BAB II PENGATURAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA. terlebih dahulu apa saja yang termasuk dalam produk pornografi.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA. terlebih dahulu apa saja yang termasuk dalam produk pornografi."

Transkripsi

1 BAB II PENGATURAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA Sebelum melihat bagaimana pengaturan pornografi dalam berbagai pertauran perundang-undangan yang berlaku positif di Indonesia, perlu diketahui terlebih dahulu apa saja yang termasuk dalam produk pornografi. Menurut Abu Abdurrahman Nusantri dalam bukunya Menepis Godaan Prnografi, pornografi dapat merambah dalam berbagai saluran media yang terwujud dalam produk-produk pornografi. Ragam produk pornografi yang dimaksud adalah : Poster Porno Poster porno biasa dijumpai dalam bentuk iklan, pengumuman, propaganda seperti poster film, iklan sabun atau kosmetik dan sebagainya. 2. Kartu dan Stiker Porno Kadang materi pornografi dijumpai dalam bentuk kartu dan stiker (tempelan) dengan berbagai ukuran. Selain memperlihatkan gambar-gambar wanita dengan busana tidak senonoh, kadang juga disertai tulisan-tulisan yang berbau mesum. 3. Merchandise Porno Bentuk merchandise bermacam-macam seperti topi, mug, T-shirt, mancis, dan sebagainya. Sebagian perluasan merchandise sengaja memuat materi pornografi dalam bentuk foto wanita sensual seperti banyak dijumpai T-shirt yang menampilkan foto-foto wanita dengan aurat terbuka. 15 Abu Abdurrahman Nusantri, Menepis Godaan Pornografi.Jakarta : PT Dddarul Falah, hal. 39

2 4. Kalender Bikini Banyak beredar di masyarakat kalender-kalender yang memuat gambar wanita yang mengenakan busana bikini. Sungguh memalukan bila kita datang bertamu ke rumah seseorang dan terdapat kalender seperti itu di ruang tamunya. 5. Majalah dan Tabloit Porno Bentuk media ini ada yang sangat vulgar dan semi vulgar. Media ini biasanya berbentuk majalah dengan cover depannya bergambar seorang wanita dengan fose yang dapat merangsang birahi. Cover itu memang sengaja dibuat agar menarik minat pria untuk membeli majalah tersebut. Isi media itu bisa berupa galeri foto, artikel, liputan, konsultasi, tips dan lain-lain yang berbau porno. 6. Surat Kabar Porno Surat kabar yang diklaim sebagai surat kabar porno hampir tidak ada. Yang ada adalah surat kabar yang menggunakan materi-materi porno untuk memikat pembacanya.. mereka menampilkan foto-foto selebritis dengan dandanan binal di halaman depan, memuat berita-berita seputar pelacuran, pemerkosaan, cerita tentang perselingkuhan, cerita-cerita cabul dan berita-berita penyimpangan seks yang tidak pantas untuk disebarluaskan ke tengah-tengah masyarakat. 7. Cerita Fiksi Porno Cerita fiksi itu berbentuk cerpen (cerita pendek). Ada sebagian media yang spesialis memuat cerita-cerita fiktif tentang praktek seks bebas, selingkuh,

3 pemerkosaan, dan lainnya. Para penulis melampiaskan fantasi-fantasi mereka tentang kejahatan atau petualangan seks yang tidak mampu mereka lakukan dalam bentuk cerita-cerita yang penuh dengan kebohongan. 8. Novel Porno Novel-novel porno pernah berjaya di era tahun 70-an atau 80-an. Sesudah itu, dunia novel hampir-hampir tenggelam. Namun, di masa sekarang ini muncul pengarang-pengarang novel porno yang kebanyakan kaum perempuan. 9. Komik Porno Komik identik dengan kartun. Jepang bisa disebut sebagai surga komik (film kartun). Dunia industri semakin maju di Jepang, tekanan stress rakyatnya lebih maju dari itu. Sebagai solusi, mereka sangat menggemari komik maupun film kartun untuk menghilangkan stresnya. Tapi, gambargambar animasi itu disalahgunakan untuk membuat komik-komik mesum dan film-film kartun yang sangat tak layak ditonton oleh anak-anak. 10. Buku Liputan Penyimpangan Seks Mulai muncul penulis-penulis yang berpikiran cabul yang sengaja memuat buku-buku liputan tentang penyimpangan seks di kota besar. Mereka menulis buku-buku seperti itu adalah untuk mendapatkan uang yang banyak serta cepat dan mudah.

4 11. Lukisan Wanita Tanpa Busana Ini adalah hasil karya dari seniman-seniman yang berotak ngeres. Mereka hidup mengabdi pada seni, popularitas, dan uang. Dengan alasan seni, mereka melukis bentuk-bentuk visual tubuh wanita. 12. Fotografi Porno Di dunia fotografi tubuh wanita banyak dijadikan objek bidikan kamera. Banyak fotografer yang spesialis memotret tubuh wanita seperti wanita dengan busana sensual, setengah terbuka dan terbuka seluruhnya. Sudah tentu kehidupan pribadi fotografer-fotografer itu identik dengan dunianya. Mustahil jika mereka bisa memotret objek-objek mesum itu jika diri mereka sendiri tidak tercebur ke dunia mesum itu. 13. Billboard Porno Billboard adalah papan-papan iklan berupa gambar besar atau tulisantulisan dipajang di kanan-kiri jalan raya, di persimpangan jalan, di depan warung atau toko, di halte-halte bis kota, di jembatan-jembatan layang, dan sebagainya. Terkadang di sana dipajang foto-foto wanita dalam posepose sensual atau berbusana minimalis. Biasanya berupa billboard iklan sabun, shampoo, kosmetik, obat kuat, minuman berenergi, atau iklan rokok. Billboard mesum juga kerap menimbulkan kecelakaan bagi pengendara kendaraan khususnya kaum lelaki di saat mereka sedang terbuai oleh gambar-gambar mesum tersebut, tidak merasa moncong kendaraannya sudah membentur kendaraan lain.

5 14. Siaran Radio Porno Sebagian radio-radio FM sengaja memuat program siaran mesum yang dikemas dalam bentuk siaran interaktif dengan pendengar. Program-program ini biasanya disiarkan di hari-hari dan jam-jam tertentu. 15. Layanan Premium Call Ini merupakan layanan obrolan seks via telepon dengan tarif premium (mahal). Pihak penyedia layanan ini menyiapkan wanita-wanita tertentu yang lihai berbicara jorok untuk melayani fantasi-fantasi kaum laki-laki kesepian. 16. Kaset dan CD Musik Banyak juga terdapat kaset atau CD musik yang memasukkan suara-suara sensual, desahan-desahan, jeritan-jeritan atau syair-syair bernada mesum. Contohnya adalah musik dangdut. 17. Klip Musik Porno Dari segi durasi, klip musik mirip dengan iklan atau siaran-siaran pendek, tapi dari segi materi media, klip sebenarnya masih satu paket dengan kaset atau CD musik. Jika dalam satu album berisi banyak lagu, maka dalam klip biasanya diputar sebagiannya saja. Klip musik Barat terutama jenis rap sangat pekat dengan unsur-unsur mesum, terutama dari penari-penari latarnya. 18. Film Siaran Porno Stasiun TV-TV swasta masih kerap memutar film-film yang berbau porno. Hal ini dapat dilihat dari film-film Warkop yang kostum para pemain

6 wanitanya, dialog, dan aksi-aksi mereka kebanyakan cenderung porno. Selain itu masih terdapat film-film jorok sejenis Gairah Tengah Malam yang ditayangkan di Lativi maupun film-film asing lainnya yang menjadi menu mingguan setiap stasiun TV. 19. Spot Iklan Porno Iklan media cetak, radio, atau TV, banyak yang menonjolkan unsurunsur porno. Contohnya, adalah iklan Krisdayanti untuk produk obat kuat. 20. Video dan VCD Porno Dulu terkenal dengan sebutan video BF (Blue Film), tapi sekarang berpindah-pindah ke kepingan-kepingan mika, dengan istilah baru : VCD. Keping VCD porno ada yang 100% hasil transfer dari video-video BF, tapi ada juga yang dibuat secara amatir oleh orang-orang lokal. 21. Situs Internet Porno Dunia internet adalah dunia yang bebas, bebas sensor, bebas aturan. Negara-negara tertentu menerapkan undang-undang untuk menjerat pengelola situs-situs berbahaya. Di internet, seorang bisa memuat informasi apa saja tanpa ada batasan dan tanpa ada tekanan. Peluang ini terkadang dimanfaatkan oleh rumah-rumah pelacuran untuk menjaring pelanggan. Banyak juga yang sengaja memanfaatkan internet untuk mancari uang dengan menjual tayangan atu produk-produk pornografi via pos.

7 22. Game Interaktif Sebagian game-game memuat permainan seksual orang dewasa, bahkan terkadang bersifat sangat agresif. Permainan itu lalu dikaitkan dengan skor atau poin-poin tertentu. A. PENGATURAN PORNOGRAFI DALAM KUH PIDANA Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, pornografi termasuk ke dalam kejahatan kesopanan di bidang kesusilaan. R.Soesilo membedakan kejahatan menjadi kejahatan secara juridis dan kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. Untuk dapat melihat apakah perbuatan itu bertentangan dengan undang-undang maka undangundang itu haruslah diciptakan terlebih dahulu sebelum adanya peristiwa pidana. Hal ini selain untuk mencegah adanya tindakan sewenang-wenang dari pihak penguasa, juga agar dapat memberikan kepastian hukum. Sedangkan jika ditinjau dari segi sosiologis, kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang merugikan si penderita, dan juga sangat merugikan masyarakat. 16 Kejahatan terhadap kesopanan diatur dalam Bab XIV KUHP yang terdiri dari Pasal 281 sampai dengan Pasal 303, yang dikelompokkan menjadi : a. kejahatan dengan melanggar kesusilaan umum (281); b. kejahatan pornografi (282); c. kejahatan pornografi terhadap orang yang belum dewasa (283); 16 H.M. Ridwan & Ediwarman, Asas-Asas Kriminolog, USU Press, Medan, 1994, hal.45

8 d. kejahatan pornografi dalam menjalankan pencahariannya (283 bis); e. kejahatan perzinahan (284); f. kejahatan perkosaan atau bersetubuh (285); g. kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (286); h. kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang umurnya belum 15 tahun (287); i. kejahatan bersetubuh dengan perempuan dalam perkawinan yang belum waktunya kawin dan menimbulkan akibat luka-luka (288); j. kejahatan perkosaan berbuat cabul atau perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan (289) k. kejahatan percabulan pada orang pingsan, pada orang yang belum berusia 15 tahun atau belum waktunya untuk dikawini (290); l. kejahatan yang diatur dalam pasal 285, 286, 287, 289, dan 290 dalam keadaan yang memberatkan (291); m. kejahatan menggerakkan orang untuk berbuat cabul dengan orang yang belum dewasa (293); n. kejahatan berbuat cabul dengan anaknya, anak di bawah pengawasannya dan lain-lain yang belum dewasa (294); o. kejahatan permudahan berbuat cabul bagi anaknya, anak tirinya dan lain-lain yang belum dewasa (295); p. kejahatan pemudahan berbuat cabul sebagai mata pencaharian atau kebiasaan (296);

9 q. kejahatan memperdagangkan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa (297); r. kejahatan mengobati wanita dengan ditimbulkan harapan bahwa hamilnya dapat digugurkan (299); s. kejahatan berupa memberikan minuman keras pada orang yang telah mabuk, membuat mabuk seorang anak yang belum berumur enam belas tahun, dan memaksa orang untuk meminum minuman yang memabukkan (300); t. kejahatan menyerahkan anak yang umurnya belum dua belas tahun pada orang lain untuk dipakai melakukan pengemisan (301); u. kejahatan penganiayaan dan penganiayaan ringan terhadap binatang atau hewan (302); v. kejahatan mengenai perjudian (303 dan 303 bis). Kejahatan pornografi yang akan dibahas dalam hal ini, diatur diatur dalam tiga pasal : a. kejahatan Pornografi (Pasal 282 KUHP); b. kejahatan pornografi terhadap orang yang belum dewasa (Pasal 283 KUHP); c. kejahatan pornografi dalam menjalankan pencahariannya (Pasal 283 bis KUHP).

10 1. Kejahatan Pornografi Dalam KUHP, kejahatan pornografi ini dimuat dalam Pasal 282, yang rumusan selengkapnya adalah sebagai berikut : 17 (1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambar atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum. Membuat tulisan atau gambar atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,- (2) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin memasukkan ke dalam negeri, meneruskan, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan, atau menunjukkan sebagai bisa diperoleh, diancam jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambar atau benda itu melanggar kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,- (3) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama sebagai pencaharian atau kebiasaan, dapat dijatuhka pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 7.500, Ketentuan Pidana yang diatur dalam Pasal 282 ayat (1) KUHP itu melarang dilakukannya tiga jenis tindak pidana, masing-masing adalah : 18 a. menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan dengan terang-terangan suatu tulisan yang diketahui isinya, suatu gambar atau barang yang dikenalnya yang melanggar perasaan kesopanan ; 17 R.Soesilo,op.cit.hal P.A.F Lamintang, Delik-Delik Khusus, Tindak Pidana Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan,. Bandar Maju, Bandung, 1990, hal.41

11 Tindak pidana ini terdiri dari dua unsur, yaitu ; i. unsur subjektif : yang diketahui ii unsur objektif : barang siapa 1. menyiarkan 2. mempertontonkan 3. menempelkan dengan terang-terangan 4. suatu gambar atau barang yang dikenalnya yang melanggar perasaan kesopanan. Menyiarkan adalah segala bentuk menyampaikan atau memberitahukan yang isinya tulisan atau gambar tentang sesuatu atau hal yang ditujukan kepada khalayak ramai atau siapa saja dan bukan orang tertentu. Menyiarkan dilakukan dengan menyebarkan tulisan atau gambar (dalam jumlah yang cukup banyak) tersebut kepada umum. Arah yang dituju oleh pembuat yang menyiarkan adalah khalayak ramai. Dalam hubungannya dengan objek, maka yang disiarkan itu isinya berupa tulisan dan sesuatu keadaan mengenai gambar dan benda yang diketahuinya melanggar kesusilaan. 19 Perbuatan mempertunjukkan lebih mengarah kepada objek benda yang melanggar kesusilaan. Mempertunjukkan adalah berupa tingkah laku dengan cara apapun dengan memperlihatkan kepada orang banyak terutama mengenai objek benda yang mengandung sifat melanggar kesusilaan Adam Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,2005, hal Ibid

12 Sementara itu, perbuatan menempelkan adalah berupa perbuatan dengan cara bagaimanapun yang ditujukan pada suatu benda sehingga benda itu melekat atau menjadi sesuatu dengan benda yang lain. 21 b. membuat, membawa masuk, mengirimkan langsung, membawa keluar, atau menyediakan tulisan, gambar atau barang itu untuk disiarkan, dipertontonkan atau ditempelkan sehingga kelihatan oleh orang banyak; Tindak pidana yang disebutkan dalam huruf b terdiri dari : i. unsur subjektif : yang diketahui isinya ii. unsur objektif : 1. barang siapa 2. membuat 3. membawa masuk 4. mengirimkan langsung atau meneruskannya 5. membawa keluar 6. atau menyediakan 7. untuk disiarkan, dipertontonkan atau ditempelkan 8. suatu tulisan, gambar atau barang Perbuatan membuat adalah berupa perbuatan mengadakan atau menjadikan adanya sesuatu. Pada perbuatan memasukkan ke dalam negeri, menunjukkan bahwa tulisan, gambar dan benda itu berasal atau keberadaan 21 Ibid.

13 semula ada di luar wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Sedangkan maksud meneruskan atau mengirimkan langsung adalah meneruskan salah satu atau lebih objek pornografi setelah benda tersebut masuk ke wilayah Indonesia. Kemudian, perbuatan mengeluarkannya dari dalam negeri, adalah berupa perbuatan sebaliknya dari perbuatan memasukkannya ke Indonesia. Perbuatan ini dilakukan di dalam wilayah Indonesia, dan baru terwujud secara sempurna apabila objek pornografi itu telah melewati wilayah hukum Indonesia. Yang terakhir, perbuatan memiliki persediaan, adalah perbuatan menguasai objek-objek pornografi di suatu tempat tertentu, yang sewaktu-waktu diperlukan segera dapat dilakukan perbuatan-perbuatan tertentu terhadap objek itu. 22 c. berterang-terangan atau dengan menyiarkan sesuatu surat, ataupun dengan berterang-terangan diminta atau menunjukkan bahwa tulisan atau gambar itu boleh didapat. Tindak pidana yang disebutkan dalam huruf c terdiri dari : i. unsur subjektif : yang diketahuinya ii. unsur objektif : 1. barang siapa 2. berterang-terangan 3. menyiarkan 4. menunjukkan bahwa tulisan, gambar atau barang itu boleh didapat Kejahatan pada pasal 282 ayat (2) juga terdiri dari tiga macam seperti pada ayat pertama yang telah dibicarakan di muka. Pada setiap bentuk kejahatan 22 Ibid. hal.28

14 pornografi dalam ayat kedua ini mempunyai unsur-unsur yang sama dengan bentuk kejahatan pornografi pada ayat pertama, kecuali unsur kesalahannya. Pada ayat pertama kesalahannya dalam bentuk kesengajaan (dolus). Sedangkan unsur kesalahan yang terdapat pada ayat kedua adalah kesalahan dalam bentuk culva artinya si pembuat tidak berhati-hati dan tidak menyadari bahwa perbuatannya akan menimbulkan akibat berupa penyerangan terhadap rasa kesusilaan masyarakat. Dibentuknya kejahatan pornografi dalam bentuk kelalaian dimaksudkan untuk menghindari pemidanaan yang sama dengan ayat pertama sementara pelaku tidak menyadari bahwa perbuatannya itu menyerang rasa kesusilaan masyarakat. Selain itu, dengan adanya ketentuan dalam ayat ini, setiap kejahatan pornografi dapat dihukum meskipun tidak disadari oleh pelakunya. Pada ayat (3) terdapat pemberatan untuk kejahatan pornografi yang disengaja karena dilakukan berdasarkan kebiasaan atau untuk mata pencaharian. Yang dimaksud dengan mata pencaharian dalam hal ini adalah apabila kejahatan itu dilakukan demi tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan kebiasaan adalah perbuatan yang telah dilakukan berkali-kali dan ada kemungkinan akan terus berulang. 2. Kejahatan Pornografi pada Orang yang Belum Dewasa Kejahatan pornografi terhadap orang yang belum dewasa dirumuskan dalam Pasal 283 yang selengkapnya adalah sebagai berikut : R.Soesilo, op.cit.hal.207.

15 (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 9.000,-, barangsiapa menawarkan, memberikan untuk terus-menerus maupun sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambar atau benda ynag melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa, dan yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambar, benda atau alat itu telah diketahuinya. (2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa membacakan isi tulisan yang melanggar kesusilaan di muka orang yang belum dewasa sebagaimana dimaksud dalam ayat yang lalu, jika isi tulisan tadi telah diketahuinya. (3) Diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak Rp 9.000,-, barangsiapa menawarkan, memberikan untuk terus-menerus atau sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa sebagaimana dimaksud dalam ayat pertama, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga, bahwa tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan atau alat itu adalah alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan. Kejahatan dalam Pasal 283 di atas, dibagi dalam tiga rumusan, yaitu : a. Kejahatan menawarkan, memberikan dan sebagainya tulisan, gambar, benda yang melanggar kesusilaan atau alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan; 24 Unsur-unsur objektif : - perbuatan : 1. menawarkan; 2. memberikan terus atau sementara waktu; 3. menyerahkan; 4. memperlihatkan; 24 Adam Chazawi, op.cit, hal.36

16 - objeknya : 1. tulisan yang melanggar kesusilaan; 2. gambar yang melanggar kesusilaan; 3. benda yang melanggar kesusilaan; 4. alat untuk mencegah kehamilan; 5. alat untuk menggugurkan kandungan; - kepada orang yang belum dewasa Unsur subjektif : - dan diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum tujuh belas tahun; - isinya tulisan, gambar, benda yang melanggar kesusilaan, atau alat mencegah atau menggugurkan kandungan itu telah diketahuinya. Yang dimaksud dengan menawarkan adalah perbuatan dengan cara bagaimanapun pada suatu benda dengan mengajukan atau menunjukkannya kepada orang lain dengan maksud agar orang lain itu melakukan suatu perbuatan tertentu pada benda itu. Memberikan adalah perbuatan terhadap suatu benda dengan mengalihkan kekuasaan benda kepada orang lain secara cuma-cuma. Perbuatan ini selesai secara sempurna, apabila benda tersebut telah sepenuhnya beralih kekuasaannya pada orang yang menerimanya. Perbuatan memperlihatkan adalah perbuatan terhadap suatu benda (objek kejahatan ini) dengan menempatkannya sedemikian rupa sehingga terbuka bagi orang yang memandang atau melihat dan mengamati benda itu. Di dalam

17 perbuatan memperlihatkan, ada terkandung maksud agar orang lain melihat, memperhatikan benda yang diperlihatkan itu. b. Kejahatan membacakan tulisan cabul di muka orang belum dewasa; 25 Kejahatan yang dimaksud dalampasal 283 ayat (2), memiliki unsur-unsur sebagai berikut : - perbuatannya : membacakan; - objeknya : tulisan yang isinya melanggar kesusilaan; - di muka orang yang belum dewasa Perbuatan membacakan, maksudnya adalah untuk diperdengarkan bunyi kalimat-kalimat dalam suatu tulisan yang isinya melanggar kesusilaan. c. Kejahatan menawarkan, memberikan, menyerahkan, memperlihatkan tulisan, gambar, benda dan alat pencegah dan penggugur kehamilan yang dilakukan dengan sengaja. 26 Kejahatan yang dirumuskan pada ayat (3) Pasal 283 ini semua unsur objektifnya sama dengan kejahatan pada ayat pertama. Perbedaannya adalah kejahatan pada ayat (1) berupa kejahatan dolus, artinya dilakukan dengan sengaja. Sementara itu, kejahatan pada ayat (3) ini berupa kejahatan culva, dalam arti bahwa si pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut tidak menduga bahwa perbuatannya melanggar kesusilaan. 25 Ibid, hal Ibid, hal.41

18 3. Kejahatan Pornografi dalam Menjalankan Pencaharian dengan Pengulangan Kejahatan kesusilaan yang dimaksud adalah kejahatan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 283bis yang selengkapnya berbunyi : Jika yang bersalah melakukan salah satu kejahatan tersebut dalam Pasal 282 dan 283 dalam menjalankan pencahariannya dan ketika itu belum lampau dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian tersebut. Sesuai dengan ketentuan tersebut, terdapat syarat khusus dalam Pasal 283 bis tersebut, yaitu : 27 a. kejahatan Pasal 282 dan atau 283 itu dilakukan dalam menjalankan pencaharian; dan b. di mana terjadi pengulangan dalam jarak waktu belum dua tahun sejak dipidananya si pembuat karena kejahatan serupa dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Yang menjadi masalah utama pornografi dalam kaitannya dengan hukum pidana ialah dalam ukuran yang bagaimana suatu tulisan dan sebagainya dipandang porno atau cabul dalam suatu masyarakat tertentu dan dalam misi tertentu pula. Pornografi bersifat relatif, artinya tergantung pada ruang dan waktu, tempat dan orangnya serta kebudayaan suatu bangsa. Untuk itu, seringkali dipanggil saksi-saksi ahli seperti ahli kebudayaan, agama dan tokoh-tokoh masyarakat untuk memberikan pendapat dalam suatu kasus pornografi. 27 Ibid. hal.43

19 Ketelanjangan orang Amerika berbeda dengan ketelanjangan orang Jakarta dan ketelanjangan orang Jakarta berbeda dengan ketelanjangan orang Asmat. 28 Selanjutnya tentang apakah tulisan, gambar atau barang tersebut yang disebarluaskan, dipertunjukkan secara terbuka dan lain-lainnya itu dapat dipandang sebagai perbuatan menyinggung kesusilaan atau tidak, penilaianya sepenuhnya pada hakim. Menurut Hoge Raad dalam arrestnya tanggal 21 April 1908,w.1906 dan tanggal 15 Januari 1934, NJ 1934 halaman 919,w antara lain memutuskan : Suatu tulisan atau gambar itu disebut menyinggung kesusilaan jika tulisan atau gambar itu hanya bertujuan untuk membangkitkan atau merangsang nafsu. Arrest Hoge Raad ini penting mengingat tidak semua buku yang memuat tulisan dan gambar orang telanjang. Misalnya, bertujuan untuk merangsang nafsu akan tetapi untuk ilmu pengetahuan misalnya buku kedokteran. B. PENGATURAN PORNOGRAFI DALAM UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI 1. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak, mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati 28 Marzuki Umar Sa abah, Perilaku Suku Menyimpang & Seksualitas Kontemporer Umat Islam Cet.I, SU Press, Yogyakarta, 2000, hal.61

20 kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga Negara. Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia. Berkembangluasnya pornografi di tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindakan asusila dan pencabulan. Sementara itu, pengaturan pornografi yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak belum memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat sehingga perlu dibuat undang-undang baru yang secara khusus mengatur pornografi. Dalam Pasal 3 UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi dikatakan bahwa tujuan dibuatnya undang-undang ini adalah : a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tingggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan; b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk;

21 c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat; d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat. 2. Pengertian Pornografi Menurut UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi Pengertian pornografi dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 1 angka 1 yang berbunyi : Pornogrfi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Mengenai pengertian gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, dapat dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni : a. gambar :tiruan barang yang dibuat dengan coretan pensil dan sebagainya; 29 b. sketsa : lukisan cepat; gambar, rancangan atau bagan; 29 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 159.

22 lukisan dengan kata-kata mengenai suatu hal secara garis besar; adegan pendek pada suatu pertunjukan drama; 30 c. ilustrasi : gambar untuk memperjelas isi buku, karangan dan sebagainya; gambar, desain, atau diagram untuk menghias; d. foto : potret yang dimuat dalam surat kabar; gambaran bayangan; e. tulisan : hasil menulis, barang yang ditulis, cara menulis; 33 f. suara : bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia; 32 ucapan atau perkataan; 34 g. bunyi : sesuatu yang terdengar atau tertangkap oleh telinga; 35 h. gambar bergerak : hasil rekaman kamera video, film; 36 i. animasi : acara televisi yang berbentuk rangkaian tulisan atau gambar yang digerakkan secara mekanik elektronik sehingga tampak di layar menjadi bergerak; 37 j. kartun : film yang menciptakan hayalan gerak sebagai hasil pemotretan rangkaian gambar yang melukiskan perubahan posisi; gambar dengan penampilan lucu berbalik dengan keadaan yang berlaku; 38 k. percakapan : pembicaraan, perundingan, dialog perihal bercakap-cakap; Ibid, hal Ibid, hal Ibid, hal Ibid, hal Ibid, hal Ibid, hal Ibid, hal Ibid, hal Ibid, hal. 241

23 satuan interaksi bahasa antara dua pembicara atau lebih; 39 l. gerak tubuh : gerakan anggota tubuh yang mengandung isyarat atau arti; Larangan dan Pembatasan Untuk mengetahui tindakan apa saja yang dikategorikan sebagai tindakan pornografi menurut Undang-Undang ini, maka dapat dilihat dari Bab II yang mengatur tentang Larangan dan Pembatasan mulai dari Pasal 4 sampai Pasal 14. Pasal 4 (1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat : a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; dan f. pornografi anak. (2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang : a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung. Penjelasan : Ayat (1) Yang dimaksud dengan membuat adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. 39 Ibid, hal Ibid, hal. 166

24 Huruf a. Yang dimaksud dengan persenggamaan yang menyimpang antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual. Huruf b. Yang dimaksud dengan kekerasan seksual antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindak kekerasan ( penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau kekerasan. Huruf c. Yang dimaksud dengan masturbasi atau onani adalah proses memperoleh kepuasan seks tanpa berhubungan kelamin. 41 Huruf d. Yang dimaksud dengan mengesankan ketelanjangan adalah suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit. Huruf f. Pornografi anak adalah segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau yang melibatkan orang dewasa yang berperan atau bersikap seperti anak. Pasal 5 Setiap orang dilarang meminjam atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). Penjelasan : Yang dimaksud dengan mengunduh (download) adalah mengambil fail dari jaringan internet atau jaringan komunikasi lainnya. Pasal 6 Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan. 41 Dani.K, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Dilengkapi dengan EYD Terbaru Untuk SD, SMP, SMU, Mahasiswa & Umum, Putra Harsa, Surabaya, 2002, hal.334

25 Penjelasan : Larangan memiliki atau menyimpan tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Yang dimaksud dengan yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya. Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki atau menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di tempat atau di lokasi yang disediakan untuk tujuan lembaga yang dimaksud. Pasal 7 Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Pasal 8 Setiap orang dilarang dengan sengaja atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi. Penjelasan : Ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana. Pasal 9 Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

26 Pasal 10 Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya. Penjelasan : Yang dimaksud dengan pornografi lainnya antara lain kekerasan seksual, masturbasi, atau onani. Pasal 11 Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10. Pasal 12 Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi. Pasal 13 (1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan. (2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus. Penjelasan : Ayat (1). Yang dimaksud dengan pembuatan termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, atau menggandakan. Yang dimaksud dengan penyebarluasan termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjam, atau menyediakan. Yang dimaksud dengan penggunaan termasuk memperdengarkan,

27 mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan. Frasa selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dalam ketentuan ini misalnya majalah yang memuat model berpakaian olah raga pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya. Ayat (2). Yang dimaksud dengan di tempat dan dengan cara khusus misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi. Pasal 14 Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pidana Undang-undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan pengunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan yakni berat, sedang dan ringan, serta memberikan pemberatan tehadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan. Ketentuan Pidana ini diatur dalam Bab VII mulai dari Pasal 29 sampai Pasal 41 UU No. 44 Tahun Pasal 29 Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau dipidana denda paling

28 sedikit Rp ,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (enam miliar rupiah). Berdasarkan ketentuan Pasal 29 di atas maka, yang menjadi unsur objektif perbuatan pidana yang dimaksud adalah setiap orang. Sedangkan yang menjadi unsur subjektif adalah memproduksi, membuat memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi. Dari isi pasal tersebut dapat juga disimpulkan bahwa sanksinya bersifat gabungan yang ditandai dengan kata dan/atau. Sedangkan mengenai batas hukuman, menggunkan batasan maksimum minimum. Penjara : mimimum 6 tahun, maksimum 12 tahun Denda : minimum Rp ,00 maksimum Rp ,00 Pasal 30 Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp ,00 ( dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (tiga miliar rupiah). Berdasarkan ketentuan Pasal 30 di atas maka, yang menjadi unsur objektif perbuatan pidana yang dimaksud adalah setiap orang. Sedangkan yang menjadi unsur subjektif adalah menyediakan jasa pornografi Dari isi pasal tersebut dapat juga disimpulkan bahwa sanksinya bersifat gabungan yang ditandai dengan kata dan/atau. Sedangkan mengenai batas hukuman, menggunakan batasan maksimum minimum.

29 Penjara : minimum 6 bulan, maksimum 6 tahun Denda : minimum Rp ,00 Maksimum Rp ,- Pasal 31 Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp ,00 (dua miliar rupiah). Berdasarkan ketentuan Pasal 31 di atas maka, yang menjadi unsur objektif perbuatan pidana yang dimaksud adalah setiap orang. Sedangkan yang menjadi unsur subjektif adalah meminjamkan atau mengunduh pornografi. Dari isi pasal tersebut dapat juga disimpulkan bahwa sanksinya bersifat gabungan yang ditandai dengan kata dan/atau. Sedangkan mengenai batas hukuman, menggunakan batasan maksimum. Penjara : 4 tahun Denda : Rp ,00 Pasal 32 Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp ,00 (duia miliar rupiah). Berdasarkan ketentuan Pasal 32 di atas maka, yang menjadi unsur objektif perbuatan pidana yang dimaksud adalah setiap orang. Sedangkan yang menjadi unsur subjektif adalah memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi

30 Dari isi pasal tersebut dapat juga disimpulkan bahwa sanksinya bersifat gabungan yang ditandai dengan kata dan/atau. Sedangkan mengenai batas hukuman, menggunakan batasan maksimum. Penjara : 4 tahun Denda : Rp ,00 Pasal 33 Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp ,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah). Berdasarkan ketentuan Pasal 33 di atas maka, yang menjadi unsur objektif perbuatan pidana yang dimaksud adalah setiap orang. Sedangkan yang menjadi unsur subjektif adalah mendanai atau memfasilitasi Dari isi pasal tersebut dapat juga disimpulkan bahwa sanksinya bersifat gabungan yang ditandai dengan kata dan/atau. Sedangkan mengenai batas hukuman, menggunakan batasan maksimum minimum. Penjara :minimum 2 tahun, maksimum 15 tahun Denda : minimum Rp ,00 Maksimum Rp ,00 Pasal 34 Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah).

31 Berdasarkan ketentuan Pasal 34 di atas maka, yang menjadi unsur objektif perbuatan pidana yang dimaksud adalah setiap orang. Sedangkan yang menjadi unsur subjektif adalah dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi Dari isi pasal tersebut dapat juga disimpulkan bahwa sanksinya bersifat gabungan yang ditandai dengan kata dan/atau. Sedangkan mengenai batas hukuman, menggunakan batasan maksimum. Penjara : 10 tahun Denda : Rp ,00 Pasal 35 Setiap orng yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp ,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (enam miliar rupiah). Berdasarkan ketentuan Pasal 35 di atas maka, yang menjadi unsur objektif perbuatan pidana yang dimaksud adalah setiap orang. Sedangkan yang menjadi unsur subjektif adalah menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi Dari isi pasal tersebut dapat juga disimpulkan bahwa sanksinya bersifat gabungan yang ditandai dengan kata dan/atau. Sedangkan mengenai batas hukuman, menggunakan batasan maksimum minimum. Penjara : minimum 1 tahun, maksimum 12 tahun Denda : minimum Rp ,00

32 maksimum Rp ,00 Pasal 36 Setiap orang yang mempertontonkan diri atau dipertontonkan dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah). Berdasarkan ketentuan Pasal 36 di atas maka, yang menjadi unsur objektif perbuatan pidana yang dimaksud adalah setiap orang. Sedangkan yang menjadi unsur subjektif adalah mempertontonkan diri atau dipertontonkan dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi Dari isi pasal tersebut dapat juga disimpulkan bahwa sanksinya bersifat gabungan yang ditandai dengan kata dan/atau. Sedangkan mengenai batas hukuman, menggunakan batasan maksimum. Penjara : 10 tahun Denda : Rp ,00 Pasal 37 Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya. Berdasarkan ketentuan Pasal 37 di atas maka, yang menjadi unsur objektif perbuatan pidana yang dimaksud adalah setiap orang. Sedangkan yang menjadi unsur subjektif adalah melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek

33 Dari isi pasal tersebut dapat juga disimpulkan bahwa sanksinya bersifat gabungan yang ditandai dengan kata dan/atau. Sedangkan untuk hukuman adalah hukuman sesuai Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36 ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman hukuman maksimum. Jadi pasal ini mengandung unsur pemberatan. Pasal 38 Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6(enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp ,00 ( dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (tiga miliar rupiah). Berdasarkan ketentuan Pasal 38 di atas maka, yang menjadi unsur objektif perbuatan pidana yang dimaksud adalah setiap orang. Sedangkan yang menjadi unsur subjektif adalah mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi Dari isi pasal tersebut dapat juga disimpulkan bahwa sanksinya bersifat gabungan yang ditandai dengan kata dan/atau. Sedangkan mengenai batas hukuman, menggunakan batasan maksimum minimum. Penjara : minimum 6 bulan, maksimum 6 tahun Denda : minimum Rp ,00 Maksimum Rp ,00

34 Pasal 39 Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan. Pasal 40 (1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. (2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama. (3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus. (4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain. (5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi mengahadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memrintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan. (6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. (7) Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini. Berdasarkan ketentuan Pasal 40 di atas maka, yang menjadi unsur objektif perbuatan pidana yang dimaksud adalah koorporasi. Sedangkan yang menjadi unsur subjektif adalah setiap perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sampai Pasal 38. Sedangkan untuk hukuman adalah hukuman sesuai Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38,

35 maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini. Pasal 41 Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa : a. pembekuan izin usaha; b. pencabutan izin usaha; c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan d. pencabutan status badan hukum. C. PENGATURAN PORNOGRAFI DALAM PERATURAN PERUNDANG -UNDANGAN LAINNYA 1. UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui system kawat, optik, radio, atau siaran elektromagnetik lainnya. 42 Mengenai larangan dan pembatasan yang berkaitan dengan pornografi diatur dalam Pasal 21 yang berbunyi : Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum. Kemudian dalam penjelasan Pasal 21 UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dikatakan Penghentian kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilakukan oleh pemerintah setelah diperoleh informasi yang patut diduga 42 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 1 angka 1

36 dengan kuat dan diyakini bahwa penyelenggaraan telekomunikasi tersebut melanggar kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum. 2. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. 43 Dalam hubungannya dengan pornografi dalam pers di Indonesia, maka penggambaran mencakup penyajian dalam mass-media di Indonesia terkadang memuat pornografi di dalamnya. Pada majalah/surat kabar hiburan, kegunaan gambar/foto sangatlah menentukan sebab gambar dan foto itulah yang menyebabkan produk itu laku di pasaran. Majalah/surat kabar yang tidak memuatnya, akan terasa sangat hambar dan tidak menarik. 44 Sehubungan dengan hal tersebut, di Indonesia kebebasan pers dibatasi demi keselamatan moral masyarakat. Kebebasan berbicara tidak berarti kebebasan untuk mengungkapkan segala-galanya di depan publik. Kemerdekaan untuk mengumpulkan, menyebarkan dan menerima informasi memang adalah hak individu yang dijunjung tinggi secara universal. Yang selalu dilindungi pada dasarnya adalah kebebasan untuk berbeda pendapat, kebebasan untuk berdebat, 43 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 1 angka 1 44 Oemar seno Adji, Mass Media dan Hukum.Cet.II, Erlangga, Jakarta, 1997, hal. 13

37 berargumen, mengkritik, atau mengajukan fakta yang menyangkut kepentingan publik. Namun, kemerdekaan itu tidak berarti kemerdekaan absolut untuk menyebarkan informasi apapun. Dengan adanya reformasi, kebebasan pers dalam arti bebas untuk mengungkapkan apa saja, kembali marak dalam berbagai tuntutan. Kebebasan pers yang diberikan pemerintah pada awal reformasi ternyata mengundang perilaku yang tidak bertanggung jawab dari pihak-pihak yang kemudian menerbitkan berbagai produk pornografi. Dalam Pasal 2 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers dikatakan bahwa : Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Lalu kemudian dalam Pasal 5 ayat (1) dikatakan bahwa : Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Lalu, ketentuan selanjutnya yng berhubungan dengan pornografi diatur dalam Pasal 13 yang isinya adalah : Perusahaan iklan dilarang memuat iklan : a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat; b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok. 3. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dikatakan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.181, 2008 PORNOGRAFI. Kesusilaan Anak. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI [LN 2008/181, TLN 4928]

UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI [LN 2008/181, TLN 4928] UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI [LN 2008/181, TLN 4928] BAB VII KETENTUAN PIDANA Pasal 29 Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 181, 2008 PORNOGRAFI. Kesusilaan. Anak. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI 41 BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI A. Menurut Peraturan Sebelum Lahirnya UU No. 44 Tahun 2008

Lebih terperinci

No berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media pornografi, sehingga diperlu

No berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media pornografi, sehingga diperlu TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.4928 PORNOGRAFI. Kesusilaan Anak. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 181) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PORNOGRAFI

PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PORNOGRAFI 1 PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PORNOGRAFI I. UMUM Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

Isi Undang-Undang Pornografi & Pornoaksi

Isi Undang-Undang Pornografi & Pornoaksi Isi Undang-Undang Pornografi & Pornoaksi RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.Pornografi adalah materi

Lebih terperinci

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 281 Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan

Lebih terperinci

Apa Dong (dot) Com

Apa Dong (dot) Com DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No.

BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No. 72 BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN 2008 A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi telah diundangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai

Lebih terperinci

Ringkasan Putusan.

Ringkasan Putusan. Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 tanggal 25 Maret 2010 atas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, dengan hormat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Bangsa Indonesia sejak lama di kenal sebagai Bangsa yang memiliki Adat Istiadat yang serba sopan dan moral yang sopan. Walaupun demikian ternyata budaya atau kepribadian Indonesia semakin

Lebih terperinci

Pasal 5: Setiap orang dilarang

Pasal 5: Setiap orang dilarang PERUBAHAN RUU PORNOGRAFI JIKA DIBANDINGKAN DENGAN RUU SEBELUMNYA NO RUU-P LAMA (23 Juli 2008) RUU-P BARU (4 September 2008) 1. Pasal 5: Setiap orang dilarang melibatkan anak sebagai objek atas kegiatan

Lebih terperinci

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara Pasal-pasal Delik Pers KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA I. Pembocoran Rahasia Negara Pasal 112 Barang siapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 6 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi? Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SAMBAS NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG LARANGAN PELACURAN DAN PONOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS

PERATURAN DAERAH KOTA SAMBAS NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG LARANGAN PELACURAN DAN PONOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KOTA SAMBAS NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG LARANGAN PELACURAN DAN PONOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS Menimbang : a. bahwa pelacuran merupakan suatu perbuatan yang bertentangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masuknya informasi dari luar negeri melalui media massa dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masuknya informasi dari luar negeri melalui media massa dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masuknya informasi dari luar negeri melalui media massa dan elektronik, seperti internet, buku, dan surat kabar, saat ini mempunyai pengaruh yang sangat luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang teknologi informasi dan komunikasi, pers telah memberikan andil yang

BAB I PENDAHULUAN. bidang teknologi informasi dan komunikasi, pers telah memberikan andil yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Melihat pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang teknologi informasi dan komunikasi, pers telah memberikan andil yang cukup besar

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DATA. Kesimpulan/Fakta. Penjelasan. Analisis. Gambar 2 Struktur Wacana Berita

BAB 4 ANALISIS DATA. Kesimpulan/Fakta. Penjelasan. Analisis. Gambar 2 Struktur Wacana Berita 25 BAB 4 ANALISIS DATA 4.1 Analisis Struktur UUP sebagai Wacana Berlaras Hukum Wacana dibangun oleh sebuah struktur. Menurut Yuwono, yang ditulisnya dalam makalah pengajaran Kapita Selekta Linguistik semester

Lebih terperinci

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan Selain masalah HAM, hal janggal yang saya amati adalah ancaman hukumannya. Anggara sudah menulis mengenai kekhawatiran dia yang lain di dalam UU ini. Di bawah adalah perbandingan ancaman hukuman pada pasal

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM

BAB I KETENTUAN UMUM Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA

BAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA BAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA A. Pengaturan Sanksi Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam terhadap Pedofilia 1. pengaturan Sanksi Menurut

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 32/PUU-VI/2008 Tentang Iklan Kampanye Dalam Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 32/PUU-VI/2008 Tentang Iklan Kampanye Dalam Pemilu RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 32/PUU-VI/2008 Tentang Iklan Kampanye Dalam Pemilu I. PARA PEMOHON 1. H. Tarman Azzam. 2. Kristanto Hartadi. 3. Sasongko Tedjo. 4. Ratna Susilowati. 5. H.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 23 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBERANTASAN MAKSIAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 23 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBERANTASAN MAKSIAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 23 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBERANTASAN MAKSIAT DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN KOMERING ULU

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI BANYUASIN, Menimbang Mengingat : : a.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HULU NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PELARANGAN DAN PENERTIBAN PENYAKIT MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HULU NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PELARANGAN DAN PENERTIBAN PENYAKIT MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HULU NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PELARANGAN DAN PENERTIBAN PENYAKIT MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ROKAN HULU, Menimbang : a. bahwa Kabupaten Rokan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 32 BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. Pengaturan Hukum Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tindak pidana

Lebih terperinci

Bab XXV : Perbuatan Curang

Bab XXV : Perbuatan Curang Bab XXV : Perbuatan Curang Pasal 378 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

Lampiran 2 UNDANG-UNDANG ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI

Lampiran 2 UNDANG-UNDANG ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI 21 Lampiran 2 UNDANG-UNDANG ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI BAB I KETENTUAN UMUM Bagian Pertama Pengertian Pasal 1 Dalam Undang Undang ini yang dimaksudkan dengan : 1. Pornografi adalah substansi dalam media

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI 1 PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PORNOGRAFI MENURUT UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PORNOGRAFI MENURUT UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PORNOGRAFI MENURUT UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI A. Pornografi dalam Berbagai Peraturan diluar UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi Pornografi selain

Lebih terperinci

a. Tidak sekolah b. SD c. SMP d. SMU e. Perguruan tinggi II. Pertanyaan tentang Pengetahuan 1. Menurut anda apakah yang dimaksud dengan internet?

a. Tidak sekolah b. SD c. SMP d. SMU e. Perguruan tinggi II. Pertanyaan tentang Pengetahuan 1. Menurut anda apakah yang dimaksud dengan internet? No. Responden : Umur : tahun Kelas/jurusan : Jenis kelamin : L/P Tempat tinggal : Uang saku : Rp. Perhari Pendidikan terakhir Orangtua : Pendidikan terakhir Ayah Ibu Pekerjaan Orangtua : Penghasilan Orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan

Lebih terperinci

Brought to you by

Brought to you by DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Jalan Jenderal Gatot Subroto - Jakarta 10270 Nomor : RU.02/6632/DPR-RI/2007 Sifat : Penting Derajat : Amat Segera Lampiran : 1 (satu) berkas Perihal : Usul DPR

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PROSTITUSI MELALUI MEDIA ONLINE

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PROSTITUSI MELALUI MEDIA ONLINE BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PROSTITUSI MELALUI MEDIA ONLINE A. Pengaturan Hukum Pidana Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media Online Dalam Peraturan Perundang-Undangan Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum

BAB 1 PENDAHULUAN. itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Dalam konteks itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum berfungsi untuk mengatur seluruh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO.8 TAHUN 1992 TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO.8 TAHUN 1992 TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO.8 TAHUN 1992 TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa Film sebagai media komunikasi massa pandangdengar mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada saat ini banyak sekali ditemukan berbagai macam event-event hiburan yang

I. PENDAHULUAN. Pada saat ini banyak sekali ditemukan berbagai macam event-event hiburan yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini banyak sekali ditemukan berbagai macam event-event hiburan yang ada dilingkungan masyarakat. Event-event yang diselenggarakan biasanya menyajikan hiburan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENYIARAN [LN 1997/72, TLN 3701]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENYIARAN [LN 1997/72, TLN 3701] UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENYIARAN [LN 1997/72, TLN 3701] Bagian Kedua Ketentuan Pidana Pasal 64 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA JAMBI dan WALIKOTA JAMBI M E M U T U S K A N :

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA JAMBI dan WALIKOTA JAMBI M E M U T U S K A N : WALIKOTA JAMBI PERATURAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBERANTASAN PELACURAN DAN PERBUATAN ASUSILA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA JAMBI, Menimbang a. bahwa pelacuran dan perbuatan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PERFILMAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PERFILMAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PERFILMAN I. UMUM Salah satu tuntutan gerakan reformasi tahun 1998, ialah diadakannya reformasi dalam bidang politik dan kebudayaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam informasi melalui dunia cyber sehingga terjadinya fenomena kejahatan di

BAB I PENDAHULUAN. macam informasi melalui dunia cyber sehingga terjadinya fenomena kejahatan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum dimana salah satu ciri negara hukum adalah adanya pengakuan hak-hak warga negara oleh negara serta mengatur kewajiban-kewajiban

Lebih terperinci

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018 KAJIAN KRITIS DAN REKOMENDASI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA TERHADAP RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (R-KUHP) YANG MASIH DISKRIMINATIF TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SERTA MENGABAIKAN KERENTANAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG P E R S DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG P E R S DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG P E R S DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan teknologi, membawa perubahan yang signifikan dalam pergaulan dan moral manusia, sehingga banyak

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERBUATAN MAKSIAT DI KOTA SOLOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERBUATAN MAKSIAT DI KOTA SOLOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERBUATAN MAKSIAT DI KOTA SOLOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SOLOK, Menimbang : a. bahwa untuk menjunjung

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR TAHUN TENTANG PENGELOLAAN WARUNG INTERNET DI KABUPATEN KUDUS

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR TAHUN TENTANG PENGELOLAAN WARUNG INTERNET DI KABUPATEN KUDUS RANCANGAN PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR TAHUN TENTANG PENGELOLAAN WARUNG INTERNET DI KABUPATEN KUDUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 mengakui bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK C. Tindak Pidana Persetubuhan dalam KUHPidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Lebih terperinci

Hukum dan Pers. Oleh Ade Armando. Seminar Nasional Mengurai Delik Pers Dalam RUU KUHP Hotel Sofyan Betawi, Kamis, 24 Agustus 2006

Hukum dan Pers. Oleh Ade Armando. Seminar Nasional Mengurai Delik Pers Dalam RUU KUHP Hotel Sofyan Betawi, Kamis, 24 Agustus 2006 Hukum dan Pers Oleh Ade Armando Seminar Nasional Mengurai Delik Pers Dalam RUU KUHP Hotel Sofyan Betawi, Kamis, 24 Agustus 2006 1 Bukan Kebebasan Tanpa Batas Kemerdekaan media tidak pernah berarti kemerdekaan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-VI/2009 tentang Undang-undang Pornografi (Kemajemukan budaya yang terlanggar)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-VI/2009 tentang Undang-undang Pornografi (Kemajemukan budaya yang terlanggar) RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-VI/2009 tentang Undang-undang Pornografi (Kemajemukan budaya yang terlanggar) I. PARA PEMOHON 1. Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi diwakili

Lebih terperinci

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN MAKSIAT

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN MAKSIAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOLOK SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN MAKSIAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SOLOK SELATAN, Menimbang : Mengingat : a. bahwa berbagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235]

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235] UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 77 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan : a. diskriminasi terhadap anak

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN.. TENTANG ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN.. TENTANG ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN.. TENTANG ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184 UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] BAB XVI KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Pertama Ketentuan Pidana Pasal 183 74 1, dikenakan sanksi pidana

Lebih terperinci

Bab VI : Pelanggaran Kesusilaan

Bab VI : Pelanggaran Kesusilaan Bab VI : Pelanggaran Kesusilaan Pasal 532 Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga hari atau pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah: 1. barang siapa di muka umum menyanyikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 78 (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan,

Lebih terperinci

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana 1. Jenis-jenis Tindak Pidana Kekerasan di dalam KUHP Kekerasan adalah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan; BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang artinya porstitusi, pelacur; dan graphien yang artinya menggambarkan, menulis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang artinya porstitusi, pelacur; dan graphien yang artinya menggambarkan, menulis, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pornografi dan Norma Kesusilaan. Istilah pornografi menurut sejarahnya berasal dari bahasa Yunani; dari kata porne yang artinya porstitusi, pelacur; dan graphien yang

Lebih terperinci

http://www.warungbaca.com/2016/12/download-undang-undang-nomor-19-tahun.html UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.251, 2016 KOMUNIKASI. INFORMASI. Transaksi. Elektronik. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat meliputi aspek sosial, politik, agama, budaya, dan moralitas

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat meliputi aspek sosial, politik, agama, budaya, dan moralitas BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Media massa memberikan dampak yang sangat besar bagi masyarakat. Internet masih menduduki tingkat teratas sebagai alat akses informasi termudah saat ini, namun dalam

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG ANTI PERBUATAN MAKSIAT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PADANG PANJANG

PEMERINTAH KOTA PADANG PANJANG PEMERINTAH KOTA PADANG PANJANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG PANJANG NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA PADANG PANJANG NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN DAN

Lebih terperinci

PERATURAN POLITEKNIK NEGERI BANDUNG NOMOR: 2273/PL1.R/KM/2012 TENTANG KEDISIPLINAN MAHASISWA DIREKTUR POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

PERATURAN POLITEKNIK NEGERI BANDUNG NOMOR: 2273/PL1.R/KM/2012 TENTANG KEDISIPLINAN MAHASISWA DIREKTUR POLITEKNIK NEGERI BANDUNG PERATURAN POLITEKNIK NEGERI BANDUNG NOMOR: 2273/PL1.R/KM/2012 TENTANG KEDISIPLINAN MAHASISWA DIREKTUR POLITEKNIK NEGERI BANDUNG Menimbang : a. bahwa Politeknik Negeri Bandung (POLBAN) sebagai perguruan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Putusan Pengadilan Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : Putusan Pengadilan adalah

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

Ketentuan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran terkait Haluan Dasar, Karakteristik Penyiaran, dan Prinsip Dasar Penyiaran di Indonesia

Ketentuan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran terkait Haluan Dasar, Karakteristik Penyiaran, dan Prinsip Dasar Penyiaran di Indonesia Ketentuan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran terkait Haluan Dasar, Karakteristik Penyiaran, dan Prinsip Dasar Penyiaran di Indonesia 1. Haluan Dasar Penyiaran di Indonesia Landasan Filosofis Asas bahwa

Lebih terperinci

Bab XXVIII : Kejahatan Jabatan

Bab XXVIII : Kejahatan Jabatan Bab XXVIII : Kejahatan Jabatan Pasal 413 Seorang komandan Angkatan Bersenjata yang menolak atau sengaja mengabaikan untuk menggunakan kekuatan di bawah perintahnya, ketika diminta oleh penguasa sipil yang

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Jalan Jenderal Gatot Subroto - Jakarta 10270

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Jalan Jenderal Gatot Subroto - Jakarta 10270 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Jalan Jenderal Gatot Subroto - Jakarta 10270 Nomor : RU.02/6632/DPR-RI/2007 Sifat : Penting Derajat : Amat Segera Lampiran : 1 (satu) berkas Perihal : Usul DPR

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 10 TAHUN 2013

WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 10 TAHUN 2013 WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENCEGAHAN, PENINDAKAN, PEMBERANTASAN PENYAKIT MASYARAKAT DAN MAKSIAT

Lebih terperinci

PERATURAN NAGARI SUNGAI KAMUYANG NOMOR : 07 TAHUN 2003 TENTANG PENYAKIT MASYARAKAT ( PEKAT )

PERATURAN NAGARI SUNGAI KAMUYANG NOMOR : 07 TAHUN 2003 TENTANG PENYAKIT MASYARAKAT ( PEKAT ) PERATURAN NAGARI SUNGAI KAMUYANG NOMOR : 07 TAHUN 2003 TENTANG PENYAKIT MASYARAKAT ( PEKAT ) DENGAN RAHMAT ALLAH TUHAN YANG MAHA ESA WALI NAGARI SUNGAI KAMUYANG Menimbang : a. bahwa dengan berkembang kegiatan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR : 14 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA WARUNG INTERNET

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR : 14 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA WARUNG INTERNET LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR : 14 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA WARUNG INTERNET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASAMAN, Menimbang

Lebih terperinci

Unsur-Unsur Tindak Pidana Pada Kejahatan Terhadap Kesopanan

Unsur-Unsur Tindak Pidana Pada Kejahatan Terhadap Kesopanan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pada Kejahatan Terhadap Kesopanan Dosen Pembimbing: Rd. Muhammad Ikhsan, S.H., M.H. Pengarang: Jansen Joshua (02011381621364) Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya 2017/2018 Kata

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA NOMOR 07 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG UTARA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA NOMOR 07 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG UTARA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA NOMOR 07 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG UTARA, Menimbang Mengingat : : a. bahwa pelacuran adalah merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN. 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN. 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN A. Pengertian Anak 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 10 2.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG TIMUR, Menimbang Mengingat : a. bahwa pelacuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan merupakan cara terbaik dalam menegakan keadilan. Kejahatan yang menimbulkan penderitaan terhadap korban, yang berakibat

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671]

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671] UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671] Pasal 59 (1) Barang siapa : a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) 1 ; atau b. memproduksi

Lebih terperinci

WALIKOTA SURAKARTA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN WARUNG INTERNET

WALIKOTA SURAKARTA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN WARUNG INTERNET WALIKOTA SURAKARTA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN WARUNG INTERNET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURAKARTA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci