BAB III DASAR PERTIMBANGAN JAKSA DALAM MELAKUKAN PRAPENUNTUTAN DI KEJAKSAAN NEGERI MEDAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III DASAR PERTIMBANGAN JAKSA DALAM MELAKUKAN PRAPENUNTUTAN DI KEJAKSAAN NEGERI MEDAN"

Transkripsi

1 BAB III DASAR PERTIMBANGAN JAKSA DALAM MELAKUKAN PRAPENUNTUTAN DI KEJAKSAAN NEGERI MEDAN A. Proses Penyelesaian Perkara Pidana Sejak Diserahkan Oleh Penyidik Kepada Penuntut Umum Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 tahun 1981 yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981 menyebabkan terbukanya suatu lembaran baru di dalam pelaksanaan Hukum Acara Pidana di Indonesia, yang membawa perubahan fundamental terutama dalam pembagian tugas dan wewenang penyidik (kepolisian), tugas dan wewenang Penuntut (Kejaksaan) sebelum perkara dilanjutkan dalam tahap pemeriksaan di sidang pengadilan oleh hakim. Hal tersebut sejalan dengan tujuan dari penegakan hukum itu sendiri, maka tepatlah yang dikatakan Chairuman Harahap mengenai tujuan penegakan hukum bahwa salah satu dari tujuan penegakan hukum itu adalah untuk menciptakan kepastian hukum. Selengkapnya, dikatakan bahwa: 57 Adapun tujuan dari penegakan hukum adalah untuk mewujudkan kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam masyarakat sehingga terciptanya kedamaian dalam masyarakat dan berfungsinya aparatur pemerintah dengan baik dan lancar sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melakukan fungsi Kejaksaan dengan baik sesuai dengan prosedur hukum untuk menciptakan proses peradilan yang baik, jujur, dan berjalan sesuai dengan undang-undang, dituntut kerjasama yang baik, dan jujur pula antara kedua 57 Chairuman Harahap., Merajut Kolektivitas Melalui Penegakan Hukum Supremasi Hukum, (Bandung: Citapustaka Media, 2003), hal. 213.

2 instansi penegak hukum ini harus selalu terjalin, karena kesempurnaan dalam pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tidak terlepas dari sempurnanya hasil penyidikan oleh Kepolisian, dengan demikian tercipta pula suatu penuntutan yang sesuai dengan ketentuan dalam perunsang-undangan yang berlaku. Pengembalian BAP yang tidak memenuhi ketentuan dalam undangundang, merupakan bagian dari proses menciptakan perlindungan terhadap tersangka dari sikap sewenang-wenang penyidik dalam membuat BAP yang tidak lengkap tersebut. Hal tersebut dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Medan adalah untuk menciptakan aparatur Kejaksaan yang berwibawa dalam kerangka good governance (tata kelola lembaga dengan baik) dan good government (pemerintah yang baik) yang selalu didambakan masyarakat. 58 Sehubungan dengan itu, dalam menciptakan penegakan hukum yang baik, maka berikut ini perlu dipaparkan tahapan proses pembuatan BAP sesuai dengan ketentuan undang-undang sebelum diserahkan ke pengadilan. 1. Tahap Menerima Pemberitahuan Telah Dimulainya Penyidikan Oleh Penyidik Untuk melakukan dimulainya penyidikan harus diberitahukan kepada Kejaksaan Negeri Medan. Hal tersebut yang menjadi dasar hukumnya adalah ketentuan yang telah digariskan dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP ditentukan: Dalam hal penyidikan telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum. 58 Ibid., hal. 214.

3 Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 59 Ketentuan pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP tersebut mengandung makna yaitu bahwa dengan diterimanya surat pemberitahuan dari pihak penyidik kepada Kejaksaan Negeri Medan, maka hal tersebut merupakan titik awal keterlibatan pihak Kejaksaan Negeri Medan bagi suatu kasus yang materinya disebutkan dalam surat pemberitahuan tersebut. Oleh karena itu, penyidik melakukan kegiatan dengan memberitahukan adanya kegiatan tersebut kepada penuntut umum yakni Kejaksaan negeri Medan dengan sendirinya bukanlah dengan tiada suatu alasan. Mengingat ketentuan Pasal 1 butir 2 KUHAP Menyebutkan bahwa: Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang telah diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Konsekuensi logis terhadap adanya tindakan pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh penyidik terhadap suatu kasus yang dianggap sebagai suatu kejadian yang bersifat tindak pidana tersebut, maka materi pemberitahuan tersebut haruslah minimal berisikan: 60 a. Adanya tersangka (dengan identitas yang lengkap): 59 Andi Hamzah., Loc. Cit, hal diakses terakhir tanggal 28 Maret 2020.

4 b. Penyebutan tindak pidana apa yang diduga telah dilakukan oleh tersangka (walaupun masih belum seluruhnya lengkap): c. Alat-alat bukti yang sah apa saja yang berhasil dikumpulkan; dan d. Apakah tersangkanya ditahan atau tidak. Jika ada tindakan-tindakan lain yang telah dilakukan tersangka, maka perlu disebutkan juga dalam BAP tersebut misalnya: Tindakan penangkapan Pasal KUHAP; 2. Penggeledahan Pasal KUHAP; 3. Penyitaan Pasal KUHAP; dan 4. Pemeriksaan surat Pasal KUHAP. Materi pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh penyidik tersebut dapat memberikan gambaran kepada penuntut umum untuk menentukan apakah tindakan penyidik tersebut mempunyai dasar hukum dan apakah selanjutnya diajukan kepenuntutan dan peradilannya. Sifat keharusan pemberitahuan penyidikan dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP walaupun tidak memberikan kejelasan namun hal tersebut kalau diserahkan kepada penuntut umum, maka sudah selayaknya tidak menimbulkan masalah bagi penyidik. Di samping itu dengan adanya Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor H.01PW tahun 1981 tanggal 4 Februari 1981 tentang pedoman pelaksanaan KUHAP maka menjadi tegas, kuat dan jelaslah landasan adanya kewajiban pemberitahuan dimulainya kegiatan penyidikan kepada penuntut umum oleh penyidik tersebut. Ketentuan subtansi dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP tersebut bukan saja merupakan kewajiban penyidik sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat (1) a, 61 Andi Hamzah., Op. cit, hal. 123.

5 melainkan meliputi penyidik dalam Pasal 6 ayat (1) b yaitu dari Pejabat PNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang misalnya pegawai imigrasi, Bea Cukai maupun Jawatan Kereta Api. Materi ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP juga mencakup kewajiban bagi penyidik pembantu seperti Pasal 10 ayat (1) KUHAP yang mengatakan bahwa yang disebut penyidik pembantu adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan syarat kepangkatan tertentu yang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan menyangkut kewenangan penyidik pembantu sesuai Pasal 11 KUHAP adalah sama dengan kewenangan yang dimiliki penyidik seperti materi Pasal 7 ayat (19) kecuali mengenai penahanan, penyidik pembantu terlebih dahulu harus dapat pelimpahan wewenang dari penyidik (penyidik Polri). Di samping itu penyidik pembantu diberi wewenang dan kewajiban untuk membuat berita acara dan menyerahkan berkas perkara kepad apenyidik, kecuali perkara dengan cara pemeriksaan singkat dimana penyidik pembantu dapat langsung menyerahkannya kepada penuntut umum, pasal 12 KUHAP. Kembali pada persoalan hubungan antara penyidik pembantu dengan penuntut umum, keadaan itu kalau dikaitkan dengan ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP merupakan manifestasi daripada bentuk pengawasan, yaitu pengawasan horizontal dan pengawasan vertikal yang pada hakekatnya merupakan perwujudan dari salah satu bagian sistem tata laksana penyampaian tujuan yang berisi dan bersifat universal.

6 Pada tahap pemberitahuan sebagaimana dimaksud oleh ketentuan materi Pasal 109 ayat (1) di atas, yakni pemberitahuan telah dimulainya penyidikan yang dilaksanakan oleh penyidik terhadap suatu kasus sebagaimana diuraikan di atas, maka pihak penuntut umum atau kejaksaan segera mengikuti perkembangan proses penyelesaian penydiikan tersebut dan bilamana perlu atas permintaan penyidik memberikan petunjuk-petunjuk atau pengarahan di dalam usaha melengkapi penyusunan berkas perkara. Walaupun petunjuk itu diberikan dengan materi yang sangat terbatas dan bersifat pasif dalam arti penuntut umum hanya membatasi dirinya dan kegiatan yang diminta yang merupakan kegiatan terhadap segala sesuatu dalam menghadapi penyerahan berkas perkara pada tahap pertama. Saat diterimanya surat pemberitahuan telah dimuainya penyidikan terhadap suatu kasus dari penyidik penerimaan BAP sesuai Pasal 8 ayat (3) huruf a KUHAP, kemungkinan ada tindakan-tindakan lain yang dilakukan oleh pihak penyidik dalam rangka membuat terangnya perkara, hal tersebut dibuat jika ada, misalnya: 62 a. Penangkapan; b. Penahanan; c. Penggeledahan; d. Penyitaan benda; e. Pemasukan rumah; dan f. Pemeriksaan surat. Hal tersebut dilakukan oleh penyidik dengan cara mengirimkan surat penangkapan, penahanan dengan permohonan surat ijin atau surat persetujuan kepada Ketua Pengadilan Negeri Medan sehubungan dengan akan atau telah dilakukannya suatu tindakan untuk memperoleh persetujuan dari Ketua 62 M. Yahya Harahap., Loc, cit, hal. 356.

7 Pengadilan Negeri Medan. Dengan ketentuan surat izin itu harus disertakan dalam BAP. 63 Beberapa cara penahanan oleh Kejaksaan Negeri Medan terhadap surat pemberitahuan dari penyidik sehubungan telah dimulainya kegiatan penyidikan, antara lain: 64 (1) Ditangani oleh suatu team khusus untuk itu sampai dengan tingkat penelitian berkas perara, kemudian baru ditunjuk umumnya sebelum atau sesudah berkas dianggap lengkap untuk dilimpahkan ke pengadilan. (2) Dengan mengingat antara lain kondisi persediaan jaksa terbatas, Kejari atau Kasi Operasi langsung menunjuk umum yang bersangkutan. (3) Terhadap perkara-perkara yang menarik perhatian masyarakat (berbobot) saja yang ditangani terlebih dahulu oleh suatu tim. Praktek pengolahan ini konktritnya pada masing-masing Kejaksaan kemungkinan berbeda, namun pada hakekatnya prinsip-prinsip yang menyangkut sistem dan metodenya tetap sesuai dengan ketentuan-ketentuan. Berdasarkan penjelasan Bapak Herbet, pada Kejakasan Negeri Medan pengolahan terhadap surat pemberitahuan dari penyidik telah dimulainya kegiatan penyidikan dilakukan dengan cara yaitu Kepala Kejaksaan Negeri tersebut atau Kepala Saksi langsung menunjuk calon penuntut umum untuk suatu kasus yang bersangkutan Tahap Menerima Penyerahan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Penyidik dalam menjalankan tugas penyidikan tidak hanya melakukan tindakan penggeledahan dan penyitaan saja, melainkan juga melakukan pemanggilan terhadap tersangka dan saksi, penangkapan, penahanan rekonstruksi 63 Ibid., hal Hasil wawancara dengan Bapak Herbet (Kasubsipratut Pidum) di Kejaksaan Negeri Medan, pada hari Selasa Tanggal 16 Maret Hasil wawancara., ibid.

8 dan tindakan lain yang diperlukan, dimana setiap tindakan harus berdasarkan surat perintah atasan yang berwenang dan harus dibuatkan berita acaranya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 (1) jo Pasal 75 KUHAP. Sebelum mengajukan perkara yang ditanganinya itu, terlebih dahulu penyidik harus mengetahui mengenai cara pemeriksaan perkara pidana. KUHAP membedakan acara pemerikasan perkara pidana dalam 3 (tiga) macam, yaitu: a. Acara pemeriksaan biasa. Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan biasa adalah perkara yang pembuktan dan penerapan hukumnya serta sifatnya rumit dan menarik perhatian masyarakat atau termasuk perkara penting. 66 b. Acara pemeriksaan singkat. Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan ini adalah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana sesuai Pasal 203 ayat (1) KUHAP. 67 c. Acara pemeriksaan cepat, terdiri dari: 68 (1) Acara pemerikasan tindak pidana ringan yang diperiksa menurut acara ini adalah perkara yang diancam dengan penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan Pasal 205 ayat (1) KUHAP. 66 Andi Hamzah., Op. cit, hal Ibid., hal Ibid., hal. 253.

9 (2) Acara pemeriksaan perkara lalu lintas jalan yang diperiksa menurut acara ini ialah perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan Pasal 211 KUHAP. Selanjutnya dari ketiga macam acara pemeriksaan tersebut, hanya dua perkara yang berkas perkaranya diajukan kepada penuntut umum, sedangkan untuk acara pemeriksaan cepat (pelanggaran lalulintas misalnya tidak pakai helm, melanggar rambu-rambu, dan lain-lain) penyidik atas kuasa penuntut umum, langsung mengirimkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri setempat (Pengadilan Negeri Medan). 69 Sebelum memasuki isi berkas perkara dan pemberkasannya, penulis akan menyajikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan berkas perkara itu. Berkas perkara adalah himpunan hasil penyidikan/pemeriksaan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang yang tertuang dalam suatu berita acara dan berita acara tersebut dibuat atas sumpah jabatan dan ditandatangani oleh pejabat dan semua pihak yang terlibat di dalamnya. 70 Menurut lampiran instruksi pelaksana Nomor INS-006/J.A/1986 tentang Petunjuk Pidana Administrasi Teknis Yustisial Perkara Pidana Umum, disebutkan bahwa isi berkas perkara meliputi: 1. Sampul berkas perkara ; 2. Daftar isi berkas perkara; 3. Resume Pasal 121 KUAP; 4. Laporan Polisi sesuai Pasal; 5 ayat (1) dan Pasal 103 KUHAP; 5. Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan sesuai Pasal 109 ayat (1) KUHAP; 6. Berita acara pemeriksaan saksi/ahli Pasal 162, 120 jo Pasal 176 KUHAP. 69 Ibid., hal M. Yahya Harahap., Op. cit, hal. 355.

10 7. Surat perintah penangkapan Pasal 18 KUHAP 8. Surat perintah penahanan sesuai Pasal 21 KUHAP ; 9. Dokumen-dokumen bukti; 10. Daftar adanya saksi; 11. Daftar adanya tersangka; 12. Daftar barang bukti; 13. Lain-lain yang perlu dilampirkan. Memperhatikan isi dari BAP tersebut di atas, nampak bahwa berkas perkara itu hanya terdiri dari kumpulan berita acara, melainkan melampirkan juga surat-surat dan keterangan lain yang diperlukan. Namun demikian tidak mutlak bahwa BAP harus dilengkapi dengan berita acara atau surat-surat atau keterangan sebagaimana tersebut diatas melainkan tergantung pada kasus perkaranya dan kejaksaan atau tindakan yang dilakukan oleh penyidik. 71 Dalam hal suatu perkara tidak memerlukan kelengkapan administrasi penyidikan yang merupakan isi BAP secara lengkap sebagaimana tersebut di atas maka isi berkas perkara disusun sesuai dengan susunan tersebut di atas dikurangi dengan lembaran-lembaran dimana tidak ada atau tidak diperlukan. Selanjutnya menurut Petunjuk Teknis Pol JUKNIS/10/II/1982 tentang Penyusunan Berkas Perkara dan Pemberkasannya, maka dilakukan pemberkasan sebagai berikut: a. Setiap lembar kertas perkara, pada bagian kirinya dilubangi dengan perforator (alat pembuat lubang kertas) pada tiga tempat yaitu di tengah, atas dan bawah. b. Dengan jarum dan tali/benang tanpa sambungan, kertas dijilid sedemikian rupa sehinga benang tidak akan mudah putus/lepas dan simpul dibuat pada atau di atas lubang tengah. c. Kedua ujung dihimpun menjadi satu dan dipotong sepanjang 10 cm dari simpul, kemudian ditarik ke bawah kanan. 71 Ibid., hal. 357.

11 d. Sepanjang 5 cm dari kedua ujung benang/tali dilak, dan sebelum lak tersebut kering, ditekan dengan cap kesatuan Polri setempat yang terbuat bahan logam kuningan. e. Tidak dibenarkan membubuhi lak diatas simpul. f. Lak dan cap tidak boleh menghalang-halangi atau menutup tulisan-tulisan yang terdapat dalam simpul. g. Penomoran pada sampul berkas perkara diambil dari nomor urut buku register berkas perkara dan cara penomorannya sebagai berikut: 1) Kode atau singkatan berkas perkara (BP); 2) Nomor urut; 3) Angka bulan (angka romawi); 4) Angka tahun; 5) Kode Kesatuan Polri yang bersangkutan. Berdasarkan uraian di atas, hasil penyidikan yang dihimpun menjadi satu bundle (buku), dalam sehari-hari disebut dengan berkas perkara atau BAP. a) Penyerahan Berkas Perkara Tahap Pertama di Kejaksaan Negeri Medan Setelah pemberkasan selesai, penyidik segera menyerahkan berkas perkara tersebut dalam rangkap dua kepada penuntut umum, disertai dengan surat pengantar. Dalam surat pengantar tersebut dicantumkan hal-hal sebagai berikut: a. Nomor dan tanggal berkas perkara; b. Jumlah berkas perkara yang dikirim (rangkap 2); c. Nama, umur, pekerjaan dan alat tersangkat; d. Status tersangka; ditahan atau tidak. Kalau ditahan dijelaskan mulai tanggal berapa ditahan dan surat-surat lainnya. e. Tempat penyimpanan barang bukti yang tersebut dalam daftar barang bukti; f. Tindak pidana dan pasal yang dipersakakan; g. Hal-hal lain yang dianggap perlu;

12 h. Tembusan surat pengantar disampaikan kepada Kesatuan Atasari dan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam hal perkara memerlukan perpanjangan penahanan dari Ketua Pengadilan Negeri. Pengiriman berkas perkara disamping dicatat dalam buku ekspedisi, juga disertai surat tanda penerimaan, tanda tangan dan nama terang petugas kejaksaan setempat yang diserahi tugas menerima berkas, serta dibubuhi stempel dinas. Hal ini penting untuk memperhitungkan jangka waktu 14 hari yang diberikan oleh KUHAP kepada penuntut umum untuk memeriksa kelengkapan berkas perkara tersebut. Berdasarkan Pasal 14 huruf b KUHAP, Penuntut Umum mempunyai wewenang untuk mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4) serta memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik. Pasal 14 huruf b KUHAP diatas mempunyai kaitan dengan ketentuan Pasal 138 yang berbunyi sebagai berikut: 72 a) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan meneliti dan dalam waktu 7 hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. b) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. Sehubungan dengan kegiatan penuntut umum di Kejaksaan Negeri Medan maka untuk meneliti BAP, penelitian tersebut diterangkan dalam formulir Hasil Penelitian Tahap Pertama sebagai berikut: 72 Ibid., hal. 359.

13 1. Pemberitahuan dimulainya penyidikan dan surat perintah penyidikan. Hal ini disebutkan ada atau tidak, kalau ada dicantumkan pula nomor dan tanggalnya. 2. Nomor perkara, tanggal diterimanya berkas perkara, asal berkas perkara, jumlah tersangka dan jumlah sanksi. 3. Identitas tersangka (namna, tempat lahir, umur, tanggal lahir, kebangsaan, jenis kelamin, tempat tinggal, agama, pekerjaan dan sidik jari) 4. Pasal yang disangkakan, keterangan acara pidana (KUHAP/Khusus), memenuhi Pasal 21 ayat (4) KUHAP atau tidak, memenuhi pasal 29 ayat (1) KUHAP atau tidak, penunjukan penasehat hukum (wajib atau tidak), penaseht hukum ada atau tidak, macam delik (aduan atau bukan) dan surat pengaduan (atau atau tidak). 5. Status Tersangka Tersangka ditahan atau tidak, jenis tahanan, tanggal tersangka ditahan, berita acara penahanan ada atau tidak dan tunggal berakhirnya masa penahanan. 6. Benda sitaan Benda sitaan ada atau tidak, surat penyitaan ada atau tidak, izin pengadilan negeri atau tidak, berita acara penyitaan ada atau tidak. 7. Apakah ada berita acara 8. Susunan isi berkas Susunan isi berkas perkara itu telah memenuhi ketentuan atau belum 9. Apakah ada dua alat bukti yang sah

14 Susunan isi berkas perkara itu telah memenuhi ketentuan atau belum 10. Apakah berkas perkara tersebut sudah lengkap/sempurna, persyaratan untuk dilimpahkan kepengadilan negeri cukup memenuhi syarat atua belum dan apakah sudah dapat dilimpahkan kepengadilan negeri 11. Saran Jaksa penelitian memberi saran, apakah berkas perkara tersebut tidak dikembalikan atau dikembalikan kepada penyidik disertai petunjuk. Kalau dikembalikan kepada penyidik karena berkas belum lengkap, maka jaksa penelitian memberikan petunjuk mengenai penyidik tambahan yang harus dilakukan oleh penyidik. Sebagaimana diketahui dalam KUHAP, tugas dan wewenang jaksa dalam hal penyidikan, penyidikan lanjutan serta mengkoordinasikan alat-alat penyidik, khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana umum, sepenuhnya beralih kepada penyidik seperti dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b. sebagai konsenkuensi dari peralihan fungsi penyidikan tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b KUHAP, dimana penuntut umum tidak berwenang lagi melakukan penyidikan tambahan atau lanjutan menyebabkan berkas perkara tersebut harus benar-benar memenuhi syarat-syarat penuntutan. Jelas kiraya mengapa pembentuk undang-undang dalam Pasal 138 KUHAP memberikan kewenangan kepada jaksa penuntut umum untuk mengembalikan berkas perkara hasil penyidikan yang dianggap belum lengkap perkara hasil penyidikan yang dianggap belum lengkap kepada penyidik, guna dilengkapi sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh jaksa penuntut umum. Disamping itu

15 petunjuk yang diberikan oleh jaksa penuntut umum disini adalah dalam rangka menyusun surat dakwaan yang memenuhi syarat formal dan syarat material sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Berkas perkara hasil penyidikan dapat dikatakan lengkap apabila telah memenuhi syarat-syarat kelengkapan formil dan kelengkapan materiil sebagai berikut: a. Kelengkapan Formil Berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik dapat dikatakan secara formil apabila memuat antara lain: 1. Identitas tersangka seperti tersebut dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP. 2. Surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat apabila penggeledahan dan penyitaan dilakukan (Pasal 33 dan Pasal 38 KUHAP). 3. Penyidik/penyidik pembantu harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Menteri Kehakiman No.M.05.PW tahun Surat izin Khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat apabila dilakukan pemeriksaan surat, Pasal 47 KUHAP 5. Adanya pengaduan dari orang yang berhak dalam hal delik aduan. 6. Pembuatan berita acara sepreti dimaksud dalam Pasal 75 KUHAP apabila dilakukan pemeriksaan tersangka, penangkapan dan lain sebagainya dan ditandatangani oleh yang berhak menandanganinya. b. Kelengkapan Materiil

16 Kelengkapan materiil yang dimaksud ialah apabila berkas perkara sudah memenuhi persyaratan untuk dapat dilimpahkan ke pengadilan, antar lain seperti adanya alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 183, 184 KUHAP, uraian secara jelas, cermat dan lengkap mengenai tindak pidana yang disangkakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Dengan demikian apabila berkas perkara hasil penyidikan sudah lengkap, maka jaksa penuntut umum sudah menjadikan sebagai dasar pembuatan surat dakwaan yang memenuhi syarat baik formil maupun materiil, dan berkas perkar ahasil penyidikan tidak perlu lagi dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi. Akan tetapi apabila hasi penyidikan dari penyidik belum lengkap, maka jaksa penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, disertai petunjuk untuk dilengkapi oleh penyidik sehingga hasil penyidikan menjadi lengkap dan dapat dijadikan dasar pembuatan surat dakwaan yang memenuhi syarat Pasal 138 jo Pasal 110 KUHAP. Dengan demikian hasil penelitian terhadap berkas perkara yang dilakukan oleh penuntut umum di Kejaksaan Negeri Medan, hasilnya ada dua kemungkinan yaitu: 73 a. Apabila sebelum batas waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penuntut umum mengembalikan berkas perkara tersebut dimana penyidik segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk tertulis dari penuntut umum sesuai Pasal 110 ayat (3) KUHAP. Dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas perkara penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu keapda penuntut umum. 73 Hasil wawancara dengan Bapak Herbet (Kasubsipratut Pidum) di Kejaksaan Negeri Medan, pada hari Selasa Tanggal 16 Maret 2010.

17 b. Apabila dalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara atau sebelum batas waktu tersebut telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum sesuai Pasal 110 ayat (4) KUHAP, maka penyidik segera menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP Biasanya pengiriman barang bukti tersangka dilakukan penyidik setelah ada surat pemberitahuan dari penuntut umum bahwa hasil penyidikannya telah lengkap, disertai permintaan agar tersangka dan barang bukti diserahkan kepada penuntut umum untuk penyelesaian selanjutnya. b) Penyerahan Berkas Perkara Tahap Kedua di Kejaksaan Negeri Medan Pada penyerahan tahap kedua ini, penyidik menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum dengan disertai surat pengantar. Pada tahap ini jaksa peneliti melakukan penelitian terhadap tersangka, yaitu mencocokan identitasnya (dalam hal ini tersangka) yang dihadapkan kepadanya dengan identitas yang tercantum dalam berkas perkara. Begitu pula terhadap barang bukti, jaksa peneliti juga mencocokan barang-barang tersebut dengan yang tercantum pada daftar barang bukti sebagaimana terlampir dalam berkas perkara tersebut dengan disaksikan oleh penyidik dan tersangka. Dan selanjutnya menanyakan kepada tersangka apakah benar benda tersebut tersangkut dalam tindak pidana yang telah dilakukan oleh tersangka. Terhadap benda sitaan, saksi korban atau saksi lainnya harus diikutsertakan dalam menyaksikan penelitian, hal demikian untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya menyulitkan kedudukan penuntut umum.

18 Pelaksanaan penelitian terhadap tersangka dan barang bukti tersebut masing-masing dibuatkan berita acaranya, dan ditandatangani oleh penuntut umum dan penyidik yang menyaksikan acara itu. Berita acara serah terima tersangka dan barang sitaan/bukti memuat halhal sebagai berikut: Kapan serah terima tersangka dan barang bukti dilakukan; 2. Nama, pangkat, nomor registrasi perkara dan jabatan penyidik/penyidik pembantu yang menyerahkan tersangka dan barang bukti tersebut; 3. Surat pengantar pengiriman tersangka dan barang bukti disertai nomor polisi dan tanggalnya; 4. Nama tersangka sebagaimana terlampir dalam daftar tersangka; 5. Barang bukti sebagaimana terlampir dalam daftar barang bukti; 6. Nama, pekerjaan, pangkat/jabatan penuntut umum pada kejaksaan negeri setempat yang menerima tersangka dan barang bukti; 7. Tempat diserahkan tersangka dan barang bukti; 8. Nama, pekerjaan, pangkat/jabatan dan alamat para saksi (2 orang) yang menyaksikan penyerahan tersebut; 9. Tempat, tanggal ditandatanganinya berita acara tersebut. Dengan diserahkannya tersangka dan barang bukti oleh penyidik kepada penuntut umum, maka penyidikan atas perkara tersebut telah selesai dan secara yuridis tanggung jawab atas tersanga dan barang bukti tersebut beralih kepada penuntut umum. Namun demikian bukan berarti tugas penyidik terhadap perkara tersebut selsesai dan tidak ada sangkut pautnya dengan proses persidangan. Hubungan koordinasi fungsional dan instansional antara penyidik dan penuntut umum masih berlangsung sampai ke pelaksanaan putusan hakim. 74 M. Yahya Harahap, Op. cit, hal

19 B. Dasar Hukum Pertimbangan Jaksa Penuntut Umum Dalam Melakukan Prapenuntutan Berdasarkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, penyidik jika telah mulai melakukan penyidikan, penyidik memberitahukan kepada penuntut umum. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan itu biasanya disingkat dengan SPDP, yaitu Surat Pemberitahuan dimulainya penyidikan, selanjutnya penulis menggunakan istilah SPDP. Setelah SPDP diterima oleh Kepala Kejakasan Negeri (Kepala Kejaksaan Tinggi apabila SPDP berasal dari POLDA), maka SPDP tersebut dikelola oleh Kepala Saksi (KASI). Jika menyangkut perkara pidana umum (pidum) surat tersebut dikelola oleh Kasi Pidum sedangkan berkenaan dengan pidana khusus (pidsus) surat tersebut dikelola oleh Kasi Pidsus. Kasi Pidum atau Kasi Pidsus sesuai dengan bidang masing-masing mempersiapkan konser surat dengan bidang masing-masing mempersiapkan konser surat penunjukan jaksa penelitian. Jaksa penelitian ini biasanya merupakan calon penuntut umum. Rumusan kata biasanya menunjukkan bahwa hal tersebut tidak bersifat mutlak, karena bisa saja ditunjuk jaksa sebagai pengganti penuntut umum oleh Kepala Kejaksaan Negeri. Jaksa yang telah ditunjuk tersebut bertugas mengikuti perkembangan penyidikan sebagaimana tersebut dalam SPDP, dan ia mempersiapkan petunjuk-petunjuk kepada penyidik guna merampungkan berkas perkara apabila berkas perkara hasil penyidikannya belum lengkap. Sehubungan dengan ketentuan tersebut di atas, Kejaksaan Negeri Medan, ketika dilakukan wawancara dengan JPU, Kejaksaan langsung melakukan

20 koordinasi dengan penyidik agar penyidik segera melakukan penyidikan untuk mempersiapkan tindakan penuntutan. 75 Setelah berkas perkara diterima oleh Kejaksaan Negeri Medan (penuntut umum) dari penyidik, Kejaksaan Negeri Medan segera menentukan apakah berkas perkara tersebut telah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan berdasarkan Pasal 139 KUHAP. Menurut Bapak Herbet dikatakan bahwa: Penuntut umum meneliti dan mempelajari sesuai dengan Pasal 138 KUHAP untuk memastikan BAP sudah lengkap atau tidak dan itu dilakukan selama 14 (empat belas) hari; 2. Apabila BAP dari penyidik tidak lengkap, Kejaksaan Negeri Medan segera mengembalikan BAP tersebut kepada penyidik (Kepolisian) disertai dengan petunjuk-petunjuk dalam waktu 7 (tujuh) hari, kemudian setelah dilengkapi penyidik, BAP tersebut diserahkan kembali kepada Kejaksaan Negeri Medan; 3. Apabila Kejaksaan Negeri Medan beranggapan bahwa BAP hasil penyidikan penyidik itu sudah lengkap dan sesuai dengan undang-undang, maka Kejaksaan Negeri Medan wajib memberitahukan kepada penyidik dan tidak dapat dilakukan lagi prapenuntutan. Penuntut umum maupun penuntut umum pengganti secara bersama-sama selanjutnya melakukan pengamatan yang cermat atas berkas perkara tersebut, yakni mengenai: a. Waktu dan kejadian tindak pidana; b. Pelaku serta kemungkinan orang-orang yang terkait dalam tindak pidana itu yang selanjutnya menentukan posisi masing-masing; c. Perbuatan yang terjadi; 75 Hasil wawancara dengan Bapak Herbet (Kasubsipratut Pidum) di Kejaksaan Negeri Medan, pada hari Selasa Tanggal 16 Maret Hasil wawancara, Ibid.

21 d. Apakah untuk melakukan penentuan telah memenuhi sarat formil maupun syarat materiil; e. Apakah setiap unsur delik telah didukung oleh alat-alat bukti yang cukup dengan mempedomi Pasal 183 yang menentukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Berdasarkan pengamatan pada data atau fakta tersebut di atas, jaksa penuntut umum di Kejaksaan Negeri Medan adakalanya berpendapat sebagai berikut: a. Perbuatan yang telah dilakukan tersebut tidak dapat dihukum atau bukan merupakan suatu tindak pidana. Keadaan demikian sesuai dengan dalil tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan. b. Tersangka tidak dapat dihukum disebabkan oleh karena orang yang melakukan delik tersebut dalam hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu tidak dapat dihukum, misalnya Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHAP. c. Sesuai dengan Pasal 78 KUHAP, perbuatan itu jelas dan cukup bukti akan tetapi hak untuk menuntut telah hilang. d. Tidak terdapat cukup bukti. e. Berkas perkara perlu dipisahkan. f. Berkas perkara perlu digabungkan. Dalam hal jaksa peneliti berpendapat bahwa tidak cukup alasan untuk diajukan ke pengadilan negeri karena perbuatan bukan merupakan suatu tindak pidana atau si tersangka tidak dapat dihukum atau hak menuntut telah hilang, maka penyidik harus melaporkan hal tersebut kepada Kepala Kejaksaan Negeri

22 Medan dan mempersiapkan konsep surat penetapan. Surat penetapan tersebut dirumuskan pada Pasal 14 ayat (2) KUHAP yang dalam sehari-hari disebut SP3 yakni Surat Penetapan Penghentian Penuntutan. Terhadap surat ketetapan tentang dihentikannya penuntutan, pada hakekatnya terutama ditujukan kepada pencegahan nebis in idem, dimaksudkan bukan saja untuk menyelesaikan perkara pada tahap tersebut melainkan kemungkinan untuk diajukan kelak bila ada alat bukti baru. Apabila di kemudian hari terdapat alat bukti baru maka penuntutan dapat dilakukan lagi. Hal ini merupakan cara yang tepat untuk menegakkan keadilan, sebab jika belum ditemuan alat bukti yang kuat pada saat diajukan ke Pengadilan Negeri Medan, kemungkinan terdakwa akan dibebaskan oleh pengadilan. Berdasarkan Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, Kejaksaan Negeri Medan menerapkan SP3 dengan alasan: a. Tidak terdapat cukup bukti; b. Peristiwa bukan merupakan tindak pidana; dan c. Perkara ditutup demi hukum. Sedangkan perkara ditutup demi hukum disebabkan karena beberapa hal di Kejaksaan Negeri Medan yaitu: a. Adanya pencabutan pengaduan sebagaimana tersebut dalam Pasal 75 KUHAP. b. Nebis in idem, yaitu orang tidak boleh dituntut untuk keduakalinya karena perbuatan atau peristiwa yang baginya telah diputus hakim, dimana

23 putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap sesuai Pasal 7 KUHAP. c. Tersangka meninggal dunia berdasarkan Pasal 77 KUHAP d. Kedaluarsa, yaitu tidak dapat dituntut, lagi karena lewatnya waktu sesuai Pasal 78 KUHP. Menurut Instruksi Jaksa Agung RI Nomor INST-011/J.A/11/1982 tentang Penghentian Penuntutan Khusus untuk Tindak Pidana Umum yang menerbitkan surat ketetapan diwenangkan Kepala Kejaksaan Negeri setempat setelah mendengarkan pendapat Jaksa Penuntut Umum. Dimana selain menyebutkan alasan juga harus mencantumkan secara jelas: 1. Pengeluaran tersangka apabila tersangka dalam keadaan ditahan. 2. Penetapan penyerahan atau mengembalian benda sitaan/barang bukti kepada orang yang disebutkan secara jelas nama dan identitasnya. Selanjutnya Pasal 140 ayat (2) huruf b dan c KUHAP menyebutkan sebagai berikut : 1. Isi surat keterangan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan wajib segera dibebaskan; 2. Turunkan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada a. Tersangka, atau b. Keluarga, atau c. Penasehat hukum; d. Pejabat rumah tahanan negara (RUTAN); e. Instansi penyidik; f. Hakim (Ketua Pengadilan Negeri). KUHAP tidak memberikan definisi tentang prapenentuan. Akan tetapi terdapat dalam Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.901.DPW tentang pelaksanaan KUHAP disebutkan bahwa prapenentutan adalah wewenang penuntut

24 umum setelah menerima berkas perkara penyidikan dari penyidik dan berpendapat bahwa hasil penyidikan itu dianggap belum lengkap, maka penuntut umum segera mengembalikannya kepada penyidik disertai petunjuk seperlunya dan dalam hal ini penyidik harus segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh penuntut umum, dan apabila penuntut umum dalam waktu 14 hari tidak mengembalikan hasil penyidikan tersebut, maka penyidikan dianggap selesai. Kegiatan yang dilakukan penuntut umum di Kejaksaan Negeri Medan setelah menerima BAP dari penyidik dalam rangka prapenuntutan adalah: 1. Jaksa penuntut umum yang ditunjuk oleh Kepala Kejaksaan Negeri Medan dalam waktu 3 hari setelah menerima berkas perkara, segera meneliti berkas perkara tersebut apakah syarat formil maupun syarat materiil sudah dipenuhi atau belum. Hal-hal yang perlu diperhatikan didalam melakukan penelitian dan penilaian berkas perkara antara lain ; a) Kelengkapan berita acara b) Keabsahan tindakan penyidik. 2. Apabila BAP tersebut diangap belum lengkap, maka selambat-lambatnya 14 hari sesudah penerimaan berkas perkara tersebut dari penyidik maka Kejaksaan Negeri Medan sudah harus mengembalikan berkas perkaranya disertai petunjuk-petunjuk tentang hal-hal yang harus dilengkapi oleh penyidik: a) Petunjuk-petunjuk yang disampaikan kepada penyidik tersebut disampaikan tertulis, jelas dan terperinci demi sempurnanya proses penentutannya dipersidangan. b) Dalam waktu 10 hari setelah pengembalian tersebut Kejaksaan Negeri Medan memperingatkan penyidik tentang batas waktu penyempurnaan berkas perkara tersebut hanya 14 hari. c) Supaya diusahakan pengembalian berkas perkara itu berlangsung hanya satu kali saja, kecuali pengembalian dapat dilakukan dengan waktu lebih dari 14 hari apabila terdapat hal-hal yang penting dimana dapat mempengaruhi berhasil tidaknya penuntutan, dengan catatan pengembalian tersebut merupakan pengembalian yang terakhir.

25 Dasar pertimbangan Jaksa pada Kejaksaan Negeri Medan dalam melakukan tindakan prapenuntutan dipaparkan berikut ini aturan-aturan yang mendasarinya. Hubungan koordinasi fungsional antara penyidik dengan jaksa penuntut umum pertama kali terjadi sejak penyidik melakukan penyidikan suatu perkara sebagaimana ditentukan oleh Pasal 109 ayat (1) KUHAP. Kejaksaan Negeri Medan juga berpedoman kepada pelaksanaan KUHAP yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Nomor M.01.PW tahun 1982, pada halaman 78 dibawah huruf a, menegaskan bahwa pemberitahuan kepada penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 109 ayat (1) KUHAP adalah merupakan kewajiban dari penyidik. Pengertian telah dimulainya penyidikan adalah jadi kegiatan penyidikan sudah dilakukan dengan menggunakan upaya paksa, misalnya pemanggilan pro justisia, pemeriksaan, penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan lain-lain (Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, butir 3). Penyidik memberitahukan tentang telah dimulainya penyidikan suatu tindak pidana tersebut dengan menggunakan formulir serse A-3 (juklak dan juknis POLRI) dengan disertai lampiran berupa laporan polisi atau aduan (MAHKEJAPOL I) sebagai kelengkapan dari butir 3 Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Dalam hal Kejaksaan Negeri Medan atau JPU yang menerima laporan atau pengaduan atau mengetahui sendiri telah terjadi suatu tindak pidana, maka hal tersebut secepatnya diteruskan kepada penyidik (pasal 1 ) ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961). Berdasarkan undang-undang ini

26 bahwa setiap Kejaksaan Negeri setempat setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan harus mencatat dalam reisgtrasi R.PK-1 dan data beserta penyelesaian dimuat dalam laporan bulanan model LPK-1. Untuk mendapatkan dukungan operasi intelejen kejaksaan, maka formulir serse A-3 diberitahukan juga oleh Kepala Kejaksaan Negeri kepada Saksi Intel Kejaksaan agar terdapat keterpaduan Intelejen dengan kegiatan Operasi justisi. Dalam rangka meneliti kelengkapan dan materiil berkas perkara, agar dipedomani pula surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-002 / J.A/2/1985 tentang hasil Eksaminasi Perkara. Apabila penyidik mengalami kesulitan untuk memenuhi petunjuk yang diberikan oleh Penuntut Umum dalam tenggang waktu 14 hari, penyidikan segera memberitahukan kesulitan tersebut kepada Penuntut Umum dan penyelesainnya diserahkan kepada consensus pada forum penyidikan dan penuntut umum (MAHKEJAPOL ). Hasil penyidikan tambahan dan berkas perkara yang diserahkan kembali oleh penyidik, dipelajari lagi oleh Penuntut Umum Peneliti, apakah petunjuk-petunjuk telah terpenuhi. Bila belum dipenuhi, Penuntut Umum melaporkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri atau pejabat yang dikuasakan untuk itu, jalan apa yang akan ditempuh terhadap berkas perkara tersebut, yang ketentuan akhirnya diserahkan kepada kebijakan pimpinan. Pelaksanaan pekerjaan ini harus sudah selesai dalam satu hari. Untuk mencegah lebih dari dua kali antara Penyidik dan Penuntut Umum, perhatikan Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP butir 5 yang intinya : harus mengintensipkan koordinasi antar penegak hukum di daerah. Dalam hal upaya Penyidik ternyata sudah optimal. Maka Penuntut Umum dapat melengkapi

27 berkas perkara dengan mengadakan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan menurut pasal 27 ayat (1) sub d Undang Undang Nomor 5 Tahun Khusus untuk berkas perkara hasil penyidikan Penyidik Pegawai Negeri Sipil agar diperhatikan Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP butir 6 yang intinya menyatakan bahwa dalam perkara tindak pidana umum berkas perkara diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum melalui Penyidik Polri sedangkan dalam tindak pidana khusus langsung kepada Jaksa Penuntut Umum. Di samping itu juga diperhatikan Surat Edaran Jaksa Agung nomor SE-013/J.A/8/1982 tanggal 20 Agustus C. Kendala-Kendala Dalam Prapenuntutan Pemberian petunjuk dari penuntut umum kepada penyidik dalam rangka melengkapi BAP agar menjadi berkas perkara hasil penyidikan yang lengkap ditemui hambatan-hambatan atau kesulitan-kesulitan baik yang berasal dari kejaksaan maupun luar kejaksaan. Hambatan-hambatan tersebut dibedakan sebagai berikut: Hambatan internal atau dari dalam Adalah kesulitan-kesulitan yang ditemui oleh Kejaksaan Negeri Medan dalam hal ini penuntut umum dalam mengadakan prapenuntutan yang timbul dari dalam tubuh kejaksaan itu sendiri. Hambatan tersebut adalah: a. Prapenuntutan dibatasi oleh tenggang waktu yang jelas telah ditentukan oleh pembentukan undang-undang. Disamping itu pembentuk undang- 77 Hasil wawancara dengan Kepala Sub Seksi Prapenuntutan pada Pidana Umum (Pidum) Kejaksaan Negeri Medan pada hari Selasa Tanggal 16 Maret 2010.

28 undang tidak mengatur lebih lanjut kemungkinan apabila waktu yang tersedia dalam melakukan prapenuntutan tidak mencukupi. b. Ketentuan berapa kali penyerahan BAP yang timbal balik tidak ditentukan, berakibat BAP tersebut menjadi mondar-mandir, berlarut-larut dari Kejaksaan Negeri Medan ke penyidik atau sebaliknya. Keadaan demikian didasarkan oleh karena Kejaksaan Negeri Medan setelah menerima dan meneliti BAP dari penyidik dan beranggapan bahwa hasil penyidikannya belum dianggap lengkap, maka Kejaksaan Negeri Medan harus mengembalikan BAP itu dimaksudkan untuk tidak terjadi kegagalan dalam melakukan penuntutan juga menghindari ketidakadilan dalam melaksanakan penuntutan yang akan dilakukannya. 2. Hambatan eksternal atau dari luar Adalah kesulitan atau hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan prapenuntutan yang bukan berasal dari pihak Kejaksaan Negeri Medan, tetapi berasal dari pihak luar yaitu dari penyidik sendiri. Hambatan-hambatan tersebut antara lain: a. Sering terjadi dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima pengembalian BAP dari penuntut umum pihak penyidik belum mengembalikan berkas tersebut kepada Kejaksaan Negeri Medan dikarenakan penyidikan tambahan belum selesai. b. Penyidik menilai bahwa tindakan Kejaksaan Negeri Medan tersebut dalam mengadakan prapenuntutan seolah-olah mengada-ada. Dalam hal ini

29 penyidik mengalami kesullitan untuk memenuhi petunjuk-petunjuk dari Kejaksaan Negeri Medan tersebut.

30 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Adapun yang menjadi kesimpulan dari permasalahan dalam penelitian ini memberikan beberapa jawaban sebagai berikut: 1. Kejaksaan dalam melakukan tugas dan kewenangannya di bidang prapenuntutan, dituntut untuk bersikap independen. Tanpa indepedensi dari Kajaksaan maka akan sangat sulit mengharapkan indepedensi kekuasaan peradilan pidana. Dalam praktek peradilan pidana, meskipun hakim bebas, namun harus tetap terikat dengan apa yang didakwakan oleh penuntut umum. Hakim tidak boleh memutus apa yang tidak didakwakan oleh penuntut umum. Dalam perkembangannya telah beberapa kali memiliki payung hukum. Pada masa orde lama dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961, pada masa orde baru dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 dan sekarang berlaku Undang-Undang Nomor 16 Tahun Kedudukan Kejaksaan semakin mantap ketika masa orde lama bila dibanding dengan masa reformsi. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 Pasal 1 ayat (1) ditegaskan bahwa Kejaksaan adalah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 dan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 justru Kejaksaan menjadi lembaga eksekutif, padahal kalau dilihat kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penuntutan jelas kejaksaan melakukan kekuasaan di bidang yudikatif. Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang 16 Tahun 2004 menyatakan bahwa kekuasaan Kejaksaan

31 dilakukan secara merdeka, namun bila dikaitkan dengan kedudukan kejaksaan sebagai lembaga eksekutif maka suatu kemustahilan bila kejaksaan dapat menjaankan kekuasaan dan kewenangan dialakukan secara merdeka. Maka jelas bahwa kedudukan kejaksaan adalah sebagai lembaga eksekutif yang melakukan tugas dan wewenang di bidang yudikatif, sehingga sangat mustahil kejaksaan dalam menjalankan tugasnya benar-benar merdeka atau independen. 2. Kejaksaan Negeri Medan dalam melakukan prapenuntutan berdasarkan kepada adanya kesenjangan dalam BAP dari penyidik yang oleh jaksa dianggap kurang sesuai dengan fakta di lapangan. Berdasrkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.901.DPW tentang Pelaksanaan KUHAP dimana disebutkan bahwa dalam prapenentutan, penuntut umum setelah menerima berkas perkara penyidikan dari penyidik dan berpendapat bahwa hasil penyidikan itu dianggap belum lengkap, maka penuntut umum segera mengembalikannya kepada penyidik disertai petunjuk seperlunya dan dalam hal ini penyidik harus segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh penuntut umum, dan apabila penuntut umum dalam waktu 14 (empat belas) hari tidak mengembalikan hasil penyidikan tersebut, maka penyidikan dianggap selesai. Dasar hukumnya dalam KUHAP adalah Pasal 109 ayat (1) KUHAP, penyidik jika telah mulai melakukan penyidikan, penyidik memberitahukan kepada penuntut umum. Pasal 138 KUHAP, Kejaksaan harus mempelajari BAP dari penyidik selama 7 (tujuh) hari. Bila BAP tersebut belum lengkap, harus dikembalikan ke penyidik disertai dengan petunjuk-petunjuk selama 14 (empat belas) hari. Pasal 139

32 KUHAP, Kejaksaan segera menentukan apakah berkas perkara tersebut telah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan misalnya didukung oleh alat-alat bukti yang cukup dengan mempedomi Pasal 183 yang menentukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. B. Saran Adapun yang menjadi saran dari penelitian ini menggambarkan beberapa harapan yaitu: 1. Diharapkan kepada Pemerintah dan anggota DPR agar segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Alasannya adalah karena UU Kejaksaan ini menempatkan Kejaksaan sebagai lembaga eksekutif. Jika institusi Kejaksaan ditempatkan sebagai bagian dari lembaga eksekutif, maka sangat mustahil kejaksaan dalam menjalankan tugasnya benar-benar merdeka atau independen. Seharusnya kedudukan Kejaksaan ditempatkan sebagai bagian dari lembaga yudikatif. 2. Diharapkan pula agar KUHAP juga secepatnya direvisi khususnya mengenai rentang waktu 14 (empat belas) hari bagi penyidik untuk memperbaiki BAP karena penyidik dalam menemukan bukti-bukti sangat tidak dimungkinkan dapat dilakukan dalam waktu 14 (empat belas) hari tersebut.

PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA TINDAK PIDANA DARI KEJAKSAAN KEPADA KEPOLISIAN 1 Oleh : Ridwan Afandi 2

PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA TINDAK PIDANA DARI KEJAKSAAN KEPADA KEPOLISIAN 1 Oleh : Ridwan Afandi 2 PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA TINDAK PIDANA DARI KEJAKSAAN KEPADA KEPOLISIAN 1 Oleh : Ridwan Afandi 2 A B S T R A K Hasil penelitian menunjukan bagaimana proses penyelesaian pengembalian berkas perkara pidana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-Ol.Hl.07.02 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN MANAJEMEN PENYIDIKAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, menurut Simons hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto * Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum Cakra Nur Budi Hartanto * * Jaksa Kejaksaan Negeri Salatiga, mahasiswa Magister (S-2) Ilmu Hukum UNISSULA

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR,

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, Menimang : a. b. bahwa dalam upaya penegakan Peraturan Daerah

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NO : 7 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 11 TAHUN 2001 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BEKASI Menimbang

Lebih terperinci

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A. PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A. Supit 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG. Nomor 7 Tahun 2000 Seri D PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG. Nomor 7 Tahun 2000 Seri D PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG Nomor 7 Tahun 2000 Seri D PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL ( PPNS ) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-189/E/5/95 Sifat : - Lampiran : - Perihal : Pola Penanganan dan Penyelesaian Perkara Kehutanan Jakarta, 3 Mei 1995 KEPADA YTH. Para Kepala Kejaksaan

Lebih terperinci

BAB I BERKAS PENYIDIKAN

BAB I BERKAS PENYIDIKAN BAB I BERKAS PENYIDIKAN Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan, suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, namun untuk menentukan apakah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA

STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA 1. PELAYANAN PERSIDANGAN NO. JENIS PELAYANAN DASAR HUKUM 1. Penerimaan Pelimpahan Berkas. Pasal 137 KUHAP PERSYARATAN - Yang melimpahkan harus Jaksa Penuntut Umum

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG ADMINISTRASI PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 29 TAHUN 2017 TENTANG ADMINISTRASI PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL KOTA YOGYAKARTA DALAM ACARA PEMERIKSAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PEJABAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA METRO NOMOR 05 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA METRO NOMOR 05 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA METRO NOMOR 05 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA METRO, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penegakan atas

Lebih terperinci

Hubungan Penyidik Dan Penuntut Umum Dalam Proses Peperiksaan Perkara Pidana. Oleh : Bambang Slamet Eko S

Hubungan Penyidik Dan Penuntut Umum Dalam Proses Peperiksaan Perkara Pidana. Oleh : Bambang Slamet Eko S Hubungan Penyidik Dan Penuntut Umum Dalam Proses Peperiksaan Perkara Pidana Abstraksi Oleh : Bambang Slamet Eko S Begitu penyidik mulai menyidik seseorang, maka pada saat itu juga harus memberitahukannya

Lebih terperinci

SALINAN. jdih.bulelengkab.go.id

SALINAN. jdih.bulelengkab.go.id PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL ( PPNS ) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULELENG, SALINAN Menimbang : a. bahwa keberadaan dan peranan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR : 5 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR : 5 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR : 5 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

2 perpajakan yang terkait dengan Bea Meterai telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai; e. bahwa ketentuan mengenai tin

2 perpajakan yang terkait dengan Bea Meterai telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai; e. bahwa ketentuan mengenai tin No.1951. 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Pemeriksaan. Bulat Permukaan. Tindak Pidana Perpajakan. Pencabutan PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239 /PMK.03/2014 TENTANG

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU TAHUN : 2002 NOMOR : 43 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 16 TAHUN 2002 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN SURAT IZIN USAHA PERGADANGAN ( SIUP ) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyelidikan dan Penyidikan Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA

BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN BUTON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 SERI E =============================================================== PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B- 401 /E/9/93 Sifat : Konfidensial Lampiran : 1 (satu) eksemplar Perihal : Pelaksanaan tugas Prapenuntutan Jakarta, 8 September 1993 KEPADA : SDR. KEPALA

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016 PERTIMBANGAN YURIDIS PENYIDIK DALAM MENGHENTIKAN PENYIDIKAN PERKARA PELANGGARAN KECELAKAAN LALU LINTAS DI WILAYAH HUKUM POLRESTA JAMBI Islah 1 Abstract A high accident rate makes investigators do not process

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015

Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015 PROSES PELAKSANAAN PRAPENUNTUTAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT KUHAP 1 Oleh: Rajiv Budianto Achmad 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2015 JAKSA AGUNG. Diversi. Penuntutan. Pelaksanaan. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER- 006/A/J.A/04/2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 19 TAHUN 2001 TENTANG IJIN MEMAKAI TANAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 19 TAHUN 2001 TENTANG IJIN MEMAKAI TANAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 19 TAHUN 2001 TENTANG IJIN MEMAKAI TANAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, Menimbang : a. bahwa pada dasarnya setiap penguasaan ataupun memakai

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN NOMOR 52/2014 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. WALIKOTA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM LINGKUNGAN KABUPATEN LAMPUNG BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM LINGKUNGAN KABUPATEN LAMPUNG BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM LINGKUNGAN KABUPATEN LAMPUNG BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG BARAT Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-255/E/6/1995 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Pola Penanganan dan Penyelesaian Perkara Kejahatan Dengan Kekerasan Jakarta, 7 Juni 1995 KEPADA YTH.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN Peraturan Peraturan Menteri Keuangan - 239/PMK.03/2014, 22 Des 2014 PencarianPeraturan PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

SAMPUL BERKAS PERKARA Nomor: BP-../PPNS PENATAAN RUANG / /20..

SAMPUL BERKAS PERKARA Nomor: BP-../PPNS PENATAAN RUANG / /20.. LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PENATAAN RUANG SAMPUL BERKAS PERKARA Nomor: BP-../PPNS PENATAAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMORxxxxTAHUN 2015 TENTANG MANAJEMEN PENEGAKAN HUKUM BIDANG POS DAN TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, PERBAIKAN DR SETUM 13 AGUSTUS 2010 PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 3 2013 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BEKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM

Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kedua, Penyidikan Oleh Kepolisian RI 3.2 Penyidikan Oleh Kepolisian RI 3.2.1 Penyelidikan Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA C ARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA C ARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN Menimbang : PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA C ARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1991 TENTANG TATA CARA PEMBERHENTIAN DENGAN HORMAT, PEMBERHENTIAN TIDAK DENGAN HORMAT, DAN PEMBERHENTIAN SEMENTARA SERTA HAK-HAK HAKIM AGUNG DAN HAKIM

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

PEMERINTAH KOTA SURABAYA SALINAN PEMERINTAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 04 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

-1- QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG

-1- QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG -1- QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang

Lebih terperinci

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa balinewsnetwork.com Mantan Bupati Jembrana, I Gede Winasa membantah tudingan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyebut dirinya

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 20 TAHUN 2007 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KULON PROGO, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 ABSTRAK Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif, di mana penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 A. Prosedur tugas dan kewenangan Jaksa Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintahan

Lebih terperinci

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II S U M E D A N G Nomor : 5 Tahun : 1986 Seri : D.

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II S U M E D A N G Nomor : 5 Tahun : 1986 Seri : D. LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II S U M E D A N G Nomor : 5 Tahun : 1986 Seri : D. PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II SUMEDANG Nomor : 6 Tahun : 1986. TE N T A N G PENUNJUKAN PENYIDIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak

Lebih terperinci

PENYIDIKAN TAMBAHAN DALAM PERKARA PIDANA

PENYIDIKAN TAMBAHAN DALAM PERKARA PIDANA PENYIDIKAN TAMBAHAN DALAM PERKARA PIDANA Oleh : I Made Wahyu Chandra Satriana ABSTRACT The obligation for investigators to conduct additional investigation, in case of the return of the case file from

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan

2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan No.655, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BERSAMA. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Koordinasi. Aparat Penegak Hukum. PERATURAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG MENTERI HUKUM DAN HAM JAKSA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci