KEPADATAN POPULASI NEMATODA ENTOMOPATOGEN PADA BERBAGAI MEDIA PAKAN BUATAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEPADATAN POPULASI NEMATODA ENTOMOPATOGEN PADA BERBAGAI MEDIA PAKAN BUATAN"

Transkripsi

1 KEPADATAN POPULASI NEMATODA ENTOMOPATOGEN PADA BERBAGAI MEDIA PAKAN BUATAN skripsi disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Biologi Oleh Meinita Eka Haryani JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2014 i

2 ii

3 iii

4 ABSTRAK Haryani, ME Kepadatan Populasi Nematoda Entomopatogen Pada Berbagai Media Pakan Buatan. Skripsi, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang. Pembimbing Dr. Ir. Dyah Rini Indriyanti, M.P. Di bidang pertanian, salah satu kendala bagi petani dalam peningkatan produksi pangan yaitu serangan hama. Tingginya ketergantungan insektisida sintetik membawa dampak negatif. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu upaya untuk mengembangkan teknik pengendalian yang ramah lingkungan misalnya dengan pemanfaatan agens hayati nematoda entomopatogen (NEP). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan populasi NEP pada media pakan terbaik pada minggu keempat dan mengetahui kandungan nutrisi pada media terbaik pembiakan NEP. Rancangan penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perbedaan tujuh komponen media sebagai perlakuannya dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak lima kali pengulangan. Sampel dalam penelitian ini adalah NEP yang di ambil dari tanah menggunakan ulat hongkong sebagai perangkap lalu dibiakkan melalui proses white trap. Metode penelitian yang digunakan pembiakan secara in vivo. Pembiakan NEP secara in vitro dilakukan dengan pembuatan media ekstrak yeast (A), kuning telur (B), usus ayam (C), ekstrak yeast dan kuning telur (D), ekstrak yeast dan usus ayam (E), kuning telur dan usus ayam (F), ekstrak yeast, kuning telur dan usus ayam (G). Masing-masing bahan sebanyak 2 g dicampurkan dengan 0.2 g agar dan dilarutkan aquades sebanyak 30 ml lalu diserapkan ke dalam spon. Selanjutnya, media di autoklaf dengan suhu C, setelah itu di diamkan hingga media dingin. Media selanjutnya di inokulasi dengan jumlah NEP awal sebanyak 1200 JI/ml. Data jumlah rata-rata populasi NEP yang diperoleh di analisa dengan uji ANOVA dengan taraf signifikasi 5%, dilanjutkan dengan uji Post Hoc dengan menggunakan uji Tukey. Data diperoleh dianalisis menggunakan software computer SPSS. Uji kandungan nutrisi karbohidrat, protein dan lemak pada media pakan terbaik dilakukan di BBTPPI yang dianalisis secara deskriptif. Berdasarkan hasil kepadatan populasi NEP pada berbagai media pakan buatan diperoleh data perubahan ph, warna, aroma, dan bentuk media pakan NEP terjadi perubahan pada semua media antara kondisi awal dan akhir. Hasil populasi NEP pada minggu keempat secara berurutan menghasilkan media terbaik yaitu media B, D, F, G, C, E dan A dengan populasi NEP JI/ml, JI/ml, JI/ml, JI/ml, 72 JI/ml dan 0 JI/ml. Hasil penelitian diperoleh media pakan buatan terbaik yaitu media kuning telur dengan populasi NEP JI/ml. Hasil pengujian analisis kandungan nutrisi pada media kuning telur mengandung karbohidrat (0%), protein (0,97%) dan lemak (2,12%). Kata Kunci : Kepadatan populasi NEP, media pakan buatan, in vitro. iv

5 KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, karunia dan hidayah-nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: Kepadatan Populasi Nematoda Entomopatogen pada Berbagai Media Pakan Buatan. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung Dr. Ir. Dyah Rini Indriyanti, M.P. Dibalik terselesaikannya skripsi ini, Penulis dengan segala kerendahan hati ingin menyampaikan terima kasih kepada : 1. Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan studi strata 1 Jurusan Biologi FMIPA Unnes. 2. Dekan FMIPA Universitas Negeri Semarang yang telah memberi ijin untuk melaksanakan penelitian. 3. Ketua Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Dr. Ir. Dyah Rini Indriyanti, M.P sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini. 5. Prof. Dr. Ir. Priyantini Widiyaningrum, M.S dan Dr. Sri Ngabekti, MS. sebagai dosen penguji yang berkenan menelaah dan memberi masukan yang sangat berarti dalam penulisan skripsi ini. 6. Dr. Margareta Rahayuningsih, M.Si sebagai dosen wali yang sangat perhatian mengarahkan ke dalam kebaikan dan kelancaran selama perkuliahan. 7. Semua pihak di Laboratorium Jurusan Biologi Universitas Negeri Semarang yang sudah banyak membantu penulis dalam melaksanakan penelitian ini. 8. Ir. N. Kasmin, M.P dari LPHP Pati yang telah memberi pengarahan dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Seluruh pengajar dan staf Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan bantuan dan ilmu pengetahuan. v

6 10. Kedua orangtuaku (Bapak Siswo Haryadi dan Ibu Budiyani) dan Adikku (Fajar Septyanto) yang selalu mendoakan tiada henti, mengajariku untuk bermimpi dan membuatnya nyata serta memberikan motivasi untuk tidak henti-hentinya membuat bangga mereka. 11. Keluarga besar Biologi angkatan 2010 yang telah memberi motivasi dan semangat. 12. Semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada pembaca yang telah berkenan membaca skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Semarang, 27 Agustus 2014 Penulis vi

7 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i PERNYATAAN KEASLIAN... ii PENGESAHAN... iii ABSTRAK... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... x DAFTAR LAMPIRAN... xi BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... 2 C. Penegasan Istilah... 3 D. Tujuan Penelitian... 3 E. Manfaat Penelitian... 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Nematoda Entomopatogen... 5 B. Morfologi Nematoda Entomopatogen... 6 C. Biologi Nematoda Entomopatogen... 7 D. Mekanisme Infeksi dan Perkembangbiakan NEP Secara In Vivo... 8 E. Perkembangbiakan NEP Secara In Vitro F. Nutrisi NEP BAB III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian vii

8 B. Alat dan Bahan Penelitian C. Variabel Penelitian D. Populasi dan Sampel E. Rancangan Penelitian F. Prosedur Penelitian G. Data dan Metode Pengumpulan Data H. Analisis Data BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian B. Pembahasan BAB V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN viii

9 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Morfologi Steinernema spp Morfologi Heterorhabditis spp Siklus Hidup Nematoda Entomopatogen Mekanisme Infeksi Nematoda Entomopatogen Perbanyakan Nematoda Secara In Vivo Menggunakan White trap Histogram Rata-rata Jumlah NEP Pada Berbagai Media Pakan Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan A (ekstrak yeast) Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan B (kuning telur) Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan C (usus ayam) Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan D (campuran media (A) ekstrak yeast dan (B) kuning telur) Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan E (campuran media (A) ekstrak yeast dan (B) usus ayam) Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan F (campuran media (B) kuning telur dan (C) usus ayam) Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan G (campuran media (A) ekstrak yeast, (B) kuning telur dan (C) usus ayam) ix

10 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Komposisi Berbagai Media Pakan NEP Perubahan Warna, Aroma dan Bentuk Media Pakan NEP Pengukuran ph pada Media Pakan NEP Analisis data Homogeneous Subsets uji Tukey pada minggu keempat menunjukkan media terbaik pada media B kuning telur x

11 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1. Pengukuran Intensitas Cahaya di Ruang Pembiakan NEP Pengukuran Suhu dan Kelembaban di Ruang Pembiakan NEP Kepadatan Populasi NEP Selama 28 Hari Jumlah Rata-rata Kepadatan Populasi Pada Berbagai Media Pakan NEP Hasil Uji Normalitas Kepadatan Populasi NEP Pada Berbagai Media Pakan Buatan Hasil Uji ANOVA Kepadatan Populasi NEP Pada Berbagai Media Pakan Buatan Hasil Uji Post Hoc menggunakan Uji Tukey Hasil Uji Analisa Kandungan Nutrisi Dokumentasi Kegiatan xi

12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebutuhan bahan pokok penduduk Indonesia adalah pangan. Usaha untuk pengembangan pangan di Indonesia perlu di tingkatkan terus menerus dengan cara yang lebih intensif. Pengembangan di bidang pertanian, sering di jumpai berbagai kendala bagi petani dalam peningkatan produksi pangan seperti serangan hama. Akibat serangan hama ini, dapat menurunkan produktivitas tanaman. Sampai saat ini upaya pengendalian secara konvensional seringkali di lakukan oleh kebanyakan petani di Indonesia yang lebih menekankan penggunaan insektisida sintetik. Tingginya ketergantungan terhadap insektisida sintetik membawa dampak negatif. Pengaruh penggunaan insektisida sintetik yang tidak berjadwal serta kurang tepat banyak menimbulkan dampak negatif yang sangat merugikan antara lain ketahanan serangga hama (resistensi), peledakan serangga hama sekunder (resurjensi), dan matinya musuh alami hama (Sucipto 2009). Oleh karena itu, dibutuhkan suatu upaya untuk mengembangkan teknik pengendalian yang ramah lingkungan misalnya dengan pemanfaatan agens hayati. Salah satu pengendalian hayati yaitu dengan memanfaatkan nematoda entomopatogen. Nematoda adalah mikroorganisme berbentuk cacing berukuran mikron dan berada di dalam tanah (Nugrohorini 2010). Nematoda ini parasit yang potensial bagi serangga-serangga yang hidup di dalam tanah atau di atas permukaan tanah. Nematoda terutama efektif terhadap serangga yang hidup di dalam tanah dan habitat tersembunyi (Griffin et al. 2005). Nematoda sudah digunakan selama beberapa dekade untuk banyak kontrol biologis serangga hama di seluruh dunia (Georgis et al. 2006). Pengendalian hayati dengan nematoda entomopatogen memberikan keuntungan yang paling utama yaitu tidak mencemari lingkungan dan biaya yang dikeluarkan lebih murah dibandingkan dengan penggunaan insektisida sintetik. Jenis-jenis nematoda yang 1

13 2 umumnya digunakan sebagai pengendali serangga hama yaitu Steinernema spp. dan Heterorhabditis spp. Kedua jenis entomopatogen tersebut dapat digunakan untuk mengendalikan larva hama dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, Hymenoptera dan Diptera (Wagiman et al. 2003). Sebagai agensia pengendali hayati, nematoda mempunyai beberapa keunggulan yaitu daya bunuhnya sangat cepat, kisaran inangnya luas, aktif mencari inang sehingga efektif untuk mengendalikan serangga (Wartono dan Priatno 2009). Nematoda berpotensi untuk lebih dikembangkan karena tidak berdampak negatif yang menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan. Selain sebagai agen pengendali hayati, nematoda juga dapat diproduksi secara in vivo dan in vitro (Mulyaningsih 2010). Sampai saat ini, pemanfaatan NEP secara luas di lapangan masih terkendala oleh produksi massalnya. Meskipun produksi secara in vivo mudah dilakukan tetapi tidak ekonomis dalam skala komersial bila dibandingkan dengan aplikasi insektisida kimiawi. Media sintetik perbanyakan NEP secara in vitro memerlukan biaya yang mahal sehingga perlu adanya media alternatif dari bahan-bahan alami sehingga biaya produksi massal lebih murah (Sulistyanto 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi media in vitro sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas NEP (Chaerani 2011). Perbaikan formula media masih diperlukan agar skala ekonomis untuk perbanyakan massal secara komersial dapat tercapai. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pembiakan NEP secara in vitro sangatlah diperlukan, untuk digunakan sebagai agens pengendalian hama yang aman terhadap lingkungan. Oleh sebab itu, perlu di lakukan penelitian mengenai media pakan perkembangbiakan nematoda entomopatogen agar diperoleh media yang sesuai dan praktis dipergunakan oleh petani. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahanya adalah sebagai berikut.

14 3 1. Pada media pakan mana yang menghasilkan kepadatan populasi NEP terbanyak pada minggu keempat? 2. Bagaimana kandungan nutrisi ( karbohidrat, protein dan lemak ) pada media pembiakan NEP terbaik minggu keempat? C. Penegasan Istilah 1. Kepadatan Populasi Kepadatan populasi adalah ukuran populasi yang dapat dinyatakan sebagai jumlah persatuan luas atau persatuan volume. Dalam penelitian ini kepadatan populasi NEP adalah jumlah NEP per volume tertentu yang diperoleh dari perkembangbiakan NEP dari berbagai media. 2. Nematoda Entomopatogen Nematoda Entomopatogen (NEP) merupakan nematoda yang bersifat parasit terhadap serangga inang yang hidup di dalam tanah. 3. Media Pakan Buatan Media pakan pada penelitian ini adalah modifikasi campuran berbagai media yang digunakan sebagai nutrisi NEP sehingga NEP dapat berkembangbiak. D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui media pakan yang menghasilkan kepadatan populasi NEP terbanyak pada minggu keempat. 2. Untuk mengetahui kandungan nutrisi ( karbohidrat, protein dan lemak ) pada media pembiakan NEP terbaik minggu keempat.

15 4 E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Memberikan informasi mengenai media terbaik untuk perbanyakan NEP. 2. Mengetahui teknik pembiakan NEP pada media pakan buatan dan teknik formulasinya.

16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Nematoda Entomopatogen Nematoda entompatogen termasuk dalam famili Steinernematidae dan Heterorhabditidae (Poinar & Grewal 2012). Nematoda sampai saat ini telah diidentifikasi 43 spesies dari dua famili dan tiga genus. Tiga puluh tiga spesies dari genus Steinernema, satu spesies dari genus Neosteinernema, sembilan dari genus Heterorhabditis (Koppenhofer dan Fuzy 2003). Nematoda entomopatogen ini merupakan salah satu agens biokontrol yang paling penting pada serangga hama (Boszormeny et al. 2009). Menurut Poinar (1990) klasifikasi Steinernema spp. adalah sebagai berikut. Kingdom : Animalia Filum : Nematoda Kelas : Secernentea Ordo : Rhabditida Famili : Steinernematidae Genus : Steinernema Spesies : Steinernema spp. Klasifikasi Heterorhabditis spp. adalah sebagai berikut. Kingdom : Animalia Filum : Nematoda Kelas : Secernentea Ordo : Rhabditida Famili : Heterorhabditidae Genus : Heterorhabditis Spesies : Heterorhabditis spp. 5

17 6 B. Morfologi Nematoda Entomopatogen Tubuh nematoda pada umumnya berbentuk cacing, transparan, panjang dan agak silindris dan di selubungi oleh kutikula yang elastis. Nematoda merupakan mikroorganisme berbentuk cacing berukuran mikron dan berada di dalam tanah (Nugrohorini 2010). Ukuran nematoda sangat kecil sehingga tidak dapat di lihat dengan mata telanjang, hanya dapat di lihat dengan mikroskop. Nematoda memiliki sistem syaraf, sistem pencernaan dan sistem reproduksi. Sistem pencernaan terdiri dari stoma, esophagus yang terdiri atas corpus (pro dan metacorpus), isthmus dan basal bulbs (Rahim 2010). Nematoda ini mempunyai kulit tubuh yang halus, bentuk kepala tumpul, enam bibir masing-masing memiliki paila dan stomata yang dangkal (Mulyaningsih 2010). Morfologi NEP Steinernema spp. dan Heterorhabditis spp. tercantum pada Gambar 1 dan 2. Gambar 1. Morfologi Steinernema spp. (A) Bagian kepala, (B) Bagian posterior dari sisi ventral, (C) Bagian posterior (Adams and Nguyen 2002). Gambar 2. Morfologi Heterorhabditis spp. (A) Bagian kepala, (B) Bursa kopulatrik (Adams and Nguyen 2002).

18 7 C. Biologi Nematoda Entomopatogen Nematoda entomopatogen merupakan patogen serangga yang dapat menyebabkan infeksi dan menimbulkan penyakit pada serangga hama. Penetrasi NEP di lakukan langsung melalui kutikula serangga dan lubang-lubang alami seperti spirakel, mulut, dan anus (Subagiya 2005). Nematoda membunuh serangga melalui bantuan dari simbiosis mutualisme dengan bakteri yang dibawa dalam saluran pencernaannya (Boemare 2002; Shapiro & Gaugler 2002). Xenorhabdus sp dan Photorhabdus sp adalah bakteri gram negatif famili Enterobacteriaceae yang hidup bersimbiosis dengan nematoda Heterorhabditis dan Steinernema (Tailliez et al. 2010). Kedua bakteri tersebut mampu membunuh serangga hama dengan waktu yang sangat cepat sekitar jam karena mengeluarkan racun (toksin). Pada umumnya gejala serangga hama yang terserang oleh nematoda adalah adanya perubahan warna, tubuh menjadi lembek, dan bila di bedah jaringan menjadi cair tetapi tidak berbau (Sucipto 2008). Nematoda entomopatogen mempunyai siklus hidup sederhana dan mempunyai stadia utama perkembangan dari telur, juvenil dan dewasa. Juvenil terbagi menjadi juvenil instar 1 (J1), juvenil instar 2 (J2), juvenil instar 3 (J3) dan juvenil instar 4 (J4). Siklus hidup nematoda mulai dari menginfeksi sampai muncul JI generasi baru berkisar 7-10 hari (Wagiman et al. 2003). JI meninggalkan bangkai inang 2-3 minggu setelah berkembang di dalam tubuh inang dan mencari inang yang baru (Ehlers et al. 2000). Pergantian instar di tandai dengan terjadinya pergantian kulit (molting) (Prabowo 2012). Reproduksi NEP terus berlangsung sampai sumber nutrisi dalam tubuh inang habis. Juvenil infektif meninggalkan inang untuk mencari inang yang baru. Juvenil infektif dapat bertahan tanpa makanan selama beberapa bulan sampai mendapatkan inang yang baru (Adams and Nguyen 2002). Siklus hidup reproduksi NEP tercantum pada Gambar 3.

19 8 Ventral e Penetrasi J3 ke J4 Sedikit nutrisi G1 menghasilkan telur Nutrisi berlimpah Posterior G2 menghasilkan telur Gambar 3. Siklus Hidup Nematoda Entomopatogen: G1 (Generasi 1), G2 (Generasi 2), J1 (Tahap Juvenil 1), J2 (Tahap Juvenil 2), J3 (Tahap Juvenil 3 Tidak Efektif), PI (Tahap Sebelum Juvenil Infektif), IJ (Juvenil Infektif), J4 (Tahap 4 Juvenil) (Wouts 1979 dalam Adams and Nguyen 2002). o D. Mekanisme Infeksi dan Perkembangbiakan NEP Secara In Vivo Proses infeksi nematoda terhadap inang disebabkan adanya interaksi metabolistik antara nematoda patogen dengan bakteri. Bakteri ini terdapat dalam saluran pencernaan juvenile infektif (JI) (Salame & Glazer 2000). Nematoda menginfeksi inangnya dengan cara memasuki lubang-lubang alami seperti spirakel, mulut dan anus serta penetrasi langsung menembus kutikula. Mekanisme infeksi NEP tercantum pada Gambar 4. Infeksi nematoda sebagian besar melalui serangga inangnya yakni melalui saluran pencernaan selanjutnya menuju hemocoel. Bakteri kemudian dilepaskan melalui anus yang menyebabkan keracunan dan kematian inang (Subagiya 2005). Nematoda memakan sel bakteri dan jaringan inangnya. Tanpa bakteri simbion dalam serangga inang, nematoda tidak akan dapat bereproduksi karena bakteri simbion berfungsi sebagai makanan yang sangat diperlukan oleh nematoda (Ehlers 2001). Menurut Forst dan Clarke (2002), bakteri simbion memberikan protein anti imun untuk membantu nematoda mengatasi sistem pertahanan inang serta anti mikroba asing yang menjadi pesaingnya.

20 9 Bakteri dapat mensuplai nutrisi yang di butuhkan bagi nematoda untuk berkembang dengan cepat hingga dewasa, kemudian nematoda memasuki masa reproduksi dan menghasilkan telur. Semua nutrisi yang ada dalam tubuh inang akan menjadi sumber makanannya (Grewal & Ruisheng 2007). Nematoda akan berkembang menjadi generasi kedua dan ketiga yang akan keluar lagi dari bangkai inang dan mencari inang yang baru. JI meninggalkan bangkai inang 4 3 JI menginfeksi larva serangga melalui lubang alami Melepaskan bakteri simbion 2 1 Fase reproduktif: (Heterorhabditis merupakan hermaprodit, Steinernema terdiri dari jantan dan betina) Bereproduksi 2-3 generasi Gambar 4. Mekanisme Infeksi Nematoda Entomopatogen (Grewal 2005). Tubuh JI masih terbungkus dalam kutikula larva kedua yang berfungsi sebagai pelindung dari gangguan lingkungan fisik, mikroorganisme dan invertebrata yang lain. Fase infektif ini merupakan fase yang paling penting, sebab JI dapat aktif mencari serangga inang. Nematoda setelah menemukan inang, masuk kedalam tubuh serangga dengan cara melakukan penetrasi melalui lubang alami seperti mulut, anus, dan spirakel atau kutikula. Di dalam rongga tubuh serangga inang, nematoda melepaskan bakteri simbion yang menyebabkan kematian serangga inang dalam waktu jam (Grewal 2005). Fase reproduktif antara Steinernematidae dan Heterorhabditidae terdapat perbedaan. Genarasi pertama Steinernematidae yang dihasilkan di dalam tubuh serangga inang terdiri dari nematoda betina dan jantan, sedangkan generasi pertama dari Heterorhabditidae merupakan hermaprodit, dan generasi berikutnya menghasilkan nematoda betina dan jantan. Nematoda akan bereproduksi dua

21 10 sampai tiga generasi di dalam inang yang sama dan memproduksi generasi baru dalam waktu 7-10 hari. Setelah nutrisi habis JI akan keluar dari tubuh inang 2-3 minggu setelah berkembang di dalam tubuh inang dan mencari inang yang baru (Grewal 2005). Gambar 5. Perbanyakan nematoda secara in vivo menggunakan white trap (Sumber : Rahim 2010). E. Perkembangbiakan NEP Secara In Vitro Pembiakan in vitro pada media semi padat merupakan terobosan nyata bioteknologi setelah diketahui adanya simbiosis mutualistik antara nematoda dengan bakteri untuk reproduksi. Pembiakan nematoda entomopatogen secara in vitro bertujuan untuk mendapatkan jumlah nematoda yang besar sehingga dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati hama (Chaerani 2011). Berbagai jenis media yang dapat digunakan untuk pembiakan nematoda entomopatogen terus ditemukan baik berbentuk padat maupun cair. Perbanyakan nematoda yang dilakukan menggunakan media padat, dalam satu spon berukuran 1,5 cm 3 terdapat nematoda berkisar antara juvenil aktif yang di simpan pada suhu 4ºC (Nugrohorini dan Windriyanti 2009). Salah satunya perusahaan multi nasional Bioys ( Palo Alto, CA, USA) yang pertama kali mengembangkan teknologi media cair dalam fermentor secara komersil dalam skala besar (Sulistyanto 2002).

22 11 F. Nutrisi NEP Komposisi media berpengaruh untuk dapat menghasilkan nematoda. Prinsip dasar dari pembiakan nematoda secara in vitro adalah kandungan nutrisi media. Media harus memenuhi kebutuhan nutrisi dari nematoda dan bakteri seperti karbohidrat, protein dan lemak (Shapiro & Gaugler 2002). Lemak merupakan cadangan energi utama bagi nematoda, baik yang patogenik terhadap serangga maupun yang parasitik terhadap tumbuhan untuk proses metabolisme, daya bertahan, dan menjelajah dalam pencarian inang (Yoo et al. 2000). Kandungan lemak pada JI dapat mencapai 40% berat tubuhnya (Griffin et al. 2005). Manipulasi kandungan dan kualitas lemak nematoda melalui penambahan komponen tertentu pada media in vitro telah banyak dilakukan. NEP terbatas kemampuannya dalam mensintesis lemak sehingga mengandalkan bakteri simbion untuk mendapatkan lemak esensial (Chaerani 2011). Profil lemak seluler bakteri simbiotik mirip dengan yang ada pada media tumbuhnya. Bakteri apabila ditumbuhkan pada media mengandung lemak asal serangga maka sel-selnya juga akan mengakumulasi dengan komposisi asam lemak yang menyerupai komposisi asam lemak pada serangga inang (Hatab & Gaugler 2001). Penambahan sumber lemak kaya asam oleat seperti minyak zaitun atau yang kaya sterol seperti ekstrak hati hewan pada media pembiakan dapat mengoptimalkan kadar total lemak seluler bakteri. Minyak kanola, yang juga kaya asam lemak jenuh, dapat mengoptimalkan pertumbuhan Heterorhabditis bacteriophora sehingga populasi 2,8 x 10 5 JI/ml dapat dicapai hanya dalam waktu 8 hari (Yoo et al. 2000). Nutrisi pendukung yang dibutuhkan bagi nematoda selain lemak yaitu karbohidrat dan protein. Nutrisi tambahan karbohidrat memiliki jumlah energi yang tidak mencukupi yang dihasilkan oleh karbohidrat dalam proses metabolisme maka nematoda akan mengambil energi dari protein (Almatsier 2002).

23 12 Protein berperan dalam pembentukan biomolekul sebagai sumber energi. Pada organisme yang sedang berkembangbiak, protein sangat penting dalam pembentukan sel baru. Oleh sebab itu, apabila organisme kekurangan protein maka organisme tersebut akan mengalami hambatan pertumbuhan (Maharani & Yusrin 2010). Protein berfungsi sebagai penyedia energi apabila kebutuhan energi tidak tercukupi dari konsumsi karbohidrat dan lemak (Kartasapoetra & Marsetyo 2003). Ekstrak yeast, kuning telur dan usus ayam merupakan komposisi bahan yang mudah untuk didapatkan. Dari ketiga bahan tersebut mengandung nutrisi karbohidrat, lemak dan protein yang dibutuhkan bagi nematoda untuk perkembangbiakannnya. Media dimodifikasi dengan bahan-bahan yang mencakup kebutuhan nutrisi nematoda dan menjaga kondisi lingkungan media agar sesuai untuk kelangsungan hidup nematoda. Menurut Reed (1991) dalam Ahmad (2005) menjelaskan bahwa komposisi kimia ekstrak yeast terdiri atas protein 50-52%, karbohidrat 30-37%, lemak 4-5% dan mineral 7-8%. Kuning telur merupakan emulsi lemak dalam air dengan kandungan bahan padat sebesar 50% dan terdiri atas 1/3 protein dan 2/3 lemak. Kuning telur tersusun atas 44.8% air, 17.7% protein, 35.2% lemak, 1.1 % karbohidrat dan 1.2% abu (Romanoff & Romanoff 1993). Menurut Baihaki et al. (2010), nutrisi usus ayam memiliki komposisi yang hampir sama dengan komposisi nutrisi pada kulit sapi dan terdapatnya protein. Usus ayam tersusun atas 65.90% protein kolagen, 22.93% protein kasar, 5.60 lemak kasar, 3.44% kadar abu, 6.68% mineral dan 2.03% bahan lainnya. Keberhasilan media in vitro sangat bergantung pada spesies NEP sehingga media harus dioptimisasi untuk tiap spesies (Ehlers & Shapiro 2005). Penggunaan media sebagai sumber makanan nematoda harus disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan agar diperoleh produksi yang optimal. Pemilihan bahan dasar media yang tepat akan menghasilkan komposisi yang berkualitas dan mampu memenuhi kebutuhan nutrisi nematoda.

24 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di Laboratorium Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang pada bulan Februari Juni B. Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cetok, cangkul, handsprayer, plastik, nampan plastik, stoples, spet, gelas ukur, kertas saring, oven, mortar, blender, mikroskop, gelas benda, gelas plastik, spon, timbangan analitik, indikator lakmus, luxmeter, termohigrometer, autoklaf, botol kaca, handcounter, kamera digital dan alat tulis. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aquadest, ulat hongkong (Tenebrio molitor), agar tanpa rasa, ekstrak yeast, usus ayam dan kuning telur. C. Variabel Penelitian Variabel bebas Variabel terikat Variabel kendali Variabel rambang : Berbagai komposisi media pakan buatan. : Kepadatan populasi NEP pada berbagai media pakan. : Jumlah ulat hongkong dan jumlah NEP awal. : ph media pembiakan NEP, suhu dan kelembaban udara pada ruang pembiakan NEP. D. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh nematoda entomopatogen yang terdapat dalam tanah. Sampel dalam penelitian ini adalah nematoda entomopatogen yang diambil dari tanah menggunakan ulat hongkong sebagai perangkap lalu di panen melalui proses white trap. 13

25 14 E. Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perbedaan tujuh komponen media sebagai perlakuannya dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak lima kali pengulangan. Adapun komponen media tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Berbagai Media Pakan NEP Komposisi Perlakuan Media A Media B Media C Media D (campuran A+B) Media E (campuran A+C) Media F (campuran B+C) Media G (campuran A+B+C) Ekstrak yeast Kuning telur Usus ayam (bubuk) Agar Aquadest 2 g g 30 ml - 2 g g 30 ml g 0.2 g 30 ml 0.5 g 1.5 g g 30 ml 0.5 g g 0.2 g 30 ml g 0.5 g 0.2 g 30 ml 0.5 g 1 g 0.5 g 0.2 g 30 ml Keterangan: 1. Komposisi ekstrak yeast dimodifikasi dari Lunau et al. dalam Chaerani et al. (2012). 2. Komposisi media kuning telur dimodifikasi dari Han et al. dalam Chaerani et al. (2012). 3. Komposisi media usus ayam dimodifikasi dari Bedding dalam Chaerani et al. (2012). F. Prosedur Penelitian 1. Penyiapan biakan nematoda Sampel tanah di ambil dari tanah sampah di TPA Jatibarang dan tanah peternakan di Gunungpati. Tanah diambil sebanyak 200 gr dari kedalaman 20 cm dari permukaan tanah. Metode yang digunakan menggunakan metode

26 15 Nugrohorini (2010). Sampel tanah kemudian dimasukkan ke dalam gelas plastik atau stoples. Tanah yang kering perlu diberikan air sehingga kandungan air dalam tanah ± 60-70%. Tiap gelas diberi ulat hongkong sebanyak 20 ekor. Inkubasi dilakukan selama 4-5 hari sampai ulat hongkong mati. 2. Isolasi Nematoda Entomopatogen Ulat hongkong yang mati dibersihkan dengan aquades, lalu di pindahkan ke tempat perangkap nematoda (white trap). Kertas saring di letakkan pada bagian dasar stoples dan di isi dengan aquades hingga menyentuh kertas saring kemudian ulat hongkong di letakkan di atas kertas saring. Hari ke 7-21 JI keluar dari bangkai ulat dan bergerak pindah ke dalam air. Pemanenan nematoda dilakukan ± dua minggu setelah warna kulit ulat hongkong yang ada dalam white trap luruh bersama air. Air dalam white trap diamati dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40x10. Penghitungan populasi NEP dilakukan dengan cara mengambil 0.05 ml kemudian diteteskan pada gelas benda yang telah diberi garis bantu untuk mempermudah penghitungan dengan menggunakan alat hitung handcounter. Air yang mengandung NEP digunakan untuk uji perlakuan pada berbagai media pakan buatan. 3. Pembuatan media sebagai media pembiakan nematoda Tujuh media in vitro yang secara berurutan diberikan kode A, B, C, D, E, F dan G. Media A yaitu media ekstrak yeast yang digunakan dalam bentuk bubuk dan media B yaitu media kuning telur yang digunakan dalam bentuk cair. Media C yaitu media usus ayam yang sebelumnya dioven dengan suhu 70 0 C sampai kadar airnya berkurang dan dihaluskan menggunakan mortar (blender). Selanjutnya, media D, E, F dan G merupakan campuran kombinasi dari ketiga media ekstrak yeast, kuning telur dan usus ayam. Kemudian masing-masing bahan media diserapkan kedalam potongan spon berukuran 6x1 cm yang sudah bercampur dengan agar 0.2 g dan aquadest 30 ml sebagai pelarutnya.

27 16 Selanjutnya, botol yang digunakan untuk pembiakan yaitu dengan menggunakan botol selai, di autoklaf dan spon yang telah berisi nutrisi NEP dimasukkan ke dalam botol. Setelah itu, botol dan media yang sudah di autoklaf kemudian di inokulasi dengan stok jumlah NEP awal sebanyak 1200 JI/ml. Jumlah populasi NEP awal di dapat dari pembiakan secara in vivo dengan menggunakan white trap. 4. Panen Nematoda Entomopatogen Mengamati perkembangbiakan populasi NEP pada berbagai media pakan buatan pada tiap minggu. Populasi NEP dihitung per minggunya selama 28 hari. Perkembangbiakan NEP dilihat dengan cara memeras spon yang ada di dalam botol dengan menggunakan kuas, kemudian mengambil 0.05 ml diteteskan pada gelas benda yang telah diberi garis bantu. Selanjutnya, menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40x10 dan menggunakan alat hitung handcounter. Mengamati perkembangbiakan populasi NEP pada berbagai media pakan buatan diukur dengan parameter pendukung seperti ph, intensitas cahaya, suhu dan kelembaban di sekitar ruang pembiakan NEP. Cara penghitungan populasi NEP : Populasi NEP JI/ml = x Jumlah NEP (JI) 5. Analisa kandungan nutrisi media Pengujian analisa kandungan nutrisi karbohidrat, protein dan lemak pada media terbaik dilakukan di Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri (BBTPPI), Semarang. Uji kandungan nutrisi media bertujuan untuk mengetahui kadar nutrisi terbaik yang berperan sebagai suplai makanan bagi perkembangbiakan nematoda.

28 17 G. Data dan Metode Pengumpulan Data No Data Metode Pengumpulan Data 1. Jumlah JI Pengumpulan data dilakukan dengan menghitung jumlah JI yang diperoleh pada masing-masing perlakuan media pakan buatan. x Jumlah NEP 2. Analisa kandungan nutrisi Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan uji laboratorium pada media pakan buatan NEP yang terbaik. - Karbohidrat : menggunakan uji Spektrofotometri. - Protein : menggunakan uji Kjeldahl. - Lipid : menggunakan uji Soxhlet. Dilakukan di Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri (BBTPPI), Semarang. 3. Parameter pendukung Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengukuran menggunakan alat pengukur lingkungan. - ph : menggunakan indikator lakmus. - Intensitas cahaya : menggunakan Lux meter. - Suhu dan kelembaban : menggunakan Termohigrometer. Pengukuran dilakukan di Laboratorium SJH Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Negeri Semarang. H. Analisis Data Data kepadatan populasi NEP pada berbagai media pakan buatan dilakukan secara deskriptif. Data hasil jumlah rata-rata kepadatan populasi NEP yang diperoleh dari perbanyakan media pakan buatan pada minggu keempat di analisis dengan Analisis Varians (ANOVA) satu arah. Jika hasil uji Anova signifikan, maka akan dilakukan uji Post Hoc dengan menggunakan uji Tukey. Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan software computer SPSS 20. Pengujian kandungan nutrisi media pakan terbaik karbohidrat, protein dan lemak dilakukan di BBTPPI Semarang. Analisis data dilakukan secara deskriptif.

29 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian berbagai media pakan buatan secara in vitro diperoleh data kepadatan populasi NEP pada masing-masing media pakan sangat bervariasi. Data kualitatif yang diperoleh yaitu perubahan warna, aroma dan bentuk media pakan NEP (Tabel 2) dan pengukuran intensitas cahaya, suhu dan kelembaban di ruang pembiakan NEP (Lamp 1-2). Tabel 2. Perubahan Warna, Aroma dan Bentuk Media Pakan NEP Media Perubahan Warna Aroma Bentuk Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir A Kecoklatan Coklat Berbau Segar Kehitaman Menyengat Semi padat Cair B Kuning Kuning Berbau Segar Muda Gelap Busuk Semi padat Semi padat C Coklat Tidak Kecoklatan Segar muda Berbau Semi padat Cair D Coklat Coklat Bau Sangat Segar Gelap Kehitaman Menyengat Semi padat Semi padat E Coklat Coklat Sedikit Segar Muda Kehitaman Berbau Semi padat Cair F Kuning Coklat Tidak Segar Kecoklatan Kehitaman Berbau Semi padat Semi padat G Kuning Coklat Tidak Segar Muda Muda Berbau Semi padat Semi padat Keterangan : A (ekstrak yeast); B (kuning telur); C (usus ayam); D (campuran A+B); E (campuran A+C); F (campuran B+C); G (campuran A+B+C). Berdasarkan Tabel 2 dapat dijelaskan bahwa terjadi perubahan warna, aroma dan bentuk pada semua media pakan NEP antara kondisi awal dan akhir pembiakan NEP. 18

30 Rata-rata Jumlah NEP (JI/ml) 19 Pengukuran ph pada masing-masing media pakan NEP tersaji pada Tabel 3. ph awal diukur sebelum media di autoklaf dan pengukuran ph akhir merupakan hasil media pada minggu terakhir. Tabel 3. Pengukuran ph pada Media Pakan NEP Media ph Awal Akhir A 5 7 B C 6 7 D E F 6 7 G Keterangan : A (ekstrak yeast); B (kuning telur); C (usus ayam); D (campuran A+B); E (campuran A+C); F (campuran B+C); G (campuran A+B+C). Berdasarkan Tabel 3 dapat dijelaskan bahwa terjadi perubahan pada semua media pembiakan NEP dengan ph awal 5-6 menjadi ph akhir 7. Hasil jumlah rata-rata kepadatan populasi NEP pada berbagai media pakan buatan disajikan dalam bentuk histogram pada Gambar Kepadatan Populasi NEP Pada Berbagai Media Pakan Buatan A B C D E F G Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV Media Pakan

31 Rata-rata Jumlah NEP (JI/ml) 20 Keterangan : A (ekstrak yeast); B (kuning telur); C (usus ayam); D (campuran A+B); E (campuran A+C); F (campuran B+C); G (campuran A+B+C). Gambar 6. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Pada Berbagai Media Pakan Gambar 6 menunjukkan bahwa kepadatan populasi NEP terjadi pada semua media pembiakan NEP dengan menghasilkan jumlah populasi NEP pada masingmasing media bervariasi. Hasil penghitungan populasi NEP pada berbagai media pakan buatan pada masing-masing media pakan setiap minggunya disajikan dalam bentuk histogram pada Gambar 7, 8, 9, 10, 11, 12 dan Media Pakan A Minggu Gambar 7. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan A (ekstrak yeast). Gambar 7 menunjukkan bahwa populasi NEP pada media pakan A dengan komposisi ekstrak yeast pada minggu pertama dan kedua mengalami adanya penurunan jumlah populasi. Selanjutnya, pada minggu berikutnya minggu ketiga dan keempat, media ini tidak menggambarkan adanya populasi NEP yang masih hidup pada media.

32 Rata-rata Jumlah NEP (JI/ml) Rata-rata Jumlah NEP (JI/ml) Media Pakan B Minggu Gambar 8. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan B (kuning telur). Media pakan B disajikan pada Gambar 8 yaitu media kuning telur menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan jumlah populasi NEP. Minggu pertama populasi NEP pada media kuning telur mengalami peningkatan jumlah populasi sampai dengan minggu kedua. Setelah mengalami peningkatan pada minggu kedua, pada minggu ketiga populasi NEP pada media ini mengalami penurunan jumlah populasi hingga minggu keempat. Akan tetapi, media kuning telur masih dapat mempertahankan jumlah populasi NEP lebih besar dari jumlah awal yang di inokulasi ke media Media Pakan C Minggu Gambar 9. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan C (usus ayam).

33 Rata-rata Jumlah NEP (JI/ml) 22 Media pakan C dapat dilihat pada Gambar 9 yaitu media usus ayam menunjukkan bahwa pada saat inokulasi jumlah NEP awal, pada minggu pertama mengalami peningkatan jumlah populasi NEP yang sangat tinggi. Berbeda dengan media pakan A yaitu ekstrak yeast (Gambar 7), media langsung mengalami penurunan jumlah populasi hingga populasi NEP yang masih hidup lebih sedikit. Media usus ayam pada minggu kedua banyak mengalami penurunan populasi. Minggu ketiga jumlah populasi NEP semakin menurun hingga minggu keempat dengan jumlah populasi lebih rendah dari jumlah populasi awal yang di inokulasikan ke media. Media Pakan D Minggu Gambar 10. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan D (campuran media (A) ekstrak yeast dan (B) kuning telur). Populasi NEP pada media pakan D dapat dilihat pada Gambar 10 yaitu campuran dari media (A) ekstrak yeast dengan (B) kuning telur menunjukkan bahwa minggu pertama media ini mengalami peningkatan jumlah populasi yang cukup tinggi. Berbeda dengan media (A) ekstrak yeast apabila tidak di kombinasi dengan kuning telur, saat minggu pertama langsung mengalami adanya penurunan. Minggu kedua pada media ini, terlihat masih menunjukkan adanya jumlah peningkatan populasi yang lebih besar. Sama seperti halnya dengan media (B) kuning telur, media pakan campuran dari kedua bahan mengalami penurunan jumlah populasi hingga pada minggu keempat. Histogram yang terbentuk pada media pakan D memperlihatkan bahwa pada media ekstrak yeast lebih baik bila di

34 Rata-rata Jumlah NEP (JI/ml) Rata-rata Jumlah NEP (JI/ml) 23 kombinasi dengan kuning telur yang mengalami peningkatan jumlah populasi sampai dengan minggu keempat dari jumlah populasi awal dibanding hanya media ekstrak yeast saja. Media Pakan E Minggu Gambar 11. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan E (campuran media (A) ekstrak yeast dan (C) usus ayam) Gambar 11 menunjukkan bahwa media pakan E dengan campuran media (A) ekstrak yeast dan (C) usus ayam menunjukkan bahwa saat minggu pertama mengalami jumlah populasi yang sangat tinggi. Akan tetapi, sama seperti pada media usus ayam saja mengalami penurunan pada minggu kedua. Sehingga, populasi semakin menurun terjadi pada minggu ketiga dan berikutnya sampai memperlihatkan tidak adanya populasi NEP yang masih hidup. Media Pakan F Minggu Gambar 12. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan F (campuran media (B) kuning telur dan (C) usus ayam).

35 Rata-rata Jumlah NEP (JI/ml) 24 Media pakan F dapat dilihat pada Gambar 12 yaitu dengan campuran media (B) kuning telur dan (C) usus ayam menunjukkan bahwa minggu pertama media ini mengalami peningkatan populasi yang tinggi. Minggu kedua menunjukkan media dari minggu pertama mengalami peningkatan yang lebih tinggi. Di lihat dari media usus ayam saja, apabila di kombinasi dengan kuning telur memperlihatkan jumlah populasi yang lebih baik hingga minggu kedua. Selanjutnya, minggu ketiga media F mengalami penurunan dengan hasil tidak berbeda jauh dari minggu kedua dan semakin menurun jumlah populasi pada minggu keempat. Media dengan campuran kuning telur dan usus ayam lebih baik dalam mempertahankan jumlah populasi daripada media dengan campuran ekstrak yeast. Media Pakan G Minggu Gambar 13. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan G (campuran media (A) ekstrak yeast, (B) kuning telur dan (C) usus ayam). Populasi NEP pada Gambar 13 menunjukkan bahwa media pakan G dengan campuran ekstrak yeast, kuning telur dan usus ayam terlihat bahwa minggu pertama adanya peningkatan tidak jauh dari jumlah populasi awal. Pada minggu kedua mengalami peningkatan kembali dengan bertambahnya jumlah populasi hingga pada minggu ketiga dan keempat mengalami penurunan populasi.

36 25 Perbanyakan NEP pada berbagai media pakan selama empat minggu, menghasilkan data yang berbeda-beda tiap minggunya. Pada minggu pertama, enam media menunjukkan pertambahan populasi dan satu media mengalami penurunan populasi NEP. Minggu kedua, empat media menunjukkan pertambahan populasi dan tiga media mengalami penurunan populasi NEP. Minggu ketiga dan keempat, semua media mengalami penurunan populasi NEP. Kepadatan populasi NEP yang di analisis hanya pada minggu keempat dengan alasan media dapat mempertahankan perkembangbiakan jumlah populasi NEP saat nutrisi di dalam media semakin habis. Data kepadatan populasi NEP antar media pada minggu keempat di analisis menggunakan uji normalitas (Shapiro-wilk) secara berurutan media B, C, D, F dan G menunjukkan nilai Sig. (P) sebesar 0.138; 0.054; 0.579; 0.837; (Lamp 5). Data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dinyatakan terdistribusi normal, karena nilai P > 0,05. Setelah memenuhi syarat dengan distribusi normal, dilakukan uji ANOVA satu arah. Hasil uji ANOVA satu arah dengan taraf 5% diperoleh nilai F = ; df = 34 dengan menunjukkan nilai Sig. sebesar Nilai Sig. yang diperoleh P < 0.05, maka H 0 ditolak berarti populasi NEP pada berbagai media pakan pada minggu keempat berbeda nyata (Lamp 6). Setelah uji ANOVA dilanjutkan uji lanjut menggunakan uji Tukey (Lamp 7). Perbanyakan NEP pada berbagai media pakan selama empat minggu dilanjutkan analisis dengan menggunakan uji Tukey. Analisis data kepadatan populasi NEP pada media pembiakan NEP terbaik dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Analisis data Homogeneous Subset uji Tukey data rata-rata jumlah NEP masing-masing media pada minggu keempat adalah sebagai berikut. Perlakuan N Subset for alpha = Media A 5.00 Media E 5.00 Media C Media G Media F

37 26 Media D Media B Sig Keterangan : Angka yang terdapat dalam kolom subset yang sama menunjukkan perlakuan media yang tidak berbeda nyata pada taraf 5%, berbeda nyata apabila angka terdapat pada kolom subset yang berbeda. B. Pembahasan Pembiakan nematoda entomopatogen dilakukan secara in vitro menggunakan media pakan buatan yaitu ekstrak yeast, kuning telur dan usus ayam. Hasil pengamatan menunjukkan data populasi NEP pada masing-masing media pakan buatan sangat bervariasi. Data yang diperoleh pada Tabel 2. menunjukkan bahwa pada masing-masing media mengalami adanya perubahan warna, aroma maupun bentuk media pakan yang digunakan saat pembiakan NEP. Media pakan yang digunakan mengalami perubahan seperti perubahan warna yang sebelumnya berwarna kuning kecoklatan hingga menjadi kuning kehitaman. Proses ini dipengaruhi dengan lingkungan di dalam media yang sudah bercampur dengan terjadinya penguraian senyawa-senyawa pada media (Sutrisno dan Suciastuti 2002). Perubahan aroma pada masing-masing media pakan mengalami perubahan bau sebelum dan sesudah diinokulasi NEP. Pada awal masih terasa segar aroma media setelah diinkubasi baunya sangat menyengat. Hal ini disebabkan adanya proses metabolisme yang terjadi bercampur menjadi satu di dalam botol media. Nutrisi media di dalam botol akan mengalami penguraian senyawa protein yang di ubah menjadi amonia dan semakin lama amonia di dalam botol akan menjadi racun bagi perkembangbiakan NEP. Jumlah oksigen (O 2 ) di dalam media sangat terbatas sehingga dapat menyebabkan kematian NEP. Produksi amonia melibatkan proses kimia untuk menggabungkan ion nitrogen dan hidrogen. Menurut Sutrisno dan Suciastuti 2002, amonia dapat terbentuk dari dekomposisi bahan-bahan organik yang mengandung nitrogen yang berasal dari feses. Populasi NEP yang meningkat akan diikuti turun populasinya pada minggu berikutnya. Hal ini disebabkan karena adanya racun hasil sekresi metabolisme NEP di dalam

38 27 botol media sehingga populasi NEP banyak yang mati dan menimbulkan bau yang menyengat. Hal ini terlihat pada Gambar 7, 8, 9, 10 dan 11. Populasi NEP pada setiap minggu menunjukkan bahwa adanya tingkat kepadatan populasi yang berbeda antar ulangan dan media. Data yang diperoleh, pengukuran awal semua media mempunyai ph dalam suasana asam (Tabel 3). Setelah pengukuran ph pada minggu terakhir, semua media biakan mengalami perubahan ph menjadi 7. Selama masa inkubasi, media mengalami perubahan suasana ph asam menjadi basa yang diperkuat dengan adanya referensi dari Djunaedy (2009) yang menyebutkan bahwa kondisi suasana ph asam hingga basa yang sesuai untuk pertumbuhan NEP yaitu berkisar 5, 6, 7, 8 dan 9. Hal tersebut kemungkinan disebabkan adanya aktivitas NEP di dalam botol media pakan tertutup yang menyebabkan peningkatan kadar konsentrasi karbondioksida (CO 2 ) yang mengakibatkan peningkatan nilai ph akhir menjadi 7. Peningkatan nilai ph pada media pakan juga dapat disebabkan terjadinya penguraian protein dan adanya senyawa nitrogen berupa amonia. Menurut Prihantini et al. 2005, menjelaskan bahwa gas amonia yang menimbulkan bau menyengat dan bersifat racun dapat ditemukan pada ph tinggi (basa) sedangkan pada ph rendah (asam) akan terbentuk ion NH4 +. Cahaya sangat berpengaruh terhadap tumbuhnya nematoda entomopatogen. Selama masa inkubasi, botol yang digunakan disimpan pada tempat yang tidak terkena matahari langsung, karena NEP lebih sensitif dengan sinar matahari yang dapat menurunkan aktivitas NEP bahkan dapat menimbulkan kematian (Novizan 2002). Pengukuran intensitas cahaya (Lamp 1) dilakukan pada setiap minggunya dengan mengukur setiap pagi, siang dan sore. Data intensitas cahaya yang diperoleh didapat berkisar 4.8 Lux 34 Lux. Nematoda merupakan organisme poikilotermik dengan tingkat metabolisme yang sangat dipengaruhi oleh suhu di sekitar yang secara langsung mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan nematoda (Gao & Becker 2002). Untuk mendukung adanya kelangsungan hidup nematoda di luar habitat alaminya, nematoda sangat bergantung pada air dan cadangan makanan sebagai sumber

39 28 energinya (Chen & Glazer 2004). Menurut Nugrohorini (2010), nematoda dapat melakukan aktivitas dengan kelembaban kadar air ± 60-70% untuk mempermudah pergerakan nematoda. Berbagai media buatan yang telah dimodifikasi untuk pembiakkan nematoda pada dasarnya mengandung bahanbahan yang kaya akan nutrisi yang dapat mempercepat perkembangbiakannya dengan kadar air yang disesuaikan kelembabannya. Perkembangbiakan nematoda menunjukkan bahwa pada minggu pertama jumlah kepadatan populasi yang masih hidup pada berbagai macam jenis kombinasi komposisi media yang diujikan sangat berbeda. Kepadatan jumlah populasi nematoda pada minggu pertama dijumpai JI terendah yang langsung mengalami penurunan dari jumlah nematoda awal yang di inokulasi pada media A yang mengandung ekstrak yeast. Sedangkan pada media lain yaitu media B, C, D, E, F dan G mengalami peningkatan jumlah NEP (Lamp 4). Populasi NEP antar media pada minggu pertama yang mengalami produksi perkembangbiakan NEP tertinggi yaitu pada media E (Gambar 11) modifikasi campuran media ekstrak yeast dan usus ayam dengan jumlah populasi sebesar JI/ml. Media berikutnya yang mempunyai populasi tinggi pada minggu pertama yaitu media C (Gambar 9) dengan komposisi usus ayam dan media F (Gambar 12) dengan modifikasi campuran media kuning telur dan usus ayam. Masing-masing media tersebut memiliki jumlah populasi sebesar JI/ml dan JI/ml. Media lain juga mengalami peningkatan perkembangbiakan NEP sebesar JI/ml pada media D (Gambar 10) dengan campuran ekstrak yeast dan kuning telur. Selanjutnya, media B (Gambar 8) dan G (Gambar 13) yang mengalami peningkatan yaitu sebesar JI/ml dan JI/ml. Dari data yang diperoleh, semua media mengalami peningkatan jumlah populasi pada media pakan selain media A ekstrak yeast. Masing-masing media yang mengalami peningkatan populasi NEP menurut Shapiro & Gaugler (2002) disebabkan karena adanya sumber nutrisi seperti karbohidrat, protein dan lemak yang dapat memenuhi kebutuhan NEP dalam beradaptasi untuk berkembangbiak. Pembiakan minggu pertama mengalami populasi yang cukup tinggi, hal ini

40 29 diduga karena adanya bakteri simbion pada tubuh NEP yang dibawa pada saat pembiakan secara in vivo. Sehingga, minggu awal media mengalami suatu peningkatan yang signifikan. Dibandingkan media lain, media A (Gambar 7) mengalami langsung penurunan dari populasi awal JI/ml menjadi 468 JI/ml. Hal ini diperkuat dengan adanya penelitian sebelumnya dari Poinar (1979) bahwa pembiakan NEP pada media in vitro pertama kali menggunakan media nabati yang ditambah dengan ekstrak yeast tetapi hasilnya kurang baik. Menurut Reed (1991), hal ini disebabkan karena ekstrak yeast memiliki kadar protein 50-52% lebih tinggi dibandingkan dengan kadar karbohidrat 30-37% dan lemak 4-5%. Ekstrak yeast merupakan protein yang akan terurai akibat aktivitas mikroorganisme menjadi amonia dan terbentuk racun di dalam media. Pada Gambar 11 menunjukkan bahwa populasi NEP tinggi, berarti aktivitas mikroorganisme semakin meningkat dengan jumlah amonia yang dihasilkan semakin tinggi sehingga terlihat pada minggu berikutnya populasi NEP turun drastis. Penghitungan selanjutnya yaitu perkembangbiakan NEP pada minggu kedua. Media A (Gambar 7) terlihat mengalami penurunan setelah minggu pertama menjadi 420 JI/ml dikarenakan suplai nutrisi di dalam media tersebut kurang memenuhi kebutuhan NEP untuk melakukan perkembangbiakan. Menurut Reed (1991) dalam Ahmad (2005) menjelaskan bahwa komposisi kimia ekstrak yeast terdiri atas protein 50-52%, karbohidrat 30-37%, lemak 4-5%. Hal ini diperkuat dengan adanya penelitian sebelumnya dari Yoo et al menjelaskan bahwa lemak merupakan cadangan energi utama bagi NEP untuk berkembangbiak. Sama halnya dengan media C (Gambar 9) yaitu media usus ayam dan E (Gambar 11) yaitu media ekstrak yeast dan usus ayam, masingmasing media ini tidak mengalami peningkatan akan tetapi mengalami penurunan dari jumlah populasi NEP dari minggu pertama sebesar JI/ml dan JI/ml. Dibandingkan dengan media B, D, F dan G, media tersebut mengalami jumlah peningkatan populasi NEP secara signifikan. Media B (Gambar 8.) dengan komposisi kuning telur mengalami jumlah populasi NEP tertinggi pada minggu

TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda Entomopatogen

TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda Entomopatogen 3 TINJAUAN PUSTAKA Nematoda Entomopatogen 1. Taksonomi dan Karakter Morfologi Nematoda entomopatogen tergolong dalam famili Steinernematidae dan Heterorhabditidae termasuk dalam kelas Secernenta, super

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. terhadap larva Spodoptera litura. Isolat lokal yang digunakan untuk adalah DKS-

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. terhadap larva Spodoptera litura. Isolat lokal yang digunakan untuk adalah DKS- BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Patogenisitas Nematoda Entomopatogen dengan Berbagai Konsentrasi Terhadap Mortalitas Larva Spodoptera litura Mortalitas merupakan indikator patogenisitas nematoda entomopatogen

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kerusakan daun kelapa sawit. Namun demikian, penggunaan insektisida kimia

TINJAUAN PUSTAKA. kerusakan daun kelapa sawit. Namun demikian, penggunaan insektisida kimia TINJAUAN PUSTAKA Pengendalian Hayati Di beberapa perkebunan kelapa sawit masalah UPDKS khususnya ulat kantong M. plana diatasi dengan menggunakan bahan kimia sintetik yang mampu menurunkan populasi hama

Lebih terperinci

TANGGAP FUNGSI SERANGGA PERBANYAKAN TERHADAP KELIMPAHAN JUVENIL INFEKTIF SECARA IN VIVO Oleh: Erna Zahro in

TANGGAP FUNGSI SERANGGA PERBANYAKAN TERHADAP KELIMPAHAN JUVENIL INFEKTIF SECARA IN VIVO Oleh: Erna Zahro in TANGGAP FUNGSI SERANGGA PERBANYAKAN TERHADAP KELIMPAHAN JUVENIL INFEKTIF SECARA IN VIVO Oleh: Erna Zahro in Perbanyakan Nematoda Entomopatogen Perbanyakan nematoda entomopatogen dapat dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ulat grayak merupakan hama penting pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum

BAB I PENDAHULUAN. ulat grayak merupakan hama penting pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae) yang lebih dikenal dengan ulat grayak merupakan hama penting pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum L.) (Natawigena,

Lebih terperinci

Diselenggarakan Oleh LPPM UPN Veteran Jawa Timur

Diselenggarakan Oleh LPPM UPN Veteran Jawa Timur APLIKASI TEKNOLOGI PRODUKSI MASSAL NEMATODA ENTOMOPATOGEN SEBAGAI BIOPESTISIDA HAMA WERENG PADA KELOMPOK TANI PADI DI KECAMATAN REMBANG, KABUPATEN PASURUAN Sri Rahayuningtias dan Nugrohorini Progdi Agroteknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan penurunan hasil pertanian, perkebunan maupun sayursayuran.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan penurunan hasil pertanian, perkebunan maupun sayursayuran. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hama adalah organisme yang menginfeksi tanaman dan merusaknya sehingga mengakibatkan penurunan hasil pertanian, perkebunan maupun sayursayuran. Infeksi hama dan penyakit

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014.

BAB III METODE PENELITIAN. (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014. 3.2 Alat dan Bahan

Lebih terperinci

Potensi Heterorhabditis sp. Dalam Mengendalikan Oryctes rhinoceros. Weiser (1991) mengemukakan bahwa Steinernematidae dan Heterorhabditidae

Potensi Heterorhabditis sp. Dalam Mengendalikan Oryctes rhinoceros. Weiser (1991) mengemukakan bahwa Steinernematidae dan Heterorhabditidae Potensi Heterorhabditis sp. Dalam Mengendalikan Oryctes rhinoceros Oleh: Erna Zahro in dan Presti Mardiyani P. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman perkebunan (BBPPTP) Surabaya Heterorhabditis sp.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Kumbang Bubuk Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Pracaya (2007), kumbang penggerek buah kopi dapat

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Kumbang Bubuk Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Pracaya (2007), kumbang penggerek buah kopi dapat 7 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Kumbang Bubuk Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Pracaya (2007), kumbang penggerek buah kopi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :Kingdom : Animalia; Filum: Arthropoda;

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Maret sampai Mei 2008. Bahan dan Alat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Dalam sistematika klasifikasi, Menurut Nugroho (2013) Spodoptera

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Dalam sistematika klasifikasi, Menurut Nugroho (2013) Spodoptera BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Biologi Hama Spodoptera litura Dalam sistematika klasifikasi, Menurut Nugroho (2013) Spodoptera litura dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Animalia Filum Arthropoda

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus : Animalia : Arthopoda : Insekta : Lepidoptera : Plutellidae : Plutella

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. senilai US$ 588,329,553.00, walaupun ada catatan impor juga senilai US$ masyarakat (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2010).

PENDAHULUAN. senilai US$ 588,329,553.00, walaupun ada catatan impor juga senilai US$ masyarakat (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2010). PENDAHULUAN Latar Belakang Kopi (Coffea sp.) merupakan salah satu komoditas ekspor penting dari Indonesia. Data menunjukkan, Indonesia mengekspor kopi ke berbagai negara senilai US$ 588,329,553.00, walaupun

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN..i. DAFTAR ISI...iii. DAFTAR TABEL...iv. DAFTAR GAMBAR.v. DAFTAR LAMPIRAN.vi. ABSTRAK.vii. RINGKASAN...

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN..i. DAFTAR ISI...iii. DAFTAR TABEL...iv. DAFTAR GAMBAR.v. DAFTAR LAMPIRAN.vi. ABSTRAK.vii. RINGKASAN... DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN..i DAFTAR ISI...iii DAFTAR TABEL...iv DAFTAR GAMBAR.v DAFTAR LAMPIRAN.vi ABSTRAK.vii RINGKASAN...viii BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang...1 I.2. Permasalahan..2 I.3.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bioaktivator Menurut Wahyono (2010), bioaktivator adalah bahan aktif biologi yang digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator bukanlah pupuk, melainkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Acak Lengkap (RAL) yaitu dengan pemberian insektisida golongan IGR dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Acak Lengkap (RAL) yaitu dengan pemberian insektisida golongan IGR dengan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis Penelitian ini adalah penelitian experimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yaitu dengan pemberian insektisida golongan IGR dengan jenis

Lebih terperinci

PERBANYAKAN NEMATODA ENTOMOPATOGEN (NEP) PADA BERBAGAI MEDIA BUATAN ENTOMOPATHOGENIC NEMATODES (ENPS) REARING ON VARIOUS ARTIFICIAL CULTURE MEDIA

PERBANYAKAN NEMATODA ENTOMOPATOGEN (NEP) PADA BERBAGAI MEDIA BUATAN ENTOMOPATHOGENIC NEMATODES (ENPS) REARING ON VARIOUS ARTIFICIAL CULTURE MEDIA PERBANYAKAN NEMATODA ENTOMOPATOGEN (NEP) PADA BERBAGAI MEDIA BUATAN ENTOMOPATHOGENIC NEMATODES (ENPS) REARING ON VARIOUS ARTIFICIAL CULTURE MEDIA Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

TOKSISITAS NEMATODA ENTOMOPATOGEN (Steinernema spp) HASIL BIAKAN PADA MEDIA KUNING TELUR TERHADAP HAMA TANAMAN SAWI (Spodoptera litura) SKRIPSI

TOKSISITAS NEMATODA ENTOMOPATOGEN (Steinernema spp) HASIL BIAKAN PADA MEDIA KUNING TELUR TERHADAP HAMA TANAMAN SAWI (Spodoptera litura) SKRIPSI TOKSISITAS NEMATODA ENTOMOPATOGEN (Steinernema spp) HASIL BIAKAN PADA MEDIA KUNING TELUR TERHADAP HAMA TANAMAN SAWI (Spodoptera litura) SKRIPSI Oleh : SITI FADHILAH NPM : 0725010042 Kepada FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

EKSPLORASI NEMATODA ENTOMOPATOGEN PADA BEBERAPA WILAYAH DI JAWA TIMUR. Oleh : Nugrohorini 1)

EKSPLORASI NEMATODA ENTOMOPATOGEN PADA BEBERAPA WILAYAH DI JAWA TIMUR. Oleh : Nugrohorini 1) 132 Jurnal Pertanian MAPETA, ISSN : 1411-2817, Vol. XII. No. 2. April 2010 : 72-144 EKSPLORASI NEMATODA ENTOMOPATOGEN PADA BEBERAPA WILAYAH DI JAWA TIMUR Oleh : Nugrohorini 1) ABSTRACT Entomopatogenic

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Bentuk telur lonjong, warna putih, panjang 3-4 mm, lebar 2-3 mm. Ratarata

TINJAUAN PUSTAKA. Bentuk telur lonjong, warna putih, panjang 3-4 mm, lebar 2-3 mm. Ratarata TINJAUAN PUSTAKA Biologi O. rhinoceros L. berikut : Klasifikasi kumbang badak menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai Kingdom : Animalia Phylum Class Ordo Family Genus : Arthropoda : Insecta : Coleoptera

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jenis Bahan Aktif IGR terhadap Viabilitas Steinernema spp.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jenis Bahan Aktif IGR terhadap Viabilitas Steinernema spp. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Jenis Bahan Aktif IGR terhadap Viabilitas Steinernema spp. Salah satu keunggulan dari nematoda entomopatogen adalah dapat diaplikasikan bersama dengan beberapa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Patogen serangga adalah mikroorganisme infeksius yang membuat luka atau

II. TINJAUAN PUSTAKA. Patogen serangga adalah mikroorganisme infeksius yang membuat luka atau II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Patogen Serangga Patogen serangga adalah mikroorganisme infeksius yang membuat luka atau membunuh inangnya karena menyebabkan penyakit pada serangga. Patogen masuk ke dalam tubuh

Lebih terperinci

Uji Patogenitas Jamur Metarhizium anisopliae terhadap Mortalitas Larva Oryctes rhinoceros L.

Uji Patogenitas Jamur Metarhizium anisopliae terhadap Mortalitas Larva Oryctes rhinoceros L. Uji Patogenitas Jamur Metarhizium anisopliae terhadap Mortalitas Larva Oryctes rhinoceros L. Skripsi disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains biologi oleh Refa Inta Prasetyani

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kubis merupakan salah satu jenis sayuran yang banyak dikonsumsi karena berbagai manfaat yang terdapat di dalam kubis. Kubis dikenal sebagai sumber vitamin A, B, dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil, 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hama Symphilid Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil, berwarna putih dan pergerakannya cepat. Dalam siklus hidupnya, symphylid bertelur dan telurnya

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman.

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman. 1 I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Salah satu limbah peternakan ayam broiler yaitu litter bekas pakai pada masa pemeliharaan yang berupa bahan alas kandang yang sudah tercampur feses dan urine (litter broiler).

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Organik Cair Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab pencemaran berupa zat atau bahan yang dianggap tidak memiliki manfaat bagi masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanaman sayuran, kacang-kacangan, tomat, jagung dan tembakau. Helicoverpa

BAB I PENDAHULUAN. tanaman sayuran, kacang-kacangan, tomat, jagung dan tembakau. Helicoverpa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Helicoverpa armigera (Hubner) merupakan hama yang umum menyerang tanaman sayuran, kacang-kacangan, tomat, jagung dan tembakau. Helicoverpa armigera (Hubner) merupakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi

1. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pertambahan jumlah penduduk Indonesia yang disertai dengan perkembangan pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi menyebabkan terjadinya

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian 23 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian berlangsung selama 7 bulan, yaitu penelitian in vitro bulan Januari sampai Maret 2009 di Laboratorium Biokimia Institut Pertanian Bogor (IPB)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Nanas (Ananas comosus [L.] Merr.) merupakan komoditas andalan yang sangat

I. PENDAHULUAN. Nanas (Ananas comosus [L.] Merr.) merupakan komoditas andalan yang sangat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang dan Masalah Nanas (Ananas comosus [L.] Merr.) merupakan komoditas andalan yang sangat berpotensi dalam perdagangan buah tropik yang menempati urutan kedua terbesar setelah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Desember 2014 Februari 2015 di Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Desember 2014 Februari 2015 di Jurusan III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Desember 2014 Februari 2015 di Jurusan Peternakan, analisis silase dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Percobaan akan dilaksanakan di Laboratorium Nematologi dan Rumah Kaca Jurusan Hama

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Percobaan akan dilaksanakan di Laboratorium Nematologi dan Rumah Kaca Jurusan Hama BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan akan dilaksanakan di Laboratorium Nematologi dan Rumah Kaca Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. konsentrasi limbah cair tapioka (10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan 0% atau kontrol)

BAB III METODE PENELITIAN. konsentrasi limbah cair tapioka (10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan 0% atau kontrol) 34 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian disusun menggunakan metoda statistika rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor, dimana faktor yang diujikan adalah pengaruh konsentrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benih ikan mas (Cyprinus carpio) tergolong ikan ekonomis penting karena ikan ini sangat dibutuhkan masyarakat dan hingga kini masih belum dapat dipenuhi oleh produsen

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id HEWAN AVERTEBRATA SEBAGAI PAKAN IKAN LELE, Suatu Bahan Penyuluhan:" Pemanfaatan Belatung Ampas Tahu Sebagai Pakan PURWOKERTO

bio.unsoed.ac.id HEWAN AVERTEBRATA SEBAGAI PAKAN IKAN LELE, Suatu Bahan Penyuluhan: Pemanfaatan Belatung Ampas Tahu Sebagai Pakan PURWOKERTO HEWAN AVERTEBRATA SEBAGAI PAKAN IKAN LELE, Suatu Bahan Penyuluhan:" Pemanfaatan Belatung Ampas Tahu Sebagai Pakan Alternatif Untuk Peningkatan Produksi lkan Lele Dumbo " Bagi Petani ikan Desa Pingit, Kecamatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memikat perhatian banyak mata. Pemuliaan anggrek dari tahun ke tahun,

I. PENDAHULUAN. memikat perhatian banyak mata. Pemuliaan anggrek dari tahun ke tahun, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bunga anggrek adalah salah satu jenis tanaman hias yang mampu memikat perhatian banyak mata. Pemuliaan anggrek dari tahun ke tahun, terus menghasilkan ragam varietas anggrek

Lebih terperinci

I. MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2014 di Laboratorium. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

I. MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2014 di Laboratorium. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. I. MATERI DAN METODE 1.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2014 di Laboratorium Patologi, Entomologi dan Mikrobiologi Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas 13 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama dan Penyakit Bidang Proteksi Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

Kelimpahan dan Pola Penyebaran Nematoda Entomopatogen sebagai Agensia Pengendali Serangga Hama pada Berbagai Lahan di Semarang

Kelimpahan dan Pola Penyebaran Nematoda Entomopatogen sebagai Agensia Pengendali Serangga Hama pada Berbagai Lahan di Semarang Jurnal Lahan Suboptimal ISSN: 2252-6188 (Print), ISSN: 2302-3015 (Online, www.jlsuboptimal.unsri.ac.id) Vol. 3, No.1: 55-61, April 2014 Kelimpahan dan Pola Penyebaran Nematoda Entomopatogen sebagai Agensia

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Isolat M. anisopliae pada Berbagai Konsentrasi terhadap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Isolat M. anisopliae pada Berbagai Konsentrasi terhadap BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Isolat M. anisopliae pada Berbagai Konsentrasi terhadap Mortalitas H. armigera Mortalitas larva H. armigera merupakan parameter pengukuran terhadap banyaknya jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kendala pada peternak disebabkan mahalnya harga bahan baku, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kendala pada peternak disebabkan mahalnya harga bahan baku, sehingga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan usaha ternak ayam sangat ditentukan oleh penyediaan pakan yang memadai baik kuantitas maupun kualitas, karena pakan merupakan unsur utama dalam pertumbuhan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENELITIAN

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENELITIAN LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENELITIAN PEMANFAATAN AGENS HAYATI AKTINOMISET UNTUK MENGENDALIKAN ULAT KUBIS (Crocidolomia pavonana) DAN PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum capsici) PADA

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Minyak daun cengkeh merupakan hasil penyulingan daun cengkeh dengan menggunakan metode penyulingan (uap /steam). Minyak daun cengkeh berbentuk cair (oil) dan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pengujian kualitas fisik telur dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pengujian kualitas kimia telur dilakukan

Lebih terperinci

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) Antonius Hermawan Permana dan Rizki Satria Hirasmawan Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and Development, PT Gunung Madu Plantations (PT GMP), Kabupaten Lampung Tengah.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pertambahan bobot (gram) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pengambilan data pertambahan biomassa cacing tanah dilakukan

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Proteksi Fakultas Pertanian

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Proteksi Fakultas Pertanian III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Proteksi Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan pada bulan September 2017. B. Bahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup lalat buah mengalami 4 stadia yaitu telur, larva, pupa dan

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup lalat buah mengalami 4 stadia yaitu telur, larva, pupa dan 15 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Bactrocera sp. (Diptera : Tephtritidae) Siklus hidup lalat buah mengalami 4 stadia yaitu telur, larva, pupa dan dewasa. Lalat buah betina memasukkan telur ke dalam kulit buah

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp Mikroalga adalah tumbuhan tingkat rendah yang memiliki klorofil, yang dapat digunakan untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga tidak memiliki

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

VI. PEMBUATAN PESTISIDA NABATI. Yos. F. da Lopes, SP, M.Sc & Ir. Abdul Kadir Djaelani, MP

VI. PEMBUATAN PESTISIDA NABATI. Yos. F. da Lopes, SP, M.Sc & Ir. Abdul Kadir Djaelani, MP PEMBUATAN PESTISIDA NABATI VI. PEMBUATAN PESTISIDA NABATI Yos. F. da Lopes, SP, M.Sc & Ir. Abdul Kadir Djaelani, MP MODUL-06 Department of Dryland Agriculture Management, Kupang State Agriculture Polytechnic

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords : isolation, identification, entomopathogenic nematode, Tenebrio molitor

ABSTRACT. Keywords : isolation, identification, entomopathogenic nematode, Tenebrio molitor ISOLASI DAN IDENTIFIKASI MORFOLOGIS NEMATODA ENTOMOPATOGEN DARI LAHAN PERTANAMAN SEMUSIM KEBUN PERCOBAAN FAKULTAS PERTANIAN DENGAN MENGGUNAKAN UMPAN LARVA Tenebrio molitor L. (Coleoptera : Tenebrionidae)

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Bahan dan Alat

METODE PENELITIAN. Bahan dan Alat 36 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan yaitu mulai 8 Maret sampai 21 Agustus 2007 di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Variabel Hama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun pepaya dengan berbagai

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Variabel Hama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun pepaya dengan berbagai IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Variabel Hama 1. Mortalitas Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun pepaya dengan berbagai fase dan konsentrasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap mortalitas hama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) 2.1.1. Klasifikasi Secara biologis ikan lele dumbo mempunyai kelebihan dibandingkan dengan jenis lele lainnya, yaitu lebih mudah dibudidayakan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan (UP3) Jonggol, Laboratorium Biologi Hewan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Lampung mulai Agustus September

III. METODE PENELITIAN. Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Lampung mulai Agustus September 14 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Lampung mulai Agustus

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Bahan Bahan yang digunakan untuk produksi biomineral yaitu cairan rumen dari sapi potong, HCl 1M, dan aquadest.

MATERI DAN METODE. Bahan Bahan yang digunakan untuk produksi biomineral yaitu cairan rumen dari sapi potong, HCl 1M, dan aquadest. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Mei 2008. Pembuatan biomineral dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, sedangkan pemeliharaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan akumulasi emisi karbondioksida (CO 2 ). Kelangkaan bahan bakar fosil

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan akumulasi emisi karbondioksida (CO 2 ). Kelangkaan bahan bakar fosil BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk dunia di masa mendatang akan menghadapi dua permasalahan yang serius, yaitu kelangkaan bahan bakar fosil dan perubahan iklim global yang diakibatkan akumulasi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Pendahuluan Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi kontrol, kultivasi menggunakan aerasi (P1) dan kultivasi menggunakan karbondioksida

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroorganisme Lokal (MOL) Mikroorganisme lokal (MOL) adalah mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik padat maupun pupuk cair. Bahan utama

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Chlorella sp. tiap perlakuan. Data di analisa menggunakan statistik One Way

BAB III METODE PENELITIAN. Chlorella sp. tiap perlakuan. Data di analisa menggunakan statistik One Way BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Pengambilan data penelitian diperoleh dari perhitungan kelimpahan sel Chlorella sp. tiap perlakuan. Data di analisa menggunakan statistik One Way Anova

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atau sampai kesulitan mendapatkan hijauan makanan ternak (HMT) segar sebagai

I. PENDAHULUAN. atau sampai kesulitan mendapatkan hijauan makanan ternak (HMT) segar sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peternak Indonesia pada umumnya sering mengalami permasalahan kekurangan atau sampai kesulitan mendapatkan hijauan makanan ternak (HMT) segar sebagai pakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam budidaya perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari biaya produksi. Pakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. family : Tephritidae, genus : Bactrocera, spesies : Bactrocera sp.

TINJAUAN PUSTAKA. family : Tephritidae, genus : Bactrocera, spesies : Bactrocera sp. 4 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Lalat Buah (Bactrocera sp.) Menurut Deptan (2007), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: kingdom: Animalia, filum : Arthropoda, kelas : Insect, ordo : Diptera,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani

TINJAUAN PUSTAKA Botani 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman mentimun berasal dari kaki pegunungan Himalaya. Domestikasi dari tanaman liar ini berasal dari India utara dan mencapai Mediterania pada 600 SM. Tanaman ini dapat tumbuh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Sosis Sapi Nilai ph Sosis Sapi Substrat antimikroba yang diambil dari bakteri asam laktat dapat menghasilkan senyawa amonia, hidrogen peroksida, asam organik (Jack

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Klasifikasi lele masamo SNI (2000), adalah : Kingdom : Animalia Phylum: Chordata Subphylum: Vertebrata Class : Pisces

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan sapi perah selain menghasilkan air susu juga menghasilkan limbah. Limbah tersebut sebagian besar terdiri atas limbah ternak berupa limbah padat (feses) dan limbah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan 3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Isolasi Bakteri Penitrifikasi Sumber isolat yang digunakan dalam penelitian ini berupa sampel tanah yang berada di sekitar kandang ternak dengan jenis ternak berupa sapi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pakan merupakan salah satu komponen yang sangat menunjang kegiatan usaha budidaya perikanan, sehingga pakan yang tersedia harus memadai dan memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

Nutrisi Pakan pada Pendederan kerapu

Nutrisi Pakan pada Pendederan kerapu Nutrisi Pakan pada Pendederan kerapu Oleh: Ibnu Sahidhir Kementerian Kelautan dan Perikanan Ditjen Perikanan Budidaya Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee 2011 Biologi Benih Kerapu Pemakan daging Pendiam,

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. pada Ransum Sapi FH dilakukan pada tanggal 4 Juli - 21 Agustus Penelitian

BAB III MATERI DAN METODE. pada Ransum Sapi FH dilakukan pada tanggal 4 Juli - 21 Agustus Penelitian 14 BAB III MATERI DAN METODE Penelitan dengan judul Tampilan Protein Darah Laktosa dan Urea Susu akibat Pemberian Asam Lemak Tidak Jenuh Terproteksi dan Suplementasi Urea pada Ransum Sapi FH dilakukan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Metode Pembuatan Petak Percobaan Penimbangan Dolomit Penanaman

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Metode Pembuatan Petak Percobaan Penimbangan Dolomit Penanaman MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan mulai akhir bulan Desember 2011-Mei 2012. Penanaman hijauan bertempat di kebun MT. Farm, Desa Tegal Waru. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari Maret 2017 di

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari Maret 2017 di 13 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari Maret 2017 di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang untuk pengujian

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN

III. METODELOGI PENELITIAN 18 III. METODELOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Budidaya Perikanan, Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung pada bulan Maret - April

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Metabolisme Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor mulai bulan Oktober sampai dengan Nopember 2011. Tahapan meliputi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 1 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian dasar yang menggunakan metode eksperimental. Penelitian eksperimen merupakan penelitian dimana variabel yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum di dalam Kandang Rataan temperatur dan kelembaban di dalam kandang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Suhu dan Kelembaban Relatif Kandang Selama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cacing gelang Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang umum menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang dalam kehidupannya mengalami

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. menghasilkan tingkat penolakan yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. menghasilkan tingkat penolakan yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Tingkat penolakan hama kutu beras Hasil penelitian menunjukkan dosis ekstrak daun pandan wangi kering dan daun pandan wangi segar memberikan pengaruh nyata terhadap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Kondisi lingkungan tumbuh yang digunakan pada tahap aklimatisasi ini, sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan planlet Nepenthes. Tjondronegoro dan Harran (1984) dalam

Lebih terperinci

Efektivitas Steinernema sp. dalam Pengendalian Hama Serangga Tanah pada Berbagai Tekstur Tanah

Efektivitas Steinernema sp. dalam Pengendalian Hama Serangga Tanah pada Berbagai Tekstur Tanah ISSN: 2252-3979 http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/lenterabio Efektivitas Steinernema sp. dalam Pengendalian Hama Serangga Tanah pada Berbagai Tekstur Tanah Merina Safitri, Evie Ratnasari, Reni Ambarwati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merang merupakan salah satu jenis jamur pangan yang memiliki nilai gizi yang tinggi dan permintaan pasar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merang merupakan salah satu jenis jamur pangan yang memiliki nilai gizi yang tinggi dan permintaan pasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merang merupakan salah satu jenis jamur pangan yang memiliki nilai gizi yang tinggi dan permintaan pasar yang terus meningkat. Menurut Trubus (2012), permintaan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN A2B2 (37;11) A2B1 (37;9) A1B2 (33;11) Tepung ikan

3 METODE PENELITIAN A2B2 (37;11) A2B1 (37;9) A1B2 (33;11) Tepung ikan 17 3 METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Stasiun Lapang Pusat Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (PSIK IPB) Ancol Jakarta Utara pada bulan Juli Oktober

Lebih terperinci

Nugrohorini dan Wiwin Windriyanti Progdi Agroteknologi FP UPN Veteran Jawa Timur ABSTRACT I. PENDAHULUAN

Nugrohorini dan Wiwin Windriyanti Progdi Agroteknologi FP UPN Veteran Jawa Timur ABSTRACT I. PENDAHULUAN FORMULASI BIOPESTISIDA NEMATODA ENTOMOPATOGEN ISOLAT LOKAL SERTA TOKSISITASNYA PADA HAMA TANAMAN KEDELAI (Spodoptera sp.) BIOPESTICIDE FORMULATION OF ENTHOMOPATHOGENIC NEMATODES LOCAL ISOLATE WITH IT S

Lebih terperinci

RESPON ENAM VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril) ANJURAN TERHADAP SERANGAN LARVA PEMAKAN DAUN KEDELAI SKRIPSI

RESPON ENAM VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril) ANJURAN TERHADAP SERANGAN LARVA PEMAKAN DAUN KEDELAI SKRIPSI RESPON ENAM VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril) ANJURAN TERHADAP SERANGAN LARVA PEMAKAN DAUN KEDELAI SKRIPSI Oleh Swastyastu Slandri Iswara NIM. 021510401060 JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS

Lebih terperinci