MONITORING REALISASI APBD 2011 TRIWULAN I

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MONITORING REALISASI APBD 2011 TRIWULAN I"

Transkripsi

1

2 MONITORING REALISASI APBD 2011 TRIWULAN I Summary Secara kumulatif realisasi pendapatan ABPD Provinsi, Kabupaten dan Kota pada triwulan I adalah 25,2% dari total anggaran pendapatan, sedangkan realisasi total belanja daerah hanya sebesar 11,2%. Persentase realisasi pendapatan yang tertinggi untuk semua tingkatan pemerintahan adalah realisasi Dana Perimbangan yang mencapai 28,1% dari total anggaran Dana Perimbangan, diikuti oleh realisasi PAD yang mencapai 23,3%. Realisasi belanja daerah pada triwulan I memperlihatkan bahwa belanja pegawai merupakan komponen belanja dengan realisasi terbesar yaitu sebesar 17,3%. Sedangkan realisasi belanja daerah yang lain masih sangat kecil yaitu di bawah 10%, terutama belanja modal yang baru mencapai 2,4%. Anggaran Pendapatan dan Daerah Tahun Anggaran 2011 (juta Rupiah) Jumlah Anggaran Mata Anggaran Nasional Propinsi Kabupaten/Kota Pendapatan 479,022, ,039, ,982,813 Pendapatan Asli Daerah 90,416,482 59,597,218 30,819,264 Dana Perimbangan 327,363,560 47,428, ,934,577 Lain-lain 61,242,320 12,013,348 49,228, ,546, ,920, ,625,698 Pegawai 229,059,110 31,557, ,501,664 Barang dan jasa 104,301,851 33,836,643 70,465,208 Modal 113,599,782 26,482,423 87,117,359 Lain-lain 67,585,586 36,044,119 31,541,467 Sumber : Subdit DKD, Direktorat EPIKD Keterangan: Jumlah daerah yang telah mengumpulkan APBD sebanyak 524 daerah dengan rincian provinsi sebanyak 33, kabupaten sebanyak 398 dan kota sebanyak 93 daerah Rasio Pendapatan provinsi sebesar 24,9 % dibanding Nasional, sedangkan Kabupaten/Kota mempunyai rasio sebesar 75.1%. Rasio provinsi sebesar 24,9% dibanding Nasional, sedangkan Kabupaten/Kota mempunyai rasio sebesar 75.1%. 1

3 % A.1. Realisasi Total Pendapatan dan Daerah Grafik 1. Realisasi Pendapatan & Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota (%) *tidak termasuk DKI Jakarta Nasional Kab/Kota Provinsi Pendapatan Secara kumulatif (aggregate APBD Provinsi, Kabupaten, dan Kota) realisasi pendapatan APBD pada Triwulan I Tahun Anggaran 2011 adalah sebesar 25,2% dari total anggaran APBD, sedangkan realisasi belanja daerah sebesar 11,2%.Realisasi pendapatan relatif baik disebabkan karena realisasi dana perimbanganyang merupakan mayoritas sumber pendapatan (Rasio Daper secara Nasional 70,3% tdk termasuk Prov. DKI Jakarta) telah terealisasi 28,0% dari anggaran. Untuk realisasi belanja relatif rendah disebabkan oleh rendahnya realisasi belanja pegawai (rasio Pegawai Nasionalcukup dominan, mencapai 45,1%, namun realisasinya baru mencapai 17,4%) dan juga dikarenakan realisasi belanja modal dan barang jasa yang dibawah 10%. Rendahnya realisasi belanja modal dan barang/jasa pada triwulan I disebabkan semua proses pelelangan/tender baru mulai dilaksanakan.proses ini membutuhkan waktu minimal 2 bulan dimulai dari pengumuman lelang sampai dengan penetapan pemenang lelang/tender, sehingga baru pada triwulan II pelaksanaan kegiatan dimulai. Secara terpisah antara provinsi dengan Kabupaten/Kota dapat dilihat dalam grafik diatas. Realisasi pendapatan provinsi lebih rendah dibanding Kabupaten/Kota dikarenakan rasio kontribusi dana perimbangan provinsi lebih rendah dibanding dengan Kabupaten/Kota(provinsi 41,4%, Kabupaten/Kota=77,7%). Realisasi belanja provinsi lebih rendah dibanding Kabupaten/Kota dikarenakan realisasi belanja pegawai dan belanja barang jasa lebih rendah dibanding Kabupaten/Kota.Berikut disajikan realisasi pendapatan dan belanja Kabupaten/Kotaper wilayah. 2

4 % % Grafik 2. Realisasi Pendapatan & Kabupaten/Kota per Wilayah w1 w2 w3 w4 w5 Pendapatan Keterangan: W1=Sumatera, W2=Jawa Bali, W3=Kalimantan, W4=Sulawesi, W5=Nusa Tenggara, Maluku, Papua Realisasi pendapatan tertinggi adalah Kabupaten/Kota diwilayah Kalimantan (W3) hal tersebut di dorong dari realisasi lain-lain pendapatan yang sah lebih tinggi dibanding dengan wilayah lain. Wilayah Kalimantan juga mempunyai realisasi belanja terendah dikarenakan realisasi tiga belanja dominan ( Pegawai, Barang dan Jasa, dan Modal) masih lebih rendah dibanding wilayah lain terutama belanja barang dan Jasa.Realisasi pendapatan dan belanja daerah Provinsi per wilayah dapat dilihat dalam grafik dibawah ini : Grafik 3. Realisasi Pendapatan & Provinsi per Wilayah w1 w2 w3 w4 w5 Pendapatan Wilayah Sumatera (W1) merupakan wilayah yang mempunyai realisasi pendapatan terendah dibanding dengan wilayah lain, salah satunya disebabkan oleh realisasi dana perimbangan (47,91% dari anggaran) di wilayah Sumatera baru terealisasi 21,91%, ini lebih rendah dibanding dengan wilayah lainnya. Sedangkan 3

5 % realisasi tertinggi adalah wilayah Sulawesi (W4) yang disebabkan tingginya realisasi dana perimbangan dan PAD yang sudah lebih dari 29%. Realisasi belanja wilayah Jawa Bali (W2) merupakan yang terendah dibanding dengan wilayah lainnya. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena belanja bagi hasil ke Kabupaten/Kota (44,65%) baru terealisasi sebesar 2,81%. A.2 Realisasi Pendapatan Grafik 4. Realisasi Pendapatan Daerah secara Nasional (Provinsi, Kabupaten dan Kota) Nasional Kab/Kota Provinsi PAD Daper lain-lain Lain-lain Secara Nasional, realisasi pendapatan pada triwulan I masih didominasi oleh Dana Perimbangan yaitu sebesar 28,0%, diikuti oleh realisasi Pendapatan Asli Daerah sebesar 23,4% dan lain-lain pendapatan daerah yang sah yaitu sebesar 12,8%. Realisasi dana perimbangan terbesar adalah Dana Alokasi Khusus (DAU) yang telah mencapai 32,1%. PAD didominasi oleh penerimaan pendapatan berasal dari pajak daerah dengan realisasi sebesar 26,4%. Sedangkan Lain-lain pendapatan yang sah di dominasi realisasi penerimaan transfer dari provinsi dan dana transfer dana otsus dan penyesuaian (13,9% dan 11,7%). Sebanding dengan Nasional, realisasi pendapatan Kabupaten/Kota didominasi oleh realisasi penerimaan Daper yang telah mencapai 28,3%, kemudian penerimaan PAD 20,1% dan terakhir adalah lain-lain penerimaan yang sah sebesar 14,6%. Daper Kabupaten/Kota dapat mencapai angka diatas 25% dikarenakan penerimaan DAU yang mempunyai proporsi 74,5% telah mencapai realisasi sebesar 32,0%, sedangkan untuk Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) masih dibawah 20%. Untuk PAD Kabupaten/Kota didominasi oleh penerimaan pajak dan lain-lain PAD yang sah yang telah mencapai realisasi diatas 20% (22,3% dan 20,7%). Realiasi lain-lain pendapatan yang sah lebih rendah dibanding realisasi PAD dan Daper salah satunya adalah dikarenakan realisasi penerimaan transfer dana otsus/penyesuaian baru mencapai 15,3% dan transfer dari provinsi baru mencapai 13,3% Realisasi pendapatan provinsi mempunyai pola yang berbeda dengan Kabupaten/Kota, Realisasi PAD lebih tinggi yaitu mencapai 25,9% sedangkan realisasi Daper dan Lain-lain pendatan yang sah lebih rendah 4

6 % yaitu 26,1% dan 2,7%. PAD provinsi mempunyai kontribusi sebesar 48,8% dari total pendapatan, dimana ditriwulan I realisasi pajak mencapai 28,1%. Disisi lain realisasi daper provinsi lebih rendah dibanding dengan Kabupaten/Kota disebabkan oleh penerimaan DBH yang masih mencapai 19,6% (rasio DBH 47,7% dari total Daper Provinsi).Untuk Realisasi pendapatan Kabupaten/Kota perwilayah dapat dilihat dalam grafik 5 berikut : Grafik 5. Realisasi Pendapatan Kabupaten/Kota per wilayah $ $ $ $ $ wk1 wk2 wk3 wk4 wk5 PAD Daper Lain-lain Grafik tersebut menunjukkan bahwa realisasi PAD tertinggi adalah wilayah Jawa Bali (wk2) yaitu mencapai 21,1% dan yang terendah adalah wilayah sulawesi (wk4) yaitu 15,0%.Realisasi PAD wilayah Jawa Bali salah satunya adalah penerimaan pajak daerah yang telah mencapai 24,3% dari anggaran (kontribusi pajak daerah terhadap PAD wilayah 2 adalah 50,3%). Sebagai pembanding adalah wilayah Sulawesi (wk4) realisasi penerimaan pajak hanya mencapai 14,2% (kontribusi pajak di wilayah 4 adalah 88,9%). Untuk realisasi Daper Kabupaten/Kota wilayah Jawa Bali juga menduduki posisi tertinggi dengan nilai realisasi sebesar 29,7% sedangkan yang terendah adalah Kabupaten/Kota wilayah Nusa Tenggara, Maluku, Papua yaitu 25,9%. Realisasi lain-lain pendapatan yang sah Kabupaten/Kota wilayah 3 mempunyai nilai yang lebih tinggi dibanding wilayah lain dikarenakan transfer dari provinsi telah mencapai 32,2% (transfer provinsi di wilayah 3 mempunyai kontribusi sebesar 56,0%). Sedangkan wilayah 5 mempunyai realisasi lain-lain pendapatan yang sah rendah dikarenakan transfer dana otsus/penyesuaian masih berkisar 10,7% (kontribusi transfer dana otsus/penyesuaian adalah 76,5%). 5

7 % % Grafik 6. Realisasi Pendapatan Provinsi Per Wilayah wp1 wp2 wp3 wp4 wp5 0.6 PAD Daper Lain-lain Untuk wilayah Provinsi 1,2,3 realisasi PAD dan Daper relatif tidak jauh beda, namun untuk wilayah 4 dan 5 realisasi Daper lebih besar dibanding dengan realisasi PAD. Untuk wilayah 4 dan 5 penerimaan Daper didominasi oleh DAU yang realisasi penerimaan telah mencapai 33,3% sehingga membuat realisasi Daper wilayah 4 dan 5 tinggi. Penerimaan pajak merupakan penerimaan pendapatan yang berkontribusi tinggi untuk wilayah per provinsi(67%-88%) sehingga dengan realiasasi pajak 22%-30% menyebabkan realisasi PAD mencapai nilai diatas 20%. Realisasi lain-lain pendapatan yang sah untuk wilayah 1 dan 5 bernilai rendah disebabkan belum terealisasinya transfer dana otsus/penyesuaian di triwulan I diaman dana tersebut mempunyai kontribusi tinggi. A.3 Realisasi Grafik 7. Realisasi Daerah Secara Nasional (Provinsi,Kabupaten dan Kota) Nasional Kab/Kota Provinsi Pegawai Barang Jasa Modal Lain-lain 6

8 % Realisasi belanja daerah pada triwulan I memperlihatkan bahwa belanja pegawai merupakan komponen belanja dengan realisasi terbesar yaitu sebesar 17.4%. Ini disebabkan karena belanja pegawai merupakan belanja yang secara rutin harus dikeluarkan oleh setiap daerah setiap bulannya. Sedangkan realisasi belanja daerah lainnya masih sangat kecil yaitu di bawah 10%, terutama belanja modal. Ini dikarenakan pelaksanaan belanja daerah diluar belanja pegawai bukan merupakan belanja rutin tapi merupakan belanja yang cenderung bersifat kegiatan/proyek yang harus dilakukan melalui tender. barang, belanja lain-lain dan belanja modal masing-masing terealisasi 8.1%, 8,1% dan 2.4%. Penyerapan belanja daerah di Kabupaten/Kota juga memperlihatkan hal yang sama dengan realisasi belanja di daerah secara keseluruhan yaitu belanja pegawai tertinggi dan realisasi belanja modal yang terendah. Lebih lanjut berdasarkan data realisasi belanja modal kabupaten cenderung lebih kecil dibandingkan propinsi yaitu hanya sebesar 2.3%. Realisasi belanja daerah di daerah Provinsi pada triwulan I memperlihatkan bahwa penyerapan belanja pegawai jauh lebih besar dibandingkan dengan realisasi belanja lainnya, namun lebih rendah bila dibanding dengan realisasi Kabupaten/Kota. Realisasi belanja pegawai pada triwulan I sebesar 14.8% dan diikuti oleh belanja barang sebesar 6,0%, belanja lain-lain sebesar 5.8% dan belanja modal sebesar 3.3%. Kecilnya penyerapan belanja selain belanja pegawai di daerah provinsi dikarenakan alasan yang sama dengan belanja daerah secara Nasional. Grafik 8. Realisasi Daerah Kabupaten/Kota Per Wilayah wk1 wk2 wk3 wk4 wk5 Pegawai Barang Jasa Modal Lain-lain Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa wilayah Kalimantan (Wk3) mempunyai realisasi belanja pegawai, belanja barang&jasa dan belanja lainnya paling rendah bila dibanding dengan empat wilayah lainnya (16,5%;5,9%; dan 7,9%). Sedangkan wilayah Jawa Bali mempunyai realisasi belanja modal terendah yaitu hanya 1,6%. 7

9 % Grafik 9. Realisasi Provinsi Per Wilayah wp1 wp2 wp3 wp4 wp Pegawai Barang Jasa Modal Lain-lain Grafik 9 menunjukkan bahwa wilayah Sumatera (WP1) mempunyai realisasi belanja pegawai, dan belanja barang&jasa paling rendah bila dibanding dengan empat wilayah lainnya (13,7%;dan 4,5%). Realisasi belanja modal tertinggi adalah provinsi di wilayah Sulawesi (WP4) yaitu 6,7 dan terendah adalah wilayah 5(0,7%). Sedangkan belanja lainnya tertinggi adalah Provinsi wilayah Kalimantan (15,9%) dimana nilai tersebut disebabkan nilai realisasi belanja transfer ke Kabupaten/Kota mencapai 27,9%. 8

10 Perbandingan Realisasi APBD Triwulan I TA 2010 dengan 2011 Dibandingkan dengan periode yang sama pada TA 2010, secara persentase rata-rata realisasi APBD (agregat provinsi, kabupaten, kota) pada Triwulan I Tahun Anggaran 2011 memperlihatkan penurunan pada realisasi pendapatan maupun realisasi belanja daerah. Rata-rata realisasi pendapatan pada Triwulan I TA 2011 mencapai 25,2% lebih kecil 0,7% dibandingkan rata-rata realisasi pendapatan daerah pada periode yang sama pada TA 2010 yang sebesar 25,9%. Hal yang sama juga terjadi pada rata-rata realisasi belanja daerah yang juga mengalami penurunan yaitu dari 19,6% pada triwulan I TA 2010 menjadi 11,2% pada triwulan I TA 2011 atau turun sebesar 8,4%. Grafik 10 berikut menunjukkan perbandingan rata-rata realisasi pendapatan dan belanja daerah Triwulan I pada TA 2010 dan Grafik 10 Perbandingan Realisasi APBD Triwulan I Tahun Anggaran 2010 dan Pendapatan Perbandingan Rincian Realisasi APBD Secara Nasional Antara Triwulan I TA 2010 Dengan TA 2011 Perbandingan antara pendapatan dan belanja daerah secara nasional antara tahun 2010 dan 2011 menunjukkan pola yang tidak jauh berbeda, dimana hampir semua komponen baik pendapatan maupun belanja daerah pada tahun 2011 mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan pendapatan dan belanja daerah pada tahun Di sisi pendapatan daerah, hanya pendapatan lain-lain yang rata-rata realisasinyalebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu meningkat 6,8%, sedangkan jenis pendapatan yang lain yaitu PAD dan Dana Perimbangan rata-rata realisasinya mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu masing-masingnya (-0,7%) dan (-1,2%). 9

11 Sementara itu, di sisi belanja daerah, hanya belanja lain-lain yang sedikit melebihi rata-rata realisasi tahun sebelumnya atau naik 0,1%, sedangkan jenis belanja yang lainnya yaitu belanja pegawai, belanja barang & jasa, dan belanja modal rata-rata realisasinya lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata realisasi pada tahun sebelumnya atau mengalami penurunan yaitu masing-masingnya adalah (-2,3%), (-0,1%) dan (-1,0%). Gambaran selengkapnya dapat dlihat pada grafik 11 berikut. Grafik 11 Perbandingan Realisasi APBD Triwulan I secara Nasional (Provinsi,Kabupaten,Kota) Tahun Anggaran 2010 dan Pendapatan PAD Daper Lain-lain Pegawai Barang dan Jasa Modal Lain-lain

12 Perbandingan Rincian Realisasi APBD Provinsi Antara Triwulan I Tahun Anggaran 2010 dan 2011 Perbandingan rincian rata-rata realisasi APBD provinsi antara TA.2010 dan TA.2011 di sisi pendapatan dan belanja daerah menunjukkan pola perubahan yang berbeda. Di sisi pendapatan daerah, untuk jenis pendapatan daerah yaitu PAD dan Lain-lain Pendapatan yang sah mengalami kenaikan, yaitu sebesar 0,5% dan 1,5%. Sedangkan untuk Dana Perimbangan mengalami penurunan sebesar 0,7%. Sementara itu, rata-rata realisasi belanja daerah menunjukkan keadaan yang sebaliknya, yaitu terjadi penurunan untuk tiga jenis belanja yang meliputi belanja pegawai (0,8%), belanja barang dan jasa (2,0%) dan belanja modal (0,1%). Sedangkan untuk belanja lain-lain mengalami kenaikan sebesar 0,5%. Terkait komposisi pendapatan daerah, tidak terdapat perubahan pola antara tahun 2010 dengan tahun 2011 yang mana dana perimbangan memiliki persentase terbesar diikuti PAD dan lain-lain pendapatan yang sah. Sama halnya dengan pendapatan daerah, pola komposisi rata-rata belanja daerah antara tahun 2010 dan 2011 juga tidak mengalami perubahan. pegawai tetap menempati peringkat pertama, diikuti belanja barang dan jasa, belanja lain-lain dan belanja modal.gambaran selengkapnya dapat dilihat pada Grafik 12 berikut. Grafik 12 Perbandingan Realisasi APBD Triwulan I secara Provinsi Tahun Anggaran 2010 dan Pendapatan PAD Daper Lain-lain

13 Pegawai Barang dan Jasa Modal Lainlain Perbandingan Rincian Realisasi APBD Kabupaten/Kota Antara Triwulan I Tahun Anggaran 2010 dan 2011 Pola dan komposisi rata-rata realisasi APBD kabupaten/kota tahun 2010 dan 2011 mirip dengan APBD secara nasional. Di sisi pendapatan daerah, kelompok jenis pendapatan daerah mengalami penurunan yaitu PAD (- 1,8%) dan Dana Perimbangan (-1,4%), sedangkan kelompok Lain-lain Pendapatan yang Sah mengalami kenaikan sebesar (+6,5%). Menyerupai tren pendapatan, hampir semua kelompok belanja daerah mengalami penurunan secara signifikan. Kelompok belanja pegawai mengalami penurunan sebesar (-2,7%), kelompok belanja barang dan jasa turun sebesar (-5,6%), serta kelompok belanja modal menurun sebesar (-1,3%). Sementara itu, kelompok belanja lainnya mengalami kenaikan sebesar (+0,4%). Namun demikian, komposisi rata-rata realisasi pendapatan maupun belanja daerah relative sama, dimana pendapatan daerah kabupaten/kota didominasi oleh dana perimbangan disusul oleh PAD dan Lain-lain Pendapatan yang Sah, sedangkan belanja daerah kabupaten/kota didominasi oleh belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja lainnya, dan belanja modal. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada Grafik 13 berikut. 12

14 Grafik 13 Perbandingan Realisasi APBD Triwulan I Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2010 dan Pendapatan PAD Daper Lain-lain Pegawai Barang dan Jasa Modal Lain-lain

15 Lampiran Konsep APBD : APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah Realisasi Triwulan APBD Realisasi triwulanan APBD adalah Perwujudan perolehan pendapatan dan pengeluaran belanja daerah dalam kurun waktu tiga bulan. Metodologi Realisasi triwulan APBD didasarkan pada data realisasi triwulanan APBD yang dikirimkan oleh daerah kepada Departemen Keuangan.Cut off waktu penyampaian data dari daerah kepada Departemen Keuangan adalah sejak akhir waktu triwulanan yang bersangkutan sampai dengan 45 hari berikutnya. Laporan realisasi triwulanan APBD secara nasional disajikan dalam bentuk persentase terhadap anggaran, yang didasarkan pada data yang masuk dalam waktu penyampaian tersebut di atas.laporan realisasi paling tidak mewakili 30% jumlah daerah secara nacional (tidak termasuk DKI Jakarta). Laporan realisasi yang merupakan persentase terhadap anggaran adalah persentase atas total data (bukan ratarata). Contoh: data yang masuk adalah 150 daerah, maka Persentase Realisasi Pendapatan adalah Total Realisasi Pendapatan dari 150 Daerah dibagi dengan Total Anggaran dari 150 daerah yang bersangkutan. Laporan realisasi triwulanan APBD disajikan dalam 5 kelompok, yaitu (i) APBD Nasional yang berarti mencakup APBD pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota; (ii) APBD Provinsi yang berarti hanya APBD Pemerintah Provinsi; (iii) APBD Kabupaten/Kota yang berarti hanya APBD Pemerintah Kabupaten dan Kota; (iv) APBD Kabupaten/Kota perwilayah yang berarti kumulatif APBD Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah tertentu; dan (v). APBD Provinsi perwilayah yang berarti kumulatif APBD Pemerintah Provinsi di wilayah tertentu Khusus untuk Triwulan I 2011, laporan didasarkan pada data: APBD Provinsi/Kabupaten/Kota: APBD 407 Daerah (78,5 % jumlah daerah) dan ekuivalen dengan 79,8 % dari volume (belanja) APBD APBD Provinsi : APBD 23 Provinsi ( 71,9% jumlah daerah) dan ekuivalen dengan 78,1 % dari volume (belanja) APBD APBD Kabupaten/kota : APBD 384 Kabupaten/Kota (78,3% jumlah daerah) dan ekuivalen dengan 80,3% dari volume (belanja) APBD APBD Wilayah 1 : APBD 94 Kabupaten/Kota (62,6% jumlah daerah) dan ekuivalen dengan 64,9% dari volume (belanja) APBD 2011; APBD 8 Provinsi (80% jumlah daerah) dan ekuivalen dengan 77,8% dari volume (belanja) APBD APBD Wilayah 2 : APBD 115 Kabupaten/Kota (95,0% jumlah daerah) dan ekuivalen dengan 93,4% dari volume (belanja) APBD 2011; APBD 6 Provinsi (100% jumlah daerah) dan ekuivalen dengan 100% dari volume (belanja) APBD APBD Wilayah 3 : APBD 47 Kabupaten/Kota (85,4% jumlah daerah) dan ekuivalen dengan 78,2% dari volume (belanja) APBD 2011; APBD 2 Provinsi (50% jumlah daerah) dan ekuivalen dengan 73,3% dari volume (belanja) APBD

16 APBD Wilayah 4 : APBD 55 Kabupaten/Kota (75,3% jumlah daerah) dan ekuivalen dengan 77,0% dari volume (belanja) APBD 2011; APBD 3 Provinsi (50% jumlah daerah) dan ekuivalen dengan 32,3% dari volume (belanja) APBD APBD Wilayah 5 : APBD 73 Kabupaten/Kota (81,1% jumlah daerah) dan ekuivalen dengan 81,2% dari volume (belanja) APBD 2011; APBD 4 Provinsi (66,6% jumlah daerah) dan ekuivalen dengan 56,2% dari volume (belanja) APBD Sumber data Laporan realisasi Triwulan I dari masing-masing Pemda Proponsi, Kabupaten, Kota. 15

MONITORING REALISASI APBD 2009

MONITORING REALISASI APBD 2009 MONITORING REALISASI APBD 2009 Triwulan III (s/d 30 September 2009) SUMMARY Realisasi kumulatif pendapatan daerah sampai dengan akhir triwulan III mencapai 73,38%, realisasi tertinggi adalah realisasi

Lebih terperinci

Laporan Realisasi Triwulan II APBD TA Summary

Laporan Realisasi Triwulan II APBD TA Summary Laporan Realisasi Triwulan II APBD TA 2 Summary Secara kumulatif realisasi Anggaran Pendapatan dan Daerah (APBD) provinsi, kabupaten, dan kota pada triwulan II Tahun Anggaran (TA) 2 sebesar 52,1% dari

Lebih terperinci

Referensi : Evaluasi Dana Perimbangan : Kontribusi Transfer pada Pendapatan Daerah dan Stimulasi terhadap PAD

Referensi : Evaluasi Dana Perimbangan : Kontribusi Transfer pada Pendapatan Daerah dan Stimulasi terhadap PAD Referensi : Evaluasi Dana Perimbangan : Kontribusi Transfer pada Pendapatan Daerah dan Stimulasi terhadap PAD Pendapatan Daerah Secara umum, pendapatan daerah terdiri dari tiga jenis yaitu pendapatan asli

Lebih terperinci

KONDISI PENGELOLAAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH

KONDISI PENGELOLAAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KONDISI PENGELOLAAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH 1 Persentase Realisasi Belanja Tahun 2011-2015 25,00% 20,00% 15,00% 10,00% 5,00% 0,00% Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des 2011 2012 2013 2014

Lebih terperinci

Monitoring Realisasi APBD 2013 - Triwulan I

Monitoring Realisasi APBD 2013 - Triwulan I Monitoring Realisasi APBD 2013 - Triwulan I 1 laporan monitoring realisasi APBD dan dana idle Tahun 2013 Triwulan I RINGKASAN EKSEKUTIF Estimasi realisasi belanja daerah triwulan I Tahun 2013 merupakan

Lebih terperinci

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - TAHUN ANGGARAN 2013 - TRIWULAN III

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - TAHUN ANGGARAN 2013 - TRIWULAN III LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - 1 LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 TRIWULAN III KATA PENGANTAR Kualitas belanja yang baik merupakan kondisi ideal yang ingin

Lebih terperinci

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 SEMESTER I

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 SEMESTER I 1 KATA PENGANTAR Kualitas belanja yang baik merupakan kondisi ideal yang ingin diwujudkan dalam pengelolaan APBD. Untuk mendorong tercapainya tujuan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh penyerapan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD TAHUN ANGGARAN 2013 1 L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN DIREKTORAT EVALUASI PENDANAAN DAN INFORMASI KEUANGAN DAERAH SUBDIT DATA KEUANGAN DAERAH

DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN DIREKTORAT EVALUASI PENDANAAN DAN INFORMASI KEUANGAN DAERAH SUBDIT DATA KEUANGAN DAERAH DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN DIREKTORAT EVALUASI PENDANAAN DAN INFORMASI KEUANGAN DAERAH SUBDIT DATA KEUANGAN DAERAH Profil APBD TA 2012 Pendahuluan Dalam kerangka desentralisasi fiskal, pengelolaan

Lebih terperinci

Tabel 1. Jenis Pendapatan Daerah. Tabel 2. Persentase Sumber Pendapatan Daerah

Tabel 1. Jenis Pendapatan Daerah. Tabel 2. Persentase Sumber Pendapatan Daerah RINGKASAN I. PENDAPATAN DAERAH Untuk tahun 2007-2011, rata-rata jumlah PAD hanya sekitar 18% dan Lain-lain pendapatan hanya 1 (Tabel 1) dari total pendapatan, sementara Dana Perimbangan\ (Daper) mencapai

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA DIREKTORAT FASILITASI DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI

Lebih terperinci

Deskripsi dan Analisis APBD 2010 Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

Deskripsi dan Analisis APBD 2010 Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Deskripsi dan Analisis APBD 2010 Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah Jl. Dr. Wahidin No.1 Gedung Sutikno Slamet Lantai 19, Jakarta 10710

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

Tabel 1. Jenis Pendapatan Daerah. Ratarata % Dalam milyar rupiah. Jenis Pendapatan

Tabel 1. Jenis Pendapatan Daerah. Ratarata % Dalam milyar rupiah. Jenis Pendapatan RINGKASAN I. PENDAPATAN DAERAH Untuk tahun 27-211, rata-rata jumlah PAD hanya sekitar 17% dan Lain-lain pendapatan hanya 1% (Tabel 1) dari total pendapatan, sementara Dana Perimbangan (Daper) mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah telah melahirkan desentralisasi fiskal yang dapat memberikan suatu perubahan kewenangan bagi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii 1 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2014 KATA PENGANTAR Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 menunjukkan fakta bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan

Lebih terperinci

PELAPORAN DATA REALISASI PENDAPATAN, BELANJA, DAN PEMBIAYAAN YANG BERSUMBER DARI DANA TRANSFER

PELAPORAN DATA REALISASI PENDAPATAN, BELANJA, DAN PEMBIAYAAN YANG BERSUMBER DARI DANA TRANSFER PELAPORAN DATA REALISASI PENDAPATAN, BELANJA, DAN PEMBIAYAAN YANG BERSUMBER DARI DANA TRANSFER Disampaikan Pada Acara : Rapat Penyajian dan Publikasi Data Informasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/PMK.07/2015 TENTANG PETA KAPASITAS FISKAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/PMK.07/2015 TENTANG PETA KAPASITAS FISKAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/PMK.07/2015 TENTANG PETA KAPASITAS FISKAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012 1 KATA PENGANTAR Dalam konteks implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah selama lebih dari satu dasawarsa ini telah mengelola

Lebih terperinci

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 5, NO 1, Edisi Februari 2013 (ISSN : ) ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 5, NO 1, Edisi Februari 2013 (ISSN : ) ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang Abtraksi Dalam melakukan analisis pendaptan terdapat empat rasio yang dapat dilihat secara detail, yaitu rasio pajak ( tax ratio ),rasio

Lebih terperinci

KABUPATEN JEMBRANA RINCIAN PERUBAHAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH, ORGANISASI, PENDAPATAN, BELANJA DAN PEMBIAYAAN TAHUN ANGGARAN 2013

KABUPATEN JEMBRANA RINCIAN PERUBAHAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH, ORGANISASI, PENDAPATAN, BELANJA DAN PEMBIAYAAN TAHUN ANGGARAN 2013 LAMPIRAN III : NOMOR : TANGGAL : PERATURAN DAERAH 7 Tahun 2013 September 2013 KABUPATEN JEMBRANA RINCIAN PERUBAHAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH, ORGANISASI, PENDAPATAN, BELANJA DAN PEMBIAYAAN

Lebih terperinci

Deskripsi dan Analisis

Deskripsi dan Analisis 1 Deskripsi dan Analisis APBD 2012 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2012 Daftar Isi DAFTAR ISI...iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GRAFIK... vii KATA PENGANTAR... xi EKSEKUTIF SUMMARY...xiii BAB I PENDAHULUAN...1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Objek penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia dengan luas wilayahnya

Lebih terperinci

2015, No Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Kapasitas Fiskal Daerah yang selanjutnya disebut Kapasitas Fiskal adalah g

2015, No Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Kapasitas Fiskal Daerah yang selanjutnya disebut Kapasitas Fiskal adalah g No.338, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Fiskal Daerah. Kapasitas. Peta. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/PMK.07/2015 TENTANG PETA KAPASITAS FISKAL DAERAH

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 66/PMK.07/2010 TENTANG ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN ANGGARAN 2010

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 66/PMK.07/2010 TENTANG ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN ANGGARAN 2010 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 66/PMK.07/2010 TENTANG ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN ANGGARAN 2010 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Adanya otonomi daerah diharapkan masing-masing daerah dapat mandiri

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Adanya otonomi daerah diharapkan masing-masing daerah dapat mandiri BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemandirian keuangan daerah merupakan salah satu tujuan dari otonomi daerah. Adanya otonomi daerah diharapkan masing-masing daerah dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembar

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.112, 2011 KEMENTERIAN KEUANGAN. DBH. Cukai Hasil Tembakau. Alokasi Sementara. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 /PMK.07/2011 TENTANG ALOKASI SEMENTARA

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

Pendapatan dan Belanja Daerah (Nasional)

Pendapatan dan Belanja Daerah (Nasional) POTRET APBD TA 2013 Secara umum struktur APBD terdiri dari Pendapatan Daerah, Belanja Daerah dan Pembiayan Daerah. Pendapatan Daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Lain-lain

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan analisis rasio ketergantungan keuangan daerah, simpulan yang

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan analisis rasio ketergantungan keuangan daerah, simpulan yang BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan analisis rasio ketergantungan keuangan daerah, simpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut. 1. Pemerintah Daerah Provinsi Aceh memiliki tingkat

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN RINGKASAN EKSEKUTIF Belanja dalam APBD dialokasikan untuk melaksanakan program/kegiatan sesuai dengan kemampuan pendapatannya,

Lebih terperinci

2016, No Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Kapasitas Fiskal adalah gambaran kemampuan keuangan masing-masing daerah

2016, No Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Kapasitas Fiskal adalah gambaran kemampuan keuangan masing-masing daerah No.400, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Fiskal Daerah. Peta. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 /PMK.07/2016 TENTANG PETA KAPASITAS FISKAL DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan http://simpadu-pk.bappenas.go.id 137448.622 1419265.7 148849.838 1548271.878 1614198.418 1784.239 1789143.87 18967.83 199946.591 294358.9 2222986.856

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, baik negara ekonomi berkembang maupun negara ekonomi maju. Selain pergeseran

Lebih terperinci

Daftar Isi. DAFTAR ISI...iii. EXECUTIVE SUMMARY... v. KATA PENGANTAR... ix

Daftar Isi. DAFTAR ISI...iii. EXECUTIVE SUMMARY... v. KATA PENGANTAR... ix 1 Daftar Isi DAFTAR ISI...iii EXECUTIVE SUMMARY... v KATA PENGANTAR... ix I. PENDAHULUAN...1 A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... 2 C. Tujuan Penelitian... 3 D. Manfaat Penelitian... 3 E. Metode

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii 1 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2013 KATA PENGANTAR Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah. Dalam APBD termuat prioritas-prioritas

Lebih terperinci

KEBIJAKAN KONVERSI PENYALURAN DBH DAN/ ATAU DAU DALAM BENTUK NON TUNAI

KEBIJAKAN KONVERSI PENYALURAN DBH DAN/ ATAU DAU DALAM BENTUK NON TUNAI KEBIJAKAN KONVERSI PENYALURAN DBH DAN/ ATAU DAU DALAM BENTUK NON TUNAI 1 DASAR HUKUM Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Nomor 14 Tahun 2015 tentang APBN Tahun 2016 (1) Ketentuan mengenai penyaluran anggaran

Lebih terperinci

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA Pengalihan kewenangan pemerintah pusat ke daerah yang membawa konsekuensi derasnya alokasi anggaran transfer ke daerah kepada pemerintah daerah sudah

Lebih terperinci

Grafik 5.1. Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Kaltara Tahun Anggaran Sumber: Hasil Olahan, 2016

Grafik 5.1. Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Kaltara Tahun Anggaran Sumber: Hasil Olahan, 2016 BAB V ANALISIS APBD 5.1. Pendapatan Daerah Sebagai daerah pemekaran dari Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), kondisi keuangan daerah Provinsi Kaltara tergolong belum stabil terutama pada tahun 2013. Sumber

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Provinsi NTB 1. Geografis Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terletak antara 115'45-119 10 BT dan antara 8 5-9 5 LS. Wilayahnya di utara berbatasan dengan Laut Jawa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) dan Undang-Undang

Lebih terperinci

ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN DAN KOTA DI PULAU JAWA DAN KALIMANTAN

ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN DAN KOTA DI PULAU JAWA DAN KALIMANTAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam pemerintahan suatu Negara tentu keberhasilan pembangunan tidak akan terlepas dari peran pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. Sinergi diantara keduanya bisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kemakmuran masyarakat dapat diukur dari pertumbuhan ekonomi. Hal ini berdasarkan pada pengertian yang disampaikan oleh Sadono Sukirno. Menurutnya, pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintahan daerah dapat terselenggara dengan baik karena adanya beberapa faktor sumber daya yang mampu menggerakkan jalannya organisasi pemerintah daerah

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Gambaran pengelolaan keuangan daerah mencakup gambaran kinerja dan pengelolaan keuangan daerah tahuntahun sebelumnya (20102015), serta kerangka pendanaan. Gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah

Lebih terperinci

Frequently Asked Questions (FAQ)

Frequently Asked Questions (FAQ) Frequently Asked Questions (FAQ) Subdit Evaluasi Keuangan Daerah No Pertanyaan Jawaban 1. 2. 3. Bagaimana gambaran umum pendapatan daerah dalam APBD 2017? Bagaimana gambaran umum belanja daerah dalam APBD

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Kondisi Geografi dan Demografi Provinsi Jawa Timur terletak pada 111,0 hingga 114,4 Bujur Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

Keuangan Kabupaten Karanganyar

Keuangan Kabupaten Karanganyar Keuangan Kabupaten Karanganyar Realisasi Pendapatan 300,000 250,000 255,446 200,000 150,000 119,002 100,000 50,000 22,136 7,817 106,490 0 2009 2010 2011 PENDAPATAN ASLI DAERAH 2012 2013 2014 2,015 Pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Faktor keuangan merupakan faktor yang paling dominan dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Salah satu kriteria penting untuk

Lebih terperinci

LAPORAN TRIWULAN-III AKTIVITAS APBD PROVINSI

LAPORAN TRIWULAN-III AKTIVITAS APBD PROVINSI TIM EVALUASI DAN PENGAWASAN PENYERAPAN ANGGARAN LAPORAN TRIWULAN-III AKTIVITAS APBD PROVINSI Persiapan Penyusunan Laporan kepada Presiden RI 18 September 2012 Agenda 1 Status Realisasi Agustus 2012 2 Kendala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah berlaku di Indonesia berdasarkan UU 22/1999 (direvisi Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas antara fungsi

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 diharapkan pembangunan di daerah berjalan seiring dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan anggaran menjadi topik menarik akhir-akhir ini. Fenomena APBN

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan anggaran menjadi topik menarik akhir-akhir ini. Fenomena APBN 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyerapan anggaran menjadi topik menarik akhir-akhir ini. Fenomena APBN dan APBD yang kurang terserap di awal tahun, tapi digenjot penyerapannya di akhir

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN DAN HUBUNGAN DANA ALOKASI UMUM (DAU), PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN BELANJA PEMERINTAH DAERAH

PERKEMBANGAN DAN HUBUNGAN DANA ALOKASI UMUM (DAU), PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN BELANJA PEMERINTAH DAERAH Departemen Pendidikan Nasional Universitas Lampung JL. Soemantri Brojonegoro 1 Bandar Lampung PERKEMBANGAN DAN HUBUNGAN DANA ALOKASI UMUM (DAU), PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN BELANJA PEMERINTAH DAERAH

Lebih terperinci

INTEGRITAS PROFESIONALISME SINERGI PELAYANAN KESEMPURNAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN DANA DESA; PENGALOKASIAN, PENYALURAN, MONITORING DAN PENGAWASAN

INTEGRITAS PROFESIONALISME SINERGI PELAYANAN KESEMPURNAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN DANA DESA; PENGALOKASIAN, PENYALURAN, MONITORING DAN PENGAWASAN INTEGRITAS PROFESIONALISME SINERGI PELAYANAN KESEMPURNAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN DANA DESA; PENGALOKASIAN, PENYALURAN, MONITORING DAN PENGAWASAN 1 O U T L I N E 1 2 3 4 DASAR HUKUM, FILOSOFI DAN TUJUAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

KEMENTERIAN NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL KEMENTERIAN NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL 2007 TINJAUAN UMUM APBD PROVINSI, KABUPATEN DAN KOTA TAHUN 2006 TINJAUAN UMUM APBD PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyelenggaraan pemerintah daerah sebagai sub sistem pemerintahan Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

Frequently Asked Questions (FAQ)

Frequently Asked Questions (FAQ) Frequently Asked Questions (FAQ) Subdit Evaluasi Keuangan Daerah No Seksi Pertanyaan Jawaban I Evaluasi Pendapatan dan Belanja Daerah 1. Bagaimana gambaran umum pendapatan daerah dalam APBD 2017? Komposisi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan Halaman Judul... Halaman Pengesahan Skripsi... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran...

DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan Halaman Judul... Halaman Pengesahan Skripsi... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran... DAFTAR ISI Sampul Depan Judul... Pengesahan Skripsi... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran... Intisari... i iii iv vii vii ix xviii BAB 1 PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT No. 42 / IX / 14 Agustus 2006 PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2005 Dari hasil Susenas 2005, sebanyak 7,7 juta dari 58,8 juta rumahtangga

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 160.2/PMK.07/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 160.2/PMK.07/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 160.2/PMK.07/2008 TENTANG ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 DAN PASAL 29 WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu yang berisi sumber pendapatan dan penggunaan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH DAN TRANSFER KE DAERAH

KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH DAN TRANSFER KE DAERAH KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH DAN TRANSFER KE DAERAH Wakil Menteri Keuangan Disampaikan Pada: Musrenbang Penyusunan RAPBD TAHUN 2017 PROVINSI DIY 7 MARET 2016 OUTLINE

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian 205 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis atas data yang telah ditabulasi berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 041/P/2017 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 041/P/2017 TENTANG SALINAN KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 041/P/2017 TENTANG PENETAPAN ALOKASI DANA DEKONSENTRASI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN TAHUN ANGGARAN 2017 MENTERI PENDIDIKAN

Lebih terperinci

EVALUASI TEPRA KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR OKTOBER 2016

EVALUASI TEPRA KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR OKTOBER 2016 EVALUASI TEPRA KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR OKTOBER 2016 Realisasi belanja APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota se-provinsi Jawa Timur Oktober 2016 PROVINSI KABUPATEN/KOTA Provinsi Gorontalo Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penerapan otonomi daerah memberikan ruang kepada daerah untuk mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga pemberian pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

CPDA. Consolidating for Peacefull Development in Aceh FAKULTAS EKONOMI

CPDA. Consolidating for Peacefull Development in Aceh FAKULTAS EKONOMI CPDA Consolidating for Peacefull Development in Aceh FAKULTAS EKONOMI Gambaran Umum 1 Grafik 1. 2 Aceh akan terus memiliki sumber daya keuangan yang besar dalam masa mendatang dari dana otonomi khusus.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Aceh terletak Antara , ,6 LU dan. belahan dunia Timur dan Barat sehingga memiliki potensi pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Aceh terletak Antara , ,6 LU dan. belahan dunia Timur dan Barat sehingga memiliki potensi pendapatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Aceh terletak Antara 01 0 58 37,2 06 0 04 33,6 LU dan 94 0 57 57,6 98 0 17 13,2 BT dengan ketinggian rata-rata 125 Meter di permukaan air laut. Pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN. Pada Bab II telah diuraiakan kondisi riil daerah yang ada di

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN. Pada Bab II telah diuraiakan kondisi riil daerah yang ada di BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Pada Bab II telah diuraiakan kondisi riil daerah yang ada di Kota Malang serta tantangan-tantangan riil yang di hadapi dalam pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa sumber-sumber pendapatan daerah yang digunakan untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

FORMAT SURAT LAPORAN RENCANA DEFISIT APBD KOP SURAT PEMERINTAH PROV/KAB/KOTA

FORMAT SURAT LAPORAN RENCANA DEFISIT APBD KOP SURAT PEMERINTAH PROV/KAB/KOTA 2012, No.852 10 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 137/PMK.07/ 2012 TENTANG BATAS MAKSIMAL DEFISIT ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DAN BATAS MAKSIMAL KUMULATIF PINJAMAN

Lebih terperinci

Jumlah (Rp) Bertambah/(berkurang) DASAR HUKUM. sebelum perubahan. setelah perubahan. (Rp)

Jumlah (Rp) Bertambah/(berkurang) DASAR HUKUM. sebelum perubahan. setelah perubahan. (Rp) URUSAN PEMERINTAHAN : 1.20. - OTONOMI DAERAH, PEMERINTAHAN UMUM, ADMINISTRASI KEUANGAN DAERAH, PERANGKAT DAERAH, DAN KEPEGAWAIAN ORGANISASI : 1.20.05. - BADAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Halaman. 242 Jumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas pemerintah secara profesional untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diatur dalam UU RI Nomor 33 Tahun 2004. UU ini menegaskan bahwa untuk

Lebih terperinci

BUPATI MAROS PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI MAROS NOMOR : 61 TAHUN 2016HU

BUPATI MAROS PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI MAROS NOMOR : 61 TAHUN 2016HU SALINAN BUPATI MAROS PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI MAROS NOMOR : 61 TAHUN 2016HU TENTANG PENJABARAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH PERUBAHAN KABUPATEN MAROS TAHUN ANGGARAN 2016 DENGAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi perekonomian dan menuntut pemerintah agar mampu melaksanakan reformasi di segala

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1321, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Kapasitas Fiskal. Daerah. Peta. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 226 /PMK.07/2012 TENTANG PETA KAPASITAS FISKAL DAERAH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Lahirnya Undang-undang No.22

I. PENDAHULUAN. pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Lahirnya Undang-undang No.22 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Lahirnya Undang-undang No.22

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak negara di dunia dan menjadi masalah sosial yang bersifat global. Hampir semua negara berkembang memiliki

Lebih terperinci

Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi dan Kebutuhan Investasi

Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi dan Kebutuhan Investasi Boks 2 REALISASI INVESTASI DALAM MENDORONG PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU I. GAMBARAN UMUM Investasi merupakan salah satu pilar pokok dalam mencapai pertumbuhan ekonomi, karena mampu memberikan multiplier effect

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Kebijakan pengelolaan keuangan daerah Provinsi Jambi yang tergambar dalam pelaksanaan APBD merupakan instrumen dalam menjamin terciptanya disiplin dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Kabupaten Gresik merupakan salah satu wilayah yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi pemerintah

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD 3.1.1.1. Sumber Pendapatan Daerah Sumber pendapatan daerah terdiri

Lebih terperinci

LAPORAN REALISASI YANG BERSUMBER DARI DANA TRANSFER BADAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DAERAH PROVINSI BANTEN TAHUN 2017

LAPORAN REALISASI YANG BERSUMBER DARI DANA TRANSFER BADAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DAERAH PROVINSI BANTEN TAHUN 2017 LAPORAN REALISASI YANG BERSUMBER DARI DANA TRANSFER BADAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DAERAH PROVINSI BANTEN TAHUN 2017 1 REALISASI PENERIMAAN DANA TRANSFER TA 2016 URAIAN TARGET REALISASI % DBH 526.279.279.000

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS APBD. LP2KD Prov. Kaltara

BAB V ANALISIS APBD. LP2KD Prov. Kaltara BAB V ANALISIS APBD Evaluasi APBD secara keseluruhan dilakukan untuk mendapatkan hasil analisis yang menunjukkan relevansi dan efektivitas APBD dalam penanggulangan kemiskinan. Analisis dilakukan dengan

Lebih terperinci