KARTEL LAYANAN PESAN SINGKAT (SMS off-net Antar Operator) SEBAGAI BAGIAN PRAKTEK PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. Oleh. Ikarini Dani Widiyanti,SH,MH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KARTEL LAYANAN PESAN SINGKAT (SMS off-net Antar Operator) SEBAGAI BAGIAN PRAKTEK PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. Oleh. Ikarini Dani Widiyanti,SH,MH"

Transkripsi

1 KARTEL LAYANAN PESAN SINGKAT (SMS off-net Antar Operator) SEBAGAI BAGIAN PRAKTEK PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh. Ikarini Dani Widiyanti,SH,MH I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah selesai melakukan pemeriksaan dan telah menetapkan putusan terhadap perkara No. 26/KPPU-L/2007 yaitu dugaan pelanggaran terhadap Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999). Dugaan pelanggaran tersebut adalah penetapan harga SMS off-net (short message service antar operator) yang dilakukan oleh para operator penyelenggara jasa telekomunikasi pada periode 2004 sampai dengan 1 April 2008 Majelis komisi yang menangani perkara ini terdiri dari Ir. Dedie S. Martadisastra (Ketua), Erwin Syahril, S.H., dan Ir. M. Nawir Messi, M.Sc, masingmasing sebagai anggota. Hasilnya, PT Excelkomindo Pratama, Tbk., PT Telekomunikasi Selular, PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk., PT Bakrie Telecom, PT Mobile-8 Telecom, Tbk., PT Smart Telecom terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 UU No 5/1999 dan dihukum untuk membayar denda dengan besaran yang telah ditentukan, yaitu Rp milyar. Perkara ini muncul setelah KPPU menerima laporan tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap UU No. 5/1999 berkaitan dengan penetapan harga SMS off-net. Pelanggaran tersebut dilakukan oleh PT Excelkomindo Pratama, Tbk (Terlapor I), PT Telekomunikasi Selular (Terlapor II), PT Indosat, Tbk (Terlapor III), PT Telkom, Tbk (Terlapor IV), PT Huchison CP Telecommunication (Terlapor V), PT Bakrie Telecom (Terlapor VI), PT Mobile-8 Telecom (Terlapor VII), Tbk, PT Smart Telecom (Terlapor VIII), dan PT Natrindo Telepon Seluler (Terlapor IX). Pemeriksaan Pendahuluan telah dilakukan pada tanggal 2 November Desember 2007, dilanjutkan Pemeriksaan Lanjutan sampai dengan 26 Maret 2008, dengan Ir. Dedie S. Martadisastra sebagai Ketua Tim Pemeriksa, Erwin Syahril, S.H., dan Dr. Sukarmi, S.H, MH masing-masing sebagai anggota Tim Pemeriksa. Melalui proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa KPPU, diperoleh fakta-fakta antara lain:

2 Pada periode hanya terdapat tiga operator telekomunikasi seluler di Indonesia dan berlaku satu tarif SMS sebesar Rp 350,-. Namun demikian tidak ditemukan adanya kartel diantara operator pada saat itu karena tarif yang terbentuk terjadi karena struktur pasar yang oligopoli. Pada periode industri telekomunikasi seluler ditandai dengan masuknya beberapa operator baru dan mewarnai situasi persaingan harga. Namun demikian harga SMS yang berlaku untuk layanan SMS off-net hanya berkisar pada Rp ,-. Pada periode ini Tim Pemeriksa menemukan beberapa klausula penetapan harga SMS yang tidak boleh lebih rendah dari Rp 250,- dimasukkan ke dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) Interkoneksi antara operator sebagaimana tertera dalam Matrix Klausula Penetapan Tarif SMS dalam PKS Interkoneksi. Pada bulan Juni 2007, berdasarkan hasil pertemuan BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) dengan Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI), ATSI mengeluarkan surat untuk meminta kepada seluruh anggotanya untuk membatalkan kesepakatan harga SMS yang kemudian ditindaklanjuti oleh para operator. Namun demikian Tim Pemeriksa melihat tidak terdapat perubahan harga SMS off-net yang signifikan di pasar. Pada periode 2007 sampai sekarang, dengan harga yang tidak berubah Tim Pemeriksa menilai kartel harga SMS masih efektif terjadi sampai dengan April 2008 ketika terjadi penurunan tarif dasar SMS off-net di pasar. Matrix Klausula Penetapan Tarif SMS dalam PKS Interkoneksi Matrix Klausula Penetapan Tarif SMS dalam PKS Interkoneksi Operator XL Telkomse l Indosa t Telko m Hutchinso n Bakrie Mobile -8 Smart NTS ST I XL (2005) (2004) (2003) (2006) (2001) - Telkomsel - - (2002) - (2004) - (2007) (2001) - Indosat Telkom - (2002) Hutchinso n (2005)

3 Bakrie (2004) (2004) Mobile-8 (2003) Smart (2006) (2007) NTS (2001) (2001) STI Sumber :KPPU Berdasarkan fakta-fakta hasil pemeriksaan tersebut Majelis Komisi kemudian melihat terdapat kerugian konsumen yang dihitung berdasarkan selisih penerimaan harga kartel dengan penerimaan harga kompetitif SMS off-net setidak-tidaknya sebesar Rp ,- dengan perincian masing-masing operator sebagai berikut: Tabel Perhitungan Kerugian Konsumen Berdasarkan Proporsi Pangsa Pasar Operator Pelaku (dalam Milyar Rupiah) Tahun Telkomsel XL M-8 Telkom Bakrie Smart Total ,8 53,4 2,6 12,2 5,8 385, ,3 62,4 10,2 30,6 7,8 557, ,5 93,7 15,9 59,3 17,5 801, ,4 136,4 23,6 71,2 31,8 0, ,5 Total 2.193,1 346,0 52,3 173,3 62,9 0, ,7 Sumber: KPPU

4 Dengan demikian telah jelas bahwa enam operator telekomunikasi terbukti melakukan kartel layanan pesan singkat yang merugikan konsumen sebesar Rp. 2,87 triliun dalam kurun waktu mulai tahun Menurut Ketua majelis Komisi KPPU Deddi S. Mardjana keenam operator yaitu Telkomsel, XL, Mobile -8, Telkom, Bakrie Telecom, dan Smart telah membuat perjanjian tertulis yang mengakibatkan terjadinya kartel SMS. 2 Perjanjian tersebut dibuat akibat Pemerintah tidak mengatur penghitungan tarif SMS sehingga mereka melakukan self regulatory.tiga operator lain, yaitu Indosat, Hutchinson(3) dan Natrindo (Axis) sempat ikut dalam perjanjian tersebut tetapi tidak melaksanakan kesepakatan dalam perjanjian tersebut sedangkan Bakrie Telecom(Esia), Mobile8(Fren) dan Smart Telecom sebagai pemain baru dalam bisnis telekomunikasi, terpaksa mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh operator terdahulu. 3 Meski perjanjian tersebut akhirnya dibatalkan dan Pemerintah menurunkan tarif interkoneksi, tidak terjadi penurunan tarif SMS secara signifikan.artinya, kartel tetap terjadi. Padahal, pada Bulan Juli 2007 Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) telah meminta semua oparator membatalkan seluruh perjanjian itu. Berdasarkan perhitungan KPPU, tarif SMS yang kompetitif seharusnya RP 114 per kirim. Rinciannya, tarif originasi Rp 38, biaya RSAC (retail service activities cost) 40 persen dari biaya interkoneksi ditambah margin keuntungan 10 persen.akibat selesih tarif kompetitif (Rp 114) dengan tarif perjanjian (Rp 250), selama tiga tahun konsumen dirugian RP 2,827 Triliun. Atas dasar hal tersebut KPPU kemudian menghukum keenam operator tersebut berdasar tingkat kesalahannya. Telkomsel didenda Rp 25 miliar, XL Rp 25 miliar, Telkom Rp 18 miliar, Bakrie Rp 4 miliar dan Mobile8 Rp 5 miliar. Denda tersebut harus disetor ke kas negara. Sementara Smart tidak terkena denda karena sebagai pemain baru, perusahaan tersebut mempunyai posisi tawar yang paling lemah. Terhadap putusan tersebut kuasa hukum keenam operator tersebut masih menyatakan pikir-pikir. Persoalan kartel SMS tersebut menjadi menarik untuk dibahas karena dalam UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat bentuk pelarangan tertera dalam pasal 11 adalah Rule of Reason tidak 1 Jawa Pos Kamis 19 Juni Hal ini tercantum dalam PKS (Perjanjian kerja sama) interkoneksi yang dilakukan operatorxl dan Telkomsel yang kemudian diikuti oleh oparator lain. 3 Penilaian majelis komisi KPPU

5 tegas. 4 Prinsip Rule of Reason adalah melihat seberapa jauh hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya pengekangan persaingan pasar atau dengan kata lain apabila tidak mengakibatkan adanya indikasi kerugian bagi pasar dan pelaku pasar maka tindakan tersebut tidak dilarang. 5 Hal inilah yang kemudian menggulirkan adanya persoalan baru di bidang persaingan usaha karena sebuah tindakan dapat dianggap mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat setelah ditemukan adanya dampak negatif yang dalam hal ini berupa kerugian konsumen. Artinya tidak ada upaya perlindungan preventif terhadap tindakan pelaku usaha yang sejak awal telah dimungkinkan akan memunculkan kemungkinan kerugian bagi konsumen.padahal apabila kita runut kebelakang, kartel sebagai bentuk kerjasama yang dilakukan oleh produsen produk tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produk mereka sendiri termnasuk penjualan serta harga, dapat mengakibatkan monopoli terhadap komoditas atau produk industri tertentu dan mengenai pembentukan kartel ini telah lama dilarang sejak Adam Smith mengemukakan Teori tentang Pasar Bebas. 1.2 Permasalahan Persoalan kartel SMS terkait dengan adanya perjanjian bersama antar pelaku usaha di bidang Telekomunikasi untuk menetapkan harga secara horizontal (Horizontal Price Fixing). Perjanjian penetapan harga umum untuk produk barang dan jasa yang sama dan diberlakukan pada pasar bersangkutan yang sama salam hal ini di bidang SMS off net antar Operator sangat potensial melahirkan persoalan yuridis. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah kriteria suatu perjanjian dapat dikategorikan sebagai kartel menurut UU No 5 Tahun 1999? 2. Bagaimanakah seharusnya pengaturan tentang kartel dalam UU No 5 Tahun 1999? 4 Bentuk pelarangan Rule of Reason tidak tegas dapat dilihat dengan dipergunakannya katakata dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat 5 Munir Fuady, Hukum Antimonopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, h.13

6 II PEMBAHASAN Kriteria Perjanjian yang Dapat Dikategorikan Sebagai Kartel Menurut UU No 5 Tahun 1999 Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 6 Adapun syarat sah dari sebuah perjanjian adalah : 1. sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu; 4. suatu sebab yang halal. 7 Kartel (dalam bahasa Inggris disebut cartel ) adalah suatu kerja sama dari produsen-produsen produk tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan dan harga dan untuk melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu. 8 Ada juga yang mengartikan kartel sebagai suatu asosiasi berdasarkan suatu kontrak di antara perusahaan yang mempunyai kepentingan yang sama, yang dirancang untuk mencegah adanya suatu kompetisi yang tajam dan untuk mengalokasi pasar serta untuk mempromosikan pertukaran pengetahuan hasil dari riset tertentu, mempertukarkan hak paten dan standardisasi produk tertentu. 9 Biasanya melalui kartel ini, anggota katel tersebut dapat menetapkan harga atau syarat-syarat perdagangan lainnya untuk mengekang suatu persaingan sehingga hal ini dapat menguntungkan para anggota kartel yang bersangkutan. Aspek yang destruktif lainnya dari kartel adalah bahwa kartel dapat mengontrol atau mengekang masuknya pesaing baru dalam bisnis yang bersangkutan.pada kasus kartel layanan pesan singkat yang dilakukan oleh para Terlapor adalah berupa kerjasama penetapan harga ( Horzontal price fixing) SMS off net shore atau tarif SMS antar Operator. 6 Bunyi Pasal 1313 KUH Perdata tentang pengertian Perjanjian 7 Bunyi Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sah perjanjian 8 Black, Henry Campbel, Black LawDictionary, 6 thn Ed West Publishing Co. St Paul-Minn, USA, h Ibid

7 Adapun bunyi pasal 5 ayat 1 UU No 5 tahun 1999 adalah sebagai berikut : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang bersangkutan yang sama. Pasal 5 ayat 1 UU No 5 Tahun 1999 menentukan larangan secara menyeluruh terhadap perjanjian penetapan harga secara horizontal serta adanya kartel harga yang telah lama dikenal. Artinya perjanjian penetapan harga sangat dimungkinkan dilakukan oleh kelompok pelaku usaha untuk melindungi kepentingan kelompok pelaku usaha tersebut (Kartel). Namun yang akan merasakan dampak kerugian secara langsung akibat adanya kartel penetapan harga tersebut adalah konsumen. Apabila di dalam pasar tercipta persaingan sehat maka harga akan ditentukan oleh permintaan dan penawaran dan bukan atas dasar kesepakatan para produsen atau pelaku usaha. Perjanjian untuk membentuk kartel juga tidak dibenarkan oleh pasal 11 UU No 5 Tahun Pasal 11 tersebut selengkapnya menyatakan sebagai berikut : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Dengan demikian, agar suatu perjanjian kartel dapat dikenakan larangan menurut Pasal 11 UU No 5 Tahun 1999, haruslah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 1) Adanya suatu perjanjian 2) Perjanjian tersebut dilakukan dengan pelaku usaha pesaing 3) Tujuannya untuk mempengaruhi harga 4) Tindakan untuk mempengaruhi harga dilakukan dengan jalan mengatur produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa tertentu 5) Tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan curang. Apabila kita telaah kasus Kartel SMS yang dilakukan oleh keenam operator yang telah diputuskan bersalah oleh KPPU maka kita dapat melihat apakah kriteria atau unsur dalam pasal 11 telah terpenuhi sehingga perjanjian tersebut layak dibatalkan karena termasuk dalam kategori perjanjian yang dilarang. Menurut KUH perdata suatu perjanjian haruslah:

8 1) Mempunyai kausa yang diperbolehkan 2) Tidak bertentangan dengan ketertiban umum 3) Dilakukan dengan itikat baik 4) Sesuai dengan asas-asas kepatutan 5) Sesuai dengan kebiasaan 10 Satu hal yang menonjol dalam perjanjian kartel adalah ketiadaan itikat baik para pendiri kartel terhadap pihak ketiga dalam hal ini adalah konsumen. Hal ini terbukti bahwa akibat dari adanya kartel tersebut, keenam operator mendapat keuntungan dari penentuan harga SMS yang berakibat konsumen dirugikan senilai Rp 2,87 triliun.pemain baru dalam bisnis Telekomunikasi mau tidak mau juga harus mengikuti perjanjian kartel tersebut karena mereka mempunyai posisi tawar yang lemah.berdasarkan data YLKI pengguna telpon mobile, mengalami peningkatan dari 32,4 juta pada tahun 2004 menjadi 46,9 juta pada Tahun 2005, 63,8 juta pada tahun 2006 dan 96,41 juta pada 2007.Sedangkan kerugian yang harus diterima konsumen dalam rentang waktu adalah bagi pengguna Telkomsel, potensi kerugiaj Rp 2,193 triliun, Exelcom(XL) Rp 346 miliar, Telkom Rp 173,3 miliar, Bakrie Telecom(Esia) Rp 62,9 miliar, Mobile-8 (Fren) Rp 52,3 miliar san Smart Telecom Rp 0,1 miliar. 11 Selain keenam operator yang melakukan perjanjian kartel tersebut, ada 3(tiga) operator lain yaitu Indosat, Hutchinson (3) dan Natrindo(Axis) yang keluar dari perjanjian kartel tersebut.. Apabila kita lihat potensi kerugian yang disandang oleh konsumen akibat adanya Kartel SMS, tidak dapat diprediksi pula seberapa besar kerugian yang harus diterima oleh operator yang tidak termasuk dalam kartel. Logikanya, apabila harga telah dipengaruhi oleh pasar terbesar, maka ketiga operator yang bukan anggota kartel tidak dapat bersaing secara sehat dengan anggota kartel.keuntungan yang mereka peroleh dalam layanan SMS tidak akan sebesar yang diterima oleh anggota kartel. UU No 5 Tahun 1999 mengambil landasan kepada suatu Demokrasi Ekonomi berdasarkan Pancasila dan UUD Kristalisasinya adalah berupa menjaga keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan umum, dengan tujuan untuk : 10 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti,Bandung,2005, h Jawa Pos20 Juni 2008

9 1) Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi serta lmelindungi konsumen 2) Menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat dan menjamin kepastrian kesemopatan berusaha yang sama bagi setiap orang 3) Mencegah praktek-praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha 4) Menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejateraan rakyat Perjanjian kartel SMS dalam bentuk penetapan harga SMS off net Shore antar operator patut dilarang karena perjanjian tersebut selain bertentangan dengan kepatutan dan merugikan kepentingan konsumen juga berpotensi menimbulkan persaingan usaha tidak sehat serta inefisiensi ekonomi nasional di bidang telekomunikasi nasional yang telah mengakibatkan kerugian konsumen sebesar Rp 2,87 triliun. Pengaturan Kartel dalam UU No 5 Tahun 1999 Seringkali suatu industri hanya mempunyai beberapa pemain yang mendominasi pasar. Keadaan demikian dapat mendorong mereka untuk mengambil tindakan bersama dengan tujuan untuk memperkuat kekuatan mereka dan mempertinggi keuntungan. Ini akan mendorong mereka untuk membatasi tingkat produksi maupun harga melalui kesepakatan bersama di antara mereka.kesemuanya dimaksudkan untuk menghindari terjadinya persaingan yang merugikan mereka sendiri. Kalau berpegang pada teori monopoli, suatu kelompok industri yang mempunyai kedudukan oligopolis akan mendapat keuntungan yang maksimal bila mereka secara bersama. Dalam praktiknya, kedudukan oligopolis ini diwujudkan melalui apa yang disebut asosiasi-asosiasi. Melaui asosiasi ini mereka dapat mengadakan kesepakatan bersama mengenai tingkat produksi, tingkat harga, wilayah pemasaran dan sebagainya, yang kemudian melahirkan

10 kartel, yang dapat pula mengakibatkan terciptanya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 12 Larangan pembentukan perjanjian Kartel yang terdapat dalam pasal 11 UU No 5 Tahun 1999 tidak banyak terpengaruh dari ketentuan Hukum Barat. Di Amerika Serikat, Australia dan Uni Eropa, kartel dianggap sebagai per se illegal.di Amerika Serikat, sebagaimana price fixing, kartel dianggap sebagai naked restraint yang mempunyai tujuan tunggal untuk mempengaruhi tingkat harga dan output.oleh karena itu wajar apabila Section 1 thesherman Act memperlakukannya sebagai per se illegal. Artinya perjanjian kartel itu sendiri yang dilarang tanpa melihat kewajaran tingkat harga yang disepakati, dan tanpa melihat market power para pihak, bahkan tanpa melihat apakah perjanjian kartel tersebut sudah dilaksanakan atau belum. Negara Australia dengan Section 45 jo 4D(1) dan 45A(1)dari The Trade Practices Act 1974 juga mengkategorikan kartel sebagai per se illegal. Begitu juga dengan Uni Eropa dengan Article 45 dari The Treaty of Rome. 13 Alasan negara-negara Barat menganggap kartel sebagai per se illegal terletak pada kenyataan bahwa price fixing dan perbuatan kartel yang lain benar-benar mempunyai dampak negatif terhadap harga dan output jika dibandingkan dengan dampak pasar yang kompetitif. Sedangkan kartel jarang melahirkan efisiensi atau efisiensi yang dihasilan sangat kecil dibandingkan dengan dampak negatif dari tindakan-tindakannya. Suatu kartel yang berhasil akan mengeluarkan keputusan tentang harga dan output seperti layaknya sebuah perusahaan tunggal yang memonopoli. Akibatnya, pertama kartel mendapatkan keuntungan monopoli dari para konsumen yang terus menerus membeli barang dan jasa dengan harga kartel, dan kedua, terjadi penempatan sumber secara salah yang diakibatkan oleh pengurangan output karena para konsumen seharusnya membeli dengan harga yang kompetitif, selain terbuangnya sumber daya untuk mempertahankan keberadaan kartel itu sendiri. 14 Pada sisi lain, kartel juga dapat memberikan keuntungan.oleh karena itu, keberadaan dan tumbuh kembangnya diperbolehkan sepanjang hal 12 Agus Sardjono, Pentingnya Sistem Persaingan Usaha Yang Sehat dalam Upaya Memperbaiki Sistem Perekonomian:,Newsletter No 34 Tahun IX, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum,Jakarta,1998, h Ayudha D Prayoga, Persaingan Usaha Dan Hukum Yang mengaturnya Proyek ELLIPS, Jakarta,2000, h Ibid ini

11 memberikan keuntungan bagi masyarakat.selain itu kartel juga dapat membentuk stabilitas dan kepastian tingkat produksi, tingkat harga dan wilayah pemasaran (yang sama) di antara para pelaku usaha yang tergabung dalam suatu asosiasi tertentu yang dapat mengakibatkan pasar menjadi tidak kompetitif. 15 Kalau kita perhatikan bunyi ketentuan pasal 11 UU No 5 Tahun 1999 perjanjian kartel yang dilarang adalah perjanjian tingkat produksi, tingkat harga dan atau wilayah pemasaran atas suatu barang, jasa atau barang dan jasa yang dapat berdampak pada terciptanya monopolisasi dan atau persaingan usaha tidak sehat dengan pelaku usaha saingannya. Larangan yang terdapat dalam Pasal 11 tersebut tidak mengkategorikan kartel sebagai per se illegal, sebab kartel masih dimungkinkan sepanjang tidak menimbulkan praktik monopolisasi dan atau persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat dan konsumen. Indonesia sependapat dengan jepang yang mensyaratkan adanya substansial restraint of competition yang contrary to the public interest di dalam larangan terhadap kartel. Perjanjian kartel baru illegal apabila dipraktikkan dan ternyata mengurangi persaingan secara substansial. Namun the Fair Trade Commision di Jepang telah mengambil jalan tengah dengan mengambil tindakan ketika peserta kartel telah melakukan langkah-langkah awal untuk melaksanakan perjanjian kartel. Dengan begitu telah dibuat suatu anggapan, begitu peserta mulai melaksanakan kartel, kartel itu pasti mengurangi persaingan secara substansial seandainya tidak diberhentikan atau tidak dilarang. 16 Penulis berpendapat, untuk kepentingan perlindungan hukum bagi konsumen dan mencegah terbentuknya kartel-kartel lain dibelakang hari, perlu adanya perubahan prinsip pelarangan yang semula rule of reason menjadi per se illegal.mengingat keberadaan asosiasi dagang (Trade Association) selaku pembentuk kartel akan menjadi sebuah ancaman serius apabila kesepakatan yang dibuat tersebut ditujukan untuk mengatur harga, karena hal tersebut akan otomatis menghambat terjadinya suatu persaingan usaha yang sehat.pendekatan rule of reason dan per se illegal merupakan model untuk menilai apakah perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha yang lain bertentangan dengan ketentuan undang-undang. 15 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,2004, h Ayudha D. Prayoga, op.cit h.84

12 Yahya Harahap mengatakan bahwa pendekatan per se illegal artinya sejak semula dinyatakan tidak sah, oleh karenanya perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum.selanjutnya dikatakan, bahwa suatu perbuatan itu dengan sendirinya telah melanggar ketentuan yang sudah di atur, jika perbuatan telah memenuhi rumusan dalam undang-undang persaingan usaha tanpa ada suatu pembuktian. 17 Sebagai bahan perbandingan di Amerika Serikat salah satu kasus yang muncul dan terkait dengan kartel adalah Kasus United States vs Missouri Freight Assosiation yang menggunakan pendekatan secara per se illegal. 18 Dalam kasus ini, tujuan dibentuknya asosiasi adalah untuk melindungi para anggota asosiasi dengan cara menetapkan tarif angkutan kerta api yang layak dan adil. Pemerintah Amerika Serikat akhirnya menggugat asosasi, baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri. Gugatan yang diajukan oleh Pemerintah Amerika(sebagai penggugat) ditolak oleh Tergugat (asosiasi kereta api) dengan alasan, bahwa tujuan dibentuknya asosiasi adalah untuk menetapkan tarif kereta api yang rasional sesuai dengan peraturan angkutan pada umumnya. Pihak Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam putusannya menetapkan bahwa perjanjian di antara para anggota asosiasi untuk menetapkan tarif angkutan kerta api dianggap secara per se illegal telah melanggar Pasal 1 Tyhe Sherman Act 1890 dan karenanya putusan MA tersebut harus segera dilaksanakan yaitu membubarkan asosiasi perusahaan angkutan kereta api. Keberadaan asosiasi yang bertujusan untuk saling melindungi para anggotanya dan dalam rangka harmonisasi rute perjalanan kereta api merupakan perwujudan adanya kartel. Kartel sendiri apabila dilihat dari segi manfaatnya dapat dilihat dari sisi positif dan negatif.pass dan Lowes melihat sebuah asosiasi (kartel) sebagai salah satu jenis kolusi perdagangan negatif. 19 Sedangkan Harter melihat kartel sebagai perjanjian dalam bentuk persekutuan opelaku usaha yang mempunyai tujuan dan kepentingan usaha bersama yang sejenis dan bersifat positif. 20 Namun dalam praktek dunia usaha saat ini di Jepang dan Inggris justru mengizinkan perjanjian Kartel yang dilakukan oleh para pengusaha yang mempunyai usaha sejenis. Sehingga tidak mengherankan bila asosiasi/kartel hidup subur mendominasi 17 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,1997,h A.M Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Per se illegal atau Rule of Reason), Pasca Sarjana UI, Jakarta, 2004, h Christopper Pass, Kamus Lengkap Ekonomi,Edisi kedua, Erlangga, Jakarta, 1997, h John J Harter, Bahasa Perdagangan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,1985, h.13

13 jaringan bisnis disana. Indonesia rupanya juga sepakat dengan Jepang dan Inggris terbukti dengan pemilihan pendekatan Rule of Reason untuk perjanjian penertapan harga dalam kartel.disinilah letak persoalan munculnya kelemahan dalam penegakan hukum di bidang persaingan usaha khususnya di bidang Kartel layanan pesan singkat (SMS off-net shore). III. Kesimpulan dan Saran 3.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil bertdasarkan pembahasan di atas adalah sebagai berikut : 1. Kriteria Kartel dalam UU No 5 Tahun 1999 dapat dicermati dalam pasal 11 yaitu adanya perjanjian, perjanjian tersebut dilakukan dengan pelaku usaha pesaing, bertujuan untuk mempengaruhi harga, tindakan mempengaruhi harga dilakukan dengan jalan mengatur produksi atau pemasaran dan atau jasa tertentu serta tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Kartel SMS yangerbentuk terkait dengan penetapan harga secara horizontal (Horizontal Price Fixing) yang dilarang dalam pasal 5 UU No 5 Tahun Pendekataan yang dilakukan untuk perjanjian kartel alangkah baiknya diubah dari yang semula secara Rule of Reason menjadi Per Se Illegal dengan tujuan agar di kemudian hari tidak akan ada lagi kartel-kartel lain yang akan merugikan konsumen sehingga perlindungan terhadap konsumen dari kerugian yang diakibatkan oleh pelaku usaha dapat diminimalisir. 3.2 Saran Saran yang dapat disampaikan di akhir tulisan ini adalah : 1. Konsumen pengguna layanan SMS seluler yang dirugikan akibat adanya Kartel Layanan SMS Off Net Shore Antar Operator hendaknya menggunakan hak menggugat secara Class Action terhadap ke 8 (delapan) operator seluler yang telah diputuskan bersalah oleh KPPU berupa Ganti Kerugian.Penggantian kerugian dapat berupa ganti rugi finansial atau berupa ganti rugi pengembalian pulsa. 2. Para operator yang telah dinyatakan bersalah hendaknya segera melaksanakan putusan KPPU dengan itikat baik demi terbentuknya persaingan usaha yang sehat.

14

15 DAFTAR BACAAN a. Buku Ayudha D Prayoga, 2000, Persaingan Usaha dan Hukum Yang Mengaturnya, Proyek ELLIPS, Jakarta. Black, Henry Campbell, 1990, Black Law Dictionary, 6 th Ed, West Publishing Co St Paul- Minn, USA Cristoper Pass, 1997, Kamus Lengkap Ekonomi, Erlangga, Jakarta John J. Harter, 1985, Bahasa Perdagangan, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta L. Budi Kagramanto,2008, Mengenal Hukum Persaingan Usaha, Laros, Surabaya Munir Fuady,2001, Hukum Antimonopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, Pengantar Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung M. Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Rachmadi Usman, 2004, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta b. Perundang-Undangan UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

16 c. Lain-lain Artikel Agus Sardjono, 1998, Pentingnya Sistem Persaingan Usaha Yang Sehat dalam Upaya Memperbaiki Sistem Perekonomian, Newsletter, No 34 Tahun IX, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta. AM Tri Anggraini,2004, Larangan Pratek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasca UI, Jakarta Koran Jawa Pos Edisi Kamis, 19 Juni 2008 Jawa Pos Edisi Jumat, 20 Juni 2008

KARTEL LAYANAN PESAN SINGKAT (SMS off-net Antar Operator) SEBAGAI BAGIAN PRAKTEK PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. Oleh. Ikarini Dani Widiyanti,SH,MH

KARTEL LAYANAN PESAN SINGKAT (SMS off-net Antar Operator) SEBAGAI BAGIAN PRAKTEK PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. Oleh. Ikarini Dani Widiyanti,SH,MH KARTEL LAYANAN PESAN SINGKAT (SMS off-net Antar Operator) SEBAGAI BAGIAN PRAKTEK PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh. Ikarini Dani Widiyanti,SH,MH I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komisi Pengawas Persaingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alasan Penulis memilih judul Penulis memilih judul: Unjust Enrichment

BAB I PENDAHULUAN. Alasan Penulis memilih judul Penulis memilih judul: Unjust Enrichment BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan Judul Alasan Penulis memilih judul Penulis memilih judul: Unjust Enrichment dalam Interkoneksi Jaringan Telekomunikasi di Indonesia mengingat topik tersebut belum

Lebih terperinci

PENDEKATAN PER SE ILLEGAL DALAM PERJANJIAN PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) TERKAIT KASUS PT. EXCELCOMINDO PRATAMA, Tbk.

PENDEKATAN PER SE ILLEGAL DALAM PERJANJIAN PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) TERKAIT KASUS PT. EXCELCOMINDO PRATAMA, Tbk. PENDEKATAN PER SE ILLEGAL DALAM PERJANJIAN PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) TERKAIT KASUS PT. EXCELCOMINDO PRATAMA, Tbk. ABSTRACT Oleh Ni Ayu Putu Mery Astuti I Wayan Wiryawan Hukum Perdata Fakultas Hukum

Lebih terperinci

Oleh : Ida Ayu Wedha Arisanthi Ida Ayu Sukihana A.A. Sri Indrawati Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

Oleh : Ida Ayu Wedha Arisanthi Ida Ayu Sukihana A.A. Sri Indrawati Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana KAJIAN PERJANJIAN PENETAPAN HARGA LAYANAN PESAN SINGKAT (SHORT MESSAGE SERVICE) ANTARA PT XL TBK DAN PT TELKOMSEL DENGAN OPERATOR SELULER TERKAIT PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT (STUDI KASUS PERJANJIAN PENETAPAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan industri telekomunikasi seluler membuat persaingan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan industri telekomunikasi seluler membuat persaingan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan industri telekomunikasi seluler membuat persaingan dalam industri tersebut semakin meningkat. Persaingan yang terjadi tidak terlepas dari ditetapkannya

Lebih terperinci

OLEH: SRI TURATMIYAH AKHMAD IDRIS (Dosen Fakultas Hukum Unsri) Tidak Sehat ditegaskan bahwa demokrasi ekonomi dalam bidang ekonomi mengendaki adanya

OLEH: SRI TURATMIYAH AKHMAD IDRIS (Dosen Fakultas Hukum Unsri) Tidak Sehat ditegaskan bahwa demokrasi ekonomi dalam bidang ekonomi mengendaki adanya KARTEL TARIF SMS OFF-NET (Short Message Service) ANTAR OPERATOR SELULER DALAM PERSPEKTIF UU NOMOR: 5 TAHUN 1999 ( ANALISIS PUTUSAN PERKARA NO: 26/KPPU-L/2007) 1 OLEH: SRI TURATMIYAH AKHMAD IDRIS (Dosen

Lebih terperinci

Tinjauan yuridis..., M.Salman Al-Faris, FHUI, 2009 Universitas Indonesia

Tinjauan yuridis..., M.Salman Al-Faris, FHUI, 2009 Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Roda perekonomian bergerak diatur dan diawasi oleh perangkat hukum, baik perangkat hukum lunak maupun perangkat hukum keras. 1 Berdasarkan pemikiran tersebut, perangkat

Lebih terperinci

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Persekongkolan Tender, Persaingan Usaha Tidak Sehat 56 LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada. dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada. dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur. Hal ini sejalan dengan amanat dan cita-cita Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era global dimana segala aspek mulai berkembang pesat salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era global dimana segala aspek mulai berkembang pesat salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era global dimana segala aspek mulai berkembang pesat salah satunya dalam bidang perekonomian suatu negara dapat dibuktikan dengan banyaknya pelaku usaha dalam negeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya

BAB I PENDAHULUAN. telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat. Kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL. Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL. Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang mengandung unsur-unsur yang kurang adil terhadap

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISA KASUS PERMASALAHAN GUGATAN INTERVENSI DALAM PERKARA KEBERATAN DI PENGADILAN NEGERI TERHADAP PUTUSAN KPPU

BAB 4 ANALISA KASUS PERMASALAHAN GUGATAN INTERVENSI DALAM PERKARA KEBERATAN DI PENGADILAN NEGERI TERHADAP PUTUSAN KPPU 83 BAB 4 ANALISA KASUS PERMASALAHAN GUGATAN INTERVENSI DALAM PERKARA KEBERATAN DI PENGADILAN NEGERI TERHADAP PUTUSAN KPPU 4.1 Kasus Posisi Perkara ini diawali oleh dugaan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Kesejahteraan rakyat merupakan salah satu tujuan utama dalam Negara

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Kesejahteraan rakyat merupakan salah satu tujuan utama dalam Negara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kesejahteraan rakyat merupakan salah satu tujuan utama dalam Negara Indonesia. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengamanatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara berkembang yang sampai saat ini masih terus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara berkembang yang sampai saat ini masih terus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang yang sampai saat ini masih terus melaksanakan peningkatan terhadap pembangunan perekonomian negara. Salah satu usaha

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia. 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Persaingan Usaha 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha Persaingan adalah perlawanan dan atau upaya satu orang atau lebih untuk lebih unggul dari orang lain dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu indikator utama keberhasilan pembangunan nasional adalah adanya kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan dengan adanya pertumbuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Studi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Studi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Studi Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam beberapa tahun terakhir telah mendukung perkembangan kegiatan pemasaran dan mendorong percepatan

Lebih terperinci

Kartel : Persaingan Tidak Sehat. Oleh Djoko Hanantijo Dosen PNS dpk Universitas Surakarta ABSTRAKSI

Kartel : Persaingan Tidak Sehat. Oleh Djoko Hanantijo Dosen PNS dpk Universitas Surakarta ABSTRAKSI Kartel : Persaingan Tidak Sehat Oleh Djoko Hanantijo Dosen PNS dpk Universitas Surakarta ABSTRAKSI Kartel adalah perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan.

Lebih terperinci

Lex Et Societatis Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018

Lex Et Societatis Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018 ANALISIS PERJANJIAN INTEGRASI VERTIKAL MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT 1 Oleh : Andi Zuhry 2 KOMISI PEMBIMBING: Dr. Devy K. G. Sondakh, SH,

Lebih terperinci

BAB III KARTEL DAN PERMASALAHANNYA

BAB III KARTEL DAN PERMASALAHANNYA BAB III KARTEL DAN PERMASALAHANNYA A. Tinjauan Umum Tentang Kartel 1. Pengertian Kartel Sebelum mengetahui pengertian dari kartel, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa, dalam pasar oligopolisytik hanya

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM RENCANA KEGIATAN PROGRAM PEMBELAJARAN (RKPP) Mata Kuliah Kode SKS Semester Nama Dosen Hukum Anti Monopoli & SH PDT 1207 2 VI (Enam) Muhammad Fajar Hidayat, S.H., M.H. Persaingan Usaha Deskripsi Mata Kuliah

Lebih terperinci

Dela Wanti Widyantari, Hanif Nur Widhiyanti, SH., M.Hum., M. Zairul Alam, SH., MH.

Dela Wanti Widyantari, Hanif Nur Widhiyanti, SH., M.Hum., M. Zairul Alam, SH., MH. TINJAUAN YURIDIS KETERKAITAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA (Studi Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 26/KPPU-L/2007 Tentang Kartel SMS dan Nomor 25/KPPU-I/2009

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peluncuran pertama kali layanan pasca bayar secara komersial pada tanggal 26

BAB I PENDAHULUAN. peluncuran pertama kali layanan pasca bayar secara komersial pada tanggal 26 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan telekomunikasi di Indonesia sudah mencapai tahap yang mengagumkan. Data saat ini menunjukkan bahwa pengguna ponsel di negeri ini sudah mencapai angka yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis daya saing..., 1 Rani Nur'aini, FT UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Analisis daya saing..., 1 Rani Nur'aini, FT UI, 2009 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manfaat kompetisi yang semakin ketat di sektor telekomunikasi kini mulai dirasakan oleh masyarakat luas. Persaingan teknologi dan persaingan bisnis antar-operator telah

Lebih terperinci

Pedoman Pasal 47 Tentang. Tindakan. Administratif

Pedoman Pasal 47 Tentang. Tindakan. Administratif Pedoman Pasal 47 Tentang Tindakan Administratif KEPUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR : 252 /KPPU/Kep/VII/2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 47 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami banyak kemajuan yang didorong oleh kebijakan pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. mengalami banyak kemajuan yang didorong oleh kebijakan pembangunan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi ini, pembangunan ekonomi dalam perkembangannya telah mengalami banyak kemajuan yang didorong oleh kebijakan pembangunan di berbagai sektor usaha,

Lebih terperinci

BPK DAN KPPU MENYEPAKATI KERJASAMA DALAM PENANGANAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

BPK DAN KPPU MENYEPAKATI KERJASAMA DALAM PENANGANAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT BPK DAN KPPU MENYEPAKATI KERJASAMA DALAM PENANGANAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT http://ekbis.sindonews.com/ Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Harry Azhar Azis menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum

Lebih terperinci

HUKUM PERSAINGAN USAHA

HUKUM PERSAINGAN USAHA HUKUM PERSAINGAN USAHA Dosen Pengampu: Prof Dr Jamal Wiwoho, SH, MHum www.jamalwiwoho.com 081 2260 1681 -- Bahan Bacaan Abdulrahman: Ensiklopesi Ekonomi keuangan dan perdagangan, Jakarta, Pradnya Paramita,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memadai untuk terciptanya sebuah struktur pasar persaingan. 1 Krisis ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. memadai untuk terciptanya sebuah struktur pasar persaingan. 1 Krisis ekonomi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah pertumbuhan perekonomian Indonesia menunjukkan bahwa iklim bersaing di Indonesia belum terjadi sebagaimana yang diharapkan, dimana Indonesia telah membangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak menghadapi masalah masalah dalam menjual produk khususnya. masa depan cerah dimasa mendatang sebagai zamannya komunikasi.

BAB I PENDAHULUAN. banyak menghadapi masalah masalah dalam menjual produk khususnya. masa depan cerah dimasa mendatang sebagai zamannya komunikasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semakin kompetitifnya persaingan dunia usaha dewasa ini, perusahaan banyak menghadapi masalah masalah dalam menjual produk khususnya dibidang telekomunikasi,

Lebih terperinci

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI 2011 1 Cakupan Presentasi 1. Persaingan Usaha yang Sehat Dan KPPU 2. Persaingan Pasar Jasa Konstruksi 3. Masalah Umum Persaingan Usaha Dalam Sektor Jasa Konstruksi

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DALAM PELAKSANAAN MERGERR (STUDI TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NO. 57 TAHUN 2010) SKRIPSI

KEDUDUKAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DALAM PELAKSANAAN MERGERR (STUDI TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NO. 57 TAHUN 2010) SKRIPSI KEDUDUKAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DALAM PELAKSANAAN MERGERR (STUDI TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NO. 57 TAHUN 2010) SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Setiap Individu harus diberi ruang gerak tertentu dalam pengambilan keputusan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN YANG DILAKUKAN OLEH PT. BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) TBK BERDASARKAN PASAL 4 UNDANG-

BAB II PERJANJIAN YANG DILAKUKAN OLEH PT. BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) TBK BERDASARKAN PASAL 4 UNDANG- BAB II PERJANJIAN YANG DILAKUKAN OLEH PT. BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) TBK BERDASARKAN PASAL 4 UNDANG- UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT 2.1.

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. persaingan usaha yang sehat di sektor perunggasan telah menjalankan

BAB III PENUTUP. persaingan usaha yang sehat di sektor perunggasan telah menjalankan 162 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam mendorong iklim persaingan usaha yang sehat di sektor perunggasan telah menjalankan perannya sesuai dengan tugas dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap perusahaan yang bergerak dalam bidang bisnis, baik jasa maupun

BAB I PENDAHULUAN. Setiap perusahaan yang bergerak dalam bidang bisnis, baik jasa maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap perusahaan yang bergerak dalam bidang bisnis, baik jasa maupun dagang, bertujuan untuk mendapatkan keuntungan atau laba usaha sebesarbesarnya. Laba merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bergantung pada penggunaan teknologi dan informasi. Saat ini, semua lapisan

BAB I PENDAHULUAN. bergantung pada penggunaan teknologi dan informasi. Saat ini, semua lapisan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan perekonomian yang terjadi saat ini sangat bergantung pada penggunaan teknologi dan informasi. Saat ini, semua lapisan masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 4 TAHUN tentang K A R T E L

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 4 TAHUN tentang K A R T E L PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 4 TAHUN 2010 tentang K A R T E L copyright@kppu.2011 DILARANG MENCETAK DAN MEMPERBANYAK ISI BUKU INI TANPA SEIJIN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817]

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817] UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817] BAB VIII SANKSI Bagian Pertama Tindakan Administratif Pasal 47 (1) Komisi berwenang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menghadapi era globalisasi menuntut semua sektor bisnis harus memiliki strategi agar dapat bersaing dengan para pesaing lainnya. Salah satunya dengan memperkenalkan

Lebih terperinci

STUDI KASUS HUKUM. Oleh : CANDRA BUDI KURNIAWAN No. Mahasiswa : Program Studi : Ilmu Hukum

STUDI KASUS HUKUM. Oleh : CANDRA BUDI KURNIAWAN No. Mahasiswa : Program Studi : Ilmu Hukum PERSEKONGKOLAN DALAM BEAUTY CONTEST PROYEK DONGGI-SENORO (Studi Kasus Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Perkara Nomor : 35/KPPU-I/2010) STUDI KASUS HUKUM Oleh : CANDRA BUDI KURNIAWAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 Undang-Undang No. 3

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 Undang-Undang No. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Perusahaan 1. Definisi Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat terusmenerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Manusia mempunyai banyak kebutuhan yang harus dipenuhi, baik

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Manusia mempunyai banyak kebutuhan yang harus dipenuhi, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Manusia mempunyai banyak kebutuhan yang harus dipenuhi, baik kebutuhan yang bersifat biogenetik seperti rasa lapar dan haus maupun kebutuhan yang bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkomunikasi. Dewasa ini kebutuhan akan komunikasi menjadi sesuatu

BAB I PENDAHULUAN. saling berkomunikasi. Dewasa ini kebutuhan akan komunikasi menjadi sesuatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan yang pesat dalam dunia teknologi dan telekomunikasi menempatkan industri telekomunikasi seluler menjadi peluang bisnis yang sangat menjanjikan di Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS Pembangunan Nasional yang dilaksanakan saat ini mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta mengembangkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi telekomunikasi telepon seluler yang signifikan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi telekomunikasi telepon seluler yang signifikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan teknologi telekomunikasi telepon seluler yang signifikan dilihat dari pertumbuhan jumlah pelanggannya dewasa ini memegang peranan penting dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PT Pelindo II (Persero) Cabang Cirebon adalah salah satu cabang dari PT Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan perusahaan Badan

Lebih terperinci

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Pengantar Hukum Persaingan Usaha Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Topics to be Discussed Manfaat Persaingan Asas & Tujuan Undang-undang Persaingan Usaha Prinsip-prinsip

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Industri telekomunikasi di Indonesia saat ini merupakan salah satu industri yang sangat berkembang dan masih sangat berpotensi di tahun-tahun ke depan, khususnya

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Literatur Bintang, Sanusi & Dahlan, 2000, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi & Bisnis, Cetakan Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung.

DAFTAR PUSTAKA. Literatur Bintang, Sanusi & Dahlan, 2000, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi & Bisnis, Cetakan Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung. 1 DAFTAR PUSTAKA Literatur Bintang, Sanusi & Dahlan, 2000, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi & Bisnis, Cetakan Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung. Black, Henry Campbell, 1968, Black's Law Dictionary, Revised

Lebih terperinci

TESIS TINJAUAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT TERHADAP KEPEMILIKAN SAHAM MAYORITAS PADA INDUSTRI TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA

TESIS TINJAUAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT TERHADAP KEPEMILIKAN SAHAM MAYORITAS PADA INDUSTRI TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA TESIS TINJAUAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT TERHADAP KEPEMILIKAN SAHAM MAYORITAS PADA INDUSTRI TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA OLEH : JONI IWANSYAH, S.H. NIM : 12105090 PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hingga saat ini, tercatat 10 operator telepon di Indonesia. Telkom (PT

BAB I PENDAHULUAN. Hingga saat ini, tercatat 10 operator telepon di Indonesia. Telkom (PT BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hingga saat ini, tercatat 10 operator telepon di Indonesia. Telkom (PT Telkom), Telkomsel (PT Telekomunikasi Selular), Satelindo (PT Indosat Tbk.) dan XL (PT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena selalu terdapat kepentingan yang berbeda bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan sebagai suatu organisasi profit tentunya mempunyai tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan sebagai suatu organisasi profit tentunya mempunyai tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perusahaan sebagai suatu organisasi profit tentunya mempunyai tujuan ideal yang harus dicapai. Dalam usaha pencapaian ini perusahaan memiliki aktifitas pemasaran sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era globalisasi ini telekomunikasi merupakan sarana yang sangat dibutuhkan dalam komunikasi oleh masyarakat luas baik itu antar daerah maupun antar negara. Industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi membuka suatu peluang dan tantangan bisnis baru bagi

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi membuka suatu peluang dan tantangan bisnis baru bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Era globalisasi membuka suatu peluang dan tantangan bisnis baru bagi perusahaan yang beroperasi di Indonesia, dan di sisi lain keadaan tersebut memunculkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat mendatangkan keuntungan atau menimbulkan kerugian. Apabila

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Analisis Kewenangan Pemberian Hukuman Denda Administratif

BAB IV PEMBAHASAN. A. Analisis Kewenangan Pemberian Hukuman Denda Administratif BAB IV PEMBAHASAN A. Analisis Kewenangan Pemberian Hukuman Denda Administratif Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha Kepada Toray Advanced Materials Korea Inc. Dalam suatu tindakan pengambilalihan saham

Lebih terperinci

MAKALAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum. Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII

MAKALAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum. Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII Anti Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat MAKALAH Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum Dalam Bisnis Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII Helda Nur Afikasari

Lebih terperinci

BAB 3 PERJANJIAN WARALABA DITINJAU DARI PERATURAN DIBIDANG ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT (STUDI PERJANJIAN WARALABA DI PT.

BAB 3 PERJANJIAN WARALABA DITINJAU DARI PERATURAN DIBIDANG ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT (STUDI PERJANJIAN WARALABA DI PT. BAB 3 PERJANJIAN WARALABA DITINJAU DARI PERATURAN DIBIDANG ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT (STUDI PERJANJIAN WARALABA DI PT. X) 3.1. TINJAUAN UMUM MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1602, yaitu saat Pemerintah Belanda atas persetujuan State General. Arie Siswanto berpendapat dalam bukunya yang berjudul Hukum

BAB I PENDAHULUAN. 1602, yaitu saat Pemerintah Belanda atas persetujuan State General. Arie Siswanto berpendapat dalam bukunya yang berjudul Hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sistem hukum di negara Indonesia salah satunya dibidang hukum ekonomi yaitu hukum persaingan usaha. Hukum persaingan usaha bertujuan untuk mencegah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut:

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut: 104 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Sesuai Bab 4 Hasil Penelitian dan Pembahasan maka jawaban atas permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut: 5.1.1 Bahwa perilaku concerted action

Lebih terperinci

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Oleh: M. Hakim Nasution HAKIMDANREKAN Konsultan Hukum Asas Persaingan Usaha UU No. 5/1999 Larangan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Asshiddiqie, Jimly Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Konpress. Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA. Asshiddiqie, Jimly Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Konpress. Jakarta. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Ahmad, Yani dan Gunawan Widjaja. 2010. Seri Hukum Bisnis Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Anggraini, A.M. Tri. 2003. Larangan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Black, Henry Campbell, Black Law Divtionary, Definition of the term and Phrase

DAFTAR PUSTAKA. Black, Henry Campbell, Black Law Divtionary, Definition of the term and Phrase DAFTAR PUSTAKA Black, Henry Campbell, Black Law Divtionary, Definition of the term and Phrase and Phrase of American and English yurisprudence, Ancient and Modern, St. Minnesota, west Publishing Co, 1990

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

2 Indonesia dalam hal melakukan penyelesaian permasalahan di bidang hukum persaingan usaha, yang diharapkan terciptanya efektivitas dan efisiensi dala

2 Indonesia dalam hal melakukan penyelesaian permasalahan di bidang hukum persaingan usaha, yang diharapkan terciptanya efektivitas dan efisiensi dala 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hukum persaingan usaha sehat diperlukan dalam era dunia usaha yang berkembang dengan pesat. Globalisasi erat kaitannya dengan efisiensi dan daya saing dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini industri telekomunikasi telah menjadi salah satu kontributor

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini industri telekomunikasi telah menjadi salah satu kontributor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini industri telekomunikasi telah menjadi salah satu kontributor pendapatan ekonomi di suatu negara. Bahkan menjadi tolak ukur maju tidaknya ekonomi suatu wilayah.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: dalam menangani suatu perkara yaitu:

BAB III PENUTUP. maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: dalam menangani suatu perkara yaitu: BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan paparan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. KPPU sudah berperan dan melaksanakan tugasnya sebagaimana

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada industri telekomunikasi seluler di Indonesia dari tahun 2003 sampai dengan 2012 maka dapat diperoleh kesimpulan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT I. Pendahuluan Pimpinan Komisi VI Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Pangsa pasar industri telekomunikasi seluler Indonesia 2011

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Pangsa pasar industri telekomunikasi seluler Indonesia 2011 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia (Adam 2011). Jumlahnya menurut catatan World Bank (2010) mencapai 239 870 937 jiwa. Nielsen

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan telekomunikasi seluler di Indonesia sekarang ini sangatlah pesat.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan telekomunikasi seluler di Indonesia sekarang ini sangatlah pesat. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan telekomunikasi seluler di Indonesia sekarang ini sangatlah pesat. Mobilitas serta meningkatnya kebutuhan masyarakat dalam berkomunikasi di mana saja dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, dalam bentuk informasi maupun komunikasi.

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, dalam bentuk informasi maupun komunikasi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan jaman serta era globalisasi yang semakin maju dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam bentuk informasi maupun komunikasi. Sehingga memberikan dampak

Lebih terperinci

Hukum Persaingan Usaha melindungi persaingan dan proses persaingan yang sehat,

Hukum Persaingan Usaha melindungi persaingan dan proses persaingan yang sehat, Bab I Latar Belakang Hukum Persaingan Usaha melindungi persaingan dan proses persaingan yang sehat, dengan mencegah dan memberikan sanksi terhadap tindakan-tindakan yang antipersaingan. Persaingan merupakan

Lebih terperinci

SIARAN PERS Badan Perlindungan Konsumen Nasional Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5 Jakarta Telp/Fax ,

SIARAN PERS Badan Perlindungan Konsumen Nasional Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5 Jakarta Telp/Fax , SIARAN PERS Badan Perlindungan Konsumen Nasional Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5 Jakarta 10110 Telp/Fax. 021-34833819, 021-3458867 www.bpkn.go.id Harus Ciptakan Sistem dan Efektifkan Pengawasan Layanan Jasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Era globalisasi telah menuntut adanya perubahan paradigma lama dalam segala bidang, salah satunya adalah bidang pemasaran. Dengan tingginya persaingan dalam

Lebih terperinci

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 5 TAHUN 1999 (5/1999) Tanggal: 5 MARET 1999 (JAKARTA) Tentang: LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

11 Secara umum, diartikan bahwa kerangka teori merupakan garis besar dari suatu rancangan atas dasar pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan meng

11 Secara umum, diartikan bahwa kerangka teori merupakan garis besar dari suatu rancangan atas dasar pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan meng 10 BAB II Landasan Teori 2.1. Uraian Teori Teori adalah suatu butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum Persaingan Usaha pada dasarnya mengatur mengenai perilaku,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum Persaingan Usaha pada dasarnya mengatur mengenai perilaku, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Persaingan Usaha pada dasarnya mengatur mengenai perilaku, tindakan atau perbuatan termasuk perjanjian yang dilarang dilakukan oleh satu atau lebih pelaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membawa dampak pada dunia usaha. Dengan adanya perkembangan dan

BAB I PENDAHULUAN. membawa dampak pada dunia usaha. Dengan adanya perkembangan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan dan kemajuan teknologi yang semakin mengglobal membawa dampak pada dunia usaha. Dengan adanya perkembangan dan kemajuan teknologi, dunia usaha dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan business judgment..., Kanya Candrika K, FH UI, , TLN No. 4756, Pasal 1 angka 1.

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan business judgment..., Kanya Candrika K, FH UI, , TLN No. 4756, Pasal 1 angka 1. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perseroan Terbatas ( PT ) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan

Lebih terperinci

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7 Ethics in Market Competition Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7 Monopoli Monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh

Lebih terperinci

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DRAFT Pedoman Tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender Berdasarkan UU. No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA 2004 1 KATA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perusahaan harus dapat menyediakan produk inovatif untuk mendukung

BAB 1 PENDAHULUAN. perusahaan harus dapat menyediakan produk inovatif untuk mendukung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi semakin memperketat persaingan di industri telekomunikasi, khususnya pada perusahaan operator telekomunikasi. Pasalnya, perusahaan harus dapat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kajian dalam penelitian ini dan telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat

BAB V PENUTUP. kajian dalam penelitian ini dan telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dari permasalahan-permasalahan yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini dan telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia, keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun memerlukan pengawasan dalam rangka implementasinya. Berlakunya Undang-

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia, keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun memerlukan pengawasan dalam rangka implementasinya. Berlakunya Undang- 1 2 3 i I. PENDAHULUAN Di Indonesia, keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 memerlukan pengawasan dalam rangka implementasinya. Berlakunya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi merupakan kegiatan yang sangat penting dilakukan oleh setiap orang. Komunikasi adalah alat bagi seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain. Komunikasi bisa

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KOMISI NO. 89/2009. Tentang Pengaturan Monopoli Badan Usaha Milik Negara

KEPUTUSAN KOMISI NO. 89/2009. Tentang Pengaturan Monopoli Badan Usaha Milik Negara KEPUTUSAN KOMISI NO. 89/2009 Tentang Pengaturan Monopoli Badan Usaha Milik Negara Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 51 tentang Pengaturan Monopoli BUMN Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang

Lebih terperinci

PENERAPAN PENDEKATAN RULES OF REASON DALAM MENENTUKAN KEGIATAN PREDATORY PRICING YANG DAPAT MENGAKIBATKAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PENERAPAN PENDEKATAN RULES OF REASON DALAM MENENTUKAN KEGIATAN PREDATORY PRICING YANG DAPAT MENGAKIBATKAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENERAPAN PENDEKATAN RULES OF REASON DALAM MENENTUKAN KEGIATAN PREDATORY PRICING YANG DAPAT MENGAKIBATKAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh Ni Luh Putu Diah Rumika Dewi I Dewa Made Suartha Bagian Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan saat ini menjadi industri yang paling berkembang dalam 10 tahun terakhir di

BAB I PENDAHULUAN. dan saat ini menjadi industri yang paling berkembang dalam 10 tahun terakhir di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri telekomunikasi seluler adalah industri yang bergerak dibidang jasa dan saat ini menjadi industri yang paling berkembang dalam 10 tahun terakhir di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memberikan peluang-peluang baru bagi pemain industri telekomunikasi baik

I. PENDAHULUAN. memberikan peluang-peluang baru bagi pemain industri telekomunikasi baik I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Telekomunikasi merupakan salah satu industri yang paling kompetitif di Indonesia. Industri telekomunikasi nasional mengalami pertumbuhan pesat seiring dengan pertumbuhan

Lebih terperinci