TINJAUAN PUSTAKA Anemia dan Penyebabnya

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA Anemia dan Penyebabnya"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA Anemia dan Penyebabnya Anemia gizi didefinisikan sebagai rendahnya kadar hemoglobin (Hb) di bawah normal dengan kisaran normal berbeda sesuai usia dan jenis kelamin. Adapun batas normal Hb untuk pria adalah 13 g/dl sedangkan unt uk wanita adalah 12 g/dl (WHO 2008). Tanda-tanda anemia antara lain : pucat, lemah, lesu, pusing dan penglihatan sering berkunang-kunang. Anemia dapat terjadi karena berbagai sebab. Penyebab yang paling umum diantaranya adalah karena defisiensi zat besi yang diperkirakan 50% dari kasus anemia yang ada saat ini (WHO 2001). Saidin 1997 menyatakan bahwa konsumsi zat besi pada remaja putri di Bandung sebesar 45,5% angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG). Kekurangan (defisiensi) zat besi dapat terjadi karena makanan yang dikonsumsi tidak cukup mengandung zat besi, adanya gangguan pencernaan yang tidak dapat mengabsorpsi zat-zat gizi tersebut dengan baik maka dalam jangka panjang akan terjadi anemia, karena pembentukan sel-sel darah merah dan fungsifungsi lain dalam tubuh terganggu (Lee & Niemen 1993). Pada remaja putri selain karena kurangnya asupan zat besi melalui makanan, anemia juga disebabkan karena banyaknya zat besi yang hilang pada saat menstruasi (NACC 2009). Pada tahap awal kekurangan zat besi mula-mula akan mengalami penurunan cadangan zat besi. Pada tahap ini penurunan cadangan zat besi belum disertai penurunan kadar Hb darah, sehingga yang bersangkutan belum menderita anemia. Tahap selanjutnya zat besi tidak mencukupi untuk pembentukan Hb, sehingga kadar Hb penderita menurun sampai di bawah normal dan timbul anemia (Lee & Niemen 1993). Selain karena kekurangan zat besi, anemia dapat juga disebabkan karena perdarahan, kerusakan sel-sel darah merah karena suatu penyakit, dan produksi sel darah merah tidak berjalan lancar karena kekurangan zat-zat gizi lain seperti asam folat dan vitamin B12 tidak tersedia dalam jumlah yang cukup (Bodgen & Klevay 2000; Tolentino & Friedman 2007) Penyebab lainnya adalah karena infeksi parasit seperti malaria dan infeksi cacing seperti Hookworm, Trichuris trichiura, Schistosomiasis (WHO 1999).

2 8 Di Indonesia penyakit cacingan masih merupakan masalah yang besar. Penyakit cacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digesti), penyerapan (absorbsi) dan metabolisme makanan. Secara kumulatif infeksi cacing atau kecacingan dapat menimbulkan kerugian zat gizi berupa kalori dan protein serta kehilangan darah. Selain dapat menghambat perkembangan fisik, kecerdasan dan produktifitas kerja, juga dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya (Depkes 2004). Untuk kasus anemia defisiensi besi, diperkirakan cacing menghisap cc darah setiap hari (Dirjen PPM & PL 2004). Infeksi akut dan kronis seperti human immunodeficiency virus (HIV), kanker, tuberkulosis dan lain-lain, defisiensi zat gizi mikro yang lain seperti vitamin A, dan B12, asam folat, juga bisa menyebabkan anemia (Tolentino & Friedman 2007). Diduga pula bahwa pada keadaan besi berlebihan dapat menyebabkan gangguan metabolisme besi. Besi berlebihan adalah suatu keadaan patologis dimana simpanan besi total dalam tubuh meningkat lebih tinggi dari kadar normal, sering kali dengan disfungsi organ sebagai akibat deposisi besi. Penyebab besi berlebihan adalah hemokromatosis (genetik) primer (genetic haemochromatosis, GH) merupakan gangguan resesif autosomal yang dihubungkan dengan absorpsi besi berlebih. Sembilan puluh persen kasus bersifat homozigot untuk suatu mutasi pada human hemochromatosis protein (dikenal sebagai gen HFE) yang terletak dekat dengan kompleks human leucocyte antigen (HLA) pada kromosom 6. Penyebab yang lebih jarang meliputi mutasi pada gen untuk hepsidin, hemojuvelin, dan reseptor transferin. Semua mutasi ini dianggap penyebab penurunan kadar hepsidin dan kemudian peningkatan absorpsi besi. Selain itu besi berlebih juga dapat disebabkan karena komponen makanan dan komponen genetik, zat besi dalam makanan berlebih, eritropoisis yang tidak efektif dengan peningkatan absorpsi besi (misalnya talasemia intermedia), dan dapat juga disebabkan karena transfusi berulang pada pasien dengan anemia refraktur berat misalnya talasemia mayor, meilodisplasia, dimana setiap unit darah mengandung 250 mg zat besi (Metha & Hoffbrand 2006). Faktor penyebab anemia yang lain adalah kemiskinan, perilaku kesehatan, lingkungan kurang baik, ketiadaan akses ke layanan kesehatan (Freire 2007).

3 9 Rendahnya pengetahuan dan perilaku tidak sehat berperan sangat besar yang mengakibatkan tingginya prevalensi anemia (Sakti, Rachmawati, Rahfiludin 2003; Farida 2006; Gunatmaningsih 2007; Proboningrum 2009). Meskipun ketersediaan pangan nasional dan pendapatan perkapita baik, unsur lain yang penting adalah pengetahuan gizi dan daya beli (Atmawikarta 2005),. Penelitian pada remaja putri murid SMU dan MAN di Jawa Barat menunjukkan bahwa remaja putri yang mempunyai pengetahuan tentang anemia yang rendah mempunyai kecenderungan menderita anemia 61% lebih tinggi (Budiman 1997). Selain pengetahuan, anemia bisa disebabkan karena lingkungan yang tidak sehat dan banyaknya pencemaran lingkungan yang terjadi terutama di lingkungan perkotaan, karena banyaknya polutan yang berasal dari kendaraan bermotor dan pabrik-pabrik berupa senyawa organik maupun logam berat yang bersifat kumulatif dan bersaing dengan zat besi selama metabolisme zat gizi dalam tubuh dan bisa menyebabkan keracunan. Kurangnya akses ke layanan kesehatan serta rendahnya sanitasi lingkungan dan higienis perorangan juga mempunyai kontribusi terhadap kejadian anemia (WHO 1999). Penyebab kejadian anemia lainnya adalah faktor kemiskinan. Anemia defisiensi besi umumnya ditemukan pada keluarga dengan status sosial ekonomi rendah (WHO 2001). Hal itu disebabkan karena rendahnya daya beli makanan yang bergizi terutama makanan sumber zat besi. Prevalensi Anemia di Indonesia Berdasarkan hasil survei NSS-HKI (Nutrition and Health Surveilance System Helen Keller International) tahun 1999 dan tahun 2000 prevalensi anemia pada balita berkisar 40-70% dan pada wnita usia subur (WUS) berkisar 20-40%. Berdasarkan hasil-hasil penelitian Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada balita usia < 6 bulan 61,3%, bayi usia 6-11 bulan 64,8%, anak usia bulan 58%, wanita hamil 40%, wanita usia subur 27,9%, prevalensi anemia pada anak sekolah dan remaja 26,55%. Menurut SKRT tahun 2004 prevalensi anemia semakin tinggi pada kelompok umur 5-11 tahun sebesar 39%, pada balita 40,5%, ibu hamil 50,5%, ibu

4 10 nifas 45,1%, remaja putri usia tahun sebesar 57,1% dan usia tahun 39,5%. Dari semua kelompok umur di atas, balita dan wanita mempunyai resiko anemia paling tinggi, termasuk remaja putri. Untuk menilai apakah prevalensi anemia menjadi suatu masalah dalam suatu populasi, maka WHO (2001) menetapkan batasan prevalensi anemia yang merupakan masalah kesehatan masyarakat: Tabel 1. Klasifikasi anemia yang merupakan masalah kesehatan masyarakat Katagori Kesehatan masyarakat Prevalensi Anemia (%) Berat 40 Sedang 20,0 39,9 Ringan 5,0 19,9 Normal 4,9 Sumber : WHO 2001 Dampak Anemia Tanda-tanda anemia yang paling umum adalah 5 L yakni lesu, lemah, letih, lelah dan lalai. Jika terjadi pada anak-anak maka dapat menimbulkan dampak seperti kesakitan dan kematian; perkembangan otak dan pertumbuhan fisik terhambat; perkembangan motorik, mental, kecerdasan terhambat; daya tangkap belajar menurun; pertumbuhan dan kesegaran fisik menurun; interaksi sosial kurang (Aliefien 2005). Tanda-tanda lainnya termasuk pucat, kuku rapuh, pusing dan lekas marah (Anomin 2004). Pada beberapa wanita merasa lelah bahkan sebelum mereka beraktivitas. Sebelum muncul tanda-tanda yang telah disebutkan, terdapat tanda-tanda lain seperti kaki dan tangan dingin, sesak nafas, jantung berdebar, sakit kepala, kehilangan konsentrasi, depresi, kinerja menurun, siklus menstruasi tidak teratur, kehilangan gairah seksual, daya tahan tubuh menurun, kesembuhan pada luka dan jaringan lemah. Zat besi berperan penting pada regulasi temperatur tubuh dan menyebabkan seseorang yang menderita anemia defisiensi besi tidak tahan terhadap udara dingin (WHO 2001).

5 11 Penelitian Dupport (2003) menunjukkan dampak penurunan kadar zat besi pada saat menstruasi akan menyebabkan glositis, jantung berdebar, tidak dapat berkonsentrasi (memory disorder) serta gelisah. Jika tidak segera ditangani anemia defisiensi zat besi bisa menyebabkan gangguan kesehatan serius. Gejala klinis yang muncul merefleksikan gangguan fungsi dari berbagai sistem dalam tubuh antara lain penurunan kinerja fisik, gangguan neurologik (syaraf) yang dimanifestasikan dalam perubahan perilaku, anorexia (badan sangat kurus), pica, serta perkembangan kognitif yang abnormal pada anak. Sering pula terjadi abnormalitas pertumbuhan, gangguan fungsi epitel, dan berkurangnya keasaman lambung. Anemia yang tidak terdeteksi dapat menyebabkan infertilitas pada wanita usia subur, melahirkan prematur pada wanita hamil, pada anemia yang berat pingsan dan depresi dapat terjadi pada wanita disegala umur (USAID 2005). Namun umumnya anemia ringan tidak mempunyai tanda-tanda atau hanya tandatanda ringan, hal ini menyebabkan wanita sering tidak menyadari tanda-tandanya atau cenderung menganggap tanda-tanda yang ringan tersebut adalah karena stress dari kehidupan modern. Fungsi Zat besi, Hemoglobin dan Feritin Dalam Tubuh Di dalam tubuh, fungsi utama zat besi adalah dalam produksi komponen pembawa oksigen yaitu hemoglobin dan mioglobin. Hemoglobin terdapat di dalam sel darah merah dan merupakan protein yang berikatan dengan zat besi berfungsi untuk mengangkut oksigen ke berbagai jaringan-jaringan tubuh sedangkan mioglobin terdapat di dalam sel-sel otot dan berfungsi untuk menyimpan dan mendistribusikan oksigen ke dalam sel-sel otot (Hoffbrand, Pettit, Moss 2001) Zat besi sebagai bagian dari molekul hemoglobin yang mengangkut oksigen dari paru-paru ke sel-sel yang membutuhkannya untuk metabolisme glukosa, lemak, dan protein menjadi energi (ATP). Zat besi juga merupakan bagian dari sistem enzim (sitokrom peroksidase, xanthin oksidase, suksinat dehidrogenase, katalase dan peroksidase) dan mioglobin, yaitu molekul yang mirip hemoglobin yang terdapat di dalam sel-sel otot (Garrow & James 1993). Mioglobin akan

6 12 berikatan dengan oksigen dan mengangkutnya melalui darah ke sel-sel otot. Mioglobin yang berikatan dengan oksigen inilah yang menyebabkan daging dan otot-otot menjadi berwarna merah (Anonim 2004). Zat besi terdapat sebanyak 55 mg/kg berat badan untuk laki-laki dewasa dan 45 mg/kg berat badan untuk wanita dewasa. Secara normal sekitar 60%-70% zat besi tubuh terdapat pada hemoglobin yang bersirkulasi dalam eritrosit (Koury & Ponka 2004). Pada vertebrata, zat besi ditransportasikan dalam tubuh antara bagian absorpsi, penyimpanan dan penggunaan oleh glikoprotein plasma, transferin yang mengikat Fe 3+ sangat kuat tetapi bereaksi dapat balik. Pergantian harian besi transferin adalah sekitar 30 mg dan secara normal sekitar 80% dari zat besi ditransport ke sumsum tulang untuk sintesis hemoglobin dalam meningkatkan sel-sel eritroid. Eritrosit yang sudah tua difagositasi oleh magrofag dari sistem retikuloendotelial dimana sebagian heme dibagi dari hemoglobin dan katabolisasi secara enzimatik melalui sintesis heme oksigenase-1 (Maines 1997). Zat besi yang terkurung dalam cincin protoporfirin di dalam magrofag yang dibebaskan, hampir semuanya secara kwantitatif dikembalikan ke sirkulasi. Sisa pergantian harian 5 mg ditukar dengan jaringan eritroid yang disebut hati. Sekitar 1 mg dari diet zat besi diserap tiap hari, dan keseimbangan zat besi total diatur melalui pengeluaran harian 1 mg zat besi melalui mekanisme nonspesifik (hampir semuanya desquamasi sel) (Richardson & Ponka 1997). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Krumel dan Ehterton (1996) kebutuhan zat besi pada kondisi fisiologis remaja putri diperkirakan sekitar 1,9 mg/hari, berdasarkan rata-rata kebutuhan untuk tumbuh 0,5 mg, kehilangan basal 0,75 mg, dan kehilangan darah pada saat menstruasi 0,6 mg. Apabila AKG zat besi 15 mg/hari, dengan asumsi penyerapan 10-15%, akan menghasilkan asupan zat besi 1,5-2,2 mg/hari. Jumlah ini cukup untuk mempertahankan keseimbangan zat besi di dalam tubuh. FAO/WHO (2001) menyebutkan zat besi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan remaja pada keadaan fisiologis untuk tumbuh adalah 0,55 mg/hari dengan asumsi kehilangan basal 0,65 mg, dan menstruasi 0,48 mg, sehingga kebutuhan zat besi sekitar 1,68 mg/hari. Jika diperkirakan bioavailibilitas sebesar 5-10% maka diperlukan mg/hari. Untuk kebutuhan remaja putri di Indonesia usia tahun direkomendasikan sebesar 20 mg/hari

7 13 dan usia tahun sebesar 26 mg/hari berdasarkan pada tingkat bioavailibilitas sekitar 10% (Kartono & Soekarti 2004). Hemoglobin adalah molekul protein oligomer (BM ) yang mengandung empat rantai polipeptida dan empat gugus prostetik heme, yang mempunyai atom besi dalam bentuk fero (Fe 2+ ). Bagian protein yang disebut globin, terdiri dari dua rantai α (masing-masing mempunyai 141 residu) dan dua rantai β (masing-masing mempunyai 146 residu). Gambar 2: Struktur kimia hemoglobin dalam sel darah manusia C = Karbon, H = Hidrogen, Fe = Iron, N = Nitrogen, O = Oksigen Analisis sinar X telah menemukan bahwa molekul hemoglobin berbentuk agak bulat, dengan diameter kira-kira 5,5 nm. Masing-masing terdiri dari empat rantai mempunyai struktur tersier yang khas, yang mencirikan berlipatnya rantai. Seperti pada mioglobin, rantai α dan β hemoglobin mengandung beberapa potongan α-heliks yang dipisahkan oleh lekukan-lekukan. Keempat rantai polipeptida bersama-sama menyesuaikan diri di dalam suatu susunan yang mendekati tetrahedral, untuk membangun suatu struktur kuartener hemoglobin yang khas. Terdapat satu gugus heme yang terikat oleh masing-masing rantai. Heme-heme ini agak terpisah kira-kira 2,5 nm satu terhadap yang lain, dan terletak dengan kemiringan sudut yang berbeda-beda. Tiap-tiap heme sebagian terlindung di dalam kantung yang dilapisi oleh gugus R hidrofobik. Heme ini terikat pada rantai polipeptida melalui ikatan koordinasi atom besi pada gugus R residu histidin. Ikatan koordinasi keenam dari atom besi tiap-tiap heme tersedia untuk mengikat molekul O 2, seperti terlihat dalam gambar di atas (Lehninger 1982).

8 14 Selain berfungsi untuk memproduksi hemoglobin dan mioglobin, zat besi juga dapat tersimpan di dalam protein feritin dan hemosiderin di dalam hati, serta di dalam sumsum tulang belakang. Sebagai indikator jumlah zat besi di dalam tubuh, feritin yang bersirkulasi di dalam darah dapat digunakan untuk menilai status zat besi di dalam tubuh. Turunnya kadar feritin berarti cadangan besi tubuh menurun, namun feritin dapat meningkat bila terjadi peradangan atau infeksi, sehingga pada saat menderita infeksi kandungan feritin tidak dapat digunakan sebagai standar cadangan besi tubuh (Wish 2006). Absorpsi Zat besi Gambaran yang aneh dan mungkin unik dari metabolisme besi adalah bahwa sebenarnya terjadi pada sistem yang tertutup (closed sircuit). Dalam keadaan normal sangat sedikit besi dari makanan yang diserap, jumlah yang dikeluarkan melalui urin adalah minimal, dan sebagian besar dari seluruh besi dalam tubuh secara terus menerus didistribusikan ke seluruh tubuh dalam beberapa lingkaran metabolisme. Karena tidak ada jalan untuk mengekskresikan besi secara berlebihan, absorpsi dari usus harus diatur, bila tidak akan ditimbun di dalam jaringan dalam jumlah yang toksik. Beberapa hal yang meregulasi absorpsi besi dalam usus, yaitu Dietary regulator, (jenis diet dengan bioavailibilitas besi yang tinggi dan adanya faktor en-hancer akan meingkatkan absorpsi besi), Stores regulator (besarnya cadangan besi dapat mengatur tinggi rendahnya absorpsi besi), Erythropoetic regulator (besarnya absorpsi besi berhubungan dengan kecepatan eritropoesis) dan hepsidin yang diperkirakan berperan sebagai soluble regulator absorpsi besi di usus (Agustriadi & Suega 2006). Dalam makanan biasanya terdapat mg besi setiap hari, tetapi hanya 10%-15% dari jumlah tersebut yang diabsorpsi Rendahnya zat besi yang dapat diserap ini kemungkinan menjadi penyebab ketidak tersediaan zat besi yang ada dalam makanan dan kontrol endogen terhadap pengambilannya. Besi dalam makanan lebih banyak diserap pada keadaan defisiensi, dan penyerapannya menurun jika tubuh mempunyai banyak simpanan zat besi.

9 15 Pitat, oksalat, tanin dan bahkan fosfat yang ada dalam bahan makanan nabati cenderung membentuk endapan besi yang tidak larut yang menyebabkan besi tersebut tidak dapat diserap (Linder 1991; Food Nutrition Board 2001; Schlenker 2007). Dalam lingkungan yang alkalis (konsentrasi alkohol tinggi) seperti usus bagian atas dan terutama dalam kondisi aklorohidria (relatif tidak ada produksi HCl dalam lambung) akan membentuk ikatan hidroksida yang tidak larut. Untuk mencegah pengaruh tersebut digunakan pengkilasi Fe seperti vitamin C, fruktosa, fumarat dan beberapa asam amino yang menyebabkan zat besi tersebut dalam keadaan larut sehingga dapat diserap (Linder 1991). Tabel 2. Beberapa faktor yang meningkatkan penyerapan Fe oleh usus Yang meningkatkan penyerapan Fe Zat Makanan Faktor-faktor Endogen (Langsung) (Tidak Langsung) Vitamin C Meningkatkan eritropoisis, seperti pada hipoksia Fruktosa (altitut), hemolisis, hemoragi, androgen, garam-garam Asam Sitrat Ca (pembebasan eritropoitin biasanya terlibat) Protein makanan Lisin, Histidin, Sistein, Metionin Idiopatik Hemokromatosis (karena kerusakan genetik) EDTA (pengkilasi alamiah seperti dalam group heme) Pada orang dewasa memasukkan mg vitamin C dalam makanan akan meningkatkan absorbsi zat besi sampai 85% (Gutrie 1995). Vitamin C merupakan pereduksi ion ferri menjadi ferro sehingga lebih mudah diserap (Sharp & Srai 2007). Tabel 3. Beberapa faktor yang menghambat penyerapan Fe oleh usus Zat Makanan (Langsung) Oksalat. Tanin. Fitat, Karbonat, Fosfat Serat (bukan selulosa) Kelebihan ion: Yang menghambat penyerapan Fe Faktor-faktor Endogen (Tidak Langsung) Tingginya Fe cadangan tubuh (dalam sum-sum tulang) 2+ Co 2+, Cu 2+, Zn 2+, Cd 2+ Mn 2+, Pb Infeksi/peradangan Makanan rendah protein Tidak ada HCL lambung (achylia, achlorohydria) Sumber; Berdasarkan pada Linder MC (1991)

10 16 Pada metabolisme besi yang normal, absorpsi besi di usus memegang peranan sangat penting. Absorpsi terbanyak terjadi di proksimal duodenum karena ph asam lambung dan kepadatan protein tertentu yang diperlukan pada proses absorpsi besi di epitel usus. Zat besi diserap dari usus disimpan sebagai feritin di epitel usus di transport dalam plasma sebagai transferrin. Progenitor eritroid memperoleh zat besi untuk sintesis hemoglobin dari transferrin plasma atau dari daur ulang penghancuran eritrosit yang sudah tua oleh magrofag di dalam sumsum tulang, limpa dan hati. Zat besi yang berlebih untuk keperluan produksi hemoglobin disimpan dalam magrofag sebagai feritin, yang dioksidasi menjadi hemosiderin. Simpanan ini dapat dikeluarkan dari magrofag pada saat dibutuhkan atau pada saat eritropoiesis meningkat (Andrews 1999). Gambar 3. Absorpsi zat besi. (Sumber: Andrews NC,New Engl J Med. 341: , Copyright 1999 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.) Proses absorpsi besi dibagi 3 fase: 1. Fase luminal, dimana besi pada makanan dilepaskan ikatannya karena pengaruh asam lambung dan direduksi dari bentuk feri menjadi fero yang siap diserap di duodenum.

11 17 2. Fase mukosal, merupakan suatu proses aktif yang sangat kompleks dan terkendali dimana sel absorptif pada puncak vili-vili usus feri dikonversi menjadi fero oleh enzim ferireduktase yang dimediasi oleh duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui membran difasilitasi oleh protein divalent metal transporter 1 (DMT1). Gambar 4. Absorbsi besi di usus halus (sumber: Andrews, N.C., N Engl J Med; 23: ). Setelah besi masuk ke sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk feritin, sebagian dikeluarkan ke katableter usus melalui basolateral transporter (feroportin/fpn). Pada proses ini terjadi oksidasi dari fero menjadi feri oleh enzim ferooksidase (a.l. hephaestin), lalu feri diikat oleh apotransferin dalam katableter usus. Terdapat fenomena mucosal block, dimana setelah beberapa hari dilakukan bolus besi dalam diet, maka enterosit resisten terhadap absorpsi besi berikutnya. Hambatan ini mungkin timbul karena akumulasi

12 18 besi dalam enterosit sehingga menyebabkan set-point diatur seolah-olah kebutuhan besi sudah berlebihan. Gambar 5. Regulasi absorbsi besi (sumber: Andrews, N.C., N Engl J Med; 26: ). 3. Fase korporeal, zat besi sudah diserap enterosit dan melewati bagian basal epitel usus, memasuki katableter usus lalu dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferrin. Transferrin ini akan melepaskan besi pada sel retikuloendotehelial system (RES) melalui poses pinositosis. Satu molekul transferin dapat mengikat maksimal dua molekul besi. Kompleks besitransferin ini (Fe 2 -Tf) nantinya akan diikat oleh reseptor transferin (transferrin receptor=tfr) yang terdapat pada permukaan sel membentuk kompleks Fe 2 - Tf-Tfr, yang akan membentuk endosom. Suatu pompa proton akan

13 19 menurunkan ph endosom, sehingga melepaskan ikatan besi dari transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan divalent metal transporter 1 (DMT 1), sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali. (Agustriadi & Suega 2006) Gambar 6. Siklus transferin (sumber: Andrews, N. C., N Engl J Med; 26: ). Metabolisme zat besi Metabolisme besi pada makrofag diawali dengan fagositisasi eritrosit dan pemecahannya di fagosom, kemudian besi dikeluarkan melalui feroportin dengan bantuan seruloplasmin ferooksidase (yang berperan homolog seperti hepaestin di enterosit), Pada siklus besi dalam tubuh terjadi suatu closed circuit dimana peredaran jumlah besi tubuh sangat efisien, hasil absorpsi besi di usus bergabung dengan besi yang dimobilisasi dari makrofag sumsum tulang untuk keperluan eritropoesis. Selanjutnya, hasil eritropoesis yang inefektif dan besi pada eritrosit yang telah mengalami penuaan, akan dikembalikan lagi kepada makrofag dengan

14 20 jumlah yang sama dengan keperluan eritropoesis tersebut. Sehingga hasil akhir mekanisme ini adalah keseimbangan jumlah besi tubuh (Ganz 2003). Jumlah zat besi dalam badan orang dewasa sehat kurang lebih sebanyak 4 gram. Sebagian besar (± 2,5 gram) berada di dalam sel darah merah atau hemoglobin. Sebagian zat besi terdapat di dalam pigmen pada otot yang disebut mioglobin. Mioglobin ini berfungsi menangkap dan memberikan oksigen. Enzim intraselular yang disebut porfirin juga mengandung zat besi. Enzim lain yang terpenting diantaranya adalah citokrom yang selalu banyak terdapat di dalam sel. Pada orang yang sehat, sebagian zat besi (± 1 gram) disimpan di dalam jaringan terutama di dalam hati dalam bentuk berikatan dengan protein yang disebut feritin. Untuk menjaga badan agar tidak anemia, maka keseimbangan zat besi di dalam tubuh perlu dipertahankan. Keseimbangan disini diartikan bahwa jumlah zat besi yang dikeluarkan dari tubuh sama dengan jumlah zat besi yang diperoleh badan dari makanan. Sel-sel darah merah berumur 120 hari, jadi sesudah 120 hari sel-sel darah merah mati, dan diganti dengan yang baru (Linder 1991). Proses penggantian selsel darah merah yang lama dengan sel-sel darah merah yang baru disebut turn over. Setiap hari turn over zat besi ini berjumlah 35 mg, tetapi tidak semuanya harus didapatkan dari makanan. Sebagian besar, yaitu sebanyak 34 mg didapat dari penghancuran sel-sel darah merah yang tua, yang kemudian disaring oleh tubuh untuk dapat dipergunakan kembali oleh sumsum tulang untuk pembentukan sel-sel darah merah yang baru Pada keadaan seimbang 1-2 mg zat besi diserap dan dibuang oleh tubuh setiap hari. Diet zat besi diserap oleh entrosit usus dua belas jari. Zat besi dalam tubuh bersirkulasi dalam plasma berikatan dengan transferin. Sebagian besar zat besi digunakan sebagai prekursor eritroid dan sel-sel darah merah dewasa. Lebih kurang 10-15% terdapat dalam serat-serat otot (dalam bentuk mioglobin) dan jaringan lainnya (dalam enzim-enzim dan sitokrom). Zat besi disimpan dalam selsel parenkim hati dan makrofag retikuloenditelial. Makrofag-makrofag ini menyediakan sebagian besar zat besi yang dapat digunakan melalui degradasi

15 21 hemoglobin pada eritrosit yang sudah tua dan mengambil kembali zat besi pada transferin untuk disebarkan ke sel-sel Gambar 7. Skema metabolisme zat besi (Sumber: Andrews NC,New Engl J Med. 341: , Copyright 1999 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.) Hanya 1-2 mg zat besi dari penghancuran sel-sel darah merah yang tua yang dikeluarkan oleh tubuh melalui kulit, saluran pencernaan dan air kencing. Jumlah zat besi yang hilang melalui jalur ini disebut sebagai kehilangan basal (iron basal losses). Pada wanita zat besi yang dikeluarkan dari tubuh lebih banyak dari pada laki-laki (Beard 2000). Selain kehilangan basal masih ada kehilangan lewat jalur lain. Setiap bulan wanita dewasa mengalami menstruasi, dan setiap periode menstruasi dikeluarkan zat besi rata-rata sebanyak 28 mg/periode. Karena menstruasi terjadi satu kali dalam satu bulan, maka banyaknya zat besi yang dikeluarkan setiap hari adalah 28 mg dibagi dengan 30 sama dengan kira-kira

16 22 1 mg/hari. Dengan demikian wanita mengeluarkan zat besi dari tubuhnya hampir dua kali lebih banyak dari pada laki-laki dewasa. Zat besi yang dapat diabsorpsi 5-10% (untuk menu makanan yang cukup bervariasi) maka seorang laki-laki dewasa harus mengkonsumsi zat besi sebanyak 13 mg/hari, dan wanita harus mengkonsumsi 26 mg/hari walaupun wanita mengeluarkan zat besi hampir dua kali lebih banyak dari pada laki-laki, tetapi karena wanita lebih efisien mengabsorpsi zat-zat gizi termasuk zat besi maka untuk menjaga keseimbangan zat besi dalam tubuh, wanita dapat mengkonsumsi lebih rendah dari 26 mg/hari asal dalam bahan makanannya ada daging atau ikan dan sumber vitamin C yang cukup (Davidson 1973 dalam Husaini 1989). Hepsidin Dan Peranannya Hepsidin adalah sebuah hormon peptida yang dihasilkan di dalam hati dan mengatur penyerapan zat besi dalam tubuh. Hepsidin mencegah tubuh menyerap lebih banyak zat besi dari yang diperlukan baik yang berasal dari makanan atau suplemen dan menahan pengambilan zat besi dari sel. Keseimbangan zat besi dalam tubuh Keseimbangan zat besi dalam tubuh diatur oleh interaksi antara hepsidin dan reseptor feroportin yang mengangkut zat besi. Hepsidin mengikat feroportin, sehingga mengurangi pengeluaran zat besi dari sel. Kelebihan hepsidin dalam darah dapat menyebabkan anemia, sementara defisiensi hormon ini menyebabkan pembentukan zat besi berlebihan yang akan merusak organ dalam tubuh (Daniel 2008). Ketika konsentrasi hepsidin rendah, zat besi selular dilepaskan ke dalam plasma menembus membran dan bergabung dengan ferroportin (FPN). Ketika konsentrasi hepsidin tinggi, hepsidin berikatan dengan ferroportin, dan ferroportin masuk dan didegradasi oleh hepsidin. Sebagai konsekuensi dari hilangnya ferroportin, eksport zat besi selular berkurang dan besi terakumulasi dalam feritin sitoplasma (Ganz 2007).

17 23 Gambar 8. Efek interaksi hepsidin ferofortin pada eksport besi sellular (Sumber: Ganz J Am Soc Nephrol 18: , 2007) Hormon hepsidin pertama kali diisolasi oleh Park et al (2000) pada saat mempelajari karakter antimikrobial berbagai cairan tubuh manusia. Park et al (2001) mengisolasi suatu peptida baru dari urin dan menamakannya hepsidin, berdasarkan tempat diproduksinya (hati, hep-) dan karakter antimikrobial in vitro (-cidin). Studi sebelumnya oleh Krause et al (2000) juga mengisolasi peptida yang sama dari ultrafiltrat plasma dan menamakannya LEAF-1 (Liver expressed antimicrobial peptide), suatu peptida dengan karakter antimikrobial yang diekspresikan oleh hati. Yang istimewa dan tidak seperti peptida antimikrobial lainnya yang sekuen peptidanya sangat bervariasi antar species, pada beberapa spesies mamalia (tikus, babi) dan ikan sekuen hepsidinnya ternyata hampir identik dengan hepsidin manusia dan tikus yaitu pada manusia hanya terdapat satu macam hepsidin, sedangkan pada tikus didapatkan dua macam hepsidin yaitu hepsidin 1 dan 2. Namun Lou et al (2003) menyatakan bahwa ekspresi hepsidin 2 tidak berpengaruh terhadap metabolisme besi seperti hepsidin 1. Di tahun-tahun berikutnya studi-studi mengenai peptida ini makin berkembang sehingga diketahui bahwa peningkatan produksi peptida ini (hepsidin) berhubungan dengan

18 24 keadaan-keadaan seperti anemia berat, keganasan, peradangan kronis, serta diketahui adanya penurunan produksinya pada hemokromatosis. Gambar 9. Struktur utama hepsidin manusia N = amino terminal, C = karboksi terminal, pita kuning = jembatan disulfida, pita biru = asam amino. Pola ikatan disulfida dengan 8 sistein terlihat pada sequence asam amino (Sumber: Tomas Ganz, Blood, 1 August 2003, Vol. 102, No. 3, pp ) Secara struktur, hepsidin manusia merupakan suatu peptida kecil kaya sistein (delapan sistein) yang didapat dari gugus C-terminal dari suatu asam amino prepropeptida, yang dapat diisolasi dari urin dan ultrafiltrat darah, sebagian besar mengandung 25 asam amino (hep-25) dan sebagian lagi ditemukan dengan rantai asam amino yang lebih pendek (hep-20 dan hep-22). Molekul hepsidin berbentuk seperti jepitan rambut (hairpin) kedua lengannya disilang oleh gugusan disulfida. Suatu hal yang tidak biasa yang tampak pada molekul ini adalah susunan sisteinnya, dimana terdapat jembatan disulfida pada dua sistein yang berdekatan sehingga reaktifitas kimianya lebih besar dibandingkan dengan ikatan disulfida pada peptida antimikrobial lainnya seperti pada defensin, takiplesin dan lainnya. Hepsidin ini diyakini sebagai regulator kunci dari homeostasis besi dengan cara meregulasi absorbsi besi di usus, mendaur ulang besi dari makrofag dan mengontrol persediaan besi di dalam hati: Hormon hepsidin ini juga muncul untuk meregulasi transpor besi melalui placental syncytiotrophoblast selama kehamilan

19 25 (Nemeth & Ganz 2006). Di dalam enterosit, hepsidin terikat pada protein transport besi basolateral (feroportin), inisiasi internalisasi dan mendegradasi ferofortin tersebut dan secara efektif menghambat fluks besi dari sel dan mereduksi absorpsi besi (Nemeth et al. 2004). Pada tikus transgenik over ekspresi hepsidin diasosiasikan dengan anemia pada imflamasi dan anemia defisiensi besi yang berat. Meskipun pada tikus ekspresi hepsidin menunjukkan berbanding terbalik dengan absorpsi dan ekspresi protein transport besi (Frazer et al. dalam Young et al. 2009), namun sampai saat ini hubungan yang signifikan antara ekspresi hepsidin dan absorpsi besi pada manusia belum ditetapkan. Hal ini disebabkan karena ukuran dari protein ini yang kecil (25-AA) sehingga sulit untuk diukur. Hal ini mengarahkan beberapa peneliti untuk mengukur prohepsidin, yaitu suatu 60-AA linear yang merupakan prekursor bagi peptida 25-AA yang mengandung empat ikatan disulfida (Young et al. 2009). Hubungan Hepsidin Dengan Metabolisme Besi Hubungan antara hepsidin dan metabolisme besi diungkapkan pertama kali oleh Pigeon et al tahun 2001 (saat meneliti respon hati terhadap beban besi yang berlebihan) yang menyatakan bahwa mrna hepsidin diproduksi oleh hepatosit dan lipopolisakarida serta beban besi yang berlebihan baik secara oral maupun parenteral dapat merangsang produksi hepsidin sebagai feedback terhadap keadaan besi berlebihan tersebut, sehingga gen hepsidin dianggap sebagai gen upstream stimulatory factor-2 (USF2). Nicolas et al (2001), menyatakan bahwa pada hewan percobaan tikus yang dihilangkan fungsi gen USF2-nya akan mengalami kondisi seperti hemokromatosis, dimana terjadi hiperabsorpsi besi pada usus dan peningkatan pelepasan besi dari makrofag sehingga terjadi peningkatan kandungan besi pada hati dan pankreas serta defisiensi besi pada limpa. Pada hati terjadi kekurangan mrna hepsidin. Untuk membuktikan bahwa hepsidin dapat secara langsung sebagai sensor pada homeostasis besi, maka pada studi Nicolas et al (2002). berikutnya dibuatlah model tikus percobaan tansgenik dengan over ekspresi hepsidin (kebalikan dari penelitian sebelumnya). Model transgenik tersebut menunjukkan kadar besi tubuh

20 26 dan anemia mikrositik yang berat, sedangkan fetusnya mati pada masa perinatal dengan anemia defisiensi besi yang berat, sehingga disimpulkan bahwa hepsidin merupakan suatu regulator negatif uptake besi di usus serta release besi dari makrofag maka terjadi retensi besi di makrofag (Agustriadi & Suega 2006). Gambar 10. Skema hubungan hepsidin dengan metabolisme besi (Andrews NC,New Engl J Med. 341: , Copyright 1999 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.) Kelebihan zat besi berbahaya, karena menyebabkan pembentukan radikal bebas. Seluruh zat besi tubuh diregulasi terutama pada tingkat absorpsi oleh enterosit, tidak ada jalur regulasi aktif untuk ekskresi zat besi (hanya dapat terjadi karena perdarahan atau pengelupasan enterosit yang memuat zat besi). Regulasi pengambilan zat besi oleh enterosit dan pengeluaran simpanan zat besi dari makrofag dan hepatosit dimediasi oleh hormon hepsidin, dan dampaknya terhadap ferroportin (lihat skema di atas). Hepsidin menurunkan kadar zat besi serum dengan menurunkan absorpsi zat besi dan mencegah makrofag mengeluarkan zat besi ( menyebabkan penumpukan besi). Hepsidin diregulasi oleh kadar zat besi dan eritropoisis. Meningkatnya zar besi akan akan mengatur hepsidin yang selanjutnya menurunkan kadar zat besi dan berakibat buruk. Eritropoisis yang aktif menghambat hepsidin ( membiarkan zat besi diabsorpsi/dikeluarkan untuk

21 27 sintesis hemoglobin). Kadar hepsidin meningkat karena peradangan sitokin, terutama IL-6 dan penurunan ketersediaan zat besi selama proses peradangan. Karena itu peradangan menyebabkan suatu defisiensi zat besi fungsional karena zat besi tidak dikeluarkan dari makrofag ( menghasilkan peningkatan simpanan zat besi). Hal ini menyebabkan anemia pada penyakit peradangan (Andrew 1999). Cara Mencegah dan Mengobati Anemia Kegiatan penanggulangan anemia gizi untuk remaja putri dan Wanita Usia Subur (WUS) yang dilakukan merupakan kegiatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) yaitu promosi atau kampanye tentang anemia kepada masyarakat luas ditunjang dengan kegiatan penyuluhan. Salah satu strategi untuk meningkatkan asupan Fe adalah dengan suplementasi Fe. Berdasarkan Pedoman Penanganan Anemia yang dikeluarkan oleh Depkes tahun 2001 untuk mencegah dan mengobati anemia adalah sebagai-berikut: 1. Meningkatkan konsumsi makanan bergizi. Makan makanan yang banyak mengandung zat besi dari bahan makanan hewani (daging, ikan, ayam, hati, telur) dan bahan makanan nabati (sayuran berwarna hijau, kacang-kacangan, tempe). Makan sayur-sayuran dan buah-buahan yang banyak mengandung vitamin C (daun katuk, daun singkong, bayam, jambu, tomat, jeruk dan nanas) sangat bermanfaat untuk meningkatkan penyerapan zat besi dalam usus. 2. Menambah pemasukan zat besi ke dalam tubuh dengan minum Tablet Tambah Darah (TTD). Tablet Tambah Darah adalah tablet besi folat yang setiap tablet mengandung 200 mg Ferro Sulfat atau 60 mg besi elemental dan 0,25 mg asam folat. Tablet Tambah Darah adalah obat bebas terbatas sehingga dapat dibeli di Apotik, Toko Obat, Warung, Bidan Praktek, Pos Obat Desa. Dianjurkan menggunakan Tablet Tambah Darah generik yang disediakan pemerintah dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Disamping itu dapat juga dipergunakan Tablet Tambah Darah dengan merek dagang lain yang memenuhi kandungan seperti Tablet Tambah Darah generik. Tablet Tambah Darah diminum 1 (satu) Tablet Tambah Darah

22 28 seminggu sekali dan dianjurkan minum 1 tablet setiap hari selama haid. Untuk ibu hamil, minumlah 1 (satu) Tablet Tambah Darah setiap hari paling sedikit selama 90 hari masa kehamilan dan 40 hari setelah melahirkan 3. Mengobati penyakit yang menyebabkan atau memperberat anemia seperti: kecacingan, malaria dan penyakit TBC. Berdasarkan panduan yang dianjurkan oleh International Nutritional Anemia Consultative Group (INACG), penggunaan zat besi untuk suplementasi dalam mencegah dan menangani anemia defisiensi besi dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah ini: Tabel 4. Petunjuk untuk suplementasi zat besi yang dianjurkan/hari oleh INACG Group Dosis Anak-anak umur 2-5 tahun mg zat besi Anak-anak 6-11 tahun mg zat besi Remaja dan orang dewasa 60 mg zat besi Pada anak-anak usia 2-5 tahun berdasarkan dosis zat besi 2 mg/kg berat badan/hari. Jika kelompok populasi termasuk remaja atau wanita usia subur, harus menambahkan 400 µg asam folat bersamaan dengan suplementasi zat besi untuk mencegah kelainan kelahiran pada wanita yang nantinya akan mengalami kehamilan. Apabila di daerah tersebut merupakan endemik hookworm (prevalensi 20-30% atau lebih) akan lebih efektif bila mengkombinasikan suplementasi zat besi dengan penanganan antihelmintik baik terhadap orang dewasa maupun anakanak di atas umur lima tahun (Stoltzfus & Dreyfuss 1998). Dosis untuk penanganan antihelmintik yang dianjurkan dapat dilihat pada Tabel 5. Lama suplementasi pada remaja dapat dilakukan selama tiga bulan (Tee at al 1999; Haidar et al 2003) atau enam bulan (Viteri et al 1999; Sungthong et al 2002). Pemberian suplemen dapat dilakukan tiap hari, satu kali perminggu atau dua kali perminggu. Penelitian yang dilakukan terhadap remaja putri di Lima Peru menunjukkan bahwa pemberian suplemen tablet besi dua kali seminggu menunjukkan hasil peningkatan Hb yang tidak berbeda nyata dibandingkan

23 29 dengan yang diberikan tiap hari (Zavaleta et al 2000). Respon Hb terhadap suplementasi tablet besi terjadi pada saat konsumsi tablet besi ke-20 dan tidak berpengaruh setelah konsumsi tablet zat besi ke-40 (Ekstom 2001). Karena terdapat perbedaan pola suplementasi yaitu harian dan mingguan, maka pendekatan selain lama suplementasi dapat juga dilakukan berdasarkan jumlah kapsul yang diminum, harus lebih dari 20 tablet (Briawan 2008). Tabel 5. Dosis antihelmintik yang dianjurkan oleh INACG Antihelmintik Dosis Albendazole 400 mg dosis tunggal Mebendazole 500 mg dosis tunggal Levamisole 2,5 mg/kg bb dosis tunggal Pyrantel 10 mg/kg bb dosis tunggal Penanganan antihelmintik dapat diberikan pada ibu hamil dan ibu menyusui. Namun aturan secara umum tidak boleh memberikan obat pada trimester pertama Bila di daerah yang endemik schistosomiasis saluran kencing, penanganan tahunan untuk anak usia sekolah yang dilaporkan terdapat darah dalam urinnya maka dianjurkan untuk diberikan : Praziquantel 40 mg/kg bb dosis tunggal

membutuhkan zat-zat gizi lebih besar jumlahnya (Tolentino & Friedman 2007). Remaja putri pada usia tahun, secara normal akan mengalami

membutuhkan zat-zat gizi lebih besar jumlahnya (Tolentino & Friedman 2007). Remaja putri pada usia tahun, secara normal akan mengalami PENDAHULUAN Latar belakang Anemia zat besi di Indonesia masih menjadi salah satu masalah gizi dan merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian. Anemia zat besi akan berpengaruh pada ketahanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Zat besi Besi (Fe) adalah salah satu mineral zat gizi mikro esensial dalam kehidupan manusia. Tubuh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata Paham BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemahaman Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham yang artinya mengerti benar tentang sesuatu hal. Pemahaman merupakan tipe belajar yang lebih tinggi

Lebih terperinci

HUBUNGAN KADAR PROHEPSIDIN DENGAN STATUS BESI REMAJA PUTRI ANEMIA ROUSMALA DEWI

HUBUNGAN KADAR PROHEPSIDIN DENGAN STATUS BESI REMAJA PUTRI ANEMIA ROUSMALA DEWI HUBUNGAN KADAR PROHEPSIDIN DENGAN STATUS BESI REMAJA PUTRI ANEMIA ROUSMALA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

Metabolisme Besi dan Pembentukan Hemoglobin

Metabolisme Besi dan Pembentukan Hemoglobin Metabolisme Besi dan Pembentukan Hemoglobin a. Metabolisme besi Zat besi normal dikonsumsi 10-15 mg per hari. Sekitar 5-10% akan diserap dalam bentuk Fe 2+ di duodenum dan sebagian kecil di jejunum. Pada

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN, BESI DAN VITAMIN C DENGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI KELAS XI SMU NEGERI I NGAWI

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN, BESI DAN VITAMIN C DENGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI KELAS XI SMU NEGERI I NGAWI HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN, BESI DAN VITAMIN C DENGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI KELAS XI SMU NEGERI I NGAWI Skripsi ini ini Disusun untuk memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Gizi Disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan yang banyak dijumpai di berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia. Wanita muda memiliki risiko yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik yang cepat. Pertumbuhan yang cepat pada tubuh remaja membawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi mikro yang cukup serius dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia. Sebagian besar anemia di Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Status Gizi a. Definisi Status Gizi Staus gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin B 6 yang

BAB I PENDAHULUAN. gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin B 6 yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan dampak masalah gizi pada remaja putri. Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang berperan dalam pembentukan hemoglobin, dapat karena kekurangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan masalah gizi yang paling tinggi kejadiannya di dunia sekitar 500 juta

BAB I PENDAHULUAN. merupakan masalah gizi yang paling tinggi kejadiannya di dunia sekitar 500 juta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia secara klinis didefinisikan sebagai tidak cukupnya massa sel darah merah (hemoglobin) yang beredar di dalam tubuh. Anemia defisiensi zat besi merupakan masalah

Lebih terperinci

MAKALAH GIZI ZAT BESI

MAKALAH GIZI ZAT BESI MAKALAH GIZI ZAT BESI Di Buat Oleh: Nama : Prima Hendri Cahyono Kelas/ NIM : PJKR A/ 08601241031 Dosen Pembimbing : Erwin Setyo K, M,Kes FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman 39 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum SMK N 1 Sukoharjo 1. Keadaan Demografis SMK Negeri 1 Sukoharjo terletak di Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur.

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan suatu keadaan kadar hemoglobin di dalam darah kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur. Kriteria anemia berdasarkan WHO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung dengan baik, bayi tumbuh sehat sesuai yang diharapkan dan

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung dengan baik, bayi tumbuh sehat sesuai yang diharapkan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan suami istri. Setiap pasangan menginginkan kehamilan berlangsung dengan baik, bayi

Lebih terperinci

Satuan Acara Penyuluhan (SAP) Anemia

Satuan Acara Penyuluhan (SAP) Anemia Satuan Acara Penyuluhan (SAP) Anemia A. Topik : Sistem Hematologi B. Sub Topik : Anemia C. Tujuan Instruksional 1. Tujuan Umum : Setelah penyuluhan peserta diharapkan dapat mengtahui cara mengatasi terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang cukup untuk memenuhi tumbuh kembang janinnya. Saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia terutama negara berkembang yang diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia. Anemia banyak terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia pada remaja putri merupakan salah satu dampak masalah kekurangan gizi remaja putri. Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang berperan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan terganggu, menurunnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen dalam darah, yakni hemoglobin (Hb) dalam darah atau jumlahnya kurang dari kadar normal. Di Indonesia prevalensi anemia pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia. Anemia

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia. Anemia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia. Anemia bisa terjadi pada segala usia. Indonesia prevalensi anemia masih tinggi, insiden anemia 40,5% pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang relatif sangat bebas, termasuk untuk memilih jenis-jenis makanan

BAB I PENDAHULUAN. yang relatif sangat bebas, termasuk untuk memilih jenis-jenis makanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan suatu golongan dari suatu kelompok usia yang relatif sangat bebas, termasuk untuk memilih jenis-jenis makanan yang akan dikonsumsinya. Taraf kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang, termasuk. Riskesdas, prevalensi anemia di Indonesia pada tahun 2007 adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang, termasuk. Riskesdas, prevalensi anemia di Indonesia pada tahun 2007 adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anemia merupakan masalah gizi yang sering terjadi di dunia dengan populasi lebih dari 30%. 1 Anemia lebih sering terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disamping tiga masalah gizi lainya yaitu kurang energi protein (KEP), masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. disamping tiga masalah gizi lainya yaitu kurang energi protein (KEP), masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan satu dari empat masalah gizi yang ada di indonesia disamping tiga masalah gizi lainya yaitu kurang energi protein (KEP), masalah gangguan akibat kurangnya

Lebih terperinci

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut dibutuhkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anemia pada ibu hamil merupakan salah satu masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anemia pada ibu hamil merupakan salah satu masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia pada ibu hamil merupakan salah satu masalah yang sampai saat ini masih terdapat di Indonesia yang dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas ibu dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering

BAB I PENDAHULUAN. Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering terjadi pada semua kelompok umur di Indonesia, terutama terjadinya anemia defisiensi besi. Masalah anemia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anemia Gizi Besi Anemia gizi besi adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan cadangan besi dalam hati, sehingga jumlah hemoglobin darah menurun dibawah normal. Sebelum terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mencapai Indonesia Sehat dilakukan. pembangunan di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mencapai Indonesia Sehat dilakukan. pembangunan di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam rangka mencapai Indonesia Sehat 2010-2015 dilakukan pembangunan di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan bangsa. Pemerintah memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Prevalensi anemia di Indonesia cukup tinggi pada periode tahun 2012 mencapai 50-63% yang terjadi pada ibu hamil, survei yang dilakukan di Fakultas Kedokteran Indonesia,

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat ( Public Health Problem) adalah anemia gizi.

BAB 1 : PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat ( Public Health Problem) adalah anemia gizi. 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah gizi pada remaja dan dewasa yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat ( Public Health Problem) adalah anemia gizi. Prevalensi anemia di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia khususnya anemia defisiensi besi, yang cukup menonjol pada anak-anak sekolah khususnya remaja (Bakta, 2006).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan fisiknya dan perkembangan kecerdasannya juga terhambat.

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan fisiknya dan perkembangan kecerdasannya juga terhambat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan keadaan masa eritrosit dan masa hemoglobin yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh (Handayani, 2008). Anemia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terutama diperlukan dalam hematopoiesis (pembentukan darah) yaitu dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terutama diperlukan dalam hematopoiesis (pembentukan darah) yaitu dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Zat Besi 2.1.1. Fungsi Zat Besi Zat besi (Fe) merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, zat ini terutama diperlukan dalam hematopoiesis (pembentukan darah) yaitu dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan. Dalam periode kehamilan ini ibu membutuhkan asupan makanan sumber energi

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan. Dalam periode kehamilan ini ibu membutuhkan asupan makanan sumber energi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Periode Kehamilan merupakan masa dimulainya konsepsi (pembuahan) hingga permulaan persalinan. Ibu yang sedang hamil mengalami proses pertumbuhan yaitu pertumbuhan fetus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan suami istri. Masa kehamilan adalah suatu fase penting dalam pertumbuhan anak karena calon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi.

BAB I PENDAHULUAN. spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehamilan didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Pertumbuhan dan perkembangan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kelompok yang paling rawan dalam berbagai aspek, salah satunya terhadap

BAB 1 : PENDAHULUAN. kelompok yang paling rawan dalam berbagai aspek, salah satunya terhadap BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehamilan adalah suatu proses pembuahan dalam rangka melanjutkan keturunan sehingga menghasilkan janin yang tumbuh di dalam rahim seorang wanita (1). Di mana dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan,

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan, A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Gizi seimbang merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan, perkembangan, menurunkan produktifitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian Anemia Defisiensi Besi (ADB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian Anemia Defisiensi Besi (ADB) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan pustaka 1. Anemia Defisiensi Besi a. Pengertian Anemia Defisiensi Besi (ADB) Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas, istilah. pubertas digunakan untuk menyatakan perubahan biologis.

BAB I PENDAHULUAN. masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas, istilah. pubertas digunakan untuk menyatakan perubahan biologis. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas, istilah pubertas digunakan untuk menyatakan perubahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pekerja wanita usia subur (WUS) selama ini merupakan sumber daya manusia (SDM) yang utama di banyak industri, terutama industri pengolahan pangan yang pekerjaannya masih banyak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan juga didapatkan dari tradisi (Prasetyo, 2007).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan juga didapatkan dari tradisi (Prasetyo, 2007). 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Pengetahuan 1. Pengertian Pengetahuan Pengetahuan adalah segala sesuatu yang ada dikepala kita. Kita dapat mengetahui sesuatu berdasarkan pengalaman yang kita miliki.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu yang akhirnya akan

BAB I PENDAHULUAN. mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu yang akhirnya akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yang memiliki fisik tanggung, mental yang kuat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. adalah Timbal (Pb). Timbal merupakan logam berat yang banyak digunakan

PENDAHULUAN. adalah Timbal (Pb). Timbal merupakan logam berat yang banyak digunakan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah pencemaran lingkungan oleh logam berat cukup membahayakan kehidupan. Salah satu logam berbahaya yang menjadi bahan pencemar tersebut adalah Timbal (Pb). Timbal

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Paru merupakan port d entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Paru merupakan port d entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis Paru merupakan port d entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman M.tuberculosis dengan droplet nuclei akan terhirup dan mencapai alveolus akibat ukurannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Periode Kehamilan merupakan masa dimulainya konsepsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Periode Kehamilan merupakan masa dimulainya konsepsi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Periode Kehamilan merupakan masa dimulainya konsepsi (pembuahan) hingga permulaan persalinan. Dalam periode kehamilan ini ibu membutuhkan asupan makanan sumber

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Periode remaja adalah periode transisi dari anak - anak menuju dewasa, pada

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Periode remaja adalah periode transisi dari anak - anak menuju dewasa, pada BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Periode remaja adalah periode transisi dari anak - anak menuju dewasa, pada masa ini terjadi proses kehidupan menuju kematangan fisik dan perkembangan emosional antara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hepcidin merupakan hormon regulator kadar zat besi dalam tubuh,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hepcidin merupakan hormon regulator kadar zat besi dalam tubuh, BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hepcidin 2.1.1. Definisi Hepcidin merupakan hormon regulator kadar zat besi dalam tubuh, yang tersusun atas 25 asam amino peptida. Pertama kali ditemukan tahun 2000 sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anemia pada Remaja Putri Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu antara usia 12 sampai 21 tahun. Mengingat pengertian remaja menunjukkan ke masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan salah satu aset sumber daya manusia dimasa depan

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan salah satu aset sumber daya manusia dimasa depan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan salah satu aset sumber daya manusia dimasa depan yang perlu mendapat perhatian khusus. Adanya peningkatan dan perbaikan kualitas hidup anak merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan pada masa itu menjadi penyebab utama munculnya masalah gizi remaja

BAB I PENDAHULUAN. makanan pada masa itu menjadi penyebab utama munculnya masalah gizi remaja 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Upaya peningkatan status gizi untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas pada hakekatnya harus dimulai sedini mungkin, yakni sejak manusia itu masih berada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kualitas SDM yang dapat mempengaruhi peningkatan angka kematian. sekolah dan produktivitas adalah anemia defisiensi besi

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kualitas SDM yang dapat mempengaruhi peningkatan angka kematian. sekolah dan produktivitas adalah anemia defisiensi besi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik dan mental yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KEPATUHAN 1. Defenisi Kepatuhan Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau kesehatan. Dengan menggambarkanpenggunaan obat sesuai petunjuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Orang dengan paparan timbal mempunyai kecenderungan lebih besar untuk menjadi anemia dibandingkan dengan orang yang tidak terpapar timbal. Padahal anemia sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Anemia Gizi Besi (AGB) masih menjadi masalah gizi yang utama di Indonesia. Anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah sel darah merah atau penurunan konsentrasi

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kurang vitamin A, Gangguan Akibat kurang Iodium (GAKI) dan kurang besi

BAB 1 : PENDAHULUAN. kurang vitamin A, Gangguan Akibat kurang Iodium (GAKI) dan kurang besi BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia karena defisiensi besi merupakan kelainan gizi yang paling sering ditemukan di dunia dan menjadi masalah kesehatan masyarakat. Saat ini diperkirakan kurang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejak konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan (Manuabaet al., 2012).

BAB I PENDAHULUAN. sejak konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan (Manuabaet al., 2012). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehamilan adalah pertumbuhan dan perkembangan janin intrauteri mulai sejak konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan (Manuabaet al., 2012). Selama proses kehamilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi ketika kadar hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah dari batas normal kelompok orang yang

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi ketika kadar hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah dari batas normal kelompok orang yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Anemia adalah suatu kondisi ketika kadar hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah dari batas normal kelompok orang yang bersangkutan. Hemoglobin merupakan protein berpigmen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anemia Anemia secara praktis didefenisikan sebagai kadar Ht, konsentrasi Hb, atau hitung eritrosit di bawah batas normal. Namun, nilai normal yang akurat untuk ibu hamil sulit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anemia 1. Definisi Anemia Menurut WHO, anemia gizi besi didefinisikan suatu keadaan dimana kadar Hb dalam darah hemotokrit atau jumlah eritrosit lebih rendah dari normal sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan suatu kondisi konsentrasi hemoglobin kurang dari

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan suatu kondisi konsentrasi hemoglobin kurang dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia merupakan suatu kondisi konsentrasi hemoglobin kurang dari normal, anemia merefleksikan eritrosit yang kurang dari normal di dalam sirkulasi dan anemia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan. perkembangan kecerdasan, menurunkan produktivitas kerja, dan

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan. perkembangan kecerdasan, menurunkan produktivitas kerja, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan

Lebih terperinci

NAMA : UMUR : KELAS : No. Telpon : Alamat lengkap : Untuk pertanyaan di bawah ini, beri tanda X untuk jawaban yang kamu pilih

NAMA : UMUR : KELAS : No. Telpon : Alamat lengkap : Untuk pertanyaan di bawah ini, beri tanda X untuk jawaban yang kamu pilih Lampiran Kuesioner NAMA : UMUR : KELAS : No. Telpon : Alamat lengkap : Untuk pertanyaan di bawah ini, beri tanda X untuk jawaban yang kamu pilih PENGETAHUAN MENGENAI ANEMIA 1. Menurut kamu apakah itu anemia?

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I PENDAHULUAN. 1 P a g e BAB I PENDAHULUAN Anemia adalah kondisi medis dimana jumlah sel darah merah atau hemoglobin kurang dari normal. Tingkat normal dari hemoglobin umumnya berbeda pada laki-laki dan wanita-wanita. Untuk laki-laki,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Motivasi 1. Defenisi motivasi Istilah motivasi berasal dari bahasa latin, yakni movere yang berarti menggerakan (Winardi, 2007). Swanburg 2002 mendefenisikan motivasi sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. repository.unimus.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. repository.unimus.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat terbesar di dunia terutama bagi kelompok Ibu hamil. Penyebab paling umum dari anemia pada kehamilan adalah kekurangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia terutama di negara

BAB 1 PENDAHULUAN. yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia terutama di negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anemia defisiensi besi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia terutama di negara berkembang dan negara miskin,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan pertumbuhan fisik yang tidak optimal dan penurunan perkembangan. berakibat tingginya angka kesakitan dan kematian.

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan pertumbuhan fisik yang tidak optimal dan penurunan perkembangan. berakibat tingginya angka kesakitan dan kematian. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Gizi adalah satu faktor yang menentukan kualitas sumber daya manusia. Kebutuhan gizi yang tidak tercukupi, baik zat gizi makro dan zat gizi mikro dapat menyebabkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Menyusui merupakan aspek yang sangat penting untuk kelangsungan hidup bayi guna mencapai tumbuh kembang bayi atau anak yang optimal. Sejak lahir bayi hanya diberikan ASI hingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2)

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepatuhan 1. Pengertian Kepatuhan Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau kesehatan dan menggambarkan penggunaan obat sesuai dengan

Lebih terperinci

Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat.

Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. PROTEIN Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Sebagai zat pembangun, protein merupakan bahan pembentuk jaringanjaringan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. usia subur. Perdarahan menstruasi adalah pemicu paling umum. kekurangan zat besi yang dialami wanita.meski keluarnya darah saat

BAB I PENDAHULUAN. usia subur. Perdarahan menstruasi adalah pemicu paling umum. kekurangan zat besi yang dialami wanita.meski keluarnya darah saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah gizi di Indonesia masih banyak ditemukan, baik masalah akibat kekurangan zat gizi maupun akibat kelebihan zat gizi. Masalah gizi akibat kekurangan zat gizi diantaranya

Lebih terperinci

Keywords : Long Bean Leaves, Haemoglobin, Pregnancy Second Trimester

Keywords : Long Bean Leaves, Haemoglobin, Pregnancy Second Trimester PENGARUH KONSUMSI DAUN KACANG PANJANG TERHADAP PENINGKATAN KADAR HEMOGLOBIN PADA IBU HAMIL TM II DENGAN ANEMIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS POLANHARJO KABUPATEN KLATEN Dewi Andang Prastika, Onny Setiani,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Asupan Gizi Ibu Hamil 1. Kebutuhan Gizi Gizi adalah suatu proses penggunaan makanan yang dikonsumsi secara normal oleh suatu organisme melalui proses digesti, absorbsi, transportasi,

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan jumlah sel darah merah dibawah nilai normal yang dipatok untuk perorangan.

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan jumlah sel darah merah dibawah nilai normal yang dipatok untuk perorangan. BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan keadaan menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah sel darah merah dibawah nilai normal yang dipatok untuk perorangan. Sedangkan anemia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia. Masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia. Masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) merupakan masalah kesehatan masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia. Masalah yang ditimbulkan cukup serius dengan spektrum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kadar Hemoglobin Kadar hemoglobin adalah ukuran pigmen respiratorik dalam butiranbutiran darah merah. Jumlah hemoglobin dalam darah normal adalah kirakira 15gr setiap 100 ml

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hemoglobin Hemoglobin adalah pigmen yang terdapat didalam eritrosit,terdiri dari persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein yang disebut globin,dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Visi baru pembangunan kesehatan direfleksikan dalam bentuk motto yang berbunyi Indonesia Sehat 2010. Tahun 2010 dipilih dengan pertimbangan bahwa satu dasawarsa merupakan

Lebih terperinci

Masa nifas adalah masa dimulai beberapa jam sesudah lahirnya plasenta sampai 6 minggu setelah melahirkan (Pusdiknakes, 2003:003). Masa nifas dimulai

Masa nifas adalah masa dimulai beberapa jam sesudah lahirnya plasenta sampai 6 minggu setelah melahirkan (Pusdiknakes, 2003:003). Masa nifas dimulai Masa nifas adalah masa dimulai beberapa jam sesudah lahirnya plasenta sampai 6 minggu setelah melahirkan (Pusdiknakes, 2003:003). Masa nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat secara global baik di negara berkembang maupun negara maju. Anemia terjadi pada semua tahap siklus kehidupan dan termasuk

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia yang tidak hanya terjadi di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penderita anemia diperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Remaja adalah tahapan umur yang datang setelah masa anak anak

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Remaja adalah tahapan umur yang datang setelah masa anak anak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan tahap seseorang mengalami masa transisi menuju dewasa. Remaja adalah tahapan umur yang datang setelah masa anak anak berakhir. Hal ini ditandai dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil Pengertian Anemia Klasifikasi anemia

TINJAUAN PUSTAKA Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil Pengertian Anemia Klasifikasi anemia 4 TINJAUAN PUSTAKA Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil Kehamilan merupakan hal yang diharapkan oleh setiap calon ibu. Namun pada kenyataannya ibu hamil merupakan salah satu kelompok yang paling rawan terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Manusia dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya seharihari.

BAB 1 PENDAHULUAN. Manusia dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya seharihari. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya seharihari. Pada lingkungan yang kadar logam beratnya cukup tinggi, kontaminasi dalam makanan, air, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi

BAB I PENDAHULUAN. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anti nyamuk merupakan benda yang sudah tak asing lagi bagi kita. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi gigitan nyamuk. Jenis formula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11)

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11) anemia. (14) Remaja putri berisiko anemia lebih besar daripada remaja putra, karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia adalah keadaan dimana jumlah eritrosit dalam darah kurang dari yang dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian yang dilakukan oleh WHO (2013). Di Indonesia sendiri, didapatkan bahwa anemia pada balita cukup tinggi yaitu 28%.

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian yang dilakukan oleh WHO (2013). Di Indonesia sendiri, didapatkan bahwa anemia pada balita cukup tinggi yaitu 28%. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia kini menjadi masalah kesehatan serius yang terjadi di hampir seluruh Negara di dunia, baik di Negara yang tergolong berkembang maupun yang tergolong ke dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Suharno, 1993). Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2008, diketahui bahwa

BAB I PENDAHULUAN. (Suharno, 1993). Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2008, diketahui bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia yang berakibat buruk bagi penderita terutama golongan rawan gizi yaitu anak balita, anak sekolah, remaja, ibu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional.konsep pembangunan nasional harus berwawasan kesehatan, yaitu pembangunan yang telah memperhitungkan

Lebih terperinci

BIOKIMIA NUTRISI. : PENDAHULUAN (Haryati)

BIOKIMIA NUTRISI. : PENDAHULUAN (Haryati) BIOKIMIA NUTRISI Minggu I : PENDAHULUAN (Haryati) - Informasi kontrak dan rencana pembelajaran - Pengertian ilmu biokimia dan biokimia nutrisi -Tujuan mempelajari ilmu biokimia - Keterkaitan tentang mata

Lebih terperinci

Penting Untuk Ibu Hamil Dan Menyusui

Penting Untuk Ibu Hamil Dan Menyusui Penting Untuk Ibu Hamil Dan Menyusui 1 / 11 Gizi Seimbang Untuk Ibu Hamil Dan Menyusui Perubahan Berat Badan - IMT normal 18,25-25 tambah : 11, 5-16 kg - IMT underweight < 18,5 tambah : 12,5-18 kg - IMT

Lebih terperinci