KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 84 TAHUN 1999 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 84 TAHUN 1999 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM"

Transkripsi

1 KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 84 TAHUN 1999 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan telah diatur ketentuan mengenai penyelenggaraan angkutan orang di jalan dengan kendaraan umum yang telah diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 68 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum; b. bahwa dengan adanya perkembangan kebutuhan angkutan di jalan dengan kendaraan umum perlu ditata kembali ketentuan mengenai penyelenggaraan angkutan orang di jalan dengan kendaraan umum; c. bahwa sehubungan dengan huruf b, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Perhubungan tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480); 2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1990 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Dalam Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kepada Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3410);

2 4. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3527); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3529); 6. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1974 tentang Pokokpokok Organisasi Departemen; 7. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 115 Tahun 1999; 8. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.91/OT.002/Phb-80 dan KM.164/OT.002/ Phb-80 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.80 Tahun 1998; M E M U T U S K A N : Dengan mencabut Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 68 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 15 Tahun 1996 tentang Penyempurnaan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 68 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum; Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan : 1. Angkutan adalah pemindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan; 2

3 2. Angkutan Lintas Batas Negara adalah angkutan dari satu kota ke kota lain yang melewati lintas batas negara dengan menggunakan mobil bus umum yang terikat dalam trayek tetap dan teratur; 3. Angkutan Antar Kota adalah angkutan dari satu kota ke kota lain dengan mempergunakan mobil bus umum atau mobil penumpang umum yang terikat dalam trayek tetap dan teratur; 4. Angkutan Kota adalah angkutan dari satu tempat ke tempat lain dalam wilayah kota dengan mempergunakan mobil bus umum dan/atau mobil penumpang umum yang terikat dalam trayek tetap dan teratur; 5. Angkutan Perkotaan adalah angkutan dari suatu kawasan ke kawasan lain yang terletak dalam 2 (dua) atau lebih wilayah kota dan kabupaten yang berdekatan dan merupakan satu kesatuan ekonomi dan sosial dengan menggunakan mobil bus umum dan/atau mobil penumpang umum yang terikat dalam trayek tetap dan teratur yang mempunyai sifat perjalanan ulang alik (komuter); 6. Angkutan Pedesaan adalah angkutan dari satu tempat ke tempat lain dalam satu daerah kabupaten dengan mempergunakan mobil bus umum dan mobil penumpang umum yang terikat dalam trayek tetap dan teratur; 7. Angkutan Perbatasan adalah angkutan pedesaan yang melayani dua kawasan pedesaan yang berbatasan pada dua daerah kabupaten atau propinsi; 8. Angkutan Taksi adalah angkutan yang merupakan pelayanan dari pintu ke pintu dalam wilayah operasi terbatas dengan menggunakan mobil penumpang umum yang diberi tanda khusus dan dilengkapi dengan argometer; 9. Angkutan Sewa adalah angkutan dengan menggunakan mobil penumpang umum yang melayani angkutan dari pintu ke pintu, dengan atau tanpa pengemudi, dalam wilayah operasi yang tidak terbatas; 10.Angkutan Pariwisata adalah angkutan dengan menggunakan mobil bus umum yang dilengkapi dengan tanda-tanda khusus, untuk mengangkut wisatawan ke dan dari daerah tujuan wisata; 11.Angkutan Penumpang Khusus adalah angkutan yang tidak termasuk angkutan taksi, sewa dan pariwisata, dengan menggunakan mobil bus umum dan/atau mobil penumpang umum, yang tidak terikat dalam trayek sebagai pelayanan dari pintu ke pintu; 3

4 12.Angkutan Perintis adalah angkutan yang berfungsi melayani daerah yang terisolir dan terbelakang yang berfungsi menggerakkan perkembangan ekonomi daerah tersebut, yang tidak bersifat komersial dengan menggunakan mobil bus umum dan/atau mobil penumpang umum; 13.Angkutan Penumpang Musiman adalah angkutan yang diselenggarakan untuk kepentingan masyarakat yang berkaitan dengan hari-hari besar keagamaan, hari libur sekolah, maupun harihari pada acara kenegaraan yang menggunakan mobil bus umum dan/atau mobil penumpang umum; 14.Terminal adalah prasarana transportasi jalan untuk keperluan memuat dan menurunkan orang dan/atau barang, mengadakan pengecekan pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan serta mengatur kedatangan dan pemberangkatan kendaraan umum, yang merupakan salah satu wujud simpul jaringan transportasi; 15.Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perhubungan Darat. BAB II ANGKUTAN DALAM TRAYEK TETAP DAN TERATUR Bagian Pertama Wilayah Pengoperasian Pasal 2 (1) Untuk pelayanan angkutan orang dengan kendaraan umum dalam trayek tetap dan teratur, dilaksanakan dalam jaringan trayek. (2) Jaringan trayek sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari : a. trayek lintas batas negara, yaitu trayek yang melalui batas negara; b. trayek antar kota antar propinsi, yaitu trayek yang melalui lebih dari satu daerah propinsi; c. trayek antar kota dalam propinsi, yaitu trayek yang melalui antar daerah kabupaten dan kota dalam satu daerah propinsi; 4

5 d. trayek kota, yaitu trayek yang seluruhnya berada dalam satu daerah kota atau trayek dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta; e. trayek perkotaan adalah trayek kota yang melalui perbatasan daerah kota / kabupaten dalam satu daerah propinsi atau melalui perbatasan daerah propinsi yang berdekatan; f. trayek pedesaan, yaitu trayek yang seluruhnya berada dalam satu daerah kabupaten; g. trayek perbatasan, yaitu trayek antar pedesaan yang berbatasan yang seluruhnya berada di daerah propinsi atau antar daerah propinsi. Pasal 3 Jaringan trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ditetapkan oleh : a. Menteri Perhubungan atau pejabat yang ditunjuk untuk jaringan trayek lintas batas negara sesuai dengan perjanjian antar negara; b. Direktur Jenderal, untuk jaringan trayek yang melalui lebih dari satu daerah propinsi; c. Gubernur / Kepala Daerah Propinsi untuk jaringan trayek yang melalui antar daerah kota / kabupaten dalam satu daerah propinsi; d. Gubernur / Kepala Daerah Propinsi untuk jaringan trayek yang seluruhnya berada dalam daerah kabupaten, atas usul Bupati / Kepala Daerah Kabupaten; e. Gubernur / Kepala Daerah Propinsi, untuk jaringan trayek yang seluruhnya berada dalam daerah kota, atas usul Kepala Daerah Kota; f. Gubernur / Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, untuk jaringan trayek yang seluruhnya berada dalam wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Bagian Kedua Ciri-ciri Pelayanan Pasal 4 5

6 (1) Pelayanan angkutan lintas batas negara diselenggarakan dengan memenuhi ciri-ciri sebagai berikut : a. mempunyai jadwal tetap, sebagaimana tercantum dalam jam perjalanan pada kartu pengawasan mobil bus umum yang dioperasikan; b. pelayanan angkutan yang dilakukan bersifat pelayanan cepat, yaitu pelayanan angkutan dengan pembatasan jumlah terminal yang wajib disinggahi selama perjalanan; c. dilayani hanya oleh mobil bus umum dengan pelayanan non ekonomi, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian antar negara; d. terminal yang merupakan terminal asal pemberangkatan, persinggahan dan tujuan angkutan orang adalah terminal tipe A; e. prasarana jalan yang dilalui dalam pelayanan angkutan lintas batas negara sebagaimana tercantum dalam izin trayek yang telah ditetapkan. (2) Pelayanan angkutan antar kota antar propinsi diselenggarakan dengan memenuhi ciri-ciri sebagai berikut : a. mempunyai jadwal tetap, sebagaimana tercantum dalam jam perjalanan pada kartu pengawasan mobil bus umum yang dioperasikan; b. pelayanan angkutan yang dilakukan bersifat pelayanan cepat, yaitu pelayanan angkutan dengan pembatasan jumlah terminal yang wajib disinggahi selama perjalanannya; c. dilayani hanya oleh mobil bus, baik untuk angkutan pelayanan ekonomi dan angkutan pelayanan non ekonomi; d. terminal yang merupakan terminal asal pemberangkatan, persinggahan dan tujuan angkutan orang adalah terminal tipe A; e. prasarana jalan yang dilalui dalam pelayanan angkutan antar kota antar propinsi sebagaimana tercantum dalam izin trayek yang telah ditetapkan. (3) Pelayanan angkutan antar kota dalam propinsi diselenggarakan dengan memenuhi ciri-ciri sebagai berikut : 6

7 a. mempunyai jadwal tetap, sebagaimana tercantum dalam jam perjalanan pada kartu pengawasan mobil bus yang dioperasikan; b. pelayanan yang dilakukan dapat bersifat pelayanan cepat dan/atau lambat; c. dilayani hanya oleh mobil bus, baik untuk angkutan pelayanan ekonomi dan angkutan pelayanan non ekonomi; d. terminal sebagai tempat awal pemberangkatan, persinggahan maupun terminal tujuan angkutan orang adalah terminal tipe A dan tipe B; e. prasarana jalan yang dilalui dalam pelayanan angkutan antar kota dalam propinsi sebagaimana tercantum dalam izin trayek yang telah ditetapkan. (4) Pelayanan angkutan kota diselenggarakan dengan ciri-ciri sebagai berikut : a. trayek utama : 1) mempunyai jadwal tetap, sebagaimana tercantum dalam jam perjalanan pada kartu pengawasan kendaraan yang dioperasikan; 2) melayani angkutan antar kawasan utama, antara kawasan utama dan pendukung dengan ciri melakukan perjalanan ulang-alik secara tetap; 3) dilayani hanya oleh mobil bus umum; 4) pelayanan angkutan secara terus menerus, berhenti pada tempat-tempat untuk menaikkan dan menurunkan orang yang telah ditetapkan untuk angkutan kota. b. trayek cabang : 1) berfungsi sebagai trayek penunjang terhadap trayek utama; 2) mempunyai jadwal tetap sebagaimana tercantum dalam jam perjalanan pada kartu pengawasan kendaraan yang dioperasikan; 3) melayani angkutan pada kawasan pendukung, antara kawasan pendukung dan pemukiman; 7

8 4) dilayani hanya oleh mobil bus umum; 5) pelayanan angkutan secara terus menerus, berhenti pada tempat-tempat untuk menaikkan dan menurunkan orang yang telah ditetapkan untuk angkutan kota. c. trayek ranting : 1) tidak mempunyai jadwal tetap; 2) pelayanan angkutan secara terus menerus, berhenti pada tempat-tempat untuk menaikkan dan menurunkan orang yang telah ditetapkan untuk angkutan kota; 3) melayani angkutan dalam kawasan pemukiman; 4) dilayani oleh mobil bus umum dan/atau mobil penumpang umum. d. trayek langsung : 1) mempunyai jadwal tetap sebagaimana tercantum dalam jam perjalanan pada kartu pengawasan kendaraan yang dioperasikan; 2) pelayanan angkutan secara terus menerus, berhenti pada tempat-tempat untuk menaikkan dan menurunkan penumpang yang telah ditetapkan untuk angkutan kota; 3) melayani angkutan antara kawasan utama dengan kawasan pendukung dan kawasan pemukiman; 4) dilayani hanya oleh mobil bus umum. (5) Pelayanan angkutan perkotaan diselenggarakan dengan ciri-ciri sebagai berikut : a. trayek utama : 1) mempunyai jadwal tetap, sebagaimana tercantum dalam jam perjalanan pada kartu pengawasan kendaraan yang dioperasikan; 2) melayani angkutan antar kawasan utama, antara kawasan utama dan pendukung dengan ciri melakukan perjalanan ulang-alik secara tetap; 3) dilayani hanya oleh mobil bus umum; 8

9 4) pelayanan angkutan secara terus menerus, berhenti pada tempat-tempat untuk menaikkan dan menurunkan orang yang telah ditetapkan untuk angkutan perkotaan. b. trayek cabang : 1) berfungsi sebagai trayek penunjang terhadap trayek utama; 2) mempunyai jadwal tetap sebagaimana tercantum dalam jam perjalanan pada kartu pengawasan kendaraan yang dioperasikan; 3) melayani angkutan pada kawasan pendukung, antara kawasan pendukung dan pemukiman; 4) dilayani oleh mobil bus umum dan/atau mobil penumpang umum; 5) pelayanan angkutan secara terus menerus, berhenti pada tempat-tempat untuk menaikkan dan menurunkan orang yang telah ditetapkan untuk angkutan perkotaan. (6) Pelayanan angkutan pedesaan diselenggarakan dengan ciri-ciri sebagai berikut : a. mempunyai jadwal tetap dan/atau tidak berjadwal; b. jadwal tetap diberlakukan apabila permintaan angkutan cukup tinggi; c. pelayanan angkutan bersifat lambat, berhenti pada setiap terminal yang harus disinggahi, dengan waktu menunggu relatif cukup lama; d. terminal yang merupakan terminal asal pemberangkatan, persinggahan dan tujuan angkutan orang adalah terminal tipe C; e. dilayani oleh mobil bus umum dan/atau mobil penumpang umum. Pasal 5 9

10 (1) Pelayanan angkutan perbatasan adalah angkutan pedesaan sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (6), yang melampaui lebih dari satu daerah kabupaten atau daerah propinsi. (2) Pelayanan angkutan perbatasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilayani dengan mobil bus umum dan/atau mobil penumpang umum dengan ciri-ciri sebagai berikut : a. mempunyai jadwal tetap dan/atau tidak berjadwal; b. jadwal tetap diberlakukan apabila permintaan angkutan cukup tinggi; c. pelayanan angkutan bersifat lambat; d. dilayani oleh mobil bus umum dan/atau mobil penumpang umum. (3) Izin trayek angkutan perbatasan diberikan sesuai dengan domisili perusahaan oleh : a. Kepala Kantor Wilayah Departemen Perhubungan setempat untuk trayek antar propinsi; b. Bupati / Kepala Daerah Kabupaten untuk trayek dalam propinsi. (4) Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), didasarkan pada pertimbangan keseimbangan penyediaan armada antara kedua daerah yang dilayani. (5) Keseimbangan penyediaan armada sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dihitung berdasarkan kebutuhan angkutan yang ditetapkan oleh : a. Direktur Jenderal untuk trayek perbatasan antar propinsi; b. Gubernur / Kepala Daerah Propinsi untuk trayek perbatasan dalam propinsi. Bagian Ketiga Persyaratan Pasal 6 10

11 (1) Setiap kendaraan untuk angkutan orang dalam trayek tetap dan teratur harus memenuhi persyaratan : a. nama perusahaan dan nomor urut kendaraan yang dicantumkan pada sisi kiri, kanan, dan belakang kendaraan; b. papan trayek yang memuat asal dan tujuan serta kota yang dilalui dengan dasar putih tulisan hitam yang ditempatkan di bagian depan dan belakang kendaraan; c. jenis trayek yang dilayani ditulis secara jelas dengan huruf balok, melekat pada badan kendaraan sebelah kiri dan kanan untuk membedakan trayek yang dilayani sebagai berikut : 1) tulisan "LINTAS BATAS NEGARA" bagi mobil bus yang melayani trayek lintas batas negara; 2) tulisan "ANTAR KOTA ANTAR PROPINSI" bagi mobil bus yang melayani trayek antar kota antar propinsi; 3) tulisan "ANTAR KOTA DALAM PROPINSI" bagi mobil bus yang melayani trayek antar kota dalam propinsi; 4) tulisan "BUS KOTA" bagi mobil bus dan tulisan "ANGKUTAN KOTA" bagi mobil penumpang, yang melayani trayek dalam kota; 5) tulisan "BUS PERKOTAAN" bagi mobil bus dan tulisan "ANGKUTAN PERKOTAAN" bagi mobil penumpang yang melayani trayek perkotaan; 6) tulisan "BUS PEDESAAN" bagi mobil bus dan tulisan "ANGKUTAN PEDESAAN" bagi mobil penumpang, yang melayani trayek pedesaan; 7) tulisan "ANGKUTAN PERBATASAN" bagi mobil bus dan mobil penumpang yang melayani trayek perbatasan; 8) tulisan "ANGKUTAN PERINTIS" bagi mobil bus dan mobil penumpang yang melayani trayek perintis. d. jati diri pengemudi yang ditempatkan pada dashboard, yang dikeluarkan oleh masing-masing perusahaan angkutan; e. kotak obat lengkap dengan isinya. 11

12 (2) Papan reklame hanya dapat dipasang pada mobil bus yang melayani trayek kota dan perkotaan. (3) Ukuran, bentuk tulisan, dan identitas kendaraan angkutan Antar Kota Antar Propinsi dan Antar Kota Dalam Propinsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sebagaimana tercantum dalam contoh Gambar 1 dan 2 Lampiran I Keputusan ini. Pasal 7 Pemasangan reklame pada mobil bus yang melayani trayek dalam kota dan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), tidak boleh mengganggu identitas kendaraan dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 8 Dalam pengoperasian kendaraan untuk pelayanan angkutan dalam trayek tetap dan teratur, pengemudi yang bertugas wajib : a. memakai pakaian seragam perusahaan; b. memakai kartu pengenal pegawai yang dikeluarkan oleh perusahaan; c. bertingkah laku sopan dan ramah; d. tidak merokok selama mengemudikan kendaraan; e. tidak minum minuman yang mengandung alkohol, obat bius, narkotika maupun obat lain yang dapat mempengaruhi konsentrasi pengemudi; f. wajib mematuhi waktu kerja, waktu istirahat dan pergantian pengemudi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bagian Keempat Kondisi Tertentu Pelayanan Angkutan Pasal 9 12

13 (1) Untuk melayani angkutan pada daerah yang terisolir dan terbelakang diselenggarakan angkutan perintis. (2) Angkutan perintis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus berfungsi mendorong perkembangan ekonomi daerah yang dilayani, dengan kriteria : a. belum ada pelayanan angkutan secara komersial pada trayek yang bersangkutan; b. faktor muat kendaraan (Load Factor) rendah. (3) Angkutan perintis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dengan ciri-ciri pelayanan sebagai berikut : a. mempunyai jadwal tetap dan/atau tidak berjadwal; b. jadwal tetap diberlakukan apabila permintaan angkutan tinggi; c. pelayanan angkutan bersifat lambat, berhenti pada setiap terminal yang harus disinggahi; d. dilayani oleh mobil bus umum dan/atau mobil penumpang umum; e. dilayani oleh perusahaan angkutan yang memiliki izin trayek. (4) Izin trayek angkutan perintis diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Perhubungan setempat. Pasal 10 (1) Untuk melayani permintaan angkutan musiman dilakukan oleh perusahaan angkutan yang telah memiliki izin trayek atau izin operasi. (2) Angkutan musiman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi: a. angkutan pada hari-hari besar keagamaan seperti Lebaran, Natal dan Tahun Baru; b. angkutan Haji; c. angkutan liburan sekolah; d. angkutan transmigrasi; 13

14 e. angkutan tenaga kerja Indonesia; f. angkutan acara kenegaraan dan olah raga; g. dan lain-lain. (3) Pelayanan angkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diselenggarakan dengan menggunakan mobil bus umum dan/atau mobil penumpang umum. Pasal 11 (1) Kendaraan yang digunakan dalam pelayanan angkutan musiman harus diberikan tanda khusus berupa stiker yang bertuliskan tanda sesuai dengan angkutan yang dilayani. (2) Sticker sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus dilekatkan secara permanen pada kaca depan kiri dan belakang kanan mobil bus atau mobil penumpang umum dengan tulisan/label : a. "ANGKUTAN LEBARAN", untuk angkutan lebaran; b. "ANGKUTAN NATAL DAN TAHUN BARU", untuk angkutan natal dan tahun baru; c. "ANGKUTAN HAJI", untuk angkutan haji; d. "ANGKUTAN TRANSMIGRASI", untuk angkutan transmigrasi; e. "ANGKUTAN TKI", untuk angkutan tenaga kerja Indonesia; f. "ANGKUTAN LIBURAN SEKOLAH", untuk angkutan liburan sekolah; g. "ANGKUTAN ACARA KENEGARAAN", untuk angkutan acara kenegaraan; h. "ANGKUTAN ACARA OLAH RAGA", untuk angkutan acara olah raga. (3) Pelayanan angkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sebagai berikut : 14

15 a. angkutan Lebaran, Natal dan Tahun Baru diselenggarakan pada periode yang ditentukan, melayani penumpang dari terminal asal ke terminal tujuan atau tempat yang ditentukan; b. angkutan Haji, khusus mengangkut penumpang dari daerah asal ke embarkasi dan pemulangan ke daerah asal dari embarkasi/debarkasi; c. angkutan transmigrasi, khusus mengangkut penumpang transmigrasi dari daerah asal ke tempat tujuan transmigrasi; d. angkutan Tenaga Kerja Indonesia, khusus mengangkut penumpang Tenaga Kerja Indonesia dari daerah asal ke embarkasi bandar udara dan pemulangan ke daerah asal dari embarkasi/debarkasi; e. angkutan acara kenegaraan dan/atau olah raga, khusus mengangkut penumpang dari tempat-tempat yang ditentukan. Pasal 12 (1) Untuk memberikan pelayanan tambahan angkutan antar kota antar propinsi atau antar kota dalam propinsi, dapat diberikan pelayanan angkutan terusan. (2) Pelayanan angkutan terusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan bagian dari angkutan yang diperjanjikan antara penumpang dan perusahaan angkutan, yang dapat diberikan perusahaan sebagai peningkatan pelayanan kepada penumpang. (3) Pelayanan angkutan terusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan dengan ciri-ciri pelayanan sebagai berikut : a. khusus mengangkut penumpang dari pool perusahaan ke tujuan akhir sebagai pelayanan angkutan dari pintu ke pintu; b. dilayani dengan mobil penumpang; c. tidak masuk terminal; d. tidak dikenakan biaya tambahan. Pasal 13 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan angkutan perbatasan, angkutan perintis, angkutan penumpang musiman, dan 15

16 angkutan terusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12, diatur oleh Direktur Jenderal. BAB III ANGKUTAN TIDAK DALAM TRAYEK Bagian Pertama Jenis Angkutan Pasal 14 Angkutan orang dengan kendaraan umum tidak dalam trayek, terdiri dari : a. angkutan dengan menggunakan taksi; b. angkutan dengan cara sewa; c. angkutan untuk keperluan pariwisata; d. angkutan penumpang khusus. Bagian Kedua Angkutan Taksi Pasal 15 Penyelenggaraan angkutan taksi dilakukan dengan mobil penumpang umum yang diberi tanda khusus serta dilengkapi dengan argometer dan beroperasi dalam wilayah operasi terbatas. Pasal 16 (1) Wilayah operasi angkutan taksi meliputi daerah kota atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta. (2) Pengembangan wilayah operasi angkutan taksi dapat melampaui daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), baik melampaui propinsi maupun daerah kota, dalam hal : a. kebutuhan jasa angkutan taksi makin meningkat; 16

17 b. perkembangan daerah kota; c. tersedianya prasarana jalan yang memadai. (3) Wilayah operasi angkutan taksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ditetapkan oleh : a. Gubernur / Kepala Daerah Propinsi, untuk wilayah operasi yang melampaui lebih dari 1 (satu) daerah kota dalam propinsi; b. Direktur Jenderal, untuk wilayah operasi yang melampaui daerah kota di luar propinsi. Pasal 17 Angkutan taksi diselenggarakan dengan ciri-ciri pelayanan sebagai berikut : a. tidak berjadwal; b. dilayani dengan mobil penumpang umum yang dilengkapi dengan argometer; c. pelayanan dari pintu ke pintu. Pasal 18 Mobil penumpang umum yang dioperasikan untuk angkutan taksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, harus memenuhi persyaratan : a. memasang tanda "TAKSI" yang ditempatkan di atas atap bagian luar kendaraan dan harus menyala dengan warna putih atau kuning apabila dalam keadaan kosong dan padam apabila argometer dihidupkan; b. tulisan "AC" pada kaca depan di sebelah kiri atas dan kaca belakang di sebelah kiri atas, untuk angkutan taksi yang dilengkapi dengan alat pendingin udara; c. logo dan nama perusahaan yang ditempatkan pada pintu depan bagian tengah, dengan susunan sebelah atas adalah logo perusahaan dan sebelah bawah adalah nama perusahaan; d. lampu bahaya berwarna kuning yang ditempatkan di samping kanan tanda taksi; 17

18 e. jati diri pengemudi yang ditempatkan pada dashboard yang dikeluarkan oleh masing-masing perusahaan angkutan taksi; f. radio komunikasi yang berfungsi sebagai alat berkomunikasi antara pengemudi dengan pusat pengendali operasi dan/atau sebaliknya; g. kotak obat lengkap dengan isinya; h. keterangan tentang biaya awal, kilometer, waktu dan biaya tambahan yang ditempatkan pada sisi bagian dalam pintu belakang; i. nomor urut kendaraan dari setiap perusahaan angkutan yang dilekatkan pada kaca depan, belakang dan dashboard; j. membawa daftar penyesuaian tarif, apabila terjadi perubahan tarif dan argometer belum disesuaikan. Pasal 19 Tanda taksi, tulisan AC, logo, nama perusahaan dan lampu bahaya, sebagaimana tercantum dalam contoh Gambar 3 Lampiran I Keputusan ini. Bagian Ketiga Angkutan Sewa Pasal 20 Penyelenggaraan angkutan dengan cara sewa, dilakukan dengan mobil penumpang umum yang pengoperasiannya berdasarkan perjanjian sewa atau borongan. Pasal 21 Wilayah operasi angkutan sewa tidak dibatasi oleh wilayah administratif. Pasal 22 18

19 Angkutan sewa diselenggarakan dengan ciri-ciri pelayanan sebagai berikut : a. pelayanan angkutan dari pintu ke pintu dalam wilayah operasi yang tidak terbatas; b. dilayani dengan mobil penumpang umum yang dilengkapi dengan tanda khusus; c. penyewaan dilaksanakan baik dengan maupun tanpa pengemudi; d. tidak berjadwal. Pasal 23 (1) Dalam hal pengoperasian angkutan sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilakukan secara tetap dan terus-menerus dalam wilayah operasi yang sama, pelayanannya disebut angkutan sewa khusus. (2) Angkutan sewa khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dilaksanakan sepanjang tidak mengganggu dan/atau tidak menjadi pesaing pelayanan angkutan dalam trayek tetap dan teratur. (3) Wilayah operasi angkutan sewa khusus dibatasi oleh wilayah pelayanan yang ditetapkan. (4) Wilayah operasi angkutan sewa khusus ditetapkan oleh : a. Gubernur / Kepala Daerah Propinsi, untuk wilayah dalam propinsi; b. Direktur Jenderal, untuk wilayah antar propinsi. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan sewa khusus, diatur oleh Direktur Jenderal. Pasal 24 Angkutan sewa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, diselenggarakan dengan ciri-ciri pelayanan sebagai berikut : a. pelayanan angkutan dari pintu ke pintu dalam wilayah pelayanan terbatas; 19

20 b. dilayani dengan mobil penumpang umum yang dilengkapi dengan tanda khusus; c. didasarkan pada perjanjian dengan cara sewa atau borongan; d. penyewaan dilaksanakan dengan pengemudi; e. tidak berjadwal; f. menggunakan AC; g. umur kendaraan maksimum 7 (tujuh) tahun. Pasal 25 Mobil penumpang yang dioperasikan untuk angkutan sewa harus memenuhi persyaratan : a. menggunakan tanda nomor kendaraan, khusus untuk kendaraan sewa; b. jati diri pengemudi yang ditempatkan pada bagian kiri dashboard kendaraan, apabila penyewaan dengan pengemudi. Pasal 26 Angkutan sewa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, harus memenuhi persyaratan : a. menggunakan mobil penumpang umum dengan pelat dasar kuning dan tulisan hitam; b. jati diri pengemudi yang ditempatkan pada bagian kiri dashboard kendaraan. Bagian Keempat Angkutan Pariwisata Pasal 27 Penyelenggaraan angkutan pariwisata dilaksanakan dengan menggunakan mobil bus umum. 20

21 Pasal 28 Wilayah operasi angkutan pariwisata adalah dari dan ke tempat tujuan wisata dan tidak dibatasi oleh wilayah administratif. Pasal 29 (1) Angkutan pariwisata diselenggarakan dengan ciri-ciri pelayanan sebagai berikut : a. mengangkut wisatawan; b. pelayanan angkutan ke dan dari daerah tujuan wisata; c. dilayani dengan mobil bus umum; d. tidak masuk terminal. (2) Angkutan pariwisata dapat digunakan untuk keperluan selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b, dengan ketentuan tidak mengangkut penumpang umum dalam trayek tetap dan teratur. Pasal 30 (1) Mobil bus yang dioperasikan untuk angkutan pariwisata harus memenuhi persyaratan : a. label dan sticker yang bertuliskan "PARIWISATA" yang dilekatkan secara permanen pada kaca depan kiri dan kaca belakang kanan mobil bus; b. logo perusahaan, nama perusahaan dan nomor urut kendaraan yang dilekatkan secara permanen pada dinding kiri dan kanan mobil bus; c. tulisan "BUS PARIWISATA" yang dilekatkan secara permanen pada dinding kiri dan kanan mobil bus. (2) Bentuk dan ukuran tanda khusus angkutan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sebagaimana tercantum dalam contoh Gambar 4 Lampiran I Keputusan ini. Pasal 31 21

22 Pengemudi kendaraan angkutan pariwisata harus dilengkapi dengan : a. tanda jati diri pengemudi yang ditempatkan pada dashboard, yang dikeluarkan oleh masing-masing perusahaan angkutan pariwisata; b. pakaian seragam yang dilengkapi dengan identitas perusahaan, yang harus dipakai pada waktu bertugas. Pasal 32 (1) Angkutan pariwisata diberikan kemudahan untuk mengantar dan/atau menjemput wisatawan ke dan dari daerah tujuan wisata. (2) Kemudahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dinyatakan dengan rambu-rambu lalu lintas sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bagian Kelima Angkutan Penumpang Khusus Pasal 33 (1) Angkutan penumpang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d, dilayani dengan mobil bus umum dan/atau mobil penumpang umum serta harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang dibuktikan dengan buku uji. (2) Angkutan penumpang khusus sebagaimana dimaksud ayat (1), meliputi angkutan antar jemput karyawan, antar jemput tamu hotel dan antar jemput penghuni kawasan pemukiman. Pasal 34 Wilayah operasi angkutan penumpang khusus tidak dibatasi oleh wilayah administratif. Pasal 35 22

23 (1) Angkutan antar jemput karyawan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2), diselenggarakan dengan ciri-ciri pelayanan sebagai berikut : a. khusus mengangkut karyawan dengan dipungut bayaran; b. pelayanan angkutan ke dan dari daerah tempat bekerja (area perusahaan); c. dilayani dengan mobil bus umum; d. tidak masuk terminal. (2) Angkutan antar jemput tamu hotel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2), diselenggarakan dengan ciri-ciri pelayanan sebagai berikut : a. khusus mengangkut tamu hotel; b. pelayanan angkutan ke dan dari hotel; c. dilayani dengan mobil bus umum; d. tidak masuk terminal. (3) Angkutan antar jemput kawasan pemukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2), diselenggarakan dengan ciri-ciri sebagai berikut : a. khusus mengangkut penumpang kawasan pemukiman dan/atau dari dan ke daerah sentra kegiatan bekerja; b. dilayani dengan mobil bus umum; c. tidak masuk terminal. Pasal 36 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan angkutan penumpang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, diatur oleh Direktur Jenderal. Pasal 37 (1) Angkutan antar jemput karyawan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), harus memenuhi persyaratan : 23

24 a. label dan stiker yang bertuliskan "ANTAR JEMPUT KARYAWAN" yang dilekatkan secara permanen pada kaca depan kiri dan belakang kanan mobil bus; b. logo perusahaan, nama perusahaan dan nomor urut kendaraan yang dilekatkan secara permanen pada dinding kiri dan kanan mobil bus; c. tulisan "ANTAR JEMPUT KARYAWAN" yang dilekatkan secara permanen pada dinding kiri dan kanan mobil bus. (2) Kendaraan khusus antar jemput penghuni kawasan pemukiman harus memenuhi persyaratan : a. label dan stiker yang bertuliskan "ANTAR JEMPUT PEMUKIMAN" yang dilekatkan secara permanen pada kaca depan kiri dan belakang kanan mobil bus; b. logo perusahaan, nama perusahaan dan nomor urut kendaraan yang dilekatkan secara permanen pada dinding kiri dan kanan mobil bus; c. tulisan "ANTAR JEMPUT PERMUKIMAN" yang diletakkan secara permanen pada dinding kiri dan kanan mobil bus. (3) Kendaraan khusus antar jemput tamu hotel harus memenuhi persyaratan : a. label dan stiker yang bertuliskan "ANTAR JEMPUT HOTEL" yang dilekatkan secara permanen pada kaca depan kiri dan belakang kanan mobil bus; b. logo perusahaan, nama perusahaan dan nomor urut kendaraan yang dilekatkan secara permanen pada dinding kiri dan kanan mobil bus; c. tulisan "ANTAR JEMPUT HOTEL" yang dilekatkan secara permanen pada dinding kiri dan kanan mobil bus. BAB IV PERIZINAN ANGKUTAN Bagian Pertama 24

25 Izin Usaha Angkutan Pasal 38 Pengusahaan angkutan orang dengan kendaraan umum dapat dilakukan oleh : a. Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah; b. badan usaha milik swasta nasional; c. koperasi; d. perorangan warga negara Indonesia. Pasal 39 (1) Untuk melakukan usaha angkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, wajib memiliki izin usaha angkutan. (2) Izin usaha angkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat digunakan untuk mengusahakan : a. angkutan orang dalam trayek tetap dan teratur; b. angkutan orang tidak dalam trayek. (3) Untuk memperoleh izin usaha angkutan, wajib memenuhi persyaratan : a. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); b. memiliki akte pendirian perusahaan bagi pemohon yang berbentuk badan usaha, akte pendirian koperasi bagi pemohon yang berbentuk koperasi, tanda jati diri bagi pemohon perorangan; c. memiliki surat keterangan domisili perusahaan; d. memiliki surat izin tempat usaha (SITU); e. pernyataan kesanggupan untuk memiliki atau menguasai 5 (lima) kendaraan bermotor untuk pemohon yang berdomisili di pulau Jawa dan Sumatera; 25

26 f. pernyataan kesanggupan untuk menyediakan fasilitas penyimpanan kendaraan. Pasal 40 (1) Permohonan izin usaha angkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), diajukan kepada : a. Bupati atau Walikota sesuai domisili perusahaan; b. Gubernur / Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk pemohon yang berdomisili di Daerah Khusus Ibukota Jakarta; c. Gubernur / Kepala Daerah Propinsi Riau untuk pemohon yang berdomisili di kota Batam. (2) Izin usaha angkutan diberikan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 41 (1) Pemberian atau penolakan izin usaha, diberikan oleh pejabat pemberi izin selambat-lambatnya dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap. (2) Penolakan atas permohonan izin usaha angkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan secara tertulis dengan disertai alasan penolakan. Pasal 42 Pengusaha angkutan umum yang telah mendapatkan izin usaha angkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), diwajibkan : a. memiliki dan/atau menguasai sekurang-kurangnya 5 (lima) kendaraan sesuai dengan peruntukan, yang memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan; b. memiliki dan/atau menguasai tempat penyimpanan kendaraan (pool kendaraan); c. melakukan kegiatan usaha angkutan selambat-lambatnya dalam waktu 6 (enam) bulan, sejak diterbitkan izin usaha angkutan; 26

27 d. melaporkan kegiatan usaha setiap tahun kepada pejabat pemberi izin usaha angkutan; e. mentaati ketentuan wajib angkut kiriman pos sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos, ketentuan mengenai dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 1964 beserta peraturan pelaksanaannya dan peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya yang berkaitan dengan bidang usaha angkutan; f. melaporkan apabila terjadi perubahan pemilikan perusahaan atau domisili perusahaan. Pasal 43 Bentuk permohonan izin usaha angkutan, bentuk izin usaha angkutan, pembekuan izin usaha angkutan, pencabutan izin usaha angkutan, formulir laporan usaha angkutan dan penolakan izin usaha angkutan, sebagaimana tercantum dalam Contoh 1 sampai dengan Contoh 6 Lampiran II Keputusan ini. Pasal 44 Perusahaan angkutan umum dapat mengembangkan usaha dan/atau membuka cabang di propinsi lain dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. menggunakan nomor kendaraan sesuai domisili cabang tersebut; b. melaporkan dan terdaftar di Pemerintah Daerah Kota / Kabupaten sesuai domisili cabang / perusahaan yang bersangkutan; c. menunjuk penanggung jawab cabang perusahaan yang mewakili perusahaan. Bagian Kedua Izin Trayek Pasal 45 27

28 (1) Untuk melakukan kegiatan angkutan dalam trayek tetap dan teratur wajib memiliki izin trayek. (2) Izin trayek sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan oleh : a. Direktur Jenderal, untuk trayek antar kota antar propinsi dan trayek yang melewati lintas batas negara serta trayek perkotaan yang melalui perbatasan daerah propinsi; b. Gubernur / Kepala Daerah Propinsi, untuk trayek angkutan antar kota dalam propinsi dan trayek perkotaan yang melalui perbatasan administratif daerah kota / kabupaten dalam satu propinsi; c. Gubernur / Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, untuk trayek dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta; d. Gubernur / Kepala Daerah Propinsi Riau, untuk trayek dalam daerah kota Batam; e. Bupati / Kepala Daerah Kabupaten, untuk trayek pedesaan; f. Walikota / Kepala Daerah Kota, untuk trayek dalam daerah kota. (3) Permohonan izin trayek diajukan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (4) Jenis-jenis permohonan izin trayek untuk angkutan orang dalam trayek tetap dan teratur terdiri dari : a. permohonan izin trayek baru; b. permohonan perubahan dan / atau perpanjangan masa berlakunya; c. permohonan perubahan izin trayek. (5) Izin trayek sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memuat : a. nomor surat keputusan; b. nomor induk perusahaan; c. kode trayek; d. jumlah perjalanan; 28

29 e. sifat perjalanan; f. jenis pelayanan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin trayek sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), diatur oleh Direktur Jenderal. (7) Perubahan izin trayek sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf b dan huruf c, dilakukan dalam hal : a. pembaruan masa berlaku izin; b. penambahan jumlah kendaraan bermotor; c. pengalihan pemilikan perusahaan dan/atau pengalihan sebagian izin trayek; d. penambahan frekuensi; e. perubahan trayek, meliputi penerusan trayek, perpendekan trayek, dan pengalihan trayek; f. penggantian kendaraan, meliputi peremajaan kendaraan, perubahan nomor kendaraan, dan tukar posisi kendaraan. Pasal 46 (1) Untuk trayek perkotaan yang melalui perbatasan daerah propinsi, Direktur Jenderal dapat mendelegasikan wewenang pemberian izin trayek kepada Gubernur / Kepala Daerah Propinsi sesuai kondisi lapangan dan domisili perusahaan angkutan. (2) Penetapan jumlah kendaraan yang akan beroperasi pada trayek perkotaan yang melalui perbatasan daerah propinsi, dilakukan oleh Direktur Jenderal. (3) Penetapan jumlah kendaraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilaksanakan berdasarkan hasil survei lapangan dan masukan dari Kantor Wilayah Departemen Perhubungan serta Dinas LLAJ Daerah Propinsi dan Daerah Kotamadya / Kabupaten terkait. Pasal 47 (1) Permohonan izin trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3), harus dilengkapi pertimbangan dari : 29

30 a. Gubernur / Kepala Daerah Propinsi dalam hal ini Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Daerah Propinsi masing-masing menurut asal dan tujuan trayek yang diminta, bagi trayek antar kota antar propinsi dan trayek perkotaan yang melalui perbatasan daerah propinsi; b. Bupati / Walikota dalam hal ini Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Daerah Kotamadya/Kabupaten masing-masing menurut asal dan tujuan trayek yang diminta, bagi trayek antar kota dalam propinsi dan trayek perkotaan yang melalui perbatasan daerah kota / kabupaten dalam satu daerah propinsi. (2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a. pendapat tentang diterima atau ditolaknya terhadap permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1); b. data faktor muatan pada trayek yang bersangkutan; c. rencana penunjukan terminal dan pengaturan waktu pemberangkatan dan kedatangan, sepanjang permohonan tersebut masih memungkinkan. Pasal 48 (1) Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 diterima oleh pejabat pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2), selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak permohonan diterima secara lengkap. (2) Permohonan izin trayek dapat diterima atau ditolak setelah memperhatikan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2), selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja. Bagian Ketiga Persyaratan Untuk Memperoleh Izin Trayek Pasal 49 (1) Untuk memperoleh izin trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), pemohon wajib memenuhi : 30

31 a. persyaratan administratif; b. persyaratan teknis. (2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, meliputi : a. memiliki surat izin usaha angkutan; b. memiliki atau menguasai kendaraan bermotor yang laik jalan yang dibuktikan dengan surat tanda nomor kendaraan bermotor dan buku uji atau foto kopinya; c. memiliki atau menguasai fasilitas penyimpanan / pool kendaraan bermotor yang dibuktikan dengan gambar lokasi dan bangunan serta surat keterangan mengenai pemilikan atau penguasaan; d. memiliki atau bekerjasama dengan pihak lain yang mampu menyediakan fasilitas pemeliharaan kendaraan bermotor sehingga dapat merawat kendaraannya untuk tetap dalam kondisi laik jalan. (3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, meliputi : a. pada trayek yang dimohon masih memungkinkan untuk penambahan jumlah kendaraan; b. prioritas diberikan bagi perusahaan angkutan yang mampu memberikan pelayanan angkutan yang terbaik. Pasal 50 Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3), didasarkan atas : a. survey faktor muatan pada trayek-trayek dimaksud; dan/atau b. laporan realisasi angkutan dari pengusaha yang melayani trayek dimaksud. Pasal 51 (1) Dalam hal permohonan yang diajukan oleh perusahaan belum memenuhi persyaratan administratif dan teknis berupa kendaraan 31

32 yang dioperasikan sebagaimana diatur dalam Pasal 49, instansi pemberi izin dapat menerbitkan surat persetujuan permohonan. (2) Surat persetujuan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkan, dan dalam kurun waktu tersebut pihak pemohon berkewajiban melengkapi persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang ditentukan. (3) Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan pihak pemohon tidak dapat merealisasikan persetujuan permohonan yang diberikan, maka persetujuan permohonan secara otomatis dinyatakan gugur. Pasal 52 (1) Perusahaan yang telah mendapatkan izin trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, diberikan kartu pengawasan untuk setiap kendaraan yang dioperasikan. (2) Pemberian kartu pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan secara bersamaan dengan pemberian keputusan izin trayek yang bersangkutan. Pasal 53 (1) Kartu pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 merupakan turunan dari izin trayek untuk kendaraan yang bersangkutan. (2) Kartu pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh pejabat pemberi izin trayek sesuai kewenangan masing-masing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf f, kecuali untuk trayek perkotaan yang telah didelegasikan wewenang pemberian izin trayek. (3) Kartu pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. Bagian Keempat Evaluasi Trayek Pasal 54 32

33 (1) Dalam rangka pengembangan trayek dan perluasan trayek yang membutuhkan penambahan jumlah armada, dilakukan penetapan trayek yang terbuka atau tertutup. (2) Dasar pertimbangan penetapan trayek yang terbuka atau tertutup untuk penambahan jumlah kendaraan bermotor, dilakukan dengan : a. dasar pertimbangan untuk trayek lama : 1) jumlah perjalanan pulang pergi per hari, mobil bus yang telah diizinkan melayani trayek yang ditetapkan; 2) jumlah rata-rata tempat duduk kendaraan; 3) prosentase penggunaan tempat duduk kenyataan; 4) jumlah perjalanan pulang pergi per hari tertinggi; 5) faktor muatan 70 % atau lebih; 6) tersedianya fasilitas terminal yang sesuai; 7) tingkat pelayanan jalan. b. dasar pertimbangan untuk trayek baru : 1) tersedia prasarana jalan yang memadai; 2) potensi bangkitan penumpang; 3) potensi ekonomi wilayah; 4) jumlah penduduk; 5) rencana umum tata ruang; 6) tersedianya fasilitas terminal yang sesuai; 7) keterpaduan intra dan antar moda. (3) Penetapan keputusan hasil evaluasi kebutuhan penambahan jumlah kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ditetapkan oleh : a. Direktur Jenderal, untuk trayek Lintas Batas Negara, Antar Kota Antar Propinsi, Trayek Perbatasan Antar Propinsi dan Angkutan Perkotaan Antar Propinsi; 33

34 b. Gubernur / Kepala Daerah Propinsi, untuk trayek Antar Kota Dalam Propinsi, trayek Perbatasan Antar Kota Dalam Propinsi dan Angkutan Perkotaan Dalam Propinsi; c. Walikota atau Bupati, untuk trayek Angkutan Kota dan Angkutan Pedesaan. (4) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diumumkan secara luas dan berkala agar dapat diketahui oleh masyarakat. Pasal 55 Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dijadikan dasar pertimbangan pemberian izin trayek baru oleh pejabat pemberi izin trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2). Pasal 56 (1) Untuk mengetahui perkembangan pelayanan angkutan jalan secara periodik, dilakukan pemantauan dan pengawasan angkutan serta pendaftaran ulang perusahaan angkutan. (2) Aspek-aspek yang dipertimbangkan dalam pemantauan dan pengawasan angkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi : a. perkembangan sosial dan ekonomi; b. kecenderungan pergeseran distribusi pergerakan orang dan pemilihan moda angkutan; c. hasil pengamatan dan peninjauan lapangan oleh aparat; d. laporan dan masukan pengguna jasa angkutan; e. laporan dan masukan pengusaha angkutan. (3) Pemantauan dan pengawasan angkutan serta pendaftaran ulang perusahaan angkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan secara berkala. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemantauan dan pengawasan angkutan serta pendaftaran ulang perusahaan 34

35 angkutan sebagaimana dimaksud ayat (1), diatur oleh Direktur Jenderal. Pasal 57 (1) Hasil pemantauan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 digunakan sebagai bahan evaluasi. (2) Berdasarkan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila ditemukan adanya pelanggaran, dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi : a. pelanggaran administratif, yaitu : 1) dokumen perjalanan yang digunakan; 2) keabsahan kartu pengawasan (KPS); 3) penerbit dokumen perjalanan; 4) masa berlaku dokumen perjalanan; 5) dokumen perjalanan kendaraan cadangan; 6) pembayaran asuransi kecelakaan; 7) pemeriksaan buku uji. b. pelanggaran operasional, yaitu : 1) penyimpangan trayek; 2) penyimpangan jadwal perjalanan (time table); 3) penyimpangan pemberhentian / terminal (asal-lintasantujuan); 4) penggunaan kendaraan cadangan; 5) jumlah penumpang yang diangkut; 6) penggunaan izin insidentil; 7) jenis pelayanan; 35

36 8) fasilitas pelayanan; 9) penyimpangan identitas kendaraan. Pasal 58 (1) Untuk menjaga kualitas pelayanan dan kesinambungan pengawasan terhadap perusahaan angkutan bus pada trayek antar kota antar propinsi, dilakukan penilaian kinerja secara berkala setiap 1 (satu) tahun. (2) Penilaian kinerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a. pemenuhan terhadap persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor; b. jumlah kecelakaan yang terjadi; c. pemenuhan pelayanan angkutan sesuai dengan izin trayek yang telah diberikan; d. ketepatan waktu pelayanan sesuai dengan jam perjalanan yang diberikan; e. ketaatan terhadap peraturan tata cara berlalu lintas; f. pemenuhan ketentuan hubungan kerja antara pengemudi dengan perusahaan. (3) Pelaksanaan penilaian kinerja perusahaan angkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Perhubungan sesuai domisili perusahaan setempat. (4) Hasil penilaian kinerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), wajib dilaporkan kepada pejabat pemberi izin trayek. (5) Bentuk laporan penilaian kinerja, sebagaimana tercantum dalam Contoh 1 sampai dengan Contoh 3 Lampiran III Keputusan ini. Pasal 59 Pemantauan dan pengawasan serta evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, untuk angkutan trayek antar kota dalam propinsi dan angkutan dalam trayek kota dilakukan oleh pejabat pemberi izin. 36

37 Bagian Kelima Kewajiban Pemegang Izin Trayek Pasal 60 Pengusaha angkutan yang telah memperoleh izin trayek diwajibkan untuk : a. mengoperasikan kendaraan sesuai dengan jenis pelayanan berdasarkan izin trayek yang dimiliki; b. mengoperasikan kendaraan bermotor yang memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan; c. mempekerjakan awak kendaraan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan merupakan pengemudi serta pegawai tetap perusahaan; d. mematuhi waktu kerja dan waktu istirahat bagi pengemudi; e. memiliki tanda bukti pembayaran iuran wajib asuransi pertanggungan kecelakaan penumpang sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 1964 beserta peraturan pelaksanaannya; f. melaporkan apabila terjadi perubahan pemilikan perusahaan atau domisili perusahaan; g. meminta pengesahan dari pejabat pemberi izin trayek apabila akan mengalihkan izin trayek; h. mentaati ketentuan wajib angkut kiriman pos sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos dan peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya yang berkaitan dengan bidang usaha angkutan; i. melaporkan setiap bulan kegiatan operasional angkutan; j. melaporkan secara tertulis kepada pejabat pemberi izin trayek, apabila terjadi perubahan alamat selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah terjadi perubahan; k. melayani trayek sesuai izin yang diberikan, dengan cara : 1) mengoperasikan kendaraan secara tepat waktu sejak saat pemberangkatan, persinggahan dan sampai di tujuan; 37

38 2) memelihara kebersihan dan kenyamanan kendaraan yang dioperasikan; 3) memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada penumpang; 4) mengusahakan awak kendaraan yang dilengkapi dengan pakaian seragam yang menggunakan tanda pengenal perusahaan; 5) membawa kartu pengawasan dalam operasinya. Pasal 61 (1) Setiap perusahaan angkutan umum yang telah mendapat izin trayek diwajibkan menyediakan kendaraan cadangan sebanyakbanyaknya 10% (sepuluh persen) dari jumlah seluruh kendaraan bermotor yang diberi izin trayek. (2) Kendaraan cadangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dioperasikan apabila kendaraan yang melayani angkutan pada trayek sesuai dengan izin yang diberikan mengalami kerusakan atau tidak dapat melanjutkan perjalanan. Pasal 62 (1) Setiap awak kendaraan umum yang mengoperasikan mobil bus umum dan mobil penumpang umum harus mematuhi tata cara menaikkan dan menurunkan penumpang. (2) Tata cara menaikkan dan menurunkan penumpang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur sebagai berikut : a. di terminal, sejak awal pemberangkatan, persinggahan, sampai tujuan dan tempat-tempat lain yang ditentukan; b. menaikkan penumpang dari pintu depan dan menurunkan penumpang dari pintu belakang secara tertib dan teratur, kecuali yang tidak berpintu ganda. (3) Dalam menaikkan dan menurunkan penumpang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kendaraan harus dalam keadaan berhenti penuh dan tidak mengganggu kelancaran lalu lintas serta membahayakan penumpangnya. 38

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 35 TAHUN 2003 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 35 TAHUN 2003 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 35 TAHUN 2003 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PEMERINTAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PEMERINTAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM DI PROPINSI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UNTUK UMUM

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UNTUK UMUM PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UNTUK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG, Menimbang : a. bahwa pengusaha

Lebih terperinci

-2- Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

-2- Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.494, 2016 KEMENHUB. Angkutan Bermotor. Pencabutan. Orang. Kendaraan PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 32 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 10 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 10 TAHUN 2001 TENTANG PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 10 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.653/AJ.202/DRJD/2001 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYELENGGARAAN ANGKUTAN SEWA

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.653/AJ.202/DRJD/2001 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYELENGGARAAN ANGKUTAN SEWA KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.653/AJ.202/DRJD/2001 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYELENGGARAAN ANGKUTAN SEWA Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Menimbang : a. Bahwa pelayanan angkutan

Lebih terperinci

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tenta

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tenta No.516, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek. Penyelenggaraan Angkutan Orang. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DENGAN KENDARAAN BERMOTOR UMUM TIDAK DALAM TRAYEK

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DENGAN KENDARAAN BERMOTOR UMUM TIDAK DALAM TRAYEK PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DENGAN KENDARAAN BERMOTOR UMUM TIDAK DALAM TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 108 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DENGAN KENDARAAN BERMOTOR UMUM TIDAK DALAM TRAYEK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1993 TENTANG ANGKUTAN JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1993 TENTANG ANGKUTAN JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1993 TENTANG ANGKUTAN JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 10 TAHUN 2005 T E N T A N G PERIZINAN ANGKUTAN DI KABUPATEN BANTUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembinaan,

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2013 TENTANG PERIZINAN ANGKUTAN

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2013 TENTANG PERIZINAN ANGKUTAN SALINAN BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2013 TENTANG PERIZINAN ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembinaan,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG IJIN PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM DI KABUPATEN MURUNG RAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MURUNG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1993 TENTANG ANGKUTAN JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1993 TENTANG ANGKUTAN JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1993 TENTANG ANGKUTAN JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG IJIN PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG NOMOR 41 TAHUN 1993 TENTANG ANGKUTAN JALAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG NOMOR 41 TAHUN 1993 TENTANG ANGKUTAN JALAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 1993 TENTANG ANGKUTAN JALAN PRESIDEN Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah diatur ketentuan-ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG,

PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, 1 WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, Menimbang : a. bahwa angkutan jalan sebagai salah

Lebih terperinci

BUPATI ROKAN HILIR PERATURAN DAERAH ROKAN HILIR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UMUM DI JALAN

BUPATI ROKAN HILIR PERATURAN DAERAH ROKAN HILIR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UMUM DI JALAN BUPATI ROKAN HILIR PERATURAN DAERAH ROKAN HILIR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UMUM DI JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ROKAN HILIR, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA BATU

PEMERINTAH KOTA BATU PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BATU, Menimbang : a. bahwa pembinaan, pengawasan dan pengendalian yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR : 3 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN BERMOTOR UMUM

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR : 3 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN BERMOTOR UMUM PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR : 3 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN BERMOTOR UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang :

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 2 TAHUN 2008 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEKALONGAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Di Jalan Dengan Kendaraan Bermotor Umum; LEMBARAN DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 32 TAHUN 2017

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 32 TAHUN 2017 SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 32 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN TAKSI DAN ANGKUTAN SEWA KHUSUS MENGGUNAKAN APLIKASI BERBASIS

Lebih terperinci

5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambaha

5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambaha PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG IZIN DAN PENGAWASAN USAHA ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 17 Tahun 2008 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KEBUPATEN MAGELANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 17 Tahun 2008 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KEBUPATEN MAGELANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 17 Tahun 2008 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KEBUPATEN MAGELANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

CONTOH 1 : PERMOHONAN IZIN USAHA ANGKUTAN

CONTOH 1 : PERMOHONAN IZIN USAHA ANGKUTAN LAMPIRAN III KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN Nomor : KM 35 Tahun 2003 Tanggal : 20 Agustus 2003 CONTOH 1 : PERMOHONAN IZIN USAHA ANGKUTAN NAMA PERUSAHAAN / KOPERASI / PERORANGAN *) Alamat lengkap Nomor Telepon

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR 31 TAHUN 1995 TENTANG TERMINAL TRANSPORTASI JALAN

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR 31 TAHUN 1995 TENTANG TERMINAL TRANSPORTASI JALAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR 31 TAHUN 1995 TENTANG TERMINAL TRANSPORTASI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN Menimbang: a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA (PERDA KOTA YOGYAKARTA) NOMOR 5 TAHUN 2001 (5/2001) TENTANG PERIZINAN ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA (PERDA KOTA YOGYAKARTA) NOMOR 5 TAHUN 2001 (5/2001) TENTANG PERIZINAN ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA LEMBARAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA (Berita Resmi Yogyakarta) Nomor: 3 Tahun 2001 Seri : C ---------------------------------------------------------------- PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA (PERDA KOTA YOGYAKARTA)

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 26 TAHUN 2009

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 26 TAHUN 2009 SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 26 TAHUN 2009 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1993 TENTANG ANGKUTAN JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN BERMOTOR UMUM

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN BERMOTOR UMUM SALINAN NOMOR 2/E, 2011 PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN BERMOTOR UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG IZIN USAHA ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR,

PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG IZIN USAHA ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, R A N C A N G A N PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG IZIN USAHA ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pemberian izin usaha

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS MOBIL PENUMPANG UMUM SEBAGAI TAKSI NON SEDAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU. Nomor 10 Tahun 2003 Seri C PERATURAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU NOMOR 45 TAHUN 2003 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU. Nomor 10 Tahun 2003 Seri C PERATURAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU NOMOR 45 TAHUN 2003 TENTANG Page 1 of 14 PERATURAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU NO. 45 TAHUN 2003 CETAK TUTUP LEMBARAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU Nomor 10 Tahun 2003 Seri C PERATURAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU NOMOR 45 TAHUN 2003 TENTANG

Lebih terperinci

INVESTASI/USAHA BIDANG PERHUBUNGAN DARAT

INVESTASI/USAHA BIDANG PERHUBUNGAN DARAT DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT INVESTASI/USAHA BIDANG PERHUBUNGAN DARAT Jakarta, 2009 LINGKUP INVESTASI Aspek Angkutan 1. Kegiatan usaha angkutan orang dan atau barang dengan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOM0R : 5 TAHUN : 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 5 TAHUN 20007 PENYELENGGARAAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 21 TAHUN 2002 TENTANG PERIZINAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 21 TAHUN 2002 TENTANG PERIZINAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 21 TAHUN 2002 TENTANG PERIZINAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka peningkatan penertiban dan pembinaan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2012 NOMOR : 12 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2012 NOMOR : 12 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2012 NOMOR : 12 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CILEGON, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

PEMERINTAH KOTA SURABAYA PEMERINTAH KOTA SURABAYA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 7 TAHUN 2006 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENYESUAIAN JARINGAN TRAYEK DALAM WILAYAH KOTA KABUPATEN JEMBER

BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENYESUAIAN JARINGAN TRAYEK DALAM WILAYAH KOTA KABUPATEN JEMBER BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENYESUAIAN JARINGAN TRAYEK DALAM WILAYAH KOTA KABUPATEN JEMBER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBER, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR :SK.967/AJ.202/DRJD/2007 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR :SK.967/AJ.202/DRJD/2007 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR :SK.967/AJ.202/DRJD/2007 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENYELENGGARAAN ANGKUTAN SEKOLAH DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT Menimbang : a. bahwa dengan memperhatikan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN PERIZINAN PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN PERIZINAN PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN PERIZINAN PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembinaan,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1993 TENTANG ANGKUTAN JALAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1993 TENTANG ANGKUTAN JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1993 TENTANG ANGKUTAN JALAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN 1993 PRES\IDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 3527 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 59) UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2013 TENTANG PERLENGKAPAN ANGKUTAN UMUM ORANG

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2013 TENTANG PERLENGKAPAN ANGKUTAN UMUM ORANG SALINAN BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2013 TENTANG PERLENGKAPAN ANGKUTAN UMUM ORANG Menimbang Mengingat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, : a. bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN TERMINAL PENUMPANG DI KABUPATEN MAGELANG

PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN TERMINAL PENUMPANG DI KABUPATEN MAGELANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 8 Tahun 2008 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN TERMINAL PENUMPANG DI KABUPATEN MAGELANG

Lebih terperinci

WALIKOTA TASIKMALAYA

WALIKOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR 18 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN TAKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG NOMOR 11 TAHUN 2010

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG NOMOR 11 TAHUN 2010 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG NOMOR 11 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA KUASA BUPATI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN TAHUN 2008 NOMOR 31 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN TAHUN 2008 NOMOR 31 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN TAHUN 2008 NOMOR 31 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 31 TAHUN 2008 TENTANG RETRIBUSI PERIZINAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.1186/HK.402/DRJD/2002

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.1186/HK.402/DRJD/2002 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.1186/HK.402/DRJD/2002 TENTANG PEMBERIAN SANKSI ADMINISTRATIF TERHADAP PELANGGARAN YANG DILAKUKAN OLEH PENGUSAHA ANGKUTAN PENUMPANG UMUM DALAM TRAYEK

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMUNGUTAN RETRIBUSI IZIN TRAYEK

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMUNGUTAN RETRIBUSI IZIN TRAYEK BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMUNGUTAN RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang Mengingat a.

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2007

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2007 PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK, IZIN OPERASI DAN KARTU PENGAWASAN KENDARAAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT Nomor : SK. 75/AJ.601/DRJD/2003. Tentang PENYELENGGARAAN POOL DAN AGEN PERUSAHAAN OTOBUS (PO)

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT Nomor : SK. 75/AJ.601/DRJD/2003. Tentang PENYELENGGARAAN POOL DAN AGEN PERUSAHAAN OTOBUS (PO) KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT Nomor : SK. 75/AJ.601/DRJD/2003 Tentang PENYELENGGARAAN POOL DAN AGEN PERUSAHAAN OTOBUS (PO) DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK TAHUN 2000 NOMOR 46 PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 43 TAHUN 2000 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK

LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK TAHUN 2000 NOMOR 46 PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 43 TAHUN 2000 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK TAHUN 2000 NOMOR 46 PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 43 TAHUN 2000 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DEPOK Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM DALAM TRAYEK

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM DALAM TRAYEK S A L I N A N NOMOR 6/E, 2006 PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM DALAM TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG T E R M I N A L DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 4 TAHUN 2008 IZIN USAHA ANGKUTAN DAN IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 4 TAHUN 2008 IZIN USAHA ANGKUTAN DAN IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 4 TAHUN 2008 IZIN USAHA ANGKUTAN DAN IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA, Menimbang : a. bahwa untuk menjaga terjaminnya kelangsungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut kamus besar bahasa Indonesia edisi (2005) Evaluasi adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut kamus besar bahasa Indonesia edisi (2005) Evaluasi adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi penilaian. Menurut kamus besar bahasa Indonesia edisi (2005) Evaluasi adalah 2.2 Angkutan Undang undang Nomer 22 Tahun 2009 pasal 1 ayat 1 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT Nomor : SK.2257/AJ.003/DRJD/2006. Tentang

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT Nomor : SK.2257/AJ.003/DRJD/2006. Tentang PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT Nomor : SK.2257/AJ.003/DRJD/2006 Tentang UJICOBA PENERAPAN PEMBERIAN IZIN TRAYEK ANGKUTAN PEMADU MODA DENGAN PENDEKATAN IZIN BERDASARKAN KUALITAS (QUALITY

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN. NOMOR : KM 73 Tahun 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN SUNGAI DAN DANAU MENTERI PERHUBUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN. NOMOR : KM 73 Tahun 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN SUNGAI DAN DANAU MENTERI PERHUBUNGAN, KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 73 Tahun 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN SUNGAI DAN DANAU MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABANAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABANAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PER.ATURAN BUPATI SIOOARJO NOMOR 16 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI SIDOARJO PER.ATURAN BUPATI SIOOARJO NOMOR 16 TAHUN 2009 TENTANG BUPATI SIDOARJO PER.ATURAN BUPATI SIOOARJO NOMOR 16 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN ANGKUTAN ORANG 01 JAL.AN OENGAN KENOARAAN UMUM 01 KABUPATEN SIOOARJO OENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

Lebih terperinci

BUPATI TULUNGAGUNG PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 32 TAHUN 2013

BUPATI TULUNGAGUNG PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 32 TAHUN 2013 BUPATI TULUNGAGUNG PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 32 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN TERMINAL BONGKAR MUAT BARANG DI KABUPATEN JEMBRANA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN TERMINAL BONGKAR MUAT BARANG DI KABUPATEN JEMBRANA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN TERMINAL BONGKAR MUAT BARANG DI KABUPATEN JEMBRANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN,

WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Keputusan Mentri Perhubungan No. 35 tahun 2003 Tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Keputusan Mentri Perhubungan No. 35 tahun 2003 Tentang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Angkutan Berdasarkan Keputusan Mentri Perhubungan No. 35 tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum, angkutan dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 26 TAHUN 2009

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 26 TAHUN 2009 SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 26 TAHUN 2009 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 66 TAHUN 1993 T E N T A N G FASILITAS PARKIR UNTUK UMUM MENTERI PERHUBUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 66 TAHUN 1993 T E N T A N G FASILITAS PARKIR UNTUK UMUM MENTERI PERHUBUNGAN, KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 66 TAHUN 1993 T E N T A N G FASILITAS PARKIR UNTUK UMUM MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1585, 2013 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Angkutan Orang. Kendaraan Umum. Trayek. Standar Pelayanan. Minimal. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 98

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PONTIANAK

PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI IZIN USAHA DAN IZIN TRAYEK ANGKUTAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PONTIANAK, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) ANGKUTAN PEMADU MODA TRAYEK BANDARA SULTAN SYARIF KASIM II PEKANBARU BANGKINANG

STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) ANGKUTAN PEMADU MODA TRAYEK BANDARA SULTAN SYARIF KASIM II PEKANBARU BANGKINANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) ANGKUTAN PEMADU MODA TRAYEK BANDARA SULTAN SYARIF KASIM II PEKANBARU BANGKINANG 1. STANDAR TEKNIS KENDARAAN a. Menggunakan kendaraan jenis bus medium/sedang; b. Umur kendaraan

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI ANGKUTAN KENDARAAN UMUM DI JALAN

- 1 - PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI ANGKUTAN KENDARAAN UMUM DI JALAN - 1 - PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI ANGKUTAN KENDARAAN UMUM DI JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR Menimbang : a.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN IZIN TRAYEK

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN IZIN TRAYEK LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN TAHUN 2007 No. 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MADIUN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menjamin

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.260, 2014 PERHUBUNGAN. Transportasi. Angkutan Jalan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5594) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2002 NOMOR 4 SERI C

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2002 NOMOR 4 SERI C BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2002 NOMOR 4 SERI C PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 4 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI IJIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALUKU TENGGARA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALUKU TENGGARA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALUKU TENGGARA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALUKU TENGGARA, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALUKU TENGGARA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALUKU TENGGARA, Menimbang : a. bahwa Retribusi Daerah merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 137

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN M E M U T U S K A N : NOMOR : KM 81 TAHUN 2004

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN M E M U T U S K A N : NOMOR : KM 81 TAHUN 2004 KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 81 TAHUN 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UDARA MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 11 Tahun 2001 telah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II GRESIK PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG IZIN TRAYEK DAN PENGENDALIAN LALU LINTAS

PEMERINTAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II GRESIK PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG IZIN TRAYEK DAN PENGENDALIAN LALU LINTAS PEMERINTAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II GRESIK PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG IZIN TRAYEK DAN PENGENDALIAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPALA DAERAH

Lebih terperinci

Dok. Informasi Hukum-JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim /2006 1

Dok. Informasi Hukum-JDIH Biro Hukum Setda Prop Jatim /2006 1 PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PERIZINAN ANGKUTAN PENUMPANG UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Perda No. 17/12001 tentang Retribusi Izin Trayek / Izin Operasi dan Penyeleng. Angkutan di Jalan Dengan Kendaraan Umum.

Perda No. 17/12001 tentang Retribusi Izin Trayek / Izin Operasi dan Penyeleng. Angkutan di Jalan Dengan Kendaraan Umum. Perda No. 17/12001 tentang Retribusi Izin Trayek / Izin Operasi dan Penyeleng. Angkutan di Jalan Dengan Kendaraan Umum. PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 NO. 6, 2008 PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DI KALIMANTAN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N W A L I K O T A B A N J A R M A S I N PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 04 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARMASIN, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DI KALIMANTAN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DI KALIMANTAN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DI KALIMANTAN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN BARAT, Menimbang : a. bahwa izin trayek

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOM0R : 6 TAHUN : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG RETRIBUSI IZIN ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOGOR, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan telah mengatur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan. Angkutan jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan. Angkutan jalan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Angkutan Angkutan dapat didefenisikan sebagai pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan. Angkutan jalan mendefinisikan

Lebih terperinci

G U B E R N U R SUMATERA BARAT

G U B E R N U R SUMATERA BARAT No. Urut: 47, 2014 Menimbang : a. G U B E R N U R SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN TAKSI DALAM PROVINSI SUMATERA BARAT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

T E N T A N G WALIKOTA SURABAYA,

T E N T A N G WALIKOTA SURABAYA, SALINAN PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 41 TAHUN 2013 T E N T A N G PENETAPAN TARIF PENUMPANG KELAS EKONOMI UNTUK ANGKUTAN ORANG DALAM TRAYEK DAN PEMBERIAN PERSETUJUAN TARIF PENUMPANG UNTUK ANGKUTAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGELOLA TRANSPORTASI JAKARTA, BOGOR, DEPOK, TANGERANG DAN BEKASI NOMOR : SK.57/AJ.206/BPTJ-2017

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGELOLA TRANSPORTASI JAKARTA, BOGOR, DEPOK, TANGERANG DAN BEKASI NOMOR : SK.57/AJ.206/BPTJ-2017 KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGELOLA TRANSPORTASI JAKARTA, BOGOR, DEPOK, TANGERANG DAN BEKASI NOMOR : SK.57/AJ.206/BPTJ-2017 TENTANG PENGOPERASIAN ANGKUTAN ORANG DENGAN MENGGUNAKAN TAKSI JABODETABEK DARI BANDAR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. LANDASAN TEORI 1) Pengertian Retribusi Daerah Retribusi Daerah menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang retribusi daerah, adalah pungutan daerah sebagai

Lebih terperinci