REFERAT. Aspek Rehabilitasi Cedera Medulla Spinalis Setinggi Thorakal 6

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "REFERAT. Aspek Rehabilitasi Cedera Medulla Spinalis Setinggi Thorakal 6"

Transkripsi

1 REFERAT Aspek Rehabilitasi Cedera Medulla Spinalis Setinggi Thorakal 6 1

2 DAFTAR ISI BAB I. Pendahuluan...4 BAB II. Tinjauan Pustaka...5 Definisi...5 Klasifikasi...5 Migren.6 Nyeri kepala tegang (Tension headache) 7 Cluster headache.9 Epidemiologi...11 Faktor pencetus...11 Patofisiologi...12 Struktur kepala yang peka nyeri 12 Pemeriksaan...13 Manifestasi klinis...14 Penatalaksanaan...16 Prognosis...18 BAB III. Kesimpulan...19 Daftar Pustaka

3 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Spinal Cord Injury adalah suatu disfungsi dari medulla spinalis yang mempengaruhi fungsi sensoris dan motoris, sehingga menyebabkan kerusakan pada traktus sensori motor dan percabangan saraf-saraf perifer dari medulla spinalis. Cedera medulla spinalis merupakan kerusakan medulla spinalis akibat dari trauma dan non trauma (infeksi bakteri atau virus) yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan sensoris, motoris, vegetative (bladder dan bowel). 1 Cedera pada medulla spinalis setinggi torakal 6 ke bawah dapat menyebabkan paraplegia ataupun paraparesis. Paraplegia adalah gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan atau sensorik, karena kerusakan pada segmen torako-lumbal-sakral. Salah satu akibat yang akan terjadi adalah kelumpuhan otototot anggota gerak bawah. Kondisi paraplegi berdampak besar terhadap kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang sangat terbatas. Suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan pada penderita paraplegi adalah memaksimalkan anggota gerak tubuhnya yang berpotensial terutama pada bagian atas. Hal ini merupakan tujuan dasar bagi penderita untuk memulai aktivitasnya sehari-hari. 1 Rehabilitasi medik adalah suatu proses pemulihan dan pengembangan bagi penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsinya secara wajar. Hasil 3

4 yang di harapkan pada penderita cedera medula spinalis adalah mencapai penampilan fungsional semaksimal mungkin sesuai dengan sisa-sisa kemampuan yang masih ada untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, dan mencegah komplikasi. 2 Pada kondisi penderita spinal cord injury, fisioterapi jelas sangat diperlukan untuk memberikan latihan-latihan, edukasi, baik kepada pasien maupun keluarganya untuk membantu pasien dalam mengatasi gangguan gerak dan fungsi yang diakibatkan spinal cord injury tersebut. Penanganan fisioterapi yang dapat diberikan pada penderita paraplegi akibat spinal cord injury yaitu penanganan yang bertujuan utama untuk meningkatkan aktivitas fungsional sehari-hari. 2 4

5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Medulla Spinalis Gambar 1. Anatomi Medula spinalis 3 5

6 Medulla Spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat. Terbentang dari foramen magnum sampai dengan konus medullaris di L1. Medulla spinalis berlanjut menjadi kauda equina yang lebih tahan terhadap cedera. Medula spinalis terletak di kanalis vertebralis, dan dibungkus oleh tiga meningen yaitu duramater, arakhnoid dan piamater. Saraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra, ligamen, meningen spinal dan juga cairan LCS (liquor cerebro spinal). LCS mengelilingi medulla spinalis di dalam ruang subarachnoid. Dibawah medulla spinalis menipis menjadi konus medularis dari ujungnya yang merupakan lanjutan piamater, yaitu fillum terminale yang berjalan kebawah dan melekat dibagian belakang os coccygea. Akar saraf lumbal dan sakral terkumpul yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap pasangan saraf keluar melalui foramen intervertebral. 4-6 Gambar 2. Cauda Equina 4 Medulla spinalis terdiri atas traktus asenden (yang membawa informasi di tubuh menuju ke otak seperti rangsang raba, suhu, nyeri, dan gerak posisi) 6

7 dan traktus desenden (yang membawa informasi dari otak ke anggota gerak dan mengontrol fungsi tubuh). 7 Medulla spinalis diperdarahi oleh 2 susunan arteri yang mempunyai hubungan istimewa yaitu arteri spinalis dan arteri radikularis. Arteri spinalis dibagi menjadi arteri spinalis anterior dan posterior yang berasal dari arteri vertebralis, sedangkan arteri radikularis dibagi menjadi arteri radikularis posterior dan anterior yang dikenal juga ramus vertebra medularis arteria interkostalis. 7 Nervus spinalis/akar nervus yang berasal dari medulla spinalis melewati suatu lubang di vertebra yang disebut foramen dan membawa informasi dari medulla spinalis sampai ke bagian tubuh dan dari tubuh ke otak. Nervus spinalis berjumlah 31 pasang. 7 Dermatom Dermatom merupakan area kutaneus dimana terdapat persarafan sensorik dari salah satu saraf spinal tertentu. Bagian dari kulit pada dermatom menunjukkan pengaturan segmental dari saraf spinal dan persarafannya. Dermatom-dermatom nyeri lebih sempit dan kurang tumpang tindih satu sama lain dibandingkan dengan dermatom sentuhan. Lesi pada suatu level dari medulla spinalis dapat menyebabkan gangguan sensoris yang lebih mudah diketahui dengan tes tusuk (pinprick testing) daripada dengan sentuhan ringan (light touch). 7

8 Gambar 3. Dermatom Fisiologi Sistem Saraf Sistem motorik berhubungan dengan sistem neuromuskular, terdiri atas upper motor neurons (UMN) dan lower motor neurons (LMN). Upper motor neurons (UMN) merupakan kumpulan-kumpulan saraf motorik yang menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik sampai inti-inti motorik di saraf kranial di batang otak atau kornu anterior medulla spinalis. 8

9 Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik, kelompok UMN dibagi dalam susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari traktus kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Melalui LMN, yang merupakan kumpulan saraf motorik yang berasal dari batang otak, pesan tersebut dari otak dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh seseorang. Kedua saraf motorik tersebut mempunyai peranan penting di dalam sistem neuromuskular tubuh. Sistem ini yang memungkinkan tubuh kita untuk bergerak secara terencana dan terukur Upper Motor Neuron Traktus kortikospinalis berfungsi menyalurkan impuls motorik pada sel-sel motorik batang otak dan medulla spinalis untuk gerakan-gerakan otot kepala dan leher. Traktus kortikobulbar membentuk traktus piramidalis, mempersarafi sel-sel motorik batang otak secara bilateral, kecuali nervus VII & XII, berfungsi untuk menyalurkan impuls motorik untuk gerak otot tangkas. Dalam klinik, gangguan traktus piramidalis memberikan tipe UMN berupa parese/paralisis spastis disertai dengan tonus meninggi, hiperrefleksi, klonus, refleks patologis positif, tidak ada atrofi. Kelainan traktus piramidalis setinggi: Hemisfer: memberikan gejala-gejala hemiparesi tipika Setinggi batang otak: hemiparese alternans Setinggi medulla spinalis: tetra/paraparese Susunan ekstrapiramidal dengan formasio retikularis: Pusat eksitasi/fasilitasi: mempermudah pengantaran impuls ke korteks maupun ke motor neuron. 9

10 Pusat inhibisi: menghambat aliran impuls ke korteks/motor neuron. Pusat kesadaran Susunan ekstrapiramidal berfungsi untuk gerak otot dasar/gerak otot tonik, pembagian tonus secara harmonis, mengendalikan aktivitas piramidal. Gangguan pada susunan ekstrapiramidal: Kekakuan/rigiditas Pergerakan-pergerakan involunter: tremor, atetose, khorea, balismus Lower Motor Neuron Merupakan neuron yang langsung berhubungan dengan otot, dapat dijumpai pada batang otak dan kornu anterior medulla spinalis. Gangguan pada LMN memberikan kelumpuhan tipe LMN, yaitu parese yang sifatnya flaksid, arefleksi, tidak ada refleks patologis, atrofi cepat terjadi Susunan Somestesia Perasaan yang dirasakan oleh bagian tubuh baik dari kulit, jaringan ikat, tulang, maupun otot dikenal sebagai somestesia. Terdiri: Perasaan eksteroseptif dalam bentuk rasa nyeri, rasa suhu, dan rasa raba Perasaan proprioseptif: disadari sebagai rasa nyeri dalam rasa getar, rasa tekan, rasa gerak, dan rasa sikap Perasaan luhur: diskriminatif dan dimensional Menentukan tinggi lesi medulla spinalis berdasarkan: Gangguan motorik: timbul kelumpuhan yang sifatnya paraparese/tetraparese. - Paraparese UMN: lesi supranuklear terhadap segmen medula spinalis lumbosakral (L2-S2) - Paraparese LMN: lesi setinggi segmen medula spinalis L2-S2 atau lesi infranuklear - Tetraparese UMN: lesi supranuklear terhadap segmen medula spinalis servikal IV - Tetraparese: ekstremitas superior LMN, ekstremitas inferior UMN. 10

11 Gangguan sensibilitas - Gangguan sensibilitas segmental: Lipatan paha: lesi medulla spinalis L1 Pusar: lesi medulla spinalis torakal 10 Papilla mammae: lesi medulla spinalis torakal 4 Saddle anesthesia: lesi pada konus - Gangguan sensibilitas radikuler: Gangguan sensibilitas sesuai dengan radiks posterior - Gangguan sensibilitas perifer: glove/stocking anesthesia Gangguan susunan saraf otonom - Produksi keringat - Bladder: berupa inkontinensia urin atau uninhibited bladder. Autonomic bladder/ spastic bladder lesi medulla spinalis supranuklear terhadap segmen sakral Flaccid bladder/overflow incontinence lesi pada sakral medulla spinalis 2.3 Definisi dan Klasifikasi Cedera Medula Spinalis Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan pada medulla spinalis akibat trauma atau non trauma yang akan menimbulkan gangguan pada sistem motorik, sistem sensorik dan vegetatif. Kelainan motorik yang timbul berupa kelumpuhan atau gangguan gerak dan fungsi otot-otot, gangguan sensorik berupa hilangnya sensasi pada area tertentu sesuai dengan area yang dipersarafi oleh level vertebra yang terkena, serta gangguan sistem vegetatif berupa gangguan pada fungsi bladder, bowel dan juga adanya gangguan fungsi seksual. 4 Parese adalah kelemahan parsial yang ringan/tidak lengkap atau suatu kondisi yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu. Plegia adalah kelemahan berat/kelumpuhan sebagai akibat kerusakan sistem saraf. 4 11

12 Plegia pada anggota gerak dibagi menjadi 4 macam, yaitu: 4 Monoplegia: paralisis/kelemahan berat pada satu ekstremitas atas atau ekstremitas bawah. Paraplegia: paralisis/kelemahan berat pada kedua ekstremitas bawah Hemiplegia: paralisis/kelemahan berat pada satu sisi tubuh yaitu satu ekstremitas atas dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama. Tetraplegia: paralisis/kelemahan berat pada keempat ekstremitas. Paraplegia inferior adalah paralisis bagian bawah tubuh termasuk tungkai. 4 Paraplegi terbagi menajdi tipe spastik (UMN) dan flaksid (LMN). Paraplegi spastik adalah kekakuan otot dan kejang otot disebabkan oleh kondisi saraf tertentu. Paraplegi flaksid adalah kelemahan atau kurangnya otot yang tidak memiliki penyebab yang jelas. Otot lemas sebagian karena kurangnya aktivitas dalam otot, gerakan volunter sebagian atau seluruhnya hilang. 4 Klasifikasi menurut American Spinal Injury Association: 8 Grade A Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sensorik dibawah tingkat lesi Grade B Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sebagian fungsi sensorik di bawah tingkat lesi. Grade C Fungsi motorik intak tetapi dengan kekuatan di bawah 3. Grade D Fungsi motorik intak dengan kekuatan motorik di atas atau sama dengan 3. Grade E Fungsi motorik dan sensorik normal. Sedangkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA revised 2000, terbagi atas : 8 12

13 a. Paraplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik karena kerusakan pada segmen thoraco-lumbo-sacral. b. Quadriplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik karena kerusakan pada segmen servikal. Spesifik Level 8 1. C1 C2 : Quadriplegia, kemampuan bernafas (-). 2. C3 C4 : Quadriplegia, fungsi N. Phrenicus (-), kemampuan bernafas hilang. 3. C5 C6 : Quadriplegia, hanya ada gerak kasar lengan. 4. C6 C7 : Quadriplegia, gerak biceps (+), gerak triceps (-). 5. C7 C8 : Quadriplegia, gerak triceps (+), gerak intrinsic lengan (-). 6. Th1 L1-2 : Paraplegia, fungsi lengan (+), gerak intercostalis tertentu (-), fungsi tungkai (-), fungsi seksual (-). 7. Di bawah L2: Termasuk LMN, fungsi sensorik (-), bladder & bowel (-), fungsi seksual tergantung radiks yang rusak. 13

14 Sindrom cedera medulla spinalis menurut ASIA, yaitu : 4,8,9,10 Nama Sindroma Pola dari lesi saraf Kerusakan Central cord syndrome Cedera pada posisi sentral dan sebagian Menyebar ke daerah sakral. pada daerah lateral. Kelemahan otot ekstremitas atas Brown- Sequard Syndrome Anterior cord syndrome Posterior cord syndrome Cauda equine syndrome Sering terjadi pada daerah servikal Anterior dan posterior hemisection dari medulla spinalis atau cedera akan menghasilkan hemilesi ipsilateral. Kerusakan pada anterior dari daerah putih dan abu- abu medulla spinalis Kerusakan pada anterior dari daerah putih dan abu- abu medulla spinalis Kerusakan pada saraf lumbal atau sakral sampai ujung medulla spinalis dan ekstremitas bawah jarang terjadi. Kehilangan fungsi motorik dan proprioseptif ipsilateral. Kehilangan fungsi motorik dan sensorik secara komplit. Kerusakan proprioseptif, diskriminasi dan getaran. Fungsi motor juga terganggu Kerusakan sensori dan lumpuh flaksid pada ekstremitas bawah, kontrol berkemih dan defekasi. 14

15 Gambar 4.Pola Cedera medula spinalis Patofisiologi Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi akibat dari proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera berlanjut, kemungkinan penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu, intervensi terapeutik sebaiknya tidak ditunda, pada kebanyakan kasus, window period untuk intervensi terapeutik dipercaya berkisar antara 6 sampai 24 jam setelah cedera. Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer energi ke korda spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang persisten. Mekanisme ini, yang terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah cedera, menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi aksonal dan perubahan metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek yang berkelanjutan. Proses cedera sekunder yang bermula 15

16 dalam hitungan menit dari cedera dan berlangsung selama bermingguminggu hingga berbulan-bulan, melibatkan kaskade yang kompleks dari interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat traktus. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi radikal bebas dan opioid endogen, pelepasan yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan reaksi inflamasi sangat berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mrna (messenger Ribonucleic Acid) menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera medula spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik. Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari cedera sekunder. Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan kadar anti-oksidan yang cepat, oksigen radikal bebas berakumulasi di jaringan sistem saraf pusat yang cedera dan menyerang membrane lipid, protein dan asam nukleat. Hal ini berakibat pada dihasilkannya lipid peroxidase yang menyebabkan rusaknya membran sel. Teori kalsium menjelaskan bahwa terjadinya cedera sekunder bergantung pada influks dari kalsium ekstraseluler ke dalam sel saraf. Ion kalsium mengaktivasi phospholipase, protease, dan phosphatase. Aktivasi dari enzimenzim ini mengakibatkan interupsi dari aktivitas mitokondria dan kerusakan membran sel. Teori opiate receptor mengusulkan bahwa opioid endogen mungkin terlibat dalam proses terjadinya cedera medula spinalis dan bahwa antagonis opiate (contohnya naloxone) mungkin bisa memperbaiki penyembuhan neurologis. Teori inflamasi berdasarkan pada hipotesis bahwa zat-zat inflamasi (seperti prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor, serotonin) berakumulasi pada jaringan medula spinalis yang cedera dan 16

17 merupakan mediator dari kerusakan jaringan sekunder. Bila bagian cervical 1-4 yang terkena mengakibatkan pola nafas menjadi efektif dan kelumpuhan total dan kemungkinan untuk bertahan hidup sangat kecil. Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil, jatuh dari ketinggian, cedera olahraga) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio, Spina Bifida, Friedreich dari ataxia) dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatik pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut whiplash atau trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak. Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian cervikalis bawah maupun thorakalis bawah misalnya pada waktu duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam yang dapat mengakibatkan paraplegia. Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap.akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusion, laseratio dan pembengkakan daerah 17

18 tertentu di medulla spinalis. Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan atau mengeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi).lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa). Trauma ini bersifat whiplash yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis. Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatik dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis. Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas. pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersebut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible.jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema anastomosis anterial anterior spinal. 18

19 Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut: 1. Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan hematom. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi. 2. Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada jaringan, hal ini biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medula spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia. 3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan gangguan aliran darah kapiler dan vena. 4. Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior. 2.5 Manifestasi Klinis Jika medula spinalis mengalami cedera, maka saraf-saraf yang berada pada daerah yang mengalami cedera dan yang di bawahnya akan mengalami gangguan fungsi, yang menyebabkan hilangnya kontrol otot dan juga hilangnya sensasi. Hilangnya kontrol otot atau sensasi dapat bersifat sementara atau menetap, sebagian atau menyeluruh, tergantung dari beratnya cedera yang terjadi. Cedera yang menyebabkan putusnya medula spinalis atau merusak jalur jalannya saraf di medula spinalis menyebabkan hilangnya fungsi yang menetap, tetapi trauma tumpul yang mengguncang medula spinalis dapat menyebabkan hilangnya fungsi sementara, yaitu bisa sampai beberapa hari, beberapa minggu, atau beberapa bulan. Hilangnya kontrol otot 19

20 sebagian menyebabkan timbulnya kelemahan pada otot. Sedangkan kontrol otot yang hilang seluruhnya menyebabkan kelumpuhan. Ketika otot mengalami kelumpuhan, maka otot tersebut seringkali kehilangan tonus ototnya sehingga menjadi lemas (flaccid). Beberapa minggu kemudian, kelumpuhan dapat berkembang menjadi spasme otot yang involunter (tidak disadari) dan lama (paralysis spastik). Kerusakan hebat dari medula spinalis di pertengahan punggung bisa menyebabkan kelumpuhan pada tungkai, tetapi lengan masih tetap berfungsi secara normal. Gerakan refleks tertentu yang tidak dikendalikan oleh otak akan tetap utuh atau bahkan meningkat. Contohnya, refleks lutut tetap ada atau bahkan meningkat. Meningkatnya refleks ini dapat menyebabkan spasme pada tungkai. Refleks yang tetap dipertahankan menyebabkan otot yang terkena menjadi memendek, sehingga dapat terjadi kelumpuhan jenis spastik. Otot yang spastik teraba kencang dan keras dan sering mengalami kedutan. Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian saraf oleh fragmen-fragmen tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf pusat dan perifer. Pembuluh darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur axon dan sel membran neuron bisa juga terjadi. Mikrohemoragik terjadi dalam beberapa menit di substansia grisea dan meluas beberapa jam kemudian sehingga perdarahan masif dapat terjadi dalam beberapa menit kemudian. 20

21 Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot flaksid, reflex hilang, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan hipestesia. Juga dibawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor, keringat dan piloereksi serta fungsi seksual. Kulit menjadi kering dan pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat penekanan tulang. Spingter vesika urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi (disebabkan oleh hilangnya inhibisi dari pusat sistem saraf pusat yang lebih tinggi. Apabila medula spinalis cedera secara komplit dengan tiba-tiba, maka tiga fungsi yang terganggu antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh refleks pada bagian tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks hilang baik refleks tendon, refleks autonomic disebut spinal shock. Kondisi spinal shock ini terjadi 2-3 minggu setelah cedera medula spinalis. Fase selanjutnya setelah spinal shock adalah keadaan dimana aktifitas refleks yang meningkat dan tidak terkontrol. Pada lesi yang menyebabkan cedera medula spinalis tidak komplit, spinal shock dapat juga terjadi dalam keadaan yang lebih ringan atau bahkan tidak melalui shock sama sekali. Selain itu gangguan yang timbul pada cidera medula spinalis sesuai dengan letak lesinya, dimana pada UMN lesi akan timbul gangguan berupa spastisitas, hiperefleksia, dan disertai hypertonus, biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai C1 hingga L1. Dan pada LMN lesi akan timbul gangguan berupa flaksid, hiporefleksia, yang disertai hipotonus dan biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai L3 sampai cauda equina, di samping itu juga masih ada 21

22 gangguan lain seperti gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi seksual, dan gangguan fungsi pernapasan. Dapat durumuskan gejala-gejala yang terjadi pada cedera medulla spinalis yaitu: 1. Gangguan sensasi menyangkut adanya anastesia, hiperestesia, parastesia. 2. Gangguan motorik menyangkut adanya kelemahan dari fungsi otot-otot dan reflek tendon. 3. Gangguan fungsi vegetatif dan otonom menyangkut adanya flaksid dan spastik bladder dan bowel. 4. Gangguan fungsi ADL yaitu makan, toileting, berpakaian, kebersihan diri. 5. Gangguan mobilisasi yaitu miring kanan dan kiri, transfer dari tidur ke duduk, duduk, transfer dari bed ke kursi roda, dan dari kursi roda ke bed. 6. Penurunan vital sign yaitu penurunan ekspansi toraks, kapasitas paru dan hipotensi. 7. Skin problem menyangkut adanya dekubitus. Cedera medulla spinalis juga mempengaruhi fungsi organ vital yaitu diantaranya disfungsi respirasi terbesar yaitu cedera setinggi C1-C4. Cedera pada C1-C2 akan mempengaruhi ventilasi spontan tidak efektif. Lesi setinggi C5-8 akan mempengaruhi m. intercostalis, parasternalis, scalenus, otot-otot abdominal, otot-otot abdominal. Selain itu mempengaruhi intaknya 22

23 diafragma, trapezius dan sebagian m. pectoralis mayor. Lesi setinggi thoracal mempengaruhi otot-otot intercostalis dan abdominal, dampak umumnya yaitu efektivitas kinerja otot pernafasan menurun. Selain itu mengganggu fungsi sistem kardiovaskular dimana terjadi karena gangguan jalur otonom, terjadi pada lesi setinggi cervical dan thoracal. Akibat disfungsi simpatis yang mempengaruhi fungsi jantung dan dinding vascular, hilangnya control simpatis supraspinal mengakibatkan aktivitas simpatis menurun. Lesi setinggi cervical dan thoracal mengakibatkan tonus vasomotor menurun sehingga mengakibatkan hipotensi. Fungsi sistem urinaria terganggu dimana bila terjadi lesi setinggi S2 dan S4. Dimana bila terjadi lesi setinggi S2 akan mengakibatkan otot detrusor vesika urinaria mengalami kelemahan tipe LMN sehingga otot detrusor melemah sedangkan S4 mengatur spinkter urinaria eksterna berkontraksi karena bersifat spastic, akan mengakibatkan retensi urin. Sedangkan bila lesi setinggi S4 akan mengakibatkan SUE melemah (membuka) sedangkan fungsi dari otot VU normal maka akan mengakibatkan inkontinensia urin. Lesi pada badan sel parasimpatis di conus medularis, axon parasimpatis di cauda equine dan axon somatik pudendus setinggi T10, fungsi pembentukan fese terganggu, karena mempengaruhi dinding usus, pada lesi tersebut diatas akan mengakibatkan tipe LMN, dimana feces lebih kering dan bundar, resiko tinggi inkontinensia akibat rendahnya tonus sfingter ani. Lesi setinggi diatas conus medularis akan mengakibatkan lesi 23

24 tipe UMN, dimana terjadi overaktivitas peristaltik usus, retensi fekal akibat spastic sfingter ani. 2.6 Manajemen Rehabilitasi Rehabilitasi dimulai ketika kondisi medis pasien cukup stabil untuk menjalani terapi. Terapi dapat langsung dijalani sesegera mungkin sehari setelah cedera. Faktanya, semakin dini terapi dimulai, semakin besar kemungkinan terhindarnya komplikasi SCI seperti pembentukan kontrakturkontraktur sendi. 2 Program rehabilitasi meliputi: (a) Penilaian dan evaluasi pasien (b) Identifikasi kondisi komorbid (c) Manajemen komplikasi (d) Terapi Fisik (e) Terapi okupasional (f) Ortosis (g) Pelatihan gaya berjalan (gait retraining). 11 a. Penilaian dan evaluasi pasien: meliputi evaluasi stabilitas spinal, juga penilaian neurologis, muskuloskeletal, paru, kardiovaskular, pencernaan, genitourinary, dan sistem-sistem intergumen. 11 b. Identifikasi kondisi komorbid: meliputi hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung iskemik, penyakit paru obstruktif kronik, dsb. 11 c. Manajemen komplikasi. pada rehabiliasi SCI komplikasi berikut harus (i) diperhatikan: 11 Bladder dysfunction. Pendekatan manajemen bladder yang paling sering meliputi intermittent catheterization (IC) dan indwelling catheterization. Indwelling catheterization digunakan pada cedera akut dan intermittent catheterization menjaga volume pengeluaran urin kurang dari 450 ml. Kateterisasi suprapubik digunakan pada 24

25 ulserasi penis. Mekanisme pencetus contohnya valsava, metode crede juga berguna dalam memperbaiki fungsi miksi (bladder). Obat-obatan digunakan dalam penanganan bladder meliputi: antikolinergik, antispasmodic, dll. Terapi lain adalah akupuntur, assistive devices, stimulasi elektrik atau surgical augmentation juga dapat digunakan (ii) untuk membantu fungsi miksi. Bowel dysfunction: lebih dari 20% penderita SCI melaporkan kesulitan dalam mengevakuasi defekasi mereka. Penanganan defekasi harus dimulai selama fase akut untuk menghindari impaksi fekal. Penanganan defekasi meliputi: Diet serat: serat tidak terlarut dapat menyerap dan menahan air yang akan membentuk suatu bulk yang mendorong makanan melalui sistem pencernaan secara cepat. Serat terlarut akan mencetuskan regularitas dan menyembuhkan konstipasi. Asupan cairan tinggi (high fluid) secara teratur mencegah konstipasi. Irigasi pulse water (intermitten rapid pulse of warm water) ke dalam rektum, untuk memecah stool impaction dan merangsang peristalsis. Rangsangan: rangsangan elektrik pada dinding otot abdominal dan stimulasi magnetic fungsional dapat mengurangi waktu transit koloni. Agen farmakologis: agen prokinetik are presumed to promote transit melalui traktus pencernaan, dengan cara mengurangi jangka waktu dari stool saat melalui usus dan meningkatkan frekuensi stool untuk evakuasi, contohnya Cisapride. 25

26 Penggunaan supositoria: gliserin suppositoria merupakan (iii) stimulant lokal yang ringan dan agen lubrikan. Spastisitas: merupakan episode yang umum terjadi pada SCI. terjadi secara bertahap dan setelah spinal shock. Berikut penanganan yang tersedia saat ini: Terapi fisik: pergerakan pasif yang ritmis, 2. Direct muscle electrical stimulation yang mengurangi spastisitas: patterned electrical stimulation (PES), patterned neuro muscular electrical stimulation (PNS), functional electrical stimulation, transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS). 3. Terapi farmakologis: baclofen oral, obat yang bekerja secara sentral yang merupakan agonis gamma-aminobutaric acid. Obat lain: diazepam, tizanidine, klonidin, gabapentin. Agen penghambat: phenol atau toksin botulinum. 4. Pembedahan meliputi percutaneous radio frequency rhizotomy, (iv) myelotomy. Kelemahan otot: paresis atau paraplegia merupakan gejala yang umum terjadi pada SCI. Penanganannya dengan cara: Strengthening exercise: meningkatkan kekuatan otot dan mencegah kehilangan otot. 2. Electrical stimulation therapy: juga meningkatkan kekuatan otot (v) dan mencegah kehilangan otot. Nyeri: nyeri merupakan komplikasi yang sering pada SCI traumatik % pasien dengan SCI mengalami nyeri yang berat. 69% telah ditetapkan sebagai nyeri kronik. Usia yang tua berhubungan dengan prevalensi nyeri yang meningkat. Nyeri disebabkan karena neuropatik atau nyeri muskuloskeletal yang dapat dikurangi dengan cara: Non farmakologis: pijat dan terapi panas, TENS dan modalitas latihan yang mengurangi nyeri. 26

27 2. Farmakologis: berbagai obat tersedia untuk mengurangi nyeri, (vi) contoh: gabapentin dan antikonvulsan lain. DVT: komplikasi yang umum terjadi pada SCI dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Kejadian pada penderita SCI bervariasi dari % dan emboli paru dilaporkan sekitar 5% pada pasien SCI akut. Pengobatan berikut untuk mencegah dan mengobati DVT: Non farmakologis: compression stocking, external pneumatic compression, dan continuous rotation beads. 2. Agen farmakologis: antitrombotik atau antikoagulan digunakan sebagai profilaksis terhadap DVT. Penggunaan LMWH mempunyai efektivitas yang tinggi baik digunakan sendiri atau (vii) dengan kombinasi bersama modalitas mekanik lain. Bed sore: ulkus karena tekanan atau bed sore dapat timbul kapanpun pada SCI. selama fase akut, ulkus di sakral dan tumit merupakan yang tersering, dan pada kasus kronik, ulkus ischial yang tersering. Bed sore dapat dicegah dengan cara: Perubahan postur tiap 2 jam. 2. Penggunaan minimal air loss beds. 3. Penggunaan bantal dan foam wedges untuk mencegah tekanan pada penonjolan tulang. 4. Stimulasi elektrik digunakan untuk mengurangi ulkus ischial dan (viii) meningkatkan aliran darah. Hipotensi postural: terjadi karena penyimpangan respons simpatik. Pengobatan: Farmakologis: klonidin, flucordison 2. Non farmakologis: elastic stocking dan abdominal binders. d. Terapi fisik. Tujuan Fisioterapi antara lain adalah: 2 Mengurangi nyeri Meningkatkan kekuatan otot-otot tungkai 27

28 Mencegah atrofi dan kontraktur pada otot-otot tungkai Meningkatkan ROM tungkai Merangsang dan mengembalikan rasa sensasi Mengembalikan ke ADL yang mandiri Program Latihan Fisioterapi antara lain: 2 Menjaga fungsi respirasi: breath exercise, glossopharyngeal breath, airshift manuever, strengthening, stretching, coughing, chest fisioterapi. Bertujuan untuk meningkatkan kondisi umum serta mengatasi komplikasi paru akibat tirah baring (bed rest). Perhatian pada: Trauma pada dada dan perut pada paraplegia (gangguan diafragma). Perubahan posisi (pencegahan pressure sores, kontraktur, inhibisi spastisitas, mengkoreksi kelurusan dari fraktur). Latihan ROM (pasif dan aktif) dan penguluran untuk mencegah kontraktur dan adanya keterbatasan lingkup gerak sendi pada bagian yang lesi. Penguatan yang tersisa dan yang sehat (selective). Bladder training yang dilakukan untuk menjaga kontraktilitas otot detrusor. Orientasi pada posisi vertikal sedini mungkin setelah cedera stabil. Perhatian terhadap gerak yang boleh/tidak boleh pada cedera yang stabil/tak stabil. 28

29 Physical agents. 11 1). Thermotherapy: digunakan untuk mengurangi nyeri dan spastisitas. Meliputi superficial heat (IRR, Wax bath) dan deep heat (SWD, MWD, UST). Aplikasi panas adalah tindakan sederhana sebagai metode yang efektif untuk mengurangi nyeri kronik atau kejang otot. Diberikan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit, kekakuan otot dan kekakuan sendi. Terdapat 2 macam pemanasan: Pemanasan dangkal Karena daya tembusnya hanya beberapa milimeter saja. Misalnya sinar infrared, bantal hidrokolataor atau botol berisi air panas Pemanasan dalam (diatermi) - Diatermi gelombang pendek: menggunakan arus listrik frekuensi tinggi yang diubah menjadi panas sewaktu melintasi jaringan - Diatermi gelombang mikro: menggunakan radiasi elektromagnet dengan efek pemanasan jaringan - Diatermi ultrasonik: mengunakan gelombang suara dengan frekuensi diatas Hz Ultrasound dan short wave diathermy. Membantu terutama pada kontraktur sendi, dan perlengketan. Hal ini meningkatkan fleksibilitas dari serat kolagen dan sirkulasi jaringan ikat yang membantu restorasi fungsional 29

30 2). Electrical therapy: digunakan untuk meningkatkan kekuatan otot dan mengurangi nyeri, contohnya TENS, EST. Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS) terdiri dari suatu alat yang digerakkan oleh batre yang mengirim impuls listrik lemah melalui elektroda yang diletakkan di tubuh. Elektroda pada umumnya diletakkan diatas atau dekat dengan bagian yang nyeri. TENS mengaktifkan mekanisme sentral untuk memberikan analgesia. TENS frekuensi rendah mengaktifkan reseptor μ- opioid pada saraf tulang belakang dan batang otak sementara TENS frekuensi tinggi menghasilkan efeknya melalui δ-opioid reseptor. Efektivitas TENS tergantung pada intensitas, frekuensi, durasi dan jumlah sesi. 3). Teknik neurostimulation termasuk transcranial magnetic stimulation (TMS) dan cortical electric stimulation (CES), spinal cord stimulation (SCS) dan deep brain stimulation (DBS) juga telah telah ditemukan efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik. 4). Akupuntur. Akupuntur berupa insersi jarum halus ke dalam berbagai titik akupuntur di seluruh tubuh untuk meredakan nyeri. Metode noninvasif lain untuk merangsang titik-titik pemicu adalah memberi tekanan dengan ibu jari, suatu teknik yang disebut akupresur. 30

31 Terapi latihan: mat exercise, PNF exercise, active & passive ROM exercise, strengthening exercise, stretching exercise, endurance exercise, co-ordination exercise. 11 Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat digunakan untuk melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah nyeri yang berkaitan dengan kekakuan dan imobilitas. 11 e. Terapi Okupasi. Merupakan bagian dari program rehabilitasi dan dilakukan oleh terapis okupasi. Tujuan dari terapi ini adalah latihan untuk aktivitas sehari-hari (activity daily life). 11 Terapi pada penderita paraplegia: Cara duduk tegak. Pada awalnya penderita paraplegia akan ditegakkan perlahan-lahan membentuk sudut 45 o selama kurang lebih 10 menit, kemudian hingga 90 o atau duduk tegak selama 30 menit. Setelah penderita paraplegia siap maka terapis akan membantu duduk di atas kursi untuk beberapa menit dan sedikit demi sedikit untuk waktu yang lebih lama. Keseimbangan. Pertama kali penderita paraplegia akan belajar menyesuaikan perasaan mengenai keseimbangan yang hilang dengan menggunakan matanya dan menggunakan otot-otot yang masih berfungsi setelah penderita paraplegia ini akan mampu menarik tubuhnya ke belakang dalam posisi tegak lurus. Hal ini membutuhkan waktu yang cukup hingga pada akhirnya penderita paraplegia akan mampu melakukan hal tersebut dengan sendirinya tanpa bantuan dari orang lain. 31

32 Berpakaian. Sementara penderita paraplegia belajar akan keseimbangan, mereka juga belajar bagaimana cara memakai baju sendiri. Umumnya hal ini tidak terlalu sulit untuk penderita paraplegia karena bagian atas tubuh mereka tidak mengalami kerusakan atau kelumpuhan, hanya saja waktu yang mereka gunakan untuk memakai baju menjadi agak lama terutama saat mereka memakai celana dan ini butuh latihan yang intensif. Latihan berdiri dan berjalan. Berfungsi untuk menjaga agar lutut-lutut penderita paraplegia tetap lurus dan kaki-kaki tidak terseret ke lantai. Penderita paraplegia ini akan belajar dengan menggunakan palang sejajar yang terdapat pada rumah sakit rehabilitasi pada umumnya, setelah menjalani latihan yang cukup, penderita paraplegia akan mulai belajar dengan menggunakan kruk untuk berjalan sedikit demi sedikit. Hal ini hanya dapat dilakukan pada penderita paraplegia yang mengalami tingkat cedera di bawah L3 sedangkan pada penderita paraplegia yang mengalami tingkat cedera pada T12 kemungkinan ini sangat kecil, namun latihan harus tetap dilakukan untuk menjaga terjadinya kontraktur atau pemendekan otot tetap, memperbaiki sirkulasi darah, dan membantu ginjal agar dapat bekerja secara semestinya. Makanan. Penderita paraplegia juga akan kehilangan kontrol buang air kecil dan besar sehingga pada tahap awal kelumpuhan, mereka membutuhkan makanan khusus yang menghindarkan penderita mengalami komplikasi. Setelah lewat masa perawatan dan setelah mendapat ijin dari dokter, penderita diperbolehkan memakan 32

33 makanan pada umumnya. Penderita paraplegia diharuskan memakan makanan yang banyak mengandung serat dan mineral guna menghindarkan sembelit. Naik turun dari kloset. Penderita paraplegia membutuhkan beberapa peralatan seperti tali atau rantai yang digantung di langit-langit kamar mandi. Hal ini berfungsi untuk membantu penderita paraplegia naik dan turun dari kloset. f. Ortosis 11 Pada pasien cedera medula spinalis penetapan alat bantu ambulasi : kursi roda, crutches, walker bisa digunakan. Setelah berbaring lurus untuk beberapa waktu selama periode awal pasien harus berkembang oleh fisioterapis untuk duduk tegak di kursi roda. Ini adalah proses bertahap yang bergerak pasien ke posisi tegak terlalu cepat dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang parah. Sebuah kursi roda dengan kaki terletak mengangkat dan kembali miring digunakan pada awalnya sampai pasien mampu mentoleransi kursi tegak. Latihan teratur keseimbangan duduk adalah penting dibawah pengawasan yang ketat dari fisioterapis sebagai kontrol batang diperlukan untuk hidup mandiri. Setelah transfer duduk dikuasai ke kursi roda dan penguatan dapat bekerja. Tahap pertama pembelajaran keseimbangan duduk yang baik, memperkuat otot dan transfer kursi roda kini telah dikuasai dan itu adalah waktu untuk rehabilitasi tersisa untuk mengambil tempat di Unit Luka Spinal. g. Gait retraining. Gait retraining dapat dilakukan dengan cara: 11 - Program pre ambulation MAT: rolling, prone on elbow, prone on hand, quadruped, pelvic tilting, setting and standing balance. 33

34 - Parallel bar progression - Advanced parallel bar activities - Assistive device, contoh: tongkat, crutches. 34

35 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan pada medulla spinalis akibat trauma atau non trauma yang akan menimbulkan gangguan pada sistem motorik, sistem sensorik dan vegetatif. Apabila medula spinalis cedera secara komplit dengan tiba-tiba, maka tiga fungsi yang terganggu antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh refleks pada bagian tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks hilang baik refleks tendon, refleks autonomik disebut spinal shock. Pada lesi yang menyebabkan cedera medula spinalis tidak komplit, spinal shock dapat juga terjadi dalam keadaan yang lebih ringan atau bahkan tidak melalui shock sama sekali. Selain itu gangguan yang timbul pada cedera medula spinalis sesuai dengan letak lesinya, dimana pada UMN lesi akan timbul gangguan berupa spastisitas, hiperefleksia, dan disertai hipertonus, biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai C1 hingga L1. Dan pada LMN lesi akan timbul gangguan berupa flaksid, hiporefleks, yang disertai hipotonus dan biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai L2 sampai cauda equina, di samping itu juga masih ada gangguan lain seperti gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi seksual, dan gangguan fungsi pernapasan. 35

36 Rehabilitasi medik adalah suatu proses pemulihan dan pengembangan bagi penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsinya secara wajar. Hasil yang di harapkan pada penderita cedera medula spinalis adalah mencapai penampilan fungsional semaksimal mungkin sesuai dengan sisa-sisa kemampuan yang masih ada untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, dan mencegah komplikasi. 36

37 Daftar Pustaka 1. Prayudi S. Perbedaan pengaruh penambahan latihan kekuatan otot lengan dengan Metode Oxford pada latihan transfer dari tidur ke duduk terhadap kecepatan transfer dari tidur ke duduk pada penderita paraplegia akibat spinal cord injury. Diunduh dari: 2. Thuret, Sandrine; Moon, Lawrence D.F; Gage, Fred H. Therapeutic intervention after spinal cord injury. Nature Publishing Group; 2006.p.7, Rohkamm R. Color atlas of neurology. New York: Thieme; 2004.p Evans, Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2003.h degroot J, Chusid JG. Corelative neuroanatomy. Jakarta: EGC; 1997.h Snell RS. Neuroanatomi klinik: pendahuluan dan susunan saraf pusat. Edisi ke-5. Jakarta : EGC; 2007.h Sherwood L. Human physiology from cells to system. 6 th ed. Canada: Thomson Brooks/ Cole; 2007.p ASIA. Spinal cord injury. 13 Januari Diunduh dari : 4 Juli Consortium Member Organizations and Steering Committee Representatives. Early Acute Management in Adults with Spinal Cord Injury: A Clinical Practice Guideline for Health-Care Professionals. The Journal Of Spinal Cord Medicine. Vol Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2007.h

38 11. Hasan SA, Alam Z, Hakim M, Shakoor MA, Salek AKM, Khan MM, et al. Rehabilitation of patients with paraplegia from spinal cord injury: a review. JCMCTA 2008; 20 (1):

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan termasuk salah satunya di bidang kesehatan. Pembangunan di bidang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan termasuk salah satunya di bidang kesehatan. Pembangunan di bidang BAB I PENDAHULUAN Pembangunan Nasional adalah pembangunan yang meliputi segala aspek kehidupan termasuk salah satunya di bidang kesehatan. Pembangunan di bidang kesehatan, pada hakekatnya adalah untuk

Lebih terperinci

Cedera medulla spinalis yang disebabkan trauma terjadi karena : Axial loading Hiperfleksi Hiperekstensi Rotasi Lateral bending

Cedera medulla spinalis yang disebabkan trauma terjadi karena : Axial loading Hiperfleksi Hiperekstensi Rotasi Lateral bending Cedera medulla spinalis adalah cedera pada medulla spinalis yang dapat mempengaruhi fungsi motorik, sensorik, dan otonom. Perubahan ini dapat sementara atau permanen. Cedera medulla spinalis paling banyak

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA POST OPERASI FRAKTUR KOMPRESI VERTEBRA THORAKAL XII LUMBAL 1 dengan FRANKLE A

PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA POST OPERASI FRAKTUR KOMPRESI VERTEBRA THORAKAL XII LUMBAL 1 dengan FRANKLE A PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA POST OPERASI FRAKTUR KOMPRESI VERTEBRA THORAKAL XII LUMBAL 1 dengan FRANKLE A Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Ahli Madya Fisioterapi Disusun Oleh:

Lebih terperinci

Gangguan Neuromuskular

Gangguan Neuromuskular Bab 9 Gangguan Neuromuskular Oleh: Dr. dr. Zairin Noor Helmi, Sp.OT(K)., M.M., FISC. Tujuan Pembelajaran Setelah menyelesaikan bab ini, pembaca/peserta didik diharapkan mampu: mendeskripsikan konsep palsi

Lebih terperinci

disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi,

disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi, Fungsi normal kandung kemih adalah mengisi dan mengeluarkan urin secara terkoordinasi dan terkontrol. Aktifitas koordinasi ini diatur oleh sistem saraf pusat dan perifer. Neurogenic bladdre adalah keadaan

Lebih terperinci

CEDERA SPINAL DANIEL, PUTU DEASY, APRIL, MURNI, DESI, JERRY, DAVID, HERNA, SARI, VANI, OCTA, ESTER,

CEDERA SPINAL DANIEL, PUTU DEASY, APRIL, MURNI, DESI, JERRY, DAVID, HERNA, SARI, VANI, OCTA, ESTER, CEDERA SPINAL DANIEL, PUTU DEASY, APRIL, MURNI, DESI, JERRY, DAVID, HERNA, SARI, VANI, OCTA, ESTER, Medula Spinalis Medula spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat Kendali untuk sistem gerak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hakekat pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Hakekat pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan 1 BAB I PENDAHULUAN Hakekat pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajad kesehatan yang optimal sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tingkat derajad kesehatan masyarakat secara makro. Berbagai

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tingkat derajad kesehatan masyarakat secara makro. Berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menuju Indonesia Sehat 2010 merupakan program pemerintah dalam mencapai tingkat derajad kesehatan masyarakat secara makro. Berbagai macam kondisi yang dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. Anatomi Medula Spinalis Medulla spinalis adalah saraf yang tipis yang merupakan perpanjangan dari sistem saraf pusat dari otak dan melengkungi serta dilindungi oleh tulang belakang.

Lebih terperinci

SPINAL CORD INJURY ETIOLOGI

SPINAL CORD INJURY ETIOLOGI SPINAL CORD INJURY Spinal Cord Injury adalah suatu disfungsi dari medula spinalis yang mempengaruhi fungsi sensoris dan motoris, sehingga menyebabkan kerusakan pada tractus sensori motor dan percabangan

Lebih terperinci

DIAGNOSIS TOPIS. Dr. SUSI AULINA, Sp.S Dr.NADRA MARICAR Sp.S

DIAGNOSIS TOPIS. Dr. SUSI AULINA, Sp.S Dr.NADRA MARICAR Sp.S DIAGNOSIS TOPIS Dr. SUSI AULINA, Sp.S Dr.NADRA MARICAR Sp.S PENDAHULUAN Dalam Neurologi dikenal 3 macam diagnosis : 1. Diagnosis Klinis 2. Diagnosis Topis 3. Diagnosis Etiologis I. Diagnosis Klinis yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengguna jasa asuransi kesehatan. Pengertian sehat sendiri adalah suatu kondisi

BAB I PENDAHULUAN. pengguna jasa asuransi kesehatan. Pengertian sehat sendiri adalah suatu kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan kesehatan saat ini merupakan hal yang sangat penting dikarenakan meningkatnya jumlah pasien di rumah sakit dan meningkat juga pengguna jasa asuransi kesehatan.

Lebih terperinci

dan komplikasinya (Kuratif), upaya pengembalian fungsi tubuh

dan komplikasinya (Kuratif), upaya pengembalian fungsi tubuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Meningkatnya tingkat sosial dalam kehidupan masyarakat dan ditunjang pula oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan berdampak pada peningkatan usia harapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kemajuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. dan kemajuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang BAB I PENDAHULUAN Pada dasarnya Pembangunan kesehatan merupakan salah satu dari upaya pembangunan nasional yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemajuan hidup sehat bagi setiap orang

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH. Oleh : AJENG PUSPITASARI PUTRI J

KARYA TULIS ILMIAH. Oleh : AJENG PUSPITASARI PUTRI J KARYA TULIS ILMIAH PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA PARAPLEGI KARENA POST OPERASI BURST FRAKTUR VERTEBRA THORAKAL XII FRANKLE A DI RSO Dr. SOEHARSO SURAKARTA Oleh : AJENG PUSPITASARI PUTRI J10007007 Diajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara. Dalam pembukaan UUD 1945 tercantum bahwa cita cita bangsa yang

BAB I PENDAHULUAN. negara. Dalam pembukaan UUD 1945 tercantum bahwa cita cita bangsa yang BAB I PENDAHULUAN Pembangunan Nasional merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Dalam pembukaan UUD 1945 tercantum bahwa cita cita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Brachial Plexus (pleksus brachialis) adalah pleksus saraf somatik yang

BAB I PENDAHULUAN. Brachial Plexus (pleksus brachialis) adalah pleksus saraf somatik yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Brachial Plexus (pleksus brachialis) adalah pleksus saraf somatik yang terbentuk antara ventral rami (akar) dari empat nervus cervical (C5-C8) dan nervus thoracal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penyebabnya adalah virus. Salah satunya adalah flu, tetapi penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. yang penyebabnya adalah virus. Salah satunya adalah flu, tetapi penyakit ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini semakin banyak ditemukan berbagai penyakit berbahaya yang penyebabnya adalah virus. Salah satunya adalah flu, tetapi penyakit ini tidak mengancam jiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas fungsional sehari-hari. Dimana kesehatan merupakan suatu keadaan bebas

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas fungsional sehari-hari. Dimana kesehatan merupakan suatu keadaan bebas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu hal yang amat penting dalam melakukan aktivitas fungsional sehari-hari. Dimana kesehatan merupakan suatu keadaan bebas dari penyakit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang lebih modern masyarakat juga mengalami perubahan dan

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang lebih modern masyarakat juga mengalami perubahan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era yang lebih maju dan berkembang disertai dengan peningkatan teknologi yang lebih modern masyarakat juga mengalami perubahan dan perilaku hidup, hal ini mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai penyanggah berat badan, yang terdiri dari beberapa bagian yakni salah

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai penyanggah berat badan, yang terdiri dari beberapa bagian yakni salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tubuh manusia dibentuk oleh struktur tulang belakang yang sangat kuat dimana berfungsi sebagai penyanggah berat badan, yang terdiri dari beberapa bagian yakni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab 40% kunjungan pasien berobat jalan terkait gejala. setiap tahunnya. Hasil survei Word Health Organization / WHO

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab 40% kunjungan pasien berobat jalan terkait gejala. setiap tahunnya. Hasil survei Word Health Organization / WHO BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nyeri menurut International Association For Study Of Pain / IASP yang dikutuip oleh Kuntono, 2011 adalah suatu pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga menghambat aktivitas kegiatan sehari-hari, di Jerman persentase

BAB I PENDAHULUAN. sehingga menghambat aktivitas kegiatan sehari-hari, di Jerman persentase BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Cedera ligamen kolateral medial sendi lutut merupakan salah satu gangguan yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas dan fungsional, sehingga menghambat aktivitas

Lebih terperinci

Rehabilitasi pada perdarahan otak

Rehabilitasi pada perdarahan otak Rehabilitasi pada perdarahan otak Hal-hal yang timbul akibat perdarahan otak menyebabkan gangguan fungsi dan menjadi masalah pokok pada rehabilitasi medik, adalah : lokomotor, ketrampilan tangan, gangguan

Lebih terperinci

HEMISEKSI MEDULA SPINALIS

HEMISEKSI MEDULA SPINALIS HEMISEKSI MEDULA SPINALIS Author : Yayan A. Israr, S. Ked Faculty of Medicine University of Riau Arifin Achmad General Hospital of Pekanbaru Pekanbaru, Riau 2008 1 Avaliable in : Files of DrsMed FK UNRI

Lebih terperinci

Trauma Lahir. dr. R.A.Neilan Amroisa, M.Kes., Sp.S Tim Modul Tumbuh Kembang FK Unimal 2009

Trauma Lahir. dr. R.A.Neilan Amroisa, M.Kes., Sp.S Tim Modul Tumbuh Kembang FK Unimal 2009 Trauma Lahir dr. R.A.Neilan Amroisa, M.Kes., Sp.S Tim Modul Tumbuh Kembang FK Unimal 2009 Jenis trauma lahir 1. Trauma lahir pada kepala Ekstrakranial Intrakranial 2. Trauma Medulla Spinalis 3. Trauma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. punggung antara lain aktifitas sehari-hari seperti, berolahraga, bekerja, dan

BAB I PENDAHULUAN. punggung antara lain aktifitas sehari-hari seperti, berolahraga, bekerja, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Punggung merupakan salah satu dari bagian tubuh manusia yang sering digunakan untuk beraktifitas. Banyak aktifitas yang melibatkan pergerakan punggung antara lain aktifitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. motorik maupun sensoris. Di Amerika sekitar 8000 kasus spinal cord injury (SCI)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. motorik maupun sensoris. Di Amerika sekitar 8000 kasus spinal cord injury (SCI) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Spinal cord injury( SCI) adalah trauma yang menyebabkan kerusakan pada spinal cord sehingga menyebabkan menurunnya atau menghilangnya fungsi motorik maupun sensoris.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Definisi Traktus Spinotalamikus Anterior Traktus Spinotalamikus Lateral Daftar Pustaka

DAFTAR ISI. Definisi Traktus Spinotalamikus Anterior Traktus Spinotalamikus Lateral Daftar Pustaka DAFTAR ISI Definisi 2 Traktus Spinotalamikus Anterior 2 Traktus Spinotalamikus Lateral 4 Daftar Pustaka 8 1 A. Definisi Traktus Spinotalamikus adalah traktus yang menghubungkan antara reseptor tekanan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kerangka Teoritis II.1.1 Definisi Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk

Lebih terperinci

Perbedaan Pengaruh Penambahan Latihan Kekuatan Otot Lengan dengan Metode Oxford pada Latihan Transfer

Perbedaan Pengaruh Penambahan Latihan Kekuatan Otot Lengan dengan Metode Oxford pada Latihan Transfer Perbedaan Pengaruh Penambahan Latihan Kekuatan Otot Lengan dengan Metode Oxford pada Latihan Transfer dari Tidur ke Duduk terhadap Kecepatan Transfer dari Tidur ke Duduk pada Penderita Paraplegia akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan aktivitas fungsional sehari-hari. yang lama dan berulang, akan menimbulkan keluhan pada pinggang bawah

BAB I PENDAHULUAN. melakukan aktivitas fungsional sehari-hari. yang lama dan berulang, akan menimbulkan keluhan pada pinggang bawah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada perkembangan jaman sekarang ini, kesehatan merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Sehat adalah suatu kondisi yang terbebas dari segala jenis penyakit, baik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. langsung dan tidak langsung, kesehatan masyarakat juga perlu. With Low Back Pain : A Randomized Controllled Trial Bukti juga

BAB 1 PENDAHULUAN. langsung dan tidak langsung, kesehatan masyarakat juga perlu. With Low Back Pain : A Randomized Controllled Trial Bukti juga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan dan keselamatan dalam bekerja sangat penting bagi masyarakat yang berkaitan dengan semua pekerjaan yang berhubungan dengan faktor potensial yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat di suatu

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat di suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa dampak perubahan yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat di suatu negara, seperti pada kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA PASIEN PASKA STROKE NON HEMORAGIK DEKSTRA STADIUM AKUT

PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA PASIEN PASKA STROKE NON HEMORAGIK DEKSTRA STADIUM AKUT PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA PASIEN PASKA STROKE NON HEMORAGIK DEKSTRA STADIUM AKUT Disusun oleh : DWI RAHMAWATI NIM : J100 060 001 KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi

Lebih terperinci

BAHASAN SEKITARNYA YANG MERUPAKAN DASAR ADANYA GERAK DARI GERAK SISTEM OTOT TULANG TUBUH FUNGSIONAL LOKAL / KESELURUHAN

BAHASAN SEKITARNYA YANG MERUPAKAN DASAR ADANYA GERAK DARI GERAK SISTEM OTOT TULANG TUBUH FUNGSIONAL LOKAL / KESELURUHAN HAMBATAN MOTORIK BAHASAN 1. SISTEM OTOT TULANG, SENDI DAN OTOT SEKITARNYA YANG MERUPAKAN DASAR ADANYA GERAK 2. SISTEM OTOT SARAF : MENGENDALIKAN FUNGSI DARI GERAK SISTEM OTOT TULANG 3. SISTEM OTOT, TULANG,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan, begitu juga dalam bidang kesehatan. Salah satu Negara kita, yaitu dari

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan, begitu juga dalam bidang kesehatan. Salah satu Negara kita, yaitu dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan pembangunan dan teknologi memberikan dampak bagi segala bidang pembangunan, begitu juga dalam bidang kesehatan. Salah satu Negara kita, yaitu dari penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya dan dapat menyebabkan terjadinya disfungsi motorik dan sensorik yang berdampak pada timbulnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Proses Berkemih Reflek berkemih adalah reflek medula spinalis yang seluruhnya bersifat otomatis. Selama kandung kemih terisi penuh dan menyertai kontraksi berkemih, keadaan ini

Lebih terperinci

SETYO WAHYU WIBOWO, dr. Mkes Seminar Tuna Daksa, tinjauan fisiologis dan pendekatan therapiaccupressure, KlinikUPI,Nov 2009

SETYO WAHYU WIBOWO, dr. Mkes Seminar Tuna Daksa, tinjauan fisiologis dan pendekatan therapiaccupressure, KlinikUPI,Nov 2009 SETYO WAHYU WIBOWO, dr. Mkes Seminar Tuna Daksa, tinjauan fisiologis dan pendekatan therapiaccupressure, KlinikUPI,Nov 2009 TUNA DAKSA Tuna Daksa(cacat tubuh) adalah kelainan pada tulang, otot atau sendi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. aktivitas sel tubuh melalui impuls-impuls elektrik. Perjalanan impuls-impuls

BAB 1 PENDAHULUAN. aktivitas sel tubuh melalui impuls-impuls elektrik. Perjalanan impuls-impuls BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem persarafan terdiri dari otak, medulla spinalis, dan saraf perifer. Struktur ini bertanggung jawab mengendalikan dan mengordinasikan aktivitas sel tubuh melalui

Lebih terperinci

BUKU AJAR SISTEM NEUROPSIKIATRI

BUKU AJAR SISTEM NEUROPSIKIATRI 1 BUKU AJAR SISTEM NEUROPSIKIATRI Judul mata Kuliah : Neuropsikiatri Standar Kompetensi : Area Kompetensi 5 : Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran Kompetensi dasar : Menerapkan ilmu Kedokteran klinik pada sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Osteoarthritis berasal dari bahasa Yunani yaitu osteo yang berarti tulang,

BAB I PENDAHULUAN. Osteoarthritis berasal dari bahasa Yunani yaitu osteo yang berarti tulang, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Osteoarthritis berasal dari bahasa Yunani yaitu osteo yang berarti tulang, arthro yang berarti sendi dan itis yang berarti inflamasi. Osteoarthritis tergolong penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimana dijumpai beraneka ragam jenis keluhan antara lain gangguan neuromuskular,

BAB I PENDAHULUAN. dimana dijumpai beraneka ragam jenis keluhan antara lain gangguan neuromuskular, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hidup sehat adalah harapan setiap individu baik sehat fisik maupun psikis. Namun harapan tersebut kadang bertentangan dengan keadaan di masyarakat, dimana dijumpai

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA PASIEN STROKE HEMORAGE DEXTRA DI RSUD PANDANARANG BOYOLALI

PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA PASIEN STROKE HEMORAGE DEXTRA DI RSUD PANDANARANG BOYOLALI PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA PASIEN STROKE HEMORAGE DEXTRA DI RSUD PANDANARANG BOYOLALI Disusun oleh : BAYU ARDIANSYAH NIM : J100 070 006 KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejumlah prilaku seperti mengkonsumsi makanan-makanan siap saji yang

BAB I PENDAHULUAN. Sejumlah prilaku seperti mengkonsumsi makanan-makanan siap saji yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi dengan perkembangan teknologi di berbagai bidang termasuk informasi, manusia modern semakin menemukan sebuah ketidak berjarakan yang membuat belahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Osteoarthritis (OA) merupakan salah satu penyakit muskuloskeletal yang

BAB I PENDAHULUAN. Osteoarthritis (OA) merupakan salah satu penyakit muskuloskeletal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Osteoarthritis (OA) merupakan salah satu penyakit muskuloskeletal yang paling sering ditemui, yang ditandai dengan kerusakan kartilago dan penyempitan celah

Lebih terperinci

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan PENGANTAR KESEHATAN DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY PENGANTAR Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan meningkatkan kesehatan, cara mencegah penyakit, cara menyembuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin banyaknya penggunaan komputer atau laptop di kalangan anak sekolah,

BAB I PENDAHULUAN. semakin banyaknya penggunaan komputer atau laptop di kalangan anak sekolah, 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kemajuan teknologi pada era globalisasi saat ini sangat berkembang pesat dan membawa dampak besar terhadap gaya hidup manusia. Salah satunya adalah semakin banyaknya

Lebih terperinci

PERBEDAAN PENGARUH PENAMBAHAN WILLIAM S FLEXION EXERCISES PADA INTERVENSI SHORT WAVE DIATHERMY DAN TRANSCUTANEUS ELECTRICAL NERVE STIMULATION PADA

PERBEDAAN PENGARUH PENAMBAHAN WILLIAM S FLEXION EXERCISES PADA INTERVENSI SHORT WAVE DIATHERMY DAN TRANSCUTANEUS ELECTRICAL NERVE STIMULATION PADA PERBEDAAN PENGARUH PENAMBAHAN WILLIAM S FLEXION EXERCISES PADA INTERVENSI SHORT WAVE DIATHERMY DAN TRANSCUTANEUS ELECTRICAL NERVE STIMULATION PADA PENDERITA NYERI PUNGGUNG BAWAH MEKANIK SKRIPSI DISUSUN

Lebih terperinci

Sistem motorik mengurus pergerakan Rangkaian neuron-neuron dan otot : - Upper motor neuron (UMN) - Lower motor neuron (LMN) - Sambungan saraf otot

Sistem motorik mengurus pergerakan Rangkaian neuron-neuron dan otot : - Upper motor neuron (UMN) - Lower motor neuron (LMN) - Sambungan saraf otot KELUMPUHAN Sistem motorik mengurus pergerakan Rangkaian neuron-neuron dan otot : - Upper motor neuron (UMN) - Lower motor neuron (LMN) - Sambungan saraf otot - Otot 1 U M N : - Sistem piramidalis - Sistem

Lebih terperinci

KEBUTUHAN MOBILITAS FISIK

KEBUTUHAN MOBILITAS FISIK KEBUTUHAN MOBILITAS FISIK PENGERTIAN MOBILISASI Adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah, teratur dan mempunyai tujuan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup sehat. Semua manusia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas sehari- hari, beradaptasi dan berkontribusi di lingkungan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas sehari- hari, beradaptasi dan berkontribusi di lingkungan masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hidup sehat adalah tujuan semua orang. Salah satu yang mempengaruhi kualitas hidup individu adalah kondisi fisiknya sendiri. Sehingga manusia yang sehat sudah tentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan keadaan dinamis dan dapat ditingkatkan sehingga manusia dapat

BAB I PENDAHULUAN. merupakan keadaan dinamis dan dapat ditingkatkan sehingga manusia dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Setiap orang mendambakan bebas dari penyakit, baik fisik maupun mental serta terhindar dari kecacatan. Sehat bukan suatu keadaan yang sifatnya statis tapi merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Serikat. American Hearth Association tahun 2013 melaporkan sekitar

BAB 1 PENDAHULUAN. Serikat. American Hearth Association tahun 2013 melaporkan sekitar BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penyakit stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia dan penyebab paling sering kecacatan pada orang dewasa (Abubakar dan Isezuo, 2012). Stroke juga merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. umum dan untuk mencapai tujuan tersebut bangsa Indonesia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. umum dan untuk mencapai tujuan tersebut bangsa Indonesia melakukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum dan untuk mencapai tujuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. seumur hidup sebanyak 60% (Demoulin 2012). Menurut World Health

BAB 1 PENDAHULUAN. seumur hidup sebanyak 60% (Demoulin 2012). Menurut World Health BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nyeri punggung merupakan keluhan yang sering dijumpai pada kehidupan sehari-hari. Diperkirakan hampir semua orang pernah mengalami nyeri punggung semasa hidupnya. Nyeri

Lebih terperinci

REHABILITASI STROKE FASE AKUT

REHABILITASI STROKE FASE AKUT Instalasi Rehabilitasi Medik RS Stroke Nasional Bukittinggi 2017 Stroke adalah kumpulan gejala kelainan neurologis lokal yang timbul mendadak akibat gangguan peredaran darah di otak yang disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009, BAB I PENDAHULUAN Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009, kesehatan merupakan hak asasi manusia dan satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan yang dapat mengganggu proses kerja sehingga menjadi kurang

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan yang dapat mengganggu proses kerja sehingga menjadi kurang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini semua proses pekerjaan tidak terlepas dari posisi duduk, mulai dari orang kecil seperti murid sekolah sampai orang dewasa dengan pekerjaan yang memerlukan

Lebih terperinci

Oleh : RIGI RAMDANI J

Oleh : RIGI RAMDANI J PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI POST OPERASI RELEASE KNEE BILATERAL A/C POLIOMIELITIS DENGAN PEMASANGAN WIRE PADA 1/3 DISTAL FEMUR BILATERAL DI BBRSBD DR. SOEHARSO SURAKARTA Oleh : RIGI RAMDANI J 100 070 021

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan anggota gerak bawah. Yang masing-masing anggota gerak terdiri atas

BAB I PENDAHULUAN. dan anggota gerak bawah. Yang masing-masing anggota gerak terdiri atas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu bergerak dalam menjalankan aktivitasnya. Sering kita jumpai seseorang mengalami keterbatasan gerak dimana hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nyeri tak tertahankan, mempengaruhi tangan, punggung, leher, lengan, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. nyeri tak tertahankan, mempengaruhi tangan, punggung, leher, lengan, bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Myalgia cervical atau sering dikenal dengan nyeri otot leher adalah suatu kondisi kronis dimana otot mengalami ketegangan atau terdapat kelainan struktural tulang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Spondylitis tuberculosis atau yang juga dikenal sebagai Pott s disease

BAB I PENDAHULUAN. Spondylitis tuberculosis atau yang juga dikenal sebagai Pott s disease BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Spondylitis tuberculosis atau yang juga dikenal sebagai Pott s disease merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang lebih 3 juta

Lebih terperinci

REHABILITASI PADA NYERI PUNGGUNG BAWAH. Oleh: dr. Hamidah Fadhil SpKFR RSU Kab. Tangerang

REHABILITASI PADA NYERI PUNGGUNG BAWAH. Oleh: dr. Hamidah Fadhil SpKFR RSU Kab. Tangerang REHABILITASI PADA NYERI PUNGGUNG BAWAH Oleh: dr. Hamidah Fadhil SpKFR RSU Kab. Tangerang SKDI 2012 : LBP Tingkat kompetensi : 3A Lulusan dokter mampu : Membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan

Lebih terperinci

1.1PENGERTIAN NYERI 1.2 MEKANISME NYERI

1.1PENGERTIAN NYERI 1.2 MEKANISME NYERI 1.1PENGERTIAN NYERI Nyeri merupakan sensasi yang terlokalisasi berupa ketidaknyamanan, kesedihan dan penderitaan yang dihasilkan oleh stimulasi pada akhiran saraf tertentu. Nyeri terjadi sebagai mekanisme

Lebih terperinci

Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal

Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal Perbandingan antara Sistem syaraf Somatik dan Otonom Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan taraf hidup dan umur harapan hidup. Namun peningkatan umur

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan taraf hidup dan umur harapan hidup. Namun peningkatan umur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan adalah cita-cita suatu bangsa yang terlihat dari peningkatan taraf hidup dan umur harapan hidup. Namun peningkatan umur harapan hidup ini dapat

Lebih terperinci

Tips Mengatasi Susah Buang Air Besar

Tips Mengatasi Susah Buang Air Besar Susah buang air besar atau lebih dikenal dengan nama sembelit merupakan problem yang mungkin pernah dialami oleh anda sendiri. Banyak yang menganggap sembelit hanya gangguan kecil yang dapat hilang sendiri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke dapat menyerang kapan saja, mendadak, siapa saja, baik laki-laki atau

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke dapat menyerang kapan saja, mendadak, siapa saja, baik laki-laki atau BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Stroke dapat menyerang kapan saja, mendadak, siapa saja, baik laki-laki atau perempuan, tua atau muda. Berdasarkan data dilapangan, angka kejadian stroke meningkat secara

Lebih terperinci

Agnesia Naathiq H1A Brown Sequard Syndrome

Agnesia Naathiq H1A Brown Sequard Syndrome Agnesia Naathiq H1A012004 Brown Sequard Syndrome Pendahuluan Brown Sequard Syndrome (BSS) merupakan kumpulan gejala yang muncul karena cedera medulla spinalis yang meliputi kelumpuhan atau gangguan neuron

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan prioritas pada upaya promotif dan preventif tanpa

BAB I PENDAHULUAN. memberikan prioritas pada upaya promotif dan preventif tanpa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan berwawasan kesehatan dapat dilakukan dengan memberikan prioritas pada upaya promotif dan preventif tanpa mengesampingkan kuratif dan rehabilitatif.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Penulisan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Penulisan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penulisan Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA LOW BACK PAIN MIOGENIK DI RST. Dr. SOEJONO MAGELANG

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA LOW BACK PAIN MIOGENIK DI RST. Dr. SOEJONO MAGELANG PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA LOW BACK PAIN MIOGENIK DI RST. Dr. SOEJONO MAGELANG Karya Tulis Ilmiah Diajukan guna melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat untuk Menyelesaikan Program Pendidikan Diploma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan yang saat ini terjadi di negara Indonesia. Angka kesakitan bayi menjadi indikator kedua

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Teori 1. Stroke Non Hemoragik Menurut kriteria WHO, stroke secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsional otak yang terjadi mendadak dengan tanda dan gejala klinis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam mendeteksi secara dini disfungsi tumbuh kembang anak. satunya adalah cerebral palsy. Cerebral palsy menggambarkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam mendeteksi secara dini disfungsi tumbuh kembang anak. satunya adalah cerebral palsy. Cerebral palsy menggambarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan masyarakat merupakan persoalan bersama yang harus menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat. Salah satu bagian dari program kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN. PADA PASIEN DENGAN KASUS CKR (Cedera Kepala Ringan) DI RUANG ICU 3 RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG

LAPORAN PENDAHULUAN. PADA PASIEN DENGAN KASUS CKR (Cedera Kepala Ringan) DI RUANG ICU 3 RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN KASUS CKR (Cedera Kepala Ringan) DI RUANG ICU 3 RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG A. DEFINISI CKR (Cedera Kepala Ringan) merupakan cedera yang dapat mengakibatkan kerusakan

Lebih terperinci

GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT. Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S

GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT. Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S Secara biologis pada masa usia lanjut, segala kegiatan proses hidup sel akan mengalami penurunan Hal-hal keadaan yang dapat ikut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang. merokok dan minum-minuman keras. Mereka lebih memilih sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang. merokok dan minum-minuman keras. Mereka lebih memilih sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah hal yang sangat penting bagi manusia. kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian yakni salah satunya bagian leher yang mempunyai peranan sangat

BAB I PENDAHULUAN. bagian yakni salah satunya bagian leher yang mempunyai peranan sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tubuh manusia dibentuk oleh struktur tulang belakang yang sangat kuat dimana berfungsi sebagai penyanggah berat badan, yang terdiri dari beberapa bagian yakni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu gerak yang merupakan kebutuhan dasar manusia untuk beraktivitas

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu gerak yang merupakan kebutuhan dasar manusia untuk beraktivitas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu gerak yang merupakan kebutuhan dasar manusia untuk beraktivitas adalah berjalan. Untuk dapat menghasilkan mekanisme pola berjalan yang harmonis, maka kita

Lebih terperinci

Dr.Usman G Rangkuti, SpS Lab / SMF Ilmu Penyakit Saraf RSD dr. Soebandi Jember

Dr.Usman G Rangkuti, SpS Lab / SMF Ilmu Penyakit Saraf RSD dr. Soebandi Jember Dr.Usman G Rangkuti, SpS Lab / SMF Ilmu Penyakit Saraf RSD dr. Soebandi Jember Merupakan gangguan fungsi atau struktur dari medula spinalis oleh adanya lesi komplit atau inkomplit. Vaskuler Obat-obatan

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PENYULUHAN DETEKSI DINI PADA CA MAMAE

SATUAN ACARA PENYULUHAN DETEKSI DINI PADA CA MAMAE SATUAN ACARA PENYULUHAN DETEKSI DINI PADA CA MAMAE Oleh: Kelompok : 1A SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH BANJARMASIN PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN 2014 SATUAN ACARA PENYULUHAN Pokok bahasan : Mobilisasi

Lebih terperinci

SINDROMA GUILLAINBARRE

SINDROMA GUILLAINBARRE SINDROMA GUILLAINBARRE Dosen pembimbing: dr. Fuad Hanif, Sp. S, M.Kes Vina Nurhasanah 2010730110 Definisi Sindroma Guillian Barre adalah suatu polineuropati yang bersifat akut yang sering terjadi 1-3 minggu

Lebih terperinci

EMG digunakan untuk memastikan diagnosis dan untuk menduga beratnya sindroma kubital. Juga berguna menilai (8,12) :

EMG digunakan untuk memastikan diagnosis dan untuk menduga beratnya sindroma kubital. Juga berguna menilai (8,12) : Sindrom Kanalis Cubitalis (Cubital Tunnel Syndrome) Kesemutan atau baal biasanya terjadi di jari manis. Atau terjadi di wilayah saraf ulnaris. Gejalanya seperti sindrom ulnaris. Baal biasanya terjadi tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekaligus pembunuh nomor tiga di dunia. Stroke menjadi salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. sekaligus pembunuh nomor tiga di dunia. Stroke menjadi salah satu penyakit 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan masalah utama dalam pelayanan kesehatan dan sekaligus pembunuh nomor tiga di dunia. Stroke menjadi salah satu penyakit yang ditakuti karena menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di zaman globalisasi sekarang ini, ilmu pengetahuan dan teknologi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di zaman globalisasi sekarang ini, ilmu pengetahuan dan teknologi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di zaman globalisasi sekarang ini, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) berkembang sangat pesat, bisa kita lihat di dalam perkembangan ilmu pengetahuan misalnya,

Lebih terperinci

Pengkajian : Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada individu yang mengalami masalah eliminasi urine : 1. inkontinensia urine 2.

Pengkajian : Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada individu yang mengalami masalah eliminasi urine : 1. inkontinensia urine 2. BLADDER TRAINING BLADDER TRAINING Bladder training biasanya dilakukan pada pasien yang mengalami perubahan pola eliminasi urin (inkontinensia) yang berhubungan dengan dysfungsi urologik. Pengkajian : Manifestasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara hakikat sebenarnya tidak ada anak cacat melainkan anak berkebutuhan khusus karena anak-anak tersebut sama dengan anak-anak pada umumnya yang memiliki kelebihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi penting yaitusebagai stabilisasi serta mobilisasi tubuh.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi penting yaitusebagai stabilisasi serta mobilisasi tubuh. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tubuh manusia terbentuk dari banyak jaringan serta organ yang mempunyai fungsi penting yaitusebagai stabilisasi serta mobilisasi tubuh. Salah satunya adalah tulang,

Lebih terperinci

Pendahuluan. Cedera kepala penyebab utama morbiditas dan mortalitas Adanya berbagai program pencegahan

Pendahuluan. Cedera kepala penyebab utama morbiditas dan mortalitas Adanya berbagai program pencegahan HEAD INJURY Pendahuluan Cedera kepala penyebab utama morbiditas dan mortalitas Adanya berbagai program pencegahan peralatan keselamatan sabuk pengaman, airbag, penggunaan helm batas kadar alkohol dalam

Lebih terperinci

Clinical Science Session Pain

Clinical Science Session Pain Clinical Science Session Pain Disusun oleh : Nurlina Wardhani 1301-1214-0658 William Reinaldi 1301-1214-0503 Preseptor : Arnengsih, dr., Sp.KFR BAGIAN ILMU KESEHATAN FISIK DAN REHABILITASI FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI LOW BACK PAIN ET CAUSA MYOGENIK DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI LOW BACK PAIN ET CAUSA MYOGENIK DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI LOW BACK PAIN ET CAUSA MYOGENIK DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA Diajukan Guna Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Menyelesaikan Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2. Tujuan a. Tujuan umum Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami konsep Sistem Saraf Spinal

BAB I PENDAHULUAN. 2. Tujuan a. Tujuan umum Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami konsep Sistem Saraf Spinal BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Seluruh aktivitas didalam tubuh manusia diatur oleh sistem saraf. Dengan kata lain, sistem saraf berperan dalam pengontrolan tubuh manusia. Denyut jantung, pernafasan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman, tingkat aktivitas masyarakat Indonesia semakin tinggi. Hal ini disebabkan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan permasalahan yang kompleks, baik dari segi kesehatan,

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan permasalahan yang kompleks, baik dari segi kesehatan, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke sebagaimana pernyataan Iskandar (2004) Stroke sering menimbulkan permasalahan yang kompleks, baik dari segi kesehatan, ekonomi, dan sosial, serta membutuhkan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Konstipasi Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi dibandingkan dengan pola defekasi individu yang bersangkutan, yaitu frekuensi defekasi kurang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai fungsi yang berbeda dan saling mempengaruhi. Sistem saraf mengatur kegiatan tubuh yang cepat seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan peradaban manusia sudah semakin berkembang pesat di

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan peradaban manusia sudah semakin berkembang pesat di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan peradaban manusia sudah semakin berkembang pesat di segala bidang kehidupan. Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan

Lebih terperinci