2. Apa Penyebab. Persoalan?

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2. Apa Penyebab. Persoalan?"

Transkripsi

1 2. Apa Penyebab Persoalan? ada bab sebelumnya, telah dipaparkan secara sederhana mengenai proses terjadinya pencemaran udara. Selain itu, juga ditekankan bahwa perjalanan yang menggunakan kendaraan bermotor merupakan aktivitas yang sangat berpotensi untuk meningkatkan pencemaran udara di suatu wilayah. Seperti kita telah ketahui bahwa mesin pada kendaraan bemotor bekerja melalui pembakaran bahan bakar yang menghasilkan gas buang. Atau yang kita kenal dengan polutan. Namun hal apakah yang sesungguhnya memengaruhi tingkat pencemaran yang berasal dari gas buang kendaraan bermotor di suatu kota? Kota di persimpangan jalan

2 Sejatinya, hasil perkalian antara total panjang perjalanan kendaraan bermotor selama kurun waktu tertentu dan emisi per km lah yang menentukan besar kecilnya beban pencemar dari gas buang kendaraan bermotor. Beban pencemar Kendaraan bermotor Emisi per km = x kendaraan bermotor Panjang perjalanan kendaraan bermotor Jadi dapat disimpulkan bahwa: Semakin besar emisi per km dan panjang perjalanan kendaraan bermotor maka semakin besar beban pencemaran. Begitu juga sebaliknya. Sekarang mari kita lihat kondisi emisi per km kendaraan bermotor di Indonesia. Ternyata saat ini cenderung menurun karena perkembangan teknologi kendaraan di dunia, walau relatif masih lebih tinggi dibanding beberapa negara Asia lainnya. Beban pencemar dari gas buang kendaraan bermotor di Indonesia berpotensi untuk terus meningkat, terutama akibat meningkatnya panjang perjalanan yang dilakukan dengan kendaraan bermotor. Lalu, bagaimana dengan panjang perjalanan? Ternyata dari waktu ke waktu terus menunjukkan kenaikan. Bila hal ini tidak mendapat perhatian serius, maka beban pencemar dari gas buang kendaraan bermotor di Indonesia berpotensi untuk terus meningkat. Ini berarti kualitas udara di berbagai kota besar terancam akan semakin buruk. Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk mengendalikan keduanya? Sebelum merumuskan strategi pengendalian, maka perlu dipahami terlebih dahulu mengenai faktor-faktor yang memengaruhi emisi per km dan panjang perjalanan. Seperti yang dirangkum pada Gambar 2.1. Guna menghasilkan solusi yang tepat, juga perlu ditelaah keterkaitan antar masing-masing faktor yang menimbulkan kompleksitas. 24 Apa penyebab persoalan?

3 Gambar 2.1: Faktor-faktor yang memengaruhi besarnya beban pencemar dari emisi gas buang kendaraan bermotor Di bawah standar yang diperlukan Jumlah penduduk yang melakukan perjalanan di kota meningkat Tapi tipe lama masih banyak digunakan Yang baru semakin rendah emisi Tingkat teknologi kendaran bemotor Perawatan emisi Kualitas bahan bakar Urbanisasi Jarak asal-tujuan Semakin panjang karena Pemusatan daerah perkantoran/bisnis di pusat kota Tempat tinggal meluas hingga pinggiran kota Tidak diperhatikan Macet Agresif Kepadatan lalu lintas Perilaku pengemudi Emisi per km kendaran bermotor masih tinggi Beban pencemar dari kendaraan bermotor di kota berpotensi meningkat Panjang perjalanan kendaraaan bermotor terus menigkat Tingkat aktivitas penduduk Pilihan cara (moda) bertransportasi Semakin beragam terutama dipicu pendapatan yang meningkat Angkutan umum, kendaraan bermotor paling efisien Jalan kaki dan bersepeda, tidak bermotor, bebas emisi Tapi pilihan moda masih cenderung ke arah motor atau mobil Kota di persimpangan jalan 25

4 2.1 Emisi per km kendaraan bermotor masih tinggi Emisi per km kendaraan bermotor ditentukan setidaknya oleh lima faktor yang beberapa diantaranya saling memengaruhi (lihat Gambar 2.1). Kelima faktor tersebut dijabarkan di bawah ini. A. Kualitas bahan bakar Jenis bahan bakar dan senyawa yang terkandung di dalamnya menentukan besar kecilnya gas buang yang diemisikan kendaraan bermotor. Misalnya, kendaraan motor yang menggunakan bahan bakar bensin dan gas akan menghasilkan emisi gas buang yang berbeda untuk tiap km perjalanan yang ditempuh. Kendaraan berbahan bakar gas (BBG) mengemisikan pencemar yang relatif jauh lebih kecil dibanding kendaraan berbahan bakar bensin. Semakin baik kualitas bahan bakar kendaraan bermotor, maka semakin rendah emisi per km-nya. Selain itu, untuk jenis bahan bakar yang sama, tapi berbeda spesifikasi dapat menghasilkan emisi gas buang yang berbeda. Hal ini dapat terjadi karena bahan bakar yang tidak sesuai spesifikasi teknologi kendaraan bermotor dapat mengganggu proses pembakaran maupun kerja teknologi pengendali emisi gas buang, sehingga emisi gas buang meningkat. Misalnya bensin bertimbel akan mengganggu kerja catalytic converter yang dipasang pada kendaraan bermotor untuk menyaring CO, HC, dan NO x. Oleh karena itu produsen otomotif dunia telah mengeluarkan World Wide Fuel Charter (WWFC) yang berisikan spesifikasi bahan bakar yang dibutuhkan untuk mengaplikasikan teknologi kendaraan bermotor yang lebih rendah emisi guna memenuhi ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor yang semakin ketat di dunia. Saat ini jenis kendaraan bermotor yang umum digunakan di Indonesia berbahan bakar bensin dan solar. Untuk dapat memenuhi ambang batas emisi setara EURO 2, sebagaimana yang telah ditetapkan Permen LH No. 4/2009, dibutuhkan bahan bakar minyak (BBM) sesuai spesifikasi pada Gambar 2.2 (lihat angka di dalam kurung). 26 Apa penyebab persoalan?

5 Spesifikasi bensin dan solar yang ditetapkan oleh Departemen ESDM sebagai pengendali dan pengawas pengolahan minyak mentah hingga menjadi BBM di Indonesia melalui Direktorat Jendral Minyak dan Gas Bumi telah sejalan dengan Permen LH No. 4/2009, kecuali untuk parameter kandungan belerang dalam solar (lihat Gambar 2.2). Berbeda dengan Permen LH yang menetapkan kandungan belerang dalam solar maksimal sebesar 500 ppm, sementara Keputusan Direktur Minyak dan Gas Bumi No 3674 K/24/DJM/2006 menetapkan sebesar ppm. Gambar 2.2: Perbandingan antara standar spesifikasi bensin dan solar yang berlaku dengan yang dibutuhkan BENSIN Motor bakar penyalaan cetus api RON 88 (95) Kandungan timbel (Pb) maks (g/l) 0,013 (0,013) Kandungn belerang (sulfur) maks (ppm) 500 (500) SOLAR Motor bakar penyalaan kompresi Cetane number min 48 (51) Kekentalan (i/iscosity) (mm2/s) 2-5 (2-4,5) Kekentalan belerang (sulfur) maks (ppm) (500) Sumber : Kepdir Migas No K/24/DJM/2006 untuk Bensin. Kepdir Migas No K/24/DMJ/2006 untuk Solar.. Permen I H No.4/2009 untuk angka dalam kurung. Bensin dengan kandungan timbel 0,013 g/l atau. lebih rendah termasuk kategori bensin bebas timbel. Sekarang mari kita lihat kualitas bensin dan solar yang didistribusikan di Indonesia. Semenjak tahun 2005, Asdep Emisi Kendaraan Bermotor KNLH telah memantau kualitas bensin dan solar secara rutin tiap tahun. Pada Tabel 2.1 disajikan ringkasan hasilnya untuk kandungan timbel dalam bensin dan kandungan belerang dalam solar. Bensin yang didistribusikan ke seluruh Indonesia akhirnya terpantau telah bebas dari bahan bakar bertimbel sejak tahun Setelah sempat tertunda sekitar lima tahun dari komitmen awal yang seharusnya dicapai pada awal tahun Tapi tidak demikian halnya dengan kandungan belerang dalam solar. Hingga tahun 2008 terpantau sudah memenuhi spesifikasi standar yang ditetapkan ESDM, walau masih di atas dari yang disyaratkan Permen LH No. 4/2009. Jadi walaupun sudah menggunakan kendaraan berteknologi EURO 2, namun karena spesifikasi bahan bakar yang digunakan tidak sesuai, maka emisi yang dikeluarkan pun tetap tinggi. Kota di persimpangan jalan 27

6 Tabel 2.1: Hasil pemantauan kualitas bensin dan solar di Indonesia tahun Tahun Bensin Solar 2005 ( 10 kota) Medan, Palembang, Batam, Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar 2006 (20 kota) Kota 2005, Padang, Pekanbaru, Lombok, Kupang, Banjarmasin, Balikpapan, Manado, Palu, Ambon, Sorong 2007 (30 kota) Kota 2005, kota 2006, Banda Aceh, Jambi, Pangkal Pinang, Bengkulu, Bandar Lampung, Pontianak, palangkaraya, Kendari, Gorontalo, Jayapura 2008 (16 kota) Medan, Palembang, 5 Kodya di Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar Bensin bebas timbel baru di daerah Batam, Jabodetabek, Semarang, Surabaya, Denpasar Rata-rata : g/l Rentang TT - 0,038 g/l Rata-rata : 0,0068 g/l Semua < 0,013 g/l, kecuali Palembang 0,021 g/l Bensin Semua < 0,013 g/l Sumber: KNLH (2006b), KNLH (2007a), KNLH (2008b), dan KNLH (2009) Palembang, Batam, Jakarta : < ppm lainnya > ppm Rata-rata : ppm Rentang : ppm Rata-rata 2,125 ppm Rentang : 400 s.d ppm Solar Rata-rata ppm Rentang: ppm Pemakaian bahan bakar selain bensin dan solar belum meluas di Indonesia. Dalam skala yang masih terbatas, BBG telah digunakan di Jakarta untuk bajaj, taksi dan bus Trans Jakarta. Namun sejauh ini masih menghadapi kendala teknis dan non teknis yang menyebabkan BBG belum dapat diterapkan untuk skala yang lebih besar. Selain itu pemakaian biofuel sebagai campuran BBM seperti etanol dengan bensin atau biodiesel dengan solar sudah mulai muncul. Tapi masih dalam skala yang sangat kecil. Pencampuran biodiesel dengan solar diperkirakan dapat mengurangi kandungan belerang dalam solar. B. Tingkat teknologi kendaraan bermotor Semakin tinggi tingkat teknologi kendaraan bermotor, maka semakin rendah emisi per km yang dihasilkan. Teknologi kendaraan yang semakin bersih hanya dimungkinkan dengan dukungan bahan bakar yang bersih pula. 28 Apa penyebab persoalan?

7 Secara umum teknologi kendaraan bermotor di dunia berkembang ke arah yang lebih bersih secara signifikan. Ambang batas emisi yang berlaku di banyak negara pun semakin ketat mengikuti perkembangan teknologi terbaik yang ada di dunia (best available technology). Penetapan ambang batas yang lebih ketat dimaksudkan untuk untuk mempercepat proses alih teknologi ke kendaraan bermotor yang lebih ramah lingkungan. Perkembangan ambang batas emisi gas buang yang berlaku di negara-negara Uni Eropa termasuk yang paling progresif di dunia. Ambang batas generasi ke-2 yang berlaku di negara-negara Uni Eropa, atau sering disebut EURO 2, berlaku efektif pada tahun Batas tersebut kemudian beralih ke EURO 3 pada tahun 2001 dan pada tahun 2005 EURO 4 mulai diterapkan. Pengetatan ambang batas ini terbukti sangat efektif mendorong perkembangan teknologi kendaraan bermotor rendah emisi seperti contoh pada Gambar 2.3. Gambar 2.3. Perkembangan penurunan ambang batas emisi gas buang yang berlaku di negara Uni Eropa % Penurunan ambang batas EURO 1 EURO 2 EURO 3 EURO 4 Kota di persimpangan jalan 29

8 Pemerintah Indonesia juga turut mengikuti perkembangan teknologi kendaraan bermotor di dunia dengan memperketat ambang batas emisi gas buang bagi kendaraan bermotor tipe baru dan yang sedang diproduksi melalui Kepmen LH 141/2003, yang kemudian diperbaharui dengan Permen LH No. 4/2009. Ambang batas tersebut merupakan acuan dalam melakukan uji tipe (type approval) sebelum kendaraan bermotor masuk ke pasaran. Seluruh nilai ambang batas dalam Permen LH No. 4/2009 ditetapkan dengan mempertimbangkan ketersediaan bahan bakar dan kesiapan industri otomotif dalam negeri atau dalam kata lain sesuai dengan teknologi terbaik yang mungkin diterapkan di Indonesia (best practicable technology). Untuk kendaraan bermotor roda empat atau lebih, saat ini nilainya setara dengan standar EURO 2. C. Perawatan dan pengujian emisi kendaraan bermotor Semakin baik perawatan sebuah kendaraan bermotor, makin sempurna pembakarannya dan lebih hemat bahan bakar, sehingga semakin mendekati kondisi baru emisi per km nya. Kondisi mesin kendaraan bermotor sangat menentukan emisi gas buang yang dihasilkannya. Tentunya semua tahu, bahwa emisi kendaraan bermotor yang baru keluar dari pabrik lebih rendah dibanding kendaraan dengan merek dan tipe yang sama tapi telah lama dipakai. Merawat kendaraan bermotor agar selalu berada dalam kondisi yang mendekati spesifikasi pabrik merupakan salah satu upaya untuk menekan emisi gas buang kendaraan bermotor. Bila kendaraan bermotor senantiasa dirawat secara wajar dan bagian-bagian yang sudah tidak berfungsi diganti tepat pada waktunya, maka setidaknya dapat menghemat pemakaian bahan bakar sekitar 10% (BSTP, 2005). Semakin efisien pemakaian bahan bakar, maka akan semakin mendekati kondisi baru emisi gas buangnya. Untuk mendorong seluruh pemilik kendaraan bermotor agar melakukan perawatan berkala, maka semua kendaraan bermotor diwajibkan lulus uji berkala, termasuk di 30 Apa penyebab persoalan?

9 dalamnya adalah uji emisi gas buang. Ketentuan ini tercantum dalam UU No. 14/1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang kemudian digantikan dengan UU No. 22/2009. Ambang batas yang menjadi acuan dalam uji emisi gas buang berkala adalah Permen LH No. 5/2006 tentang ambang batas gas buang kendaraan bermotor lama. Di dalamnya diatur ambang batas emisi gas buang untuk parameter CO dan HC bagi kendaraan bermotor berbahan bakar bensin dan parameter asap (opasitas) untuk kendaraan berbahan bakar solar sebagaimana disajikan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2: Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama berdasarkan Permen LH No. 5/2006 Kategori Parameter Tahun Pembuatan Opasitas CO (%) HC (ppm) (%HSU) Kategori L Sepede motor 2 langkah < , Sepeda motor 4 langkah < , Sepeda motor (2 & 4 langkah) > , Kategori M, N, O Pergerakan motor bakar < , cetus api (bensin) > ,5 200 Berpenggerak motor bakar penyalaan kompresi (diesel) GVW < 3,5 ton < > GVW > 3,5 ton < > Metode Uji Idle Idle Percepatan bebas Sumber : Permen LH No. 5/2006 Penerapan kewajiban uji emisi gas buang berkala yang diamanatkan dalam UU No. 22/2009 diatur lebih lanjut dalam peraturan turunannya. Tapi sejauh ini yang diatur baru pelaksanaan bagi kendaraan angkutan penumpang umum dan angkutan barang di dalam PP No. 44/1993 pasal 148. Itu pun di lapangan masih sering ditemui kendaraan angkutan penumpang umum dan angkutan barang yang mengeluarkan asap tebal. Sebagai instrumen kebijakan yang bersifat atur dan awasi (command and control), kebijakan ini mutlak memerlukan dukungan pengawasan dan penegakan hukum. Sepeda motor dan mobil pribadi yang proporsinya mencapai 90 persen total kendaraan bermotor di Indonesia praktis belum tersentuh oleh kewajiban uji emisi gas buang berkala, kecuali di Jakarta yang sudah diatur dengan Perda DKI Jakarta No. 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Oleh karena itu, Asdep Emisi KNLH Kota di persimpangan jalan 31

10 menggelar kegiatan uji petik emisi gas buang mobil pribadi di jalan (spot check) di 10 kota metropolitan dan 2 kota besar di Indonesia pada tahun 2007 untuk mengetahui tingkat perawatan yang dilakukan pemilik. Hasilnya seperti yang ditampilkan pada Gambar 2.4 memperlihatkan tingkat kesadaran pemilik yang masih rendah untuk merawat kendaraan bermotornya. Secara rata-rata, satu dari tiga mobil berbahan bakar bensin yang diuji tidak lulus. Sedangkan untuk solar lebih tinggi lagi, yakni tiga dari empat mobil yang diuji tidak lulus. Gambar 2.4 Tingkat kelulusan uji emisi gas buang mobil pribadi di jalan tahun 2007 Tingkat kelulusan 0% 50% 100% Medan Bensin Solar Palembang Jakarta Utara Jakarta Timur Jakarta Selatan Jakarta Barat Jakarta Pusat Bekasi Depok Tangerang Bandung Yogyakarta Semarang Surabaya Denpasar Makassar Rata-rata Sumber: KNLH (2008a) D. Kecepatan kendaraan bermotor Kepadatan lalu lintas bisa saja secara sepintas dilihat dari kecepatan kendaraan bermotor yang melintas di ruas jalan tersebut. Semakin lambat lajunya berarti semakin padat lalu lintasnya. 32 Apa penyebab persoalan?

11 Namun untuk membandingkan secara pasti tingkat kepadatan suatu jalan, dapat ditentukan dengan menghitung perbandingan volume lalu lintas yang melalui suatu ruas jalan terhadap kapasitas disain ruas jalan tersebut (volume/capacity ratio atau VCR). Pengamatan umumnya dilakukan di beberapa ruas jalan selama rentang waktu tertentu. Nilai kepadatan lalu lintas kota ditentukan dari nilai VCR yang tertinggi. Semakin tinggi VCR berarti semakin padat lalu lintas dan semakin rendah kecepatan kendaraan bermotor. Tabel 2.3 merangkum hasil evaluasi kecepatan kendaraan bermotor, kepadatan lalu lintas, dan tingkat pelayanan jalan pada tiga ruas jalan di 10 kota metropolitan dan 2 kota besar (KNLH, 2008a). Terlihat bahwa pelayanan jalan secara umum mendekati arus tidak stabil. Bila kondisi lalu lintas semakin padat maka kecepatan kendaraan bermotor akan semakin lambat dan konsumsi bahan bakar juga meningkat. Akibatnya emisi per km semakin tinggi. Namun kebijakan untuk melakukan pelebaran jalan guna mengatasi hal ini bukanlah solusi yang tepat. Tabel 2.3: Kinerja lalu lintas di 12 kota tahun 2007 Kota Kecepatan (km/jam VCR Tingkat Pelayanan Jalan Medan E Jakarta Utara D Jakarta Timur E Jakarta Selatan D Jakarta Barat D Jakarta Pusat C Bandung E Yogyakarta D Semarang E Surabaya D Denpasar D Keterangan: A : Arus lancar, volume rendah, kecepatan tinggi B : Arus stabil, volume sesuai untuk jalan luar kota, kecepatan terbatas C : Arus stabil, volume sesuai untuk jalan kota, kecepatan dipengaruhi oleh lalu lintas D : Mendekati arus tidak stabil. kecepatan rendah E : Mendekati arus tidak stabil, volume pada/mendekati kapasitas, kecepatan rendah F : Arus terhambat, kecepatan rendah, volume di atas kapasitas, banyak berhenti Sumber: KNLH (2008a) Kota di persimpangan jalan 33

12 E. Perilaku mengemudi Perilaku mengemudi kendaraan bermotor secara langsung memengaruhi konsumsi bahan bakar. Mengemudi dengan halus dapat menghemat bahan bakar, sehingga dapat menekan emisi gas buang yang dihasilkan. Mesin kendaraan pada umumnya akan bekerja secara efisien pada putaran RPM. Mengemudi dengan halus berarti menjaga agar perpindahan gigi transmisi berkisar pada putaran tersebut (BSTP, 2005). Namun pada kenyataannya seringkali dijumpai di jalan pengemudi kendaraan bermotor yang berperilaku agresif. Hal lain yang juga berpengaruh pada konsumsi bahan bakar adalah pemakaian pengatur suhu udara (AC), tekanan udara pada ban, dan variasi kendaraan bermotor, seperti ban yang lebar, tanduk depan, foot-step, roof-rack, dan kaca spion yang dapat menimbulkan/memperbesar hambatan angin yang menerpa kendaraan saat beroperasi di jalan. Perilaku mengemudi yang agresif menyebabkan boros bahan bakar, sehingga otomatis emisi per km pun meningkat. Kecepatan kendaraan bermotor idealnya dijaga agar stabil untuk menghemat bahan bakar dan mengurangi emisi gas buangnya. Gambar 2.5: Perilaku mengemudi yang agresif 34 Apa penyebab persoalan?

13 2.2. Panjang perjalanan kendaraan bermotor terus meningkat. Yang dimaksud dengan panjang perjalanan kendaraan bermotor, yaitu akumulasi panjang perjalanan yang dilakukan oleh seluruh warga dengan menggunakan kendaraan bermotor, dalam kurun waktu tertentu di suatu kota. Panjang perjalanan tersebut setidaknya dipengaruhi empat faktor utama yaitu urbanisasi, jarak asal-tujuan, tingkat aktivitas penduduk, dan pilihan moda transportasi (lihat Gambar 2.1). Namun pilihan moda tansportasi dipengaruhi oleh banyak faktor yang begitu erat kaitannya antara satu sama lain sebagaimana disajikan dalam Gambar 2.6. Hal inilah yang seringkali menyebabkan pengambil keputusan kesulitan menentukan sebab dan akibat sewaktu akan mengendalikan panjang perjalanan kendaraan bermotor. Maka dari itu, untuk memahami keterkaitannya secara mendasar, mari kita telaah satu per satu faktor yang mempengaruhi panjang perjalanan kendaraan motor tersebut. A. Urbanisasi Pada tahun 2005 sekitar 3,5% penduduk dunia adalah penduduk Indonesia dan ini menempatkan Indonesia sebagai negara keempat berpenduduk terbesar di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat (Bappenas, 2007). Pada tahun itu jumlah penduduk Indonesia tercatat sebanyak 218,9 juta jiwa dan hampir setengahnya (48 persen) tinggal di kawasan perkotaan. Pada tingkat yang paling dasar urbanisasi sangat memengaruhi panjang perjalanan. Semakin besar jumlah penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan, tentu akan semakin besar pula potensi total jumlah perjalanan yang bakal terjadi. Pada tahun 2025 jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan akan mencapai sebanyak 273,2 juta jiwa dan dua pertiganya akan tinggal di kawasan perkotaan (Bappenas dkk, 2005). Pertambahan penduduk di kawasan perkotaan ini berpotensi memicu perilaku yang sama dalam bidang yang lain, dalam hal ini total kebutuhan pergerakan penduduk. Bila kebutuhan ini dipenuhi oleh kendaraan bermotor, maka beban pencemar yang dihasilkan tentu akan meningkat. Kota di persimpangan jalan 35

14 Gambar 2.6: Faktor-faktor yang memengaruhi pilihan moda transportasi Tidak menjadi prioritas Fasilitas pejalan kaki dan kendaraan tidak bermotor Tidak aman dan nyaman untuk berjalan kaki dan bersepeda Harga rendah, pilihan cenderung ke mobil pribadi Harga tinggi, tarif angkutan umum naik, pilihan cenderung beralih ke sepeda motor Harga BBM Kemacetan meluas Kepadatan lalu lintas Faktor yang memengaruhi pilihan cara (moda) transportasi Cenderung beralih ke sepeda motor Jarak yang harus ditempuh Kepemilikan kendaraan bermotor Daya tarik angkutan umum Semakin panjang Makin tergantung pada kendaraan bermotor Semakin tinggi Pemilik cenderung mengunakan kendaraannya Kualitas pelayanan rendah Masih kurang menarik bagi pemilik kendaraan bermotor 36 Apa penyebab persoalan?

15 Distribusi penduduk perkotaan di Indonesia cenderung terpusat di kota metropolitan dan kota besar di Pulau Jawa. Delapan dari sepuluh kota yang memiliki penduduk di atas satu juta jiwa berada di Pulau Jawa seperti ditampilkan pada Gambar 2.7. Total jumlah penduduk di sepuluh kota terbesar ini sama banyaknya dengan seperempat penduduk kawasan perkotaan Indonesia. Sisanya terdistribusi di kawasan perkotaan lainnya sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2.4. Gambar 2.7: Jumlah penduduk 10 kota terbesar di Indonesia tahun 2004 Medan (2) Palembang (1.3) Tangerang (1.5) Bekasi (1.9) Makassar (1.2) Surabaya (2.6) Jakarta (8.8) Depok (1.3) Bandung (2.3) Semarang (1.4) Penduduk (juta jiwa) Sumber: BPS dalam Brinkhoff (2008) Tabel 2.4: Sebaran penduduk kota di Indonesia Klasifikasi Kota Jumlah Penduduk Contoh Kota Metropolitan Di atas Jabodetabek, Gerbangkertasusila, Bandung, Semarang, Makassar, dan Palembang Kota Besar Bandar Lampung, Yogyakarta, Solo. Malang, Padang, Samarinda, Pekanbaru, Banjarmasin, Surakarta, dan Denpasar Kota Sedang Ada 38 kota, 37% dari jumlah tersebut terdapat di Jawa. Kota Kecil Di bawah Bukittinggi, Sibolga, Sawah Lunto, Sorong, Padang Panjang, Sabang, dsb. Sumber : NUDS (1985, 2003) dalam Setyaka (2006) Kota di persimpangan jalan 37

16 Meningkatnya prosentase penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan (urbanisasi) di Indonesia disebabkan oleh tiga hal berikut dengan kekuatan pengaruh yang berubah dari waktu ke waktu: pertambahan penduduk alamiah (kelahiran dikurangi kematian); migrasi desa-kota; dan reklasifikasi atau perubahan status dari kawasan perdesaan menjadi kawasan perkotaan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam Sensus oleh Badan Pusat Statistik. Pada awalnya kawasan perkotaan terbentuk secara alamiah sebagai tempat pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Ledakan penduduk di Indonesia pada masa awal kemerdekaan menjadi penyebab utama meningkatnya penduduk di kawasan perkotaan. Titik berat struktur perekonomian Indonesia yang beralih ke sektor industri, kemudian semakin mempercepat laju peningkatan urbanisasi. Berkembangnya sektor industri yang diikuti pula sektor jasa di suatu daerah menawarkan peluang bagi peningkatan nilai tambah perekonomian dan penyerapan tenaga kerja. Kedua hal ini menjadi daya tarik bagi pendatang, maka terbentuklah banyak pusat-pusat konsentrasi penduduk baru. Kawasan perkotaan pun meluas seiring dengan terjadinya reklasifikasi kawasan perdesaan menjadi kawasan perkotaan. Selanjutnya keterkaitan timbal balik antara konsentrasi penduduk dan kegiatan ekonomi bekerja saling menguatkan menjadi mesin pertumbuhan. Para pelaku ekonomi terutama sektor industri dan jasa cenderung melakukan investasi di kawasan yang telah memiliki konsentrasi penduduk yang tinggi serta memiliki sarana dan prasarana yang lengkap. Sementara itu, penduduk akan cenderung terus datang ke pusat kegiatan ekonomi tersebut. Urbanisasi sebenarnya konsekuensi logis dari suatu upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu upaya yang bisa dilakukan adalah mengendalikan dampak dari urbanisasi tersebut, dalam hal ini mengendalikan potensi meningkatnya beban pencemar dari emisi sektor transportasi jalan di kawasan perkotaan. 38 Apa penyebab persoalan?

17 Dapat dilihat bahwa meningkatnya urbanisasi sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari suatu upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kontribusi sektorsektor menjadi ciri khas perkotaan terhadap pembentukan PDB nasional sekitar 70 persen (BPS, 2006), sehingga tak heran kawasan perkotaan sering dikatakan sebagai penghela pertumbuhan ekonomi nasional. Tingkat urbanisasi di negara-negara maju dengan struktur perekonomian yang mengandalkan sektor industri dan jasa mencapai lebih dari 75 persen (Tjiptoherijanto, 2000). Oleh karena itu upaya yang bisa dilakukan adalah mengendalikan dampak dari urbanisasi tersebut, dalam hal ini mengendalikan potensi meningkatnya beban pencemar dari emisi sektor transportasi jalan di kawasan perkotaan. B. Jarak asal-tujuan Seiring dengan meningkatnya urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi di kawasan perkotaan, kebutuhan akan lahan permukiman dan komersial pun mengalami peningkatan. Secara alamiah (market force) kemudian yang terjadi adalah perkembangan pusat perkantoran dan komersial terus dilakukan di kawasan pusat kota. Sementara kawasan permukiman terus mengalami pergeseran ke daerah pinggiran kota dan berkembang di daerah penyangga (urban fringe). Meluasnya pemanfaatan ruang (urban sprawl) ini menyebabkan terjadinya penyatuan kawasan terbangun antara kota utama dan kota satelit. Semakin jauh jarak yang harus ditempuh, maka makin besar kecenderungan seseorang untuk menggunakan kendaraan bermotor. Oleh karena itu, tak heran bila kemudian pengguna kendaraan bermotor pun meningkat sejalan dengan meluasnya ukuran suatu kawasan perkotaan (urban sprawl). Padahal semakin panjang jarak yang ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor, maka semakin besar emisi yang dilepaskan. Fenomena yang dikenal sebagai sub-urbanisasi ini dapat diidentifikasi ketika laju pertumbuhan penduduk pada zona inti perkotaan mengalami penurunan dan pertumbuhan di sekitar zona inti daerah pinggiran kota (suburban) meningkat. Kota di persimpangan jalan 39

18 Sub-urbanisasi ditemui di beberapa kota Asia termasuk wilayah Jabodetabek sebagaimana ditampilkan pada Gambar 2.8. Gambar 2.8: Perbandingan suburbanisasi antara Jabodetabek dengan kota-kota lain Jumlah Penduduk (Juta) Jumlah Penduduk (Juta) Seoul MA Total Metro Manila Bangkok MR Total Inti Suburban Inti Suburban Jumlah Penduduk (Juta) Jumlah Penduduk (Juta) Jabodetabek Total Suburban Total Inti Suburban Inti Sumber: Kompilasi dari Morichi dan Acharya (2006) Mari perhatikan lebih seksama tren perkembangan jumlah penduduk di wilayah Jabodetabek selama 30 tahun terakhir yang ditampilkan lebih rinci pada Gambar 2.9. Fenomena sub-urbanisasi sudah mulai teramati pada dekade Terlihat nyata dari jumlah penduduk Jakarta Pusat yang cenderungan menurun, sementara jumlah penduduk wilayah Jakarta lainnya justru meningkat secara signifikan pada periode tersebut. Kemudian pada dekade terlihat pergerakan penduduk cenderung semakin keluar kota. Pada periode tersebut giliran pertumbuhan penduduk Jakarta yang teramati hampir tidak ada, tapi pertumbuhan penduduk luar Jakarta begitu pesatnya. 40 Apa penyebab persoalan?

19 Gambar 2.9: Perkembangan jumlah penduduk di DKI Jakarta dan Jabodetabek tahun Jumlah penduduk (juta) Jakarta Pusat Jakarta Lainnya DKI Jakarta Bodetabek Jabodetabek Sumber: Rahmah dkk (2004) Sub-urbanisasi yang tidak diikuti oleh desentralisasi pusat kegiatan/ pekerjaan secara proporsional perlu diwaspadai, karena menjadikan penduduk harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk mencari nafkah. Di wilayah Jakarta tercatat peningkatan jarak rumah ke kantor per perjalanan dari rata-rata hanya sekitar 6,7 km pada tahun 1985, menjadi 9,6 km pada tahun 2002 (Bappenas dan JICA, 2004). Selain itu antara tahun 1985 dan 1993, jumlah mereka yang pulang-pergi antara DKI Jakarta dan daerah penyangga (commuters) meningkat empat kali lipat, dari 68 ribu menjadi 280 ribu (Rahmah dkk, 2004). Meluasnya daerah-daerah di pinggiran kota menyebabkan penduduk harus menempuh perjalanan yang lebih jauh untuk mencari nafkah ke tengah kota. Hal ini perlu dibarengi dengan peningkatan layanan transportasi massal seperti bus atau kereta, guna mengantisipasi terjadinya memburuknya kualitas udara di perkotaan akibat peningkatan penggunaan kendaraan bermotor. Kota di persimpangan jalan 41

20 Selain itu sub-urbanisasi juga menyebabkan penurunan kepadatan penduduk, karena ekspansi kawasan perkotaan terjadi lebih cepat daripada pertambahan jumlah penduduk. SITRAMP 2 (Bappenas dan JICA, 2004) menunjukkan bahwa dalam periode penduduk Jabodetabek meningkat sebesar 1,27 kali lipat, tapi luas daerah perkotaan terbangun meningkat sebesar 1,41 kali lipat. Ini menunjukkan bahwa dalam suatu luasan kawasan yang sama, jumlah penduduk yang menempati lebih sedikit atau disebut juga penurunan kepadatan penduduk. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya beban pelayanan kepada infrastruktur perkotaan, termasuk penyediaan transportasi umum, karena jarak antar individu/ lokasi menjadi semakin jauh. C. Tingkat aktivitas penduduk Perjalananan yang dilakukan penduduk dapat muncul karena alasan yang beragam, seperti pergi ke atau pulang dari tempat kerja, sekolah, pasar. Kebutuhan pergerakan tersebut dapat semakin meningkat dan beragam seiring dengan meningkatnya pendapatan penduduk. Kebutuhan pergerakan penduduk cenderung semakin meningkat dan beragam seiring dengan meningkatnya pendapatan penduduk. Penduduk dengan tingkat pendapatan yang sudah mencukupi kebutuhan primer, tidak hanya melakukan perjalanan untuk bekerja, sekolah dan ke pasar untuk, tapi juga melakukan perjalanan untuk memenuhi kebutuhan sekunder. Misalnya kursus tambahan, belanja ke tempat yang lebih jauh, makan di restoran, menonton bioskop, hingga rekreasi ke taman hiburan. D. Pilihan moda transportasi Bila penduduk memilih menggunakan kendaraan tidak bermotor, maka dipastikan tidak ada emisi yang dilepaskan. Namun mengingat bahwa penduduk harus melakukan perjalanan untuk menunjang aktivitasnya, maka kebutuhan untuk menggunakan kendaraan bermotor pun menjadi sebuah keharusan. Untuk itu, hal ini perlu disiasati agar penduduk tetap dapat melakukan perjalanan, namun emisi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor tetap minimal. 42 Apa penyebab persoalan?

21 Adapun hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan kendaraan bermotor, bahwa besarnya emisi per km tiap individu dipengaruhi oleh emisi per km kendaraan bermotor yang dipilih dan kapasitas angkutnya. Jadi, semakin besar kapasitas angkut kendaraan yang digunakan, maka semakin kecil emisi yang dikeluarkan tiap individu. Sebagai ilustrasi pada Gambar 2.10 ditampilkan perbandingan emisi CO 2 untuk aneka moda transportasi. Coba bandingkan emisi yang dikeluarkan mobil pribadi dengan bus besar. Emisi per km kendaraan bus memang jauh lebih besar daripada mobil pribadi. Namun kapasitas angkut bus jauh lebih besar dibandingkan mobil pribadi. Sehingga Gambar 2.10: Perbandingan emisi CO ² antar moda transportasi 0 Pejalan kaki/sepeda Bis (isi 50 orang) Metromini (isi 25 orang) Mikrolet (isi 8 orang) Mobil pribadi (isi 3 orang) 85 Sepeda motor (isi 1 orang) 243 Mobil pribadi (isi 1 orang) gram CO 2 per km per penumpang Sumber: Hasil perhitungan berdasarkan KNLH (2008c) Kota di persimpangan jalan 43

22 Gambar 2.11: Perbandingan kebutuhan ruang antar moda transportasi Mobil Sepeda Motor Bus Untuk mengangkut 72 orang dibutuhkan 40 mobil, karena rata-rata penumpang mobil pribadi di Jakarta adalah 1,75. Untuk mengangkut 72 orang dibutuhkan 60 sepeda motor, karena rata-rata 1 dari 5 sepeda motor dikendarai dua orang. Untuk mengangkut 72 orang hanya dibutuhkan 1 bus. Total lahan yang dibutuhkan seluas 500 m 2. Total lahan yang dibutuhkan seluas 90 m 2. hanya dibutuhkan ruang seluas 45 m 2 dan tidak perlu tempat parkir permanen. Sumber: Hasil perhitungan berdasarkan Bappenas dan JICA (2004) dan BSLAK (1998) bila diperhitungkan, emisi per km untuk tiap penumpang bus jauh lebih kecil dibanding mobil bahkan sepeda motor. Selain itu penggunaan kendaraan bermotor pribadi, baik mobil maupun motor membutuhkan dukungan ruang yang relatif lebih besar dibandingkan angkutan umum massal (lihat Gambar 2.11). Kebutuhan ruang tersebut dialokasikan untuk infrastruktur jalan, sarana parkir maupun stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). 44 Apa penyebab persoalan?

23 Dalam kaitannya dengan pembuatan strategi pengendalian emisi dari sektor transportasi, maka perlu dicermati berbagai faktor yang memengaruhi keputusan untuk memilih salah satu moda transportasi, dimana tiap faktor saling terkait (lihat Gambar 2.6): Jarak yang ditempuh. Semakin jauh jarak yang harus ditempuh, maka makin besar kecenderungan untuk menggunakan kendaraan bermotor. Dalam hal ini, perencanaan kota yang baik akan sangat memengaruhi jauh dekatnya jarak yang ditempuh oleh warga di suatu kota, yang berarti dapat mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Fasilitas pejalan kaki dan kendaraan tak bermotor (sepeda atau becak). Fasilitas ini sangatlah penting untuk mendukung aktivitas penduduk dalam melakukan perjalanan jarak dekat. Misal untuk melakukan perjalanan ke pasar, sekolah, rumah ibadah, atau bahkan ke tempat kerja. Selain itu, fasilitas ini juga merupakan sarana pendukung bagi penggunaan angkutan umum. Jenis transportasi ini merupakan pilihan yang paling ramah lingkungan, karena tanpa emisi; serta paling hemat ruang, karena tidak butuh ruang jalan dan ruang parkir yang besar (untuk sepeda). Dari sisi ekonomi, jenis transportasi ini merupakan yang paling murah karena tanpa biaya. Diantara sekian banyak kelebihannya, padakenyataannya, fasilitas ini merupakan hal yang seringkali diabaikan oleh pemerintah daerah. Daya tarik angkutan umum. Moda transportasi jenis ini sangat efektif dalam mengatasi kemacetan dan juga pencemaran udara di suatu kota. Namun daya tarik untuk menggunakan angkutan umum sangat ditentukan oleh kualitas pelayanannya. Hampir di seluruh perkotaan Indonesia, kualitas pelayanan angkutan umum berada jauh di bawah kendaraan bermotor pribadi. Sehingga daya tariknya tidak cukup kuat untuk mengalihkan pengguna kendaraan bermotor pribadi ke angkutan umum. Alhasil pengadaan jumlah armada angkutan umum kapasitas kecil (angkutan kota dalam jumlah cukup banyak, menjadi tidak optimal dalam mengangkut penumpang. Selain itu, seringkali angkutan umum justru dituding sebagai penyebab kemacetan karena awaknya yang tidak disiplin dan jumlah armada ukuran kecil yang terus bertambah. Kepemilikan kendaraan bermotor pribadi. Jarak perjalanan yang harus ditempuh setiap harinya serta rendahnya kualitas pelayanan angkutan umum memengaruhi keputusan penduduk untuk memiliki kendaraan pribadi. Rumah tangga yang memiliki kendaraan bermotor pribadi di Indonesia cenderung menggunakannya Kota di persimpangan jalan 45

24 untuk memenuhi kebutuhan pergerakannya. Hal ini terkait dengan rendahnya kualitas pelayanan angkutan umum. Selain itu Studi SITRAMP 2 (Bappenas dan JICA, 2004) menunjukkan bahwa rumah tangga di Jabodetabek yang memiliki mobil pribadi melakukan perjalanan 1,7 kali lebih jauh daripada yang tidak memiliki kendaraan. Peningkatan pemilikan mobil pribadi merupakan cerminan hasil interaksi antara meningkatnya daya beli, taraf hidup dan kebutuhan mobilitas penduduk di daerah perkotaan. Harga BBM. Bila terjadi kenaikan harga, umumnya akan terjadi upaya penghematan oleh rumah tangga yang cukup elastis terhadap harga. Salah satu caranya adalah dengan beralih ke moda transportasi yang biayanya lebih murah Namun mengingat bahwa hal ini juga berdampak pada naiknya tarif angkutan umum, akhirnya masyarakat memilih untuk beralih ke sepeda motor yang konsumsi bensinnya lebih irit. Selain itu, untuk kota-kota besar seperti Jakarta, kenaikan harga BBM ternyata tidak menyurutkan keinginan masyarakat untuk membeli kendaraan bermotor pribadi. Kepadatan lalu lintas. Bila lalu lintas semakin padat, serta harga BBM meningkat, maka kecenderungan yang terjadi adalah peralihan ke moda dengan ukuran kendaraan yang lebih kecil, dengan bensin yang lebih irit, seperti, sepeda motor Hal ini terlihat jelas di berbagai kota besar di Indonesia. Padahal meningkatnya penggunaan sepeda motor di sebuah kota, merupakan sebuah indikator akan rendahnya kualitas pelayanan angkutan umum di kota tersebut. 46 Apa penyebab persoalan?

BAB I PENDAHULUAN. dan sektor transportasi berjalan sangat cepat. Perkembangan di bidang industri

BAB I PENDAHULUAN. dan sektor transportasi berjalan sangat cepat. Perkembangan di bidang industri 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan di Indonesia khususnya pembangunan di bidang industri dan sektor transportasi berjalan sangat cepat. Perkembangan di bidang industri dan transportasi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : /MENLH/ /TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : /MENLH/ /TAHUN 2007 TENTANG DRAFT PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : /MENLH/ /TAHUN 2 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 141 TAHUN 2003 TENTANG AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam wilayah suatu negara akan ada kota yang sangat besar, ada kota

BAB I PENDAHULUAN. Dalam wilayah suatu negara akan ada kota yang sangat besar, ada kota BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam wilayah suatu negara akan ada kota yang sangat besar, ada kota yang cukup besar, ada kota sedang dan ada kota kecil. Kota Medan merupakan salah satu kota di Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 05 TAHUN 2006 TENTANG AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR LAMA

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 05 TAHUN 2006 TENTANG AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR LAMA S A L I N A N PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 05 TAHUN 2006 TENTANG AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR LAMA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa pencemaran

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 04 TAHUN 2009 TENTANG AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 04 TAHUN 2009 TENTANG AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 04 TAHUN 2009 TENTANG AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

Menakar Kinerja Kota Kota DiIndonesia

Menakar Kinerja Kota Kota DiIndonesia Menakar Kinerja Kota Kota DiIndonesia Oleh Doni J Widiantono dan Ishma Soepriadi Kota-kota kita di Indonesia saat ini berkembang cukup pesat, selama kurun waktu 10 tahun terakhir muncul kurang lebih 31

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini dalam mendukung perkembangan kemajuan kota-kota besar di dunia, namun

BAB I PENDAHULUAN. ini dalam mendukung perkembangan kemajuan kota-kota besar di dunia, namun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Transportasi merupakan bagian yang sangat bernilai dan diperlukan saat ini dalam mendukung perkembangan kemajuan kota-kota besar di dunia, namun pada sisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Gas alam merupakan salah satu sumber daya energi dunia yang sangat penting untuk saat ini. Sebagian besar gas alam yang dijual di pasaran berupa sales gas (gas pipa)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Angkutan umum memiliki peranan penting dalam pembangunan perekonomian, untuk menuju keberlajutan angkutan umum memerlukan penanganan serius. Angkutan merupakan elemen

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xviii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari lima Kota Besar di Indonesia adalah Kota Medan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari lima Kota Besar di Indonesia adalah Kota Medan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu dari lima Kota Besar di Indonesia adalah Kota Medan dengan luas wilayah 265 km 2 dan jumlah penduduk 2.602.612 pada tahun 2013. Pertumbuhan Kota Medan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kota Bandar Lampung merupakan sebuah pusat kota, sekaligus ibu kota Provinsi

I. PENDAHULUAN. Kota Bandar Lampung merupakan sebuah pusat kota, sekaligus ibu kota Provinsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Bandar Lampung merupakan sebuah pusat kota, sekaligus ibu kota Provinsi Lampung, Indonesia. Berdasarkan Profil Penataan Ruang Kabupaten dan Kota Provinsi Lampung Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang sarana transportasi.sektor transportasi merupakan salah satu sektor

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang sarana transportasi.sektor transportasi merupakan salah satu sektor 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya laju pertumbuhan perekonomian masyarakat Indonesia menyebabkan kebutuhan masyarakat juga semakin tinggi. Salah satunya adalah dalam bidang sarana transportasi.sektor

Lebih terperinci

Studi Rencana Induk Transportasi Terpadu Jabodetabek (Tahap II) Laporan Akhir: Ringkasan Laporan

Studi Rencana Induk Transportasi Terpadu Jabodetabek (Tahap II) Laporan Akhir: Ringkasan Laporan 3. Perspektif Wilayah dan Permintaan Perjalanan Masa Mendatang 3.1 Perspektif Wilayah Jabodetabek Masa Mendatang Jabodetabekpunjur 2018 merupakan konsolidasi rencana pengembangan tata ruang yang memberikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konsep transportasi didasarkan pada adanya perjalanan ( trip) antara asal ( origin) dan tujuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konsep transportasi didasarkan pada adanya perjalanan ( trip) antara asal ( origin) dan tujuan II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Transportasi 2. 1. 1 Pengertian Transportasi Konsep transportasi didasarkan pada adanya perjalanan ( trip) antara asal ( origin) dan tujuan (destination). Perjalanan adalah pergerakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengurangan tingkat..., Arini Yunita, FE UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengurangan tingkat..., Arini Yunita, FE UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN Salah satu permasalahan kota Jakarta yang hingga kini masih belum terpecahkan adalah kemacetan lalu lintas yang belakangan makin parah kondisinya. Ini terlihat dari sebaran lokasi kemacetan

Lebih terperinci

Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi BAB VIII PENUTUP

Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi BAB VIII PENUTUP BAB VIII PENUTUP A. Kesimpulan 1) Dari hasil kajian dan analisis terhadap berbagai literatur dapat ditarik satu kesimpulan sebagai berikut : a) Ada beberapa definisi tentang angkutan massal namun salah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KONDISI YANG MEMPENGARUHI PENCEMARAN UDARA DI JAKARTA

BAB IV ANALISIS KONDISI YANG MEMPENGARUHI PENCEMARAN UDARA DI JAKARTA BAB IV ANALISIS KONDISI YANG MEMPENGARUHI PENCEMARAN UDARA DI JAKARTA Variabel-variabel yang mempengaruhi pencemaran udara yang akan dianalisis merupakan variabel eksogen dari model dinamis yang dibangun.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis faktor..., Agus Imam Rifusua, FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis faktor..., Agus Imam Rifusua, FE UI, 2010. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Urbanisasi merupakan fenomena yang dialami oleh kota-kota besar di Indonesia khususnya. Urbanisasi tersebut terjadi karena belum meratanya pertumbuhan wilayah terutama

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017 TENTANG BAKU MUTU EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU KATEGORI M, KATEGORI N, DAN KATEGORI

Lebih terperinci

Indeks Harga Konsumen di 66 Kota (2007=100),

Indeks Harga Konsumen di 66 Kota (2007=100), Umum Banda Aceh 216,59 246,43 278,90 295,67 112,07 139,01 172,41 190,86 109,37 115,47 119,06 124,90 127,19 Lhokseumawe 217,73 242,90 273,06 295,55 111,38 124,28 143,10 154,71 108,33 116,24 121,61 130,52

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 31/05/64/Th.XIX, 2 Mei 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/ DI KOTA TARAKAN BULAN APRIL 2016 0,45 PERSEN Kota Tarakan pada bulan April 2016 mengalami Inflasi sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat, di samping berbagai indikator sosial ekonomi lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat, di samping berbagai indikator sosial ekonomi lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pendapatan masih menjadi indikator utama tingkat kesejahteraan masyarakat, di samping berbagai indikator sosial ekonomi lainnya. Perkembangan tingkat pendapatan

Lebih terperinci

Perkembangan Indeks Harga Konsumen (IHK) Provinsi Kalimantan Timur Bulan September 2017

Perkembangan Indeks Harga Konsumen (IHK) Provinsi Kalimantan Timur Bulan September 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Perkembangan Indeks Harga Konsumen (IHK) Provinsi Kalimantan Timur Bulan September 2017 Selama September 2017, terjadi deflasi sebesar 0,01 persen di Kalimantan

Lebih terperinci

BAB 2 LATAR BELAKANG dan PERUMUSAN PERMASALAHAN

BAB 2 LATAR BELAKANG dan PERUMUSAN PERMASALAHAN 6 BAB 2 LATAR BELAKANG dan PERUMUSAN PERMASALAHAN 2.1. Latar Belakang Kemacetan lalu lintas adalah salah satu gambaran kondisi transportasi Jakarta yang hingga kini masih belum bisa dipecahkan secara tuntas.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Yogyakarta merupakan kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di

BAB I. PENDAHULUAN. Yogyakarta merupakan kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Yogyakarta merupakan kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dengan luas wilayah 32,50 km 2, sekitar 1,02% luas DIY, jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Angkutan umum sebagai bagian sistem transportasi merupakan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Angkutan umum sebagai bagian sistem transportasi merupakan kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Angkutan umum sebagai bagian sistem transportasi merupakan kebutuhan masyarakat untuk menunjang aktivitas sehari-hari dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan

Lebih terperinci

BAB V Hasil dan Pembahasan

BAB V Hasil dan Pembahasan 43 BAB V Hasil dan Pembahasan Bagian ini memberikan gambaran tentang hasil yang diperoleh selama melakukan penelitian Inventori Emisi Gas Rumah Kaca (CO 2 dan CH 4 ) dari Sektor Transportasi dengan Pendekatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kepadatan tersebut diimbangi dengan tingginya penggunaan kendaraan bermotor yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kepadatan tersebut diimbangi dengan tingginya penggunaan kendaraan bermotor yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara yang tingkat penduduknya sangat padat, kepadatan tersebut diimbangi dengan tingginya penggunaan kendaraan bermotor yang beredar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mobil merupakan suatu hal penting yang dianggap mampu membantu mempermudah hidup manusia. Untuk dapat dipergunakan sebagai mana fungsinya mobil menggunakan tenaga mesin

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan dari hasil survei, perhitungan dan pembahasan dapat diperoleh

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan dari hasil survei, perhitungan dan pembahasan dapat diperoleh V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan dari hasil survei, perhitungan dan pembahasan dapat diperoleh beberapa kesimpulan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kemacetan lalu lintas

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 30/05/64/Th.XIX, 2 Mei 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN APRIL 2016 DEFLASI -0,34 PERSEN Provinsi Kalimantan Timur

Lebih terperinci

Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi Kota Ternate

Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi Kota Ternate Perkembangan Indeks Harga Konsumen/ Ternate No. 58/11/82/Th. XVI, 01 November 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI MALUKU UTARA Perkembangan Indeks Harga Konsumen/ Ternate Oktober 2017, Ternate mengalami

Lebih terperinci

ESTIMASI SEBARAN KERUANGAN EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR DI KOTA SEMARANG LAPORAN TUGAS AKHIR

ESTIMASI SEBARAN KERUANGAN EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR DI KOTA SEMARANG LAPORAN TUGAS AKHIR ESTIMASI SEBARAN KERUANGAN EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR DI KOTA SEMARANG LAPORAN TUGAS AKHIR Oleh : AMBAR YULIASTUTI L2D 004 294 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Administrasi (2010), Jakarta mempunyai luas 7.659,02 km 2. penduduk sebesar jiwa. Jakarta juga mempunyai kepadatan penduduk

I. PENDAHULUAN. Administrasi (2010), Jakarta mempunyai luas 7.659,02 km 2. penduduk sebesar jiwa. Jakarta juga mempunyai kepadatan penduduk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jakarta merupakan ibu kota negara dan sebagai pusat pemerintahan Indonesia. Menurut Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Administrasi (2010), Jakarta mempunyai

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 40/08/32/Th. XIX, 1 Agustus 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI JULI 2017 INFLASI SEBESAR 0,01 PERSEN Juli 2017 IHK Gabungan Jawa Barat yang meliputi 7 kota yaitu

Lebih terperinci

SATUAN BIAYA UANG HARIAN LUAR DAERAH / DALAM DAERAH LUAR KOTA

SATUAN BIAYA UANG HARIAN LUAR DAERAH / DALAM DAERAH LUAR KOTA LAMPIRAN I BIAYA PERJALANAN DINAS DALAM DAERAH DAN LUAR DAERAH UNTUK GUBERNUR/WAKIL GUBERNUR, PIMPINAN/ANGGOTA DPRD/PNS/TOKOH MASYARAKAT/ANGGOTA MASYARAKAT DAN PEGAWAI TIDAK TETAP SATUAN BIAYA UANG HARIAN

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi Provinsi Kalimantan Timur Bulan Oktober 2017 No. 85/64/Th.XX, 1 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Perkembangan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR No. 01/01/53/Th. XVIII, 2 Januari 2015 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DESEMBER 2014 NUSA TENGGARA TIMUR INFLASI 3,41 PERSEN Pada ember 2014, Nusa Tenggara Timur

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN No. 02/02/1271/Th.II, 01 Februari PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN JANUARI SIBOLGA INFLASI 1,82 PERSEN Bulan, Sibolga mengalami inflasi sebesar 1,82 persen atau terjadi kenaikan nilai Indeks Harga Konsumen

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI BADAN PUSAT STATISTIK No. 39/07/Th. XIV, 1 Juli 2011 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI JUNI 2011 INFLASI 0,55 PERSEN Pada bulan terjadi inflasi sebesar 0,55 persen dengan Indeks Harga Konsumen

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 50/07/64/Th.XIX, 1 Juli 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/ DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN JUNI 2016 1,10 PERSEN Provinsi Kalimantan Timur pada bulan Juni

Lebih terperinci

SEMARANG. Ngaliyan) Oleh : L2D FAKULTAS

SEMARANG. Ngaliyan) Oleh : L2D FAKULTAS PENGARUH KENAIKAN HARGA BBM PADA BIAYA PERJALANAN TERHADAP PEMILIHAN MODA TRANSPORTASI MASYARAKAT DI DAERAH PINGGIRAN KOTA SEMARANG (Studi Kasus : Kecamatan Banyumanik, Kecamatan Pedurungan dan Kecamatan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 12/03/32/Th. XVIII, 1 Maret 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI FEBRUARI 2016 DEFLASI SEBESAR 0,17 PERSEN Februari 2016 IHK Gabungan Jawa Barat yang meliputi 7 kota

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kendaraan bermotor sudah menjadi kebutuhan mutlak pada saat ini. Kendaraan yang berfungsi sebagai sarana transportasi masyarakat adalah salah satu faktor penting

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI BADAN PUSAT STATISTIK No. 06/02/Th. XIV, 1 Februari 2011 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI JANUARI 2011 INFLASI 0,89 PERSEN Pada bulan terjadi inflasi sebesar 0,89 persen dengan Indeks Harga Konsumen

Lebih terperinci

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 Pada pengujian periode I nilai NO 2 lebih tinggi dibandingkan dengan periode II dan III (Gambar 4.1). Tinggi atau rendahnya konsentrasi NO 2 sangat dipengaruhi oleh berbagai

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR No. 01/06/53/Th. XVII, 2 Juni 2014 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI MEI 2014 NUSA TENGGARA TIMUR INFLASI 0,08 PERSEN Pada Mei 2014, Nusa Tenggara Timur terjadi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI No. 36 / VII / 1 Juli 2004 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI INFLASI BULAN JUNI 2004 SEBESAR 0,48 PERSEN Pada bulan Juni 2004 terjadi inflasi 0,48 persen. Dari 45 kota IHK tercatat 38 kota mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi adalah hal yang sangat penting untuk menunjang pergerakan manusia dan barang, meningkatnya ekonomi suatu bangsa dipengaruhi oleh sistem transportasi yang

Lebih terperinci

KOTA BANDAR LAMPUNG, OKTOBER 2017 INFLASI 0,11

KOTA BANDAR LAMPUNG, OKTOBER 2017 INFLASI 0,11 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI LAMPUNG KOTA BANDAR LAMPUNG, OKTOBER INFLASI 0,11 Kelompok Bahan Makanan mengalami inflasi tertinggi sebesar 0,44 persen pada Oktober Oktober, Kota Bandar Lampung mengalami

Lebih terperinci

Transportasi Masa Depan Straddling Bus. Solusi untuk Mengatasi Kemacetan

Transportasi Masa Depan Straddling Bus. Solusi untuk Mengatasi Kemacetan Transportasi Masa Depan Straddling Bus Solusi untuk Mengatasi Kemacetan Tessa Talitha 15410072 PL4008 Seminar Studi Futuristik Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung Abstrak Pada kota-kota

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN Perkembangan Indeks Harga Konsumen Provinsi DKI Jakarta No. 37/08/31/Th.XIX, 1 Agustus 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN DKI JAKARTA BULAN JULI 2017 MENGALAMI INFLASI 0,40 PERSEN YANG DISEBABKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produksi kendaraan bermotor di negara-negara berkembang maupun di berbagai belahan dunia kian meningkat. Hal ini dipengaruhi oleh mobilitas dan pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 52/07/64/Th.XX, 3 Juli 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/ DI KOTA TARAKAN BULAN JUNI 2017 1,89 PERSEN Kota Tarakan pada bulan Juni 2017 mengalami Inflasi sebesar

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.554, 2017 KEMEN-LHK. Baku Mutu Emisi. Kendaraan Bermotor. Kategori M, Kategori N, dan Kategori O. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN No. 01/01/1271/Th.XIII, 03 Januari 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN DESEMBER SIBOLGA INFLASI 2,12 PERSEN Bulan, Sibolga mengalami inflasi sebesar 2,12 persen atau terjadi kenaikan nilai Indeks Harga

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN (INFLASI/DEFLASI) APRIL 2016, PROVINSI RIAU DEFLASI 1,10 PERSEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN (INFLASI/DEFLASI) APRIL 2016, PROVINSI RIAU DEFLASI 1,10 PERSEN No. 19/5/14/Th. XVII, 2 Mei 216 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN (INFLASI/DEFLASI) APRIL 216, PROVINSI RIAU DEFLASI 1,1 PERSEN Bulan April 216, gabungan 3 kota di Provinsi Riau mengalami deflasi sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM Pembangunan di segala bidang yang dilaksanakan pemerintah Republik Indonesia merupakan usaha untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan terutama di bidang ekonomi. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bandar Lampung telah terus berkembang dari sisi jumlah penduduk, kewilayahan dan ekonomi. Perkembangan ini menuntut penyediaan sarana angkutan umum yang sesuai

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI No. 54/10/82/Th XV, 03 Oktober 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI SEPTEMBER 2016, KOTA TERNATE INFLASI SEBESAR 0,09 PERSEN Pada September 2016, Kota Ternate mengalami inflasi sebesar 0,09

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 16/04/31/Th.XIX, 3 April PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DKI JAKARTA BULAN MARET MENGALAMI INFLASI 0,05 PERSEN Bulan Maret, harga-harga di DKI Jakarta mengalami

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU EMISI GAS BUANG SUMBER BERGERAK KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 45/06/64/Th.XX, 2 Juni 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN MEI 2017 INFLASI 0,36 PERSEN Provinsi Kalimantan Timur pada

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR No. 01/06/53/Th. XIX, 1 Juni 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI MEI 2016 NUSA TENGGARA TIMUR INFLASI 0,61 PERSEN Mei 2016, Nusa Tenggara Timur mengalami inflasi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 71/09/64/Th.XX, 04 September 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN AGUSTUS 2017 DEFLASI -0,28 PERSEN Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN Perkembangan Indeks Harga Konsumen Provinsi DKI Jakarta No. 29/06/31/Th.XIX, 2 Juni 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN DKI JAKARTA BULAN MEI 2017 MENGALAMI INFLASI 0,49 PERSEN YANG DISEBABKAN OLEH

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 01/01/64/Th.XX, 3 Januari 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN DESEMBER 2016 INFLASI 1,04 PERSEN Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI KOTA PANGKALPINANG

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI KOTA PANGKALPINANG No. 24/04/19/Th.XIII, 1 April 2015 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI KOTA PANGKALPINANG MARET 2015 DEFLASI 0,46 PERSEN Pada Kota Pangkalpinang mengalami deflasi sebesar 0,46 persen dengan Indeks

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 51/07/64/Th.XX, 3 Juli 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN JUNI 2017 INFLASI 0,98 PERSEN Provinsi Kalimantan Timur pada

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI No. 18/04/82/Th XVI, 03 April 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI Maret 2017, KOTA TERNATE DEFLASI SEBESAR 0,31 PERSEN Pada Maret 2017, Kota Ternate mengalami deflasi sebesar 0,31 persen dengan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 01/01/64/Th.XIX, 4 Januari 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR* ) BULAN DESEMBER 2015 INFLASI 1,05 PERSEN Kalimantan Timur

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK No. 01/03/81/Th. XVIII, 1 Maret 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI PADA FEBRUARI 2016 TERJADI INFLASI SEBESAR 0,18 PERSEN DI KOTA AMBON DAN DEFLASI 1,33 PERSEN DI KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada prinsipnya semua bentuk dan keadaan kehidupan dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada prinsipnya semua bentuk dan keadaan kehidupan dalam kegiatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada prinsipnya semua bentuk dan keadaan kehidupan dalam kegiatan masyarakat baik sosial budaya, sosial ekonomi maupun jumlah penduduk akan mengalami perubahan dari

Lebih terperinci

MATERI PEMANTAUAN KUALITAS UDARA AMBIEN AQMS DI 45 KOTA

MATERI PEMANTAUAN KUALITAS UDARA AMBIEN AQMS DI 45 KOTA MATERI PEMANTAUAN KUALITAS UDARA AMBIEN AQMS DI 45 KOTA SUBDIREKTORAT PEMANTAUAN KUALITAS UDARA DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN NON INSTITUSI DIREKTORAT PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA KEMENTERIAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

A. Pengertian Pusat Pertumbuhan Pusat pertumbuhan dapat diartikan sebagai suatu wilayah atau kawasan yang pertumbuhannya sangat pesat sehingga dapat

A. Pengertian Pusat Pertumbuhan Pusat pertumbuhan dapat diartikan sebagai suatu wilayah atau kawasan yang pertumbuhannya sangat pesat sehingga dapat A. Pengertian Pusat Pertumbuhan Pusat pertumbuhan dapat diartikan sebagai suatu wilayah atau kawasan yang pertumbuhannya sangat pesat sehingga dapat dijadikan sebagai pusat pembangunan yang memengaruhi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR No. 01/07/53/Th. XVII, 1 Juli 2014 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI JUNI 2014 NUSA TENGGARA TIMUR INFLASI 0,61 PERSEN Pada Juni 2014, Nusa Tenggara Timur terjadi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 33/05/64/Th.XX, 2 Mei 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN APRIL 2017 INFLASI 0,13 PERSEN Provinsi Kalimantan Timur pada

Lebih terperinci

DAMPAK EMISI KENDARAAN TERHADAP LINGKUNGAN

DAMPAK EMISI KENDARAAN TERHADAP LINGKUNGAN DAMPAK EMISI KENDARAAN TERHADAP LINGKUNGAN Muhammad Zakaria Kementerian Lingkungan Hidup Popular-pics.com Disampaikan pada AAI Summit dan Seminar Int Mobil Listrik Ditjen Dikti, Kemendikbud, Bali, 25 November

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI SEPTEMBER 2017 INFLASI SEBESAR 0,23 PERSEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI SEPTEMBER 2017 INFLASI SEBESAR 0,23 PERSEN BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI LAMPUNG PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI SEPTEMBER 2017 INFLASI SEBESAR 0,23 PERSEN Kota Bandar Lampung menempati peringkat ke-22 dan Kota Metro peringkat ke-39,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR No. 01/09/53/Th. XVII, 1 September 2014 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI AGUSTUS 2014 NUSA TENGGARA TIMUR DEFLASI 0,71 PERSEN Pada Agustus 2014, Nusa Tenggara

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 42/06/64/Th.XIX, 1 Juni 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN MEI 2016 INFLASI 0,09 PERSEN Provinsi Kalimantan Timur pada

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI ahk BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 25/04/64/Th.XX, 3 April 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BULAN MARET 2017 INFLASI 0,15 PERSEN Provinsi Kalimantan Timur

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 21/05/32/Th. XVIII, 2 Mei 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI APRIL 2016 DEFLASI SEBESAR 0,37 PERSEN April 2016 IHK Gabungan Jawa Barat yang meliputi 7 kota yaitu

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI . 36/07/82/Th XVI, 03 Juli 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI JUNI 2017, KOTA TERNATE INFLASI SEBESAR 1,55 PERSEN Pada Juni 2017, Ternate mengalami inflasi sebesar 1,55 persen dengan indeks

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN Perkembangan Indeks Harga Konsumen Provinsi DKI Jakarta No. 41/09/31/Th.XIX, 4 September 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN DKI JAKARTA BULAN AGUSTUS 2017 MENGALAMI INFLASI 0,13 PERSEN YANG DISEBABKAN

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI No. 25/05/51/Th. XVII, 2 Mei PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI APRIL KOTA DENPASAR INFLASI 0,07 PERSEN Pada bulan di Kota Denpasar terjadi inflasi sebesar 0,07 persen dengan Indeks Harga Konsumen

Lebih terperinci

UANG PENGINAPAN, UANG REPRESENTASI DAN UANG HARIAN PERJALANAN DINAS KELUAR DAERAH DAN DALAM DAERAH

UANG PENGINAPAN, UANG REPRESENTASI DAN UANG HARIAN PERJALANAN DINAS KELUAR DAERAH DAN DALAM DAERAH LAMPIRAN III TENTANG PERUBAHAN ATAS NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERJALANAN DINAS DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA NO. TUJUAN UANG PENGINAPAN, UANG REPRESENTASI DAN UANG HARIAN PERJALANAN DINAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jaringan jalan memiliki fungsi yang sangat penting yaitu sebagai prasarana untuk memindahkan/transportasi orang dan barang, dan merupakan urat nadi untuk mendorong

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Studi ini menyajikan analisis mengenai kualitas udara di Kota Tangerang pada beberapa periode analisis dengan pengembangan skenario sistem jaringan jalan dan variasi penerapan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI 2016 BULUKUMBA INFLASI SEBESAR 0,30 PERSEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI 2016 BULUKUMBA INFLASI SEBESAR 0,30 PERSEN No. 01/01/7302/Th.III, 4 Januari 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI BULUKUMBA INFLASI SEBESAR 0,30 PERSEN DESEMBER Pada, terjadi sebesar 0,30 persen dengan Indeks Harga Konsumen () sebesar

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI BADAN PUSAT STATISTIK No. 14/03/Th. XIV, 1 Maret 2011 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI FEBRUARI 2011 INFLASI 0,13 PERSEN Pada bulan terjadi inflasi sebesar 0,13 persen dengan Indeks Harga Konsumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Studi komparansi kinerja..., Askha Kusuma Putra, FT UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. Studi komparansi kinerja..., Askha Kusuma Putra, FT UI, 2008 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Semakin meningkatnya kebutuhan minyak sedangkan penyediaan minyak semakin terbatas, sehingga untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri Indonesia harus mengimpor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah. Bagi masyarakat, transportasi merupakan urat nadi kehidupan sehari-hari

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah. Bagi masyarakat, transportasi merupakan urat nadi kehidupan sehari-hari BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Bagi masyarakat, transportasi merupakan urat nadi kehidupan sehari-hari dan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sangat penting dan strategis. Seiring

Lebih terperinci

Berapa Burukkah Kualitas Lingkungan Hidup Kita?

Berapa Burukkah Kualitas Lingkungan Hidup Kita? Berapa Burukkah Kualitas Lingkungan Hidup Kita? Uzair Suhaimi 1 uzairsuhaimi.wordpress.com Penulis yakin pembaca yang budiman mengetahui buruknya lingkungan hidup kita. Tetapi seberapa buruk? Pertanyaan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI No. 23/05/82/Th XVI, 02 Mei 2017 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI April 2017, KOTA TERNATE INFLASI SEBESAR 0,36 PERSEN Pada April 2017, Kota Ternate mengalami inflasi sebesar 0,36 persen dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan kendaraan yang digerakan

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROPINSI KEPRI

BADAN PUSAT STATISTIK PROPINSI KEPRI BADAN PUSAT STATISTIK PROPINSI KEPRI No.34/02/21/Th. III, 1 Pebruari 2008 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI KOTA BATAM JANUARI 2008 INFLASI 0,92 PERSEN Pada Bulan Januari 2008 di Kota Batam terjadi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR No. 01/03/53/Th. XIX, 1 Maret 2016 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI FEBRUARI 2016 NUSA TENGGARA TIMUR DEFLASI 0,33 PERSEN Februari 2016, Nusa Tenggara Timur terjadi

Lebih terperinci