BAB I PENDAHULUAN. tumbuh dan berkembang dalam ingatan masyarakat pendukungnya dan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. tumbuh dan berkembang dalam ingatan masyarakat pendukungnya dan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesusasteraan merupakan kumpulan hasil karya seni yang menggunakan kata-kata sebagai media, baik yang dituliskan (misalnya pada kertas, kulit kayu, kulit binatang, lontar, dan lain sebagainya), maupun yang tidak dituliskan (yang tumbuh dan berkembang dalam ingatan masyarakat pendukungnya dan disampaikan secara lisan/oral). Sebagai karya seni yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, karya sastra tidak akan terlepas dari masyarakat tempat karya sastra itu hidup. Hubungan timbal balik yang terangkai antara karya sastra sebagai salah satu hasil cipta seni dengan masyarakat sebagai penikmat dan bahkan yang direfleksikan oleh karya sastra itu sendiri, membuka jalan untuk melihat dan mempelajari masyarakat melalui karya-karya sastra yang dihasilkannya, baik melalui karya sastra tertulis maupun sastra tidak tertulis. Karya sastra tidak tertulis (lazim disebut juga sastra lisan) dapat menjadi salah satu pintu masuk untuk memahami alam pikiran masyarakat yang memproduksinya. Di balik sastra lisan yang dihasilkan, terkandung gagasan dan sejarah penting tentang masyarakat itu sendiri, tidak terkecuali karya-karya sastra lisan yang yang hidup di tengah masyarakat Minangkabau. Penelitian terhadap sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya dan 1

2 2 tradisi lisan dalam masyarakat Minangkabau, dapat membuka informasi tentang kebudayaan 1 dan masyarakat 2 Minangkabau. Salah satu bentuk sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Minangkabau adalah pidato adat. Pidato adat adalah pidato yang disampaikan dalam bahasa adat. 3 Bahasa adat yang dimaksudkan adalah bahasa Minangkabau ragam khusus. Kekhususan bahasa pidato adat, menurut Navis (1986: 252), diperlihatkan oleh gaya bahasa yang dipakai. Gaya bahasa dan ungkapannya merupakan hasil kesusasteraan yang sama mutunya dengan kaba 4 dan pantun. 5 Struktur kalimat pidato biasanya panjang-panjang. Setiap kalimat memiliki banyak anak kalimat. Tiap-tiap kalimat dan anak kalimat terdiri atas empat kata. Di samping itu, dalam pidato adat dibangun kesejajaran berbagai ung- 1 Kebudayaan dalam antropologi adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kata kebudayaan itu sendiri berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan: hal-hal yang bersangkutan dengan akal (Koentjaraningrat, 1986: ). 2 Istilah masyarakat sendiri berasal dari kata Arab syaraka yang berarti ikut serta, berpartisipasi. Koentjaraningrat menyatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, saling berinteraksi, dan mempunyai ikatan khusus. Ikatan khusus yang dimaksud adalah pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas kesatuan itu, dan pola tingkah lalu itu harus bersifat mantap dan kontinyu; dengan kata lain pola khas itu sudah menjadi adat istiadat yang khas. Ikatan khusus juga dibangun oleh rasa kesamaan identitas diantara para warga dan anggotanya. Selain itu, ikatan khusus juga dibentuk oleh adanya suatu sistem norma yang menyeluruh. Berdasarkan ketiga ciri itu, Koentjaraningrat merumuskan definisi sebagai berikut: masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Ibid: ). 3 Pidato adat merupakan salah satu hasil kesusateraan Minangkabau terpenting di samping pantun dan kaba (Navis, 1986: 232). 4 Kaba adalah salah satu cerita rakyat Minangkabau di samping dongeng, hikayat, dan cerita lainnya. Bahasa yang dipakai dalam kaba bersifat liris, mengandung ungkapan-ungkapan yang plastis, dan terdiri dari unsur pantun yang cukup dominan (Ibid: ). 5 Pantun adalah buah kesusasteraan Minangkabau terpenting. Pantun menjadi buah bibir, bunga kaba, dan hiasan pidato dalam karya sastra Minangkabau (Ibid: ).

3 3 kapan yang sinonim sebagai cara untuk menegaskan masalah yang sedang dibicarakan. Ungkapan-ungkapan itu juga berfungsi sebagai bungo pidato. Pidato adat dinamakan juga sebagai pakaian penghulu, karena pidato adat menjadi bagian yang penting dalam upacara-upacara adat. Ia terintegrasi ke dalam tubuh seremonial adat, dan melalaui pidato itu ditentukan sah atau tidaknya keputusan-keputusan adat. Seorang penghulu (pimpinan adat) perlu memiliki kemahiran berpidato adat. Setiap acara dan upacara dalam masyarakat Minangkabau memerlukan kemahiran pidato adat, seperti dalam acara perkawinan, kenduri dan perjamuan, upacara kematian, penobatan penghulu, serta kerapatan kaum atau kerapatan nagari di balai adat. Pidato adat dalam acara penobatkan atau pengukuhan penghulu merupakan salah satu bentuk pidato adat yang panjang dan kompleks. Kompleksitas terlihat pada struktur kalimat yang panjang-panjang, dengan banyak anak kalimat, mengandung pantun-pantun, ungkapan-ungkapan adat yang disampaikan dengan gaya bahasa yang khas dan menggunakan bahasa berkias. Pidato adat penobatan penghulu biasanya dilakukan dalam sebuah tradisi Malewakan Gala (seterusnya disingkat dengan MG). Tradisi Malewakan Gala adalah suatu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau untuk melewakan (meresmikan) pewarisan gelar adat yang diwariskan kepada seorang laki-laki, baik ketika ia menjadi seorang mempelai, maupun ketika seorang laki-laki dipilih menjadi pemimpin adat (penghulu) dalam masyarakat Minangkabau. Pidato adat ini disampaikan seseorang yang dipilih sebagai juru pidato yang sekaligus berkedudukan sebagai pemuka adat. Biasanya juru pidato memangku

4 4 jabatan sebagai ninik mamak di suatu nagari. Juru pidato berperan sebagai wakil kaum (orang sesuku) dari suku yang sedang dilewakan atau diresmikan gelarnya. Tradisi MG adalah tradisi yang dilakukan ketika seorang laki-laki diberi gelar adat oleh kerabat dari pihak garis ibu (matrilineal). 6 Pemberian gelar adat kepada seorang laki-laki terjadi pada dua kondisi: pertama, ketika seorang lakilaki memasuki masa pernikahan; kedua, ketika seorang laki-laki dipilih sebagai pemimpin adat (penghulu). Pada kedua kondisi ini, keberadaan laki-laki dalam pandangan budaya masyarakat Minangkabau akan diwariskan gelar adat. 7 Akan tetapi, kedua kondisi tersebut tidak bermakna dapat saling berkelanjutan. Artinya, tidak selalu laki-laki yang sudah diberi gelar ketika menikah kemudian otomatis akan dipilih lagi untuk menerima gelar adat dan berfungsi sebagai pemimpin adat. Seorang pemimpin adat adalah orang yang benar-benar dipilih oleh kerabat atau kaumnya. 8 6 Khusus terjadi di wilayah Pariaman terdapat tradisi pewarisan gelar bangsawan dari ayah kepada anak laki-laki. Gelar yang diwariskan di daerah Pariaman tidak sama dengan gelar adat yang lazim berlaku di daerah Minangkabau pada umumnya. Gelar di daerah Pariaman yang diwariskan menurut garis bapak ini bersifat perbedaan status sosial, mirip dengan pembedaan orang dalam kasta-kasta. Ada tiga gelar yang lazim diwariskan tersebut yaitu: sutan, bagindo, dan sidi. Laki-laki yang diwarisi gelar sutan menandakan asal usul ayahnya dari Luhak nan Tigo. Gelar bagindo yang diberikan pada seorang anak laki-laki menandakan asal usul ayahnya dari keluarga bangsawan Pagaruyung. Gelar sidi menandakan asal usul ayahnya berasal dari prajurit Aceh. Pariaman lama dikuasai Aceh sebelum dikuasai Belanda. 7 Gelar adat merupakan sako (warisan) yang tidak bersifat benda. Sako dalam pengertian adat Minangkabau adalah segala kekayaan asal yang tidak berwujud atau harta tua berupa hak atau kekayaan tanpa wujud. Gelar adat Minangkabau adalah salah satu dari kekayaan immaterial yang disebut juga dengan Pusako Kagadangan (Pusaka Kebesaran). Ada 4 macam Pusako Kebesaran, yaitu: gelar penghulu, garis keturunan ibu (matrilineal), pepatah-petitih dan hukum adat, dan tata krama atau adat sopan santun (Amir M.S., 1997: 90). 8 Tradisi ini hidup di wilayah budayanya sendiri. Kalaupun ada orang Minang yang tinggal di rantau diwarisi gelar (penghulu), biasanya pelaksanaannya dilakukan di kampung halaman, yaitu Sumatera Barat. Oleh karenanya, penelitian ini mengamati atau mempelajari tradisi Malewakan Gala di daerah Minangkabau yang termasuk ke dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat saja.

5 5 Dalam struktur kekerabatan yang bersifat matrilineal sebagai yang dianut masyarakat Minangkabau, kedudukan kaum perempuan dipandang menempati posisi yang beruntung. Keberuntungan perempuan adalah karena pewarisan harta pusaka, rumah, anak, dan sebagainya dipegang oleh pihak perempuan. Harta pusaka kaum menjadi milik perempuan secara turun-temurun. Akan tetapi, mengapa gelar adat sebagai salah satu bentuk dari harta pusaka kaum diwariskan kepada laki-laki? Mengapa perempuan tidak memperoleh hak yang sama dengan laki-laki di mata adat Minangkabau, terutama berkaitan dengan gelar ini? 9 Pertanyaan ini menjadi titik awal keberangkatan studi ini dilakukan dan juga sekaligus menjadi tujuan akhir yang hendak diraih. Pembongkaran terhadap pertanyaan yang menjadi titik sentral studi ini dilakukan melalui pintu masuk sastra, yaitu sastra lisan pidato adat yang dilaksanakan dalam tradisi MG di Minangkabau. Tradisi MG terdiri atas beberapa tahapan. Khusus untuk MG kepada pemimpin adat, prosedurnya cukup panjang. Diawali dengan musyawarah dan mufakat kaum tentang orang yang patut dan pantas menerima pewarisan gelar 9 Pola garis keturunan matrilineal memunculkan satu nenek moyang utama dalam tiap-tiap generasi, yaitu ibu si ibu, ibu dari nenek, seterusnya ibu dari nenek lagi, dan seterusnya demikian ke atas. Dengan demikian, kekerabatan dikelompokkan berdasarkan garis ibu. Pada kelompok masyarakat yang menganut pola kekerabatan matrilineal, peranan kepala keluarga dipegang oleh saudara laki-laki ibu dan bukan oleh sang ayah. Pola menetap dalam sistem kekerabatan matrilineal ini bersifat matrilocal, yaitu setelah menikah sang suami akan menetap di desa (rumah) sang isteri. Tidak perlu disangsikan lagi bahwa dalam struktur kekerabatan seperti ini terdapat efek psikologis tertentu dalam hubungan psikososial di antara anggota-anggota keluarga. Pola menetap yang matrilocal seakan memunculkan perasaan bahwa perempuanlah yang mempunyai kedudukan dalam keluarga, mungkin akan demikian kuatnya, sehingga sang suami dianggap sebagai semacam orang luar dalam lingkungan keluarga isterinya, seperti halnya yangb terjadi pada orang Zuni (salah satu suku Indian di Amerika Serikat), yakni suami merasa menderita karenanya. Di rumah isterinya, sang suami tidak mempunyai kedudukan apapun, kecuali kedudukan yang diperolehnya karena sudah lama tinggal di sana serta rasa hormat terhadap dirinya yang ditunjukkan oleh kerabat pihak isterinya. Lebih lanjut, periksa (T.O. Ihromi, 1980: 82-86).

6 6 adat, setelah itu dilanjutkan dengan musyawarah di tingkat nagari. Hal-hal yang dimusyawarahkan adalah siapa yang akan menerima hak waris, apa gelar adat yang akan diwariskan, dan juga teknis pelaksanaan alek malewakan gala (pesta peresmian gelar) tersebut. Pelaksanaan alek malewakan gala ini biasanya harus diikuti dengan penyembelihan kerbau, sebagai syarat untuk diangkatnya seorang penghulu. Daging kerbau itu dimasak dan dimakan bersama sesudah melaksanakan alek malewakan gala, khususnya pada penobatan penghulu baru. Acara makan bersama itu digelar dalam jamuan atau makan bajamba 10 di rumah gadang. Hal ini berbeda dengan alek malewakan gala kepada seorang laki-laki yang akan melaksanakan pernikahan. Untuk kondisi ini tidak berlaku prosedur yang rumit, sebab pewarisan gelar pada kondisi ini biasanya dirangkaikan dengan upacara perkawinan. Pewarisan gelar dilakukan sehari sebelum marapulai (mempelai laki-laki) bersanding di pelaminan dengan anak daro (mempelai perempuan). Gelar diwariskan oleh kerabat kepada seorang laki-laki yang berhak mendapatkannya, setelah melalui proses musyawarah dan mufakat. Permusyawarahan dan permufakatan dilakukan di antara sesama anggota kerabat (kaum) yang terdiri dari para ninik mamak. Hasil permusyawarahan dan permufakatan diumumkan dalam acara puncak, yaitu tradisi MG. Pada acara puncak itu seluruh kerabat, masyarakat, tokoh formal dan informal diundang dalam seremonial itu. 10 Makan bajamba adalah makan bersama secara adat. Makanan dihidangkan dalam beberapa wadah dan setiap wadah dikelilingi oleh beberapa orang (sekitar 4 orang), kemudian makanan tersebut disantap secara bersama-sama.

7 7 Tradisi MG merupakan sebuah ritual adat yang hingga saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat Minangkabau, baik yang berdiam di kawasan darek, maupun yang berada di kawasan pasisia. 11 Tradisi itu masih dilakukan hingga kini karena diatur oleh adat istiadat Minangkabau. Adat Minangkabau mengatur pentingnya pelaksanaan tradisi tersebut melalui sebuah ungkapan adat yang berbunyi ketek banamo gadang bagala (kecil memiliki nama, besar diberi gelar). Ungkapan ini dipandang menjadi alasan penting dalam tradisi MG. Ungkapan ini diulang-ulang dan selalu dituturkan dalam berbagai kesempatan adat, termasuk dalam tradisi MG. Bila pemberian gelar dilakukan kepada seorang pemimpin adat, apakah ungkapan yang berlaku sebagai dasar pijakannya masih ketek banamo gadang bagala yang menjadi alasan pentingnya? Bila ternyata benar, maka ungkapan ini benar-benar menjadi patokan utama dalam tradisi tersebut. Bila ternyata tidak, perlu dilacak lebih lanjut dan dikaji keterkaitannya dengan ungkapan ketek banamo gadang bagala itu. Ungkapan ketek banamo, gadang bagala (kecil memiliki nama, besar diberi gelar) yang menjadi landasan pelaksanaan tradisi pemberian gelar selalu saja dituturkan dan digunakan secara sosial oleh masyarakat Minangakabau di 11 Secara tradisional, wilayah budaya Minangkabau terdiri atas kawasan luhak, dan rantau; yang juga identik dengan darek dan pasisia. Luhak adalah daerah-daerah yang termasuk ke dalam kawasan inti wilayah budaya Minangkabau (disebut juga Luhak nan Tigo), sedangkan rantau adalah daerah-daerah lain yang tidak termasuk ke dalam kawasan Luhak nan Tigo. Wilayah Luhak nan Tigo itu pun terdiri dari 3 kawasan, yaitu Luhak Tanah Data, Luhak Agam, dan Luhak Limopuluah Koto. Sebaliknya, rantau adalah daerah di luar Luhak nan Tigo yang masih termasuk ke dalam wilayah budaya Minangkabau. Wilayah luhak terletak di daerah dataran tinggi, dinamakan dengan darek, sedangkan rantau terletak di daerah dataran rendah dan juga pesisir pantai, yang oleh karenanya seringkali di sebut juga sebagai kawasan pasisia (pesisir). Luhak dan rantau atau darek dan pasisia kontroversial secara adat istiadat yang berlaku. Luhak lebih kental adat istiadatnya, sedangkan rantau sebaliknya (Mansoer, dkk, 1970)

8 8 berbagai kesempatan. Artinya, ungkapan ini telah menjadi pesan yang selalu dituturkan dan digunakan di berbagai kesempatan oleh masyarakat Minangkabau. Terkait dengan pesan yang masih tetap bertahan, selalu dituturkan, dan digunakan secara sosial oleh masyarakat ini, tampaknya bisa dijelaskan dengan pandangan Barthes (1993: 109) tentang mitos. Bagi Barthes, segala hal dapat menjadi mitos bila ia dikatakan, dituturkan, dan digunakan secara sosial. 1.2 Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang di atas, masalah yang ingin dijawab dalam disertasi ini adalah mengapa terjadinya penyimpangan aturan pewarisan harato pusako (harta pusaka) yang seharusnya harato pusako (pusaka) hanya dijatuhkan untuk kaum perempuan sebagai pemilik dan pemakainya. Akan tetapi, kemudian disimpangi untuk kasus pewarisan harato pusako, yaitu yang berupa gelar adat (sako) dengan menjatuhkan pewarisannya kepada laki-laki. Sako itu sendiri saat kini adalah salah satu bagian dari harato pusako dalam masyarakat Minangkabau. Pewarisan gelar sako itu diturunkan secara terus-menerus oleh masyarakat Minangkabau lewat tradisi MG. Bahkan, pemberian gelar adat kepada laki-laki oleh masyarakat Minangkabau dipahami sebagai suatu keniscayaan, alamiah, dan sudah demikian adanya sejak dahulu kala. Karena kajian ini berfokus pada aspek sastra lisan pidato adat dalam tradisi MG, untuk menjawab masalah di atas, terlebih dahulu perlu dijawab beberapa pertanyaan berikut. 1. Bagaimana struktur teks pidato adat dalam tradisi Malewakan Gala di Minangkabau?

9 9 2. Apa makna pidato adat dalam tradisi Malewakan Gala bagi masyarakat Minangkabau? 3. Apa fungsi pesan-pesan yang terkandung di balik pidato adat dalam tradisi Malewakan Gala? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan dua tujuan, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis penelitian ini adalah ingin mengetahui mengapa gelar sako diberikan kepada laki-laki, bukan kepada perempuan. Untuk mencapai tujuan tersebut, terlebih dahulu penelitian ini melakukan langkah-langkah berikut: (1) mengidentifikasi formula-formula khas teks pidato adat dan keterkaitannya dengan struktur formal masyarakat Minangkabau dalam konsep pewarisan gelar adat kepada laki-laki, (2) mengungkapkan makna pesan-pesan yang terkandung di balik pidato adat dalam tradisi MG, (3) menjelaskan fungsi pidato adat dalam tradisi MG bagi masyarakat Minangkabau. Adapun tujuan praktis penelitian ini adalah (1) memperkaya bahan ajar di Jurusan Sastra Minangkabau di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, khususnya mata kuliah sastra lisan dan semiotik, (2) memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya masyarakat Minangkabau, mengenai kandungan yang terdapat dalam budayanya sendiri, (3) melestarikan budaya Minangkabau agar tidak punah, serta (4) membangkitkan kecintaan masyarakat terhadap budaya Minangkabau.

10 Tinjauan Pustaka Kajian mengenai budaya Minangkabau telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu dengan mengaplikasikan berbagai sudut pandang. Sudut pandang yang relevan dengan studi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kajian-kajian yang berkaitan dengan sudut pandang sastra, tradisi lisan, dan bertema seputar budaya Minangkabau. Beberapa hasil penelitian terdahulu yang berhasil ditelusuri dan dibaca dapat dipilah atas dua kelompok, yakni: (1) kepustakaan yang terkait dengan kajian tentang masyarakat Minangkabau dan budayanya; dan (2) kepustakaan yang terkait dengan kerangka teoretis atau sudut pandang yang digunakan dalam penelitian ini. Kepustakaan yang terkategori ke dalam kelompok (1) sepanjang pengetahuan penulis telah banyak dilakukan. Ada beberapa kajian terdahulu yang terkait langsung dengan topik penelitian ini, yaitu kajian tentang tentang gelar adat dilakukan oleh Noverita (2005); tentang penghulu oleh Zulhelmi (2006) dan Hestia (2008); tentang perkawinan oleh Arifin (2008); tentang sastra oleh Elia (2003), Rosa (2003) dan (2005), Gayatri (2005); dan Devina (2006); serta tentang seni dan tradisi masyarakat oleh Awerman (1999), Sastra (1999), dan Toruan (2000). Kajian Noverita (2005) adalah sebuah kajian linguistik (semantis) tentang nama gelar-gelar penghulu di Minangkabau. Kajiannya menyimpulkan bahwa terdapat variasi bentuk dan makna dalam pemilihan nama gelar penghulu. Penamaan gelar penghulu di Minangkabau tidak terlepas dari filosofi hidup orang Minangkabau yang berbunyi Alam Terkembang Jadi Guru. Sementara itu, masalah yang terkait dengan peran penghulu dalam masyarakat Minangkabau

11 11 diteliti oleh Zulhelmi (2006) dari perspektif ilmu filsafat. Menurutnya, penghulu merupakan jabatan adat yang penting dalam masyarakat dan memiliki beban tanggung jawab yang berat, oleh karenanya mesti dijabat oleh seorang laki-laki. Sehubungan dengan beban dan tanggung jawab seorang penghulu di Minangkabau, Hestia (2008) menyatakan bahwa lembaga KAN (Kerapatan Adat Nagari) yang beranggotakan para penghulu berperan penting dalam membantu tugas-tugas pemerintah di level nagari, terutama dalam menyelesaikan persengketaan masyarakat nagari dalam urusan adat. Persengketaan adat di tahap nagari harus diselesaikan terlebih dahulu oleh para penghulu yang bernaung di bawah lembaga KAN sebelum persengketaan itu dinaikkan ke level pengadilan. Pada tahap ini, tampak bahwa persyaratan jenis kelamin penghulu harus laki-laki seperti disebutkan dalam kajian Zulhelmi (2006) menjadi penting. Ketiga kajian ini tampak sebatas mendeskripsikan aturan-aturan adat tentang beban dan tanggung jawab seorang penghulu yang memang sudah ada dalam tambo atau dokumen-dokumen adat, tanpa menyertainya dengan analisis kritis terhadap aturan-aturan yang termuat dalam tambo adat Minangkabau. Hal berbeda dari ketiga kajian ini disuguhkan oleh Arifin (2008) yang melakukan kajian kritis tentang praktik perkawinan di nagari Minangkabau yang memperlihatkan peran para penghulu-penghulu adat. Arifin menilai bahwa praktik perkawinan yang terjadi pada masyarakat Minangkabau lebih menunjukkan sifat bersaing dan bersahabat. Adat yang diaplikasikan dalam praktik sosial masyarakat Minangkabau sebenarnya adalah hasil kesepakatan (adat) yang telah mengalami proses redefinisi dan rekonstruksi. Dengan kata lain, ketegangan

12 12 antara adat (struktur) dan politik perkawinan (agensi) akhirnya menemukan hasil dalam bentuk modifikasi adat sesuai dengan ruang dan waktu dimana ia diaplikasikan. Redefinisi adat ini dilakukan melalui hal yang disebutnya sebagai politik perkawinan dan yang berperan dalam politik perkawinan itu adalah para penghulu dari masing-masing kerabat yang terlibat dalam perkawinan. Kajian Arifin menjadi cukup penting karena ia mencoba memberikan tafsir terhadap sebuah fenomena budaya (perkawinan). Hanya saja objek yang dipilihnya tidak terlalu dekat dengan objek penelitian ini, yaitu sastra lisan. Namun, setidaknya kajian Arifin dapat dijadikan perbandingan kritis dalam menafsirkan fenomena budaya masyarakat Minangkabau. Studi yang mirip dilakukan juga oleh Rosa (2003) yang mencoba menawarkan sebuah tafsir semiotik terhadap salah satu teks pidato adat yang ditujukan untuk laki-laki yang akan menikah di satu daerah perkotaan (pesisir) di Sumatera Barat; dan juga dilakukannya lagi tahun 2005 (Rosa, 2005). Kedua penelitian Rosa itu belum mampu mengkaji pemberian gelar adat di tempat yang berbeda dan juga terkait dengan pemberian gelar untuk laki-laki yang dipilih menjadi penghulu atau pemimpin adat. Aspek ini belum tersentuh baik dalam kajian Rosa (2003) maupun dalam Rosa (2005). Berkaitan dengan perspektif sastra yang diaplikasikan terhadap tema-tema Minangkabau, khususnya yang fokus dalam hal sastra dan tradisi lisan telah dilakukan oleh beberapa orang peneliti terdahulu, diantaranya oleh Elia (2003) dan Gayatri (2005); seni dan tradisi masyarakat oleh Awerman (1999), Sastra (1999), dan Toruan (2000). Kajian Elia (2003) menyatakan bahwa Sirompak

13 13 adalah salah satu tradisi syamanisme yang kemudian berkembang menjadi seni pertunjukkan satra lisan di Minangkabau, khususnya di Nagari Taeh, Kabupaten Limopuluah Koto. Sirompak adalah semacam mantra yang digunakan untuk mengguna-guna seorang perempuan agar tergila-gila kepada seorang laki-laki yang menaruh dendam akibat cintanya ditolak. Dengan menggunakan paradigma Lord tentang formula, kajian Elia menghasilkan temuan bahwa teks Sirompak bersifat formulaik. Juru dendang menggunakan teknik memorizing, remembering, dan (re)creating dalam membuat komposisi teks-teks mantra Sirompak ketika pertunjukan dilakukan. Masih di daerah Kabupaten Limopuluah Koto, Gayatri (2005) meneliti sastra lisan Tupai Janjang menggunakan paradigma yang sama dengan Elia (2003). Gayatri menambahkan dengan analisis fungsional. Akan tetapi, Gayatri (2005) mengaitkan analisis fungsional Tupai Janjang dengan pendapat Danandjaya tentang fungsi-fungsi folklor, sehingga Gayatri hanya sampai pada kesimpulan bahwa Tupai Janjang berfungsi sebagai sistem proyeksi keinginan masyarakat dan sebagai alat pengesahan pranata sosial dan lembaga-lembaga kebudayaan di Minangkabau. Meskipun Gayatri menyinggung tentang paradigma fungsionalisme Malinowski dalam kerangka teoretiknya, tetapi analisis yang dilakukan tidak sampai ke tahap analisis fungsional dalam paradigma Malinowski tersebut. Devina (2006) meneliti Pidato Pasambahan Batagak Gala di Kenagarian Koto Tinggi, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam. Hasil kajiannya menyediakan data mentah tentang pidato adat Batagak Gala, yaitu berupa transkripsi, yang

14 14 tidak tertutup kemungkinan untuk dijadikan bahan bagi penelitian lanjutan. Oleh karena itu, hasil transkripsi Devina dipilih sebagai salah satu sumber data. Akan tetapi, hasil transkripsi yang dilakukan oleh Devina, masih memerlukan perbaikan-perbaikan dalam segi transliterasi. Karena masih banyak terdapat katakata berbahasa daerah yang belum diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Oleh karena itu, hasil transliterasi terhadap teks Devina (yakni teks C) yang disajikan dalam disertasi ini diupayakan seminimal mungkin kata-kata, ungkapan dan atau kalimat yang tidak dterjemahkan, kecuali apabila benar-benar tidak ditemukan padanan katanya di daam kamus. Perubahan-perubahan dalam transliterasi teks tetap diperlukan dalam keputusan memilih teks hasil transkripsi Devina ini. Teks tersebut didampingkan dengan 3 (tiga) teks lain. Kajian fungsional terhadap tradisi lisan juga tampak pada penelitian Sarwanto (2007) tentang fungsi pertunjukan wayang kulit purwa dalam upacara bersih desa di daerah Karesidenan Surakarta. Penelitian Sarwanto lebih fokus kepada faktor-faktor yang menjadi penyebab pentingnya fungsi wayang kulit purwa dilaksanakan dalam upacara bersih desa; dan penelitian tentang aspek fungsional dalam sastra pernah dilakukan oleh Wigati (2008) terhadap sastra lisan di Sentani, Papua. Penelitian Wigati lebih menekankan pada fungsi perempuan dalam pewarisan sastra lisan Helaehili dan Ehabla di Sentani, Papua. Penelitian aspek fungsional yang berhubungan dengan seni dan tradisi masyarakat telah dilakukan oleh Awerman (1999), Sastra (1999), Toruan (2000), dan Maryetti (2007). Awerman (1999) menyatakan bahwa Dikia Rabano merupakan salah satu musik bernafaskan Islam yang sekaligus menjadi

15 15 manifestasi dari sistem pendidikan tradisional yang sejalan dengan dakwah Islam di Minangkabau dan juga proses Islamisasi di Sumatera Barat. Dikia Rabano merupakan pengembangan dari instrumen rabano yang dibawa langsung oleh para ulama dari Mekah. Instrumen rabano dipakai untuk mengiringi syair Qashidah Burdah yang berasal dari Mekah dan juga untuk mengirigi acara Khatam al- Quran. Sastra (1999) mencatat bahwa kebudayaan Minangkabau tersusun berdasarkan konflik-konflik sosial yang dapat terlihat pada wilayah budaya, agama, dan struktur masyarakat. Konflik-konflik sosial ini pun akhirnya bermuara pada kepentingan bersama, yaitu membentuk budaya Minangkabau secara utuh. Konflik dipandang sebagai dinamika yang tidak harus berujung pada perubahan. Konflik-konflik sosial yang telah membudaya di Minangkabau ternyata membias pada seni pertunjukan bagurau dalam basaluang. Toruan (2000) yang meneliti Fungsi dan Struktur Dendang Pauah menyebutkan bahwa Dendang Pauah berfungsi sebagai sarana hiburan para tamu yang datang diundang pada upacara-upacara adat, seperti batagak pangulu, batagak gala, alek kawin, dan managakan tonggak tuo. Toruan berpandangan bahwa dari segi struktur, Dendang Pauah memperlihatkan dua aspek struktur, yaitu struktur musikal dan struktur teks. Secara musikal, struktur Dendang Pauah terdiri dari irama pado-pado, irama pakok anam, irama pakok limo, irama malereang, dan irama lambok malam. Kajian Maryetti (2007) juga berupaya untuk melihat aspek struktur dalam makanan tradisional Minangkabau. Akan tetapi perspektif struktur yang dipakai

16 16 Maryetti tampak jauh berbeda dengan perspektif yang digunakan oleh Toruan dalam mengungkap struktur Dendang Pauah. Maryetti menggunakan perspektif strukturalisme Levi-Strauss dalam meneliti makanan tradisional di Minangkabau, khusus di daerah Kamang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Maryetti menyatakan bahwa makanan merupakan persoalan budaya karena posisinya tidak hanya terletak pada tataran individu melainkan juga pada tataran sosial. Pada event adat, peran dan posisi makanan tidak kalah pentingnya dari upacara adat itu sendiri. Makanan dapat menjadi simbol status. Keberadaan makanan tradisional dalam sebuah upacara adat menjadi simbol beradat atau tidak beradatnya suatu kaum, meskipun telah banyak tersedia makanan-makanan yang lebih bersifat modern, makanan siap saji misalnya. Namun, posisi makanan modern tidak dapat menggantikan posisi makanan tradisional dalam sebuah peristiwa adat atau upacara adat. Keharusan hadirnya makanan-makanan tertentu dalam sebuah upacara adat menyiratkan suatu pesan. Kajian Maryetti yang menggunakan perspektif strukturalisme Levi-Strauss menyimpulkan bahwa ada struktur tertentu yang terdapat di balik makanan khas rakyat Minangkabau. Selanjutnya, kepustakaan yang terkait dengan kerangka teoretis yang dipakai dalam penelitian, antara lain dilakukan oleh Propp (1968), Parry dan Lord (dalam Lord, 1976), Sweeney (1973), Phillips (1981), Maryetti (2007), Sarwanto (2007), dan Wigati (2008). Kajian Propp 1968) terhadap seratus dongeng (fairy tales) rakyat Rusia, menemukan bahwa dongeng mempunyai struktur hakiki. Struktur tersebut disebutnya sebagai kerangka umum yang dimiliki oleh dongeng. Walaupun

17 17 kajiannya tidak berpretensi untuk menyimpulkan kerangka umum untuk analisis cerita rakyat sedunia, akan tetapi Propp memastikan bahwa akan selalu ada terdapat tiga hal dalam setiap dongeng atau cerita rakyat. Ketiga hal tersebut adalah (1) anasis yang mantap dan tidak berubah, yang dinamakannya sebagai fungsi. Fungsi dapat dipenuhi oleh tokoh siapa saja; (2) untuk fairy tale jumlah fungsi terbatas; (3) untuk fungsi dalam sebuah dongeng selalu sama; dan (4) dari segi struktur semua dongeng mewakili hanya satu tipe. Propp menyimpulkan bahwa terdapat maksimum 31 fungsi dalam dongeng, walaupun tidak kesemua fungsi itu selalu ada dalam setiap dongeng. Milman Parry 12 (dalam Lord, 1976) dalam bukunya The Singer of Tale melaporkan hasil stydinya terhadap karya-karya epos Homerus. Parry menyimpulkan bahwa telah terjadi pemanfaatan dan penggalian kekayaan tradisi lisan sezaman Homerus dalam penciptaan karya-karya epos Homerus. Karyakarya epos diciptakan dengan memanfaatkan persediaan formula yang memang sudah ada dalam tradisi lisan. Formula itu adalah suatu kekayaan tradisi yang sudah siap pakai, sesuai dengan persyaratan matra yang ada dalam penciptaan epos. Parry dan Lord kemudian juga membuktikan pandangannya ini pada objek lain, yaitu epos rakyat Yugoslavia yang pada waktu itu tradisi penceritaannya masih hidup. Ternyata, hipotesis Parry terbukti. Seorang penyanyi (guslar) di Yugoslavia pun memakai sejumlah formula stereotipe yang siap pakai dalam penciptaan epos rakyat Yugoslavia. Persediaan formula ini oleh Parry dan Lord disebut sebagai stock-in-trade yang menjadi modal seorang guslar. 12 Milmand Parry meninggal dunia sebelum studinya selesai dan berhasil dipublikasikan. Studi Parry dilanjutkan dan dibukukan oleh muridnya Albert B. Lord. Studi Parry dituliskan dan diterbitkan oleh Lord dalam buku yang berjudul The Singer of Tales (1960).

18 18 Sweeney (1973) melakukan penelitian tentang sastra lisan orang Melayu di Malaysia Barat, terutama di bagian timur Kelantan dan Trengganu. Sweeney melaporkan hasil penelitiannya dalam tulisan yang berjudul The Professional Malay Story Telling. Kajian Sweeney menyimpulkan bahwa seorang dalang gaya Melayu itu sungguh-sungguh seorang profesional yang membawakan ceritanya dengan lagu yang biasanya miliknya sendiri; setiap tukang cerita memiliki sejumlah lagu, masing-masing untuk cerita tertentu, dan selalu ada interaksi antara lagu dengan pemakaian bahasa. Seorang dalang yang baik dan berpengalaman tidak menghafalkan teks yang mantap, tetapi diciptakan kembali setiap kali dibawakan. Sweeney menyebut bahwa each rendering is a paraphrase of an imaging (setiap pementasan adalah parafrasa naskah induk yang imajiner). Walaupun formula dalam arti teknis Lord tidak dijumpai dalam nyanyian Melayu, namun prosede menciptakan teks menunjukkan banyak persamaan: ulangan, kesejajaran, selipan, bunyi-bunyi kosong, pemakaian pengisi lowongan banyak dimanfaatkan. Cerita Melayu pun dirakit dari stock-in-trade, persediaan unsurunsur bahasa dan puitik yang siap pakai, tetapi perbedaan penting terletak pada kaitan langsung dengan lagu, sedangkan matra dalam arti teknik ala epos Yugoslavia tidak ditemukan. Terkait dengan variasi sebagai ciri khas sastra lisan, Nigel Phillips (1984) telah melakukan penelitian tentang kaba lisan Minangkabau yang dilakukan dalam dua pertunjukan yang berbeda, yaitu Dendang Pauah dan Rebab Pesisir Selatan. Menurut Phillips, kaba lisan dibentuk oleh frase atau kalimat, dengan panjang 8-9 suku kata (bentuk-bentuk seperti ini dapat dinamai bahasa berirama, prosa

19 19 berirama, atau prosa liris). Pemilihan kata dalam kaba memakai pola berulang menggunakan sinonimi, paralelisme, pengulangan frasa dalam suatu kalimat kepada kalimat berikutnya, terkadang dengan struktur gramatikal yang sama; dalam arti bahwa tindakan yang sama dapat dijelaskan lebih dari sekali. Lebih lanjut dijelaskan oleh Phillips bahwa ditemukan bahasa yang dirumuskan (formulaik), yaitu banyak unsur frasa hingga seluruh kejadian, terjadi berulangulang, baik tanpa perubahan ataupun dengan sejumlah variasi. Hal yang senada dibandingkan Phillips dengan hasil studinya terhadap Sijobang di Kabupaten Limopuluah Koto. Menurut Phillips (1981), pada pertunjukan Sijobang, sifat formulaik teks dan variabilitasnya dari satu pertunjukan ke pertunjukan lain menunjukkan komposisi lisan kalimat-kalimat seperti dalam cerita Yugoslavia yang diteliti Lord. Hal yang sama juga berlaku pada kaba Minangkabau, tulis Phillips. Pemilihan kata dalam kaba Minangkabau juga ditandai oleh pemakaian otiose epithets and length terms of address (epithets otiose dan ungkapan-ungkapan yang panjang tentang sebuah tujuan). Pantun digunakan dengan jumlah bervariasi untuk pembukaan dan penutupan cerita, serta juga untuk dialog dan tujuan lainnya. Kesemua ini merupakan bentuk standar dari kaba lisan Minangkabau. Namun, dalam hal bentuk, penelitian Phillips yang kemudian tentang Dendang Pauah ternyata memperlihatkan hal yang berbeda. Dendang Pauah sepenuhnya disajikan dalam bentuk pantun, bukan sebagian besar bahasa berirama dengan pantun berperan sebagai tambahan yang menghibur.

20 20 Pantun-pantun yang disampaikan dalam Dendang Pauah terdiri dari 4-6 baris, beberapa di antaranya ada yang lebih panjang bahkan sampai 20 baris. Setiap baris (88 %) terdiri dari 9 suku kata dan sisanya terdiri dari 8-10 suku kata. Pantun-pantun itu dinyanyikan oleh seorang pedendang (penyanyi) yang ditemani oleh seorang peniup saluang (alat musik tiup yang terbuat dari bambu). Kajian Sarwanto (2007) perlu ditinjau karena perspektif fungsionalisme yang digunakannya dalam melihat upacara bersih desa. Oleh sebab itu, kajian Sarwanto menjadi penting dibahas sebagai tinjauan pustaka. Sarwanto yang menggunakan teori fungsi dari antropologi dalam mengungkap fungsi pertunjukan wayang kulit purwa dalam upacara bersih desa, menyatakan bahwa pertunjukkan wayang dalam upacara bersih desa di daerah bekas Karesidenan Surakarta telah berlangsung lama. Hal itu menunjukkan bahwa tradisi tersebut telah dienkultrasikan proses penerusan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya agar tetap lestari keberadaannya. Usaha itu tidak mungkin dilakukan bila tradisi tersebut tidak memiliki makna bagi masyarakat pendukungnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertunjukkan wayang kulit yang menyertai upacara bersih desa mempunyai makna bagi kehidupan sosial masyarakat pendukungnya. Pandangan ini diperoleh Sarwanto karena kata fungsi dalam kajiannya diposisikan pada konteks penjelasan hubungan guna antara suatu hal dengan hal lain dengan tujuan tertentu. Pandangan seperti ini tidak dilakukan dalam kajian Toruan (2000), Gayatri (2005), dan Wigati (2008). Wigati (2008) menyatakan bahwa Helaehili dan Ehabla adalah puisi lisan Sentani yang semakin sulit ditemukan. Pelantunannya pun hanya dikuasai oleh generasi

21 21 tua (abhu enime) yang semakin sedikit jumlahnya. Helahehili dan Ehabla dilantunkan secara spontan oleh para pelantun, yaitu komposisinya disusun pada saat pelantunan, tanpa adanya catatan atau latar belakang hafalan. Pelantun menyiapkan tema dan plot yang akan dielaborasi di tempat pelantunan serta membekali diri dengan kata/frasa, baik yang diciptakan sendiri atau yang telah disiapkan adat (ready-made phrase) untuk membangun baris-baris lantunannya. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa lantunan Helaehili dan Ehabla mempunyai struktur yang berbeda dengan struktur dongeng rakyat Yugoslavia yang diteliti Lord dan Bini yang diteliti Fox (1986). Kajian Wigati menjadi penting ditinjau karena kesamaan objek penelitian dan juga perspektif dengan yang akan digunakan dalam penelitian ini. Menurut Wigati, fungsi Helaehili bagi masyarakat di pedesaan masih direspons, walaupun penyebarannya tidak lagi direspons positif oleh generasi muda, sedangkan bagi masyarakat perkotaan fungsi Helaehili sudah ditinggalkan baik oleh generari tua maupun oleh generasi muda. Satu-satunya fungsi Helaehili yang masih tetap hidup adalah fungsi sebagai hiburan (fungsi rekreatif). Berdasarkan hasil tinjauan kepustakaan yang telah dipaparkan terdahulu terlihat bahwa hanya penelitian awal yang dilakukan Rosa (2003); Rosa (2005); dan Devina (2006) yang terkait langsung dengan sastra lisan pidato adat dalam tradisi MG di Minangkabau. Namun, ketiga kajian itu mempunyai perbedaan dengan disertasi ini. Perbedaan terletak pada perpaduan perspektif yang digunakan dalam tujuan utama, yaitu menemukan ide, gagasan, dan nilai-nilai yang terkandung di balik pelaksanaan sastra lisan pidato adat dalam tradisi MG di

22 22 Minangkabau tersebut. Penemuan ide, gagasan, dan nilai-nilai yang tersimpan di balik pelaksanaan pidato adat tersebut diurai melalui aspek struktur, makna, dan makna pidato adat itu sendiri. Perpaduan perspektif seperti ini belum dilakukan pada kedua studi Rosa terdahulu, maupun yang dilakukan oleh Devina. Kajian aspek fungsi dalam penelitian ini justru dilakukan terhadap tradisi yang masih berlangsung di tengah masyarakat Minangkabau sekarang, berbeda dengan kajian Helaehili yang dilakukan Wigati dalam masyarakat Sentani, Papua yang sudah sangat sulit untuk menemukan penuturan puisi lisan Helaehili ini. Disertasi ini menggunakan satu teks hasil rekaman lisan, dua teks hasil transkripsi yang telah dihasilkan dalam kajian Rosa (2003); dan Devina (2006); kemudian menambahkan satu teks yang telah dibukukan oleh St. Mahmoed (tanpa tahun). 1.5 Landasan Teori Landasan teori digunakan sebagai pisau analisis untuk membedah permasalahan yang diajukan. Terkait dengan rumusan permasalahan yang telah diajukan, teori yang relevan digunakan adalah strukturalisme, semiologi, dan fungsionalisme. Keputusan penggunaan tiga teori tersebut karena kajian ini berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut aspek struktur, makna, dan fungsi sastra lisan pidato adat dalam pelaksanaan tradisi MG dalam masyarakat Minangkabau. Kajian aspek struktur dalam penelitian ini tidak dapat dilepaskan dari kajian aspek kelisanan karena bahan dasar objek penelitian ini adalah sastra lisan. Oleh karena itu, dalam kajian struktur didukung dengan penerapan konsep formula, performance, dan transmisi. Konsep formula digunakan untuk menjelaskan aspek

23 23 formula dan formulaik dalam pidato adat, sedangkan konsep performance dan transmisi diperlukan untuk menjelaskan proses penyampaian dan pewarisan pidato adat dalam masyarakat Minangkabau. Teori semiologi diperlukan untuk menjelaskan makna dan gagasan tersembunyi di balik pidato adat yang dilakukan dalam pelaksanaan tradisi MG di Minangkabau. Teori fungsionalisme digunakan untuk menerangkan nilai guna pidato adat dan tradisi MG sebagai media penyampai pidato dalam konteks masyarakat Minangkabau. Ketiga macam teori ini, yaitu strukturalisme, semiologi, dan fungsionalisme digunakan secara menyeluruh dan saling mendukung untuk mengungkap struktur, makna, dan fungsi pidato adat di Minangkabau, yang merupakan tahapan untuk mengetahui penyebab terjadinya penyimpangan pewarisan sako pada laki-laki Struktural Penelitian struktural di bidang studi sastra dirintis oleh kaum formalis di Rusia. Konsep dasar pemikiran struktural para kaum formalis di Rusia adalah untuk membebaskan studi sastra dari belenggu ilmu-ilmu lain, seperti psikologi, sejarah, sosiologi, dan studi kebudayaan lainnya. Karya sastra dipandang sebagai tanda, lepas dari fungsi referensial atau mimetiknya. Karya sastra dianggap sebagai tanda yang otonom yang hubungannya dengan kenyataan bersifat tidak langsung. Sehubungan dengan itu, disarankan bahwa studi pertama yang harus dilakukan terhadap karya sastra adalah meneliti struktur karya yang begitu kompleks dan multidimensional berdasarkan pemahaman bahwa karya sastra terdiri dari struktur yang utuh dan

24 24 lengkap. Keutuhan dan kelengkapan struktur karya itu dibangun, didukung, dan dibina oleh dirinya sendiri. Tiap unsur dalam karya memiliki koherensi intrinsik antara satu unsur dengan unsur lain, saling berkaitan, saling mendukung, saling menyusun dengan tata aturannya sendiri. Dengan demikian, analisis struktural terhadap karya sastra harus dengan memusatkan pengamatan hanya pada karya itu sendiri, mengungkapkan unsur-unsur pembangun struktur karya dan menelitinya secara cermat untuk kemudian dilihat bentuk pertalian antara unsur yang membangunnya menjadi satu struktur yang utuh dan bulat, serta menyeluruh (Teeuw, 1988: 130; Chamamah-Soeratno, 1991: 5-16). Teori strukturalisme memandang bahwa karya sastra merupakan struktur yang terdiri atas unsur-unsur yang berjalinan erat. Unsur-unsur dalam struktur tersebut tidak memiliki makna sendiri terlepas dari yang lainnya, tetapi ditentukan oleh hubungan antara unsur tersebut dalam keseluruhannya (Hawkes, 1978:17-18). Di dalam keseluruhan struktur, suatu unsur memiliki kegunaan sebagai pendukung terhadap makna bagian yang lain. Demikian juga sebaliknya, bagianbagian tersebut dengan sendirinya menduduki fungsi sebagai pendukung terhadap unsur yang lain. Makna unsur-unsur tersebut baru dapat dipahami dan diberi nilai sepenuhnya jika didasarkan pada pemahaman masing-masing unsur tersebut dalam keseluruhan karya sastra (Teeuw, 1983:61; 1988:136). Di bidang sastra, pengertian struktur tersebut pada dasarnya mencakup tiga konsep dasar seperti dikemukakan Piaget (1995:4-10; Hawkes, 1978:16; Teeuw,

25 :141; Pradopo, 1987:119) yang meliputi: (1) the idea of wholeness (gagasan keutuhan atau totalitas); (2) the idea of transformation (gagasan transfomasi); dan (3) the idea of self reglation (gagasan pengaturan diri sendiri). Gagasan keutuhan berarti bahwa struktur memiliki koherensi intrinsik, merupakan kesatuan yang bulat, dan bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur tersebut. Gagasan transformasi berarti memungkinkan bahwa struktur tersebut mampu melakukan prosedur transformasi terhadap bahan-bahan secara kontinyu yang diproses melalui prosedur tersebut. Di dalam gagasan pengaturan diri sendiri, struktur dituntut untuk mengatur dirinya, dalam arti mampu mempertahankan dan mengesahkan prosedur transformasinya tanpa memerlukan bantuan dari luar. Kajian ini lebih menekankan pada gagasan pertama, yaitu gagasan tentang keutuhan karya sastra yang terdiri dari struktur yang saling berkaitan erat dalam membangun makna sebuah karya sastra. Pada kenyataannya, terdapat banyak rumusan tentang strukturalisme, tetapi ada satu kesamaan di dalamnya, yaitu mengenai objek penelitian yang menitikberatkan pada struktur. Di bidang antropologi, strukturalisme diusung oleh seorang antropolog Perancis, Claude Levi-Strauss. Strukturalisme ini erat terkait dengan strukturalfungsional Radcliffe-Brown. Strukturalisme Levi-Strauss maupun struktural fungsional Radcliffe-Brown dipengaruhi oleh teori-teori Durkheim. Perbedaan pokok adalah bahwa Radcliffe-Brown mempelajari keteraturan dalam tindakan sosial yang ia lihat sebagai ekspresi struktur sosial yang dibentuk oleh jaringan-jaringan dan kelompok-kelompok, sedangkan Levi-Strauss

26 26 berpendapat bahwa struktur itu berada dalam pemikiran manusia, dan memandang interaksi sosial sebagai manifestasi keluar dari strukutr kognitif tersebut (Saifuddin, 2006:192). Levi-Strauss sangat berhati-hati merumuskan kata struktur. Keteraturan mekanisme yang berlangsung tanpa disadari dimaknainya sebagai struktur, istilah ini juga sering menimbulkan salah paham karena secara isi, maknanya berdekatan dengan istilah organisasi. Akan tetapi, dalam penggunaan kata tersebut terdapat perbedaan penting antara kedua istilah itu. Organisasi adalah sesuatu yang secara sadar dibuat atau dirancang oleh manusia, sedangkan struktur bukanlah sesuatu yang dibuat secara sadar oleh manusia, melainkan sesuatu yang ditemukan. Di dalam struktur dikenal adanya kekuasaan untuk merangkum sesuatu hal, suatu kekuasaan yang nampaknya tidak dapat diterangkan dengan jelas karena yang diketahui mengenai itu masih sangat kurang. Jadi, struktur lebih sedikit daripada gejala yang tampak dipermukaan. Struktur menunjuk kepada sesuatu yang diduga berada di belakang gejala yang tampak. Struktur menunjuk kepada sesuatu kebutuhan atau kekuasaan tertentu, tetapi sulit untuk diterangkan. Ia ada tetapi sulit untuk dilihat atau diterangkan secara langsung. Oleh karena itu, struktur bagi Levi-Strauss harus diselidiki terlebih dahulu melalui studi atau analisis. Pandangan Levi-Strauss berbeda dengan pandangan Brown (dalam Baal, 1988: ) yang menyatakan bahwa struktur dapat diamati secara langsung; bandingkan Kaplan (1999) mengatakan bahwa konsep struktur atau struktur sosial telah digunakan demikian meluas dan mencolok dalam ilmu antropologi dan ilmu

27 27 sosial umumnya sebab itu sejak awal perlu ditunjukkan perbedaan antara kedua istilah tersebut dengan strukturalisme yang dikaitkan dengan Levi-Strauss beserta pengikutnya. Segala ilmu mempersoalkan struktur, yakni cara bagian-bagian suatu sistem tertentu saling berkait. Akan tetapi ada perbedaan besar antara jenis-jenis struktur dan masalah-masalah struktural yang menarik perhatian kebanyakan antropolog dengan hal-ikhwal struktural yang telah dikembangkan Levi-Strauss menjadi teorinya yang khas. Struktur dalam pemahaman Strauss menurut Boudon (1971) dan Pouwer (dalam Koentjaraningrat, 1987:233) adalah beberapa konsep cara berpikir akal manusia yang dianggapnya elementer dan yang karena itu bersifat universal. Dengan struktur itu, dapat dipahami secara deduktif data mengenai interaksi manusia dalam kenyataan kehidupan masyarakat. Hal ini menyebabkan seorang peneliti yang mengikuti pola pemikiran Levi-Strauss tidak akan pergi ke lapangan atau ke perpustakaan untuk mencari struktur-struktur sosial baru, sebagaimana yang dianjurkan oleh Radcliffe-Brown, melainkan akan membawa strukturstruktur yang telah disusun oleh Levi-Strauss untuk lebih memahami data yang ditemukan. Konsep itu tampak berbeda dari yang disebut dengan struktur sosial oleh Malinowski dan juga oleh Radcliffe-Brown serta para antropolog Inggris lainnya. Bila struktur dipahami oleh Malinowski dan Brown serta antropolog Inggris sebagai suatu perumusan dari jaringan hubungan interaksi antara manusia dalam kehidupan masyarakat yang didapatkan karena abstraki induktif dari data yang

28 28 nyata, bagi Levi-Strauss keadaannya justru sebaliknya. Levi-Strauss melalui pendekatan strukturalnya terhadap mitos sebagai salah satu fenomena budaya menganggap bahwa dia telah berhasil, tidak hanya dalam mengungkapkan maknamakna dalam pengertian simbolis dan semiotis tetapi juga berhasil mengungkapkan logika yang ada di balik fenomena mitos (Ahimsa-Putra, 1997:2). Seorang peneliti budaya menurut Levi-Strauss, di samping menggeneralisasikan konsep, juga mempelajari struktur yang ada di balik ide manusia, seperti ahli bahasa yang mempelajari struktur bahasa, mencari logika di balik fenomena budaya. Hal ini berlandaskan pada asumsi bahwa kenyataan yang sebenarnya berada di balik kenyataan yang empiris karena kenyataan yang sebenarnya tidak dapat ditangkap secara inderawi. Di balik kenyataan empiris terdapat struktur yang melatarbelakanginya. Disadari bahwa aktivitas masyarakat yang terlihat tampil sebagai kenyataan empiris, namun tanpa disadari masyarakat dalam beraktivitas dibatasi dengan aturan-aturan tertentu yang mengatur aktivitas itu. Aturan-aturan ini oleh Levi-Strauss disebut sebagai struktur yang berada pada tingkat kognitif atau merupakan model dari cara berfikir manusia yang dianggap mendasar dan universal (Levi-Strauss, 1978). Model atau analogi yang digunakan oleh Levi- Strauss berasal dari bahasa. Levi-Strauss menganut pandangan bahwa kebudayaan itu seperti bahasa, bukan seperti organisme seperti yang terkandung dalam fungsionalisme Durkheim. Perbedaan model inilah yang membuat strukturalisme Levi-Strauss tidak sama dengan fungsionalisme (Ahimsa-Putra, 2008: xxv).

29 29 Pemahaman mengenai aturan-aturan itu didasari oleh pemahaman mengenai bahasa yang dilakukan oleh linguist. Bahasa adalah kode komunikasi simbolis berupa seperangkat simbol dan seperangkat aturan (tata bahasa) untuk membentuk pesan Saussure (1954: 65-66) dan Noth (1995: 60) mengatakan bahwa satuan dasar bahasa adalah tanda (sign) yang terdiri atas dua komponen yang tidak dapat dipisahkan, yaitu penanda dan petanda (signifiant dan signifie atau signifier dan signified). Penanda (signifiant) adalah komponen bunyi atau akustik yang menandakan, sedangkan petanda (signifie) adalah komponen mental atau konseptual dari yang ditandakan. Apabila penanda merupakan aspek material bahasa maka petanda adalah pengertian yang muncul dalam pikiran penutur atau pendengar pada saat penanda dituturkan. Teori Saussure ini sebenarnya berkaitan dengan pengembangan teori linguistik secara umum. Oleh karena itu, istilah-istilah yang dipakai dalam penerapan teorinya dalam kajian terhadap sastra (semiotik), meminjam dari istilah-istilah dan model-model linguistik. Bahasa sebagai sistem tanda memiliki dua unsur yang tidak terpisahkan, yaitu signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Misalnya, bunyi /sepeda/, yang jika dituliskan berupa rangkaian huruf (atau lambang fonem): s-e-p-e-d-a, dapat menyaran pada makna tertentu, (sepeda!) yang tampak secara nyata. Bunyi atau tulisan sepeda itulah yang disebut penanda, sedangkan sesuatu yang diacu itulah petanda. Menurut Saussure, keduanya dapat disebut dwitunggal yang berhubungan secara arbitrer (mana suka).

IMPLIKATUR PASAMBAHAN DALAM BATAGAK GALA DI KANAGARIAN PAUH V SKRIPSI

IMPLIKATUR PASAMBAHAN DALAM BATAGAK GALA DI KANAGARIAN PAUH V SKRIPSI IMPLIKATUR PASAMBAHAN DALAM BATAGAK GALA DI KANAGARIAN PAUH V SKRIPSI Disusun untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar sarjana SI pada Jurusan Satra Daerah Diajukan oleh : IMELDA NIM 06186002 JURUSAN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB I. PENGANTAR... 1

DAFTAR ISI BAB I. PENGANTAR... 1 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i PERNYATAAN... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR ISTILAH... viii DAFTAR TABEL DAN GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xiii INTISARI... xiv ABSTRACT... xv BAB I. PENGANTAR... 1

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumatera merupakan pulau yang memiliki sejumlah suku besar berciri khas tradisional. Suku yang terkenal adalah Minangkabau, Aceh, Batak, Melayu, dan ada juga sejumlah suku-suku

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Penelitian tentang sastra lisan yang dilakukan selama ini, cenderung

BAB VI PENUTUP. Penelitian tentang sastra lisan yang dilakukan selama ini, cenderung BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Penelitian tentang sastra lisan yang dilakukan selama ini, cenderung berangkat dari pemikiran bahwa sastra yang tumbuh dalam masyarakat tradisi merupakan artefak kebudayaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan saat-saat penting dalam kehidupan seseorang. Peristiwa-peristiwa penting

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan saat-saat penting dalam kehidupan seseorang. Peristiwa-peristiwa penting BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan manusia, kita mengenal adanya siklus hidup, mulai dari dalam kandungan hingga kepada kematian. Berbagai macam peristiwa yang dilalui merupakan saat-saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dan memiliki bahasa yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dan memiliki bahasa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dan memiliki bahasa yang beragam pula. Walaupun telah ada bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa daerah

Lebih terperinci

Please purchase PDFcamp Printer on to remove this watermark.

Please purchase PDFcamp Printer on  to remove this watermark. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kata budaya terdiri dari dua kata yaitu budi dan daya. Koentjaraningrat berpendapat bahwa kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, ialah bentuk jamak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan seloka. Sedangkan novel, cerpen, puisi, dan drama adalah termasuk jenis sastra

BAB I PENDAHULUAN. dan seloka. Sedangkan novel, cerpen, puisi, dan drama adalah termasuk jenis sastra 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra pada umumnya terdiri atas dua bentuk yaitu bentuk lisan dan bentuk tulisan. Sastra yang berbentuk lisan seperti mantra, bidal, pantun, gurindam, syair,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya dengan seni dan sastra seperti permainan rakyat, tarian rakyat, nyanyian rakyat, dongeng,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural (Ratna, 2005:14). Dalam

BAB I PENDAHULUAN. sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural (Ratna, 2005:14). Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan salah satu hasil karya seni yang sekaligus menjadi bagian dari kebudayaan. Sebagai salah satu hasil kesenian, karya sastra mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya. Kebudayaan lokal sering disebut kebudayaan etnis atau folklor (budaya tradisi). Kebudayaan lokal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rumah adat yang menjadi simbol budaya daerah, tetapi juga tradisi lisan menjadi

BAB I PENDAHULUAN. rumah adat yang menjadi simbol budaya daerah, tetapi juga tradisi lisan menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negeri yang memiliki aneka ragam budaya yang khas pada setiap suku bangsanya. Tidak hanya bahasa daerah, pakaian adat, rumah adat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Minangkabau. Tradisi ini dapat ditemui dalam upacara perkawinan, batagak gala

BAB I PENDAHULUAN. Minangkabau. Tradisi ini dapat ditemui dalam upacara perkawinan, batagak gala BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bararak adalah suatu tradisi yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Tradisi ini dapat ditemui dalam upacara perkawinan, batagak gala (pengangkatan) penghulu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nilai budaya yang dimaksud adalah nilai budaya daerah yang dipandang sebagai suatu

BAB I PENDAHULUAN. Nilai budaya yang dimaksud adalah nilai budaya daerah yang dipandang sebagai suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku yang masing-masing suku tersebut memiliki nilai budaya yang dapat membedakan ciri yang satu dengan yang lainnya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sastra tidak terlepas dari kehidupan manusia karena sastra merupakan bentuk

I. PENDAHULUAN. Sastra tidak terlepas dari kehidupan manusia karena sastra merupakan bentuk 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra tidak terlepas dari kehidupan manusia karena sastra merupakan bentuk ungkapan pengarang atas kehidupan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. penelitian yang ditemukan oleh para peneliti terdahulu yang berhubungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. penelitian yang ditemukan oleh para peneliti terdahulu yang berhubungan BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka menjelaskan gagasan, pemikiran atau hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh para peneliti terdahulu yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi merupakan kebiasaan dalam suatu masyarakat yang diwariskan secara turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam suatu masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beberapa pulau, daerah di Indonesia tersebar dari sabang sampai merauke.

BAB I PENDAHULUAN. beberapa pulau, daerah di Indonesia tersebar dari sabang sampai merauke. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan berbagai macam sumber daya alam serta keberagaman suku dan budaya. Sebagai negara dengan beberapa pulau, daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara yang luas di dunia, karena Indonesia tidak

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara yang luas di dunia, karena Indonesia tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu negara yang luas di dunia, karena Indonesia tidak hanya memiliki kekayaan alam yang subur, tetapi juga terdiri atas berbagai suku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk yang berbudaya dan berperadaban. Budaya itu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk yang berbudaya dan berperadaban. Budaya itu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang berbudaya dan berperadaban. Budaya itu adalah sesuatu yang difikirkan, dilakukan, diciptakan oleh manusia. Manusia adalah makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kemajuan teknologi komunikasi menyebabkan generasi mudah kita terjebak dalam koptasi budaya luar. Salah kapra dalam memanfaatkan teknologi membuat generasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dendang yang terdapat dalam Tari Adok merupakan salah satu bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Dendang yang terdapat dalam Tari Adok merupakan salah satu bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dendang yang terdapat dalam Tari Adok merupakan salah satu bentuk penggunaan bahasa oleh masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau merupakan kelompok masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tradisi lisan merupakan warisan budaya nenek moyang yang merefleksikan karakter masyarakat pendukung tradisi tersebut. Signifikansi tradisi lisan dalam kehidupan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud dari pengabdian perasaan dan pikiran pengarang yang muncul ketika ia berhubungan dengan lingkungan sekitar. Sastra dianggap sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan sistem nilai yang terkandung dalam sebuah masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh kebudayaan yang membentuk lapis-lapis

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan

BAB 3 METODE PENELITIAN. Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan 36 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki (KBBI, 2002:740) atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rasakan atau yang mereka alami. Menurut Damono (2003:2) karya sastra. selama ini tidak terlihat dan luput dari pengamatan.

BAB I PENDAHULUAN. rasakan atau yang mereka alami. Menurut Damono (2003:2) karya sastra. selama ini tidak terlihat dan luput dari pengamatan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan salah satu bentuk media yang digunakan untuk menerjemahkan ide-ide pengarang. Di dalam karya sastra, pengarang merefleksikan realitas yang ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang mengiringi kebudayaan dari zaman ke zaman.akibat perkembangan itu

BAB I PENDAHULUAN. berkembang mengiringi kebudayaan dari zaman ke zaman.akibat perkembangan itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra Bali merupakan salah satu aspek kebudayaan Bali yang hidup dan berkembang mengiringi kebudayaan dari zaman ke zaman.akibat perkembangan itu maka di Bali lahirlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada masyarakat Pesisir adalah pertunjukan kesenian Sikambang di Kelurahan

BAB I PENDAHULUAN. pada masyarakat Pesisir adalah pertunjukan kesenian Sikambang di Kelurahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kabupaten Tapanuli Tengah dikenal dengan sebutan Negeri Wisata Sejuta Pesona. Julukan ini diberikan kepada Kabupaten Tapanuli Tengah dikarenakan dibeberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Struktur karya sastra dibedakan menjadi dua jenis yaitu struktur dalam

BAB I PENDAHULUAN. Struktur karya sastra dibedakan menjadi dua jenis yaitu struktur dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Struktur karya sastra dibedakan menjadi dua jenis yaitu struktur dalam (intrinsik) dan luar (ekstrinsik). Pada gilirannya analisis pun tidak terlepas dari kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap etnis menebar diseluruh pelosok Negeri. Masing masing etnis tersebut

BAB I PENDAHULUAN. setiap etnis menebar diseluruh pelosok Negeri. Masing masing etnis tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan Negara yang kaya akan etnis budaya, dimana setiap etnis menebar diseluruh pelosok Negeri. Masing masing etnis tersebut memiliki

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN. suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama, ritual

BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN. suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama, ritual BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN 2.1 Pengertian Ritual Ritual adalah tehnik (cara metode) membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Sastra merupakan suatu bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji sastra maka kita akan dapat menggali berbagai kebudayaan yang ada. Di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan suatu bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan suatu bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan suatu bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan kita tidak dapat melihatnya sebagai sesuatu yang statis, tetapi merupakan sesuatu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Penelitian ini memuat tentang hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti yang lebih dulu yang ada kaitannya dengan penelitian

Lebih terperinci

ini. Setiap daerah memilki ciri khas kebudayaan yang berbeda, salah satunya di

ini. Setiap daerah memilki ciri khas kebudayaan yang berbeda, salah satunya di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan beraneka ragam macam budaya. Kebudayaan daerah tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh daerah di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya. 1

BAB I PENDAHULUAN. pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waris adalah perpindahan harta milik atau perpindahan pusaka.sehingga secara istilah ilmu waris adalah ilmu yang mempelajari tentang perpindahan harta pusaka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk dapat memahaminya haruslah karya sastra dianalisis. Dalam analisis itu karya sastra diuraikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan ungkapan kehidupan manusia yang memiliki nilai dan disajikan melalui bahasa yang menarik. Karya sastra bersifat imajinatif dan kreatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sastra adalah salah satu saluran kreativitas yang penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sastra adalah salah satu saluran kreativitas yang penting dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra adalah salah satu saluran kreativitas yang penting dalam kehidupan manusia. Hal inilah kemudian yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Sastra

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Kegiatan pembelajaran di sekolah dilaksanakan dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan siswa, baik pada aspek pengetahuan, sikap

A. Latar Belakang Kegiatan pembelajaran di sekolah dilaksanakan dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan siswa, baik pada aspek pengetahuan, sikap A. Latar Belakang Kegiatan pembelajaran di sekolah dilaksanakan dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan siswa, baik pada aspek pengetahuan, sikap maupun keterampilan. Untuk mencapai ketiga aspek tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penuturnya dilindungi oleh Undang-undang Dasar Dalam penjelasan Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. penuturnya dilindungi oleh Undang-undang Dasar Dalam penjelasan Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia terdapat berbagai ragam bahasa daerah. Bahasa daerah hidup berdampingan dengan bahasa Indonesia. Semua bahasa daerah yang dipakai penuturnya dilindungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di antaranya adalah Seni Rupa, Seni Musik, Seni Tari, dan Seni Teater. Beberapa jenis

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Untuk memperjelas dan memantapkan ruang lingkup permasalahan, sumber data, dan kerangka teoretis penelitian ini,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan kegiatan interkasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih baik lisan maupun tulisan. Sebelum mengenal tulisan komunikasi yang sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia disatupadukan dari kebudayaan nasional dan kebudayaan. daerah. Kebudayaan nasional Indonesia merupakan puncak puncak

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia disatupadukan dari kebudayaan nasional dan kebudayaan. daerah. Kebudayaan nasional Indonesia merupakan puncak puncak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Nusantara terdiri atas aneka warna kebudayaan dan bahasa. Keaneka ragaman kebudayaan dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia disatupadukan dari kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan termasuk salah satu dasar pengembangan karakter seseorang. Karakter merupakan sifat alami jiwa manusia yang telah melekat sejak lahir (Wibowo, 2013:

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 5.1 Simpulan. Seluruh kebudayaan yang ada di bumi ini memiliki keunikan masingmasing

BAB V PENUTUP. 5.1 Simpulan. Seluruh kebudayaan yang ada di bumi ini memiliki keunikan masingmasing BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Seluruh kebudayaan yang ada di bumi ini memiliki keunikan masingmasing di dalamnya. Termasuk Indonesia yang memiliki kekayaan dan keragaman budaya dengan ciri khas masing-masing.

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN

PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN A. PENGANTAR Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) merupakan salah satu unsur dalam Tri Darma Perguruan Tinggi. Secara umum, PkM tidak hanya untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering membicarakan kebudayaan. Budaya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering membicarakan kebudayaan. Budaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering membicarakan kebudayaan. Budaya terbentuk dan berkembang sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi di suatu tempat. Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat dikatakan masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bima itu. Namun saat adat istiadat tersebut perlahan-lahan mulai memudar, dan

BAB I PENDAHULUAN. Bima itu. Namun saat adat istiadat tersebut perlahan-lahan mulai memudar, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Bima merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air.akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tetap dilaksanakan oleh masyarakat Melayu sejak nenek moyang dahulu

BAB I PENDAHULUAN. yang tetap dilaksanakan oleh masyarakat Melayu sejak nenek moyang dahulu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suku Melayu kaya akan upacara-upacara tradisional. Adat kebiasaan yang tetap dilaksanakan oleh masyarakat Melayu sejak nenek moyang dahulu hingga sekarang walaupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semangat kebangsaan dan semangat perjuangan dalam mengantarkan rakyat

BAB I PENDAHULUAN. semangat kebangsaan dan semangat perjuangan dalam mengantarkan rakyat 1 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia memiliki peran yang sangat menentukan dalam perkembangan kehidupan bangsa Indonesia. Dalam masa perjuangan kemerdekaan, bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahkluk sosial yang berbudaya mempunyai peran

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahkluk sosial yang berbudaya mempunyai peran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan mahkluk sosial yang berbudaya mempunyai peran sebagai aktor, sebagimana manusia itu dapat memberikan sumbangan dan memfasilitasi kehidupan yang mencakup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang menggambarkan ciri khas daerah tersebut. Seperti halnya Indonesia yang banyak memiliki pulau,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sesuai dengan fungsi dan tujuan yang diinginkan. Kesenian dapat

BAB I PENDAHULUAN. yang sesuai dengan fungsi dan tujuan yang diinginkan. Kesenian dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan serta memiliki beraneka ragam budaya. Kekayaan budaya tersebut tumbuh karena banyaknya suku ataupun etnis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa merupakan hal yang sangat vital dalam berkomunikasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa merupakan hal yang sangat vital dalam berkomunikasi dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan hal yang sangat vital dalam berkomunikasi dengan sesama manusia atau kelompok. Bahasa adalah alat untuk menyampaikan pesan kepada seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak diujung pulau Sumatera. Provinsi Aceh terbagi menjadi 18 wilayah

BAB I PENDAHULUAN. terletak diujung pulau Sumatera. Provinsi Aceh terbagi menjadi 18 wilayah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia yang terletak diujung pulau Sumatera. Provinsi Aceh terbagi menjadi 18 wilayah kabupaten dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia yang terdiri atas beberapa pulau dan kepulauan serta di pulau-pulau itu terdapat berbagai suku bangsa masing-masing mempunyai kehidupan sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan dan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan dan memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan dan memiliki aneka budaya yang beranekaragam. Indonesia memiliki lima pulau besar yaitu, Pulau Sumatera,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perlawanan budaya merupakan perjuangan hak yang bertentangan agar terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan untuk melakukan perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau kelompok individu terutama kelompok minoritas atau kelompok yang

BAB I PENDAHULUAN. atau kelompok individu terutama kelompok minoritas atau kelompok yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seseorang dapat bertutur dengan bahasa tertentu secara tiba-tiba dalam situasi penuturan baik bersifat formal maupun yang bersifat informal. Mengganti bahasa diartikan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 1.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka mempunyai peranan penting dalam melakukan penelitian karena kajian pustaka merupakan langkah awal bagi peneliti dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yakni berbeda-beda tetapi tetap satu. Maknanya meskipun berbeda-beda namun

I. PENDAHULUAN. yakni berbeda-beda tetapi tetap satu. Maknanya meskipun berbeda-beda namun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia memiliki moto atau semboyan Bhineka Tunggal Ika, artinya yakni berbeda-beda tetapi tetap satu. Maknanya meskipun berbeda-beda namun pada hakikatnya bangsa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI. Kajian pustaka memuat uraian sistematis tentang teori-teori dasar dan konsep

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI. Kajian pustaka memuat uraian sistematis tentang teori-teori dasar dan konsep BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka memuat uraian sistematis tentang teori-teori dasar dan konsep atau hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mamak atau pulang ka bako (Navis,1984: ). Dengan kata lain dikenal

BAB I PENDAHULUAN. mamak atau pulang ka bako (Navis,1984: ). Dengan kata lain dikenal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkawinan dalam adat Minangkabau merupakan salah satu hal yang penting karena berhubungan erat dengan sistem kekerabatan matrilineal dan garis keturunan. Menurut alam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. suku bangsa yang ada di Indonesia memiliki ciri khas budaya tersendiri. Selain

BAB 1 PENDAHULUAN. suku bangsa yang ada di Indonesia memiliki ciri khas budaya tersendiri. Selain 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah sebuah negeri yang kaya dengan budayanya. Setiap suku bangsa yang ada di Indonesia memiliki ciri khas budaya tersendiri. Selain bahasa daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk budaya mengandung pengertian bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk budaya mengandung pengertian bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk budaya mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah laku manusia. Kebudayaan tercakup hal-hal bagaimana tanggapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan berbangsa, khususnya dalam kehidupan masyarakat heterogen, seperti Indonesia yang merupakan negara

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. perkawinan yang pantang oleh adat. Di Kenagarian Sungai Talang yang menjadi

BAB V PENUTUP. perkawinan yang pantang oleh adat. Di Kenagarian Sungai Talang yang menjadi 1 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Pelanggaran kawin sasuku pada masyarakat Minangkabau dianggap sebagai perkawinan yang pantang oleh adat. Di Kenagarian Sungai Talang yang menjadi lokasi penelitian ini terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Hal tersebut dapat dilihat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Hal tersebut dapat dilihat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesusastraan pada umumnya selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Demikian halnya dengan kesusastraan Indonesia. Perkembangan kesusastraan Indonesia sejalan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, memiliki berbagai suku, ras, bahasa dan kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang. Adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kalimantan Selatan merupakan salah satu dari lima provinsi yang ada di Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk berbudaya mengenal adat istiadat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk berbudaya mengenal adat istiadat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk berbudaya mengenal adat istiadat yang dipatuhi dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan suatu acara adat perkawinan atau hajatan. Dalam

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret; (3) ling gambaran

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret; (3) ling gambaran BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Landasan Teori 2.1.1 Konsep Konsep adalah (1) rancangan atau buram surat dan sebagainya; (2) ide atau pengertian yang diabstrakkan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni (Wellek dan Warren,

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni (Wellek dan Warren, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni (Wellek dan Warren, 1993: 3). Sastra adalah sebuah karya cipta manusia yang memiliki nilai estetika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Budaya merupakan simbol peradaban. Apabila sebuah budaya luntur dan tidak lagi dipedulikan oleh sebuah bangsa, peradaban bangsa tersebut tinggal menunggu waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebudayaan suatu bangsa tidak hanya merupakan suatu aset, namun juga jati diri. Itu semua muncul dari khasanah kehidupan yang sangat panjang, yang merupakan

Lebih terperinci

HASIL WAWANCARA. Konteks Tatap Muka dalam Komunikasi Antarpribadi

HASIL WAWANCARA. Konteks Tatap Muka dalam Komunikasi Antarpribadi Lampiran 2 HASIL WAWANCARA Konteks Tatap Muka dalam Komunikasi Antarpribadi 1. Bagaimanakah cara orang tua menyampaikan hukum adat Minangkabau kepada anak, terkait adanya pewarisan harta kepada anak perempuan?

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia lahir, hidup dan berinteraksi secara sosial-bekerja, berkarya,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia lahir, hidup dan berinteraksi secara sosial-bekerja, berkarya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia lahir, hidup dan berinteraksi secara sosial-bekerja, berkarya, beribadah, dan dilatarbelakangi oleh lingkungan budaya di mana ia hidup. Budaya memiliki norma-norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rezki Puteri Syahrani Nurul Fatimah, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rezki Puteri Syahrani Nurul Fatimah, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Adat adalah aturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 61 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Perkawinan Menurut Hukum Adat Minangkabau di Kenagarian Koto Baru, Kecamatan Koto Baru, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat. Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya merupakan kebutuhan hidup manusia secara kodrati, dan sekaligus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya merupakan kebutuhan hidup manusia secara kodrati, dan sekaligus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Budaya merupakan kebutuhan hidup manusia secara kodrati, dan sekaligus sebagai salah satu unsur pokok dalam pembangunan manusia Indonesia dalam kehidupan berbangsa,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budaya Menurut Marvin Harris (dalam Spradley, 2007:5) konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompokkelompok masyarakat tertentu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring berjalannya waktu, dunia perfilman telah mengalami perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring berjalannya waktu, dunia perfilman telah mengalami perkembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring berjalannya waktu, dunia perfilman telah mengalami perkembangan yang pesat saat ini. Film juga telah memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan dapat diterima orang lain, sehingga tercipta interaksi sosial sesama

BAB I PENDAHULUAN. akan dapat diterima orang lain, sehingga tercipta interaksi sosial sesama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia sebagai mahluk sosial memerlukan bahasa untuk berkomunikasi satu sama lain. Melalui bahasa pula, semua informasi yang ingin kita sampaikan akan dapat diterima

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan masa lampau, karena naskah-naskah tersebut merupakan satu dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan masa lampau, karena naskah-naskah tersebut merupakan satu dari berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Khasanah budaya bangsa Indonesia yang berupa naskah klasik, merupakan peninggalan nenek moyang yang masih dapat dijumpai hingga sekarang. Naskah-naskah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore.

BAB I PENDAHULUAN. dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dananjaya (dalam Purwadi 2009:1) menyatakan bahwa kata folklor berasal dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore. Kata folk berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk kata-kata. Manusia mengikuti aturan pembentukan kode verbal

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk kata-kata. Manusia mengikuti aturan pembentukan kode verbal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semua manusia berpikir, setelah berpikir dia ingin menyatakan pikirannya dalam bentuk kata-kata. Manusia mengikuti aturan pembentukan kode verbal yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat. Mitchell (dalam Nurgiyantoro, 2005 : 163) yakni,

BAB I PENDAHULUAN. berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat. Mitchell (dalam Nurgiyantoro, 2005 : 163) yakni, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat dikatakan masih

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA - 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA DAN SASTRA, SERTA PENINGKATAN FUNGSI BAHASA INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia adalah Negara majemuk dimana kemajemukan tersebut mengantarkan Negara ini kedalam berbagai macam suku bangsa yang terdapat didalamnya. Keaneka ragaman suku

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembicaraan karya sastra tidak lepas dari penilaian-penilaian. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu seni adalah yang imajinatif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh hukum adatnya masing-masing. Negara telah mengakui hak-hak adat

BAB I PENDAHULUAN. oleh hukum adatnya masing-masing. Negara telah mengakui hak-hak adat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki masyarakat majemuk. Kemajemukan masyarakat di negara Indonesia terdiri dari berbagai etnis, suku, adat dan budaya.

Lebih terperinci