RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI DI SETU BABAKAN-SRENGSENG SAWAH, KECAMATAN JAGAKARSA-JAKARTA SELATAN OLEH: SITTI WARDININGSIH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI DI SETU BABAKAN-SRENGSENG SAWAH, KECAMATAN JAGAKARSA-JAKARTA SELATAN OLEH: SITTI WARDININGSIH"

Transkripsi

1 RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI DI SETU BABAKAN-SRENGSENG SAWAH, KECAMATAN JAGAKARSA-JAKARTA SELATAN OLEH: SITTI WARDININGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 i

2 ABSTRAK SITTI WARDININGSIH. Rencana Pengelolaan Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan-Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa-Jakarta Selatan. Dibimbing oleh: NURHAYATI. H.S. ARIFIN dan HADI SUSILO ARIFIN. Kawasan Setu Babakan seluas ± 165 Ha, ditetapkan sebagai salah satu bentuk perkampungan melalui Surat Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 92 Tahun 2000, Raperda No.17 Tahun 2004 dan Perda tanggal 21 Mei 2004, tentang Penataan Lingkungan Perkampungan Budaya Betawi di Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa-Kotamadya Jakarta Selatan dan sebagai daerah konservasi air bagi Jakarta Selatan. Kawasan ini merupakan kawasan permukiman yang dipergunakan sebagai area wisata dan di dalamnya terdapat danau, rumah dan pekarangan, kebun, vegetasi serta kegiatan berbagai aktivitas kehidupan yang berkaitan dengan tata cara hidup masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis pola lanskap perkampungan budaya Betawi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya untuk menyusun konsep pengelolaan kawasan agar berkelanjutan. Penelitian menggunakan metode survei mencakup aspek kesejarahan biofisik, sosial budaya, wisata dan kebijakan serta pengelolaan. Berdasarkan evaluasi lahan yang dilakukan dengan pendekatan biofisik, menunjukkan kelas kesesuaian lahan Perkampungan Budaya Betawi untuk permukiman dan wisata adalah sedang sampai baik. Diperlukannya drainase dan sedikit upaya rekayasa untuk mengatasi permeabilitas kawasan. Pengembangan kawasan Perkampungan Budaya Betawi selanjutnya dibagi menjadi tiga zona ruang yaitu (1) konservasi budaya, (2) konservasi ekologis, (3) pengembangan wisata rekreatif. Sedangkan untuk obyekobyek yang mempunyai daya tarik wisata perlu diberi akses yang baik dengan cara menyusun hubungan antar ruang dengan pola jalur sirkulasi yang logis. Sirkulasi secara umum terbagi dua, yaitu sirkulasi permanen dan sirkulasi temporer. Sirkulasi permanen untuk menghubungkan ruang-ruang wisata terbatas yang dapat dikunjungi setiap saat dan temporer, sirkulasi yang menghubungkan ruang-ruang wisata hanya pada waktu tertentu saja Sistim pengelolaan lanskap kawasan Perkampungan Budaya Betawi tersusun atas delapan komponen yang saling berkoordinasi dengan baik yaitu (1) sumberdaya tapak, (2) sumberdaya budaya, (3) pembina, (4) pengarah, (5) pemilik, (6) pengguna, (7) pengelola, (8) investor/jika dimungkinkan. Strategi dan program pengelolaan kawasan meliputi: (1) Pengelolaan diutamakan untuk mendukung pelestarian kawasan perlindungan budaya Betawi dan penyangga sistim ekologis. (2) Pengelolaan untuk menjadikan kawasan sebagai salah satu tujuan daerah tujuan wisata di DKI Jakarta. Dilakukan konsep zonasi ruang dengan tingkat pengelolaan meliputi, zona inti (konservasi budaya), zona penyangga (konservasi ekologis), zona wisata pengembangan (wisata rekreatif) serta beberapa tindakan lainnya. Program pengelolaan untuk pengembangan kawasan berdasarkan, konservasi budaya, konservasi ekologi dan pengembangan pariwisata wisata rekreatif. ii

3 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI DI SETU BABAKAN-SRENGSENG SAWAH, KECAMATAN JAGAKARSA-JAKARTA SELATAN Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan untuk memperoleh gelar pada program S2. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan diperiksa kebenarannya. Bogor, Desember 2005 SITTI WARDININGSIH Nrp : A iii

4 RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI DI SETU BABAKAN-SRENGSENG SAWAH, KECAMATAN JAGAKARSA-JAKARTA SELATAN OLEH: SITTI WARDININGSIH Tesis sebagai salah satu syarat untuk mermperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Arsitektur Lanskap SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 iv

5 Judul Tesis Nama : Rencana Penglolaan Lanskap Perkampungan Budaya Betawi Di Setu Babakan-Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa- Jakarta Selatan. : Sitti Wardiningsih NIM : A Program Studi : Arsitektur Lanskap Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Nurhayati H. S. Arifin, M.Sc. Ketua Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. Tanggal Ujian: 15 September 2005 Tanggal Lulus: v

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kertosono, Jawa Timur pada tanggal 28 Oktober l958 merupakan putri ketujuh dari sembilan bersaudara dari ayah Marwoto Surodiharjo (Alm) dan ibu Suharti Ngali (Almh). Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen Indonesia, lulus pada tahun l984 di Jakarta. Penulis masuk S2 pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan memilih Program Studi Arsitektur Lanskap pada tahun Penulis bekerja di Jakarta International Airport Proyek Pembangunan Airport Cengkareng pada tahun , pada tahun l995 bekerja pada Konsultan Interior di Jakarta. Tahun l995 penulis bekerja sebagai tenaga edukatif di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur Universitas Borobudur. vi

7 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala karunianya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2003 sampai dengan bulan Oktober tahun 2004 ini merupakan penelitian lanskap budaya dengan judul Rencana Pengelolaan Lanskap Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan-Serengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Karya ilmiah ini memuat tentang konsep pengelolaan kawasan di Setu Babakan. Kawasan dikelola berdasarkan konsep zonasi ruang, yang terbagi menjadi tiga yaitu: zona konservasi budaya, zona konservasi ekologis dan zona pengembangan pariwisata sebagai wisata rekreatif. Kemudian berdasarkan pembagian zonasi tersebut diusulkan strategi dan program pengelolaan yang dapat diterapkan di kawasan Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, M.Sc., dan Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada pengelola Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan- Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa dan Lembaga Kebudayaan DKI, Pemda DKI serta teman-teman S1 IPB dan S1 Fakultas Teknik Universitas Kristen Indonesia serta Universitas Borobudur Jurusan Arsitektur, Universitas Persada Indonesia UPI YAI Jurusan Arsitektur yang telah membantu selama pengumpulan data. Terima kasih kepada teman-teman dari Program Studi Arsitektur Lanskap, Pascasarjana IPB angkatan tiga atas bantuan dan dukungannya. Ungkapan terima juga disampaikan kepada suami Bimbo, anakku Anggie, serta kedua orang tua almarhum dan almarhumah, terimakasih kepada seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang memerlukannya. Bogor, Desember 2005 Sitti Wardiningsih vii

8 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xi xii xiv PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 3 Manfaat Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Sejarah Masyarakat Betawi... 4 Lanskap Budaya... 7 Lanskap Budaya Betawi... 7 Pola Permukiman... 8 Pola Pekarangan... 9 Elemen-Elemen Pekarangan Pengelolaan Berkelanjutan Pengembangan Rencana Tata Ruang Konservasi Ekologis Konservasi Budaya Wisata Budaya METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Metode Penelitian Metode Survei Pendekatan Analisis dan Sintesis viii

9 Halaman KONDISI UMUM KAWASAN Sejarah dan Upaya Pelestarian Budaya Geografi Aksesibilitas dan Lokasi Kependudukan Sosial dan Budaya Permukiman dan Bangunan Utilitas Lingkungan HASIL DAN PEMBAHASAN Lanskap Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan Kondisi Biofisik Iklim Topografi Geologi Hidrologi Vegetasi Fauna Kondisi Fisik Tata Guna Lahan Fasilitas Sirkulasi Permukiman Pola Pekarangan Arsitektur Bangunan Kualitas Visual Fasilitas Umum dan Sosial Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Kependudukan Sosial Ekonomi Sosial Budaya ix

10 Halaman Kebijakan Peraturan dan Rencana Pengembangan Status dan Fungsi Kawasan Pengelolaan dan Master Plan Aspek Wisata Aktivitas Pengunjung Atraksi dan Obyek Wisata Fasilitas Penunjang Wisata Sirkulasi pada Kawasan Persepsi Masyarakat Analisis Tata Ruang Analisis Kesesuaian Lahan Analisis Kesesuaian Master Plan Potensi Lanskap Budaya Potensi Lanskap sebagai Penyangga Sistim Ekologi Potensi Lanskap Wisata Konsep Pengembangan Kawasan Konsep Zonasi Ruang Konsep Sirkulasi Konsep Pengelolaan Perkampungan Budaya Betawi Zonasi Ruang Tingkat Pengelolaan Strategi Pengelolaan Program dan Tindakan Pengelolaan SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN x

11 DAFTAR TABEL Halaman 1. Jenis dan Indikator Pengamatan dan Sumber Data Luas Kemiringan Lahan Sifat dan Corak Tanah Setu Babakan Rencana Penanaman Pohon oleh Pemda DKI Jakarta Penggunaan Lahan di Setu Babakan Jumlah Penduduk Tahun 2002 di Setu Babakan Prosentase Penduduk Asli dan Pendatang Komposisi Jenis Profesi di Kawasan Komposisi Tingkat Pendapatan per bulan Masyarakat di Kawasan Presentasi Masyarakat Betawi dan Non Betawi yang masih melakukan Upacara Adat Jenis Kegiatan Kesenian yang Terdapat di Kawasan Jumlah Pengunjung Perkampungan Budaya Betawi Jenis Aktivitas Wisata Jenis Atraksi pada Kawasan Kriteria usia Responden Persepsi Penduduk Betawi dalam Kawasan Terhadap Pengembangan Kawasan sebagai Perkampungan Budaya Betawi Persepsi Pengunjung Terhadap Pengembangan Kawasan Kesesuaian Lahan Secara Aktual dan Potensial Evaluasi Potensi Obyek Wisata xi

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Pola Perkampungan di Perkotaan, (a) Kampung Kota, (b) Kampung Pinggiran, (c) Kampung Perdesaan Pola Perkampungan Perdesaan Betawi, (a) Kampung Bagian Dalam, (b) Kampung Bagian Pesisir Pantai Suasana Perkampungan Betawi, (a) Perkampungan Bagian Dalam di Condet, (b) Perkampungan Bagian Pesisir Pantai di Marunda Jenis-Jenis Rumah Betawi, (a) Rumah Bapang/Kabaya, (b) Rumah Joglo, (c) Rumah Gudang Rumah Panggung Adat Betawi pada Daerah Pesisir Lokasi Penelitian di Kampung Babakan Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan Tahapan dan Kerangka Pikir Penelitian Batas-batas Administrasi Kawasan Skema Aksesibilitas Menuju Lokasi Studi Peta Topografi dan Kemiringan Lahan Peta Geologi Perkampungan Budaya Betawi Peta Hidrologi dan Drainase Tapak Kondisi Saluran Irigasi pada saat musim kemarau Kondisi Setu Mangga Bolong Ditumbuhi eceng gondok dan sampah Peta Penyebaran Vegetasi Penggunaan Lahan sebagai, (a) Danau, (b) Pekarangan, (c) Empang, (d) Kebun Buah Kondisi Fisik, (a) Jalan Cone Block, (b) Jalan Cor Semen Sketsa Pola Permukiman secara umum Di Setu Babakan Sketsa Pola Permukiman, (a) Bagian Luar, (b) Bagian Dalam Beberapa Pola Penggunaan Lahan Pekarangan, (a) Ruang Terbuka, (b) Nursery, (c) Tempat Menjemur (d) Kebun Buah Sketsa Beberapa Contoh Pola Pekarangan Keragaman Arsitektur Bangunan di Setu Babakan, (a) Rumah Betawi, (b) Arsitektur bercirikan hanya pada bagian atas, (c) Arsitektur Moderen xii

13 Halaman 23. Kedudukan Posisi Bangunan Arsitektur Betawi terhadap tanah, (a) Melekat pada tanah, (b) Berada diatas Umpak Detail Arsitektur Betawi, (a) Langkan, (b) Gigi Balang, (c) Jendela Setengah Lingkaran, (d) Jendela Krepyak Empat Persegi Panjang Kondisi Visual Kawasan, Good View, (a) Visual Setu, (b) Rumah Adat, (c) Aliran Air dari Out let Danau. Bad View, (d) Lahan Kosong sebagai tempat penimbunan barang bekas, (e) Warung yang kurang tertata, (f) Keramba Jaring Apung (g) Setu Mangga Bolong menjadi tempat Pembuangan Sampah, Peta Persebaran Penduduk Peta Persebaran Penduduk Asli dan Pendatang Kegiatan Budaya di Setu Babakan (a) Sepasang Pengantin, (b) Ngarak Penganten Sunat, (c) Tari Topeng, (d) Lenong Denes Persebaran Kegiatan Budaya Fasilitas Wisata di Kawasan, (a) Fasilitas Loket Pembayaran, (b) Fasilitas Wisata Air Pintu Gerbang (a) Si Pitung, (b) Penghubung Peta Sirkulasi di Kawasan Studi Peta Tata Guna Lahan Peta Kesesuaian Lahan Untuk Permukiman Peta Kesesuaian Lahan Untuk Rekreasi Master Plan Perkampungan Budaya Betawi Konsep Zonasi Ruang Peta Zonasi Ruang Berdasarkan Fungsi Skema Sirkulasi Wisata Konsep Struktur Organisasi Pengelolaan xiii

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Jenis Fungsi Tanaman dan Lokasi Tanam Lampiran 2 Aktivitas Budaya Berkaitan dengan Siklus Hidup manusia Lampiran 3 Aktivitas Budaya Berkaitan dengan Adat Kebiasaan sehari-hari Lampiran 4 Aktivvitas Budaya Berkaitan dengan Hari Besar Islam Lampiran 5 Susunan Perangkat Organisasi Perkampungan Budaya Betawi. 128 Lampiran 6 Hasil Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Bangunan (maksimum 3 lantai) Lampiran 7 Hasil Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Rekreasi Lampiran 8 Hasil Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Kemah Lampiran 9 Hasil Analisis Kegiatan Budaya di Perkampungan Budaya Betawi Lampiran 10 Analisis Kawasan Sebagai Lanskap Budaya Berdasarkan Potensi dan Kendala Lampiran 11 Usulan Struktur Organisasi Pengelolaan xiv

15 PENDAHULUAN Latar Belakang Kota Jakarta mempunyai dua fungsi dan kedudukan, yaitu sebagai ibukota negara dan kota metropolitan yang semakin lama semakin berkembang. Perkembangan ini sangat mempengaruhi pertumbuhan penduduk, ekonomi, sosial, politik dan budaya. Pesatnya perkembangan kota memberi dampak terhadap perubahan nilai-nilai sosial ekonomi, seni budaya, pola permukiman, arsitektur pada masyarakat Betawi yang merupakan embrio dari masyarakat Jakarta yang semakin terdesak ke daerah pinggiran dan semakin kehilangan identitasnya. Menurut Surjomiharjo (2000) penduduk Kota Jakarta pada tahun 2005 mencapai 12 juta jiwa. Pertambahan jumlah penduduk akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan ruang, fasilitas permukiman, sarana perekonomian pendidikan, jalur sirkulasi, rekreasi, ruang terbuka dan rumah tinggal. Gejala perkembangan kota dan pertambahan penduduk semakin meningkatkan kesadaran masyarakat Betawi, khususnya dalam wadah lembaga Badan Masyarakat Betawi dan Lembaga Kebudayaan Betawi dan Yayasan-Yayasan masyarakat Betawi yang memiliki tanggung jawab moral untuk memotivasi, membina dan mengembangkan serta sekaligus melestarikan budaya masyarakatnya. Organisasi dan lembaga masyarakat Betawi dalam naungan Departemen Pendidikan Kebudayaan dan Dinas Permuseuman berusaha untuk melindungi dan melestarikan masyarakat dan budaya Betawi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam pembentukan dan perkembangan kota Jakarta. Kawasan Setu Babakan ditetapkan sebagai daerah resapan air untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan DKI Jakarta terutama bagian Selatan Jakarta, berdasarkan Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 6 tentang tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan diperjelas dalam paragraf 12 pasal 74, bahwa Kawasan termasuk dalam Perioritas Pengembangan di tingkat Kotamadya dan diarahkan pada bagian wilayah kota yang memiliki peran dan fungsi strategis bagi pengembangan kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. Kawasan termasuk dalam perioritas pengembangan yang didukung hutan kota yang serasi untuk kawasan wisata budaya dan Setu Mangga Bolong sebagai wisata lingkungan.

16 2 Kawasan Setu Babakan sebagai Perkampungan Budaya Betawi ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 92 Tahun 2000, tentang penataan lingkungan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengeng Sawah Kecamatan Jagakarsa Kotamadya Jakarta Selatan. Berdasarkan aspek legal di atas kawasan yang memiliki luas ± 165 ha ini akan dikembangkan sebagai wilayah pelestarian alam, lingkungan ekosistem serta seni budaya tradisi masyarakat dengan tidak menghambat perkembangan lingkungan maupun penduduk sekitar untuk meningkatkan sosial ekonomi dan kesejahteraan hidupnya. Kawasan Setu Babakan sebagai kawasan perlindungan budaya Betawi mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata budaya yang menarik.pengembangan kawasan Perkampungan Budaya Betawi sebagai kawasan wisata budaya membutuhkan penyediaan fasilitas untuk menunjang aset wisata budaya dan akan menyebabkan perubahan-perubahan pada kawasan. Tujuan pengembangan kawasan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetapi harus mempertimbangkan kepentingan dan keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungannya. Penetapan kampung Setu Babakan sebagai kawasan perlindungan budaya Betawi karena kampung ini merupakan kawasan prioritas pada tingkat wilayah kotamadya. Setu Babakan memiliki peranan dan fungsi strategis bagi pengembangan kegiatan ekonomi, sosial budaya dan lingkungan kota, dengan skala prioritas pembangunannya dalam rangka mendorong pertumbuhan kota sesuai ke arah yang direncanakan. Adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun l999 tentang Otonomi Pemerintah Daerah, berimplikasi pada desentralisasi kewenangan pemerintah pusat kepada daerah. Pemerintah Daerah DKI Jakarta sebagai propinsi, mempunyai otonomi dan kewenangan, untuk mengatur kotanya secara penuh dengan mengembangkan berbagai potensi guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebagai salah satu usahanya adalah mengembangkan sektor wisata, terutama yang berkaitan dengan seni budaya asli masrayakat Betawi. Tindakan evaluasi terhadap pengembangan kawasan Setu Babakan perlu dilakukan dalam rangka menyusun sistim pengelolaan dengan memperhatikan

17 3 aspek ekologis dan sosial budaya yang berkaitan dengan upaya konservasi sumberdaya alam dan pelestarian budaya. Pengembangan kawasan Setu Babakan memerlukan pengelolaan yang terpadu dan terencana untuk tetap mempertahankan fungsi kawasan sebagai daerah resapan air (PP No. 6 tahun 1999) dan sebagai kawasan perlindungan budaya Betawi (SK Gubernur DKI Jakarta No. 92 tahun 2000). Pengelolaan lanskap kawasan yang bijaksana berbasis pada pengelolaan sumberdaya lanskap (alam, manusia, budaya) yang tepat, diharapkan dapat mempertahankan fungsi kawasan sebagai cagar budaya dan sistem ekologi, sehingga kehidupan masyarakat Betawi dapat berjalan secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat secara luas. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis pola lanskap perkampungan Betawi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya untuk menyusun suatu konsep pengelolaan agar upaya pelestarian kawasan dapat terwujud dalam sistem ekologis yang berkelanjutan. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dinas-dinas terkait, para investor dan pihak pengembang serta pengelola kawasan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan perkampungan budaya Betawi.

18 TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Masyarakat Betawi Etnis Betawi merupakan hasil sejarah di mana terjadi perpaduan biologis dan unsur budaya antar suku dan antar bangsa, yang kemudian membentuk masyarakat khusus dengan ciri-ciri khusus (Wangrea 1985). Diawali ketika VOC mulai berjaya di Batavia tahun 1610 banyak mendatangkan para pedagang dari penjuru dunia dan menetap di Batavia (Castle, 1967). Pada masa pertumbuhannya Jakarta dihuni oleh orang Sunda, Jawa, Bali, Maluku dan dari beberapa daerah lainnya di samping orang Cina, Belanda, Portugis dan Arab. Mereka berdatangan dengan berbagai sebab dan tujuan masing-masing, tetapi secara sengaja dan tidak sengaja mereka membawa serta adat istiadat dan tradisi budaya mereka sehingga terjadi proses akulturasi diantara beberapa kelompok yang ada dan saling menyesuaikan diri Castles (1967) dan Siswantari (2000) menyatakan berdasarkan sejarah demografi etnis Betawi terbentuk antara tahun Etnis baru tersebut merupakan hasil perkawinan orang-orang dari seluruh penjuru Nusantara dan juga dari luar Bengal, Malabar (India) dan Arakan (Birma) orang-orang tersebut datang sebagai budak. Sedangkan menurut Hanna (l986) orang Betawi berasal dari hasil perkawinan campuran orang Cina perantauan dengan wanita pribumi. Hal tersebut berbeda dengan peryatakan Saidi (l997) bahwa masyarakat Betawi berasal dari migran Melayu Kalimantan Barat yang melakukan perkawinan dengan penduduk asli Jawa yang pada akhirnya, disebut dengan Melayu Jawa dan diyakini sebagai cikal bakal orang Betawi. Kelompok-kelompok etnis tersebut menamakan kelompoknya sebagai Orang Betawi yang disatukan dengan penutur yaitu dialek Betawi. Menurut Melalatoa (1993) masyarakat Betawi merupakan salah satu etnis yang mempunyai daerah penyebaran di DKI Jakarta Raya dan di wilayah sekitarnya Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Menurut Shahab (l997), bahwa masyarakat Betawi terbagi menjadi empat kelompok besar yaitu: 1) Betawi Tengah, mendiami wilayah Jakarta Pusat yaitu: sekitar Gambir, Menteng, Senen, Kemayoran, Sawah Besar dan Taman Sari. Orang Betawi tengah dibedakan atas 2 bagian:

19 5 a) Orang gedong (kelas atas dengan tingkat ekonomi tinggi, berpendidikan tinggi, bekerja sebagai pegawai pemerintah). b) Orang kampung (kelas bawah dengan tingkat ekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, tinggal dalam perkampungan dan hidup sebagai petani, sopir, tukang sado, tukang cukur, pengrajin, pedagang berskala kecil). 2) Betawi Pinggir memiliki ciri keislaman yang menonjol mendiami sekitar Kebayoran Baru, Mampang Prapatan, Pasar Minggu, Tebet, Pasar Rebo, Jatinegara, Pulo Gadung, Cakung, Kramat Jati, Matraman, Cempaka Putih, dan Grogol Petamburan. 3) Betawi Udik mendiami di pinggiran Jakarta yaitu disekitar, Tanggerang, Cengkareng, Kebon Jeruk, Cileduk, Ciputat, Keboyoran Lama, Cilandak, Sawangan, Cimanggis, Batu Ceper, Keramat Jati, Cakung, Pondok Gede, dan Bekasi. Orang Betawi Udik terbagi menjadi dua tipe yang dipengaruhi oleh: a) kebudayaan Cina, mendiami pada bagian utara dan barat Jakarta serta Tanggerang. b) kebudayaan Sunda, mendiami sebelah timur dan selatan Jakarta, Bekasi serta Bogor, dan mendapat sebutan dengan Betawi ora. 4) Betawi Pesisir mendiami di pinggiran pantai Jakarta, yaitu: Teluk Naga, Mauk, Japad, Tanjung Priok, Marunda Kepulauan Seribu. dipengaruhi oleh kebudayaan Cina. Sebagai catatan, menurut Saidi (l967) kelompok Betawi Pinggiran yang mendiami bagian selatan Jakarta meliputi wilayah Jakarta Timur, sebagian Jakarta Selatan, Bogor dan Bekasi, banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa dan Sunda. Menurut Shahab (l997) bahwa penduduk asli dan migran yang datang ke ibukota dan menetap secara turun temurun disebut sebagai Betawi Baru. Muntaco menambahkan (l988) bahwa yang disebut dengan orang Betawi adalah masyarakat yang empat sampai lima generasi sudah tinggal di Jakarta, serta mengakui dirinya sebagai orang Betawi. Kebudayaan merupakan keseluruhan sistim gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat l986). Kebudayaan terdiri dari nilainilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang dunia yang berada di balik

20 6 perilaku manusia, dan yang tercermin dalam perilaku. Menurut Koentjaraningrat (l986), ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia, yaitu: (1) bahasa, (2) sistim pengetahuan (3) organisasi sosial, (4) sistim peralatan hidup dan teknologi, (5) sistim mata pencaharian hidup, (6) sistim religi, (7) kesenian. Tiap unsur kebudayaan tersebut menjelma dalam tiga wujud kebudayaan yaitu: berupa sistem budaya, berupa sistem sosial, dan berupa beberapa unsur kebudayaan fisik. Lahirnya kebudayaan Betawi melalui proses yang berawal dari kedatangan para pendatang dengan tujuan masing-masing dan secara tidak sengaja membawa adat istiadat budaya masing masing. Secara perlahan-lahan tetapi pasti terjadi proses alkulturasi di antara kelompok-kelompok yang saling menyesuaikan diri. Keberadaan kebudayaan Betawi dikarenakan adanya kelompok yang masih mendukung secara turun temurun dan masih terus berlangsung hidup sampai sekarang. Menurut Saidi (l997) bahwa komunitas Betawi merupakan suatu kelompok masyarakat etnis yang secara turun temurun menggunakan bahasa Betawi dan patuh terhadap adat istiadat. Keberadaan orang Betawi sebagai etnis tersendiri dapat dilihat dari identifikasi etnis menurut pengakuan dan ciri-ciri budaya yang ditampilkan misalnya bahasa, dialek, kesenian pakaian, makanan, dan sistem keyakinan dalam agama. Kebudayaan Betawi meliputi seluruh kelakukan dan hasil dari kelakukan manusia yang diatur oleh tata laku masyarakat pendukungnya dalam tradisi adat istiadat budaya yang bercirikan khas Betawi, dan bahasa dipergunakan sehari-hari sebagai alat pemersatu diantara mereka, adalah bahasa Melayu Betawi. Bukti hasil assimilasi budaya campuran ini masih terlihat dari tipe pakaian yang dikenakan oleh sepasang pengantin saat upacara perkawinan, atau benda-benda lainnya. Keunikan yang dimiliki kebudayaan Betawi adalah kelenturannya dalam menghadapi berbagai pengaruh dari dalam dan dari luar. Karena kelenturannya maka dengan mudah kita dapat mengenali ciri-cirinya seperti pada kesenian, seni drama, seni tari. Saidi (l995) menambahkan karena terlalu banyak unsur-unsur yang menpengaruhi dalam proses pembentukan kebudayaan Betawi sehingga sangat majemuk dan kosmopolit.

21 7 Lanskap Budaya Lanskap adalah ruang di sekeliling kita di mana manusia sebagai mahluk yang merasakan, dan mencakup segala hal yang bisa dilihat dan dirasakan (Eckbo l964). Sung (1988) mengatakan lanskap sebagai integrasi fenomena budaya dimana hubungan antara budaya satu dengan budaya lainnya saling berinteraksi dengan baik dan membentuk satu kesatuan. Lanskap budaya adalah istilah yang menunjukkan suatu kawasan lanskap yang tersusun oleh budaya manusia, dan dapat dikatakan juga sebagai konfigurasi secara keseluruhan dari topografi, penutupan vegetasi, tata guna lahan dan terdiri dari pemukiman yang membatasi keterkaitan dari proses budaya, alam serta aktivitasnya. Menurut Bimbaum (2001) lanskap budaya adalah suatu area geografis yang dilengkapi dengan kebudayaan dan sumber daya alam serta kehidupan satwa didalamnya yang terkait dengan suatu peristiwa bersejarah dan aktivitas seseorang yang menunjukkan suatu kebudayaan ataupun nilai keindahan. Lanskap budaya juga dapat dikatakan sebagai cerminan interaksi dari manusia dan lingkungan yang alami melalui ruang dan waktu serta merupakan suatu fenomena yang kompleks dengan identitas, baik yang dapat dilihat ataupun disentuh. Lanskap Budaya Betawi Lanskap budaya Betawi terjadi karena aktifitas orang Belanda yang melahirkan bagian kota dan mirip dengan kota di Belanda, di pihak lain tumbuh beberapa permukiman kaum asli yang memiliki ciri-ciri pertumbuhannya sendiri. Di daerah pantai, permukiman pribumi tersebut merupakan permukiman nelayan, dan di daerah hinterland (dalam) merupakan permukiman yang bercirikan desa pertanian/perkebunan. Daerah pantai kebanyakan dihuni oleh Jawa, Cina dan pendatang lainnya, sedangkan di daerah bagian dalam, di huni oleh orang Sunda, Jawa dan Betawi. Sejak saat ini dikenal istilah Kampung Melayu, Kampung Bali dan sebagainya yang menandai latar belakang etnis masing-masing permukimannya yang berkembang sejak abad ke 17 sampai saat kini. Pada tahun 1840, istilah kampung (compound) untuk mengindikasikan permukiman penduduk asli yang dibedakan dari istilah kota untuk

22 8 permukiman Belanda. Pertumbuhan kampung pada umumnya pada jalur komunikasi dan pusat perdagangan yang dibangun Belanda saat itu. Bentukan kampung secara tipologi diklasifikasikan menjadi tiga (Harun, et. al. 1999) (Gambar 1) yaitu: 1) Kampung Kota berada di daerah pusat-pusat kegiatan kota yang biasanya berkepadatan sangat tinggi (Kampung Kebon Sirih l975) 2) Kampung Pinggiran berada pada daerah pinggiran kota tetapi masih dalam batas wilayah dan kegiatan-kegiatan kota, berkepadatan rendah tetapi kadangkadang ada juga yang berkepadatan tinggi (Kampung Budi Kemuliaan l975) 3) Kampung Perdesaan, berada di luar batas wilayah dan kegiatan perkotaan yang berkepadatan rendah dan kebanyakan bertumpu pada kegiatan pertanian dan perkebunan ( Kampung Slipi l975). (a) (b) Sumber: Harun, et, al. (1983) Gambar 1 Pola Perkampungan di Perkotaan, (a) Kampung Kota, (b) Kampung Pinggiran, dan (c) Kampung Perdesaan. Pola Permukiman Permukiman dalam istilah Jawa mempunyai arti panggonan, kedudukan, kediaman, papan atau daerah, area, ruang, habitat, menyangkut keadaan permukaan tanah dibatasi oleh tanda tanda alamiah atau buatan. Unsur-unsur tanda yang mengambaran visual ruang dibatasi oleh bidang dasar, udara diatasnya, dan lingkungan hidup, menyangkut keserasian, keselarasan visual antara manusia dengan bentuk-bentuk keseimbangannya (Ronald 1997).

23 9 Keadaan lingkungan permukiman Betawi secara umum terbagi menjadi dua rona yaitu; lingkungan permukiman di bagian dalam (hinterland) dan lingkungan di bagian pesisir dari Jakarta (Gambar 2 ). Rumah. Kebun Rumah (a) Empang Sumber: (Harun, et, al l983) Gambar 2 Pola Perkampungan Perdesaan Betawi, (a) Kampung Bagian Dalam, (b) Kampung Bagian Pesisir. ( b) Muara Sungai a (a) (b) Sumber: Harun, et, al (l983). Gambar 3 Suasana Perkampungan Betawi, (a) Perkampungan Bagian dalam (hinterland) di Condet, (b) dan Perkampungan Bagian Pesisir Pantai di Marunda. Pola Pekarangan Pola pekarangan rumah tradisional Betawi biasanya terdapat pada perkampungan bagian dalam. Pada umumnya mempunyai pekarangan yang cukup luas dan ditumbuhi pohon buah-buahan. Menurut Syafwandi et. al (1996) ada kalanya bagi masyarakat yang mampu dijumpai empang/rawa, sumur dan jamban/wc umum, ruang terbuka, tempat menjemur, serta dapat pula dijumpai

24 10 juga tempat pemakamaan keluarga, yang dibatasi dengan tanaman seperti pandan sebagai batas halaman. Menurut Harun et. al (l999) bahwa pola tata ruang pekarangan secara tradisional, letak rumah pada bagian dalam (hinterland) dibedakan menjadi tiga (3) karakter pola tata ruang yaitu: 1) Pola memusat berada pada lokasi bagian dalam (agak jauh dari jalan besar) perkampungan memiliki pola yang terpencar karena rumah tersebut dibangun di tengah-tengah kebun buah atau lahan-lahan yang kering. 2) Pola di bagian luar (dekat atau langs ung berada dekat pada jalan), rumahrumah lebih bersifat mengelompok padat atau berjajar di sepanjang jalan dan hanya dikelilingi oleh pekarangan yang sempit. Namun hal tersebut bukan berati bahwa pemilik rumah memiliki lahan yang sempit, karena seringkali kebun buah-buahan atau lahan kering yang dimilikinya terdapat pada lokasi lain. 3) Pola menyebar, dalam arti jarak rumah satu ke rumah yang lainnya terletak cukup jauh, hanya dibatasi perkebunan atau persawahan dan dikaitkan dengan pola kehidupan masyarakat setempat pada umumnya bercocok tanam dan berdagang.. 4) Pola permukiman dekat dengan badan air. Pada umumnya rumah tradisional Betawi secara geografis, rumah berada pada tepi sungai atau muara, dan pada bagian belakang rumah menghadap kesungai atau ke muara (Syafwandi et. al l996). Pola ruang pada masyarakat Betawi umumnya mempunyai akses jalan penghubung yang berupa jalan setapak dengan lebar jalan lebih kurang meter. Menurut Departemen Pendidikan Kebudayaan, Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya DKI (l997) bahwa pola pekarangan Betawi pada umumnya terbagi dalam zonasi yaitu: 1) Zona hunian utama (Rumah Utama/ induk) yang dihuni oleh pemilik orang tua 2) Zona hunian pendukung, dihuni oleh anak yang sudah menikah, sanak saudara atau famili. 3) Zona perkebunan (ditanami tanaman khas Betawi seperti pohon buah, sayuran maupun tanaman obat). 4) Zona pelengkap (pemakaman keluarga, empang/ kolam, kandang ayam,

25 11 tempat pembakaran sampah, lapangan bulu tangkis, sumur, jemur pakaian).. Elemen-Elemen Pekarangan Elemen pekarangan pada lanskap Betawi adalah rumah yang bercirikan arsitektur Betawi. Pada hakekatnya suatu karya arsitektur adalah hasil upaya manusia menciptakan lingkungan yang utuh untuk menampung kebutuhan manuisa bertempat tinggal, berusaha atau bersosial budaya. Budaya bersifat totalitas kompleks dari gagasan dan hal-hal yang dihasilkan oleh manusia. Budaya juga dapat digambarkan sebagai cara manusia untuk beradabtasi dengan lingkunganya dalam mencapai tujuannya. Secara umum rumah tradisional Betawi dipengaruhi oleh rumah adat Sunda dan Jawa (Sumintardja 1978). Bentuk bangunan arsitektur khas Betawi dilengkapi dengan ornamen-ornamen dan mempunyai beberapa ciri khusus seperti: dinding terbuat dari Jaro atau bambu dan jendela terbuat dari papan masif dengan jalusi (krepyak) dari kayu, langkan pada paseban, gigi balang dan lain-lain. Dalam keragaman bentuk atap, rumah Betawi dibedakan menjadi tiga, di mana masing-masing jenis membedakan tingkatan sosial masyarakatnya seperti tersaji pada Gambar 4. Jenis rumah Betawi terdiri atas: 1) Bapang atau Kabaya, berdenah empat persegi panjang dan atap berbentuk seperti kebanyakan atap di daerah Jawa Timur. Bentuk ini biasanya dimiliki oleh masyarakat kelas atas. 2) Rumah Joglo, berdenah bujur sangkar atap atap berbentuk menyerupai atap pelana agak memanjang dengan penutup atap genteng, umumnya dihuni oleh masyarakat kelas menengah. 3) Rumah Gudang, berdenah segi empat panjang, atap berbentuk pelana ditutup bahan alang-alang, umumnya dihuni oleh masyarakat kelas bawah. Saidi (2001), mengatakan pada awalnya rumah tradisional Betawi berbentuk panggung. Konsep tersebut didasari atas kepercayaan bahwa tanah dianggap suci dan terbagi atas: tipe rumah panggung yang berada di atas permukaan air sungai/laut setinggi ± meter dan terdapat pada tepi sungai atau bahkan dipinggir laut (Gambar 5). Dalam mendirikan bangunan tidak ada persyaratan khusus tetapi ketentuan yang bersifat umum dalam mendirikan

26 12 bangunan, yang harus dihindari adalah di atas tanah yang dikeramatkan. Posisi letak rumah anak yang sudah berkeluarga berada di sebelah kiri dari letak rumah orang tuanya, sedangkan letak rumah anak mantu berada pada sebelah kanannya dan berada pada tapak yang sama. aa (a). (b) (c) Sumber: Harun at, al. (1983) Gambar 4 Jenis Rumah Betawi, (a) Rumah Bapang/Kabaya, (b) Rumah Joglo, (c) Rumah Gudang. Gambar 5 Rumah Panggung Adat Betawi pada Daerah Pesisir.

27 13 Tata ruang pada tapak biasanya terdapat fungsi ruang lain seperti kuburan, lapangan ruang terbuka/bulutangkis dan lain sebagainya (Harun, et. al l999). Berdasarkan tata letak dan fungsi ruang rumah Betawi, tata ruang dalamnya cenderung bersifat sumbu simetris. Hal ini dapat dengan mudah dilihat dari tata letak pintu masuk dari halaman sampai keruang depan, ke ruang tengah, dan kemudian menuju ruang belakang, dan membentuk garis sumbu simetris dari depan ke belakang. Pengelolaan Berkelanjutan Pengelolaan adalah tindakan yang dilakukan untuk mengamankan dan menyelamatkan suatu lanskap secara efisien dan terarah, dalam upaya pelestarian dan keberkelanjutannya, meliputi sumberdaya alam fisik dan biofisik, lingkungan binaan yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Menurut Harvey dan Buggey (l999), seluruh kegiatan pelestarian bertujuan untuk mempertahankan dan melindungi suatu kawasan dan isinya. Sedangkan menurut Budiharjo (l999), bahwa konsep pelestarian yang sesuai adalah adanya fungsi-fungsi baru yang menguntungkan dilihat dari segi ekonomi-finansial, dan pengembangannya. Konsep strategi pengelolaan yang berkelanjutan menurut Arancibia (l999), menggunakan keterkaitan positif antara efisiensi ekonomi dan perbaikan lingkungan, serta ikut serta menciptakan tanda ekonomi yang baru dan mendorong semua kegiatan produksi dan konsumsi yang mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan, apabila kondisi lingkungan tidak dilindungi maka nilai ekonomi dalam pembangunan secara utuh tidak akan tercapai. Pengelolaan adalah salah usaha kebijaksanaan untuk memelihara dan menyelamatkan secara ekosistem. Konsep dasar dari pengelolaan secara ekologi dengan pendekatan ekosistem, seperti: danau, hutan, laut, tanaman pertanian, perkebunan, padang rumput, dan lain-lain. Menurut Jayadinata (1992), bahwa sumberdaya manusia sangat menentukan dalam pengelolaan kawasan. Pengelolaan sumber daya manusia mencakup dari beberapa keadaan yaitu: 1) Keadaan penduduk (jumlah penduduk, kerapatan penduduk, penyebaran penduduk, struktur penduduk). 2) Proses penduduk, merupakan beberapa perubahan tertentu yang berurutan dalam jangka waktu. Proses penduduk dapat berlaku secara alamiah (kelahiran

28 14 dan kematian) dan secara buatan yang disebabkan oleh imigrasi 3) Lingkungan sosial penduduk, merupakan bagian kebudayaan penduduk yaitu: (a) pola kendali (pattern of control), (b) pola kegiatan (pattern of activieties), (c) pola bina (pattern of construction), (d) pola jalan lingkungan Pengelolaan yang berkelanjutan adalah usaha manusia untuk mengubah, mengatur dan menata ekosistem, agar manusia memperoleh manfaat yang maksimal dengan mengusahakan kontinunitas keberadaannya yang dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu dan energi. Pengembangan Pengembangan dengan kata lain adalah memajukan atau memperbaiki atau meningkatkan sesuatu yang sudah ada dan selanjutnya pengembangan serta pembangunan dapat berupa pembangunan fisik atau pengembangan fisik, dan merupakan pembangunan sosial ekonomi atau pengembangan sosial ekonomi (Jayadinata 1992). Penyesuaian antara kebijakan lingkungan dan ekonomi sebagai pertimbangan pengembangan kawasan dengan strategi rencana pengelolaan yang terdiri dari keterkaitan positif antara ekonomi dan perbaikan lingkungan, serta turut serta menciptakan sinyal ekonomi yang mendorong dan mempertimbangkan semua dampak kegiatan produksi dan konsumsi terhadap lingkungan. Pengembangan kawasan harus dengan perencanaan dan pengelolaan yang merupakan perpaduan dalam artian keterpaduan dalam bidang disiplin ilmu, keterkaitan ekologis dan berbagai sektoral (Sitepu et. al 1996). Rencana Tata Ruang Ruang adalah seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfier tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia. Ruang merupakan suatu wilayah yang dibatasi oleh geografi, batas keadaan fisik, sosial dan pemerintahan. Ruang menempati sebagian permukaan bumi, lapisan tanah dibawahnya dan lapisan udara diatasnya (Jayadinata 1992). Penggunaan tanah merupakan bagian dari penggunaan ruang. Untuk tetap menjaga keseimbangan, keserasian, kelestarian, dan memperoleh manfaat ruang maka harus dilakukan peningkatan kualitas manusia dan lingkungan hidupnya.

29 15 Menurut Undang-Undang Nomor 24 tahun l992 tentang peran serta masyarakat dalam penataan ruang, bahwa penataan ruang adalah untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat agar tercapai tujuan penataan ruang, dan dapat terselenggaranya ruang yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 tahun l997, pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu lingkungan hidup generasi masa kini dan masa depan. Konsevasi Ekologis Sistim ekologis yang berkaitan dengan konservasi sumberdaya alam dan penggunaan tanah suatu wilayah secara wajar terbagi menjadi jalur cagar (perlindungan bagi ekosistim alam) atau jalur preservasi (zone of preservation) penggunaan tanah kawasan pada umumnya dibiarkan secara alamiah, tetapi tetap dalam pengawasan, dan jalur lindung atau konservasi (zone of concervation) berkaitan dengan kegiatan perlindungan dan pemeliharaan seluruh elemen pendukungnya guna mempertahankan nilai kulturnya (Departemen Pemukiman Dan Prasarana Wilayah 1998). Pengelolaan sumberdaya alam hayati adalah usaha untuk melindungi meliputi seluruh proses yang berjalan dalam ekosistem. Sumber daya alam meliputi hal yang abstrak yaitu lokasi, tapak atau posisi (site potition), situasi (keberadaan yang berhubungan dengan wilayah yang lebih luas), bentuk, jarak, waktu dan sumber daya alam yang nyata yaitu daratan (land-form), air, iklim, tubuh tanah, vegetasi, hewan, mineral sebagai sumber dari kegiatan sosial ekonomi (Jayadinata l992). Konservasi Budaya Konservasi budaya adalah tindakan penyelamatan/pemeliharaan satu budaya guna mempertahankan nilai kebudayaan dari suatu area perkotaan maupun pedesaan, besar atau kecil yang mempunyai batas tertentu dan memiliki sekumpulan bangunan, tapak, ruang terbuka yang saling berkaitan yang dipersatukan oleh peristiwa masa lalu. Konservasi ini juga menekankan pada memelihara elemen lanskap seperti tanaman-tanaman, jalan raya, jalan setapak,

30 16 dan hubungan tradisional dengan bangunan konservasi dan kondisi alamnya (Direktorat Perkotaan Wilayah Barat 2000). Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya (UUBCB) Nomor. 5 Tahun l992 sebagai pendukung dari pelestarian kawasan dalam ketentuan sebagai cagar budaya. Menurut Budihardjo (l999) kiranya perlu dipahami konsep dari konservasi saat ini sudah beranjak dari pelestarian bangunan secara individual, meluas menjadi conservation area atau historis districts, histori landscapes, sampai dengan historis towns. Wisata Budaya Menurut Silberberg (2000), wisata budaya adalah kunjungan berbagai individu dari luar komunitas asli yang termotivasi oleh daya tarik seni, pengetahuan, gaya hidup atau warisan yang ditawarkan oleh suatu komunitas, daerah, kelompok atau institusi. Wisata budaya, merupakan wisata yang berkaitan dengan peninggalan budaya atau tempat-tempat bersejarah dengan penekanan pada aspek pendidikan dan pengalaman spritual. Menurut ICOMOS (2000), beberapa kreteria dalam wisata budaya dapat dilihat sebagai aktivitas pariwisata yang dinamis dan sangat terkait dengan pengalaman. Wisata budaya dapat dijadikan sebagai mencari pengalaman yang unik dan indah dari berbagai warisan masyarakat yang mempunyai nilai sangat tinggi terdiri dari: (1) sejarah lokal, (2) bahasa atau dialek, (3) tradisi dan cerita rakyat, (4) metode kerja, produk kerja, (5) kesenian dan musik, (6) gaya busana, (7) arsitektur yang khas, (8) sistim pendidikan, (9) agama dan manifestasinya, (10) aktivitas diwaktu luang, (11) kerajinan tangan, (12) makanan, (13) festival atau perayaan. Snyder dan Catanese (l979) memberikan enam tolok ukur untuk menentukan nilai warisan budaya yang terdiri dari: (1) Kelangkaan, (2) Kesejarahan, (3) Estetika, (4) Superlativitas, (5) Kejamakan, (6) Kualitas pengaruh. Tiga tolok ukur ditambahkan oleh Budiharjo (l983) yaitu: berkaitan dengan nilai sosial, nilai komersial dan nilai ilmiahnya. Warisan budaya merupakan faktor utama untuk menarik pengunjung, apabila tidak dikelola dengan baik dapat merusak fisik, kesatuan dan karakteristik tapak atau lingkungan, yang pada akhirnya tidak akan menarik lagi bagi pengunjung.

31 17 Menurut Silberberg (2000), bahwa kemampuan untuk menarik atau meningkatkan lama tinggalnya pengunjung berhubungan erat dengan delapan faktor yang mempengaruhinya yaitu, 1) Kualitas produk yang ada dibenak konsumen, 2) Kesadaran akan kemampuan untuk menarik pengunjung, 3) Pelayanan terhadap konsumen, 4) Daya dukung kawasan, 5) Pengembangan produk kebudayaan yang dianggap unik atau istimewa, 6) Kenyamanan dan keamanan, 7) Dukungan dan keterlibatan masyarakat setempat, 8) Kemampuan dan komitmen pengelolaannya. Untuk membuat wisata budaya bertahan dalam jangka waktu lama, dibutuhkan investasi dalam bentuk waktu, energi dan uang yang tidak sedikit. Dalam hal ini terdapat tiga (3) jenis bentuk kerja sama atau sistem paket dalam memasarkan produk budaya yaitu, 1) Bentuk kerja sama atau paket antar produk budaya, 2) Bentuk kerja sama melibatkan produk budaya dari jenis yang berbeda, 3) Bentuk kerja sama sistem paket antar produk budaya dan non budaya. Bentuk kerja sama tersebut dinilai paling menguntungkan.

32 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di kawasan Kampung Setu Babakan-Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa-Kotamadya Jakarta Selatan (Gambar 6), dengan luas kawasan ± 165 ha, meliputi ekosistem daratan (terestrial ± 130 ha) dan ekosistem perairan (akuatik) ± 35 ha terdiri dari luas Setu Babakan 18 ha (± 9.20 %) dan luas danau Setu Mangga Bolong 17 ha (± %). Penelitian ini dimulai dari survei lapang sampai dengan analisis dan penyusunan konsep berlangsung selama (tujuh) bulan, yang dimulai pada bulan Agustus 2003 sampai dengan bulan Oktober tahun Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survei pengumpulan data dengan cara pengamatan, wawancara dan pembagian kuisioner di lapangan. Data yang dikumpulkan meliputi data biofisik, data spasial, keadaan sosial-budaya masyarakat serta latar belakang sejarah masyarakat dan budaya Betawi pada kawasan. Selain itu juga dipergunakan data dari berbagai pustaka, peta rupa bumi, dan peta tata guna lahan sebagai data pendukung. Proses penelitian ini meliputi inventarisasi rona awal (existing condition) analisis data, sintesis data dan penyusunan rencana sistem pengelolaan Perkampungan Budaya Betawi (PBB) sebagai hasil akhir dari penelitian ini. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kerangka pikir penelitian ini yang disajikan pada Gambar 7. Metode Survei Survei bertujuan untuk inventarisasi data kondisi kawasan pada saat ini, baik secara primer maupun sekunder. Data yang diambil meliputi: 1) Aspek kesejarahan meliputi data sejarah kampung Setu Babakan dan data upaya pelestarian diperoleh melalui wawancara dan Dinas Lembaga Kebudayaan Betawi, Pemda, BAMUS serta sumber data lainnya.

33 19 DKI Jakarta Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan U Kampung Babakan, Kel. Srengseng Sawah Tanpa Skala Gambar 6 Lokasi Penelitian di Kampung Babakan Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.

34 20 PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI DI SETU BABAKAN-SRENGSENG SAWAH, KECAMATAN JAGAKARSA-JAKARTA SELATAN ASPEK KESEJARAHAN & UPAYA PELESTARIAN BUDAYA ASPEK -BIOFISK ASPEK SOSIAL & BUDAYA PENDUDUK ASPEK WISATA ASPEK KEBIJAKAN RENCANA PENGEMBANGAN -SEJARAH MASYARAKAT BETAWI -UPAYA PELESTARIAN & PENGELOLAAN -SEJARAH PENETAPAN & ALASAN SEBAGAI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI -IKLIM -TOPOGRAFI -GEOLOGI -HIDROLOGI -VEGETASI -FAUNA -LANSKAP BUDAYA BETAWI -TATA RUANG -POLA PERMUKIMAN -ELEMEN PEKARANGAN -ARSITEKTUR -KARAKTER DEMOGRAFI -PEKERJAAN -PENDAPATAN -EKONOMI SOSIAL & BUDAYA -AKTIVITAS BUDAYA -KELEMBAGAAN -AKTIVITAS WISATA -KARAKTER PENGUNJUNG -SIRKULASI PENGUNJUNG -FASILITAS WISATA -PENGELOLAAN KAWASAN -PERSEPSI MASYARAKAT PADA KAWASAN WISATA BUDAYA -RENCANA TATA RUANG -PENGELOLAAN SAAT INI -RENCANA PENGEMBANGAN KAWASAN -KEBIJAKAN TERKAIT ANALISIS & SINTENSIS -KESESUAIAN TATA RUANG & SIRKULASI -KONDISI FISIK LANSKAP BUDAYA (POLA PERMUKIMAN, POLA PEKARANGAN) -POTENSI PENGEMBANGAN DAN KENDALA KEBERKELANJUTAN -AKTIVITAS & PENGELOLAAN -FASILITAS WISATA BUDAYA -PARTISIPASI MASYARAKAT -KONSERVASI BUDAYA -KONSERVASI EKOLOGIS -AKTIVITAS WISATA KONSEP RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI DI SETU BABAKAN- SRENGSENG SAWAH, KECAMATAN JAGAKARSA - JAKARTA SELATAN Gambar 7 Tahapan dan Kerangka Pikir Penelitian.

35 21 2) Aspek biofisik, diambil secara primer, meliputi yaitu data: (a) vegetasi dan satwa untuk mendapatkan jenis tanaman dan jenis fauna yang ada, (b) kondisi visual untuk mendapatkan nilai positif atau negatif terhadap kondisi visual lanskap kawasan, (c) pola ruang untuk mendapatkan pola permukiman dan pola pekarangan rumah, (d) aksesibilitas dan sirkulasi, (e) bangunan dan arsitektur untuk mendapatkan keadaan bangunan dan arsitektur, (f) data jaringan jalan dan jaringan drainase kawasan. Data yang diambil secara sekunder yaitu: (a) geografi untuk mendapatkan data batas administrasi dan letak kawasan, (b) iklim untuk mendapatkan data suhu udara (C ), kelembaban udara (%), penyinaran matahari (%), (c) kecepatan angin (knots) dan curah hujan rata-rata (mm/tahun), (d) topografi dan ketinggian kawasan dari muka laut (dpl), (e) geologi untuk mendapatkan jenis dan struktur tanah, (f) hidrologi untuk mendapatkan kondisi air tanah dan sistem pengairan pada kawasan diperoleh dari Dinas pengairan Pemda Jakarta Selatan, (g) Jaringan jalan dan jaringan drainase kawasan, (h) tata guna lahan. 3) Aspek sosial & ekonomi. Aspek sosial, data kependudukan yang diambil secara sekunder meliputi jumlah penduduk, kepadatan penduduk, struktur penduduk. Sedangkan aspek ekonomi data meliputi mata pencaharian masyarakat, rata-rata pendapatan penduduk perbulan dan pendidikan yang ada pada masyarakat kawasan diambil secara primer dan sekunder. 4) Aspek budaya untuk mendapatkan data kegiatan budaya yang berkaitan dengan adat istiadat dan tata cara hidup kesehariannya, kesenian serta acaraacara budaya yang masih atau sudah tidak dilakukan lagi diambil secara primer dan sekunder. 5) Aspek wisata dan persepsi masyarakat diambil secara primer untuk mendapatkan data potensi kawasan sebagai obyek wisata, berdasarkan karakter wisata dan aktivitas pengunjung serta fasilitas kawasan. 6) Aspek legal terdiri dari data kebijakan yang terkait diambil secara sekunder, terdiri dari UU dan Peraturan-peraturan yang ada dan berkaitan dengan kondisi kawasan. Data diperoleh dari Dinas Pariwisata, LKB, BAMUS, dan Pemda DKI.

36 22 Sedangkan data pengelolaan diperoleh dengan cara survei dan wawancara ke lapang serta data pustaka sebagai data untuk diperbandingkan. Beberapa nara sumber yang meliputi pemuka masyarakat dan para ahli budaya Betawi telah diwawancarai, untuk mendapatkan data khususnya data kesejarahan masyarakat etnis Betawi, kondisi dan status kawasan, tata cara hidup, kesenian yang ada maupun yang pernah ada. Nara sumber tersebut adalah: 1) Bapak Ridwan Saidi sebagai pemuka masyarakat Betawi, untuk mendapatkan data sejarah dan budaya Betawi. 2) Bapak Drs. H.Yoyoh Muchtar Kep. Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata di Jakarta Selatan dan sejarah kawasan serta sejarah kawasan Setu Babakan. 3) Ibu Drs. Isti sebagai Kasubag Suku Dinas Pariwisata Jakarta Selatan untuk mendapatkan data pengembangan kawasan wisata Jakarta Selatan. 4) Ir. Ishak Djohar, MSI dari Badan Perencanaan Kotamadya Jakarta Selatan, untuk mendapatkan proses perencanaan kawasan Setu Babakan. 5) Bapak Asmuni dan bapak Rachmat Mulyadi untuk mendapatkan data dan keadaan penduduk, ekonomi serta sosial budaya di kawasan. Data diperoleh dari Kecamatan Jagakarsa dan Kelurahan Srengseng Sawah. 6) Ir. Farida Pasaribu dan Ir Sri Hartati dari Dinas Pertanian dan Pertamanan Kecamatan Jagakarsa, untuk mendapatkan data tanaman di kawasan. 7) Bapak Drs. H. Sofyan Murtadho selaku Lurah Srengseng Sawah dan narasumber lainnya. 8) Bapak Rojali sebagai RW dan Bapak Samin Jabul pemilik lahan kawasan dan Bapak H. Rokib sebagai tokoh agama untuk mendapatkan data pola pekarangan dan status kawasan. 9) Bapak Indra Sutisna S. Kom sebagai pengelola kawasan untuk mendapatkan data pengelolaan. 10) Bapak Rudi sebagai perwakilan masyarakat di sekitar kawasan untuk mendapatkan persepsi masyarakat. Pembagian kuiseoner dilakukan untuk mendapatkan data persepsi masyarakat di dalam kawasan dan pengunjung kampung Setu Babakan. Pemilihan responden dipilih secara acak terhadap responden masyarakat, Kampung Setu Babakan tiap tiga rumah berselang, sedangkan untuk pengunjung dilakukan acak berselang

RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI DI SETU BABAKAN-SRENGSENG SAWAH, KECAMATAN JAGAKARSA-JAKARTA SELATAN OLEH: SITTI WARDININGSIH

RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI DI SETU BABAKAN-SRENGSENG SAWAH, KECAMATAN JAGAKARSA-JAKARTA SELATAN OLEH: SITTI WARDININGSIH RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI DI SETU BABAKAN-SRENGSENG SAWAH, KECAMATAN JAGAKARSA-JAKARTA SELATAN OLEH: SITTI WARDININGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di kawasan Kampung Setu Babakan-Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa-Kotamadya Jakarta Selatan (Gambar 6), dengan luas kawasan ± 165 ha, meliputi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Masyarakat Betawi 1) Betawi Tengah,

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Masyarakat Betawi 1) Betawi Tengah, TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Masyarakat Betawi Etnis Betawi merupakan hasil sejarah di mana terjadi perpaduan biologis dan unsur budaya antar suku dan antar bangsa, yang kemudian membentuk masyarakat khusus

Lebih terperinci

PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN

PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN Oleh : Mutiara Ayuputri A34201043 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kota Jakarta yang merupakan pusat pemerintahan, perdagangan, jasa, pariwisata dan kebudayaan juga merupakan pintu gerbang keluar masuknya nilai-nilai budaya

Lebih terperinci

Jakarta Sebagai Kota Multikultural: Eksistensi Bahasa Betawi Sebagai Identitas JABODETABEK

Jakarta Sebagai Kota Multikultural: Eksistensi Bahasa Betawi Sebagai Identitas JABODETABEK Jakarta Sebagai Kota Multikultural: Eksistensi Bahasa Betawi Sebagai Identitas JABODETABEK Oleh: Syarfina Mahya Nadila Galuh Syahbana Indraprahasta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pendahuluan Kota sebagai

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Perkampungan Portugis Kampung Tugu Jakarta Utara Lanskap Sejarah Aspek Wisata Kondisi Lanskap: - Kondisi fisik alami - Pola Pemukiman - Elemen bersejarah - Pola RTH

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta)

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta) BAB III METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai lanskap kawasan ekowisata karst ini dilakukan di Lembah Mulo, Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian. III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea Bogor, Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian terlihat pada Gambar 2. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kampung kota adalah suatu bentuk pemukiman di wilayah perkotaan yang khas Indonesia dengan ciri antara lain: penduduk masih membawa sifat dan prilaku kehidupan pedesaan

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Studi

BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Studi 10 BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Studi Penelitian mengenai perencanaan lanskap ini dilakukan di kawasan bersejarah Komplek Candi Gedong Songo,, Kecamatan Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah. Peta,

Lebih terperinci

PUSAT PENGEMBANGAN KESENIAN BETAWI DI SITU BABAKAN SRENGSENG SAWAH JAKARTA

PUSAT PENGEMBANGAN KESENIAN BETAWI DI SITU BABAKAN SRENGSENG SAWAH JAKARTA LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Teknik PUSAT PENGEMBANGAN KESENIAN BETAWI DI SITU BABAKAN SRENGSENG SAWAH

Lebih terperinci

MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA. Lis Noer Aini

MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA. Lis Noer Aini MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA Lis Noer Aini Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Arsitektur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan yang mewakili daerahnya masing-masing. Setiap Kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan yang mewakili daerahnya masing-masing. Setiap Kebudayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai beragam kebudayaan yang mewakili daerahnya masing-masing. Setiap Kebudayaan tersebut mempunyai unsur yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP WISATA SEJARAH DAN BUDAYA KOMPLEKS CANDI GEDONG SONGO, KABUPATEN SEMARANG MUTIARA SANI A

PERENCANAAN LANSKAP WISATA SEJARAH DAN BUDAYA KOMPLEKS CANDI GEDONG SONGO, KABUPATEN SEMARANG MUTIARA SANI A PERENCANAAN LANSKAP WISATA SEJARAH DAN BUDAYA KOMPLEKS CANDI GEDONG SONGO, KABUPATEN SEMARANG MUTIARA SANI A34203015 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERENCANAAN

Lebih terperinci

KONDISI UMUM 4.1. DKI Jakarta

KONDISI UMUM 4.1. DKI Jakarta 30 KONDISI UMUM 4.1. DKI Jakarta Kota Jakarta sebagai ibukota negara merupakan kota yang dinamis. Setiap waktu fisik kota tampak berubah oleh kegiatan pembangunan sarana dan prasarana kota seiring pertambahan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PERUMAHAN DI KAWASAN TEPI SUNGAI MAHAKAM KASUS KELURAHAN SELILI KECAMATAN SAMARINDA ILIR KOTA SAMARINDA. Dwi Suci Sri Lestari.

KARAKTERISTIK PERUMAHAN DI KAWASAN TEPI SUNGAI MAHAKAM KASUS KELURAHAN SELILI KECAMATAN SAMARINDA ILIR KOTA SAMARINDA. Dwi Suci Sri Lestari. KARAKTERISTIK PERUMAHAN DI KAWASAN TEPI SUNGAI MAHAKAM KASUS KELURAHAN SELILI KECAMATAN SAMARINDA ILIR KOTA SAMARINDA Dwi Suci Sri Lestari Abstrak Kawasan tepi sungai merupakan kawasan tempat bertemunya

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 2. Peta orientasi lokasi penelitian (Sumber: diolah dari google)

METODOLOGI. Gambar 2. Peta orientasi lokasi penelitian (Sumber: diolah dari google) METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai perencanaan lanskap agrowisata berkelanjutan ini dilakukan di Desa Sukaharja dan Desa Tajurhalang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Propinsi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Winda Inayah W L2B

BAB I PENDAHULUAN. Winda Inayah W L2B BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia disamping sebagai pusat kegiatan Pemerintahan, perdagangan dan jasa, pariwisata dan kebudayaan juga sekaligus merupakan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN

GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN Letak Geografis dan Luas Wilayah Kota Tangerang Selatan terletak di timur propinsi Banten dengan titik kordinat 106 38-106 47 Bujur Timur dan 06 13 30 06 22 30 Lintang

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata 6 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata Pariwisata merupakan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Posisi Makro terhadap DKI Jakarta. Jakarta, Ibukota Indonesia, berada di daerah dataran rendah, bahkan di bawah permukaan laut yang terletak antara 6 12 LS and 106 48 BT.

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK Oleh : Dina Dwi Wahyuni A 34201030 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sungai merupakan salah satu bentuk badan air lotik yang bersifat dinamis yang berguna bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Sungai memiliki fungsi ekologis yang dapat

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi studi

Gambar 2 Peta lokasi studi 15 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Studi Studi dilakukan di Kebun Anggrek yang terletak dalam areal Taman Kyai Langgeng (TKL) di Jalan Cempaka No 6, Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah,

Lebih terperinci

BAB III RUMAH ADAT BETAWI SETU BABAKAN. 3.1 Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan

BAB III RUMAH ADAT BETAWI SETU BABAKAN. 3.1 Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan BAB III RUMAH ADAT BETAWI SETU BABAKAN 3.1 Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Gambar 3.1 Gerbang Masuk Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan adalah sebuah perkampungan budaya yang dibangun untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PULO CANGKIR

TINJAUAN PULO CANGKIR BAB II TINJAUAN PULO CANGKIR II.1 GAMBARAN UMUM PROYEK Judul Proyek : Kawasan Rekreasi Kampung Pulo Cangkir dan Sekitarnya. Tema : Arsitektur Tradisional Sunda. Kecamatan : Kronjo. Kelurahan : Pulo Cangkir

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 92 TAHUN 2000 TENTANG

KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 92 TAHUN 2000 TENTANG KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 92 TAHUN 2000 TENTANG PENATAAN LINGKUNGAN PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI DI KELURAHAN SRENGSENG SAWAH. KECAMATAN JAGAKARSA KOTAMADYA JAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN ASET WISATA DAN PEMUKIMAN TRADISIONAL MANTUIL 2.1. TINJAUAN KONDISI DAN POTENSI WISATA KALIMANTAN

BAB II TINJAUAN ASET WISATA DAN PEMUKIMAN TRADISIONAL MANTUIL 2.1. TINJAUAN KONDISI DAN POTENSI WISATA KALIMANTAN BAB II TINJAUAN ASET WISATA DAN PEMUKIMAN TRADISIONAL MANTUIL 2.1. TINJAUAN KONDISI DAN POTENSI WISATA KALIMANTAN SELATAN 2.1.1. Kondisi Wisata di Kalimantan Selatan Kalimantan Selatan merupakan salah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan di daerah tropis dengan luas laut dua pertiga dari luas negara secara keseluruhan. Keberadaan Indonesia di antara dua benua dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Sejarah dan Budaya Lanskap merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indra manusia. Semakin jelas harmonisasi dan

Lebih terperinci

KAJIAN KESESUAIAN KAWASAN SITU BABAKAN DAN SITU MANGGABOLONG SEBAGAI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI TUGAS AKHIR

KAJIAN KESESUAIAN KAWASAN SITU BABAKAN DAN SITU MANGGABOLONG SEBAGAI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI TUGAS AKHIR KAJIAN KESESUAIAN KAWASAN SITU BABAKAN DAN SITU MANGGABOLONG SEBAGAI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI TUGAS AKHIR Oleh : DANIEL AZKA ALFAROBI L2D 097 435 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN DESA WISATA Oleh : Dr. Ir. Sriyadi., MP (8 Januari 2016)

PENGEMBANGAN KAWASAN DESA WISATA Oleh : Dr. Ir. Sriyadi., MP (8 Januari 2016) PENGEMBANGAN KAWASAN DESA WISATA Oleh : Dr. Ir. Sriyadi., MP (8 Januari 2016) A. Latar Belakang Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat sehingga membawa

Lebih terperinci

Gambar 3.1 : Peta Pulau Nusa Penida Sumber :

Gambar 3.1 : Peta Pulau Nusa Penida Sumber : BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penulis mengambil lokasi penelitian di Desa Sakti Pulau Nusa Penida Provinsi Bali. Untuk lebih jelas peneliti mencantumkan denah yang bisa peneliti dapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK. Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A

PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK. Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A34201023 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN YULIANANTO

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Dari asal katanya, geografi berasal dari kata geo yang berarti bumi, dan graphein yang berarti lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30).

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Taman Wisata Alam Rimbo Panti Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN GERABAH DI DESA BANYUMULEK, KECAMATAN KEDIRI, LOMBOK BARAT

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN GERABAH DI DESA BANYUMULEK, KECAMATAN KEDIRI, LOMBOK BARAT PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN GERABAH DI DESA BANYUMULEK, KECAMATAN KEDIRI, LOMBOK BARAT Oleh : RINRIN KODARIYAH A 34201017 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 6 Peta lokasi penelitian. Sumber: www. wikimapia.com 2010 dan BB Litbang Sumber Daya Lahan, 2008.

METODOLOGI. Gambar 6 Peta lokasi penelitian. Sumber: www. wikimapia.com 2010 dan BB Litbang Sumber Daya Lahan, 2008. METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian berlokasi di Yayasan Pengembangan Insan Pertanian Indonesia (YAPIPI) yang secara administratif berlokasi di Kp. Bojongsari RT 03 RW 05 Kecamatan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA, PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG PENETAPAN PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI DI KELURAHAN SRENGSENG SAWAH, KECAMATAN JAGAKARSA KOTAMADYA JAKARTA SELATAN DENGAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 3069/ 2003 TENTANG

KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 3069/ 2003 TENTANG KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 3069/ 2003 TENTANG KELURAHAN SASARAN PENEMPATAN KOMPUTER PELAYANAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN AKTA CATATAN SIPIL DALAM WILAYAH PROPINSI

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 34 BAB IV KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Lokasi hutan kota yang akan dibangun terletak di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan, dengan luas 5400 m 2. Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN

PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN (Kasus Kampung Cimenteng, Desa Taman Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten)

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 1.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil observasi dilapangan serta analisis yang dilaksanakan pada bab terdahulu, penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk merumuskan konsep

Lebih terperinci

STUDI DAYA DUKUNG BIOFISIK KAWASAN REKREASI KEBUN RAYA BOGOR

STUDI DAYA DUKUNG BIOFISIK KAWASAN REKREASI KEBUN RAYA BOGOR STUDI DAYA DUKUNG BIOFISIK KAWASAN REKREASI KEBUN RAYA BOGOR Oleh : YAYAT RUHIYAT A34201018 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN YAYAT RUHIYAT. Studi

Lebih terperinci

PUSAT BUDAYA BETAWI DI KAWASAN SRENGSENG SAWAH, JAKARTA SELATAN

PUSAT BUDAYA BETAWI DI KAWASAN SRENGSENG SAWAH, JAKARTA SELATAN LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PUSAT BUDAYA BETAWI DI KAWASAN SRENGSENG SAWAH, JAKARTA SELATAN Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Teknik

Lebih terperinci

METODOLOGI. Tabel 1. Jenis, Sumber, dan Kegunaan data No Jenis Data Sumber Data Kegunaan

METODOLOGI. Tabel 1. Jenis, Sumber, dan Kegunaan data No Jenis Data Sumber Data Kegunaan METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Pantai Kelapa Rapat (Klara) Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, dengan luas area ± 5.6 Ha (Gambar 2). Penelitian ini dilaksanakan selama 4

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 14 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODOLOGI Kegiatan penelitian ini dilakukan di Pusat Kota Banda Aceh yang berada di Kecamatan Baiturrahman, tepatnya mencakup tiga kampung, yaitu Kampung Baru,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB I... 0 PENDAHULUAN PENGERTIAN JUDUL LATAR BELAKANG Kawasan Betawi Condet Program Pemerintah

DAFTAR ISI BAB I... 0 PENDAHULUAN PENGERTIAN JUDUL LATAR BELAKANG Kawasan Betawi Condet Program Pemerintah DAFTAR ISI BAB I... 0 PENDAHULUAN... 0 1.1 PENGERTIAN JUDUL... 0 1.2 LATAR BELAKANG... 0 1.2.1 Kawasan Betawi Condet... 0 1.2.2 Program Pemerintah Terkait Kawasan Betawi Condet... 1 1.2.4 Kawasan Wisata

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PERANCANGAN. khas, serta banyaknya kelelawar yang menghuni gua, menjadi ciri khas dari obyek

BAB 3 METODE PERANCANGAN. khas, serta banyaknya kelelawar yang menghuni gua, menjadi ciri khas dari obyek BAB 3 METODE PERANCANGAN 3.1 Ide perancangan Gua Lowo merupakan obyek wisata alam yang berada di pegunungan dengan dikelilingi hutan jati yang luas. Udara yang sejuk dengan aroma jati yang khas, serta

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu. Keterangan Jl. KH. Rd. Abdullah Bin Nuh. Jl. H. Soleh Iskandar

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu. Keterangan Jl. KH. Rd. Abdullah Bin Nuh. Jl. H. Soleh Iskandar 20 METODOLOGI dan Waktu Studi dilakukan di kawasan Jalan Lingkar Luar Kota Bogor, Jawa Barat dengan mengambil tapak di kawasan lanskap Jalan KH. Rd. Abdullah bin Nuh dan Jalan H. Soleh Iskandar. Kegiatan

Lebih terperinci

KAWASAN WISATA BETAWI DI CONDET DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR REGIONALISME

KAWASAN WISATA BETAWI DI CONDET DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR REGIONALISME KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN KAWASAN WISATA BETAWI DI CONDET DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR REGIONALISME Disusun oleh : Ardi Hirzan D I0212021 Dosen Pembimbing: Ir. Marsudi, M.T NIP. 195603141986011001

Lebih terperinci

Besarnya dampak positif yang dihasilkan dari industri pariwisata telah mendorong setiap daerah bahkan negara di dunia, untuk menjadikannya sebagai

Besarnya dampak positif yang dihasilkan dari industri pariwisata telah mendorong setiap daerah bahkan negara di dunia, untuk menjadikannya sebagai 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam era otonomi daerah saat ini, setiap daerah dituntut kemandiriannya dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan daerahnya. Dengan kata lain, setiap daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA. Keserasian Kawasan. Perumahan. Pemukiman. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA. Keserasian Kawasan. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. No.42, 2008 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA. Keserasian Kawasan. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 11/PERMEN/M/2008 TENTANG PEDOMAN KESERASIAN

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion Bioregion merupakan area geografis yang mempunyai karakteristik tanah, daerah aliran sungai (DAS), iklim, tanaman lokal serta hewan, yang unik dan memiliki nilai intrinsik

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

Kampung Wisata -> Kampung Wisata -> Konsep utama -> akomodasi + atraksi Jenis Wisatawan ---> Domestik + Mancanegara

Kampung Wisata -> Kampung Wisata -> Konsep utama -> akomodasi + atraksi Jenis Wisatawan ---> Domestik + Mancanegara Kampung Wisata -> suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PASAR TERAPUNG SUNGAI BARITO KOTA BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PASAR TERAPUNG SUNGAI BARITO KOTA BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PASAR TERAPUNG SUNGAI BARITO KOTA BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA OLEH: MOCH SAEPULLOH A44052066 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 33 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Studi ini dilakukan di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Secara administrasi pemerintahan Kota Padang Panjang terletak di Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 33 METODOLOGI Lokasi Penelitian Penelitian mengenai Rencana Penataan Lanskap Kompleks Candi Muara Takus sebagai Kawasan Wisata Sejarah dilakukan di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN SINTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

RUMAH LIMAS PALEMBANG WARISAN BUDAYA YANG HAMPIR PUNAH

RUMAH LIMAS PALEMBANG WARISAN BUDAYA YANG HAMPIR PUNAH RUMAH LIMAS PALEMBANG WARISAN BUDAYA YANG HAMPIR PUNAH Reny Kartika Sary Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Palembang Email : renykartikasary@yahoo.com Abstrak Rumah Limas

Lebih terperinci

Gambar 1. Kedudukan RD Pembangunan DPP, KSPP, KPPP dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan RIPPARNAS RIPPARPROV

Gambar 1. Kedudukan RD Pembangunan DPP, KSPP, KPPP dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan RIPPARNAS RIPPARPROV LAMPIRAN I PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PARIWISATA KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili 4.2 Tanah dan Geologi

BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili 4.2 Tanah dan Geologi BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili Secara administratif pemerintah, areal kerja IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili dibagi menjadi dua blok, yaitu di kelompok Hutan Sungai Serawai

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI BERBASIS BIOREGION. Oleh : ARIN NINGSIH SETIAWAN A

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI BERBASIS BIOREGION. Oleh : ARIN NINGSIH SETIAWAN A PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI BERBASIS BIOREGION Oleh : ARIN NINGSIH SETIAWAN A34203031 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA (Studi Kasus: Kawasan sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah) TUGAS AKHIR Oleh: AGUS SALIM L2D

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN BANDUNG UTARA DI WILAYAH KABUPATEN BANDUNG DAN KABUPATEN BANDUNG

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Putih yang terletak di Kecamatan Ranca Bali Desa Alam Endah. Wana Wisata

BAB III METODE PENELITIAN. Putih yang terletak di Kecamatan Ranca Bali Desa Alam Endah. Wana Wisata 24 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Wana Wisata Kawah Putih yang terletak di Kecamatan Ranca Bali Desa Alam Endah. Wana Wisata Kawah Putih

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak potensi wisata yang unik, beragam dan tersebar di berbagai daerah. Potensi wisata tersebut banyak yang belum dimanfaatkan

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi dan Analisis Kondisi Bantaran

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi dan Analisis Kondisi Bantaran 29 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Analisis Kondisi Bantaran 1. Tata Guna Lahan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG,

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN REKREASI PERENG PUTIH BANDUNGAN DENGAN PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR ORGANIK

PENGEMBANGAN KAWASAN REKREASI PERENG PUTIH BANDUNGAN DENGAN PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR ORGANIK LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENGEMBANGAN KAWASAN REKREASI PERENG PUTIH BANDUNGAN DENGAN PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR ORGANIK Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan Pariwisata dikenal sebagai suatu bentuk rangkaian kegiatan kompleks yang berhubungan dengan wisatawan dan orang banyak, serta terbentuk pula suatu sistem di dalamnya.

Lebih terperinci