UJI BIOAKTIVITAS ZAT EKSTRAKTIF KAYU SUREN (Toona sureni Merr.) dan KI BONTENG (Platea latifolia BL.) MENGGUNAKAN BRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BSLT)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UJI BIOAKTIVITAS ZAT EKSTRAKTIF KAYU SUREN (Toona sureni Merr.) dan KI BONTENG (Platea latifolia BL.) MENGGUNAKAN BRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BSLT)"

Transkripsi

1 UJI BIOAKTIVITAS ZAT EKSTRAKTIF KAYU SUREN (Toona sureni Merr.) dan KI BONTENG (Platea latifolia BL.) MENGGUNAKAN BRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BSLT) SRI WAHYUNI MEILANI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

2 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Uji Bioaktivitas Zat Ekstraktif Kayu Suren (Toona sureni Merr.) dan Ki bonteng (Platea latifolia BL.) Menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2006 Sri Wahyuni Meilani NRP E

3 ABSTRAK SRI WAHYUNI MEILANI. Uji Bioaktivitas Zat Ekstraktif Kayu Suren (Toona sureni Merr.) dan Ki bonteng (Platea latifolia BL.) Menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Dibimbing oleh WASRIN SYAFII dan RITA KARTIKA SARI. Negara Indonesia dikenal dunia memiliki hutan hujan tropika yang kaya akan keanekaragaman flora. Bagian daun dan kulit batang pohon suren (Toona sureni Merr.) telah lama digunakan masyarakat umum sebagai obat tradisional (Sangat el al. 2000). Di hutan alam kawasan Gunung Salak, Jawa Barat ditemukan 112 jenis tumbuhan dari 49 famili yang berpotensi sebagai tumbuhan obat diantaranya ki bonteng (Platea latifolia BL.), karena mengandung senyawa alkaloid, flavonoid dan saponin yang merupakan kelompok senyawa bioaktif (Sugiana 2003). Maka perlu dilakukan penelitian mengenai bioaktivitas dari kedua jenis tersebut agar ditemukan senyawa kimia berkhasiat obat khususnya antikanker. Metode bioassay untuk menguji aktivitas antikanker ekstrak suatu tumbuhan adalah Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dengan menggunakan hewan uji Artemia salina Leach. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kandungan zat ekstrakif kulit dalam (inner bark) dan bagian teras cabang suren dan ki bonteng yang larut dalam pelarut aseton dan hasil fraksinasinya dengan pelarut n-heksana, etil-asetat serta residu dari ekstrak aseton tersebut serta untuk mengetahui bioaktivitas zat ekstraktif tersebut terhadap A. salina. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu ekstraksi serbuk (40-60 mesh) dari inner bark dan bagian teras cabang suren dan ki bonteng dengan menggunakan pelarut aseton dan kemudian fraksinasi dengan pelarut n- heksana dan etil asetat. Kemudian ekstrak dan fraksinya diujikan terhadap larva udang A. salina dan data mortalitas diolah dengan menggunakan analisis probit untuk mendapatkan nilai LC 50. Hasil ekstraksi dan fraksinasi menunjukkan bahwa inner bark suren mengandung 12,93 % ekstrak aseton yang terdiri dari 0,80 % fraksi n-heksana; 3,13 % fraksi etil asetat dan 3,94 % fraksi residu. Sedangkan bagian teras cabangnya mengandung 2,31 % ekstrak aseton dengan 0,18 % fraksi n-heksana; 1,42 % fraksi etil asetat dan 0,40 % fraksi residu. Untuk jenis ki bonteng, inner barknya mengandung 11,19 % ekstrak aseton dengan fraksi n-heksana 0,11 %; fraksi etil-asetat 1,47 % dan fraksi residu 3,19 %. Sedangkan bagian teras cabangnya mengandung 0,90 % ekstrak aseton dengan fraksi n-heksana 0,25 %; fraksi etil-asetat 0,41 % dan fraksi residu 0,16 %. Hasil uji BSLT terbaik adalah pada fraksi etil asetat inner bark suren (LC 50 0,0005 ppm). Semua fraksi pada ekstrak aseton bagian teras cabang suren bersifat sangat toksik dan toksik (LC 50 berturut-turut n-heksana, etil-asetat dan residu adalah 4,2595; 38,7593; 299,3360 ppm). Ekstrak aseton dan fraksi etil asetat inner bark ki bonteng tergolong toksik (LC ,7360 ppm dan 515,7250 ppm). Semua fraksi pada ekstrak aseton bagian teras cabang ki bonteng bersifat sangat toksik dan toksik (LC 50 berturut-turut n-heksana, etil-asetat dan residu adalah 18,2327; 515,7250; 511,8000 ppm). Perlu dilakukan isolasi dan identifikasi senyawa bioaktif dari ekstrak yang bersifat sangat toksik dan toksik.

4 UJI BIOAKTIVITAS ZAT EKSTRAKTIF KAYU SUREN (Toona sureni Merr.) dan KI BONTENG(Platea latifolia BL.) MENGGUNAKAN BRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BSLT) SRI WAHYUNI MEILANI E SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

5 LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian : Uji Bioaktivitas Zat Ekstraktif Kayu Suren (Toona sureni Merr.) dan Ki bonteng (Platea latifolia BL.) Menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Nama Mahasiswa : Sri Wahyuni Meilani NRP : E Disetujui, Komisi Pembimbing Prof.Dr.Ir.H.Wasrin Syafii, M.Agr Ketua Ir. Rita Kartika Sari, M.Si Anggota Diketahui, Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Prof.Dr.Ir. Cecep Kusmana, MS Tanggal : Tanggal lulus :

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pekanbaru, Riau pada tanggal 5 Mei Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Wahyono Wassim dan Tiasari Hasibuan. Penulis memulai pendidikan di TK Bhayangkari tahun 1989, tahun 1990 masuk Sekolah Dasar Negeri 004 Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir Propinsi Riau. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 2 Tembilahan kemudian pada tahun 2002 lulus dari SMU Negeri 2 Tembilahan. Pada tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama mahasiswa, penulis aktif pada Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan periode tahun sebagai staff Departemen Kesekretariatan dan Lembaga Kemahasiswaan Himpunan Profesi Mahasiswa Teknologi Hasil Hutan (HIMASILTAN) sebagai Kepala Departemen Kesekretariatan periode Selain itu, penulis juga aktif di berbagai kepanitiaan diantaranya Bina Corps Rimbawan 2003, Forester Cup 2003, pelepasan wisuda Fakultas Kehutanan 2004 dan KOMPAK THH Penulis pernah mengikuti kegiatan Field Trip di PT Trakindo Utama Bekasi, PT Inhutani II Bekasi, dan Pabrik Pengolahan Gondorukem dan Terpentin (PGT) Sindang Wangi, Nagrek, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Pada tahun 2005, penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) kelompok Getas II jalur Baturraden-Cilacap dan Kampus Lapangan UGM, di Getas, Ngawi, Jawa Timur. Selain itu, pada tahun 2006 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di HPHTI PT Arara Abadi (Sinar Mas Group) Perawang, Kabupaten Siak Propinsi Riau. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian yang berjudul Uji Bioaktivitas Kayu Suren (Toona sureni Merr.) dan Ki bonteng (Platea latifolia BL.) Menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), dibawah bimbingan Prof.Dr.Ir.H. Wasrin Syafii, M.Agr dan Ir. Rita Kartika Sari, M.Si.

7 PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Uji Bioaktivitas Zat Ekstraktif Kayu Suren (Toona sureni Merr.) dan Ki bonteng (Platea latifolia BL.) Menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) ini dengan sebaik-baiknya. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Bapak, mama, bang Febri, adek Rani tercinta, keluarga besar Wassim dan Dullah Sidik Hasibuan serta bang Neko yang telah memberikan doa, cinta kasih, perhatian, dukungan, semangat dan motivasinya kepada penulis. 2. Bapak Prof.Dr.Ir.H. Wasrin Syafii, M.Agr selaku pembimbing skripsi 1 dan Ibu Ir. Rita Kartika Sari, M.Si selaku pembimbing skripsi 2 atas segala perhatian, masukan, nasehat-nasehat dan bimbingannya. 3. Bapak Drs. Simon Taka Nuhamara, MS selaku dosen penguji dari Departemen Silvikultur dan Bapak Ir. Edhi Sandra, M.Si selaku dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. 4. Seluruh staf dan laboran laboratorium Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan atas bantuannya selama melaksanakan penelitian. 5. Nura, Fadli dan Ijul atas kerjasamanya selama penelitian. 6. Budi, Ieka, Tia, Nia, Chiput, Irma, Buyung, Rais, Doto dan keluarga besar THH 39 atas kekompakan serta kebersamaannya selama ± 4 tahun ini. 7. Neni, Vivi, Iera, Andri, Melin dan teman-teman di Puri Fikriyah atas bantuan, pengertian, dorongan semangat, dan canda tawanya. 8. Seluruh pihak yang telah membantu namun tidak dapat disebutkan satu persatu. Bogor, September 2006 Sri Wahyuni Meilani

8 DAFTAR ISI Halaman PRAKATA... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR LAMPIRAN... v PENDAHULUAN... 1 TINJAUAN PUSTAKA Tumbuhan Obat... 4 Deskripsi Suren (Toona sureni Merr.)... 4 Deskripsi Ki bonteng (Platea latifolia BL.)... 5 Ekstraksi... 5 Senyawa Bioaktif... 8 Ekstraktif Brine Shrimp Lethality Test Artemia salina Leach BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Uji Bioaktivitas dengan Brine Shrimp Lethality Test HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Fisik Inner bark dan Teras Cabang Kayu Suren (Toona sureni Merr.) dan Ki bonteng (Platea latifolia BL.) Kandungan Zat Ekstraktif Kandungan Zat Ekstraktif Kayu Suren Kandungan Zat Ekstraktif Kayu Ki bonteng Uji Bioaktivitas Zat Ekstraktif dengan Brine Shrimp Lethality Test SIMPULAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 44

9 DAFTAR TABEL Halaman 1. Nilai konstanta dielektrik, titik didih dan sifat kepolaran beberapa pelarut yang digunakan dalam penelitian ini Jenis kayu dengan diameter berbeda sebagai contoh uji Hasil analisis fisik kulit cabang kayu suren dan ki bonteng Hasil analisis fisik bagian teras cabang kayu suren dan ki bonteng Kandungan rata-rata ekstrak aseton inner bark dan teras cabang suren (T. sureni) serta hasil fraksinasinya Kandungan rata-rata ekstrak aseton inner bark dan teras cabang ki bonteng (P. latifolia) serta hasil fraksinasinya Nilai rata-rata mortalitas terkoreksi terhadap larva udang A. salina setelah diberikan zat ekstraktif kayu suren dan ki bonteng pada berbagai konsentrasi Hasil analisis probit fraksi teraktif ekstrak aseton kayu suren (T. sureni) dan ki bonteng (P. latifolia) Hasil uji fitokimia kulit batang suren (T. sureni) dan ki bonteng (P. latifolia)... 36

10 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Larva udang Artemia salina Leach Cabang kayu suren dan ki bonteng sebagai contoh uji Bagan kerja ekstraksi dan fraksinasi inner bark dan teras cabang suren dan ki bonteng Hubungan mortalitas larva udang Artemia salina Leach. dengan penambahan berbagai konsentrasi ekstrak yang terkandung dalam inner bark suren Hubungan mortalitas larva udang A. salina dengan penambahan berbagai konsentrasi ekstrak yang terkandung dalam teras cabang suren Hubungan mortalitas larva udang A. salina dengan penambahan berbagai konsentrasi ekstrak yang terkandung dalam inner bark ki bonteng Hubungan mortalitas larva udang A. salina dengan penambahan berbagai konsentrasi ekstrak yang terkandung dalam teras cabang ki bonteng... 35

11 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Nilai persentase kadar air (KA) suren (Toona sureni Merr.) dan ki bonteng (Platea latifolia BL.) Nilai persentase kadar ekstrak aseton suren dan ki bonteng Nilai persentase kadar ekstrak aseton suren dan ki bonteng pada fraksi n-heksana Nilai persentase kadar ekstrak aseton suren dan ki bonteng pada fraksi etil asetat Nilai persentase kadar ekstrak aseton suren dan ki bonteng pada fraksi residu Hasil uji mortalitas aseton inner bark dan teras cabang suren (Toona sureni Merr.) Hasil uji mortalitas aseton inner bark dan teras cabang suren (Toona sureni Merr.) fraksi n-heksana Hasil uji mortalitas aseton inner bark dan teras cabang suren (Toona sureni Merr.) fraksi etil asetat Hasil uji mortalitas aseton inner bark dan teras cabang suren (Toona sureni Merr.) fraksi residu Hasil uji mortalitas aseton inner bark dan teras cabang ki bonteng (Platea latifolia BL.) Hasil uji mortalitas aseton inner bark dan teras cabang ki bonteng (Platea latifolia BL.) fraksi n-heksana Hasil uji mortalitas aseton inner bark dan teras cabang ki bonteng (Platea latifolia BL.) fraksi etil asetat Hasil uji mortalitas aseton inner bark dan teras cabang ki bonteng (Platea latifolia BL.) fraksi residu Hasil minitab analisis probit pada suren Hasil minitab analisis probit pada ki bonteng... 67

12 PENDAHULUAN Latar Belakang Negara Indonesia dikenal dunia memiliki hutan hujan tropika yang kaya akan keanekaragaman flora. Diperkirakan flora Indonesia memiliki spesies tumbuhan berbunga. Ini suatu jumlah yang melebihi aneka flora dari negara-negara tropika lainnya di dunia. Dari jumlah tersebut, terdapat tidak kurang dari spesies tumbuhan yang dapat digunakan sebagai tumbuhan obat tradisional (Heyne 1987). Menurut Kassahara dan Hemmi (1986), dari jenis tumbuhan yang ditemukan di Indonesia, ± jenis (7.577 jenis) diantaranya adalah tumbuhan obat. Fransworth (1985) dalam Zuhud et al. (1994), menyatakan bahwa 74 % dari 121 bahan aktif obat modern di USA berasal dari pengetahuan obat tradisional yang berasal dari tumbuhan hujan tropika. Hal ini menunjukkan bahwa hutan tropika Indonesia sangat potensial mengandung berbagai senyawa bioaktif yaitu senyawa yang dalam kadar kecil dapat mempengaruhi fungsi fisiologi sel hidup. Oleh karena itu, keanekaragaman hayati hutan tropika Indonesia adalah sumber senyawa-senyawa metabolit sekunder (zat ekstraktif) yang tak ternilai jumlah jenisnya. Senyawa-senyawa ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat untuk mengatasi berbagai penyakit bahkan obat modern yang beredar di pasaran merupakan hasil eksplorasi zat ekstraktif tumbuhan yang terdapat di hutan tropis. Krisis ekonomi yang melanda serta kesadaran masyarakat untuk back to nature telah meningkatkan penggunaan tanaman obat baik untuk pencegahan maupun dalam pengobatannya. Dengan demikian, keanekaragaman tumbuhan obat tersebut sangatlah mungkin dimanfaatkan demi kesejahteraan umat manusia. Berdasarkan hasil penelitian Direktorat Aneka Usaha Kehutanan dan Fakultas Kehutanan IPB tahun 2000 yang dilakukan di Hutan Lindung Gunung Salak (tidak termasuk kawasan hutan UGI), menunjukkan bahwa kawasan hutan ini mempunyai potensi yang cukup besar sebagai sumber plasma nutfah tumbuhan obat. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya 117 jenis dari 60 famili tumbuhan obat sehingga kemudian kawasan hutan ini ditetapkan sebagai salah satu kawasan pengembangan wanafarma di Jawa Barat (Sugiana 2003). Penelitian Sugiana

13 (2003), menyatakan bahwa ditemukan 112 jenis tumbuhan dari 49 famili yang terdiri dari 62 jenis pohon, 20 jenis herba, 6 jenis perdu, 2 jenis semak, 8 jenis liana dan 14 jenis epifit yang berpotensi sebagai tumbuhan obat dan diantaranya adalah ki bonteng. Ki bonteng (Platea latifolia BL.) adalah salah satu jenis tumbuhan potensial berkhasiat obat yang ditemukan di Gunung Salak karena bagian kulit batang ki bonteng mengandung senyawa kimia kelompok alkaloid, flavonoid dan saponin. Bagian daun dan kulit batang pohon suren (Toona sureni Merr.) telah lama digunakan masyarakat umum sebagai obat mules, demam, kencing manis dan gondok (Sangat et al. 2000). Pada screening awal yang dilakukan Kardono et al. (2002), menunjukkan bahwa ekstrak metanol kulit kayu suren ini mengandung senyawa bioaktif antidiabetes. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa bagian kulit dan kayu suren mengandung senyawa kimia dari kelompok alkaloid, flavonoid dan saponin. Senyawa-senyawa tersebut merupakan kelompok senyawa bioaktif. Kelompok senyawa ini diduga memiliki sifat antidiabetes dan antikanker (Kardono et al dan Sajuthi 2001). Oleh karena itu, eksplorasi senyawa bioaktif terhadap kedua jenis tersebut perlu dilakukan dengan harapan ditemukan senyawa kimia yang berkhasiat obat, khususnya yang bersifat antikanker. Alasan dipilihnya eksplorasi zat ekstraktif sebagai obat antikanker karena jumlah penderita kanker yang terus meningkat (penambahan 7 juta orang/tahun), dan 2/3nya diperkirakan berasal dari negara berkembang termasuk Indonesia (Kupang Watch 2006). Untuk melihat adanya kemungkinan efek suatu ekstrak dapat digunakan penelusuran farmakologis-biologis dengan menguji ekstrak tersebut berdasarkan suatu metode bioassay (Bruhn 1991). Metode bioassay yang digunakan untuk uji bioaktivitas zat ekstraktif adalah dengan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dengan menggunakan larva udang Artemia salina Leach sebagai hewan uji. Alasan penggunaan BSLT ini adalah peka, cepat, sederhana dan dapat diulang tanpa terjadi penyimpangan. Serta metode bioassay ini sering dikaitkan sebagai metode identifikasi senyawa antikanker yang berasal dari tumbuhan (Wahyuno 1995). Hasil pengamatan dari uji ini adalah dari nilai LC 50 (Lethal Concentration

14 50 %) dan hasil BSLT ini berkorelasi positif dengan sifat antikanker senyawasenyawa kimia yang dikandung oleh bahan uji (Meyer et al.1982). Penelitian ini menggunakan kulit dalam (inner bark) dan bagian teras cabang kayu suren dan ki bonteng. Menurut Fengel dan Wegener (1995), inner bark kemungkinan mengandung jenis zat ekstraktif maupun komposisi berbeda dengan kulit bagian luarnya sehingga akan mengandung senyawa bioaktif yang berbeda jenis atau komposisinya. Harun dan Labosky (1985), menyatakan bahwa ada kemungkinan zat ekstraktif yang terdapat di dalam kayu juga terdapat di dalam kulit, mengingat pembentukan jaringan kayu dan kulit dimulai dari jaringan meristem sekunder yang sama. Fengel dan Wegener (1995) juga menyatakan bagian teras umumnya mengandung lebih banyak zat ekstraktif. Apabila inner bark dan teras cabang memiliki aktivitas dan kandungan senyawa bioaktif yang tidak berbeda dengan bagian batang maka kita dapat memanfaatkan tanaman tersebut sebagai obat tanpa melakukan penebangan. Sedangkan untuk memperoleh ekstrak yang mengandung senyawa kimia dari kelompok alkaloid, flavonoid, saponin, triterpenoid, dan senyawa bioaktif lainnya dari tumbuhan dibutuhkan pelarut yang aman, harganya tidak terlalu mahal, toksisitasnya rendah, daya larutnya tinggi dan tidak terlalu reaktif (Houghton dan Raman 1998). Maka pelarut aseton dipilih sebagai pelarut dalam penelitian ini, dan untuk memperoleh fraksi-fraksinya digunakan pelarut n-heksana dan etil-asetat yang mewakili pelarut yang bersifat non-polar dan polar. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan zat ekstraktif kulit dalam (inner bark) dan bagian teras cabang suren (T. sureni) dan ki bonteng (P. latifolia) yang larut dalam pelarut aseton dan hasil fraksinasinya dengan pelarut n-heksana, etil asetat dan residunya serta untuk menguji bioaktivitas zat ekstraktif tersebut terhadap Artemia salina Leach. melalui pengujian BSLT.

15 TINJAUAN PUSTAKA Tumbuhan Obat Pengertian tumbuhan obat adalah semua tumbuhan, baik yang sudah ataupun yang belum dibudidayakan yang dapat digunakan sebagai obat, berkisar dari yang terlihat mata hingga yang nampak di bawah mikroskop (Hamid et al. 1991). Menurut Zuhud et al. (1994), tumbuhan obat adalah seluruh spesies tumbuhan obat yang diketahui atau dipercaya mempunyai khasiat obat yang dikelompokkan menjadi : Tumbuhan obat tradisional, yaitu spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercaya oleh masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. Tumbuhan obat modern, yaitu spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis. Tumbuhan obat potensial, yaitu spesies tumbuhan obat yang diduga mengandung senyawa/bahan aktif yang berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan secara ilmiah/medis atau penggunaannya sebagai bahan obat tradisional sulit ditelusuri Jumlah tumbuhan dan tanaman obat di Indonesia tercatat berkisar antara ratusan sampai ribuan jenis. Dalam buku Medicinal Herbs Index in Indonesia tercantum jenis tumbuhan yang dikenal dan ditemukan di Indonesia, walaupun tidak seluruhnya berasal dari Indonesia (Heyne 1987). Deskripsi Suren (Toona sureni Merr.) Tanaman suren termasuk famili Meliaceae dengan genus Toona. Di Indonesia tanaman ini dikenal dengan nama suren (Jawa), surian (Kalimantan) atau mapala/molopaga (Sulawesi). Daerah penyebaran pohon suren di seluruh Indonesia. Pohon suren memiliki ciri utama warna kayu merah seperti daging direbus, riap tumbuhnya jelas, susunan pori tata lingkar dan isi porinya berupa endapan merah kecoklatan. Suren merupakan tanaman tahunan cepat tumbuh

16 yang berbentuk pohon dengan tinggi mencapai 20 m dan tumbuh baik di dataran rendah hingga ketinggian m dpl. Sifat dan kegunaan kayu suren adalah berat jenis : rata-rata 0,39 (0,27-0,67); kelas awet : IV/V; kelas kuat : IV. Kegunaan : bahan bangunan ringan (termasuk lemari), dinding hias, langit-langit, peti teh, kotak cerutu, bangunan kapal dan perahu dayung, alat musik (antara lain piano), vinir lapisan muka kayu lapis dan ukiran (Newman et al. 1999). Suren memiliki kandungan bahan surenon, surenin dan surenolakton yang berperan sebagai penghambat pertumbuhan, insektisida dan antifeedant (menghambat daya makan) terhadap larva serangga uji ulat sutera (Dinata 2005). Suren telah dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai tumbuhan yang berkhasiat obat. Bagian kulitnya digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit, misalnya oleh suku Rejang Lebong (Bengkulu) untuk mules, suku Jawa untuk demam, suku Bali untuk kencing manis (diabetes mellitus) dan oleh suku Samawa (NTB) untuk menyembuhkan penyakit gondok (Sangat et al. 2000). Deskripsi Ki bonteng (Platea latifolia BL.) Menurut Heyne (1987), ki bonteng termasuk famili Icacinaceae dengan genus Platea. Nama daerah sunda : Ki kadanca. Pohon ki bonteng dikenal dengan raksasa rimba karena batangnya berbentuk tiang, perawakan pohon ini sangat besar dengan tinggi lebih besar dari 40 m, diameter batang setinggi dada 1,50 m dan terdapat di seluruh pulau Jawa pada ketinggian antara dan m dpl. Kayunya yang berbau seperti kumarin, bisa terdapat dalam ukuran yang sangat besar akan tetapi kayu ini tidak awet di cuaca terbuka. Di daerah Priangan, ki bonteng dianggap dapat digunakan untuk pekerjaan dibawah atap. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, walaupun banyak terdapat di sana namun namanya tidak dikenal oleh masyarakat (Heyne 1987). Ekstraksi Ekstraksi kayu meliputi sejumlah besar senyawa berbeda yang dapat diekstraksi dari kayu dengan menggunakan pelarut polar dan non-polar. Ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan dengan pelarut yang berbeda seperti eter, aseton,

17 benzena, etanol, diklorometana atau campuran dari pelarut-pelarut tersebut. Asam lemak, asam resin, lilin, tannin, dan senyawa berwarna merupakan senyawasenyawa yang paling penting yang dapat diekstraksi dengan pelarut. Komponen utama dari bagian kayu yang dapat larut dalam air terdiri atas karbohidrat, protein dan garam-garam an-organik (Fengel dan Wegener 1995). Ekstraksi adalah suatu metode pemisahan komponen-komponen dari suatu campuran dimana komponen yang larut masuk ke dalam pelarut yang dipakai sedangkan komponen yang tidak larut akan tertinggal di dalam bahan. Metode yang paling sederhana yang digunakan untuk mengekstraksi padatan adalah mencampurkan seluruh bahan dengan pelarut, kemudian memisahkannya dari padatan yang tidak terlarut (Lehniger dan Baverloo 1976). Hasil ekstraksi yang diperoleh bergantung pada kandungan ekstrak yang terdapat pada contoh uji dan jenis pelarut yang digunakan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas, kapasitas, kemudahan untuk diuapkan dan harga pelarut tersebut. Prinsip kelarutan adalah like dissolve like, yaitu (1) pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, demikian juga sebaliknya pelarut non-polar akan melarutkan senyawa non-polar, (2) pelarut organik akan melarutkan senyawa organik (Khopkar 1990 dalam Yunita 2004). Ekstraksi obat dari tumbuhan dengan ekstraksi cair tergolong sebagai jenis ekstraksi cairan-padat (liquid-solid extraction). Tujuan metode ekstraksi ini adalah mengeluarkan bahan yang diinginkan dari sel-sel dengan proses difusi. Prinsip dari cara ini adalah untuk tercapainya keseimbangan konsentrasi bahan dalam pelarut pada batas yang diinginkan. Hasil ekstraksi dari proses ini dipengaruhi oleh suhu, ph, ukuran bahan yang akan diekstraksi dan gerakan pelarut yang terjadi di sekitarnya. Parameter yang juga sangat penting dalam ekstraksi adalah pemilihan pelarut. Suatu pelarut ideal adalah yang memiliki selektivitas tinggi yakni untuk memisahkan senyawa dengan bobot molekul rendah, seperti alkaloid, saponin dan terpentin, pelarut yang paling baik digunakan adalah alkohol alifatik dengan maksimum 3 atom karbon atau campuran dari pelarut itu dengan air (Bombardelli 1991). Tahapan yang harus diperhatikan dalam mengekstraksi jaringan tumbuhan adalah penyiapan bahan sebelum ekstraksi yang meliputi penghalusan atau

18 pengrajangan simplisia, pemilihan pelarut dan kondisi ekstrak, proses pengambilan pelarut, pengawasan mutu dan pengujian serta usulan proses ekstraksi yang akan digunakan (Sabel dan Warren 1973). Prosedur klasik untuk memperoleh kandungan senyawa organik dari jaringan tumbuhan kering adalah dengan proses ekstraksi berkesinambungan dengan menggunakan sederetan pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya (Harborne 1987). Polaritas sering diartikan sebagai adanya pemisahan kutub muatan positif dan negatif dari suatu molekul sebagai akibat terbentuknya konfigurasi tertentu dari atom-atom penyusunnya. Dengan demikian, molekul tersebut dapat tertarik oleh molekul yang lain yang juga mempunyai polaritas yang kurang lebih sama. Besarnya polaritas dari suatu zat pelarut proporsional dengan besarnya konstanta dielektriknya (Adnan 1997). Menurut Stahl (1985), konstanta dielektrik (ε) merupakan salah satu ukuran kepolaran pelarut yang mengukur kemampuan pelarut untuk menyaring daya tarik elektrostatik antara isi yang berbeda. Kemampuan zat cair melarutkan zat padat ion sangat bergantung, walaupun tidak semata-mata bergantung pada tetapan dielektriknya. Dalam penelitian ini digunakan pelarut aseton dikarenakan pelarut ini memiliki sifat antara lain nilai polaritas dan konstanta dielektrik yang tinggi, dapat dicampur dengan air dalam berbagai perbandingan dan merupakan pelarut yang baik (Lestari 2003). Menurut Reichardt (1998), aseton sebagai pelarut organik lebih aman bagi kesehatan dibandingkan dengan pelarut kloroform, benzena dan toluena. Pelarut aseton mempunyai toksisitas yang lebih rendah (1.000 ppm) dibandingkan dengan benzena (8 ppm), kloroform (10 ppm) dan toluena (200 ppm). Nilai konstanta dielektrik, titik didih dan sifat kepolaran beberapa pelarut yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Nilai konstanta dielektrik, titik didih dan sifat kepolaran beberapa pelarut yang digunakan dalam penelitian ini Nama Pelarut Nilai konstanta dielektrik (ε) Titik didih ( o C) 1) Sifat kepolaran 2) Aseton N-Heksana Etil Asetat 20,70 1,89 6,02 56,3 68,7 77,1 Polar Non polar Semi polar Sumber : 1) Houghton dan Raman (1998) 2) Reichardt (1988)

19 Senyawa Bioaktif Senyawa bioaktif merupakan senyawa yang mempunyai aktivitas biologis terhadap organisme lain atau pada organisme yang menghasilkan senyawa tersebut. Senyawa bioaktif hampir selalu toksik pada dosis tinggi. Setiap zat kimia, termasuk senyawa aktif dari tumbuhan pada dasarnya bersifat racun, tergantung pada penggunaan, takaran, pembuatan, cara pemakaian dan waktu yang tepat untuk mengkonsumsi. Beberapa tanaman dikenal menghasilkan senyawa bioaktif yang mempunyai berbagai aktivitas bioaktif termasuk antikanker yang pada umumnya berupa senyawa-senyawa flavonoid, glikosida, steroid alkaloid dan terpenoid (Kurz dan Constabel 1998). Alkaloid Menurut Harborne (1987), alkaloid sekitar jenis telah diketahui dan merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Tidak ada satupun istilah alkaloid yang memuaskan, tetapi pada umumnya alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid seringkali bersifat racun bagi manusia dan banyak mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol yang secara luas banyak digunakan dalam bidang pengobatan. Alkaloid biasanya tanpa warna, seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar. Uji sederhana yang sama sekali tidak sempurna, untuk alkaloid dalam daun atau buah segar adalah rasa pahitnya di lidah. Misalnya, alkaloid kuinina adalah zat yang dikenal paling pahit dan pada konsentrasi molar 1x10-3 memberikan rasa pahit yang berarti. Alkaloid dahulu sebagai sumber utamanya hanya berasal dari tanaman yang berbunga (angiospermae). Tetapi pada dewasa terakhir, ternyata alkaloid ditemukan juga dalam beberapa jenis hewan baik yang hidup di laut maupun di darat, berupa serangga, makroorganisme dan tanaman rendah lainnya (Pandji 1989). Alkaloid dapat ditemukan dalam berbagai bagian tumbuhan seperti biji, daun, ranting dan kulit kayu. Alkaloid memang jarang ditemukan dalam jaringan mati. Umumnya alkaloid terakumulasi dalam jaringan yang tumbuh aktif seperti epidermis, hipodermis dan kelenjar lateks. Adapun fungsi alkaloid dalam

20 tumbuhan belum diketahui begitu pasti, walaupun beberapa senyawa ditafsirkan berperan sebagai pengatur, atau penolak dan pengikat serangga. Sampai saat ini, penggolongan senyawa alkaloid belum ada yang digunakan secara umum. Hal ini disebabkan karena alkaloid mempunyai struktur yang banyak jenisnya, sehingga penggolongan alkaloid berdasarkan strukturnya untuk membedakan jenis yang satu dengan yang lain sukar dilakukan (Suradikusumah 1989). Dalam pengobatan, alkaloid memberikan efek fisiologis yang pada umumnya di susunan syaraf pusat, misalnya sebagai obat anti rasa sakit dan obat tidur, dalam jumlah besar sangat beracun bagi manusia (Vicker dan Vickery 1981). Menurut Sumiwi (1992), fungsi alkaloid bagi tumbuhan antara lain sebagai zat beracun untuk melawan serangga atau hewan pemakan tumbuhan, faktor pengatur tumbuh, substansi cadangan untuk memenuhi kebutuhan akan nitrogen dan elemen-elemen lain yang penting bagi tumbuhan dan hasil akhir reaksi detoksifikasi dari suatu zat yang berbahaya bagi tumbuhan. Flavonoid Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Mereka dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amonia; jadi mereka mudah dideteksi pada kromatogram atau dalam larutan (Harborne 1987). Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonyugasi dan karena itu menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak. Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid yang manapun mungkin saja terdapat dalam satu tumbuhan dalam beberapa bentuk kombinasi glikosida. Karena alasan itu, maka dalam menganalisis flavonoid biasanya lebih baik kita memeriksa aglikon yang terdapat dalam ekstrak tumbuhan yang telah dihidrolisis sebelum memperhatikan kerumitan glikosida yang mungkin terdapat dalam ekstrak asal (Harborne 1987). Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan. Disamping itu,

21 sering terdapat campuran yang terdiri atas flavonoid yang berbeda kelas. Antosianin berwarna yang terdapat dalam daun bunga hampir selalu disertai oleh flavon atau flavonol tanpa warna. Hasil penelitian akhir-akhir ini telah membuktikan bahwa flavon merupakan ko-pigmen penting, karena sangat diperlukan untuk menyatakan warna antosianin secara penuh dalam jaringan bunga. Biasanya antosianin juga terdapat sebagai campuran, terutama dalam bunga, dan suatu jaringan bunga dapat mengandung sampai sepuluh pigmen yang berlainan (Harborne 1987). Pada tumbuhan, flavonoid dapat meningkatkan dormansi, meningkatkan pembelahan sel-sel kalus, sebagai enzim penghambat pembentukkan protein, menghasilkan zat warna pada bunga, untuk merangsang serangga, burung dan satwa lainnya untuk mendatangi tumbuhan tersebut sebagai agen dalam penyerbukan dan penyebaran biji. Dalam dunia pengobatan, beberapa senyawa flavonoid berfungsi sebagai antibodi, misalnya antivirus dan jamur, peradangan pembuluh darah dan dapat digunakan sebagai racun ikan (Vickery dan Vickery 1981). Saponin Saponin termasuk dalam golongan senyawa terpenoid dan bagian dari triterpenoid (diturunkan dari hidrokarbon C 30 ). Saponin merupakan glikosida triterpenoid dan sterol. Senyawa ini merupakan senyawa aktif permukaan yang bersifat seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa yang stabil dan dapat menghemolisis sel darah. Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstrak tumbuhan atau pemekatan ekstrak tumbuhan merupakan bukti adanya saponin. Untuk uji saponin yang sederhana adalah dengan menggunakan ekstrak alkohol, air dari tumbuhan dalam tabung reaksi dan perhatikan terbentuknya busa yang tahan lama pada permukaan cairan (Harborne 1987). Pada tumbuhan, saponin mempunyai fungsi yang sama dengan triterpenoid karena mengandung turunan dari senyawa ini, diantaranya dapat meningkatkan daya kecambah benih dan menghambat pertumbuhan akar, menghambat pertumbuhan sel-sel tumor pada tumbuhan dan satwa. Saponin digunakan sebagai bahan pencuci karena memiliki sifat emulsi, dapat digunakan

22 untuk meningkatkan kolesterol serum, sebagai zat antibiotik, tahan jamur, anti influenza dan peradangan tenggorokan, sebagai bahan dasar untuk mendapatkan sapogenin yang berguna untuk menghasilkan hormon pertumbuhan pada satwa dan dapat digunakan sebagai racun ikan (Vickery dan Vickery 1981). Triterpenoid dan Steroid Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang nisbi rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan aktif optik, yang umumnya sukar dicirikan karena tak ada kereaktifan kimianya. Uji yang banyak digunakan adalah reaksi Lieberman-Burchard (anhidrida asetat-h2so4 pekat) yang dengan kebanyakan triterpena dan sterol memberikan warna hijau-biru. Sterol dianggap senyawa satwa (sebagai hormon kelamin, asam empedu dan lainlain), tetapi pada tahun-tahun terakhir ini makin banyak senyawa tersebut yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan. Memang tiga senyawa yang biasa disebut fitosterol mungkin terdapat pada setiap tumbuhan tinggi : sitosterol, stigma sterol dan kampesterol (Harborne 1987). Triterpenoid dan turunannya termasuk saponin dan steroid pada tumbuhan berfungsi sebagai racun serangga, bakteri dan jamur. Steroid dapat meningkatkan permeabilitas membran sel dan merangsang proses pembungaan. Dalam pengobatan, senyawa ini berguna sebagai zat antibiotik diantaranya anti jamur, bakteri dan virus. Steroid dapat merangsang aktivitas hormon estrogen dan progesteron pada satwa dan manusia. Steroid menjadi sumber energi bagi mikroorganisme pada pengurai (Vickery dan Vickery 1981). Ekstraktif Kayu mengandung endapan yang bervariasi (umumnya bahan organik) yang gabungannya disebut ekstraneous atau ekstraktif. Bahan tersebut bukan merupakan bahan penyusun kayu, tetapi terdapat dalam rongga sel dan dinding sel. Ekstraktif merupakan kelompok dari berbagai komposisi kimia, seperti gum,

23 lemak, resin, gula, minyak, pati, alkaloid dan tannin. Istilah ekstraktif didasarkan kepada kemungkinannya (bagian kecil) diekstraksi dari kayu dengan air dingin atau panas, atau pelarut netral seperti alkohol, benzen, aseton dan lain-lain. Proporsi ekstraktif bervariasi mulai kurang dari 1 % (sebagai contoh poplar) hingga lebih dari 10 % (sebagai contoh redwood) berdasarkan berat kering tanur kayu. Untuk beberapa jenis dari daerah tropis bisa terdapat sekitar 20 %. Adanya variasi tidak hanya terdapat diantara spesies tetapi juga dalam pohon yang sama terutama diantara kayu gubal dan kayu teras (Tsoumis 1991). Menurut Fengel dan Wegener (1995), kandungan ekstraktif dalam kulit lebih tinggi daripada dalam kayu. Ia tidak hanya tergantung pada spesies tetapi juga pada pelarut yang digunakan. Keanekaragaman senyawa yang dapat diekstraksi biasanya membutuhkan serangkaian ekstraksi yang hasilnya memberikan ciri awal komposisinya. Hal yang mempengaruhi kandungan zat ekstraktif dalam kayu diantaranya adalah umur, site (tempat tumbuh), genetik, posisi dalam pohon, jenis pelarut yang digunakan dan kecepatan pertumbuhan. Brine Shrimp Lethality Test Menurut Meyer et al. (1982), uji bioaktivitas menggunakan larva udang Artemia salina Leach dikenal dengan istilah Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). BSLT adalah suatu metode penelusuran untuk menentukan bioaktivitas suatu ekstrak ataupun senyawa terhadap larva udang dari A. salina. Metode ini berkembang sebagai salah satu metode bioassay dalam mengisolasi senyawa aktif yang terdapat dalam suatu ekstrak tanaman. Lebih jauh lagi bioassay ini sering dikaitkan sebagai metode identifikasi senyawa anti kanker berasal dari tumbuhan. Uji bioaktivitas dengan menggunakan larva udang memiliki spektrum farmakologi yang luas, sederhana prosedurnya, cepat, tidak memerlukan biaya yang besar dan hasilnya dapat dipercaya. Uji mortalitas larva udang merupakan salah satu metode uji bioaktif pada penelitian senyawa bahan alam. Penggunaan larva udang untuk kepentingan studi bioaktivitas sudah dilakukan sejak tahun 1956 dan sejak saat itu telah banyak dilakukan pada studi lingkungan, toksisitas dan penapisan senyawa bioaktif dari

24 jaringan tanaman. Uji ini merupakan uji pendahuluan untuk mengamati aktivitas farmakologi suatu senyawa. Adapun penerapan untuk sistem bioaktivitas dengan menggunakan larva udang tersebut, antara lain untuk mengetahui residu pestisida, anastetik lokal, senyawa turunan morpin, mikotoksin, karsinogenitas suatu senyawa dan polutan untuk air laut serta sebagai alternatif metode yang murah untuk uji sitotoksisitas (Hamburger dan Hostettmann 1991). Senyawa aktif yang memiliki daya bioaktivitas tinggi diketahui berdasarkan nilai Lethal Concentration 50 % (LC 50 ), yaitu suatu nilai yang menunjukkan konsentrasi zat toksik yang dapat menyebabkan kematian hewan uji sampai 50 %. Data mortalitas yang diperoleh kemudian diolah dengan probit analisis yang dirumuskan oleh Finney (1971) untuk menentukan nilai LC 50 pada derajat kepercayaan 95 %. Senyawa kimia berpotensi bioaktif jika mempunyai nilai LC 50 kurang dari ppm (Meyer et al. 1982). Artemia salina Leach. Menurut Mudjiman (1983), udang renik asin (brine shrimp) atau artemia adalah udang-udangan tingkat rendah yang hidup sebagai zooplankton yang menghuni perairan-perairan yang berkadar garam tinggi (salina), baik dekat pantai maupun jauh di Pedalaman laut. Artemia salina Leach. diklasifikasikan sebagai berikut : filum : Arthropoda kelas : Crustacea subklas : Branchipoda ordo : Anostraca famili : Artemiidae genus : Artemia species : Artemia salina Leach. Gambar 1. Larva A. salina Keunggulan penggunaan A. salina untuk uji BSLT ini ialah sifatnya yang peka terhadap bahan uji, waktu siklus hidup yang lebih cepat, mudah dibiakkan dan harganya yang murah. Sifat peka A. salina kemungkinan disebabkan oleh

25 keadaan membran kulitnya yang sangat tipis sehingga memungkinkan terjadinya difusi zat dari lingkungan yang mempengaruhi metabolisme dalam tubuhnya. A. salina ditemukan hampir pada seluruh tempat di permukaan perairan di bumi yang memiliki kisaran salinitas g/l, hal inilah yang menyebabkannya mudah dibiakkan. Telur A. salina terlihat seperti partikel-partikel kecil berwarna coklat dengan diameter kira-kira 0,20 mm. Partikel-partikel tersebut akan naik ke permukaan dan akhirnya tersapu ke darat oleh angin ketika terjadi penguapan air pada musim-musim tertentu di wilayah perairan yang memiliki kadar garam tinggi. Telur-telur tersebut dapat dikumpulkan dan dipisahkan dari pasir dan kotoran lainnya dengan cara pengayakan. Telur-telur tersebut memiliki resistensi yang tinggi terhadap kondisi ekstrim dan dapat disimpan dalam waktu yang lama, jika telur-telur tersebut berada dalam keadaan bebas air. Uji BSLT dengan menggunakan A. salina dilakukan dengan menetaskan telur-telur tersebut dalam air laut yang dibantu dengan aerasi. Telur A. salina akan menetas sempurna menjadi larva dalam waktu 24 jam. A. Salina yang baik digunakan untuk uji BSLT ialah yang berumur 48 jam sebab jika lebih dari 48 jam dikhawatirkan kematian A. salina bukan disebabkan toksisitas ekstrak melainkan oleh terbatasnya persediaan makanan (Meyer et al. 1982). Larva yang baru saja menetas berbentuk bulat lonjong dan berwarna kemerah-merahan dengan panjang 400 μm dengan berat 15 μg. Anggota badannya terdiri dari sepasang sungut kecil (anteluena atau antena I) dan sepasang sungut besar (antena atau antena II). Di bagian depan diantara kedua sungut kecil tersebut terdapat bintik merah yang berfungsi sebagai mata (oselus). Di belakang sungut besarnya terdapat sepasang mandibula (rahang) yang kecil, sedangkan di bagian perut (ventral) sebelah depan terdapat labrum (Mudjiman 1983).

26 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor pada bulan Juni - Agustus Bahan dan Alat Penelitian ini dimulai dengan pengadaan bahan baku yaitu bagian cabang kayu suren (Toona sureni Merr.) dan ki bonteng (Platea latifolia BL.) yang berasal dari hutan alam di sekitar Gunung Salak Sukabumi. Secara administrasi letak lokasi pengadaan bahan baku ini adalah di Wana Wisata Perhutani Cangkuang, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak pada LS sampai LS dan BT sampai BT pada ketinggian m dpl. Menurut tipe iklim Schmidt dan Fergusson, Gunung Salak termasuk tipe iklim A sedangkan menurut tipe iklim Mohr termasuk iklim bulan basah sepanjang tahun. Suhu rata-rata 25,5 o C dan kelembaban udara rata-rata 85,5 % dengan curah hujan rata-rata mm/thn (Sugiana 2003). Contoh uji diperoleh dari dua bagian dari cabang yang diambil, yaitu kulit bagian dalam (inner bark) dan teras cabang kayu suren dan ki bonteng. Dari dua jenis kayu tersebut diambil masing-masing tiga bagian cabang dari pohon yang berbeda dengan jenis yang sama. Ketiga bagian tersebut digunakan sebagai ulangan (Gambar 2). Sedangkan diameter cabang yang digunakan dalam penelitian ini tertera pada Tabel 2. Gambar 2. Cabang kayu suren dan ki bonteng sebagai contoh uji

27 Tabel 2. Jenis kayu dengan diameter berbeda sebagai contoh uji Jenis Kayu Diameter Pohon (cm) Diameter Cabang (cm) Suren (T. sureni) ,5 Suren (T. sureni) Suren (T. sureni) Ki bonteng (P. latifolia) ,5 Ki bonteng (P. latifolia) Ki bonteng (P. latifolia) Semua contoh uji dipotong-potong menjadi serpihan dan dikering udarakan. Apabila sudah kering, kemudian contoh uji digiling dengan menggunakan hammer mill dan disaring sehingga masing-masing contoh uji berbentuk serbuk dengan ukuran yang seragam (40-60 mesh) sebanyak g untuk bagian teras cabang dan + 50 g untuk inner bark. Bahan lainnya yang digunakan adalah telur A. salina, pelarut netral seperti aseton, n-heksana dan etil asetat. Peralatan yang digunakan adalah alat pembuat serbuk (willey mill dan hammer mill), peralatan gelas (labu erlenmeyer, tabung reaksi, cawan petri, gelas piala, gelas ukur, pipet volumetrik dll), perangkat ekstraksi, alat timbangan dan rotary evaporator. Metode Penelitian Adapun rangkaian metode penelitian dimulai dengan penyiapan serbuk, ekstraksi dan fraksinasi serta uji bioaktivitas ekstrak dengan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Penyiapan Serbuk Bagian inner bark suren dan ki bonteng dirajang dan bagian teras cabangnya dipotong-potong sebesar batang korek api lalu dikering udarakan, kemudian digiling dengan Willey mill dan disaring dengan menggunakan Hammer mill berukuran mesh untuk mendapatkan serbuk dengan ukuran yang seragam.

28 Ekstraksi dan Fraksinasi Serbuk bagian inner bark dan teras cabang kayu suren dan ki bonteng yang telah diketahui kadar airnya untuk mengoreksi berat serbuk yang digunakan sehingga diperoleh residu serbuk dengan bobot yang tepat diekstraksi. Teknik ekstraksi yang dilakukan adalah dengan cara maserasi yaitu dengan merendam serbuk dalam 1 liter pelarut selama 1 hari. Serbuk inner bark suren dan ki bonteng sebanyak ± 50 g diekstraksi dengan ± 200 ml aseton dan ± 300 g serbuk teras cabangnya diekstraksi dengan ± ml aseton. Pelarut yang digunakan adalah aseton teknis yang telah dimurnikan dengan cara penyulingan. Serbuk direndam dengan menggunakan pelarut aseton hingga seluruh bahan terendam dan lakukan pengadukan sedikit agar pelarut mengenai seluruh bahan. Perendaman dengan menggunakan aseton dilakukan berulang-ulang hingga diperoleh larutan yang tidak berwarna atau jernih (warna pelarut sama seperti warna asalnya). Ekstrak aseton yang dihasilkan kemudian dipekatkan dengan menggunakan rotary vaccum evaporator pada suhu o C dan selanjutnya dilakukan pengeringan dalam oven pada suhu sekitar 40 o C. Kemudian ditimbang bobotnya untuk mendapatkan kadar ekstrak kasar. Ekstrak kasar yang diperoleh difraksinasi secara berturut-turut dengan menggunakan pelarut n-heksana dan etil asetat. Fraksinasi yang dilakukan adalah dengan cara memasukkan larutan yang telah kental ke dalam funnel separator. Ekstrak aseton yang dihasilkan dimasukkan ke dalam funnel dan ditambahkan sebanyak pelarut n-heksana : aquades : aseton (perbandingan 2:1:1). Campuran dikocok dan dibiarkan hingga terjadi pemisahan, selanjutnya fraksi terlarut dalam n-heksana dipisahkan dari residunya dan dimasukkan ke dalam labu. Fraksinasi dengan menggunakan n-heksana dilakukan hingga larutan berwarna jernih dan selanjutnya fraksi terlarut n-heksana ini dipekatkan dengan menggunakan rotary vaccum evaporator pada suhu o C. Selanjutnya dilakukan pengeringan di oven pada suhu sekitar 40 o C. Kemudian ditimbang bobotnya untuk mendapatkan kadar fraksi terlarut dalam n-heksana Fraksinasi berikutnya dengan menggunakan pelarut etil asetat. Residu hasil fraksinasi dengan n-heksana ditambahkan dengan 50 ml etil asetat (perbandingan 1:1). Selanjutnya campuran dikocok dan dibiarkan hingga terjadi pemisahan

29 seperti fraksi dengan n-heksana. Setelah terjadi pemisahan, fraksi terlarut etil asetat dimasukkan ke dalam botol yang tertutup rapat. Fraksinasi dilakukan hingga larutan berwarna jernih. Fraksi yang terpisah dipisahkan menjadi fraksi pada bagian atas funnel merupakan fraksi etil asetat sedangkan fraksi yang berada dibagian bawah funnel merupakan residu. Selanjutnya sama dengan fraksi terlarut n-heksana, fraksi terlarut etil asetat ini dipekatkan dengan menggunakan rotary vaccum evaporator pada suhu o C. Kemudian dilakukan pengeringan dalam oven pada suhu sekitar 40 o C dan ditimbang bobotnya untuk mendapatkan kadar fraksi terlarut dalam etil asetat. Untuk lebih jelasnya, tahapan fraksinasi dengan menggunakan pelarut di atas secara skematis dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini. Serbuk kulit dalam dan teras cabang (40-60 mesh) Ekstrak kasar* Maserasi Aseton 1 l, evaporasi sampai bening Fraksinasi n-heksana:aquades:aseton 25 ml, evaporasi sampai bening Fraksi n-heksana * Residu Fraksinasi etil asetat 50 ml, evaporasi Fraksi etil asetat* Residu * Uji Antikanker (Brine Shrimp Lethality Test) Gambar 3. Bagan kerja ekstraksi & fraksinasi inner bark dan teras cabang suren dan ki bonteng.

30 Penentuan Kadar Ekstraktif Kandungan zat ekstraktif pada tiap-tiap fraksi dihitung terhadap bobot kering tanur. Ekstrak aseton, fraksi n-heksana, fraksi etil asetat dan residu yang telah dikeringkan dalam oven 40 o C ditimbang untuk menghitung kadar ekstraknya. Mahmudah (2003), menyatakan bahwa kadar ekstraktif dari hasil ekstraksi dihitung terhadap kering tanur serbuk dengan menggunakan rumus : Kadar Ekstraktif = (Wa/Wb) x 100% Keterangan : Wa = berat padatan ekstraktif (g) Wb = berat kering tanur serbuk (g) Uji Bioaktivitas dengan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) Ekstrak yang diperoleh dari ekstraksi pelarut aseton, n-heksana dan etil asetat kemudian diuji bioaktivitasnya dengan menggunakan larva udang. Telur udang ditetaskan di dalam gelas piala ukuran 1 l yang diisi air laut dilengkapi dengan aerator dan lampu penerangan dan dalam 24 jam telur akan menetas menjadi larva udang kemudian dilakukan penyiapan larutan ekstrak uji. Pengujian dilakukan dengan 6 variasi konsentrasi, yaitu ppm, 500 ppm, 200 ppm, 100 ppm, 20 ppm dan 10 ppm. Untuk membuat berbagai konsentrasi ekstrak maka terlebih dulu membuat larutan induk ekstrak ppm dengan cara : sebanyak 10 mg ekstrak kering dilarutkan dalam 5 μl aseton dan tambahkan air laut hingga menjadi 5 ml larutan ekstrak untuk mendapatkan kadar ppm larutan induk. Dari larutan induk ekstrak tersebut dipipet 500, 250, 100, 50, 10, 5 μl ke dalam vial sehingga konsentrasi ekstrak menjadi 1.000, 500, 200, 100, 20, 10 μg/ml (ppm) setelah ditambahkan air laut hingga 1 ml. Sebelum dimasukkan larutan ekstrak dan air laut, terlebih dahulu dimasukkan larva udang sebanyak 10 ekor ke dalam vial, hal ini dilakukan agar konsentrasi tepat dan udang tidak mendapat konsentrasi larutan yang terlalu tinggi sebelum penambahan air laut hingga 1 ml. Setiap ekstrak dari tiap pohon diuji dan ditambah 1 kontrol, sehingga ada 3 contoh uji dan 1 kontrol. Kontrol dikerjakan tanpa penambahan ekstrak. Setiap

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan selama lima bulan dari bulan Mei hingga September 2011, bertempat di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Bengkel Teknologi Peningkatan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) Abstrak Kulit buah langsat diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut yang berbeda

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Prosedur Penelitian Persiapan Bahan Baku

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Prosedur Penelitian Persiapan Bahan Baku BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan April sampai dengan bulan November 2011 di Laboratorium Kimia Hasil Hutan dan Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suren ( Toona sureni Merr.)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suren ( Toona sureni Merr.) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suren (Toona sureni Merr.) Pohon Suren merupakan salah satu jenis pohon dari famili Meliaceae. Pohon ini merupakan salah satu jenis yang berasal dari Indonesia. Daerah penyebarannya

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian 19 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bagian Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia Fakultas MIPA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suren (Toona Sinensis Roemer) Suren adalah salah satu jenis pohon dari kelompok Dicotyledone yang termasuk ke dalam divisi Angiospermae, ordo Archichlamydae dan famili Meliaceae.

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan sampel ascidian telah dilakukan di Perairan Kepulauan Seribu. Setelah itu proses isolasi dan pengujian sampel telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Latar dan Waktu Penelitian Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian daun dari tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan

Lebih terperinci

BIOAKTIVITAS EKSTRAK METANOL DAN FRAKSI N-HEKSANA DAUN SUNGKAI (PERONEMA CANESCENS JACK) TERHADAP LARVA UDANG (ARTEMIA SALINA LEACH)

BIOAKTIVITAS EKSTRAK METANOL DAN FRAKSI N-HEKSANA DAUN SUNGKAI (PERONEMA CANESCENS JACK) TERHADAP LARVA UDANG (ARTEMIA SALINA LEACH) BIOAKTIVITAS EKSTRAK METANOL DAN FRAKSI N-HEKSANA DAUN SUNGKAI (PERONEMA CANESCENS JACK) TERHADAP LARVA UDANG (ARTEMIA SALINA LEACH) Islamudin Ahmad dan Arsyik Ibrahim Laboratorium Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di dua tempat yang berbeda, yaitu: 1. Tempat pengambilan sampel dan preparasi sampel dilakukan di desa Sembung Harjo Genuk Semarang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Zat Ekstraktif Mindi Kadar ekstrak pohon mindi beragam berdasarkan bagian pohon dan jenis pelarut. Berdasarkan bagian, daun menghasilkan kadar ekstrak tertinggi yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Pengambilan sampel buah Debregeasia longifolia dilakukan di Gunung

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Pengambilan sampel buah Debregeasia longifolia dilakukan di Gunung BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan sampel buah Debregeasia longifolia dilakukan di Gunung Lawu. Sedangkan pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Biologi dan Kimia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2015 di Laboratorium Kimia Universitas Medan Area. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat 19 Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang diekstrak. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air Pemilihan Eluen Terbaik Pelat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang digunakan adalah pelat aluminium jenis silika gel G 60 F 4. Ekstrak pekat ditotolkan pada pelat KLT. Setelah kering, langsung dielusi dalam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus hingga bulan Desember 2013 di Laboratorium Bioteknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Allah SWT yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara. Hutan yang dapat memberikan manfaat

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 2 dalam menurunkan kadar glukosa dalam darah, selain itu daun anggrek merpati juga memiliki kandungan flavonoid yang tinggi, kandungan flavonoid yang tinggi ini selain bermanfaat sebagai antidiabetes juga

Lebih terperinci

2 METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Determinasi Tanaman Preparasi Sampel dan Ekstraksi

2 METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Determinasi Tanaman Preparasi Sampel dan Ekstraksi 3 2 METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Bahan Alam, Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong dan Badan Tenaga Atom

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Tanaman Uji Serangga Uji Uji Proksimat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Tanaman Uji Serangga Uji Uji Proksimat BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia, Institut Pertanian Bogor (IPB), Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen

Lebih terperinci

LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Alur Kerja Ekstraksi Biji Alpukat (Persea Americana Mill.) Menggunakan Pelarut Metanol, n-heksana dan Etil Asetat

LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Alur Kerja Ekstraksi Biji Alpukat (Persea Americana Mill.) Menggunakan Pelarut Metanol, n-heksana dan Etil Asetat 47 LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Alur Kerja Ekstraksi Biji Alpukat (Persea Americana Mill.) Menggunakan Pelarut Metanol, n-heksana dan Etil Asetat Biji Alpukat - Dicuci dibersihkan dari kotoran - Di potong menjadi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi 24 Rancangan ini digunakan pada penentuan nilai KHTM. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α 0.05, dan menggunakan uji Tukey sebagai

Lebih terperinci

POTENSI SITOTOKSIK EKSTRAK AIR DAUN SIRIH HITAM (Piper sp.) ABSTRAK

POTENSI SITOTOKSIK EKSTRAK AIR DAUN SIRIH HITAM (Piper sp.) ABSTRAK POTENSI SITOTOKSIK EKSTRAK AIR DAUN SIRIH HITAM (Piper sp.) Nadia Rahma Kusuma Dewi*, Hadi Kuncoro, Laode Rijai Laboratorium Penelitian dan Pengembangan FARMAKA TROPIS, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman,

Lebih terperinci

TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL KULIT UMBI KETELA GENDRUWO

TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL KULIT UMBI KETELA GENDRUWO TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL KULIT UMBI KETELA GENDRUWO (Manihot utilissima Pohl) DENGAN BRINE SHRIMP LETHALITY TEST Susan Retnowati, 2011 Pembimbing : (I) Sajekti Palupi, (II) Elisawati Wonohadi ABSTRAK

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Penentuan kadar air berguna untuk mengidentifikasi kandungan air pada sampel sebagai persen bahan keringnya. Selain itu penentuan kadar air berfungsi untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ekstrak Etil Asetat dari Didemnum sp. Langkah awal dalam penelitian ini adalah membuat sediaan ekstrak etil asetat. Disebut ekstrak etil asetat karena pelarut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati (mega-biodiversity) yang dimiliki perairan

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati (mega-biodiversity) yang dimiliki perairan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Keanekaragaman hayati (mega-biodiversity) yang dimiliki perairan Indonesia sangat berpotensi untuk dimanfaatkan dalam banyak hal, di antaranya adalah sebagai sumber

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan dari bulan Agustus 2006 sampai Juli 2007, bertempat di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan Departemen Teknologi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Bioaktivitas Ekstrak Kasar Kayu Teras Suren Contoh uji yang digunakan dalam penelitian didapatkan dari Desa Cibadak, Sukabumi. Sampel daun dikirim ke Herbarium Bogoriense,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Oktober Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Oktober Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan 30 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah pada bulan Juli sampai Oktober 2013. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Sawit

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil determinasi tumbuhan dilampirkan pada Lampiran 1) yang diperoleh dari perkebunan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Fraksinasi Sampel buah mahkota dewa yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari kebun percobaan Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keragaman hayati.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keragaman hayati. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keragaman hayati. Letak Indonesia yang dilewati oleh garis katulistiwa berpengaruh langsung terhadap kekayaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengkarakterisasi simplisia herba sambiloto. Tahap-tahap yang dilakukan yaitu karakterisasi simplisia dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus communis (sukun) yang diperoleh dari Garut, Jawa Barat serta

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daun pohon suren (Toona sinensis

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daun pohon suren (Toona sinensis 22 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah daun pohon suren (Toona sinensis Roem) yang diperoleh dari daerah Tegalpanjang, Garut dan digunakan

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSTRASI

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSTRASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSTRASI EKTRAKSI Ekstraksi tanaman obat merupakan suatu proses pemisahan bahan obat dari campurannya dengan menggunakan pelarut. Ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. polyanthum) asal NTB. Untuk memastikan identitas dari tanaman salam

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. polyanthum) asal NTB. Untuk memastikan identitas dari tanaman salam BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah daun salam (Syzygium polyanthum) asal NTB. Untuk memastikan identitas dari tanaman salam yang didapatkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan III. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan preparasi sampel, bahan, alat dan prosedur kerja yang dilakukan, yaitu : A. Sampel Uji Penelitian Tanaman Ara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Ekstraktif Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan ekstrak aseton yang diperoleh dari 2000 gram kulit A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. (kadar air 13,94%)

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAHAN DAN METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 15 HN DN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengendalian Serangga Hama dan iodegradasi UPT. alai Penelitian dan Pengembangan iomaterial LIPI dan Laboratorium Parasitologi

Lebih terperinci

HASIL. Kadar Air Daun Anggrek Merpati

HASIL. Kadar Air Daun Anggrek Merpati 6 konsentrasi yang digunakan. Nilai x yang diperoleh merupakan konsentrasi larutan yang menyebabkan kematian terhadap 50% larva udang. Ekstrak dinyatakan aktif apabila nilai LC50 lebih kecil dai 1000 μg/ml.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Fitokimia Sampel Kering Avicennia marina Uji fitokimia ini dilakukan sebagai screening awal untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada sampel. Dilakukan 6 uji

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Molekuler dan Laboratorium Botani Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas

III. METODE PENELITIAN. Molekuler dan Laboratorium Botani Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas 17 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni 2013 di laboratorium Biologi Molekuler dan Laboratorium Botani Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Komponen Bioaktif, Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Komponen Bioaktif, Jurusan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Komponen Bioaktif, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian untuk kegiatan fraksinasi daun mint (Mentha arvensis

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus communis (sukun) yang diperoleh dari Jawa Barat. Identifikasi dari sampel

Lebih terperinci

SIFAT ANTI RAYAP ZAT EKSTRAKTIF KAYU KOPO (Eugenia cymosa Lamk.) TERHADAP RAYAP TANAH Coptotermes curvignathus Holmgren RATIH MAYANGSARI

SIFAT ANTI RAYAP ZAT EKSTRAKTIF KAYU KOPO (Eugenia cymosa Lamk.) TERHADAP RAYAP TANAH Coptotermes curvignathus Holmgren RATIH MAYANGSARI SIFAT ANTI RAYAP ZAT EKSTRAKTIF KAYU KOPO (Eugenia cymosa Lamk.) TERHADAP RAYAP TANAH Coptotermes curvignathus Holmgren RATIH MAYANGSARI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan dari bulan April sampai bulan Oktober 2013, bertempat di Laboratorium Kimia Makanan Jurusan Pendidikan Kimia Fakultas Matematika

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai Juni 2012 di Laboratorium Riset Kimia dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012. 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Penelitian

Lebih terperinci

Analisis Hayati UJI TOKSISITAS. Oleh : Dr. Harmita

Analisis Hayati UJI TOKSISITAS. Oleh : Dr. Harmita Analisis Hayati UJI TOKSISITAS Oleh : Dr. Harmita Pendahuluan Sebelum percobaan toksisitas dilakukan sebaiknya telah ada data mengenai identifikasi, sifat obat dan rencana penggunaannya Pengujian toksisitas

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Gambar 5 Lokasi koleksi contoh lamun di Pulau Pramuka, DKI Jakarta

3. METODOLOGI. Gambar 5 Lokasi koleksi contoh lamun di Pulau Pramuka, DKI Jakarta 3. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini diawali dengan melakukan koleksi contoh lamun segar di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu, DKI Jakarta (Gambar 5). Gambar 5 Lokasi koleksi contoh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang-

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang- 18 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang- Cihideung. Sampel yang diambil adalah CAF. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradaban manusia, tumbuhan telah digunakan sebagai bahan pangan, sandang maupun obat

BAB I PENDAHULUAN. peradaban manusia, tumbuhan telah digunakan sebagai bahan pangan, sandang maupun obat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Sejak peradaban manusia, tumbuhan telah digunakan sebagai bahan pangan, sandang maupun obat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi 2 dikeringkan pada suhu 105 C. Setelah 6 jam, sampel diambil dan didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang. Hal ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh bobot yang konstan (b). Kadar air sampel ditentukan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Surat Keterangan Identifikasi Spons

Lampiran 1. Surat Keterangan Identifikasi Spons Lampiran 1. Surat Keterangan Identifikasi Spons 96 97 98 Lampiran 2. Pembuatan Larutan untuk Uji Toksisitas terhadap Larva Artemia salina Leach A. Membuat Larutan Stok Diambil 20 mg sampel kemudian dilarutkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia) BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia) yang diperoleh dari Kampung Pamahan, Jati Asih, Bekasi Determinasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang diperoleh dari perkebunan murbei di Kampung Cibeureum, Cisurupan

Lebih terperinci

UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK DAUN SIRIH HITAM (Piper sp.) TERHADAP DPPH (1,1-DIPHENYL-2-PICRYL HYDRAZYL) ABSTRAK

UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK DAUN SIRIH HITAM (Piper sp.) TERHADAP DPPH (1,1-DIPHENYL-2-PICRYL HYDRAZYL) ABSTRAK UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK DAUN SIRIH HITAM (Piper sp.) TERHADAP DPPH (1,1-DIPHENYL-2-PICRYL HYDRAZYL) Nazmy Maulidha*, Aditya Fridayanti, Muhammad Amir Masruhim Laboratorium Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

FRAKSINASI BERTINGKAT

FRAKSINASI BERTINGKAT Metode Ekstraksi Maserasi Proses maserasi (macerare= mengairi, melunakkan) merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut yang digunakan pada temperatur ruangan. Pada psoses maserasi, bahan kandungan

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 di daerah budidaya rumput laut pada dua lokasi perairan Teluk Kupang yaitu di perairan Tablolong

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat Penelitian Serangga Uji Bahan Tanaman Uji Penyiapan Tanaman Pakan

BAHAN DAN METODE Tempat Penelitian Serangga Uji Bahan Tanaman Uji Penyiapan Tanaman Pakan BAHAN DAN METODE Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Organik, Departemen Kimia FMIPA dan Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai dengan bulan Juli 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material, dan Laboratorium

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Penelitian 9 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan mulai bulan November 2010 sampai dengan bulan Juni 2011 di Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia FMIPA dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan Januari 2010. Daun gamal diperoleh dari Kebun Percobaan Natar, Lampung Selatan

Lebih terperinci

BIOAKTIVITAS EKSTRAK KAYU TERAS SUREN (Toona sinensis Roemor) DAN PROFIL KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS FRAKSI AKTIFNYA CITRA YANTO CIKI PURBA

BIOAKTIVITAS EKSTRAK KAYU TERAS SUREN (Toona sinensis Roemor) DAN PROFIL KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS FRAKSI AKTIFNYA CITRA YANTO CIKI PURBA BIOAKTIVITAS EKSTRAK KAYU TERAS SUREN (Toona sinensis Roemor) DAN PROFIL KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS FRAKSI AKTIFNYA CITRA YANTO CIKI PURBA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB IV PROSEDUR KERJA

BAB IV PROSEDUR KERJA BAB IV PROSEDUR KERJA 4.1. Penyiapan Bahan Bahan tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun alpukat dan biji alpukat (Persea americana Mill). Determinasi dilakukan di Herbarium Bandung Sekolah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Uji Aktivitas dan Pemilihan Ekstrak Terbaik Buah Andaliman

HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Uji Aktivitas dan Pemilihan Ekstrak Terbaik Buah Andaliman 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Sebanyak 5 kg buah segar tanaman andaliman asal Medan diperoleh dari Pasar Senen, Jakarta. Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium Kimia Organik, Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Lampung.

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Indonesia penyakit kanker menduduki urutan ke-3 penyebab kematian sesudah

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Indonesia penyakit kanker menduduki urutan ke-3 penyebab kematian sesudah 39 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka dan Konsep Penelitian Kanker merupakan penyebab kematian utama kedua (untuk semua umur) di Amerika Serikat. Hampir 1 juta individu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan April 2013 sampai Agustus 2013 di Laboratoium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium Instrumen

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi dengan pelarut etil asetat. Etil asetat merupakan pelarut semi polar yang volatil (mudah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium

Lebih terperinci

Uji Toksisitas Potensi Insektisida Nabati Ekstrak Kulit Batang Rhizophora mucronata terhadap Larva Spodoptera litura

Uji Toksisitas Potensi Insektisida Nabati Ekstrak Kulit Batang Rhizophora mucronata terhadap Larva Spodoptera litura Sidang TUGAS AKHIR, 28 Januari 2010 Uji Toksisitas Potensi Insektisida Nabati Ekstrak Kulit Batang Rhizophora mucronata terhadap Larva Spodoptera litura Nama : Vivid Chalista NRP : 1505 100 018 Program

Lebih terperinci

Gambar 4. Uji Saponin

Gambar 4. Uji Saponin BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Kandungan Senyawa Saponin Pada Biji Barringtonia asiatica Biji Barringtonia asiatica memiliki kandungan senyawa metabolit sekunder triterpenoid dan saponin.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. endemik di Indonesia (Indriani dan Suminarsih, 1997). Tumbuhan-tumbuhan

I. PENDAHULUAN. endemik di Indonesia (Indriani dan Suminarsih, 1997). Tumbuhan-tumbuhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya dengan keanekaragaman hayatinya dan menduduki peringkat lima besar di dunia dalam hal keanekaragaman tumbuhan, dengan 38.000 spesies

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian Pengambilan sampel buah Keben (Barringtonia asiatica) dalam penelitian ini diperoleh dari pantai Batu Karas, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Proses

Lebih terperinci

OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya)

OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya) JURNAL TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 2 No.2 ; November 2015 OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya) MARIATI Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Politeknik Negeri Tanah Laut, Jl. A. Yani, Km

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang kaya akan sumber daya alamnya, sehingga menjadi negara yang sangat potensial dalam bahan baku obat, karena

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah daun salam, daun jati belanda, daun jambu biji yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka (PSB) LPPM-IPB Bogor. Bahan yang digunakan untuk uji

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Pembuatan Pereaksi Pendeteksi. Sebanyak 10 gram NaOH dilarutkan dengan aquades dalam gelas beker

Lampiran 1. Prosedur Pembuatan Pereaksi Pendeteksi. Sebanyak 10 gram NaOH dilarutkan dengan aquades dalam gelas beker Lampiran. Prosedur Pembuatan Pereaksi Pendeteksi. Pereaksi pendeteksi Flavonoid Pereaksi NaOH 0% Sebanyak 0 gram NaOH dilarutkan dengan aquades dalam gelas beker kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan dari Bulan Maret sampai Bulan Juni 2013. Pengujian aktivitas antioksidan, kadar vitamin C, dan kadar betakaroten buah pepaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan senduduk merupakan tanaman perdu yang tersebar di hutan Indonesia. Tumbuhan senduduk (Melastoma malabathricum L.) tumbuh liar pada tempat-tempat yang mendapat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tumbuhan yang akan diteliti dideterminasi di Jurusan Pendidikan Biologi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tumbuhan yang akan diteliti dideterminasi di Jurusan Pendidikan Biologi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Determinasi Tumbuhan Tumbuhan yang akan diteliti dideterminasi di Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI Bandung untuk mengetahui dan memastikan famili dan spesies tumbuhan

Lebih terperinci

UJI EFEK TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL AKAR AWAR-AWAR (Ficus septica Burm.F) DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BSLT)

UJI EFEK TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL AKAR AWAR-AWAR (Ficus septica Burm.F) DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BSLT) UJI EFEK TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL AKAR AWAR-AWAR (Ficus septica Burm.F) DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BSLT) Suryanita Program Studi D3 Farmasi STIKES Nani Hasanuddin Makassar (Suryanita_noth@yahoo.com)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Evaluasi kestabilan formula krim antifungi ekstrak etanol rimpang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Evaluasi kestabilan formula krim antifungi ekstrak etanol rimpang BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Evaluasi kestabilan formula krim antifungi ekstrak etanol rimpang lengkuas (Alpinia galanga L.) memberikan hasil sebagai berikut : Tabel 2 :

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Deskripsi Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab Bandung Barat. Sampel yang diambil berupa tanaman KPD. Penelitian berlangsung sekitar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu, dan Tempat Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cibarunai, Kelurahan Sarijadi, Bandung. Sampel yang diambil berupa tanaman

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 17 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan April 2013 di Laboratorium Kimia Instrumen dan Laboratorium Kimia Riset Makanan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan kekayaan alamnya. Tanahnya yang subur dan iklimnya yang tropis memungkinkan berbagai jenis tumbuhan dapat dibudidayakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica charantia L.) yang diperoleh dari Kampung Pamahan-Jati Asih, Bekasi. Dan

Lebih terperinci

I. ISOLASI EUGENOL DARI BUNGA CENGKEH

I. ISOLASI EUGENOL DARI BUNGA CENGKEH Petunjuk Paktikum I. ISLASI EUGENL DARI BUNGA CENGKEH A. TUJUAN PERCBAAN Mengisolasi eugenol dari bunga cengkeh B. DASAR TERI Komponen utama minyak cengkeh adalah senyawa aromatik yang disebut eugenol.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan keanekaragaman hayati dengan bermacam jenis spesies

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan keanekaragaman hayati dengan bermacam jenis spesies I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan keanekaragaman hayati dengan bermacam jenis spesies tumbuh-tumbuhan. Kekayaan hayati ini merupakan sumber yang potensial

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2012 hingga Juli 2012. Penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel yang dilakukan di persawahan daerah Cilegon,

Lebih terperinci

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Serbuk Simplisia Pengumpulan Bahan Determinasi Tanaman

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Serbuk Simplisia Pengumpulan Bahan Determinasi Tanaman BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan Rambut jagung (Zea mays L.), n-heksana, etil asetat, etanol, metanol, gliserin, larutan kloral hidrat 70%, air, aqua destilata, asam hidroklorida, toluena, kloroform, amonia,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di net house Gunung Batu, Bogor. Analisis tanah dilaksanakan di Laboratorium Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker ditetapkan sebagai penyebab utama kematian di dunia dengan angka yang mencapai 7,6 juta atau (sekitar 13% dari semua kematian setiap tahunnya) pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman sumber daya hayati Indonesia termasuk dalam golongan tertinggi di dunia. Jenis tumbuh-tumbuhan di Indonesia secara keseluruhan ditaksir sebanyak 25 ribu

Lebih terperinci

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Simplisia 3.4 Karakterisasi Simplisia

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Simplisia 3.4 Karakterisasi Simplisia BAB 3 PERCOBAAN Pada bab ini dibahas tentang langkah-langkah percobaan yang dilakukan dalam penelitian meliputi bahan, alat, pengumpulan dan determinasi simplisia, karakterisasi simplisia, penapisan fitokimia,

Lebih terperinci