengan demikian terlihat bahwa, kata maslahah dan kata manfaat yang juga berasal dari bahasa arab mempunyai makna atau arti yang sama. Maslahah sama halnya dengan manfaat yang berarti masdar bermakna shalah (damai, baik, dan lainnya), pengarang kitab Lisan al Arab sebagaimana dikutip oleh Dr. Muhammad Sa id Ramadhan al Buthi mengatakan bahwa maslahah bermakna dua wajah, yakni maslahah bermakna shalah dan maslahah yang berarti salah satu dari mashalih Ibid, juz II, hlm Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1996), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, cet ke 2, hal Muhammad Sa id Ramadhan al Buthi, Dhawabith al Maslahah fi Syari ah al Islamiyah, (Damsiq: Syiria, tt.) hlm. 23

10 28 Secara etimologis, kata maslahah berarti sesuatu yang baik. Al maslahah kadang-kadang disebut pula dengan istishlah yang berarti mencari yang baik. Sedangkan al maslahah secara literal adalah yang lepas. Menurut Khalid Ramadhan Hasan, al maslahah berarti suatu kemaslahatan yang terlepas dari pengukuhan atau penolakan syara. 14 Mengutip pendapat Ghazali, Wahbah mengatakan bahwa maslahah adalah menarik kemanfaatan dan menghindarkan madharat. Adapun dalam pembahasan ini maksud daripada maslahah itu sendiri ialah melestarikan tujuan-tujuan syariat (al muhafadzah ala maqshud al syar i) yang mencakup lima hal pokok berupa hifzd al din, hifd al nafs, hifzd al aql, hifzd al nasl, dan hifzd al mal. Jadi setiap hal yang didalamnya terkandung pemeliharaan terhadap lima prinsip tersebut maka disebut dengan maslahah. Setiap sesuatu yang bisa meniadakan lima prinsip dasar tersebut maka itu sebuah mafsadah, sedangkan menghilangkan mafsadah merupakan sebuah maslahah. 15 Al Ghazali merumuskan maslahah sebagai suatu tindakan memlihara tujuan syara atau tujuan hukum Islam, sedangkan tujuan hukum Islam menurut Ghazali adalah memelihara lima hal di atas. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara salah satu dari lima hal di atas disebut maslahah, dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadah, dan menolak mafsadah disebut maslahah. 16 Ta rif dari al Ghazali ini menurut Wahbah adalah ta rif yang tepat dalam menjelaskan maslahah. Hal ini karena setiap manusia memiliki penilaian tersendiri terhadap maslahah, apalagi setiap dari mereka cenderung untuk memenuhi 14 Khalid Ramadhan Hasan, Mu jam Ushul al fiqh, (Mesir: al-raudhoh, 1998), hlm Wahbah al-zuhailiy, Op Cit., juz II, hlm Malcom H. Keer, (1968), Moral and Legal Judgment Indevendent of Relevation, Philosophy: East and West 18, hal, 279.

11 29 kepentingan pribadi dan menghiraukan kemaslahatan umum. Adalah sebuah keniscayaan syari dalam memberikan ketentuan-ketentuan syara supaya terwujud netralitas dalam menimbang kemaslahatan dan mendistribusikan manfaat. Maslahah haruslah didasarkan pada syara bukan hawa nafsu dan rasio. 17 Al Khawarizmiy yang dikutip pula oleh Wahbah, berkata bahwa yang dimaksud dengan maslahah ialah pemeliharaan terhadap tujuan-tujuan dari syari dengan menolak mafsadah (kerusakan) dari makhluk. 18 Sedangkan Khalid Ramadhan Hasan dalam bukunya Mu jam Ushul al Fiqh mengatakan bahwa al maslahah adalah menarik sebuah manfaat dan menolak madharat dengan memelihara tujuan-tujuan syari, beliau juga mengutip beberapa pendapat ulama ushul tentang definisi maslahah yang diantaranya imam Syathibi mengatakan bahwa syariat tidak dikreasikan kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan para hamba baik di dunia ataupun di akhirat kelak dan menolak mafsadah yang dihadapi mereka. 19 Menurut Syatibi dari golongan madzhab Malikiyah sebagai orang yang paling popular dan kontropersi pendapatnya tentang maslahah mursalah mengatakan bahwa maslahah itu (maslahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil khusus yang membenarkan atau membatalkan) sejalan dengan tindakan syara. 20 Berdasarkan beberapa buah definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa maslahah mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbath) Islam, namun tidak berdasarkan kepada nash tertentu, tetapi berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum syara (maqosid 17 Wahbah al-zuhailiy, Op Cit., juz II, hlm Wahbah al-zuhailiy, Op Cit., juz II, hlm Khalid Ramadhan Hasan, Op Cit. hlm Muhammad Khalid Mas ud, (1977), Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al- Shatibi s Life and Thought, Islamic Research Institute, Islamabad, Pakistan, hal

12 30 syari ah). Secara terminologis, definisi maslahah mursalah terdapat banyak ragam. Akan tetapi definisi-definisi yang ditawarkan para pakar ushul fiqh kesemuanya mempunyai kedekatan makna. Setelah memaparkan beberapa definisi maslahah mursalah dari sebagian ulama ushul, Wahbah memilih definisi lain yang menurutnya lebih memperjelas pengertian maslahah mursalah. Yakni, maslahah mursalah adalah sifat-sifat yang mempunyai keselarasan dengan penetapan-penetapan syara dan tujuan-tujuannya, akan tetapi tidak ada dalil yang spesifik mengukuhkan atau menolaknya. Dan dari hubungan karakter atau sifat tersebut dengan hukum ini kemudian dihasilkan sebuah perwujudan kemaslahatan dan menolak atau menghindari mafsadah pada manusia. 21 E. Berhujjah dengan Maslahah Mursalah. Dalam menyikapi maslahah mursalah sebagai istidlal hukum syara, terdapat perbedaan pendapat para pakar ushul fiqh. Secara ringkas, berikut pemaparan pendapat-pendapat para ushuliyin yang penulis kutip dari kitab Ushul al Fiqh al Islamiy karya Wahbah al Zuhailiy: 22 Jumhur ulama berpendapat bahwa maslahah mursalah tidak dapat dijadikan landasan hukum. Ibnu Hajib seorang ulama' kalangan Malikiyah pun mengamininya dengan mengatakan bahwa pendapat inilah yang dipilih. Demikian juga al Amudi berkata bahwa inilah pendapat yang benar, dimana para fuqaha bersepakat dalam hal ini. Adapun para pakar Fiqh Syiah menyepakati akan ketidak bolehannya berfatwa menggunakan maslahah maslahah. Sebagian ulama memperbolehkan menggunakan maslahah mursalah sebagai hujjah secara mutlak. Pendapat ini berasal dari Imam Malik yang kemudian dipilih 21 Wahbah Zuhailiy, Op Cit., juz II, hlm Wahbah Zuhailiy, Op Cit., juz II, hlm. 37

13 31 oleh al Haramain. Al munasib al mursal adalah hujjah secara mutlak. Diriwayatkan bahwa Imam Malik berkata akan kebolehan membunuh sepertiga kelompok orang demi menyelamatkan dua pertiga yang lain. Dalam ketentuan ini Imam Malik menyandarkan pada pengamalan berdasarkan maslahah dimana maslahah menurut beliau bisa diambil dari nash ataupun dari keumuman lafazd yang terdapat dalam suatu nash seperti firman Allah dalam surat Al Haj ayat 78 yang berbunyi: Artinya: Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. Dikatakan maslahah karena tidak terdapat larangan ataupun perintah dalam syara tentang maslahah mursalah dimana dalam maslahah mursalah kemanfaatan yang ada lebih banyak dibandingkan madharat yang ditimbulkannya. Imam Ahmad pun menggunakan maslahah mursalah sebagaimana tersebut dalam ushul mazdhabnya, bahkan beliau berpendapat bolehnya seorang pemimpin menggunakan maslahah ini dalam rana siyasah syar iyah yang mencakup banyak orang yang bertujuan untuk mewujudkan maslahah kepada manusia. Al munasib al mursal menurut al Ghazali diakui keberadaannya sebagai hujjah apabila maslahah yang terdapat didalamnya berupa maslahah dharuriyah yang pasti terjadi (qath'iyah) dan cakupannya universal (kulliyah). Apabila tidak memenuhi tiga kriteria tersebut maka tidak lah sebuah maslahah diperhitungkan

14 32 sebagai hujjah. Taraf dharuriyah berarti maslahah yang terkandung merupakan salah satu dari lima prinsip dasar berupa hifzd al din (memelihara agama), hifzd al nafs (perlindungan jiwa), hifzd al aql (perlindungan terhadap akal), hifzd al nasl (pemeliharaan keturunan), hifzd al mal (dan perlindungan atas harta kekayaan). Adapun yang dimaksud qath'iyah ialah bahwa maslahah yang dituju sudah dapat dipastikan terwujud dan maksud dari kulliyah adalah kemaslahatan yang mencakup kepentingan umat Islam. Dari pemaparan diatas dapat dikerucutkan lagi bahwa dalam menyikapi maslahah mursalah para ulama' terbagi menjadi dua kubu yang mencegah dan memperbolehkan berhujjah dengan maslahah maslahah. Wahbah mengatakan, mereka yang melarang berhujjah dengan maslahah mursalah ialah ulama' Dhahiriyah, Syi'ah, Syafi'iyah, dan Ibnu Hajib dari kalangan Malikiyah. Yang membolehkan berhujjah dengan maslahah mursalah ialah mereka dari golongan Malikiyah dan Hanabilah. Adapun para ulama' Hanafiyah sebagaimana dikatakan oleh al Amudi bahwa dalam menyikapi hal itu mereka sejalan dengan ulama' Syafi'iyah yang menolak penggunaan maslahah maslahah. Namun Wahbah mengatakan bahwa Hanafiyah menggunakan maslahah mursalah dengan jalan istihsan sebagai metode yang digunakan Abu Hanifah. Kebanyakan dalam menggunakan istihsan yang mereka (hanafiyah) terapkan ialah didasarkan pada maslahah mursalah. 23 Natijah dalam pembahasan sub bab ini adalah bahwa mayoritas ulama mengakui maslahah mursalah sebagai hujjah atau salah satu dalil syara. 23 Wahbah Zuhailiy, Op Cit., juz II, hlm. 37

15 33 F. Argumentasi Penentang dan Pendukung Legalitas Maslahah Mursalah. Banyak argumen dari masing-masing kubu dalam mengomentari keabsahan maslahah maslahah. Berikut adalah dalil-dalil dari kedua belah pihak yang menentang dan yang menetapkan legalitas maslahah mursalah sebagaimana yang dipaparkan oelh Wahbah. 24 1) Dalil-Dalil Penentang Maslahah Maslahah. Pertama penggunaan maslahah mursalah bisa mengurangi kesakralan hukum-hukum syara, karena dalam penggunaannya sering ditumpangi kepentingan pribadi, hawa nafsu dan mencari kesenangan semata. Menurut Ibnu Hazm, menggunakan maslahah mursalah yang termasuk bagian dari pemuasan diri dengan bersenang-senang dan menuruti keinginan adalah sesuatu yang batal. Memandang maslahah mursalah sebagai hujjah berarti menodai kesucian hukum Islam karena penetapan hukum Islam tidak berdasarkan kepada nash-nash tertentu, tetapi hanya mengikuti keinginan hawa nafsu belaka dengan dalih maslahat. Dengan dalih maslahat dikhawatirkan akan banyak penetapan hukum Islam berdasarkan kepada kepentingan hawa nafsu. Pendapat ini disanggah oleh Wahbah al Zuhaili bahwa tidak benar penggunaan maslahah mursalah dikatakan sebagai penurutan hawa nafsu. Karena dalam penerapan metode ini harus memenuhi beberapa syarat yang diantaranya adalah adanya kesesuaian maslahah dengan maqashid al syar i. Lagi pula untuk dapat dijadikan sebagai hujjah, maslahah mursalah harus memenuhi persyaratanpersyaratan tertentu. Jadi tidak asal maslahat. Persyaratan inilah yang akan 24 Lebih lengkapnya, lihat Wahbah, Ibid., juz II, hlm

16 34 mengendalikan, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan dalam menetapkan hukum (Islam) berdasarkan kepada maslahat. Kedua maslahah mursalah berada dalam dua posisi, yakni posisi penolakan syara terhadap sebagian maslahah dan pengukuhan syara terhadap sebagian maslahah yang lain. Apabila maslahah mursalah adalah suatu keharusan karena adanya kesamaan dengan maslahah yang mu tabar (diakui oleh syara ) dalam segi kemaslahatan maka sudah semestinya maslahah mursalah diabaikan karena adanya kesamaan dengan maslahah al mulgha dilihat dari segi tidak adanya pengukuhan dari syara. Alasan ihtimal dua hal inilah (kemungkinan maslahah mursalah sebagai maslahah mu tabar disatu sisi dan maslahah mulgha disisi yang lain) yang menjadikan tidak diperbolehkan menggunakan maslahah maslahah. Karena tidak adanya pertarjihan antara dua hal tersebut maka tidak sah menjadikan maslahah mursalah sebagai dasar penetapan hukum syariat. Al Amudi mengatakan bahwa maslahah mursalah berada dalam dua posisi antara maslahah mu tabar dan mulgha. Mengarahkan pada salah satu sisi tersebut tidaklah lebih baik, oleh karenanya maslahah mursalah tidak bisa dijadikan hujjah tanpa adanya pengakuan dari syara apakah termasuk maslahah yang mu tabar atau maslahah yang mulgha. Tanggapan terhadap alasan ini ialah bahwa adanya maslahah lebih kuat (rajih) dari unsur mafsadah menjadikan pengakuan legalitas maslahah itu lebih kuat daripada mengabaikannya. Syâri pun menjadikan maslahah sebagai prinsip dasar dalam pensyariatan hukum. Selain itu, maslahah yang di abaikan oleh syara (maslahah mulgha) jumlahnya relatif sedikit dibandingkan maslahah yang diakui dan dikukuhkan syara. Maka dari itu, penyamaan (ilhaq) suatu hukum ialah pada hal hal yang umum dan sering terjadi.

17 35 Ketiga penggunaan maslahah mursalah akan menyebabkan rusaknya kesatuan dan keumuman syariat karena berbedanya hukum disebabkan berbedabedanya tempat, kondisi dan pelaku dengan melihat bergantinya maslahah dari waktu ke waktu. Argumen ini pun tak luput dari sanggahan para pengguna maslahah mursalah. Mereka menanggapi dengan mengatakan bahwa penggunaan maslahah mursalah yaitu ketika tidak terdapat nash yang mengukuhkan keberadaannya atau yang menolaknya. Oleh karena itu, penerapan maslahah mursalah tidaklah menafikan (meniadakan) prinsip kesatuan dan universalitas syariat bahkan sebaliknya dengan menggunakan maslahah mursalah syara akan menjadi relevan dalam setiap tempat dan zaman. Bahkan memandang maslahat sebagai hujjah akan membawa dampak terjadinya perbedaan hukum Islam terhadap masalah yang sama (disparitas) disebabkan perbedaan kondisi dan situasi. Dengan demikian akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan fleksibelitas hukum Islam. 25 Bagi golongan ini, hukum Islam telah lengkap dan sempurna. Dengan menjadikan maslahat sebagai dasar dalam menetap hukum Islam, berarti umat Islam tidak mengakui prinsip kelengkapan dan kesempurnaan hukum Islam. Artinya hukum Islam belum lengkap dan sempurna, masih ada yang kurang. Keempat masalahat itu ada yang dibenarkan oleh syara, ada yang ditolak oleh syara dan ada pula yang diperselisihkan. Maslahat kategori pertama dan kategori kedua (yang dibenarkan dan yang ditolak oleh syara ) tidak ada pertentangan di kalangan umat Islam. Maslahat kategori pertama harus diterima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan maslahat kategori kedua harus ditolak sebagai dasar penetapan hukum Islam. Sedangkan maslahat kategori ketiga 25 Ahmad Munif Suratmaputra, (2002), Op. Cit., hal.80-81

18 36 diperselisihkan, sebagian menerima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan sebagian yang lain menolaknya. Sesuai dengan definisi di atas, maslahat kategori ketiga inilah yang menjadi kajian dari maslahah mursalah atau istislah. Dengan demikian menurut kelompok umat Islam yang tidak menerima maslahah mursalah sebagai dasar penetapan hukum Islam berpendapat, bahwa memandang maslahah mursalah (kategori ketiga) sebagai hujjah berarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan. 2) Dalil-dalil Pendukung Legalitas Maslahah Mursalah. Para ulama yang berpendapat akan kebolehan berhujjah menggunakan maslahah mursalah mendasarkan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut ini. Pertama berdasarkan istiqra atau penelitian dihasilkan bahwasanya dalam hukum-hukum syara terdapat kemaslahatan bagi manusia. Dari asumsi ini timbullah dzan (dugaan kuat) akan pengukuhan maslahah sebagai ta lil al ahkam. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa beramal dengan dugaan yang kuat adalah sebuah kewajiban. Adapun dalil nash yang dijadikan pengukuhan maslahah adalah firman Allah Al Qur an surat al Anbiya ayat 107: Artinya: Dan tidaklah Kami (Allah) mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat untuk semesta Alam. 26 Allah berfirman pula dalam surat Al Baqarah ayat 185, 26 Qur an in Word

19 37 Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Kedua perkembangan zaman yang semakin pesat dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup pun mengalami perubahan pula. Seiring dengan berubahnya kemaslahatan manusia, apabila harus terpaku pada hukum-hukum yang telah ditetapkan syara maka akan banyak kemaslahatan manusia yang terabaikan, kejumudan, stagnasi dan terkesan syariat Islam tidak relevan dengan perkembangan zaman. Ketiga para sahabat dan generasi setelahnya berijtihad dan berfatwa pada beberapa kasus dengan didasarkan pada maslahah tanpa terikat ketentuan-ketentuan kaidah qiyas yakni tanpa adanya pengukuhan dari nash atas maslahah itu sendiri. Hal demikian berjalan tanpa adanya penolakan dan pengingkaran. Fakta ini menimbulkan sebuah dugaan bahwa telah terjadi ijma akan keabsahan penggunaan maslahah mursalah sebagai metode penggalian hukum. Adapun ijma adalah sebuah hujjah yang wajib untuk mengamalkannya. Contoh kebijakan sahabat yang didasarkan pada maslahah mursalah adalah upaya kodifikasi al Quran atas saran Umar pada khalifah Abu Bakar yang kemudian diteruskan oleh khalifah sesudahnya. Keempat dengan memandang maslahat sebagai hujjah tidak berarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan, sebab maslahat tersebut ditentukan lewat sekian banyak dalil dan pertimbangan, sehingga

20 38 menghasilkan zann yang kuat (sesuatu yang lemah menjadi kuat). Dalam ilmu fiqih dikenal istilah: یكفى العمل بالظن Menurut kaidah ini beramal berdasarkan kepada zann (dugaan) dianggap cukup karena semua fiqih adalah zann. Dengan demikian tidak dapat dikatakan bahwa menjadikan maslahat kategori ketiga sebagai hujjah berarti memilih dua kemungkinan tanpa dalil, karena jika dibandingkan maslahat yang dibenarkan oleh syara dengan maslahat yang ditolak oleh syara, maka maslahat yang dibenarkan oleh syara jauh lebih banyak jumlahnya dari pada maslahat yang ditolak oleh syara. Dengan demikian jika ada suatu kemaslahatan, tetapi tidak ada dalil yang membenarkannya atau menolaknya, maka maslahat tersebut harus digolongkan ke dalam maslahat yang lebih banyak. Kelima Islam memang telah lengkap dan sempurna, tetapi yang dimaksud dengan lengkap dan sempurna itu adalah pokok-pokok ajaran dan prinsip-prinsip hukumnya. Jadi tidak berarti semua masalah ada hukumnya. Ini terbukti banyak sekali masalah-masalah baru yang belum disinggung hukumnya oleh Al Qur an dan As Sunnah tetapi baru diketahui setelah digali melalui ijtihad. Keenam tidak benar kalau memandang maslahah mursalah sebagai hujjah akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Dengan menggunkan metode maslahah mursalah dalam menetapkan hukum, prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam dapat dibuktikan Ahmad Munif Suratmaputra, (2002), Op. Cit, hal

21 39 Dengan demikian terlihat bahwa beberapa alasan yang dikemukakan oleh sekelompok umat Islam yang tidak menerima maslahah mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam, sama sekali tidak logis dan tidak realistis. Sebagaimana disebutkan di atas, maslahat tersebut ada yang dibenarkan oleh syara, ada yang tidak dibenarkan oleh syara dan ada pula yang diperselisihkan, artinya tidak diketahui, apakah dibenarkan atau ditolak oleh syara. Dalam hal ini para ulama berkonsensus, bahwa maslahat yang dibenarkan oleh syara dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum Islam, dan maslahat yang ditolak oleh syara tidak dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Sedangkan masalahat kategori ketiga, hal inilah yang diperdebatkan oleh umat Islam, dan sebagaimana disebutkan di atas, inilah yang menjadi kajian dari teori maslahah mursalah, karena itu sebagian ulama (pendukung teori maslahah mursalah) membuat persyaratan penggunakan maslahah mursalah dalam menetapkan hukum Islam, di samping itu mereka juga membuat rung lingkup operasional maslahah mursalah. G. Syarat-Syarat Beramal Dengan Maslahah Maslahah. Agar maslahah mursalah dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam maka para Imam Mujtahid, di antaranya Imam al Ghazali, Syatibi dan at-tufi membuat persyaratan dan ruang lingkup operasional maslahah mursalah. Persyaratan yang mereka buat berbeda satu sama lain, namun ruang lingkup operasionalnya mereka mempunyai pendapat yang sama sebagaimana terlihat dalam bahasan di bawah ini.

22 40 Al Ghazali membuat batasan operasional maslalah mursalah untuk dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam 1. Pertama, maslahat tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau kehormatan. 2. Kedua, maslahat tersebut tidak boleh bertentangan dengan Al Qur an, As Sunnah dan ijma. 3. Ketiga, maslahat tersebut menempati level daruriyah (primer) atau hajiyah (sekunder) yang setingkat dengan daruriyah. 4. Keempat, kemaslahatannya harus berstatus qat i atau zann yang mendekati qat i. 5. Kelima, dalam kasus-kasus tertentu diperlukan persyaratan, harus bersifat qat iyah, daruriyah,dan kulliyah. 28 Berdasarkan persyaratan operasional yang dibuat oleh Imam al Ghazali di atas terlihat bahwa Imam al Ghazali tidak memandang maslahah mursalah sebagai dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari Al Qur an, As Sunnah dan ijma. Imam al Ghazali memandang maslahah mursalah hanya sebagai sebuah metode istinbath (menggali/penemuan) hukum, bukan sebagai dalil atau sumber hukum Islam. Sedangkan ruang lingkup operasional maslahah mursalah tidak disebutkan oleh Imam al Ghazali secara tegas, namun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Munif Suratmaputra terhadap contoh-contoh kasus maslahah mursalah yang dikemukakan oleh Imam al Ghazali dalam buku-bukunya al Mankhul, Asas al Qiyas, Shifa al Galil, al Mustafa dapat disimpulkan bahwa Imam 28 Muhammad Khalid Mas ud, (1977), Op. Cit, hal

23 41 al Ghazali membatasi ruang lingkup operasional maslahah mursalah yaitu hanya di bidang muamalah saja. 29 Agak berbeda dengan Imam al Ghazali Syatibi hanya membuat dua kriteria agar maslahat dapat diterima sebagai dasar pembentukan hukum Islam. 1. Pertama, maslahat tersebut harus sejalan dengan jenis tindakan syara, karena itu maslahat yang tidak sejalan dengan jenis tindakan syara atau yang berlawanan dengan dalil syara (Al Qur an, As Sunnah dan ijma ) tidak dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. 2. Kedua, maslahat seperti kriteria nomor satu di atas tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Jika ada dalil khusus yang menunjukkannya maka itu menurut Syatibi termasuk dalam kajian qiyas. 30 Jika dibandingkan persyaratan yang dibuat oleh Imam al Ghazali dengan persyaratan yang dibuat oleh Syatibi di atas, maka persyaratan yang dibuat oleh Syatibi jauh lebih longgar. Ini merupakan suatu hal yang wajar karena Syatibi termasuk golongan ulama penganut madzhab malikiyah yang sering menjadikan maslahat sebagai dasar penetapan hukum Islam. Al Ghazali dan Syatibi juga berbeda dalam memandang maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam. Al Ghazali memandang maslahah mursalah sebagai dalil yang tidak berdiri sendiri, sebaliknya Syatibi malah memandang maslahah mursalah sebagai dalil hukum yang beridiri sendiri. Syatibi berpendapat demikian karena metode istislah atau maslahah mursalah dalam 29 Ahmad Munif Suratmaputra, (2002), Op. Cit, hal Muhammad Khalid Mas ud, (1977), Op. Cit, hal. 162.

24 42 menetapkan hukum Islam tidak berdasarkan kepada nash tertentu, tetapi hanya berdasarkan maslahat yang sejalan dengan tujuan penetapan hukum syara. 31 Sedangkan mengenai ruang lingkup operasional maslahah mursalah, Syatibi dan Imam al Ghazali mempunyai pendapat yang sama, yaitu hanya berlaku dalam bidang muamalah, dan tidak berlaku dalam bidang ibadah. Begitu juga dengan at- Tufi yang dianggap sebagai orang yang paling berani dan paling kontropersi pendapatnya tentang maslahat (bukan maslahah mursalah), dia juga menetapkan bidang muamalah dan sejenisnya sebagai ruang lingkup operasional maslahah mursalah. Menurut at Tufi maslahat tidak berlaku pada bidang ibadah, muqaddarad dan sejenisnya. At-Tufi membangun pendapatnya di atas, atas empat dasar sebagai berikut: 1. Pertama, akal manusia dapat menemukan dan membedakan mana maslahat dan mana mafsadat. Karena akal manusia dapat membedakan mana maslahat dan mana yang mafsadat 2. Kedua, maslahat menurut at-tufi merupakan dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari nash. 3. Ketiga, lapangan operasional maslahat sebagaimana disebutkan di atas, hanya dalam bidang muamalah dan adat, bukan pada bidang ibadah dan muqoddarod. 4. Keempat, maslahat merupakan dalil hukum Islam yang paling kuat, karena itu menurut at-tufi, maslahat bukan hanya hujjah ketika tidak ada nash dan 31 Ibid

25 43 ijma melainkan harus pula didahulukan atas nash dan ijma ketika terjadi pertentangan di antara keduanya. 32 Menurut Ahmad Munif Surtmaputra, pengutamaan maslahat atas nash dan ijma tersebut dilakukan oleh at-tufi dengan jalan takhsis dan bayan, bukan dengan jalan meninggalkan nash, sebagaimana mendahulukan As Sunnah atas Al Qur an dengan jalan bayan. 33 Dengan demikian terlihat bahwa ulama-ulama besar, baik dari kalangan madzhab Malikiyah maupun dari kalangan Syafi iyah menerima maslahah mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam dengan persyaratan. Pertama, hukum yang ditetapkan harus mengandung kemaslahatan. Kedua, maslahat tersebut sejalan dengan maksud pembentukan hukum Islam, yaitu dalam rangka memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau kehormatan. Ketiga, maslahat yang kriterianya seperti pada poin kedua tersebut, tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu yang membenarkan atau sebaliknya membatalkan. Sedangkan ruang lingkup operasionalnya khusus dalam masalah muamalah dan adat, tidak berlaku di bidang ibadah. Namun sayangnya, dalam mengoperasionalkan maslahah mursalah tersebut para ulama memakai istilah yang berbeda-beda, bahka ada satu orang ulama misalnya Imam al Ghazali memakai beberapa istilah untuk menyebut maslahah mursalah, sehingga berimplikasi kepada ketidaksempurnaan pemahaman generasi berikutnya mengenai pendapat ulama terdahulu tentang masalah ini. Dalam kitab al Mankul, Imam al Ghazali menyebut maslahah mursalah dengan istilah istidlal sahih (bukan istidlal mursal), dalam kitab Asas al Qiyas dia 32 Malcom H. Keer, (1968), Op. Cit, hal Ahmad Munif Suratmaputra, (2002), Op. Cit, hal. 90

26 44 memakai istilah istislah, dan dalam kitab Shifa al Galil disebutnya dengan istilah munasib mula im, sedangkan dalam kitab al Mustasfa, Imam al Ghazali tetap menyebutnya dengan istilah maslahah mursalah. Karena Imam al Ghazali menyebut maslahah mursalah dengan beberapa istilah, maka ada pendapat yang mengatakan bahwa Imam al Ghazali tidak konsisten menjadikan maslahah mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam, pada hal bukan demikian. Imam Syafi i sebagai tokoh pendiri madzhab Syafi iyah, karena dia menyebut maslahat tanpa pengakuan syara dengan istilah maslahah mursalah, maka ada pendapat yang mengatakan bahwa Imam Syafi i menolak maslahah mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Namun apabila kita memahami istilah tersebut secara luas, meliputi maslahat yang sejenisnya diakui oleh syara maka dapat dikatakan bahwa Imam Syafi i tidak menolak maslahah mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. 34 Dalam catatan yang lain ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Imam Syafi i menolak maslahah mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam, karena Imam Syafi i dalam kitabnya ar-risalah, menolak istihsan sebagai dasar penetapan hukum Islam. 35 Namun pendapat tersebut dibantah oleh Imam Haramain dan muridnya Imam al Ghazali yang nota benenya juga sama-sama dar madzhabn 34 Lamuddin Nasution, (2001), Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi i, Disertasi pada Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rosda Karya, Bandung, hal Lamuddin Nasution meragukan pendapat yang mengatakan Imam Syafi i tidak menerima istihsan sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam, karena istihsan yang ditentang oleh Imam Syafi i itu adalah tindakan menetapkan hukum menurut kemauan hati sendiri tanpa kendali dan tanpa memperhatikan batas-batas yang ditetapkan syara. Ibid, hal

27 45 Syafi iyah dengan cara menghadirkan beberapa contoh hasil ijtihad Imam Syafi i berdasarkan kepada maslahah mursalah. 36 Kalau kita melihat kepada hasil ijtihad para imam yang empat (Malik, Hanafi, Syafi i, dan Hambali), banyak sekali penetapan hukum berdasarkan kepada maslahat, bahkan penetapan hukum Islam berdasarkan kepada maslahat dilakukan juga oleh sahabat Nabi. Karena itu sering ditemukan kemaslahatan dari hukum Islam, baik yang ditetapkan berdasarkan metode qiyas, istihsan dan istishab maupun melalui metode istislah atau maslahah mursalah. Dengan demikian benar apa yang dikatakan oleh al orafi bahwa imam mujtahid/madzhab yang empat mempergunakan maslahah mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. 37 Adanya pendapat yang mengatakan para imam besar menolak maslahat sebagai dasar menetapkan hukum Islam, disebabkan oleh kesalahan mereka dalam memahami beberapa istilah yang digunakan oleh para imam tersebut. Ulama Malikiyah dan Hanabilah menentukan tiga syarat dalam beramal menggunakan maslahah mursalah, yaitu: i. Maslahah harus sesuai dengan tujuan-tujuan syari, yang berarti maslahah tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat. Demikian pula maslahah tidak boleh bertentangan dengan nash atau dalil-dalil yang pasti (qath iyah). ii. Kemaslahatan harus bisa diterima oleh akal (rasional). Maksudnya, maslahah atau sifat-sifat yang munasib tersebut dapat dirasionalisasikan dan dapat diterima oleh akal. 36 Contoh-contoh hasil ijtihad Imam Syafi i berdasarkan kepada maslahah mursalah dapat dilihat dalam empat buku Imam al Ghazali di atas, dan kemudian contoh-contoh tersebut dikutif oleh Ahmad Munif Suratmaputra, (2002), Op. Cit, hal Ahmad Munif Suratmaputra, (2002), Op. Cit, hal. 148

28 46 iii. Cakupan maslahah haruslah bersifat universal, mencakup khalayak umum bukan individual atau sekelompok tertentu. Karena hukum-hukum syara berlaku pada semua manusia. 38 Wahbah al Zuhaili pada akhir pembahasan ini (syarat-syarat beramal dengan maslahah maslahah) mengatakan bahwa ketentuan beramal dengan syarat-syarat maslahah mursalah yakni apabila perbuatan atau amal tersebut berupa maslahah yang nyata (haqiqatan) bukan sekedar dugaan (wahmiyah) sekira dapat mewujudkan kemslahatan dan menolak madharat, dan tidak pula ketika beramal dengan maslahah tersebut bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan berdasarkan nash atau Ijma. Ketentuan yang terakhir menurut Wahbah ialah bahwa cakupan maslahah bersifat umum, yakni dapat mewujudkan manfaat bagi banyak orang Lebih lengkapnya, lihat Wahbah, Ibid., juz II, hlm Wahbah, Ibid hlm. 78

BAB II PEMBAHASAN TENTANG MASLAHAH

BAB II PEMBAHASAN TENTANG MASLAHAH BAB II PEMBAHASAN TENTANG MASLAHAH A. Pengertian Maslah}ah} Maslah}ah} berasal dari kata s}alah}a yang secara arti kata berarti baik lawan dari kata buruk atau rusak. Maslah}ah} adalah kata masdar s}alah}

Lebih terperinci

BAB III PROSES IJMA MENURUT ABDUL WAHAB KHALLAF DAN PROSES PENETAPAN HUKUM DALAM KOMISI FATWA MUI

BAB III PROSES IJMA MENURUT ABDUL WAHAB KHALLAF DAN PROSES PENETAPAN HUKUM DALAM KOMISI FATWA MUI BAB III PROSES IJMA MENURUT ABDUL WAHAB KHALLAF DAN PROSES PENETAPAN HUKUM DALAM KOMISI FATWA MUI A. Abdul Wahab Khallaf 1. Biografi Abdul Wahab Khallaf Abdul Wahab Khallaf merupakan seorang merupakan

Lebih terperinci

UAS Ushul Fiqh dan Qawa id Fiqhiyyah 2015/2016

UAS Ushul Fiqh dan Qawa id Fiqhiyyah 2015/2016 UAS Ushul Fiqh dan Qawa id Fiqhiyyah 2015/2016 Soal 1 Sebutkan dan jelaskan dhawabith maqashid syariah! Dhawabith maqashid syariah adalah batasan-batasan yang harus dipenuhi untuk menentukan substansi

Lebih terperinci

BAB II. A. Pengertian dan Macam-Macam Metode Berijtihad. dahulu, kini banyak bermunculan di masyarakat. Persoalan-persoalan baru

BAB II. A. Pengertian dan Macam-Macam Metode Berijtihad. dahulu, kini banyak bermunculan di masyarakat. Persoalan-persoalan baru 22 BAB II DISKURSUS TENTANG MAS}LAH}AH AL-MURSALAH A. Pengertian dan Macam-Macam Metode Berijtihad Semakin hari persoalan yang terjadi pada kehidupan masyarakat terus berkembang. Berbagai realitas sosial

Lebih terperinci

BAB II\ TEORI MAS}LAH}AH. Dilihat dari bentuk lafalnya, kata Mas}lah}ah adalah kata bahasa Arab yang

BAB II\ TEORI MAS}LAH}AH. Dilihat dari bentuk lafalnya, kata Mas}lah}ah adalah kata bahasa Arab yang BAB II\ TEORI MAS}LAH}AH A. Pengertian Mas}lah}ah Dilihat dari bentuk lafalnya, kata Mas}lah}ah adalah kata bahasa Arab yang berbentuk mufrad (tunggal). Sedangkan bentuk jamaknya Mas}@alih. Dilihat dari

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS MAS{LAH{AH MURSALAH TERHADAP PENGEMBALIAN KREDIT MIKRO DI USAHA SIMPAN PINJAM KAMPOENG ILMU SURABAYA

BAB IV ANALISIS MAS{LAH{AH MURSALAH TERHADAP PENGEMBALIAN KREDIT MIKRO DI USAHA SIMPAN PINJAM KAMPOENG ILMU SURABAYA BAB IV ANALISIS MAS{LAH{AH MURSALAH TERHADAP PENGEMBALIAN KREDIT MIKRO DI USAHA SIMPAN PINJAM KAMPOENG ILMU SURABAYA A. Analisis terhadap aplikasi pengembalian kredit mikro di Usaha Simpan Pinjam Kampoeng

Lebih terperinci

L u t h f i R a z i q

L u t h f i R a z i q 1 MAS{LAH{AH MURSALAH MENURUT IMAM AL-GHAZA>LI> DAN PERANANNYA DALAM PEMBARUAN HUKUM ISLAM L u t h f i R a z i q I Allah SWT. menciptakan manusia sebagai khalifah fi al-ard{ salah satu tujuannya agar mengisi

Lebih terperinci

Etimologis: berasal dari jahada mengerahkan segenap kemampuan (satu akar kata dgn jihad)

Etimologis: berasal dari jahada mengerahkan segenap kemampuan (satu akar kata dgn jihad) PENGANTAR Sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Al- Quran dan Sunnah. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, banyak permasalahan baru yang dihadapi umat Islam, yang tidak terjadi pada masa Rasulullah

Lebih terperinci

Pendidikan Agama Islam

Pendidikan Agama Islam Pendidikan Agama Islam Modul ke: Sumber Ajaran Islam Fakultas PSIKOLOGI Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Dian Febrianingsih, M.S.I Pengantar Ajaran Islam adalah pengembangan agama Islam. Agama

Lebih terperinci

MAQASHID SYARI AH (SUATU PERBANDINGAN) MARYANI, S. Ag, MHI ABSTRAK

MAQASHID SYARI AH (SUATU PERBANDINGAN) MARYANI, S. Ag, MHI ABSTRAK 1 MAQASHID SYARI AH (SUATU PERBANDINGAN) MARYANI, S. Ag, MHI ABSTRAK Hukum Islam memiliki tujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Untuk mengetahui dan menyelami tentang

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. iman.puasa adalah suatu sendi (rukun) dari sendi-sendi Islam. Puasa di fardhukan

BABI PENDAHULUAN. iman.puasa adalah suatu sendi (rukun) dari sendi-sendi Islam. Puasa di fardhukan 1 BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang Puasa Ramadhan adalah suatu pokok dari rangkaian pembinaan iman.puasa adalah suatu sendi (rukun) dari sendi-sendi Islam. Puasa di fardhukan atas umat islam yang mukallaf

Lebih terperinci

MATERI I PENGANTAR USHUL FIQH TIM KADERISASI

MATERI I PENGANTAR USHUL FIQH TIM KADERISASI A. Pengertian Ushul Fiqh MATERI I PENGANTAR USHUL FIQH TIM KADERISASI Ushul fiqh merupakan sebuah pembidangan ilmu yang beorientasi pada dinamisasi hukum islam dan penanganan kasus-kasus yang berkaitan

Lebih terperinci

BAB IV PRODUK DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DI DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN PROVINSI JAWA TIMUR.

BAB IV PRODUK DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DI DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN PROVINSI JAWA TIMUR. BAB IV ANALISIS MAS}LAH}AH MURSALAH TERHADAP PENERAPAN STANDARISASI PRODUK DALAM UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DI DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN PROVINSI JAWA TIMUR. A. Penerapan

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN MAS}LAH}AH MURSALAH TERHADAP UTANG PIUTANG PADI PADA LUMBUNG DESA TENGGIRING SAMBENG LAMONGAN

BAB IV TINJAUAN MAS}LAH}AH MURSALAH TERHADAP UTANG PIUTANG PADI PADA LUMBUNG DESA TENGGIRING SAMBENG LAMONGAN BAB IV TINJAUAN MAS}LAH}AH MURSALAH TERHADAP UTANG PIUTANG PADI PADA LUMBUNG DESA TENGGIRING SAMBENG LAMONGAN A. Analisis tentang Pelaksanaan Utang Piutang Padi pada Lumbung Desa Tenggiring Utang piutang

Lebih terperinci

Biografi Singkat Empat Iman Besar dalam Dunia Islam

Biografi Singkat Empat Iman Besar dalam Dunia Islam Biografi Singkat Empat Iman Besar dalam Dunia Islam *Biografi Singkat Empat Imam Besar dalam Dunia Islam* *Imam Hanafi (80-150 H)* Beliau dilahirkan pada tahun 80 H dan meninggal dunia di Bagdad pada tahun

Lebih terperinci

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN 1 TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN (Studi Komparatif Pandangan Imam Hanafi dan Imam Syafi i dalam Kajian Hermeneutika dan Lintas Perspektif) Pendahuluan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh alam, dimana didalamnya telah di tetapkan ajaran-ajaran yang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. seluruh alam, dimana didalamnya telah di tetapkan ajaran-ajaran yang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam adalah agama yang sempurna, agama yang memberi rahmat bagi seluruh alam, dimana didalamnya telah di tetapkan ajaran-ajaran yang sesuai bagi ummat manusia didalam

Lebih terperinci

SUMBER HUKUM ISLAM 1

SUMBER HUKUM ISLAM 1 SUMBER HUKUM ISLAM 1 SUMBER UTAMA HUKUM ISLAM (DALIL QAT EI) Sumber utama hukum Islam ialah dalildalil yang telah disepakati oleh para ulamak dengan secara putus sebagai sumber hukum Islam yang utama dalam

Lebih terperinci

BAB IV JUAL BELI SEPATU SOLID DI KECAMATAN SEDATI SIDOARJO DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH

BAB IV JUAL BELI SEPATU SOLID DI KECAMATAN SEDATI SIDOARJO DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH 90 BAB IV JUAL BELI SEPATU SOLID DI KECAMATAN SEDATI SIDOARJO DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH A. Tinjauan Tentang Jual Beli Sepatu Solid di Kecamatan Sedati Sidoarjo Dengan mengikuti empat mazhab fiqh

Lebih terperinci

Ji a>lah menurut masyarakat Desa Ngrandulor Kecamatan Peterongan

Ji a>lah menurut masyarakat Desa Ngrandulor Kecamatan Peterongan BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN JI A>LAH DAN PANDANGAN PENDUDUK DI DESA NGRANDULOR KECAMATAN PETERONGAN KABUPATEN JOMBANG A. Analisis Pelaksanaan Ji a>lah dan pandangan penduduk di Desa

Lebih terperinci

FIQHUL IKHTILAF (MEMAHAMI DAN MENYIKAPI PERBEDAAN DAN PERSELISIHAN) Oleh : Ahmad Mudzoffar Jufri

FIQHUL IKHTILAF (MEMAHAMI DAN MENYIKAPI PERBEDAAN DAN PERSELISIHAN) Oleh : Ahmad Mudzoffar Jufri FIQHUL IKHTILAF (MEMAHAMI DAN MENYIKAPI PERBEDAAN DAN PERSELISIHAN) Oleh : Ahmad Mudzoffar Jufri MACAM-MACAM IKHTILAF (PERBEDAAN) 1. Ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan hati) yang termasuk kategori

Lebih terperinci

IMA>MIYAH TENTANG HUKUM MENERIMA HARTA WARISAN DARI

IMA>MIYAH TENTANG HUKUM MENERIMA HARTA WARISAN DARI BAB IV ANALISIS TERHADAP PANDANGAN IMAM SYAFI I DAN SYI> AH IMA>MIYAH TENTANG HUKUM MENERIMA HARTA WARISAN DARI PEWARIS NON MUSLIM A. Persamaan Pandangan Imam Syafi i dan Syi> ah Ima>miyah tentang Hukum

Lebih terperinci

TEORI MAQASHID AL-SYARI'AH DALAM HUKUM ISLAM

TEORI MAQASHID AL-SYARI'AH DALAM HUKUM ISLAM TEORI MAQASHID AL-SYARI'AH DALAM HUKUM ISLAM Oleh : Ghofar Shidiq Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Islam Sultan Agung Abstrak Pembicaraan tentang maqashid al-syari'ah atau tujuan hukum Islam merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak datangnya agama Islam di Indonesia pada abad ke-7 Masehi,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak datangnya agama Islam di Indonesia pada abad ke-7 Masehi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Amalan wakaf sangat besar artinya bagi kehidupan sosial ekonomi, kebudayaan dan keagamaan. Oleh karena itu Islam meletakkan amalan wakaf sebagai salah satu macam

Lebih terperinci

Sumber sumber Ajaran Islam

Sumber sumber Ajaran Islam Sumber sumber Ajaran Islam Sumber sumber Ajaran Islam Agama Islam memiliki aturan aturan sebagai tuntunan hidup kita baik dalam berhubungan sosial dengan manusia (hablu minannas) dan hubungan dengan sang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama 58 BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama Saudara Dan Relevansinya Dengan Sistem Kewarisan

Lebih terperinci

B A B I P E N D A H U L U A N. Puasa di dalam Islam disebut Al-Shiam, kata ini berasal dari bahasa Arab

B A B I P E N D A H U L U A N. Puasa di dalam Islam disebut Al-Shiam, kata ini berasal dari bahasa Arab 1 B A B I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Masalah Puasa di dalam Islam disebut Al-Shiam, kata ini berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti : Menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksuil

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS PERATURAN KAPOLRI NOMOR 1 TAHUN 2009 TERKAIT PENGGUNAAN SENJATA API PADA TUGAS KEPOLISIAN PERSPEKTIF MAS}LAH}AH MURSALAH

BAB IV ANALISIS YURIDIS PERATURAN KAPOLRI NOMOR 1 TAHUN 2009 TERKAIT PENGGUNAAN SENJATA API PADA TUGAS KEPOLISIAN PERSPEKTIF MAS}LAH}AH MURSALAH BAB IV ANALISIS YURIDIS PERATURAN KAPOLRI NOMOR 1 TAHUN 2009 TERKAIT PENGGUNAAN SENJATA API PADA TUGAS KEPOLISIAN PERSPEKTIF MAS}LAH}AH MURSALAH A. Prinsip-Prinsip Penggunaan Senjata Api Dalam Tugas Kepolisian

Lebih terperinci

Mazhab menurut bahasa: isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I ânah ath- Thalibin, I/12).

Mazhab menurut bahasa: isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I ânah ath- Thalibin, I/12). Mazhab menurut bahasa: isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I ânah ath- Thalibin, I/12). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, tempat pergi, yaitu jalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mafqud (orang hilang) adalah seseorang yang pergi dan terputus kabar beritanya, tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui pula apakah dia masih hidup atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ajaran yang sangat sempurna dan memuat berbagai aspek-aspek kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. ajaran yang sangat sempurna dan memuat berbagai aspek-aspek kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai agama pembawa rahmat bagi seluruh alam, Islam hadir dengan ajaran yang sangat sempurna dan memuat berbagai aspek-aspek kehidupan manusia. Islam tidak

Lebih terperinci

KELOMPOK 1 : AHMAD AHMAD FUAD HASAN DEDDY SHOLIHIN

KELOMPOK 1 : AHMAD AHMAD FUAD HASAN DEDDY SHOLIHIN KELOMPOK 1 : AHMAD AHMAD FUAD HASAN DEDDY SHOLIHIN A. Al-Qur an Sebagai Sumber Ajaran Islam Menurut istilah, Al-Qur an adalah firman Allah yang berupa mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, ditulis

Lebih terperinci

Al-Qur an Al hadist Ijtihad

Al-Qur an Al hadist Ijtihad Al-Qur an Al hadist Ijtihad Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman (Saba'

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI

BAB IV ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI BAB IV ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI A. Analisis Perhitungan Iddah Perempuan Yang Berhenti Haid Ketika

Lebih terperinci

BAB III ABORSI PERSPEKTIF FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA DAN UNDANG-UNDANG NO.32 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

BAB III ABORSI PERSPEKTIF FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA DAN UNDANG-UNDANG NO.32 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN BAB III ABORSI PERSPEKTIF FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA DAN UNDANG-UNDANG NO.32 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN A. Aborsi Dalam Perspektif Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) 1. Dasar-dasar dan Prosedur Penetapan

Lebih terperinci

SUMBER AJARAN ISLAM. Erni Kurnianingsih ( ) Nanang Budi Nugroho ( ) Nia Kurniawati ( ) Tarmizi ( )

SUMBER AJARAN ISLAM. Erni Kurnianingsih ( ) Nanang Budi Nugroho ( ) Nia Kurniawati ( ) Tarmizi ( ) SUMBER AJARAN ISLAM Erni Kurnianingsih (10301241001) Nanang Budi Nugroho (10301241012) Nia Kurniawati (10301241026) Tarmizi (10301249002) Dasar penggunaan sumber agama islam di dasarkan ayat al-qur an

Lebih terperinci

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Terhadap Putusan Waris Beda Agama Kewarisan beda agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aksara, 1992, h Said Agil al-munawar, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi

BAB I PENDAHULUAN. Aksara, 1992, h Said Agil al-munawar, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman terhadap nas al-quran atau as-sunnah untuk mengatur kehidupan manusia. 1 Prinsip dalam hukum Islam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SADD AL-DH>ARI< AH TERHADAP JUAL BELI PESANAN MAKANAN DENGAN SISTEM NGEBON OLEH PARA NELAYAN DI DESA BRONDONG GANG 6 LAMONGAN

BAB IV ANALISIS SADD AL-DH>ARI< AH TERHADAP JUAL BELI PESANAN MAKANAN DENGAN SISTEM NGEBON OLEH PARA NELAYAN DI DESA BRONDONG GANG 6 LAMONGAN BAB IV ANALISIS SADD AL-DH>ARI< AH TERHADAP JUAL BELI PESANAN MAKANAN DENGAN SISTEM NGEBON OLEH PARA NELAYAN DI DESA BRONDONG GANG 6 LAMONGAN A. Analisis Tentang Pelaksanaan Pesanan Makanan Dengan Sistem

Lebih terperinci

DIPLOMA PENGAJIAN ISLAM. WD4013 USUL FIQH (Minggu 1)

DIPLOMA PENGAJIAN ISLAM. WD4013 USUL FIQH (Minggu 1) DIPLOMA PENGAJIAN ISLAM WD4013 USUL FIQH (Minggu 1) PENSYARAH: Ustazah Dr Nek Mah Batri PhD Pendidikan Agama Islam (UMM) PhD Fiqh Sains & Teknologi (UTM) DEFINISI USULFIQH Usul Bahasa: Apa yg dibina diatasnya.

Lebih terperinci

KONSEP MASLAHAH MURSALAH WAHBAH ZUHAILI RELEVANSINYA DENGAN PERNIKAHAN SIRRI DI INDONESIA SKRIPSI. Oleh: Aminudin Slamet Widodo NIM

KONSEP MASLAHAH MURSALAH WAHBAH ZUHAILI RELEVANSINYA DENGAN PERNIKAHAN SIRRI DI INDONESIA SKRIPSI. Oleh: Aminudin Slamet Widodo NIM KONSEP MASLAHAH MURSALAH WAHBAH ZUHAILI RELEVANSINYA DENGAN PERNIKAHAN SIRRI DI INDONESIA SKRIPSI Oleh: Aminudin Slamet Widodo NIM 04210101 JURUSAN AL AHWAL AL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PERSYARATAN TEKNIS DAN SANKSI HUKUM MODIFIKASI KENDARAAN BERMOTOR YANG

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PERSYARATAN TEKNIS DAN SANKSI HUKUM MODIFIKASI KENDARAAN BERMOTOR YANG 54 BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PERSYARATAN TEKNIS DAN SANKSI HUKUM MODIFIKASI KENDARAAN BERMOTOR YANG MENYEBABKAN KECELAKAAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KOMPARATIF KONSEP KEPUASAN SEBAGAI TUJUAN KEGIATAN KONSUMSI MENURUT EKONOMI KONVENSIONAL DAN EKONOMI SYARIAH

BAB IV ANALISIS KOMPARATIF KONSEP KEPUASAN SEBAGAI TUJUAN KEGIATAN KONSUMSI MENURUT EKONOMI KONVENSIONAL DAN EKONOMI SYARIAH BAB IV ANALISIS KOMPARATIF KONSEP KEPUASAN SEBAGAI TUJUAN KEGIATAN KONSUMSI MENURUT EKONOMI KONVENSIONAL DAN EKONOMI SYARIAH A. Analisis Komparatif Konsep Kepuasan Menurut Ekonomi Konvensional dan Ekonomi

Lebih terperinci

place, product, process, physical evidence

place, product, process, physical evidence BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN MARKETING MIX DALAM KONSEP BISNIS SYARIAH DI BANK JATIM SYARIAH CABANG SURABAYA A. Analisis Penerapan Marketing Mix di Bank Jatim Syariah Cabang Surabaya

Lebih terperinci

Menggapai Ridha Allah dengan Birrul Wâlidain. Oleh: Muhsin Hariyanto

Menggapai Ridha Allah dengan Birrul Wâlidain. Oleh: Muhsin Hariyanto Menggapai Ridha Allah dengan Birrul Wâlidain Oleh: Muhsin Hariyanto AL-BAIHAQI, dalam kitab Syu ab al-îmân, mengutip hadis Nabi s.a.w. yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Amr ibn al- Ash: Ridha Allah bergantung

Lebih terperinci

MASLAHAT DALAM PANDANGAN SAHABAT NABI MUHAMMAD SAW Hj. Andi Sukmawati Assaad

MASLAHAT DALAM PANDANGAN SAHABAT NABI MUHAMMAD SAW Hj. Andi Sukmawati Assaad Hj. Andi Sukmawati Assaad, Maslahat Dalam Pandangan Sahabat... 91 MASLAHAT DALAM PANDANGAN SAHABAT NABI MUHAMMAD SAW Hj. Andi Sukmawati Assaad Abstract: Ijtihad's result best friends that, otherwise been

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur 69 BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur 1. Faktor-Faktor Kawin di Bawah Umur Penyebab terjadinya faktor-faktor

Lebih terperinci

I TIKAF. Pengertian I'tikaf. Hukum I tikaf. Keutamaan Dan Tujuan I tikaf. Macam macam I tikaf

I TIKAF. Pengertian I'tikaf. Hukum I tikaf. Keutamaan Dan Tujuan I tikaf. Macam macam I tikaf I TIKAF Pengertian I'tikaf Secara harfiyah, I tikaf adalah tinggal di suatu tempat untuk melakukan sesuatu yang baik. Dengan demikian, I tikaf adalah tinggal atau menetap di dalam masjid dengan niat beribadah

Lebih terperinci

Article Review. : Jurnal Ilmiah Islam Futura, Pascasarjana UIN Ar-Raniry :

Article Review. : Jurnal Ilmiah Islam Futura, Pascasarjana UIN Ar-Raniry : Article Review Judul Artikel : Perubahan Sosial dan Kaitannya Dengan Pembagian Harta Warisan Dalam Perspektif Hukum Islam Penulis Artikel : Zulham Wahyudani Reviewer : Anna Rizki Penerbit : Jurnal Ilmiah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS DATA BAB IV ANALISIS DATA A. Praktik Jual Beli Kotoran Sapi Sebagai Pupuk Kandang di PT. Juang Jaya Abdi Alam Sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulunya, bahwa jual beli yang terjadi di PT. Juang Jaya

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP BISNIS PULSA DENGAN HARGA DIBAWAH STANDAR

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP BISNIS PULSA DENGAN HARGA DIBAWAH STANDAR BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP BISNIS PULSA DENGAN HARGA DIBAWAH STANDAR A. Analisis Hukum Islam Terhadap Jual Beli Pulsa Dengan Harga Dibawah Standar Sebagaimana penjelasan yang telah tertulis pada

Lebih terperinci

Kerangka Dasar Agama dan Ajaran Islam

Kerangka Dasar Agama dan Ajaran Islam Kerangka Dasar Agama dan Ajaran Islam Istilah addin al-islam Tercantum dalam Al-Qur an Surat al-maaidah (5) ayat 3, mengatur hubungan manusia dengan Allah (Tuhan), yang bersifat vertikal, hubungan manusia

Lebih terperinci

Lahirnya ini disebabkan munculnya perbedaan pendapat

Lahirnya ini disebabkan munculnya perbedaan pendapat BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH NAHDLATUL ULAMA (NU) DAN MUHAMMADIYAH KOTA MADIUN TENTANG BPJS KESEHATAN A. Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Tokoh Nahdlatul Ulama NU) Dan Muhammadiyah Kota Madiun

Lebih terperinci

BAB II. segi lafadz maupun makna, jamaknya (المصالح) berarti sesuatu yang baik. 2 Kata

BAB II. segi lafadz maupun makna, jamaknya (المصالح) berarti sesuatu yang baik. 2 Kata BAB II KETENTUAN UMUM MAS}LAH}AH MURSALAH A. Pengertian Mas}lah}ah Mursalah Dalam bahasa Arab Mas}lah}ah secara bahasa berasal dari kata S}alah}ah}, kata Mas}lah}ah mendung kemaslahatan berarti baik atau

Lebih terperinci

BAB II TEORI MAS}LAH}AH

BAB II TEORI MAS}LAH}AH BAB II TEORI MAS}LAH}AH A. Pengertian Mas}lah}ah Kata mas}lah}ah merupakan bentuk mas}dar dari kata kerja s}alaha dan s}aluha, yang secara etimologi berarti: manfaat, faedah, patut. 1 Kata mas}lah}ah dan

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. A. Kesimpulan. Sebagai akhir dari pembahasan, tulisan ini menyimpulkan beberapa kesimpulan penting sebagai berikut :

BAB V P E N U T U P. A. Kesimpulan. Sebagai akhir dari pembahasan, tulisan ini menyimpulkan beberapa kesimpulan penting sebagai berikut : BAB V P E N U T U P A. Kesimpulan Sebagai akhir dari pembahasan, tulisan ini menyimpulkan beberapa kesimpulan penting sebagai berikut : 1. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang zakat, Sejak tahun

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Pemikiran Kiai Said Aqil Siroj tidak terlepas dari Nahdltul Ulama dalam

BAB V PENUTUP. 1. Pemikiran Kiai Said Aqil Siroj tidak terlepas dari Nahdltul Ulama dalam BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Pemikiran Kiai Said Aqil Siroj tidak terlepas dari Nahdltul Ulama dalam mengkontruks Ahl al - Sunnah wal Al Jama ah, oleh karena itu perlu disimpulkan pemikiran Nahdlatul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertengahan kedua dari abad IX M. Aliran ini didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Ibn Mahmud Al-Maturidi. Kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran Maturidiah. Aliran

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERSEPSI NASABAH TENTANG APLIKASI MURA<BAH}AH DI BMS FAKULTAS SYARIAH

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERSEPSI NASABAH TENTANG APLIKASI MURA<BAH}AH DI BMS FAKULTAS SYARIAH BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERSEPSI NASABAH TENTANG APLIKASI MURAbah}ah,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM DALAM MENGHADAPI PERKEMBAGAN ZAMAN. Pendahuluan

KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM DALAM MENGHADAPI PERKEMBAGAN ZAMAN. Pendahuluan KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM DALAM MENGHADAPI PERKEMBAGAN ZAMAN Pendahuluan Allah SWT telah menurunkan agama Islam kepada umat manusia dengan perantaraan nabi-nya Muhammad SAW. Agama Islam yang merupakan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL

BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL Penulis telah memaparkan pada bab sebelumnya tentang pusaka (waris), baik mengenai rukun, syarat, penghalang dalam

Lebih terperinci

MAKALAH SUMBER HUKUM DAN AJARAN ISLAM

MAKALAH SUMBER HUKUM DAN AJARAN ISLAM MAKALAH SUMBER HUKUM DAN AJARAN ISLAM Mata Kuliah : Pendidikan Agama 1 Dosen Pembimbing : Siti Istianah, S.Sos.i Disusun Oleh : Kelompok 6 : 1 Achmad Nikko Vanessa NPM : 2014 4350 1985 2 Ecky Kharisma

Lebih terperinci

`BAB I A. LATAR BELAKANG

`BAB I A. LATAR BELAKANG `BAB I A. LATAR BELAKANG Sebelum munculnya aliran teologi asy ariyyah, aliran muktazilah menjadi pusat pemikiran kalam pada waktu itu yang memperkenalkan pemikiran yang bersifat rasional. Akan tetapi,

Lebih terperinci

BAB IV YANG BERHUTANG. dibedakan berdasarkan waktu dan tempat. Fatwa fatwa yang dikeluarkan oleh

BAB IV YANG BERHUTANG. dibedakan berdasarkan waktu dan tempat. Fatwa fatwa yang dikeluarkan oleh BAB IV ANALISIS TERHADAP DALIL DALIL QAWL QADIM DAN QAWL JADIm dan qawl jadi>d Imam Sha>fi i> dibedakan

Lebih terperinci

RESUME. MATA KULIAH STUDI ISLAM BAB I s.d. BAB VI. oleh: Muhammad Zidny Naf an ( / TI 1C)

RESUME. MATA KULIAH STUDI ISLAM BAB I s.d. BAB VI. oleh: Muhammad Zidny Naf an ( / TI 1C) RESUME MATA KULIAH STUDI ISLAM BAB I s.d. BAB VI oleh: Muhammad Zidny Naf an (107091002928 / TI 1C) JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA FAKULTAS SAINS dan TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

Lebih terperinci

BAB IV KELEBIHAN DAN KELEMAHAN MANHAJ. sama, pengambilan hukum yang dilakukan oleh lembaga Dewan Hisbah yang

BAB IV KELEBIHAN DAN KELEMAHAN MANHAJ. sama, pengambilan hukum yang dilakukan oleh lembaga Dewan Hisbah yang BAB IV KELEBIHAN DAN KELEMAHAN MANHAJ Manhaj yang digunakan tiap organisasi keagamaan pada dasarnya adalah sama, pengambilan hukum yang dilakukan oleh lembaga Dewan Hisbah yang cenderung menggunkan metode

Lebih terperinci

HUKUM DAN HAM DALAM ISLAM

HUKUM DAN HAM DALAM ISLAM HUKUM DAN HAM DALAM ISLAM KELOMPOK 3B : Aria Trimadya 10510016 Hardany Triasmanto 10510020 Diar Luthfi Hawari 10510027 Shendy Arya 10510049 Achmad Noufal 10510058 Muhammad Reza 10510066 Peta Konsep ISLAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak mau seorang manusia haruslah berinteraksi dengan yang lain. Agar kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. tidak mau seorang manusia haruslah berinteraksi dengan yang lain. Agar kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang akan saling membutuhkan satu sama lain sampai kapanpun, hal tersebut dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan. Maka dari itu mau

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN MAS}LAH}AH MURSALAH TERHADAP PENERAPAN KANTONG PLASTIK BERBAYAR DI MINIMARKET SURABAYA

BAB IV TINJAUAN MAS}LAH}AH MURSALAH TERHADAP PENERAPAN KANTONG PLASTIK BERBAYAR DI MINIMARKET SURABAYA 52 BAB IV TINJAUAN MAS}LAH}AH MURSALAH TERHADAP PENERAPAN KANTONG PLASTIK BERBAYAR DI MINIMARKET SURABAYA Menjaga lingkungan dan alam tidak hanya menjadi tanggung jawab dari pemerintah melainkan seluruh

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH A. Persamaan Pendapat Mazhab H{anafi Dan Mazhab Syafi i Dalam Hal Status Hukum Istri Pasca Mula> anah

Lebih terperinci

Pendidikan Agama Islam

Pendidikan Agama Islam Pendidikan Agama Islam Modul ke: 02Fakultas Ekonomi dan Bisnis Pokok Bahasan : SUMBER AJARAN ISLAM Dr. Achmad Jamil, M.Si Program Studi S1 Manajemen AL QUR AN. Secara etimologi Alquran berasal dari kata

Lebih terperinci

BAB IV. A. Pengajuan Pemisahan Harta Bersama Antara Suami dan Isteri Sebagai Syarat Mutlak dalam Izin Poligami

BAB IV. A. Pengajuan Pemisahan Harta Bersama Antara Suami dan Isteri Sebagai Syarat Mutlak dalam Izin Poligami BAB IV PENERAPAN PEWAJIBAN PEMISAHAN HARTA BERSAMA ANTARA SUAMI DAN ISTERI SEBAGAI SYARAT MUTLAK DALAM IZIN POLIGAMI DI PENGADILAN AGAMA KABUPATEN JOMBANG DALAM PERSPEKTIF MAS}LAH{AH A. Pengajuan Pemisahan

Lebih terperinci

IJTIHAD SEBAGAI JALAN PEMECAHAN KASUS HUKUM

IJTIHAD SEBAGAI JALAN PEMECAHAN KASUS HUKUM IJTIHAD SEBAGAI JALAN PEMECAHAN KASUS HUKUM Soiman Nawawi Dosen Fakultas Syari ah Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap Jl. Kemerdekaan Barat No. 1, Kesugihan, 53274 ABSTRAK Al Qur an merupakan

Lebih terperinci

BAB III. A. Teori Maslahah Mursalah versi Wahbah Zuhaili. ini penulis hanya mengambil pendapat-pendapat Ulama yang terlihat gethol

BAB III. A. Teori Maslahah Mursalah versi Wahbah Zuhaili. ini penulis hanya mengambil pendapat-pendapat Ulama yang terlihat gethol BAB III A. Teori Maslahah Mursalah versi Wahbah Zuhaili Untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi kemudian mendeskripsikan teori Wahbah Zuhaili tentang Maslahah Mursalah, penulis memulainya dengan membedakannya

Lebih terperinci

KAIDAH FIQHIYAH. Pendahuluan

KAIDAH FIQHIYAH. Pendahuluan KAIDAH FIQHIYAH Pendahuluan Jika dikaitkan dengan kaidah-kaidah ushulliyah yang merupakan pedoman dalam mengali hukum islam yang berasal dari sumbernya, Al-Qur an dan Hadits, kaidah FIQHIYAH merupakan

Lebih terperinci

yang sama bahwa Allah mempunyai sifat-siafat. Allah mempunyai sifat melihat (al-sami ), tetapi Allah melihat bukan dengan dhat-nya, tapi dengan

yang sama bahwa Allah mempunyai sifat-siafat. Allah mempunyai sifat melihat (al-sami ), tetapi Allah melihat bukan dengan dhat-nya, tapi dengan I Sunni atau Ahl al-sunnah Wa al- Jama ah atau terkadang juga dikenal dengan sebutan ASWAJA merupakan paham yang berdasarkan pada tradisi Nabi Muhammad SAW, di samping berdasar pada Al Qur an sebagai sumber

Lebih terperinci

dengan amanat pasal 27 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peraturan tersebut menyatakan bahwa

dengan amanat pasal 27 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peraturan tersebut menyatakan bahwa 53 BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG IKRAR TALAK BAGI SUAMI ISTRI PASCA PUTUSAN BERKEKUATAN HUKUM TETAP Ketika tidak ada peraturan yang tegas mengatur

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HEDGING TERHADAP KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK-BBM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS HEDGING TERHADAP KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK-BBM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV ANALISIS HEDGING TERHADAP KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK-BBM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Analisis Hedging Terhadap Dampak Kenaikan Harga BBM Ditinjau Dari Hukum Islam. Sebagaimana dijelaskan

Lebih terperinci

HUKUM MENGENAKAN SANDAL DI PEKUBURAN

HUKUM MENGENAKAN SANDAL DI PEKUBURAN HUKUM MENGENAKAN SANDAL DI PEKUBURAN I. Muqodimah : Prof. Abdul Wahhab Kholaf berkata dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqih (hal. 143) : - - " "."." Nash Syar I atau undang-undang wajib untuk diamalkan sesuai

Lebih terperinci

Fidyah. "Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa hendaknya membayar fidyah, dengan memberi makanan seorang miskin." (Al Baqarah : 184)

Fidyah. Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa hendaknya membayar fidyah, dengan memberi makanan seorang miskin. (Al Baqarah : 184) Fidyah 1. Bagi Siapa Fidyah Itu? Bagi ibu hamil dan menyusui jika dikhawatirkan keadaan keduanya, maka diperbolehkan berbuka dan memberi makan setiap harinya seorang miskin, dalilnya adalah firman Allah:

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG A. Analisis Terhadap Ketentuan Pasal 182 Kompilasi Hukum Islam Tentang

Lebih terperinci

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN DAN DASAR HUKUM IZIN POLIGAMI DALAM PUTUSAN MAJELIS HAKIM DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO NO. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda A. Analisis Yuridis Pertimbangan Dan Dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya telah mampu merombak tatanan atau sistem kewarisan yang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya telah mampu merombak tatanan atau sistem kewarisan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum kewarisan, termasuk salah satu aspek yang diatur secara jelas dalam Al-Qur an dan Sunnah Rasul. Hal ini membuktikan bahwa masalah kewarisan cukup penting

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. A. Persamaan dan Perbedaan Pendapat Mazhab Syafi i dan Mazhab Hanbali Tentang Hukum Menjual Reruntuhan Bangunan Masjid

BAB IV ANALISIS. A. Persamaan dan Perbedaan Pendapat Mazhab Syafi i dan Mazhab Hanbali Tentang Hukum Menjual Reruntuhan Bangunan Masjid BAB IV ANALISIS A. Persamaan dan Perbedaan Pendapat Mazhab Syafi i dan Mazhab Hanbali Tentang Hukum Menjual Reruntuhan Bangunan Masjid Mazhab Syafi i dan mazhab Hanbali berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Islam yang tidak terlalu penting untuk serius dipelajari dibandingkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Islam yang tidak terlalu penting untuk serius dipelajari dibandingkan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagian orang berpikir bahwa fiqh merupakan pelajaran agama Islam yang tidak terlalu penting untuk serius dipelajari dibandingkan dengan pelajaran umum lainnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepanjang riwayat yang sampai kepada kita bahwa qiyas itu diberikan kepada Nabi saw, dan disamping itu ada pula beberapa riwayat yang sampai kepada kita, bahwa qiyas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam tradisi studi ushul fiqh dikenal lima macam hukum syar i yang

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam tradisi studi ushul fiqh dikenal lima macam hukum syar i yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam tradisi studi ushul fiqh dikenal lima macam hukum syar i yang menjadi titik poin pembahasan seluruh permasalahan di dalam ilmu fiqh, yaitu wajib, sunnah,

Lebih terperinci

MADZHAB SYAFI I. Makalah Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Ilmu Fiqh Dosen: Kurnia Muhajarah,M.S.I

MADZHAB SYAFI I. Makalah Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Ilmu Fiqh Dosen: Kurnia Muhajarah,M.S.I MADZHAB SYAFI I Makalah Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Ilmu Fiqh Dosen: Kurnia Muhajarah,M.S.I Disusun Oleh : Muhlisaturrohmah (1601016054) Etik Fitriayasari (1601016055) Annisa Kurniawati (1601016056)

Lebih terperinci

BAB IV PEMERIKSAAN KESEHATAN PRANIKAH (PREMARITAL CHECK UP) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV PEMERIKSAAN KESEHATAN PRANIKAH (PREMARITAL CHECK UP) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV PEMERIKSAAN KESEHATAN PRANIKAH (PREMARITAL CHECK UP) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Pemeriksaan Kesehatan Pranikah (Premarital Check Up) sebagai Upaya Pemeliharan Keturunan (Hifz} al-nasl) Dalam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENDAPAT HUKUM TENTANG IDDAH WANITA KEGUGURAN DALAM KITAB MUGHNI AL-MUHTAJ

BAB IV ANALISIS PENDAPAT HUKUM TENTANG IDDAH WANITA KEGUGURAN DALAM KITAB MUGHNI AL-MUHTAJ BAB IV ANALISIS PENDAPAT HUKUM TENTANG IDDAH WANITA KEGUGURAN DALAM KITAB MUGHNI AL-MUHTAJ A. Analisis Pendapat Tentang Iddah Wanita Keguguran Dalam Kitab Mughni Al-Muhtaj Dalam bab ini penulis akan berusaha

Lebih terperinci

Bayar Fidyah FIDYAH DIBAYAR SEKALIGUS DAN FIDYAH DENGAN UANG

Bayar Fidyah FIDYAH DIBAYAR SEKALIGUS DAN FIDYAH DENGAN UANG Bayar Fidyah FIDYAH DIBAYAR SEKALIGUS DAN FIDYAH DENGAN UANG Pertanyaan Dari: Hj. Maryam, Midai, Kepri, pertanyaan disampaikan lewat telpon, tanggal 4 Ramadan 1431 H (disidangkan [ada hari Jum'at, 17 Ramadan

Lebih terperinci

MATAN. Karya Syaikh Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab

MATAN. Karya Syaikh Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab MATAN Karya Syaikh Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab C MATAN AS-SITTATUL USHUL Z. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Termasuk perkara yang sangat menakjubkan dan tanda yang

Lebih terperinci

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM A. Hal-Hal Yang Melatarbelakangi Paradigma Sekufu di dalam Keluarga Mas Kata kufu atau kafa ah dalam perkawinan mengandung arti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu hikmah

I. PENDAHULUAN. bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu hikmah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SHAFI I TERHADAP. A. Komparasi Pendapat Imam Malik dan Imam Shafi i terhadap Ucapan

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SHAFI I TERHADAP. A. Komparasi Pendapat Imam Malik dan Imam Shafi i terhadap Ucapan BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SHAFI I TERHADAP UCAPAN ISTINSHA@ DALAM IKRAR TALAK A. Komparasi Pendapat Imam Malik dan Imam Shafi i terhadap Ucapan Istinsha> dalam Ikrar Talak Hukum Islam

Lebih terperinci

RISALAH KEDUDUKAN AL- ADAH WA AL- URF DALAM BANGUNAN HUKUM ISLAM

RISALAH KEDUDUKAN AL- ADAH WA AL- URF DALAM BANGUNAN HUKUM ISLAM RISALAH KEDUDUKAN AL- ADAH WA AL- URF DALAM BANGUNAN HUKUM ISLAM Imron Rosyadi Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta ABSTRAK Dalam makalah ini penulis mengkaji tentang al- adah wa al-

Lebih terperinci

BAHAN AJAR PERADILAN AGAMA BAB I PENGANTAR

BAHAN AJAR PERADILAN AGAMA BAB I PENGANTAR BAHAN AJAR PERADILAN AGAMA BAB I PENGANTAR A. Deskripsi Mata Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama merupakan matakuliah wajib fakultas yang diberikan kepada mahasiswa pada semeter VI, setelah mahasiswa menempuh

Lebih terperinci

BAGAIMANA MEMILIH PENDAPAT DALAM BERAGAMA LIQA 23 JUNE Oleh Erwin Mazwardi

BAGAIMANA MEMILIH PENDAPAT DALAM BERAGAMA LIQA 23 JUNE Oleh Erwin Mazwardi BAGAIMANA MEMILIH PENDAPAT DALAM BERAGAMA LIQA 23 JUNE 2012 Oleh Erwin Mazwardi Daftar Isi Tafsiran Rasulullah Tafsiran Sahabat Tafsiran Tabiin Sejarah Mazhab Tafsiran Agama Siapa? Terbentuknya Pemahaman

Lebih terperinci

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Analisis implementasi Hukum Islam terhadap ahli waris non-muslim dalam putusan hakim di Pengadilan Agama

Lebih terperinci

ija>rah merupakan salah satu kegiatan muamalah dalam memenuhi

ija>rah merupakan salah satu kegiatan muamalah dalam memenuhi BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK LELANG UNDIAN DALAM PENYEWAAN TANAH KAS DESA DI DESA SUMBERAGUNG KECAMATAN NGRAHO KABUPATEN BOJONEGORO Dari bab sebelumnya, penulis telah memaparkan bagaimana

Lebih terperinci