TESIS INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA
|
|
- Sri Kurniawan
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 TESIS INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI LEBIH RENDAH SECARA KLINIS DARIPADA TEKNIK MANUAL SMALL INSICION CATARACT SURGERY (7,6 MIA PURNAMA PPPRIT PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
2 TESIS INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI LEBIH RENDAH SECARA KLINIS DARIPADA TEKNIK MANUAL SMALL INSICION CATARACT SURGERY MIA PURNAMA NIM PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
3 TESIS INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI LEBIH RENDAH SECARA KLINIS DARIPADA TEKNIK MANUAL SMALL INSICION CATARACT SURGERY (7,6 Tesis ini untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana MIA PURNAMA NIM PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
4
5
6
7 UCAPAN TERIMA KASIH Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, atas berkah-nya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya tesis ini tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, izinkan penulis dengan setulus hati menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister Pascasarjana dan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 di Universitas Udayana. 2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. AA Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan sebagai mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana. 3. Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree, Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, SpAnd., FAACS yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan Program Studi Ilmu Biomedik combined degree. 4. Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.kes atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 di Bagian Ilmu Kesehatan Mata. 5. Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. Putu Budhiastra, Sp.M(K) yang telah memberikan kesempatan
8 mengikuti program pendidikan spesialisasi dan memberikan bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi. 6. Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. AAA Sukartini Djelantik, SpM(K) yang telah memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi, memberi petunjuk, serta bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi. 7. dr. I.W.G. Jayanegara, Sp.M(K), sebagai pembimbing I yang telah meluangkan waktu, memberikan petunjuk dan pengarahan, sejak awal penulisan sampai dapat menyelesaikan tesis ini. 8. Prof. Dr. dr. I Gede Raka W, Sp.PD.KGH, selaku pembimbing II yang selalu memberikan bimbingan dan pengarahan hingga terselesaikannya tesis ini. 9. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D, dr. AAA Sukartini Djelantik, Sp.M(K) dan dr. Putu Budhiastra, Sp.M.(K) selaku penguji atas semua masukan, koreksi dan saran dalam penyelesaian tesis ini. 10. Direktur RS Indera Denpasar atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melaksanakan penelitian di RS Indera Denpasar. 11. dr. I G.N. Made Sugiana Sp.M, sebagai Kepala SMF Mata RS Indera Denpasar, yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian di RS Indera Denpasar Bali. 12. dr. Cokorda I. Dewiyani, Sp.M dan dr. W.G Jayanegara Sp.M(K) sebagai operator di RSUP Sanglah dan RS Indera Denpasar Bali yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian di RSUP Sanglah dan RS Indera Denpasar Bali.
9 13. Dr. Putu Budhiastra, Sp.M(K), dr. N.L. Diah Pantjawati, Sp.M, dan dr. Ari Andayani, sebagai penilai hasil pemeriksaan OCT di RSUP Sanglah dan RS Indera Denpasar Bali. 14. dr. Made Agus kusumadjaja, Sp.M(K) sebagai pembimbing akademik yang telah banyak memberi bimbingan, saran dan dukungan. 15. Dr. Arief Kartasasmita S., Sp.M.(K), M.Kes., MM., Ph.D, sebagai konsultan yang telah memberikan saran dan masukan saat pembuatan usulan proposal. 16. Seluruh Konsulen Ilmu Kesehatan Mata serta dosen Pascasarjana Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree atas segala bimbingannya. 17. Seluruh teman sejawat residen di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas bantuan dan kerjasamanya selama ini 18. Seluruh paramedik di Poli Mata RSUP Sanglah dan RS Indera Denpasar atas bantuan dan kerjasamanya dalam pengumpulan sampel penelitian. Rasa syukur dan sujud kepada Ayahanda, Ibunda, Suami dan Keluarga tercinta yang telah memberikan doa, cinta, motivasi dan semangat kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan penelitian ini. Semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan yang berguna bagi perkembangan pelayanan kesehatan mata serta bagi pendidikan IImu Kesehatan Mata. Terakhir, semoga Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, selalu melimpahkan rahmat-nya kepada kita semua. Denpasar, Juni 2014 Penulis
10 ABSTRAK INSIDEN CYSTOID MACULAR EDEMA PASCA BEDAH KATARAK TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI LEBIH RENDAH SECARA KLINIS DARIPADA TEKNIK MANUAL SMALL INCISION CATARACT SURGERY Katarak merupakan penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan di seluruh dunia, oleh karena itu bedah katarak menjadi tindakan bedah yang paling banyak dilakukan oleh dokter spesialis mata. Tindakan bedah katarak bertujuan untuk menghasilkan optimalisasi fungsi penglihatan. Cystoid macular edema (CME) merupakan salah satu komplikasi pasca bedah katarak tersering yang muncul terlambat dan menyebabkan terbatasnya perbaikan tajam penglihatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan insiden CME menggunakan optical coherence tomography (OCT) pada pasien pasca bedah katarak teknik fakoemulsifikasi dan pasca bedah katarak teknik manual small incision cataract surgery (MSICS). Penelitian ini merupakan penelitian randomized open label clinical trial yang dilaksanakan di RSUP Sanglah dan RS Indera Denpasar Bali, mulai bulan Januari sampai Juni Jumlah sampel yang memenuhi kriteria sebanyak enam puluh dua pasien (62 mata) dilakukan randomisasi untuk ditentukan jenis pembedahan katarak, 31 pasien katarak yang dilakukan fakoemulsifikasi dan 31 pasien katarak yang dilakukan MSICS. Pasien dilakukan pemeriksaan CME dengan menggunakan OCT pada minggu ke-empat pasca bedah katarak. Perbedaan insiden CME dianalisis dengan uji Fisher Exact. Insiden CME pada kelompok pasien pasca bedah katarak teknik fakoemulsifikasi didapatkan sebesar 3,2% sedangkan pada kelompok teknik MSICS adalah 19,4%. Insiden CME pasca fakoemulsifikasi enam kali lebih rendah daripada pasca MSICS, namun perbedaan ini tidak bermakna secara statistik (p=0,104). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan insiden CME pada pasien pasca bedah katarak teknik fakoemulsifikasi lebih rendah secara klinis daripada teknik MSICS. Kata kunci : Fakoemulsifikasi, manual small incision cataract surgery (MSICS), insiden cystoid macular edema (CME). ABSTRACT
11 THE INCIDENCE OF CYSTOID MACULAR EDEMA AFTER CATARACT SURGERY IN PHACOEMULSIFICATION TECHNIQUE WAS CLINICALLY LOWER THAN IN MANUAL SMALL INCISION CATARACT SURGERY TECHNIQUE Cataract is the leading cause of blindness and visual impairment throughout the world, therefore the surgical cataract surgery is becoming the most widely performed by an ophthalmologist. Cataract surgery aims to produce visual function optimization. Cystoid macular edema (CME) is one of the most common postoperative complication of cataract surgery that occurs late and limits the visual acuity improvement. The purpose of this study was to determine differences in the incidence of CME using optical coherence tomography (OCT) in patients after phacoemulsification and after manual small incision cataract surgery (MSICS). This was a randomized open label clinical trial study taking place in Sanglah Public General Hospital and Indera Hospital Denpasar, Bali starting from January until June Samples that met the inclusion and exclusion criteria were randomized to meet after technique of cataract surgery. There were 62 patients (62 eyes) collected than randomized and divided into 31 cataract patients underwent phacoemulsification and 31 cataract patients underwent MSICS. Patients were examined for CME detection used OCT in the fourth week after cataract surgery. Analysis was conducted with Fisher s Exact test. The incidence of CME in the group of post surgical cataract patients with phacoemulsification technique was 3,2% while in the group of MSICS technique was 19,4%. The incidence of CME post phacoemulsification was six time lower than post MSICS. However, this difference was not statistically significant (p=0,104). The result of this study concludes that the incidence of CME in post cataract surgery patients with phacoemulsification technique is clinically lower than MSICS technique. Keywords : Phacoemulsification, manual small incision cataract surgery (MSICS), the incidence of cystoid macular edema (CME).
12 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... PRASYARAT GELAR... LEMBAR PENGESAHAN... PENETAPAN PANITIA PENGUJI... SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... UCAPAN TERIMA KASIH... ABSTRAK... ABSTRACT... DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG.. DAFTAR LAMPIRAN... i ii iii iv v vi ix x xi xiv xv xvi xvii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Manfaat teoritis Manfaat praktis BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Makula Anatomi dan Histologi Makula Fisiologi Makula... 15
13 2.2 Teknik Bedah Katarak Fakoemulsifikasi Manual Small Incision Cataract Surgery Cystoid Macular Edema Definisi Insiden dan Epidemiologi Etiopatogenesis Diagnosis BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Konsep Penelitian Hipotesis Penelitian BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian Sampel penelitian Kriteria inklusi dan eksklusi penelitian Besar sampel Cara pemilihan sampel Variabel Penelitian Klasifikasi dan identifikasi variabel Definisi operasional variabel Instrumen Penelitian Prosedur Penelitian Tahap persiapan Pelaksanaan penelitian Alur Penelitian Analisis Data
14 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian Perbedaan fakoemulsifikasi dibandingkan dengan MSICS terhadap resiko CME Perbandingan resiko komplikasi antara fakoemulsifikasi dengan MSICS Perbandingan jenis komplikasi antara fakoemulsifikasi dengan MSICS BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Subjek Penelitian Insiden CME pasca fakoemulsifikasi Insiden CME pasca MSICS Perbedaan insiden CME pasca fakoemulsifikasi dan pasca MSICS Perbandingan resiko komplikasi intraoperatif antara fakoemulsifikasi dengan MSICS BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN-LAMPIRAN
15 DAFTAR TABEL Halaman 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian Perbedaan fakoemulsifikasi dibandingkan MSICS terhadap resiko CME Perbandingan resiko komplikasi antara fakoemulsifikasi dengan MSICS Perbandingan jenis komplikasi antara fakoemulsifikasi dengan MSICS... 45
16 DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1 Anatomi Makula Skema histologis makula Berbagai ukuran insisi luka Cystoid macular edema Bagan kerangka konsep penelitian Rancangan Penelitian Skema Alur Penelitian... 40
17 DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG BMD BRVO CCC CME CMT CRVO CSR DM ECCE ELM FFA FAZ ICCE ILM LIO MSICS NCT NFL OCT RPE SDR WHO = Bilik Mata Depan = Branch Retinal Vein Occlusion = Continuous Curvilinear Capsulorhexis = Cystoid Macular Edema = Central Macular Thickness = Central Retinal Vein Occlusion = Cataract Surgical Rate = Diabetes Mellitus = Extra Capsular Cataract Extraction = External Limiting Membrane = Fundus Fluorescein Angiography = Foveal Avascular Zone = Intra Capsular Cataract Extraction = Internal Limiting Membrane = Lensa Intra Okular = Manual Small Incision Cataract Surgery = Non-Contact Tonometry = Nerve Fiber Layer = Optical Coherence Tomography = Retinal Pigment Epithelium = Sawar Darah Retina = World Health Organization
18 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Penjelasan Penelitian Lampiran 2 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan Lampiran 3 Kuisioner Penelitian LLampiran 4 Randomisasi Lampiran 5 Tabel Induk Data Penelitian Lampiran 6 Hasil Pemeriksaan CME LLampiran 7 Out Put SPSS LLampiran 8 Kelaikan Etik Lampiran 9 Surat Ijin Penelitian L
19 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Katarak merupakan penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan di seluruh dunia, oleh karena itu bedah katarak menjadi tindakan bedah yang paling banyak dilakukan oleh dokter spesialis mata. Sejalan perkembangan ilmu kedokteran dan teknologi, maka terjadi pula perubahan yang evolutif maupun revolusioner dalam pembedahan katarak. Hal itu sejalan dengan perubahan paradigma oftalmologi dari rehabilitasi kebutaan menjadi optimalisasi fungsi penglihatan. Optimalisasi fungsi penglihatan akan meningkatkan kualitas kehidupan karena mata merupakan jalur utama informasi sehari-hari (Purba dkk., 2010; Ilyas, 2004). Katarak merupakan suatu kelainan mata berupa kekeruhan pada lensa, disebabkan oleh pemecahan protein oleh proses oksidasi dan foto-oksidasi (Sihota dan Tandan, 2007). Klasifikasi katarak berdasarkan onset usia terjadinya dibagi menjadi katarak kongenital, katarak juvenil, dan katarak senilis (Ilyas, 2004). Katarak senilis merupakan jenis katarak yang paling banyak ditemukan. Pasien katarak senilis diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus katarak (American Academy of Ophthalmology Staff, a). Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang terjadi karena proses degenerasi dan biasanya mulai timbul pada usia diatas 40 tahun (Ilyas, 2004; Sihota dan Tandan, 2007). Berdasarkan maturitasnya katarak senilis dibagi menjadi 4 stadium yaitu stadium insipien, stadium imatur, stadium matur dan stadium hipermatur (Ilyas, 2004).
20 Angka kebutaan di Indonesia adalah yang tertinggi yaitu 1,5% dari jumlah penduduk dibandingkan dengan angka kebutaan negara-negara di Regional Asia Tenggara (Bangladesh 1%, India 0,7%, Thailand 0,3%). Penyebab utamanya adalah katarak yakni sebanyak 2 juta orang dan setiap tahun bertambah sekira 240 ribu penderita katarak baru. Menurut data survei kesehatan rumah tangga kesehatan nasional (SKTR-SUSKERNAS), prevalensi katarak di Indonesia sebesar 4,99%, prevalensi katarak di Jawa dan Bali sebesar 5,48% lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya (Departemen Kesehatan RI, 2009; Kementerian Kesehatan RI, 2005). Tindakan bedah katarak bertujuan untuk menghasilkan optimalisasi fungsi penglihatan bercirikan pemulihan yang cepat, terukur dengan efek samping yang minimal, stabilitas jangka panjang, serta memberikan kepuasan pada penderita (Soekardi dan Hutauruk, 2004). Tidak semua bedah katarak mencapai tujuan, banyak faktor yang mempengaruhinya termasuk komplikasi pembedahan. Komplikasi operasi katarak sangat bervariasi tergantung waktu serta ruang lingkupnya (Henderson dkk., 2007; Purba dkk., 2010). Komplikasi dapat terjadi pada periode intraoperatif diantaranya iris prolaps, trauma iris, hifema, robek kapsul posterior dan vitreous loss. Komplikasi pasca operasi diantaranya edema kornea dan endoftalmitis, bullous keratopathy, malposisi/ dislokasi lensa intra okular (LIO), cystoid macular edema (CME), ablasio retina, uveitis, peningkatan tekanan intra okular dan posterior capsular opacification (American Academy of Ophthalmology Staff, c). Cystoid macular edema (CME) merupakan salah satu komplikasi pasca operasi katarak tersering yang muncul terlambat dan menyebabkan terbatasnya
21 perbaikan tajam penglihatan. CME juga merupakan penyebab paling umum kehilangan penglihatan yang tidak terduga setelah pembedahan katarak yang lancar (Akcay dkk., 2012). CME merupakan komplikasi yang sering setelah bedah katarak dengan atau tanpa komplikasi. CME adalah pembentukan ruang kista yang berisi cairan antara lapisan plexiform luar dan lapisan inner nuclear retina yang disebabkan karena terganggunya sawar darah retina (SDR) pada makula (American Academy of Ophthalmology Staff, b; Sahin dkk., 2013). Angka insiden CME meningkat dengan adanya faktor resiko seperti retinopati diabetik dan uveitis (Belair dkk., 2009). CME didiagnosis secara klinis berdasarkan adanya penurunan tajam penglihatan (tidak optimal), ditemukannya gambaran khas makula pada pemeriksaan funduskopi, ditemukan pola petaloid pada Fundus Fluorescence Angiography (FFA) atau penebalan makula disertai terdapatnya ruang-ruang kista pada Optical Coherence Tomography (Benitah dan Arroyo 2010; American Academy of Ophthalmology Staff, b). Patogenesis pasti terjadinya CME pasca operasi katarak masih belum diketahui, namun mekanisme yang melibatkannya adalah suatu inflamasi. Secara umum pembedahan intra okular memicu akumulasi makrofag dan neutrofil yang diaktifkan oleh sirkulasi agen inflamasi termasuk metabolit siklooksigenase dan lipooksigenase, agen proteolitik dan lainnya, memicu munculnya tanda-tanda peradangan. Sitokin seperti interferon-ɣ, interleukin-2 dan tumor necrosis factor-α juga ikut berpartisipasi pada proses induksi siklooksigenase. Prosedur katarak itu sendiri menginduksi ekspresi gen pro-inflamasi dan sekresi protein (Miyake dkk., 2007; Sahin dkk., dkk, 2013). Cystoid macular edema biasanya muncul pada 3-12 minggu pasca operasi dengan puncak insiden 4-10 minggu, namun pada beberapa
22 kasus dapat muncul terlambat beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah pembedahan (Lobo, 2011; Mentes dkk., 2003). Penilaian insiden CME sangat bervariasi, dipengaruhi berbagai faktor termasuk karakteristik populasi penelitian, pemberian antiinflamasi profilaksis, kriteria diagnosis CME, dan waktu pemeriksaan pasca operasi. Insiden CME klinis dilaporkan terjadi sekitar 1-12% tergantung beberapa faktor seperti prosedur pembedahan, komplikasi intra operatif, dan manajemen pasca operasi. Insiden CME klinis di Amerika serikat didapatkan 0,1% sampai 4% pasien pasca fakoemulsifikasi (Ray & D amico, 2002; Norregaard dkk., 1999). CME dapat terjadi setelah pembedahan yang lancar maupun pasca komplikasi intra operatif, tidak bergantung jenis kelamin maupun ras tertentu. Laporan terdahulu CME subklinis menggunakan FFA pasca Intra Capsular Cataract Extraction (ICCE) setinggi 50-70%, sedangkan pasca Extra Capsular Cataract Extraction (ECCE) sekitar 16-40% (Ray & D Amico,2002). Insiden CME klinis pada Fakoemulsifikasi tanpa komplikasi intra operatif dengan kapsul posterior yang utuh tingkat kejadian sekitar 0-2% (Mentes dkk., 2003). Teknik pembedahan fakoemulsifikasi menurunkan insiden CME menjadi 1% (Norregaard dkk, 1999). Loewenstein & Zur (2010) melaporkan angka kejadian CME klinis pada pembedahan katarak teknik fakoemulsifikasi sekitar 0,1-2,35%. Ursell dkk. (1999) melaporkan insiden CME subklinis dengan FFA tanpa gejala terjadi sekitar 10%-20% pasca fakoemulsifikasi. Gulkilik dkk. (2006) melaporkan bahwa insiden CME subklinis dengan pemeriksaan OCT pasca fakoemulsifikasi terjadi sebesar 25,5%.
23 Manual Small Incision Cataract Surgery (MSICS) merupakan teknik pembedahan katarak alternatif dari fakoemulsifikasi dengan biaya lebih murah, efektif, dan efisien (Natchiar, 2011). MSICS termasuk dalam jenis ECCE dengan insisi yang relatif kecil, memberikan hasil yang sebanding dengan fakoemulsifikasi dalam hal rehabilitasi visual. Meskipun teknik MSICS relatif baru, namun MSICS mendapatkan popularitas di banyak negara berkembang berdasarkan kemampuannya mengelola katarak yang sulit dengan aman (Gurung dan Hennig, 2008). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membandingkan tingkat kesuksesan fakoemulsifikasi dan MSICS. Penelitian prospektif, uji klinis acak di Nepal menyimpulkan bahwa kedua teknik mencapai hasil pembedahan yang sangat baik dengan angka komplikasi yang rendah (Dhanapal dkk., 2010). Insiden CME pasca MSICS diperkirakan lebih besar karena pertimbangan teknik bedah katarak pada MSICS lebih banyak manipulasi intra okular jika dibandingkan dengan fakoemulsifikasi. OCT menawarkan teknik pencitraan noninvasif yang menyediakan gambar penampang makula dengan resolusi tinggi. CME pada OCT muncul sebagai ruang-ruang hiporefleksi (kista) pada makula dengan penebalan makula sentral dan hilangnya depresi fovea. Keefektifan OCT sama dengan FFA dalam mendeteksi edema makula, bahkan lebih dari itu OCT menghasilkan pengukuran yang akurat sehingga dapat dipakai untuk pemeriksaan serial pada follow up (Akcay dkk., 2012; Blanco dkk., 2006). Antcliff dkk. (2000) melaporkan perbandingan sensitifitas dan spesifisitas OCT dengan FFA adalah 96% dan 100%. Perubahan ketebalan makula yang sama atau lebih dari 40 µm dijelaskan sebagai indeks edema makula OCT yang signifikan (Wittpenn dkk,
24 2008). Saat ini belum ada konsensus apakah OCT harus dilakukan pada semua pasien pasca operasi katarak untuk mendeteksi CME. Kebanyakan CME pasca operasi katarak sembuh spontan dalam 6 bulan, namun pada beberapa kasus cenderung menetap (Kwon dkk., 2011). Mata dengan CME 90% akan sembuh dalam kurun waktu 2 tahun (Benitah & Arroyo, 2010). CME pasca operasi yang berlebihan atau terus menerus dapat menyebabkan sawar darah retina (SDR) terganggu sehingga menjadi berkelanjutan sehingga meningkatkan resiko terjadinya peradangan kronis sehingga pasien tidak mendapatkan penglihatan yang optimal (Reddy & Kim, 2011; Lu dkk., 2012). Penelitian Ghosh dkk. (2010) di India menyatakan tidak ada perbedaan central macular thickness yang bermakna secara klinis antara pasien pasca bedah katarak teknik fakoemulsifikasi dan MSICS yang lancar. Penelitian insiden CME pasca bedah katarak dengan teknik MSICS belum banyak dilaporkan sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk dibandingkan dengan fakoemulsifikasi dan mencari faktor resiko yang berhubungan dengan berkembangnya CME. Data perbandingan insiden CME pasca bedah katarak teknik fakoemulsifikasi dengan MSICS saat ini belum dilaporkan baik CME klinis maupun subklinis. Data ini diperlukan agar nantinya memungkinkan untuk bisa dilakukan pencegahan ataupun pengobatan CME sehingga pasien mendapatkan penglihatan yang optimal setelah operasi katarak. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan insiden CME menggunakan OCT pada pasien pasca menjalani bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi dan MSICS. 1.2 Rumusan Masalah
25 Apakah insiden CME pada pasien pasca bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi lebih rendah dibandingkan pasien pasca pembedahan katarak dengan teknik MSICS? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui perbedaan insiden CME menggunakan OCT pada pasien pasca bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi dan pasien pasca bedah katarak dengan teknik MSICS 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis 1. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang insiden CME pada pasien pasca bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi dan pasien pasca bedah katarak dengan teknik MSICS 2. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang etiopatogenesis CME dalam hubungannya dengan teknik bedah katarak Manfaat Praktis 1. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menilai dan memprediksi terjadinya CME pasca pembedahan katarak dengan teknik fakoemulsifikasi dan MSICS. 2. Dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menghindari dan menangani terjadinya CME. 3. Sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut.
26 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Makula Anatomi dan Histologi Makula Makula merupakan bagian dari retina posterior. Batas makula secara histologis merupakan wilayah dengan 2 atau lebih lapisan sel ganglion dengan diameter 5-6 mm dan terletak antara arkade vaskular temporal. Makula mengandung karotenoid yang terdiri dari lutein dan zeaxanthin yang menumpuk di dalam makula sentral dan menyebabkan warna kuning. Karotenoid memiliki kemampuan antioksidan yang berfungsi untuk menyaring sinar gelombang biru dan berguna mencegah terjadinya kerusakan (American Academy of Ophthalmology Staff, a). Fovea sentralis adalah pusat makula dengan diameter 1,5 mm. Fungsi khusus fovea sentralis adalah untuk ketajaman penglihatan dan penglihatan warna. Fovea adalah wilayah tanpa pembuluh darah retina yang dikenal sebagai foveal avascular zone (FAZ). Pusat geometris FAZ ini sering diambil untuk menjadi pusat makula dan dijadikan titik fiksasi pada pemeriksaan FFA dan OCT (American Academy of Ophthalmology Staff, b). Fovea memiliki cekungan (depresi) pusat yang dikenal sebagai foveola, daerah dengan diameter 0,35 mm dimana terdapat sel-sel kerucut yang ramping dan padat, dengan umbo yang terletak di dalamnya. Sekitar fovea adalah cincin dengan lebar diameter 0,5 mm disebut parafoveal zone, di daerah ini lapisan sel ganglion, lapisan inner nuclear, dan lapisan outer plexiform adalah yang paling
27 tebal. Sekitar zona ini terdapat cincin dengan lebar sekitar 1,5 mm disebut perifoveal zone (American Academy of Ophthalmology Staff, b). Gambar 2.1 Anatomi Makula (Dikutip dari American Academy of Ophthalmology Staff, b) Fovea mengandung fotoreseptor kerucut yang tersusun padat melebihi sel/mm². Fovea sentralis tidak memiliki fotoreseptor batang, hanya kerucut dan pendukungnya yaitu sel Muller. Jumlah fotoreseptor kerucut menurun drastis di perifer, sebaliknya di perifer fotoreseptor batang memiliki kepadatan yang tinggi yaitu sel/mm² (American Academy of Ophthalmology Staff, a). Nerve fiber layer (NFL) merupakan perpanjangan dari lapisan sel ganglion sepanjang bagian dalam retina untuk bersatu dalam bagian posterior untuk membentuk nervus optik. Internal limiting membrane (ILM) dibentuk oleh dasar (kaki) sel Muller, berdampingan dengan bagian posterior dari vitreus. Perlekatan zonula antara sel-sel fotoreseptor dan sel Muller pada tingkat ini membentuk external limiting membrane (ELM), sehingga sel Muller melalui hampir seluruh ketebalan retina (Binder, 2004).
28 Gambar 2.2 Skema histologi Makula (Dikutip dari American Academy of Ophthalmology Staff, a) Arteri retina sentral (cabang pertama dari arteri oftalmika) memasuki mata dan terpecah menjadi 4 cabang, masing-masing memasok darah ke empat quadran retina. Cabang arteri ini ini berlokasi di bagian dalam retina dan terpecah menjadi cabang-cabang yang lebih kecil. Arteri silioretina (cabang dari arteri siliaris) akan memasok ke bagian dalam retina antara nervus optik dan pusat makula. Retina dipasok oleh 2 lapis kapiler, satu pada lapisan sel ganglion superfisial dan NFL, satu yang lebih dalam pada lapisan inner nuclear. Darah dikumpulkan dari kapiler dalam vena retina cabang yang pada akhirnya membentuk vena retina sentral. Sistem pembuluh darah retina diperkirakan memasok sekitar 5% dari oksigen yang digunakan dalam fundus dan sisanya dipasok oleh koroid (American Academy of Ophthalmology Staff, a; Dick dkk., 2006) Fisiologi Makula Molekul peka cahaya pada fotoreseptor kerucut berasal dari vitamin A dan diikat dengan protein dikenal sebagai opsin, pada sel batang dikenal sebagai rhodopsin. Sel kerucut memiliki 3 opsin berbeda yang selektif memberi kepekaan
29 terhadap sinar merah, hijau dan biru. Molekul-molekul ini terkandung dalam segmen luar fotoreseptor (American Academy of Ophthalmology Staff, a). Kebanyakan sel saraf mengalami depolarisasi sementara menghasilkan potensial aksi spike. Fotoreseptor melanjutkan respon bertahap dengan perubahan polarisasi membran yang sebanding dengan jumlah cahaya yang merangsang (American Academy of Ophthalmology Staff, a; Binder, 2004). Fotoreseptor bersinapsis dengan sel-sel bipolar. Fotoreseptor kerucut memiliki 1-1 sinapsis dengan sel bipolar. Lebih dari 1 sel batang dan kadangkadang lebih dari 100 sel batang bersinapsis pada setiap sel bipolar. Sel-sel bipolar memiliki respon bertahap dengan perubahan polarisasi sama seperti fotoreseptor. Sel-sel bipolar bersinapsis dengan sel-sel ganglion. Sel amakrine membantu dalam pemrosesan sinyal dengan merespon perubahan spesifik pada stimuli retina, seperti perubahan intensitas cahaya yang mendadak. Respon sel-sel ganglion yang berasal dari sel bipolar dan sel amakrin kemudian dikembangkan dan dihubungkan dengan nukleus genikulata dorsolateral di otak (American Academy of Ophthalmology Staff, a; Binder, 2004). Kebutuhan metabolisme retina luar dipenuhi oleh koriokapilaris yang merupakan sistem kapiler dari arteri koroid cabang dari arteri siliaris. Pembuluh darah retina termasuk kapilernya mempertahankan sawar darah retina (SDR) bagian dalam dengan ikatan yang ketat antara sel-sel endotel kapiler ini (American Academy of Ophthalmology Staff, b). Retinal pigmen epithelium (RPE) adalah lapisan sel kuboid berbentuk heksagonal terletak diantara membran Bruch dan retina. Lapisan ini terbentang dari tepi diskus optik sampai ora serrata dan
30 berlanjut dengan epitel pigmen badan siliar. Bagian apikal RPE terletak berdekatan dan berhubungan erat dengan lapisan sel fotoreseptor. Sel RPE pada makula lebih tinggi dan lebih padat dibandingkan di daerah perifer. Permukaan lateral sel-sel RPE berikatan erat dan bergabung dengan komplek junctional (zonula occludentes), komplek ini membentuk SDR luar (American Academy of Ophthalmology Staff, b: Dick dkk., 2006). Retinal pigmen epithelium (RPE) berfungsi menyerap cahaya, mempertahankan ruang subretina, fagositosis segmen luar, berpartisipasi dalam metabolisme asam lemak tak jenuh ganda, membentuk sawar darah retina luar, menyembuhkan dan membentuk jaringan parut (Binder, 2004). Fungsi sawar RPE adalah mencegah difusi metabolit antara koroid dan ruang subretina. RPE memiliki kapasitas tinggi untuk transportasi air, sehingga cairan tidak mudah menumpuk di ruang subretina dalam keadaan normal. Respon dari trauma, inflamasi, atau rangsangan lain dapat mengganggu fungsi RPE, sehingga RPE dapat berproliferasi, migrasi, atrofi atau mengalami metaplasia (American Academy of Ophthalmology Staff, b; Framme dan Wolf, 2012) Teknik Bedah Katarak Fakoemulsifikasi Popularitas fakoemulsifikasi dapat dilihat dari jumlah operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi yang meningkat sangat pesat di berbagai belahan dunia. Tahun 1985, perbandingan operasi katarak adalah 90% Extra Capsular Cataract Extraction (ECCE) dan hanya 10% dengan teknik fakoemulsifikasi. Perbandingan tersebut menjadi terbalik dalam waktu 10 tahun yaitu pada tahun
31 1995, dimana operasi katarak dengan fakoemulsifikasi mencapai 85% dan ECCE hanya 15% sisanya (Purba dkk., 2010). Fakoemulsifikasi adalah teknik ekstraksi katarak menggunakan sayatan kecil sekitar 1,5 mm sampai 3 mm dengan implantasi lensa intra okular lipat (foldable) sehingga penutupan luka dapat tanpa jahitan. Cara kerja sistem fakoemulsifikasi adalah menghancurkan lensa melalui ultrasonic probe yang mempunyai tip needle yang mampu bergetar dengan frekuensi yang sangat tinggi yaitu setara dengan frekuensi gelombang ultrasound (American Academy of Ophthalmology Staff, c). Massa lensa yang sudah dihancurkan akan diaspirasi melalui rongga pada tip fakoemulsifikasi untuk kemudian dikeluarkan dari dalam mata melalui selang aspirasi pada mesin fakoemulsifikasi (Soekardi dan Hutauruk, 2004; Khurana, 2007). Teknologi mesin fakoemulsifikasi saat ini sudah memungkinkan mengeluarkan lensa dengan teknik fako bimanual, sehingga insisi kornea hanya sebesar 1,5 mm saja (Purba dkk., 2010). Tujuan dari teknik operasi ini adalah agar penderita katarak dapat memperoleh tajam penglihatan terbaik tanpa koreksi dengan cara membuat sayatan sekecil mungkin untuk mengurangi induksi astigmatisme pasca operasi (Soekardi dkk, 2004). Prosedur ini efisien, terutama jika operasi yang lancar umumnya dikaitkan dengan hasil penglihatan yang baik. Insiden CME pada teknik fakoemulsifikasi yang mengalami komplikasi intra operatif lebih rendah karena konstruksi insisi luka yang kecil dan stabilitas yang lebih besar dibandingkan dengan teknik bedah katarak lain (Nishino dkk., 2008). Kelemahan fakoemulsifikasi diantaranya mesin yang mahal, learning curve lebih lama, dan biaya pembedahan yang tinggi (Khurana, 2007).
32 Pembedahan katarak dengan teknik fakoemulsifikasi dengan implantasi lensa intra okular sudah banyak dikerjakan secara luas dan merupakan pembedahan yang efektif. Meskipun komplikasi operasi dapat dikurangi dengan kemajuan teknik pembedahan ini, namun tajam penglihatan dapat dipengaruhi oleh keadaan tertentu pasca operasi seperti munculnya CME (Noble dan Simmons, 2001). Sahin dkk pada tahun 2013 melaporkan penelitiannya bahwa CME subklinis menggunakan OCT terjadi sebanyak 7.5% dari jumlah pasien pasca fakoemulsifikasi. Ching dkk melaporkan insiden CME klinis terjadi 3,05% dari 131 mata pasca fakoemulsifikasi. Vukicevic dkk melaporkan insiden CME subklinis menggunakan OCT pada minggu ke-empat pasca bedah katarak teknik fakoemulsifikasi tanpa komplikasi sebanyak 5% Manual Small Incision Cataract Surgery Manual Small incision cataract surgery (MSICS) merupakan teknik alternatif dari fakoemulsifikasi. Teknik ini memberikan keuntungan dalam pengaturan, medis, sosial ekonomi, biaya dan tidak bergantung pada mesin. Aspek-aspek ini yang memungkinkan teknik ini dilakukan di beberapa negara berkembang (Dhanapal dkk., 2010). Extra Capsular Cataract Extraction (ECCE) memerlukan insisi sklera yang lebar (10-11 mm) dan berkaitan dengan komplikasi intraoperatif yang lebih serius, memerlukan jahitan, waktu operasi yang lama dan pemulihan tajam penglihatan yang lambat pascaoperasi (Natchiar, 2000). MSICS merupakan bagian dari teknik ECCE, namun MSICS memiliki beberapa keuntungan dibandingkan ECCE konvensional diantaranya stabilitas luka dan stabilitas refraksi yang lebih baik karena insisi luka yang kecil 5-6 mm,
33 kenyamanan pasien karena penyembuhan visual yang lebih cepat, kesempatan terjadinya kolaps bilik mata depan intra operatif yang minimal serta komplikasi intra operatif lainnya dan minimalnya kunjungan pasca operasi (Dhanapal dkk., 2010; Natchiar 2000). Manual Small incision cataract surgery (MSICS) dapat digunakan pada berbagai kondisi katarak yang sangat luas diantaranya katarak senilis, katarak juvenil, katarak traumatika dan katarak komplikata (Gurung. dan Hennig, 2008). MSICS tidak memerlukan investasi alat yang mahal, dan transfer keterampilan terhadap operator pemula juga dapat dilakukan dengan baik. Hal ini menjadi pertimbangan penggunaan teknik MSICS sebagai teknik yang aman dan efektif untuk bedah katarak terutama di negara berkembang (Dhanapal dkk., 2010; Natchiar, 2000). A B C Gambar 2.3 Berbagai ukuran insisi luka. A = ECCE, B = MSICS, C = Fakoemulsifikasi (Dikutip dari Natchiar, 2000) 2.3. Cystoid Macular Edema Definisi Cystoid Macular Edema Cystoid macular edema (CME) adalah pembentukan ruang kista yang berisi cairan antara lapisan outer plexiform dan lapisan inner nuclear retina yang dihasilkan dari terganggunya sawar darah retina pada makula. Efek pada fungsi
34 penglihatan tergantung pada derajat keparahannya. CME dapat menyebabkan penglihatan kabur atau terganggu (American Academy of Ophthalmology Staff, b). CME setelah operasi katarak awalnya dilaporkan oleh Irvine pada tahun 1953 dan ditunjukkan dengan pemeriksaan fundus fluorescein angiography (FFA) oleh Gass dan Norton pada tahun 1966, sehingga dikenal sebagai sindroma Irvine-Gass (Nagpal dkk., 2001; Noble dan Simmons, 2001). Diagnosis CME klinis berdasarkan adanya penurunan tajam penglihatan kurang dari 6/12 disertai distorsi penglihatan dengan adanya gambaran khas pola petaloid pada pemeriksaan biomokroskop dan funduskopi yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan FFA atau OCT (American Academy of Ophthalmology Staff, c; Rosetti dan Autelitano, 2000). CME subklinis didiagnosis pada pasien yang dinyatakan asimtomatik tetapi terdeteksi adanya kebocoran kapiler perifoveal pada pemeriksaan FFA atau ditemukannya penebalan makula dan ruang-ruang kistik pada pemeriksaan OCT (Benitah dan Arroyo, 2010; Binder 2004). Cystoid macular edema (CME) pasca pembedahan katarak merupakan komplikasi lambat tersering. CME biasanya terjadi 3-12 minggu pasca operasi dengan puncak insiden 4-10 minggu, namun pada beberapa kasus CME onsetnya terlambat beberapa bulan bahkan tahunan setelah operasi katarak (Brynskov dkk, 2013; Akcay dkk., 2012). CME pasca operasi katarak dikatakan akut jika terjadi dalam 4 bulan pasca operasi. Cystoid macular edema onset lambat jika terjadi lebih dari 4 bulan pasca operasi katarak. Cystoid macular edema kronis jika bertahan lebih dari 6 bulan (Noble dan Simmons, 2001).
35 Diagnosis banding CME pascca bedah katarak jika dilihat dari pemeriksaan OCT diantaranya adalah diabetic macular edema, central serous chorioretinopathy, age macular degeneration tipe neovaskular, epiretinal membrane, traksi vitreomacular dan macular hole derajat 1A sampai derajat Insiden dan Epidemiologi Cystoid Macular Edema Menentukan insiden keseluruhan CME pasca bedah katarak tidak mudah karena banyak faktor yang berpengaruh seperti variasi populasi pasien yang dievaluasi (dengan berbagai faktor risiko), penggunaan metode yang berbeda untuk mengevaluasi penebalan makula dan teknik bedah katarak yang digunakan (Belair dkk., 2009). Powe melaporkan penelitiannya pada tahun 1994 perbandingan CME pasca pembedahan katarak dengan teknik ECCE dan fakoemulsifikasi pada pasien tanpa penyakit sistemik tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada kedua prosedur pembedahan tersebut, meskipun CME subklinis dengan FFA sedikit lebih tinggi pada ECCE dan angka kejadian CME klinis hampir sama yaitu 0-6% pada fakoemulsifikasi dibandingkan 0-7,6% pada ECCE. Saat ini insiden CME klinis pasca bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi tanpa komplikasi intra operatif sangat rendah yaitu 0,2-2%, dan insiden CME subklinis menggunakan FFA sepuluh kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan CME klinis (American Academy of Ophthalmology Staff, b). Angka-angka ini meningkat pada teknik yang menggunakan insisi lebih besar, meningkat pula jika terjadi kesulitan/komplikasi intra operatif seperti trauma iris, iris prolaps, hifema, adanya robekan kapsul posterior dengan vitreous
36 loss, atau pada pasien dengan risiko uveitis atau diabetes (Benitah dan Arroyo, 2010). Diabetes dikaitkan dengan peningkatan insiden CME pasca operasi katarak, insiden CME menggunakan OCT dilaporkan 22% pada mata dengan diabetes setelah pembedahan katarak (Kwon dkk., 2011). Cystoid macular edema subklinis berdasarkan pemeriksaan FFA dilaporkan terjadi sekitar 3% sampai 70% dari pasien setelah operasi katarak, dan yang mengalami CME klinis sekitar 0,1% sampai 12%. Mentes dkk. (2003) melaporkan insiden CME klinis pasca bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi yang lancar dengan kapsul posterior yang utuh sekitar 0-2%. Loewenstein & Zur (2010) melaporkan insiden CME klinis 0,1-2,35% pasca fakoemulsifikasi. Percival (1981) melaporkan 13% insiden CME pasca ECCE dengan kapsul posterior yang utuh, insiden lebih tinggi pada robekan kapsul posterior yaitu 27% dan vitreus pada bilik mata depan sebesar 33%. Rosetti dan Autelitano (2000) melaporkan bahwa vitreous loss berkorelasi dengan peningkatan CME sebesar 10-20%, penggunaan LIO iris supported juga berhubungan dengan peningkatan insiden. Gulkilik dkk. (2006) melaporkan insiden CME setelah trauma iris sebesar 70% dibandingkan tanpa trauma iris sebesar 20,5%. Subramian dkk. (2009) melaporkan insiden CME subklinis menggunakan FFA sebesar 9,87% dan insiden CME klinis sebesar 2,46% Etiopatogenesis Cystoid Macular Edema Etiologi dan patogenesis spesifik CME pasca bedah katarak tidak diketahui secara pasti. Banyak faktor yang dianggap memberikan kontribusi untuk
37 terjadinya CME seperti jenis operasi katarak, toksisitas cahaya, traksi vitreomacular, mediator inflamasi, penggunaan obat adrenergik, usia, vitreous loss, integritas kapsul posterior, hipertensi, diabetes mellitus dan pengalaman operator (Henderson dkk., 2007). Perubahan prosedur dari teknik ICCE dengan insisi besar sampai insisi kecil teknik fakoemulsifikasi dihubungkan dengan penurunan yang jelas dalam terjadinya komplikasi CME. Hal ini kemungkinan besar karena berkurangnya kerusakan sawar darah aquous pada fakoemulsifikasi dengan continuous curvilinear capsulorhexis (CCC) yang utuh dibandingkan setelah ICCE maupun ECCE konvensional (Purba dkk., 2010). Toksisitas cahaya mikroskop dianggap berkontribusi berkembangnya CME, namun sebuah penelitian prospektif acak tidak mendukung temuan ini, dan menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan secara statistik pada insiden CME menggunakan FFA (Lobo, 2011). Komplikasi lain yang terkait dengan tingkat peningkatan CME adalah terdapatnya sisa fragmen lensa, implantasi lensa intra okular (LIO) pada sulkus siliaris atau pada bilik mata depan, dan pada mata afakia (Lobo, 2011; Purba dkk., 2010). LIO dengan filter ultra violet dapat mengurangi insiden CME (Nagpal dkk., 2001). Usia pasien merupakan faktor lain yang perlu dipertimbangkan. Beberapa penulis telah menunjukkan korelasi positif dengan usia, mereka menunjukkan peningkatan insiden CME pada pasien yang lebih tua (Rosetti & Autolitano, 2000). Perubahan yang terjadi pada badan vitreous selama operasi merupakan mekanisme patogenik lain yang telah dinyatakan sebagai penyebab terbentuknya CME (Framme dan Wolf, 2012). Vitreous loss meningkatkan prevalensi CME sebesar 10-20% (Rosetti & Autolitano, 2000). Vitreous yang terjebak pada insisi
38 luka akan memperpanjang CME dan dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk (Framme dan Wolf, 2012). Robeknya kapsul posterior serta capsulotomy sekunder (termasuk laser YAG capsulotomy) berhubungan dengan angka CME yang lebih tinggi (Lobo, 2011; Purba dkk., 2010). Akcay dkk. (2012) melaporkan insiden CME sebesar 10% pasca pembedahan fakoemulsifikasi dengan komplikasi robekan kapsul posterior. Gulkilik dkk. (2006) menemukan CME menggunakan FFA sebesar 70% pada kasus pasca trauma iris dan 20,5% pada kasus tanpa trauma iris. Iris incarceration merupakan faktor risiko tambahan terjadinya CME karena dapat memiliki kaitan yang erat dengan buruknya penglihatan dibandingkan dengan komplikasi intraoperatif lainnya (Noble dan Simmons, 2001). Manipulasi bedah yang terjadi selama operasi katarak selalu menyebabkan trauma pada iris. Hal ini diketahui bahwa iris merupakan jaringan aktif secara metabolik yang melepaskan mediator inflamasi bila terjadi trauma (Nishino dkk., 2008). Diabetes mellitus meningkatkan resiko terjadinya CME, terutama pada pasien dengan retinopati diabetika yang sudah ada sebelumnya. Meskipun frekuensi masalah ini telah menurun dengan meluasnya penggunaan sayatan yang lebih kecil, namun tetap merupakan masalah yang penting untuk dipertimbangkan (Elsawy dkk., 2013; Kim dan Bressler, 2007). Udaondo dkk (2011) melaporkan peningkatan central macular thickness lebih dari 30% pada pasien dengan diabetes pasca operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi. Tajam penglihatan yang buruk pasca operasi katarak pada pasien diabetes mellitus kemungkinan karena terdapat dua bentuk klinis diabetic macular edema dan edema yang disebabkan CME pasca bedah katarak. Kedua edema ini sulit
39 dibedakan, meskipun beberapa peneliti menyatakan yang membedakan adalah CME pasca bedah katarak menyebabkan hiperfluoresen pada diskus optik dengan pemeriksaan FFA (Kim dan Bressler, 2007). Pasien dengan uveitis rentan berkembang CME, uveitis dapat menyebabkan terjadinya CME dengan banyak cara diantaranya infeksi, traumatik, immune-mediated atau induksi pembedahan (Belair dkk., 2009). Inflamasi merupakan alasan paling sering untuk hasil operasi katarak yang buruk pada pasien ini (Couch dan Bakri, 2009; Hariprasad dkk., 2009). Kebanyakan peneliti mempertimbangkan inflamasi sebagai faktor etiologi utama berkembangnya CME pasca bedah katarak (Coste dkk., 2009). Inflamasi secara langsung berhubungan dengan kerusakan pada sawar darah retina. Besar kemungkinan setelah operasi mediator inflamasi (prostaglandin, sitokin, dan faktor permeabilitas vaskular lainnya) dilepaskan dari segmen anterior mata dan menyebar ke rongga vitreous dan retina, merangsang kerusakan pada BRB dan berlanjut dengan kebocoran cairan di dinding vaskular retina dan melalui retinal pigmen epithelium (RPE) ke dalam jaringan perifoveal dan mengakibatkan edema makula (Schoenberger dan Kim, 2012). Agange dan Mosaed (2010) melaporkan ditemukannya kasus pada pasien yang menggunakan obat prostaglandin analog untuk penyakit pigmentary glaucoma mengalami CME rekuren pasca fakoemulsifikasi dan implantasi lensa intra okular yang lancar. Bagnis dkk. (2011) melaporkan pasien yang didiagnosis dengan occludable angle dan katarak senilis imatur yang dilakukan argon laser peripheral iridoplasty 5 minggu sebelum fakoemulsifikasi, pasien mengalami CME klinis yang ditemukan 4 minggu pasca fakoemulsifikasi yang lancar.
40 Bayyoud dkk. (2013) melaporkan 52 mata pasien dengan retinitis pigmentosa yang dilakukan fakoemulsifikasi dengan dan tanpa pemasangan capsular tension ring didapatkan 4% yang mengalami CME klinis. Meningkatnya waktu operasi berhubungan dengan meningkatnya inflamasi pasca operasi. Bedah katarak yang dilakukan residen berhubungan dengan panjangnya waktu operasi dan meningkatnya angka komplikasi intra operatif. Insiden CME klinis sebesar 2,4% (39 mata) dari 1659 pasca bedah katarak yang dilakukan residen oftalmologi di Massachussetts, Amerika Serikat (Henderson dkk., 2007). Setelah operasi, proses penyembuhan fisiologis terjadi perlahan-lahan namun progresif menekan peradangan. Sekitar 80% pasien CME pasca bedah katarak akan mengalami resolusi spontan disertai pemulihan tajam penglihatan dalam waktu 3-12 bulan (Noble dan Simmons, 2001). Benitah dan Arroyo (2010) melaporkan 90% mata dengan CME terjadi resolusi dalam hampir 2 tahun. Dalam situasi tertentu, jika CME yang berlebihan terjadi terutama dengan kasus bedah katarak dengan komplikasi intra operatif dapat menyebabkan kerusakan yang berat sehingga gangguan tajam penglihatan akan menetap (Brynskov dkk., 2013) Diagnosis Cystoid Macular Edema menggunakan Optical Coherence Tomography (OCT) Perkembangan teknologi pencitraan semakin cepat sesuai dengan tuntutan kemajuan jaman. OCT merupakan teknologi pencitraan yang menampilkan gambaran resolusi mikron, cross sectional, pada jaringan in vivo termasuk mikrostruktur okuli. OCT dapat dianalogikan dengan ultrasonografi, tetapi
41 bukan menggunakan gelombang suara melainkan menggunakan cahaya dekat infra merah untuk memperoleh gambaran cross sectional. OCT dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis karena kemudahannya untuk pemeriksaan mata baik segmen anterior maupun segmen posterior (Novita dan Moestijab, 2008; Saxena dan Meredith, 2006). Fundus fluorescence angiography (FFA) dipercaya menjadi standar emas untuk mengevaluasi CME sebelum era OCT. Namun teknik ini hanya mengukur secara kualitatif dan tidak cukup sensitif untuk menilai penebalan retina yang ringan. Saat ini, bukti yang paling akurat untuk menilai CME adalah dengan pemeriksaan OCT. Ketebalan foveal dapat meningkat secara signifikan yang berkaitan dengan penurunan tajam penglihatan (Lu dkk., 2012). OCT lebih baik dalam hal korelasi dengan tajam penglihatan dibandingkan FFA (Saxena dan Meredith, 2006). Optical coherence tomography merupakan alat non-kontak dan non-invasif yang sensitif dalam mendeteksi dan mengukur penebalan makula yang berhubungan dengan CME. OCT menghasilkan gambar dengan resolusi tinggi sehingga dapat menjelaskan perubahan histologi (Murthy & Chalam, 2010). Tahapan interpretasi OCT terdiri dari analisa kualitatif dan kuantitatif, deduksi dan sintesis. Analisa kualitatif terdiri dari studi morfologi, yaitu jika terjadi deformitas akan terlihat, contohnya hilangnya depresi fovea pada edema makula dan studi refleksifitas, yaitu hiperrefleksi, hiporefleksi dan area bayangan, dimana saat didapatkan kelainan akan terjadi perubahan refleksifitas. Analisa kuantitatif terdiri dari pengukuran ketebalan atau volume
42 retina. Ketebalan retina dapat diukur secara otomatis oleh software OCT, jarak antara permukaan vitreoretina dan permukaan anterior dari pigmen epitelium rata-rata berukuran µm. Cekungan fovea rata-rata berukuran µm (Bressler dan Ahmed, 2006). Scan protocol untuk patologi CME sebagai pilihan adalah fast macular thickness map karena dapat menggambarkan analisa topografik ketebalan makula dan perbandingan dengan data normatif. Diagnosis CME berdasarkan pemeriksaan OCT adalah ditemukannya penebalan lapisan neurosensori retina atau hilangnya depresi fovea disertai kantung-kantung hiporeflektif (bervariasi besar dan kecil) dalam retina menggambarkan edema kistik (Bressler dan ahmed, 2006). Gambar 2.4. Berbagai variasi cystoid macular edema pada OCT (Dikutip dari Saxena dan Meredith, 2006) Optical coherence tomography sangat berguna dalam mengevaluasi (follow-up) CME dengan mengukur ketebalan makula secara kuantitatif, terutama
43 dalam hal investigasi respon dari penatalaksanaan CME (Akcay dkk., 2012). Tingginya penebalan makula belum tentu berhubungan dengan hilangnya penglihatan. Perubahan yang kecil pada makula tampaknya tidak mempengaruhi tajam penglihatan, tetapi ketika perubahan ketebalan makula berada di jangkauan 100 µm atau lebih, tajam penglihatan dapat terpengaruh (Kim & Bressler, 2007).
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Mei sampai bulan Agustus 2015 di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Edema sistoid makula atau cystoid macular edema (CME) merupakan komplikasi patologis retina yang sering terjadi dan terdapat
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Edema sistoid makula atau cystoid macular edema (CME) merupakan komplikasi patologis retina yang sering terjadi dan terdapat dalam berbagai kondisi patologis seperti
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penebalan atau edema yang berisi cairan dan konstituen plasma di lapisan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang DME (Diabetik Macular Edema) merupakan suatu penyakit berupa penebalan atau edema yang berisi cairan dan konstituen plasma di lapisan outer plexiform retina. Ciri
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA a. Tinjauan Pustaka 1. LENSA KRISTALINA ANATOMI Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular tak berwarna dan transparan. Tebal sekitar 4 mm dan diameternya 10 mm. Dibelakang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Edema sistoid makula paska operasi katarak atau post cataract
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KERANGKA TEORI 2.1.1. DEFINISI Edema sistoid makula paska operasi katarak atau post cataract extraction (pseudophakic) cystoid macular edema atau dikenal dengan istilah Irvine-Gass
Lebih terperinciLembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 23 SEPTEMBER Pembimbing I, Pembimbing II,
Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 23 SEPTEMBER 2016 Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. dr. A A Mas Putrawati Triningrat,Sp.M(K) NIP. 19751017 2006042001 dr. Ariesanti Tri Handayani, Sp.M(K)
Lebih terperinciThe Incident of Postoperation Complication with Phacoemulsification at PKU Muhammadiyah Yogyakarta 1
The Incident of Postoperation Complication with Phacoemulsification at PKU Muhammadiyah Yogyakarta 1 Angka Kejadian Komplikasi Pasca Bedah Katarak dengan Teknik Fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah
Lebih terperinciGlaukoma. 1. Apa itu Glaukoma?
Glaukoma Glaukoma dikenal sebagai "Pencuri Penglihatan" karena tidak ada gejala yang jelas pada tahap awal terjadinya penyakit ini. Penyakit ini mencuri penglihatan Anda secara diam-diam sebelum Anda menyadarinya.
Lebih terperinciPROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
TESIS KEHILANGAN SEL ENDOTEL KORNEA PASCA FAKOEMULSIFIKASI PADA PASIEN KATARAK SENILIS DENGAN DIABETES MELITUS LEBIH TINGGI DIBANDINGKAN TANPA DIABETES MELITUS YULIA DEWI SUANDARI PROGRAM PASCASARJANA
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Katarak berasal dari bahasa Yunani Katarrhakies, Ingris Cataract, dan Latin
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Katarak berasal dari bahasa Yunani Katarrhakies, Ingris Cataract, dan Latin Cataracta yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular dimana penglihatan
Lebih terperinciKetebalan retina kira-kira 0,1 mm pada ora serata dan 0,56 mm pada kutub posterior. Di
Anatomi Retina Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan yang melapisi bagian dalam 2/3 posterior dinding bola mata. Retina membentang ke anterior hampir sejauh korpus
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut data Riskesdas 2013, katarak atau kekeruhan lensa
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut data Riskesdas 2013, katarak atau kekeruhan lensa kristalin mata merupakan salah satu penyebab kebutaan terbanyak di indonesia maupun di dunia. Perkiraan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan yang utama di dunia. Data
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan yang utama di dunia. Data World Health Organization (WHO) tahun 2002 menyebutkan angka kebutaan diseluruh dunia sekitar
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari. Kesehatan indera. penglihatan merupakan faktor penting dalam meningkatkan kualitas
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indera penglihatan merupakan organ vital bagi manusia untuk memperoleh informasi dalam bentuk visual yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari.
Lebih terperinciHUBUNGAN KADAR KOLESTEROL TOTAL DENGAN KEJADIAN KATARAK SENILIS PADA PENDUDUK USIA 50 TAHUN KE ATAS DI PROVINSI BALI
TESIS HUBUNGAN KADAR KOLESTEROL TOTAL DENGAN KEJADIAN KATARAK SENILIS PADA PENDUDUK USIA 50 TAHUN KE ATAS DI PROVINSI BALI YENITA KHATANIA ARDJAJA NIM 1214128204 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
Lebih terperinciAgia Dwi Nugraha Pembimbing : dr. H. Agam Gambiro Sp.M. KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA RSUD Cianjur FK UMJ
Agia Dwi Nugraha 2007730005 Pembimbing : dr. H. Agam Gambiro Sp.M KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA RSUD Cianjur FK UMJ Fisiologi lensa : Fungsi utama memfokuskan berkas cahaya ke retina. Kerjasama
Lebih terperinciPEMBERIAN ASAM ASKORBAT ORAL MENGHAMBAT PENURUNAN DENSITAS SEL ENDOTEL KORNEA PASCA FAKOEMULSIFIKASI
TESIS PEMBERIAN ASAM ASKORBAT ORAL MENGHAMBAT PENURUNAN DENSITAS SEL ENDOTEL KORNEA PASCA FAKOEMULSIFIKASI NOVIANTI PRIMASARI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 TESIS PEMBERIAN ASAM
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dalam kandungan dan faktor keturunan(ilyas, 2006).
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Katarak adalah keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau terjadi akibat kedua-duanya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Katarak adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa mata dan menjadi penyebab
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Katarak adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa mata dan menjadi penyebab kebutaan utama di seluruh dunia termasuk Indonesia. Pembedahan masih merupakan satu-satunya
Lebih terperinciMuhammadiyah Yogyakarta, 2 Departemen Mata, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ABSTRACT
Perbandingan Peningkatan Tekanan Intraokular pada Pasien Post Operasi Ekstraksi Katarak Ekstrakapsular dibandingkan dengan Fakoemulsifikasi di AMC Yogyakarta pada Tahun 2011-2012 The Comparison of Intraocular
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. setiap tahun di antara orang terdapat seorang penderita baru katarak (Kemenkes RI,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit katarak merupakan penyebab utama kebutaan di seluruh dunia, yaitu sebesar 51% (WHO, 2012). Perkiraan insiden katarak di Indonesia adalah 0,1%/tahun atau setiap
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Katarak menurut American Academy of Ophtamology (AAO) adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa sehingga cahaya tidak bisa difokuskan dengan tepat kepada retina.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. diabetes retinopati (1%), penyebab lain (18%). Untuk di negara kita, Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan penglihatan masih menjadi sebuah masalah di dunia. Angka kejadian gangguan penglihatan di dunia cukup tinggi yakni mencakup 4,25 % dari penduduk dunia atau
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Katarak Asal kata katarak dari bahasa Yunani cataracta yang berarti air terjun. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata yang biasanya bening
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Masalah mata merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia karena mata
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah mata merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia karena mata merupakan organ sensoris yang sangat vital. Delapan puluh persen informasi diperoleh dari penglihatan
Lebih terperinciABSTRAK ANGKA KEJADIAN KATARAK SENIL DAN KOMPLIKASI KEBUTAAN DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2009 DESEMBER 2011
ABSTRAK ANGKA KEJADIAN KATARAK SENIL DAN KOMPLIKASI KEBUTAAN DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2009 DESEMBER 2011 Lukas Jesse Tangguh, 2012, Pembimbing I : L. K. Liana, dr., Sp.PA, M.Kes
Lebih terperinciRetina. Apakah RETINA itu?
Apakah RETINA itu? adalah lapisan sel-sel syaraf di dalam mata yang berfungsi seperti kornea dan lensa mata yang kemudian difokuskan pada retina. mengubah cahaya tersebut menjadi signal-signal penglihatan
Lebih terperinciDIAGNOSTIK C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT SKOR ALVARADO 5-6
TESIS VALIDITAS DIAGNOSTIK C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT SKOR ALVARADO 5-6 JIMMY NIM 0914028203 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA DIABETES MELITUS TIPE II DENGAN KOLONISASI BAKTERI KONJUNGTIVA PADA PASIEN DI POLIKLINIK MATA
TESIS HUBUNGAN ANTARA DIABETES MELITUS TIPE II DENGAN KOLONISASI BAKTERI KONJUNGTIVA PADA PASIEN DI POLIKLINIK MATA NI MADE AYU TRISNADEWI SUYASA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Katarak umumnya didefinisikan sebagai kekeruhan lensa. Katarak
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teori Katarak umumnya didefinisikan sebagai kekeruhan lensa. Katarak sebagian besar timbul pada usia tua. Terkadang hal ini disebut juga sebagai katarak terkait usia.
Lebih terperinciinduced astigmatism yang rendah. Sayangnya dalam beberapa kondisi teknik operasi fakoemulsifikasi tidak bisa dilakukan, misalnya pada daerah dengan
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kebutaan saat ini masih merupakan masalah gangguan penglihatan di dunia. Menurut data World Health Organization (WHO) tentang angka kebutaan global, didapatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (DM) yang telah berlangsung lama (InaDRS, 2013; Agni, dkk., 2007).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Retinopati diabetik adalah suatu kelainan retina karena perubahan pembuluh darah retina akibat diabetes, sehingga mengakibatkan gangguan nutrisi pada retina. Retinopati
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah restrospektif analitik dengan melihat rekam medis pasien yang menjalani operasi katarak dengan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif analitik dengan melihat
BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif analitik dengan melihat rekam medis pasien katarak senilis pascaoperasi fakoemulsifikasi di Rumah Sakit PKU
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Glaukoma adalah sekumpulan gejala dengan tanda karakteristik berupa
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Glaukoma adalah sekumpulan gejala dengan tanda karakteristik berupa adanya neuropati optik glaukomatosa bersamaan dengan defek atau gangguan penyempitan lapang pandangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyakit. Lensa menjadi keruh atau berwarna putih abu-abu, dan. telah terjadi katarak senile sebesar 42%, pada kelompok usia 65-74
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Katarak adalah kekeruhan lensa mata yang dapat menghambat cahaya masuk ke mata. Menurut WHO, kebanyakan katarak terkait dengan masalah penuaan, meskipun kadang-kadang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sembilan puluh persen dari 285 juta penderita gangguan penglihatan tinggal
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sembilan puluh persen dari 285 juta penderita gangguan penglihatan tinggal di negara berkembang, termasuk Indonesia. 1 Di Indonesia, satu orang menjadi buta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau terjadi akibat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Katarak adalah keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau terjadi akibat kedua-duanya(ilyas,
Lebih terperinciSOP KATARAK. Halaman 1 dari 7. Rumah Sakit Umum Daerah Kota Cilegon SMF. Ditetapkan Oleh Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kota Cilegon.
SPO Tanggal Terbit 1 dari 7 Ditetapkan Oleh Direktur PENGERTIAN ANAMNENIS Dr. H. Zainoel Arifin, M. Kes Nip. 19591104 198511 1 001 Pemeriksaan gangguan penglihatan yang disebabkan perubahan lensa mata
Lebih terperinciKARYA TULIS ILMIAH. Oleh : Nuruljannah Nazurah Gomes FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN. Universitas Sumatera Utara
Hubungan Faktor Usia, Jenis Kelamin dan Diabetes Mellitus dengan Kejadian Katarak pada Pasien Rawat Jalan Bagian Ilmu Kesehatan Mata di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun 2012 KARYA TULIS ILMIAH Oleh : Nuruljannah
Lebih terperinciTERDAPAT HUBUNGAN ANTARA UMUR IBU DENGAN JUMLAH FOLIKEL ANTRAL PADA FERTILISASI IN VITRO
TESIS TERDAPAT HUBUNGAN ANTARA UMUR IBU DENGAN JUMLAH FOLIKEL ANTRAL PADA FERTILISASI IN VITRO FRANSISKUS CHRISTIANTO RAHARJA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 TESIS TERDAPAT HUBUNGAN
Lebih terperinciDAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...
DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM...i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI...iii PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN...iv ABSTRAK...v ABSTRACT...vi RINGKASAN...vii SUMMARY...ix KATA PENGANTAR...xi
Lebih terperinciPEMBERIAN DOXYCYCLINE 200 MG MENGHAMBAT PERTUMBUHAN PTERIGIUM LEBIH BESAR DIBANDINGKAN PLASEBO
TESIS PEMBERIAN DOXYCYCLINE 200 MG MENGHAMBAT PERTUMBUHAN PTERIGIUM LEBIH BESAR DIBANDINGKAN PLASEBO NYOMAN YENNY KHRISTIAWATI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 TESIS PEMBERIAN DOXYCYCLINE
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau akibat keduaduanya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Katarak adalah setiap keeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau akibat keduaduanya yang disebabkan
Lebih terperinciABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015
ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015 Diabetes melitus tipe 2 didefinisikan sebagai sekumpulan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Leber Hereditary Optic Neuropathy (LHON) merupakan penyakit
BAB I PENDAHULUAN 1..1Latar Belakang Leber Hereditary Optic Neuropathy (LHON) merupakan penyakit diturunkan secara maternal yang menyebabkan penderitanya mengalami degenerasi pada serabut saraf retina
Lebih terperinciABSTRAK. Hubungan Penurunan Pendengaran Sensorineural dengan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Terkontrol dan Tidak Terkontrol di RSUP Sanglah
ABSTRAK Hubungan Penurunan Pendengaran Sensorineural dengan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Terkontrol dan Tidak Terkontrol di RSUP Sanglah Dini Nur Muharromah Yuniati Diabetes melitus (DM) merupakan suatu
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Pada saat lahir mata bayi normal cukup bulan berukuran kira-kira 2/3 ukuran mata orang dewasa. Pertumbuhan
Lebih terperinciPELATIHAN METODE BOBATH LEBIH BAIK DARIPADA METODE FELDENKRAIS TERHADAP PENINGKATAN KESEIMBANGAN PADA PASIEN PASCA STROKE
TESIS PELATIHAN METODE BOBATH LEBIH BAIK DARIPADA METODE FELDENKRAIS TERHADAP PENINGKATAN KESEIMBANGAN PADA PASIEN PASCA STROKE ADITYA DENNY PRATAMA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
Lebih terperinciTESIS PERBANDINGAN VOLUME ALIRAN DARAH PADA TEKNIK PENYAMBUNGAN SIDE TO END DENGAN END TO END 4 MINGGU PASCA FISTULA RADIOCEPHALICA DI RSUP SANGLAH
TESIS PERBANDINGAN VOLUME ALIRAN DARAH PADA TEKNIK PENYAMBUNGAN SIDE TO END DENGAN END TO END 4 MINGGU PASCA FISTULA RADIOCEPHALICA DI RSUP SANGLAH PUTU AYU SARASWATI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menggunakan insulin secara efektif. Menurut International Diabetes
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang terjadi ketika tubuh tidak dapat memproduksi cukup insulin maupun karena tidak dapat menggunakan insulin secara efektif.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Astigmatisma adalah kelainan refraksi yang mencegah berkas. Pada astigmatisma, mata menghasilkan suatu bayangan dengan
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN II.1 KERANGKA TEORI 2.1. Astigmatisma 2.1.1. Pengertian Astigmatisma Astigmatisma adalah kelainan refraksi yang mencegah berkas cahaya jatuh sebagai suatu fokus titik di retina
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. transparansinya. Katarak merupakan penyebab terbanyak gangguan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Katarak adalah keadaan dimana lensa menjadi keruh atau kehilangan transparansinya. Katarak merupakan penyebab terbanyak gangguan penglihatan, yang bisa menyebabkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang paling efisien dan ekonomis untuk negara-negara berkembang seperti
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Small Incision Cataract Surgery (SICS) merupakan teknik operasi katarak yang paling efisien dan ekonomis untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia. Insisi di
Lebih terperinciKADAR 8-HYDROXYL-2 -DEOXYGUANOSINE SERUM PASIEN GLAUKOMA PRIMER SUDUT TERBUKA LEBIH TINGGI DIBANDINGKAN KONTROL
TESIS HALAMAN J KADAR 8-HYDROXYL-2 -DEOXYGUANOSINE SERUM PASIEN GLAUKOMA PRIMER SUDUT TERBUKA LEBIH TINGGI DIBANDINGKAN KONTROL HARUMI PURWA PRAHESTHY PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM
Lebih terperinciKADAR APOLIPOPROTEIN B SERUM YANG TINGGI BERHUBUNGAN DENGAN CLINICALLY SIGNIFICANT MACULAR EDEMA PADA RETINOPATI DIABETIK
TESIS KADAR APOLIPOPROTEIN B SERUM YANG TINGGI BERHUBUNGAN DENGAN CLINICALLY SIGNIFICANT MACULAR EDEMA PADA RETINOPATI DIABETIK I GUSTI AYU RATNA SURYANINGRUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
Lebih terperinciABSTRAK RIWAYAT PENYAKIT, TEMUAN HISTOPATOLOGIS, DAN TERAPI PASIEN KANKER KOLOREKTAL DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
ABSTRAK RIWAYAT PENYAKIT, TEMUAN HISTOPATOLOGIS, DAN TERAPI PASIEN KANKER KOLOREKTAL DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH Kanker kolorektal merupakan kanker yang umum dijumpai dengan angka kematian yang tinggi
Lebih terperinciTESIS PENINGKATAN KEPADATAN SEL GOBLET KONJUNGTIVA BULBI PADA PASIEN PASCA EKSISI PTERIGIUM PRIMER DENGAN CONJUNCTIVAL LIMBAL GRAFT
TESIS PENINGKATAN KEPADATAN SEL GOBLET KONJUNGTIVA BULBI PADA PASIEN PASCA EKSISI PTERIGIUM PRIMER DENGAN CONJUNCTIVAL LIMBAL GRAFT NYOMAN NOVITA RISMAWATI NIM 1114128102 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA GLAUKOMA DENGAN DIABETES MELITUS DAN HIPERTENSI SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
HUBUNGAN ANTARA GLAUKOMA DENGAN DIABETES MELITUS DAN HIPERTENSI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Karla Kalua G0011124 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebagai pelaku pembangunan dapat merasakan dan menikmati hasil dari pembangunan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan kerja adalah suatu aspek atau unsur kesehatan yang erat berkaitan dengan lingkungan kerja dan pekerjaan, yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan diseluruh dunia. Oleh karena itu, terjadi pergeseran paradigma oftalmologi dari rehabilitasi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Miopia (nearsightedness) adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 KERANGKA TEORI II.1.1 DEFINISI Miopia (nearsightedness) adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar masuk ke bola mata tanpa akomodasi akan dibiaskan di depan
Lebih terperinciABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK PENYAKIT KUSTA DI POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN RSUP SANGLAH DENPASAR PERIODE
ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK PENYAKIT KUSTA DI POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN RSUP SANGLAH DENPASAR PERIODE 2011 2013 Kasus kusta di Indonesia tergolong tinggi dibandingkan Negara lain. Angka kejadian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Jumlah penderitadiabetes mellitus (DM) baru di seluruh dunia meningkat secara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penderitadiabetes mellitus (DM) baru di seluruh dunia meningkat secara drastis, dari 150 juta penderita pada tahun 2009 dan diperkirakan mencapai 300 juta penderita
Lebih terperinciI KOMANG AGUS SETIAWAN
TESIS USIA LEBIH DARI 45 TAHUN, JUMLAH LEKOSIT, RIWAYAT KONSUMSI ALKOHOL DAN KONSUMSI OBAT NSAID SEBAGAI FAKTOR RISIKO PADA ULKUS PEPTIKUM PERFORASI DI BAGIAN BEDAH RSUP SANGLAH I KOMANG AGUS SETIAWAN
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. tepat di retina (Mansjoer, 2002). sudah menyatu sebelum sampai ke retina (Schmid, 2010). Titik fokus
BAB II TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Miopia a. Definisi Miopia merupakan mata dengan daya lensa positif yang lebih kuat sehingga sinar yang sejajar atau datang dari tak terhingga
Lebih terperinciPROFIL GLAUKOMA SEKUNDER AKIBAT KATARAK SENILIS PRE OPERASI DI RSUP. PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2011 DESEMBER 2011
PROFIL GLAUKOMA SEKUNDER AKIBAT KATARAK SENILIS PRE OPERASI DI RSUP. PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 011 DESEMBER 011 1 Dwi Ananda Thayeb J.S.M Saerang Laya M. Rares 1Kandidat SKRIPSI Fakultas
Lebih terperinciPENGARUH INJEKSI ANTI-VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (ANTI-VEGF) TERHADAP GRADE TRANSLUSENSI DAN PANJANG PTERIGIUM PRIMER
PENGARUH INJEKSI ANTI-VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (ANTI-VEGF) TERHADAP GRADE TRANSLUSENSI DAN PANJANG PTERIGIUM PRIMER Tesis Diajukan ke Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Sebagai Salah Satu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kornea merupakan dinding depan bola mata yang transparan dan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kornea merupakan dinding depan bola mata yang transparan dan merupakan jaringan yang avaskular. Lapisan kornea dari luar ke dalam adalah epitel, membrana bowman, stroma,
Lebih terperinciVALIDITAS DIAGNOSIS SKOR APPENDICITIS INFLAMMATORY RESPONSE (AIR) PADA APENDISITIS AKUT DI RS SANGLAH DENPASAR BALI
TESIS VALIDITAS DIAGNOSIS SKOR APPENDICITIS INFLAMMATORY RESPONSE (AIR) PADA APENDISITIS AKUT DI RS SANGLAH DENPASAR BALI SESSY ARIE MARGARETH NIM 0914028208 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
Lebih terperinciPERBEDAAN TAJAM PENGLIHATAN PASCAOPERASI FAKOEMULSIFIKASI PADA PASIEN KATARAK SENILIS DENGAN DIABETES MELLITUS DAN TANPA DIABETES MELITUS
PERBEDAAN TAJAM PENGLIHATAN PASCAOPERASI FAKOEMULSIFIKASI PADA PASIEN KATARAK SENILIS DENGAN DIABETES MELLITUS DAN TANPA DIABETES MELITUS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi
Lebih terperinciABSTRAK HUBUNGAN KONSUMSI MAKANAN CEPAT SAJI DENGAN OBESITAS PADA ANAK USIA TAHUN
ABSTRAK HUBUNGAN KONSUMSI MAKANAN CEPAT SAJI DENGAN OBESITAS PADA ANAK USIA 10-12 TAHUN Meningkatnya prevalensi obesitas pada anak sering dikaitkan dengan kebiasaan anak mengkonsumsi makanan cepat saji
Lebih terperinciBAB.I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang memiliki
14 BAB.I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang memiliki karakteristik berupa hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebagai katarak sekunder atau after cataract yang disebabkan oleh lensa sel
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posterior Capsular Opacity (PCO) adalah komplikasi yang paling umum dari operasi katarak yang terjadi pada pasien setelah operasi katarak fakoemulsifikasi dengan implantasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. secara efektif. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1 yang terjadi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah akibat tidak terbentuknya insulin oleh sel-β pankreas atau
Lebih terperinciPREVALENSI TERJADINYA TUBERKULOSIS PADA PASIEN DIABETES MELLITUS (DI RSUP DR.KARIADI SEMARANG) LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH
PREVALENSI TERJADINYA TUBERKULOSIS PADA PASIEN DIABETES MELLITUS (DI RSUP DR.KARIADI SEMARANG) LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 kedokteran
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Definisi Katarak Katarak adalah keadaan dimana terjadinya kekeruhan pada lensa mata dan merupakan penyebab utama kebutaan di dunia serta penyebab utama kurangnya
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. LANDASAN TEORI 1. Anatomi Mata Gambar 1. Penampang bola mata Mata adalah indera penglihatan. Mata dibentuk untuk menerima rangsangan berkas cahaya pada retina, lalu dengan perantaraan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Mata merupakan bagian pancaindera yang sangat penting dibanding
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mata merupakan bagian pancaindera yang sangat penting dibanding indera lainnya. Para ahli mengatakan, jalur utama informasi 80% adalah melalui mata. Mata sering disebut
Lebih terperinciPERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI
PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Lebih terperinciEFEK VITAMIN A TOPIKAL TERHADAP KEPADATAN SEL GOBLET KONJUNGTIVA PASCA SMALL INCISION CATARACT SURGERY
TESIS EFEK VITAMIN A TOPIKAL TERHADAP KEPADATAN SEL GOBLET KONJUNGTIVA PASCA SMALL INCISION CATARACT SURGERY ETIKA WIDHIASTUTI PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 TESIS EFEK VITAMIN
Lebih terperinciABSTRAK PERBANDINGAN PROSENTASE FRAGMENTOSIT ANTARA PENDERITA DM TIPE 2 DENGAN ORANG NON-DM DI PUSKESMAS CIMAHI TENGAH
ABSTRAK PERBANDINGAN PROSENTASE FRAGMENTOSIT ANTARA PENDERITA DM TIPE 2 DENGAN ORANG NON-DM DI PUSKESMAS CIMAHI TENGAH Theresia Indri, 2011. Pembimbing I Pembimbing II : Adrian Suhendra, dr., Sp.PK., M.Kes.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. hampir 80 % prevalensi diabetes melitus adalah DM tipe 2 (www.depkes.go.id,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi Diabetes Melitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta orang. Secara umum, hampir 80 % prevalensi
Lebih terperinciKADAR TRIGLISERIDA BERKORELASI POSITIF DENGAN JUMLAH LESI SKIN TAG DAN KADAR HIGH DENSITY LIPOPROTEIN BERKORELASI NEGATIF DENGAN JUMLAH LESI SKIN TAG
TESIS KADAR TRIGLISERIDA BERKORELASI POSITIF DENGAN JUMLAH LESI SKIN TAG DAN KADAR HIGH DENSITY LIPOPROTEIN BERKORELASI NEGATIF DENGAN JUMLAH LESI SKIN TAG FRANSISCA SYLVANA KUSUMAWATI NIM 0914088204 PROGRAM
Lebih terperinciPerbedaan Tajam Penglihatan Pra dan Pasca Bedah Katarak dengan Uveitis
Ophthalmol Ina (2015) 41:1 89 Original Article Perbedaan Tajam Penglihatan Pra dan Pasca Bedah Katarak dengan Uveitis Ronny Gushalf, Erna Tjahyaningtyas, Budiman Department of Ophthalmology, Faculty of
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. sejak lahir (Ilyas S, 2006). Orang tua akan menyadari untuk pertama kali dengan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Katarak kongenital adalah bentuk kekeruhan lensa yang terlihat pada anak sejak lahir (Ilyas S, 2006). Orang tua akan menyadari untuk pertama kali dengan melihat ada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. al., 2009). Lebih dari 60 juta penduduk di dunia mengalami Glaukoma (Wong et
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Glaukoma adalah kelainan mata yang ditandai dengan neuropati optik Glaukomatosa serta hilangnya lapang pandang yang khas, disertai peningkatan tekanan intraokuler
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI.... iv ABSTRAK v ABSTRACT. vi RINGKASAN.. vii SUMMARY. ix
Lebih terperinciPERBEDAAN PREVALENSI SINDROM MATA KERING ANTARA DAERAH PEDESAAN DAN PERKOTAAN PADA PENDUDUK USIA 50 TAHUN KE ATAS DI BALI
TESIS PERBEDAAN PREVALENSI SINDROM MATA KERING ANTARA DAERAH PEDESAAN DAN PERKOTAAN PADA PENDUDUK USIA 50 TAHUN KE ATAS DI BALI NI MADE DWIPAYANI NIM 1214128201 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
Lebih terperinciA. Latar Belakang Penelitian
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Retinal Vein Occlusion (RVO) adalah sumbatan pada pembuluh darah vena di retina (Bradvica et al. 2012). Pertama kali dilaporkan oleh Liebrich pada tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hilangnya serat saraf optik (Olver dan Cassidy, 2005). Pada glaukoma akan terdapat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Glaukoma adalah suatu neuropati optik multifaktorial dengan karakteristik hilangnya serat saraf optik (Olver dan Cassidy, 2005). Pada glaukoma akan terdapat kelemahan
Lebih terperinciBAB III KERANGKA KONSEPSIONAL DAN DEFINISI OPERASIONAL. Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan dan
BAB III KERANGKA KONSEPSIONAL DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. KERANGKA KONSEPSIONAL Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan dan mengarahkan asumsi mengenai elemen-elemen yang di teliti.
Lebih terperinciDAFTAR ISI. Sampul Dalam... i. Lembar Persetujuan... ii. Penetapan Panitia Penguji... iii. Kata Pengantar... iv. Pernyataan Keaslian Penelitian...
DAFTAR ISI Sampul Dalam... i Lembar Persetujuan... ii Penetapan Panitia Penguji... iii Kata Pengantar... iv Pernyataan Keaslian Penelitian... v Abstrak... vi Abstract...... vii Ringkasan.... viii Summary...
Lebih terperinciPREVALENSI RETINOPATI DIABETIKA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI POLIKLINIK PENYAKIT DALAM RSUP SANGLAH DENPASAR
PREVALENSI RETINOPATI DIABETIKA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI POLIKLINIK PENYAKIT DALAM RSUP SANGLAH DENPASAR Ni Made Sintia Anggia Sari 1, Made Ratna Saraswati 2 1) Fakultas Kedokteran Universitas
Lebih terperinciAZIMA AMINA BINTI AYOB
Kejadian Anemia Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Ruang Rawat Jalan dan Ruang Rawat Inap Divisi Endokrinologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RSUP H. Adam Malik, Medan Pada Tahun 2011-2012 AZIMA
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Katarak Katarak berasal dari bahasa Yunani, Katarrhakies yang berarti air terjun. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan
Lebih terperinciDAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...
DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i LEMBAR PERSETUJUAN... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii KATA PENGANTAR... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii RINGKASAN...
Lebih terperinciBAB II. Kelainan refraksi disebut juga refraksi anomali, ada 4 macam kelainan refraksi. yang dapat mengganggu penglihatan dalam klinis, yaitu:
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. KERANGKA TEORI Kelainan refraksi disebut juga refraksi anomali, ada 4 macam kelainan refraksi yang dapat mengganggu penglihatan dalam klinis, yaitu: 1. Miopia 2. Hipermetropia
Lebih terperinciGLAUKOMA DEFINISI, KLASIFIKASI, EPIDEMIOLOGI, ETIOLOGI, DAN FAKTOR RISIKO
GLAUKOMA DEFINISI, KLASIFIKASI, EPIDEMIOLOGI, ETIOLOGI, DAN FAKTOR RISIKO LTM Pemicu 2 Modul Penginderaan Komang Shary Karismaputri NPM 1206238633 Kelompok Diskusi 16 Outline Pendahuluan Definisi Kesimpulan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kornea merupakan jaringan transparan avaskular yang berada di dinding depan bola mata. Kornea mempunyai fungsi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kornea merupakan jaringan transparan avaskular yang berada di dinding depan bola mata. Kornea mempunyai fungsi sebagai lapisan pelindung bola mata dan media refraksi
Lebih terperinci