EKONOMI DAN PEMBANGUNAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EKONOMI DAN PEMBANGUNAN"

Transkripsi

1 Jurnal EKONOMI DAN PEMBANGUNAN Muhammad Nasir, Alfan Mufrody XX Analisis Hubungan Pengeluaran Pemerintah Aceh Terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh Ir. Ramayana, MSi. XX Optimasi Pengolahan Minyak Nilam Pada Berbagai Daerah Produksi dan Varitas di Kabupaten Aceh Barat. Rois, Supiandi Sabiham, Irsal Las, dan Machfud XX Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Pemanfaatan Rawa Lebak di Desa Pasak Piang Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat Usman Bakar XX Efektivitas Penerapan Keppres 80 Tahun 2003 pada Pemilihan Penyedia Barang/Jasa dalam Rangka Meningkatkan Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Khalis Yunus, Ema Alemina XX Peranan Biofertilizer Bagi Pertumbuhan Tanaman Kedelai pada Tanah Yang Terkena Dampak Tsunami Vivi Silvia XX Pengaruh Pendidikan dan Pendapatan Terhadap Mobilitas Pekerja Wanita dari Sektor Industri ke Sektor Jasa di Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh Hasanuddin Yusuf Adnan XX Konsep Syura dalam Islam

2

3 TIM REDAKSI JURNAL EKONOMI PEMBANGUNAN terbit dua kali setahun pada bulan Juli, dan November yang berisi tulisan hasil penelitian dan kajian analisis kritis dibidang Ekonomi Pembangunan. Pengarah : Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh Wakil Pengarah : Warqah Helmi Penanggung Jawab : Hamdani Dewan Redaksi : Syahrizal Abbas Saiful Mahdi Muhammad Nasir Ema Alemina Pimpinan Redaksi : Marthunis Staf Redaksi : Aswar Ida Irawan Pimpinan Administrasi : Taufiqurrahman Sekretariat : Nurbaya Wahyuni Suharna T. Azwar Mirza Vintana Gemasih Martunas Nelly Eliza Alamat Redaksi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh Bidang Penelitian dan Pengembangan Jln. Tgk. H. M. Daud Beureueh No.26 Banda Aceh Telepon (0651) 21440, bappeda.acehprov.go.id iii

4

5 KATA PENGANTAR Berusaha keras meningkatkan dan memajukan ilmu pengetahuan sekaligus memberikan informasi bagi stakeholder merupakan komitmen BAPPEDA Aceh. Wujud nyata upaya tersebut tercermin dari keberlanjutan penerbitan Jurnal Ekonomi dan Pembangunan. Dalam rangka meningkatkan kualitasnya, staf redaksi melakukan perbaikan-perbaikan secara signifikan dalam hal penambahan dewan pakar, format penulisan artikel yang lebih konsisten dan judul jurnal yang lebih mudah dimengerti dan dipahami. Diharapkan perbaikan ini dapat menjembatani para akademisi, praktisi bisnis dan Pemerintah dalam menuangkan gagasannya, baik berupa hasil penelitian ataupun analisis ilmiah yang bagi perwujudan pembangunan berkelanjutan. Ucapan terimakasih tidak lupa kami sampaikan kepada para penyunting Ahli atas kesediaanya menjadi anggota dewan redaksi semoga peran sertanya dapat meningkatkan mutu penerbitan jurnal ini. Ucapan terimaksih juga disampaikan kepada para penulis artikel yang termuat tulisannya. Akhirnya, tanggapan serta kritikan pembaca sangat kami harapkan. Redaksi v

6

7 DAFTAR ISI Muhammad Nasir, Alfan Mufrody Analisis Hubungan Pengeluaran Pemerintah Aceh Terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh... Ir. Ramayana, MSi. Optimasi Pengolahan Minyak Nilam Pada Berbagai Daerah Produksi dan Varitas di Kabupaten Aceh Barat... Rois, Supiandi Sabiham, Irsal Las, dan Machfud Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Pemanfaatan Rawa Lebak di Desa Pasak Piang Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat... Usman Bakar Efektivitas Penerapan Keppres 80 Tahun 2003 pada Pemilihan Penyedia Barang/Jasa dalam Rangka Meningkatkan Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Pemerintah Kabupaten Aceh Barat... Khalis Yunus, Ema Alemina Peranan Biofertilizer Bagi Pertumbuhan Tanaman Kedelai pada Tanah Yang Terkena Dampak Tsunami... Vivi Silvia Pengaruh Pendidikan dan Pendapatan Terhadap Mobilitas Pekerja Wanita dari Sektor Industri ke Sektor Jasa di Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh... Hasanuddin Yusuf Adnan Konsep Syura dalam Islam vii

8

9 Analisis Hubungan Pengeluaran Pemerintah Aceh Terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh (Relationship Analysis of Aceh Government Expenditure for Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh) Oleh : Muhammad Nasir 1, Alfan Mufrody 2 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perubahan pengeluaran Pemerintah Aceh dengan perubahan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pengeluaran Pemerintah Propinsi Aceh yang merupakan data time series dari tahun 1994 sampai dengan Adapun metode analisis yang digunakan adalah Granger Causality untuk meneliti pola atau arah hubungan kausalitas. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan timbal balik antara total pengeluaran pemerintah dengan PDRB. Selain itu juga tidak terjadi hubungan timbal balik antara total belanja rutin dengan PDRB. Kata kunci: Granger causality, pengeluaran pemerintah, belanja rutin, PDRB. Abstract This research is aimed to know the relationship between the change in Aceh government spending and Gross Domestic Regional Product (GDRP). The data used is the time series data from 1994 to Whereas the method of analysis used is Granger Causality test in finding the pattern and sign of the causality relationship. The research finds that there is no causality relationship between total government expenditure and GDRP. There is also no causality relationship between total routine expenditure and GDRP. Keywords: Granger causality, government spending, routine expenditure, GDRP. 1 Muhammad Nasir adalah dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Darussalam- Banda Aceh. 2 Alfan Mufrody adalah pegawai Dinas Pengairan Propinsi Aceh. 1

10 Analisis Hubungan... Pendahuluan Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu perubahan yang meningkatkan kapasitas produksi nasional. Peningkatan ini tercermin pada pertumbuhan ekonomi. Indikator pertumbuhan ekonomi tidak hanya bisa secara materi seperti meningkatnya pendapatan per kapita, tetapi juga peningkatan formasi modal non materi seperti kebijakan sosial budaya yang menunjang harmoni sosial dan kestabilan politik serta kemandirian. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang diupayakan berlandaskan prinsip otonomi daerah. Dengan demikian daerah mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan sumber daya yang ada agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Dengan otonomi daerah, diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan seluruh kegiatannya. Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan diberlakukannya UU No.22 tahun 1999 yang menempatkan otonomi secara utuh pada kabupaten/ kota. Khusus bagi propinsi, selain sebagai daerah otonom juga merupakan wilayah administrasi yang melaksanakan kewenangan pemerintah pusat melalui pelaksanaan dekonsentrasi. Selain itu, UU No.25 Tahun 1999 mengamanatkan bahwa setiap penyerahan atau pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada propinsi dan kabupaten/ kota harus diikuti dengan pembiayaannya. Khusus untuk Aceh, dasar hukum otonomi (khusus) lebih kuat lagi dengan adanya UU No.11 tahun 2006 yang dikenal sebagai Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai usaha menjabarkan kesepakatan damai di Aceh berdasarkan MoU Helsinki. Pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas kesempatan kerja, mengarahkan pembagian pendapatan masyarakat secara adil dan merata, serta meningkatkan hubungan ekonomi regional. Dalam mengatur dan memajukan perekonomian regional diperlukan kebijakan dalam perencanaan perekonomian yang matang dengan pengeluaran negara yang mendorong keseimbangan regional. Pada pemerintah daerah terdapat juga pengeluaran pemerintah yang diharapkan memberikan kontribusi terhadap PDRB. Pengeluaran pemerintah yang bersifat produktif dan investasi akan memberikan kontribusi terhadap pemerintah daerah tersebut. Tingkat aktivitas kegiatan pemerintah yang produktif terlihat pula dalam pengalokasian pengeluaran pemerintah. Angka-angka pendapatan regional yang disajikan secara series dari tahun ke tahun akan dapat memberikan gambaran pembangunan ekonomi suatu daerah, sebagai hasil dari pelaksanaan program pembangunan. Tabel 1 berikut menunjukkan pengeluaran pemerintah dan PDRB Aceh. 2

11 Analisis Hubungan... Tabel 1 : Pengeluaran Pemerintah dan PDRB Propinsi Aceh (dalam milyar rupiah) Tahun Pengeluaran Pemerintah PDRB Propinsi Aceh (berdasarkan harga berlaku) , , , , , , , , , ,73 Sumber: APBD Propinsi Aceh, Data pada Tabel 1 menunjukkan adanya peningkatan pada pengeluaran Pemerintah Aceh maupun PDRB Aceh. Namun demikian, pertumbuhan PDRB tidak sebesar pertumbuhan pengeluaran Pemerintah Aceh. Pengeluaran pemerintah tahun mengalami pertumbuhan sebesar 49,66%, sedangkan pertumbuhan PDRB sebesar 9,37%. Pengeluaran pemerintah meru pakan salah satu indikator yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan kesejahteraan masyarakat. Semakin besar pengeluaran pemerintah diharapkan dapat membawa dampak pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tolok ukur PDRB. Oleh karena itu diharapkan dengan semakin meningkatnya pengeluaran pemerintah, maka akan semakin meningkat pula PDRB dan kesejahteraan rakyat. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk menganalisa hubungan pengeluaran Pemerintah Aceh terhadap PDRB Aceh dengan menggunakan pendekatan Granger Causality. Model Analisis Penelitian ini menggunakan metode Granger untuk meneliti pola atau arah hubungan kausalitas antara pengeluaran Pemerintah Aceh dengan PDRB Aceh selama kurun waktu Untuk menghindari terjadinya hubungan korelasi yang spurious, dalam analisa ini digunakan Uji Akar-akar Unit (Unit Root test) dan kointegrasi sebagai uji prasyarat penggunaan metode kausalitas Granger. Model empiris yang akan dipakai adalah: Yt = 0 + α1yt α nyt n + β X β X + ε 1 t 1 n t n Model 1: Hubungan PDRB dan Total Belanja APBA PDRB = α1pdrb( t 1) α n PDRB( t n) + β TOTAL β TOTAL + ε 1 1 ( t 1) ( t 1) n 1 ( t n) ( t n) TOTAL = α1total( t 1) α ntotal β PDRB β PDRB + ε n 1 1 ( t n) Model 2: Hubungan PDRB dan Belanja Rutin PDRB = α1pdrb( t 1) α n PDRB( t n) + β TOTAL β TOTAL + ε 1 1 ( t 1) ( t 1) n ( t n) ( t n) TOTAL = α1total( t 1) α ntotal β PDRB β PDRB + ε n 1 1 ( t n) + + 3

12 Analisis Hubungan... Selanjutnya, uji akar unit digunakan untuk melihat apakah data yang diamati stationer atau tidak. Uji standar Dickey-Fuller dilakukan dengan mengestimasi persamaan regresi dalam tiga bentuk berbeda (Gujarati, 2004). Akhirnya, Granger Causality test digunakan untuk mengetahui apakah suatu variabel endogen dapat diperlakukan sebagai variabel eksogen. Granger Causality dilakukan karena ketidaktahuan keterpengaruhan antar variabel. Jika ada dua variabel X dan Y, misalnya, ingin dikaji apakah X menyebabkan Y atau Y menyebabkan X, atau berlaku keduanya, atau tidak ada hubungan antar keduanya. Variabel X menyebabkan variabel Y artinya berapa banyak nilai Y pada periode sekarang dapat dijelaskan oleh nilai Y dan nilai X pada periode sebelumnya. A. Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pengeluaran Pemerintah Aceh dan data PDRB Aceh mulai tahun 1994 sampai dengan tahun Data yang digunakan Tabel 2: PDRB Propinsi Aceh Tahun merupakan data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS), Dirjen Perimbangan Keuangan, dan Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPKKA). Jenis-jenis pengeluaran pemerintah sampai dengan tahun 2005 dibagi menjadi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Namun setelah itu, pemerintah menerapkan unified budget sehingga tidak lagi membagi pengeluaran pemerintah menjadi pengeluaran rutin dan pembangunan. B. Analisis dan Pembahasan PDRB Aceh dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. PDRB Propinsi Aceh pada tahun 1994 sampai dengan tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 567,15% yaitu ,40 milyar rupiah pada tahun 1994 menjadi ,00 milyar rupiah pada tahun Pertumbuhan PDRB Propinsi Aceh terbesar terjadi pada tahun 1998 yatu sebesar 44,85% sedangkan pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2008 yaitu hanya 2,49% (lihat Tabel 2). Tahun PDRB atas dasar Harga Berlaku tahun Nilai (milyar rupiah) Pertumbuhan (%) , ,00 16,43% ,00 11,82% ,00 17,70% ,30 44,85% ,10 8,15% ,70 3,63% ,00 24,17% ,00 21,37% ,00 15,33% ,00 3,57% 4

13 Analisis Hubungan ,00 13,10% ,00 24,29% ,00 3,40% ,00 2,49% Sumber: BPS ( ) Salah satu konsekuensi dari desentralisasi fiskal tentunya adalah dituntutnya fungsi pengelolaan APBD yang harus mempertimbangkan alokasi dan prioritas dalam membiayai pembangunan daerah. Dari sisi alokasi, belanja daerah dilakukan untuk menyediakan barang dan pelayanan publik yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak di daerah dan tidak dapat disediakan sendiri oleh masyarakat daerah tersebut. Sedangkan dari segi prioritas belanja daerah dilakukan untuk sektor-sektor yang sangat mendesak kebutuhannya dan berpengaruh besar bagi seluruh kegiatan perekonomian masyarakat. Tabel 3 berikut menunjukkan data mengenai distribusi belanja daerah Propinsi Aceh selama periode yang meliputi belanja rutin dan pembangunan. Tabel Untuk melihat hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan PDRB digunakan uji Granger Causality. Uji ini pada intinya dapat mengindikasikan suatu variabel mempunyai hubungan dua arah atau satu arah. Tetapi perlu diingat bahwa pada uji ini yang dilihat adalah pengaruh masa lalu terhadap kondisi sekarang, sehingga data yang digunakan adalah data deret waktu (time series). Dengan menggunakan model hubungan PDRB dan Total Belanja APBA dibangun model sebagai berikut: PDRB = α1pdrb( t 1) α n PDRB( t n) + β TOTAL β TOTAL + ε 3: Distribusi Belanja Daerah Propinsi Aceh (juta rupiah) Tahun Belanja Daerah Tahun Rutin Pembangunan Total , , , , , , , , , , , , , , , ,02 148,545, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,60 Sumber: Dirjen Perimbangan Keuangan dan DPPKA (data diolah) 1 1 ( t 1) ( t 1) n ( t n) ( t n) TOTAL = α1total( t 1) α ntotal β PDRB β PDRB + ε n 1 1 ( t n) Dapat diketahui bahwa hasil pengujian Granger Causality PDRB 5 +

14 Sumber: Dirjen Perimbangan Keuangan dan DPPKA (data diolah) Analisis Hubungan... dengan total belanja dalam kurun waktu tahun bahwa Δ(PDRB) tidak mempunyai hubungan dengan Δ (Total). Artinya variabel Δ (PDRB) Granger tidak menyebabkan Δ (Total), dan Δ (Total) Granger tidak menyebabkan Δ (PDRB). Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada tabel berikut: Tabel 4: Uji Granger Causality PDRB dengan Total Belanja APBA Pairwise Granger Causality Tests Sample: Lags: 1 6 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability TOTAL does not Granger Cause PDRB 14 0, ,74301 PDRB does not Granger Cause TOTAL 0, ,71595 Lags: 2 TOTAL does not Granger Cause PDRB 13 0, ,89288 PDRB does not Granger Cause TOTAL 0, ,86129 Lags: 3 TOTAL does not Granger Cause PDRB 12 0, ,53332 PDRB does not Granger Cause TOTAL 0, ,83837 Lags: 4 TOTAL does not Granger Cause PDRB 11 1, ,50833 PDRB does not Granger Cause TOTAL 0, ,86922 Sumber: Data diolah Tabel 4 menjelaskan bahwa pertama dilakukan pengujian Granger Causality menggunakan lag = 1, terlihat hasilnya adalah probability lebih besar dari 5%. Dengan demikian, kita menerima hipotesis nol. Artinya dapat dinyatakan bahwa PDRB dan total Belanja APBA tidak saling mempengaruhi atau tidak mempunyai hubungan kausalitas. Ketika lag diperbesar menjadi 2, 3, dan 4 yang terlihat pada Tabel 4, ternyata hasilnya memberikan keputusan yang sama dengan persamaan yang menggunakan lag sebanyak 1. Sehingga dapat disimpulkan bahwa lag 2, 3, dan 4, PDRB dan total belanja APBA tidak mempunyai hubungan kausalitas. Tidak adanya hubungan kausalitas antara PDRB dan total belanja APBA menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi utamanya sektor riil dan dunia usaha pada umumnya yang diikuti dengan peningkatan PDRB tidak diikuti dengan peningkatan penerimaan APBA. Artinya peningkatan PDRB tidak membawa dampak signifikan terhadap peningkatan penerimaan daerah. Hal ini dapat terjadi karena peningkatan penerimaan lebih disebabkan oleh peningkatan sumber-sumber penerimaan di luar dari pendapatan asli daerah (pajak daerah, retribusi dan sumber-sumber lain yang sah), melainkan penerimaan daerah meningkat dari transfer keuangan dari pemerintah pusat seperti pendapatan melalui dana perimbangan. Dapat disimpulkan bahwa peningkatan belanja daerah seiring dengan peningkatan

15 Analisis Hubungan... penerimaan daerah dari tahun ke tahun tidak disebabkan bergairahnya perekonomian sektor-sektor pendukung peningkatan PDRB. Terjadinya peningkatan transfer keuangan dari pemerintah pusat ke Aceh adalah sejalan dengan terjadinya perubahan peraturan perundangundangan tentang pemerintah dan keuangan Aceh. Awalnya, Aceh diistimewakan dengan UU No.24 Tahun 1956, namun kemudian berubah menjadi dan mengikuti UU No.44 Tahun 1999 dan terakhir menjadi UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan signifikan pada pendapatan Aceh yang berasal dari transfer keuangan pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 181 UU No.11 tahun 2006 yang menjelaskan bahwa pendapatan daerah melalui transfer keuangan pusat berasal dari dana otonomi khusus dan perimbangan keuangan, yakni dana alokasi khusus (DAK), dana alokasi umum (DAU), dan dana bagi hasil minyak dan gas (DBHMG), terutama adanya peningkatan persentase dari bagian pertambangan minyak sebesar 55% dan pertambangan gas bumi sebesar 40%. Menurut teori Rostow dan Musgrave, perkembangan pengeluaran pemerintah dibagi ke dalam tahaptahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada saat ini kondisi Aceh dapat dikatakan masih berada di tahap awal. Lambannya pertumbuhan pembangunan di Aceh diantaranya dikarenakan konflik yang berkepanjangan dan bencana Tsunami sehingga hampir semua infrastruktur yang ada mengalami kerusakan, bahkan banyak pula yang tidak dapat digunakan lagi. Kondisi ini berdampak pada pengeluaran pemerintah di mana sebagian besar pengeluaran digunakan untuk membangun dan memperbaiki fasilitas umum yang diperlukan. Selain itu, dalam penyusunan anggaran pemerintah tidak tertutup kemungkinan terjadinya salah urus sehingga peningkatan pertumbuhan ekonomi terganggu. Faktor lain yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi adalah korupsi. Korupsi menyebabkan ketidakpercayaan sektor swasta. Ketidakpercayaan ini akan mengakibatkan sektor swasta tidak berkembang dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Selain itu, korupsi dapat menurunkan pengembalian modal dari pemerintah. Pengeluaran pemerintah salah satu fungsinya adalah sebagai investasi publik. Semakin besar tingkat korupsi maka akan semakin lama pengembalian modal pemerintah, yang pada gilirannya akan menghambat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.djumashev (2007) menunjukkan adanya hubungan negatif antara korupsi dengan tingkat kepercayaan sektor swasta dan pengembalian modal investasi yang dilakukan pemerintah. Singkatnya, korupsi memberikan efek negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan uraian dan analisis di atas maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan kausalitas (Granger) antara total PDRB dengan 7

16 Analisis Hubungan... total belanja Pemerintah Aceh. Artinya fluktuasi yang terjadi pada PDRB tidak berakibat apa-apa terhadap total belanja Pemerintah Aceh, dan sebaliknya total belanja daerah tidak mempengaruhi pertumbuhan PDRB. Selain itu, ditemukan bahwa penetapan kebijakan desentralisasi fiskal yang mengakibatkan meningkatnya belanja daerah juga tidak berhubungan dengan pertumbuhan PDRB Aceh. Karena itu, Pemerintah Aceh diharapkan mengalokasikan anggaran dengan efektif pada pos-pos yang dapat meningkatkan pertumbuhan PDRB sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi anggaran yang bersifat tidak produktif. Pengeluaran untuk konsumsi diharapkan dikurangi dan pengeluaran untuk investasi ditingkatkan. Selain itu juga diharapkan pengeluaran pemerintah yang menunjang peningkatan kinerja sektor swasta lebih ditingkatkan. Pemerintah Aceh diharapkan lebih bijaksana dalam pengelolaan anggarannya sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. 8

17 Analisis Hubungan... Daftar Pustaka Bank Dunia Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru. Washington DC: World Bank. Djumashev, R Corruption, uncertainty and growth, MPRA Paper No. 3716, posted 7 November 2007, online at Gujarati, D Ekonometrika Dasar. Jakarta: Penerbit Erlangga. Gujarati, D Basic Econometrics. USA: The McGraw-Hill. 9

18

19 Optimasi Pengolahan Minyak Nilam pada Berbagai Daerah Produksi dan Varitas di Kabupaten Aceh Barat Oleh : Ir. Ramayana, MSi. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menganalisis optimasi proses penyulingan minyak nilam pada berbagai daerah produksi dan varitas di Kabupaten Aceh Barat. Metode penelitian yang digunakan adalah rancangan bujursangkar latin atas dasar tipe daerah produksi, varitas nilam dan alat penyuling yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa optimasi kinerja alat penyulingan berbeda menurut spesifikasi agroklimat wilayah produksi, varitas dan type alat penyuling. Hal ini pula yang menyebabkan variasi kinerja dan keuntungan usaha penyulingan minyak nilam. Semakin sesuai daerah produksi secara agroklimat dan agroekologi maka semakin kecil nilai investasi yang dibutuhkan untuk mencapai proses penyulingan yang optimal. Untuk daerah yang kurang sesuai secara agroklimat masing-masing varitas diperlukan investasi dengan nilai yang lebih besar. Kinerja proses penyulingan semakin baik bila diusahakan varitas yang sesuai dengan agroklimat dan agroekologi. 11

20 Analisis Hubungan... PENDAHULUAN Tanaman nilam adalah salah satu tanaman yang sangat peka terhadap variasi kondisi agroklimat, dan agroekologi. Beberapa daerah di Provinsi Aceh memiliki iklim dan ekologi yang sesuai untuk pertanaman beberapa varitas nilam. Varitas unggul lokal adalah varitas dengan kualitas minyak nilamnya yang tergolong khas dan berbeda dengan daerah pertanaman nilam lainnya. Kinerja penyulingan nilam dapat diukur dengan besarnya manfaat lewat biaya yang dikeluarkan per satuan minyak nilam yang dihasilkan. Kinerja penyulingan minyak ini dipengaruhi oleh kualitas daun nilam dan alat penyulingan. Kualitas daun nilam sebagai bahan baku proses penyulingan ditentukan oleh varitas dan daerah produksi. Untuk Provinsi Aceh penyulingan minyak nilam menyebar di beberapa kabupaten dengan typology yang sangat bervariasi. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa daerah produksi, varitas nilam dan spesifikasi alat penyuling menentukan hasil proses penyulingan. Selanjutnya, optimasi kinerja alat penyulingan berbeda menurut spesifikasi agroklimat wilayah produksi, dan varitas nilamnya. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan mengkaji optimasi proses penyulingan yang didasarkan pada nilai investasi, kinerja produk dan keuntungan beberapa typology daerah produksi, varitas nilam dan alat penyulingan minyak nilam ini. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan adalah kombinasi survey kesesuaian agroklimat dan agroekologi yang dibagi atas tiga skala (sangat sesuai S1, sesuai S2 dan kurang sesuai S3). Dari masingmasing SPL (satuan peta lahan) diambil contoh daun nilam menurut varitas yang ditanam dan disuling pada tiga kelompok alat suling (type A, B dan C). Kemudian dilakukan perhitungan rerata: konsumsi bahan baku, konsumsi bahan bakar, hasil minyak/ rendemen, biaya energi per proses, biaya produksi dan keuntungan per proses. Biaya produksi per proses, prosentase biaya energi terhadap nilai minyak nilam, rendemen, dan keuntungan dihitung dengan rumus rumus seperti berikut: K = a D1b D2c D3d V1e V2f V3g T1h T2i T3j Dimana: K adalah kinerja proses penyulingan. D adalah daerah produksi (luas areal pengembangan pada masingmasing kesesuaian agroklimat dan agroekologi (D1, D2, dan D3). V adalah Jumlah produksi (V1, V2, dan V3). T adalah type alat penyulingan yang digunakan (T1, T2, dan T3). A, b, c j adalah koefisien elastisitas kinerja penyulingan. Untuk analisis keuntungan digunakan rumus = TR TC, dimana TR adalah total penerimaan (total revenue) yang diperoleh perkalian jumlah/mutu produksi Q dengan harga P; dan TC adalah total biaya (total cost) yang dihitung dari biaya investasi dan biaya operasi penyulingan nilam. Untuk analisis kinerja digunakan proven dengan membandingkan manfaat dengan biaya per satuan luas: K = TR/ TC. Kinerja ini dianalisis antar daerah, 12

21 Analisis Hubungan... varitas dan teknologi yang digunakan. Malalui analisis δk/ δdi. p1 = δk/ δvi. p2 = δk/ δti. p3 Kondisi optimum untuk proses pengolahan nilam dapat dianalisis dengan kondisi dimana setiap tambahan biaya pengolahan minyak nilam sama dengan nilai tambahan manfaat HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 27 variasi kesesuaian lahan untuk tanaman nilam di Kabupaten Aceh Barat dengan 9 kluster yang tergolong pada tiga kesesuaian agroklimat dan agroekologi (S1, S2 dan S3). Kluster yang dikelompokkan terdiri dari perbedaan curah hujan, suhu ratarata, kemiringan lahan, jenis tanah, ph tanah, kandungan hara tersedia N, P, K dan indeks karbon. Berdasarkan kluster ini terdapat variasi kinerja penyulingan yang signifikan antar kluster dan daerah pengembangan. Varitas yang teramati adalah Aceh, Jawa, dan Sabun. Berdasarkan varitas proses optimum paling baik adalah pada varitas Aceh yang terdiri dari 12 kultivar. Semua ini akan mempengaruhi biaya investasi, biaya operasi, rendemen, produksi minyak nilam, nilai produksi, dan keuntungan usaha. A. Biaya Investasi Biaya investasi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan dari mulai usaha sampai usaha tersebut mulai berjalan (beroperasi), atau dengan kata lain biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan untuk membeli barangbarang modal selama usaha tersebut belum menghasilkan produk. Besarnya biaya investasi ini sangat tergantung pada tipe penyuling. (T1, T2, dan T3). Total biaya investasi yang dikeluarkan dalam mengusahakan dan pengolahan minyak nilam di Kabupaten Aceh Barat ini bervariasi dari Rp sampai dengan Rp B. Biaya Operasional Biaya operasional merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan selama proses produksi berlangsung, atau dengan kata lain biaya operasional adalah biaya yang dikeluarkan selama usaha tersebut telah berproduksi. Besarnya biaya operasional yang dikeluarkan pada usaha pembudidayaan dan pengolahan minyak nilam di 5 kecamatan di Kabupatan Aceh Barat adalah sebesar Rp per tahun. Biaya operasional yang dikeluarkan untuk alat penyulingan nilam rata-rata per Kg minyak nilam dengan variasi yang relatif besar antara Rp sampai dengan Rp Variasi ini tergantung pada varitas dan daerah asal pengembangan. C. Produksi dan Nilai Produksi Produksi dan nilai produksi merupakan hasil yang diperoleh pada seluruh kegiatan usaha pengolahan minyak nilam pada masing-masing kluster dan varitas nilam. Nilai produksi berasal dari jumlah produksi sesuai dengan mutu yang dikalikan dengan harga jual yang berlaku. Dengan asumsi harga jual untuk mutu I Rp /kg; mutu II Rp /kg dan Mutu III Rp /kg diperoleh penerimaan yang 13

22 Analisis Hubungan... bervariasi antara Rp /tahun sampai dengan /tahun. D. Kualitas Alat Suling Nilam Untuk mendapatkan minyak nilam dengan kualitas baik dan memenuhi standar SNI yang telah ditentukan, maka hal yang perlu diperhatikan yaitu kualitas dari alat suling yang digunakan. Adapun kualitas alat suling nilam tersebut dapat kita amati dari ketel air, ketel bahan baku, kondensor dan bak pendingin. Pada penelitian ini, kualitas alat suling dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu T1 (modern), T2 (semi modern) dan T3 (tradisional). Pada ketel uap T1, bagian dalamnya dilengkapi dengan pipa api (asap) sehingga pemakaian panasnya lebih optimal dan juga dilengkapi dengan pengukur tekanan (manometer), klep keselamatan (safety valve), dan pipa pengukur. Nurdjannah dkk. (2006) menyatakan bahwa: pada ketel penyulingan, penggunaan bahan stainless steel sebagai bahan konstruksi sangat menguntungkan, karena masa pakai cukup lama dan tahan karat, dan tidak memerlukan penyulingan ulang karena minyak yang dihasilkan berwarna kuning cerah dan bermutu tinggi. Pada alat suling modern, dalam 100 kg nilam kering menghasilkan 1 kg minyak. Pipa pendingin merupakan bagian alat yang sangat penting dalam penyulingan minyak nilam karena pipa pendingin berfungsi sebagai penghantar hasil sulingan yang telah diuapkan menjadi minyak nilam setelah melalui proses pendinginan dalam bak pendingin. Pada objek penelitian, bak pendingin yang digunakan menggunakan material semen dan mampu menampung air ±2500 liter. Berbeda dengan ketel uap T1, pada ketel kualitas T2 material yang digunakan terbuat dari plat besi yang ditempah pada pengrajin lokal yang ada pada objek penelitian. Akan tetapi plat yang digunakan tidak digalvenis terlebih dahulu sehingga dalam jangka waktu lama plat tersebut akan berkarat dan minyak yang dihasilkan akan keruh dan berwarna gelap. Untuk mengatasi hal ini petani menyuling kembali minyak tersebut untuk mendapatkan minyak yang berwarna kuning cerah. Material yang digunakan pada bak pendingin menggunakan papan kayu sebagai dindingnya dan terpal plastik sebagai wadah penampung air. Bak tersebut tidak mampu bertahan lama sehingga perlu perawatan yang intensif. Usaha peningkatan jumlah rendemen minyak yang dihasilkan dari proses penyulingan perlu diupayakan agar dapat dikembangkan di kalangan petani dan industri kecil. Pada objek penelitian, kualitas alat suling nilam T3 merupakan yang paling dominan. Akan tetapi kurangnya informasi dan tidak meratanya penyuluhan yang dilakukan pemerintah membuat petani tetap beralih pada alat suling tradisional. Konstruksi ketel uap tradisional menggunakan drum bekas aspal yang telah ditempah ulang oleh pengrajin lokal. Ketel uap T3 tidak mampu bertahan lama dan cepat berkarat sehingga uap yang dikeluarkan mengandung korosi yang akan mempengaruhi kualitas minyak nilam itu sendiri. Minyak nilam yang dihasilkan 14

23 Analisis Hubungan... cenderung berwarna merah gelap dan sebagian agak kehitaman. Tidak berbeda dengan ketel uap, konstruksi ketel penyulingan juga menggunakan bahan yang sama dan bersifat mudah karatan. Hal ini juga akan mempengaruhi kualitas dari minyak nilam yang dihasilkan dan akan berwarna gelap. Untuk mengatasi hal tersebut, para petani nilam tradisional melakukan penyulingan berulang-ulang untuk mendapatkan minyak nilam yang berwarna cerah dan hal ini akan banyak menguras waktu dan tenaga. Pada alat suling tipe T3 (tradisional), bahan yang digunakan untuk bak pendingin tidak berbeda dengan bak pendingin yang ada pada alat suling T2, yang membedakan terletak pada kapasitas air yang ditampung yaitu ± 500 liter air. Petani perlu melakukan pengawasan ekstra untuk menjaga suhu air dalam bak pendingin agar minyak yang akan dihasilkan tidak banyak menguap. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses penyulingan adalah proses pemisahan komponen yang berupa cairan dari 81 macam campuran atau lebih berdasarkan perbedaan titik uapnya, dan proses ini dilakukan terhadap minyak atsiri yang tidak larut dalam air. Jumlah air yang menguap bersama-sama dengan uap air ditentukan oleh tiga faktor, yaitu besarnya tekanan uap yang digunakan, berat molekul dari masing-masing komponen dalam minyak dan kecepatan minyak keluar dari bahan yang mengandung minyak. Dari 81 observasi terdapat 27 hasil pengamatan yang menunjukkan efesiensi penggunaan tekanan uap air terhadap rendemen minyak nilam dan kualitas minyak. Untuk T1 semua varitas dan asal nilam menunjukkan proses penyulingan yang optimum pada biaya produksi Rp sampai dengan Rp per kilogram minyak nilam. Umtuk T2 optimasi proses pengolahan minyak nilam untuk varitas Aceh terdapat pada kondisi tekan uap air 68 s.d 72 ATM selama 4 jam 16 menit. Kondisi ini memerlukan biaya pengolahan Rp sampai dengan Rp per kilogram. Variasi biaya ini tergantung pada kadar air bahan baku dan jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam proses penyulingan. E. Kualitas Bahan Baku Kualitas bahan baku pada penelitian diklarisifikasikan berdasarkan varietas, kadar air, kadar air bahan baku dan diameter rajangan. Untuk variasi varitas dan kadar air menghasilkan kadar minyal dan kadar alkohol yang berbeda, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.dibawah ini. Tabel 1. Tabel Kualitas Bahan Baku Daun Nilam dan Kinerja Minyak Pada Industri Minyak Nilam di 5 Kecamatan Kabupaten Aceh Barat No Varietas Hasil daun nilam kering (t/ha) Kadar minyak (%) Kadar patcholi Alcohol (ml) Kadar air (%) 1 Aceh 11,09 3,21 355, Jawa 13, , Sabun 7,66 2,91 222,99 19 Sumber: data primer (diolah),

24 Analisis Hubungan... Untuk mendapatkan bahan baku berkualitas, yang perlu diperhatikan oleh petani sebelum melakukan penyulingan yaitu jenis daun nilam yang akan disuling yaitu mempunyai kandungan minyak yang tinggi baik dari batang maupun daun. Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat kadar minyak paling tinggi terdapat pada varietas nilam Aceh dengan kadar minyak sebesar 3,21 % dan batas kekeringan daun nilam segar menjadi daun nilam kering antara (25 30) % kadar air. Faktor utama yang menyebabkan adanya kandungan besi terlarut di dalam minyak nilam adalah penggunaan peralatan penyulingan yang masih konvensional, terutama ketel yang berasal dari drum bekas. Pada temperatur tinggi, besi dari drum berada dalam bentuk ion akan terikut dengan uap dan terakumulasi dalam minyak, sehingga minyak yang dihasilkan akan keruh dan berwarna gelap. Hal ini akan mengurangi kadar mutu minyak yang dihasilkan (Ellyta dan Mustanir, 2004). Pada penelitian ini, konstruksi alat suling yang digunakan yang bervariasi dengan mulai dari menggunakan drum bekas, plat besi yang di tempah khusus, dan plat stainless stell tanpa digalvanis terlebih dahulu. Setelah penggunaan yang lama, plat tersebut akan berkarat dan minyak yang dihasilkan akan berwarna gelap. Hal ini akan menurunkan harga jual petani kepada agen pengumpul. Untuk mengatasi hal tersebut, petani melakukan destilasi ulang untuk menghasilkan minyak yang berwarna jernih. Dengan demikian, biaya yang dikeluarkan pun akan bertambah dan hal ini tidaklah efisien karena mengingat waktu yang terlalu lama dan upah tenaga kerja yang harus dibayarpun bertambah besar. Hal ini sebenarnya bisa dihindari apabila petani mau merubah sistem pengolahan minyak nilam yang tradisional ke modern dengan menggunakan alat suling dan ketel yang terbuat dari besi stainless steel yang digalvanis sehingga minyak yang dihasilkan akan berkualitas dan mempunyai harga jual yang tinggi. Berdasarkan pengamatan di lapangan, satu kali proses produksi dengan bahan baku ± 100 kg daun nilam kering, memerlukan tenaga kerja 3 orang, kayu bakar ± 2 m3. Lama penyulingan sekitar 4 5 jam. Dari 100 kg daun nilam kering, kita akan memperoleh produk minyak nilam sebanyak 1,8 2,6 % dari berat daun nilam tersebut. Jadi, kalau besarnya rendemen 2,5 %, maka akan didapatkan minyak nilam : 2,5 % x 100 kg = 2,5 kg. Dari 81 unit observasi pengolahan minyak nilam yang dibedakan menurut daerah asal; varitas dan tipe alat penyulingan maka terdapat variasi yang sangat nyata. Kinerja yang diukur dengan efesiensi biaya penyulingan tersebut memberikan gambaran optimasi pada masing-masing varian. Variasi yang signifikan antar variatas dan tipe produksi ini secara teknis dan ekonomis akan menentukan titik optimasi proses pengolahan minyak nilam. Kinerja pengolahan minyak nilam antara daerah asal (S1, S2, dan S3) sangat berbeda; demikian juga antar varitas (V1, V2, dan V3) dan juga berdasarkan tipe alat penyulingan (T1, T2, dan T3) seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. berikut ini. 16

25 Analisis Hubungan... Tabel 2. Sebaran Kinerja Penyulingan Minyak Nilam di Lima Kecamatan Sentra Produksi Berdasarkan Daerah, Varitas dan T1lat Penyulingan di Kabupaten Aceh Barat. Kesesuaian Daerah V 1 V 2 V 3 T 1 T 2 T 3 T 1 T 2 T 3 T 1 T 2 T 3 S S S Dari table tersebut terlihat bahwa untuk varitas V1 kondisi optimum terdapat pada kluster S1 dengan curah hujan ratarata mm per tahun dengan suhu 29 oc yang dikembangkan di dataran rendah dengan kemiringan 0 s/d 10 %. Hasil analisis menunjukkan bahwa fungsi yang menggambarkan kinerja penyulingan minyak nilam berdasarkan daerah produksi, varitas dan alat penyulingan adalah sebagai berikut: K = D10,0704 D20,1471 D30,1843 V10,0020 V20,0611 V30,1124 T10,0022 T20,1108 T30,3821 Pengujia secara serempak menunjukkan keberartian model yang diperoleh dengan R2= 0,81. Ini artinya bahwa kinerja penyulingan minyak nilam di daerah ini 81 persen ditentukan oleh kesesuaian agrokilmat + agroekologi; varitas nilam yang dikembangkan, dan tipe alat penyulingan yang digunakan. Dengan mengalikan PMi dengan biaya pada masing-masing varian di atas maka yang paling murah biaya produksi untuk daerah dengan klasifikasi S1 di D1 untuk varitas nilam Aceh dengan menggunakan alat penyulingan modern T1. Dengan demikian bila ingin dicapai efesiensi pemanfaatan faktor produksi pada proses penyulingan nilam maka faktor-faktor di atas perlu diperhatikan. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas daun nilam ditentukan oleh daerah penanaman dan varitas yang digunakan. Selanjutnya rendemen dan kualitas minyak nilam ditentukan oleh kualitas bahan baku dan tipe alat penyulingan. Biaya investasi menentukan kinerja alat penyulingan dan keuntungan dari usaha tersebut. Daerah pengembangan minyak nilam pada katagori S1 akan lebih efesien bila dibandingkan dengan daerah dengan kesesuaian S2 dan S3. Varitas nilam yang sangat efesien dikembangkan di Kabupaten Aceh Barat adalah varitas Aceh dengan 12 kultivar yang ada. Tipe alat penyulingan menentukan biaya investasi dan kinerja penyulingan. Semakin tinggi nilai investasi 17

26 Analisis Hubungan... semakin baik mutu dan kapasitas alat sehingga nilai minyak nilam semakin tinggi. Pada gilirannya, semakin tinggi pula keuntungannya. Untuk meningkatkan produksi minyak nilam di Kabupaten Aceh Barat perlu ditata wilayah pengembangan dengan katagori sangat sesuai dan sesuai dengan menggunakan varitas asli Aceh dengan 12 kultivar yang ada. Di samping itu perlu dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi alat penyulingan nilam di beberapa sentra produksi nilam Kabupaten Aceh Barat. 18

27 Analisis Hubungan... Lampiran 1. Kinerja Penylingan Minyak Varitas Aceh Untuk Daerah Pengembangan dan Tipe Alat Suling di Kabupaten Aceh Barat. Daerah Pengembangan V1 T1 T2 T3 Jumlah Rata S Jumlah Rata S Jumlah Rata S Jumlah Rata Total Rerata Lampiran 2. Kinerja Penylingan Minyak Varitas Jawa Untuk Daerah Pengembangan dan Tipe Alat Suling di Kabupaten Aceh Barat. Daerah Pengembangan V2 T1 T2 T3 Jumlah Rata S Jumlah Rata S Jumlah

28 Analisis Hubungan... Rata S Jumlah Rata Total Rerata Lampiran 3. Kinerja Penylingan Minyak Varitas Sabun Untuk Daerah Pengembangan dan Tipe Alat Suling di Kabupaten Aceh Barat. Daerah V3 T1 T2 T3 Jumlah Rata S Jumlah Rata S Jumlah Rata S Jumlah Rata Total Rerata

29 Analisis Hubungan... DAFTAR PUSTAKA Buckingham,J.,1982, Dictionary of Organic Compounds, 5thedition, Chapman and Hall, New York. Daniels,F. dan R.A. Alberty,1959, Physical Chemistry, John Wiley and Sons, Inc.,Amsterdam. Dummond,H.M.,1960, Patcouli oil, Journal Perfumery and Essential Oil Record, hal Ellyta S, 2002, Kuantifikasi Penyulingan minyak Nilam dari daunnya untuk peningkatan teknik dan kapasitas produksi yang memenuhi minyak nilam bermutu, Thesis Magister, ITB, Bandung. Ellyta S, 2004, Rancangan distribusi uap pada alat ketel suling untuk meningkatkan rendemennya; dalam kasus Minyak Nilam (Pogostemon Cablin Benth), Lapaoran Penelitian, LPPM, Universitas Bung Hatta, Padang Guenther,E,1985, Minyak Atsiri, jilid I (terjemahan) S. Kateren, Universitas Indonesia, Jakarta. Hobir,dkk., 1998, Prospek Pengembangan Nilam di Indonesia, Seminar Club Indonesia, Jakarta. Irfan, 1989, Pengaruh Lama Keringanginan dan Perbandingan Daun Nilam dengan Batang terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Nilam, Fateta, IPB, Bogor. Masada Y.,1975, Analysis of Essential Oils by Gas Chromatography and Mass Spectrometry, John Wiley and Sons Inc.,New York. Perman dan Mulyazmi,1999, Pemurnian Minyak Nilam Mentah, Skripsi, Universitas Bung Hatta, Padang. Rusli dan Hasanah,1977, Cara Penyulingan Daun Nilam Mempengaruhi Rendemen dan Mutu Minyaknya, Pemberitaan LPTI (24):hal.1-9 LPTI Bogor Syaifuddin,1993, Pengaruh Jenis Wadah dan Lama Penyimpanan terhadap Mutu Minyak Nilam, Fateta, IPB. Santoso, H.B.,1997, Bertanam Nilam bahan industri wewangian, Penerbit kanisius. Standar Nasional Indonesia (SNI),1991, Minyak Nilam, Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta 21

30

31 Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Pemanfaatan Rawa Lebak di Desa Pasak Piang Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya-Kalimantan Barat (Analysis of Sustainability Index and Status in the Utilization of Freshwater Swamp in Pasak Piang Village, Sub-District of Sungai Ambawang, Kubu Raya District - West Kalimantan Province) Rois 1, Supiandi Sabiham 2, Irsal Las 3, dan Machfud 4 ABSTRAK Rawa merupakan sebutan bagi semua daerah yang tergenang air, yang penggenangannya dapat bersifat musiman maupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Provinsi Kalimantan Barat, terdapat rawa lebak seluas hektar yang tersebar di 11 kabupaten. Di Kabupaten Kubu Raya, terdapat rawa lebak yang terdistribusi di empat kecamatan yang salah satunya adalah Kecamatan Sungai Ambawang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberlanjutan pemanfaatan rawa lebak di Desa Pasak Piang, Kecamatan Sungai Ambawang yang didasarkan pada penilaian indeks dan status keberlanjutan dengan menggunakan metode Multidimensional Scaling (MDS) yang disebut dengan Rap-Lebak (Rapid Appraisal for Rawa Lebak). Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Hasil ordinasi Rap-Lebak menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan rawa lebak masing-masing dimensi bervariasi berkisar dari yang terendah persen untuk dimensi ekonomi yang dikategorikan tidak berkelanjutan, diikuti dimensi teknologi persen, dimensi ekologi persen, dan dimensi sosial budaya persen yang ketiganya dikategorikan kurang berkelanjutan, serta dimensi kelembagaan dengan nilai indeks tertinggi, yaitu persen atau dikategorikan cukup berkelanjutan. Sedangkan hasil analisis leverage dari 37 atribut yang dianalisis diperoleh 19 atribut sensitif yang berpengaruh terhadap indeks keberlanjutan sistem pengelolaan rawa lebak. kata Kunci : indeks dan status keberlanjutan, rawa lebak 1 Mahasiswa S3 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana IPB. 2 Staf Pengajar Departeman Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB. 3 Kepala Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian Bogor 4 Staf Pengajar Dep. Teknologi Industri Pertanian IPB 23

32 abstract Analisis Indeks... Swamp is a definition for all areas that is stagnated by water. It is classified as seasonal or permanent, and overgrown by vegetation. In West Kalimantan Province, there is a freshwater swamp area of 35,436 hectares spread over 11 districts. In Kubu Raya district, there is a freshwater swamp which is distributed in four districts, including Sungai Ambawang sub-district. This research aimed to analyze sustainable utilization of freshwater swamp in Pasak Piang, Sungai Ambawang sub-district that is based on an index assessment and the status of sustainability by using Multidimensional Scaling (MDS) it s called Rap-Lebak (Rapid Appraisal for Rawa Lebak). The used data consists of both primary and secondary data. Rap-Lebak Ordination Results showed that the values of sustainability index on freshwater swamp of each dimension was on various range, from a low percent for the economic dimension is not considered sustainable, followed by technological dimensions percent, percent of the ecological dimension, and socio-cultural dimensions of percent of all three categorized as less sustainable, and institutional dimension with the highest index value, which is percent or categorized quite sustainable. While the results of analysis leverage of the 37 attributes that were analyzed obtaining 19 attributes that influence the sensitive index of freshwater swamp on sustainable management system. key wards : sustainability index and status, freshwater swamp 24

33 Analisis Indeks... PENDAHULUAN Rawa merupakan sebutan bagi semua daerah yang tergenang air, yang penggenangannya dapat bersifat musiman maupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Indonesia mempunyai lahan rawa sekitar 39 juta hektar yang terdiri dari lahan rawa pasang surut dan rawa lebak. Berdasarkan data dari Balittra tahun 2005, terdapat areal rawa pasang surut seluas 24,2 juta hektar dan rawa lebak seluas 13,27 juta hektar, dan umumnya tersebar di Pulau Sumatera 5,70 juta hektar, Kalimantan 3,40 juta hektar, dan Irian Jaya 5,20 juta hektar. Provinsi Kalimantan Barat dengan luas total 14,64 juta hektar memiliki rawa lebak sekitar hektar dan baru sekitar hektar atau 27,6 persen yang telah dimanfaatkan. Lahan ini tersebar di 11 kabupaten yang salah satunya adalah Kabupaten Kubu Raya. Di Kabupaten Kubu Raya, rawa lebak tersebar di empat Kecamatan yaitu Kecamatan Batu Ampar, Terentang, Sungai Raya dan Sungai Ambawang. Khusus untuk penelitian ini difokuskan di Kecamatan Sungai Ambawang, tepatnya desa Pasak Piang dengan luas rawa lebak yang ada mencapai 221 hektar (Dinas Pertanian Prov. Kalbar, 2008). Saat penelitian ini dilaksanakan, rawa lebak di lokasi penelitian dimanfaatkan berbagai macam tanaman mulai tanaman pangan (jagung, ubi kayu, ubi jalar, keladi/talas, dan utamanya padi), palawija dan sayuran (kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, terung, bayam, kangkung, cabe), tahunan (karet, kopi, kakao, lada, kelapa, dan kelapa sawit), dan sebagian kecil dimanfaatkan untuk kolam dan usaha peternakan, dengan rata-rata kepemilikan lahan hanya berkisar hektar per kepala keluarga. Usahatani dengan berbagai jenis tanaman yang tersebut di atas, umumnya dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, kecuali untuk tanaman karet. Secara umum menurut Noor (2007), pemanfaatan lahan rawa lebak masih terbatas dan hanya bersifat untuk menopang kehidupan sehari-hari dan masih tertinggal jika dibandingkan dengan agroekosistem lain, seperti lahan kering atau lahan irigasi. Hal itu dapat dipahami, karena rawa lebak merupakan ekosistem yang lebih cepat rusak dan hilang jika dibandingkan dengan ekosistem lain, dan tidak hanya rentan terhadap perubahan langsung seperti konversi menjadi lahan pertanian atau pemukiman, tetapi juga rentan terhadap perubahan kualitas air sungai yang mengalirinya (Lewis et al., 2000). Selain itu, kendala non fisik, terutama masalah status kepemilikan lahan yang banyak dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu yang berprofesi sebagai non petani (Arifin et al., 2006) dan ketidakjelasan kepemilikan lahan (Irianto, 2006). Dengan kondisi demikian, apabila ekosistem rawa lebak tidak dikelola dan diatur dalam pemanfaatannya, maka hal itu dapat menimbulkan konflik. Konflik menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) dapat terjadi apabila tidak adanya kesepakatan dalam menetapkan aturan main pengelolaan sumberdaya alam yang digunakan sebagai landasan. Muara dari keadaan di atas, pada 25

PENGARUH KINERJA ALAT SULING DAN KESESUAIAN LAHAN TERHADAP PRODUKSI MINYAK NILAM DI KABUPATEN ACEH JAYA. Oleh : Ramayana* dan Widyawati**

PENGARUH KINERJA ALAT SULING DAN KESESUAIAN LAHAN TERHADAP PRODUKSI MINYAK NILAM DI KABUPATEN ACEH JAYA. Oleh : Ramayana* dan Widyawati** PENGARUH KINERJA ALAT SULING DAN KESESUAIAN LAHAN TERHADAP PRODUKSI MINYAK NILAM DI KABUPATEN ACEH JAYA Oleh : Ramayana* dan Widyawati** ABSTRACT This study aims to analyze the influence of the performance

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rawa merupakan sebutan bagi semua lahan yang tergenang air, yang penggenangannya dapat bersifat musiman ataupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan

Lebih terperinci

Kuantifikasi Penyulingan Minyak Nilam Industri Rakyat

Kuantifikasi Penyulingan Minyak Nilam Industri Rakyat Kuantifikasi Penyulingan Minyak Nilam Industri Rakyat Ellyta Sari Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri Universitas Bung Hatta Padang Kampus III-UBH Jl. Gajah Mada Gunung Pangilun, Padang 2143

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam sejarah perjalanan sistem kepemerintahannya, Indonesia sempat mengalami masa-masa dimana sistem pemerintahan yang sentralistik pernah diterapkan. Di bawah rezim

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

VI. ANALISIS KELAYAKAN ASPEK NON FINANSIAL

VI. ANALISIS KELAYAKAN ASPEK NON FINANSIAL VI. ANALISIS KELAYAKAN ASPEK NON FINANSIAL 6.1 Aspek Pasar Aspek pasar merupakan aspek yang sangat penting dalam keberlangsungan suatu usaha. Aspek pasar antara lain mengkaji potensi pasar baik dari sisi

Lebih terperinci

ANALISIS TEKNIS DAN BIAYA OPERASIONAL ALAT PENYULING NILAM DENGAN SUMBER BAHAN BAKAR KAYU DI ACEH BARAT DAYA

ANALISIS TEKNIS DAN BIAYA OPERASIONAL ALAT PENYULING NILAM DENGAN SUMBER BAHAN BAKAR KAYU DI ACEH BARAT DAYA ANALISIS TEKNIS DAN BIAYA OPERASIONAL ALAT PENYULING NILAM DENGAN SUMBER BAHAN BAKAR KAYU DI ACEH BARAT DAYA Mustaqimah 1*, Rahmat Fadhil 2, Rini Ariani Basyamfar 3 1 Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun dan memperbaiki

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam ANNY MULYANI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber : SINAR TANI

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA PADA SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI ACEH. Sofyan*, Elvira Iskandar*, Zakia Izzati** ABSTRACT

ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA PADA SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI ACEH. Sofyan*, Elvira Iskandar*, Zakia Izzati** ABSTRACT ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA PADA SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI ACEH Sofyan*, Elvira Iskandar*, Zakia Izzati** ABSTRACT Agriculture is a leading sector in Aceh economy, showed

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari satu tahap ke tahap berikutnya. Agar pembangunan dapat terlaksana dengan

I. PENDAHULUAN. dari satu tahap ke tahap berikutnya. Agar pembangunan dapat terlaksana dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pada dasarnyan merupakan suatu proses perubahan dinamis yang dilakukan secara terus menerus untuk menuju pada suatu keadaan yang lebih baik dari satu tahap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di Indonesia saat ini semakin pesat seiring dengan adanya era reformasi. Negara Indonesia yang awalnya menggunakan sistem sentralisasi dalam pemerintahannya

Lebih terperinci

ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU

ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU Ahmad Soleh Fakultas Ekonomi Universitas Dehasen Bengkulu ABSTRAK Ahmad Soleh; Analisis Belanja Pemerintah Daerah Kota Bengkulu. Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan regional memiliki peran utama dalam menangani secara langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. Peranan perencanaan

Lebih terperinci

ANALISIS HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA INFLASI DENGAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI SURAKARTA TAHUN

ANALISIS HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA INFLASI DENGAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI SURAKARTA TAHUN ANALISIS HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA INFLASI DENGAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI SURAKARTA TAHUN 1986 2015 Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I Pada Jurusan Ilmu Ekonomi Studi

Lebih terperinci

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN Emlan Fauzi Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 220

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan. masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang.

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan. masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

8.1. Keuangan Daerah APBD

8.1. Keuangan Daerah APBD S alah satu aspek pembangunan yang mendasar dan strategis adalah pembangunan aspek ekonomi, baik pembangunan ekonomi pada tatanan mikro maupun makro. Secara mikro, pembangunan ekonomi lebih menekankan

Lebih terperinci

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT Rachmat Hendayana Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jl Tentara Pelajar, 10 Bogor ABSTRAK Makalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE KATA PENGANTAR Buku Indikator Ekonomi Kota Lubuklinggau ini dirancang khusus bagi para pelajar, mahasiswa, akademisi, birokrat, dan masyarakat luas yang memerlukan data dan informasi dibidang perekonomian

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi 69 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak dan Luas Daerah Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi Lampung yang letak daerahnya hampir dekat dengan daerah sumatra selatan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berkaitan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 18 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan bagian dari pembangunan ekonomi Nasional yang bertumpu pada upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk kenaikan pendapatan nasional. Cara mengukur pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. bentuk kenaikan pendapatan nasional. Cara mengukur pertumbuhan ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam industri yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat ekonomi yang terjadi. Bagi

Lebih terperinci

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12 BAB I PENDAHULUAN Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai negara kesatuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan, dan akuntabel serta berorientasi pada hasil, kami yang bertandatangan di bawah ini : Nama : Ir. Bambang

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi topik utama dalam bidang Ilmu Ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi topik utama dalam bidang Ilmu Ekonomi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi topik utama dalam bidang Ilmu Ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan permasalahan jangka panjang yang menjadi tolak ukur dalam mengukur

Lebih terperinci

PENDAHULUAN PENGOLAHAN NILAM 1

PENDAHULUAN PENGOLAHAN NILAM 1 PENDAHULUAN Minyak nilam berasal dari tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan salah satu komoditi non migas yang belum dikenal secara meluas di Indonesia, tapi cukup popular di pasaran Internasional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masa sentralisasi pemerintahan telah berakhir diganti dengan otonomi daerah. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, setiap daerah diberi kewenangan yang luas

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Otonomi daerah yang berarti bahwa daerah memiliki hak penuh dalam mengurus rumah tangganya sendiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan

Lebih terperinci

ANALISIS KONTRIBUSI PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP KEMANDIRIAN DAERAH PROVINSI ACEH

ANALISIS KONTRIBUSI PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP KEMANDIRIAN DAERAH PROVINSI ACEH ISSN 2302-0172 9 Pages pp. 1-9 ANALISIS KONTRIBUSI PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP KEMANDIRIAN DAERAH PROVINSI ACEH T. Iskandar Daod 1, Abubakar Hamzah 2, Muhammad Nasir 2 1) Magister Ilmu Ekonomi Program

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

Studi Input Energi pada Proses Penyulingan Minyak Atsiri Nilam dengan Sistem Boiler (Studi Kasus Unit Pengolahan minyak Nilam Kesamben-Blitar)

Studi Input Energi pada Proses Penyulingan Minyak Atsiri Nilam dengan Sistem Boiler (Studi Kasus Unit Pengolahan minyak Nilam Kesamben-Blitar) Studi Input Energi pada Proses Penyulingan Minyak Atsiri Nilam dengan Sistem Boiler (Studi Kasus Unit Pengolahan minyak Nilam Kesamben-Blitar) Rohmad Abdul Aziz Al Fathoni*, Bambang Susilo, Musthofa Lutfi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya adalah Undang-Undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya adalah Undang-Undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Organisasi sektor publik memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan publik dan memiliki wilayah yang lebih luas serta lebih kompleks daripada sektor swasta atau sektor

Lebih terperinci

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh :

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh : 1 Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh : Sri Windarti H.0305039 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari reformasi. Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.32 Tahun 2004 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB III PROSES PERPINDAHAN KALOR DESTILASI DAN ANALISA

BAB III PROSES PERPINDAHAN KALOR DESTILASI DAN ANALISA BAB III PROSES PERPINDAHAN KALOR DESTILASI DAN ANALISA 3.1 Proses Perpindahan Kalor 3.1.1 Sumber Kalor Untuk melakukan perpindahan kalor dengan metode uap dan air diperlukan sumber destilasi untuk mendidihkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

1.5. Hipotesis 3. Pemberian pupuk hayati berperan terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman nilam. 4. Pemberian zeolit dengan dosis tertentu dapat

1.5. Hipotesis 3. Pemberian pupuk hayati berperan terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman nilam. 4. Pemberian zeolit dengan dosis tertentu dapat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nilam (Pogostemon sp.) merupakan salah satu tanaman yang dapat menghasilkan minyak atsiri (essential oil). Di dalam dunia perdagangan Intemasional minyak nilam sering

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang BAB I PENDAHULIAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi daerah semakin meningkat. Ini dapat dibuktikan dengan jelas dari

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan APBD Pada dasarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Aktivitas atau kegiatan ekonomi suatu wilayah dikatakan mengalami kemajuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Derah dan Undang-Undang Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan papan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar bagi setiap individu manusia pasti

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2011 SEBESAR 7,96 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2011 SEBESAR 7,96 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 47/11/34/Th. XIII, 7 November 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2011 SEBESAR 7,96 PERSEN ekonomi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Lebih terperinci

PENGARUH BELANJA LANGSUNG DAN BELANJA TIDAK LANGSUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI

PENGARUH BELANJA LANGSUNG DAN BELANJA TIDAK LANGSUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI PENGARUH BELANJA LANGSUNG DAN BELANJA TIDAK LANGSUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI I Gede Dwi Purnama Putra I Made Adigorim Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Udayana ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

KONTRIBUSI SUB SEKTOR PERIKANAN TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU

KONTRIBUSI SUB SEKTOR PERIKANAN TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU KONTRIBUSI SUB SEKTOR PERIKANAN TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU THE CONTRIBUTION OF THE FISHERIES SUB-SECTOR REGIONAL GROSS DOMESTIC PRODUCT (GDP)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintahan daerah dapat terselenggara dengan baik karena adanya beberapa faktor sumber daya yang mampu menggerakkan jalannya organisasi pemerintah daerah

Lebih terperinci

Produk Domestik Regional Bruto Gross Regional Domestic Product

Produk Domestik Regional Bruto Gross Regional Domestic Product Produk Domestik Regional Bruto Gross Regional Domestic Product X Produk Domestik Regional Bruto 306 Kabupaten Bandung Barat Dalam Angka 2013 Gross Regional Domestic Product 10.1 PRODUK DOMESTIK REGIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70 tahun yang lalu. Pada tahun 1945 1960, ada dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan hasil output yang dibentuk oleh berbagai sektor ekonomi sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga ketersediaannya harus terjamin dan terpenuhi. Pemenuhan pangan

BAB I PENDAHULUAN. sehingga ketersediaannya harus terjamin dan terpenuhi. Pemenuhan pangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pangan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar sehingga ketersediaannya harus terjamin dan terpenuhi. Pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak asasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan daerah dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan sesuai prioritas dan

Lebih terperinci

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana

Lebih terperinci

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

PRODUKSI PANGAN INDONESIA 65 PRODUKSI PANGAN INDONESIA Perkembangan Produksi Pangan Saat ini di dunia timbul kekawatiran mengenai keberlanjutan produksi pangan sejalan dengan semakin beralihnya lahan pertanian ke non pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN USAHATANI PINANG KECAMATAN SAWANG KABUPATEN ACEH UTARA. Mawardati*

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN USAHATANI PINANG KECAMATAN SAWANG KABUPATEN ACEH UTARA. Mawardati* ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN USAHATANI PINANG KECAMATAN SAWANG KABUPATEN ACEH UTARA Mawardati* ABSTRACT This research was conducted at the betel palm farming in Sawang subdistrict,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan

Lebih terperinci

Pada saat ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunan

Pada saat ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunan jangka panjang ke dua (PJP II) dan tahun terakhir pelaksanaan Repelita VI. Selama kurun waktu Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penelitian Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang melibatkan pembentukan institusi baru, pembangunan industri alternatif, perbaikan

Lebih terperinci

KETERKAITAN PENERIMAAN DAERAH DAN PDRB PROPINSI JAMBI (PENDEKATAN SIMULTAN)

KETERKAITAN PENERIMAAN DAERAH DAN PDRB PROPINSI JAMBI (PENDEKATAN SIMULTAN) Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi) Jurnal Paradigma Ekonomika Vol.1, No.4 Oktober 2011 KETERKAITAN PENERIMAAN DAERAH DAN PDRB PROPINSI JAMBI (PENDEKATAN SIMULTAN) Selamet Rahmadi Dosen Jurusan

Lebih terperinci

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH 7.1 Kebijakan Umum Pengelolaan Pendapatan Daerah Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara bahwa Keuangan Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penghasil minyak atsiri yang cukup penting, dikenal dengan nama Patchauly Oil,

BAB I PENDAHULUAN. penghasil minyak atsiri yang cukup penting, dikenal dengan nama Patchauly Oil, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman nilam (Pogostemon Cablin Benth) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang cukup penting, dikenal dengan nama Patchauly Oil, dihasilkan oleh

Lebih terperinci

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PANGAN MENJADI KELAPA SAWIT DI BENGKULU : KASUS PETANI DI DESA KUNGKAI BARU

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PANGAN MENJADI KELAPA SAWIT DI BENGKULU : KASUS PETANI DI DESA KUNGKAI BARU 189 Prosiding Seminar Nasional Budidaya Pertanian Urgensi dan Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bengkulu 7 Juli 2011 ISBN 978-602-19247-0-9 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PANGAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia. Deposit batubara di Kalimantan Timur mencapai sekitar 19,5 miliar ton

Lebih terperinci

KETIMPANGAN PERTUMBUHAN PENDAPATAN DAERAH PEMEKARAN KABUPATEN PASAMAN DAN KABUPATEN PASAMAN BARAT. Latifa Hanum 1) ABSTRACTS

KETIMPANGAN PERTUMBUHAN PENDAPATAN DAERAH PEMEKARAN KABUPATEN PASAMAN DAN KABUPATEN PASAMAN BARAT. Latifa Hanum 1) ABSTRACTS JURNAL PENELITIAN LUMBUNG, Vol. 15, No. 2, Juli 2016 KETIMPANGAN PERTUMBUHAN PENDAPATAN DAERAH PEMEKARAN KABUPATEN PASAMAN DAN KABUPATEN PASAMAN BARAT Latifa Hanum 1) ABSTRACTS Based on UU No.38/2003,

Lebih terperinci