KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6/KEPMEN-KP/2014 TENTANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6/KEPMEN-KP/2014 TENTANG"

Transkripsi

1 KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6/KEPMEN-KP/2014 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI TAMAN NASIONAL PERAIRAN LAUT SAWU DAN SEKITARNYA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan pengelolaan Taman Nasional Perairan Laut Sawu dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur, perlu menetapkan Rencana Pengelolaan dan Zonasi Taman Nasional Perairan Laut Sawu dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Taman Nasional Perairan Laut Sawu dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun ; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4779); 3. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 125); 1 4. Peraturan...

2 4. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi, Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 126); 5. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 60/P Tahun 2013; 6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.02/MEN/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan; 7. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan; 8. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI TAMAN NASIONAL PERAIRAN LAUT SAWU DAN SEKITARNYA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN KESATU : Menetapkan Rencana Pengelolaan dan Zonasi Taman Nasional Perairan Laut Sawu dan Sekitarnya Di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun , sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini. KEDUA : Rencana Pengelolaan dan Zonasi sebagaimana dimaksud diktum KESATU merupakan panduan operasional pengelolaan Taman Nasional Perairan Laut Sawu dan Sekitarnya Di Provinsi Nusa Tenggara Timur. KETIGA : Rencana Pengelolaan dan Zonasi sebagaimana dimaksud diktum KESATU dapat ditinjau sekurangkurangnya 5 (lima) tahun sekali. KEEMPAT... 2

3 KEEMPAT : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 27 Januari 2014 MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SHARIF C. SUTARDJO Disalin sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum dan Organisasi Hanung Cahyono 3

4 LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2014 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI TAMAN NASIONAL PERAIRAN LAUT SAWU DAN SEKITARNYA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan tingkat keanekaragaman terumbu karang yang tinggi dengan ekosistem yang menyediakan kehidupan bagi masyarakat pesisir dan sekitarnya. Sebagai bagian dari Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle), wilayah Indonesia Timur, mempunyai keanekaragaman terumbu karang paling kaya di Bumi. Untuk itu Pemerintah Republik Indonesia berkomitmen penuh mendukung Regional Plan of Action Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security, utamanya terkait dengan upaya pengelolaan kawasan konservasi perairan yang efektif (Marine Protected Areas (MPAs) Established and Effectively Managed and therefore (CTMPAS) in place and fully functional). Kementerian Kelautan dan Perikanan juga telah memiliki Rencana Aksi Nasional Coral Triangle Initiative (CTI) agar kawasan konservasi perairan dapat terkelola dan berfungsi dengan baik. Pengelolaan kawasan konservasi perairan bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Upaya ini dilakukan antara lain dengan membentuk dan menguatkan ketahanan jejaring Kawasan Konservasi Perairan/Taman Nasional Perairan dengan prioritas pada eko-wilayah dari sebuah bentang wilayah luas. Pemerintah Indonesia pada Tahun 2013 telah memiliki kawasan konservasi laut seluas 15,7 juta ha dan berkomitmen untuk meningkatkan kawasan konservasi laut menjadi 20 juta hektar pada Tahun Perairan Laut Sawu terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berbatasan langsung dengan dengan wilayah pesisir barat Timor Leste. Perairan Laut Sawu terletak di wilayah lintasan arus lintas Indonesia (Arlindo), yang merupakan pertemuan dua massa arus dari Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Perairan Laut Sawu 1

5 memanjang dari barat ke timur sepanjang 600 km dan dari utara ke Selatan sepanjang 250 km. Perairan Laut Sawu bagi pembangunan di Provinsi NTT bermakna strategis, karena hampir sebagian Kabupaten/Kota di Provinsi NTT sangat tergantung kepada Laut Sawu yang menyumbang lebih dari 65 % potensi lestari sumberdaya ikan di Provinsi NTT. Perairan Laut Sawu memiliki sebaran tutupan terumbu karang dengan keragaman hayati spesies sangat tinggi di dunia yang merupakan habitat kritis sebagai wilayah perlintasan 21 (dua puluh satu) jenis setasea, termasuk 2 (dua) spesies paus langka, yaitu paus biru dan paus sperma. Perairan Laut Sawu juga merupakan habitat yang penting bagi duyung, ikan pari manta, dan penyu. Disamping itu, perairan Laut Sawu merupakan daerah utama jalur pelayaran di Indonesia. Wilayah ini juga merupakan salah satu instrumen penting dalam rangka mengatasi dampak perubahan iklim (climate change), ketahanan pangan (food security) dan pengelolaan laut dalam (deep sea). Wilayah perairan Laut Sawu mempunyai berbagai permasalahan antara lain perusakan terumbu karang, penurunan populasi biota laut penting, kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, sebagaian perairan Laut Sawu dicadangkan sebagai Taman Nasional Perairan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.38/MEN/2009 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu dan Sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Taman Nasional Perairan Laut Sawu dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang selanjutnya disebut TNP Laut Sawu meliputi perairan seluas ,01 hektar, yang terdiri dari 2 bagian yaitu Wilayah Perairan Selat Sumba dan Sekitarnya seluas ,64 hektar dan Wilayah Perairan Pulau Sabu-Rote-Timor-Batek dan Sekitarnya seluas ,37 hektar. Taman Nasional Perairan merupakan kawasan konservasi perairan yang mempunyai ekosistem asli, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan, dan rekreasi. Penetapan kawasan konservasi perairan dilaksanakan dengan tujuan melindungi dan melestarikan sumber daya ikan serta tipe-tipe ekosistem penting di perairan untuk menjamin keberlanjutan fungsi ekologisnya, mewujudkan 2

6 pemanfaatan sumber daya ikan dan ekosistemnya serta jasa lingkungannya secara berkelanjutan, melestarikan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya ikan di dalam dan/atau di sekitar kawasan konservasi perairan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi perairan. Secara khusus tujuan pencadangan TNP Laut Sawu adalah mewujudkan kelestarian sumberdaya ikan dan ekosistemnya sebagai bagian wilayah ekologi perairan laut Sunda Kecil (Lesser Sunda Marine Eco-Region), melindungi dan mengelola ekosistem perairan Laut Sawu dan sekitarnya, sebagai kerangka acuan pembangunan daerah di bidang perikanan, pariwisata, masyarakat pesisir, pelayaran, ilmu pengetahuan dan konservasi, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui mata pencaharian yang berkelanjutan (sustainable livelihood). Menindaklanjuti pencadangan wilayah perairan Laut Sawu sebagai TNP Laut Sawu dan untuk menjamin keberlanjutan pengelolaannya, maka Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Balai Kawasan Konservasi Peraian Nasional (Balai KKPN) Kupang membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Penyusun Rencana Pengelolaan dan Zonasi TNP Laut Sawu yang bertugas untuk menyusun Rencana Pengelolaan 20 (dua puluh) tahun TNP Laut Sawu yang mencakup di dalamnya Rencana Jangka Menengah 5 (lima) tahun. Pokja Penyusun Rencana Pengelolaan dan Zonasi TNP Laut Sawu ini keanggotaanya terdiri dari berbagai pemangku kepentingan terkait dalam pengelolaan TNP Laut Sawu yaitu Balai KKPN Kupang, Sekretariat Daerah Provinsi NTT, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi NTT, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi NTT, Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi NTT, Dinas Perhubungan Provinsi NTT, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTT, Polda NTT, LANTAMAL VII Kupang, Perguruan Tinggi (Universitas Nusa Cendana, Universitas Kristen Artha Wacana, dan Universitas Muhammadiyah Kupang), perwakilan FAO, Lembaga Swadaya Masyarakat (Yayasan Iehari, Yayasan Alfa Omega, Yayasan Pengembangan Pesisir dan Lautan, dan The Nature Conservancy-Savu Sea MPA Development Project), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Provinsi NTT, Kelompok Masyarakat, dan dunia usaha dari bidang perikanan dan pariwisata. 3

7 Penyusunan dokumen ini berdasarkan pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.30/MEN/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan dilakukan melalui berbagai hasil studi dan analisis yang mendalam, penelusuran lapang (ground-truthing) dan konsultasi publik dengan pemangku kepentingan terkait di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten, yang melibatkan masyarakat di 10 kabupaten di dalam TNP Laut Sawu. Berdasarkan hal tersebut, dengan mempertimbangkan hasil konsultasi publik yang dilakukan, luas kawasan TNP Laut Sawu yang semula ,01 hektar berubah menjadi ,82 hektar yang terdiri dari 2 bagian yaitu Wilayah Perairan Selat Sumba dan Sekitarnya seluas ,40 hektar dan Wilayah Perairan Pulau Sabu-Rote-Timor- Batek dan Sekitarnya seluas ,42 hektar. B. Tujuan 1. Tujuan Umum Penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan dan Zonasi TNP Laut Sawu bertujuan untuk memberikan pedoman dan arahan bagi pengelolaan kawasan dan seluruh potensinya secara komprehensif dan indikatif untuk keperluan jangka panjang, yang menjadi acuan bagi penyusunan rencana pengelolaan jangka menengah, dan rencana kerja tahunan, serta rencana-rencana teknis. 2. Tujuan Pengelolaan Tujuan Rencana Pengelolaan dan Zonasi TNP Laut Sawu yaitu: a. melindungi dan melestarikan sumberdaya ikan serta tipe-tipe ekosistem penting di perairan untuk menjamin keberlanjutan fungsi ekologisnya; b. mewujudkan pemanfaatan sumberdaya ikan dan ekosistemnya serta jasa lingkungannya secara berkelanjutan; c. melestarikan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan di dalam dan/atau disekitar kawasan konservasi perairan; dan d. meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi perairan. 4

8 C. Ruang Lingkup 1. Lingkup Wilayah Lingkup wilayah Rencana Pengelolaan dan Zonasi TNP Laut Sawu yaitu wilayah perairan seluas ,82 hektar yang meliputi Wilayah Perairan Selat Sumba dan Sekitarnya seluas ,40 hektar dan Wilayah Perairan Pulau Sabu-Rote-Timor-Batek dan Sekitarnya seluas ,42 hektar. 2. Lingkup Materi Lingkup materi Rencana Pengelolaan dan Zonasi TNP Laut Sawu ini memuat pembahasan substansi mengenai: a. isu dan permasalahan Menjelaskan tentang berbagai isu dan masalah yang terkait dengan hubungan antara masyarakat dan sumberdaya kawasan, pola-pola pemanfaatan sumberdaya kawasan dan dampaknya terhadap keberadaan sumber daya, serta potensi ancaman baik secara alami maupun akibat intervensi. b. kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan Menguraikan tentang visi dan misi pengelolaan, opsi-opsi pengelolaan yang dapat diterima semua pihak. c. arahan rencana pengelolaan kawasan. Menguraikan inti dari dokumen rencana pengelolaan, antara lain berisi program-program pengelolaan pada setiap zona, penyelenggara pengelolaan kawasan, dan pembiayaan pengelolaan kawasan. 3. Lingkup Jangka Waktu Lingkup waktu Rencana Pengelolaan dan Zonasi TNP terdiri dari: a. Rencana jangka panjang 20 tahun; dan b. Rencana jangka menengah (5 Tahun). Laut Sawu 5

9 A. Potensi BAB II POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGELOLAAN 1. Potensi Fisik Kawasan a. Lokasi Kawasan TNP Laut Sawu terletak di bentang laut Paparan Sunda Kecil (Ecoregion Lesser Sunda), yang meliputi wilayah perairan Selat Sumba dan perairan Timur Rote-Sabu-Batek, sebagaimana terdapat pada Gambar 1. Gambar 1. Peta Batas Kawasan Pencadangan TNP laut Sawu Wilayah perairan TNP Laut Sawu dikelilingi oleh rangkaian kepulauan yaitu Pulau Timor, Sabu, Sumba, dan Flores. Secara administratif, TNP Laut Sawu terletak di Kabupaten Kupang, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Sabu Rajua, Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Sumba Tengah, Kabupaten Sumba Barat dan Kabupaten Sumba Barat Daya. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.38/MEN/2009 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur, TNP Laut Sawu memiliki 18 (delapan belas) titik koordinat batas kawasan, sebagaimana terdapat pada Tabel 1. 6

10 Tabel 1. Titik batas koordinat pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur ID X Y Keterangan 1 119ᵒ 46 29,4 BT 9ᵒ10 24,9 LS Selat Sumba 2 118ᵒ 55 36,1 BT 9ᵒ10 22,8 LS Selat Sumba 3 118ᵒ 55 34,7 BT 9ᵒ33 35,8 LS Selat Sumba 4 119ᵒ 53 0,0 BT 8ᵒ49 42,9 LS Selat Sumba 5 120ᵒ 22 22,8 BT 8ᵒ49 5,6 LS Selat Sumba 6 120ᵒ 11 28,6 BT 9ᵒ28 20,4 LS Selat Sumba 7 120ᵒ 08 49,8 BT 10ᵒ13 18,4 LS Pulau Sumba 8 120ᵒ 03 49,3 BT 10ᵒ19 10,4 LS Pulau Sumba 9 121ᵒ 14 11,8 BT 11ᵒ0 11,7 LS Pulau Dana B ᵒ 50 5,4 BT 10ᵒ50 27,1 LS Pulau Sabu ᵒ 52 46,7 BT 11ᵒ09 22,3 LS Pulau Dana A ᵒ BT 10ᵒ10 12,5 LS Tanjung Kolbano ᵒ 02 47,6 BT 9ᵒ20 9,9 LS Perbatasan Timur Leste ᵒ 59 52,2 BT 9ᵒ14 35,1 LS Pulau Batek ᵒ 34 4,3 BT 10ᵒ26 38,6 LS Pulau Rote ᵒ 4 8,8 BT 10ᵒ24 32,0 LS Tanjung Niuwudu (Pulau Sabu) ᵒ 38 58,8 BT 9ᵒ51 7,0 LS Tanjung Tuak (Melolo) ᵒ 1 9,4 BT 9ᵒ14 53,2 LS Pulau Batek Luas kawasan TNP Laut Sawu sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.38/MEN/2009 tersebut di atas telah mengalami perubahan dengan mempertimbangkan beberapa aturan perundangan yang berlaku dan kondisi existing serta berdasarkan hasil konsultasi publik yang dilakukan. Luas total TNP Laut Sawu setelah perubahan yaitu ,82 hektar yang meliputi 2 (dua) bagian yaitu Wilayah Perairan Selat Sumba dan Sekitarnya seluas ,40 hektar dan Wilayah Perairan Pulau Sabu-Rote-Timor-Batek dan Sekitarnya seluas ,42 hektar. Lingkup wilayah perencanaan ini mengacu pada perubahan batas kawasan konservasi TNP Laut Sawu, dengan perubahan kawasan sebagai berikut: a. Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang melintas kawasan Konservasi yaitu ALKI III (perairan antara Pulau Rote dan Pulau Sabu serta antara Pulau Sabu dan Pulau Sumba) dikeluarkan dari TNP Laut Sawu; b. sebagian perairan Kabupaten Rote Ndao di bagian selatan dikeluarkan dari TNP Laut Sawu; c. sebagian perairan Kabupaten Sabu Raijua di bagian utara dikeluarkan dari TNP Laut Sawu; dan 7

11 d. sebagian perairan di sebelah utara perairan Timor, Rote, dan Sabu dimasukkan ke dalam TNP Laut Sawu. Berdasarkan perubahan tersebut di atas, TNP Laut Sawu memiliki 34 (tiga puluh empat) titik koordinat batas kawasan sebagaimana terdapat pada Gambar 2 dan Tabel 2. Gambar 2. Peta Batas TNP Laut Sawu Tabel 2.Titik batas koordinat TNP Laut Sawu dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur ID X Y Keterangan ' 40.39''BT 9 32' 54.15''LS Tanjung Karoso ' 36.10'' BT 9 10' 22.80'' LS Utara Tanjung Karoso ' 29.40'' BT 9 10' 24.90'' LS Selat Sumba ' 58.32'' BT 8 49' 45.57'' LS Tanjung Karitamese ' 23.11'' BT 8 49' 4.28'' LS Terong ' 28.93'' BT 9 28' 20.15'' LS Hambapraing ' 57.86'' BT 9 51' 7.21'' LS Lumbukore ' 50.49'' BT 10 13' 16.61'' LS Praimadita ' 48.60'' BT 10 19' 9.85'' LS Barat Pulau Mengudu ' 49.11'' BT 10 43' 30.92'' LS Selat Raijua- Sumba Timur ' 36.62'' BT 10 48' 5.71'' LS Selat Raijua- Sumba Timur ' 11.41'' BT 11 0' 11.82'' LS Selatan Pulau Dana Sabu ' 11.01'' BT 10 47' 5.26'' LS Selatan Pulau Sabu ' 17.18'' BT 10 54' 14.36'' LS Selat Sabu-Ndao ' 30.54'' BT 10 57' 9.94'' LS Selat Sabu-Ndao Selatan Pulau ' 46.77'' BT 11 9' 21.94'' LS Ndana Rote 8

12 ID X Y Keterangan ' 53.31'' BT 11 1' 28.35'' LS Selatan Pulau Rote ' 53.35'' BT 10 51' 21.52'' LS Kuli ' 30.56'' BT 10 28' 19.78'' LS Daiama/cek ' 26.62'' BT 10 29' 35.97'' LS Tanjung Usu/cek ' 10.81'' BT 10 36' 32.07'' LS Selatan Pulau Timor ' 40.72'' BT 10 10' 11.71'' LS Tuafanu ' 28.66'' BT 9 20' 35.29'' LS Netemnanu Selatan ' 58.41'' BT 9 15' 52.67'' LS Timur Pulau Batek ' 59.58'' BT 9 14' 21.14'' LS Utara Pulau Batek ' 52.75'' BT 9 57' 12.33'' LS Utara Pulau Rote ' 23.56'' BT 10 5' 13.77'' LS Utara Pulau Ndao ' 45.92'' BT 10 26' 26.79'' LS Jiwuwu ' 44.63'' BT 10 30' 28.63'' LS Ledeana ' 45.85'' BT 10 14' 32.57'' LS Selat Raijua- Sumba Timur ' 39.39'' BT 10 12' 32.46'' LS Selat Raijua- Sumba Timur ' 19.09'' BT 10 17' 42.94'' LS Selat Raijua- Sumba Timur ' 21.37'' BT 10 10' 22.06'' LS Selat Raijua- Sumba Timur ' 37.10'' BT 10 8' 12.96'' LS Selat Raijua- Sumba Timur TNP Laut Sawu dapat dijangkau melalui jalur darat, laut, dan udara. Seluruh jalur tersebut berpusat di Kupang sebagai ibukota Provinsi NTT dan terhubung secara langsung dengan 10 (sepuluh) kabupaten di kawasan TNP Laut Sawu. Jalur darat di kawasan TNP Laut Sawu diklasifikasi dalam jalan negara, provinsi dan kabupaten. Kondisi jalan negara umumnya baik namun jalan provinsi dan kabupaten sebagian dalam kondisi rusak dan ada juga yang tidak beraspal. Transportasi darat merupakan fasilitas yang dominan dipergunakan masyarakat di kawasan TNP Laut Sawu. b. Kondisi Fisik Kawasan 1) Iklim Konfigurasi geografis Provinsi NTT sebagai provinsi kepulauan dan letaknya pada posisi silang di antara dua benua yaitu Asia dan Australia, dan di antara dua samudra yaitu Hindia dan Pasifik, menentukan karakteristik iklim di wilayah ini. TNP Laut Sawu secara umum termasuk ke dalam tipe iklim tropis, dengan variasi suhu dan penyinaran matahari 9

13 yang rendah. Rata-rata suhu minimum 24 0 C dan maksimum 32 0 C, dengan curahan matahari rata-rata ±12 jam. Pola umum iklim wilayah ini adalah pola musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung antara bulan November sampai dengan bulan Maret, sedangkan musim kemarau antara bulan April sampai dengan bulan Oktober. Pola iklim demikian dikendalikan oleh pola Angin Muson dari Tenggara yang relatif kering dan dari arah Barat Laut, yang membawa banyak uap air. Konfigurasi kepulauan dan topografi wilayah juga merupakan pengendali iklim lokal yang berpengaruh terhadap karakteristik iklim lokal. Kecenderungan angin pada Bulan Juni September, arah angin berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember Maret arah angin berasal dari Asia dan Samudera Pasifik yang banyak mengandung uap air sehingga terjadi musim hujan. Keadaan seperti ini berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April Mei dan Oktober Nopember. Namun demikian, mengingat wilayah TNP Laut Sawu dekat dengan Australia, arah angin yang banyak mengandung uap air dari Asia dan Samudera Pasifik sampai pada kawasan TNP Laut Sawu, kandungan uap airnya sudah berkurang yang mengakibatkan hari hujan di wilayah ini berkurang. Hal inilah yang menjadikan wilayah ini sebagai wilayah yang tergolong kering, yaitu 8 (delapan) bulan relatif kering (bulan April sampai dengan bulan November), dan 4 (empat) bulan keadaannya relatif basah (bulan Desember sampai dengan bulan Maret). Suhu udara rata rata maksimum berkisar pada 30 C - 36 C dan rata-rata suhu minimum antara 21 C - 24,5 C, dengan curah hujan rata rata adalah mm/ tahun. Tingkat curah hujan ini berbeda beda tiap daerah, seperti wilayah Flores bagian barat, yang meliputi Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Barat merupakan daerah yang cukup basah, hal ini disebabkan curah hujan rata ratanya lebih tinggi dari rata rata total, yaitu mm/tahun. Dengan kondisi tersebut, maka daerah ini dapat 10

14 dikatakan sangat cocok untuk pengembangan kawasan pertanian dan perkebunan yang berumur pendek. Salah satu unsur penting pembentuk iklim di atas adalah curah hujan. Akibatnya, keragaman iklim antar wilayah di daerah ini juga sangat besar, misalnya rata-rata curah hujan tahunan sekitar 850 mm/tahun dapat terjadi di wilayah Pulau Sabu. Secara umum, iklim wilayah NTT termasuk ke dalam kategori iklim semi-arid, dengan periode hujan yang hanya berlangsung 3-4 bulan, dan periode kering 8-9 bulan. Kondisi iklim demikian mendeterminasi pola pertanian tradisional di wilayah TNP Laut Sawu yang hanya mengusahakan tanaman semusim, yang ditanam dalam periode musim hujan. Keadaan demikian juga mempengaruhi produktivitas tenaga kerja pertanian, yang tergolong sangat rendah (jumlah jam kerja <5 jam/minggu), akibat dari waktu kerja bertani yang hanya berlangsung 3-4 bulan dalam setahun. Persoalan curah hujan pada kawasan TNP Laut Sawu juga diperparah oleh pengaruh iklim global, terutama fenomena elnino dan lanina, serta fenomena perubahan iklim global yang kurang menguntungkan. Dampak dari pengaruh iklim global dimaksud antara lain adalah waktu onset dan offset musim hujan yang sulit diprediksi, dan fenomena kondisi musim kemarau dan musim hujan yang ekstrim. Akibatnya adalah antara lain kekeringan, gagal tanam, gagal panen, banjir, dan gangguan hama dan penyakit tanaman yang serius. Laut Sawu dan sekitarnya merupakan daerah upwelling tetap sehingga sebagian jenis paus bertempat tinggal di laut tersebut. Laut Sawu termasuk dibagian selatan segitiga karang dunia dan menyokong beragam habitat ikan karang dan ikan pelagis paling produktif. Secara oseanografi, kawasan ini memiliki arus laut yang terkenal kuat. Kombinasi arus yang kuat dan tebing laut curam menyebabkan pengadukan arus dingin yang mungkin merupakan faktor utama pemicu ketangguhan terhadap ancaman terbesar akan peningkatan suhu permukaan laut terkait perubahan iklim. Laut Sawu dapat menjadi tempat perlindungan bagi kehidupan 11

15 laut dan sumber daya ikan yang produktif diantara perubahan iklim global. (BMG NTT, 2010). 2) Topografi, Kemiringan Lereng, dan Geologi Ditinjau berdasarkan ketinggiannya, 48,78 % dari luas wilayah Provinsi NTT atau sekitar hektar berada pada rentang ketinggian meter di atas permukaan air laut. Sedangkan wilayah dengan ketinggian di atas 1000 m hanya sebagian kecilnya saja, yaitu sebesar 3,65%. Berdasarkan kemiringan tanahnya, wilayah Provinsi NTT didominasi oleh tanah dengan kemiringan lereng 15% 40%. Bagian terbesar lainnya adalah tanah dengan kemiringan lebih dari 40%, yaitu sebesar Ha atau 35,46% dari luas wilayah Provinsi NTT. Besar kecilnya kemiringan lereng menentukan kemudahan penggarapan tanah dan dapat tidaknya alat mekanis digunakan dalam pengelolaan tanah. Selain itu kemiringan lereng ini juga mempengaruhi tingkat erosi. Wilayah Provinsi NTT termasuk dalam kawasan Circum Pasifik sehingga daerah ini, terutama sepanjang Pulau Flores, memiliki struktur tanah yang labil (sering terjadi patahan). Pulau Sumba, Pulau Sabu, Pulau Rote dan pulau sekitarnya terbentuk dari dasar laut yang terangkat ke permukaan. Dengan kondisi ini maka jalur pulau pulau yang terletak pada jalur vulkanik dapat dikategorikan subur namun sering mengalami bencana alam yang dapat mengancam kehidupan penduduk yang menetap di daerah tersebut. Dibalik kondisi geologi tersebut, Provinsi NTT memiliki berbagai macam deposit, baik mineral maupun sumber- sumber energi lainnya. Hampir 100 lokasi di daerah ini mengandung mineral dari sumber energi bumi/bahan bakar minyak, seperti di Pulau Pulau Sumba, Pulau Timor dan disepanjang pantai Flores bagian timur. Sumber energi dapat dikembangkan dari sungaisungai besar, seperti Noelmina (Kabupaten Timor Tengah Selatan) dan sungai Kambaniru (Kabupaten Sumba Timur). Mineral yang terkandung di provinsi ini adalah Pasir Besi, Mangan (Mn), Emas (Au), Flourspor (Fs), Barit (Ba), Belerang (S), Posfat (Po), Zeolit (Z), Batu Permata, Pasir Kwarsa, Pasir, 12

16 Gipsum, Batu Marmer, Batu Gamping, Granit, Andesit, Balsitis, Pasir Batu (Pa), Batu apung, Tanah Diatomea dan Lempung/Clay. Sebaran struktur batuan geologi yang ada di wilayah provinsi ini, adalah : 1. Batuan Silicic Acid Rock (batuan beku asam silikaan), terdapat di Kabupaten Manggarai, Sebagian besar Manggarai Barat dan sebagian kecil Kabupaten Kupang; 2. Batuan Mafic Basic Rocks (batuan beku basa); 3. Batuan Intermediate Basic (batuan beku basa menengah); 4. Batuan Pre Tertiare Undivideo (pra tersier tak dibedakan); 5. Batuan Paleagene (pleogen); 6. Alluvial Terrace Deposit and Coral Reefs (alluvium undak dan terumbu koral); 7. Batuan Neogene (neogen); 8. Batuan Kekneno Series (deret kekneno); 9. Batuan Sonebait Series (deret sonebait); 10. Batuan Sonebait and Ofu Series Terefolde (deret sonebait dan deret terlipat bersama); 11. Batuan Ofu Series (deret ofu); 12. Batuan Silicic Efusives (efusiva berasam kersik); 13. Batuan Triassic (trias); 14. Batuan Crystalline Schist (sekis hablur). Peta struktur geologi sebagaimana terdapat pada Gambar 3. Gambar 3. Peta Struktur Geologi Provinsi NTT (DinasPertambangan dan Energi, 2010) 13

17 3) Hidrologi Secara umum keadaan hidrologi di dalam kawasan TNP Laut Sawu, terutama air permukaan, agak kurang. Hal ini disebabkan karena musim hujan dalam satu tahun hanya berlangsung paling lama 4 bulan. Kondisi ini mengakibatkan sulitnya eksploitasi sumber air permukaan oleh penduduk. Daerah Aliran Sungai (DAS) dibentuk dari beberapa sungai dan danau. Di wilayah Provinsi NTT terdapat 27 DAS dengan luas keseluruhan hektar. Sungai yang terpanjang di wilayah Provinsi NTT adalah Sungai Benanain dengan panjang 100 Km, yang terdapat di Kabupaten Belu. DAS terluas adalah DAS Benain, seluas hektar (21,58%), dan DAS terkecil adalah DAS Oka, seluas 4.125,33 hektar (0,27%). 4) Kondisi Oseanografi Perairan Perairan Laut Sawu sangat dinamis, merupakan pertemuan 2 (dua) massa arus besar, massa air dari Samudera Hindia dan Laut Banda. Fenomena upwelling atau pengadukan massa air laut dalam yang dingin dan air permukaan yang hangat menjadikan daerah ini merupakan daerah dengan produktifitas perairan yang sangat tinggi. Kedalaman perairan yang mencapai (empat ribu) meter dan tebing tebing curam merupakan ciri dominan bentang laut di Laut Sawu. a) Bathimetri Perairan TNP Laut Sawu memiliki karakteristik dan bentuk dasar perairan yang bervariasi yaitu karakteristik dasar perairan dengan tipe dasar perairan landai, bergelombang sampai dengan curam. Pada umumnya morfologi dasar laut TNP Laut Sawu untuk daerah dekat pantai (nearshore) relatif datar, sebagaimana terdapat pada Gambar 4 dan untuk profil kedalaman Laut Sawu sebagaimana terdapat pada Gambar 5. 14

18 Gambar 4. Bathimetri Laut Sawu Gambar 5. Profil Kedalaman Laut Sawu 15

19 b) Pola Pasang Surut Perairan Laut Sawu memiliki tipe pasang surut campuran condong ke harian ganda, dimana dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut, dengan amplitude yang jauh berbeda antara pasang dan surut pertama dengan pasang dan surut kedua. Kondisi pasang surut perairan Laut Sawu mengacu kepada hasil pengukuran dan analisis pasang surut yang telah dilakukan oleh Dinas Hidro-oseanografi TNI-AL untuk daerah Kota Kupang dan kajian Detail Engineering Design (DED) Pelabuhan Perikanan Kabupaten Rote Ndao pada Tahun Adapun hasil analisis data konstanta harmonis amplitudo dan phase pasang surut Kabupaten Kupang sebagaimana terdapat pada Tabel 3 dan Kabupaten Rote Ndao sebagaimana terdapat pada Tabel 4. Tabel 3. Hasil Analisis Konstanta Pasut Kabupaten Kupang So M2 S2 N2 K1 O1 M4 MS4 K2 P1 Amplitudo (cm) Phase Tabel 4. Hasil Analisis Konstanta Pasut Kabupaten Rote Ndao So M 2 S2 N2 K1 O1 M4 MS4 K2 P1 Amplitudo (cm) Phase Berdasarkan konstanta harmonik pasang surut di atas, dapat diketahui karakteristik pasang surut baik tipe maupun tunggang pasang surut dan elevasi muka air laut maksimum, rata-rata saat pasang purnama dan rata-rata saat pasang perbani. Pada umumnya sifat pasut di suatu perairan ditentukan dengan menggunakan rumus Formzahl, yang berbentuk: F ( K1 O1) /( M 2 S2) 16

20 dimana : F = Nilai Formzahl Ki dan 01 = konstanta pasut harian utama M2 dan S2 = konstanta pasut ganda utama Klasifikasi sifat pasut di lokasi tersebut adalah: 1. Pasang ganda jika F ¼ 2. Pasang campuran (ganda dominan) jika ¼ F 1 ½ 3. Pasang campuran (tunggal dominan) jika 1 ½ F 3 4. Pasang tunggal jika F 3 Hasil analisa formzahl tersebut di atas, diperoleh nilai F dari pasang surut Pantai Kabupaten Kupang adalah 0,361, sedangkan untuk Kabupaten Rote Ndao adalah 0,349. Nilai tersebut berarti tipe pasang surutnya adalah campuran cenderung ke harian ganda (mixed, prevailing semidiurnal), yaitu dalam sehari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut tetapi dengan tinggi dan waktu yang berbeda. Untuk Kabupaten Kupang, tunggang pasang surut (tidal range) terbesar adalah sekitar 1,96 meter, tunggang pasang surut rata-rata saat pasang purnama adalah 1,70 meter, dan saat pasang perbani adalah 1,18 meter. Sedang Kabupaten Rote Ndao, tunggang pasang surut (tidal range) terbesar adalah sekitar 3,40 meter, tunggang pasang surut rata-rata saat pasang purnama adalah 2,96 meter, dan saat pasang perbani adalah 2,10 meter. c) Pola Arus Arus di laut dapat diakibatkan oleh tiupan angin atau pengaruh pasang surut. Untuk perairan pantai umumnya didominasi oleh arus pasang surut dan yang dibangkitkan oleh tiupan angin. Pola arus Laut Sawu sebagaimana terdapat pada Gambar 6. 17

21 Pola Arus Pasang Pola Arus Surut Gambar 6. Pola Arus Laut Sawu (Sumber: Analisis model arus, 2011) Pada saat pasang naik, massa air permukaan bergerak menuju ke utara memasuki perairan Laut Sawu dan melewati pulau-pulau di bagian selatan Laut Sawu. Sebaliknya arah arus saat menuju surut, di daerah laut terbuka (laut dalam) memperlihatkan arus menuju ke selatan. Sedangkan di daerah pesisir cenderung meninggalkan pantai menuju ke tenggara. d) Gelombang Laut Kondisi Gelombang pada musim barat merupakan gelombang dari barat yakni Samudera Hindia memasuki perairan Laut Sawu dan menerpa langsung daerah pesisir yang berhadapan dengan Samudera Hindia yakni di Pantai Barat dan Barat Daya Pulau Timur, Pulau Rote, Pulau Sabu, dan Pulau Sumba. Adanya angin utara dan barat laut di atas perairan Kepulauan Indonesia mengalami pembelokan ketika memasuki kawasan Laut Sawu dan pulau-pulaunya menuju ke timur dan tenggara. Kondisi angin demikian menyebabkan pembangkitan gelombang barat dan barat laut menuju ke arah Pulau-Pulau Bagian Selatan dari Laut Sawu. Kondisi gelombang musim barat sebagaimana terdapat pada Gambar 7. dan kondisi gelombang musim timur terdapat pada Gambar 8. 18

22 Gambar 7. Kondisi Gelombang Musim Barat (Sumber: Analisis model gelombang, 2011) Kondisi Gelombang pada musim timur merupakan gelombang dari Selatan yakni Samudera Hindia memasuki perairan Laut Sawu dan menerpa langsung daerah pesisir yang berhadapan dengan Samudera Hindia yakni di Selatan dan Timur Pulau Timor, Pulau Rote, Pulau Sabu, dan Pulau Sumba. Adanya angin selatan Samudera Hindia yang mengalami pembelokan ketika memasuki kawasan Laut Sawu dan pulau-pulau menuju ke barat dan barat laut. Kondisi angin demikian menyebabkan pembangkitan gelombang timur dan tenggara menuju ke arah Pulau Flores dan Sumba. Gambar 8. Kondisi Gelombang Musim Timur (Sumber: Analisis model gelombang, 2011) e) Pola Angin Pola angin pada periode musim Barat (periode Desember sampai Februari), angin didominasi oleh angin 19

23 barat yang bertiup paling kuat pada Bulan Desember (>11 meter/detik) yang kemudian melemah pada bulan Januari dan makin lemah di Bulan Februari seiring masuknya periode peralihan satu. Sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya, kondisi angin di perairan Laut Sawu juga dipengaruhi oleh angin muson, terkait dengan letaknya yang berada di antara benua Asia dan Australia. Saat Bulan Desember, Januari hingga Maret terjadi angin muson barat dari benua Asia ke Benua Australia sebagai akibat dari tekanan udara di atas Benua Australia yang rendah. Pola angin tersebut menyebabkan, kondisi angin di perairan Laut Sawu umumnya adalah angin Barat hingga angin utara. Sementara saat memasuki bulan Juni hingga Oktober terjadi angin muson timur dari Benua Australia ke Benua Asia sebagai akibat dari tekanan udara di atas Benua Asia yang rendah dan menyebabkan kondisi angin di perairan Laut Sawu umumnya adalah angin Timur hingga angin Barat Daya. Kondisi tersebut diperlihatkan pada hasil analisis windrose (mawar angin) Laut Sawu dari empat stasiun meteorologi di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang berada di Kota Kupang, Waingapu, Pulau Rote, dan Pulau Sabu sebagaimana terdapat pada Gambar 9. St. Sabu St. Kupang 20

24 St. Rote St. Waingapu Gambar 9. Mawar Angin di Beberapa Station Meteorologi NTT (Sumber: Analisis model angin, 2011) 5) Kualitas Perairan Kualitas air laut di setiap lokasi rencana pengelolaan diukur berdasarkan parameter ph, salinitas, suhu dan DO dapat dilihat pada Tabel 2.4. Kondisi kualitas air menunjukkan kisaran normal air laut dan belum mengindikasikan terjadinya pencemaran. ph rata-rata perairan laut berkisar antara 7,56 sampai 8,10, salinitas berada pada kisaran o /oo, Sedangkan suhu permukaan air laut berkisar 29,0 C sampai 34,8 C. Selain itu juga diketahui bahwa kandungan oksigen terlarut di perairan berkisar antara 4,01 s/d 8,8 mg/l. No Parameter Tabel 5. Kondisi Kualitas Air Perairan Laut Sawu Rote Ndao Kabupaten Sabu Raijua Sumba Timur Kisaran Baku Mutu*) 1 ph 7,56 8,10 7,64 7,87 7,64 7,70 7,56 8,10 7 8,5 2 Suhu ( o C) ,2 30,2 29,3 34,3 29,0 34,3 Alami 3 Salinitas ( o /oo) , DO (mg/l) 4,01 8,80 4,62 8,11 4,42 7,89 4,01 8,80 >5 *) Kepmen. LH Nomor 51 Tahun 2004 Sumber : Hasil Survey, Secara keseluruhan, hasil pengukuran kualitas air laut di lapangan berdasarkan parameter kualitas air laut tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi dan karakteristik lingkungan laut di lokasi studi masih dalam batas kisaran yang cukup baik atau masih dibawah standar baku mutu yang ditetapkan sehingga bisa dipergunakan untuk pengembangan kegiatan budidaya perikanan laut, pariwisata bahari, dan kegiatan lainnya

25 ph sangat penting sebagai parameter kualitas air karena mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air. Selain itu, ikan dan makhluk-makhluk lainnya hidup pada selang ph tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai ph, kita dapat mengetahui apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan mahluk hidup didalamnya. Nilai derajat keasaman di perairan lokasi cenderung homogen yaitu 7,56 8,10, dengan pola sebaran ph hampir merata di perairan. Indikasi tersebut menunjukkan ph perairan cenderung masih sesuai dengan baku mutu yang ditentukan. Hasil pengukuran suhu pada tiap stasiun pengamatan menunjukkan bahwa suhu di perairan berkisar antara 29,0 C 34,3 o C menggambarkan suhu normal perairan laut tropis yang secara umum. Nybakken (1992) menjelaskan bahwa suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Suhu yang sesuai merupakan faktor pendukung peningkatan proses metabolisme atau pertukaran zat dari makhluk-makhluk hidup. Salinitas merupakan gambaran jumlah garam dalam suatu perairan. Sebaran salinitas di air laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Kisaran nilai salinitas berdasarkan pengukuran 33 o /oo - 37 o /oo. Oksigen terlarut merupakan parameter kimia yang paling kritis dalam budidaya ikan. Ketidakstabilan oksigen dalam suatu perairan dapat mengakibatkan kegagalan dalam usaha budidaya (Anonymous 1996 dalam Mayunar dkk., 1995). Oksigen terlarut dalam jumlah yang sangat banyak dapat juga mengakibatkan terjadinya kematian pada ikan, sebab di dalam pembuluh-pembuluh darah terjadi emboli gas yang dapat mengakibatkan tertutupnya pembuluh-pembuluh rambut dalam daun-daun insang ikan. Berdasarkan hasil pengukuran menunjukkan bahwa kadar oksigen di lokasi studi berkisar 4,01 8,80 mg/l. Sesuai 22

26 dengan kriteria pencemaran yang ditetapkan oleh Schmitz (1972) dalam Haryanto (2001) dengan menetapkan lima kriteria pencemaran melalui indikasi oksigen terlarut (DO), nilai-nilai tersebut termasuk pencemaran dengan kriteria kritis jika nilainya 4 mg/l dan kriteria baik jika nilainya 6 mg/l. Selanjutnya kriteria tersebut di modifikasi menjadi kriteria sedikit tercemar jika nilainya 4 mg/l dan tidak tercemar jika nilainya 6 mg/l. Kandungan kimia perairan Laut Sawu untuk parameter Klorofill-a, BOD, Phosphat, Nitrat, Nitrit, COD terdapat pada Tabel 6. No Tabel 6. Kandungan Kimia Perairan Laut Sawu Parameter Rote Ndao Sabu Raijua Kabupaten Sumba Timur Manggarai Barat Kisaran Baku Mutu*) 1 BOD (mg/l) 0,7-1,9 0,8-1,7 0,8-1,8 0,7-1,9 0,7 1, Phospat (mg/l) 0,27-0,45 0,24-0,80 0,307-0,380 0,24-0,80 0,24 0,8 0,15 3 Nitrat (mg/l) 0,079-0,673 0,086-0,259 0,143-0,243 0,079-0,673 0,079-0,673 4 Nitrit (mg/l) 0,001-0,021 0,001-0,003 0,001-0,002 0,001-0,021 0,001-0,003 0,008 5 COD (mg/l) *) Kepmen. LH Nomor 51 Tahun 2004 Sumber : Hasil Survey, 2011 Klorofil-a merupakan suatu pigmen yang didapatkan dalam fitoplankton. Ada kecenderungan bahwa kadar klorofil-a berkorelasi positif dan kuat dengan kelimpahan fitoplankton dan kadar nutrient perairan, sehingga perairan yang produktif yang memiliki kelimpahan fitoplankton yang tinggi juga memiliki kandungan klorofil-a yang tinggi. Hasil studi KKP (2011) Pada bulan Agustus dan September dapat dilihat bahwa kandungan klorofil di perairan Laut Sawu sangat tinggi (0,6 2,0 mg/m3), sedangkan pada bulan November dan April kandungan klorofil yang tinggi terdapat diantara selat-selat di antara Pulau-pulau Solor, Lembata, Pantar dan Alor. Kandungan klorofil di perairan Laut Sawu pada bulan November 2010 dan pada bulan April 2011 terdapat pada Gambar

27 November Klorofil a (mg/m3) 1.0 April Klorofil a (mg/m3) 1.0 Gambar 10. Kandungan Klorofil di Laut Sawu pada Bulan November 2010 dan April 2011 Kandungan phospat perairan di lokasi didapatkan antara 0,24-0,80 mg/l, yang merupakan kisaran untuk pertumbuhan fitoplankton. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Wardoyo (1974) bahwa kandungan phospat yang optimum untuk pertumbuhan fitoplankton berkisar antara 0,09-1,80 mg/l. Dengan demikian berdasarkan kadar phospat-nya maka sebagian besar perairan masih berada pada kondisi optimum untuk pertumbuhan fitoplankton. Pencemaran dengan indikasi kandungan DO (oksigen terlarut) dapat mendeteksi jenis pencemaran yang disebabkan oleh unsur hara seperti nitrat (NO3-N) dan phospat (PO4). Pada saat kadar oksigen rendah, keseimbangan menuju amoniak, sedangkan pada saat kadar oksigen tinggi keseimbangan bergerak menuju nitrat. Dengan demikian, nitrat merupakan hasil akhir dari oksidasi oksigen dalam air laut (Hutagalung dan Horas 1997). Sedangkan peningkatan kadar posfat dalam laut akan menyebabkan peledakan populasi (blooming) fitoplankton yang di ikuti dengan penurunan DO secara drastis 24

28 dalam air yang berujung pada kematian ikan yang dibudidayakan. Nitrat merupakan bentuk nitrogen yang berperan sebagai nutrient utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat dan nitrogen sangat mudah larut dalam air dan memiliki sifat yang relatif stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi yang sempurna di perairan. Pada dasarnya, nitrat merupakan sumber utama nitrogen diperairan, akan tetapi, tumbuhan lebih menyukai amonium untuk digunakan dalam proses pertumbuhan. Sumber utama nitrat dalam perairan selain berasal dari suplai nutrien dari darat berupa bahan organik yang selanjutnya diuraikan oleh mikroba, juga dapat berasal dari udara dan hasil fiksasi oleh bakteri-bakteri nitrat. Penyebab rendahnya konsentrasi nitrat dalam perairan selain dimanfaatkan oleh plankton atau tumbuhan air lainnya untuk pertumbuhannya juga dapat disebabkan oleh suplai nitrat ke dalam perairan tersebut yang memang rendah. Berbeda dengan phospat, kadar nitrat yang diperoleh di perairan tergolong rendah yaitu berkisar antara 0,079 0,673 mg/l. Berdasarkan nilai kandungan tersebut maka perairan secara umum dapat dikatakan sebagai perairan yang memiliki kandungan zat hara rendah (Oligotrofik). Wetzel (1975) mengelompokan perairan berdasarkan kandungan nitratnya yaitu oligotrofik bila kadar nitrat perairan berkisar antara 0-1 mg/l. Kadar nitrat lebih dr 5 mg/l. menggambarkan keadaan suatu perairan yang telah tercemar akibat aktivitas manusia dan tinja hewan. Kadar nitrogen yang lebih dari 0,2 mg/l menggambarkan terjadinya eutrofikasi perairan. Pengukuran di stasiun yang berdekatan dengan muara sungai menunjukkan kandungan nitrat yang rendah. Dengan demikian rendahnya kadar nitrat dalam perairan Laut Sawu diduga disebabkan oleh suplai nutrien dari darat berupa bahan organik maupun fiksasi dari udara oleh bakteri-bakteri nitrat memang sangat rendah. Nitrit (NO3) merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat (nitrifikasi) dan antara nitrat dan gas nitrogen 25

29 (denitrifikasi) yg terbentuk dalam kondisi anaerob. Sumber nitrit dapat berupa limbah industri dan limbah domestik. Kadar nitrit pada perairan relatif stabil karena segera dioksidasi menjadi nitrat. Perairan alami mengandung nitrit sekitar 0,001 mg/l. Sementara itu, kadar nitrit yang diperbolehkan tidak lebih dari 0,5 ppm. Kandungan Nitrit di perairan berada dalam kisara 0,001-0,021 mg/l. Kandungan tersebut menunjukkan bahwa nitrit telah melebihi kandungan daripada perairan alami, akan tetapi tidak melebihi daripada kandungan diperbolehkan. COD merupakan ukuran akan banyaknya zat-zat organik yang terdapat dalam suatu perairan. Zat-zat organik yang terdapat dalam air laut berasal dari alam atau buangan domestik, industri dan pertanian. Ada yang mudah diuraikan dan ada yang sukar diuraikan oleh mikroorganisme umumnya bersifat toxic, sehingga membahayakan kehidupan organisme perairan. Kandungan COD di perairan berkisar pada mg/l. Kandungan COD tersebut merupakan kadar COD yang rendah dan menandakan bahwa kondisi perairan belumlah tercemar oleh zat organik maupun zat anorganik, sebagaimana diutarakan Suhadi (dalam Sutamihardja 1978) bahwa perairan dengan kandungan COD berkisar ppm dikategorikan perairan tercemar ringan. 2. Potensi Ekologis a. Ekosistem Pesisir dan Laut 1) Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang merupakan struktur di dasar laut berupa endapan kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan terutama hewan karang. Karang adalah hewan yang tidak bertulang belakang yang termasuk dalam phylum Coelenterata (hewan berongga) atau Cnidaria yang dapat mengeluarkan CaCO3. Jika CaCO3 terkena air laut maka akan membentuk endapan kapur (Timotius, 2003 dalam Yulianda dkk., 2009). Terumbu karang adalah ekosistem yang memerlukan nutrien lingkungan dengan konsentrasi rendah, seperti di lautan tropis, dimana tumbuhan dan organisme 26

30 autotrof lainnya seringkali memanfaatkan nitrogen dan fosfor yang tersedia. Cahaya merupakan salah satu faktor yang penting bagi karang hermatypic (kelompok karang yang mampu membentuk terumbu). Cahaya dibutuhkan oleh simbion karang zooxanthellae yang hidup di dalam jaringan tubuh karang hermatypic yang merupakan penyuplai utama kebutuhan hidup karang. Terumbu karang memiliki nilai penting sebagai sumber makanan, habitat bagi berbagai biota laut yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, sebagai penyedia jasa alam dalam kegiatan wisata bahari, sebagai tempat perlindungan bagi satwa laut lainnya dari hewan pemangsa, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi ikan-ikan terumbu dan sebagai penghalang bagi daerah pantai dari terjangan gelombang. Laut Sawu merupakan salah satu kawasan yang memiliki potensi terumbu karang dengan keanekaragaman yang sangat tinggi. TNP Laut Sawu yang merupakan bagian dari Eko-region Sunda Kecil, tercatat memiliki jumlah spesies karang sebanyak 532 spesies dan terdapat 11 spesies endemik dan sub endemik dan merupakan tempat hidup bagi sekitar 350 jenis ikan karang. Terumbu karang di TNP Laut Sawu ditemukan tersebar di perairan pesisir di seluruh kabupaten yang masuk dalam kawasan TNP Laut Sawu dengan luasan total ,32 ha (TNC Savu Sea, 2011). Berdasarkan hasil survey lapangan dan analisis citra satelit yang difasilitasi oleh TNC pada Tahun 2011 diperoleh sebaran ekosistem terumbu karang sebagaimana yang terlihat pada Gambar

31 Gambar 11. Sebaran Ekosistem Terumbu Karang di Wilayah TNP Laut Sawu dan Sekitarnya Sumber : Savu Sea Project, TNC (2011) Hasil Penilaian Munasik, dkk., 2011 tentang kondisi terumbu karang di TNP Laut Sawu telah dilakukan dengan metode Manta Tow yang meliputi 8 (delapan) wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Kupang, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Sabu Raijua, Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Sumba Tengah, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Barat pada bulan Mei- Juli Hasil menunjukkan kondisi terumbu karang bervariasi dari baik sekali hingga buruk sekali. Kondisi terumbu karang dalam kategori buruk mencapai 55,8% sedangkan kondisi terumbu berkategori sedang mencapai 39,2%, kondisi baik 4,6% dan kondisi baik sekali 0,4%. Kondisi terumbu karang yang baik umumnya terdapat di Kabupaten Rote Ndao seperti di Desa Tesabela Kec. Pantai Baru, Desa Onatali Kec. Rote Tengah dan Pulau Ndo o Kecamatan Rote Barat. Kondisi terumbu karang terburuk di Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Barat. Tingkat kerusakan terumbu karang di kawasan TNP Laut Sawu bervariasi dari rendah hingga tinggi. Kerusakan terumbu karang umumnya diakibatkan oleh sedimentasi (termasuk resuspensi), penangkapan ikan merusak dengan menggunakan bom, racun dan pembuangan jangkar. 28

32 Terumbu karang di TNP Laut Sawu ditemukan tersebar di perairan desa-desa pesisir di Kabupaten Kupang, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Sabu Raijua, Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Sumba Tengah, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Manggarai, dan Kabupaten Manggarai Barat, dan sebarannya terkonsentrasi terutama di Kabupaten Rote Ndao. Kondisi terumbu karang bervariasi dari keadaan baik sekali hingga buruk sekali yang ditunjukkan oleh persentase tutupan karang hidupnya. Hasil pengamatan lintasan survey sepanjang 413,63 km yang meliputi 8 kabupaten di kawasan TNP Laut Sawu menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang dalam kategori baik sekali adalah 0,4%, kondisi baik 4,6%, kondisi sedang 39,2%, kondisi buruk 28,4%, dan kondisi buruk sekali 27,4%. Hasil ini mengindikasikan hampir sebagian dari total lintasan survey terumbu karang di TNP Laut Sawu dalam keadan buruk (persentase tutupan karang hidup 25%). Untuk mengetahui kondisi eksisting dan sebaran terumbu karang di kawasan TNP Laut Sawu dan tingkat kerusakannya serta sebaran biota laut lainnya akan dijelaskan pada setiap Kabupaten berikut ini. a) Kabupaten Kupang Kondisi terumbu karang di Kabupaten Kupang bervariasi dari kondisi baik sekali hingga buruk sekali yang ditunjukkan oleh persentase tutupan karang hidup tertinggi 80%, hingga tidak ditemukan tutupan karang hidup. Hampir sepanjang lintasan survey di Desa Soliu tidak ditemukan karang hidup dan substrat dasar perairan didominasi oleh pasir dan batu dengan persentase tutupan masing-masing dalam kisaran 30%-100% dan 5%-40% sehingga kondisi terumbu karang termasuk kategori buruk sekali. Kondisi terumbu yang buruk sekali di Desa Soliu yang disebabkan substrat dasar dan perairan yang kurang mendukung pertumbuhan karang. Kondisi terumbu di Kabupaten Kupang yang termasuk baik sekali hingga baik ditemukan pada lintasan yang pendek di Desa Afoan dan Lifuleo, sedangkan kondisi terumbu kategori sedang ditemukan dalam lintasan survey yang panjang meliputi 29

33 Desa Kuanheum, Desa Oematnunu, Desa Tesabela, Desa Lifuleo, dan Desa Akle. Bentuk pertumbuhan karang hidup di Kabupaten Kupang umumnya tersusun atas karang massive dan encrusting terutama lintasan survey dari Desa Soliu hingga Desa Naikliu selanjutnya bentuk pertumbuhan bervariasi dengan adanya karang tabulate, branching, sub massive dan foliose di desa-desa seperti di Desa Kuanheum, Desa Oematnunu, Desa Tesabela, Desa Lifuleo dan Desa Uitiuhana. Kondisi terumbu karang di Kabupaten Kupang sebagaimana terdapat pada Gambar 12. Gambar 12. Peta kondisi terumbu karang di Kabupaten Kupang (Munasik, dkk, 2011) Kondisi terumbu karang di sepanjang lintasan survey dari Desa Soliu hingga Naikliu Kabupaten Kupang dalam kondisi buruk sekali. Kondisi terumbu karang yang buruk di Afoan kemungkinan akibat sedimentasi dari daratan yang ditandai oleh kekeruhan perairan dan munculnya penyakit karang (coral disease). Kondisi terumbu yang buruk di Desa Uitiuhana dan Teluk Akle dengan tingkat kerusakan yang tinggi kemungkinan diakibatkan oleh aktivitas penangkapan ikan menggunakan bom. 30

POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI

POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI Ekosistem Pesisir dan Laut 1. Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa endapan kalsium karbonat (CaCO 3) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/KEPMEN-KP/2014 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/KEPMEN-KP/2014 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/KEPMEN-KP/2014 TENTANG KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL LAUT SAWU DAN SEKITARNYA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

KEPUTUSAN NOMOR KEP.38/MEN/2009 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL LAUT SAWU DAN SEKITARNYA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

KEPUTUSAN NOMOR KEP.38/MEN/2009 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL LAUT SAWU DAN SEKITARNYA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.38/MEN/2009 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL LAUT SAWU DAN SEKITARNYA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Menimbang

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN TERUMBU KARANG PASIR PUTIH SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO, Menimbang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Pantai Pemaron merupakan salah satu daerah yang terletak di pesisir Bali utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai wisata

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur http://lasiana.ntt.bmkg.go.id/publikasi/prakiraanmusim-ntt/ Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2016 TENTANG PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ). KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320 28 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Kepulauan Krakatau terletak di Selat Sunda, yaitu antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Luas daratannya sekitar 3.090 ha terdiri dari Pulau Sertung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis memiliki iklim tropis dan perairannya lumayan dangkal, sehingga menjadi tempat yang optimal bagi ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

RANCANGAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2018 TENTANG

RANCANGAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2018 TENTANG RANCANGAN KEPUTUSAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NUSA PENIDA DI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. bahwa dalam rangka melindungi, melestarikan, dan

Lebih terperinci

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON OLEH : CAROLUS NIRAHUA NRP : 000 PROGRAM PASCASARJANA BIDANG KEAHLIAN TEKNIK MANAJEMEN

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak pada garis

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS SUB ZONA PERLINDUNGAN SETASEA DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN TNP LAUT SAWU, NTT

EFEKTIVITAS SUB ZONA PERLINDUNGAN SETASEA DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN TNP LAUT SAWU, NTT EFEKTIVITAS SUB ZONA PERLINDUNGAN SETASEA DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN TNP LAUT SAWU, NTT Mujiyanto, Riswanto dan Adriani S. Nastiti Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan Jl. Cilalawi No. 01 Jatiluhur,

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Letak Geografis dan Administrasi Pemerintahan Propinsi Kalimantan Selatan memiliki luas 37.530,52 km 2 atau hampir 7 % dari luas seluruh pulau Kalimantan. Wilayah

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta Hasil pengamatan lapangan nitrat, amonium, fosfat, dan DO bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar

Lebih terperinci

Kadar Salinitas, Oksigen Terlarut,..Kepulauan Seribu-Provinsi DKI Jakarta (Dumarno, D & T. Muryanto)

Kadar Salinitas, Oksigen Terlarut,..Kepulauan Seribu-Provinsi DKI Jakarta (Dumarno, D & T. Muryanto) Kadar Salinitas, Oksigen Terlarut,..Kepulauan Seribu-Provinsi DKI Jakarta (Dumarno, D & T. Muryanto) KADAR SALINITAS, OKSIGEN TERLARUT, DAN SUHU AIR DI UNIT TERUMBU KARANG BUATAN (TKB) PULAU KOTOK KECIL

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan zat yang paling banyak terdapat dalam protoplasma dan merupakan zat yang sangat esensial bagi kehidupan, karena itu dapat disebut kehidupan adalah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA BAB. II TINJAUAN PUSTAKA A. Keadaan Teluk Youtefa Teluk Youtefa adalah salah satu teluk di Kota Jayapura yang merupakan perairan tertutup. Tanjung Engros dan Tanjung Hamadi serta terdapat pulau Metu Debi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plankton merupakan salah satu jenis biota yang penting dan mempunyai peranan besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam air atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia ( 1,9 juta km 2 ) tersebar pada sekitar 17.500 pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas sekitar

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6/KEPMEN-KP/2016 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6/KEPMEN-KP/2016 TENTANG KAWASAN KONSERVASI PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PULAU KEI KECIL, PULAU-PULAU, DAN PERAIRAN SEKITARNYA DI KABUPATEN

Lebih terperinci

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Deskripsi umum lokasi penelitian 3.1.1 Perairan Pantai Lovina Kawasan Lovina merupakan kawasan wisata pantai yang berada di Kabupaten Buleleng, Bali dengan daya tarik

Lebih terperinci

Profil Kawasan Konservasi Perairan Nasional Taman Nasional Perairan Laut Sawu Dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Profil Kawasan Konservasi Perairan Nasional Taman Nasional Perairan Laut Sawu Dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur Profil Kawasan Konservasi Perairan Nasional Taman Nasional Perairan Laut Sawu Dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur Peta Kawasan TNP. Laut Sawu Selayang Pandang Laut Sawu terletak di Provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut Indonesia sudah sejak lama didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama pemanfaatan sumberdaya hayati seperti ikan maupun sumberdaya non hayati

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisik Kimiawi dan Biologi Perairan Dari hasil penelitian didapatkan data parameter fisik (suhu) kimiawi (salinitas, amonia, nitrat, orthofosfat, dan silikat) dan

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA Tito Latif Indra, SSi, MSi Departemen Geografi FMIPA UI

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT Martono Divisi Pemodelan Iklim, Pusat Penerapan Ilmu Atmosfir dan Iklim LAPAN-Bandung, Jl. DR. Junjunan 133 Bandung Abstract: The continuously

Lebih terperinci

JAKARTA (22/5/2015)

JAKARTA (22/5/2015) 2015/05/22 14:36 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan SELAMATKAN TERUMBU KARANG JAKARTA (22/5/2015) www.pusluh.kkp.go.id Istilah terumbu karang sangat sering kita dengar, namun belum banyak yang memahami

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infrastruktur Infrastruktur merujuk pada system phisik yang menyediakan transportasi, pengairan, drainase, bangunan-bangunan gedung dan fasilitas publik yang lain yang dibutuhkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 2015 TENTANG KOMITE NASIONAL PRAKARSA SEGITIGA KARANG UNTUK TERUMBU KARANG, PERIKANAN, DAN KETAHANAN PANGAN (CORAL TRIANGLE INITIATIVE ON CORAL REEFS,

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah lautan yang luas tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Sibolga yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera, membujur sepanjang pantai dari utara ke selatan dan berada pada kawasan teluk yang bernama Teluk Tapian Nauli,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DI BIDANG PENANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Total Data Sebaran Klorofil-a citra SeaWiFS Total data sebaran klorofil-a pada lokasi pertama, kedua, dan ketiga hasil perekaman citra SeaWiFS selama 46 minggu. Jumlah data

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di ekosistem perairan rawa. Perairan rawa merupakan perairan tawar yang menggenang (lentik)

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.29/MEN/2012 TENTANG PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL UJUNGNEGORO-ROBAN KABUPATEN BATANG DI PROVINSI JAWA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia membentang 6 0 LU 11 0 LS dan 95 0-141 0 BT, sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua Australia

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI GEOGRAFIS DESA

IDENTIFIKASI POTENSI GEOGRAFIS DESA 4 IDENTIFIKASI POTENSI GEOGRAFIS DESA Deskripsi Singkat Topik : Pokok Bahasan Waktu Tujuan : MENGENALI POTENSI GEOGRAFIS DESA : 1 (satu) kali tatap muka pelatihan selama 100 menit. : Membangun pemahaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG F1 05 1), Sigit Febrianto, Nurul Latifah 1) Muhammad Zainuri 2), Jusup Suprijanto 3) 1) Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK UNDIP

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.69/MEN/2009 TENTANG PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL LAUT BANDA DI PROVINSI MALUKU MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

02/03/2015. Sumber daya Alam hayati SUMBER DAYA ALAM JENIS-JENIS SDA SUMBERDAYA HAYATI. Kepunahan jenis erat kaitannya dengan kegiatan manusia

02/03/2015. Sumber daya Alam hayati SUMBER DAYA ALAM JENIS-JENIS SDA SUMBERDAYA HAYATI. Kepunahan jenis erat kaitannya dengan kegiatan manusia SUMBER DAYA ALAM (SDA) Kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran dan kemaslahatan manusia SUMBER DAYA ALAM TIM ILMU LINGKUNGAN FMIPA UNSYIAH JENIS-JENIS SDA Sumber daya alam yang dapat diperbaharui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti secara geografis terletak pada koordinat antara sekitar 0 42'30" - 1 28'0" LU dan 102 12'0" - 103 10'0" BT, dan terletak

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/KEPMEN-KP/2014 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/KEPMEN-KP/2014 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/KEPMEN-KP/2014 TENTANG KAWASAN KONSERVASI RAJA AMPAT KABUPATEN RAJA AMPAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN ANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87/KEPMEN-KP/2016 TENTANG KEPULAUAN DERAWAN DAN PERAIRAN SEKITARNYA DI KABUPATEN BERAU PROVINSI KALIMANTAN TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG KEPUTUSAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG DI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan kelestarian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

2 KONDISI UMUM 2.1 Letak dan Luas 2.2 Kondisi Fisik Geologi dan Tanah

2 KONDISI UMUM 2.1 Letak dan Luas 2.2 Kondisi Fisik Geologi dan Tanah 2 KONDISI UMUM 2.1 Letak dan Luas Taman Nasional Manupeu Tanahdaru (TNMT) secara geografi terletak di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur pada 119º27-119º55 BT dan 09º29`-09º54` LS sedangkan secara administratif

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Morotai yang terletak di ujung utara Provinsi Maluku Utara secara geografis berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP Wiwid Prahara Agustin 1, Agus Romadhon 2, Aries Dwi Siswanto 2 1 Mahasiswa Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Danau merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan tawar, dan berfungsi sebagai penampung dan menyimpan air yang berasal dari air sungai, mata air maupun air hujan.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

C. Potensi Sumber Daya Alam & Kemarintiman Indonesia

C. Potensi Sumber Daya Alam & Kemarintiman Indonesia C. Potensi Sumber Daya Alam & Kemarintiman Indonesia Indonesia dikenal sebagai negara dengan potensi sumber daya alam yang sangat besar. Indonesia juga dikenal sebagai negara maritim dengan potensi kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci