5 DAYA DUKUNG PENGELOLAAN KAWASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5 DAYA DUKUNG PENGELOLAAN KAWASAN"

Transkripsi

1 91 5 DAYA DUKUNG PENGELOLAAN KAWASAN Hasil perhitungan dari 3 macam pendekatan daya dukung, yakni (1) daya dukung berdasarkan kuantitas air di perairan pesisir berdasarkan formula Widigdo dan Pariwono (2001), (2) eksperimen laboratorium fungsi filter mangrove terhadap limbah tambak dan (3) pengembangan daya dukung model mass balance hasil modifikasi formula Widigdo dan Pariwono (2001) dengan Tookwinas (1998) berdasarkan total ammonia-nitrogen dan penerapannya pada lokasi penelitian, disajikan di bawah ini. Dokumentasi kegiatan penelitian lapangan dan laboratorium dapat dilihat pada Lampiran Daya dukung Berdasarkan Kuantitas Air Perairan Pesisir Kemampuan pengenceran perairan pesisir Desa Sebamban Baru terhadap limbah tambak, dihitung berdasarkan volume total air yang tersedia di pantai (Vt), ketika air pasang naik (Vo), dan air surut (Vs). Volume total air di pantai dipengaruhi oleh kisaran pasang surut, panjang garis pantai, kemiringan dasar pantai, jarak pengambilan air untuk keperluan tambak dan frekuensi pasang surut. Berdasarkan hasil pengukuran sudut kemiringan dasar pantai rata-rata sebesar 1,81º, jarak dari garis pantai (waktu pasang) hingga lokasi pengambilan air laut untuk keperluan tambak 550 m. Panjang garis pantai desa Sebamban Baru menurut DKP Kabupaten Tanah Bumbu (2009) sepanjang 5 km. Kedalaman tambak rata-rata 1-1,5 m (hasil pengamatan lapangan), kisaran pasang 1,59 m, untuk lebih jelasnya daya dukung perairan pesisir Desa Sebamban Baru diperlihatkan pada Tabel 20. Tabel 20 Luas tambak berdasarkan daya dukung pada perairan pesisir Desa Sebamban Baru Parameter Nilai Sumber Kemiringan pantai (º) 1,81 Perhitungan Kisaran pasut (h) (m) 1,59 Perhitungan Jarak (X) (m) 550 Perhitungan Panjang garis pantai (m) 5000 DKP Tanbu (2009) Volume perairan (m 3 ) ,15 Perhitungan Volume limbah yang dapat didukung ,00 Perhitungan (m 3 ) Luas tambak intensif (ha) 83,42 Perhitungan Luas tambak semi intensif (ha) 208,56 Perhitungan Luas tambak tradisional (ha) 695,20 Perhitungan Sumber : Data Primer diolah 2010

2 92 Limbah cair dari budidaya tambak biasanya secara periodik dibuang ke sungai, perairan pantai, dan laut mengikuti arus pasang surut. Limbah tambak tersebut akan diencerkan oleh perairan sekitarnya. Kemampuan kawasan pesisir dalam menerima limbah tambak tersebut dikatakan sebagai daya dukung lingkungan kawasan pertambakan. Penentuan daya dukung lingkungan pesisir ini berdasarkan formula Vperairan = 0,5 hy (2x-(h/tanθ)), dengan syarat Vperairan 100 Vlimbah tambak, selain itu digunakan asumsi bahwa produksi maksimum budidaya 5 ton/ha/mt (MT merupakan satuan musim tanam). Luas tambak dan mangrove di lokasi penelitian masing masing 368,542 ha dan 346,814 ha, luas keseluruhan adalah 715,356 ha. Secara ringkas penentuan daya dukung lingkungan kawasan pertambakan di daerah studi disajikan pada Tabel 20. Apabila budidaya tradisional yang ada di lokasi penelitian, diubah menjadi teknologi intensif dengan hasil rata rata 5 ton/ha, maka luas lahan yang boleh dibuka maksimum seluas 83,42 ha. Bila lahan ini dijadikan semi intensif keseluruhan dengan produksi rata-rata 2,5 ton/ha, maka luas maksimum yang boleh dibuka adalah 208,56 ha, sedangkan bila lahan dijadikan tambak tradisional dengan produksi 0,6 ton/ha maka luas maksimum yang boleh dibuka adalah 695,20 ha. Pada saat ini pemanfaatan lahan pesisir untuk budidaya tambak tradisional belum melebihi luas lahan maksimal yang diperbolehkan, karena saat ini tambak yang dibuka baru seluas 368,542 ha (Citra Landsat 7 ETM 2010) atau seluas 384,5 ha (DKP Tanah Bumbu 2009). Kegiatan tambak di lokasi penelitian pada saat ini dapat dikatakan masih berada di bawah daya dukung lingkungan. Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 20, telah memberikan informasi luas lahan yang dapat didukung terkait dengan ketersediaan air di kawasan pesisir dalam menguraikan limbah tambak. Hasil perhitungan tersebut memberikan petunjuk bahwa kegiatan tambak masih berada di bawah kapasitas asimilasi perairan pesisir. Pendekatan ini sebenarnya masih memiliki kekurangan karena daya dukung lingkungan kawasan pertambakan, tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan air saja, belum memperhitungkan kemampuan mangrove dalam menyerap limbah yang dikeluarkan oleh tambak dalam meningkatkan daya dukung lingkungan pesisir penerima. Selain itu juga perlu dilakukan perhitungan

3 93 daya dukung berdasarkan kandungan amoniak pada saat air surut dan pasang di perairan pesisir. Menurut Poernomo (1992) daya dukung lingkungan itu merupakan nilai kualitas lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen dalam kesatuan ekosistem, oleh karena itu perlu dilakukan penentuan daya dukung lingkungan pesisir berdasarkan ketersediaan jalur hijau (greenbelt), memperhitungkan rasio luas tambak lestari dan menghitung daya dukung dengan metode mass balance. 5.2 Daya Dukung Model Mass Balance Pengembangan metode estimasi daya dukung pemanfaatan ekosistem pesisir untuk budidaya perikanan berwawasan lingkungan, menggunakan model mass balance berdasarkan formula hasil modifikasi formula Widigdo dan Pariwono (2001) dengan Tookwinas (1998). Dari formula ini dilakukan modifikasi dengan merubah perkalian cross section area dan kecepatan arus pada perhitungan ammonia outflow, ammonia inflow, dan maximum ammonia inflow pada formula Tookwinas dengan volume air tersedia (Vo) dan volume air tersisa (Vs) formula Widigdo dan Pariwono (2003) sebagai berikut. (16) Vo adalah volume air laut yang tersedia (m 3 ); h adalah kisaran pasang surut setempat (m); y adalah lebar area tambak yang sejajar garis pantai (m); θ adalah kemiringan dasar laut (derajat); X adalah jarak dari garis pantai (waktu pasang) hingga lokasi pengambilan air laut (water intake) untuk keperluan tambak (m). Untuk menentukan volume air tersisa ketika air surut (V s ), dihitung dengan formula sebagai berikut :.. (17) Kemudian untuk mendapatkan nilai Ammonia Outflow (AO) dan Ammonia Inflow (AI) berdasarkan formula hasil modifikasi menjadi seperti berikut ini:... (18)

4 94 AO adalah Ammonia Outflow; j adalah Low tide level pada jam ke satu sampai jam ke-n (jam); Vsj adalah volume air tersisa ketika air surut (m3); Cj adalah konsentrasi ammonia-nitrogen pada j jam (mg/l).... (19) AI adalah Ammonia Inflow; i adalah High tide level pada jam ke satu sampai jam ke-n (jam); Voi adalah Volume air laut yang tersedia (m 3 ); Ci adalah konsentrasi ammonia-nitrogen pada i jam (mg/l).... (20) MAI adalah Maximum Ammonia Inflow; i m adalah High tide level pada jam ke satu sampai jam ke-n (jam); Vom adalah volume air laut yang tersedia (m 3 ); Ci m adalah konsentrasi ammonia-nitrogen pada level aman 0,1 mg/l (Tookwinas 1998). Berdasarkan hasil perubahan tersebut maka dapat dihitung ammonia loading berdasarkan formula AO dan AI modifikasi kemudian dapat dihitung Removal rate (R) dengan membandingkan AO dengan AI, MAO diperoleh dari perkalian R dengan MAI. AO AI AL (21) SA AL adalah Total Ammonia Loading; SA adalah Shrimp Farm Area; MAO adalah Maximum ammonia outflow; CC adalah Carrying capacity. MAO AO CC..... (22) AL Dari formula model mass balance hasil modifikasi formula Widigdo dan Pariwono (2001) dengan Tookwinas (1998) berdasarkan total ammonia-nitrogen tersebut, digunakan untuk menghitung luas maksimum lahan yang masih boleh dibuka untuk tambak pada lokasi penelitian, yaitu dengan menjumlahkan luas CC dengan SA. Data yang diperlukan untuk analisis daya dukung model mass balance ini adalah berdasarkan konsentrasi total ammonia-nitrogen (NH 3 -N) yang diukur

5 95 setiap jam selama waktu 24 jam dalam sehari. Estimasi daya dukung dengan konsep model mass balance menggunakan formula gabungan antara Widigdo dan Pariwono (2001) dengan Tookwinas (1998). Hasil perhitungan Vo, Vs, ammonia outflow, ammonia inflow, maksimum ammonia inflow dan daya dukung mass balance dengan studi kasus pada Desa Sebamban Baru Kecamatan Sungai Loban Kabupaten Tanah Bumbu dapat dilihat pada Tabel 21, 22 dan 23 dan lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 21 Total ammonia outflow (AO) dalam satu hari di perairan pesisir Desa Sebamban Baru No. Vsj(m 3 ) NH3-N(mg/l)(Cj) 3.6(Vsj.Cj) , , , , , , , , , , , , , , , Total Ammonia Outflow (AO) Sumber: Data primer diolah (2010) Hasil perhitungan Vo, Vs, ammonia outflow, ammonia inflow, maksimum ammonia inflow dan daya dukung mass balance diperlihatkan pada Lampiran 5. Berdasarkan hasil perhitungan dengan studi kasus dilokasi penelitian, pemanfaatan saat ini seluas 368,54 ha, total ammonia outflow (AO) kg/hari, total ammonia inflow (AI) kg/hari, removal rate 2 kg/hari dan total ammonia loading 20,83 kg/ha/hari. Dari hasil perhitungan menggunakan formula baru ini diperoleh luas maksimum potensial tambak yang dapat dikembangkan adalah seluas 409 ha.

6 96 Tabel 22 Total ammonia inflow (AI) dalam satu hari di perairan pesisir Desa Sebamban Baru No. V oi (m 3 ) NH3-N(mg/l)(C i ) 3.6(V oi.c i ) , , , , , , , , , Total Ammonia inflow (AI) Sumber: Data primer diolah (2010) Tabel 23 Maksimum ammonia inflow (MAI) dalam satu hari diperairan pesisir Desa Sebamban Baru No. V oim (m 3 ) NH3-N(mg/l)(C im ) 3.6(V oim.c im ) , , , , , , , , , Maksimum Ammonia inflow(mai) Sumber: Data primer diolah (2010) Menurut Poernomo (1992) daya dukung lingkungan itu merupakan nilai kualitas lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen dalam kesatuan ekosistem. Berdasarkan hasil perhitungan luas potensi tambak mass balance yang boleh dikembangkan maksimum seluas 409 ha, merupakan batas daya dukung maksimum yang boleh dibuka pada lokasi penelitian. Pada lokasi penelitian saat ini luas tambak baru mencapai 368,54 ha, masih berada di bawah daya dukung mass balance, hal ini juga menunjukan bahwa konsentrasi amoniak yang dikeluarkan oleh tambak belum memberikan pengaruh terhadap kualitas perairan pesisir, karena pada lokasi penelitian tidak menggunakan pakan sebagai sumber penyumbang NH 3 -N pada perairan pesisir sekitar tambak.

7 97 Berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Tookwinas (1998) di Teluk Kung Krabaen Thailand bagian Timur pada tambak intensif, walaupun masih berada dalam batas daya dukung tetapi kualitas air di perairan sekitar teluk sangat buruk terutama pada kanal drainase dan dalam tambak. Menurut Mc Donald et al. (1996) dalam budidaya perikanan secara komersial 30% dari total pakan yang diberikan tidak dikonsumsi oleh ikan dan sekitar 25-30% dari pakan yang dikonsumsi tersebut akan diekskresikan. Pada lokasi penelitian input tambak hanya menggunakan pupuk untuk menumbuhkan pakan alami, sehingga untuk operasional tambak yang ada saat ini seluas 368,542 ha, belum menimbulkan dampak negatif terhadap perairan pesisir disekitarnya. Perlu kehati-hatian dalam ekstensifikasi beberapa tahun ke depan, karena berdasarkan pembacaan peta citra landsat dalam kurun waktu tahun terjadi peningkatan luas tambak rata-rata sebesar 11,35 ha pertahun, sementara berdasarkan perhitungan daya dukung hanya boleh diperluas maksimum sebesar 40 ha ditambah dengan luas yang ada (368,542 ha), hanya sekitar tiga kali luas rata-rata perluasan tambak pertahun, yang berarti bila dua atau tiga tahun berikutnya diperluas sebesar rata-rata yang ada, maka tambak di lokasi penelitian sudah dalam ambang batas maksimum lahan efektif pemanfaatan. Dampak negatif akan timbul bagi lingkungan sekitarnya dan tambak itu sendiri apabila luas lahan yang dibuka di wilayah ini lebih dari 409 ha, atau apabila terjadi peningkatan teknologi budidaya tambak menjadi semi intensif dan intensif yang akan memberikan sumbangan amoniak dari input pakan. Kualitas air dalam penelitian ini masih mendukung untuk dilaksanakannya budidaya tambak karena pengeluaran limbah amoniak masih berada dalam batas limit untuk luasan yang ada. Luas mangrove yang tersedia harus diperhitungkan untuk meningkatkan daya dukung lingkungan. Menurut Robertson et al. (1995) dampak sejumlah buangan limbah berupa amoniak yang tinggi dan partikel organik terlarut lainnya dapat ditransformasikan dalam sedimen dan untuk menunjang pertumbuhan mangrove. 5.3 Fungsi Filter Mangrove Terhadap Limbah Tambak Hasil percobaan laboratorium terhadap dua jenis mangrove Avicennia dan Rhizopora yang diberikan perlakuan pengaliran limbah dari pemeliharaan udang

8 98 dan air laut biasa tanpa limbah, untuk mengetahui fungsi filter mangrove terhadap limbah organik tambak, menunjukan bahwa kandungan N total pada daun, batang dan akar tanaman Avicennia dengan perlakuan limbah organik (V1N1) memberikan nilai tertinggi diikuti oleh Rhizopora dengan pemberian limbah organik (V2N1), dan kandungan N total baik pada Avicennia dan Rhizopora dengan perlakuan air laut biasa lebih kecil nilainya. Namun dari seluruh jaringan ini menunjukan bahwa kandungan N total lebih dominan terbentuk pada jaringan daun, dibandingkan pada jaringan batang dan akar. Rerata konsentrasi N total pada setiap perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Rerata konsentrasi N total pada perlakuan selama penelitian Sampling ke Parameter Perlakuan T0 T4 N dalam daun (mg) N dalam batang (mg) N dalam akar (mg) Sumber: Data primer diolah (2010) Laju peningkatan N/ 4 bulan V1N0 0,095 0,238 0,143 V2N0 0,088 0,154 0,065 V1N1 0,067 0,294 0,227 V2N1 0,036 0,135 0,099 V1N0 0,060 0,064 0,004 V2N0 0,049 0,064 0,015 V1N1 0,040 0,069 0,029 V2N1 0,035 0,06 0,025 V1N0 0,072 0,079 0,007 V2N0 0,042 0,051 0,009 V1N1 0,034 0,048 0,014 V2N1 0,032 0,042 0,010 Pengukuran N total pada media tanah dan air pemeliharaan mangrove dapat dilihat pada Tabel 25. Berdasarkan pengukuran N total perlakuan Avicennia limbah organik (V1N1) konsentrasi N total dalam tanah saat T0 adalah 0,01 mg/l dan dalam air 1,3 mg/l dan pada saat T4 pada tanah meningkat menjadi 0,025 mg/l dan dalam air meningkat menjadi 8,32 mg/l. Hasil pengukuran N total pada kolam air laut tanpa udang dan kolam udang (0,5 dan 0,6 mg/l) pada waktu awal perlakuan, pada kolam udang setelah masa pemeliharaan 4 bulan dengan pemberian pakan konsentrasi N total meningkat menjadi 4,2 mg/l, begitu juga

9 99 pada kolam tanpa udang, terjadi peningkatan konsentrasi N total menjadi 3,7 mg/l dan pada saat air memasuki kolam perlakuan penanaman mangrove pada kolam mangrove setelah T4 dengan air laut biasa (V1N0 dan V2N0) nilainya masing masing 6,56 mg/l dan 8,41 mg/l, dan pada kolam yang berasal dari limbah organik kolam udang (V1N1 dan V2N1) setelah T4 nilainya masing masing 7,45 mg/l dan 8,32 mg/l. Tabel 25 Pengukuran N total dalam tanah dan air media penelitian Sampling ke Laju peningkatan N/ Parameter Perlakuan T0 T4 4 bulan V1N0 0,006 0,014 0,008 N dalam tanah V2N0 0,012 0,023 0,011 (mg/l) V1N1 0,010 0,025 0,015 V2N1 0,005 0,113 0,108 V1N0 0,80 6,56 6,95 N dalam air V2N0 1,40 8,41 5,76 (mg/l) V1N1 1,30 8,32 7,01 V2N1 0,50 7,45 6,30 buangan air - 0,50 6,80 6,30 limbahorganik (mg/l) buangan air laut - 0,50 4,56 4,06 (mg/l) Air kolam udang (mg/l) 0,60 4,20 3,60 Air kolam air 0,50 3,70 2,50 laut tanpa udang (mg/l) Keterangan : V1 (Avicennia), V2 (Rhizophora), N0 (air laut), N1(air limbah organik) Air buangan yang ditampung setelah melewati perlakuan yaitu dengan mengalirkan ke tempat pembuangan terjadi penurunan nilai N total. Air dari kolam dengan air laut biasa V1N0 dan V2N0 di gabung dalam satu wadah pembuangan konsentrasinya turun menjadi 4,2 mg/l dan pada kolam hasil pembuangan dari kolam mangrove dengan limbah organik dari kolam udang V1N1 dan V2N1 menjadi 6,8 mg/l. Meskipun angka ini masih tinggi namun sudah berkurang dari nilai yang ada pada kolam perlakuan mangrove, berarti hal tersebut telah memperlihatkan terjadi penyerapan N total oleh mangrove sebelum dibuang ke penampungan limbah. Dari Gambar 14 berikut dapat dilihat grafik konsentrasi N total pada saat T0 dan T4 dari kolam udang (KU), kolam air laut (KAL), kolam

10 100 mangrove air laut (KMAL), kolam mangrove limbah organik (KMALO) sampai ke pembuangan air laut (BAL) dan buangan air limbah organik (BALO). Konsentrasi Ntotal (mg/l) KU KAL KMAL KMALO BAL BALO Sampel T0 T4 Gambar 14 Aliran N total dalam air kolam sampai pembuangan. Sebagai penera kandungan N total pada kedua jenis tanaman pada dua lokasi penelitian dengan mangrove yang lebih banyak dibandingkan dengan tambak di daerah lain dengan mangrove yang lebih sedikit. Dilakukan pengukuran kandungan N total berdasarkan tinggi tanaman yang berbeda. Pengukuran kandungan N total dari daun, kulit dan akar dari dua jenis mangrove (Avicennia dan Rhizophora) pada lokasi sekitar tambak, berdasarkan pada perbedaan tinggi tanaman 0,5 m, 1 m dan tinggi lebih dari 1 m pada dua lokasi tambak yang berbeda yaitu pada tambak di Desa Sebamban Baru dan Desa Sepunggur. Nilai kandungan N total (mg) di Desa Sebamban Baru dan Desa Sepunggur dapat dilihat pada Tabel 26, Tabel 27 dan Gambar 15. Tabel 26 Kandungan N total dari daun, kulit dan akar dari kedua jenis mangrove di Desa Sebamban Baru Tinggi tanaman (m) Rhizophora Kandungan N total (mg) Avicennia Daun Batang Akar Daun Batang Akar 0,5 0,034 0,020 0,033 0,078 0,025 0, ,058 0,010 0,030 0,037 0,058 0,035 >1 0,053 0,015 0,031 0,070 0,025 0,097 Sumber: Data primer diolah (2010)

11 101 Tabel 27 Kandungan N total dari daun, kulit dan akar dari kedua jenis mangrove Desa Sepunggur Tinggi tanaman (m) Rhizophora Kandungan N total (mg) Avicennia Daun Batang Akar Daun Batang Akar 0,5 0,058 0,023 0,031 0,136 0,027 0, ,102 0,032 0,010 0,147 0,071 0,049 >1 0,096 0,036 0,060 0,069 0,056 0,096 Sumber: Data primer diolah (2010) N-total (%) Tinggi 0,5 Tinggi 1 Tinggi >1 Daun Batang Akar Daun Batang Akar Daun Batang Akar Daun Batang Akar Rhizophora Sebamban Rhizophora Sepunggur Lokasi Avicennia Sebamban Avicennia Sepunggur Gambar 15 Kandungan N total dari daun, kulit dan akar dari kedua jenis mangrove Desa Sebamban dan Baru Desa Sepunggur. Tabel 28 Kualitas air selama pemeliharaan udang dan mangrove T0 T4 Wadah O2 Sal NH3 O2 Sal NH3 (mg/l) PH T C ( ) (mg/l) (mg/l) PH T C ( ) (mg/l) Kolam udang 1 6,21 6,19 28,6 15,0 3,79 5,62 7,05 25,2 14,00 4,49 Kolam air laut2 6,82 5,60 29,3 24,5 0,02 5,49 6,77 25,4 23,00 0,73 Buangan 1 3,37 8,03 28,0 15,0 0,15 3,26 8,08 28,1 16,00 0,23 Buangan 2 6,61 6,50 28,0 15,0 0,30 5,62 6,61 25,1 15,00 0,30 V1NO 6,60 6,10 28,0 14,5 0,30 5,60 6,70 25,0 12,00 0,32 V2NO 6,70 6,30 28,0 14,5 0,20 5,60 6,70 25,0 12,00 0,32 V1N1 6,50 5,80 28,1 24,0 0,70 5,60 6,80 25,0 22,00 0,71 V2N1 6,70 5,80 28,0 24,0 0,70 5,60 6,80 25,0 22,00 0,71 Bakumutu *) >5,0 7,0-8, Alami 0,30 >5,0 7,0-8, Alami 0,30 Sumber : Data Primer diolah; *) Kepmen LH No.51 tahun 2004 (Bakumutu air laut untuk biota laut)

12 102 Tabel 28 menunjukan kualitas air pada kolam pemeliharaan udang dan mangrove. Pada kolam udang nilai amoniak lebih tinggi dibandingkan dengan kolam air laut biasa tanpa udang, sebab menurut Aldridge et al 1995 in Fancy 2004 setiap organisme dengan berat 0,1 mg, diasumsikan tingkat ekskresi udang mirip dengan kerang (0, mg NH 3 -N per mg kerang perjam), 200 ekor udang dengan berat total 20 mg akan menghasilkan 0,18 mg/l NH 3 -N dalam waktu 48 jam. Ekskresi udang ini menyebabkan konsentrasi amoniak lebih tinggi pada kolam udang, dibanding dengan kolam air laut tanpa udang. Konsentrasi ammoniak setelah memasuki kolam perlakuan mangrove nilainya menurun, dan nilai ini lebih rendah lagi ketika berada dalam bak buangan, baik air limbah organik maupun air laut biasa. Amoniak pada kolam perlakuan mangrove berfluktuasi pada saat T0 berkisar antara 0,2-0,7 mg/l, dan pada saat T4 amoniak berkisar antara 0,3-0,7 mg/l. Demikian juga dengan amoniak pada kolam udang pada saat T0 dan T4 masing masing 3,79 mg/l dan 4,49 mg/l. Kisaran amoniak tersebut jika dibandingkan dengan kadar baku mutu air laut (berdasarkan Kepmen LH No.51 tahun 2004 tentang Bakumutu air laut untuk biota laut) maksimal 0,3 mg/l menunjukan bahwa nilai amoniak ini telah melebihi baku mutu yang diperbolehkan untuk biota laut. Secara umum walaupun kualitas air pada penelitian ini sebagian masih berada di atas baku mutu, tetapi udang dan mangrove yang dipelihara ini masih bisa mentolerir untuk kehidupannya Pertumbuhan Tinggi Tanaman Mangrove Anakan Avicennia (dinotasikan dengan V 1 ) dan anakan Rhizophora (dinotasikan dengan V 2 ). Faktor pemberian air terdiri atas dua taraf, yaitu: pemberian air laut biasa (dinotasikan dengan N 0 ) dan pemberian air limbah organik (dinotasikan dengan N 1 ) yang diuji melalui percobaan faktorial 2 x 2 (taraf faktor A dan taraf faktor B, masing-masing sebanyak dua taraf) dengan rancangan dasar rancangan acak lengkap (RAL). Hasil perhitungan analisis keragaman pertumbuhan tinggi mangrove pada Tabel 29 memperlihatkan bahwa faktor V sangat berpengaruh nyata dan faktor N tidak berpengaruh nyata, tetapi interaksi V dan N berpengaruh nyata.

13 103 Tabel 29 Analisis ragam hasil pertumbuhan mangrove Sumber Keragaman DB JK KT Fhitung F Tabel Perlakuan 3 809, % 1% V 1 742,22 742,22 122,903** 5,32 11,26 N 1 6,20 6,20 1,026 tn 5,32 11,26 VN 1 61,31 61,31 10,153* 5,32 11,26 Galat 8 48,31 6,04 Total ,05 **sangat nyata, *nyata, tn tidak nyata Terdapat perbedaan respons hasil pertambahan tinggi tanaman di antara jenis mangrove yang diujicobakan, Pertambahan tinggi tanaman berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan mangrove dan tidak terdapat perbedaan respon hasil pertumbuhan mangrove di antara taraf pemberian air yang diujicobakan, atau dengan kata lain faktor pemberian air tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan mangrove. Tingkat keandalan dari model yang digunakan adalah: R 2 = 0,944, dengan demikian sekitar 94,4% dari keragaman hasil pertumbuhan mangrove disebabkan oleh pertambahan tinggi, pemberian air, dan interaksi antara pertumbuhan tinggi dan pemberian air. Tabel 30 Uji DUNCAN Perlakuan Nilai tengah Nilai beda V1N1 V1N0 V2N0 V1N1 25,92 V1N0 19,96 5,96* V2N0 8,75 17,17** 11,21* V2N1 5,67 20,25** 14,29* 3,08 tn D 5% 4,63 4,81 4,92 1% 6,02 7,09 7,29 Berdasarkan uji Duncan pada Tabel 30 pertumbuhan terbaik adalah pada perlakuan V1N1 diikuti oleh perlakuan V1N0, V2N0 dan V2N1. Kandungan N total pada daun Avicennia dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan dalam N total daun Rhizophora, hal ini senada dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Lacerda et al. in Rogers (1997) daun Rhizophora mengandung konsentrasi tannin terlarut yang tinggi, kandungan N yang rendah

14 104 dan C:N rasio yang tinggi, sedangkan daun Avicennia marina kandungan tannin rendah, kandungan N tinggi dan rasio C:N rendah. Spesies Rhizophora secara konsisten memiliki kandungan N dalam daun yang lebih rendah dibandingkan spesies lain seperti Heritiera littoralis dan Avicennia marina (Rao et al. 1994). Hal ini disebabkan oleh perbedaan morfologi daun kedua spesies tersebut (Rao et al. 1994). Daun dari spesies Rhizophora mempunyai permukaan yang tebal dan keras, dengan kandungan karbon tinggi dan kandungan N rendah (Rao et al. 1994). Menurut Boto dan Wellington (1983), keadaan N dalam daun ditemukan berkorelasi dengan kondisi nitrogen tanah. Susunan komponen mangrove, daun memiliki kandungan N tertinggi, kemudian buah, serabut kecil akar dan cabang batang juga mengandung N yang relatif tinggi (Clough & Attiwill 1975, Ong 1990). Kedudukan kedua jenis tumbuhan ini di alam berada dalam formasi zonasi yang berbeda. Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia : (1) Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp, yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. (2) Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp dan Xylocarpus spp. (3) Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. (4) Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya. Berdasarkan formasi zonasi ini perikanan budidaya tambak biasanya ada pada lahan yang berdampingan dengan atau pada lahan yang ditumbuhi Rhizophora. Ekosistem mangrove dapat berperan penting sebagai tempat penampung dissolve-nutrient, serta pengolah limbah organik (Boto dan Wellingston 1983). Dalam hal ini banyak dibuktikan bahwa kesuburan tanah, kandungan hara serasah dan pertumbuhan tegakan mangrove jauh lebih baik di hutan-hutan mangrove yang banyak menerima input hara anorganik terutama Nitrogen dan Posfor, dibandingkan dengan mangrove yang tidak mendapat input energi dari luar (Clough et al in Kusmana 2009). Sehingga pengembangan perikanan

15 105 budidaya di wilayah pesisir yang mengeluarkan limbah cair yang mengandung limbah N dan P, baik pada tambak tradisional yang hanya menggunakan pupuk dan kapur untuk penyuburan pakan alami, maupun semi intensif dan intensif menggunakan pakan memerlukan mangrove sebagai sistem trap, transformasi dan ekspor material (Robertson et al. 1995). Keuntungan dari integrasi mangrove dan budidaya udang untuk menjaga tambak dari erosi, meningkatkan produktifitas suplai air, dan juga mengolah buangan limbah tambak menjadi lebih kecil kadarnya sebelum dibuang ke perairan pesisir (Gautier et al. 2001). Budidaya perikanan yang ada di pesisir saat ini dibangun di sisi atau pada lahan yang ditumbuhi mangrove sehingga sebagian besar mangrove menjadi hilang, sementara Linn in Phillip (1995) menyebutkan bahwa produksi tambak dalam jumlah besar mengeluarkan jumlah efluen limbah yang besar pula. Limbah budidaya ini ditransformasikan sebagai nutrien dalam sedimen dan terhadap pertumbuhan mangrove, karena kapasitas mangrove berperanan penting sebagai penyangga keberlanjutan di sejumlah ekosistem pesisir. Berdasarkan hal tersebut di atas Phillip et al. (1994) in Chowdhury et al. 2003) merasa perlu mengestimasi kebutuhan wilayah hutan Rhizophora bagi perhektar tambak udang intensif dan semi intensif, untuk merombak nitrogen dan posfor yang berasal dari limbah tambak. Berdasarkan analisis anova, interaksi air limbah organik dan air laut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan tinggi tanaman dan pertambahan daun tanaman, Avicennia yang diberikan perlakuan air limbah organik lebih baik pertumbuhannya, dibandingkan Rhizophora dengan perlakuan yang sama dalam memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tinggi tanaman Penentuan Luas Sabuk Hijau (Greenbelt) Luas sabuk hijau yang harus ada di lokasi penelitian dihitung berdasarkan ketersediaan sabuk hijau mangrove selebar 130 x amplitudo pasut (Keppres No 32 Tahun 1990) dikalikan dengan panjang garis pantai sehingga berdasarkan hasil perhitungan tersebut pada lokasi penelitian adalah 103,35 ha (perhitungan pada Lampiran 6).

16 106 Luas lahan mangrove yang masih bisa dikonversi menjadi tambak sebesar 346,814 ha dikurangi 103,350 ha sabuk hijau adalah 243,464 ha, sehingga total area yang dikembangkan menjadi tambak (tambak yang ada dijumlahkan dengan luas hutan mangrove yang masih bisa dikonversi) yaitu 612,006 ha, merupakan luas tambak total dengan di dalamnya termasuk infra struktur (pematang, rumah jaga dan lain lain). Luas tambak tanpa infra struktur dengan mengurangkan 30% keperluan infra struktur, sehingga dari perhitungan ini luas tambak tanpa infra struktur seluas 70% adalah seluas 428,404 ha merupakan luas lahan efektif maksimum yang dapat digunakan untuk pemanfaatan tambak, luas efektif lahan dan luas greenbelt dalam perhitungan ini belum memperhitungkan penyerapan N total oleh mangrove terhadap limbah N total yang dikeluarkan tambak Estimasi Rasio Luas Mangrove dan Luas Tambak Lestari Berdasarkan N total Berdasarkan hasil perhitungan luas efektif lahan maksimum, digunakan mensimulasi daya dukung wilayah pesisir Kabupaten Tanah Bumbu dalam rangka mendapatkan rasio luas pengembangan areal tambak dan luas mangrove yang diperlukan sebagai penyerap limbah yang dikeluarkan oleh tambak. Perhitungan rasio luas tambak dan kebutuhan mangrove dapat dihitung berdasarkan jumlah N total biomas tanaman mangrove dan N total dalam limbah yang dikeluarkan tambak. Hasil perhitungan biomas berat kering tanaman mangrove dalam satuan m 2 adalah seperti ditunjukan pada Tabel 31. Tabel 31 Biomas kering mangrove jenis Avicennia Komponen Biomas/phn Biomas g/m 2 Biomas g/ha Biomas kg/ha Daun 2,75 11, Batang 16,95 67, Akar 10,94 43, Sumber: Data primer diolah (2010) Untuk mendapatkan nilai N total yang diserap oleh mangrove (mengalikan biomas dengan konsentrasi N total) seperti pada Tabel 32.

17 107 Tabel 32 Nilai N total dalam biomas kering Avicennia Komponen Biomas g/ha (1) Konsentrasi N N total kg/ha total (g) (2) (1)x(2) Daun ,0294 3,24 Batang 678 0,0069 4,68 Akar 437 0,0048 2,10 Sumber: Data primer diolah (2010) Volume limbah Total 10,02 per hektar tambak dengan kedalaman 1 m dihitung: Volume air yang dibuang dari tambak 10% perhari = m 3 x 0,1 = 1000 m 3 /ha, volume limbah 5% dihitung dari 10% jumlah air yang dibuang = 1000 m 3 x 0,05 = 50 m 3 /ha = liter/ha. Konsentrasi N total dalam air limbah tambak/ha diketahui dari konsentrasi N total limbah tambak hasil pengukuran 8,32 mg/l, dan N total per hektar yang dikeluarkan tambak adalah 0,416 kg/ha. Dari nilai dalam biomas kering tanaman Avicennia dan N total dalam limbah perhektar ini, dapat dihitung kebutuhan rasio mangrove dan tambak, dengan membagi nilai N total diserap mangrove dengan jumlah limbah total dikeluarkan tambak yaitu 10,02/0,416 = 24,08 dibulatkan menjadi 24. Sehingga bila terdapat 24 ha tambak diperlukan 1 ha mangrove untuk dapat menyerap limbah yang dikeluarkan oleh tambak. Kemudian perhitungan dilanjutkan mengacu pada hasil perhitungan Kumar et al. (2011) bahwa jumlah N total diserap mangrove adalah 0,92 kg/ha, dan sisanya dikeluarkan kembali ke lingkungan. Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh hasil bahwa apabila pada lokasi penelitian hanya diserap 10% dari N total mangrove maka 90% dari N total mangrove akan dikembalikan ke lingkungan. Maka hasil perhitungan perbandingannya menjadi 2,4:1. Apabila terdapat 2,4 ha tambak yang mengeluarkan limbah mengandung N total, maka limbah tersebut dapat diserap oleh 1 ha mangrove Rasio Luas Mangrove dan Luas Tambak Lestari Berdasarkan hasil perhitungan luas daya dukung tambak mass balance yang boleh dikembangkan maksimal seluas 409 ha, pada saat ini lahan yang telah dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya tambak di wilayah ini adalah 368,54 ha

18 108 dan luas mangrove 346,81 ha, sehingga total lahan yang tersedia seluas 715,36 ha. Bila pemanfaatan mencapai luas maksimum daya dukung 409 ha maka lahan mangrove tersisa seluas 306,36 ha merupakan luas mangrove yang masih bisa dimanfaatkan untuk perluasan tambak. Luas mangrove yang tidak boleh digunakan untuk tambak 103,35 ha sebagai jalur hijau (greenbelt) pada saat sebelum memperhitungkan penyerapan N total, tetapi setelah N total diperhitungkan perbandingan luas tambak dan mangrove menjadi 2,4:1 sehingga luas minimal mangrove harus tersedia menjadi 170,4 ha. Tabel 33 menunjukan luas tambak dan kebutuhan mangrove pada saat ini dan potensi tambak maksimal berdasarkan luas daya dukung mass balance. Tabel 33 Luas tambak dan kebutuhan mangrove Tambak Luas tambak (ha) Luas mangrove (ha) Kebutuhan luas tambak dan mangrove (2,4:1) Eksisting 368,54 346,81 368,54 : 153,6 Potensi (daya dukung maksimum) 409,00 306,36 409,00 : 170,4 Sumber: Data primer diolah (2010) Kebutuhan mangrove agar dapat menyerap limbah N total yang dikeluarkan tambak dalam penelitian ini dengan rasio luas tambak dan mangrove adalah 2,4:1, Luas lahan tambak yang ada 368,54 ha memerlukan luas mangrove 153,5 ha untuk dapat menyerap limbah N total yang dikeluarkan tambak. Demikian juga dengan lahan potensi maksimal daya dukung mass balance 409 ha masih tersedia luas mangrove karena hanya memerlukan mangrove seluas 170,4 ha, Kebutuhan luas mangrove di lokasi penelitian ini yang diperlukan oleh tambak lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian Fancy (2004) yaitu ketersediaan untuk tambak dan mangrove 5:1. Rasio luas mangrove yang ada cukup untuk menyerap limbah N total yang dikeluarkan tambak pada lokasi penelitian dan untuk menjamin keberlanjutan secara ekologis keberadaan mangrove harus memperhatikan kaidah rasio seperti yang dipersyaratkan pada Tabel 33. Hasil perhitungan greenbelt setelah menghitung penyerapan N total lebih luas dibandingkan hasil perhitungan greenbelt berdasarkan Keppres No 32 tahun Sebagai acuan dalam menentukan kebutuhan mangrove untuk suatu kawasan dalam satu hamparan, dengan harapan bahwa kebutuhan mangrove ini

19 109 mampu menciptakan tambak lestari dan berwawasan lingkungan. Perhitungan luas tambak dengan kebutuhan mangrove tidak bisa hanya berpatokan pada luas greenbelt berdasarkan Keppres No 32 dalam subbab 5.3.2, karena luas tersebut belum mencukupi menyerap limbah tambak yang mengandung N total. Dengan hasil perhitungan keperluan mangrove 170,4 ha, maka perhitungan luas total lahan keseluruhan 715,36 dikurangkan dengan luas mangrove yang diperlukan menyerap limbah N dari tambak seluas 170,4 ha adalah 545 ha merupakan luas efektif lahan, yang dapat dimanfaatkan untuk tambak dengan infra struktur dan setelah dikurangkan dengan 70% infra struktur luasnya menjadi 381,5 ha merupakan luas efektif lahan yang memenuhi syarat daya dukung yang berwawasan lingkungan pada lokasi penelitian. Digunakan sebagai acuan batas luas efektif lahan maksimum simulasi rasio tambak lestari berdasarkan ekologi ekonomi. 5.4 Rasio Luas Tambak Lestari Berdasarkan Ekologi Ekonomi Kombinasi luas tambak lestari berdasarkan hasil simulasi luas tambak dari hasil perhitungan daya dukung tambak di konversi menjadi tambak intensif, semi intensif dan tradisional dapat dilihat pada Tabel 34. Kombinasi ketiga sistem budidaya tambak hasil simulasi, yang mendekati total alokasi luas efektif lahan pemanfaatan untuk tambak (381,5 ha) di Kabupaten Tanah Bumbu adalah tambak intensif (20%) seluas 16,68 ha, tambak semi intensif (35%) seluas 73,0 ha dan tradisional (44%) seluas 312,84 ha. Kombinasi ini merupakan luas maksimum untuk pengembangan tambak di lokasi penelitian, karena jumlah luasnya ada dalam kisaran luas efektif (381,5 ha) yang paling mendekati luas lahan yang boleh dimanfaatkan untuk tambak (402,52 ha). Luas ini sudah memenuhi syarat daya dukung berwawasan lingkungan. Kombinasi ini berdasarkan perhitungan dengan mempertimbangkan luas tambak dengan hasil produksi rata-rata 5 ton per hektar untuk tambak intensif, tambak semi intensif dengan rata-rata produksi 2,5 ton per hektar dan tambak tradisional produksi rata-rata 0,6 ton per hektar, belum mempertimbangkan keterkaitan dengan nilai ekonominya.

20 110 Tabel 34 Kombinasi optimal luas tambak intensif, semi intensif dan tradisional dalam batasan daya dukung maksimum Luas Total No Tambak Intensif Tambak Semi-Intensif Tambak Trad Tambak Luas Luas Persentase (ha) Persentase Luas (ha) Persentase (ha) (ha) 1 100% 83,42 0% - 0% - 83,42 2 0% - 100% 208,56 0% - 208,56 3 0% - 0% - 100% 695,20 695, % 75,08 5% 10,43 5% 34,76 120, % 66,74 10% 20,86 10% 69,52 157, % 58,40 15% 31,28 15% 104,28 193, % 50,05 20% 41,71 20% 139,04 230, % 41,71 25% 52,14 25% 173,80 267, % 33,37 30% 62,57 30% 208,56 304, % 29,20 30% 62,57 35% 243,32 335, % 25,03 35% 73,00 35% 243,32 341, % 8,34 40% 83,42 40% 278,08 369, % 16,68 35% 73,00 45% 312,84 402,52 *) 14 8% 6,67 45% 93,85 47% 326,75 427, % 4,17 45% 93,85 50% 347,60 445,63 Sumber: Data primer diolah (2010); *) Luas optimal tambak yang mendekati daya dukung setelah menghitung penyerapan N total Luas tambak berwawasan lingkungan 380,42 ha, kalau dilihat dari Tabel 34 berada diantara luas simulasi 12 dan 13 namun nilai ini lebih mendekati nilai pada simulasi ke 13 yaitu luas 20% (16,68 ha) tambak intensif, 35% (73,0 ha) semi intensif dan 45% (312,84 ha) tambak tradisional. Kondisi tambak yang ada saat ini 368,542 ha dengan operasional tambak secara tradisional perlu dioptimalkan mengacu pada luas tambak berwawasan lingkungan, untuk memenuhi syarat daya dukung dengan maksimum buangan limbah yang tidak mencemari perairan pesisir di sekitarnya harus ada pola perubahan pengelolaan tambak dengan merubah pola usaha menjadi komposisi tambak intensif dan semi intensif dan tradisional, namun bila kebijakan adalah mempertahankan tambak tradisional maka luas lahan yang diupayakan tetap dipertahankan hanya sampai batas maksimum luas efektif pemanfaatan lahan yang diperbolehkan karena dari segi ekologis pengembangan tambak tradisional lebih ramah lingkungan, karena sumbangan limbah organik terhadap lingkungan perairan disekitarnya lebih rendah. Bila luas lahan tambak yang dikembangkan berdasarkan nilai ekonomi yang diperoleh dari jenis tambak intensif, semi

21 111 intensif dan tradisional maka nilai manfaat langsung dan tidak langsung tambak dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 35 Manfaat langsung dan tidak langsung berdasarkan jenis tambak Komponen Biaya/Manfaat Intensif Jenis Tambak (Rp/ha/th) Semi Intensif Tradisional A. Manfaat 1. B d (benefit Langsung) Udang vaname ) - - Udang windu ) - Udang windu- bandeng ) 2. B e (benefit tidak langsung) Udang Bintik ) ) ) Udang Putih ) ) ) Total B e B. Biaya 1. C d (biaya Langsung) Udang vaname Udang windu Udang windu bandeng C e (Biaya tdk langsung) Kayu bakar ) Benur ) Kepiting ) Total C e Net Benefit (N b ) N b *Luas lahan efektif Sumber: 1) Suryani ) Kamiso in Suryani ) Penelitian ini 4) Oktawati (2008) Dari manfaat langsung dan tidak langsung tersebut dihitung nilai ekonomi tambak berdasarkan luas lahan hasil simulasi. Hasil perkalian setiap luas lahan simulasi dengan nilai ekonomi tambak dapat dilihat pada Tabel 36. Tercapainya pengembangan tambak berwawasan lingkungan pada lokasi penelitian tidak hanya berdasarkan pada perolehan nilai ekonomi yang tinggi, tetapi harus memperhitungkan juga kemampuan daya dukung secara ekologi. Bila dikembangkan hanya tambak intensif dengan luas 83,42 ha sebagai hasil simulasi, maka akan diperoleh nilai ekonomi Rp ,00 per tahun. Nilai ekonomi tambak intensif ini cukup tinggi tetapi tidak menjamin keberlanjutan secara ekologi, karena akan memberikan sumbangan input limbah dari pakan yang besar pada lingkungan. Tambak semi intensif bila dibuka dalam satu hamparan 208,56 ha tanpa dipadukan dengan teknologi tambak lainnya, diperoleh nilai ekonomi sebesar Rp ,00 per tahun. Hasil simulasi nilai ekonomi semi intensif ini

22 112 merupakan nilai ekonomi paling tinggi, sama halnya dengan tambak intensif akan memberikan sumbangan input limbah yang tinggi. Kemudian apabila tambak tradisional dibuka 695,20 ha, akan memberikan nilai ekonomi yang relatif kecil yaitu Rp ,00. Luas 695,20 ha ini melebihi kapasitas luas efektif pemanfaatan lahan, karena pada lokasi penelitian hanya boleh dibuka tambak maksimum seluas 402,52 ha. Dari Tabel 36 dapat dilihat alternatif pengelolaan tambak yang lebih rasional secara ekologi dan ekonomi berdasarkan hasil simulasi. Pada simulasi ke 13 merupakan alternatif pengelolaan ekologi ekonomi yang ideal, karena secara ekologi luas lahan berada pada kisaran luas efektif pemanfaatan lahan yaitu 402,52 ha dan nilai ekonomi cukup tinggi, jika dibandingkan dengan pengelolaan tradisional, yang dihitung berdasarkan nilai ekologi pada simulasi ke 13 dalam Tabel 34 sehingga nilai ini Tabel 36 Hasil perhitungan luas simulasi tambak dan nilai ekonomi tambak Luas Intensif (ha) Nilai ekonomi intensif (Rp/th) Luas Semi intensif (ha) Nilai ekonomi Semi Intensif (Rp/th Luas Tradisio nal (ha) Nilai ekonomi Tradisional (Rp/th) Total Nilai Ekonomi (Rp/th) 83, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , *)16, , , , , , , , , Sumber: Data primer dan sekunder diolah; *) Nilai ekonomi tambak setelah menghitung penyerapan N total merupakan nilai yang mendekati daya dukung secara ekologi-ekonomi. Nilai ekologi ekonomi ini merupakan optimalisasi yang berdampak pada kegiatan usaha berkelanjutan, berturut turut terdiri dari tambak intensif dengan nilai

23 113 ekonomi Rp ,00 pertahun, tambak semi intensif dengan nilai ekonomi Rp ,00 pertahun dan tambak tradisional dengan nilai ekonomi Rp ,00 pertahun, penjumlahan ketiganya bila diterapkan dalam satu hamparan akan bernilai ekonomi total Rp ,00 per tahun, lebih layak dikembangkan pada lokasi penelitian, karena memberikan nilai ekonomi cukup tinggi dan akan memberikan sumbangan limbah pada lingkungan yang relatif lebih kecil, karena tambak intensif hanya dibuka seluas 16,68 ha, semi intensif 73,0 ha dan tradisional 312,84 ha. Berdasarkan hasil simulasi ini tambak pada lokasi penelitian dengan operasional secara tradisional masih bisa dioptimalkan pengelolaannya menjadi pengelolaan berdasarkan model simulasi ke 13 agar lebih berkelanjutan dan menghasilkan nilai ekonomi lebih besar sampai batas maksimum daya dukung. Untuk lebih jelasnya nilai ekonomi dari ketiga metode budidaya ini berdasarkan simulasi ke 13 dapat dilihat pada Gambar 16. Grafik pada Gambar 17 memperlihatkan hubungan antara nilai ekonomi total gabungan dari ketiga teknologi dengan luas tambak total. Ada beberapa luas lahan yang mendekati batas daya dukung yaitu saat simulasi ke 12 dan 13, luas lahan yang paling mendekati luas efektif lahan pemanfaatan sebagai batas maksimum daya dukung adalah simulasi 13, menunjukan bahwa pemanfaatan sumberdaya dalam hal ini perluasan lahan tambak maksimum juga memberikan nilai ekonomi maksimum dalam mendukung pertumbuhan kegiatan ekonomi, bila teknologi tambak ditingkatkan sesuai arahan luas daya dukung, hal ini sesuai dengan pendapat Tisdell (2000) in Adrianto (2004) bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi daya dukung lingkungan, yaitu daya dukung biofisik (biophysical carrying capacity) dan daya dukung sosial (social carrying capacity). Daya dukung biofisik (Kb) menyatakan ukuran jumlah populasi maksimal yang bisa ditopang biofisik dibawah kemampuan teknologi yang diberikan, sedangkan daya dukung sosial (Ks) adalah jumlah populasi maksimal yang bisa ditopang dibawah berbagai sistem sosial. Keterbatasan sumberdaya menggambarkan bahwa persyaratan ekologis menjadi sangat penting, sehingga daya dukung biofisik dapat lebih tinggi atau sama dengan daya dukung sosial (Kb>=Ks), dalam hal ini luas tambak memberikan gambaran hubungan dengan daya dukung biofisik dan nilai ekonomi berhubungan dengan daya dukung sosial,

24 114 karena luas lahan harus memenuhi syarat daya dukung biofisik sebagai penopang agar berkelanjutan maka nilai ekonomi harus berada pada posisi lebih kecil atau sama dengan daya dukung ekologi. Hal ini disebabkan daya dukung sosial (ekonomi) dipengaruhi daya dukung biofisik (sumberdaya) yang menjadi pembatas bagi daya dukung sosial (Kb>=Ks) sehingga simulasi ke 13 merupakan luas lahan dan nilai ekonomi yang memenuhi syarat Kb>=Ks. 3,500 Nilai ekonomi (Rp/th) juta 3,000 2,500 2,000 1,500 1, Daya dukung Simulasi ke Intensif Semi Intensif Tradisional Gambar Grafik hubungan nilai ekonomi dengan simulasi luas lahan pada tambak intensif, semi intensif dan tradisional. 3,500 Luas lahan (ha) ,000 2,500 2,000 1,500 1, Nilai ekonomi total (Rp/th) juta Luas efektif lahan (ha) Luas daya dukung (ha) Simulasi ke Luas simulasi (ha) Nilai ekonomi total tambak (Rp/th) Gambar 17 Grafik hubungan nilai ekonomi total hasil simulasi dengan luas lahan simulasi dalam batas daya dukung.

25 115 Berdasarkan penjumlahan nilai ekonomi ketiga jenis teknologi tambak dalam satu hamparan maka diperoleh nilai total ekonomi tambak, dapat dihitung pula total luas mangrove dan nilai ekonomi mangrove seperti tertera pada Tabel 37 dan Gambar 18. Simulasi ke Tabel 37 Nilai ekonomi total tambak dan mangrove (Rp/th) Luas tambak total (ha) Nilai ekonomi tambak total (Rp/th) Luas mangrove total (ha) Nilai ekonomi mangrove total (Rp/th) 1 83, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , *) 313, , , , , Sumber: Data primer dan sekunder diolah ; *) Nilai ekonomi tambak optimal setelah menghitung penyerapan N total Berdasarkan persyaratan minimal harus tersedia mangrove sebagai jalur hijau di lokasi penelitian seluas 170,4 ha, hasil perhitungan mass balance maka luas tambak pada simulasi ke 3 dengan luas 695,20 ha, sudah melebihi luas lahan efektif maksimum. Batas daya dukung sudah terlampau karena luas mangrove yang tersisa tinggal seluas 20,34 ha, kurang dari ketentuan luas jalur hijau yang harus tersedia pada lokasi penelitian. Nilai ekonomi tambak lebih besar dibandingkan dengan nilai ekonomi sumberdaya mangrove, kegiatan seperti mencari kayu bakar, benur dan kepiting tetap merupakan kegiatan yang tidak bisa dihilangkan dari kehidupan masyarakat pesisir, mereka masih sangat tergantung pada sumberdaya mangrove. Hal ini juga sama seperti yang dinyatakan dalam hasil penelitian Barbier (2003) bahwa rumah tangga pada empat wilayah desa berhutan bakau di Thailand secara langsung mata pencahariannya tergantung pada hutan bakau, untuk mencari ikan dan pengumpulan kayu bakar dan/atau manfaat tidak langsung dari dukungan mangrove untuk perikanan pesisir, selain kegiatan tambak. Sehingga sangat

26 116 penting mempertahankan keberlanjutan mangrove di lokasi penelitian walaupun nilai ekonominya rendah, dengan alasan bahwa lingkungan mangrove sebagai barang dan jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan manusia yang disediakan secara langsung oleh alam, sedangkan produk tambak menurut Gilbert dan Janssen (1998) sebagai man made capital yang berada di atas ruang atau menutupi lahan mangrove. Tambak tetap dikembangkan dengan memperhatikan daya dukung dan ketersediaan mangrove agar tetap berkelanjutan, dilihat dari grafik nilai ekonominya tambak lebih tinggi dari nilai ekonomi mangrove dan setiap terjadi peningkatan luas lahan tambak akan menyebabkan penurunan luas mangrove pada lokasi penelitian. Kegiatan ekonomi mangrove merupakan sumber ekonomi sebagian masyarakat pesisir pada lokasi penelitian yaitu sebagai tempat mencari kayu bakar dan ikan serta komoditas lainnya selain sebagai pelayanan jasa penyerap limbah tambak. Grafik hubungan antara ekonomi tambak dan ekonomi mangrove diperlihatkan pada Gambar 18. 3,500 Nilai ekonomi (Rp/th) juta 3,000 2,500 2,000 1,500 1, Daya dukung Simulasi ke Nilai ekonomi tambak total Nilai ekonomi mangrove Gambar 18 Hubungan ekonomi tambak total dan ekonomi mangrove Berdasarkan hasil perhitungan laba rugi tambak tradisional dalam kondisi aktual dengan hasil kelangsungan hidup udang 15% dan bandeng 64%, ditambah dengan hasil yang diperoleh dari udang bintik dan udang putih sebagai hasil sampingan setiap hektarnya pertahun, dengan dua kali musim tanam memberikan keuntungan sebesar Rp ,00. Apabila dalam budidaya tradisional yang

27 117 ada saat ini dilakukan perbaikan teknologi budidaya, misalnya dengan menambahkan kincir atau teknologi lainnya untuk meningkatkan kelangsungan hidup udang sampai 20% dan 25% serta bandeng sampai 80% seperti simulasi pada Tabel 38, maka akan berdampak pada peningkatan nilai ekonomi yang diperoleh (hasil perhitungan laba rugi dan investasi dapat dilihat pada Lampiran 6 dan 7). Tabel 38 Keuntungan bersih pada budidaya tambak tradisional dengan kelangsungan hidup dari udang dan bandeng Kelangsungan hidup (%) No Keuntungan Udang 15%: Udang 20%: Udang 25%: bersih Bandeng 64% *) Bandeng 80% **) Bandeng 80% **) 1 Rp/ha/MT Rp/ha/th Sumber: Data primer dan sekunder diolah; *) Kelangsungan hidup aktual, **) simulasi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam (Bengen 2004). Peluang

Lebih terperinci

6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN 119 6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN Skenario pengembangan kawasan pesisir berbasis budidaya perikanan berwawasan lingkungan, dibangun melalui simulasi model

Lebih terperinci

Estimasi Daya Dukung Mass Balance terhadap Efluen Tambak di Desa Sebamban Baru Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan

Estimasi Daya Dukung Mass Balance terhadap Efluen Tambak di Desa Sebamban Baru Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan Estimasi Daya Dukung Mass Balance terhadap Efluen Tambak di Desa Sebamban Baru Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan Estimation Mass Balance carrying capacity of the effluent pond in the village

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 49 3 METODOLOGI PENELITIAN 3. 1 Metode Penelitian Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dan eksperimen laboratorium. Menurut Nazir (1999), metode survei adalah penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR EDI RUDI FMIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ekosistem Hutan Mangrove komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu untuk tumbuh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA DUKUNG PERAIRAN BANYUPUTIH TERHADAP LIMBAH TAMBAK UDANG BERDASARKAN VOLUME AIR YANG TERSEDIA DI PERAIRAN

ANALISIS DAYA DUKUNG PERAIRAN BANYUPUTIH TERHADAP LIMBAH TAMBAK UDANG BERDASARKAN VOLUME AIR YANG TERSEDIA DI PERAIRAN Samakia: Jurnal Ilmu Perikanan Volume 6, No. 1, Februari 2015 ISSN :2086-3861 ANALISIS DAYA DUKUNG PERAIRAN BANYUPUTIH TERHADAP LIMBAH TAMBAK UDANG BERDASARKAN VOLUME AIR YANG TERSEDIA DI PERAIRAN ASSESSMENT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung V.1. Kajian keberlanjutan dengan Metode Ecological Footprint Seperti telah disebutkan sebelumnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan yang dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling berkaitan membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi lingkungan yang ekstrim seperti tanah yang tergenang akibat pasang surut laut, kadar garam yang tinggi, dan tanah yang kurang stabil memberikan kesempatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Lingkungan Penelitian Pada penelitian ini, lokasi hutan mangrove Leuweung Sancang dibagi ke dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan di Indonesia mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Salah satunya terjadi pada ekosistem mangrove. Hutan mangrove

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Mangrove Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama mangrove diberikan kepada jenis tumbuh-tumbuhan

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilaporkan sekitar 5,30 juta hektar jumlah hutan itu telah rusak (Gunarto, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. dilaporkan sekitar 5,30 juta hektar jumlah hutan itu telah rusak (Gunarto, 2004). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai hutan mangrove (hutan bakau) terbesar di dunia, yaitu mencapai 8,60 juta hektar, meskipun saat ini dilaporkan sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Populasi penduduk dunia pertengahan 2012 mencapai 7,058 milyar dan diprediksi akan meningkat menjadi 8,082 milyar pada tahun 2025 (Population Reference Bureau, 2012).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Mangrove 2.1.1. Pengertian mangrove Hutan mangrove secara umum didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan batasan penelitian Penelitian ini berlokasi di proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai di Dusun Kalangbahu Desa Jawai Laut Kecamatan Jawai Kabupaten Sambas Kalimantan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA Kartini V.A. Sitorus 1, Ralph A.N. Tuhumury 2 dan Annita Sari 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi Budidaya Perairan

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan 1 2 Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi untuk menerangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Proses adsorpsi antar partikel tersuspensi dalam kolom air terjadi karena adanya muatan listrik pada permukaan partikel tersebut. Butir lanau, lempung dan koloid asam

Lebih terperinci

1. Pengantar A. Latar Belakang

1. Pengantar A. Latar Belakang 1. Pengantar A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau dengan panjang sekitar 81.000, sehingga Negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbesar di dunia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbesar di dunia, dengan sekitar 18. 110 buah pulau, yang terbentang sepanjang 5.210 Km dari Timur ke Barat sepanjang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia sekitar 3.735.250 ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove memiliki sifat khusus yang berbeda dengan ekosistem hutan lain bila dinilai dari keberadaan dan peranannya dalam ekosistem sumberdaya alam, yaitu

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii BERITA ACARA... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii RINGKASAN...

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010 PENGARUH AKTIVITAS EKONOMI PENDUDUK TERHADAP KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KELURAHAN BAGAN DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyarataan Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung

Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa hanya ada 3 tambak yang menerapkan system silvofishery yang dilaksanakan di Desa Dabung, yaitu 2 tambak

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di sekitarnya. Kawasan pesisir memiliki beberapa ekosistem vital seperti ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB V. EVALUASI HASIL PENELITIAN Evaluasi Parameter Utama Penelitian Penilaian Daya Dukung dengan Metode Pembobotan 124

BAB V. EVALUASI HASIL PENELITIAN Evaluasi Parameter Utama Penelitian Penilaian Daya Dukung dengan Metode Pembobotan 124 DAFTAR ISI Halaman Judul Halaman Persetujuan Kata Pengantar Pernyataan Keaslian Tulisan Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Peta Daftar Lampiran Intisari Abstract i ii iii iv v ix xi xii xiii

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kacang tanah adalah salah satu jenis palawija yang dapat ditanam di sawah atau di ladang. Budidaya kacang tanah tidak begitu rumit, dan kondisi lingkungan setempat yang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdapat di Asia Tenggara. Indonesia dikenal sebagai negara dengan hutan

BAB I PENDAHULUAN. terdapat di Asia Tenggara. Indonesia dikenal sebagai negara dengan hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mangrove tersebar di wilayah tropis sampai sub tropis dan sebagian besar terdapat di Asia Tenggara. Indonesia dikenal sebagai negara dengan hutan mangrove terluas di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau dengan garis pantai sepanjang 99.023 km 2 (Kardono, P., 2013). Berdasarkan UNCLOS

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR

KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR Ba b 4 KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR 4.1. Potensi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Kecamatan Kuala Kampar memiliki potensi perikanan tangkap dengan komoditas ikan biang, ikan lomek dan udang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem hutan mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN 135 VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Komposisi spesies mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati dan tersebar tidak merata antar pulau.

Lebih terperinci

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Diperoleh model dalam pengelolaan lahan mangrove dengan tambak dalam silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat bermanfaat bagi pengguna

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi 16 TINJAUAN PUSTAKA Karbon Hutan Hutan merupakan penyerap karbon (sink) terbesar dan berperan penting dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi karbon (source). Hutan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan

PENDAHULUAN. banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan PENDAHULUAN Latar Belakang Aktivitas kehidupan manusia yang sangat tinggi telah menimbulkan banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan pembangunan, terutama di sektor industri

Lebih terperinci

Makalah Baku Mutu Lingkungan

Makalah Baku Mutu Lingkungan Makalah Baku Mutu Lingkungan 1.1 Latar Belakang Pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup seyogyanya menjadi acuan bagi kegiatan berbagai sektor pembangunan agar tercipta keseimbangan dan kelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti perikanan

Lebih terperinci

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus TEKNIK PENANAMAN MANGROVE PADA DELTA TERDEGRADASI DI SUMSEL Teknik Penanaman Mangrove Pada Delta Terdegradasi di Sumsel Teknik Penanaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian mencakup kegiatan usahatani perkebunan, perhutanan, peternakan, dan perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Dari sakala

Lebih terperinci

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON OLEH : CAROLUS NIRAHUA NRP : 000 PROGRAM PASCASARJANA BIDANG KEAHLIAN TEKNIK MANAJEMEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi untuk pertambakan adalah hutan mangrove.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat di Kabupaten Kubu Raya yang memiliki panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata mangrove dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas Rhizophora spp., (Soeroyo.1992:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan selalu atau secara teratur digenangi oleh air laut atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan dengan luas wilayah daratan dan perairan yang besar. Kawasan daratan dan perairan di Indonesia dibatasi oleh garis pantai yang menempati

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pemikiran Pembangunan pulau kecil menjadi kasus khusus disebabkan keterbatasan yang dimilikinya seperti sumberdaya alam, ekonomi dan kebudayaannya. Hal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari PENDAHULUAN Latar Belakang ndonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17 508 pulau dan panjang garis pantainya kira-kira 81 000 kin serta wilayah laut pedalaman dan teritorialnya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci