Pasien pria usia 81 tahun dengan pneumonia dan riwayat rawat inap sebelumnya

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pasien pria usia 81 tahun dengan pneumonia dan riwayat rawat inap sebelumnya"

Transkripsi

1 Pasien pria usia 81 tahun dengan pneumonia dan riwayat rawat inap sebelumnya Pasien pria usia 81 tahun dengan riwayat diabetes mellitus kronik tidak terkontrol datang dengan keluhan utama sesak napas dan penurunan kesadaran tiba-tiba sejak 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Pasien selama ini dalam perawatan homecare oleh keluarga dan mendapatkan nutrisi enteral per sonde 6 kali sehari. Riwayat penyakit dahulu pasien termasuk : hipertensi, penyakit jantung koroner, gastritis erosif dan hipertrofi prostat benigna. Pasien pernah dirawat dalam waktu kurang lebih satu bulan terakhir dengan stroke iskemik dan menerima terapi berupa antibiotika parenteral. Pasien datang dengan keadaan umum tampak sakit berat dan kesadaran sopor (GCS=10-12). Keadaan hemodinamik tidak stabil, nadi 135 kali/menit, tekanan darah 140/78 mmhg dan akral teraba dingin. Pernapasan cepat dan dalam, laju 30 kali/menit, dan dengan udara ruangan saturasi O 2 83%. Suhu pasien terukur 36,5 C. Pasien nampak anemis dan tampak bercak-bercak diskolorasi karena gangguan perfusi pada keempat ekstremitas. Pupil isokor, diameter 3mm kedua sisi, dan reaksi cahaya positif bilateral. Pemeriksaan paru didapatkan pergerakan paru simetris cepat dan dalam, ronki kasar bilateral pada seluruh lapangan paru, tanpa wheezing. Pemeriksaan jantung tidak didapatkan kelainan. Abdomen tampak distensi dengan peristaltik normal. Pemeriksaan penunjang telah dilakukan rontgen thoraks, dengan hasil gambaran kardiomegali dengan edema paru, kecurigaan infeksi sekunder dan efusi pleura bilateral. Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium awal pasien Jenis Pemeriksaan Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Referensi Hasil Nilai Referensi Laboratorium Pemeriksaan Normal * Laboratorium Pemeriksaan Normal * Hemoglobin 10,3 g/dl 14,0-17,4 g/dl Alanin Transferase 13 U/L U/L (ALT) Leukosit Aspartat 40 U/L U/L sel/μl Transferase (AST) Trombosit Albumin 2,1 g/dl 3,5-4,8 g/dl sel/µl sel/μl ph 7,182 7,35-7,45 Gamma GT 7-47 U/L pco2 39,6 mmhg mmhg Fosfatase Alkali 414 U/L U/L po2 57,0 mmhg >80 mmhg Ureum 107 mg/dl 40 mg/dl HCO3-13,9 meq/l meq/l Kreatinin 1,3 mg/dl 0,9-1,3 mg/dl Base Excess -13,0 >2 mmol/l Glukosa darah 355 mg/dl < 200 mg/dl mmol/l Sewaktu Natrium 151 meq/l meq/l Kalium 4,8 meq/l 3,6-5,8 meq/l Pasien di rawat di unit rawat intensif dengan Acute Respiratory Distress Syndrome, Pneumonia, Asidosis metabolik dan Hypernatremia. Penatalaksaan dilakukan untuk menangani kelainan mendasar, termasuk intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik, pemasangan kateter vena sentral, resusitasi cairan dan pemberian nutrisi kombinasi parenteral/enteral serta pemberian antibiotika sistemik empirik dengan Cefepime. Darah diambil untuk pemeriksaan laboratorium dengan hasil seperti di atas dan dilakukan pemeriksaan kultur dan tes resistensi. Hasil pemeriksaan kultur dan resistensi terhadap darah vena dan spesimen bronkoskopi menunjukkan adanya infeksi dengan Klebsiella pneumoniae.

2 Tanya : Pasien ini dirawat dengan Pneumonia yang disebabkan infeksi Klebsiella pneumoniae, menurut saudara tanpa melihat hasil kultur dan tes resistensi, apakah dasar dari kecurigaan klinis pada pasien ini untuk infeksi terhadap patogen tersebut? Apakah kategori dari pneumonia yang dideritanya dan apakah kepentingan dari penggolongan pasien ini ke dalam kategori tersebut? Jawab: Klebsiella pneumoniae Kecurigaan infeksi oleh K.pneumoniae didasarkan pada kategori pneumonia yang diderita. Kategori pneumonia pada pasien ini adalah Health Care Asociated Pneumonia (HCAP), didasarkan pada adanya riwayat rawat inap lebih dari 2 hari dalam waktu satu bulan terakhir. Berdasarkan kriteria yang dikeluarkan oleh American Thoracic Society (ATS) dan Infectious Disease Society of America (IDSA) tahun 2005, faktor risiko untuk HCAP adalah sebagai berikut : riwayat rawat inap lebih dari 2 hari dalam waktu 90 hari terakhir; riwayat perawatan dalam rumah jompo atau fasilitas perawatan penunjang lainnya; riwayat terapi intravena di rumah (termasuk antibiotika); riwayat dialisis dalam 30 hari terakhir; riwayat perawatan luka di rumah dan riwayat anggota keluarga dengan infeksi patogen multi-resisten. 1 Klebsiella pneumoniae merupakan pathogen yang sering didapatkan pada pasien dengan pneumonia terkait perawatan kesehatan (HCAP) terutama pada pasien-pasien lansia. Pada suatu studi yang dilakukan pada 104 pasien berusia 75 tahun atau lebih, El Solh menemukan bahwa sampai 15% pneumonia disebabkan oleh basil enterik gram negatif, termasuk K.pneumoniae. Pada pasien-pasien yang tidak berespons terhadap terapi antibiotika inisial 72 jam pertama, persentase pneumonia yang disebabkan oleh K.pneumoniae meningkat sampai 24%. 1 Healthcare-associated pneumoniae Pemberian terapi antibiotika yang efektif dan efisien memerlukan hasil kultur dan tes resistensi untuk mengarahkan pemilihan antibiotika yang sesuai, namun sayangnya hasil kultur seringkali baru dapat diperoleh tiga hari kemudian. Tanpa adanya data kultur, pemberian antibiotika empirik harus dimulai dalam waktu 4 jam sejak diagnosis pneumonia untuk mengoptimalkan hasil terapi. Oleh karena hal tersebut, maka diperlukan suatu klasifikasi berbasiskan bukti yang dapat membedakan tipe-tipe pneumonia berdasarkan organisme etiologik yang paling mungkin untuk membantu klinisi dalam memaksimalkan terapi. Pelayanan-pelayanan kesehatan seperti dialisis, kemoterapi, pembedahan satu hari, homecare, dan perawatan luka di rumah membuat pola patogen etiologik untuk pneumonia berubah. Namun pada saat ini, pasien-pasien yang datang dengan pneumonia dari tempattempat pelayanan kesehatan selain rumah sakit masih digolongkan dan diterapi sebagai CAP, sehingga pemberian antibiotika untuk mereka menjadi tidak sesuai. Sebagai contoh galur MRSA yang diisolasi dari pasien-pasien penderita infeksi terkait pelayanan kesehatan (health-care associated infection) ternyata berbeda dengan yang murni community acquired dan memiliki sensitivitas terhadap antibiotika yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Kollef (2005), berdasarkan data perawatan nasional Amerika Serikat dan mengikutsertakan pasien pneumonia dengan kultur positif dari 59

3 rumah sakit, mengungkapkan bahwa etiologi pneumonia yang paling sering adalah S.aureus. Namun apabila dilihat lebih jauh, ternyata S.aureus hanya sebesar 25,5% untuk CAP dan dengan presentasi MRSA hanya 6,2%; sedangkan untuk HCAP adalah sebesar 46,7% dan dengan persentasi MRSA mencapai 26,5%. Pasien-pasien dengan HCAP juga mempunyai prevalensi yang lebih tinggi untuk infeksi P.aeruginosa dibandingkan dengan CAP, yakni 25,3% vs. 17,1%. Pasien-pasien dengan HCAP, berdasarkan studi ini, juga terlihat mempunyai perbedaan dengan CAP dalam mortalitas (19,8% vs. 10%; p<0,0001) dan lama rawat inap (8,8 vs. 7,5; p<0,0001). 2 Hasil penelitian dari Kollef (2005) memperlihatkan bahwa HCAP, yang biasanya dimasukkan ke dalam kategori CAP, ternyata secara klinis lebih mirip dengan HAP dan VAP, baik dipandang dari sisi mikrobiologis maupun morbiditas dan mortalitas (tabel 1). Sehingga untuk memaksimalkan terapi pada pasien-pasien dengan faktor risiko tersebut di atas diperlukan suatu kategori klinis baru yakni HCAP, di mana untuk penatalaksanaannya mengambil strategi yang sama dengan pasien HAP dan VAP. Tabel 2. Distribusi patogen, risiko mortalitas dan lama rawat inap untuk masing-masing kategori pneumonia. Patogen Bakterial (%) S.aureus MRSA S.pneumoniae Pseudomonas sp. Haemophilus sp. Odds Ratio untuk mortalitas Lama Rawat inap ratarata (median) CAP (n=2.221) HCAP (n=988) HAP (n=835) VAP (n=499) 25,5% 8,9% 16,6% 17,1% 16,6% 46,7% 22,9% 5,5% 25,3% 5,8% 1,00 1,65 (p<0.0001) 47,1% 22,9% 3,1% 18,4% 7,1% 2,07 (p<0,0001) 7,5 ± 7,2 (5,0) 8,8 ± 7,8 (7,0) 15,2 ± 13,6 (11,0) 42,5% 28,5% 5,8% 21,2% 12,2% 3,24 (p<0,0001) 23,0 ± 20,3 (17,0) Diadaptasi dari Kollef M, Shorr A, et al. Epidemiology and Outcomes of Health-care Associated Pneumonia: Results from a large US database of culture-positive pneumonia. CHEST. 2005; 128: Tanya : Jelaskanlah diagnosis diferensial untuk etiologi pneumonia pada pasien dengan faktor risiko seperti pasien ini! Jawab : Pasien-pasien dengan HCAP mempunyai etiologi pneumonia yang kurang lebih sama dengan HAP dan VAP, dan diagnosis diferensial dari pasien tipe ini mempunyai spektrum bakteriologik yang luas termasuk juga beberapa kasus yang disebabkan oleh infeksi fungal dan viral. Beberapa etiologi yang sering didapatkan pada pasien yang berasal dari panti werda adalah: Staph.aureus (29%), basil enterik gram negatif (15%), Strep.pneumoniae (9%) dan Pseudomonas (4%). Lebih lanjut, pada pasien yang tidak merespons terhadap antibiotika inisial 72 jam pertama, etiologi yang sering didapatkan adalah MRSA (33%), basil enterik gram negatif (24%) dan Pseudomonas (14%). Secara umum dapat disimpulkan untuk pasien-pasien dengan HCAP, VAP dan HAP baik dengan atau tanpa ventilasi mekanik ada empat patogen etiologik yang

4 harus dipertimbangkan sebagai acuan pemberian terapi empirik, yakni MRSA, P.aeruginosa, Acinetobacter dan Klebsiella pneumoniae. 1 Tanya : Pemeriksaan penunjang apakah yang akan saudara minta untuk menunjang diagnosis dan penatalaksanaan pneumonia dari pasien ini? Jawab : Pemeriksaan penunjang diagnostik pada pneumonia bertujuan untuk menentukan dua variabel, yakni 1) Apakah pasien menderita pneumonia sebagai penjelasan dari kumpulan tanda dan gejala penyakit yang dideritanya, dan 2) Untuk menentukan patogen etiologik apabila pneumonia ditegakkan. Pneumonia ditegakkan dengan adanya gambaran radiologis yang sesuai dengan adanya infiltrat yang baru terjadi atau progresif disertai dengan tanda-tanda infeksi seperti demam, leukositosis/leukopenia, sputum purulen dan penurunan kadar oksigenasi. Pada pasien ini diagnosis HCAP ditegakkan atas dasar faktor risiko yang sudah disebutkan di atas. Pada pasien ini dengan adanya ARDS, kecurigaan akan pneumonia juga semakin tinggi, beberapa studi memperlihatkan pada pasien ARDS, adanya salah satu dari kriteria klinis di atas menandakan diperlukannya pemeriksaan lanjutan untuk menegakkan pneumonia. Sebagai panduan pemeriksaan diagnosis yang dibutuhkan untuk menegakkan pneumonia, guideline ATS-IDSA tahun 2005 merekomendasikan beberapa pemeriksaan sebagai berikut: Semua pasien hendaknya dilakukan pemeriksaan foto rontgen dada dan apabila tidak diintubasi lebih baik secara posteroanterior dan lateral. Foto rontgen dapat digunakan untuk menentukan derajat keberatan dari pneumonia (multilobar atau tidak) dan dapat mendeteksi adanya komplikasi seperti efusi pleura dan kavitasi. Pada semua pasien yang mendapat terapi oksigen hendaknya dipantau saturasi oksigen. Analisa gas darah hendaknya diperiksa untuk menentukan adanya asidosis metabolik atau respiratorik untuk memantau kapan diperlukan ventilasi mekanik. Bersama dengan pemeriksaan laboratorium lainnya (darah lengkap, elektrolit serum, fungsi hati dan ginjal) dapat menunjukkan adanya Multiple Organ Dysfunction (MOD) dan membantu menentukan derajat berat ringannya penyakit Pada pasien dengan efusi pleura masif atau efusi pleura yang nampak toksik, hendaknya dilakukan thorakosentesis untuk membedakan apakah empiema akibat komplikasi atau efusi para pneumonia Pemeriksaan diagnostik lebih lanjut diperlukan pada pasien dengan ARDS, yang mana sulit dilihat perburukan gambaran radiologisnya, harus ada salah satu dari tiga kriteria ARDS atau tanda lainnya dari pneumonia seperti instabilitas hemodinamik dan perburukan gas darah.

5 Diagnosis etiologik dari pneumonia memerlukan kultur saluran napas bawah unutk menegakkannya, walaupun kadangkala diagnosis etiologik dapat diperoleh melalui kultur darah dan cairan pleura. Khususnya untuk darah, diagnosis etiologik pneumonia tidak disarankan untuk diperoleh melalui kultur darah, karena beberapa studi menunjukkan sensitivitasnya hanya sebesar 25%, bahkan pada saat positifpun patogen yang dideteksi dapat berasal dari sumber lain. Kultur saluran napas bawah dapat diperoleh melalui Bronchoalveolar lavage (BAL) atau Protected Specimen Brush (PSB), dengan sensitivitas dan spesifisitas yang setara. Apabila memungkinkan, pemeriksaan kultur dan sensitivitas sedapat mungkin menggunakan metode kualitatif, yang mampu untuk membedakan antara patogen dan kolonisasi. Penggunaan kultur kualitatif, pada beberapa penelitian menunjukkan mampu untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari terapi antibiotika awal. Selain itu dengan kemampuannya membedakan antara kolonisasi dan patogen, kultur kualitatif mampu untuk menekan pemakaian antibiotika berlebihan dan akibatnya menurunkan insidensi resistensi. Khususnya untuk pasien ini, dan pasien lain dengan adanya efusi pleura masif, torakosentesis diagnostik untuk menyingkirkan empiema dan efusi parapneumonik harus dilakukan. Torakosentesi juga harus dilakukan apabila pada pasien dengan efusi pleura menunjukkan tanda-tanda toksik. Sebagai catatan khusus, sebelum pergantian antibiotika atau inisiasi antibiotika awal, maka kultur saluran napas bawah harus dilakukan untuk mendokumentasi sensitivitas bakteri terhadap antibiotika. Hasil kultur saluran napas bawah yang steril, tanpa disertai penggantian antibiotika dalam waktu 72 jam sebelumnya dapat dianggap menyingkirkan diagnosis pneumonia bakterial. Untuk rangkuman strategi diagnostik pneumonia dapat dilihat pada lampiran. Tanya : Sebutkan dan jelaskan penatalaksanaan pneumonia nosokomial secara umum dan dari pasien ini berdasarkan etiologi dari pneumonia yang dideritanya! Jawab : Pneumonia nosokomial secara umum Pada pasien ini, terapi untuk pneumonia mengacu kepada pedoman terapi untuk HAP, HCAP dan VAP yang dikeluarkan oleh ATS-IDSA tahun Keputusan pertama yang harus diambil adalah menentukan adanya pneumonia atau tidak, seperti yang telah dijabarkan di atas. Setelah pneumonia ditegakkan maka harus diambil keputusan untuk memulai terapi antibiotika empirik awal. Adanya gambaran infiltrat yang baru atau perkembangan gambaran inflitrat yang progresif pada foto rontgen paru, ditambah dua dari tiga tanda klinis (demam lebih dari 38 C, leukositosis atau leukopenia dan sekret yang purulen) merupakan kriteria klinis yang paling akurat untuk memulai terapi antibiotik empirik Pada dasarnya keputusan untuk pemilihan terapi pada pasien dengan HCAP didasarkan pada kecurigaan apakah ada kemungkinan infeksi dengan patogen MDR atau tidak (tabel 3). Pada pasien ini, sebagaimana telah dibahas di bagian etiologi, didapatkan beberapa faktor risiko yang mengarahkan kepada kemungkinan untuk mendapatkan infeksi dengan patogen MDR.

6 Dengan demikian, untuk mencapai terapi yang tepat dan adekuat pada pasien ini, pada terapi empirik inisial harus digunakan terapi kombinasi untuk MDR sambil menunggu hasil dari kultur dan tes resistensi. Untuk panduan terapi pada pasien pneumonia tanpa kecurigaan patogen MDR dan dosis masing-masing antibiotika dapat dilihat pada lampiran. Tabel 3. Faktor risiko untuk kejadian HAP, HCAP dan VAP yang disebabkan oleh patogen-patogen MDR bacteria. Terapi antimikrobial dalam waktu 90 hari sebelumnya Di Rawat di RS selama 5 hari atau lebih Prevalensi kuman yang resisten terhadap antibiotika di masyarakat atau pada unit rumah sakit spesifik yang tinggi. Adanya faktor risiko untuk HCAP seperti: o Riwayat rawat inap untuk 2 hari atau lebih dalam 90 hari terakhir o Tinggal di panti werda atau fasilitas perawatan jangka lama lainnya o Terapi intravena di rumah (termasuk antibiotika) o Dialisis kronik dalam waktu 30 hari terakhir o Perawatan luka di rumah o Anggota keluarga dengan infeksi patogen MDR bacteria Penyakit dan atau terapi immunosupresif Diadaptasi dari American Thoracic Society Infectious Disease Society of America. Guidelines for the management of adults with hospital-acquired, ventilator-associated, and healthcare-associated pneumonia. Am J Respir Crit Care Med, : Kombinasi terapi empirik inisial pada kasus ini, dengan kecurigaan MDR, dapat dimulai dengan pemberian kombinasi antara: Tabel 4. Pemilihan terapi antimikrobial inisial untuk infeksi dengan patogen MDR 1 Sefalosporin antipseudomonal (cefepime, ceftazidime); atau karbapenem anti pseudomonal (imipenem, meropenem); atau β-lactam/β-lactamase inhibitor (piperacillin-tazobactam) DITAMBAH Fluoroquinolone antipseudomonal (ciproloxacin, levofloxacin); atau aminoglikosida (amikacin, gentamicin, tobramycin) DITAMBAH Linezolid atau vancomycin Pemilihan kombinasi antimikrobial dari ketiga golongan rekomendasi di atas harus disesuaikan dengan pola bakteriologik lokal, sehingga setiap rumah sakit dan unit intensif seharusnya memiliki antibiogram sendiri, dan di perbaharui sesering mungkin. Pada saat pasien dengan risiko infeksi MDR diketahui, maka pemilihan kombinasi di atas didasarkan pada pola sensitivitas yang dimiliki oleh unit tersebut. Setelah hasil kultur bakteriologik diketahui pastikan untuk menyesuaikan kombinasi terapi sesuai dengan organisme yang diketemukan dan dengan spektrum yang sesempit mungkin (de-eskalasi). Hindari pemakaian antibiotika dalam jumlah banyak dan dalam jangka waktu lama, karena akan meningkatkan kejadian resistensi organisme terhadap antimikrobial tersebut. Dalam pemilihan terapi empirik untuk pasien-pasien yang telah mendapatkan antibiotika sebelumnya, harus diupayakan menggunakan antibiotika dari golongan yang

7 berbeda, oleh karena terapi antibiotika sebelumnya meningkatkan kemungkinan terapi tidak tepat dan dapat mempredisposisi resistensi terhadap antibiotika dari golongan yang sama. 1 Apabila ditemukan adanya pneumonia P.aeruginosa maka terapi kombinasi diindikasikan. Rasionalisasi utamanya adalah tingginya frekuensi resistensi pada monoterapi. Meskipun terapi kombinasi mungkin tidak mencegah resistensi namun membantu mengurangi kemungkinan terapi yang tidak tepat dan tidak efektif. Bila didapatkan adanya species Acinetobacter, obat yang paling aktif adalah carbapenem, sulbactam, colistin, dan polymixin. Linezolid merupakan alternatif terhadap vancomycin untuk pengobatan pneumonia nosokomial yang disebabkan MRSA, dapat menjadi pilihan berdasar uji klinis prospektif. Obat ini dapat menjadi pilihan pada pasien dengan gagal ginjal atau yang mendapatkan bahan nefrotoksik lainnya, namun masih diperlukan data lebih lanjut. Pemberian terapi awal paling baik adalah dengan rute intravena, namun sesegera setelah kondisi pasien stabil dan rute oral memungkinkan, segera ubah pemberian menjadi oral. Apabila pasien menerima terapi kombinasi dengan golongan aminoglikosida maka pemberiannya dapat dipersingkat menjadi 5-7 hari pada pasien yang responsif. Apabila pasien pertama-tama mendapatkan regimen antibiotika yang tepat, usaha harus dilakukan untuk memperpendek lama terapi dari hari menjadi selama 7 hari saja, dengan catatan patogen etiologiknya bukanlah P.aeruginosa, dan pasien mempunyai respons klinis yang baik yaitu menghilangnya tanda-tanda klinis infeksi. 1 Klebsiella pneumoniae Sebagai catatan untuk infeksi dengan Klebsiella pneumoniae, yang paling ditakutkan adalah kemampuan patogen ini untuk memproduksi Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL), yakni suatu perluasan dari enzim beta laktamase yang mampu menghasilkan resistensi terhadap antibiotika golongan pensilin. Enzim ESBL mampu membuat bakteri patogen yang mampu memproduksinya menjadi resisten terhadap hampir semua sefalosporin (kecuali Cephamycin), penisilin dan monobaktam. Enzim ESBL juga tahan terhadap inhibisi yang biasanya dihasilkan oleh asam klavulanat, tazobaktam dan sulbaktam. 3 Penelitian Tumbarello dan Spanu (2005) menunjukkan faktor risiko terbesar untuk infeksi dengan K.pneumonia yang memproduksi ESBL adalah pemakaian antibiotika sebelumnya (odds ratio [OR] 11.81, 95% confidence interval [CI] 2,72-51,08) dilanjutkan dengan usia lanjut rata-rata 64 tahun (OR 1,14, 95% CI 1,08-1,21) dan lama hospitalisasi (OR 1,07, 95% CI 1,04-1,16). Infeksi dengan K.pneumoniae pemroduksi ESBL juga menyebabkan tingkat kegagalan terapi hampir dua kali lipat dibandingakan dengan K.pneumoniae non-esbl (31% vs. 17%; OR 2,19; 95% CI 0,98-4,19) dan tingkat mortalitas 21 hari yang juga lebih tinggi (52% vs. 29%; OR 2,62; 95% CI 1,28-5,35). Faktor risiko lainnya untuk infeksi dengan patogen Klebsiella ESBL, menurut Rodrigues tahun 2006, adalah pemakaian ventilasi mekanis (OR 6,4; 95% ci 2,3-18,4), pemakaian kateter vena sentral (OR 7,2; 95% CI 2,7-19,9) dan pemakaian nutrisi parenteral total (OR 4,4; 95% CI 1,5-13,4). 4,5

8 Graffunder et.al pada tahun 2005 juga mengungkapkan pemakaian antibiotika sebelumnya yang meningkatkan risiko terkena patogen pemroduksi ESBL adalah, aminoglikosida (OR 2,7; 95% CI 1,2-6,1), sefalosporin generasi ketiga (OR 7,2; 95% CI 2,6-20) dan kotimoksazol (OR 8,8; 95% CI 3,1-26). Penelitian Rodrigues menambahkan cefepime (OR 4,51; 95% CI 1,12-18,21) dan kuinolon (OR 25,37; 95% CI 1,61-398,50) sebagai faktor risiko untuk kegagalan terapi antimikrobial terhadap Klebsiella dan dikaitkan dengan Klebsiella pemroduksi ESBL. Dari penelitian Tumbarello dan Spanu, didapatkan imipenem dan meropenem memberikan hasil sensitivitas 100% terhadap Klebsiella pemroduksi ESBL dan amikasin memberikan sensitivitas 97,9%. Karbapenem, melalui penelitian Rodrigues, juga dikaitkan dengan penurunan risiko untuk terkena infeksi Klebsiella pemroduksi ESBL ( OR 0,32; 95% CI 0,04-2,74). 1,5,6 Melihat hasil penelitian di atas tampaknya kombinasi karbapenem/imipenem/meropenem dengan amikasin dan vankomisin/linezolid dapat memberikan hasil yang terbaik untuk pasien dalam kasus ini. Hal ini diperlukan mengingat pasien ini mempunyai beberapa faktor risiko untuk terkena Klebsiella pemroduksi ESBL yakni, pemakaian antibiotika sebelumnya, pemakaian ventilasi mekanis, usia lanjut dan pemakaian kateter vena sentral. Namun sekali lagi, pemilihan antibiotika empirik insial tetap harus dipandu dengan data mikrobiologi dan pola sensitivitas lokal. 1,5,6 Tanya : Bagaimanakah strategi untuk mengevaluasi respons terhadap pengobatan yang mungkin terjadi? Jawab : Salah satu butir penting dalam memberikan terapi antibiotika empirik yang optimal adalah kemampuan untuk menentukan saat di mana terapi tidak memberikan hasil yang baik. Respons klinis pasien terhadap terapi ditentukan oleh berbagai macam faktor, diantaranya faktor pasien (usia dan komorbiditas), bakterial (virulensi dan resistensi antimikrobial) dan kejadian-kejadian lain yang dapat terjadi selama proses pneumonia. Resolusi pneumonia nosokomial dapat ditentukan melalui penilaian klinis dan mikrobiologis. Perbaikan klinis dapat dilihat dalam waktu jam pertama, sehingga kecuali terjadi perburukan atau diperlukan penyesuaian terhadap hasil kultur, maka antibiotika tidak boleh diganti selama 3 hari pertama. Kultur kuantitatif, selain dapat digunakan sebagai metode diagnosis juga dapat untuk menilai respons terhadap terapi. Suatu studi kultur serial dari sampel PSB, menemukan respons mikrobiologis positif dapat ditentukan apabila konsentrasi bakterial dari kultur ulangan 10 3 CFU/mL. Menggunakan cut off points ini dapat ditentukan kegagalan terapi hanya sebesar 7%, sedangkan apabila konsentrasi bakteri di atas 10 3 CFU/mL maka kegagalan terapi dapat sampai 55,8%. Rontgen thoraks tidak terlalu berguna dalam menentukan perbaikan klinis, karena selain tertinggal beberapa saat dari parameter klinis, gambaran perburukan radiologis awal merupakan hal yang sering diketemukan terutama pada pasien dengan bakteremia dan atau bakteri virulen. Namun patut dicatat, apabila terjadi perburukan radiologis yang signifikan, seperti perubahan dari infiltrat unilobar menjadi multilobar, pernambahan infiltrat lebih dari 50% dalam 48 jam,

9 terjadi efusi pleura masif atau pembentukan kavitas di jaringan paru, maka kegagalan terapi patut dipertimbangkan. Perbaikan parameter klinis lainnya seperti demam, leukositosis dan oksigenasi jaringan juga dapat digunakan untuk menentukan resolusi dan keberhasilan terapi. Namun perbaikan mereka terjadi secara progresif dalam minggu pertama, dan resolusi parameter-parameter klinis ini seringkali terjadi lebih dari satu minggu sejak inisiasi antibiotika empirik. Salah satu kriteria klinis yang dapat digunakan untuk menilai perbaikan klinis adalah dengan menggunakan Clinical Pulmonary Infection Scoring (CPIS), yang pertama kali dirancang oleg Pugin dkk untuk mendiagnosis pneumonia bakterial. Modifikasi untuk menggunakan CPIS dalam menilai perbaikan klinis dipelajari oleh Luna dkk. Perbaikan skor CPIS dalam tiga hari pertama dikaitkan dengan keberhasilan terapi dan tingkat mortalitas yang rendah, sedangkan skor CPIS yang tidak membaik dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi. Tanya : Bagaimanakah strategi yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi dan menangani pasien nonresponsif terhadap terapi antibiotika empirik awal? Jawab : Pada pasien-pasien non-responder pertama-tama dapat dilakukan perluasan spektrum antibiotika yang diberikan, diikuti dengan kultur dan tes resistensi ulangan dari saluran napas bawah dengan metode bronkoskopik atau lewat tube endotrakeal. Apabila diketemukan organisme resisten atau yang tidak biasa, maka terapi dapat disesuaikan terhadap organisme tersebut. Apabila tidak diketemukan organisme resisten atau yang tidak diduga, maka harus dipikirkan kemungkinan proses non-infeksi atau faktor-faktor lain yang mempengaruhi (lampiran 4). Hal ini memerlukan penggantian semua akses vaskular, termasuk kultur terhadap ujungujung kateter, darah dari kateter dan tempat-tempat akses lainnya. Beberapa metode pemeriksaan radiologis dapat digunakan untuk mencari kemungkinan tempat infeksi lainnya, seperti CT-scan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi rongga dada (empiema, abses parenkimal) dan rongga abdomen (terutama pada pasien ARDS). Salah satu tempat yang sering mengalami infeksi pada pasien dengan intubasi endotrakeal adalah sinus, di mana CT-scan juga dapat membantu untuk menemukan air fluid level. Apabila ada kecurigaan mengarah ke infeksi sinus, maka kultur dan tes resistensi juga harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan mengarahkan terapi. Evaluasi untuk emboli paru juga diperlukan karena dapat disalahkan dengan pneumonia. Apabila pasien stabil namun hasil evaluasi sebelumnya tidak menunjukkan hasil maka dapat dicoba memberikan kortikosteroid sebelum melakukan biopsi terbuka guna menentukan penyebab infeksi lainnya. Namun pada kasus-kasus di mana pasien membaik secara transien untuk kemudian memburuk lagi, maka dapat diberikan antibiotika untuk organisme-organisme yang tidak biasa selagi melakukan evaluasi diagnostik ekstensif.

10 Kesimpulan Pasien-pasien pneumonia yang datang dari masyarakat, namun memiliki risiko untuk patogen MDR seperti dijelaskan di atas haruslah didiagnosis sebagai HCAP dan diberikan perawatan sesuai dengan HAP dan VAP. Pemberian antibiotika empirik, yang mencakup patogen-patogen yang sering diketemukan di instalasi dan masyarakat lokal, harus diinisiasikan dalam waktu 4 jam pada pasien dengan diagnosis HCAP, HAP atau VAP. Pemeriksaan kultur dan tes resistensi saluran napas bawah dan darah serta tempat-tempat inokulasi patogen lain yang mungkin harus dilakukan sebelum inisiasi antibiotika empirik, dan pemeriksaan sebaiknya dilakukan dengan metode kuantitatif atau setidaknya semikuantitatif. Terapi antibiotika harus disesuaikan dengan hasil kultur dan tes resistensi; terapi dapat dipersempit spektrumnya sesuai dengan patogen yang diketemukan dan hasil tes resistensinya (de-eskalasi). Resolusi pneumonia dengan terapi antibiotika yang adekuat dan tepat dapat diamati dalam waktu tiga hari, untuk pasien yang tidak responsif kemungkinan lain harus diselidiki termasuk kemungkinan patogen yang tidak biasa, penyebab-penyebab pneumonia non-infeksi lainnya dan penyakit lain yang dapat menyerupai pneumonia. Referensi 1 American Thoracic Society Infectious Disease Society of America. Guidelines for the management of adults with hospital-acquired, ventilator-associated, and healthcare-associated pneumonia. Am J Respir Crit Care Med, : Kollef M, Shorr A, et al. Epidemiology and Outcomes of Health-care Associated Pneumonia: Results from a large US database of culture-positive pneumonia. CHEST. 2005; 128: Rozenberg-Arska M, Visser MR. Enterobactericeae. In Cohen and Powderly : Infectious Diseases 2 nd edition; section 8: chapter 228: Mosby, Elsevier Ltd, Tumbarello M, Spanu T. Bloodstream Infections Caused by Extended-Spectrum-β-Lactamase-Producing Klebsiella pneumoniae: Risk Factors, Molecular Epidemiology, and Clinical Outcome. Antimicrobial Agents and Chemotherapy. February 2006; 50(2): Bellíssimo-Rodrigues F, Gomes ACF. Clinical outcome and risk factors related to extended-spectrum beta-lactamase-producing Klebsiella spp. infection among hospitalized patients. Mem Inst Oswaldo Cruz. Rio de Janeiro, June 2006; 101(4): Graffunder EM, Preston KE. Risk factors associated with extended-spectrum β-lactamase-producing organisms at a tertiary care hospital. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. 2005; 56:

11 LAMPIRAN Dugaan HAP, VAP atau HCAP Ambil kultur dan pemeriksaan mikroskopik sekret saluran napas bawah Bila secara klinis tidak curiga pneumonia dan hasil mikroskopi sekret saluran napas bawah negatif, terapi antimikrobial empirik dimulai dengan menggunakan algoritme Gb.2 dan data mikrobiologi lokal Hari ke 2 dan 3 : cek hasil kultur dan keadaan klinis (temperatur, leukosit, foto rontgen dada, oksigenasi, sputum, perubahan hemodinamik dan fungsi organ) Perbaikan klinis dalam 48 sampai 72 jam Tidak Ya Kultur (-) Kultur (+) Kultur (-) Kultur (+) Cari infeksi dan penyulitnya di tempat lain. Sesuaikan jenis antibiotika, dan cari kuman lain, dan komplikasinya. Pertimbangkan penghentian antibiotika De-eskalasi antibiotika, obati pasien selama 7-8 hari dan evaluasi. Lampiran 1. Ringkasan strategi pengelolaan pasien yang diduga HAP, VAP atau HCAP. Keputusan penghentian terapi antibiotika bisa berbeda tergantung dari tipe sampel yang diambil (PSB, BAL, atau aspirasi endotrakeal) dan apakah hasil dilaporkan secara kuantitatif atau semikuantitatif.

12 Lampiran 2. Terapi antibiotika empirik awal untuk pasien dengan HAP, atau VAP pada pasien tanpa faktor risiko patogen MDR bacteria yang diketahui Patogen potensial Streptococcus pneumoniae Haemophilus influenzae Methicillin sensitive Staphylococcus aureus Basil gram negatif enterik sensitif terhadap antibiotika Escherichia coli Klebsiella pneumoniae Enterobacter spp Proteus spp Serratia marcesens Antibiotika yang direkomendasi Ceftriaxone atau Levofloxacin, moxifloxacin, atau ciprofloxacin atau ampicillin / sulbactam atau ertapenem Lampiran 3. Dosis antibiotika intravena awal untuk pasien dewasa pada terapi HAP termasuk VAP dan HCAP, dengan faktor risiko patogen MDR bacteria Antibiotika Dosis * Sefalosporin anti-pseudomonal Cefepime 1-2 g setiap 8-12 jam Ceftazidime 2 g setiap 8 jam Karbapenem Imipenem 500 mg setiap 6 jam atau 1 g setiap 8 jam Meropenem 1 g setiap 8 jam Βeta-Laktam/Inhibitor Beta-Laktamase Piperacillin-tazobactam 4,5 g setiap 6 jam Aminoglikosida Gentamycin 7 mg/kg per har Tobramycin 7 mg/kg per hari Amikacin 20 mg/kg per hari Kuinolon anti-pseudomonal Levofloxacin 750 mg per hari Ciprofloxacin 400 mg setiap 8 jam Vancomycin 15 mg/kg setiap 12 jam Linezolid 600 mg setiap 12 jam * Dosis berdasar fungsi ginjal dan hati normal Trough level untuk gentamicin dan tobramicin harus kurang dari 1 μg/ml dan untuk amikacin harus kurang dari 4-5 μg/ml. Trough level untuk vanomycin harus μg/ml.

13 Lampiran 4. Faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab kegagalan terapi antibiotika empirik awal (non-responsif) Patologi non-infeksius yang menyerupai pneumonia Faktor pasien yang meningkatkan risiko mortalitas Patogen yang sulit diterapi Komplikasi infeksi Lainnya Atelektasis Gagal jantung kongestif Kontusi paru pada pasien trauma Pneumonitis kimia Emboli dengan infark paru Kerusakan alveolar luas tipe fibroproliferatif pada ARDS Perdarahan paru pada ventilasi mekanis Penggunaan ventilasi mekanis berkepanjangan Gagal napas Penyakit mendasari yang berat Penggunaan antibiotika sebelumnya Pneumonia sebelumnya Usia di atas 60 tahun Penyakit paru kronis Pseudomonas aeruginosa, terutama dengan monoterapi Basil gram negatif Flora polimikrobial Patogen resisten terhadap antibiotika Patogen yang tidak diduga seperti fungal, mikobaterium dan Pneumocystis carinii. Sinusitis Infeksi kateter vaskular Kolitis pseudomembranosa Infeksi traktus urinarius Demam obat Sepsis dengan disfungsi organ multipel Emboli paru dengan infark sekunder

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ISK merupakan keadaan tumbuh dan berkembang biaknya kuman dalam saluran kemih meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih dengan jumlah bakteriuria

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48

BAB 6 PEMBAHASAN. pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48 BAB 6 PEMBAHASAN VAP (ventilatory acquired pneumonia) adalah infeksi nosokomial pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48 jam. 4,8,11 Insiden VAP bervariasi antara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini mengevaluasi tentang penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat 79 rekam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Data

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah bentuk infeksi nosokomial yang paling sering ditemui di unit perawatan intensif (UPI), khususnya pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat tinggi. Pneumonia merupakan penyakit radang akut paru yang disebabkan oleh mikroorganisme yang mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang resisten terhadap minimal 3 kelas antibiotik. 1 Dari penelitian yang

BAB 1 PENDAHULUAN. yang resisten terhadap minimal 3 kelas antibiotik. 1 Dari penelitian yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Organisme Multidrug-Resistant (MDR) didefinisikan sebagai organisme yang resisten terhadap minimal 3 kelas antibiotik. 1 Dari penelitian yang dilakukan di Paris, didapatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome) yang disertai dengan adanya infeksi pada organ tertentu berdasarkan hasil biakan positif di tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia)

BAB I PENDAHULUAN. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia) yang disebabkan oleh pemakaian ventilator dalam jangka waktu yang lama pada pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paru. Bila fungsi paru untuk melakukan pembebasan CO 2 atau pengambilan O 2 dari atmosfir

BAB I PENDAHULUAN. paru. Bila fungsi paru untuk melakukan pembebasan CO 2 atau pengambilan O 2 dari atmosfir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ventilator adalah suatu sistem alat bantu hidup yang dirancang untuk menggantikan atau menunjang fungsi pernapasan yang normal. Ventilator dapat juga berfungsi untuk

Lebih terperinci

BAB 1. Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis

BAB 1. Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis yang invasif di Instalasi Perawatan Intensif merupakan salah satu faktor penting yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyebab kematian utama pada kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan dan dapat menimbulkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia. 1. merupakan pneumonia yang didapat di masyarakat. 1 Mortalitas pada penderita

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia. 1. merupakan pneumonia yang didapat di masyarakat. 1 Mortalitas pada penderita BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pneumonia merupakan suatu peradangan pada paru yang dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, maupun parasit. Sedangkan peradangan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi

BAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi di lingkungan Rumah Sakit. P. aeruginosa merupakan bakteri Gram negatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam morbiditas dan mortalitas pada anak diseluruh dunia. Data World

BAB I PENDAHULUAN. dalam morbiditas dan mortalitas pada anak diseluruh dunia. Data World BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pneumonia merupakan penyakit infeksi paru paru yang berperan dalam morbiditas dan mortalitas pada anak diseluruh dunia. Data World Health Organization (WHO) tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang

BAB I PENDAHULUAN. salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ventilator mekanik merupakan alat yang digunakan untuk membantu fungsi pernapasan. Penggunaannya diindikasikan untuk pasien dengan hipoksemia, hiperkapnia berat dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pneumonia Nosokomial 2.1.1. Definisi Pneumonia Nosokomial Pneumonia nosokomial adalah suatu peradangan pada parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme penyebab infeksi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Nosokomial Infeksi nosokomial adalah infeksi yang berkenaan atau berasal dari rumah sakit, digunakan untuk infeksi yang tidak ada atau mengalami masa inkubasi sebelum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama penyakit infeksi (Noer, 2012). dokter, paramedis yaitu perawat, bidan dan petugas lainnya (Noer, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama penyakit infeksi (Noer, 2012). dokter, paramedis yaitu perawat, bidan dan petugas lainnya (Noer, 2012). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah sakit merupakan tempat dimana orang yang sakit dirawat dan ditempatkan dalam jarak yang sangat dekat. Di tempat ini pasien mendapatkan terapi dan perawatan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum untuk menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan pada struktur traktus urinarius. (1) Saluran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi

I. PENDAHULUAN. kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi nosokomial. Infeksi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi 2.1.1 Pneumonia Pneumonia, salah satu bentuk tersering dari Infeksi Saluran Napas Bawah Akut (ISNBA), adalah suatu peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. adalah penyakit infeksi pada saluran pernapasan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. adalah penyakit infeksi pada saluran pernapasan yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pneumonia adalah penyakit infeksi pada saluran pernapasan yang menyerang jaringan paru. Pneumonia dapat diagnosis secara pasti dengan x-photo thoraks dengan terlihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sepsis merupakan suatu sindrom kompleks dan multifaktorial, yang insidensi, morbiditas, dan mortalitasnya sedang meningkat di seluruh belahan dunia. 1 Sindrom klinik

Lebih terperinci

Diagnosis Community Aquired Pneumonia (CAP) dan Tatalaksana Terkini

Diagnosis Community Aquired Pneumonia (CAP) dan Tatalaksana Terkini 8 Diagnosis Community Aquired Pneumonia (CAP) dan Tatalaksana Terkini Yunita Arlini Bagian Pulmunologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Pendahuluan Pneumonia secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, prion dan protozoa ke dalam tubuh sehingga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. neonatus dan 50% terjadi pada minggu pertama kehidupan (Sianturi, 2011). Menurut data dari

BAB 1 PENDAHULUAN. neonatus dan 50% terjadi pada minggu pertama kehidupan (Sianturi, 2011). Menurut data dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang World Health Organization (WHO) memperkirakan secara global setiap tahun terdapat 5 juta bayi meninggal pada usia empat minggu pertama kehidupannya, dengan 98% kematian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. seseorang selama di rumah sakit (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. seseorang selama di rumah sakit (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial merupakan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi yang diperoleh seseorang selama di rumah sakit (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial merupakan salah satu penyebab utama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk

I. PENDAHULUAN. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk batang. Habitat alami bakteri ini berada pada sistem usus manusia dan binatang. Enterobacteriaceae

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN 37 BAB III. METODE PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan menggunakan Pretest and posttest design pada kelompok intervensi dan kontrol.

Lebih terperinci

(Juniatiningsih, 2008). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari - Desember 2010 angka kejadian sepsis neonatorum 5% dengan angka kematian

(Juniatiningsih, 2008). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari - Desember 2010 angka kejadian sepsis neonatorum 5% dengan angka kematian (Juniatiningsih, 2008). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari - Desember 2010 angka kejadian sepsis neonatorum 5% dengan angka kematian 30,4% (Wilar, 2010). Pola kuman penyebab sepsis berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Dari kurun waktu tahun 2001-2005 terdapat 2456 isolat bakteri yang dilakukan uji kepekaan terhadap amoksisilin. Bakteri-bakteri gram negatif yang menimbulkan infeksi

Lebih terperinci

ABSTRAK PERBANDINGAN POLA RESISTENSI KUMAN PADA PENDERITA PNEUMONIA DI RUANGAN ICU DAN NON ICU RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2012

ABSTRAK PERBANDINGAN POLA RESISTENSI KUMAN PADA PENDERITA PNEUMONIA DI RUANGAN ICU DAN NON ICU RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2012 ABSTRAK PERBANDINGAN POLA RESISTENSI KUMAN PADA PENDERITA PNEUMONIA DI RUANGAN ICU DAN NON ICU RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2012 Maria F. Delong, 2013, Pembimbing I : DR. J. Teguh Widjaja, dr., SpP.,

Lebih terperinci

Infeksi nosokomial atau disebut juga infeksi rumah sakit, adalah infeksi yang

Infeksi nosokomial atau disebut juga infeksi rumah sakit, adalah infeksi yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pneumonia Nosokomial Infeksi nosokomial atau disebut juga infeksi rumah sakit, adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit oleh kuman yang berasal dari rumah sakit. 24 Infeksi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI PENDAHULUAN Hemotoraks adalah kondisi adanya darah di dalam rongga pleura. Asal darah tersebut dapat dari dinding dada, parenkim paru, jantung, atau pembuluh darah besar. Normalnya, rongga pleura hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ruang rawat intensif atau Intensive Care Unit (ICU) adalah unit perawatan di rumah sakit yang dilengkapi peralatan khusus dan perawat yang terampil merawat pasien sakit

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Penelitian. Enterobacteriaceae merupakan patogen yang dapat menyebabkan infeksi

BAB I. PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Penelitian. Enterobacteriaceae merupakan patogen yang dapat menyebabkan infeksi BAB I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Penelitian Enterobacteriaceae merupakan patogen yang dapat menyebabkan infeksi serius mulai dari sistitis hingga pyelonephritis, septikemia, pneumonia, peritonitis,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atas yang terjadi pada populasi, dengan rata-rata 9.3% pada wanita di atas 65

I. PENDAHULUAN. atas yang terjadi pada populasi, dengan rata-rata 9.3% pada wanita di atas 65 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di negara-negara berkembang penyakit infeksi masih menempati urutan pertama dari penyebab sakit di masyarakat (Nelwan, 2002). Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan

I. PENDAHULUAN. Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan pertama dari penyebab sakit di masyarakat (Nelwan, 2002). Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah. kesehatan yang terus berkembang di dunia. Peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah. kesehatan yang terus berkembang di dunia. Peningkatan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan yang terus berkembang di dunia. Peningkatan penyakit infeksi ini dapat memberikan pengaruh terhadap penggunaan

Lebih terperinci

ABSTRAK ANTIBIOGRAM INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT DI LABORATORIUM MIKROBIOLOGI KLINIK RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI -DESEMBER 2008

ABSTRAK ANTIBIOGRAM INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT DI LABORATORIUM MIKROBIOLOGI KLINIK RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI -DESEMBER 2008 ABSTRAK ANTIBIOGRAM INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT DI LABORATORIUM MIKROBIOLOGI KLINIK RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI -DESEMBER 2008 Nita Kristiani, 2010; Pembimbing I : Penny Setyawati.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pneumonia adalah penyakit infeksi yang menyerang. parenkim paru-paru. Menurut Kollef et.al.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pneumonia adalah penyakit infeksi yang menyerang. parenkim paru-paru. Menurut Kollef et.al. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pneumonia adalah penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru. Menurut Kollef et.al. (2005), selain community-acquired pneumonia (CAP) yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama. morbiditas dan mortalitas di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama. morbiditas dan mortalitas di dunia. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Di samping itu penyakit infeksi juga bertanggung jawab pada penurunan kualitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mikroba yang terbukti atau dicurigai (Putri, 2014). Sepsis neonatorum adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. mikroba yang terbukti atau dicurigai (Putri, 2014). Sepsis neonatorum adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik dengan etiologi mikroba yang terbukti atau dicurigai (Putri, 2014). Sepsis neonatorum adalah Systemc Inflammation

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius. Pneumonia ditandai dengan konsolidasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran napas bawah masih tetap menjadi masalah utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran napas bawah masih tetap menjadi masalah utama dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi saluran napas bawah masih tetap menjadi masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara berkembang maupun negara maju. 1 Infeksi ini merupakan penyebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi saluran pernafasan adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat infeksi saluran nafas

Lebih terperinci

PNEUMONIA NOSOKOMIAL PEDOMAN DIAGNOSIS & PENATALAKSANAAN DI INDONESIA

PNEUMONIA NOSOKOMIAL PEDOMAN DIAGNOSIS & PENATALAKSANAAN DI INDONESIA PNEUMONIA NOSOKOMIAL 1973-2003 PEDOMAN DIAGNOSIS & PENATALAKSANAAN DI INDONESIA Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2003 Daftar Isi PENDAHULUAN... 2 DEFINISI... 2 ETIOLOGI... 2 PATOGENESIS... 3 FAKTOR PREDISPOSISI

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Diabetes melitus (DM) terutama DM tipe 2 merupakan masalah kesehatan

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Diabetes melitus (DM) terutama DM tipe 2 merupakan masalah kesehatan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Diabetes melitus (DM) terutama DM tipe 2 merupakan masalah kesehatan global. International Diabetes Federation (IDF) memprediksi jumlah orang dengan DM akan meningkat

Lebih terperinci

JOURNAL READING Imaging of pneumonia: trends and algorithms. Levi Aulia Rachman

JOURNAL READING Imaging of pneumonia: trends and algorithms. Levi Aulia Rachman JOURNAL READING Imaging of pneumonia: trends and algorithms Levi Aulia Rachman 1410.2210.27.115 Abstrak Pneumonia merupakan salah satu penyakit menular utama yang menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of Chronic Obstructive Lung Diseases (GOLD) merupakan penyakit yang dapat cegah dan diobati, ditandai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama obat yang mengalami eliminasi utama di ginjal (Shargel et.al, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. terutama obat yang mengalami eliminasi utama di ginjal (Shargel et.al, 2005). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ginjal merupakan organ penting dalam mengatur kadar cairan dalam tubuh, keseimbangan elektrolit, dan pembuangan sisa metabolit dan obat dari dalam tubuh. Kerusakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Stroke adalah salah satu penyakit yang sampai saat ini masih menjadi masalah serius di dunia kesehatan. Stroke merupakan penyakit pembunuh nomor dua di dunia,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pleura sama dengan mikroorganisme yang ditemukan di sputum maupun aspirasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pleura sama dengan mikroorganisme yang ditemukan di sputum maupun aspirasi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) 1. Pengertian VAP didefinisikan sebagai pneumonia nosokomial yang terjadi setelah 48 jam pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik baik

Lebih terperinci

adalah pneumonia yang timbul dalam waktu 48 jamsetelah rawat inap dan tidak sedang dalam masa inkubasi saat pasien masuk.

adalah pneumonia yang timbul dalam waktu 48 jamsetelah rawat inap dan tidak sedang dalam masa inkubasi saat pasien masuk. BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. DefinisiHAP ( H o s p ital acq u i r e d p n eumonia ) Hospital acquired pneumonia adalah pneumonia yang timbul dalam waktu 48 jamsetelah rawat inap dan tidak sedang dalam masa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Intensive Care Unit (ICU) 2.1.1 Definisi ICU Intensive Care Unit ( ICU ) adalah bagian rumah sakit yang dilengkapi dengan staf khusus dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Community-Acquired Pneumonia (CAP) perawatan dalam kurun waktu 14 hari sebelum timbulnya gejala.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Community-Acquired Pneumonia (CAP) perawatan dalam kurun waktu 14 hari sebelum timbulnya gejala. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Community-Acquired Pneumonia (CAP) Definisi CAP berdasarkan IDSA adalah infeksi akut dari parenkim paru dengan gejala-gejala infeksi akut, ditambah dengan adanya infiltrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yang berlebihan terhadap infeksi. Sepsis sering terjadi di rumah sakit

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yang berlebihan terhadap infeksi. Sepsis sering terjadi di rumah sakit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepsis adalah penyakit mengancam jiwa yang disebabkan oleh reaksi tubuh yang berlebihan terhadap infeksi. Sepsis sering terjadi di rumah sakit misalnya pada pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang merupakan salah satu masalah kesehatan. anak yang penting di dunia karena tingginya angka

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang merupakan salah satu masalah kesehatan. anak yang penting di dunia karena tingginya angka BAB I PENDAHULUAN Pneumonia 1.1 Latar Belakang merupakan salah satu masalah kesehatan anak yang penting di dunia karena tingginya angka kesakitan dan angka kematiannya, terutama pada anak berumur kurang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan salah satu jenis dari penyakit tidak menular yang paling banyak ditemukan di masyarakat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN UKDW. mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Nosokomial menjadi masalah yang cukup berdampak di negara berkembang seperti Indonesia. Infeksi nosokomial ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit yang banyak terjadi di daerah tropis seperti Indonesia yaitu penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman (Refdanita et al., 2004). Salah satu infeksi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Data di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta didapatkan jumlah rekam medik yang tercatat dengan kode tindakan operasi pada semua bagian periode bulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik jenis metisilin. MRSA mengalami resistensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri dalam saluran kemih, meliputi infeksi diparenkim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pelayanan kesehatan umum seperti rumah sakit dan panti jompo. Multidrugs

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pelayanan kesehatan umum seperti rumah sakit dan panti jompo. Multidrugs BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Resistensi antibiotik memiliki pengaruh besar terhadap kesehatan manusia, setidaknya 2 juta orang terinfeksi oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO TERKAIT PERAWATAN MEDIS INFEKSI OLEH BAKTERI PENGHASIL EXTENDED-SPECTRUM BETA-LACTAMASE (ESBL) DI RSUP DR.

FAKTOR RISIKO TERKAIT PERAWATAN MEDIS INFEKSI OLEH BAKTERI PENGHASIL EXTENDED-SPECTRUM BETA-LACTAMASE (ESBL) DI RSUP DR. FAKTOR RISIKO TERKAIT PERAWATAN MEDIS INFEKSI OLEH BAKTERI PENGHASIL EXTENDED-SPECTRUM BETA-LACTAMASE (ESBL) DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG HEALTH CARE RELATED RISK FACTOR OF INFECTIONS BY EXTENDED-SPECTRUM

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae,

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia merupakan penyakit inflamasi yang mengenai parenkim paru. 1 Penyakit ini sebagian besar disebabkan oleh suatu mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu masalah kesehatan yang utama adalah penyakit saluran nafas bawah, walaupun telah terjadi kemajuan yang pesat dalam kemampuan untuk mengidentifikasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. infeksi yang didapat pada pasien di Pediatric Intensive Care Unit (PICU).

BAB 1 PENDAHULUAN. infeksi yang didapat pada pasien di Pediatric Intensive Care Unit (PICU). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian Infeksi merupakan penyebab utama dari kesakitan dan kematian pasien termasuk pada anak. Infeksi melalui aliran darah merupakan penyebab utama infeksi yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas yang terbanyak didapatkan dan sering menyebabkan kematian hampir di seluruh dunia. Penyakit ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi saluran nafas atas akut yang sering terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Menurut laporan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi merupakan peristiwa masuknya mikroorganisme ke suatu bagian di dalam tubuh yang secara normal dalam keadaan steril (Daniela, 2010). Infeksi dapat disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering ditemukan dalam praktek klinik (Hvidberg et al., 2000). Infeksi saluran kemih (ISK)

Lebih terperinci

Klebsiella pneumoniae. Gamma Proteobacteria Enterobacteriaceae. Klebsiella K. pneumoniae. Binomial name Klebsiella pneumoniae

Klebsiella pneumoniae. Gamma Proteobacteria Enterobacteriaceae. Klebsiella K. pneumoniae. Binomial name Klebsiella pneumoniae Klebsiella pneumoniae Kingdom: Phylum: Class: Order: Family: Genus: Species: Bacteria Proteobacteria Gamma Proteobacteria Enterobacteriales Enterobacteriaceae Klebsiella K. pneumoniae Binomial name Klebsiella

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan BAB III. METODE PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan menggunakan Pretest and posttest design pada kelompok intervensi dan kontrol.

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian di sub bagian Pulmologi, bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr Kariadi 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1 Tempat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan tindakan pembedahan. Keterlambatan dalam penanganan kasus apendisitis akut sering menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat

BAB I PENDAHULUAN. Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat inflamasi pada ruang subarachnoid yang dibuktikan dengan pleositosis cairan serebrospinalis

Lebih terperinci

PROFIL BAKTERI, RESISTENSI ANTIBIOTIK DAN ANALISA GAS DARAH PADA PENDERITA PENYAKIT PARU DI RUANG RAWAT INTENSIF RUMAH SAKIT Dr. MOEWARDI SURAKARTA

PROFIL BAKTERI, RESISTENSI ANTIBIOTIK DAN ANALISA GAS DARAH PADA PENDERITA PENYAKIT PARU DI RUANG RAWAT INTENSIF RUMAH SAKIT Dr. MOEWARDI SURAKARTA PROFIL BAKTERI, RESISTENSI ANTIBIOTIK DAN ANALISA GAS DARAH PADA PENDERITA PENYAKIT PARU DI RUANG RAWAT INTENSIF RUMAH SAKIT Dr. MOEWARDI SURAKARTA Eddy Surjanto, Reviono, Harsini, Agung Dewantara Departemen

Lebih terperinci

PELATIHAN NEFROLOGI MEET THE PROFESSOR OF PEDIATRICS. TOPIK: Tata laksana Acute Kidney Injury (AKI)

PELATIHAN NEFROLOGI MEET THE PROFESSOR OF PEDIATRICS. TOPIK: Tata laksana Acute Kidney Injury (AKI) PELATIHAN NEFROLOGI MEET THE PROFESSOR OF PEDIATRICS TOPIK: Tata laksana Acute Kidney Injury (AKI) Pembicara/ Fasilitator: DR. Dr. Dedi Rachmadi, SpA(K), M.Kes Tanggal 15-16 JUNI 2013 Continuing Professional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut perkiraan World Health Oraganization (WHO) ada sekitar 5 juta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut perkiraan World Health Oraganization (WHO) ada sekitar 5 juta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut perkiraan World Health Oraganization (WHO) ada sekitar 5 juta kematian neonatus setiap tahun, 98% terjadi di negara berkembang. Penyebab paling umum kematian

Lebih terperinci

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 4 Batuk dan Kesulitan Bernapas Kasus II. Catatan Fasilitator. Rangkuman Kasus:

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 4 Batuk dan Kesulitan Bernapas Kasus II. Catatan Fasilitator. Rangkuman Kasus: Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Bab 4 Batuk dan Kesulitan Bernapas Kasus II Catatan Fasilitator Rangkuman Kasus: Agus, bayi laki-laki berusia 16 bulan dibawa ke Rumah Sakit Kabupaten dari sebuah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012). Infeksi nosokomial dapat terjadi

I. PENDAHULUAN. penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012). Infeksi nosokomial dapat terjadi I. PENDAHULUAN Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri patogen oportunistik penting yang menyebabkan infeksi nosokomial terutama pada pasien yang mengalami penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. morbiditas dan mortalitas pada bayi dan anak-anak. Infeksi mikroba. intrinsik untuk memerangi faktor virulensi mikroorganisme.

BAB I PENDAHULUAN. morbiditas dan mortalitas pada bayi dan anak-anak. Infeksi mikroba. intrinsik untuk memerangi faktor virulensi mikroorganisme. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Urosepsis merupakan respon sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi proses aktivitas proses inflamasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif. yang normalnya hidup sebagai flora normal di sistem

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif. yang normalnya hidup sebagai flora normal di sistem 1 BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif yang normalnya hidup sebagai flora normal di sistem pencernaan manusia, dan juga bisa menjadi patogen yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karakter Biologi Klebsiella pneumoniae K. pneumoniae tergolong dalam kelas gammaproteobacteria, ordo enterobacteriale, dan famili Enterobacteriaceae. Bakteri K. pneumoniae adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di

I. PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di rumah sakit 3 x 24 jam. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2002, sepertiganya disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang di dapat setelah pasien dirawat di rumah

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang di dapat setelah pasien dirawat di rumah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi nosokomial adalah infeksi yang di dapat setelah pasien dirawat di rumah sakit. Infeksi nosokomial merupakan konstributor penting pada morbiditas dan mortalitas.

Lebih terperinci

POLA KEPEKAAN BAKTERI PENYEBAB VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP) DI ICU RSUP H. ADAM MALIK PERIODE JULI-DESEMBER Oleh :

POLA KEPEKAAN BAKTERI PENYEBAB VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP) DI ICU RSUP H. ADAM MALIK PERIODE JULI-DESEMBER Oleh : POLA KEPEKAAN BAKTERI PENYEBAB VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP) DI ICU RSUP H. ADAM MALIK PERIODE JULI-DESEMBER 2014 Oleh : DASTA SENORITA GINTING 120100251 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah suatu keadaan terdapatnya keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif. Penyakit ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat. Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi menjadi infeksi saluran

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Munculnya strain bakteri yang resisten terhadap banyak antibiotik termasuk bakteri Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

Lebih terperinci

Pasien kritis adalah pasien dengan kondisi

Pasien kritis adalah pasien dengan kondisi Artikel Asli Pola Kuman dan Uji Kepekaan Antibiotik pada Pasien Unit Perawatan Intensif Anak RSMH Palembang Afriyan Wahyudhi, Silvia Triratna Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit ginjal adalah salah satu penyebab paling penting dari kematian dan cacat tubuh di banyak negara di seluruh dunia (Guyton & Hall, 1997). Sedangkan menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pre-eklamsia adalah hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan yang biasanya terjadi setelah 20 minggu kehamilan. Pada pre-eklamsia, ditandai dengan hipertensi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik untuk Pengobatan ISPA pada Balita Rawat Inap di RSUD Kab Bangka Tengah Periode 2015

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons tubuh terhadap invasi mikroorganisme, bakteremia atau pelepasan sitokin akibat pelepasan endotoksin

Lebih terperinci