PANDANGAN ELSAM TENTANG RENCANA PEMBENTUKAN HUKUM DISIPLIN MILITER DISAMPAIKAN KEPADA: KOMISI I DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA (DPR RI)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PANDANGAN ELSAM TENTANG RENCANA PEMBENTUKAN HUKUM DISIPLIN MILITER DISAMPAIKAN KEPADA: KOMISI I DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA (DPR RI)"

Transkripsi

1 PANDANGAN ELSAM TENTANG RENCANA PEMBENTUKAN HUKUM DISIPLIN MILITER DISAMPAIKAN KEPADA: KOMISI I DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA (DPR RI) 2 Oktober 2013 LEMBAGA STUDI DAN ADVOKASI MASYARAKAT (ELSAM) Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Jakarta, 12510, Indonesia, Telp: (021) , , Fax : (021) office@elsam.or.id Website: 1

2 I. PENGANTAR 1. Pada tanggal 16 September 2013 dan Tanggal 26 September 2013, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mendapat undangan untuk menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dari Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), untuk memberikan masukan terhadap RUU Inisiatif Komisi I DPR RI tentang Hukum Disiplin Militer (HDM). 2. ELSAM mengucapkan terima kasih kepada Komisi I DPR RI atas undangan ini. RDPU merupakan wujud keterbukaan dan partisipasi publik dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan. 3. Berdasarkan Undangan tersebut, ELSAM melakukan serangkaian diskusi internal untuk menyusun masukan terhadap rencana pembuatan RUU Inisiatif Komisi I DPR RI tentang Hukum Disiplin Militer. Berdasarkan kerangka acuan dalam Undangan tersebut, masukan ini dimaksudkan untuk mendukung upaya penyusunan Naskah Akademis dan RUU Hukum Disiplin Militer. II. REFORMASI SEKTOR KEAMANAN: MENCERMATI AGENDA PEMBENTUKAN HUKUM DISIPLIN MILITER 4. Selama 14 Tahun setelah Reformasi pada tahun 1998, ELSAM mencermati telah banyak perkembangan terkait dengan reformasi sektor keamanan. Reformasi sektor keamanan merupakan pilar penting bagi sistem pemerintahan yang demokratis, selain reformasi ekonomi dan hukum. 5. Reformasi sektor keamanan menempatkan adanya supremasi sipil dan supremasi hukum dalam sistem ketatanegaran di Indonesia, dengan mendasarkan pada landasan penghormatan hak asasi manusia dan demokrasi. Supremasi sipil mensyaratkan adanya kontrol sipil atas berbagai kebijakan kenegaraan, termasuk terkait dengan militer. Sementara supremasi hukum menempatkan hukum sebagai pedoman tertinggi dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. 6. Reformasi sektor keamanan juga bertujuan untuk menempatkan aktor-aktor keamanan sesuai dengan tugas dan kewenangannya berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, hukum dan hak asasi manusia. Dalam konteks Tentara Nasional Indonesia (TNI), reformasi terhadap institusi TNI bertujuan untuk memastikan TNI yang profesional dan mampu melakukan pertanggungjawaban (accountability) atas segala tindakan yang dilakukan secara institusional maupun individual (anggota TNI) 7. Profesionalitas TNI penting untuk memastikan pelaksanaan mandat, kewenangan dan tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara 2

3 aspek pertanggungjawaban penting untuk menghindari siklus impunitas, yakni adanya kejahatan tanpa penghukuman. 8. UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menandai kejelasan tentang jaminan normatif atas supremasi sipil dan supremasi hukum. Segala kebijakan yang terkait dengan kemiliteran tunduk pada otoritas sipil, dan tidak ada kekebalan hukum terhadap anggota TNI. 9. UU TNI memandatkan sejumlah reformasi regulasi maupun kelembagaan, diantaranya; i) perubahan regulasi terkait dengan Peradilan Militer, dan ii) perubahan Hukum Disiplin Prajurit TNI. 10. Namun demikian masih ada hambatan dalam reformasi sektor ini, yang menggagalkan berbagai agenda reformasi sektor keamanan yang sesuai dengan tujuan-tujuan reformasi. Diantaranya, kegagalan untuk menyelesaikan perubahan Hukum Pidana Militer dan UU Peradilan Militer (UU No. 31 Tahun 1997). 11. Fakta bahwa saat ini terjadi berbagai kasus-kasus kekerasan yang melibatkan oknum TNI terhadap oknum anggota Polri maupun masyarakat sipil, dianggap sebagai pelanggaran hukum disiplin militer yang telah menciderai institusi kemiliteran Indonesia. Berbagai tindakan indisipliner tersebut mendorong penataan dan membenahi disiplin anggota TNI dengan membuat payung hukum dalam bentuk UU untuk menertibkan kembali anggota TNI dalam pembinaan disiplin dari sistem kemiliteran di Indonesia. (Term of Reference Komisi I DPR RI) 12. RUU tentang Hukum Disiplin Militer (HDM) merupakan pembenahan dan penertiban secara internal terhadap tindak pelanggaran oknum anggota TNI dengan memperhatikan pidana militer dan pidana umum. (Term of Reference Komisi I DPR RI) 13. Landasan penyusunan dan agenda untuk membahas RUU HDM sebagaimana dinyatakan dalam angka 11 dan 12 diatas, menimbulkan sejumlah pertanyaan pokok: i) Sebelumnya telah ada proses pembahasan RUU Peradilan Militer namun terhenti. Padahal reformasi UU Peradilan Militer merupakan salah satu bagian penting dari agenda reformasi sektor keamanan dan memastikan pertanggungjawaban anggota militer yang melakukan kejahatan. Dalam konteks saat ini, bagaimana kelanjutan reformasi Peradilan Militer? ii) Upaya untuk membentuk HDM ini terlihat diletakkan dalam konteks kompromi ketika muncul ketidaksepakatan dalam pembahasan revisi UU Peradilan Militer. Motif apa yang sebetulnya mendasari upaya pembentukan 3

4 HDM tersebut, dan apakah permasalah maraknya kekerasan yang melibatkan oknum TNI semata-mata karena kelemahan regulasi? iii) Jika pembentukan RUU HDM ini akan memperhatikan hukum pidana militer dan pidana umum, bagaimana keterkaitannya dengan proses perubahan hukum pidana militer dan hukum pidana umum, khususnya dalam memperjelas mana yang merupakan tindakan dalam kategori kejahatan dan kategori pelanggaran disiplin? III. PANDANGAN ELSAM ATAS SEJUMLAH PERTANYAAN KOMISI I Pandangan umum 14. ELSAM menghormati upaya Komisi I DPR RI untuk menyusun Naskah Akademis dan RUU HDM untuk menyikapi berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh oknum TNI yang dianggap pelanggaran hukum disiplin militer yang telah mencederai instusi militer, sehingga memerlukan penataan dan pembenahan disiplin anggota TNI dengan membentuk UU HDM. 15. Fakta bahwa adanya berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota TNI adalah kondisi yang tidak dapat dibantah. Namun, fakta bahwa ada oknum anggota TNI yang melakukan tindakan-tindakan lain, misalnya menjadi penjaga atau pihak keamanan suatu perusahaan tertentu diluar kedinasan dan tugas pokoknya yang dibiarkan oleh atasan, adalah fakta yang menunjukkan tindakan-tindakan yang dalam dikategorikan pelanggaran disiplin. 16. ELSAM memandang bahwa pembentukan HDM tidak dilepaskan dari kebutuhan untuk juga melakukan perubahan atas Peradilan Militer, Hukum Pidana Militer, Hukum Pidana Umum. Pembentukan HDM harus diletakkan dalam pengaturan yang lebih komprehensif untuk menghindari pengaturan yang bersifat parsial, tidak lengkap dan tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan. 17. HDM bukan merupakan subtitusi dari Peradilan Militer, namun HDM melengkapi dengan berbagai regulasinya lainnya yang terkait dengan perilaku dan tindakan (conduct) semua anggota militer. Dalam UU HDM harus juga mengatur tentang interelasi dengan regulasi lainnya. Oleh karenanya, HDM harus disusun dengan jelas untuk menghindari tumpang tindih (overlapping) dengan pengaturan dalam Hukum Pidana militer dan Pidana Umum. 18. UU DHM harus disusun dengan memasukkan kategori tindakan pelanggaran disiplin yang rinci dan jelas, untuk memastikan bahwa hukum ini bukan sebagai upaya untuk penghindaran atau sebagai tameng (shielding) atas tindakan kejahatan yang dilakukan oleh anggota militer, serta penafsiran yang terlalu luas tentang tindakan- 4

5 tindakan yang dikategorikan sebagai pelanggaran disiplin. Selain itu untuk menghindari adanya tindakan diskresi yang terlalu luas dari atasan/komandan atau atasan yang berhak menghukum (ANKUM). 19. Pembentukan UU HDM harus diletakkan dalam kerangka supremasi sipil dan supremasi hukum. Tujuan UU HDM adalah membangun profesionalitas anggota militer yang lebih baik dan akuntabilitasnya dalam tatanan masyarakat yang demokratis. Lebih khusus, UU HDM ini untuk mengontrol perilaku dan tindakan (conduct) dari anggota militer yang sesuai dengan tugas dan kewenangannya, dengan tujuan untuk melakukan pembinaan, pendidikan, dan pencegahan terjadinya tindakan yang melanggar disiplin. 20. Merujuk pada tujuan tersebut, meski obyek dari HDM hanya berlaku di Internal TNI, tetap memerlukan adanya pengawasan dalam pelaksanaannya untuk memastikan adanya akuntabilitas, transparansi, dan keadilan. Penyerahan tentang pelaksanaan HDM semata-mata berasal dari internal institusi militer, selain tidak transparan, akan berpotensi terjadinya proses penghukuman yang tidak adil dan diskriminatif. 21. Untuk mencapai berbagai tujuan tersebut, perumusan UU HDM harus mengacu pada nilai-nilai demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional dan ketentuan hukum internasional. Namun demikian, melihat karakterisktik institusi militer yang mempunyai standar tertentu untuk memastikan berjalannya pelaksanaan tugas dan fungsinya, dimungkinkan adanya ruang untuk mengakomodasi kepentingan militer Batasan pengertian mengenai hukum disiplin militer 22. Pertama-tama, yang paling penting adalah kejelasan tentang apa yang merupakan tindakan (conduct) pelanggaran disiplin militer, dan yang membedakan dengan tindak pidana militer dan tindak pidana umum. Merujuk pada pengaturan di sejumlah negara, pembedaan ini diatur dengan jelas. 23. Ruang lingkup HDM dapat mencakup; i) tidakan yang dikategorikan pelanggaran disiplin, ii) pihak yang terkena HDM, ii) mekanisme penegakannya, baik pihak yang melaksanakan proses penghukuman atau saksi, dan prosedur pemeriksaan, iii) jenis sanksi atau hukuman, iv) mekanisme keberatan, v) pengawasan internal dan eksternal, dan vi) mekanisme reparasi. 24. HDM dapat diatur dengan UU tersendiri atau diatur bersamaan dengan pengaturan tindakan yang merupakan tindak pidana, namun dengan kategorisasi yang jelas dan mekanisme/prosedur penegakan yang berbeda. Dalam hal diatur bersamaan maka aspek penting adalah; i) kategorisasi tindakan, ii) prosedur penegakannya, iiii) mekanisme pengawasannya. 5

6 25. Dalam hal diatur dalam UU tersendiri, HDM hanya mengatur tentang pelanggaran disiplin (dalam UU No. No. 26 tahun 1997 ditentukan sebagai disiplin murni). Hal ini untuk membedakan mana yang perbuatan pelanggaran disipil dan perbuatan mana yang merupakan tindak pidana (baik militer maupun umum). Bahwa apapun perbuatan yang termasuk dalam kategori tindak pidana, meski sangat ringan, merupakan yurisdiksi dari peradilan militer atau peradilan umum sehingga tidak bercampur dengan tindakan dalam kategori pelanggaran disiplin. (lihat juga arah RUU KUHP yang tidak mengatur lagi tentang pelanggaran, tetapi semua kejahatan, yang membedakan adalah mekanisme penegakan dan jenis hukuman). 26. Yang terpenting dalam pengaturan yang tersendiri adanya adanya interrelasi yang jelas antara HDM dengan berbagai regulasi lainnya. Adanya hubungan yang jelas dengan regulasi lainnya, termasuk terkait dengan hukum administrasi Militer (administrasi prajurit TNI). Asas-asas dalam HDM 27. UU No. 26 Tahun 1997, tidak mengatur mengenai asas-asas dalam HDM. Hanya terlihat bahwa tujuan HDM berdasarkan UU tersebut adalah; i) profesionalisme tentara yang efisien, efektif, dan modern untuk mampu berperan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagai dinamisator dan fasilitator pembangunan nasional (bagian menimbang huruf c), dan ii) sikap ketergantungan pada kuasa orang lain atau peraturan perundang-undangan (bagian penjelasan). 28. Bahwa UU No. 26 Tahun 1997 tersebut disusun pada masa Orde Baru dengan tatanan politik yang belum demokratis dan masih menempatkan angkatan bersenjata dalam konsep Dwifungsi ABRI, sehingga pendekatan dalam pengaturannya lebih menekankan pada upaya untuk memperkuat angkatan bersenjata melalui pendisiplinan anggotanya. 29. Dalam iklim demokrasi saat ini yang menghormati hak asasi manusia dan keadilan, maka asas-asas yang perlu ditegakkan dalam HDM seharusnya merujuk pada nilainilai hak asasi manusia, demokrasi dan keadilan. HDM yang akan mengatur tentang disiplin militer, baik mengenai jenis tindakannya, penegakan, jenis hukuman atau sanksi, dan prosedur lainnya, memerlukan setidaknya asas; i) kepastian hukum, ii) keadilan (prinsip fair trial), dan iii) obyektivitas. 30. Tujuan dari HDM ini juga seharusnya memperjelas tentang asas-asas yang diperlukan lainnya. Tujuan HDM dalam konteks pendidikan dan pencegahan, untuk mencapai tujuannya tersebut selain diperlukannya asas keadilan juga memerlukan kecepatan dalam penerapannya. Maka asas yang menunjukkan bahwa proses penjatuhan sanksi disiplin secara cepat ini menjadi keharusan. 6

7 31. Namun, dalam konteks pengaturan HDM, dimana institusi militer mempunyai karakterisktik yang berbeda dengan institusi lain, memerlukan satu prinsip khusus, yaitu kepentingan militer. Dalam hal operasi perang misalnya, seorang komandan diharapkan pada situasi dimana harus memilih menjalankan kewajiban untuk memberikan hukuman disiplin atau menunda penjatuhan hukuman untuk memastikan berjalannya operasi militer. Ombudsman 32. Ombudsman militer adalah suatu mekanisme independen dari struktur komando militer yang melaksanakan sektor pengawasan dan memastikan bahwa pengawasan prinsip-prinsip dan pelaksanaan dari pemerintahan yang baik. Ombudsman militer menguji pengaduan/komplain tentang tingkah laku yang tidak sepatutnya/layak dan pelanggaran di militer dan juga kekurangan-kekurangan dalam prosedur militer, serta memformulasikan rekomendasi untuk langkah-langkah koreksi. 33. Ombudsman militer tidak membuat kebijakan pertahanan atau keputusan berkaitan dengan masalah-masalah operasional. Tujuan khusus dari ombudsman militer adalah untuk memastikan tingkah laku yang layak dari dan dalam sektor pertahanan, dimana peranan yang lebih luas dari ombudsman adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitasnya dengan membuatnya akuntable dan responsif terhadap konstituennya. 34. Merujuk pengalaman berbagai Ombudsman Militer, lembaga ini mempunyai kewenangan yang cukup luas. Misalnya di Norwegia, salah satu tugasnya adalah sebagai forum untuk menyampaikan komplain atau keberatan anggota militer atas putusan atau perintah dari atasannya. Jika Ombudsman Militer, yang independen atau diluar struktur militer, hanya sebagai pengawas penjatuhan HDM maka sebetulnya lembaga ini tidak perlu. Mekanisme penegakan 35. Aspek penting dari HDM sebagaimana tujuan pembentukannya adalah memberikan sanksi atas pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh anggota militer. Sanksi disiplin ini mempunyai dua tujuan; i) pendidikan dan ii) pencegahan. 36. Dalam sisi pendidikan adalah mendorong anggota militer untuk melaksanakan tanggung jawabnya secara lebih baik dan menghormati aturan (rules) yang melekat sebagai anggota militer. Maka sanksi untuk ini harus dibatasi apa yang perlu untuk memastikan bahwa anggota militer memahami bahwa apa yang mereka lakukan salah dan mereka memperbaikinya. 7

8 37. Sanksi juga merupakan bentuk perintah untuk anggota militer, dimana meski hanya terkait pada anggota militer yang terkena sanksi, sanksi tersebut merupakan peringatan bagi semua anggota militer berdasarkan perintah dari atasan yang memberikan sanksi tersebut. Untuk mencapai ini, saksi hukuman harus adil, tetapi cukup keras. Prosedur disiplin tersebut juga harus dilaksanakan sesegera mungkin. 38. Sanksi disiplin militer dengan pendekatan pendidikan dan pencegahan, akan mempunyai dampak yang besar, jika hak-hak anggota militer yang terkena hukuman dihormati ketika sanksi diberikan. Hal ini misalnya, anggota militer yang terkena hukuman mempunyai hak untuk mengakses data-datanya, mempunyai hak untuk memberikan penjelasan terkait dengan fakta-fakta yang menyebabkan adanya tuduhan kepadanya, sanksi dijatuhkan berdasarkan pada hukum dan kenyataan, dan jika orang yang terkena sanksi tersebut mempunyai hak untuk banding. 39. Dalam hal suatu perbuatan meragukan untuk diberikan hukuman pidana maka dapat diimbangi dengan sanksi disiplin yang efektif pada semua level rantai komando. Langkah-langkah administratif, sesungguhnya dibawah tanggung jawab atasan langsung, menujukkan dua keuntungan kunci; dapat diterapkan secara cepat dan terlihat secara jelas bagi rekan-rekan pelaku. Efek pencegahan ini secara langsung, akan mencegah tingkah laku yang tidak patut/layak ditoleransi atau diterima. 40. Seorang komandan harus melaksanakan kewenangan pendisiplinannya untuk menjaga kedisiplinan dan memastikan penuntutan pada kejahatan-kejahatan serius yang dilakukan, misalnya pada masa perang. Preseden dalam sejumlah peradilan internasional menyatakan bahwa seorang komandan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan kewajibannya, jika tidak maka dia bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi. 41. Sanksi disiplin akan kehilangan dampak pada pendidikan dan pencegahan jika sanksi tersebut tidak dilakukan pada saat, atau segera setelah peristiwa terjadi. Sanksi disiplin ini penting untuk menjaga disiplin militer dan untuk menjaga otoritas seorang komandan/atasan. Saksi disiplin ini juga krusial untuk penuntutan dalam kejahatan-kejahatan serius selama perang, sebagaimana para hakim dalam peradilan internasional menyatakan bahwa sanksi disiplin mempunyai peranan penting dalam menjelaskan fakta bahwa pelanggaran HAM yang berat telah terjadi. 42. Sanksi disiplin adalah tahap yang menentukan dalam proses peradilan pidana, yang berarti bahwa sanksi disiplin adalah kewajiban minimum dari atasan/komandan yang sifatnya segera ketika menghadapai terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh anak buahnya. Sebagai contoh, dalam Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (The International Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR), hakim menyatakan bahwa dalam kasus kegagalan untuk menghukum, tanggung jawab seorang komandan 8

9 dapat terjadi dalam hal kegagalannya untuk menciptakan atau mempertahankan situasi kedisiplinan dan penghormatan terhadap hukum atas anak buahnya yang berada dalam kendalinya (the persons under his or her control). 43. Pengalaman menunjukkan bahwa sanksi yang lebih jelas dan lebih bisa diprediksikan dalam penerapannya, akan semakin mempunyai dampak pencegahan. Hal itu akan memungkinkan hukuman yang efektif kepada anggota militer yang gagal dalam mematuhi hukum, dan mewujudkan suatu hierarki dari cara untuk melaksanakan perintah dan disiplin dan untuk menunjukkan bahwa rantai komando telah jelas dalam mempertahankan nilai-nilai yang fundamental. 44. Merujuk pada tujuan adanya HDM dan hukuman/sanksi atas perbuatan pelanggaran disiplin, maka mekanisme penegakan haruslah memenuhi prinsip-prinsip keadilan atau proses pemeriksaan yang adil (fair trial). Hal ini mencakup tentang prosedur pemeriksaan, pembuktian (termasuk alat-alat bukti), serta kejelasan hukuman yang bisa diprediksikan. Berdasarkan pada prinsip-prinsip pemeriksan yang adil, maka dalam hal adanya keberatan dari pihak yang dijatuhi hukuman, maka pelaksanaan putusan harus ditunda sampai dengan proses akhir atau tahap pemeriksaan yang tidak dimungkinkan lagi adanya keberatan. 45. Namun, catatan yang perlu dipertimbangkan, bahwa seringkali prosedur memenuhi prinsip-prinsip keadilan memakan waktu yang relatif lama, dan tidak memberikan dampak pencegahan atas berulangnya perbuatan pelanggaran disiplin. Dalam situasi tertentu, misalnya dalam kondisi perang, pemeriksaan atas pelanggaran disiplin sampai dengan penjatuhan hukuman memerlukan keputusan yang bersifat segera. Dalam situasi demikian, perlu ada mekanisme khusus dalam prosesnya, dengan adanya penyediaan mekanisme pemulihan (remedy) jika terjadi kesalahan dalam penjatuhan hukuman tersebut. 46. Jenis sanksi atau hukuman dalam pelanggaran disiplin merujuk pada jenis tindakan yang diperbolehkan berdasarkan norma-norma hak asasi manusia, yakni tindakan sanksi yang tidak melukai integritas tubuh. Sanksi yang relevan adalah pencabutan kemerdekaan dan kebebasan tertentu, misalnya dengan pemenjaraan. Namun pencabutan kebebasan seseorang, hanya dapat dilakukan jika diputuskan oleh suatu institusi yang sah dan berwenang, misalnya pengadilan, maka proses penjatuhan hukuman ini harus dilakukan dengan prosedur yang sah dan oleh otoritas yang berwenang. 47. Dalam kancah internasional, salah satu kasus yang mengemuka baru-baru ini, terkait dengan hukum disiplin militer, adalah keluarnya putusan Pengadilan HAM Eropa pada tahun 2011, yang menghukum denda pemerintah Turki, sebesar Euro untuk kerugian immateril, atas tindakan hukuman disiplin terhadap salah satu tentaranya. Dalam kasus tersebut, seorang personil militer Turki telah dijatuhi 9

10 hukuman penjara 7 hari oleh komandannya, karena meninggalkan barak tanpa ijin. Penjatuhan hukuman ini didasarkan kepada Pasal 171 KUHP Militer Turki, yang memberikan wewenang pada atasan komandan untuk melakukan penangkapan dan penahanan sementara waktu atas dasar tindakan indisipliner. Tidak terima dengan tindakan itu, anggota militer bersangkutan telah mengajukan banding pada atasan komandannya, namun ditolak, sampai pada akhirnya dia mengajukan komplain kepada Pengadilan HAM Eropa. Selain menghukum pemerintah Turki, dalam putusannya Pengadilan HAM Eropa juga menegaskan bahwa tindakan penahanan terhadap kebebasan seseorang hanya boleh dilakukan oleh pengadilan, di luar itu harus pula disediakan prosedur banding yang jelas terhadap putusan tersebut. Pengadilan juga meminta kepada pemerintah Turki untuk memperkenalkan dan memastikan adanya sanksi disiplin, yang bukan dalam bentuk hukuman badan (perampasan kebebasan) sehingga tidak perlu melibatkan badan yudisial dalam penjatuhan sanksi tersebut Putusan Pengadilan HAM Eropa ini bisa dimaknai sebagai penegasan tentang keharusan adanya pembedaan kategori dan unsur yang jelas antara hukum disiplin militer dengan tindak pidana militer, termasuk sanki yang dapat dijatuhkan. Mengapa demikian? Oleh karena sangat terkait erat dengan hukum acara prosedur yang musti dijalani untuk masing-masing tindakan tersebut. Berbeda antara prosedur penghukuman disiplin dengan prosedur penghukuman pidana, yang memungkinkan adanya perampasan kebebasan seseorang melalui pengadilan. 49. Setiap negara memang memiliki corak yang beragam di dalam pengaturan mengenai hukum disiplin militer dan hukum pidana militer, tergantung sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara tersebut. Jerman misalnya, negara yang menjadi nenek moyang dari tradisi hukum sipil (civil law system), telah melakukan perombakan total terhadap hukum militernya. Di negara ini tidak dikenal lagi adanya Peradilan Pidana Militer, seluruh tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer, baik sedang bertugas maupun tidak bertugas, akan dilakukan penyidikan oleh Kejaksaan sipil dan akan diperikas di pengadilan umum (pengadilan sipil). Sementara terkait dengan hukum disiplin militer di dalam Kode (Kitab Undang- Undang Hukum) Disiplin Militer yang terakhir kali diamandemen pada 17 Desember Kode Disiplin Militer Jerman ini dengan detail mengenai ruang lingkup hukum disiplin, termasuk siapa saja pihak yang tunduk pada hukum ini, kategori tindakan pelanggaran disiplin yang akan menentukan mekanisme penyelesaiannya, sebatas melalui penghukuman disiplin non-yudisial ataukah harus melalui penghukuman displin yudisial, yang tergantung dari tingkat keseriusan pelanggaran disiplin. Di 1 Lihat Pulatli v. Turkey, dapat diakses di pendocument. 10

11 dalamnya juga diatur mengenai prosedur investigasi dan persidangan untuk penghukuman disiplin, termasuk hak-hak yang dimiliki oleh pelanggar disiplin, juga komposisi hakim disiplin, yang melibatkan unsur sipil serta adanya juri. Diatur pula prosedur banding yang disediakan, termasuk banding ke Pengadilan Administrasi Federal. 51. Sementara Australia, yang hukumnya merujuk pada sistem hukum umum (common law system), mengatur hukum disiplin mereka di dalam Defence Force Discipline Act 1982 yang diamandemen terakhir pada tahun Undang-undang ini mengatur hukum disiplin militer dan pidana militer sekaligus, termasuk penegakkannya. Di dalamnya diatur dengan detail perihal pembedaan antara tindakan disiplin dan tindakan pidana, kategorisasi dan tindakan yang dapat dilakukan. 52. Sedangkan Afrika Selatan yang sistem hukumnya mencoba mengkombinasi antara unsur hukum umum dan hukum sipil, menghadirkan sistem yang agak unik dalam hukum militernya. Ketentuan hukum disiplin militer dan pidana militer diatur di dalam The Military Discipline Supplementary Measures Act yang disahkan tahun Seorang anggota militer dapat diadili di pengadilan umum/sipil untuk pelanggaran hukum umum maupun pelanggaran hukum militer. Akan tetapi dapat pula diadili di peradilan militer baik untuk pelanggaran hukum umum maupun hukum militer. Undang-undang hanya memastikan agar tidak terjadi doble jeopardy terhadap anggota militer bersangkutan. Dalam konteks penegakan hukum disiplin yang diutamakan adalah peran dari para komandan kesatuan. Sementara untuk tindakan pelanggaran hukum/melakukan tindakan kejahatan menjadi domain dari pengadilan, baik pengadilan sipil maupun militer. Ne bis in idem 53. Prinsip Ne bis in idem tidak relevan jika pengaturan dan ranah yurisdiksinya jelas. IV. PENUTUP 54. Pada bagian atas paparan ini telah disinggung mengenai keharusan pembahasan yang pararel antara RUU Hukum Disiplin Militer dan RUU Peradilan Militer. Hal itu penting dilakukan selain untuk menghindari overlapping antara keduanya, serta adanya kejelasan perbedaan antara tindakan mana yang masuk kategori pelanggaran disipilin dan kategori tindak kejahatan, juga memperlihatkan interdependensi antara dua peraturan perundang-undangan ini, guna menegakkan disiplin dan profesionalisme militer, serta memastikan ketaatan dan kepatuhan anggota militer pada hukum dan konstitusi. 11

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu tentang Pertahanan dan Keamanan, Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut,

Lebih terperinci

RANCANGAN. Tahun Sidang : Masa Persidangan : III Rapat ke :

RANCANGAN. Tahun Sidang : Masa Persidangan : III Rapat ke : RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT KOMISI III DPR RI DENGAN KEPALA BADAN KEAHLIAN DPR RI ------------------------------------------------------------ (BIDANG HUKUM, HAM DAN KEAMANAN) Tahun

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.257, 2014 PERTAHANAN. Hukum. Disiplin. Militer. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5591) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

Prinsip Dasar Peran Pengacara

Prinsip Dasar Peran Pengacara Prinsip Dasar Peran Pengacara Telah disahkan oleh Kongres ke Delapan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) mengenai Pencegahan Kriminal dan Perlakuan Pelaku Pelanggaran, Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 74, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3703)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 74, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3703) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 74, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3703) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT

Lebih terperinci

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional Oleh Agung Putri Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Implementasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

URGENSI PERADILAN TATA USAHA MILITER DI INDONESIA. Oleh: Kapten Chk Sator Sapan Bungin, S.H.

URGENSI PERADILAN TATA USAHA MILITER DI INDONESIA. Oleh: Kapten Chk Sator Sapan Bungin, S.H. URGENSI PERADILAN TATA USAHA MILITER DI INDONESIA Oleh: Kapten Chk Sator Sapan Bungin, S.H. 1. Pendahuluan. Pengadilan Tata Usaha Militer yang sering disingkat dengan istilah PTUM merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga kedaulatan Negara yang bertugas untuk menjaga, melindungi dan mempertahankan keamanan serta kedaulatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjadi penyeimbang dalam kehidupan bermasyarakat dipertanyakan. Bagaimana. hambatan dari hal-hal yang dapat menggangu kinerja hukum.

I. PENDAHULUAN. menjadi penyeimbang dalam kehidupan bermasyarakat dipertanyakan. Bagaimana. hambatan dari hal-hal yang dapat menggangu kinerja hukum. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akhir-akhir ini proses penegakan hukum di dalam masyarakat kembali menjadi topik yang sangat hangat untuk dibicarakan, keberadaan hukum yang seharusnya menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selain sebagai mahkluk individu juga merupakan mahkluk sosial

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selain sebagai mahkluk individu juga merupakan mahkluk sosial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia selain sebagai mahkluk individu juga merupakan mahkluk sosial di mana manusia selalu ingin berinteraksi dengan sesama manusia lainnya. Di dalam suatu

Lebih terperinci

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis merupakan upaya yang terus-menerus dilakukan, sampai seluruh bangsa Indonesia benar-benar merasakan keadilan dan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma merupakan wujud dari Prinsip Komplemeter dari badan yudisial tersebut. Pasal tersebut mengatur terhadap

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: Jakarta 14 Mei 2013 Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: a. Pertama, dimensi internal dimana Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Saat ini, jaminan hak asasi manusia di Indonesia dalam tataran normatif pada satu sisi semakin maju yang ditandai dengan semakin lengkapnya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 /PM.4/2008 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 /PM.4/2008 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 /PM.4/2008 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Supriyadi W. Eddyono, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Telp

Lebih terperinci

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM Oleh Asep Mulyana Hak atas informasi atau right to know merupakan hak fundamental yang menjadi perhatian utama para perumus DUHAM. Pada 1946, majelis umum Perserikatan

Lebih terperinci

UNOFFICIAL TRANSLATION

UNOFFICIAL TRANSLATION UNOFFICIAL TRANSLATION Prinsip-prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Annex, UN Doc E / CN.4 /

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Undang Undang Nomor 7 tahun 1946 tentang peraturan tentang

BAB V PENUTUP. Undang Undang Nomor 7 tahun 1946 tentang peraturan tentang 337 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Terjadinya Ketidakmandirian Secara Filosofis, Normatif Dalam Sistem Peradilan Militer Peradilan militer merupakan salah satu sistem peradilan negara yang keberadaannya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 1 - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PENTINGNYA DEKRIMINALISASI PERS DALAM RUU KUHP

PENTINGNYA DEKRIMINALISASI PERS DALAM RUU KUHP MAKALAH PENTINGNYA DEKRIMINALISASI PERS DALAM RUU KUHP Pembicara: Ampuan Situmeang SH, MH ADVOKAT AJI Aliansi Nasional Reformasi KUHP BATAM 21 September 2006 1 PENTINGNYA DEKRIMINALISASI PERS DALAM RUU

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: dalam tahap pembahasannya. Alasan pertama selalu munculnya deadlock

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: dalam tahap pembahasannya. Alasan pertama selalu munculnya deadlock 121 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang diuraikan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Alasan di balik belum direvisinya Undang-Undang

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK A. PENDAHULUAN Salah satu agenda pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

HUKUM DISIPLIN PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) PASKA REFORMASI Oleh: Eka Martiana Wulansari *

HUKUM DISIPLIN PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) PASKA REFORMASI Oleh: Eka Martiana Wulansari * HUKUM DISIPLIN PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) PASKA REFORMASI Oleh: Eka Martiana Wulansari * A. Pendahuluan Mengenai Disiplin Prajurit Tentara Nasional Indonesia pertama kali diatur dalam Wetboek

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME UMUM Sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk mendukung dan mempertahankan kesatuan, persatuan dan kedaulatan sebuah negara. Seperti

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambaha

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambaha No.1775, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DJSN. Kode Etik. Majelis Kehormatan. PERATURAN DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG KODE ETIK DAN MAJELIS KEHORMATAN DEWAN JAMINAN SOSIAL

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER I. UMUM Tentara Nasional Indonesia merupakan bagian tidak terpisahkan dari rakyat Indonesia, lahir dari

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA

PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 24 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemberian sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut. 1. pidana khusus adalah Hukum Pidana Militer.

BAB I PENDAHULUAN. pemberian sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut. 1. pidana khusus adalah Hukum Pidana Militer. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pidana merupakan suatu bagian dari tatanan hukum yang berlaku di suatu negara yang berisikan perbuatan yang dilarang atau tindakan pidana itu sendiri,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LAMPIRAN II: Draft VIII Tgl.17-02-2005 Tgl.25-1-2005 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PERTAHANAN. Hukum. Disiplin. Militer. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 257) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. 1. Independensi kekuasaan kehakiman merupakan suatu conditio sine qua non dalam

BAB IV PENUTUP. 1. Independensi kekuasaan kehakiman merupakan suatu conditio sine qua non dalam BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Independensi kekuasaan kehakiman merupakan suatu conditio sine qua non dalam negara hukum dan demokratis. Sebagai negara hukum, kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan

Lebih terperinci

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA 1. PENDAHULUAN Fakta dalam praktek peradilan pidana sering ditemukan pengadilan menjatuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia adalah Negara Hukum ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan ketiga. Hal ini berarti bahwa di dalam negara Republik

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) PENGADILAN AGAMA TUAL TUAL, PEBRUARI 2012 Halaman 1 dari 14 halaman Renstra PA. Tual P a g e KATA PENGANTAR Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NKRI) tahun 1945

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MUSYAWARAH NASIONAL ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA. Nomor 002/Munas-I/APPI/08/2006 Tentang

KEPUTUSAN MUSYAWARAH NASIONAL ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA. Nomor 002/Munas-I/APPI/08/2006 Tentang KEPUTUSAN MUSYAWARAH NASIONAL ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA Nomor 002/Munas-I/APPI/08/2006 Tentang KODE ETIK PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA Menimbang : a. bahwa profesi adalah pekerjaan yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG UNDANG RANCANGAN UNDANG UNDANG

RANCANGAN UNDANG UNDANG RANCANGAN UNDANG UNDANG RUU-AP VERSI NOVEMBER 2007 (SARAN RAPAT RANCANGAN UNDANG UNDANG NOMOR TAHUN TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK HORMAT PRAJURIT TNI

PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK HORMAT PRAJURIT TNI 1 PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK HORMAT PRAJURIT TNI Oleh : Kolonel Chk Hidayat Manao, SH Kadilmil II-09 Bandung Putusan Hakim tidaklah mungkin memuaskan semua pihak. Putusan Hakim juga bukan Putusan Tuhan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009.... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Teknologi informasi dipercaya sebagai kunci utama dalam sistem informasi manajemen. Teknologi informasi ialah seperangkat alat yang sangat penting untuk bekerja

Lebih terperinci

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Lebih terperinci

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H 1 UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H A. LATAR BELAKANG Pemerintah sangat menjunjung tinggi perlindungan hukum bagi setiap warga negaranya, sehingga diperlukan pemantapan-pemantapan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2009 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1246, 2012 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukuman Disiplin. Penjatuhan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENJATUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM Hukum merupakan landasan penyelenggaraan negara dan landasan pemerintahan untuk memenuhi tujuan bernegara, yaitu mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan

Lebih terperinci

dilibatkan, diminta pendapatnya sehingga materi konstitusi benar-benar mewakili masyarakat secara keseluruhan.

dilibatkan, diminta pendapatnya sehingga materi konstitusi benar-benar mewakili masyarakat secara keseluruhan. dilibatkan, diminta pendapatnya sehingga materi konstitusi benar-benar mewakili masyarakat secara keseluruhan. 3. Afrika Selatan Di Afrika Selatan, proses pembuatan konstitusi perlu waktu 3 tahun dan rakyat

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP Oleh : LBH Jakarta 1. PENGANTAR Selama lebih dari tigapuluh tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP diundangkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Penghormatan dan Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Penghormatan dan Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia XVIII Penghormatan dan Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Pasal 1 ayat (3) Bab I, Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, menegaskan kembali: Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Artinya, Negara

Lebih terperinci

PENDAPAT TERPISAH HAKIM ZEKIA

PENDAPAT TERPISAH HAKIM ZEKIA Saya menyetujui, dengan segala hormat, bagian pengantar keputusan terkait prosedur dan fakta dan juga bagian penutup tentang dengan penerapan Pasal 50 (pas. 50) dari Konvensi terhadap kasus ini. Saya juga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2009 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 01/17/PDK/XII/2012 TENTANG KODE ETIK OTORITAS JASA KEUANGAN

PERATURAN DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 01/17/PDK/XII/2012 TENTANG KODE ETIK OTORITAS JASA KEUANGAN PERATURAN DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 01/17/PDK/XII/2012 TENTANG KODE ETIK OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang:

Lebih terperinci

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 25A Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

2016, No perkembangan peraturan perundang-undangan sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf

2016, No perkembangan peraturan perundang-undangan sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf No.1393, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMHAN. Hukuman Disiplin. Penjatuhan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENJATUHAN HUKUMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 mengakui bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur

Lebih terperinci

Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia

Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia Oleh : Erasmus A. T. Napitupulu Institute for Criminal Justice Reform Pengantar Penyadapan merupakan alat yang sangat efektif dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Pasal 1 angka 3 UUD 1945 merumuskan

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Pasal 1 angka 3 UUD 1945 merumuskan 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 1 angka 3 UUD 1945 merumuskan secara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.407, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN OJK. Audit Internal. Penyusunan Piagam. Pembentukan. Pedoman. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5825) PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna. Dalam suatu kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif maupun yang sudah modern

Lebih terperinci

PEMECATAN PRAJURIT TNI

PEMECATAN PRAJURIT TNI PEMECATAN PRAJURIT TNI Putusan Hakim tidaklah mungkin memuaskan semua pihak. Putusan hakim juga bukan Putusan Tuhan, namun Hakim yang manusia tersebut adalah wakil Tuhan di dunia dalam memberikan Putusan

Lebih terperinci